Anda di halaman 1dari 9

Ust. Ahmad Sarwat, Lc.

, MA

Mengganti Shalat Yang Ditinggalkan Dengan Sengaja Puluhan Tahun

Fri 17 April 2015 20:00 | Shalat | 194.731 views | Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, semenjak saya tahu website rumahfiqih.com saya senantiasa belajar dari para asaatid
yang istiqomah menyebarkan ilmu Allah dengan ikhlas ini.

Terima kasih banyak atas ilmu yang diberikan asaatid rumahfiqih.com, dan InsyaAllah saya adalah santri
dari “pesantren” rumah fiqih ini. jazaakumullah khairan.

Ustad, Saya ada beberapa pertanyaan tentang mengqodho’ sholat, mohon perkenan ustad untuk
menjawabnya :

Bagaimana hukum mengganti atau mengqadha’ shalat menurut para fuqaha’?

Bagaimana tata cara mengqadha’ atau mengganti sholat yang ditinggalkan baik yang disengaja maupun
tidak disengaja? Mohon penjelasannya secara rinci

Selama ini jika saya meninggalkan sholat baik disengaja ataupun tidak, saya tidak pernah menggantinya,
apakah saya harus mengganti shalat-shalat tersebut yang sudah berlangsung selama puluhan itu ?

Mohon pencerahannya ustad, karena hal ini adalah kegalauan yang belum saya temukan jawabannya
secara memuaskan. Semoga Allah membalas segala kebaikan ustad. Amin….

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Mengqadha' shalat artinya mengganti shalat yang terlewat dari waktunya. Hukumnya wajib dikerjakan,
sebab shalat yang terlewat waktunya tidak gugur kewajibannya.

A. Dalil Shalat Qadha

Ada beberapa hadits yang menjadi dasar wajibnya shalat Qadha, antara lain

1. Hadits Shahih Bukhari

‫ك عوأعقسنم ال ن‬
ِ‫صلَةع لسسذنكسري‬ ‫صلَةة فعنليي ع‬
‫صيل إسعذا عذعكعرعهاَ ل عكنفاَعرةع لععهاَ إسلن عذلس ع‬ ‫ك ععنن الننبسيي عقاَعل عمنن نعسسعي ع‬ ‫ععنن أعنع س‬
‫س نبسن عماَلس ك‬

Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda,”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia
ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan shalat tersebut dan dirikanlah shalat untuk
mengingat-Ku. (HR. Bukhari)

2. Praktek Nabi SAW Mengqadha' Empat Waktu Shalat Dalam Perang Khandaq

apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika meninggalkan 4 waktu shalat, yaitu Dzhuhur, Ashar,
Maghrib dan Isya ketika berkecamuk perang Khandaq di tahun kelima hijriyah.

َ‫ب سمعن اللننيسل عما‬


‫ق عحنتىَّ عذهع ع‬ ‫ت يعنوُعم انلعخننعد س‬
‫صلععوُا ك‬‫اس ععنن أعنربعسع ع‬ ‫ إسنن انليمنشسرسكيعن عشعغيلوُا عريسوُعل ن‬: ‫ قاَ ععل ععنبيد ا‬: ‫ععنن نعساَفع ععنن أعسبي يعبعنيعدة بسن ععنبسد ا عقاَعل‬
‫صنلىَّ انلسععشاَعء‬
‫ب ثينم أععقاَعم فع ع‬
‫صنلىَّ انلعمنغسر ع‬‫صعر ثينم أععقاَعم فع ع‬
‫صنلىَّ انلعع ن‬‫ظنهعر ثينم أععقاَعم فع ع‬ ‫اي فعأ ععمعر بسلَعلة فعأ عنذعن ثينم أععقاَعم فع ع‬
‫صنلىَّ ال ظ‬ ‫عشاَعء ن‬

Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik
telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang
Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk
melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian
iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat
Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i)

3. Praktek Nabi SAW Mengqadha Shalat Shubuh Sepulang dari Perang Khaibar
Selain itu juga apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika tertidur dan habis waktu Shubuh saat
terjaga saat pulang dari perang Khaibar di tahun ketujuh hijriyah.

‫ عقاَعل‬. ‫صلَسة‬ ‫ف أعنن تععناَيموُا ععنن ال ن‬ ‫اس عقاَعل أععخاَ ي‬‫ت بسعناَ عياَ عريسوُعل ن‬ ‫ض انلقعنوُسم لعنوُ ععنرنس ع‬ ‫ سسنرعناَ عمعع الننبسيي لعنيلعةة فععقاَعل بعنع ي‬: ‫اس نبسن أعسبي قععتاَعدةع ععنن أعسبيسه عقاَعل‬ ‫ععنن ععنبسد ن‬
‫ت‬‫س فععقاَعل عياَ سبلَيل أعنيعن عماَ قينل ع‬
‫ب النشنم س‬ ‫ضطععجيعوُا عوأعنسنععد سبلَلال ظعنهعرهي إسعلىَّ عراسحلعتسسه فععغلعبعنتهي ععنيعناَهي فععناَعم عفاَنستعنيقعظع الننبسظي عوقعند طعلععع عحاَسج ي‬ ‫سبلَلال أععناَ يأوقسظييكنم عفاَ ن‬
َ‫ضأ ع فعلعنما‬
‫صلَسة فعتععوُ ن‬
‫س سباَل ن‬ ‫ض أعنرعواعحيكنم سحيعن عشاَعء عوعرندعهاَ ععلعنييكنم سحيعن عشاَعء عياَ سبلَيل قينم فعأ عيذنن سباَلنناَ س‬ ‫اع قعبع ع‬ ‫ي نعنوُعمةلا سمنثليعهاَ قع ظ‬
‫ط عقاَعل إسنن ن‬ ‫ت ععلع ن‬ ‫عقاَعل عماَ أينلقسيع ن‬
‫ن‬
َّ‫صلى‬ ‫ت عقاَعم فع ع‬ ‫ض ن‬ ‫ت النشنم ي‬
‫س عوانبعياَ ن‬ ‫انرتعفععع ن‬

Dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya berkata,”Kami pernah berjalan bersama Nabi SAW pada
suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar
bersama kami?” Beliau menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal
berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka mereka pun berbaring, sedangkan Bilal bersandar
pada hewan tunggangannya. Namun ternyata rasa kantuk mengalahkannya dan akhirnya Bilal pun
tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai
Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk
seperti ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh
kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal,
berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau SAW berwudhu,
ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.” (HR. Al-
Bukhari)

B. Ijma' Ulama Atas Wajibnya Qadha Shalat

Seluruh ulama dari semua mazhab fiqih yang ada, baik yang muktamad atau yang tidak, tanpa terkecuali
telah berijjma' atas wajibnya qadha' shalat. Para ulama empat mazhab tanpa terkecuali satu pun telah
bersepakat bahwa hukum mengqadha' shalat wajib yang terlewat wajib. Tidak ada satu pun ulama yang
punya pendapat yang berbeda. Sebab dasar-dasar kewajibannya sangat jelas dan nyata, tidak ada satu
pun orang Islam yang bisa menolak kewajiban qadha' shalat.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Al-Marghinani (w. 593 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya Al-
Hidayah fi Syarhi Bidayati Al-Mubtadi sebagai berikut :
‫ومن فاَتته صلَة قضاَهاَ إذا ذكرهاَ وقدمهاَ علىَّ فرض الوُقت‬

Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat, maka dia wajib mengqadha'nya begitu dia ingat. Dan harus
didahulukan pengerjaanya dari shalat fardhu pada waktunya. [1]

Ibnu Najim (w. 970 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Al-Bahru Ar-
Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut :

‫أن كل صلَة فاَتت عن الوُقت بعد ثبوُت وجوُبهاَ فيه فإنه يلزم قضاَؤهاَ سوُاء تركهاَ عمدا أو سهوُا أو بسبب نوُم وسوُاء كاَنت الفوُائت كثيرة أو‬
‫قليلة‬

Bahwa tiap shalat yang terlewat dari waktunya setelah pasti kewajibannya, maka wajib untuk diqadha',
baik meninggalkannya dengan sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang ditinggalkan itu
banyak atau sedikit. [2]

2. Mazhab Al-Malikiyah

Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu diantara ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya,
Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah sebagai berikut :

َ‫ومن نسي صلَة مكتوُبة أو ناَم عنهاَ فليصلهاَ إذا ذكرهاَ فذلك وقتها‬

Orang yang lupa mengerjakan shalat wajib atau tertidur, maka wajib atasnya untuk mengerjakan shalat
begitu dia ingat, dan itulah waktunya bagi dia. [3]

Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu tokoh ulama besar dalam mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalamnya
kitabnya Adz-Dzakhirah sebagai berikut :

‫ب سفي يكيل عمنفيرو ع‬


‫ضكة لعنم تفعل‬ ‫صيل انلعنويل سفي انلقع ع‬
‫ضاَسء عوهيعوُ عواسج لا‬ ‫انلفع ن‬
Pasal pertama tentang qadha. Mengqadha' hukumnya wajib atas shalat yang belum dikerjakan.[4]

Ibnu Juzai Al-Kalbi (w. 741) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-
Qawanin Al-Fiqhiyah sebagai berikut :

‫صعلَة بعد عوقتعهاَ عوهيعوُ عواسجب علىَّ النناَسئم عوالنناَسسي إسنجعماَةعاَ وععلىَّ انليمنععتمد‬ ‫انلقع ع‬
‫ضاَء سإيعقاَع ال ن‬

Qadha' adalah mengerjakan shalat setelah lewat waktunya dan hukumnya wajib, baik bagi orang yang
tertidur, terlupa atau sengaja. [5]

3. Mazhab As-Syafi'iyah

Asy-Syairazi (w. 476 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam
kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

َ‫ومن وجبت عليه الصلَة فلم يصل حتىَّ فاَت الوُقت لزمه قضاَؤها‬

Orang yang wajib mengerjakan shalat namun belum mengerjakannya hingga terlewat waktunya, maka
wajiblah atasnya untuk mengqadha'nya. [6]

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu muhaqqiq terbesar dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam
kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

َّ‫من لزمه صلَة ففاَتته لزمه قضاَؤهاَ سوُاء فاَتت بعذر أو بغيره فإن كاَن فوُاتهاَ بعذر كاَن قضاَؤهاَ علىَّ التراخي ويستحب أن يقضيهاَ على‬
‫الفوُر‬

Orang yang wajib atasnya shalat namun melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha'nya, baik
terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewatnya karena udzur boleh mengqadha'nya dengan
ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab.[7]
4. Mazhab Al-Hanabilah

Ibnu Qudamah (w. 620 H) salah satu ulama rujukan di dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam
kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :

‫إذا كثرت الفوُائت عليه يتشاَغل باَلقضاَء ماَ لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماَله‬

Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha'nya, selama
tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.[8]

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan di dalam kitabnya Al-Inshaf
sebagai berikut :

‫ضاَيؤعهاَ عععلىَّ انلفعنوُسر‬ ‫عوعمنن عفاَتعنتهي ع‬


‫صلععوُا لا‬
‫ت لعسزعمهي قع ع‬

Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat maka wajib atasnya untuk mengqadha' saat itu juga.[9]

Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu tokoh besar dalam mazhab Al-Hanabilah menegaskan bahwa
mengqadha' shalat itu wajib hukumnya, meskipun jumlahnya banyak.

‫فإن كثرت عليه الفوُائت وجب عليه أن يقضيهاَ بحيث ل يشق عليه في نفسه أو أهله أو ماَله‬

Bila shalat yang terlewat itu banyak jumlahnya maka wajib atasnya untuk mengqadha'nya, selaam tidak
memberatkannya baik bagi dirinya, keluarganya atau hartanya. [10]

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (w. 751 ) menuliskan di dalam kitabnya Ash-Shalatu wa Ahkamu Tarikuha
sebagai berikut :

‫وأماَ الصلوُات الخمس فقد ثبت باَلنص والجماَع أن المعذور باَلنوُم والنسياَن وغلبة العقل يصليهاَ إذا زال عذره‬
Adapun shalat lima waktu yang telah ditetapkan dengan nash dan ijma'm bahwa orang yang punya udzur
baik tidur, lupa atau ghalabatul 'aqli wajib mengerjakannya begitu udzurnya sudah hilang.[11]

C. Mengganti Shalat Yang Sengaja Ditinggalkan

Seluruh ulama sepakat bahwa apapun latar belakang yang mendasari seseorang meninggalkan shalat
fardhu, baik karena sengaja atau karena ada udzur yang syar'i, tetapi kewajiban untuk menggantinya
tetap berlaku. Oleh karena itu tidak ada bedanya dalam urusan tata cara menggqadha'nya.

Namun ada sedikit catatan yang perlu diketahui, yaitu :

1. Mazhab Asy-Syafi'i Membolehkan Menunda Qadha' Bila Karena Udzur

Umumnya para ulama sepakat bahwa menggaqadha' shalat itu wajib segera dikerjakan, begitu seseorang
telah terlepas dari udzur yang menghambatnya. Misalnya, ketika terlewat gara-gara tertidur atau terlupa,
maka wajib segera mengerjakan shalat begitu bangun dari tidur atau teringat. Dan hal ini juga berlaku
buat orang yang secara sengaja meninggalkan shalat fardhu tanpa udzur.

Namun khusus dalam pandangan mazhab Asy-syafi'iyah, bila seseorang punya udzur yang amat syar'i
ketika meninggalkan shalat, dibolehkan untuk menunda qadha'nya dan tidak harus segera dilaksanakan
saat itu juga. Dalam hal ini kewajiban qadha' shalat itu bersifat tarakhi (‫)تراخي‬.

Tetapi bila sebab terlewatnya tidak diterima secara syar'i, seperti karena lalai, malas, dan menunda-
nunda waktu, maka diutamakan shalat qadha' untuk segera dilaksanakan secepatnya.

Bolehnya menunda shalat qadha' yang terlewat dalam mazhab ini berdasarkan hadits shahih yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari berikut ini :

‫صنلىَّ سباَلنناَ س‬
‫س‬ ‫صلَعسة فع ع‬ ‫ضأ ع عوينوُسد ع‬
‫يِ سباَل ن‬ ‫ انرتعسحيلوُا عفاَنرتععحل فععساَعر عغنيعر بعسعيكد ثينم نععزل فععدععاَ سباَنلعوُ ي‬- ‫ضيير‬
‫ضوُسء فعتععوُ ن‬ ‫ أعنو لع يع س‬- ‫ضنيعر‬
‫لع ع‬
Rasulullah beliau menjawab,"Tidak mengapa", atau " tidak menjadi soal". "Lanjutkan perjalanan kalian".
Maka beliau SAW pun berjalan hingga tidak terlalu jauh, beliau turun dan meminta wadah air dan
berwudhu. Kemudian diserukan (adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami orang-orang. (HR.
Bukhari).

2. Ibnu Hazm Menyendiri Tentang Tidak Ada Qadha' Kalau Sengaja Meninggalkan Shalat

Ibnu Hazm (w. 456 H) menuliskan di dalam kitabnya, Al-Muhalla bi Atsar, bahwa orang yang
meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak perlu mengganti shalat yang ditinggalkannya secara sengaja.

‫وأماَ من تعمد ترك الصلَة حتىَّ خرج وقتهاَ فهذا ل يقدر علىَّ قضاَئهاَ أبدا فليكثر من فعل الخير وصلَة التطوُع ليثقل ميزانه يوُم القياَمة‬
‫وليتب وليستغفر ا عز وجل‬

Orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya, maka tidak dihitung qadha'nya
selamanya. Maka dia memperbanyak amal kebaikan dan shalat sunnah untuk meringankan timbangan
amal buruknya di hari kiamat, lalu dia bertaubat dan meminta ampun kepada Allah SWT. [12]

D. Terlalu Banyak Meninggalkan Shalat, Apakah Tetap Wajib Diganti?

Tidak ada satupun ulama yang mengatakan bahwa bila shalat yang terlewat itu terlalu banyak jumlahnya,
lantas kewajiban qadha'nya menjadi gugur. Bahkan Ibnu Hazm yang selama ini berbeda dengan semua
ulama yang ada, juga tidak memandang gugurnya kewajiban qadha apabila alasannya hanya karena
jumlahnya terlalu banyak. Buat beliau, bila sengaja meninggalkan shalat, gugurlah kewajiban qadha'.

Oleh karena itulah maka umumnya para ulama sepakat bahwa mau banyak atau sedikit shalat yang
ditinggalkan, tetap saja wajib untuk dikerjakan. Bahkan Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah
menyebutkan tentang kewajiban menyibukkan diri dalam rangka mengqadha' shalat yang terlalu banyak
ditinggalkan.

‫إذا كثرت الفوُائت عليه يتشاَغل باَلقضاَء ماَ لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماَله‬
Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha'nya, selama
tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.[13]

Bahkan Ibnu Taimiyah sekalipun juga tetap mewajibkan qadha' shalat meski sudah terlalu banyak. Dalam
fatwanya beliau tegas menyebutkan hal itu :

‫فإن كثرت عليه الفوُائت وجب عليه أن يقضيهاَ بحيث ل يشق عليه في نفسه أو أهله أو ماَله‬

Bila shalat yang terlewat itu banyak jumlahnya maka wajib atasnya untuk mengqadha'nya, selaam tidak
memberatkannya baik bagi dirinya, keluarganya atau hartanya. [14]

Apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah itu juga didukung oleh semua ulama
lainnya. Bahwa meskipun hutang shalat itu banyak, bukan berarti kewajiban untuk mengqadha'nya
menjadi gugur.

Sebab logikanya, kalau untuk satu shalat yang ditinggalkan itu wajib diganti, bagaimana mungkin ketika
jumlah hutangnya lebih banyak malah tidak perlu diganti? Kalau hutang duit seratus ribu wajib diganti,
masak hutang seratus juta tidak perlu diganti? Kalau begitu mendingan kita berhutang yang banyak saja
sekalian, biar gugur kewajiban membayar hutangnya.

Tentu argumentasi seperti itu agak menyalahi logika nalar dan akal sehat setiap orang.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Anda mungkin juga menyukai