OLEH:
DASNI ELSA MEILIANTI
DITA DEANESIA
HAIDI
LISTIA SYAFITRI
SYAMSYIAH
1
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ilmu
1.1 Pengertian Ilmu
Ilmu tidak pernah terlepas dari kehidupan. Adapun yang dimaksud dengan
ilmu berdasarkan asal katanya yaitu Kata “ilmu” berasal dari bahasa arab alima -
ya’lamu – ‘ilman yang berarti mengetahui, memahami. Dalam bahasa Inggris
disebut science, dari bahasa latin yang berasal dari scientia yang berarti
pengetahuan atau scire yang berarti mengetahui. Sedangkan dalam Yunani
adalah episteme yang berarti pengetahuan. Jadi, dari beberapa asal kata mengenai
ilmu tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu memiliki arti mengetahui baik dari
bahasa Arab, Latin, Inggris dan Yunani. Tidak hanya dari asal kata mengenai ilmu
tersebut. Ilmu juga dijelaskan oleh beberapa ahli secara terperinci.
a. Alwi (2008) menjelaskan pengertian ilmu dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang tersusun
secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang tersebut.
b. Jujun (2003) mengungkapkan hal senada bahwa ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan.
c. Mundiri (2012) juga mengatakan dalam bukunya tentang ilmu adalah tindak
lanjut dari pengetahuan yang membutuhkan pembuktian dengan metode yang
tersistematis.
d. Tim Dosen Filsafat Ilmu (2012) berpendapat bahwa ilmu adalah kumpulan
pengetahuan yang memiliki syarat-syarat tertentu berupa objek baik objek
material maupun objek formal.
Dari beberapa pengertian para ahli mengenai ilmu, dapat disimpulkan
bahwa ilmu adalah kajian mendalam terhadap pengetahuan yang membutuhkan
penjelasan secara sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu
3
sebagai alat pembuktiannya. Dan jika dihubungkan dengan kebudayaan maka
dapat disimpulkan bahwa ilmu membutuhkan penjelasan lebih lanjut tentang ilmu
dan juga merupakan unsur dari kebudayaan.
2. Kebudayaan
2.1 Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil karya cipta (pengolahan, pengerahan dan
penghargaan terhadap alam) oleh manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran,
perasaan, kemauan, imajinasi, dan fakultas-fakultas ruhaniah lainnya) dan raga
yang menyatakan dalam berbagai kehidupan ruhaniah ataupun kehidupan lahiriah
manusia, sebagai jawaban atas segala tantangan, tentuan dan dorongan dari intra
diri manusia dan ekstra diri manusia, menuju arah terwujudnya kebahagiaan dan
kesejahteraan (spiritual dan material) manusia, baik “individu” maupun
“masyarakat”.
Kebudayaan berarti mempelajari sesuatu soal dari kehidupan manusia,
baik seorang pribadi maupun sebagai anggota masyarakat dalam hubungannya
dengan alam sekitarnya. Karena kebudayaan adalah alam pikiran dan mengasah
budi. Juga mempelajari seluruh segi kehidupan yang merupakan pernyataan dari
4
cara berfikir dan cara merasa masyarakat dan dapat dipahami bahwa seluruh segi
kehidupan diliputi oleh kebudayaan.
Pada hakikatnya antara ilmu dan kebudayaan terdapat suatu panduan,
karena dalam rangka pembangunan kebudayaan tidak terlepas dari nilai-nilai yang
dikandungnya. Dalam hal ini, ilmu berarti suatu cara berfikir yang menghasilkan
suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan, karena ilmu adalah produk berfikir
menurut sistematika tertentu yang secara umum disebut berfikir ilmiah.
Dalam hubungannya dengan manusia, ada beberapa alternatif kedudukan
ilmu yaitu menjadi alat pengantar kearah kesejahteraan manusia. Di samping itu,
dalam hal pengembangan kebudayaan ilmu mempunyai dua kedudukan yaitu
merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan suatu
kebudayaan dan merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak
manusia, masyarakat atau bangsa.
Antara ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung
dan saling mempengaruhi, pada sisi pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat
tergantung pada kondisi kebudayaannya. Sedangkan di sisi lain pengembangan
ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Dan dalam beberapa tipe
masyarakat, ilmu dapat berkembang pesat, demikian pula sebaliknya.
5
hanya itu, kebudayaan berperan untuk mengontrol karena terdapat aturan di
dalamnya.
6
f. Sistem religi. Kepercayaan manusia terhadap adanya Sang Maha Pencipta
yang muncul karena kesadara bahwa ada zat yang lebih dan maha kuasa
sehingga manusia melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dengan
kekuatan supranatural tersebut.
g. Kesenian. Manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan
psikis mereka sehingga lahirlah kesenian.
7
Secara garis besar, fungsi kebudayaan adalah untuk mengatur manusia
agar dapat mengetahuai bagaimana seharusnya bertindak dan berbuat serta
bersikap ketika berhubungan dengan orang lain di dalam kehidupan.
8
mengelola lingkungan hidup secara lestari”. Selanjutnya Ridwan (2007)
memaparkan: kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami
sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam
ruang tertentu.
Pengertian tersebut, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami
sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam
bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau
peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan
sebagai "kearifan/kebijaksanaan". Local secara spesifik menunjuk pada ruang
interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi
yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-
pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan
fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting. Setting
adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-
hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang
sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut
yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku
mereka.
Adapun menurut Keraf (2010: 369) bahwa kearifan lokal adalah sebagai
berikut: yang dimaksud dengan kearifan tradisional di sini adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau
etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
ekologis. Jadi kearifan lokal ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan
pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di
antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat
kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni
komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati,
dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang
sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama
manusia maupun terhadap alam dan yang gaib.
9
Hal tersebut menunjukkan bahwa:
Pertama, kearifan tradisional adalah milik komunitas. Demikian pula, yang
dikenal sebagai pengetahuan tentang manusia, alam dan relasi dalam alam juga
milik komunitas. Tidak ada pengetahuan atau kearifan tradisional yang bersifat
individual.
Kedua, kearifan tradisional, yang juga berarti pengetahuan tradisional, lebih
bersifat praktis, atau “pengetahuan bagaimana”. Pengetahuan dan kearifan
masyarakat adat adalah pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam
komunitas ekologis, sehingga menyangkut bagaimana berhubungan secara baik
dengan semua isi alam. Pengetahuan ini juga mencakup bagaimana
memperlakukan setiap bagian kehidupan dalam alam sedemikian rupa, baik untuk
mempertahankan kehidupan masing-masing spesies maupun untuk
mempertahankan seluruh kehidupan di alam itu sendiri. Itu sebabnya, selalu ada
berbagai aturan yang sebagian besar dalam bentuk larangan atau tabu tentang
bagaimana menjalankan aktivitas kehidupan tertentu di alam ini.
Ketiga, kearifan tradisional bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan
pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta.
Alam adalah jaring kehidupan yang lebih luas dari sekedar jumlah keseluruhan
bagian yang terpisah satu sama lain. Alam adalah rangkaian relasi yang terkait
satu sama lain, sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang alam harus
merupakan suatu pengetahuan menyeluruh.
Keempat, berdasarkan kearifan tradisional dengan ciri seperti itu, masyarakat adat
juga memahami semua aktivitasnya sebagai aktivitas moral. Kegiatan bertani,
berburu dan menangkap ikan bukanlah sekedar aktivitas ilmiah berupa penerapan
pengetahuan ilmiah tentang dan sesuai dengan alam, yang dituntun oleh prinsip-
prinsip dan pemahaman ilmiah yang rasional. Aktivitas tersebut adalah aktivitas
moral yang dituntun dan didasarkan pada prinsip atau tabu-tabu moral yang
bersumber dari kearifan tradisional.
Kelima, berbeda dengan ilmu pengetahuan Barat yang mengklaim dirinya sebagai
universal, kearifan tradisional bersifat lokal, karena terkait dengan tempat yang
partikular dan konkret. Kearifan dan pengetahuan tradisional selalu menyangkut
10
pribadi manusia yang partikular (komunitas masyarakat adat itu sendiri), alam (di
sekitar tempat tinggalnya) dan relasinya dengan alam itu. Tetapi karena manusia
dan alam bersifat universal, kearifan dan pengetahuan tradisional dengan tidak
direkayasapun menjadi universal pada dirinya sendiri. Kendati tidak memiliki
rumusan universal sebagaimana dikenal dalam ilmu pengetahuan modern,
kearifan tradisional ternyata ditemukan di semua masyarakat adat atau suku asli di
seluruh dunia, dengan substansi yang sama, baik dalam dimensi teknis maupun
dalam dimensi moralnya.
Menurut Teezzi, dkk (dalam Ridwan, 2007:3) mengatakan bahwa "akhir
dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama".
Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian,
pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam
perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan
hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal
akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat
tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang
biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui
sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu
generasi ke generasi berikut. Teezzi, dkk (dalam Ridwan, 2007:3) mengatakan
bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses
trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris
atau yang estetik maupun intuitif.
Ardhana (dalam Apriyanto, 2008:4) menjelaskan bahwa: menurut
perspektif kultural, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan,
dikembangkan dan dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidup
mereka. Termasuk berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, bertingkah laku
dan bertindak yang dituangkan sebagai suatu tatanan sosial.
Di dalam pernyataan tersebut terlihat bahwa terdapat lima dimensi kultural
tentang kearifan lokal, yaitu (1) pengetahuan lokal, yaitu informasi dan data
tentang karakter keunikan lokal serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat
11
untuk menghadapi masalah serta solusinya. Pengetahuan lokal penting untuk
diketahui sebagai dimensi kearifan lokal sehingga diketahui derajat keunikan
pengetahuan yang dikuasai oleh masyarakat setempat untuk menghasilkan inisiasi
lokal; (2) Budaya lokal, yaitu yang berkaitan dengan unsur-unsur kebudayaan
yang telah terpola sebagai tradisi lokal, yang meliputi sistem nilai, bahasa, tradisi,
teknologi; (3) Keterampilan lokal, yaitu keahlian dan kemampuan masyarakat
setempat untuk menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki; (4)
Sumber lokal, yaitu sumber yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dan melaksanakan fungsi-fungsi utamanya; dan (5) proses sosial lokal,
berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat dalam menjalankan fungsi-
fungsinya, sistem tindakan sosial yang dilakukan, tata hubungan sosial serta
kontrol sosial yang ada.
12
masyarakat dapat dijadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari
sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan
damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekedar sebagai acuan tingkah
laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendominasi kehidupan
masyarakat yang penuh keadaban. Secara substansial, kearifan lokal adalah nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan
menjadi acuan dalam bertingkah laku seharihari masyarakat setempat.
Karena itu, sangat beralasan jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan
entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam
komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur
kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya
adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
13
Suku Sakai masih menggunakan cara-cara tradisional dalam
melangsungkan kehidupan sehari-hari. Dalam pemanfaatan sumber daya alam,
suku Sakai memiliki cara yang tradisional dalam pelestarian hutannya, dalam
mempertahankan ekologi hutan, masyarakat suku Sakai membagi hutan ke dalam
3 zona, yaitu :
a. Hutan perladangan
Hutan perladangan merupakan hutan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat suku Sakai untuk berladang. Masyarakat suku Sakai
membuka lahan perladangan dengan menggunakan sistem rotasi.
Butuh waktu 10 tahun dalam berotasi kembali pada posisi awal
penanaman. Hal ini bertujuan agar tanah yang digunakan untuk
berladang selalu mengalami pembeharuan.
b. Hutan Adat
Hutan adat merupakan hutan yang diperbolehkan mengambil rotan,
damar, dan madu lebah, dengan tidak menebang pohon utamanya.
c. Hutan Larangan
Hutan larangan merupakan hutan yang tidak diperbolehkan memasuki
kawasan dengan sembarangan. Hal ini bertujuan agar sumber madu
yang ada di dalam hutan tersebut dapat diproduksi dengan baik. Jika
madu sudah siap untuk di produksi, maka akan ada salah satu
masyarakat suku Sakai yang mengambil madu tersebut dan
selanjutnya akan dibagikan kepada semua masyarakat suku Sakai
yang membutuhkan. Apabila ada orang yang tertangkap basah
merusak hutan larangan, maka ia akan dikenai denda berupa uang
hingga diusir dari wilayah perbatinan.
Selain menerapkan zonifikasi suku Sakai juga melarang warganya
menebang beberapa jenis pohon, diantaranya pohon sialang, kapur, labuai, dan
buah-buahan. Pohon sialang ini merupakan tempat bersarangnya lebah.
Pepohonan di sekeliling pohon sialang hingga radius 1-2 Km juga dilarang
ditebang karena pepohonan ini dinilai sebagai habitat lebah madu.
14
Makanan utama masyarakat suku Sakai adalah ubi beracun dengan nama
lokal ubi menggalo.Sedangkan padi hanya sebagai makanan pengganti.
Masyarakat suku Sakai tidak pernah mengalami gagal panen dalam memproduksi
ubi menggalo dikarenakan ubi tersebut tidak akan dimakan oleh babi hutan dan
predator lain.
Agar racun pada ubi menggalo hilang, masyarakat suku Sakai mengelolah
ubi menggalo dengan cara sebagai berikut, ubi menggalo siap panen saat berumur
2 tahun, dikupas dan direndam semalam di aliran sungai, dipotong-potong,
diparut, dimasukkan kedalam karung, diperas airnya kemudian ditimpa
batu/kayu. Menggalo yang sudah kering selanjutnya digoreng tanpa minyak
dengan wajan dari tanah liat selama 2 jam dan baru disimpan sampai 3 bulan.
15
keramat atau mengambil hasil hutan. Waktu larangan memungut hasil/ masuk
hutan tidak ada waktunya, hanya saja perlu meminta izin ke pemangku adat.
Jika ada yang menebang hutan di hutan keramat, maka penegakan hukum
yang duberikan pertama kali adalah berupa himbauan secara langsung agar
menghentikan kegiatan penebangan pohon. Apabila pelaku tidak mau maka akan
dijatuhkan sanksi yaitu denda berupa kedundung yang setara dengan 7 tahil (1
tahil = 10 juta rupiah). Sanksi kedundung ini berupa benda-benda seperti kain
putih/belacu, pinggan, keris, gelang perak, dan mangkuk).
Suku Bonai adalah satu suku yang masih mempertahankan hidup terasing di
pedalaman provinsi Riau. Masyarakat suku Bonai tinggal di kawasan aliran
sungai Rokan yang terdapat di perbatasan dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Rokan
Hulu dan Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau.
Sungai adalah jalur transportasi, sumber kehidupan, segala aktivitas
masyarakat sangat tergantung dengan sungai. Sungai saat ini sudah mulai
dijadikan sebagai pusat perhatian masyarakat Rokan Hulu. "Sungai larangan"
yaitu sungai dengan jarak tertentu terutama dibagian desa disepakati
adat/masyarakat sebagai tempat larangan mencari ikan selama waktu tertentu,
maksudnya sungai yang dilarang ikan-ikannya ditangkap, penangkapan hanya
dilakukan 1x setahun. Walau batas penangkapan larangan hanya 5 km sepanjang
aliran sungai di kampung itu, hal ini telah menunjukkan upaya pelestarian dan
pendidikan pelestarian terhadap anak cucu mereka.
Dari beberapa contoh kearifan lokal yang dimiliki oleh beberpa suku yang
ada di Riau menunjukkan bahwa warisan yang diturunkan secara temurun oleh
nenek moyang dalam menjaga dan pelestarian lingkungan sudah lama mereka
lakukan sejak dulu, sehingga hal itu kini berkembang menjadi ilmu pengetahuan
pada bidang yang berbeda-beda. Kearifan lokal dapat berkaitan langsung dengan
ilmu ekologi, biologi, pertanian dan perikanan.
16
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2010. Filsafat Ilmu Sebagai
Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
18