Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketersediaan sumber energi merupakan prasyarat penting bagi
pembangunan di negara manapun. Untuk suatu negara yang belum memiliki
kedaulatan terhadap energi negaranya sendiri, sumber daya energi dapat
membuat anggaran rumah tangga negara menjadi bengkak akibat pengeluaran
domestik untuk impor bahan bakar. Selain itu sumber energi yang tidak
memadai akan membuat suatu keluarga berada pada kemiskinan. Kemampuan
untuk memanfaatkan material yang tersedia adalah salah satu langkah yang
cukup baik untuk pembangunan ekonomi dan sosial bagi bangsa (Ryemshak
dkk., 2015).
Berdasarkan asalnya, energi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu energi tak
terbarukan dan energi terbarukan. Energi tak terbarukan umumnya dikaitkan
dengan energi fosil. Bahan bakar fosil tidak terbarukan, yaitu bahan bakar
energi yang memanfaatkan sumber daya terbatas yang pada akhirnya akan
menyusut, menjadi terlalu mahal atau terlalu merusak lingkungan untuk
diaplikasikan Bahan bakar fosil tetap menjadi sumber utama dalam pemanasan
global dan dikaitkan dengan peningkatan emisi CO2 atau karbon dioksida (
Lind dkk., 2013). Setiap tahun aktivitas manusia membuang kira-kira 8 miliar
metrik ton karbon ke atmosfer, 6,5 miliar ton dari bahan bakar fosil dan 1,5
miliar dari deforestasi. Berbeda dengan energi terbarukan yang dapat
megurangi dampa buruk seperti mengurangi emisi CO2 dan ketergantungan
bahan bakar fosil (Shafiei dan Salim, 2014). Energi terbarukan contohnya
energi dari matahari, angin, ombak dan energi langsung lainnya, serta bahan
bakar nabati juga dianggap terbarukan (Nehrenheim, 2014). Sumber energi
terbarukan terus-menerus diisi ulang dan tidak akan pernah habis. energi
terbarukan adalah sumber energi bersih yang memiliki dampak lingkungan
jauh lebih rendah daripada teknologi energi konvensional (Alrikabi, 2014).
Analisis data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia
dalam Outlook Energi Indonesia atau yang disingkat dengan OEI tahun 2016,

1
diperkirakan pada tahun 2025 kebutuhan final energi mencapai 238,8 MTOE
atau kepanjangan dari Million Tones Oil Equivalent dengan prosentase
terbesar terdapat pada konsumsi energi BBM dan produksi kilang lainnya
yaitu sebesar 101 juta TOE. Pada kasus sekarang ini, tercatat cadangan
terbukti minyak bumi tersisa 3,60 miliyar barrel. Disebutkan juga bahwa
peningkatan konsumsi BBM dalam negeri dan penurunan produksi minyak
bumi menjadi salah satu kendala terbesar terkait dengan ketahanan energi
Indonesia. Kondisi tersebut terlihat dari kenaikan rasio ketergantungan impor
minyak bumi, dimana rasio ketergantungan impor rata-rata meningkat 44%
ditahun 2015. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia rentan terhadap
perubahan kondisi global yang dapat berpengaruh pada ketahanan energi
nasional sebagai akibat dari tingginya ketergantungan pasokan dari luar
(Prasodjo dkk., 2016).
Disisi lain, Indonesia masih memiliki sumber daya energi yang
melimpah. Salah satu bahan bakar fosil dengan jumlah ketersediaan banyak
adalah batubara. Berdasarkan data dari World Coal Association, pada tahun
2012 Indonesia adalah negara pengekspor batu bara terbesar di dunia. Ekspor
batu bara Indonesia pada tahun itu mencapai 383 juta ton. Dari segi produksi
batu bara, Indonesia berada pada posisi ke empat setelah Cina, Amerika, dan
India dengan memproduksi 443 juta ton. Indonesia juga memiliki potensi
yang besar terhadap batubara tercatat pada tahun 2008 cadangan batubara
indonesia mencapai 65,4 milyar ton (Hasjim, 2010). Cadangan ini
diperkirakan akan terus melonjak naik dan tercatat saat ini cadangan batubara
indonesia mencapai kurang lebih 104,8 milyar ton (Datin, 2010). Keadaan ini
akan mampu menghidupkan listrik indonesia 100 tahun yang akan datang.
Pemanfaatan batubara sebagai energi utama nasional sudah digalakan oleh
pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 5 Mengenai Bauran
Energi Nasional tercatat bahwa pada tahun 2025 penggunaan batubara sebesar
33%, penggunaan ini diutamakan untuk listrik sedangkan untuk gas kota dan
transportasi masih mengutamakan gas dan minyak bumi. Penggunaan
batubara saat ini tidak hanya digunakan untuk listrik namun dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti gas kota, briket untuk rumah

2
tangga dan industri menengah serta bahan bakan minyak sintetik yang dapat
digunakan untuk sumber energi bagi motor. Pemanfaatan batubara dengan
meningkatkan kadar atau nilai pada batubara untuk berbagai keperluan sangat
perlu dilakukan karena mengingat kondisi cadangan batubara Indonesia
berdasarkan kualitasnya 24% termasuk batubara peringkat rendah, 60%
peringkat sedang, dan 15% peringkat tinggi serta hanya 1% yang termasuk
peringkat sangat tinggi (Hasjim, 2010).
Batu bara merupakan sedimen yang dapat dibakar atau combustible
sediment yang terbentuk jutaan tahun yang lalu. Sedimen ini terdiri atas sisa-
sisa tumbuhan purba yang mengalami proses metamorfosa akibat proses
biokimia dan geokimia. Jika proses biokimia mengubah sisa tanaman menjadi
gambut maka proses geokimia yang terjadi setelah penimbunan mengubah
gambut menjadi lignit atau batu bara paling muda. Proses geokimia seterusnya
akan mengubah lignit sampai menjadi batu bara paling tua atau antrasit
(Suprapto, 2015). Batu bara memiliki struktur yang kompleks dan tidak
mudah terurai menjadi metana. Batu bara terdiri dari bahan organik dan
anorganik. Batubara terdiri dari mineral, mineral diskrit, unsur anorganik yang
dimiliki secara molekuler oleh bahan organik, dan air dan gas yang
terkandung dalam pori submikroskopik. Secara organik, batubara terutama
terdiri dari karbon, hidrogen, dan oksigen, dan jumlah sulfur serta nitrogen
yang lebih sedikit. Secara anorganik, batubara terdiri dari beragam senyawa
pembentuk abu yang didistribusikan ke seluruh batubara. Konstituen
anorganik dapat bervariasi dalam konsentrasi dari beberapa titik persentase ke
bagian per miliar batubara (Miller dan Tillma, 2008).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang tarif
yang berlaku untuk penerimaan bukan pajak di sektor energi dan sumber daya
mineral, cadangan batubara diklasifikasikan berdasarkan pada kualitas terdiri
dari kualitas yang sangat tinggi 231 juta ton atau setara dengan 0,8%, kualitas
tinggi 1,655 juta ton atau setara dengan 5,9%, kualitas medium 16,128 Mt atau
setara dengan 57,5% dan kualitas peringkat rendah 10.002 juta ton atau setara
dengan 35,8%. Fakta membuktikan bahwa dewasa ini batu bara peringkat
tinggi semakin terbatas dan cadangannya telah berkurang secara bertahap.

3
Sedangkan batubara masih menjadi salah satu bahan bakar dengan tingkat
kebermanfaatan dan nilai keefisienan yang tinggi. Indonesia masih sangat
membutuhkan energi dari batubara untuk menyokong perikehidupan bangsa.
Disisi lain batubara peringkat rendah memiliki ketersediaan yang masih tinggi.
Batubara Indonesia pada umumnya didominasi oleh batubara peringkat rendah
atau low rank coal, yaitu sekitar 70% dari total sumber daya yang tersedia
(Baaqy dkk., 2013).
Namun, kualitas batubara peringkat rendah biasanya sangat rendah.
Masalah utama pemanfaatan batubara peringkat rendah adalah mengandung
kadar air yang sangat tinggi dan kadar abu. Air di batubara dengan peringkat
rendah memberi pengaruh signifikan pada proses utiisasi mereka, termasuk
pembakaran, gasifikasi dan pencairan. Kandungan air yang tinggi
menghasilkan nilai kalori yang lebih rendah, konsumsi bahan bakar lebih
tinggi dan laju aliran gas buang tumpukan yang lebih tinggi, konsumsi daya
yang lebih tinggi dan efisiensi rendah., risiko pembakaran spontan, serta biaya
transportasi yang meningkat. Jumlah karbon dioksida diproduksi per MWh
dengan pembakaran batubara coklat sepertiga lebih tinggi dari pada bara hitam
yang terbakar (Yu dkk., 2013). Akan tetapi sedikit keuntungan dari batubara
peringkat rendah adalah harganya relatif murah 20-30% lebih murah daripada
batubara kelas tinggi (Rao dkk.,2015). Pengeringan dan pembersihan sebelum
penggunaan lignit sangat dibutuhkan untuk menghemat energi dan
meningkatkan efisiensi energi. Karena batubara peringkat rendah adalah
batubara muda dan mengandung lebih banyak oksigen yang mengandung
gugus fungsi, maka hidrofobisitas permukaan rendah. Kualitas lignit lebih
rendah dari batubara tingkat menengah / tinggi, seperti bitumen dan batubara
antrasit (Xia dkk., 2015).
Akibat dari kadar air yang tinggi tersebut yaitu sekitar 45-46% berat,
nilai kalori batubara muda atau lignit menjadi rendah. Nilai kalor adalah
banyaknya panas yang dapat dilepaskan oleh setiap kilogram batubara jika
dibakar sempurna. Kandungan air yang tinggi juga bermasalah karena
menaikkan biaya transportasi, menurunkan nilai kalori, dan mempersulit
penanganan dan operasi penggilingan (Niksa dan Krishnnakumar, 2015)

4
Selain itu karakteristik pembakaran seperti suhu rata-rata nyala api dan daerah
pembakaran digunakan sebagai parameter tiap jenis batubara. Salah satu batu
bara jenis rendah dari Indonesia tercatat memiliki nilai kalori sebesar 17,4
MJ/kg atau setara dengan 4108,15 kkal/kg. Sedangkan nilai kaori batu bara
jenis tinggi yang berasal dari Australia sebesar 25.8 MJ/kg atau setara dengan
6162.22 kkal/kg (Moon dkk., 2013).
Berdasarkan ketersediaannya di alam, terdapat pula bioenergi dengan
sifat yang lebih dapat diperbaharui. Bioenergi atau biofuel merupakan energi
yang diperoleh dari biomassa (Baker dan Herson, 2012). Biomassa adalah
salah satu jenis bahan bakar padat selain batubara yang berasal dari
sumber-sumber hayati seperti dari daun, rumput, limbah pertanian,
limbah perkebunan dan juga limbah rumah tangga (Borman dan Ragland,
2008). Biomassa dan batubara adalah bahan bakar padat yang memiliki
karakteristik yang berbeda. Bioenergi dianggap sebagai sumber energi rendah
karbon yang menarik karena mendukung konversi biomassa ramah lingkungan
menjadi bioenergi, dan memiliki emisi CO2 yang rendah. Dengan sedikit
kerusakan pada lingkungan, emisi gas rumah kaca yang lebih rendah dan lebih
besar keamanan energi. biofuel mungkin menyebabkan masalah bagi produksi
pertanian, seperti kebutuhan lahan dan air yang cukup besar untuk
menghasilkan bahan baku biomassa, akibat dari itu kebutuhan yang biofuel
yang cukup banyak dapat meningkatkan harga pangan dan mengurangi akses
terhadap makanan atau produk hasil dari hewan maupun tumbuhan dengan
harga murah (Lee dkk., 2016). Negara-negara di dunia telah memberi banyak
perhatian pada energi non-fosil, terutama, bahan bakar bersih biomassa
terbarukan (Chen dkk., 2017). Potensi limbah biomassa terbesar adalah
dari limbah kayu hutan, limbah padi, jagung, ubi kayu, kelapa, kelapa sawit
dan tebu.
Sebagai negara agraris, indonesia juga memiliki produksi hasil pertanian
maupun perkebunan yang berlimpah dan bermacam-macam. Hampir semua
jenis tanaman tropis terdapat di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian
Pertanian, per tahun 2013 luas sawah Indonesia sebesar 8.112.103 Ha dan
perkebunan seluas 11.876.881 Ha. Dengan data luas yang telah dipaparkan,

5
dapat dilihat bahwa Indonesia telah menanami hampir 20.000.000 tanah
perkebunan dan pertanian. Salah satu komoditas perkebunan terbesar
Indonesia yaitu tebu yang memiliki nilai produksi menurut data statistik
perkebunan Indonesia oleh Direktorat Perkebunan Indonesia tahun 2017
mencapai 2.465.450 ton. Produksi tebu untuk perindustrian gula pun memiliki
nilai yang cukup besar pula. Namun pada dasarnya setiap produk yang
dihasilkan suatu industri tidak serta merta tanpa masalah. Permasalahan akhir
yang paling sering dialami oleh suatu industri adalah by-product ataupun
limbah yang dapat mencemari lingkungan (Supriyatna dkk., 2014).
Dalam produksinya, industri gula memiliki hasil-hasil samping atau
limbah yang sampai saat ini belum tertangani dengan serius. Salah satu dari
limbah-limbah tersebut adalah blotong. Blotong atau disebut “filtermud”
adalah kotoran nira tebu dari proses pembuatan gula yang disebut sebagai
byproduct. Persentase blotong yang dihasilkan dari tiap hektar pertanaman
tebu yaitu sekitar 4-5%. Kotoran nira ini terdiri dari kotoran yang dipisahkan
dalam proses penggilingan tebu dan pemurnian gula. Di antara limbah pabrik
gula yang lain, blotong merupakan limbah yang paling tinggi tingkat
pencemarannya dan menjadi masalah bagi pabrik gula dan masyarakat.
Limbah ini biasanya dibuang ke sungai dan menimbulkan pencemaran karena
di dalam air bahan organik yang ada pada blotong akan mengalami penguraian
secara alamiah, sehingga mengurangi kadar oksigen dalam air dan
menyebabkan air berwarna gelap dan berbau busuk (Leovici, 2012). Akan
tetapi blotong kaya akan metana yang merupakan sumber utama biogas.
Blotong biasanya dibuang sebagai sampah. Beberapa industri gula
memanfaatkannya dengan mengubahnya menjadi kompos. Tapi kompos ini,
beserta kelebihannya, memiliki beberapa kelemahan pula, yaitu meningkatkan
kandungan lilin di dalam tanah. Peningkatan lilin mengurangi porositas tanah
menyebabkan penyumbatan yang tidak diinginkan (Agrawal dkk., 2010).
Limbah blotong jika dibuang ke sungai maka akan menyebabkan kadar
oksigen terlarut dalam air akan berkurang sehingga dapat menyebabkan air
menjadi keruh, gelap dan berbau kurang sedap, karena bakteri merombak
bahan organik menjadi senyawa sederhana. lilin 9-14%, minyak, dan resin,

6
protein 10-18%, selulosa 11-17%, hemiselulosa 15-27% dan lignin 9 - 14%
Juga mengandung 0,6-3% P2O5, Ca 2-7%, 0,2-0,3% Fe, 0,3-0,4% K, 0,2-0,3%
Mg, 0,01-02% Zn dan 0,04-0,05% Mn. Selain itu memiliki nilai total karbon
organic sekitar 122,5 gram per 1 kg blotong (Gonzalez, 2014). Namun, nutrisi
lain yang diperlukan untuk methanogen seperti belerang, kobalt dan nikel
hilang atau mendekati batas terendah yang direkomendasikan (Demirel dan
Scherer, 2011).
Pemadatan bahan mudah terbakar atau pembuatan briket untuk tujuan
pembuatan bahan bakar telah menjadi teknologi yang banyak digunakan oleh
banyak negara. Pencampuran biomassa dan batubara dalam produksi briket
akan memberi produk kualitas yang lebih baik seperti sifat pembakaran yang
baik dibandingkan dengan penggunaan batubara mentah atau serbuk gergaji
saja (Pierrick dan Rolf, 2004). Umumnya produksi briket bahan bakar
diaplikasikan untuk keperluan rumah tangga dan aplikasi industri. Briket yang
banyak digunakan di beberapa negara dibagi menjadi beberapa jenis umum
yaitu antara lain briket biomassa, briket batubara, briket arang batubara dan
sebagainya. Namun baru-baru ini terjadi perkembangan untuk memadukan
batubara dan biomassa limbah agro yang mana briket jenis ini dilansir
memiliki sifat pembakaran dan polutan yang lebih baik dibandingkan dengan
briket batubara konvensional. Jenis briket ini dikenal sebagai bio-briket
batubara. Bio briket batubara adalah jenis bahan bakar padat yang dibuat
dengan memadatkan batu bara bubuk, biomassa dan pengikat, terkadang
terdapat sejumlah dikit agen fraksi belerang. Pada produksinya bio briket
batubara diberi tekanan tinggi untuk memastikan agar batubara dan partikel
memiliki tingkat kesolidan yang tinggi dan menyatu dengan kuat. Salah satu
kekuatan pendorong utama di balik teknologi ini adalah kebutuhan untuk
mengatasi degradasi lingkungan dan bahaya kesehatan ireversibel yang terkait
dengan penggunaan bahan bakar padat seperti kayu bakar dan batu bara dan
juga cara yang efektif untuk mengelola limbah agro (Onuegbu dkk., 2010).
Briket dari campuran batubara dan biomassa memiliki beberapa kelebihan
karena tingginya kadar senyawa volatil dari biomassa dan tingginya
kandungan fixed carbon dari batubara. Namun, beberapa jenis biomassa

7
mempunyai kadar abu yang relatif tinggi sehingga penggunaannya
sebagai bahan bakar dapat menimbulkan kendala tersendiri (Bahillo dkk.,
2003).
Sampai saat ini, konsumsi batubara sebagai bahan bakar terutama di
dunia industri sangatlah besar, karena penggunaan batubara sebagai bahan
bakar tunggal dan tidak adanya teknologi lebih lanjut dalam pemanfaatannya.
Oleh karena itu diperlukan inovasi pemanfaatan batubara yang lebih variatif
dengan adanya kombinasi yang memanfaatkan limbah sebagai bahan
tambahan guna menunjang energi bersih dan pemenuhan energi untuk
kehidupan masyarakat. Dengan segala pertimbangan yang ada, pembuatan
biobriket batubara dengan blotong dapat dikombinasikan dan memberikan
jawaban atas permasalahan terkait dengan keenergian yang meliputi kualitas
bahan bakar yang memenuhi dan tidak merusak lingkungan secara signifikan.

1.2 Perumusan Masalah


Batubara saat ini masih menjadi salah satu sumber energi utama di
Indonesia. Konsumsi batubara sebagai bahan bakar terutama di dunia industri
sangatlah besar, yang mengakibatkan persediaan batubara semakin menipis
karena penggunaan batubara sebagai bahan bakar tunggal dan tidak adanya
teknologi lebih lanjut dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu diperlukan
inovasi pemanfaatan batubara yang lebih variatif dengan kombinasi bahan lain
agar presentase batubara yang digunakan dapat dikurangi dengan
memanfaatkan limbah sebagai bahan tambahan sebagai salah satu bentuk
penghematan.
Tebu sebagai salah satu komoditas perkebunan terbesar di Indonesia
secara otomatis dapat menunjang kebutuhan produksi gula nusantara. Dengan
jumlah produksi gula oleh tebu yang tinggi, maka semakin tinggi pula limbah
yang akan tercipta. Salah satu limbah industri gula yang jumlahnya cukup
besar adalah blotong. Blotong biasanya dibuang ke sungai dan akan
menimbulkan pencemaran lingkungan. Ekosistem sungai menjadi rusak,
akibatnya aliran air sungai menjadi tidak sehat bagi perikehidupan makhluh
hidup. Maka diperlukan sebuah perlakuan untuk mengurangi pencemaran

8
tersebut untuk menjaga kelestarian lingkungan. Perpaduan batubara dengan
biomassa dapat menjadi faktor peningkatan kualitas bahan bakar batubara.
Pada penelitian yang dilakukan Onuegbu (2010), didapatkan hasil analisis
biobriket batubara dengan pati singkong bahwa pengapian, laju pembakaran
dan pengurangan emisi asap menunjukkan perbaikan dengan meningkatnya
konsentrasi biomassa. Berdasarkan data batubara dan blotong yang telah ada,
batubara memiliki nilai kalor lebih tinggi jika dibandingkan dengan blotong.
Namun nilai titik penyalaan batubara lebih rendah dibandingkan blotong.
Dengan perbedaan karakteristik tersebut, penggunaan biobriket batubara
blotong diharapkan mampu menjadi bahan bakar tanpa mengurangi nilai kalor
dari batubara.

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mempelajari pengaruh komposisi penambahan blotong terhadap nilai kalor
biobriket batubara
2. Mempelajari pengaruh jenis perekat terhadap nilai kalor biobriket batubara
3. Mempelajari pengaruh komposisi penambahan blotong terhadap kadar air
dan abu biobriket batubara
1.4 Manfaat Penelitian
1. Mengetahui bagaimana pengaruh komposisi penambahan blotong terhadap
nilai kalor biobriket batubara
2. Mengetahui bagaimana pengaruh jenis perekat terhadap nilai kalor
biobriket batubara
3. Mengetahui bagaimana pengaruh pengaruh komposisi penambahan
blotong terhadap kadar air dan abu biobriket batubara

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Kandungan Limbah Blotong


Blotong adalah residu padat, diperoleh dari sari tebu sebelum kristalisasi
gula. Sifat blotong yang mudah menimbulkan bau busuk. Blotong oleh
masyarakat, biasanya digunakan sebagai bahan utama pembuatan pupuk dan
sebagai bahan pembuatan briket. Akan tetapi pemanfaatannya masih belum
maksmimal sehingga blotong masih menjadi masalah yang serius bagi
pabrik gula dan masyarakat sekitar. Dimusim hujan, tumpukan blotong
basah, sehingga menebarkan bau busuk dan mencemari lingkungan
(Gonzalez, 2015).
Sifat bahannya lembut, kenyal, ringan, amorf, coklat tua sampai hitam.
Kelembabannya kurang lebih 60-85% dengan basis w/w. Komposisi kimianya
bergantung pada varietas tebu, kondisi tanah, nutrisi yang diterapkan di
lapangan, proses klarifikasi yang digunakan dan faktor lingkungan lainnya
(Agrawal, 2010).
Kandungan senyawa yang terkandung dalam blotong dapat dilihat pada
tabel 2.1 berikut ini (Agrawall, 2010).
Tabel 2.1 Prosentase Kandungan Blotong
Senyawa Prosentase (%)
Selulosa 11,4
Lignin 9,3
Protein 15,5
Volatile matter 76,6
Rasio C/N 14
Kadar air 60-85

Blotong juga mengandung sejumlah mikronutrien dan efeknya dapat


mencegah erosi, pengerasan dan peretakan pada permukaan tanah, dapat
membantu mengatur pH tanah, memperbaiki drainase dan membantu

10
pertumbuhan bakteri dan mikroba normal di dalam tanah (Swamy dan
Krishna., 2012)
2.2 Batubara Lignit
Batubara merupakan batuan sedimentasi yang mudah terbakar yang
tersusun atas karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur dan beberapa elemen
dalam jumlah yang sedikit. Energi yang terkandung dalam batubara awalnya
adalah energi yang terkandung dalam tumbuhan yang memiliki komposisi
karbon dalam pati, glukosa dan selulosa. Tumbuhan yang telah mati dan
puing-puing zat organik yang terakumulasi di rawa, di keadaan anoksik,
puing-puing dasar mendapatkan tekanan dan mengalami dekomposisi
bertingkat, maka selulosa dari tumbuhan berubah secara kimiawi,
menghasilkan karbon dioksida, metana, air, dan gambut. Batubara
diklasifikasikan dengan peringkat berdasarkan prosentase karbon tertambat
dan nilai kalor. Karbon tertambat adalah residu karbon yang tersisa ketika
batubara dipanaskan tanpa pembakaran untuk menghilangkan volatile matter
atau zat terbang (Crowell, 2008). Berdasarkan American Society for Testing
and Materials atau ASTM pada tahun 2015, klasifikasi batubara berdasarkan
kualitasnya adalah sebagai berikut:
1. Rank Anthracitic
Merupakan jenis batubara paling tinggi, merupakan batubara
berkualitas paling baik dimana persentase kandungan fixed carbonnya
berkisar 86% - 98%. Terdiri atas beberapa grup:
a. Meta – Anthracite ; Merupakan grup batubara pada rank
anthracite yang memiliki kualitas paling baik, dimana
kandungan fixed carbonnya bisa mencapai >98% serta persentase
kandungan volatile matternya <2% (dalam keadaan dry).
b. Anthracite ; Merupakan grup batubara pada rank anthracite yang
mengandung persentase fixed carbon >92% - <98% serta
persentase kandungan volatile matternya >2% - <8% (dalam
keadaan kering).
c. Semi – Anthracite ; Merupakan grup batubara pada rank
anthracite yang mengandung persentase fixed carbon >86% -

11
<92% serta persentase kandungan volatile matternya >9% -
<14% (dalam keadaan kering).
2. Rank Bituminous
Merupakan jenis batubara yang memiliki persentase fixed carbon
sebesar <69% - <86% serta persentase kandungan volatile matter >32% -
<22%. Terdiri atas beberapa grup :
a. Low - Volatile Bituminous ; Merupakan grup batubara dalam
rank bituminous yang mengandung persentase fixed carbon
sebesar >78% - <86% serta persentase kandungan volatile
matternya sebesar >14% - <22% dalam keadaan dry.
b. Medium – Volatile Bituminous ; Merupakan grup batubara dalam
rank bituminous yang memiliki kandungan fixed carbon sebesar
>69% - <78% serta persentase kandungan volatile matter sebesar
>22% - <31% dalam keadaan dry.
c. High – Volatile A Bituminous ; Merupakan grup batubara dalam
rank bituminous yang memiliki persentase fixed carbon sebesar
<69% , persentase kandungan volatile matternya sebesar >31%,
serta nilai kalorinya >14000 BTU/lb dalam keadaan dry.
d. High – Volatile B Bituminous ; Merupakan batubara dalam rank
bituminous yang mempunyai nilai kalori sebesar >13000 BTU/lb
- <14000 BTU/lb dalam keadaan dry.
e. High – Volatile C Bituminous ; Merupakan batubara dalam rank
bituminous yang mempunyai nilai kalori sebesar >11500 BTU/lb
- <13000 BTU/lb dalam keadaan dry.
3. Rank Subbituminous
Merupakan jenis batubara yang mengandung nilai kalori >8300
BTU/lb - <11500 BTU/lb. Terdiri atas beberapa grup :
a. Subbituminous A ; Merupakan batubara dalam rank
subbituminous yang mempunyai nilai kalori sebesar >10500
BTU/lb - <11500 BTU/lb dalam keadaan dry.

12
b. Subbituminous B ; Merupakan batubara dalam rank
subbituminous yang mempunyai nilai kalori sebesar >9500
BTU/lb - <10500 BTU/lb dalam keadaan dry.
c. Subbituminous C ; Merupakan batubara dalam rank
subbituminous yang mempunyai nilai kalori sebesar >8300
BTU/lb - <9500 BTU/lb dalam keadaan dry.
4. Rank Lignitic
Merupakan peringkat batubara yang paling rendah dan memiliki
kualitas rendah dengan nilai kalori <6300 BTU/lb - <8300 BTU/lb. Terdiri
atas beberapa grup :
a. Lignite A ; Merupakan grup batubara dalam rank lignitic yang
mempunyai nilai kalori sebesar >6300 BTU/lb - <8300 BTU/lb
(dalam keadaan dry).
b. Lignite B ; Merupakan grup batubara dalam rank lignitic yang
mempunyai nilai kalori <6300 BTU/lb dalam keadaan dry.
Batubara peringkat rendah yang akan dimanfaatkan menjadi bio-briket
adalah batubara jenis lignit. secara mikrostruktural, molekul batubara
peringkat rendah memiliki ciri-ciri sebagai berikut, cincin aromatik yang
kurang kental, rasio H/C tinggi, memiliki banyak rantai alifatik, jumlah
oksigen yang besar, terutama dalam bentuk hidroksil polar yaitu fenol dan
alkohol, karbonil dan beberapa jenis peroksida beroksigen. Kelompok
fungsional hidrofilik ini menurunkan hidrofobisitas batubara peringkat rendah.
Selanjutnya ada banyak atom oksigen dan nitrogen di permukaan batubara
peringkat rendah, yang mudah terionisasi menjadi bermuatan negatif dan
kemudian menghasilkan film hidrasi yang stabil. Hidroksil dan karbonil
permukaan batubara juga dapat diionisasi (Chen dkk., 2017).
Beberapa analisis batubara yang penting sebagai parameter kualitas
batubara antara lain yaitu:
1. Karbon Tertambat atau fixed carbon, merupakan karbon padat yang
terdapat daam material dan tertinggal setelah zat terbang dihilangkan.
Karbon ini berbeda dengan kandungan karbon hasil uji ultimat (Rasheed
dkk., 2015).

13
2. Hidrogen, lignit memiliki kandungan hidrogen yang lebih tinggi.
Semakin tinggi konsentrasi hidrogen dalam suatu batubara, maka
semakin tinggi pula kelembaban residu, mineral hidrat dan metana
(Rasheed dkk., 2015).
3. Oksigen, lignit memiliki kandungan oksigen yang lebih tinggi.
Konsentrasi oksigen yang meningkat akan mengakibatkan nilai
kelembaban dan mineral yang terhidrasi lebih tinggi, sebagai hasil
pelapukan batubara tingkat lanjut. Berkurangnya kandungan oksigen
pada pembentukan batubara karena penurunan gugus fungsional yang
mengandung oksigen dan penurunan aromatikitas (Rasheed dkk., 2015).
4. Kadar air atau moisture, merupakan unsur penyusun yang tidak
diinginkan karena mengurangi nilai pemanasan. Semakin tinggi nilai
kadar air maka semakin rendah kualitas batubara tersebut (Rasheed dkk.,
2015).
5. Kadar Abu atau Ash Content, merupakan residu yang tertinggal dan
tidak mudah terbakar. Hasil abu yang tinggi biasanya ditandai oleh
pasokan material detrital yang melimpah di rawa. Dimana material
autogenik mendominasi batubara rendah abu, sedangkan proporsi dari
mineral detrital berkurang dan konsentrasi unsur yang terikat secara
organic meningkat dengan peningkatan kadar abu (Rasheed dkk., 2015).
6. Zat terbang atau Volatile matter, merupakan komponen batubara kecuali
kelembaban, yang bebas pada suhu tinggi pada ketiadaan udara yang
mana biasanya merupakan campuran dari rantai hidrokarbon yang
pendek dan panjang, hidrokarbon aromatik dan sulfur. Zat terbang yang
tinggi mengakibatkan nyala api yang lama. Semakin tinggi zat terbang
maka mengarah pada batubara lignit (Rasheed dkk., 2015).
7. Nilai kalor atau caloric value, merupakan suatu satuan panas atau energi
dari batubara. Nilai kalor berhubungan langsung dengan karbon
tertambat. Semakin tinggi kandungan karbon tertambat, semakin tinggi
nilai kalor dari batubara tersebut. Sehingga kualitas batubara tersebut
semakin baik (Rasheed dkk., 2015).

14
Dengan berbagai parameter penunjang data batubara yang telah disebutkan
diatas, menurut Elliott, (2001), kandungan batubara lignit dapat dilihat pada
Tabel 2.2 seperti dibawah ini (Elliott, 2001).
Tabel 2.2 Kandungan Batubara Lignit
Kandungan Jumlah

Karbon Tertambat (% berat) 35-45

Hidrogen (% berat) 5-6

Oksigen (% berat) 15-18

Kadar Air (% berat) 10-30

Kadar Abu (% berat) 4-6

Zat terbang (% berat) 30-40

Nilai Kalor (Btu/lb) >8200-11200

Salah satu kandungan yang paling disoroti dalam batubara yaitu kadar
air. Kadar air dalam batubara dapat disimpan dengan beberapa kondisi yaitu,
sebagai film, di permukaan setiap partikel batubara, dan di celah antar partikel
yang ditahan oleh kekuatan kapiler. Atau tertahan di dalam partikel batubara.
Kelembaban yang tertahan ini bisa berupa kelembaban bebas seperti pada
spons, atau kelembaban higroskopik yang bervariasi dengan kondisi atmosfir.
Bentuk kelembaban terakhir ini sangat umum terjadi pada bara muda yaitu
subbituminus dan lignit. (Chandralal dkk., 2014).

2.3 Briket Batubara


Briket merupakan bahan bakar padat dapat dibuat dari biomassa yang
mengandung karbon dengan nilai kalor cukup tinggi dan dapat menyala
dalam waktu yang lama. Briket adalah salah satu usaha konversi batubara.
Karbon mempunyai susunan kimia yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen,
oksigen dan komponen mineral non organis (Lubis, 2008). Briket juga
dapat terbuat dari residu karbon yang digunakan untuk pembakaran dan
kegunaan lain yang berhubungan. Pemanfaatan briket sebagai energi alternatif

15
merupakan pilihan yang tepat untuk menghadapi kelangkaan energi yang
berasal dari minyak bumi (Tsoumis, 1991). Penggunaan briket sebagai bahan
bakar lebih murah 65% dari sumber energi pemanas dari jenis minyak tanah,
gas, dan kayu. Suatu bahan bakar akan murah jika bahan baku yang digunakan
banyak tersedia dan teknologi yang digunakan untuk mengolahnya sederhana
(Nodali, 2009). Keunggulan lain briket dari biomassa merupakan energi yang
dapat diperbaharui atau renewable dan dapat diproduksi secara berkelanjutan.
Penggunaan bahan bakar briket dapat mengurangi penggunaan kayu bakar dan
penggunaan BBM. Pemanfaatan briket sebagai bahan bakar dapat menghemat
waktu dan biaya karena briket mempunyai nilai kalor yang relatif tinggi
Karakteristik briket dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bahan
baku, waktu dan suhu karbonisasi, serta jenis dan jumlah bahan perekat
(Hilmi, 2011). Biobriket yang berkualitas mempunyai ciri antara lain tekstur
halus, tidak mudah pecah, keras, aman bagi manusia dan lingkungan serta
memiliki sifat-sifat penyalaan yang baik. Sifat penyalaan ini diantaranya
mudah menyala, waktu nyala cukup lama, tidak menimbulkan jelaga, asap
sedikit dan cepat hilang serta nilai kalor yang cukup tinggi (Jamilatun,
2008).
Faktor yang menentukan karakteristik kekuatan kokas metalurgi, anoda
dan briket sangat banyak dan kompleks. Tidak ada satu hal pun dari struktur
yang bisa digunakan untuk memprediksi kekuatan secara akurat, namun
biasanya dianggap sebagai daya tahan terhadap degradasi ukuran. Kekuatan
tensil dapat dihubungkan secara matematis dengan parameter struktural pori.
Namun, bukan persentase porositas dalam material rapuh tidak terlalu
berpengaruh, yang memiliki pengaruh lebih besar adalah ukuran pori dan
bentuk pori. Ukuran partikel batubara umpan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi kekuatan komposit model. Dengan demikian ukuran partikel
yang berbeda dari berbagai jenis batubara dalam campuran optimum dapat
menurunkan nilai karakteristik kekuatan dari briket yang dihasilkan (Speight,
2012).

16
2.4 Molase
Salah satu hasil perkebunan yang cukup besar di Indonesia adalah
tebu. Tebu biasanya digunakan sebagai bahan dasar pembuatan gula pasir.
Oleh karena itu, banyak dijumpai pabrik pembuatan gula pasir dari tebu.
Molase merupakan hasil samping pabrik gula pasir berupa cairan seperti
kecap dan beraroma khas yang diperoleh setelah sakarosanya dikristalkan
dan dipisahkan dari sari gula tebu (Shinogi dan Yutaka, 2003). Molase sebagai
salah satu limbah pertanian banyak digunakan sebagai sumber gula untuk
produksi bioethanol karena harganya murah, ketersediaan, dan kandungan
gula yang tinggi. Molase memiliki kadar gula tinggi, terutama sukrosa sebesar
32%, fruktosa sebesar 16%, dan glukosa sebesar 14% (Hidayat dkk., 2006).
Molase dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Cane-molasses, merupakan molasses yang memiliki kandungan 25-40
% sukrosa dan 12 – 25 % gula pereduksi dengan total kadar gula 50–
60 % atau lebih. Kadar protein kasar sekitar 3 % dan kadar abu sekitar 8–
10 %, yang sebagian besar terbentuk dari K, Ca, C1, dan garam sulfat
(Wardani dan Susila, 2014).
2. Beet-molasses, kadar air dalam cairan molasses yaitu 15 – 25 % dan
cairan tersebut berwarna hitam serta berupa sirup manis (Wardani dan
Susila, 2014)
2.5 Kanji
Tepung tapioka, tepung singkong, tepung kanji, atau aci adalah
tepung yang diperoleh dari umbi akar ketela pohon atau dalam bahasa
indonesia disebut singkong. Tapioka memiliki sifat-sifat yang serupa
dengan sagu, sehingga kegunaan keduanya dapat dipertukarkan. Tepung
ini sering digunakan untuk membuat makanan, bahan perekat, dan
banyak makanan tradisional yang menggunakan tapioka sebagai bahan
bakunya. Tapioka adalah nama yang diberikan untuk produk olahan dari akar
ubi kayu (cassava). Analisis terhadap akar ubi kayu yang khas
mengidentifikasikan kadar air 70%, pati 24%, serat 2%, protein 1% serta

17
komponen lain (mineral, lemak, gula) 3%. Tahapan proses yang digunakan
untuk menghasilkan pati tapioka dalam industri adalah pencucian,
pengupasan, pemarutan, ekstraksi, penyaringan halus, separasi,
pembasahan, dan pengering. Kualitas tapioka sangat ditentukan oleh beberapa
faktor, yaitu:
a) Warna tepung; tepung tapioka yang baik berwarna putih.
b) Kandungan air; tepung harus dijemur sampai kering benar
sehingga kandungan airnya rendah.
c) Banyaknya serat dan kotoran; usahakan agar banyaknya serat dan kayu
yang digunakan harus yang umurnya kurang dari 1 tahun karena serat
dan zat kayunya masih sedikit dan zat patinya masih banyak.
d) Tingkat kekentalan; usahakan daya rekat tapioka tetap tinggi.(Whistler,
dkk, 1984).
Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak
kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri.
Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu,
komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi
kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih.
(Whistler, dkk, 1984).
Berikut ini merupakan informasi rinci komposisi kandungan
nutrisi/gizi pada tepung tapioka:
Nama Bahan Makanan : Tepung Tapioka
Nama Lain / Alternatif : Teping Kanji / Tepung Singkong / Tepung Pati
Singkong / Aci.
Menurut Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi DIY,
2012, kandungan nutrisi yang terdapat pada tepung tapioka disajikan pada
Tabel 2.3

18
Tabel 2.3.Kandungan Nutrisi Pada Tepung Tapioka 100 g Bahan Makanan
No. Zat Gizi Kadar
1. Energi 362 kkal
2. Protein 0,5 g
3. Lemak 0,3 g
4. Karbohidrat 86,9 g
5. Kalsium (Ca) 0 mg
6. Besi (Fe) 0 mg
7. Fosfor (P) 0 mg
8. Vitamin A 0 mg
9. Vitamin B1 0 mg
10. Vitamin C 0 mg
11. Air 12 g

2.6 Grinding Batubara


Size reductor adalah proses untuk mengecilkan ukuran menjadi ukuran
yang lebih kecil lagi. Size reductor dapat dibagi menjadi dua kategori
bergantung pada fase material. Jika material tersebut padatan maka proses
tersebut disebut dengan grinding dan cutting. Namun jika proses tersebut pada
fase cairan maka disebut dengan emulsification atau atomization. Banyak
faktor yang menjadi dasar pemilihan dari size reductor misalnya kekerasan,
kelengketan, kelicinan, kelembaban, titik lebur, keabrasifan, struktur material,
ukuran, bentuk, laju perpindahannya dan lain sebagainya (Sushant dan
Archana, 2013).
Batubara perlu dihancurkan sesuai ukuran yang tepat untuk digunakan di
persiapan batubara selanjutnya. Kebutuhan energi dalam proses penghancuran
konvensional meningkat secara drastis dengan ukuran produk yang
diinginkan. Lebih dari 96% energi terbuang untuk melakukan proses grinding.
Dalam proses grinding batubara memiliki tujuan-tujuan lain selain untuk
mengecilkan ukuran, yaitu untuk mengurangi kadar air bebas pada batubara.

19
Grinding batubara dimaksudkan untuk mendapat ukuran batubara yang lebih
halus untuk kemudian ukuran tersebut sebagai parameter dalam pengeringan
fixed bed. Digunakan hammer mill untuk karena Hammer Mills beroperasi
dengan kerjayang baik antara palu dan palang layar. Hammer mill digunakan
untuk mengurangi ukuran material dengan atrisi yang dikombinasikan dengan
metode reduksi perpindahan dan dampak. Dalam sebuah crusher Hammer
Mill, batu bara masuk dari atas dan dilempar dengan keras. Kemudian
batubara dihancurkan denga palu yang ada didalamnya. Penghancur Mill
Hammer menyelesaikan produk dengan ukuran dan ukuran yang diinginkan
dikontrol oleh grates. Mereka memiliki tingkat produksi yang tinggi dan
memiliki akses yang mudah untuk perawatan. Hammer Mill crushers
digunakan untuk menghancurkan Mineral, Batu, Keramik, Batu Kapur,
Industri daur ulang kaca (Gopal dan Suresh, 2014).

2.7 Analisis Proksimat


Setiap jenis batubara memiliki beberapa parameter fisik tertentu yang
sebagian besar dikendalikan oleh kelembaban, kandungan volatil dalam hal
hidrokarbon alifatik atau aromatik dan kadar karbon dan abu yang dievaluasi
sebagai bagian dari analisis langsung. Parameter untuk analisis proksimat
penelitian ini adalah kelembaban, kadar abu dan nilai kalor. Batubara
dikarakterisasi menjadi empat jenis atau jenis utama, yaitu batubara lignit atau
coklat, batubara bitumen atau batubara hitam, antrasit dan grafit. Analisa
proximate ini berguna untuk menentukan rank batubara, rasio pembakaran
(fuel ratio) dan dapat digunakan untuk mengkonversi basis analisa untuk
parameter uji. Masing- masing parameter dalam proximate memiliki prosedur
tersendiri dalam pengujiannya (Rasheed dkk., 2015). Berikut nerupakan uji
proksimat batubara:
1. Analisi kadar air
Tujuan pengeringan batubara adalah untuk menghilangkan kadar air dalam
batubara. Massa yang hilang akibat pemanasan ini dihitung sebagai persen
massa terhadap massa awal yang digunakan, sehingga diperoleh nilai %
moisture pada analysis sampel. Kadar air dalam batubara akan

20
menurunkan panas per-kg batubara, dalam batubara kandungannya antara
0,5% -10% dari beratnya. Analisa kadar air dilakukan dengan menimbang
batubara basah dan kering lalu dihitung selisihnya (Simorangkir, 2016).
2. Analisi Kadar Abu
Kandungan abu merupakan ukuran kandungan material dan berbagai
material anorganik didalam benda uji. Sampel batubara benar-benar
terbakar dan bahan abu ditunjukkan sebagai persentase berat asli, sehingga
membuat analisis menjadi cukup baik. Analisa kadar abu dilakukan pada
furnace (Ikwuagwu dan Uzoegbu, 2017).
3. Analisis Nilai Kalor
Untuk nilai kalor pada batubara digunaka bomb calorimeter. Dalam
metode isothermal, sampel batubara yang dibebani dibakar dalam oksigen
dalam kondisi terkendali dan nilai kalor dihitung dari pengamatan suhu
yang dilakukan sebelum, selama dan setelah pembakaran, dengan
tunjangan yang sesuai untuk kontribusi panas. Dalam metode adiabatik,
terdiri dari pembakaran sampel batubara dalam bomb calorimeter
adiabatik dalam kondisi yang sesuia. Nilai kalor dihitung dari pengamatan
yang dilakukan sebelum dan sesudah pembakaran. Nilai yang dihitung
untuk nilai kalor batubara biasanya dinyatakan dalam satuan panas Inggris
per pon, kilokalori per kilogram, atau kilojoule per kilogram (Adekunle
dkk., 2015).

2.8 Penelitian Terdahulu


Berikut merupakan beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait
pembuatan briket batubara yang dijelaskan dalam tabel 2.4

21
Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu
No Referensi Judul Hasil Penelitian
briket yang dibuat dengan
perbandingan perekat dan sampel 3:10
Pembuatan Briket memiliki kadar air paling rendah 6,69%
Dari Campuran pada perbandingan komposisi B:L
Shiami,Maula
Blotong Dan 40:10, jika dibandingkan dengan
ni Anies dan
1. Limbah Padat briket yang dibuat dengan
Mitarlis,(2004
Proses Sintesis perbandingan perekat dan sampel 5:10
)
Furfural Berbahan dan briket dengan variabel perekat
Dasar Ampas Tebu 7:10 memiliki kadar air paling tinggi
16,99% pada perbandingan komposisi
B:L 10:40.
Laju pembakaran paling cepat adalah
pada komposisi 90% sabut kelapa : 10%
batubara, karena semakin banyak
Karakteristik
kandungan volatile matter maka
Pembakaran
Amin semakin mudah untuk terbakar dan
Biobriket
2. Sulistyanto,(2 menyala. temperatur pembakaran
Campuran
006) tertinggi terjadi pada proses pembakaran
Batubara dan Sabut
biobriket dengan komposisi 70% sabut
Kelapa
kelapa : 30% batubara, hal ini
dipengaruhi oleh kandungan nilai kalor
biobriket.
Briket yang digunakan adalah
tempurung kelapa, serbuk gergaji kayu
jati, sekam padi, bonggol jagung,
arang kayu dan batubara. Dan
perekatnya adalah tapioka. Hasilnya
briket dari tempurung kelapa
memberikan nyala bara sampai
Sifat-Sifat
menjadi abu terlama yaitu 116,1
Penyalaan dan
Jamilatun,Siti menit dengan kecepatan pembakaran
Pembakaran Briket
3. (2008) 126,6 gr/s. Sementara nyala bara yang
Biomassa, Briket
paling cepat habis adalah briket
Batubara dan Arang
batubara terkarbonisasi dengan waktu
Kayu
60,57 menit. Kecepatan pembakaran
dipengaruhi oleh struktur bahan,
kandungan karbon terikat dan tingkat
kekerasan bahan. Secara teoritis jika
kandungan senyawa volatilnya tinggi
maka briket akan mudah terbakar
dengan kecepatan pembakaran tinggi.
Onuegbu, Enhancing the bahwa kadar air briket cenderung sedikit
Theresa Properties of meningkat seiring dengan meningkatnya
4.
Uzoma, CoalBriquette konsentrasi biomassa. Selain itu, seperti
(2010) Using Spear Grass yang diharapkan, ada penurunan

22
(Imperata progresif kadar abu. briket sebagai
Cylindrica) konsentrasi biomassa meningkat.
Karena batubara mengandung abu lebih
tinggi dari pada biomassa, mengurangi
konsentrasi batubara akan meningkatkan
konsentrasi biomassa tentu akan
menurunkan kadar abu komposit
ditambah bahwa kuantitas Ca (OH) 2 (
bahan yang tidak mudah terbakar) yang
digunakan sebagai desulfurizer menurun
dengan penurunan kandungan batubara.
Jenis aditif bersamaan dengan jumlah
dan komposisi produk volatil
dekomposisi yang terbentuk selama
proses py-rolysis muatan mempengaruhi
The Influence of
perubahan tekstur dan porositas struktur
Composition of
briket yang terbuat dari HRC. tidak
Zubkova, Coal Briquettes on
5. hanya perbedaan jumlah fasa gas
V.(2014) Changes in Volume
(produk volatil pirolisa) tetapi juga
of the Heated Coal
perbedaan dalam komposisi tersebut
Charge
secara substansial mempengaruhi
perubahan ketebalan (pembengkakan),
porositas struktur, dan ketebalan dinding
briket yang komposisinya sama
Perbandingan komposisi biomassa
dengan bottom ash dan jenis zat
pengikat sebagai variable bebasnya
dan nilai kalor dari biobriket yang
Perbandingan Nilai
dihasilkan sebagai variable terikatnya.
Kalor Biobriket
Hasilnya rata-rata nilai kalor tertinggi
yang
didapat dari rasio perbandingan 70%
Terbuat dari
cangkang kopi dan 30% bottom ash
Bottom Ash
dengan pengikat tetes tebu, yang
Gunawan,Bud Limbah PLTU dan
6. mempunyai nilai kalor sebesar
i dkk.,(2015) Biomassa
2498,27 kal/gr Hal ini dapat terjadi
Cangkang Kopi
karena biomassa yang terkandung dalam
dengan Variasi
rasio perbandingan 70% : 30% lebih
Komposisi dan
banyak sehingga dapat meningkatkan
Jenis Pengikat yang
nilai kalor dari briket tersebut.
Berbeda
Kandungan kalor bahan perekat
menunjukkan bahwa bahan perekat
tetes tebu memiliki nilai kalor yang
lebih tinggi dibanding dengan kanji.
Use of Green Cangkang kerang hijau tanpa kalsinasi
Mussel Shell as a bisa digunakan sebagai desulfurizer
Mahidin
7. Desulfurizer in the dalam pencampuran biomassa batubara
dkk.,(2016)
Blending of Low peringkat rendah. Panas pembakaran
Rank Coal-Biomass dan desulfurizerkonten (didefinisikan

23
Briquette sebagai rasio Ca/S) berpengaruh secara
Combustion signifikan terhadap efisiensi
desulfurisasi. Efisiensi tertinggi dari
desulfurisasi dalam penelitian ini adalah
84,5%. Desulfurisasi dari briket
batubara-PKS peringkat rendah dengan
menggunakan cangkang kerang hijau
sebagai desulfurizer kebanyakan
mengikuti the reaksi orde satu dengan
koefisien determinasi (R2) sekitar 0,97.
Kandungan abu dari sampel briket
meningkat dengan kenaikan persentase
kokas dan pengikat anorganik (batu
Production and gamping dan laterit) yang digunakan
Characterisation of untuk preparasi sampel briket dan ini
Smokeless Bio-coal menyebabkan nilai abu persentase
Nwabue, F. I.
8. Briquettes cukup tinggi untuk briket. Namun,
dkk,(2016)
Incorporating penggunaan pengikat anorganik
Plastic Waste mengkompensasi kekurangan ini karena
Materials membantu menjebak volatil dalam
sampel briket sehingga menghasilkan
pembakaran yang efisien dan tanpa
asap.
Batubara yang diimpregnasi dengan
gliserol menunjukkan kandungan
karbon dan hidrogen yang meningkat
dibandingkan dengan batubara mentah,
sementara kandungan oksigennya
menurun. Selain Selain itu, hasilnya
menunjukkan bahwa rasio O / C untuk
semua batubara yang diimpregnasi
Combustion
dengan gliserol menurun, dan nilai kalor
Lee,Byoung- Behavior of Low-
dari bara yang diimpregnasi dengan
9. Hwa Rank Coal
gliserol adalah sebagian besar 18,8 MJ
dkk.,(2016) Impregnated with
kg, yaitu 1,5 kali lebih tinggi daripada
Glycerol
batubara mentah.Dengan demikian,
dipastikan bahwa semua batubara yang
diimpregnasi dengan gliserol
ditingkatkan dibandingkan dengan
batubara mentah oleh proses produksi,
dan penambahan kuantitas penambahan
biomassa tidak mengurangi nilai
kalorinya.
Proses pengisian briket batubara bisa
Coal Briquette
meningkatkan produktivitas
Nomura, Carbonization in A
10. dibandingkan dengan powder charging.
Seiji, (2016) Slot-Type Coke
Ukuran briket yang lebih besar yang
Oven
terbuat dari campuran batubara memiliki

24
sifat pengeringan rendah sangat
menguntungkan dari sudut pandang
peningkatan produktivitas
Molasses sebagai pengikat murah bisa
secara signifikan meningkatkan
kekuatan briket kering. Sementara itu,
pengeringan ventilasi yang memakan
Coal Tar Pitch and waktu lebih singkat (hanya 1 jam) dan
Molasses Blended membuat briket memiliki kekuatan lebih
Binder for tinggi digunakan sebagai pengganti
Jiang, Tao
11. Production of pengeringan statis untuk melengkapi
dkk,.(2017)
Formed Coal proses pengeringan briket. Selain itu,
Briquettes from atmosfir memiliki pengaruh yang kecil
High Volatile Coal terhadap kekuatan briket dan gas limbah
panas dari produksinya dapat diterapkan
untuk menyelesaikan proses
pengeringan, mengurangi biaya
produksi.

25
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Batubara dipecah menjadi ukuran yang lebih kecil

Batubara di screening agar mendapat ukuran yang


seragam

Dicampur dengan blotong dan perekat


molase/kanji dengan berbagai variasi komposisi

Diaduk sampai tercampur merata

Dipress agar menjadi briket padat

Briket dijemur selama 3 hari

Diuji dengan bomb calorimeter, oven dan furnace

Dianalisis nilai kalor, kadar air dan kadar abunya

Gambar 3.1 Skema Rancangan Penelitian

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
1. Hammer Mill
2. Timbangan
3. Alat press briket
4. Bomb Calorimeter
5. Oven

26
6. Alat pengaduk
7. Tangki pencampuran
8. Ayakan
9. Cawan porselen
10. Furnace

3.2.2 Bahan
1. Blotong 250 gram
2. Molase 75 ml
3. Batubara lignit 250 gram
4. NaOH 25 ml

3.2.3 Rangkaian Alat Penelitian


1. Hammer Mill
Rangkaian alat dari Hammer mill dapat dilihat pada dilihat pada
gambar 3.2

Gambar 3.2 Hammer Mill


2. Alat Press Briket
Alat ini dirancang dengan sistem screw press yang di lengkapi tuas
pemutar untuk memutar plat penahan cetakan dan dongkrak

27
sebagai sumber tenaga tekanan untuk menekan bahan briket
tersebut. Rangkaian alat cetak briket dapat dilihat pada gambar 3.3

Gambar 3.3 Rangkaian Alat Press Biobriket Batubara

3. Bomb Calorimeter
Untuk menentukan nilai kalor dari biobriket batubara digunakan
bomb calorimeter dengan mengendalikan tekanan, aliran panas,
dan isinya. Untuk rangkaian alat bomb calorimeter dapat dilihat
pada gambar 3.4

Gambar 3.4 Rangkaian Alat Bomb Calorimeter

28
3.3 Variabel Proses
3.3.1 Variabel Bebas : - Komposisi blotong vs batubara (%) (15:35);
(20:30) ; (25:25) ; (30:20) ; (35:15)
- Jenis perekat : molase dan tepung kanji

3.3.2 Variabel Terikat : - Konsentrasi NaOH (5%w)


- Tekanan alat Press Briquette: 100 kg/cm2
- Suhu alat Press Briquette: 100oC
- Densitas perekat: 1,47 gr/ml
- Waktu Pengeringan: 3 hari

3.4 Langkah Percobaan


1. Siapkan alat dan bahan
2. Ambil batubara lignit kemudian dihancurkan menjadi ukuran yang lebih
kecil dengan menggunakan hammer mill, kemudian batubara yang telah
terpecah disaring dengan ayakan dengan ukuran 10 mesh agar seragam
3. Kemudian campurkan batubara dan blotong dengan variasi komposisi
(15:35); (20:30) ; (25:25) ; (30:20) ; (35:15) , dan NaOH dengan
komposisi tetap yaitu 5% dengan basis berat 50 gram.
4. Tambahkan variabel perekat berupa molase sebanyak 15% dari basis
kemudian campur sampai homogen.
5. Lakukan hal yang sama pada langkah 6 tetapi ganti perekat molase dengan
kanji dengan presentasi yang sama.
6. Aduk campuran sampai tercampur merata, kemudian padatkan campuran
dengan alat press briquette dan diamkan selama 10 menit.
7. Kemudian keringkan briket dikeringkan dengan pengeringan sinar
matahari selama 3 hari.
8. Lakukan uji kalor dengan bomb calorimeter, uji kadar abu dan air dengan
furnace (tungku).
3.4.1 Uji Kadar Air
Langkah Pengujian
1. Tempatkan benda uji dalam cawan, lalu timbang dan catat beratnya.

29
2. Keringkan dengan menggunakan oven pada suhu 110˚C selama 60 menit
3. Benda uji didinginkan dalam desikator.
4. Lalu cawan yang berisikan benda uji yang telah dikeringkan
didinginkan dalam desikator. Setelah dingin lalu timbang dan catat
beratnya.Besarnya kadar air dihitung dengan rumus :
𝑎−𝑏
Kadar air (%) = x 100%
𝑎

Keterangan:
a : berat sampel awal (gram)
b : berat sampel konstan setelah dikeringtanurkan pada suhu 110oC

3.4.2 Uji Kadar Abu


Langkah Pengujian
1. Panaskan cawan kedalam tungku bersuhu 600oC, dinginkan di desikator
(pengering) kemudian timbang.
2. Letakkan cawan tertutup beserta sisa specimen dari uji kadar air (b
gram)ketungku, bakar sampai semua karbon hilang. Awal mulanya,
panaskan perlahan untuk menghindari kebakaran dan menjaga cawan
dari percikan keras sehingga spesimen utuh. Suhu pembakaran sekitar
500oC selama 24 jam.
3. Letakkan cawan beserta isinya ke desikator, buka tutupnya, dinginkan
dan timbang dengan akurat (C gram).
4. Besarnya kadar abu dihitung dengan rumus :
𝑐
Kadar Abu (%) = 𝑏 𝑥 100%

Keterangan:
b = Berat abu (gram)
c = Berat sampel yang dikeringkan (gram)
3.4.3 Uji Nilai Kalor
Langkah Pengujian
1. Timbang sampel dengan cawan dengan teliti sebanyak 1 gram,
kemudian tempatkan pada tempat cawan.
2. Potong kawat niklin 10 cm, pasang pada katup positif dan negatif pada
tempat cawan dan sentuhkan kawat niklin pada sampel.

30
3. Masukkan perlahan-lahan dalam wadah bomb dan tutup dengan rapat
dan benar (jangan sampai kawat nikelin lepas dari sampel).
4. Isi bak kalorimeter dengan gas oksigen dengan tekanan 20 sampai 30
atm kemudian tutup kran pembuka gas dengan benar (jangan
sampai gas bocor, jika terjadi kebocoran ulangi pengisian gas).
5. Isi tabung/bejana pemanas dengan air 2000 gram (2000 ml) dengan
tepat, masukkan wadan bomb kedalam bejana pemanas dan
hubungkan wadah bomb dengan katup positif dan negatif pada arus.
6. Tutup dengan benar alatnya,pasang termometer khusus bomb
calorimeter dengan benar dan hidupkan pengaduk sehingga suhu
dalam bejana pemanas konstan dan homogen (diaduk selama 5 menit).
7. Tekan tombol pembakar dan amati perubahan suhu awal pembakaran
dan kenaikan suhunya sampai diperoleh suhu konstan (catat suhunya
sebagai suhu akhir).
8. Matikan alatnya, lepas thermometer khusus bomb calorimeter dan
keluarkan reaktornya dan buka kran oksigen sampai oksigen keluar,
kemudian buka reaktor dan bersihkan.
9. Lakukan kalibrasi pembakaran alatdengan mengunakan asam benzoat
sebagai standar seperti langkah kerja diatas, sehingga diperoleh Tara
Energi (W).
Rumus perolehan data : ∆t = T2 – T1
6320xM
W= Δt
𝑊𝑥Δt
E = × kkal/gram
𝑀

Dimana :
6320 : Nilai kalor/1gr asam benzoat
M : Berat massa benzuat
∆t : Suhu asam benzuat
W : Tara Energi
E : Kalor pembakaran

31
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengaruh Penambahan Komposisi Blotong terhadap Nilai Kalor


Biobriket Batubara
Penambahan komposisi blotong dan perekat menunjukkan profil
perubahan nilai kalor (kkal/kg) tiap variabel. Data analisa kadar kalor
biobriket batubara blotong disajikan pada tabel dan gambar 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Analisa Kadar Kalor pada setiap Variabel
No Variabel Kadar Kalor (kkal/kg)
1 I 3.990,72
2 II 4.461,73
3 III 4.606,10
4 IV 4.743,24
5 V 4.795,71
6 VI 4.472,69
7 VII 4.915,82
8 VII 5.767,34
9 IX 5.952,77
10 X 5.981,25

6500
6000
nilai kalor (kkal/kg)

5500
5000
4500 perekat molase
4000 perekat kanji
3500
3000
0 5 10 15 20 25 30 35 40
komposisi blotong (%)

Gambar 4.1.1 Grafik Hubungan Penambahan Komposisi Blotong Terhadap Nilai


Kalor Briket

32
Gambar 4.1.2 Dokumentasi Hasil Pembuatan Briket Batubara
Gambar 4.1.1 menunjukkan penurunan nilai kalor biobriket batubara
seiring dengan penambahan komposisi blotong. Berdasarkan analisa yang
telah dilakukan, kalor batubara yang didapatkan adalah sebesar 3.672,37
kkal/kg. Sedangkan nilai kalor blotong yang didapatkan adalah sebesar
3.451,33 kkal/kg. Penambahan biomasa untuk biobriket batubara dapat
memproduksi briket dengan sifat pembakaran yang lebih baik dan emisi
polutan dibandingkan dengan briket batubara konvensional. Tekanan tinggi
dan pemanasan yang terlibat selama proses kompaksi menunjukkan bahwa
batubara dan partikel-partikel biomassa ditekan dan melekat secara baik.
Sebagai akibatnya partikel antara batubara dan blotong melekat dengan
sempurna (Onuegbu, 2010).
Perlakuan dengan komposisi bahan yang berbeda memberikan pengaruh
yang berbeda sangat nyata terhadap nilai kalor. Perbedaan jumlah nilai kalor
pada masing-masing perlakuan disebabkan oleh perbedaan akumulasi jumlah
nilai kalor yang terkandung pada setiap briket, yang dipengaruhi oleh
komposisi bahan penyusun briket tersebut. Kadar karbon pada batubara
sangat tinggi yang meningkatkan nilai kalor briket (Efrata, 2016). Semakin

33
tinggi kadar karbon terikat akan semakin tinggi pula nilai kalornya, karena
setiap ada reaksi oksidasi akan menghasilkan kalori. Hal ini sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa kualitas nilai kalor briket yang dihasilkan
dipengaruhi oleh nilai kalor atau energi. Dapat dilihat bahwa semakin besar
konsentrasi berat dari blotong akan menurunkan nilai kalor dari biobriket, hal
tersebut dikarenakan karbon tertambat (fixed carbon) dari biobriket semakin
kecil. Sehingga kualitas pembakaran semakin kecil (Hendra dan Winarni,
2003)
Pembakaran batu bara utamanya merupakan pembakaran karbon dan
juga bahan yang mudah menguap. Diketahui bahwa proses pembakaran
utama batubara melibatkan tiga tahap dasar, yaitu:
(1) Pelepasan bahan volatil yang dihasilkan dari pemanasan batubara.
(2) Pembakaran bahan volatil yang dilepaskan.
(3) Pembakaran sisa arang.
(Shen, 2017)
Tergantung pada kondisi pembakaran tertentu, proses pembakaran bahan
volatil dan arang batubara dapat terjadi secara bersamaan, berurutan, atau
dengan beberapa tumpang tindih. Karakteristik biobriket sendiri berubah
seiring dengan penambahan blotong sebagai salah satu campuran biobriket.
Akibatnya karbon yang terkandung dalam biobriket lebih sedikit, dan volatile
matter dari biobriket semakin besar. Dalam biobriket dengan konsentrasi
blotong yang semakin besar menjadikan volatile matter yang semakin besar
dan akan menghambat pembakaran, waktu untuk ignasi karbon didahului
oleh waktu pelepasan volatile matter yang lebih lama dari waktu ignasi dari
batubara asli sehingga nilai kalor pembakaran dari karbonnya semakin kecil
(Shen, 2017).
Reaksi antara batubara dan oksigen adalah reaksi heterogen gas-solid.
Oksigen gas berdifusi ke dalam partikel batubara, diserap, dan bereaksi pada
permukaan pori-pori partikel. Proses heterogen ini seringkali jauh lebih
lambat daripada proses devolatilisasi, yang membutuhkan waktu lebih lama.
Laju proses ini bervariasi menurut jenis batubara, suhu, tekanan, karakteristik

34
arang, (ukuran, luas permukaan, dll.), dan konsentrasi pengoksidasi (Shen,
2017).
4.2 Pengaruh Jenis Perekat terhadap Nilai Kalor Briket

Tabel 4.2 Hasil Analisa Kadar Kalor pada setiap Variabel


No Variabel Kadar Kalor (kkal/kg)
1 I 3.990,72
2 II 4.461,73
3 III 4.606,10
4 IV 4.743,24
5 V 4.795,71
6 VI 4.472,69
7 VII 4.915,82
8 VII 5.767,34
9 IX 5.952,77
10 X 5.981,25

Gambar 4.2. Grafik Hubungan Jenis Perekat Terhadap Nilai Kalor Briket
Dari data yang diperoleh, dapat dilihat jika nilai kalor briket dengan
perekat tepung kanji memiliki nilai kalor yang lebih tinggi daripada briket
dengan perekat molase. Hal ini disebabkan karena kandungan air bawaan
pada perekat. Kandungan air pada molase lebih banyak dari tepung kanji.

35
Kadar air dalam cairan molasses yaitu 15 – 25 %, sedangkan kadar air pada
tepung kanji sekitar 9%. Pada umumnya kadar air yang tinggi akan
menurunkan nilai kalor dan laju pembakaran karena panas digunakan terlebih
dahulu untuk menguapkan air yang terdapat di dalam briket. Kadar air briket
menunjukkan bahwa persen kontribusi yang diberikan oleh tekanan, waktu
penahanan, komposisi limbah, perekat dan suhu pengeringan masing-masing
sebesar 6,97; 43,19; 18,76; 10,65 dan 19,37%. Kadar air yang rendah
menghasilkan nilai kalor yang tinggi dan memudahkan dalam penyalaan
atau pembakaran awalnya (Putro dkk., 2013). Sebaliknya, persentase kadar
air yang tinggi akan menyebabkan nilai kalor briket yang dihasilkan tersebut
menurun dan juga memungkinkan untuk tumbuhnya mikroba. Apabila kadar
air briket semakin tinggi maka jumlah H O yang terkondensasi setelah proses
pembakaran briket dalam silinder bomb calorimeter akan semakin banyak
sehingga akan diperoleh nilai kalor bawah (NKB) briket yang cenderung
semakin rendah karena nilai kalor yang dihasilkan dari proses pembakaran
briket sebagian digunakan untuk menguapkan HO yang masih terkandung
dalam briket dari fase cair ke fase gas (Afriyanto dan Ismayana, 2011).

4.3 Pengaruh Penambahan Komposisi Blotong terhadap Kadar Air dan


……Kadar Abu Biobriket Batubara
4.3.1 Pengaruh Penambahan Komposisi Blotong terhadap Kadar Air Biobriket
Batubara

36
Tabel 4.3 Hasil Uji Kadar Air pada Setiap Variabel Briket
No. Nama variabel Uji kadar air (%)
1 I 16,5
2 II 16
3 III 14,55
4 IV 14,2
5 V 12,75
6 VI 16
7 VII 12,5
8 VII 12,35
9 IX 11,95
10 X 11,3

19

17

15
kadar air (%)

13

11 perekat molase

9 perekat kanji

5
0 5 10 15 20 25 30 35 40
komposisi blotong (%)

Gambar 4.3 Grafik Hubungan Komposisi Blotong terhadap Kadar Air Briket
Berdasarkan hasil analisa, kandungan kadar air briket semakin
bertambah seiring dengan penambahan komposisi blotong. Penambahan
kadar air pada setiap penambahan komposisi blotong disebabkan karena
kandungan air bawaan pada blotong sendiri. Kandungan air pada blotong
berdasarkan analisa adalah 16,95%, sedangkan kandungan air pada
batubara adalah 10,4%. Hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin banyak
penambahan biomassa kedalam pembuatan briket biobatubara maka
kandungan air cenderung semakin tinggi. Kadar air briket menunjukkan

37
bahwa persen kontribusi yang diberikan oleh tekanan, waktu penahanan,
komposisi limbah, perekat dan suhu pengeringan masing-masing sebesar
6,97; 43,19; 18,76; 10,65 dan 19,37%. Karena kadar air biomassa lebih
besar dari kadar air batubara, maka kadar air briket akan semakin
bertambah seiring dengan penambahan komposisi blotong (Putro dkk.,
2013)
4.3.2 Pengaruh Penambahan Komposisi Blotong terhadap Kadar Abu
Biobriket Batubara
Tabel 4.4 Hasil Uji Kadar Abu pada Setiap Variabel Briket
No. Nama variabel Uji kadar abu (%)
1 I 15,74
2 II 16,13
3 III 16.14
4 IV 16,31
5 V 17,19
6 VI 13,98
7 VII 14
8 VII 14,26
9 IX 15,33
10 X 16,74

18
17
16
kadar abu (%)

15
14
perekat molase
13
perekat kanji
12
11
10
10 20 30 40
komposisi blotong (%)

Gambar 4.4 Grafik Hubungan Komposisi terhadap Kadar Abu Briket

38
Gambar 4.4 menunjukkan kenaikan kadar abu biobriket batubara
seiring dengan penambahan komposisi blotong. Berdasarkan analisa yang
telah dilakukan, kadar prosentase abu batubara yang didapatkan adalah
sebesar 30,2%. Sedangkan kadar abu blotong yang didapatkan adalah
sebesar 13%. Kadar abu semakin besar jika jumlah komposisi batubara
semakin banyak yang dikarenakan jumlah kandungan mineral dari
batubara lebih banyak. Faktor jenis bahan baku sangat berpengaruh
terhadap tinggi rendahnya kadar abu briket arang yang dihasilkan (Efrata,
2016).
Abu batubara adalah limbah yang tersisa setelah batubara dibakar
(dibakar). Yang termasuk didalamnya adalah, fly ash serta bahan-bahan
kasar yang jatuh ke bagian bawah furnace setelah pembakaran. Abu
merupakan material anorganik yang tidak mudah terbakar yang tersisa
setelah pembakaran batubara. Abu batubara mengandung berbagai logam
berat pekat, termasuk banyak bahan kimia karsinogenik dan neurotoksin
yang diketahui seperti arsenik, kadmium, kromium heksavalen, timbal,
merkuri dan selenium yang sangat merusak kesehatan dan lingkungan
(Howladar, 2013).
Unsur kimia abu batubara dapat mencakup nitrogen, belerang,
karbon yang tidak terbakar, logam berat, unsur radioaktif, dan hidrokarbon
aromatik polisiklik. Bahan mineral atau bahan anorganik selalu ada dalam
batubara dan membentuk residu abu ketika batubara dibakar. Abu batubara
umumnya memiliki berat kurang dari bahan mineral dari mana ia berasal,
karena konstituen tertentu hilang dalam proses penggerusan atau
pembakaran. Banyak mineral silikat dalam batubara mengandung air
kemudian dihilangkan dalam proses hidrasi, pirit (FeS2) dikonversi
menjadi oksida besi (Fe2O3) dan kalsit (CaCO3) didekomposisi menjadi
kalsium oksida (CaO), dengan kehilangan karbon dioksida (CO2). Bagian
dari sulfur pirit dipertahankan dalam abu sebagai kalsium sulfat (CaSO4).
Abu Batubara utamanya terdiri dari senyawa silikon, aluminium, besi dan
kalsium dengan jumlah yang lebih kecil dari senyawa magnesium,
titanium, natrium dan kalium. Mereka muncul dalam abu sebagai

39
campuran silikat, oksida dan sulfat dengan sejumlah kecil fosfat dan
senyawa lainnya. Komposisi abu dari batubara yang berbeda sangat
bervariasi, tergantung pada jumlah tanah liat, serpih, pirit, kalsit, dan
mineral lain yang ada dalam batubara (Howladar, 2013).
Kadar abu merupakan salah satu parameter tingkatan batubara.
Semakin kecil kadar abu yang tergantung, maka batubara tersebut akan
semakin baik. Karena abu atau mineral anorganik yang dapat merusak
lingkungan semakin kecil. Selain itu mineral anorganik yang dapat
menutup pori batubara dapat menghambat injeksi oksigen dalam proses
oksidasi, sehingga mengurangi kualitas pembakaran batubara (Howladar,
2013).

40
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Semakin banyak komposisi blotong dalam biobriket maka nilai kalor yang
dihasilkan semakin rendah karena tertambat (fixed carbon) dalam
biobriket semakin kecil. Didapatkan nilai kalor tertinggi pada variabel X
dengan prosentase 35% komposisi blotong, yaitu sebesar 5.981,25 kkal/kg.
2. Briket dengan perekat kanji memiliki nilai kalor yang lebih besar daripada
briket dengan perekat molase karena kandungan air pada kanji lebih
sedikit yaitu 9% dari kandungan air pada molase yaitu sekitar 15-25%.
Kadar kalor tertinggi pada perekat molase pada variabel V yaitu sebesar
4.795,71 kkal/kg. Sedangkan perekat kanji pada variabel X yaitu sebesar
5.981,25 kkal/kg.
3. Penambahan komposisi blotong pada biobriket membuat kadar air
briobriket meningkat dan kadar abunya menurun, karena blotong memiliki
kadar air yang lebih tinggi dibandingkan batubara dan kandungan mineral
yang lebih sedikit dari batubara. Didapatkan nilai air terrendah pada
variabel V dan X dengan prosentase 35% komposisi blotong yaitu sebesar
12,75% dan 11,3%. Sedangkan untuk kadar abu didapatkan kadar
terrendah pada variabel I dan VI, dengan prosentase 15% komposisi
blotong, yaitu sebesar 15,74% dan 13,98%.

5.2 Saran
1. Alat cetak briket yang digunakan untuk mencetak briket sebaiknya
dimodifikasi atau dipasangi alat pengukur tekanan agar peneliti dapat
mengetahui tekanan yang digunakan saat pencetakan briket dan dapat
menyeragamkan tekanan pencetakan yang digunakan sehingga
didapatkan hasil cetakan (briket) yang lebih bagus.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengujian kadar
karbon terikat (fixed carbon), dan kadar zat mudah menguap (volatile

41
matter) pada biobriket agar dapat diketahui lebih detail kualtas dari
biobriket tersebut.
3. Usahakan batubara dan blotong selalu dalam keadaan kering untuk proses
penelitian.

42

Anda mungkin juga menyukai