Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FARMAKOTERAPI 1

KOLESISTITIS

Disusun oleh :
Edeltrudis Endang D. B 158114138
Magdalena Nogo Kelen 158114146
Parinda Utami 168114123
Irene Savia Hasugian 178114001
Septiana Wahyu Jatiningrum 178114002
Kyefas Swandikqa 178114003
Yessica Cici Roslin 178114004
Yohanes Rudianto 178114005
Theresia Putri Puttaparti 178114006

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Kolesistitis akut didefinisikan sebagai radang kandung empedu, umumnya disebabkan


oleh obstruksi saluran kistik. Penyebab paling umum dari obstruksi duktus sistikus
menunjukkan bahwa 10% hingga 18% dari mereka dengan batu empedu yang diam mengalami
nyeri bilier dan 7% memerlukan intervensi operatif. Satu persen hingga 4% dari mereka yang
menderita batu empedu mengalami komplikasi seperti kolesistitis akut, pankreatitis batu
empedu, dan choledocholithiasis (Knab, 2014). Peradangan bakteri, yang mungkin berperan
dalam 50 - 85% pasien dengan kolesistitis akut. Organisme yang paling sering diisolasi oleh
kultur empedu kandung empedu pada pasien ini termasuk Escherichia coli, spesies Klebsiella,
Streptococcus Grup D, spesies Staphylococcus, dan spesies Clostridium (Sangma dan Marak,
2016).
Kejadian penyakit kandung empedu meningkat seiring bertambahnya usia, membuat
ini menjadi masalah penting pada populasi yang menua. Sebuah studi tentang prevalensi batu
empedu di necropsy di Inggris melaporkan kejadian batu empedu 24% pada wanita berusia 50
hingga 59 tahun, meningkat menjadi 30% pada dekade kesembilan. Tingkat laki-laki adalah
18% dalam kisaran 50 tahun hingga 59 tahun, dengan peningkatan menjadi 29% pada dekade
kesembilan (Knab, 2014). Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama
kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang
menyebabkan stasis cairan empedu (PBIDI, 2017).
Kolesistitis akalkulus akut didefinisikan sebagai Peradangan akut pada kantong
empedu tanpa adanya bukti batu empedu, atau obstruksi duktus kistik. Kolesistitis kalsular akut
didefinisikan sebagai peradangan akut kantong empedu di hadapan batu empedu. Proses ini
biasanya terjadi ketika batu empedu menghalangi saluran kistik yang menyebabkan
peningkatan tekanan pada kantong empedu (MOPH Qatar, 2017)
Patofisiologi
Peristiwa awal yang mengarah ke kolesistitis akut adalah obstruksi di leher kantong
empedu. Paling umum batu empedu bersarang di kantong Hart yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraluminal, kongesti vena, dan iskemia mukosa. Reaksi ini merupakan reaksi
inflamasi dengan infiltrasi neutrofil. Akhirnya, iskemia dan vaskulitis selanjutnya dapat
menyebabkan ulserasi mukosa, gangren, dan nekrosis pada dinding kandung empedu. Dalam
hingga 50% kasus mungkin ada infeksi bakteri sekunder dengan akumulasi empiema yang pada
akhirnya dapat melubangi dan menyebabkan sepsis sistemik atau abses intra-abdominal. Yang
paling umum yang bertanggung jawab untuk infeksi sekunder ini adalah Bacilli gram negatif -
Escherichia coli, spesies Klebsiella, spesies Enterobacter, dan anaerob termasuk spesies
Bacteroides dan Clostridia (Rodriguez, 2018).
Keparahan bisa dikategorikan sebagai berikut:
Kolesistitis Grade I (ringan) :
• Tidak adanya kegagalan organ dan perubahan inflamasi ringan di kantong empedu.
• Jumlah sel putih yang meningkat biasanya> 11 x109/ L.
Kolesistitis Grade II (sedang) kolesistitis :
• Tidak adanya disfungsi organ tetapi dengan risiko disertai peradangan lokal yang serius.
• Berhubungan dengan salah satu kondisi berikut:
• Jumlah sel darah putih yang meningkat -> 18 x109/ L.
• Massa tender teraba di kuadran kanan atas.
• Kegigihan gejala selama> 72 jam
Kolesistitis grade III (fulminan atau mengancam jiwa) mengakibatkan disfungsi pada salah
satu dari organ / sistem berikut:
• Disfungsi kardiovaskular.
• Tingkat kesadaran menurun.
• Disfungsi pernapasan.
• Gagal ginjal.
• Disfungsi hati.
• Gangguan koagulasi.
Pasien dengan kolesistitis derajat II atau III harus dirujuk ke unit gawat darurat (MOPH Qatar,
2017)

Manajemen medis kolesistitis akut meliputi :


1. Pemberian cairan intravena yang tepat.
2. Analgesia:
NSAID seperti diklofenak (intramuskuler) mencegah progresivitas pada kolesistitis
akut dan mengurangi rasa sakit .
NSAID efektif dalam penyakit batu empedu yang terkena dampak untuk pencegahan
kolesistitis akut.
3. Agen antimikroba
Pada pasien dengan kolesistitis akut (dikonfirmasi oleh peningkatan jumlah sel putih),
mulailah pengobatan antimikroba empiris menurut antibiogram lokal dan saran dari
mikrobiologi.
4. Pertimbangan indikasi untuk operasi dan drainase darurat.(MOPH Qatar, 2017)

Faktor risiko untuk pengembangan kolesistitis antara lain yaitu : Dehidrasi, Nutrisi
parenteral total, Penyakit kardiovaskular, Diabetes mellitus, Sepsis, Iskemia, Gangguan
motilitas, Infeksi oleh mikroorganisme (protozoa, dan parasit), Penyakit kolagen, Reaksi alergi.
(MOPH Qatar, 2017)
Komplikasi kolesistitis akut meliputi : Kolangitis akut, Pankreatitis bilier, Sindrom
Mirizzi (obstruksi ekstrinsik duktus hepatika umum oleh batu empedu yang terimpeksi di
kandung empedu atau duktus kistik), Peritonitis bilier, Abses pericholecystic, Fistula bilier,
Perforasi kandung empedu, Sepsis. (MOPH Qatar, 2017)

Algoritma
Menurut Tokyo Guidline 2018, penatalaksanaan terapi pasien kolesistitis akut adalah sebagai
berikut :

(Okamoto, dkk, 2018)


Menurut Tokyo Guidline, penggolongan jenis pasien kolesistitis ada 3 grade yaitu :
● Grade I (Mild) : Kriteria kolesistitis akut yang tidak ditemui pada “Grade II” ataupun
“Grade III”. Grade I didefinisikan sebagai kolesistitis akut pada pasien yang sehat tanpa
adanya disfungsi organ dan inflamasi ringan pada kandung empedu, membuat
kolesistektomi aman dan resiko rendah dalam prosedur operatif.
● Grade II (Moderate) : akut kolesistitis disertai dengan salah satu kondisi sebagai
bertikut : nilai WBC tinggi (>18.000/mm3); Massa tender/benjolan teraba di kuadran
perut kanan atas; mengeluh kesakitan > 72 h ;Inflamasi lokal yang ditandai (kolesistitis
gangren, abses pericholecystic, abses hati, peritonitis bilier, emfisematosa kolesistitis).
● Grade III (Severe) : akut kolesistitis disertai disfungsi salah satu organ/sistem sebagai
berikut : Difungsi kardiovaskular; disfungsi neurological; disfungsi respiratory
(PaO2/FiO2 ratio <300); disfungsi renal (oliguria, creatinin >2.0 mg/dl); disfungsi hati
(PT-INR >1.5); disfungsi hematologic (trombosit <100.000/mm3) (Yokoe dkk, 2018)
Terapi antibakteri yang disarankan menurut Tokyo Guidline 2018 yaitu :

(Gomi, dkk, 2018)


BAB II
PEMBAHASAN KASUS
Identitas Pasien : Seorang pasien laki-laki usia 19 tahun (BB: 55kg), dan seorang pelajar.
Subjective
Pasien laki-laki berusia 19 tahun, merupakan seorang palajar, kebiasaan sering makan
di luar, bukan perokok, jarang berolahraga. Keluhan yang diderita yaitu nyeri perut pada ulu
hati dan perut sebelah kanan sudah berlangsung selama sekitar 1 minggu, nyeri kadang sampai
ke punggung belakang dan pundak, demam dan pusing sekitar 1 minggu, mual setiap saat tapi
tidak muntah, nafsu makan berkurang, kencing seperti teh, mata berwarna kuning sekali.
Objective
● Hasil pemeriksaan umum menunjukkan hasil cukup, tanda vital seperti tekanan darah,
nadi, respirasi rate, suhu berat badan semua nilai hasil pengukuran normal. Bentuk anggota
badan kepala dan bagian-bagiannya tidak ada keanehan, bagian leher normal, bagian
thorax normal, bentuk paru normal, bentuk abdomen normal, namun jika ditekan pada
daerah epigastrium terasa nyeri hal ini menunjukkan positif Murphy sign. Dari hasil
pemeriksaannya dapat kita analisis bahwa semua bentuk tubuh dari luar terlihat normal,
namun pada bagian dalam tubuh khususnya pada abdomen kanan atas menunjukkan
adanya tanda dan gejala inflamasi lokal, hal ini ditunjukkan karena adanya rasa nyeri saat
ditekan, inilah yang disebut dengan diagnosis Murphy sign (Soumitra, 2015).
● Hasil pemeriksaan data laboratorium

➢ Menurut hasil lab leukosit > 10000/Ul, menunjukkan terjadinya infeksi oleh bakteri.
Organisme yang paling sering diisolasi oleh kultur empedu kandung empedu pada
pasien ini termasuk Escherichia coli, spesies Klebsiella, Streptococcus Grup D, spesies
Staphylococcus, dan spesies Clostridium (Sangma dan Marak, 2016).
➢ SGOT dan SGPT yang melebihi normal menunjukkan terjadi kerusakan atau
peradangan pada jaringan hati. SGPT lebih spesifik terhadap kerusakan hati dibanding
SGOT.
➢ Demam yang diderita menunjukkan adanya tanda gejala inflamasi sistemik,
ditunjukkan dengan adanya nilai LED (Laju Endap Darah) yang melebihi normal.
➢ Warna kencing yang seperti teh dan warna mata yang menguning mengindikasikan
bahwa kadar bilirubin tinggi.

Assessment
Hasil diagnosis menunjukkan pasien mengalami kolesistitis.
1. Berdasarkan “Subjective”, pasien mengatakan nyeri pada perutnya terutama bagian ulu
hati dan perut sebelah kanan. Nyeri tersebut sudah berlangsung sekitar 1 minggu (akut).
Nyeri tersebut kadang muncul kadang hilang. Nyeri kadang terasa sampai ke punggung
belakang dan pundak. Nyeri yang ditimbulkan ini merupakan nyeri daerah epigastrum
yang merupakan suatu gejala pada kolesitasis akut (PBIDI, 2017 & Soumitra, 2015).
Pasien juga mengeluh demam ± 1 minggu disertai pusing, dan merasakan mual setiap
saat, dan nafsu makan berkurang yang merupakan suatu gejala pada kolesitasis akut
(PBIDI, 2017). BAK berwarna seperti teh dan mata berwarna kuning (sklera ikhterik)
menujukkan ikhterik akibat adanya batu disaluran empedu dan kadar bilirubin yang
tinggi (PBIDI, 2017). Pasien juga sering membeli makanan di luar, yang mana makanan
di luar / makanan cepat saji umumnya merupakan makanan berlemak. Banyak
mengonsumsi makanan berlemak merupakan suatu faktor risiko terjadinya kolesitisis
(PBIDI, 2017). Sebagian besar atau 95% kasus peradangan kandung empedu ini
disebabkan oleh batu empedu atau disebut kalkulus kolesistitis akut, jika peradangan
tidak disebabkan batu empedu maka disebut akalkulus kolesistisis akut dan ini hanya
sekitar 5-10 % (Bope, 2017). Belum bisa dikalsifikasikan apakah pasien mengalami
kalkulus kolestitis akut atau akalkulus kolestitis akut karena tidak ada data scan USG
(Soumitra, 2015). Bisa dikatakan sebagai kolesistitis akut karena pasien mengalami
gejala dan keluhan yang timbul baru 1 minggu.
2. Berdasarkan “Hasil Laboratorium” pasien diketahui mengalami leukositosis sebab
jumlah leukosit pasien dalam darah melebihi batas normal. Selain itu, nilai bilirubin
direk, bilirubin indirek juga melebihi batas normal (hiperbilirubin) yang juga disertai
dengan meningkatnya nilai SGOT dan SGPT. Data tersebut ciri-ciri yang ditunjukan
merujuk pada penyakit Cholesistis Grade II (Bornscheuer, 2014).

Evaluasi Terapi yang Diterima Pasien:


1. Terapi umum menggunakan cairan infus RL (ringer laktat) asnet untuk menambah dan
menjaga keseimbangan elektrolit tubuh. Ringer laktat digunakan untuk resusitasi
volume dari kehilangan cairan pasien (Singh, 2018).
2. Pengobatan
1) Injeksi
- Injeksi Terfacef : kandungan terfacef Ceftriaxone Na diberikan sebagai agen antibiotik
profilaksis yang mencegah terjadinya infeksi bakteri pada kantung empedu.
● Dosis terfacef : Dosis IV yang diberikan 1 g setiap 12 jam (PBIDI, 2017) selama
4-7 hari (MedScape, 2019), dapat ditingkatkan jika keadaan pasien berada pada
fase severe (MIMS, 2019).
→ Menurut kami, Ceftriaxone Na (Cephalosporin III) IV sudah tepat diberikan sebagai
antibiotik profilaksis. Tambahkan terapi Metronisazole IV 500mg setiap 8 jam jika dicurigai
pasien terinfeksi bakteri anaerob (PBIDI, 2017; NHS, 2016; MedScape, 2019).
- Injeksi Santagesik : kandungan aktif Metamizole Na mengatasi nyeri akut bagian
kepala (pusing yang dialami pasien), dan nyeri abdomen.
● Dosis Santagesik : dosis umum 2-5 mL untuk pemberian IM/IV dosis tunggal (
santagesik injeksi ampul 500 mg/mL, maka untuk terapi santagesik yang
diberikan sebanyak 3 x 1 sudah tepat (MIMS, 2019).
→ Menurut kami, Metamizole tepat digunakan sebagai terapi analgesik pada kasus pasien.
Selain itu, terapi golongan NSAID ini dapat mengurangi inflamasi yang terjadi pada kantung
empedu / mengurangi progresivitas kolesititis akut (MOPH Qatar, 2017; AUGIS, 2016).
- Injeksi Pumpicell : kandungan aktif pantopazole mengatasi kondisi refluks esofagus
pada pasien yang menyebabkan rasa mual tidak disertai muntah.
● Dosis pumpicell: Dosis umum dengan pemberian IV 40 mg (1 vial) perhari
(MIMS, 2019).
→ Menurut kami, Pantoprazole kurang tepat digunakan untuk mengatasi mual yang dialami
pasien. Menurut penelitian Chuang, S. C., et al., 2018, golongan PPI dapat menurunkan sekresi
asam lambung dan meningkatkan lingkungan pH lambung, hal ini dapat mengurangi aktivitas
terapi bakterisida sehingga memungkinkan patogen dapat melewati lambung menuju
duodenum, hal ini juga meningkat risiko perpindahan patogen menuju saluran empedu, dengan
demikian, meningkatkan kejadian infeksi saluran empedu termasuk akut kolesistitis. Oleh
karena itu, pasien direkomendasikan diberikan antiemetik berupa Metoclorpamide IM 10-20
mg setiap 4-6 jam PRN (MedScape, 2019).
2. Oral
- Curcuma : kandungan extrak curcuma sebagai antioksidan dan antibakteri, mampu
menangkap ion superoksida dan memutus rantai ion superoksida sehingga mencegah
kerusakan sel hepar. Kurkumin dapat meningkatkan nafsu makan dan memperlancar
pengeluaran empedu (Marinda, 2014).
● Dosis curcuma : 3x 1 dosis yang diberikan sudah sesuai (MIMS, 2019).
- Lesichol : kandungan aktif pure lecithin (PPC 95%) 175 mg, 300 mg lesichol dan 600
mg lesichol, vitamin B1 6 mg, vitamin B2 6 mg, vitamin B6 6 mg, vitamin B12 6 mg,
vitamin E 10 mg, Nicotinamide 30 mg (MIMS. 2019). Lesichol sebagai multivitamin
untuk memelihara fungsi hati dan hepatoprotektif untuk menyembuhkan penyakit hati
dan menurunkan resiko penyakit hati (Andira dkk, 2015).
● Dosis lesichol : Dosis literatur 1-2 soft Capsule 3 X 1 , sedangkan dosis yang
diberikan untuk terapi 2 X 1 sudah tepat (MIMS, 2019).
- SNMC : Stronger Neo Minophagen C semua kandungan aktif Glycyrrhizin 40 mg,
asam amino asetic 400 mg, L - cystein HCL 20 mg. SNMC untuk meningkatkan ALT
(Alanine Transaminase), PT (Prothrombin time), dan INR (International Normalised
Ratio) pada pasien dengan hepaititis akut, serta memperbaiki fungsi hati (Reddyvari et
al., 2015). Dosis yang diberikan 2 X 1 .
→ Menurut kami pemberian Curcuma, Lesichol, dan SNMC sudah tepat untuk merawat fungsi
hepar (hepatoprotektif).

Plan
a. Goals of Therapy
Tujuan terapi cholesistitis adalah membatasi respons septik sistemik dan peradangan lokal,
untuk mencegah infeksi di tempat bedah pada luka superfisial, fasia, atau ruang organ, dan
untuk mencegah pembentukan abses intrahepatik (Gomi, H., 2018).
b. Terapi Farmakologi
1. Injeksi Terfacef → Menurut kami, Ceftriaxone Na (Cephalosporin III) IV sudah tepat
diberikan sebagai antibiotik profilaksis. Tambahkan terapi Metronisazole IV 500mg
setiap 8 jam jika dicurigai pasien terinfeksi bakteri anaerob (PBIDI, 2017; NHS, 2016;
MedScape, 2019).
2. Injeksi Santagesik → Menurut kami, Metamizole tepat digunakan sebagai terapi
analgesik pada kasus pasien. Selain itu, terapi golongan NSAID ini dapat mengurangi
inflamasi yang terjadi pada kantung empedu / mengurangi progresivitas kolesititis
akut (MOPH Qatar, 2017; AUGIS, 2016).
3. Injeksi Pumpicell → Menurut kami, Pantoprazole kurang tepat digunakan untuk
mengatasi mual yang dialami pasien. Menurut penelitian Chuang, S. C., et al., 2018,
golongan PPI dapat menurunkan sekresi asam lambung dan meningkatkan lingkungan
pH lambung, hal ini dapat mengurangi aktivitas terapi bakterisida sehingga
memungkinkan patogen dapat melewati lambung menuju duodenum, hal ini juga
meningkat risiko perpindahan patogen menuju saluran empedu, dengan demikian,
meningkatkan kejadian infeksi saluran empedu termasuk akut kolesistitis. Oleh karena
itu, pasien direkomendasikan diberikan antiemetik berupa Metoclorpamide IM 10-20
mg setiap 4-6 jam PRN (MedScape, 2019).
4. Curcuma → Terapi tepat dan tetap dilanjutkan.
5. Lesichol oral → Terapi tetap dilanjutkan.
6. SNMC oral → Pemberian SNMC tetap dilanjutkan.
7. Jika pasien mengalami demam, pasien direkomendasikan menggunakan Paracetamol
500mg 3x1 PRN.
c. Terapi non Farmakologi
1) Mengatur pola makan dan berolahraga
2) Bila merasa lelah langsung beristirahat dan mengurangi beban pekerjaan
3) Dianjurkan untuk menurunkan berat badan
4) Menjalani diet rendah lemak
5) Mengkonsumsi sayuran, buah-buahan dan makanan berserat lainnya
6) Hindari makanan yang berlemak tinggi, karena kolesterol yang terbentuk dapat
menghambat pengangkut asam empedu oleh trimethylamine yang menginduksi
batu empedu kolesterol (PBIDI, 2017; Park, et al., 2017).
d. Rekomendasi Lainnya
Pasien direkomendasikan untuk melakukan USG guna melihat ukuran dari batu empedu
yang terbentuk, sehingga dokter spesialis bedah dapat memberikan saran atau keputusan
untuk dilakukannya pembedahan (Cholecystectomy).

Monitoring
1. Monitoring Outcome / Keberhasilan Terapi
1) Pemeriksaan abdomen untuk mengindentifikasi rasa nyeri daerah epigastrum
berkurang atau tidak. Hal ini untuk menilai keberhasilan terapi Metimazole
(NSAID).
2) Pemeriksaan demam maupun pusing. Jika pasien mengalaminya pasien
direkomendasikan menggunakan Paracetamol 500mg 3x1 PRN.
3) Pemantauan nafsu makan pasien mulai meningkat atau tidak. Hal ini untuk
menilai keberhasilan terapi Curcuma.
4) Pemeriksaan warna urine, feses, dan mata pasien, masih menunjukan ikhterik
atau tidak. Sekaligus melakukan pemeriksaan kadar bilirubin direk maupun
indirek pada darah maupun urine.
5) Pemeriksaan darah lengkap untuk mendeteksi nilai leukosit dan LED pasien,
sekaligus mengidentifikasi nilai SGPT dan SGOT.
2. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
1) Ceftriaxone → Pemantauan ruam, kemerahan, sesak nafas, dan tanda gejala
anafilaksis lainnya. Jika terjadi reaksi anafilaksis segera hentikan penggunaan
obat, dan segera ditangani oleh dokter untuk memberikan terapi suportif.
2) Metimazole → Pemantauan perut terasa sebah atau tidak.
3) Metoclorpamid → Pemantauan gejala ektrapiramidal / reaksi distonik.
3. Monitoring Tanda Gejala Kemungkinan Komplikasi
1) Pemantauan tanda vital RR, denyut nadi, saturasi oksigen, maupun suhu tubuh.
Selain itu juga melakukan pemantauan nilai WCC. Jika hasil menunjukkan RR
>20; denyut nadi >90; WCC <4 atau >12; dan suhu <36°c atau >38°c,
menandakan pasien memiliki tanda maupun gejala SIRS. Jika hal ini terjadi,
perlu dilakukan kultur darah (NHS, 2016).

Daftar Pustaka
AUGIS, 2016, Gallstone Disease. Royal College and Surgeons. Ireland.
Andira, Ayu., Ramatillah, D.L., dan Lukas, Stefanus., 2015. Liver Cirrhosis and Congestive
Heart Failure at PGI Cikini Hospital. International Journal of Pharmacy Teaching &
Practices. Vol 6. Jakarta.
Bope ,Edward T., 2017. Conn’s Current Therapy 2017. Elsevier
Bornscheuer, T., Stefaan, S., 2014. Calculated Antibiosis of Acute Cholangitis and
Cholecystitis. Viszeralmedizin Gastrointestinal Medicine and Surgery, Review Article:
Ubersichtsarbeit.
Chuang, S. C., et al., 2018. Proton pump inhibitors increase the risk of cholecystitis: a
populationbased case–control study. Taiwan. 1-2.
Gomi, Harumi et al., 2018. Tokyo Guidelines 2018: antimicrobial therapy for acute cholangitis
and cholecystitis. Japanese Society of Hepato-Biliary-Pancreatic Surgery.
Knab, L M., Anne Marie Boller, David M. Mahvi. 2014. Cholecystitis. North Saint Clair,
Chicago.
Marinda, F. D., 2014. Hepatoprotective Effect of Curcumin in Chronic Hepatitis.
MedScape, 2019. https://www.medscape.com/. Diakses pada tanggal 29 April 2019, pukul
20.08 WIB.
MIMS, 2019, MIMS Indonesia Drugs Information Disease News. Biochemical.
MOPH (Ministry of Public Health). 2017. Acute Cholecystitis - Assessment and Medical
Management. Ministry of Public Health State of Qatar.
NHS, 2016. Clinical Guidline for Management of Acute Cholecystitis in Adults. 2-9.
Okamoto, Kohji et al., 2018. Tokyo Guidelines 2018: flowchart for the management of
acute cholecystitis. Japanese Society of Hepato-Biliary-Pancreatic Surgery.
Park, Yongsoon et al., 2017. Association between diet and gallstones of cholesterol and
pigment among patients with cholecystectomy: a case-control study in Korea. Journal of
Health, Population and Nutrition. South Korea.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta. 96-97.
Raddyvari, Kiran et al., 2015. Evaluation of Stronger Neo Minophagen-C (SNMC) in Patients
with Acute Hepatitis. Journal of Clinical and Experimental Hepatology.
https://doi.org/10.1016/j.jceh.2015.07.152.
Rodriguez A. , Robert D. Barraco . 2018. Geriatric Trauma and Acute Care Surgery.
Sangma, Mima .M.B., and Marak, Fremingston., 2016. Clinicoetiopathological Studies of
Acute Cholecystitis. International Surgery Journal.
Singh, S,.Davis, D., 2018. Ringer's Lactate.
Soumitra, R,. Lawrence Reed. 2015. Acute Cholecystitis. New York : Springer
Yokoe, Masamichi., 2018. Tokyo Guidelines 2018: diagnostic criteria and severity grading of
acute cholecystitis (with videos). Japanese Society of Hepato-Biliary-Pancreatic
Surgery.

Anda mungkin juga menyukai