Anda di halaman 1dari 14

Co-Asistensi Bidang Reproduksi

RETENSI PLASENTA PADA SAPI

Kamis, 26 Oktober 2017

MUHAMMAD ZULFADILLAH SINUSI


C34171 0 35

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. Latar belakang

Sapi merupakan salah satu komoditi ternak yang populer di Indonesia. Letak
geografis yang strategis menjadi alasan utama peternak melirik bisnis peternakan sapi
sebagai komoditi yang cukup berpotensi untuk dikembangkan. Kebutuhan daging
asal ruminansia paling banyak di sumbangkan oleh sapi potong yang diikuti kerbau
dan sapi perah (jantan dan betina afkir) dengan jumlah sekitar 24% dari total
konsumsi daging nasional (Dewi, 2009).

Keberhasilan teknologi reproduksi akan sangat mendukung peningkatan


populasi dan produksi daging sapi . Peternakan sapi perah yang ada di Indonesia
masih merupakan jenis peternakan rakyat, berskala kecil, dan masih merujuk pada
sistem pemeliharaan konvensional sehingga banyak menimbulkan permasalahan
dalam menajemennya seperti permasalahan pakan dan kesehatan, khususnya
gangguan reproduksi. Pengaplikasian teknologi reproduski untuk mempercepat
produksi sapi merupakan salahsatu faktor yang memicu gangguan reproduksi pada
sapi. Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada sapi perah di antaranya adalah
distokia yang kemudian diikuti dengan retensi plasenta atau retensi sekundinae
(Dascanio et al. 2000, Ratnawati et al. 2007).

Retensio sekundinae merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya


endometritis, karena dengan adanya infeksi bakteri atau mikroorganisme pada uterus
postpartus dapat mengakibatkan peradangan (Ilham 2004). Lingkungan uterus yang
kotor, ditambah dengan penanganan postpartus yang buruk mengakibatkan proses
involusi kurang berjalan dengan sempurna. Sehingga pada saat dikawinkan
mengakibatkan angka efisiensi reproduksi yang rendah.
I.2 Tujuan
Untuk mengetahui gambaran diagnosa tentang retensi plasenta pada sapi
sehingga dapat diketahui tindakan penanganan dan langkah pengobatannya.
I.3 Rumusan masalah
Bagaimana cara mendiagnosa kasus retensi plasenta pada sapi, tindakan
penanganan dan langkah pengobatannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan reproduksi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga


kelompok). Pertama, gangguan reproduksi karena faktor pengelolaan termasuk
teknik inseminasi, tenaga pelaksana yang kurang terampil, kurang pakan, dan
defisiensi mineral. Kedua, gangguan reproduksi karena faktor internal hewan, dalam
hal ini dapat dibagi menjadi hewan jantan dan betina. Di daerah yang menerapkan
perkawinan secara IB faktor pejantan dapat diabaikan, sedangkan di daerah non-IB
faktor pejantan ikut mengambil peranan dalam keberhasilan reproduksi. Faktor
internal dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelompok, antara lain karena kelainan
bentuk anatomi, kelainan fungsi endokrin, dan penyakit. Ketiga, faktor-faktor lain
yang bersifat aksidental (kecelakaan atau kelainan dapatan) yang pada umumnya
ditemukan secara sporadis, misalnya distokia dan torsio uteri (Prihatini, 2011).

II.1 Etiologi
Retensi placenta atau sering juga di sebut retensi sekundinae adalah kegagalan
pelepasan villi kotiledon dan karunkula setelah postpartus (Jesse et al., 2016; Sandals
et al., 1997), sedangkan menurut Prihatini (2011) adalah Retensio sekundinae yaitu
tertahannya plasenta atau selaput fetus setelah partus melebihi waktu normalnya.
Secara fisiologik selaput fetus dikeluarkan dalam waktu 3-5 jam postpartus. Apabila
plasenta menetap lebih lama dari 8-12 jam kondisi ini dianggap patologik, sehingga
disebut retensio sekundinae (retensi plasenta).
Retensi membran plasenta biasanya didefinisikan sebagai kegagalan
pelepasan membrane fetus dalam waktu 24 jam setelah persalinan. Biasanya
pelepasan terjadi dalam waktu 3-8 jam setelah melahirkan anak sapi. Kejadian ini
dapat meningkat dengan aborsi (terutama dengan brucellosis atau aborsi mycotic),
distokia, kelahiran kembar, stillbirth, hypocalcemia, suhu lingkungan yang tinggi,
usia lanjut dari sapi, kelahiran prematur atau induksi parturisi, plasitis, dan gangguan
nutrisi. Sapi dengan retensi placenta berisiko tinggi terkena metritis, dysplasia
abomasum, dan mastitis (Gilbert et al., 2017; Jesse et al., 2016).
Patologi kejadian retensio sekundinae adalah kegagalan pelepasan vili
kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal. Setelah fetus keluar dan korda
umbilikalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut
berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan
sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula
meternal mengecil karena supla darah berkurang sehingga kripta pada karunkula
berdilatasi. Akibat dari semua itu vili kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga
plasenta terlepas. Pada retensio sekundinae, pemisahan dan pelepasan vili fetal dari
kripta maternal terganggu, sehingga pertautan diantara keduanya masih terjadi
(Prihatini, 2011).

II.2 Faktor penyebab retensi plasenta.


a. Tidak cukupnya dorongan keluar oleh myometrium.
b. Kegagalan plasenta memisah dari endometrium yang bisa disebabkan oleh
perubahan-perubahan peradangan, belum dewasanya plasenta,
ketidakseimbangan hormone, neutropenia, kurangnya migrasi polimorf
ketempat pelekatan dan mungkin defisiensi imunitas.
c. Obstruksi mekanikal, termasuk penutupan servilks, kesulitan melahirkan, lahir
kembar, penanganan caesar dan monster fetus.
d. Faktor nutrisi (kekurangan energy atau protein selama kehamilan, kekurangan
vitamin A dan E, selenium dan iodine).
e. Faktor menajemen (obesitas, herediter dan stress (transport dan pakan yang jelek).
f. Faktor infeksi/toxin (Brucellosis, Pine Needle abortion, Leptospirosis, IBR
virus, BVD virus, Foothill Abortion (EBA). (Maas, 2008; Jackson, 2013)

II.3 Diagnosa
Pemeriksaan terhadap selaput fetus sebaiknya dilakukan sesudah partus untuk
mengetahui apakah terjadi retensi atau tidak. Pemeriksaan melalui uterus dapat
dilakukan dalam waktu 24– 36 jam post partus. Sesudah 48 jam biasanya sulit atau
tidak mungkin memasukkan tangan ke dalam uterus atau selaput fetus dalam servik
karena sudah tertutup oleh cincin servix.
Diagnosa dilakukan berdasarkan adanya plasenta degenerasi, perubahan
warna, akhirnya plasenta terlihat menggantung dari vulva 24 jam setelah parturisi.
Kadang-kadang, selaput tetap bisa berada di dalam rahim dan tidak terlihat namun
dapat ditanai dengan kondisi yang kotor disekitar mulut vagina (Gilbert et al., 2017).
Bila plasenta hanya tinggal sedikit dalam alat kelamin, diagnosa dapat
dilakukan dengan eksplorasi vaginal memakai tangan dan dengan terabanya sisa
sekundinae atau kotiledon yang masih teraba licin karena masih terbungkus oleh
membran fetus. Karunkula yang sudah terbebas dari lapisan plasenta, akan teraba
seperti beludru. Kalau tidak ada plasenta yang menggantung diluar kelamin, jangan
dikatakan tidak ada retensi plasenta. Mungkin plasenta masih tersisa dan tersembunyi
didalam rongga uterus (Prihatini 2011).
Sapi dengan retensi plasenta berisiko tinggi terkena metritis, ketosis, mastitis,
dan bahkan aborsi pada kehamilan berikutnya. Sapi yang pernah terkena kasus ini
berisiko mengalami kekambuhan pada partus berikutnya (Gilbert et al., 2017).

II.4 Tanda klinis/ temuan klinis retensi plasenta


Secara umum tanda-tanda klinis pada kasus retensi plasenta meliputi terlihatnya
placenta yang menggantung dari vulva kemudia secara progresif membusuk dan
memiliki bau busuk yang sering terkontaminasi dengan alas dan feses. Terkadang
juga membrane tidak terlihat, kemungkinan lebih sering setelah kelahiran kembar
atau dengan proses retraksi saat distokia yang terdeteksi secara kebetulan melalui
pemeriksaan vagina. Sapi biasanya tidak terpengaruh oleh retensi plasenta meskipun
nafsu makan dan produksi susu menurun secara marjinal.
Terkadang selaput membrane/placenta tidak terlihat diluar, namun dapat di
identifikasi dengan kondisi kotor pada sekitar mulut vagina kemudian diikuti dengan
bau busuk. Sekitar 75–80% sapi dengan retensi sekundinae tidak menunjukkan
tanda–tanda sakit. Sekitar 20- 25% memperlihatkan gejala–gejala metritis seperti
anorexia, depresi, suhu badan tinggi, pulsus meningkat dan berat badan turun
(Jackson, 2013; Toelihere,1985).

II.5 Penanganan dan pencegahan


II.5.1 Penanganan
Ada banyak upaya penangan yang dapat dilakukan pada kasus retensi plasenta
tergantung pada kondisinya dilapangan. Berikut bebrapa upaya penanganan kasus
retensi plasenta ;
1. Penarikan manual dapat dilakukan yaitu dengan cara palpasi intravaginal.
Membran dipisahkan pada pelekatan kotiledon dan karunkula yang jumlahnya
lebih dari 100 pasang. Jika plasenta tidak dapat dipisahkan dalam waktu 10
menit, upaya harus dihentikan dan diulangi 48 jam setelahnya.
2. Meletakkan pemberat pada plasenta, upaya ini dapat menjadi perangsan
manual untuk pengeluaran plasenta.
3. Injeksi hormone oxitosin atau prostatglandine (PGF2α) untuk merangsang
keluarnya sisa plaenta. Penggunaan oxitosin harus digunakan 12 jam setelah
proses kelahiran, waktu sesudah sensitivitas myometrium terhadap aksinya
menurun.

Pengeluaran secara manual saat ini sudah tidak dianjurkan karena berpotensi
membahayakan karena penanganan yang berlebihan dan tidak sesuai prosedur dapat
berkontribusi terhadap kontaminasi kotor saluran genital yang dapat memicu infeksi
sekunder.

II.5.2 Treatment post-penanganan


1. Pada studi kasus penanganan setelah penarikan manual dari plasenta dapan
dilakukan pemberian NaCl infus atau iodone povidone melaui tehnik flushing.
Ini dimaksudkan sebagai sebagai antiseptic dan untuk mencega iritasi pada
saluran urogenital.
2. Pemberian antibiotic spectrum luas juga sangan disarankan untuk mencegah
dari infeksi sekunder misalnya Oxytetracycline dan Tetracycline
((Biomycin®, LA-200®, Tetradure®, etc) and Lutalyse® (yang mana dapat
berguna untuk pengeluaran plasenta)
3. Pemberian suplementasi vitamin E dan selenium pada kasus kekurangan
nutrisi terbukti cukup bermanfaat. (Maas, 2008; Jesse et al., 2016; Gilbert,
2017)

II.6 Pencegahan retensi plasenta


Tidak ada upaya khusus untuk mencegaherjadinya retensi plasenta, namun
upaya berikut bisa menjadi alternative :
1. Tidak membiarkan sapi menjadi terlalu kurus atau terlalu gemuk sebelum
melahirkan.
2. Mengurangi stres di area sekitar kelahiran.
3. Mencegah terpapar jarum pinus, pohon juniper, dan pohon pinus (terutama
pinus Ponderosa) sebelum melahirkan,
4. Pastikan suplementasi vitamin dan mineral selama kebuntingan memadai
5. Mempertahankan program vaksinasi suara meminimalkan kemungkinan
aborsi virus atau bakteri (Maas, 2008).
BAB III
PEMBAHASAN

III.1 Deskripsi kasus I :


a. Signalemen
Nama Pemilik : Ruslan
Alamat : Dusun Tassoso, Desa
Gunung Perak, Kec.
Sinjai
Barat
Nama Hewan :-
Spesies : Sapi
Breed : Fresian Holstein
Warna bulu/rambut : Hitam Putih
Jenis kelamin : Betina
Umur : 5 tahun
Berat badan : ±300 kg

b. Anamnesis
Fetus merupakan hasil dari inseminasi
buatan (IB), proses kelahiran mengalami distokia. Plasenta tidak keluar
selama 24 jam.
c. Temuan Klinis/Pemeriksaan Klinis
Selaput fetus masih menggantung di vulva dan memiliki bau busuk.
Warna placenta coklat kemerahan dan terdapat banyak manifestasi ektoparasi
(jenis lalat). Bengkak pada area sekitar mulut vagina.
d. Diagnosis
Retensi Plasenta/ retensi sekundinae
e. Diagnosa banding
Pyometra dan endometritis.

f. Tindakan Penanganan
Pelepasan/pengeluaran secara manual, pemberian antibiotic oxytetracycline
dan vitamin B-complex.
III.2 Deskripsi kasus 2 :
a. Signalemen
Nama Pemilik : Abdullah
Alamat : Desa Botolempangan,
Kec. Sinjai Barat
Nama Hewan :-
Spesies : Sapi
Breed : Simental
Warna bulu/rambut : Coklat putih
Jenis kelamin : Betina
Umur : 4 tahun
Berat badan : ±400 kg

b. Anamnesis
Fetus merupakan hasil dari inseminasi
buatan (IB), proses kelahiran mengalami distokia.
Plasenta tidak keluar selama 3 hari setelah kelahiran.
c. Temuan Klinis/Pemeriksaan Klinis
Selaput fetus masih menggantung di vulva dan memiliki bau busuk.
Warna placenta coklat kemerahan dan telah mengalami pembusukan. Terdapat
banyak manifestasi ektoparasi (jenis lalat).
d. Diagnosis
Retensi Plasenta/ retensi sekundinae
e. Diagnosa banding
Pyometra dan endometritis.

f. Tindakan Penanganan
Pelepasan/pengeluaran secara manual, pemberian gula pada diding
endometrium dan pemberian antibiotic oxytetracycline dan vitamin B-
complex.

III.2 Pembahasan
Dari hasil anamnesa didapatkan bahwa dua kasus diatas adalah
kebuntingan fetus dari hasil dari inseminasi buatan (IB) yang dimana proses
kelahiran mengalami distokia sehingga harus dilakukan retraksi untuk
mengeluarkan fetus. Dari hasil pengamatan dilapangan ditemukan plasenta
yang masih menggantung hal ini sesuai yang dijelaskan oleh Jackson (2013)
dan Gilbert (2017) bahwa ciri dari retensi plasenta adalah masih
ditemukannya plasenta setelah 12-24 jam potpartus dengan temuan plasenta
yang berwarna coklat kemerahan dan menghasilkan bau busuk.
Diagnosa dan penangan dilakukan dengan penarikan secara manual
melalui palpasi intravaginal untuk eksplorasi dan pemisahan antara karunkula
dan kotiledon sesuai yang dijelaskan oleh Jackson (2013) dan Jesse (2016),
upaya ini dilakukan berulang sampai dipastikan tidak ditemukan lagi
kotiledon dan membrane dalam uterus. Terapi setelah penangan diberika
injeksi antibiotic golongan Oxytetracycline sebanyak 5ml untuk mencegah
infeksi dan vitamin B-complex sebanyak 7 ml untuk kontrol nutrisi induk.
Pada kasus ke-2 keadaan uterus sudah tertutup oleh cincin serviks
sehingga kesulitan dalam pelakukan palpasi sampai ke uterus, keadaan ini
menyebabkan masih adanya sisa plasenta. Oleh karena itu, dimasukkan gula
dapur sebagai alternative menghancurkan sisa plasenta.
Menurut Gilbert (2017), penarikan manual saat ini sudah tidak
dianjurkan lagi karena dapat membahayakan ternak, hal ini karena banyaknya
ditemukan upaya penanganan yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga
menyebabkan infeksi sekunder dan infertilitas ada kehamilan selanjutnya.
Pemberian antibiotic spekrtum luas seperti oxytetracycline memang
dianjurkan untuk kasus retensi plasenta, namun pada pemberian yang
dilakukan tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Dosis normal yang
diberikan sebanyak 20mg/kh berat badan dan diberikan selama 3 hari
berturut-turut. Pemberian vitamin E dan selenium lebih dianjurkan dari pada
B-compleks.
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Retensi plasenta adalah keadaan dimana plesenta tertahan didalam uterus
akibat villi kotiledon tidak dapat memisah dengan villi karunkula diluar dari
waktu normal. Penanganan kasus retensi plasenta dengan cara penarikan manual
melalui eksplorasi uterus serta pemberian antibiotic untuk mencegah infeksi dan
vitamin untuk perbaikan nutrisi.

IV.2 Saran
Penarikan secara manual sebaiknya sudah tidak digunakan lagi karna sifatnya
membahayakan ternak. Terapi antibiotic sebaiknya dilakukan minmal 3 hari dengan
pemberian sesuai dengan dosis anjuran.
DAFTAR PUSTAKA

Gilbert, R.O, BVSc, MMedVet. 2017. Retained Fetal Membranes in Cows. MSD
Manual; Veterinary Manual. Cornell University.
Jackson, P.GG. 2013. Handbook Obstetri Veteriner Edisi Kedua. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Jesse, F.F.A., E.L.T. Chung., Y. Abba., M.A.Sadiq., A.A. Britus., I.U.H. Hambali.,
M.A.M. Lila., A.W.Haron., A.A. Saharee. 2016. A Case Of Retained
Placenta In A Dairy Cow. Livestock Research International.
Jakyara, Volume 04; 125-127.
Maas J.Dvm, Ms. 2008. Treating And Preventing Retained Placenta In
Beef Cattle. California Cattlemen’s Magazine. California.
Prihatini, R. 2011.Hubungan Retensio Sekundinae Dan Endometritis Dengan
Efisiensi Reproduksi Pada Sapi Perah : Studi Kasus Di Koperasi Peternak
Sapi Bandung Utara (Kpsbu) Lembang, Jawa Barat [Skripsi]. Intitut
Pertanian Bogos. Bogor.
Sandals, W.C.D., R.A. Curtis, J.F. Cote., S.W. Martin.1979. The Effect Of Retained
Placenta And Metritis Complex On Reproductive Performance In Dairy
Cattle A Case Control Study. University Of Guelph,Guelph, 20: 131-135.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai