Anda di halaman 1dari 24

BAB I .

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina. Kornea merupakan media refraksi terbesar
yang dalam pembiasan sinar, oleh karena itu kornea harus tetap jernih dan permukaannya
rata agar tidak menghalangi proses tersebut. Kelainan yang bisa merusak bentuk dan
kejernihan kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat, terutama bila
letaknya di sentral (daerah pupil), bila kelainan ini tidak diobati maka dapat terjadi
kebutaan.1
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. Peradangan
tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun
endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Pola keratitis
dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk. Berdasarkan distribusinya,
keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan kedalamannya,
keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelialm stromal, atau endotelial. Lokasi keratitis
dapat berada di bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya
terdapat keratitis dendritik, disciform, dan bentuk lainnya. Keratitis akan memberikan
gejala mata merah, rasa silau dan merasa kelilipan. Gejala khususnya tergantung dari jenis-
jenis keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis berbeda-
beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika
keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu
ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan gangguan
penglihatan.2

1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kornea

Gambar 1. Anatomi mata


Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina. Kornea merupakan media refraksi terbesar
yang dalam pembiasan sinar, oleh karena itu kornea harus tetap jernih dan permukaannya
rata agar tidak menghalangi proses tersebut. Kelainan yang bisa merusak bentuk dan
kejernihan kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat, terutama bila
letaknya di sentral (daerah pupil).2
Kornea juga merupakan jaringan yang memiliki serabut saraf sensorik terbanyak
(300-400 serabut saraf), yang berasal dari nervus trigeminus. Kornea merupakan jaringan
yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11- 12 mm horizontal dan 10-11 mm
vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau
setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Jika kornea
oedem karena suatu sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat
menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo. Dalam nutrisinya, kornea
bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui
lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus.
Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak
dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Secara histologi,
struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, membrana bowman, stroma, membrana

2
descemet dan endotel. Epitel kornea memiliki ketebalan 50-60 µm atau 5% dari total
ketebalan kornea, dan terdiri dari tiga lapisan yang berbeda yaitu lapisan sel superfisial,
lapisan sel sayap, dan lapisan sel basal. Membran Bowman merupakan lapisan aseluler
yang dibentuk oleh serat kolagen dan merupakan modifikasi dari bagian anterior stroma
dengan ketebalan 8-14 µm. Lapisan ini tidak dapat mengalami regenerasi dan akan
digantikan oleh jaringan parut bila terjadi trauma. Stroma kornea menyusun 90% dari
seluruh ketebalan kornea. Stroma kornea tersusun atas fibril kolagen dengan 8 ukuran yang
seragam, meluas di seluruh permukaan kornea dan membentuk kelompok yang disebut
lamella; serta tersusun atas sel-sel kornea (keratosit) dan matriks ekstraseluler yang terdiri
dari glikoprotein dan glikosaminoglikan. Membran Descemet merupakan lamina basalis
sel-sel endotel kornea. Membran ini terutama tersusun dari kolagen tipe IV dan memiliki
ketebalan 10-12 µm. Endotel kornea merupakan lapisan paling dalam dari kornea. Lapisan
ini terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal yang sel-selnya tidak dapat membelah.
Endotel kornea mempunyai pengaruh yang besar dalam mempertahankan transparansi
kornea.2

Dari anterior ke posterior kornea mempunyai lima lapisan, yaitu:


1. Epitel
a. Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang 
tindih yang terdiri dari satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng. 

b. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berkaitan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya
melalui desmosom dan makula okluden.Ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit, dan 
glukosa yang merupakan barrier. 

c. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi

gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. 

d. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.2 


3
2. Membran Bowman
Membran Bowman terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersususn tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma, lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.2
3. Stroma
Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma terdiri atas lamel yang
merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya. Pada permukaan terlihat
anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serta kolagen ini bercabang. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak di antara serat
kolagen stroma.2
4. Membran Descemet
Membran Descemet merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea. Bersifat sangat elastic dan berkembang terus menerus seumur hidup,
mempunyai tebal 40 mm.2
5. Endotel
Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, dan tebalnya 20-
40 mm. Lapisan ini berperan dalam mempertahankan deturgesensi stroma kornea.2

Gambar 2: Lapisan Kornea

2.2 Fisiologi Kornea


Kornea mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai medium refraksi dan untuk

4
memproteksi lensa intraokular. Kornea menjalankan dua fungsi utama ini dengan cara
mempertahankan sifat transparansi kornea dan pergantian dari jaringannya. Transparansi
kornea dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang uniform yang
sifat deturgescence – nya. Transparansi stroma dibentuk oleh pengaturan fisis special dari
komponen – komponen fibril. Walaupun indeks refraksi dari masing – masing fibril
kolagen berbeda dari substansi infibrilar, diameter yang kecil (300 A) dari fibril dan jarak
yang kecil diantara mereka (300 A) mengakibatkan pemisahan dan regularitas yang
menyebabkan sedikit pembiasan cahaya dibandingkan dengan inhomogenitas optikalnya.
Sifat deturgescence di jaga dengan pompa bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi barrier
dari epitel dan endotel. Kornea di jaga agar tetap berada pada keadaan “basah” dengan
kadar air sebanyak 78%. 2
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang sangatlah
penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25 dioptri dari total
58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74% dari seluruh kekuatan dioptri
mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada kornea dapat memberikan pengaruh
yang cukup signifikan dalam fungsi visus seseorang. Kornea merupakan struktur vital dari
mata dan oleh karenanya kornea sangat sensitif. Saraf – saraf kornea masuk dari stroma
kornea melalui membran bowman dan berakhir secara bebas diantara sel – sel epithelial
serta tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar 2 – 3 mm dari limbus ke sentral kornea,
sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea.2
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus. Sensasi
taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata. Setiap kerusakan pada
kornea (erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose
ujung saraf sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi
dan penutupan bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter
(blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan kepada
kemungkinan adanya cedera kornea. 2
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur jaringan
yang braditrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti penyembuhannya juga lambat.
Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa) diperoleh dari 3 sumber, yaitu :

5
1) Difusi dari kapiler – kapiler disekitarnya 

2) Difusi dari humor aquous 

3) Difusi dari film air mata

Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan

membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan pasien
akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air mata juga
melindungi mata dari infeksi.2
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayanagn di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya
tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan
anterior kornea.2

Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea adalah:


1. Dry eye

Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi 
sehingga tidak
dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yang
kemudian diikuti dengan keluhan subjektif. Kekurangan cairan lubrikasi fisiologis
merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi mikroba pada mata. 

2. Defisiensi vitamin A

Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat 
menyebabkan kekeringan
yang menggambarkan bercak Bitot yang warnanya seperti mutiara yang berbentuk segitiga
dengan pangkal di daerah limbus. Bercak Bitot seperti ada busa di atasnya. Bercak ini tidak
dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk kembali bila dilakukan debridement. Terdapat
dugaan bahwa bentuk busa ini merupakan akibat kuman Corynebacterium xerosis.
Hipovitamin A ini juga dapat menyebabkan keratomalasia dan tukak kornea dimana akan
terlihat kornea nekrosis dengan vaskularisasi ke dalamnya. 

3. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea

Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah 
mikrokornea dan
megalokornea.
Mikrokornea adalah suatu kondisi yang tidak diketahui 
penyebabnya,

6
bisa berhubungan dengan gangguan pertumbuhan kornea fetal pada bulan ke-5. Selain itu
bisa juga berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari puncak anterior optic cup
yang meninggalkan sedikit ruang bagi kornea untuk berkembang. Mikrokornea bisa
berhubungan dengan autosomal dominan atau resesif dengan prediksi seks yang sama,
walaupun transmisi dominan lebih sering ditemukan. 
Megalokornea adalah suatu
pembesaran segmen anterior bola mata. Penyebabnya bisa berhubungan dengan kegagalan
optic cup untuk tumbuh dan anterior tip menutup yang meninggalkan ruangan besar bagi
kornea untuk untuk diisi. 

4. Distrofi kornea

Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea, 
bilateral simetrik
dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses dimulai pada usia bayi 1-2 tahun dapat
menetap atau berkembang lambat dan bermanisfestasi pada usia 10-20 tahun. Pada kelainan
ini tajam penglihatan biasanya terganggu dan dapat disertai dengan erosi kornea. 

5. Trauma kornea

Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi 
atau perforasi
benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau bakteri harus diingat dengan kultur
untuk bakteri dan jamur diambil pada saat pemeriksaan pertama jika memungkinkan.

Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema, robeknya membran
Descemet dan laserasi korneoskleral di limbus.

2.3 Keratitis
2.3.1 Definisi
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. Peradangan
tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun
endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Klasifikasi
menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstitial (parenkimatosa) yang mengenai
lapisan stroma.3

7
2.3.2 Epidemiologi
Menurut Murillo Lopez (2006), Sekitar 25.000 orang Amerika terkena keratitis
bakteri per tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih sedikit pada negara-
negara industri yang secara signifikan lebih sedikit memiliki jumlah pengguna lensa
kontak. Insiden keratitis jamur bervariasi sesuai dengan lokasi geografis dan berkisar dari
2% dari kasus keratitis di New York untuk 35%. di Florida. Spesies Fusarium merupakan
penyebab paling umum infeksi jamur kornea di Amerika Serikat bagian selatan (45-76%
dari keratitis jamur), sedangkan spesies Candida dan Aspergillus lebih umum di negara-
negara utara. secara signifikan lebih sedikit yang berkaitan dengan infeksi lensa kontak.3
2.3.3 Etiologi 3
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya:
1. Virus
2. Bakteri
3. Jamur
4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sunlamps. Hubungan ke sumber
cahaya yang kuat lainnya seperti pengelasan busur
5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.
6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya
pembentukan air mata
7. Adanya benda asing di mata
8. Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel udara seperti debu,
serbuk sari, jamur, atau ragi
9. Efek samping obat tertentu

2.3.4 Patofisiologi 3

Mata yang kaya akan pembuluh darah dapat dipandang sebagai pertahanan
imunologik yang alamiah. Pada proses radang, mula-mula pembuluh darah mengalami
dilatasi, kemudian terjadi kebocoran serum dan elemen darah yang meningkat dan masuk
ke dalam ruang ekstraseluler. Elemen-elemen darah makrofag, leukosit polimorf nuklear,
limfosit, protein C-reaktif imunoglobulin pada permukaan jaringan yang utuh membentuk

8
garis pertahanan yang pertama. Karena tidak mengandung vaskularisasi, mekanisme kornea
dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah, sehingga sel-sel proinflamasi tersebut
dapat merusak kornea.
Rangsangan untuk vaskularisasi timbul oleh adanya jaringan nekrosis yang dapat
dipengaruhi adanya toksin, protease atau mikroorganisme. Secara normal kornea yang
avaskuler tidak mempunyai pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi terjadi juga
pertumbuhan pembuluh limfe dilapisi sel. Sehingga kornea yang seharusnya avaskuler
menjadi tervaskularisasi dan menyebabkan kornea tidak jernih serta menggangu dalam
pembiasan cahaya.
Pada keratitis herpetika yang kronik dan disertai dengan neo-vaskularisasi akan
timbul limfosit yang sensitif terhadap jaringan kornea.

2.3.5 Klasifikasi4
Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapisan yang terkena, yaitu:
1. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel)
2. Keratitis Marginal
3. Keratitis Interstisial

Berdasarkan penyebabnya, keratitis diklasifikasikan menjadi:


1. Keratitis Bakteri
2. Keratitis Jamur
3. Keratitis Virus
4. Keratitis Herpetik
a. Keratitis Infeksi Herpes Zoster
b. Keratitis Infeksi Herpes Simplek :
Keratitis Dendritik dan Keratitis Disiformis
5. Keratitis Alergi
a. Keratokonjungtivitis
b. Keratokonjungtivitis epidemi
c. Tukak atau ulkus fliktenular

9
d. Keratitis fasikularis
e. Keratokonjungtivitis vernal
Berdasarkan bentuk klinisnya, keratitis diklasifikasikan menjadi:
1. Keratitis Flikten
2. Keratitis Sika
3. Keratitis Neuroparalitik
4. Keratitis Numuralis

Klasifikasi keratitis berdasarkan lapisan kornea yang terkena, yaitu:


A. Keratitis Pungtata
Keratitis yang terkumpul di daerah Bowman, dengan infiltrat berbentuk bercak-
bercak halus. Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran seperti infiltrat halus
bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan cacat halus kornea superfisial dan hijau
bila diwarnai fluoresein. Sedangkan keratitis pungtata subepitel adalah keratitis yang
terkumpul di daerah membran Bowman.5,6

Gambar 2. Keratitis Pungtata


B. Keratitis Marginal

Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus.
Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis
marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien usia petengahan,
dengan disertai adanya blefarokonjungtivitis.

10
Gambar 3. Keratitis Marginal
C. Keratitis Interstitial 6
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh darah ke
dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial
dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis
interstitial.

Gambar 4. Keratitis Intersisial

Klasifikasi keratitis berdasarkan penyebabnya, yaitu :3,6


A. Keratitis Fungal/Jamur (Keratomikosis)
a. Definisi
Keratitis infektif yang disebabkan oleh jamur merupakan diagnosis terbanyak pada
negara India3, 5, 13, sedangkan data prevalensi di Indonesia belum tersedia. Jamur
terkadang merupakan flora normal eksternal di mata karena berhasil diisolasi dari sakus
konjungtiva pada 3-28% mata normal.14 Pada mata yang mengalami penyakit, angka
isolasi jamur dapat mencapai 17-37%.
b. Etiologi
Jamur yang umumnya terdapat pada mata normal adalah Aspergillus spp.,
Rhodotorula spp., Candida spp., Penicillium spp., Cladosporium spp., dan Alternaria spp.
Insidensi keratomikosis di Amerika Serikat adalah 6-20% dan umumnya terjadi di daerah
pedesaan. Aspergillus spp. merupakan penyebab terbanyak keratitis yang timbul di seluruh
dunia.14 Candida spp. dan Aspergillus spp. adalah penyebab keratitis jamur terbanyak di

11
Amerika Serikat.14 Tanda dan gejala Fusarium spp. dilaporkan sebagai penyebab keratitis
jamur di Afrika, India, China dan Jepang. Isolat terbanyak di negara India adalah
Aspergillus spp., Penicillium spp., dan Fusarium spp. Identifikasi jamur yang akurat sangat
penting untuk pencegahan paparan di masa yang akan datang dan penentuan modalitas
terapi terbaik
Gejala keratitis jamur umumnya tidak seakut keratitis bakterial. Gejala awal dapat
berupa rasa mengganjal di mata dengan peningkatan rasa nyeri. Tanda klinis yang paling
sering ditemukan pada pemeriksaan lampu celah juga umum ditemukan pada keratitis
mikrobial seperti supurasi, injeksi konjungtiva, defek epitel, infiltrasi stroma, reaksi radang
di bilik mata depan atau hipopion.6 Tanda klinis yang dapat membantu penegakan
diagnosis keratitis jamur filamentosa adalah ulkus kornea yang bercabang dengan elevasi,
batas luka yang iregular dan seperti kapas, permukaan yang kering dan kasar, serta lesi
satelit Tampilan pigmentasi coklat dapat mengindikasikan infeksi oleh jamur dematiaceous
Keratitis jamur juga dapat memiliki tampilan epitel yang intak dengan infiltrat stroma yang
dalam . Walaupun terdapat tanda-tanda yang cukup khas untuk keratitis jamur, penelitian
klinis gagal membuktikan bahwa pemeriksaan klinis cukup untuk membedakan keratitis
jamur dan bakterial.
c. Faktor Resiko
Faktor risiko utama untuk keratitis jamur adalah trauma okular.15 Faktor risiko lain
untuk keratitis jamur adalah penggunakan kortikosteroid. Steroid dapat mengaktivasi dan
meningkatkan virulensi jamur, baik melalui penggunaan sistemik maupun topikal. Faktor
risiko lainnya adalah konjungtivitis vernal atau alergika, bedah refraktif insisional, ulkus
kornea neurotrofik yang disebabkan oleh virus varicellazoster atau herpes simpleks,
keratoplasti, dan transplantasi membran amnion. Faktor predisposisi keratitis jamur untuk
pasien keratoplasti adalah masalah jahitan, penggunaan steroid topikal dan antibiotik,
penggunaan lensa kontak, kegagalan graft, dan defek epitel persisten. Trauma umumnya
terjadi di lingkungan luar rumah dan melibatkan tumbuhan. Pada tahun 2009 terjadi
peningkatan insiden keratitis jamur yang disebabkan oleh Fusarium spp. pada pengguna
lensa kontak yang dikaitkan dengan larutan pembersih ReNu with MoistureLoc. Median
usia pasien adalah 41 tahun dan 94% menggunakan lensa kontak soft. Pada pemeriksaan

12
pabrik, gudang, filtrat larutan maupun botol Renu yang belum dibuka tidak ditemukan
kontaminasi oleh jamur. Penyebab yang paling mungkin adalah hilangnya aktivitas
fungistatik akibat peningkatan suhu yang berkepanjangan. Sejak ditarik dari peredaran pada
tahun 2006, angka keratitis jamur telah kembali menurun. Selain Fusarium, jamur lain yang
juga dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak adalah Acremonium,Alternaria,
Aspergillus, Candida, Collectotrichum, and Curvularia. Jamur dapat tumbuh di dalam
matriks lensa kontak soft.
Penyakit sistemik juga merupakan faktor risiko bagi terjadinya keratitis jamur,
terutama yang berkaitan dengan imunosupresi. Suatu penelitian mencatat angka insidensi
diabetes mellitus sebesar 12% pada sekelompok penderita keratitis jamur. Pasien yang
menderita penyakit kronik dan menjalani perawatan rawat inap intensif juga memiliki
predisposisi untuk terjadinya keratitis jamur, terutama Candida spp. Pada suatu penelitian
di Afrika ditemukan bahwa pasien yang positif-HIV memiliki kemungkinan yang lebih
besar untuk menderita keratitis jamur dibandingkan pasien yang HIv-negatif. Hal ini juga
ditemukan pada pasien penderita kusta. Keratitis jamur pada anak jarang dijumpai pada
penelitian di luar negeri. Biasanya penyakit ini ditemukan setelah terjadi trauma organik
pada mata. Pada suatu penelitian, keratitis jamur pada anak memiliki prevalensi 18% dari
seluruh keratitis anak yang dikultur. Anamnesis sulit digali pada sebagian besar kasus, oleh
karena itu seluruh kasus dengan kecurigaan keratitis harus menjalani pemeriksaan kultur
jamur.
d. Patologi
Hifa jamur cenderung masuk stroma secara paralel ke lamella kornea.Mungkin ada nekrosis
koagulatif stroma kornea yang meluas dengan edema serat kolagen dan keratosit. Reaksi
inflamasi yang menyertai kurang terlihat daripada keratitis bakterialis. Abses cincin steril
mungkin ada yang terpisah pusat ulkus. Mikroabses yang multipel dapat mengelilingi lesi
utama. Hifa berpotensi masuk ke membran descemet yang intak dan menyebar ke kamera
okuli anterior.
e. Manifestasi Klinis
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam
bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini

13
dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut , respon antigenik
dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.

Gambar 5. Keratitis Fungal


Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi
abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang
tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan
dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun
dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon
antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul.
Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Untuk
menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :
- Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama
- Lesi satelit
- Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di
bawah endotel utuh
- Plak endotel
- Hypopyon, kadang-kadang rekuren
- Formasi cincin sekeliling ulku
- Lesi kornea yang indolen
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya
dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat
dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India. Biopsi jaringan kornea
dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver.

14
g. Terapi
Obat-obat anti jamur yang dapat diberikan meliputi:
Polyenes termasuk natamycin, nistatin, dan amfoterisin B.
Azoles (imidazoles dan triazoles) termasuk ketoconazole, Miconazole, flukonazol,
itraconazole, econazole, dan clotrimazole.`
h. Prognosis
Prognosis keratitis jamur bervariasi sesuai dengan kedalaman dan ukuran lesi serta
organisme penyebab. Infeksi superfisial yang kecil umumnya memiliki respon yang baik
terhadap terapi topikal. Infeksi stroma yang dalam atau dengan keterlibatan sklera maupun
intraokular lebih sulit untuk ditangani. Suatu penelitian intervensional prospektif
mengevaluasi terapi natamisin topikal pada 115 pasien keratitis jamur. Pada penelitian
tersebut, 52 pasien mengalami keberhasilan terapi, 27 menderita ulkus yang pulih walaupun
lambat, dan 36 mengalami kegagalan terapi. Analisis multivariat memperlihatkan bahwa
kegagalan terapi berhubungan dengan ukuran lesi yang lebih dari 14 mm 2 , adanya
hipopion, dan Aspergillus sebagai organisme penyebab. Jika penanganan medis gagal,
dapat dilakukan operasi.

B. Keratitis Bakteri3,4,6
a. Faktor Risiko
Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel kornea adalah potensi
penyebab atau faktor risiko bakteri keratitis, beberapa faktor risiko terjadinya keratitis
bakteri diantaranya:
Penggunaan lensa kontak
Trauma
Kontaminasi pengobatan mata
Riwayat keratitis bakteri sebelumnya
Riwayat operasi mata sebelumnya
Gangguan defense mechanism
Perubahan struktur permukaan kornea

15
b. Manifestasi Klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang
terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur. Pada
pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema
kornea, infiltrasi kornea

Gambar 6. Keratitis Bakterial


c. Etiologi

Tabel 1. Etiologi Keratitis Bakteri

d. Manifestasi Klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang
terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur. Pada

16
pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema
kornea, infiltrasi kornea
e. Terapi
Dapat diberikan inisial antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur
bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan:

C. Keratitis Virus 4,6


a. Etiologi
Herpes Simpleks Virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering pada
kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan parasit
intraselular obligat, dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina
dan mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga
hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.
b. Patofisiologi
Patofisiologi keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk :
- Pada epitelial : kerusakan terjadi akibat pembiakan virus intraepitelial mengakibatkan
kerusakan sel epitel dan membentuk tukak kornea superfisial.

17
- Pada stromal : terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu
reaksi antigen-antibodi yang menarik sel radang ke dalam stroma. Sel radang ini
mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak stroma di
sekitarnya.
c. Manifestasi Klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, mata
berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang terkena.Infeksi
primer herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis folikularis akut disertai
blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan kelenjar limfe regional. Kebanyakan
penderita juga disertai keratitis epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada
dasarnya infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu di mana
daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma

Gambar 7. Keratitis Virus


d. Pemeriksaan Penunjang
Usapan epitel dengan Giemsa multinuklear noda dapat menunjukkan sel-sel raksasa,
yang dihasilkan dari perpaduan dari sel-sel epitel kornea yang terinfeksi dan virus
intranuclear inklusi
e. Terapi
Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial, karena
virus berlokasi didalam epithelial. Debridement juga mengurangi beban antigenic virus
pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun epitel yang terinfeksi
mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat
siklopegik seperti atropine 1% atau homatropin 5%

18
diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus
diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumnya
dalam 72 jam.
Terapi Obat
- IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan diberikan setiap
jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam)
- Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep
- Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam
- Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
- Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada orang
atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.
Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien
yang mempunyai parut kornea yang berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan
setelah penyakit herpes non aktif.

D. Keratitis Alergi4,6
a. Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, biasanya penderita sering
menunjukkan gejala alergi terhadap tepung sari rumput-rumputan.
b. Manifestasi Klinis
- Bentuk palpebra: cobble stone (pertumbuhan papil yang besar), diliputi sekret mukoid.
- Bentuk limbus: tantras dot (penonjolan berwarna abu-abu, seperti lilin)
- Gatal
- Fotofobia
- Sensasi benda asing
- Mata berair dan blefarospasme
c. Terapi
- Biasanya sembuh sendiri tanpa diobati
- Steroid topikal dan sistemik

19
- Kompres dingin
- Obat vasokonstriktor
- Cromolyn sodium topikal
- Koagulasi cryo CO2
- Pembedahan kecil (eksisi)
- Antihistamin umumnya tidak efektif
- Kontraindikasi untuk pemasangan lensa kontak

Klasifikasi keratitis berdasarkan bentuk klinisnya, yaitu:


A. Keratitis Flikten/Skrofulosa/Eksemtosa
Flikten merupakan benjolan berdiameter 1-3 mm berwarna abu-abu pada lapisan
superfisial kornea. Epitel diatasnya mudah pecah dan membentuk ulkus. Ulkus ini dapat
sembuh atau tanpa meninggalkan sikatrik. Adapula ulkus yang menjalar dari pinggir ke
tengah, dengan pinggir meninggalkan sikatrik sedangkan bagian tengah nya masih aktif,
yang disebut wander phlyctaen. Keadaan ini merupakan proses yang mudah sembuh, tetapi
kemudian kambuh lagi di tempat lain bila penyebabnya masih ada dan dapat menyebabkan
kelainan kornea berbentuk bercak-bercak sikatrik, menyerupai pulau-pulau yang disertai
‘geographic pattern’.

20
B. Keratitis Sika
Merupakan peradangan konjungtiva dan kornea akibat keringnya permukaan kornea
dan konjungtiva. Penyebab keringnya permukaan konjungtiva dan kornea, yaitu:
- Berkurangnya komponen lemak, seperti pada blefaritis
- Berkurangnya airmata, seperti pada syndrome syrogen, setelah memakai obat diuretik,
atropin atau dijumapai pada usia tua.
- Berkurangnya komponen musin, dijumpai pada keadaan avitaminosis A, penyakit-
penyakit yang menyebabkan cacatnya konjungtiva, seperti trauma kimia, Sindrom Steven
Johnson, trakoma.
- Penguapan yang berlebihan seperti pada kehidupan gurun pasir, lagoftalmus, keratitis
neuroparalitika.
- Adanya sikatrik pada kornea.
Gejala klinis yang sering timbul yaitu mengeluh mata terasa gatal, terasa seperti ada
pasir,fotopobi,visus menurun, secret lengket, mata terasa kering. Dari hasil pemeriksaan
didapatkan sekret mukus dengan tanda-tanda konjungtivitis dengan xerosis konjuntiva,
sehingga konjungtiva bulbi edema, hiperemi, menebal, kering, tak mengkilat, warnanya
mengkilat. Terdapat infiltrat-infiltrat kecil,letak epiteleal,tes fluoresen (+). Terdapat juga
benang-benang (filamen) yang sebenarnya sekret yang menempel, karena itu, disebut juga
keratitis filamentosa.

C. Keratitis Numularis
Diduga dari virus. Pada klinis, tanda-tanda radang tidak jelas, terdapat infiltrat
bulat-bulat subepitelial di kornea, dimana tengahnya lebih jernih, disebut halo (diduga
terjadi karena resorpsi dari infiltrat yang dimulai di tengah). Tes fluoresen (-). Keratitis ini
kalau sembuh meninggalkan sikatrik yang ringan.

Gambar 8. Keratitis Numularis

21
D. Keratitis Legoftalmos
Keratitis yang terjadi akibat adanya legoftalmos dimana kelopak tidak dapat
menutup dengan sempurna sehingga terdapat kekeringan kornea. Lagoftalmos akan
mengakibatkan mata terpapar sehingga terjadi trauma pada konjungtivadan kornea menjadi
kering dan terjadi infeksi. Infksi ini dapat dalam bentuk konjungtivitis atau suatu keratitis.
Lagoftalmos dapat disbabkan tarikan jaringan parut pada tepi klopak, eksoftalmos,
paralise saraf facial, dan atoni orbiukularis okuli.
Lagoftalmos partial pada waktu tidur dapat ditmukanpada pasien histeria, lelah dan
anak sehat.
Pengobatan keratitis lagoftalmos ialah dengan mengatasi kausa dan air mata buatan.
Untuk mencegah infeksi sekunder diberikan salep mata.
E. Keratitis Neuroparalitik
Keratitis neuroparalitik merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus,
sehingga terdapat kekeruhan kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea.
Gangguan persarafan ke lima dapat terjadi akibat hrps zoster, tumor fosa posterior kranium,
dan keadaan lain sehingga kornea menjadi anstetis.
Pada kornea ini akan mudah terjadi infeksi sehinggaakan mngakibatkan
terbentuknya tukak kornea. Pada keadaan anastesis dan tanpa persarafan, kornea kehingan
daya pertahananya terhadap iritasi dari luar. Pada keadaan ini diduga terjadi kemunduran
metabolism kornea yang memudahkan terjadinya peradangan kornea.
Pasienakan mengeluhkan tajam pnglihatan menurun, silau dan tidak nyeri. Mata
akan meemberiksan gejala jarang berkeedip karena hilangnya refleks mngedip, injeksi
siliar, permukaan kornea keruh, infiltrat danvesikel pada kornea. Dapat terlihat
terbentuknya deskuamasi epitel seluruh permukaan kornea yang dimulaipada bagian tengah
dan meninggalkan sedikit lapisan pitel kornea yang sehat di dekat limbus.
Pada keadaan ini pengobatan diberikan untuk mencegah infeksi sekundenya, berupa
peengobatan keratitis, tersorafi, dan menutup pungtum lakrima.

22
d. Komplikasi4
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis adalah penipisan kornea dan akhirnya
perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophtalmitis sampai hilangnya penglihatan
(kebutaan). Beberapa komplikasi yang lain diantaranya:
- Gangguan refraksi
- Jaringan parut permanent
- Ulkus kornea
- Perforasi kornea
- Glaukoma sekunder
e. Prognosis4
Keratitis dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepat dan jika tidak
diobati dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks dan dapat
mengakibatkan hilang penglihatan selamanya.
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, tergantung dari:
- Virulensi organisme
- Luas dan lokasi keratitis
- Hasil vaskularisasi dan atau deposisi kolagen
- Penyulit/penyakit lain yang alami pasien
- Kepatuhan pasien dalam pengobatan

23
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San


Fransisco 2008-2009. p. 179-90
2. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata..Dalam : Ilmu Penyakit Mata edisi–3. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2010. h. 1–13.
3. Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak..Dalam : Ilmu Penyakit
Mata edisi–3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. h. 78–147.
4. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI.
5. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta :
EGC. 2009. p. 125-49.
6. Thygeson P. "Superficial Punctate Keratitis". Journal of the American Medical
Association. 1997. 144:1544-1549. Available at : http://webeye. ophth.uiowa.edu/
dept/service/cornea/cornea.htm (accessed: Agustus 2019)

24

Anda mungkin juga menyukai