Anda di halaman 1dari 69

Page:of 29

Automatic Zoom

LAPORAN KASUS
Ileus Obstruktif e.c Ca Colon
DISUSUN OLEH
Aina Ullafa
2010730006
Pembimbing: dr.
Lili K.D
, Sp. B
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
PERIODE 25 Mei – 02 Agustus 2015
RSUD CIANJUR
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015
1
BAB I
KASUS
Nama
: Tn.
E
Usia
:
29
tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
Pekerjaan
:
Freelance
Alamat
:
Ds.
Ramasari
,
Haurwangi
, Cianjur
MRS
:
8
Juli
2015
AUTOANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri perut
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD Cianjur dengan keluhan nyeri perut terus menerus
diseluruh lapang perut, dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Os mengeluh perut
kembung terus menerus. Muntah warna kuning cair. BAB kecil-kecil, nyeri (+),
warna agak kecoklatan, lendir (+), tidak ada darah segar. Kentut (-). Demam (-).
Merasa badan bertambah kurus.7 bulan SMRS os mengatakan BAB cair, warna
kuning, ada lendir, kadang ada darah. Berobat kedokter terdekat sembuh tapi
sering kambuh. 1 bulan SMRS Perut kembung tapi kempes setelah muntah.
Muntah setelah makan, berisi makanan yang dimakan. BAB kecil-kecil, warna
kuning, ada lendir, kadang ada darah.
Riwayat Penyakit Dahulu :
-
Pasien pernah mengalami keluhan
yang
seperti ini sebelumnya.
-
Pasien
mengaku pernah dioperasi akibat kanker usus ±
1 tahun yang lalu
.
2
-
Riwayat Penyakit Keluarga :
-
Riwayat penyakit keganasan di keluarga (+)

Ca
rectum
dialami oleh
ibu
kandung
pasien

meninggal.
-
Riwayat Pengobatan :
-
Sebelum dibawa ke RS
pasien
mengaku berobat ke klinik terdekat
namun tidak ada
perubahan
.
-
Pasien
sering konsumsi jamu-jamuan dan
obat herbal yang didapatkan dari kakak pasien.
-
Pasien tidak pernah minum obat
-obatan penghilang nyeri dan minum obat
dalam jangka
waktu yang lama
.
-
Riwayat Kebiasaan :
-
Pasien mengaku makan tidak teratur, merokok (
+
)
kadang-kadang.
-
PEMERIKSAAN FISIK
-
Keadaan umum
: Tampak sakit
sedang
-
Kesadaran
: Composmentis
-
Tanda vital
:
-
TD
:1
0
0/80 mmHg
-
Nadi
:
80
x/menit
-
Pernafasan
:
2
4
x/meni
t
-
Suhu
: 36,
6
°C
-
Status Generalis
-
K
epala
: normochepal
, rambut hitam, tidak rontok
-
Mata
:
Pupil bulat isokor, diameter 3mm/mm Refleks pupil +/+
-
Konjungtiva anemis
+
/
+
-
Sklera ikterik -/-
-
THT
:
dalam batas normal
-
LEHER
: pembesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-)
-
THORAX
-
Inspeksi
:
normochest, pergerakan dada simetris
.
-
Palpasi
:
tidak ada pergerakan dada yang tertinggal,
nyeri tekan (-), vokal fremitus
sama
simetris
dekstra sinistra.
-
Perkusi
: sonor di seluruh lapangan paru
-
Auskultasi
-
Paru
: vesikular (+/+) normal,
Rhonki (-/-), Wheezing (-/-), stridor (-/-)
-
Jantung
: BJ I dan II murni regular
,
murmur (-), gallops (-)
-
ABDOMEN
-
I
nspeksi :
cembung (+),
distensi
,
scar luka operasi (
+
)
-
Auskultasi : bising usus (+) meningkat, metalic sound (+)
-
P
alpasi : (-) perut distensi tegang untuk dipalpasi
-
Perkusi : hipertimpani seluruh kuadran abdomen
-
Ekstremitas:
-
Superior : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
-
Inferior : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
-
Status Lokalis a/r abdomen
-
A
bdomen tampak abdomen distensi, bising usus (+) meningkat, metalic sound (+),
hipertimpani seluruh kuadran abdomen
.
-
Rectal touche
-
Tonus sfingter ani baik,
ampula
re
cti:
tidak
colaps, permukaan mukosa
licin
tidak
berbenjol-benjol, massa (-), nyeri (
-
)
, feses (-). Sarung tangan:
darah (
-
), lendir (
-
), feses
(
-
).
-
-
-
Resume

Laki-laki, 29 tahun. Nyeri perut terus menerus diseluruh lapang perut, dirasakan sejak 2
minggu SMRS. Os mengeluh perut kembung. Muntah warna kuning cair. BAB kecil-
kecil, warna kuning. Tidak bisa kentut. Merasa badan bertambah kurus. Sejak 7 bulan
SMRS os mengatakan BAB cair, warna kuning, ada lendir. 1 bulan SMRS Perut
kembung tapi kempes setelah muntah. Muntah setelah makan, berisi makanan yang
dimakan. BAB kecil-kecil, warna kuning, ada lendir. Ibu pasien mengalami ca rectum.
gejala nyeri pada kuadran kanan bawah. Diameter yang sempit pada kolon sigmoid
membuat bagian ini sangat rentan terhadap obstruksi.
-
Suplai arteri pada kolon, arteri mesenterika superior bercabang menjadi
arteri ileokolika (sebanyak 20% populasi tidak memiliki arteri ini), yang menyuplai darah
ke ileus terminalis dan kolon asenden proksimal, arteri kolika dekstra, yang menyuplai
darah ke kolon asenden, dan arteri kolika media
yang menyuplai kolon tranversum. Arteri
mesenterika inferior (SMA) bercabang menjadi arteri kolika sinistra yang menyuplai
kolon desenden, beberapa cabang arteri sigmoid, yang menyuplai kolon sigmoid, dan
arteri rektal superior
yang menyuplai rektum proksimal.
Pengecualian pada vena
mesenterika inferior, vena-vena pada kolon mempunyai terminologi yang sama seperti
arteri. Vena mesenterika inferior berjalan naik pada retroperitoneum melewati muskulus
psoas dan berjalan posterior ke pankreas untuk bergabung dengan vena splenika.
-
Pada kolektomi, vena ini di gerakkan secara independen dan di ligasi pada
ujung inferior pankreas. Drainase vena pada kolon transversum proksimal menuju ke
vena mesenterika superior yang begabung dengan vena splenika untuk membentuk vena
porta. Kolon transversum distal, kolon desenden, kolon sigmoid, dan sebagian besar
rektum terdrainase oleh vena mensenterika inferior yang bergerak ke atas menuju vena
splenika.
-
-
II. ANGKA KEJADIAN
-
Adenokarsinoma kolorektum merupakan keganasan yang paling umum
ditemukan pada traktus GI. Lebih dari 150.000 kasus baru di Amerika dan lebih dari
52.000
pasien meninggal tiap tahunnya, hal ini membuat kanker kolorektal menjadi pembunuh
kedua
pada penyakit kanker di Amerika. (American Cancer Society, 2009). Deteksi dini dengan
pengembangan peralatan kedokteran yang mutakhir dianggap dapat membantu untuk
mortalitas
kanker kolorektal dala beberapa tahun terakhir.
-
Kanker
colorectal
merupakan salah satu dari beberapa jenis kanker yang ada di
dunia yang menempati urutan nomor 2 dalam frekuensinya dan merupakan penyebab
kematian
nomor 4 dari kematian karena kanker di dunia. Menurut WHO (2003) CFR akibat kanker
colorectal
52,3% di seluruh dunia pada tahun 2003. Pada tahun 2007 CFR akibat kanker
colorectal
33,94% di seluruh dunia.
-
Berdasarkan survei WHO (2002) di USA, pada tahun 2002 ditemukan CFR akibat
kanker
colorectal
40,56%.8 Pada tahun 2004 Insidens Rate kanker
colorectal
di USA sebesar 48
per 100.000 penduduk.9
The American Cancer Society
(ACS) memperkirakan bahwa pada tahun
2009 sekitar 106.100 (72,2%) penduduk didiagnosa menderita kanker
colon
dan 40.870 (27,8%)
penduduk didiagnosa menderita kanker
rectum
, 75.590 kasus (51,4%) kanker
colorectal
terjadi
pada laki-laki dan 71.380 kasus (48,6%) terjadi pada wanita. CFR akibat kanker
colon
50,1%
dan CFR akibat kanker
rectum
42,3%.
-
Berdasarkan Laporan Profil Kesehatan beberapa negara, kanker
colorectal
di
Australia pada tahun 2003-2004 mencapai 12.536 orang dengan CFR 32,52%. Sedangkan
di
Singapura kanker
colorectal
sebanyak 2.979 orang dengan CFR 22,96%.
-
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2008, neoplasma ganas
colon
di
Indonesia berada pada peringkat 9 dari 10 peringkat utama penyakit neoplasma ganas
pasien
rawat inap di seluruh rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus sebanyak 1.810
dengan
proporsi 4,92%.
-
Laporan data dari Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
RI tahun 2005 kasus kanker
colorectal
di seluruh Rumah Sakit se Indonesia adalah 3.806 kasus
dengan proporsi 8,2% dan tahun 2006 adalah 3.442 kasus dengan proporsi 8,11% dari
seluruh
penyakit kanker.13 Berdasarkan catatan di Rumah Sakit Kanker Dharmais pada tahun
2007,
kanker
colorectal
menempati urutan ke tujuh pada sepuluh besar kanker tersering Rumah Sakit
Kanker Dharmais dengan proporsi sebesar 4,7%. Di RSCM (1996-2001) terdapat 224
kasus
kanker
colon
, terbanyak yaitu 50 kasus pada tahun 2001 yang diperoleh berdasarkan
pemeriksaan
colonoscopy
.
DEFINISI DAN ANATOMI
-
Ca colon adalah kanker yang terjadi pada colon (usus besar).
Kolon mulai
berjalan dari awal ileus terminal dan sekum dan berjalan sepanjang 3 sampai 5 kaki
sampai ke rektum. Perbatasan rektosigmoid dapat ditentukan yaitu ketika tiga
taeniae
coli
membentuk otot polos longitudinal luar rektum. Sekum mempunyai diameter kolon
yang paling lebar (7,5 – 8,5 cm) dan mempunyai dinding otot yang tipis. Hal ini membuat
sekum menjadi rentan terhadap perforasi dan yang paling jarang terjadi obstruksi. Kolon
asenden bagian posterior menempel pada retroperitoneum, sedangkan bagian lateral dan
anteriornya merupakan bagian dari struktur intraperitoneal. “White line of Toldt”
merupakan gabungan antara mesenterium dengan peritoneum posterior. Bagian yang
halus ini membuat pembedah sebagai panduan untuk memobilisasi kolon dan
mesenterium dari retroperitoneum
.
-
Flexura hepatica (flexura coli dextra) menjadi penanda transisi kolon
asenden (panjang 15 cm) menjadi kolon transversum (panjang 45 cm). Kolon
transversum intraperitoneal relatif dapat bergerak, namun terikat dengan ligamentum
gastrokolika dan mesenterium kolon. Omentum majus menempel pada ujung
anterior/superior kolon transversum, hal inilah yang menyebabkan gambaran seperti
segitiga pada kolon tranversum ketika dilihat pada kolonoskopi.
-
Fleksura splenika (flexura coli sinistra) menjadi penanda transisi kolon
transversum menjadi kolon desendens (panjang 25 cm). Ikatan antara fleksura kolika dan
limpa (ligamentum ileokolika) merupakan ligamen yang pendek dan tebal, yang
akibatnya membuat kolektomi menjadi cukup sulit. Kolon desenden umumnya menempel
pada retroperitoneum. Kolon sigmoid bagian dari kolon dengan panjang yang bervariasi
(15 – 50 cm, rata-rata 38 cm) dan diameter yang sempit namun mempunyai pergerakan
yang luas. Meskipun kolon sigmoid terletak pada kuadran kiri bawah, akibiat
mobilitasnya yang hebat dapat berpindah ke kuadran kanan bawah. Pergerakan ini
menjelaskan mengapa volvulus umum ditemukan di kolon sigmoid dan mengapa
penyakit yang mengenai kolon sigmoid, contohnya divertikulitis, dapat mempunyai

gejala nyeri pada kuadran kanan bawah. Diameter yang sempit pada kolon sigmoid
membuat bagian ini sangat rentan terhadap obstruksi.
-
Suplai arteri pada kolon, arteri mesenterika superior bercabang menjadi
arteri ileokolika (sebanyak 20% populasi tidak memiliki arteri ini), yang menyuplai darah
ke ileus terminalis dan kolon asenden proksimal, arteri kolika dekstra, yang menyuplai
darah ke kolon asenden, dan arteri kolika media
yang menyuplai kolon tranversum. Arteri
mesenterika inferior (SMA) bercabang menjadi arteri kolika sinistra yang menyuplai
kolon desenden, beberapa cabang arteri sigmoid, yang menyuplai kolon sigmoid, dan
arteri rektal superior
yang menyuplai rektum proksimal.
Pengecualian pada vena
mesenterika inferior, vena-vena pada kolon mempunyai terminologi yang sama seperti
arteri. Vena mesenterika inferior berjalan naik pada retroperitoneum melewati muskulus
psoas dan berjalan posterior ke pankreas untuk bergabung dengan vena splenika.
-
Pada kolektomi, vena ini di gerakkan secara independen dan di ligasi pada
ujung inferior pankreas. Drainase vena pada kolon transversum proksimal menuju ke
vena mesenterika superior yang begabung dengan vena splenika untuk membentuk vena
porta. Kolon transversum distal, kolon desenden, kolon sigmoid, dan sebagian besar
rektum terdrainase oleh vena mensenterika inferior yang bergerak ke atas menuju vena
splenika.
-
-
II. ANGKA KEJADIAN
-
Adenokarsinoma kolorektum merupakan keganasan yang paling umum
ditemukan pada traktus GI. Lebih dari 150.000 kasus baru di Amerika dan lebih dari
52.000
pasien meninggal tiap tahunnya, hal ini membuat kanker kolorektal menjadi pembunuh
kedua
pada penyakit kanker di Amerika. (American Cancer Society, 2009). Deteksi dini dengan
pengembangan peralatan kedokteran yang mutakhir dianggap dapat membantu untuk
mortalitas
kanker kolorektal dala beberapa tahun terakhir.
-
Kanker
colorectal
merupakan salah satu dari beberapa jenis kanker yang ada di
dunia yang menempati urutan nomor 2 dalam frekuensinya dan merupakan penyebab
kematian
nomor 4 dari kematian karena kanker di dunia. Menurut WHO (2003) CFR akibat kanker
olorectal
52,3% di seluruh dunia pada tahun 2003. Pada tahun 2007 CFR akibat kanker
colorectal
33,94% di seluruh dunia.
-
Berdasarkan survei WHO (2002) di USA, pada tahun 2002 ditemukan CFR akibat
kanker
colorectal
40,56%.8 Pada tahun 2004 Insidens Rate kanker
colorectal
di USA sebesar 48
per 100.000 penduduk.9
The American Cancer Society
(ACS) memperkirakan bahwa pada tahun
2009 sekitar 106.100 (72,2%) penduduk didiagnosa menderita kanker
colon
dan 40.870 (27,8%)
penduduk didiagnosa menderita kanker
rectum
, 75.590 kasus (51,4%) kanker
colorectal
terjadi
pada laki-laki dan 71.380 kasus (48,6%) terjadi pada wanita. CFR akibat kanker
colon
50,1%
dan CFR akibat kanker
rectum
42,3%.
-
Berdasarkan Laporan Profil Kesehatan beberapa negara, kanker
colorectal
di
Australia pada tahun 2003-2004 mencapai 12.536 orang dengan CFR 32,52%. Sedangkan
di
Singapura kanker
colorectal
sebanyak 2.979 orang dengan CFR 22,96%.
-
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2008, neoplasma ganas
colon
di
Indonesia berada pada peringkat 9 dari 10 peringkat utama penyakit neoplasma ganas
pasien
rawat inap di seluruh rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus sebanyak 1.810
dengan
proporsi 4,92%.
-
Laporan data dari Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
RI tahun 2005 kasus kanker
colorectal
di seluruh Rumah Sakit se Indonesia adalah 3.806 kasus
dengan proporsi 8,2% dan tahun 2006 adalah 3.442 kasus dengan proporsi 8,11% dari
seluruh
penyakit kanker.13 Berdasarkan catatan di Rumah Sakit Kanker Dharmais pada tahun
2007,
kanker
colorectal
menempati urutan ke tujuh pada sepuluh besar kanker tersering Rumah Sakit
Kanker Dharmais dengan proporsi sebesar 4,7%. Di RSCM (1996-2001) terdapat 224
kasus
kanker
colon
, terbanyak yaitu 50 kasus pada tahun 2001 yang diperoleh berdasarkan
pemeriksaan
colonoscopy
-
-
-
III. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
-
Identifikasi faktor risiko untuk perkembangan kanker kolorekta
l
merupakan hal yang
penting untuk menentukan program
screening
dan surveilans pada populasi dengan faktor
risiko.
-
1
. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
-
1
.1 Ulseratif Kolitis
-
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon
sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko
perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan
berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis.
Risiko kumulatif
adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang
direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada
ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total
proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi
yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum
terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi
yang dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa
dengan displasia yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari
analisa mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya
invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada
pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli
patologi anatomi.
13
-
1.2 Penyakit Crohn’s
-
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk
menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif
kolitis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%.
Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada
tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty
menjadikan sebuah biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan
strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma
meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohn’s disease.
-
-
2
. Faktor Genetik
-
2
.1 Riwayat Keluarga
-
Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya
riwayat keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan penelitian
yang lebih luas terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk diagnosis dini.
Karena pertimbangan medikolegal dan etika yang terlibat dengan pemeriksaan ini,
seluruh pasien harus dilakukan konseling genetik jika memang ada suspek keluarga yang
dulunya terkena kanker kolorektal.
-
-
2
.2 Herediter Kanker Kolorektal
-
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal
menuju mukosa kolon yang maligna.
Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan
adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting
dalam menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada
keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic
deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q
ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar.
2
Dua sindrom
yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker
kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi
menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous
polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).
-
2
.3 FAP
(
Familial Adenomatous Polyposis)
-
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi
pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring
kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun.
Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak
untuk dapat dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal
ini terjadi, direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti
dengan endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus
ditunda kecuali terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman.
Prosedur pembedahan elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan.
Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi
400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip
sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma
papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan
medulloblastomas otak. Varian dari FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s
syndrom.
13,15
-
2
.4 HNPCC (
Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)
-
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II.2
Generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur yang
muda (±45 tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas
genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada
defek eksisi dari abnormal repeating sequences dari DNA, yang dikenal sebagai
mikrosatellite (mikrosatellite instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan
ekspresi dari phenotype mutator, yang dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi
error (RER+ phenotype), dimana predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang
memiliki multitude dari malignansi primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga
memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma,
Termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung dan
traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada
HNPCC seringkali poorly differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi
yang mirip crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer
inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor.
Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma
kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan
dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun.
-
Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita
kanker kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur
20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali
terdiagnosa kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan
HNPCC yang didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan
dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis
dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadic kanker kolon.
Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat
dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa
kelainan ini.
13,15
-
3
. Diet
-
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah
serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada
kebanyakan
penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan
antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme
hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah
pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan
adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi
tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level
insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini
mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan
interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan
pembentukan kanker kolorektal.
Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari
agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari
pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi
pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat
terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik
ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya
mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat
meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat
dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen
anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi
insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan
secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.
13,16
-
Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi
dengan faktor diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya
intake
serat, sehingga
terdapat sebuah hipotesis bahwa faktor tersebut berkontribusi untuk menimbulkan kanker.
Diet yang tinggi
unsaturated fatty acid
atau
polyunsaturated fatty acid
meningkatkan
risiko kanker kolor
e
ktal, sedangkan diet yang tinggi asam oleat (minyak zaitun, minyak
kelapa sawit, dan minyak ikan) tidak meningkatkan risiko. Pada penelitian dengan hewan
menunjukkan lemak tersebut bersifat toksik langsung terhadap mukosa kolon sehingga
mungkin dapat menyebabkan perubahan maligna. Sebaliknya, diet yang tinggi serat sayur
nampaknya bersifat lebih protektif. Intake kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E,
karotenoid, dan fenol dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal. Studi ini menjadi
dasar preventif primer untuk mengeradikasi kanker kolorektal dengan cara mengatur diet
dan gaya hidup.
-
4. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko
tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali
untuk menderita adenoma yang berukuran besar.
-
Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika
dihubungkan dengan pemakaian rokok.
Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan
dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.
-
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas,
obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan,
pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara
obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin
intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The Nurses Health Study
telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya
adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko
terjadinya adenoma.
-
5. Usia
-
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan
wanita adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali
(2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192
per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda
(30-64 thn). Sekitar setengah dari kanker yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut
adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker paru-paru (118 per 100.000) dan kanker
kolon (176 per 100.000). Sekitar 48% kanker yang terdiagnosa pada wanita yang berusia
lanjut adalah kanker payudara (248 per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000), kanker
paru paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per 100.000).
-
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker
kolorektal pada sebagian besar populasi.
Risiko dari kanker kolorektal meningkat
bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, dan
hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun.
Lima
puluh lima persen kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000
populasi yang berumur kurang dari 65 tahun, dan 337 per 100.000 pada orang yang
berusia lebih dari 65 tahun.
13
-
Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal
sebesar 5%.
Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker kolorektal
adalah pada usia diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah empat puluh tahun
hanya memiliki kemungkinan menderita kanker kolorektal kurang dari 10%.
Dari tahun
2000-2003, rata-rata usia saat terdiagnosa menderita kanker kolorektal pada usia 71
tahun. Insidensi berdasarkan usia dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar
0,9%, 35-44 tahun sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar
17,6%,
65-74 tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.
-
IV. MANIFESTASI KLINIK
-
Presenta
s
i timbulnya keganasan kolon dapat dibagi menjadi tiga kategori umum:
onset gejala kronis yang asimtomatis, obstruksi intestinal akut, atau perforasi akut.
Presentasi yang paling sering timbul adalah onset gejala kronis yang asimtomatis (77 –
92%), diikuti oleh obstruksi (6 - 16%), dan perforasi dengan peritonitis local atau difus (2
– 7%).

Gejala
-
Perdarahan pada anus merupakan gejala yang paling umum pada keganasan kolorektal.
Namun, pasien dan dokter lebih cenderung berpikir bahwa perdarahan pada anus
diakibatkan oleh hemoroid. Perdarahan dapat terjadi secara samar tau dapat terlihat feses
yang berwana hitam, merah marun, ungu hitam, atau merah segar tergantung pada lokasi
keganasan. Perdarahan samar dapat mempunyai gejala anemia defisiensi besi dan
kelelahan.
-
Perubahan buang air besar merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada urutan
kedua, dengan pasien yang mengeluh konstipasi atau diare. Konstipasi bisa terjadi pada
keganasan yang terletak pada kolon sebelah kiri karena diameter kolon sinsitra lebih kecil
dan feses lebih padat ketika mencapai kolon di sebelah kiri daripada di sebelah kanan.
Pasien juga mengeluh perubahan yang bertahap pada bentuk feses. Karsinoma pada
kolon
dextra umumnya tidak ditemukan perubahan buang air besar, namun banyaknya jumlah
mukus yang dihasilkan oleh tumor dapat menyebabkan diare, namun jika keganasannya
terletak di katup ileosekal dapat menyebabkan obstruksi.
-
Nyeri abdomen juga sering ditemukan sebagaimana pasien mengeluh perubahan buang
air besar. Obstruksi pada kolon sinistra dapat menimbulkan gejala nyeri perut, juga
nausea dan vomitus, dan mereda dengan gerakan usus. Keganasan pada kolon dextra
dapat berupa nyeri perut yang sulit dilokalisasikan. Gejala umum lain yang jarang
ditemukan adalah kelelahan, penurunan berat badan, demam, massa pada abdomen, dan
gejala-gejala tambahan pada traktus urinarius (frekuensi, penumaturia, dan fekaluria).
Jika ditemukan bakteremia dengan
Streptococcus bovis
berarti sugestif tinggi adanya
keganasan kolorektal.

Tanda
-
Obsrtruksi intestinal akut merupakan tanda yang ditemukan pada 15% dari 23.500
penderita. Pada pemeriksaan fisik, mungkin agak sulit ditemukan adanya massa pada
abdomen karena usus yang terdistensi, baik keganasan primer maupun metastasis.
Timpani, asites, dan distensi mungkin bisa ditemukan pada pemeriksaan fisik abdomen.
Rectal toucher hanya jarang dilakukan untuk mengetahui adanya obstruksi, namun jarang
ditemukan. Keganasan kolorektal harus selalu dicurigai pada pasien dengan keluhan
obstruksi kolon. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan radiologi abdomen sederhana dapat
menunjang diagnosis. Pemeriksaan tambahan lain untuk konfirmasi diagnosis lain adalah
barium enema, endoskopi
rigid
atau
flexible
, atau CT-scan abdomen atau pelvis.
-
Perforasi merupakan tanda umum ketiga yang sering ditemukan pada keganasan
kolorektal. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis lokalis atau difus, dan mampu
menimbulkan fistula pada organ terdekat seperti vesika urinaria. Jika perforasi muncul ke
proksimal dari obstruksi, dan juga perforasi pada sekum yang terdilatasi proksimal dari
karsinoma sigmoid, pasien akan mengeluh peritonitis difus dan sepsis sehingga hal ini
menjadi indikasi untuk dilakukannya bedah emergensi
Stadium
-
Sistem stadium penting untuk memprediksi hasil, memilih terapi yang akan dilakukan,
dan perbandingan terapi pada tiap pasien berbeda. Tumor yang dianggap invasif berarti
harus menembus muskularis mukosa. Sel maligna yang berada tidak
menembus
muskularis mukosa tidak dianggap dapat invasif karena tidak adanya linfonodus dan
dianggap sebagai
carcinoma in situ
.
-
Banyak system stadium keganasan kolorektal yang ada, contohnya stadium TNM
(tumor/nodus/metastasis) yang diklasifikasikan oleh
American College of Surgeon’s
Commission on Cancer
.
-
Stadium
-
Kedalaman
-
Status
Limfonodus
-
Metastasis
Jauh
-
Stadium 1
-
T1, T2
-
N0
-
M0
-
Stadium 2
-
T3, T4
-
N0
-
M0
-
Stadium 3
-
Seluruh T
-
Setiap N
(Kecuali N0)
-
M0
-
Stadium 4
-
Seluruh T
-
Setiap N
-
M1
-
-
TX
: tumor primer, tidak dapat dinilai
-
T0
: tidak ada bukti adanya tumor primer
-
Tis
: carcinoma in situ
-
T1
: tumor menginvasi ke submukosa
-
T2
: tumor menginvasi muskularis propria
-
T3
: tumor menginvasi menembus muskularis propria ke tunika subserosa atau ke
perikolika atau ke perirektal (tunika adventisia)
-
T4a
: tumor langsung menginvasi langsung struktur lain (misal os coccygeus)
-
T4b
: perforasi tumor ke peritoneum visceral
-
NX
: limfonodus regional tidak dapat dinilai
-
N0
: tidak ada limfonodus regional yang terkena
-
N1
: mengenai 1-3 limfonodus regional
-
N2
: mengenai lebih dari 3 limfonodus regional
-
N3
: limfonodus regional beserta pembuluh darah besar
-
MX
: adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai
-
M0
: tidak ada metastasis jauh
-
M1
: metastasis jauh (di luar limfonodus regional dari tumor primer)
-
Stadium karsinoma kolorektal menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC).
(Sumber: Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by
Springer Science and Business Media LLC,
www.springerlink.com
).
-
The American Joint Committee on Cancer (AJCC)
memperkenalkan
TNM
staging system
, yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV).
1,2,5
-
1. Stadium 0
-
Pada stadium 0,
yaitu pada mukosa saja. Disebut juga
carcinoma in situ
.
-
2. Stadium I
-
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis
dan
melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar kebagian terluar dinding
rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga
Dukes A rectal cancer.
-
3. Stadium II
-
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat namun tidak
menyebar ke limfonodi. Disebut juga
Dukes B rectal cancer
.
-
4. Stadium III
-
Pada
stadium III
, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar
kebagian tubuh lainnya. Disebut juga
Dukes C rectal cancer
.
-
5. Stadium IV
-
Pada stadium
IV
,
kanker
telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru, atau
ovarium. Disebut juga
Dukes D rectal cancer
-
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium
-
Hitung darah lengkap/Complete Blood Count (CBC) dapat menunjukkan adanya anemia.
Tes fungsi hepar dapat menunjukkan hasil yang abnormal jika sudah terjadi metastasis ke
hepar. Jika terjadi metastasis ke hepar maka kadar CEA juga akan ikut meningkat, namun
jika tidak ada metastasis, kadar CEA juga akan ikut meningkat

Imaging Studies

Kolonoskopi
-
Dengan pemeriksaan kolonoskopi, dokter mampu menilai ukuran tumor, namun tidak
dengan kedalaman invasi tumor, dan juga lokalisasi kolon. Periksaan kolonoskopi
bersifat sangat sensitif untuk mendeteksi bahkan polip yang kecil sekalipun (<1 cm) dan
mampu mulakukan biopsi, polipektomi, dan kontrol perdarahan. Namun, kolonoskopi
membutuhkan
-
persiapan khusus (pasien diperintahkan untuk puasa sebelum dilakukan kolonoskopi) dan
adanya ketidak nyamanan pada saat pemeriksaan sehingga terkadang harus di anestesi
terlebih dahulu. Hal inilah yang membuat pemeriksaan ini menjadi mahal. Komplikasi
yang dapat terjadi adalah perdarahan dan perforasi, namun hal tersebut sangat jarang
terjadi (0,2 – 0,3%).

Radiologi
-
Foto roentgen dada dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan adanya lesi pulmoner
sekaligus untuk menentukan status paru dan jantung. CT-scan abdomen dilakukan selektif
jika ada pasien dengan hasil SGOT/SGPT yang abnormal, yang dimana kemungkinan
telah terjadi metastasis.
-
VI. DIAGNOSIS
VI
I
. PENTATALAKSANAAN

Prinsip Reseksi
-
Tujuan penatalaksanaan karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor
dengan suplai limfovaskularnya. Karena pembuluh limfe pada kolon bersamaan dengan
suplai arteri, panjang kolon yang direseksi bergantung pada pembuluh darah yang terlibat
dalam menyuplai sel kanker. Setiap jaringan yang menempel pada sel kanker, seperti
omentum, yang telah terinvasi, harus dilakukan reseksi
en bloc
. Jika seluruh tumor tidak
dapat diangkat, maka terapi paliatif menjadi pilihannya.
-
Adanya sel-sel kanker atau adenoma yang saling berhubungan, atau adanya
riwayat keluarga dengan neoplasma kolorektal, menandakanbahwa seluruh kolon berisiko
terkena karsinoma (biasanya disebut juga
field defect
) dan dipertimbangkan dilakukan
kolektomi total atau subtotal. Jika terjadi
metachronous tumors
(tumor kedua daritumor
primerkolon) maka dilakukan juga dengan penatalaksanaan yang sama.
-
Jumlah limfonodus yang diambil pada pembedahan mampu menentukan kualitas
reseksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebanyak minimal 12 limfonodus yang
terangkat memiliki tingkat kesembuhan yang adekuat. Namun pada penelitian lain
menunjukkan bahwa jumlah limfonodus yang terambil tidak menentukan tingakt
kesembuhan.
-
Jika ditemukan metastasis tumor pada saat laparotomi, maka reseksi tumor primer
tetap dilakukan jika kondisi pasien stabil. Dipertimbangkan agar dilakukan anastomosis
primer jika kolon terlihat sehat, tidak terlibat karsinomatosis, dan keadaan pasien stabil
Gambar 7
. Panjang reseksi pada karsinoma kolon.
A
. Karsinoma sekum.
B
. Karsinoma
felksura hepatika.
C
. Karsinoma kolon transversum.
D
. Karsinomafleksura splenika.
E
.
Karsinoma kolon desenden.
F
. Karsinoma kolon sigmoid. (Sumber: Brunicardi FC,
Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartz’s
Principles of Surgery, 9
th
Edition)
Stadium 0 (Tis, N0, M0)
-
Polip yang mengandung karsinoma in situ (
high-grade dysplasia
) tidak berisiko untuk
terjadi metastasis limfonodus. Namun adanya
high-grade dysplasia
, menaikkan adanya
risiko karsinoma invasif di dalam polip. Akibat hal ini, polip tersebut harus di eksisi
seluruhnya dan batas patologik di sekitar polip harus terbebas dari area displasia.
Umumnya polip ini dapat dieksisi dengan endoskopi. Setelah dibedah, pasien harus tetap
di followup dengan endoskopi untuk meyakinkan bahwa polipnya tidak akan timbul
kembali dan tidak n berkembang menjadi karsinoma kolon. Jika polip tidak bias di angkat
seluruhnya, maka dapat direkomendasikan unutuk dilakukan eksisi segmental.

Stadium I: Polip Maligna (T1, N0, M0)
-
Penatalaksanaan polip maligna tergantung pada tempat munculnya polip dan risiko
timbulnya metastasis limfonodus. Risiko metastasis limfonodus tergantung pada
kedalaman invasi. Karsinoma invasif yang terdapat pada kepala polip tanpa mengenai
batangnya memiliki risiko metastasis yang rendah (<1%) dan dapat direseksi secara
endoskopi. Namun, invasi limfovaskular, gambaran histologi dengan diferensiasi yang
luas, atau tumor dalam batas 1 mm dari tempat reseksi mempunyai faktor risiko rekurensi
lokal dan metastasis. Pada keadaan ini merupakan indikasi dilakukannya kolostomi
segmental. Karsinoma invasif yang muncul dari polip sessile memanjang ke arah
submukosa sehingga dapat dilakukan kolostomi segmental.

Stadium I dan II: Karsinoma Kolon Terlokalisir (T1-T3, N0, M0)
-
Kebanyakan pasien pada karsinoma kolon stadium I dan II dapat disembuhkan dengan
reseksi. Hanya beberapa pasien yang kembali timbul kanker setelah dilakukan reseksi,
pengobatan kemoterapi ajuvan tidak dapat mengurangi rekurensi kanker ini. Namun
sebanyak 46% pasien setelah reseksi komplit stadium II akan meninggal akibat kanker
kolon. Akibat hal tersebut, dilakukanlah pengobatan ajuvan pada beberapa pasien dengan
karsinoma kolon stadium II (pasien yang masih muda dengan gambaran radiologi dengan
displasia yang tinggi). Data yang ada masih kontroversial apakah dengan terapi ajuvan
setelah bedah mampu meningkatkan
survival rate
-

Stadium III: Metastasis Limfonodus (Seluruh T, N1, M0)
-
Pasien dengan metastasis pada limfonodus berisiko terjadinya metastasis lokal maupun
jauh dan kemoterapi ajuvan direkomendasikan pada pasien ini. 5-flurouracil (5-FU) dan
levamisole mengurangi angka kematian sampai 33% dengan efek samping yang rendah.
Agen kemoteraputik lain seperti capecitabine, irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis
inhibitors, and imunoterapi juga menunjukkan efek yang baik.

Stadium IV: Metastasis Jauh (Seluruh T, Seluruh N, M1)
-
Angka keselamatan pada kanker kolon stadium IV sangat rendah. Namun, tidak seperti
keganasan lain, pasien dengan metastase yang dapat direseksi dan terlokalisir, memiliki
keuntungan dari reseksi (metastasektomi). Tempat yang paling sering terjadi metastase
adalah pada hepar dan 20% diantara pasien yang memiliki metastasis dapat direseksi.
Angka keselamatan pada pasien ini meningkat (20 – 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua
yang paling sering terkena metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan
karsinoma kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani reseksi
(sekitar 1 – 2%), angka keselamatan jangka panjang mencapai 30 – 40%.
-
Pada pasien karsinoma kolon stadium IV yang tidak dapat direseksi; fokus
penatalaksanaan tertuju pada terapi paliatif. Umumnya reseksi pada tumor primer
direkomendasikan agar dapat mencegah komplikasi seperti perdarahan dan obstruksi.
Namun, bedah abdomen mayor dapat mengurangi efek kemoterapi. Terlebih lagi,
kemoterapi regimen baru mempunyai efek yang signifikan dan pengecilan tumor.
Berdasarkan teori ini, beberapa ahli bedah menganjurkan hanya dilakukan kemoterapi
tanpa reseksi pada kanker kolon stadium IV.

Regimen Kemoterapi yang Digunakan pada M.D. Anderson Cancer Centre (MDACC)
-
Pasien dengan kanker kolon stadium II dan III mempunyai risiko terkena mikrometastasis
setelah reseksi. Terapi sistemik telah didirikan untuk mencegah komplikasi tersebut.
Berikut adalah terapi yang umum digunakan pada MDACC
Mayo Clinic Bolus:
5-FU 425 mg/m
2
+ leucovorin 20 mg/m
2
pada hari 1–5 tiap 4 minggu. Total
6 minggu
-
Roswell Park:
5-FU 500 mg/m
2
+ leucovorin 500 mg/m
2
per minggu untuk 6 minggu dengan 2
minggu waktu istirahat (tidak minum obat). Total 3 siklus.
-
Capecitabine:
2000 mg/m
2
dalam dua dosis dua kali per hariselama 14 hari, 7 hari istirahat. Total
8 siklus.
-
FOLFOX 4:
Oxaliplatin 85 mg/m
2
IV hari 1; leucovorin 200 mg/m
2
IV; fluorouracil 400 mg/m
2
IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m
2
untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2, diberika tiap
14 hari. Total 12 siklus.
-
Terapi untuk Metastasis
:
-
Mayo Clinic Bolus:
5-FU 425 mg/m
2
+ leucovorin 20 mg/m
2
pada hari 1–5 tiap 4 minggu.
-
Roswell Park:
5-FU 500 mg/m
2
+ leucovorin 500 mg/m
2
per minggu selama 6 minggu dengan 2
minggu waktu istirahat.
-
IFL (Saltz Regimen, Triple Therapy):
CPT-11 100–125 mg/m
2
IV tiap 90 min, 5-FU 500 mg/m
2
,
semua diberikan selama 4 minggu dan 2 minggu waktu istirahat.
-
FOLFOX 4:
Oxaliplatin 85 mg/m
2
IV hari ke-1; leucovorin 200 mg/m
2
IV; fluorouracil 400
mg/m
2
IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m
2
untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2
diberikan selama 14 hari.
-
XELIRI:
Irinotecan 200–250 mg/m
2
day 1; capecitabine 750–1000 mg/m
2
PO dua kali perhari
hari ke-1–14, tiap 21 hari.
-
XELOX:
Oxaliplatin 100 mg/m
2
hari ke- 1; capecitabine 750–1000 mg/m
2
PO BID dua kali
perhari hari ke-1–14, tiap 21 hari.
-
Bevacizumab:
(Avastin) 5 mg/kg IV tiap 14 hari diselingi dengan 5-FU-based chemotherapy.
-
Cetuximab:
(Erbitux) 400 mg/m
2
loading dose mencapai 120 menit (minggu ke-1); 250 mg/m
2
selama 60 menit per minggu dosis maintenance, dengan irinotecan atau sebagai single
agent pada
pasien yang tintoleransi irinotecan.
-
-
VII. PROGNOSIS
-
Secara keseluruhan
5-year survival rates
untuk kanker rektal adalah sebagai berikut :
a.
Stadium I - 72%
b.
Stadium II - 54%
c.
Stadium III - 39%
Stadium IV - 7%
-
Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat
berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi
pada. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahu pertama setelah
operasi.
Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli
bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh batas - batas negatif
tumor.
Hassan, Isaac., 2006. Rectal carcinoma. Available from
www.emedicine.com
.
2.
Cirincione, Elizabeth., 2005. Rectal Cancer. Available from
www.emedicine.com
.
3.
American Cancer Society, 2006. Cancer Facts and Figures 2006. American Cancer
Society Inc. Atlanta
4.
Anonim, 2006. A Patient’s Guide to Rectal Cancer. MD Anderson Cancer Center,
University of Texas.
5.
Anonim, 2006. Rectal Cancer Facts : What’s You Need To Know. Available from
Available from
www.healthABC.info
.
6.
Anonim, 2006. Rectal Cancer - Overview, Screening, Diagnosis & Staging. Available
from
www.OncologyChannel.com
.
7.
Anonim, 2005. Rectal Cancer Treatment. Available from
www.nationalcancerinstitute.htm
.
8.
De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004.
Buku Ajar Ilmu Bedah
. Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
9.
Casciato DA, (ed). 2004.
Manual of Clinical Oncology 5
th
ed
. Lippincott Willi ams &
Wilkins: USA.p 201
10.
Schwartz SI, 2005.
Schwartz’s Principles of Surgery 8
th
Ed
. United States of America:
The McGraw-Hill Companies.
11.
Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer.
the New England Journal of
Medicine
.
Available from
www.pubmed.com. p.348:919-932,
(Download :1 maret 2015)
12.
Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia.
Asian Pacific Journal of Cancer
Prevention
, (Online), 2003; Vol. 4, No. 4,
Available from
http://www.apocp.org/
cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf,.
(Download : 1 maret 2015)
13.
National Cancer Institute. 2006.
SEER Cancer Statistics Review 1975-2003
, Available
from
http://seer.cancer.gov/statfacts/html/colorect.html
.
14.
MD Anderson Manual of Medical Oncology. 2007. McGraw-Hill Company.
15.
Phillips, Robin. Colorectal Surgery A Companion To Specialist Surgical Practice. 2001.
Elsevie

29 juli 2019 Nyeri seluruh Status General :  IVFD futrolit;

abdomen. Ku = lemah aminofluid 32 tpm

Kesadaran = Komposmentis  Boleh makan

TD; 110/70 mmHg sediit-sedikit

N; 87 x/i  Inj. imipenem 1gr/

P; 20 x/i 24 jam/iv

S ; 36,7  Inj. dexketoprofen

Abdomen = 1 ampul/ 12 jam/ iv

Inspeksi : luka  Inj. ranitidine 1


jahitan post op (+), drain (+) ampul/ 12 jam/ iv
Drain I ; 50 cc merah kuning  Ij. Ondansetron 1
NGT ; - cc ampul/ 8 jam/ iv
Auskultasi :

Peristaltik (+)

Perkusi : timpani

Palpasi : nyeri

tekan (+)

KANKER KOLOREKTAL

Pada awalnya, insiden dari keganasan kolon dan rektal tidak diperhitungkan sebelum
tahun 1900. Akan tetapi, sejak kemajuan ekonomik dan industri berkembang, angka kejadian
keganasan ini meningkat. Pada saat ini, kanker kolorektal merupakan penyebab ketiga kematian
dari pria dan wanita akibat kanker di Amerika Serikat.1

Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka


kematiannya.2 Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus
kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat
ketiga dari semua kasus kanker.3 Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai
laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati angka 1,8
per 100.000 penduduk.4

Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan,
yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara
negara maju dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan Indonesia, terdapat
perbedaan pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di Indonesia frekuensi kanker
kolorektal yang ditemukan sebanding antara pria dan wanita; banyak terdapat pada seseorang
yang berusia muda; dan sekitar 75% dari kanker ditemukan pada kolon rektosigmoid,
sedangkan di Negara Barat frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan pada pria lebih besar
daripada wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia lanjut; dan dari kanker yang
ditemukan hanya sekitar 50% yang berada pada kolon rektosigmoid.2

Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid.3 Keluhan
pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari
lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, symptomatic
anemia dan perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat
berupa perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.2

Jenis kanker yang paling sering ditemukan ialah adenokarsinoma yaitu sebanyak

98%, sedangkan lainnya yang lebih jarang ialah carcinoid (0,4%), limfoma (1,3%) dan
sarkoma (0,3%).1

II.4 Etiologi

Penyebab dari keganasan kolorektal memiliki faktor genetik dan lingkungan :

 Sindroma kanker familial


Syndrome % of Genetic Phenotype Extracolonic Treatment Notes
total basis manifestations
CRC
Terdapat berbagai faktor genetik yang berkaitan dengan keganasan kolorektal.
burde
Sebanyak
n 10-15 % kasus kanker kolorektal disebabkan oleh faktor ini.
Familial <1% Mutasi pada <100 CHRPE, TPC with Variants
Tabel 2.1 Sindroma kanker familial7
adenomatous osteomas, end-
polyposis gen adenomatous epidermal ileostomy include Turcot
suppressor polyp; near cysts, or IPAA or (CNS tumors)
(FAP) tumor APC periampullary TAC with and Gardener
(5q21) 100% with (desmoids)
CRC by age

TABLE 2-1 Hereditary Colorectal Cancer (CRC) Syndromes


40 yr neoplasms IRA and syndromes
lifelong
surveillance

Hereditary 5%– Defective Polyps At risk for Genetic High

nonpolyposi 7% mismatch sedikit, uterine, counseling; microsatellite


repair: predominantl ovarian, small instability
s colorectal consider

cancer MSH2 and y right-sided intestinal, prophylactic(MSI-H)

(HNPCC) MLH1 CRC, 80% pancreatic resections, tumors, better


malignancies including prognosis than
(90%), lifetime risk

MSH6 (10%) of CRC TAH/BSO sporadic CRC

Peutz- <1% Kehilangan Hamartomas Mucocutaneou SurveillanceMajority

Jeghers tumor throughout GI s pigmentation, EGD and present with

(PJS) suppressor tract risk for colonoscop SBO due to


gene pancreatic y q3 yr; intussusceptin
LKB1/STK1 cancer resect g polyp
polyps >1.5
1 (19p13) cm

Familial <1% Mutasi Hamartomas Gastric, Genetic Presents with

juvenile SMAD4/DP throughout GI duodenal and counseling; rectal bleeding

polyposis C (18q21) tract; >3 pancreatic consider or diarrhea


juvenile neoplasms; prophylactic
(FJP) polyps; 15% pulmonary TAC with
with CRC by AVMs IRA for
age 35 yr diffuse
disease

AVM, arteriovenous malformation; CHRPE, congenital hypertrophy of retinal pigmented


epithelium; CNS, central nervous system; EGD, esophagogastroduodenoscopy; GI,
gastrointestinal; IPAA, ileal pouch-anal anastomosis; IRA, ileal-rectal anastomosis; TAC,
total abdominal colectomy; TAH/BSO, total abdominal hysterectomy and bilateral
salpingo-oophorectomy; TPC, total proctocolectomy.
 Kasus sporadik

Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari seluruh keganasan
kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik yang dapat diidentifikasi, namun
kekerabatan tingkat pertamadari pasien kanker kolorektal memiliki peningkatan
resiko 3-9 x untuk dapat terkena kanker.

 Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang ikut berpengaruh antara lain ialah diet. Diet tinggi lemak
jenuh meningkatkan resiko. Memperbanyak makan serat menurunkan resiko ini untuk
individu dengan diet tinggi lemak. Studi epidemiologik juga memperlihatkan bahwa
orang dari negara bukan industri lebih sedikit terkena resiko ini.7
II.5 Faktor Resiko

II.5.1 Polip

Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker
itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia
sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna
dan invasif kanker . Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion
memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan
displasia dan invasif karsinoma.8

Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu proto-
onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper. Proto-
onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG menghambat
pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram). Kelompok gen
ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif pada
pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat
molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi
DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi
kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor
membuka peluang terbentuknya kanker.

Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui
siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen
gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah
satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan
penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat
terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan
menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat
gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi
ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan
menyebabkan kelainan siklus sel akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering
terjadi pada manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak
diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.

Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non
neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik yaitu polip
hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan
inflamatory polip.7
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna; dan
berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan
villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous, dimana 75%-85%
tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.8

Gambar 2.4 Adenomatous Polip

Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari
adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif karsinoma
pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip,
tingkat displasia, dan umur. Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat
dan secara histologi tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk
menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan
meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4 kali lipat
jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 kali lipat pada pasien yang mempunyai multipel polip.
Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung beratnya derajat displasia.8
Gambar 2.5 Polip Neoplastik

Keterangan : (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous adenoma, (D)
karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul dari sebuah
villous adenoma.

II.5.2 Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

II.5.2.1 Ulseratif Kolitis

Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon, sekitar 1%
dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada
pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan
keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun,

8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk
seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan
kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan
kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa
lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Diagnosis dari displasia
mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan
pendapat antara para ahli patologi anatomi.5
II.5.2.2 Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk menderita
kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.8

Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%.
Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada
tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty
menjadikan sebuah biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan
strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma
meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohn’s disease.5

II.5.3 Faktor Genetik

II.5.3.1 Riwayat Keluarga

Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker
kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai
kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih
tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal
pada keluarganya.6

II.5.3.2 Herediter Kanker Kolorektal

Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa
kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar
berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari
sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada
adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh
kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan
adenoma yang besar.2 Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom
ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana
mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda,
yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer
(HNPCC).7
dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat. Ketika hal ini terjadi,

13
FAP

Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada
kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada
kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun.2 Pada FAP
yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat

dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat. Ketika hal ini terjadi,

14
direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan
endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali
terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan
elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip harus
dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari
selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin
muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas,
pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak. Varian dari FAP termasuk gardner’s
syndrom dan turcot’s syndrom.7

HNPCC

Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II. Generasi
multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur yang muda (±45
tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas genetik ini
terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari
abnormal repeating sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite
instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang
dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana
predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang memiliki multitude dari malignansi primer.
Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous,
dan multipel keratocanthoma, Termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih,
ureter, lambung dan traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal,
tumor pada HNPCC seringkali poorly differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet- cell,
reaksi yang mirip crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer
inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor. Karsinogenesis
yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil
dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata
kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun. Ketika kriteria amsterdam digunakan
untuk menentukan proporsi dari kanker kolorektal yang dikarenakan HNPCC, estimasi
keakurasiannya sekitar 1-6 %.

Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker


kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20 tahun
atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker
kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosa

14
menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang
menderita kanker kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC

15
terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian
menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant
kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini.7

II.5.4 Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian,
meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan
kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan
resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk
asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah
menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin
diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi.
Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga
memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat
meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi
berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara
experimental. Dari pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya
fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah
akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal,
karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan
lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat
meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat
dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-
inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang
berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat
menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.8

II.5.5 Gaya Hidup

Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk
memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih

16
dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang
berukuran besar. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya
risiko kanker kolorektal.

17
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas dan
asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan
energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik
menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan
risiko kanker kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang
berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa
penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.8

II.5.6 Usia

Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita adalah

61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang
per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila
dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Peningkatan resiko kanker
kolorektal meningkat sesuai dengan usia.7

Menurut WHO, faktor resiko kanker kolorektal :5

1. Berusia > 50 tahun

2. Sindroma adenomatous popilposis ( familial, hamartomatous poliposis dan Peutz jagers


sindrom)

3. Riwayat kanker kolorektal pada keluarga

4. Inflamatory bowel disease

5. Riwayat menderita kanker kolorektal

6. Riwayat menderita polip kolrektal

II.6 Patofisiologi
18
Penyebab dari kanker kolorektal masih terus diselidiki. Mutasi dapat menyebabkan
aktivasi dari onkogen (k-ras) dan atau inaktivasi dari gen supresi tumor ( APC, DCC
deleted in colorectal carcinoma, p53). Karsinoma kolorektal merupakan perkembangan dari
polip adenomatosa dengan akumulasi dari mutasi ini.

19
Gambar 2.6 Perkembangan menuju karsinoma8

Defek pada gen APC yang merupakan pertama kali dideskripsikan pada pasien
dengan FAP. Dengan meneliti dari populasi ini, maka karakteristik mutasi dari gen APC
dapat diidentifikasi. Mereka sekarang diketahui ada dalam 80% kasus sporadik kanker
kolorektal. Gen APC merupakan gen supresi tumor. Mutasi pada setiap alel diperlukan untuk
pembentukan polip. Mayoritas dari mutasi ialah prematur stop kodon yang menghasilkan
truncated APC protein. Inaktivasi APC sendiri tidak menghasilkan karsinoma. Akan tetapi,
mutasi ini menyebabkan akumulasi kerusakan genetik yang menghasilkan keganasan.
Tambahan mutasi pada jalur ini ialah aktivasi onkogen K-ras dan hilangnya gen supresi
tumor DCC dan p53.

K-ras diklasifikasikan sebagai proto onkogen karena mutasi 1 alel siklus sel. Gen K-
ras menghasilkan produk G protein yang akan menyebabkan transduksi signal intraceluler.
Ketika aktif, K-ras berikatan dengan guanosine triphosphate (GTP) yang dihidrolisis menjadi
guanosis diphosphate (GDP) kemudian menginaktivasi G protein. Mutasi K-ras
menyebabkan ketidakmampuan dalam hidrolisis GTP yang menyebabkan G protein aktiv
secara permanen. Hal ini yang menyebabkan pemecahan sel yang tidak terkontrol.

DCC ialah gen supresi tumor dan kehilangan semua alelnya diperlukan untuk
degenerasi keganasan, mutasi DCC terjadi pada lebih dari 70% kasus karsinoma kolorektal dan
memiliki prognosis negatif. Gen supresi tumor p-53 sudah banyak dikarakteristikan dalam

20
banyak keganasan. Protein p53 penting untuk menginisiasi apoptosis dalam sel pada kerusakan
genetik yang tidak dapat diperbaiki. Mutasi p53 diperlihatkan dalam 75% kasus.

21
Gambar 2.7 Perubahan genetik dan gambaran klinis9

Jalur genetik

Terdapat 2 jalur utama dalam inisasi dan progesi dari tumor yaitu jalur LOH dan jalur
replication error (RER). Jalur LOH dikarakteristikan dengan delesi pada kromosom dan
tumor aneuploidi. 80% dari karsinoma kolorektal merupakan mutasi dari jalur LOH, sisanya
merupakan mutasi jalur RER yang dikarakteristikan dengan kesalahan pasangan sewaktu
replikasi DNA. Beberapa gen sudah diidentifikasi sebagai sesuatu yang penting dalam
mengenali dan memperbaiki kesalahan replikasi. Kesalahan pencocokan gen yaitu include
hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6/GTBP. Mutasi satu dari beberapa gen ini
merupakan predisposisi dalam mutasi sel yang dapat terjadi pada proto onkogen ataupun gen
supresi tumor.

22
Jalur RER berhubungan dengan instabilitasi mikrosatelit. Tumor dengan instabilitas
mikrosateliti memiliki karakteristik yang berbeda dari jalur LOH. Tumor ini lebih banyak
terdapaat pada bagian kanan dan memiliki prognosis yang lebih baik. Tumor yang berasal
dari LOH terjadi pada kolon distal dan berprognosis lebih buruk.6

23
Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel
usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak
jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor
primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).

Neoplasma primer  adenokarsinoma

Secara makroskopik terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum, yaitu :

1. Tipe polipoid atau vegetatif yang tumbuh menonjol kedalam lumen usus, berbentuk
kembang kol dan ditemukan terutama di daerah sekum dan kolon asendens.

2. Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi,
terutama ditemukan di daerah kolon desendens, sigmoid dan rektum.

3. Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum.

Pada tahap lanjut sebagian besar karsinoma kolon mengalami ulserasi menjadi tukak
maligna.6

Manifestasi klinis

Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai
darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (caecum,
kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri mesenterika inferior
yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan
sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi
dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar
dan lokasi dari tumor.

Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi serta isi fecal ialah
air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan dapat tumbuh besar sebelum terdiagnosa.
Pasien sering mengeluh lemah karena anemia. Darah makroskopis sering tidak tampak pada
feses tetapi dapat mendeteksi tes darah samar. Pasien dapat mengeluh ketidaknyamanan pada
kuadran kanan perut setelah makan dan sering salah diagnosa dengan penyakit gastrointestinal
dan kandung empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan berkemih.

20
Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan konsistensi feses ialah
semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual mengoklusi lumen yang menyebabkan
gangguan pola defekasi yaitu konstipasi atau peningkatan frekuensi BAB. Pendarahan dari
anus sering namun jarang yang masif. Feses dapat diliputi atau tercampur dengan darah merah
atau hitam. Serta sering keluar mukus bersamaan dengan gumpalan darah atau feses.

Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah hematokezia. Perdarahan
seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur dengan feses atau mukus. Pada pasien
dengan perdarahan rektal pada usia pertengahan atau tua, walaupun ada hemoroid, kanker tetap
harus dipikirkan.

Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya
adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini
adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan

21
penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau
buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat
terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan
peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah
artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina
dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat
menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan
gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.

Gambar 2.8 Distribusi kanker kolorektal menurut lokasi sebanyak 73% dapat dideteksi
dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi (data unit endoskopi, Divisi Departemen Ilmu
penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta 2005)

Gejala-gejala yang timbul pada karsinoma kolorektal

Kolon kanan :

– Kelemahan yang tidak dapat dijelaskan / anemia

22
– Tes darah samar pada feses

– Gejala dispepsia

– Ketidaknyamanan abdomen kanan persisten

– Teraba massa abdominal

Kolon kiri :

– Gangguan pola buang air besar

– Darah makro pada feses

– Gejala obstruksi

Rektum :

– Pendarahan per rektal

23
– Gangguan pola buang air

– Adanya sensasi tidak lampias

– Teraba tumor intrarectal5

Tabel 2.2 Gambaran klinis karsinoma kolorektal

KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM


Kolitis Obstruksi Proktitis
ASPEK KLINIS
NYERI Karena penyusupan Obstruksi Obstruksi
DEFEKASI Diare/diare berkala Konstipasi progresif Tenesmi terus
menerus
OBSTRUKSI Jarang Hampir selalu Hampir selalu
DARAH PADA Samar Samar/makroskopik Makroskopik
FESES
FESES Normal/diare berkala Normal Perubahan bentuk
DISPEPSIA Sering Jarang Jarang
ANEMIA Hampir selalu Lambat Lambat
MEMBURUKNYA Hampir selalu Lambat Lambat
KEADAAN UMUM

Staging tumor menurut TNM

Prognosis dari pasien dari pasien kanker kolorektal berhubungan dengan dalamnya
penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan kelenjar getah bening regional atau metastasis
jauh. Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan sistem staging yang awalnya
diperhatikan oleh Dukes.

Dan diaplikasi dalam metode klasifikasi TNM dalam hal ini, T menunjukkan kedalaman
penetrasi tumor, N menandakan keterlibatan kelenjar getah bening dan M ada tidaknya
metastase jauh.

Lesi superfisial yang tidak mencapai lapisan muskularis atau kelenjar getah bening
(KGB) dianggap sebagai stadium A (T1N0M0). Bila tumor yang masuk lebih dalam namun tidak

24
menyebar ke KGB dikelompokkan sebagai stadium B1 (T2N0M0). Bila tumor terbatas sampai
lapisan muskularis disebut stadium B2 (T3N0M0). Bila tumor menginfiltrasi serosa dan KGB
disebut stadium C (TXN1M0), bila terdapat status anak sebar di hati, paru, atau tulang
mempertegas stadium D (TXNXM1). Bila status metastasis belum dapat dipastikan maka
sulit menentukan stadium. Oleh karena itu, pemeriksaan mikroskopik terhadap

25
spesimen bedah sangat penting dalam menentukan stadium. Umumnya rekurensi kanker
kolorektal terjadi dalam 4 tahun setelah pembedahan sehingga harapan hidup rata-rata 5
tahun dapat menjadi indikator kesembuhan. Indikator buruknya prognosis prognosis kanker
kolorektal setelah menjalani operasi.

Kanker kolorektal umumnya menyebar ke kelenjar getah bening regional atau ke hati
melalui sirkulasi vena portal. Hati merupakan organ yang paling sering mendapat anak sebar
kelenjar getah bening. Sepertiga kasus kanker kolorektal yang rekuren disertai metastase ke
hati dan duapertiga pasien kanker kolorektal ditemukan metastase ke hati pada waktu
meninggal. Kanker kolorektal jarang bermetastasis ke paru. KGB superklavikula tulang atau
otak tanpa ditemukan anak sebar di hati terlebih dahulu. Pengecualian terjadi bilamana tumor
dapat terletak di distal rektum, sel tumor dapat menyebar melalui pleksus vena paravertebra
kemudian dapat mencapai paru atau KGB superklavikula tanpa melalui sistem vena porta. Rata-
rata harapan hidup setelah ditemukan metastase berkisar 6 – 9 bulan (hepatomegali dan
gangguan pada hati) atau 20-30 bulan (nodul kecil di hati yang ditandai oleh peningkatan
CEA dan gambaran CT-scan).

 T – Tumor primer

 Tx: Tumor primer tidak dapat dinilai

 T0: Tidak ada tumor primer

 Tis: Karsinoma insitu, invasi lamina propia atau intraepitelial

 T1: Invasi tumor di lapisan sub-mukosa

 T2: Invasi tumor di lapisan otot propria

 T3: Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke perikolik
yang tidak dilapisi peritoneum atau perirektal

 T4: Invasi tumor terhadap organ/struktur sekitarnya dan/atau peritoneum

viseral.

26
Gambar 2.9 Gambaran kedalaman tumor

 N – Kelenjar limfe regional

 Nx: Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai

 N0: Tidak didapatkan kelenjar limfe regional

 N1: Metastase di 1 – 3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal

 N2: Metastase di 4 atau lebih kelenjar limfe perikolik atau perirektal

 N3: Metastase pada kelenjar limfe sesuai nama pembuluh darah dan atau
pada kelenjar apikal (bila diberi tanda oleh ahli bedah).

 M – Metastase jauh

 Mx: Metastase jauh tidak dapat dinilai

 M0: Tidak ada metastase jauh

 M1: Terdapat metastase jauh6

Tabel 2.3. Stadium dan Prognosis Kanker


Kolorektal6,7

Stadium Deskripsi Bertahan 5


Dukes TNM Derajat histopatologis tahun (%)

A T1N0M0 I Kanker terbatas >90


pada
mukosa/submukosa
B1 T2N0M0 I Kanker mencapai 85
muskularis
B1 T3N0M0 II Kanker cenderung 70-80
masuk atau
melewati lapisan
serosa
C TxN1M0 III Metastasis 35-65

27
D TxNxM1 IV 5
 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik penting dalam menentukan penyakit lokal, mengidentifikasi


emtastase dan mendeteksi sistem organ lain yang turut berperan dalam pengobatan. Area
supraclavicula harus dipalpasi untuk memeriksa adanya kelenjar yang mengalami
metastase. Pemeriksaan abdomen dimulai dari inspeksi yaitu melihat adanya bekas operasi,
penonjolan massa, kontur usus yang mungkin dapat terlihat ( darm kontur, darm steifung).
Palpasi dilakukan untuk meraba adanya massa, pembesaran hepar, asites atau nyeri tekan
pada abdomen. Bila teraba massa disebutkan lokasi, diameter, mobilitas atau melekat pada
jaringan, konsistensi, batas jelas atau tidak. Perkusi normal pada abdomen ialah timpani.
Bila terdapat masssa maka perubahan suara menjadi redup. Pada auskultasi
didengarkan bising usus.

Pada kanker rektal distal, dapat dirasakan massa yang rata, keras, oval atau melingkar
dengan depresi pada sentral. Bila meluas, harus ditentukan ukuran dan derajat perlekatan
jaringan. Pada pemeriksaan RT, maka dapat didapatkan darah pada sarung tangan.5,7

 Pemeriksaan penunjang

Keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa tanda seperti: anemia
mikrositik, hematoskezia, nyeri perut, berat badan turun atau perubahan defekasi. Oleh sebab
itu perlu segera dilakukan pemeriksaan endoskopi atau radiologi. Temuan darah samar di
feses memperkuat dugaan neoplasia namun bila tidak dapat menyingkirkan lesi neoplasma.

28
Laboratorium

Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon memberikan hasil


normal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah urinalisis, hitung leukosit dan hemoglobin.
Pemeriksaan lain yang dapat diperiksa sesuai dengan indikasinya ialah protein serum,
kalsium, bilirubin, alkali fosfatase dan kreatinin. Pendarahan intermitten dan polip besar
dapat dideteksi melalui darah sama feses atau defesiensi Fe.

Petanda tumor yang paling banyak digunakan untuk keganasan kolorektal ialah
carcinoembryonic antigen (CEA) yaitu sebuah glikoprotein yang ditemukan pada sel
membran banyak jaringan tubuh termasuk CRC. Beberapa antigen masuk ke dalam sirkulasi
dan dideteksi dengan radioimunnoassay serum. CEA dapat terdeteksi di berbagai cairan
tubuh, urin dan feses. Peningkatan serum CEA tidak spesifik berhubungan dengan kanker
kolorektal. Kadar CEA tinggi pada 70% pasien dengan kanker usus besar. CEA tidak dapat
digunakan sebagai prosedur screening tetapi akurat sebagai diagnosis CEA residif.5

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50% polip kolon
dengan spesifitas 85%. Terdapat gambaran pasase kontras, jenis bagian rektosigmoid sering
sulit untuk divisualisasi meskipun bila dibaca oleh ahli radiologi senior. Oleh karena itu,
pemeriksaan rektosigmoidoskopi masih diperlukan.

Bilamana ada lesi yang mencurigakan, pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk


biopsi. Pemeriksaan lumen barium teknik kontras ganda merupakan alternatif lain untuk
kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering tidak bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema
barium cukup efektif untuk memeriksa bagian kolon di balik striktur yang tak terjangkau
dengan pemeriksaan kolonoskopi.

Persiapan dan pemeriksaan barium enema

Persiapan:

Penderita diberi makan bubur kecap 1 hari sebelumnya

10 -12 jam sebelum pemeriksaan penderita diberi Laxans


29
Segera setelah akan diperiksa diberi Laxans
Kontras yang dipakai yaitu Barium sulfat.
Bubur barium 1:4, 1:5, 1:6.

Gambaran normal:

Pasase lancar (gambaran haustre)


Refluks kontras ke dalam ileum

30
t i:

Pos evakuas feather like appereance

Kars noma kolon kiri fi ng defek, biasanya

Kars noma
. kolon kanan kons
l riks a au massa
i
GambarGangguan
2.12 Barium enema
pasase norma
kontras

Gambaran radiologis
Jenis kars noma
ekstraluminar: kolon: lumen
pendorongan

Jenis intraluminar: mukosa kasar + filling defect

i : lli 2-6 cm dengan konfigurasi apple core.


i : t i t intrluminal5

Gambaran radiologis pol p:

Khas pada pos evakuas erdapa

Gambar 2.13 kars noma anular kolon s gmoid


i i

t it t diolusen yang berbentuk multipel


Gambar 2.14. gambaran polip pada barium enema Gambar 2.15. peduncaled polyp

Gambaran radiologis karsinoma rektum:


Gambaran pasase kontras
Tergantung jenisnya:

– Pendorongan : kelainan bentuk dan anatomis

– Filling defect : mukosa tidak rata

Diagnosis

Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan kontras ganda.
Pemeriksaan ini sebaiknya di lakukan setiap 3 tahun untuk usia diatas 45 tahun. Kepastian
diagnosis ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi.

Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk kemungkinan tekanan ureter
kiri atau infiltrasi ke kandung kemih, serta hati dan paru untuk metastasis.

II. 10 Tata laksana

Kanker kolon

Tata laksana yang dapat diberikan ialah reseksi operasi luas dari lesi dan drainase
regional limfatik. Reseksi dari tumor primer tetap diindikasikan walaupun telah terjadi
metastase. Abdomen dibuka dan dieksplorasi adakah metastase. Tujuan terapi karsinoma
kolon ialah mengeluarkan tumor dan suplai limfovaskular. Reseksi dari usus tergantung dari
pembuluh darah yang mengaliri bagian kanker tersebut. Organ atau jaringan penyokong

31
seperti omentum nyga harus direseksi en blok dengan tumor. Bila seluruh tumor tidak dapat
diangkat, maka dibutuhkan terapi paliatif. Anastomosis dilakukan diawali dengan irigasi
usus dengan normal solusio saline atau povidon idodin yang diharapkan sel tumor dalam lumen
dapat tercuci atau dihancurkan.

Adanya kanker synchronous atau adenoma atau riwayat keluarga yang kuat terhadap
CRC mengindikasikan seluruh kolon beresiko terhadap karsinoma ( field defect) dan harus
dilkukan subtotal atau total kolektomi. Kanker synchronous ialah adanya lebih dari 2 kanker
secara bersamaan. Metachronous tumor ( reseksi baru pada pasien yang telah direseksi
sebelumnya) juga diterapi serupa.

32
Apabila terdapat metastase tidak terprediksi sebelumnya saat dilakukan laparotomi,
maka tumor primer harus direseksi bila dapat dilakukan dan aman. Selanjutkan dilakukan
anaastomosis. Pada tumor yang tidak dapat direseksi, maka dilakukan prosedur paliatif dan
membutuhkan proksimal stoma atau bypass.

Stage0(Tis,N0,M0)

Polip yang mengandung carcinoma in situ/ high grade dysplasia tidak memiliki resiko
metastasis nodus limfatikus. Akan tetapi, high grade dysplasia meningkatkan resiko
karsinoma invasif. Karena alasan ini, maka polip dieksisi lengkap dan batasnya harus bebas
dari displasia.polip bertangkai harus dilepaskan secara komplit secara endoskopi. Pada pasien
iini, diikuti dengan kolonoskopi teratur yang memastikan bahwa polip tidak rekuren dan tidak
terbentuk karsinoma invasif. Apabila polip tidak dapat diangkat se`luruhnya, maka dilakukan
reseksi segmental.

Stage I: Malignant Polyp (T1, N0, M0)

Pengelolaan polip malignant didasarkan atas resiko rekurensi dan metastasis ke kelenjar
getah bening. Metastase ke kelenjar getah bening berdasarkan kedalaman invasi polip.
Pada invasi limfovaskular, histologi diferensiasi buruk dapat dilkakukan segmental kolektomi.

StagesIandII:LocalizedColonCarcinoma(T1-3,N0,M0)

Mayoritas pasien dengan stadium 1 dan 2 dapat disembuhkan dengan operasi reseksi.
Beberapa pasien dengan reseksi komplit stadium 1 dapat berkembang rekurensi lokal atau
jauh dan kemoterapi tidak meningkatkan survival pasien ini. Sebanyak 46% pasien dengan
reseksi komplit stadium 2 dapat beresiko kematian. Untuk alasan ini, kemoterapi ajuvan
disarankan untuk beberapa pasien ( pasien muda dan resiko tinggi).

Stage III: Lymph Node Metastasis (Tany, N1, M0)

Pasien dengan keterlibatan kelenjar getah bening merupakan resiko yang tinggi
terhadap rekurensi. Oleh karena itu, direkomendasikan ajuvan kemoterapi rutin pada pasien ini.

33
Regimen yang digunakan ialah 5- Flourouracil dengan levamisole atau leukovorin emngurangi
rekurensi dan meningkatkan angka ketahanan hidup. Agen kemoterapi yang baru ialah as
capecitabine, irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis inhibitors, dan immunotherapy.

Stage IV: Distant Metastasis (Tany, Nany, M1)

34
Angka survival sangat terbatas pada stadium ini. Pasien dengan penyakit sistemik, sebanyak

15% akan bermetastase ke hati. Pada stadium ini, sebanyak 20% potensial reseksi untuk
sembuh. Angka survival pada pasien reseksi ini menignkat bila dibandingkan dengan pasien
yang tidak direseksi. Semua pasien membutuhkan kemoterapi ajuvan. Pasien yang
tidakdioperasi difokuskan untuk paliatif terapi. Terapi paliatif yang digunakan ialah stenting
untuk lesi obstruksi kolon kiri.

Reseksi kolorektal

Reseksi kolorektal dilakukan pada kondisi bervariasi termasuk neoplasma ( jinak dan ganas),
inflamatori bowel disease dan kasus lain.

Reseksi

Secara umum, ligasi proksimal mesenterik akan mengelimnasi aliran darah pada bagian
kolon lebih besar dan membutuhkan kolektomi. Reseksi kurativ dari CRC dicapai
dengan ligasi PD mesenterika proksimal dan pembersihan kelenjar getah bening
mesenterika secara radikal. Pada reseksi proses benign, tidak diperlukan reseksi
mesenterika dan omentum dapat tetap dipertahankan.

Emergensi reseksi

Reseksi jenis ini digunakan dalam kasus obstruksi, perforasi dan hemoragi. Pada keadaan
ini, usus tidak ada persiapan dan kondisi pasien tidak stabil. Pada reseksi kolon kanan
atau proksimal tranversal, anastomsosi oleocolonic dapat dilakukan.

Reseksi laparoskopik

Keuntungan dari laparoskopik ialah baik secara kosmetik, mengurangi nyeri post operasi
dan pemulihan usus yang lebih cepat. Reseksi usus besar secara laparoskopik
membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding operasi secara terbuka.

35
Gambar 2.16 Gambar reseksi kolon berdasarkan tumor primer5

Anastomosis

Anastomosis dapat dibentuk melalui 2 segemen usus. Teknik yang digunakan dapat berupa
handsewn atau stapled.

Jenis anastomosis :

1. End to end

Dilakukan ketika 2 segmen usus dengan kaliber yang sama. Teknik ini terutama
dilakukan pada reseksi rektum, tetapi dapat digunakan dalam kolostomi atau anastomosis
usus kecil.

2. End to side

Digunakan bila salah satu bagian usus lebih besar dari lainnya. Teknik ini dilakukan
pada obstruksi kronik.

3. Side to end

Dilakukan ketika usus proksimal lebih kecil daripada bagian distalnya.

4. Side to side

36
Dilakukan bila menyambung kontinuitas diantara 2 pembuluh darah atau segmens
usus dimana tempat terakhirnya telah ditutup.

37
End to end End to sid

Side to side
Gambar 2. 17 Anastomosis

Colostomy

Bentuk kolostomi yang sering digunakan ialah end kolostomi dibanding dengan loop
kolostomi. Kolostomi dibuat pada sisi kiri kolon. Defek pada dinding abdomen dibuat dan akhir
dari kolon dimobilisasi melalui lubang itu. Usus bagian distal yang dikeluarkan melalui dinding
abdomen sebagai mucus fistula atau di dalam abdomen sebagai hartmann’s pouch. Penutupan
kolostomi membutuhkan laparotomi. Stoma didiseksi dari dinding abdomen dan odentifikasi
usus distal, kemudian dilakukan anastomosis end to end.

Komplikasi dari nekrosis dapat terjadi pada masa awal post operasi dikarenakan
terganggunya suplai darah. Retraksi juga dapat terjadi, tapi kolostomi lebih sedikit beresiko.6

38
Gambar 2.18 Kolostom

12 Prognosis

Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastase jauh, yaitu klasifikasi penyebaran
tumor dan tingkat keganasan sel tumor.

39
Untuk tumor yang terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran, angka kelangsungan
hidup lima tahun adalah 80%, yang menembus dinding tanpa penyebaran 75%, dengan
penyebaran kelenjar 32% dan dengan metastasis jauh satu persen. Bila disertai differensiasi
sel tumor buruk, prognosisnya sangat buruk.

II.13 Follow up

1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan setiap 3-6 bulan pada 3 tahun pertama dan setiap 6 bulan
pada tahun keempat dan kelima. Akan tetapi hal ini tidak mutlak dan berdasarkan kondisi
individu dan faktor resiko yang dimiliki oleh pasien.

2. Pemeriksaan carcinoembryonic antigen (CEA)

Pemeriksaan ini masih menjadi kontroversial tetapi berguna walaupun ada


kekurangannya. Kadar CEA serum diperiksa setiap 3 bulan pada pasien selama 3 tahun dan
setiap 6 bulan pada tahun keempat dan kelima. Pemeriksaan ini berguna untuk menilai
kekambuhan pada pasien.

3. CT scan

CT scan dada dan abdomen dilakukan setiap tahun untuk minimal 3 tahun pertama
setelah reseksi tumor primer.

4. Kolonoskopi

Kolonoskopi wajib dilakukan pada semua pasien untuk mendokumentasi tidak adanya
tumor tambahan atau polip. Kolonoskopi dilakukan setelah operasi / 3-6 bulan kemudian dan

40
kemudian tiap tahun sampai 3 tahun kemudian. Bila normal, diulang setiap 5 tahun. Bila
tidak tersedia sarana kolonoskopi, maka dapat dilakukan barium enema dan sigmoidoskopi.

5. Colok dubur/ proctoskopi/ sigmoidoskopi

Diperuntukkan pasien yang mengalami kanker rektal. Pemeriksaan dilakukan pada


bulan ketiga, keenam, setahun dan tahun kedua.

41
42

Anda mungkin juga menyukai