PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya keselamatan pasien merupakan hal yang mendasar didalam pelaksanaan
keselamatan di rumah sakit. Rumah sakit harus menjamin penerapan keselmatan pasien pada
pelayanan kesehatan yang diberikannya kepada pasien ( Fleming & wantzel, 2008).
Upaya dalam pelaksanaan keselamatan pasien diawali dengan penerapan budaya
keselamatan pasien (KKP-RS,2008). Hal tersebut dikarenakan berfokus pada budaya
keselamatan akan menghasilkan penerapan keselamatan pasien yang lebih baik
dibandingkan hanya berfokus pada program keselamatan pasien saja (El-Jardali, Dimassi,
Jamal, jaafar,& Hemadeh, 2011). Budaya keselamatan pasien merupakan pondasi dalam
usaha penerapan keselamatan pasien yang merupakan prioritas utama dalam pemberian
layanan kesehatan. Pondasi keselamatan pasien yang baik akan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan (Dish, Dreher, davidson, sinioris, &
wainio, 2011;NPSA,2009).
Penerapan keselamatan pasien diharapkan dapan memungkinkan perawat mencegah
terjadinya kesalahan kepada pasien saat pemberian layanan kesehatan dirumah sakit. Hal
tersebut dapat meningkatkan rasa aman dan nyaman pasien yang dirawat di rumah sakit
(Armellino, Griffin& Fitzpatrick, 2010). Pelayanan yang aman dan nyaman serta berbiaya
rendah merupakan ciri dari perbaikan mutu pelayanan.
Perbaikan mutu dan pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan memperkecil terjadinya
kesalahan dalam permberian layanan kesehatan. Penerapan budaya keselamatan pasien
akan mendeteksi kesalahan yang akan dan telah terjadi (Fujita et al,.2013). Budaya
keselamatan pasien tersebut akan meningkatkan kesadaran untuk mencegah error dan
melaporkan jika ada kesalahan. Hal ini dapat memperbaiki outcome yang dihasilkan oleh
rumah sakit tersebut.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan evaluasi program kerja yang telah dilakukan sebagai upaya membangun budaya
keselamatan di Rumah Sakit Citama khususnya sistem pelaporan dan pembelajaran
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan kesadaran staf Rumah Sakit mengenai keselamatan pasien
b. Mendiagnosa dan menilai keadaan budaya keselamatan pasien saat itu.
c. Mengidentifikasi kekuatan atau kelebihan suatu area/ unit untuk pengembangan
program keselamatan pasien.
d. Menguji perubahan tren budaya keselamatan pasien sepanjang waktu
e. Mengevaluasi dampak budaya dari inisiatif dan intervensi keselamatan pasien
1
f. Mengadakan perbandingan baik internal maupun eksternal.
C. Sasaran
1. tercapainya kesamaan pengertian, bahasa, dalam penyelenggaraan budaya
keselamatan pasien
2. tercapainya kemudahan dalam pengendalian budaya keselamatan pasien
3. tercapainya penyelenggaraan budaya keselamatan pasien di lingkungan Rumah Sakit
Citama
D. Ruang lingkup
Ruang lingkup budaya keselamatan pasien di Rs Citama, meliputi:
1. Karyawan
2. Pasien dan keluarga
3. Pengunjung
2
BAB II
DEFINISI
Budaya keselamatan rumah sakit adalah sebuah lingkungan yang kolaboratif karena
staf klinis memperlakukan satu sama lain secara hormat dengan melibatkan serta
memberdayakan pasien dan keluarga. Pimpinan mendorong staf klinis pemberi asuhan
bekerja sama dalam tim yang efektif dan mendukung proses kolaborasi interprofesional
dalam asuhan berfokus pada pasien.
Budaya keselamatan merupakan hasil dari nilai-nilai, sikap , persepsi, kompetensi
dan pola perilaku individu maupun kelompok yang menentukan komitmen terhadap, serta
kemampuan managemen pelayanan kesehatan maupun keselamatan. Budaya keselamatan
dicirikan dengan komunikasi yang berdasar atas rasa saling percaya dengan persepsi yang
sama tentang pentingnya keselamatan dan dengan keyakinan akan manfaat langkah-
langkah pencegahan.
Budaya keselamatan pasien adalah kepercayaan, sikap dan nilai sebuah
organisasi kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan
struktur, praktek, peraturan dan kontrol keselamatan pasien. Budaya ini mencakup tiga
komponen yaitu budaya kerja, budaya pelaporan (insiden) dan budaya belajar (Croll, Coburn,
& Pearson, 2012).
Budaya keselamatan pasien terfokus pada nilai, kepercayaan, dan asumsi staf
terhadap iklim organisasi (pelayanan kesehatan) dalam peningkatan program
keselamatan pasien (The Health Foundation, 2013).
Budaya keselamatan pasien adalah produk dari nilai, sikap, persepsi,
kompetensi, dan pola perilaku dari individu dan kelompok dalam sebuah organisasi
(pelayanan kesehatan) yang menentukan komitmen, gaya dan kemahiran dalam
manajemen keselamatan pasien. Organisasi (pelayanan kesehatan) yang memiliki budaya
keselamatan pasien yang cenderung positif dapat dilihat dari komunikasi saling percaya
(mutual trust) antar komponen, dengan persepsi yang sama tentang pentingnya
keselamatan, dan dengan keyakinan akan besarnya manfaat tindakan pencegahan
(Agency for Healthcare Research and Quality, 2004).
Budaya organisasi adalah suatu pola keyakinan, nilai-nilai perilaku, norma-norma
yang disepakati/diterima dan melingkupi semua proses sehingga membentuk bagaimana
seseorang berperilaku dan bekerja bersama. Budaya organisasi merupakan kekuatan yang
sangat besar dan sesuatu yang tetap ada walaupun terjadi perubahan tim dan perubahan
personal.
Budaya keselamatan memiliki 4 pengertian utama:
1. kesadaran (awareness) yang aktif dan konstan tentang potensi terjadinya kesalahan,
3
2. terbuka dan adil,
3. pendekatan sistem,
4. pembelanjaran dari pelaporan insiden.
4
3. Faktor lingkungan merupakan pendukung proses pelayanan dalam organisasi
kesehatan, yang terdiri dari:
a. Perlengkapan
b. Peralatan
c. Mesin
d. Kebersihan
e. Teknik
f. Standar prosedur operasional
B. Komponen budaya keselamatan menurut Reason
Menurut Reason, komponen budaya keselamatan terdiri atas budaya
pelaporan, budaya adil, budaya fleksibel, dan budaya pembelanjaran. Keempat
komponen tersebut mengidentifikasikan nilai-nilai kepercayaan dan perilaku yang ada
dalam organisasi dengan budaya informasi dimana insiden dilaporkan untuk
dilakukan tindakan untuk meningkatkan keamanan. Organisasi yang aman
tergantung pada kesediaan karyawan untuk melaporkan kejadian cedera dan
nearmiss (learning culture). Kerelaan karyawan dalam melaporkan insiden karena
kepercayaan bahwa manajemen akan memberikan support dan penghargaan
terhadap pelaporan insiden dan tindakan disiplin diambil berdasarkan akibat dari
resiko (risk taking), merupakan pelaksanaan budaya adil. Kerelaan karyawan untuk
melaporkan insiden karena atasan bersikap tenang ketika informasi disampaikan sebagai
bentuk penghargaan terhadap pengetahuan petugas, merupakan pelaksanaan
budaya fleksibel. Terpenting, kerelaan karyawan untuk melaporkan insiden karena
kepercayaan bahwa organisasi akan melakukan analisa informasi insiden untuk
kemudian dilakukan perbaikan sistem, merupakan pelaksanaan budaya
pembelanjaran. Interaksi antara keempat komponen tersebut akan mewujudkan
budaya keselamatan yang kuat.
C. Terbuka dan Adil
Menurut NPSA (National Patient safety Agency) (2006), bagian yang fundamental
dari organisasi dengan budaya keselamatan adalah menjamin adanya keterbukaan dan adil.
Keterbukaan dan adil berarti semua pegawai/staff berbagi informasi secara bebas dan
terbuka mengenai insiden yang terjadi.
Bagian yang paling mendasar dari organisasi dengan budaya keselamatan (culture of
safety ) adalah meyakinkan bahwa organisasi memiliki “keterbukaan dan adil” (being open
and fair ). Ini berarti bahwa (NSPA, 2004):
1. Staff yang terlibat dalam insiden merasa bebas untuk menceritakan insiden tersebut atau
terbuka tentang insiden tersebut;
2. Staff dan organisasi bertanggung jawab untuk tindakan yang diambil;
5
3. Staff merasa bisa membicarakan semua insiden yang terjadi kepada teman sejawat dan
atasannya;
4. Organisasi kesehatan lebih terbuka dengan pasien-pasien. Jika terjadi insiden, staff dan
masyarakat akan mengambil pelajaran dari insiden tersebut;
5. Perlakuan yang adil terhadap staf jika insiden terjadi
Untuk menciptakan lingkungan yang terbuka dan adil kita harus menyingkirkan dua
mitos utama: insiden jika mereka yakin kalau laporan tersebut akan menyebabkan
mereka atau koleganya kena hukuman atau tindakan disiplin. Lingkungan yang terbuka
dan adil akan membantu staff untuk yakin membuat laporan insiden yang bisa menjadi
pelajaran untuk perbaikan.
D. Just Culture
Just Culture adalah suatu lingkungan dengan keseimbangan antara keharusan untuk
melaporkan insiden keselamatan pasien (tanpa takut dihukum) dengan perlunya
tindakan disiplin.
Organisasi perlu memahami dan mengakui bahwa petugas garis depan
rentan melakukan kesalahan yang biasanya bukan disebabkan oleh kesalahan tunggal
individu namun karena sistem organisasi yang buruk.
Incident Decision Tree adalah suatu tool untuk membantuk mengidentifikasi apakah
suatu tindakan dari individu karena:
a. Kesalahan sistem
6
b. Sengaja melakukan tindakan sembrono
c. Melakukan unsafe act atau tindakan kriminal
IDT merubah pertanyaan: “siapa yang harus disalahkan?” menjadi “Mengapa seseorang
berbuat kesalahan͘”
HUMAN ERROR PERILAKU BERESIKO PERILAKU CEROBOH
Slip, Lapse Tidak menyadari adanya Secara sadar/sengaja
Resiko mengabaikan resiko
TINDAKAN: TINDAKAN: TINDAKAN:
Lakukan Perubahan: Insentif untuk yang Tindakan Remedial
Proses berperilaku “safety” Tindakan Hukuman
Prosedur Tumbuhkan
Training kesadaran akan
Desain safety
7
SPO/kebijakan tidak ditemukan pada saat pekerjaan akan dilakukan; prosedur yang
dilakukan secara berlebihan tapi tidak dituliskan pada prosedur yang berlaku.
4. Faktor-faktor yang memberi kontribusi (Contributory factors) terjadinya insiden adalah:
a. Pasien: Pasien bisa menjadi faktor yang memberi kontribusi terjadinya insiden
seperti umur atau perbedaan bahasa.
b. Individual: Faktor individual termasuk faktor psikologis, faktor kenyamanan, dan
hubungan kerja.
c. Komunikasi (Communication): Komunikasi termasuk komunikasi tertulis, verbal dan
nonverbal. Komunikasi bisa mengkontribusi terjadinya insiden jika
komunikasi tidak efektif, tidak adekuat, membingungkan atau komunikasi
terlambat. Faktor-faktor ini berkaitan antar individual, dalam atau antar
organisasi.
d. Tim dan faktor sosial, yang termasuk dalam faktor-faktor ini adalah: komunikasi
dalam satu tim; gaya kepemimpinan; struktur hierarki tradisional; kurang
menghargai anggota senior dalam tim dan persepsi staf terhadap
tugas/tanggung jawab.
e. Pendidikan dan pelatihan: Ketersediaan dan kualitas pelatihan untuk staff sangat
berpengaruh pada kemampuan staff melakukan pekerjaannya atau untuk
merespon pada situasi darurat/emergency.
f. Peralatan dan sumber daya (Equipment and resources), yang termasuk pada faktor
peralatan adalah apakah peralatan tersebut sesuai dengan kebutuhannya;
apakah staf mengetahui cara menggunakan alat tersebut; dimana
menyimpannya dan seberapa sering peralatan diperiksa.
g. Faktor lingkungan (environment factors) dan kondisi kerja (Working conditions): hal ini
mempengaruhi kemampuan staff untuk bekerja, termasuk gangguan dan interupsi
dalam bekerja seperti: suhu ruangan yang tidak menyenangkan; penerangan
yang tidak adekuat; keributan dan ruang kerja yang sempit.
h. Waktu (Timing): Faktor waktu ini adalah kombinasi antara faktor penyebab
dengan kegagalan pada system (pencegahan atau control) yang merupakan
penyebab insiden terjadi.
i. Konsekuensi (Consequences): Ini adalah akibat atau dampak dari insiden yang bisa
terjadi, yaitu: level rendah (low), level menengah (moderate), level parah (severe)
dan kematian(death).
j. Faktor yang mengurangi akibat insiden (Mitigating factors):Beberapa faktor, baik
kejadian yang merupakan kesempatan atau keberuntungan, kemungkinan
mempunyai faktor yang bisa mengurangi akibat insiden yang lebih serius. Sangat
penting jika faktor-faktor ini dijabarkan pada saat investigasi sehingga
faktort tersebut bisa mendukung praktek keselamatan (Safety Practice).
8
BAB III
METODE PENELITIAN
10
N : jumlah populasi
e : batas toleransi kesalahan (error tolerance)
Berdasarkan rumus diatas maka dapat ditarik sample atas populasi dalam penelitian ini dengan
nilai kritis yang diinginkan sebagai berikut :
300
n=
1 + 300 ( 0,05)2
n = 85,71
n = 86
jumlah sample yang akan digunakan dalam penelitian ini sebanyak 86 orang.
Tekhnik penarikan sample yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan simple
random sampling yaitu setiap elemen dalam populasi mempunyai kesempatan sama untuk
diseleksi sebagai subjek dalam satu sample. Dimana pengambilan sample dilakukan pada staf
Rumah Sakit Citama dengan kriteria Staf yang bekerja ≥1 tahun dan Staf yang bekerja < 1 tahun.
Untuk mendapatkan deskripsi atau gambaran budaya keselamatan, data dapat
dikelompokan kedalam beberapa kelompok dan kemudian di prosentasikan untuk tiap kategori,
dari prosentasi tersebut dapat diketahui bagaimana kondisi atau keadaan sebenarnya dari objek
terhadap variabel yang diteliti.
Setelah mendapatkan total dari semua item, maka budaya keselamatan di Rumah Sakit Citama
dapat diketahui dengan menggunakan rumus distribusi proporsi :
f
P= x 100
n
Keterangan:
P = prosentase
(Arikunto, 2006)
Menurut setiadi (2007) pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk
memperoleh data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan
menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan. Dalam proses
pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh, diantaranya:
1. Editing
Adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan.
Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul
2. Coding
Merupakan kegiatan pemberian kode numeric (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa
kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan
komputer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu
buka (code book)untuk memudahkan kembali melihat lokasi, artinya suatu kode variabel.
3. Data entry
Data entry adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan kedalam master tabel
atau database computer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga
dengan membuat tabel kontigensi.
4. Cleaning
Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah
dientry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut mungkin terjadi pada saat entry
data.
Tehnik pengumpulan data dengan cara pengisian kuesioner yang dilakukan dengan kuesioner
yang dibagikan ke staf yang memberi pelayanan langsung. Adapun langkah-langkah pengumpulan
data adalah sebagai berikut:
1. Komite PMKP melakukan atau membagikan kuesioner kepada staf yang memberikan
pelayanan langsung.
2. Komite PMKP memberikan penjelasan singkat tentang tujuan dan maksud pemberian
kuesioner.
3. Setelah kuesioner diisi, dikumpulkan kembali kemudian diolah oleh Tim PMKP
4. Data dan informasi yang sudah diolah kemudian dilakukan pendokumentasian dengan cara
pengarsipan sebaik mungkin sesuai dengan sistematika yang tepat, sehingga apabila
sewaktu-waktu diperlukan kembali dapat dengan cepat diperoleh atau diakses.
5. Untuk keperluan publikasi dapat dilakukan oleh Komite PMKP dengan memperhatikan
ketentuan yang berlaku di Rumah Sakit Citama
12
6. Mengenai penyebarluasan informasi publik atau dengan tanpa mengabaikan kerahasian dan
kehati-hatian.
Tahap Pelaksanaan
Tahap Akhir
13
BAB IV
Pada bagian ini peneliti menyajikan hasil penelitian yang sudah dilakukan dengan
menggunakan data primer terhadap 86 orang responden mengenai budaya keselamatan tanggal 13
April - 13 Mei tahun 2019 di Rumah Sakit Citama.
Pada penelitian ini, variabel unit / Bagian Kerja diukur dengan 18 pertanyaan dengan
pengukuran skala likert yaitu nilai 1-5, untuk kepentingan analisis maka dibuat total skor dan
selanjutnya dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu baik dan tidak baik. Pengelompokan dilakukan
berdasarkan median (54), oleh karena bentuk datanya berdistribusikan normal. Dikatakan tidak baik
< median (54) dan dikatakan baik apabila ≥ median (54).
Tabel 1.1
Distribusi Frekuensi Unit/ Bagian Kerja Di Rumah Sakit Citama Tahun 2019
Pada penelitian ini, variabel supervisor/ Kepala Bagian diukur dengan 4 pertanyaan dengan
pengukuran skala likert yaitu nilai 1-5, untuk kepentingan analisis maka dibuat total skor dan
selanjutnya dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu baik dan tidak baik. Pengelompokan dilakukan
berdasarkan median (12), oleh karena bentuk datanya berdistribusikan normal. Dikatakan tidak baik
< median (12) dan dikatakan baik apabila ≥ median (12).
14
Tabel 1.2
Tidak Baik 0 0%
Baik 86 100%
Total 86 100%
Dari tabel 1.2 diketahui bahwa jumlah dari 86 responden didapatkan bahwa
Supervisor/ Kepala Bagian responden sebagian besar adalah baik sebanyak 86 orang
(100%).
1.1.3 Komunikasi
Pada penelitian ini, variabel komunikasi tentang seberapa sering kasus terjadi dibagian
tempat kerja diukur dengan 6 pertanyaan dengan pengukuran skala likert yaitu nilai 1-5, untuk
kepentingan analisis maka dibuat total skor dan selanjutnya dikelompokan menjadi dua kelompok
yaitu dikomunikasikandan tidak dikomunikasikan. Pengelompokan dilakukan berdasarkan median
(18), oleh karena bentuk datanya berdistribusikan normal. Dikatakan tidak baik < median (18) dan
dikatakan baik apabila ≥ median (18).
Tabel 1.3
dikomunikasikan 63 73.3%
Total 86 100%
Dari tabel 1.3 diketahui bahwa jumlah dari 86 responden didapatkan bahwa
komunikasi responden sebagian besar adalah baik sebanyak 63 orang (73.3%), tidak baik
sebanyak 23 orang (26.7%).
Pada penelitian ini, variabel frekuensi kejadian yang dilaporkan diukur dengan 3 pertanyaan
dengan pengukuran skala likert yaitu nilai 1-5, untuk kepentingan analisis maka dibuat total skor dan
selanjutnya dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu baik dan tidak baik. Pengelompokan dilakukan
berdasarkan median (9), oleh karena bentuk datanya berdistribusikan normal. Dikatakan tidak sering
< median (9) dan dikatakan sering apabila ≥ median (9).
15
Tabel 1.4
Sering 58 67.4%
Total 86 100%
Dari tabel 1.4 diketahui bahwa jumlah dari 86 responden didapatkan bahwa frekuensi
kejaidna dilaporkan responden sebagian besar adalah sering sebanyak 58 orang (67.4%),
tidak sering sebanyak 28 orang (32.6%).
Tabel 1.5
Pada penelitian ini, variabel rumah sakit diukur dengan 11 pertanyaan dengan pengukuran
skala likert yaitu nilai 1-5, untuk kepentingan analisis maka dibuat total skor dan selanjutnya
dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu baik dan tidak baik. Pengelompokan dilakukan
berdasarkan median (33), oleh karena bentuk datanya berdistribusikan normal. Dikatakan tidak baik <
median (33) dan dikatakan baik apabila ≥ median (33).
16
Tabel 1.6
Baik 63 73.3%
Total 86 100%
Dari tabel 1.6 diketahui bahwa jumlah dari 86 responden didapatkan bahwa frekuensi
umah sakit citama responden sebagian besar adalah baik sebanyak 63 orang (73.3%), tidak
baik sebanyak 23 orang (26.7%).
Tabel 1.7
17
1.1.8 Latar Belakang Responden
Pada penelitian ini, untuk kepentingan analisis maka pertanyaan dikelompokan menjadi tiga
kelompok yaitu <1th, 1-5th,dan >5th.
Tabel 1.8.1
Pada penelitian ini, untuk kepentingan analisis maka pertanyaan dikelompokan menjadi tiga
kelompok yaitu <1th, 1-5th,dan >5th.
Tabel 1.8.2
Distribusi Frekuensi Lama Bekerja Pada Bagian di Rumah Sakit CItama Tahun 2019
18
1.1.8.3 Jam Bekerja Per Minggu
Tabel 1.8.3
Distribusi Frekuensi Lama Bekerja (Jam)/ Minggu di Rumah Sakit CItama Tahun 2019
Tabel 1.8.4
Tabel 1.8.5
Tidak Berhubungan 6 7%
Total 86 100%
Dari tabel 1.8.5 diketahui bahwa jumlah dari 86 responden didapatkan bahwa
frekuensi pekerjaan yang langsung berhungan dengan pasien responden sebagian besar
adalah berhubungan sebanyak 80 orang (93%), tidak berhubungan sebanyak 6 orang (7%).
Pada penelitian ini, untuk kepentingan analisis maka pertanyaan dikelompokan menjadi tiga
kelompok yaitu <1th, 1-5th,dan >5th.
Tabel 1.8.6
1.2 Pembahasan
Sesuai dengan hasil pengolahan pada tabel tersebut diatas, Budaya keselamatan
pasien merupakan hal yang mendasar didalam pelaksanaan keselamatan di rumah sakit.
Rumah sakit harus menjamin penerapan keselamatan pasien pada pelayanan kesehatan
yang diberikannya kepada pasien ( Fleming & wantzel, 2008). Budaya keselamatan pasien
merupakan pondasi dalam usaha penerapan keselamatan pasien yang merupakan prioritas
20
utama dalam pemberian layanan kesehatan. Pondasi keselamatan pasien yang baik akan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan (Dish, Dreher,
davidson, sinioris, & wainio, 2011;NPSA,2009).
Budaya keselamatan pasien adalah produk dari nilai, sikap, persepsi,
kompetensi, dan pola perilaku dari individu dan kelompok dalam sebuah organisasi
(pelayanan kesehatan) yang menentukan komitmen, gaya dan kemahiran dalam
manajemen keselamatan pasien. Organisasi (pelayanan kesehatan) yang memiliki budaya
keselamatan pasien yang cenderung positif dapat dilihat dari komunikasi saling percaya
(mutual trust) antar komponen, dengan persepsi yang sama tentang pentingnya
keselamatan, dan dengan keyakinan akan besarnya manfaat tindakan pencegahan
(Agency for Healthcare Research and Quality, 2004).
Dalam jurnal penelitian pasca sarjana yang disusun oleh Afrisya Iriviranty (2014) dari
fakultas kesehatan masyarakat Universitas Indonesia yang berjudul “Analisis Budaya
Organisasi dan Budaya Keselamatan Pasien Sebagai Langkah Pengembangan Keselamatan
Pasien di RSIA Budi Kemuliaan”. Afrisya Iriviranty menerangkan dimensi yang termasuk
dalam kategori budaya baik adalah kerjasama dalam unit, dukungan manajemen dalam
keselamatan pasien , serta pembelajaran organisasi dan perbaikan berkelanjutan.
Dalam jurnal penelitian MKMI yang disusun oleh Agustina Puji Lestari, Alimin Maidin,
Rini Anggraeni (2014) dari FKM UNHAS, Makassar yang berjudul “budaya keselamatan
pasien diinstalasi rawat inap RSUP DR wahidin sudirohusodo kota makassar”. Agustina Puji
Lestari, Alimin Maidin, Rini Anggraeni menerangkan dalam menilai budaya keselamatan
pasien dirumah sakit terdapat beberapa aspek dimensi yang perlu diperhatikan, yaitu harapan
dan tindakan supervisor / manajemen dalam mempromosikan keselamatan pasien,
pembelajaran peningkatan berkelanjutan, kerjasama dalam tim , keterbukaan komunikasi,
umpan balik terhadap error, respon tidak menyalahkan, staf yang adekuat, persepsi secara
keseluruhan, dukungan manajemen rumah sakit, kerjasama tim dalam unit, penyerahan dan
pemindahan pasien dan frekuensi pelaporan kejadian. Budaya keselamatan pasien yang ada
dirumah sakit memiliki hubungan langsung terhadap pelaksanaan pelayanan yang bertujuan
untuk menjamin keselamatan pasien. Kemudian keselamatan pasien sendiri juga dipengaruhi
oleh kepemimpinan transformasional dalam organisai tersebut.
Dari beberapa pernyataan diatas peneliti dapat menyimpulakan bahwa budaya
keselamatan di Rumah Sakit Citama bagian Unit Kerja sebanyak 95.3% Baik, Supervisor/
Kepala Bagian sebanyak 100% Baik, Seberapa Sering Kasus Terjadi Dibagian Unit Kerja
sebanyak 73.3% Dikomunikasikan, Frekuensi Kejadian Yang Dilaporkan sebanyak 67.4%
Dilaporkan, Tingkat Keselamatan Pasien sebanyak 50% Baik dan 50% Lumayan, Rumah
Sakit sebanyak 73.3% Baik, Jumlah Kejadian Yang Dilaporkan sebanyak 25.6% 1-2 Laporan,
23.3% sebanyak 3-5 laporan, dan 11-20 Laporan sebanyak 23.3%, Lama Bekerja karyawan di
Rumah Sakit sebanyak 48.4% 1-5th, Lama Bekerja karyawan di Rumah Sakit sebanyak
21
48.4% 1-5th, Lama Bekerja karyawan dalam (jam) / minggu sebanyak 30.2% 60-
79jam/minggu, Posisi / Profesi karyawan yang mengisi kuesioner sebanyak 40.8% Perawat,
Pekerjaan Yang Langsung Berhubungan Dengan Pasien sebanyak 93% berhubungan, Lama
Bekerja Karyawan Sesuai Sebagai Profesi sebanyak 44.2% 1-5th.
Mengubah budaya bukanlah cara yang mudah, sehingga kami perlu memersiapkan diri
dengan melakukan penilaian awal kesiapan rumah sakit untuk mengetahui tingkat budaya
awal (data dasar) dan mempersiapkan program kerja spesifik yang diperlukan.
22
BAB V
6.1 KESIMPULAN
6.2 Rekomendasi
1. kepada manajemen Rumah Sakit Citama untuk dapat menelusuri dan memperbaiki kondisi
dibawah ini ( dengan membuat keputusan/ langkah-langkah strategis):
a. Kesadaran tentang jumlah pelaporan insiden
b. Kesadaran tentang pencegahan terjadinya insiden, karena terjadinya insiden dalam
suatu unit bukan disebabkan oleh kebetulan.
c. Kondisi diruangan dimana bekerja lewat dari waktu kerja, demi memberikan
pelayanan yang terbaik bagi pasien.
d. Jumlah staf/ tenaga untuk menyelesaikan beban kerja Rumah Sakit
e. Penggunaan karyawan tidak tetap untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pasien
f. Kekhawatiran staf jika kesalahannya tercatat dalam catatan kepegawaian.
23
DAFTAR PUSTAKA
25