FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar belakang
Sapi merupakan salah satu komoditi ternak yang populer di Indonesia. Letak
geografis yang strategis menjadi alasan utama peternak melirik bisnis peternakan sapi
sebagai komoditi yang cukup berpotensi untuk dikembangkan. Kebutuhan daging
asal ruminansia paling banyak di sumbangkan oleh sapi potong yang diikuti kerbau
dan sapi perah (jantan dan betina afkir) dengan jumlah sekitar 24% dari total
konsumsi daging nasional (Dewi, 2009).
II.1 Etiologi
Retensi placenta atau sering juga di sebut retensi sekundinae adalah kegagalan
pelepasan villi kotiledon dan karunkula setelah postpartus (Jesse et al., 2016; Sandals
et al., 1997), sedangkan menurut Prihatini (2011) adalah Retensio sekundinae yaitu
tertahannya plasenta atau selaput fetus setelah partus melebihi waktu normalnya.
Secara fisiologik selaput fetus dikeluarkan dalam waktu 3-5 jam postpartus. Apabila
plasenta menetap lebih lama dari 8-12 jam kondisi ini dianggap patologik, sehingga
disebut retensio sekundinae (retensi plasenta).
Retensi membran plasenta biasanya didefinisikan sebagai kegagalan
pelepasan membrane fetus dalam waktu 24 jam setelah persalinan. Biasanya
pelepasan terjadi dalam waktu 3-8 jam setelah melahirkan anak sapi. Kejadian ini
dapat meningkat dengan aborsi (terutama dengan brucellosis atau aborsi mycotic),
distokia, kelahiran kembar, stillbirth, hypocalcemia, suhu lingkungan yang tinggi,
usia lanjut dari sapi, kelahiran prematur atau induksi parturisi, plasitis, dan gangguan
nutrisi. Sapi dengan retensi placenta berisiko tinggi terkena metritis, dysplasia
abomasum, dan mastitis (Gilbert et al., 2017; Jesse et al., 2016).
Patologi kejadian retensio sekundinae adalah kegagalan pelepasan vili
kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal. Setelah fetus keluar dan korda
umbilikalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut
berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan
sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula
meternal mengecil karena supla darah berkurang sehingga kripta pada karunkula
berdilatasi. Akibat dari semua itu vili kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga
plasenta terlepas. Pada retensio sekundinae, pemisahan dan pelepasan vili fetal dari
kripta maternal terganggu, sehingga pertautan diantara keduanya masih terjadi
(Prihatini, 2011).
II.3 Diagnosa
Pemeriksaan terhadap selaput fetus sebaiknya dilakukan sesudah partus untuk
mengetahui apakah terjadi retensi atau tidak. Pemeriksaan melalui uterus dapat
dilakukan dalam waktu 24– 36 jam post partus. Sesudah 48 jam biasanya sulit atau
tidak mungkin memasukkan tangan ke dalam uterus atau selaput fetus dalam servik
karena sudah tertutup oleh cincin servix.
Diagnosa dilakukan berdasarkan adanya plasenta degenerasi, perubahan
warna, akhirnya plasenta terlihat menggantung dari vulva 24 jam setelah parturisi.
Kadang-kadang, selaput tetap bisa berada di dalam rahim dan tidak terlihat namun
dapat ditanai dengan kondisi yang kotor disekitar mulut vagina (Gilbert et al., 2017).
Bila plasenta hanya tinggal sedikit dalam alat kelamin, diagnosa dapat
dilakukan dengan eksplorasi vaginal memakai tangan dan dengan terabanya sisa
sekundinae atau kotiledon yang masih teraba licin karena masih terbungkus oleh
membran fetus. Karunkula yang sudah terbebas dari lapisan plasenta, akan teraba
seperti beludru. Kalau tidak ada plasenta yang menggantung diluar kelamin, jangan
dikatakan tidak ada retensi plasenta. Mungkin plasenta masih tersisa dan tersembunyi
didalam rongga uterus (Prihatini 2011).
Sapi dengan retensi plasenta berisiko tinggi terkena metritis, ketosis, mastitis,
dan bahkan aborsi pada kehamilan berikutnya. Sapi yang pernah terkena kasus ini
berisiko mengalami kekambuhan pada partus berikutnya (Gilbert et al., 2017).
Pengeluaran secara manual saat ini sudah tidak dianjurkan karena berpotensi
membahayakan karena penanganan yang berlebihan dan tidak sesuai prosedur dapat
berkontribusi terhadap kontaminasi kotor saluran genital yang dapat memicu infeksi
sekunder.
b. Anamnesis
Fetus merupakan hasil dari inseminasi
buatan (IB), proses kelahiran mengalami distokia. Plasenta tidak keluar
selama 24 jam.
c. Temuan Klinis/Pemeriksaan Klinis
Selaput fetus masih menggantung di vulva dan memiliki bau busuk.
Warna placenta coklat kemerahan dan terdapat banyak manifestasi ektoparasi
(jenis lalat). Bengkak pada area sekitar mulut vagina.
d. Diagnosis
Retensi Plasenta/ retensi sekundinae
e. Diagnosa banding
Pyometra dan endometritis.
f. Tindakan Penanganan
Pelepasan/pengeluaran secara manual, pemberian antibiotic oxytetracycline
dan vitamin B-complex.
III.2 Deskripsi kasus 2 :
a. Signalemen
Nama Pemilik : Abdullah
Alamat : Desa Botolempangan,
Kec. Sinjai Barat
Nama Hewan :-
Spesies : Sapi
Breed : Simental
Warna bulu/rambut : Coklat putih
Jenis kelamin : Betina
Umur : 4 tahun
Berat badan : ±400 kg
b. Anamnesis
Fetus merupakan hasil dari inseminasi
buatan (IB), proses kelahiran mengalami distokia.
Plasenta tidak keluar selama 3 hari setelah kelahiran.
c. Temuan Klinis/Pemeriksaan Klinis
Selaput fetus masih menggantung di vulva dan memiliki bau busuk.
Warna placenta coklat kemerahan dan telah mengalami pembusukan. Terdapat
banyak manifestasi ektoparasi (jenis lalat).
d. Diagnosis
Retensi Plasenta/ retensi sekundinae
e. Diagnosa banding
Pyometra dan endometritis.
f. Tindakan Penanganan
Pelepasan/pengeluaran secara manual, pemberian gula pada diding
endometrium dan pemberian antibiotic oxytetracycline dan vitamin B-
complex.
III.2 Pembahasan
Dari hasil anamnesa didapatkan bahwa dua kasus diatas adalah
kebuntingan fetus dari hasil dari inseminasi buatan (IB) yang dimana proses
kelahiran mengalami distokia sehingga harus dilakukan retraksi untuk
mengeluarkan fetus. Dari hasil pengamatan dilapangan ditemukan plasenta
yang masih menggantung hal ini sesuai yang dijelaskan oleh Jackson (2013)
dan Gilbert (2017) bahwa ciri dari retensi plasenta adalah masih
ditemukannya plasenta setelah 12-24 jam potpartus dengan temuan plasenta
yang berwarna coklat kemerahan dan menghasilkan bau busuk.
Diagnosa dan penangan dilakukan dengan penarikan secara manual
melalui palpasi intravaginal untuk eksplorasi dan pemisahan antara karunkula
dan kotiledon sesuai yang dijelaskan oleh Jackson (2013) dan Jesse (2016),
upaya ini dilakukan berulang sampai dipastikan tidak ditemukan lagi
kotiledon dan membrane dalam uterus. Terapi setelah penangan diberika
injeksi antibiotic golongan Oxytetracycline sebanyak 5ml untuk mencegah
infeksi dan vitamin B-complex sebanyak 7 ml untuk kontrol nutrisi induk.
Pada kasus ke-2 keadaan uterus sudah tertutup oleh cincin serviks
sehingga kesulitan dalam pelakukan palpasi sampai ke uterus, keadaan ini
menyebabkan masih adanya sisa plasenta. Oleh karena itu, dimasukkan gula
dapur sebagai alternative menghancurkan sisa plasenta.
Menurut Gilbert (2017), penarikan manual saat ini sudah tidak
dianjurkan lagi karena dapat membahayakan ternak, hal ini karena banyaknya
ditemukan upaya penanganan yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga
menyebabkan infeksi sekunder dan infertilitas ada kehamilan selanjutnya.
Pemberian antibiotic spekrtum luas seperti oxytetracycline memang
dianjurkan untuk kasus retensi plasenta, namun pada pemberian yang
dilakukan tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Dosis normal yang
diberikan sebanyak 20mg/kh berat badan dan diberikan selama 3 hari
berturut-turut. Pemberian vitamin E dan selenium lebih dianjurkan dari pada
B-compleks.
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Retensi plasenta adalah keadaan dimana plesenta tertahan didalam uterus
akibat villi kotiledon tidak dapat memisah dengan villi karunkula diluar dari
waktu normal. Penanganan kasus retensi plasenta dengan cara penarikan manual
melalui eksplorasi uterus serta pemberian antibiotic untuk mencegah infeksi dan
vitamin untuk perbaikan nutrisi.
IV.2 Saran
Penarikan secara manual sebaiknya sudah tidak digunakan lagi karna sifatnya
membahayakan ternak. Terapi antibiotic sebaiknya dilakukan minmal 3 hari dengan
pemberian sesuai dengan dosis anjuran.
DAFTAR PUSTAKA
Gilbert, R.O, BVSc, MMedVet. 2017. Retained Fetal Membranes in Cows. MSD
Manual; Veterinary Manual. Cornell University.
Jackson, P.GG. 2013. Handbook Obstetri Veteriner Edisi Kedua. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Jesse, F.F.A., E.L.T. Chung., Y. Abba., M.A.Sadiq., A.A. Britus., I.U.H. Hambali.,
M.A.M. Lila., A.W.Haron., A.A. Saharee. 2016. A Case Of Retained
Placenta In A Dairy Cow. Livestock Research International.
Jakyara, Volume 04; 125-127.
Maas J.Dvm, Ms. 2008. Treating And Preventing Retained Placenta In
Beef Cattle. California Cattlemen’s Magazine. California.
Prihatini, R. 2011.Hubungan Retensio Sekundinae Dan Endometritis Dengan
Efisiensi Reproduksi Pada Sapi Perah : Studi Kasus Di Koperasi Peternak
Sapi Bandung Utara (Kpsbu) Lembang, Jawa Barat [Skripsi]. Intitut
Pertanian Bogos. Bogor.
Sandals, W.C.D., R.A. Curtis, J.F. Cote., S.W. Martin.1979. The Effect Of Retained
Placenta And Metritis Complex On Reproductive Performance In Dairy
Cattle A Case Control Study. University Of Guelph,Guelph, 20: 131-135.
LAMPIRAN