Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

1.1 PENDAHULUAN

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan

penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan

produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang

diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan

dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.

Terjadinya pansitopenia dikarenakan oleh menurunnya produksi sumsum tulang

atau dikarenakan meningkatnya destruksi perifer.1,2,3

Kejadian anemia aplastik pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich

pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita

penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan

postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang

hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan

nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya definisi anemia aplastik masih

belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan pendapat bahwa

tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun

1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus

pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia sumsum tulang, tanpa adanya suatu

penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan

hemopoietik sumsum tulang. 1,2,4

Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2

sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Insidensi anemia aplastik

1
diperkirakan lebih sering terjadi dinegara Timur dibanding negara Barat.

Peningkatan insiden mungkin berhubungan dengan faktor lingkungan seperti

peningkatan paparan terhadap bahan kimia toksik dibandingkan faktor genetik.

Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya peningkatan insiden pada penduduk Asia

yang tinggal di Amerika. Penelitian yang dilakukan di Thailand menunjukkan

peningkatan paparan dengan pestisida sebagai etiologi yang tersering.3,5

Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas

merupakan salah satu faktor resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti

kloramfenikol terbukti dapat mensupresi sumsum tulang dan mengakibatkan

aplasia sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang sehingga

diperkirakan menjadi penyebab tingginya insiden.6

Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif,

gejala objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala

subjektif dan objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun,

gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel mana yang mengalami depresi

paling berat. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan pemeriksaan

darah dan pemeriksaan sumsum tulang. Penegakkan diagnosa secara dini

sangatlah penting sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan

sembuh secara spontan atau parsial semakin besar.6,7

Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak

dilakukan pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat

penyakit saat didiagnosis, dan bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan.8

Semakin berat hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan semakin jelek.

2
Dengan transplantasi tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat mencapai 69%

sedangkan dengan pengobatan imunosupresif mencapai 38%.9

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Anemia Aplastik

Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang

ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang.4 Pada anemia

aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga

menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan

trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk

menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun.

Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia

aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia

paralitik toksik.1

2.2 Epidemiologi

Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,

berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Analisis

retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar

antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun.9 The Internasional Aplastic

Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus

persejuta orang pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang

berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun.

Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7

kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5

kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur

4
lebih besar daripada di negara Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini

diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan

dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti

dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di

Amerika.5

2.3 Klasifikasi Anemia Aplastik

Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Klasifikasi menurut kausa2 :

a. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50%

kasus.

b. Sekunder : bila kausanya diketahui.

c. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya

anemia Fanconi

2. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1).

Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%

dengan <30% sel hematopoietik residu, dan

- Dua dari tiga kriteria berikut :

 netrofil < 0,5x109/l

 trombosit <20x109 /l

 retikulosit < 20x109 /l

Anemia aplastik sangat berat Sama seperti anemia aplastik berat kecuali

netrofil <0,2x109/l

5
Anemia aplastik bukan berat Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia

aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum

tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari

tiga kriteria berikut :

- netrofil < 1,5x109/l

- trombosit < 100x109/l

- hemoglobin <10 g/dl

Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.3,9,10

2.4 Etiologi

Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia.

Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti

penyebabnya tidak diketahui.4,11 Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi

virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).

Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)

Anemia aplastik sekunder

Radiasi

Bahan-bahan kimia dan obat-obatan

Efek regular

Bahan-bahan sitotoksik

Benzene

Reaksi Idiosinkratik

Kloramfenikol

NSAID

6
Anti epileptik

Emas

Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya

Virus

Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)

Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)

Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)

Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)

Penyakit-penyakit Imun

Eosinofilik fasciitis

Hipoimunoglobulinemia

Timoma dan carcinoma timus

Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi

Paroksismal nokturnal hemoglobinuria

Kehamilan

Idiopathic aplastic anemia

Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)

Anemia Fanconi

Diskeratosis kongenita

Sindrom Shwachman-Diamond

Disgenesis reticular

Amegakariositik trombositopenia

Anemia aplastik familial

7
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)

Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.6,12

2.4.1 Radiasi

Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi

dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana

jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat

sensitif.4,12 Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia

aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan

menyebabkan fibrosis.2

Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis

dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi

dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan

sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar

sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi

tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada

dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X).

Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan

2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis

radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan

sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima

transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi

eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.13

8
2.4.2 Bahan-bahan Kimia

Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan

anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia

yang lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia

yang berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.13

2.4.3 Obat-obatan

Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat

berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada

seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik

adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah

fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik

misalnya mieleran atau nitrosourea.2

Kategori Resiko Tinggi Resiko Resiko Rendah

Menengah

Analgesik Fenasetin, aspirin,

salisilamide

Anti aritmia Kuinidin, tokainid

Anti arthritis Garam Emas Kolkisin

Anti konvulsan Karbamazepin, Etosuksimid,

hidantoin, Fenasemid, primidon,

felbamat trimethadion, sodium

valproate

9
Anti histamine Klorfeniramin,

pirilamin, tripelennamin

Anti hipertensi Captopril, methyldopa

Anti inflamasi Penisillamin, Diklofenak, ibuprofen,

fenilbutazon, indometasin, naproxen,

oksifenbutazon sulindac

Anti mikroba

Anti bakteri Kloramfenikol Dapsone, metisillin,

penisilin, streptomisin,

β-lactam antibiotik

Anti fungal Amfoterisin, flusitosin

Anti protozoa Kuinakrine Klorokuin, mepakrin,

pirimetamin

Obat Anti neoplasma

Alkylating Busulfan,

agen cyclophosphamide,

melphalan, nitrogen

mustard

Anti metabolit Fluorourasil,

mercaptopurine,

methotrexate

10
Antibiotik Daunorubisin,

Sitotoksik doxorubisin,

mitoxantrone

Anti platelet Tiklopidin

Anti tiroid Karbimazol, metimazol,

metiltiourasil, potassium

perklorat,

propiltiourasil, sodium

thiosianat

Sedative dan Klordiazepoxide,

tranquilizer Klorpromazine (dan

fenothiazin yang lain),

lithium, meprobamate,

metiprilon

Sulfonamid dan turunannya

Anti bakteri Numerous sulfonamides

Diuretik Acetazolamide Klorothiazide,

furosemide

Hipoglikemik Klorpropamide,

tolbutamide

Lain-lain Allopurinol, interferon,

11
pentoxifylline

Tabel 3. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik9

Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang

disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia

aplastik merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan

resiko rendah.

2.4.4 Infeksi

Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,

virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang

paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah

terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan

tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia

aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada

penderita anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter,

dan lain-lain). Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi

neutralizing antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia

dapat terjadi.8,12,13

Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum

tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus

dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan

infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi

imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel

dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma penunjang.4

12
2.4.5 Faktor Genetik

Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan

sebagian dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia

Fanconi. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai

oleh hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu

jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan

limpa.2

2.4.6 Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain

Anemia aplastik dapat juga ditemukan pada keadaan/penyakit lain, seperti:


a.
Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia

dengan hipoplasia sumsum tulang.2


b.
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH).

Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai

pansitopenia mengkin termasuk kelainan PNH.2


c.
Kehamilan

Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi

hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan

mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan

membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama

kehamilan dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan

berikutnya.9

13
2.5 Patogenesis

Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia

aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi

disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang

didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel

oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik

yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.11

Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik

yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang

langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali)

mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien

dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic

sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga

mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal

ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi,

contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara).

Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik

dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan

pasti.11

Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat

disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen

ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis

DNA dan RNA.11

14
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin

merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun

mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan

dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel.

“Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui

interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada

pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram

(apoptosis).11

2.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisik

Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala

yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan

menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah,

dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan

elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan

penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan

gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu

dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-

organ.7 Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering

dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi

kadang-kadang juga dikeluhkan.1

Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan

rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 4). Pada tabel 4

15
terlihat bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang

paling sering dikemukakan.

Jenis Keluhan %

Pendarahan 83

Lemah badan 80

Pusing 69

Jantung berdebar 36

Demam 33

Nafsu makan berkurang 29

Pucat 26

Sesak nafas 23

Penglihatan kabur 19

Telinga berdengung 13

Tabel 4. Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70)2

Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada

tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan

pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali,

yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien

sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya

splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.2

Jenis Pemeriksaan Fisik %

16
Pucat 100

Pendarahan 63

Kulit 34

Gusi 26

Retina 20

Hidung 7

Saluran cerna 6

Vagina 3

Demam 16

Hepatomegali 7

Splenomegali 0

Tabel 5. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik2

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan Darah

Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia

yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda

regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi

menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan

makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.2

Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah

putih menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif

terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan

17
trombosit kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah

neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.2,9

Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas

normal. Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau

trombosit bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat

(acquired aplastic anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya

produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel

aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini

produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa

minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.9

Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya

memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya

trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan

mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.2

Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis,

termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni

myeloid. Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan

penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.9

b. Pemeriksaan sumsum tulang

Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan

daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis.

Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih

menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan

18
elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan

sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula

dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit

rendah.9

Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara

kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan

gambaran hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat

kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat

hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum

tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.9,12

Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari

30% sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20%

pada individu yang berumur lebih dari 60 tahun.8

International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat

bila selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan

kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.9

2.7.3 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan

diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom

kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak diantaranya

memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic

Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran

elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak.

19
2.8 Diagnosis

Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan

pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia

disertai sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas

sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia

aplastik (lihat tabel 1)3,9,10.

2.9 Diagnosa Banding

Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai

dengan pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel

6.

Table 6 Penyebab Pansitopenia14

Kelainan sumsum tulang

Anemia aplastik

Myelodisplasia

Leukemia akut

Myelofibrosis

Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia

Anemia megaloblastik

Kelainan bukan sumsum tulang

Hipersplenisme

Sistemik lupus eritematosus

20
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis

Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu

sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma

myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat

membedakan anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada

myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal (misalnya

poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor eritroid

sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta

sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada

anemia aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat

granulasi abnormal dan megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus

abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).9

Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik

yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau

dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga

biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.7,14

Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy

cell leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya

splenomegali dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.14

Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan

oleh sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas

sumsum tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.

21
2.10 Penatalaksanaan

Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat

granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk

menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk

memperbaiki keadaan pasien (lihat tabel 7).9

Tabel 7. Manajemen Awal Anemia Aplastik9

 Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga

menjadi penyebab anemia aplastik.

 Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.

 Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang

dibutuhkan.

 Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.

 Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme

spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila

berat badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan

jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat

terapi G-CSF.

 Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan

histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.

Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu

transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG,

siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9

22
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi

sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang

cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau

beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling

baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien

yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik

dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih

tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.

Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia

aplastik.2

Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat.2

23
a. Pengobatan Suportif

Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa

packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan

pasien dengan penyakit kardiovaskular.2

Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3.

Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit

dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit

donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan

pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor

diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).2

Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan

tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya.

Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.2

b. Terapi Imunosupresif

Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte

globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA).

ATG atau ALG diindikasikan pada2 :

- Anemia aplastik bukan berat

- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok

- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat

pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit

lebih dari 200/mm3

24
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan

mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal

dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.2

Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi

alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan

kortikosteroid. Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan

menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.2 Sebuah

protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11

Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik11

Dosis test ATG :

ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan

dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya.

Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.

Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :

Asetaminofen 650 mg peroral

Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus

Hidrokortison 50 mg intravena perbolus

Terapi ATG :

ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari

Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :

Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG

dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum

sickness, tapering dosis setiap 2 minggu.

25
Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon

maksimal kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50

tahun atau lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus

diturunkan bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim

hati.

Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison.

Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi

sebesar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon

memiliki angka remisi sebesar 46%.2

Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi

imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki

kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap

siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat

imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini

pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari

pada kombinasi ATG dan siklosporin.9 Pemberian dosis tinggi siklofosfamid

sering disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini

belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan

lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah

dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.2

26
c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)

Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian

faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.2

Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon

terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang

refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.2

Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte-

Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil

akan tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter.

Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama.

Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-

satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi

imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang

refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung

darah pada beberapa pasien.2,11

Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin

dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia

aplastk ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat.

Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter

terapi imunosupresif.2,9

d. Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien

anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan

27
HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada

sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan

kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi

primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila

mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin

meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor

(Graft Versus Host Disesase/GVHD).2 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti

memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.9,10

Gambar 2. Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi

sumsum tulang dari donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan

umur.10

Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival

yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.10 Pasien

dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG)

28
maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan.15 Akan

tetapi survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah

mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum

mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10

Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan

transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat

mungkin diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang.

Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection)

karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.2

Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow

Transplantation (EBMT) adalah sebagai berikut2 :

- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan

trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.

- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3

dan trombosit dibawah 100.000/mm3.

- Refrakter : tidak ada perbaikan.

2.11 Prognosis

Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit.

Jumlah absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah

netrofil kurang dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik

berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan

respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi

sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih

29
baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara

terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien

mendapatkan transplantasi sumsum tulang.

Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang

berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun

dan sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak

40% pasien yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan

menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar

11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum

transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum

mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan

dan belum tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi

dalam hal conditioning untuk transplantasi.

Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi

kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien

setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian

mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan

berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria,

sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang

pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang

mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan

selama 15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif,

hanya 38% yang bertahan dalam 15 tahun.

30
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal

yang sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid

memiliki toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat

walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama9.

31
BAB III
KESIMPULAN

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh

kegagalan produksi di sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan

komponen selular pada darah tepi yaitu berupa keadaan pansitopenia (kekurangan

jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit).

Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus,

dan terkait dengan penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang

ditururunkan seperti anemia Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia

aplastik merupakan idiopatik.

Tanda dan gejala klinis anemia aplastik merupakan manifestasi dari

pansitopenia yang terjadi. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan gejala-

gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi,

pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis (granulositopenia)

menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan

keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.

Trombositopenia dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau

pendarahan di organ-organ. Gejala yang paling menonjol tergantung dari sel mana

yang mengalami depresi paling berat.

Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi

PRC dan trombosit. Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi

penyebab anemia aplastik harus dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi

infeksi juga harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Terapi

32
standar untuk anemia aplastik meliputi terapi imunosupresif atau transplantasi

sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi

sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host

Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya

ditawarkan terapi imunosupresif.

Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia

pasien, ada tidaknya donor dengan HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum

tulang allogenik serta apakah pasien telah mendapatkan terapi imunosupresif

sebelum tranplantasi sumsum tulang.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee

GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9th ed.

Philadelpia-London: Lee& Febiger, 1993;911-43.

2. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Kelima. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,

2009;1116-26.

3. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in http://www.emedicine.com/med/

topic162.htm

4. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic

Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.

5. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia-

An experience of 89 Cases.2004;18(1):76-9

6. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik

2003. Jakarta. Q-communication, 1997;6.

7. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-

101

8. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic

Anemia. N Engl J Med.1997;336(19):1365-72

9. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds).

William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.

34
10. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow

failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al

(eds). Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing,

2005;190-206.

11. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds).

Modern Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey:

Humana Press, 2007 ;207-16.

12. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure

syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of

Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw Hill, 2011:617-25.

13. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed.

New York: Lange McGraw Hill, 2005.

14. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds).

Current Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill,

2013;510-11.

35

Anda mungkin juga menyukai