Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Vaginosis bakterial adalah spektrum kondisi yang menyebabkan gejala vagina

dan vulva seperti, gatal-gatal, rasa terbakar, iritasi, bau dan sekret vagina. Infeksi

Bacterial Vaginosis (BV) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering

dihadapi oleh wanita yang berada dalam masa reproduksi dimana terdapat

ketidakseimbangan flora normal yang terdapat di vagina. Vaginosis bakterial muncul

karena pertumbuhan flora bakteri anaerob lebih banyak sehingga mengganti flora

normal Lactobacillus.1

Etiopatogenesis vaginosis bacterial belum sepenuhnya dipahami, namun

diduga terkait dengan faktor hubungan seksual (pasangan seks multipel dan riwayat

infeksi menular seksual) . Vaginosis bakterial sering terjadi pada wanita usia

produktif yang aktif secara seksual, lesbian, ibu hamil, pengguna alat kontrasepsi

dalam rahim dan penggunaan pembersih vagina.2

Prevalensi dan distribusi BV bervariasi diantara seluruh populasi di dunia.

Beberapa penelitian melaporkan prevalensi BV tinggi pada populasi ras Afrika, Afro-

Amerika, dan Afro-Karibia. Prevalensi BV didapatkan sebesar 32% di antara wanita

Asia di India dan Indonesia. Berdasarkan Penelitian Pujiastuti di poli IMS RSUD Dr.

Soetomo Surabaya periode 2007-2011 didapatkan 35 pasien baru BV, yang

1
merupakan 0.71% dari jumlah kunjungan pasien Divisi IMS. Kelompok usia

terbanyak didapatkan pada kelompok usia 25-44 sebanyak 74.3%.3

Diagnosis BV diperoleh dari klinis dan pewarnaan gram. Diagnosis ditegakan

dengan beberapa metode, yaitu Kriteria Nugent, Kriteria Amsel, Kriteria Spiegel.

Kriteria Amsel paling sering digunakan karena lebih mudah dan murah.4

Penatalaksanaan bertujuan menghilangkan tanda dan gejala infeksi vagina, serta

mengurangi risiko komplikasi infeksi. Penatalaksanaan BV berupa antimikroba

metronidazole atau klindamisin sistemik maupun topikal.3

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas epidemiologi, faktor risiko, patogenesis, gejala klinis,

diagnosis, diagnosis banding dan penatalaksanaan pada vaginosis bakterialis.

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui epidemiologi, faktor risiko,

patogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding dan penatalaksanaan pada

vaginosis bakterialis

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk

berbagai literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Vaginosis bakterial merupakan penyebab duh genital terbanyak pada wanita

usia produktif (lebih dari 30%), sangat jarang ditemukan pada usia prepubertas.

Beberapa penelitian melaporkan prevalensi BV tinggi pada populasi ras Afrika dan

Amerika (45-55%). Pada ras kaukasia prevalensi hanya sekitar (5-15%). Prevalensi

BV didapatkan sebesar 32% di antara wanita Asia di India dan Indonesia.

Berdasarkan Penelitian Pujiastuti di poli IMS RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode

2007-2011 didapatkan 35 pasien baru BV, yang merupakan 0.71% dari jumlah

kunjungan pasien Divisi IMS. Kelompok usia terbanyak didapatkan pada kelompok

usia 25-44 sebanyak 74.3%. Pasien yang menderita vaginosis bakterial berisiko

menderita penyakit menular seksual lainnya termasuk infeksi HIV3,5

2.2 Etiologi dan Faktor risiko

Vaginosis bakterial merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh

bertambahnya organisme anaerob lebih banyak dari flora normal Lactobaciluus Sp.

terutama yang menghasilkan hydrogen peroksida. Organise anaerob yang sering

terlibat diantaranya Gardnerella vaginalis, Prevotella, Mobilincu spp,

Peptostreptococcus dan Mycoplasma hominis. 2,5

Etiopatogenesis vaginosis bakterial belum sepenuhnya dipahami, namun

diduga terkait dengan faktor hubungan seksual (pasangan seks multipel dan riwayat

3
infeksi menular seksual) . Vaginosis bakterial sering terjadi pada wanita usia

produktif yang aktif secara seksual, lesbian, ibu hamil, pengguna alat kontrasepsi

dalam rahim dan penggunaan pembersih vagina.2

Faktor risiko lain yang diduga terlibat diantaranya ras kulit hitam, merokok,

mestruasi, wanita dengan pasangan laki-laki yang tidak di sirkumsisi, kemisikinan,

kekurangan vitamin D, stress kronik dan genetik. Penggunaan kontrasepsi hormonal

terkait dengan berkurangnya prevalensi vaginosis bakterial.6

2.3 Patogenesis

Vaginosis bakterial timbul akibat perubahan ekosistem mikrobiologis vagina,

sehingga bakteri normal dalam vagina (Lactobacillus sp) sangat berkurang. Secara

invitro, Lactobacillus sp akan menghambat G. vaginallis, Mobiluncus dan batang

anaerob gram negatif. Beberapa galur Lactobacillus dapat menghasilkan hidrogen

peroksida (H2O2) yang banyak dijumpai pada orang dengan vaginal normal

dibandingkan orang dengan vaginosis bakterial.

Cairan vagina pasien vaginosis bakterial mengandung banyak endotoksin,

sialidase dan glikosidase yang akan mendegradasi musin sehingga mengurangi

viskositas duh dan menghasilkan duh tubuh vagina yang homogen dan encer. 2 Bau

amis dihasilkan dari produksi amin dari bakteri anaerob. Bau amis meningkat dnegan

bertambahnya pH Saat pH vagina menjadi basa terutama setelah hubungan seksual

dan saat menstruasi bau amis semakin meningkat. Vaginosis bakterial tidak disertai

dengan inflamasi mukosa dinding vagina dan jarang mengakibatkan rasa gatal di

vulva.1

4
Hipotesis faktor Ras dan Sosial berpengaruh pada flora normal vagina

Ph vagina lebih tinggi pada wanita afrika-amerika dari pada wanita berkulit

putih pada sebuah penelitian, temuan ini mungkin terkait degan faktor lain yang

meningkatkan insidensi vaginosis bakterial pada wanita afrika-amerika. Studi

menunjukan terdapat perbedaan mikrobiota pada vagina ras afrika-amerika dan

turunan ras eropa, dimana wanita turunan ras eropa memiliki flora normal

Lactobacillus sp. yang lebih dominan dan ras amerika eropa memiliki mikrobiota

vagina yang dominan oleh bakteri anaerob yaitu anaerococcus, BV-associated

bacterium (BVAB), Dialister, Peptinophilus, Coriobacteriacea, Parvimonas,

Megasphera, Sneathia, Prevotella amnii, atophibium. G. vaginalis Penelitian

terhadap penderita vaginosis bakterial menunjukan ras afrika-amerika cenderung

dengan kolonisasi BVAB, Gemella, Bulleidia, Dialister dan Sneathia dan ras eropa

cenderung dengan kolonisasi mycoplasma hominis dan corynebacterium.

Hipotesis sosial terkait dengan vaginosis bakterial terkait dengan nutrisi dan

pergaulan. Terdapat hubungan antara diet tinggi lemak dan vaginosis bakterial dan

komsumsi asam folat, vitamin E dan kalsium, mengurangi terjadinya vaginosis

bakterial. Pasangan seksual yang multipel pada suatu lingkungan pergaulan juga

meningkatkan kecenderungan vaginosis bakterial.7

5
Hipotesis penggunaaan alat-alat dan bahan intravagina berpengaruh pada

vaginosis bakterial

Penggunaan bahan dan alat-alat intravagina dapat menyebabkan perubahan

flora normal vagina seperti penggunaan tampon, kebiasaan douching vagina ,

penggunaan herbal dan bahkan cairan semen yang alkali. Paparan terhadap semen

dengan pH lebih dari 7.2 terbukti mendukung tumbuhnya BVAB, selain itu

prevalensi vaginosis bakterial juga tinggi pada wanita yang berhubungan seks dengan

sesama wanita.. Penggunaan produk perawatan alat kewanitaan seperti, pembalut,

panty liners, sprays, bedak tidak terkait dengan terjadinya vaginosis bakterial.7

Kebiasaan Douching

Selain itu, BV dapat juga terjadi tanpa hubungan seksual. Menurut Office on

Women’s Health, US Department of Health and Human Services, kebiasaan douche

dapat meningkatkan risiko BV.8 Wanita yang sering douche (sekali seminggu)

berpotensi 5kali lipat lebih mungkin untuk mengembangkan BV daripada wanita

yang tidak douche.9 Kebanyakan dokter menyarankan supaya wanita tidak douche.

Douching dapat mengubah keseimbangan flora vagina (bakteri yang hidup dalam

vagina) dan keasaman vagina yang sehat.9

Vagina yang sehat memiliki bakteri baik dan berbahaya. Keseimbangan

bakteri komensal membantu menjaga lingkungan asam. Lingkungan asam

melindungi vagina dari infeksi atau iritasi. Douching dapat menyebabkan

pertumbuhan berlebih dari bakteri berbahaya. Hal ini dapat menyebabkan infeksi ragi

6
atau Vaginosis bakterial. Jika seseorang sudah memiliki infeksi vagina, douching

dapat mendorong bakteri penyebab infeksi, ke dalam rahim, saluran tuba, dan

ovarium. Hal ini dapat menyebabkan penyakit radang panggul.9

Hipotesis Vaginosis bakterial adalah Infeksi Menular seksual

Aktivitas seksual merupakan faktor risiko untuk Vaginosis bakterial, terutama

ketika kondom tidak digunakan secara konsisten. Bukti epidemiologi sangat

mendukung transmisi seksual dari BV patogen. Wanita yang berhubungan seks

dengan wanita beresiko untuk infeksi menular seksual (IMS). Insidensi vaginosis

bakterial juga tinggi pada wania yang berhubungan seksual dengan wanita.7 Wanita

lesbian dan biseksual dapat mengalami IMS satu sama lain melalui:Kulit-ke-kulit,

kontak mukosa (misalnya, mulut ke vagina) cairan vagina, darah haid dan berbagi

mainan seks. Beberapa IMS lebih umum di kalangan lesbian dan wanita biseksual

dan dapat lolos dengan mudah dari wanita untuk wanita termasuk vaginosis bakterial.

IMS lain sangat kecil kemungkinannya untuk diteruskan dari wanita dengan wanita

melalui hubungan seks (seperti HIV). BV dikaitkan dengan peningkatan kerentanan

terhadap berbagai infeksi menular seksual, termasuk gonore, herpes, trichomoniasis

dan HIV namun BV belum dapat dikategorikan dalam infeksi menular seksual.7

Pada tahun 2014, Schwebke dkk meneliti tentang patogenesis vaginosis

bakterial dengan G. vaginalis sebagai patogen utama. Penelitian ini menunjukan G.

vaginalis dengan jalur metabolism menurunkan reduksi dan oksidasi dan faktor

virulensi yaitu, kemampuan untuk melekat pada reseptor sel epitel vagina, produksi

substansi sitotoksik terhadap sel host dan kemampuan membentuk biofilm.7

7
Gambar 2.1 Patogenesis vaginosis bakterial dengan G. vaginalis sebagai patogen7

utama

Faktor Stres

Stres adalah suatu peristiwa fisik atau emosional yang dapat mempengaruhi

tubuh dan / atau kesehatan emosional individu. Awalnya stres memicu respon fight-

or-flight. Pada saat yang sama pencernaan dan sistem kekebalan tubuh melambat.

Kortisol, adrenalin dan noradrenalin dilepaskan oleh kelenjar adrenal, untuk

membantu melakukan perubahan yang diperlukan untuk mengatasi stres.Sebagai

respon stres dipertahankan, tubuh terus memproduksi kortison dalam jumlah tinggi,

yang dapat menyebabkan siklus tidur terganggu, peningkatan kebutuhan gizi dan

kekebalan menurun. Respon stres dan kekebalan rendah, dapat menyebabkan vagina

menjadi lebih rentan terhadap ketidakseimbangan flora.10

8
Penggunaan kontrasepsi

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pil KB kombinasi oral dan

progestin, serta penggunaan kondom, adalah pelindung terhadap BV. Hubungan

antara BV dan penggunaan IUD kurang jelas; beberapa penelitian telah menunjukkan

peningkatan risiko BV pada pengguna IUD sedangkan penelitian lain tidak

menemukan peningkatan risiko pada pengguna. Penggunaan IUD yang menyebabkan

perdarahan yang tidak teratur memiliki dua kali lebih kemungkinan untuk

berkembang menjadi BV. Beberapa mekanisme potensial dimana perdarahan tidak

teratur bisa meningkatkan risiko akuisisi BV adalah, darah memiliki pH netral yang

meningkatkan pH vagina normal asam. Hubungan antara menstruasi dan kekambuhan

BV telah dijelaskan dengan peningkatan bakteri anaerob dan penurunan lactobacilli.

Selain itu, lactobacilli adhesi pada sel-sel darah merah yang dapat mengakibatkan

konsentrasi lactobacillus vagina menurun pada wanita dengan perdarahan uterus yang

sering atau terus-menerus.11

2.4 Gejala Klinis

Sebanyak 50% perempuan yang menderita vaginosis bakterial tidak

menunjukan keluhan atau gejala (asimtomatik). Bila ada keluhan, umumnya berupa

duh tubuh vagina abnormal yang berbau amis, yang seingkali terjadi setelah

hubungan seksual tanpa kondom. Jarang terjadi keluhan gatal, dysuria, dispareunia.

Umunya pasangan seksual atau suami pasien yang mengeluhkan mengani duh vagina

tersebut.

9
Pada pemeriksaan klinis menunjukan duh tubuh vagina berwarna abu-abu

homogen, viskositas rendah atau normal, berbau amis, melekat di dinding vagina,

seringkali terlihat di labia dan fourchette, pH sekret vagina berkisar antara 4.5-5.5.

tidak ditemukan tanda peradangan gambaran serviks normal.2

Gambar 2.2. Gambaran klinis vaginosis bakterialis.

Tampak gambaran klasik dari vaginosis bakteri : keputihan yang berwarna putih
keabuan, terdapat bau amis yang menyengat

2.5 Diagnosis

Diagnosis Vaginosis bakterial ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan

riwayat sekresi vagina terus-menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang-kadang

penderita mengeluh iritasi pada vagina disertai disuria/dispareunia, atau nyeri

abdomen namun keadaan ini jarang terjadi. Pada pemeriksaan inspekulo dapat

ditemukan sekret vagina yang berwarna putih atau abu-abu yang melekat pada

dinding vagina.2

10
2.5.1 Kriteria Diagnosis

Penegakan diagnosis vaginosis bakterial dapat digunakan kriteria klinis

maupun pemeriksaan gram. Pemeriksaan gram digunakan berbagai labratorium

sebagai standar diagnosis. Pemeriksaan ini digunakan untuk memperkirakan

konsentrasi lactobacillus dan bakteri anaerob gram negatif.

Kriteria Nugent dan kriteria Amsel merupakan kriteria yang palin sering

digunakan. Namun demikian kriteria Amsel lebih disukai karena mudah, murah dan

lebih efektid dari pada penggunaan kriteria Nugent. Kriteria Hay Ison

direkomendasikan oleh Bacterial Special Interest group BASHH untuk

diimplementasikan di klinik genitourinary.4

a. Kriteria Amsel

1. Duh tubuh homogen, putih ke abu-abuan, melekat di vulva dan vagina

2. Terdapat clue cells pada duh vagina (>20% total epitel vagina tampak pada

pemeriksaan sediaan basah dengan NaCl fisiologis dan pembesaran 100 kali

3. Timbul bau amis pada duh vagina bila ditetesi KOH 10%

4. pH duh vagina > 4.52

11
Gambar 2.3. Clue cell

b. Skor Nugent

Tabel 2.1 Skor Nugent dan Gram Stain dari vagina Smear12

Metoda ini digunakan untuk melihat proporsi bakteri pada pewarnaan gram

sekret vagina. Dengan menilai skor 0-10

- Skor <4 normal

- Skor 4-6 intermediet

- Skor > 6 didiagnosis vaginosis bakterial4

12
c. Kriteria Hay Ison

Melihat gambaran apusan gambaran menurut tipe flora yang dominan

1. Grade 0 : tidak terkait dengan vaginosis bakterial, hanya sel epitel tanpa

adanya banteri Lactobacillus

2. Grade 1 (normal): Lactobacillus sp mendominasi

3. Grade 2 (Intermediate): Kombinasi flora dengan beberapa Lactobacilli, dan

juga Gardnerella atau Mobiluncus morphotypes.

4. Grade 3 (BV): Terutama Gardnerella dan / atau Mobiluncus morphotypes.

Sedikit atau tidak ada Lactobacilli.4

2.5.2 Pemeriksaan

a. Pemeriksaan (KOH) Preparation dan Tes Whiff

Sampel cairan vagina ditempatkan pada kaca objek dan solusi KOH 10%

ditambahkan. Segera setelah pemberiaan KOH, gelas objekdidekatkan kehidung

untuk melakukan tes whiff; kehadiran amina bau "amis" yang kuat dianggap sebagai

tes whiff positif.

Gambar 2.4. Tes Whiff

Pada vagina yang sehat tidak ada bau yang timbul pada pemeriksaan diatas. Adanya
bau amis ( amine odor ) mengarahkan dugaan pada infeksi trichomonas atau
vaginosis bacterial.

13
b. Pemeriksaan pH

pH cairan vagina dapat ditentukan dengan menempatkan pH kertas lakmus

pada dinding vagina atau langsung di sekresi vagina yang dikumpulkan. pH normal

vagina biasanya a ntara 3,8 dan 4,5. pH lebih dari 4,5 dapat didiagnosis dengan

vaginosis bakteri.13

c. Pewarnaan Gram

Pemeriksaan sederhana, cepat dan tidak mahal untuk membantu diagnosis

Vaginosis bakterial adalah dengan melakukan pewarnaan Gram pada pulasan cairan

vagina. Kombinasi pH vagina 4.5 dan pewarnaan Gram dari cairan vagina

merupakan metode yang baik dalam membantu diagnosis. Meskipun Vaginosis

bakterial sering dihubungkan dengan isolasi Gardnerella vaginalis, suatu bakteri

anaerob, tetapi sampai saat ini cara tersebut tidak dapat dipakai untuk kriteria

diagnosis. Menurut Spiegel dkk, diagnosis vaginosis bakterial dapat ditegakan kalau

ditemukan campuran jenis bakteri termasuk morfotipe Gardnerella dan batang gram

positif atau gram negatif yang lain atau kokus atau kedua duanya.13,14

Spiegel dkk. menemukan bahwa pewarnaan Gram bersifat konsisten terhadap

vaginosis bakterial. Oleh karena itu Spiegel merekomendasikan pewarnaan Gram

tanpa kultur pada cairan vagina untuk diagnosis bakterial dapat disebabkan oleh

beberapa grup mikroorganisme yang sukar dibiakkan sehingga pemeriksaan

laboratorium menjadi mahal, juga Gardnerella vaginalis dijumpai pada >40-50%

wanita sehat. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Thomason, dkk. yang tidak

mengevaluasi hasil kultur Gardenella vaginalis karena hanya mempunyai nilai

diagnostik rendah.14

14
Meskipun demikian, spesimen swab vagina tetap dikirim ke laboratorium

mikrobiologi untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain dan menambah

dukungan terhadap diagnosis lain dan menambah dukungan terhadap diagnosis klinik

bakterial vaginosis. Menurut Thomason, dkk. untuk terjadinya Vaginosis bakterial

maka jumlah Lactobacillus menurun, sedangkan jumlah bakteri lainnya meningkat,

dan pH vagina juga harus meningkat. Ketiga keadaan ini harus terjadi bersamaan.14

2.6 Diagnosis Banding

Tabel 2.2 Diagnosis Banding Duh genital


DUH genital Infeksi Genital Gonore Trikomoniasis Kandidiosi Vaginosis
Non Spesifik Vulvovaginalis Bakterial
Kuman C. Trachomatis. N. Gonorrheae Trikomonas Candida sp G. Vaginalis.
Penyebab Ureaplasma U. Vaginalis Prevotela
Mycoplasma H Mobilincus
Masa 1-3 minggu 2-5 hari 4hari-3 minggu Sukar Sukar
Inkubasi ditentukan ditentukan
tergantung etio bukan
predisposisi organisme
tungal
Klinis Asimtomatik Asimtomatik, Bau tidak enak Gatal daerah Duh
Seringnya uretritis berbuih, vaginitis. vulva. Rasa homogeny,
servisitis, (polyuria, Abses kecil pada panas, nyeri warna putih
hiperemis, dysuria OUE dinding vagina dan setelah miksi keabu-abuan
edema, folikel- merah), serviks brupa dipareunia, melekat ke
folikel kecil servisitis Granulasi Hiperemis di diding vagina
mudah berdarah (servik merah“strawberry labia minora dan
hiperemis, appearance”. introitus vagina vestibulum
erosi), sekret Dispareunia. dan sepertiga bau amis
mukopurulen Perdarahan post bawah vagina, terutama
coitus dan flour albus setelah
intermenstrual (gumpalan hubungan
Sekret vagina seperti susu seks
seropurulen- putih
mukopurulen (warna kekuningan).
kuning kehijauan).

Pemeriksaan Sediaan apus Sediaan Sediaan basah Nacl; Duh dari Tes whiff,
Penunjang gram . Kriteria langsung gram 0.9% sekret duh di dinding lateral clue cell,
ABCD kelenjar fornix posterior , vagina dengan Kriteria
bartolin serviks pemeriksaan AMSEL
dan OUE. KOH 10%.
Mikroskopis Kriteria ABCD Tampak Dari forniks Leukosit 80% Sedikit
diplokokus posterior: ditemukan leukosit, clue
gram (-) intra Trikomonas 70-80%. pseudohifa dan cell +
dan ekstrasel tampak T. vaginalis blastospora
dan PMN >> dengan pergerakan
yang khas
pH >5.0 <4.5 >4.5

15
Sumber: Hakimi, M. 2011 Radang dan Beberapa Penyakit Lain pada Alat Genital. Ilmu Kandungan.
Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2.7 Vaginosis Bakterial Pada Kehamilan

2.7.1 Cairan vagina pada kehamilan

Pada kehamilan normal, cairan vagina bersifat asam (pH ≤ 4-5), karena

adanya peningkatan kolonisasi Lactobacillus (flora normal vagina) yang

memproduksi asam laktat. Keadaan asam yang berlebih ini membuat Lactobacillus

tumbuh subur, sehingga mencegah terjadinya pertumbuhan berlebihan bakteri

pathogen. Lactobacillus diketahui sebagai mikroorganisme yang mempertahankan

homeostasis vagina, karena dengan menghasilkan asam laktat dan membuat H2O2

yang akan menghambat pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme lainnya,

sehingga menurunkan risiko persalinan preterm.

Keadaan ini tidak selalu dapat dipertahankan, karena apabila jumlah bakteri

Lactobacillus menurun, maka keasaman cairan vagina berkurang dan akan

mengakibatkan bertambahnya bakteri lain,seperti antara lain Gardnerella vaginalis,

Mycoplasma hominis, dan Bacteroides sp. Adanya perubahan flora vagina

menyebabkan terjadinya vaginosis bakterial. Wanita hamil dengan vaginosis bakterial

mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terserang amnionitis, endometritis

pascapersalinan, ketuban pecah dini dan persalinan prematur.14

16
2.7.2 Hubungan Vaginosis bakterial dengan kelahiran prematur

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gravey, dkk. ternyata

wanitadengan vaginosis bakterial mempunyai risiko 3-8 kali lebih tinggi

dibandingkan wanitadengan flora normal untuk mengalami persalinan preterm.

Demikian pula terjadinya ketuban pecah dini lebih sering terjadi padawanita dengan

vaginosis bakterial (46%) dibandingkan wanita tanpa vaginosis bakterial (4%).

Selainitu juga ditemukan bahwa konsentrasi Gardnerella vaginalis dan bakteri

anaerobpada sekret vagina wanita hamil denganvaginosis bakterial adalah 100-1000

kali lebih tinggi dibandingkan dengan pada wanita tidak hamil. Di Indonesia sampai

saat ini, pemeriksaan tentang kolonisasi bakteri atau adanya vaginosis bakterial

sebagai upaya untuk menurunkan angka kejadian persalinan preterm belum ada.

Martius, dkk.dalam penelitiannya menemukan bahwa wanita yang melahirkan

premature ternyata lebih banyak yang mengalami infeksi vaginosis bakterial

dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm.14

2.8 Tatalaksana

Antimikroba spektrum luas terhadap sebagian besar bakteri anaerob, biasanya

efektif untuk mengatasi vaginosis bakterial. Metronidazol dan klindamisin meupakan

obat utama, serta aman diberikan pada perempuan hamil. Tinidazol, merupakan

derivate netroimidazol dengan aktifitas antibakteri dan antiprotozoal telah disetujui

sebagai obat untuk vaginosis bakterial. obat yang diberikan intravagina menunjukan

efikasi yang sama dengan metronidazol oral dengan efek samping sistemik yang lebih

sedikit.2

17
Pengobatan diperlukan untuk pasien dengan4:

- Gejala klinis vaginosis bakterial

- Preoperatif untuk operasi vagina

- Wanita hamil dengan temuan gram negatif

- Pasien dengan temuan mikroskopis vaginosis bakterial

Pengobatan yang direkomendasikan

- Metronidazole 500 mg: tablet oral, 2 kali sehari selama 7 hari, atau

- Metronidazole 2 gram : dosis tunggal atau,

- Metronidazole 0.75% gel : aplikasi 5 g intravagina, 1 kali sehari selama 5

hari.

- 2% klindamisin krim : 5g intravagina seelum tidur selama 7 hari.4

Pasangan seks juga harus ditatalaksana dengan manajemen yang sama.

2.9 Komplikasi

Vaginosis bakterial maupun dalam keadaan asimptomatik berhubungan

dengan insiden endometritis yang tinggi dan penyakit radang panggul setelah

keguguran, ketuban pecah dini, dan lahir preterm. Baik vaginosis bakterial

simptomatik dan asimptomatik terkait degan peningkatan insidensi penyakit menular

seksual lainnya termasuk HIV.1,4

18
2.10 Prognosis

Prognosis bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita

walaupun tidak menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang sama

dapat dipakai. Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya dapat

disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3 kasus.

Dengan pengobatan metronidazol dan klindamisin memberi angka kesembuhan yang

tinggi (84-96%).16

19
BAB 3

KESIMPULAN

1. Vaginosis Bakterial adalah suatu keadaan yang abnormal pada vagina yang

disebabkan oleh pertumbuhan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi yang

menggantikan flora normal vagina.

2. Di seluruh dunia, Vaginosis Bakterial adalah umum di antara wanita usia

reproduksi.

3. Penyebab Vaginosis Bakterial tetap sulit dipahami, namun faktor risikonya

termasuk aktivitas seksual, kebiasaan douching, merokok, stress, kekurangan

vitamin D dan pemakaian kontrasepsi.

4. Diagnosis bakterial vaginosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan mikroskopis.

5. Menurut Amsel, ditegakkan Vaginosis Bakterial jika tiga dari empat gejala,

yakni: sekret vagina yang homogeny, putih, pH vagina>4.5, tes amin positif

dan adanya clue cell (20% dari seluruh epitel).

6. Pengobatan Vaginosis Bakterial menggunakan regimen sesuai dengan

pedoman yaitu, metronidazole 500 mg secara oral dua kali sehari selama 7

hari.

7. Pada penderita Vaginosis Bakterial dapat menimbulkan komplikasi seperti

kelahiran premature, ketuban pecah dini, BBLR, dan endometritis post

partum.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Berry LH MD, Maria VG MD. Vaginitis : diagnosis and treatment. American


Academy of Family Physician. 2011; 83 (7) : 807-815
2. Menaldi SLS, Barono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi
ke VII. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2015.
3. Abdul K, Jusuf B. Studi Retrospektif : Vaginosis Bakterial . Departemen/Staf
Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya. 2014
4. Alexandra R, Mohamed L, Essam H, Tahir M. Vaginal Discharge. Gynaecology
and Reproductive Medicine. Elsevier. 2016
5. Jackie S, Glibert D, David W. 2011 European (IUSTI/WHO) Guideline on the
Management of Vaginal Discharge. Department of Genitourinary Medicine,
Churchill Hospital, Oxford, UK. 2011
6. Chris K, Robert C, Tania C. The global epidemiology of bacterial vaginosis: a
systematic Review. American Journal of Obstetric and Gynecology. 2013
7. Christina A, Muzny, Jane R. Pathogenesis of Bacterial Vaginosis: Discussion of
Current Hypothesis. Department of Medicine, Division of Infectious Disease,
University of Brimingham. The Journal of Infectious Disease. 2016 :214 (S1)
:S1-5
8. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). A fact sheet from the office
on women’s health. Bacterial Vaginosis. 2015.
9. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). A fact sheet from the office
on women’s health. Douching. 2015.
10. Blackmore. The Impact of stress and Bacterial Vaginosis. 2012.
11. Tessa M, Jacyln M.G, Gina M.S, Jenifer E,A, Jeffrey F.P. Risk of Bacterial
Vaginosis in Users of the Intrauterine Device: A Longitudinal Study. Sex Transm
Dis. 2012 March ; 39(3): 217–222.

21
12. Mimi S. Bacterial Vaginosis Update. Advance Healthcare Network. Diunduh
dari:http://nurse-practitioners-and physicianassistants.advanceweb.com/Features/
Articles/Bacterial-Vaginosis-Update.aspx
13. Rebecca G.K, David H.S. vaginitis. National STD Curriculum. 2017. Diunduh
dari: http://www.std.uw.edu/go/syndrome-based/vaginal-discharge/core-
concept/all. Hal 1-8
14. Sylvia Y.M, Julius E.S. Diagnosis praktis vaginosis bakterial pada
kehamilan.Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Hal.
74-78.
15. Hakimi, M. 2011 Radang dan Beberapa Penyakit Lain pada Alat Genital. Ilmu
Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
16. Adam, Zainuddin, Maskur, Makalew, 2009. Vaginosis Bakterial. Dalam :
Infeksi Menular Seksual Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 116-122.

22

Anda mungkin juga menyukai