Anda di halaman 1dari 18

Pengertian literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan

memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Literasi


memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis dan
lisan, pengetahuan tentang genre dan kultural.

Istilah literasi atau dalam bahasa Inggris literacy berasal dari bahasa Latin
literatus, yang berarti "a learned person" atau orang yang belajar. Dalam bahasa
Latin juga dikenal dengan istilah littera (huruf) yang artinya melibatkan
penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang menyertainya.

Perkembangan Literasi

Awal pengertian literasi secara sempit adalah untuk kemampuan dalam hal
membaca, namun kemudian ditambahkan juga dengan kemampuan menulis.
Pada abad pertengahan, sebutan literatus ditujukan kepada orang yang dapat
membaca, menulis dan bercakap-cakap dalam bahasa Latin. Carlo M. Cipolla
sejarawan Italia menggunakan istilah "semi-iliterate" bagi mereka yang dapat
membaca tetapi tidak dapat menulis.

Dalam perkembangan waktu, pengertian literasi bukan hanya berkaitan dengan


keaksaraan atau bahasa, namun berkembang menjadi konsep fungsional pada
dasawarsa 1960-an yaitu literasi berkaitan dengan berbagai fungsi dan
keterampilan hidup (Sofia Valdivielso Gomez, 2008) .

Konsep Literasi dipahami sebagai seperangkat kemampuan mengolah informasi,


jauh di atas kemampuan menganalisa dan memahami bahan bacaan. dengan
kata lain, literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, tetapi juga
mencakup bidang lain, seperti ekonomi, matematika, sains, sosial, lingkungan,
keuangan, bahkan moral (moral literacy).

Serbuan teknologi informasi yang semakin gencar, dalam dunia pendidikan


menggunakan istilah multiliterasi, bahkan multiliterasi kritis (critical
multiliteracies). Secara sederhana dapat dikatakan, istilah ini menunjuk pada
kondisi mampu secara kritis menggunakan berbagai wahana dalam
berkomunikasi.

Literasi dianggap merupakan inti kemampuan dan modal utama bagi siswa
maupun generasi muda dalam belajar dan menghadapi tantangan-tantangan
masa depan. Pembelajaran literasi yang bermutu adalah kunci dari keberhasilan
siswa.di masa depan. Untuk itu dibutuhkan pembelajaran literasi yang bermutu
pada semua mata pelajaran.oleh semua guru yang dianggap sebagai guru
literasi (teachers of literacy).
http://surabayakotaliterasi.c
om/kriteria-sebuah-kota-
menjadi-kota-literasi/
Apa Itu Literasi? Apa
Kriteria Sebuah Kota
Menjadi Kota Literasi?
Penulis Satria Dharma -

June 19, 2016

13547

Share ke Facebook

Tweet on Twitter
“Literacy as the “ability to identify, understand, interpret, create, communicate and
compute, using printed and written materials associated with varying contexts.
Literacy involves a continuum of learning in enabling individuals to achieve their
goals, to develop their knowledge and potential, and to participate fully in their
community and wider society”(The United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO))[i]
Surabaya, yang baru saja mendapatkan penghargaan yang sangat prestisius, yaitu
penghargaan Socrates Award 2014 dari Europe Business Assembly (EBA) untuk
kategori City of the Future, mencanangkan diri sebagai “Kota Literasi”. Tak ada yang
lebih menyenangkan dan membanggakan bagi saya sebagai seorang penggiat
literasi selain mendengar bahwa pada akhirnya ada sebuah kota yang dengan
berani dan percaya diri mendeklarasikan dirinya sebagai “Kota Literasi”. Bagi saya
ini seperti ‘a dream comes true’, mimpi yang menjadi kenyataan. Barangkali Taufik
Ismail boleh sedikit bergembira setelah gundah bertahun-tahun sejak ia
menyampaikannya dalam esainya “Tragedi Nol Buku, Tragedi Kita Bersama [ii]

Mencanangkan diri sebagai “Kota Literasi”. adalah sebuah ide yang sangat visioner,
brilian dan sangat berani. Ketika banyak kepala daerah (dan bahkan akademisi)
yang masih tergagap-gagap dengan istilah literasi, tiba-tiba Surabaya
mencanangkan dirinya sebagai sebuah “Kota Literasi”. Itu sungguh merupakan
terobosan yang luar biasa seolah sebuah oasis di tengah gurun pasir.

APA ITU LITERASI…?!

Meski istilah Literasi sudah dipakai secara umum puluhan tahun yang lalu tapi
nampaknya istilah ini masih asing bagi kita. Banyak guru yang bertanya-tanya,
“Istilah apa lagi ini…?!” dan meski sebagian dari mereka sudah pernah mendengar
istilah ini tapi mereka tidak paham apa yang dimaksud dengan ‘Literasi’

Literasi biasanya dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis. Pengertian


itu berkembang menjadi konsep literasi fungsional, yaitu literasi yang terkait
dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup.

Literasi membaca dalam PIRLS 2006 didefinisikan sebagai ‘the ability to understand
and use those written language forms required by society and/or valued by the
individual. Young readers can construct meaning from a variety of texts. They read
to learn, to participate in communities of readers in school and everyday life, and
for enjoyment.’

Dalam pembuka dokumen Overview of IEA’s PIRLS Assessment disebutkan bahwa


“Reading literacy is one of the most important abilities students acquire as they
progress through their early school years. It is the foundation for learning across all
subjects, it can be used for recreation and for personal growth, and it equips young
children with the ability to participate fully in their communities and the larger
society.”
Konsep maupun praksis literasi fungsional baru dikembangkan pada dasawarsa
1960-an (Sofia Valdivielso Gomez, 2008). Literasi dipahami sebagai ”seperangkat
kemampuan mengolah informasi, jauh di atas kemampuan mengurai dan
memahami bahan bacaan sekolah” (A Campbell, I Kirsch, A Kolstad, 1992). Melalui
pemahaman ini, literasi tidak hanya membaca dan menulis, tetapi juga mencakup
bidang lain, seperti matematika, sains, sosial, lingkungan, keuangan, bahkan moral
(moral literacy).

Menurut Rod Welford, Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Queensland, Australia


“Literacy is at the heart of a student’s ability to learn and succeed in school and
beyond. It is essential we give every student from Prep to Year 12 the best chance to
master literacy so they can meet the challenges of 21st century life.” Jadi Literasi
adalah inti atau jantungnya kemampuan siswa untuk belajar dan berhasil dalam
sekolah dan sesudahnya. Menurut Rod Welford prioritas pendidikan Queensland
adalah ‘to enable all students to progress to a higher literacy standard, taking into
account their diverse circumstances.’ Jadi meskipun latar belakang siswa berbeda-
beda pemerintah harus mengupayakan agar mereka semua mendapatkan tingkat
literasi yang memadai untuk menghadapi tantangan Abad 21. Tanpa kemampuan
literasi yang memadai maka siswa tidak akan dapat menghadapi tantangan-
tantangan Abad 21. Intinya, kemampuan literasi adalah modal utama bagi generasi
muda untuk memenangkan tantangan abad 21. Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Queensland telah mengeluarkan sebuah buku “Literacy the key to
Learning : Framework for Action” untuk digunakan sebagai acuan pendidikan
mereka pada tahun 2006-2008 yang memuat rincian langkah-langkah praktis yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka sadar bahwa pembelajaran
literasi yang bermutu adalah kunci dari keberhasilan siswa.di masa depan. Oleh
sebab itu SEMUA guru, termasuk guru Matematika dan Sains dianggap sebagai
Guru Literasi (teachers of literacy). Pembelajaran literasi adalah pembelajaran yang
integral. Untuk itu dibutuhkan pembelajaran literasi yang bermutu pada semua
mata pelajaran.[iii]

BAGAIMANA DI INDONESIA?

Ternyata banyak guru dan para birokrat pendidikan, termasuk para pejabat di
Kemendikbud di Senayan yang belum paham apa itu literasi. Lihat saja dokumen
Kurikulum 2013 yang baru saja dirilis dan dianggap akan dapat membuat
pendidikan bangsa kita bakal setara mutunya dengan negara maju. Perhatikan
apakah ada disebut-sebut tentang pentingnya literasi? Bahkan tidak ada perubahan
mendasar pada pembelajaran membaca dan menulis. Seolah ketrampilan
membaca dan menulis adalah ‘given’ dan akan datang dengan sendirinya pada
siswa. Padahal jelas sekali bahwa literasi membaca siswa kita sangat tertinggal
dengan siswa dari negara-negara maju dan kita perlu sebuah terobosan untuk
mengatasi masalah yang sudah kronis ini. Untunglah ada Surabaya…!

Hasil penelitian PISA menempatkan siswa Indonesia pada posisi 48 dari 56 negara di
dunia di tahun 2006 dengan skor rata-rata 393. Minat baca rendah inipun terulang
di 2009. Hasil penelitian PISA menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di
nomor 57 dari 65 negara dunia, dengan skor rata-rata 402 sementara rerata
internasional 500. Hasil uji tes PISA yang dilakukan tiga tahun kemudian yaitu pada
tahun 2012 ternyata hasilnya lebih buruk lagi. Hasil PISA 2012 menempatkan siswa
Indonesia pada posisi kedua terburuk atau posisi 64 dari 65 negara . Padahal
Vietnam justru masuk pada posisi 20 besar. penelitian PISA menempatkan posisi
membaca siswa Indonesia di nomor 57 dari 65 negara dunia, dengan skor rata-rata
396 sedangkan rerata internasional 496.

Hasil studi PISA menunjukkan bahwa sebanyak 31.1% siswa Indonesia berada di
bawah tingkat literasi-1, 37.6% berada pada tingkat literasi-1, 24.8% berada pada
tingkat literasi-2, 6.1% berada pada tingkat literasi-3, dan hanya 0.4% berada pada
tingkat literasi-4, serta tidak ada seorang pun yang meraih nilai pada tingkat literasi-
5. Kemampuan untuk masing-masing tingkatan ini masih jauh di bawah
kemampuan rerata negara-negara yang disurvey.[iv]

Indonesia termasuk negara yang prestasi membacanya berada di bawah rerata


negara peserta PIRLS 2006 secara keseluruhan, yaitu masing-masing 500, 510 dan
493. Sementara posisi Indonesia sendiri berada pada posisi kelima dari urutan
terbawah, atau sedikit lebih tinggi dari Qatar (356), Kuwait (333), Maroko (326), dan
Afrika Utara (304).

Hasil studi Vincent Greannary yang dikutip oleh World Bank dalam sebuah Laporan
Pendidikan “Education in Indonesia From Crisis to Recovery“ tahun 1998,
menunjukkan kemampuan membaca siswa kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia
hanya 51,7. Jauh dibandingkan dengan Hongkong (75,5), Singapura (74,0), Thailand
(65,1) dan Filipina (52,6). Hasil studi ini membuktikan kepada kita bahwa membaca
belum –kalau tidak mau dikatakan bukan- menjadi program yang integral dengan
kurikulum sekolah, apalagi menjadi budaya. Laporan UNDP tahun 2003 yang
menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index –
HDI) berdasarkan angka buta aksara posisi Indonesia berada pada urutan 112 dari
174 negara. Posisi ini berada di bawah Vietnam (urutan ke 109) yang baru keluar
dari konflik yang berkepanjangan. Tahun 2010 Indonesia berada di Peringkat 108
dari 152 negara. Pada tahun 2011 index Human Development Index (HDI) Indonesia
pada peringkat 124. Hal ini membuat Indonesia berada di perngkat terbawah di
ASEAN dimana Singapore berada di peringkat 26, diikuti oleh Brunei (33), Malaysia
(61), Thailand (103) and the Philippines (112).

Hal ini juga bisa dilihat dari berbagai statistik tentang negara kita. Dalam World
Competitiveness Scoreboard 2005 Indonesia hanya menduduki peringkat 59 dari 60
negara yang diteliti. Padalah Malaysia sudah berada di perinkat 28 dan India 39. Hal
ini juga bisa dilihat dari catatan Human Development Index (HDI) kita yang terus
merosot dari peringkat 104 (1995), ke 109 (2000), 110 (2002, dan 112 (2003). [v]
Berdasarkan statistik UNESCO pada 2012 indeks minat baca di Indonesia baru
mencapai 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang
punya minat membaca. Sedangkan UNDP merilis angka melek huruf orang dewasa
Indonesia hanya 65,5 persen, sementara Malaysia sudah mencapai 86,4
persen.Minat baca bangsa kita terendah di ASEAN. Sungguh ngeri-ngeri tak sedap.
[vi]

Sangat memprihatinkan melihat betapa pendidikan kita sampai saat ini tidak
memberikan porsi yang besar pada upaya untuk membangun literasi membaca dan
menulis siswa. Bahkan ketika kita ribut-ribut tentang upaya Dikti Kemdikbud untuk
memaksa para mahasiswa untuk harus menulis karya ilmiah sebagai persyaratan
untuk lulus sarjana, tak ada pembicaraan tentang betapa pentingnya membaca
sebagai dasar untuk bisa menulis. Apalagi ini tentang menulis karya ilmiah! Seolah
kita bisa melakukan lompatan ajaib menulis karya ilmiah tanpa melewati upaya
membangun literasi membaca yang kokoh.

ANCAMAN GLOBAL

Rendahnya Reading Literacy bangsa kita saat ini dan di masa depan akan membuat
rendahnya daya saing bangsa dalam persaingan global. “70 Persen Anak Indonesia
Sulit Hidup di Abad 21” demikian kata Prof Iwan Pranoto dari ITB. Hal ini sebenarnya
sudah bisa kita lihat dengan nyata. Saat ini Tenaga Kerja Indonesia (TKI) berjumlah
6,5 juta orang dan tersebar di 142 negara.[vii] Para TKI itu datang dari 392
Kabupaten/Kota. Mereka ini HANYA mengisi posisi sebagai tenaga kasar yang tidak
membutuhkan kemampuan membaca. Tanpa kemampuan literasi yang memadai
dalam persaingan global ini maka TKI hanya akan dapat mengisi pekerjaan-
pekerjaan kasar dengan gaji paling rendah. Tanpa upaya untuk meningkatkan
kemampuan membaca sebagai dasar untuk belajar dan mengembangkan
ketrampilan hidup maka bangsa kita akan terus menjadi bangsa kuli seperti yang
disinyalir oleh Soekarno, Founding Father kita. [viii]

Karena lemahnya ilmu dan pengetahuan mereka maka mereka terpaksa harus
mencari nafkah ke negara lain dengan hanya mengandalkan tenaga kasar mereka.
SDM kita tidak kompetitif karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ini adalah akibat lemahnya minat dan kemampuan membaca dan
menulis. Sekarang kegiatan utama keluarga Indonesia di rumah adalah menonton
TV, dan bukannya membaca seperti yang diperintahkan oleh Allah. Budaya
menonton telah membius keluarga kita. Statistik menunjukkan bahwa jumlah waktu
yang dipakai oleh anak-anak Indonesia menonton TV adalah 300 menit/hari.
Bandingkan dengan anak-anak di Australia 150 mnt/hari, Amerika 100 menit/hari,
dan Kanada 60 mnt/hari.

SURABAYA KOTA LITERASI

Surabaya sendiri adalah kota yang sangat peduli dengan budaya membaca.
Surabaya adalah satu-satunya kota di Indonesia yang mempekerjakan 475
karyawan honorer yang dipilih secara ketat untuk menjadi petugas perpustakaan di
sekolah-sekolah SD Negeri di Surabaya. (Jumlah SD di Surabaya adalah 940 sekolah
dengan SD negeri sebanyak 515 sekolah). Dengan ratusan petugas perpustakaan
yang diberi pelatihan khusus itu maka perpustakaan sekolah SD negeri di Surabaya
menjadi hidup, berkembang, dan bahkan menjadi tempat yang paling
menyenangkan bagi anak-anak di sekolah mereka. Sekarang ini anak-anak SD
menjadi keranjingan untuk membaca karena petugas perpustakaan mampu
membuat berbagai kegiatan yang menyenangkan di perpustakaan yang mereka
kelola. Ini baru Kota Literasi! Tak ada kota lain yang punya visi tentang literasi yang
begitu jelas dan terarah seperti Surabaya. Lokasi perpustakaan dan taman baca
tersebar di balai-balai RW, kelurahan, kecamatan, taman kota, rumah susun,
puskesmas, sekolah, terminal, dan panti sosial. Ini masih ditambah dengan layanan
mobil perpustakaan keliling di 64 lokasi. Tidak salah jika Surabaya meraih banyak
penghargaan tingkat nasionalseperti Anugerah Nugra Jasadarma Pustaloka.
Sementara untuk kategori pendidikan, Walikota Surabaya melakukan program
“Pengembangan Layanan Perpustakaan Umum”. Dalam program ini dilakukan
sinergi pelayanan perpustakaan umum dengan Kecamatan, RW, Dinas Kebersihan
dan Pertamanan, Rumah Susun, Dinas Perhubungan, RSUD, serta Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata. Program dilakukan untuk Pengelolaan Layanan Baca di
seluruh Kota Surabaya meliputi Layanan Baca di Perpustakaan Daerah, Layanan Bis
Keliling di Sekolah dan Area Publik, Layanan Paket, Layanan Taman Bacaan
Masyarakat (TBM), Revitalisasi TBM dan Perpustakaan Sekolah Dasar Negeri di
sejumlah 970 titik layanan. SMAN 21 yang berada di jalan Argopuro. Bu Laila, Kepala
Sekolahnya punya inisiatif yang brilian untuk meningkatkan minat siswa untuk
membaca yaitu dengan mengadakan Lomba Pojok Baca Kelas. Jadi setiap kelas
didorong untuk punya perpustakaan kelas dengan mengumpulkan buku-buku dari
siswa sendiri yang nantinya akan diletakkan di sudut kelas di atas meja dan ditata
dengan menarik oleh siswa sendiri. Ada kelas yang sangat serius dalam lomba ini
dan berhasil mengumpulkan sebanyak 217 buah buku dari pengumpulan buku-
buku mereka sendiri! Tentu saja jenis buku dan koleksinya masih sederhana dan
bahkan banyak yang berisi komik-komik Naruto dan sejenisnya. Tapi bagaimana
pun itu adalah sebuah upaya untuk meningkatkan minat siswa untuk membaca.
Saya sangat mengapresiasi ide brilian ini. [ix] T

APA YANG DILAKUKAN OLEH SEBUAH KOTA LITERASI

Di Jepang ada program atau gerakan yang bernama 20 Minutes Reading of Mother
and Child. Gerakan atau program ini mengharuskan seorang ibu utuk mengajak
anaknya membaca buku 20 menit sebelum tidur. Ini merupakan salah satu contoh
dari upaya Jepang dalam meningkatkan budaya baca warganya. Kita bisa memulai
sebuah GERAKAN BUDAYA LITERASI SURABAYA, yaitusebuah gerakan untuk
menjadikan masyarakat Surabaya menjadi sebuah masyarakat yang memiliki
budaya membaca dan menulis setara dengan bangsa-bangsa maju lainnya.
Gerakan ini akan dimulai dengan menerapkan program membaca yang
berkelanjutan (sustainable) baik di sekolah (TK, SD, SLTP, SLTA) maupun di
Perguruan Tinggi (PTS dan PTN) maupun di masyarakat umum melakukan kegiatan
literasi membaca dan menulis secara aktif sebagai kegiatan sehari-hari. Gerakan ini
bertujuan untuk menjadikan masyarakat Surabaya memiliki komunitas yang
memiliki budaya membaca dan menulis yang tinggi. Gerakan ini adalah gerakan
budaya bagi peningkatan mutu bangsa secara keseluruhan. Gerakan ini akan
dilakukan di SEKOLAH, RUMAH, DAN LINGKUNGAN

Kita bisa memulainya dengan menjadikan membaca sebagai budaya di sekolah


melalui program GERAKAN LITERASI SEKOLAH. Gerakan ini adalah gerakan WAJIB
BACA BUKU SUKARELA di sekolah SETIAP HARI selama minimal 15 menit. Gerakan
ini dikenal dengan nama SUSTAINED SILENT READING. Meski pun wajib SSR ini
termasuk bersifat REKREATIF dan FREE VOLUNTARY READING [x]
Berdasarkan 51 dari 54 penelitian pada program SSR ini siswa meningkat
prestasinya dan semakin lama program ini dilaksanakan semakin besar pula
keberhasilannya. (Krashen, S. 2007).

Apa program yang bisa dilakukan?

– Program Membaca Rutin di Sekolah

Program Membaca Rutin di Sekolah atau SSR (Sustained Silent Reading) adalah
strategi intervensi membaca yang digunakan oleh negara-negara maju dalam
membudayakan dan meningkatkan keterampilan siswa dalam membaca. Program
ini merupakan program yang sangat krusial untuk menjamin terciptanya kebiasaan
dan budaya membaca siswa

– Tantangan Membaca

Tantangan Membaca adalah sebuah program untuk menantang seseorang untuk


membaca sejumlah buku tertentu atau sejumlah halaman tertentu (seribu halaman,
umpamanya). Di sekolah setiap siswa ditantang untuk membaca sejumlah buku
dalam waktu tertentu . Sebagai contoh Tahun 2012, Premier Reading Challenge
memberikan 230.000 sertifikat untuk anak-anak New South Wales yang berhasil
menyelesaikan PRC. Jika setiap anak ini membaca 20 buah buku maka jelas sekali
bahwa siswa-siswa NSW ini telah membaca hampir 5.000.000 (lima juta) buku hanya
dalam waktu 7 bulan sahaja. Tujuan program ini adalah agar dapat menciptakan
anak-anak yang suka membaca dan MELAKUKAN kegiatan membaca sebagai
kegiatan sehari-hari. Agar mereka menjadi Pembaca Seumur Hidup (Reader for
Life). Riset menunjukkan bahwa salah satu cara terbaik untuk mencapai tujuan ini
adalah dengan menyediakan buku-buku yang disukai dan diminati siswa itu sendiri.
[xi]

– Seminar dan Workshop tentang Membaca

Kegiatan ini harus dilaksanakan secara rutin di sekolah yang mengikuti program
ini.SURABAYAKOTA LITERASIharus disosialisasikan ke sekolah-sekolah dengan
mengundang para pembicara dan para praktisi literasi. Peserta merupakan
perwakilan dari pengelola sekolah, guru, siswa, pustakawan, dan pemerhati
pendidikan. Untuk seminar direncanakan sehari sedangkan workshop 2 hari.

– Membagikan Buku Bacaan Gratis kepada 1000 Sekolah


Kegiatan utama lain yang sangat krusial adalah membagikan buku bacaan bagi anak
SD sebanyak minimal 300 buah buku dengan 100 judul (setiap judul 3 eksemplar).
Untuk tahap awal akan dibagikan buku ke 1000 (seribu) Sekolah. Ini akan menjadi
proyek percontohan bagi Program Indonesia Membaca. Untuk mendapatkan buku-
buku ini bisa dilakukan dengan bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang
ada di Kota Surabaya. Setiap perusahaan besar memiliki program CSR (Corporate
Social Responsibility) yang bisa diminta untuk membantu program Gerakan Literasi
Sekolah ini.

– One Child One Book (OCOB)

OCOB adalah program yang dirancang untuk meningkatkan jumlah dan jenis buku
bacaan di sekolah. Program ini dirancang agar setiap siswa di sekolah memiliki
paling sedikitnya satu buku untuk dibaca, baik di rumah maupun di sekolah. Dalam
program ini sekolah diminta untuk mengimbangi pemberian buku dari donor
dengan meminta partisipasi dari orang tua untuk menyumbangkan satu buku untuk
setiap anaknya yang bersekolah.

– Reading Contest (Speed/comprehension reading)

Reading contest adalah program untuk meningkatkan motivasi siswa dalam


membaca. Kontes atau lomba yang akan dilakukan di setiap sekolah yang terlibat
dalam program A Reading School ini, umpamanya: Reading Comprehension Contest
dan Speed Reading. Akan ada tim ahli yang akan menyusun materi dan menjadi
pelaksana Reading Contest di setiap sekolah. Pemenang dari kontes ini akan
mendapatkan award berupa buku-buku bacaan.

– Meet the Author(s)

Program ini dirancang untuk meningkatkan minat siswa untuk membaca buku dari
penulis atau pengarang tertentu. Sekolah akan mendatangkan satu atau beberapa
penulis buku tertentu untuk mengadakan acara ‘Jumpa Fans’ dan diskusi atau
bedah buku tentang buku dari penulis tersebut

– Reading Award

Yaitu pemberian penghargaan kepada individu (siswa atau guru) maupun kelompok
(sekolah) yang dianggap telah memiliki kontribusi dan peranan penting dalam
memajukan pembudayaan baca di Indonesia. Reading Award diberikan setahun
sekali bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Pemenang award, selain
memperoleh trophy juga diberikan hadiah, baik untuk individu maupun untuk
kelompok, yang diharapkan dengan uang tersebut dapat mengembangkan
perpustakaan di tempat/sekolah masing-masing. Penentuan penerima Reading
Award akan dinilai oleh sebuah tim independent yang berjumlah 3-5 orang dari
berbagai latar belakang/disiplin ilmu.

– Perpustakan Kelas

Perpustakaan kelas adalah program yang dilakukan untuk mendekatkan siswa ke


buku. Daripada mewajibkan anak untuk setiap hari ke perpustakaan sekolah akan
lebih mudah bagi siswa untuk membaca jika mereka memiliki perpustakaan kelas
yang akan mereka kelola sendiri di masing-masing kelas. Intinya adalah buku
mendatangi siswa, bukan sebaliknya. Program ini integral dengan program
Membaca Rutin di Sekolah atau SSR.

– Story Telling Competition

Serupa dengan Reading Contest, kegiatan ini berupa lomba bagi siswa untuk
menjadi ‘Story Teller’. Pemenang akan mendapat hadiah berupa buku-buku bacaan
dan penghargaan dalam bentuk lain.

– Book Expo

Book Expo adalah program pameran buku dari beberapa penerbit atau toko buku
yang bertujuan untuk mendorong siswa dan komunitas untuk membeli dan
membaca buku-buku terbitan baru ataupun lama dengan harga khusus atau harga
obral. Pada saat itu diadakan juga stand khusus penjualan buku-buku bekas yang
diperoleh dari sumbangan masyarakat dengan harga sangat murah.

– Share a Story

Share a Story adalah program kegiatan yang mewajibkan setiap siswa untuk
menceritakan suatu cerita yang dipilih masing-masing kepada orang-orang di
sekitarnya. Kegiatan ini untuk mendorong setiap siswa untuk menjadi a Story Teller.

– Let’s Write Our Own Story


Let’s Write Our Own Storyadalah program kegiatan untuk mendidik setiap siswa
agar dapat menjadi penulis dengan mengajarkan mereka untuk menuliskan ide-ide
mereka dalam bentuk karya prosa.

Demikianlah yang bisa kita lakukan setelah mendeklarasikan diri sebagai “Kota
Literasi” Selamat dan penghargaan yang setingg-tingginya atas ide dan sekaligus visi
dari kota Surabaya yang luar biasa ini.

http://www.wikipendidikan.com/2016/03/pengertian-
definisi-makna-literasi.html
Apa sih Literasi itu?
Apa sih Literasi itu? - Literasi mungkin telah menjadi istilah yang familiar

bagi banyak orang. Namun tidak banyak dari mereka yang memahami

makna dan definisinya secara jelas. Sebab memang Literasi merupakan

sebuah konsep yang memiliki makna kompleks, dinamis, terus ditafsirkan

dan didefinisikan dengan beragam cara dan sudut pandang. Berangkat

dari sini, maka perlu kiranya diuraikan apa sebenarnya makna dari Istilah

Literasi itu.

Menurut kamus online Merriam-Webster, Literasi berasal dari istilah

latin 'literature' dan bahasa inggris 'letter'. Literasi merupakan kualitas

atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi

kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi

juga mencakup melek visual yang artinya "kemampuan untuk mengenali

dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video,

gambar)."
National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai "kemampuan

individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan

memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam

pekerjaan, keluarga dan masyarakat." Definisi ini memaknai Literasi dari

perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini terkandung makna

bahwa definisi Literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan

dalam lingkungan tertentu.

Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa Literasi lebih

dari sekedar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, Literasi adalah

kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang

dimiliki dalam hidupnya. Dengan pemahaman bahwa literasi mencakup

kemampuan membaca kata dan membaca dunia.

Menurut UNESCO, pemahaman orang tentang makna literasi sangat

dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-

nilai budaya, dan juga pengalaman. Pemahaman yang paling umum dari

literasi adalah seperangkat keterampilan nyata - khususnya keterampilan

kognitif membaca dan menulis - yang terlepas dari konteks di mana

keterampilan itu diperoleh dan dari siapa memperolehnya.


UNESCO menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap

orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan

literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu,

keluarga, masyarakat. Karena sifatnya yang "multiple Effect" atau dapat

memberikan efek untuk ranah yang sangat luas, kemampuan literasi

membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak,

pertumbuhan penduduk, dan menjamin pembangunan berkelanjutan,

dan terwujudnya perdamaian. Buta huruf, bagaimanapun, adalah

hambatan untuk kualitas hidup yang lebih baik.

Baca juga :

o Pengertian Literasi Informasi Menurut Para Ahli


o Membangun Budaya Literasi Sejak Dini Bersama MBC
o Nabi Muhammad Bapak Literasi Dunia
o Gerakan Literasi Sekolah Sebagai Upaya Menumbuhkan Generasi Literat
o Gerakan Literasi dalam Al-Quran
o 9 Jenis Literasi yang Diperlukan dalam Menghadapi Era Digitalisasi
o Budaya Literasi dan Tradisi Berpikir Kritis
Saat ini, Istilah Literasi sudah mulai digunakan dalam arti yang lebih luas, seperti

Literasi Informasi, literasi komputer, dan literasi sains yang kesemuanya itu

merujuk pada kompetensi atau kemampuan yang lebih dari sekedar kemampuan

baca-tulis. Hanya saja, memang pemahaman yang paling umum mengenai

literasi yaitu kemampuan membaca dan menulis.

Seseorang melek huruf (bisa baca-tulis) mampu memahami semua bentuk

komunikasi yang lain. Implikasi dari kemampuan literasi yang dia miliki

ialah pada pikirannya. Literasi melibatkan berbagai dasar-dasar kompleks

tentang bahasa seperti fonologi (melibatkan kemampuan untuk

mendengar dan menginterpretasikan suara), arti kata, tata bahasa dan

kelancaran dalam setidaknya satu bahasa komunikasi. Keterampilan ini


menentukan tingkat yang dicapai oleh seorang individu.

Literasi memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seseorang dikatakan

memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan

dasar berbahasa yaitu membaca dan menulis. Jadi, makna dasar literasi

sebagai kemampuan baca-tulis merupakan pintu utama bagi

pengembangan makna literasi secara lebih luas. Dan cara yang

digunakan untuk memperoleh literasi adalah melalui PENDIDIKAN.

Pendidikan dan kemampuan literasi adalah dua hal yang sangat penting

dalam hidup kita. Kemajuan suatu negara secara langsung tergantung

pada tingkat melek huruf di negara tersebut. Orang berpendidikan

diharapkan untuk melakukan tugasnya dengan baik.

Secara historis, Menurut Prof. Dr. Tarwotjo M.Sc sebagaimana dikutip oleh Asul

Wiyanto dalam pengantar bukunya yang berjudul “Terampil Menulis

Paragraf”, produk dari aktivitas Literasi berupa tulisan, adalah sebuah

warisan intelektual yang tidak akan kita temukan di zaman prasejarah.

Dengan kata lain, apabila tidak ada tulisan, sama saja kita berada di

zaman prasejarah. Tulisan merupakan bentuk rekaman sejarah yang

dapat diwariskan dari generari ke generasi, bahkan hingga berabad-abad


lamanya.

Dalam sejarah peradaban islam, kita dapat melihat bagaimana tradisi

Literasi islam melahirkan tulisan-tulisan para pemikir dan ulama islam

klasik yang sudah berumur ratusan tahun sampai saat ini masih eksis

dipelajari di berbagai lembaga pendidikan islam, khususnya pesantren.

Kitab-kitab yang ditulis para ulama dan intelektual muslim era klasik

merupakan sebuah warisan intelektual yang sangat berharga bagi

pengembangan khazanah intelektual islam dari generasi ke generasi.

Sebagai aktivitas Literasi, menulis adalah sebuah kegiatan

mengungkapkan ide atau gagasan secara tertulis. Orang yang melakukan

kegiatan menulis disebut dengan penulis. Sedangkan hasil kegiatan

menulis tersebut dinamakan tulisan. Sejarah mencatat bahwa yang

menjadi benang merah antara zaman pra-sejarah dengan zaman sejarah

adalah tulisan. Zaman pra-sejarah merupakan zaman di mana saat itu

belum ada tulisan, sehingga segala peristiwa dan fenomena yang terjadi

kala itu tidak dapat diketahui oleh generasi selanjutnya. Ditemukannya

tulisan sebagai bukti adanya peradaban Literasi di masa lampau

merupakan babak baru dimulainya zaman sejarah.

Tulisan merupakan bukti dari jejak rekam sejarah peradaban manusia

yang berupa peristiwa, pengalaman, pengetahuan, pemikiran, dan ilmu

pengetahuan. Tulisan dapat menembus dan menelusuri lorong-lorong

ruang dan waktu di masa lampau. Seandainya saja di zaman ini tak ada

lagu tulisan atau orang yang mau menulis, niscaya kita akan kembali ke

zaman pra-sejarah. Namun faktanya, justru peradaban kita saat ini bisa
dikatakan sebagai peradaban tulisan atau peradaban teks. Terbukti dari

banjir informasi yang kita terima setiap hari dari berbagai media baik

cetak maupun elektronik, sebagian besar berbentuk teks atau tulisan.

Singkat kata, tulisan telah mengisi seluruh ruang kehidupan manusia

modern di era globalisasi seperti saat ini.

Dalam dunia pendidikan khususnya, tulisan mutlak diperlukan. Buku-

buku pelajaran maupun buku bacaan yang lainnya merupakan sarana

untuk belajar para peserta didik di lembaga-lembaga sekolah mulai

tingkat dasar sampi perguruan tinggi. Tanpa tulisan dan membaca,

proses transformasi ilmu pengetahuan tidak akan bisa berjalan. Hal ini

menunjukkan betapa pentingnya tulisan, budaya membaca, serta

menulis di kalangan masyarakat. Oleh karenanya, kita harus terus

berupaya mendorong serta membimbing para generasi muda termasuk

pelajar dan mahasiswa untuk membudayakan kegiatan Literasi.

Referensi:

o http://www.unesco.org/new/en/education/themes/education-building-
blocks/literacy/
o http://www.unesco.org/education/GMR2006/full/chapt6_eng.pdf
o https://www.edc.org/newsroom/articles/what_literacy
o http://ezinearticles.com/?The-Need-For-Literacy&id=6945882

Anda mungkin juga menyukai