Anda di halaman 1dari 4

Keaslian Hadis

Dalam bukunya yang telah diterjemahkan yang berjudul “Menyoal Relevansi Sunnah
dalam Islam Modern” Daniel memuat pembahasan tentang Keaslian Hadis. Daniel
membagi sub pembahasan ini menjadi empat sub. Pertama mengenai ‘adalah para
sahabat, pelestarian dan penyampaian hadis, keefektifan kritik sanad dan sub terakhir
sunnah tanpa hadis?.

a. ‘Adalah para sahabat


‘Adalah para sahabat merupakan dasar kritik hadis tradisional, karena
‘adalah setiap generasi periwayat harus dibuktikan, dengan pengecualian para
sahabat (yang mana karakter mereka telah dijamin oleh Allah dan Rasul-Nya).
Para sahabat menjadi mata rantai yang diperlukan karena menjadi rantai
epistimologi antara Nabi saw dengan manusia lainnya. Para sahabat menjadi satu-
satunya agen yang dengan perantara mereka pengetahuan andal tentang nabi dan
al-Qur’an dapat tersampaikan. Konsekuensinya, ‘adalah kolektif sahabat menjadi
masalah kedua setelah masalh ‘Ismah nabi. Dalam sensitivenya “ siapa saja yang
menfitnah sahabat nabi, berarti ingin menghancurkan benteng Islam”.1
Menurut Daniel, dalam upaya mempertahankan doktrin ‘adalah, kritikus
hadis pada umumnya menunjuk kepada tiga macam bukti. Pertama, hadis Nabi
SAW memperlihatkan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak sepenuhnya percaya
dengan orang yang dapat disebut dengan sahabat2. Menurut sebuah hadis yang
tekenal, Nabi Saw berkata :”Barang siapa yang menceritakan kebohongan
tentang aku, berarti sengaja merngambil tempatnya di neraka”3. Hadis ini
menunjukan bahwa Nabi saw tau bahwa diantara para sahabat-sahabatnya ada
yang menyebarluaaskan kebohongan tentang dirinya.4
Bukti kedua, yang dikemukakan oleh para penentang hadis adalah tentang
berbagai riwayat tentang konflik dan saling tuduh diantara para sahabat.

1
Abd al Mu’in Shalih, Difa’ ‘an Abi Hurayrah (Baghdad, 1973) h.488
2
Daniel w Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, Trj.Rethinking Tradition In
Modern Islamic Thought (Bandung: Mizan, 2000) H.113
3
Muhammad Bin Isma’il al-Bukhori, Shahih Bukhori (Kairo:Dar al-Hadis, 2002) h.38
4
Daniel W Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, h.113
Contohnya adalah ketika ‘Aisyah Ra dan Ibn ‘Abbas diriwayatkan telah
mengkritik Abu Hurairah, sejumlah sahabat meminta bukti kebenaran riwayat
yang sampai kepada mereka. Umar Ra mempertanyakan riwayat dari Fatimah
Bint Qays, bahkan Umar Ra juga pernah menahan tiga orang orang sahabat untuk
tetap di Madinah agar tidak menyebarluaskan hadis. Contoh lainnya adalah
permasalahan sahabat yang dirasa meriwayatkan hadis melebihi batas kewajaran
yang biasa disebut Iktsar al-Hadis. Kritik iktsar al-Hadis ini ditujukan kepada
sahabat tertentu yang nampaknya mudah dituduh tidak jujur dan ceroboh dalm
meriwayatkan hadis. Sebagaimana yang dituduhkan kepada sahabat Abu Hurairah
dimana Abu Hurairah hanya tinggal bersama nabi selama tiga tahun tetapi bisa
menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis.5
Respons konservatif terhadap serangan-serangan ini cukup keras dan
berkelanjutan. Tantangan terhadap integritas moral para sahabat dipandang
sebagai fitnah yang keji6. Argumen detail dari mereka yang membela‘adalah para
sahabat tidak perlu diulang lagi. Membela ‘adalah sahabat sering mencangkup
membuat daftar kesalehan dan karakteristik terpuji sahabat. Al-Shiba’i
menyatakan bahwa menisbatkan kebohongan kepada para sahabat tidak logis
karena pemalsuan hadis akan segera dikenali oleh sahabat lain7. Perdebatan soal
karakter moral sahabat terjadi dengan menggunakan argumen detail tentang
keaslian dan interpretasi hadis dan riwayat biografis tertentu yang tampak
menyinggung masalah masalah itu. Akibatnya, kritikus hadis merasa canggung
untuk mengkritik hadis dengan menggunakan hadis, suatu wilayah yang tidak
menguntungkan untuk mereka dalam menghadapi lawan konservatif mereka.
Diskusi ini ingin membuktikan bahwa para kritikus hadis ingin menggunakan
bukti yang ada pada mereka , walaupun itu berasal dari literatir hadis itu sendiri,
untuk mempertahankan penolakan mereka terhdap hadis. Dengan kata lain
penolakan mereka terhadap hadis lebih merupakan dogma yang ingin mereka

5
Daniel W Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, h.114
6
Contohnya, lihat Fatwa dari Amjan Al-Zahrawi yang dikutip oleh Juynboll, Muslim Tradition,
191
7
Al-Siba’i, Al-Sunnah wa makanatuha (Kairo:1958) h. 264
pertahankan ketimbang sebuah tesis sejarah yang ingin diterapkan secara
sistematis.8
b. Pelestarian dan penyampaian hadis
Masalah yang tidak kalah penting dalam keandalan sahabat menurut
Daniel adalah tentang cara literaturhadis dilestarikan dan disampaikan. Isu
utamanya cukup sederhana: apakah proses penyampaian hadis cukup dapat
dipercaya, paling tidak untuk menjamin tidak adanya penyimpangan dari inti
hadis yang asli dari nabi saw?.
Studi-studi klasik memperlihatkan bahwa proses penyampaian hadis
terutama dilakukan secara lisan berlangsung paling tidak selama abad pertaman.
Bahkan setelah koleksi tertulis hadis disusun, penyampaian secara lisan masih
ideal. Kelisanan dalam sistem ini merupakan kebajikan dan bukan sebaliknya.
Seperti seorang Faqih yang meremehkan bukti tertulis, dan lebih menyukai
pembuktian lisan langsung. Ulama hadis pun menekankan superioritas
penyampaian hadis secara langsung, pribadi, dan lisan.9
Abad kesembilan belas mengancam perubahan superprioritas atas bukti
lisan terhadap bukti tulisan. Setidaknya di kalangan muslim yang di pengaruhi
oleh pemikiran barat. Sejahrawan barat yang memnuntut bukti dokumenter,
cendrung meragukan keandalan penyampaian secara lisan. Kritik awal orang
Eropa terhadap hadis menekankan keterlambatan pencatatan hadis dan proses
periwayatan hadis yang yang cacat sebagai sumber penyimpangan.10
Jayrajpuri juga menekankan riwayah bil ma’na sebagai sumber
penyimpangan hadis. Karena sahabat tidak mencatat hadis ketika mereka bersama
Rasulullah saw. Juga secara sadar tidak menghafal kata per kata Nabi, maka hal
yang terbaik yang dapat mereka lakuakn adalah menyampaikan apa yang mereka
ingat. Akibatnya para Muhadditsin tidak mempunyai pilihan lain kecuali
menerima penyampain semacam ini. Tak terelakan pada saat kata berubah,

8
Daniel W Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, h.116
9
Tradisi ini masih berlanjut. Muhaddits sejati harus menerima pengetahuannya langsung dari
periwayat lain. Kaitan antara kesaksian legal dengan periwayat hadis, lihat al-Syafi’i, Risalah, 241
10
Daniel W Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, h.116
maknapun berubah. Sahabat sendiri tampaknya menyadari hal ini, maka mereka
mengkritik riwayat satu sama lain dari waktu ke waktu.11
Menurut Daniel, dari uraian ini tampak bahwa para penentang hadis
memiliki dau asumsi umum. Pertama, sesuai dengan ilmu hadis klasik, mereka
berpendapat bahwa hadis disebarkan dalam bentuk lisan sampai paling tidak abad
kedua hijrah. Kedua, mereka berpendapat bahwa periwayatan secara lisan,
terutama praktik riwayah bil ma’na, membuka kesempatan bagi penyimpangan
dan pemalsuan literatur hadis. Pada saat hadis dihimpun dalam kitab-kitab sahih
pada abad ketiga hijrah. Kitab-kitab hadis itu telah rusak hingga tidak ada lagi
harapan perbaikan.12
Respon dominan kaum konservatif terhadap tantangan ini adalah membela
catatan tradisional tentang penyampaian hadis, yaitu argumen penyampaian hadis
secara lisan. Penyamapain hadis secara lisan menurut argumen umum, tidak
hanya dapat dipercaya tetapi juga lebih baik dari pada argumen penyampaian
hadis secara tulisan. Catatan tertulis memiliki sedikit nilai, tanpa dibuktikan
kebenarannya oleh saksi hidup. Terlebih lagi, keandaklan penyampaian hadis
secara lisan dijamin oleh daya ingat orang-orang arab yang luar biasa. Daya ingat
yang kuat umumnya dimiliki oleh orang-orang yang buta aksara, dan kemampuan
untuk mengingat sejumlah informasi dengan tepat berkembang baik terutama
dikalangan orang-orang Arab.

11
Jayrajpuri , ilm-al-Hadis dikutip oleh Daniel W Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam
Islam Modern, h.117
12
Daniel W Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, h.118

Anda mungkin juga menyukai