Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

Suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas suku-suku bangsa yang

hidup dalam kesatuan wilayah serta kebudayaan yang berkembang dalam kurun masa

yang berabad-abad lamanya sehingga melahirkan kebudayaan nasional. Kebudayaan

nasional adalah perpaduan dan totalitas seluruh lapisan kebudayaan bangsa Indonesia

yang mencerminkan segenap aspek kehidupan bangsa yang meliputi bahasa, kesenian,

adapt istiadat, tradisi luhur dan kepercayaan dalam arti lain kebudayaan nasional

merupakan semua yang dihasilkan manusia Indonesia dengan latar belakang sejarah

yang dialami bangsa Indonesia. Salah satunya adalah bahasa daerah.

Sesuai pasal 32 UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah memajukan

kebudayaan nasional Indonesia. Oleh karena itu, kebudayaan daerah harus

dikembangkan karena merupakan kebudayaan nasional dan setiap warga negara wajib

melestarikan budaya daerah dengan melakukan hal-hal seperti turut menghidupkan

budaya daerah masing-masing dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional,

memelihara warisan budaya masa lampau dan menyesuaikan dengan kehidupan

modern, memilih yang positif dalam menerima budaya asing, dan lain-

lain.(Saidiharjo,2004)

Bahasa daerah yang beraneka ragam mencerminkan kekayaan budaya nasional

misalnya Bahasa Madura, Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa bali, Bahasa Minahasa,

Bahasa Banjar, Bahasa Batak, dan lain-lain.

Menurut kurikulum DEPDIKNAS bahasa daerah berfungsi untuk

mengembangkan kemampuan bernalar, berkomunikasi dan mengungkapkan pikiran

atau perasaan serta melestarikan aset nasional di daerah ( Dinas P & K Jatim,1997 ). Di

tingkat SD meliputi kemampuan dan ketrampilan berbahasa meliputi berbicara,

mendengarkan, membaca dan menulis. Dimana pada tingkat sekolah dasar masuk dalam

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai muatan lokal yang wajib dipelajari di

lingkungan tempat tinggal siswa itu bersekolah. Tujuan Instruksional mata pelajaran

bahasa daerah di tingkat sekolah dasar pada dasarnya memerlukan kontinuitas dalam

kehidupan sehari-hari sehingga dengan demikian guru bahasa daerah harus dapat

menguasai, memahami siswa didik dengan melakukan pendekatan yang sesuai dengan

karakteristik materi yang akan disampaikan dan memberi kesempatan siswa untuk
sosialisasi dengan bahasa daerah sebagai komunikasi dalam tiap tatap muka mata

pelajaran bahasa daerah.

BAHASA DAERAH: Masihkan Menjadi


Kebudayaan Nasional Kita?
Apr 9, 2017 07:44

ILUSTRASI.(Istimewa)

Bahasa daerah merupakan kebudayaan nasional dan identitas Negara.


Indonesia memiliki 748 bahasa daerah menurut Wikipedia. Sedangkan
menurut BPS ( Badan Pusat Statistik) bahasa daerah pada tahun 2010
berjumlah 1158 bahasa. Melihat banyaknya bahasa daerah yang ada di
Indonesia maka upaya untuk melestarikanya sangat dibutuhkan. Karena dari
beberapa bahasa daerah yang ada, terancam kepunahannya. Bahkan ada
bahasa daerah yang telah punah. Bahasa daerah yang telah punah itu
berjumlah 14 bahasa yakni, 10 bahasa di Maluku Tengah, bahasa Hoti,
Hukumina, Hulung, Serua, Te'un, Palumata, Loun, Moksela, Naka'ela dan
Nila. Dua bahasa punah juga di Maluku Utara yakni Ternateno dan Ibu. Serta
dua bahasa berasal dari Papua yakni Saponi dan Mapia.
Mengingat pentingnya bahasa daerah pemerintah telah
mencantumkannya di dalam peraturan UUD tahun 1945 pasal 32 ayat (2) :
Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan
budaya nasional. Oleh karena itu dalam upaya melestarikan bahasa daerah
maka seharusnya pemerintah menerapkan bahasa daerah yang ada di
kurikulum sebagai pembelajaran ekstrakulikuler dalam dunia pendidikan.
Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (jilid V),
merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Sedangkan sekolah menurut
KBBI ( Poerwadarminta:1999) adalah bangunan atau lembaga untuk belajar
dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran atau menurut
tingkatannya, ada sekolah dasar, sekolah lanjutan, dan sekolah
tinggi. Pendidikan di dalam sekolah inilah yang diharapkan akan mampu
memperdalam pembelajaran bahasa daerah di sekolah yang berada di
daerahnya masing-masing.
Adanya pembelajaran bahasa daerah yang berada di kurikulum
sebagai pembelajaran ekstrakulikuler di sekolah, yaitu memasukan bahasa
daerah dalam pembelajaran muloq, dengan menyediakan tenaga pengajar
yang ahli dalam bahasa daerah itu atau keabsahannya yang telah diakui.
Sehingga bisa menjadi bahan pembelajaran yang baik bagi generasi untuk
lebih memperdalam bahasanya, bisa juga untuk menarik perhatian
dan meningkatkan minat serta menimbulkan rasa cinta terhadap bahasa
daerahnya. Caranya, sekolah tersebut mengadakan perlombaan berupa
lomba lagu daerah, mengarang cerpen menggunakan bahasa daerah, drama
bahasa daerah, dan lain sebagainya.
Hal ini diharapkan dapat melestarikan bahasa daerah dimulai dari
tingkat dasar. Sebab dilihat dari perkembangan arus globalisasi saat ini, dan
maraknya penyebaran budaya di luar negeri yang masuk ke dalam Negara
Indonesia dengan mudahnya kepada para generasi penerus bangsa. Seperti
Korea Wave atau K-pop menyebabkan banyak generasi yang lebih suka
menggunakan bahasa korea dibandingkan dengan bahasa daerahnya sendiri.
Bahkan mengikuti kebudayaan di negara tersebut tanpa adanya slektif dan
berfikir kritis. Belum lagi adanya kebudayaan yang lain dari negara tetangga
berupa makanan dan lain sebgainya. Secara tidak langsung hal itu telah
mengurangi rasa cita terhadap tanah air yaitu cinta kebudayaan nasional kita.
Lalu siapakah yang bertanggung jawab terhadap kebudayaan nasional
kita? Kebudayaan nasional kita merupakan tanggung jawab dari semua pihak.
Baik pemerintah, masyarakat dan generasi kita. Maka dari itu, generasi
penerus bangsa kita dan masa depan bahasa daerah kita tergantung pada
generasi penerus bangsa kita. Jika bahasa daerah penuturnya semakin
bekurang, maka dengan berangsurnya waktu bahasa daerah kita akan
terancam punah bahkan akan punah.
Sebagai generasi yang baik, kita harus mencintai kebudayaan
nasional sendiri. Karena jika bukan kita siapa lagi, jika bukan sekarang kapan
lagi, maka dari itu mari kita bersama-sama mencintai dan melestarikan
kebudayaan nasional kita, yaitu bahasa daerah atau yang dikenal dengan
bahasa ibu dengan mempelajarinya. Karena bangsa yang hebat adalah
bangsa yang memiliki kebudayaan nasional yang kuat.
dunia pendidikan memegang peranan penting untuk kelestarian budaya daerah.
Bahasa daerah yang aktif digunakan sebagai pengantar di sekolah berpotensi bisa
terus hidup.

Penggunaan bahasa daerah juga mampu membantu anak didik lebih memahami
pelajaran yang diterima di sekolah. Pasalnya, di berbagai daerah tidak semua siswa
mampu berbahasa Indonesia. Alhasil, penggunaan bahasa daerah di sekolah
memiliki dua sisi positif. Di satu sisi, akan melestarikan bahasa, di sisi lain akan
meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran yang diterima di sekolah.

Kebanyakan anak di daerah belum bisa berbahasa Indonesia. Kalau guru memaksa
mereka menggunakan bahasa Indonesia, akan sulit. “Tapi jika pengantar
menggunakan bahasa daerah, orang tua mereka bisa membantu mengajarkan di
rumah,” kata Sheldon.
Ia menyayangkan sistem pendidikan di Indonesia tidak menggunakan bahasa adat
sebagai pengantar. Sekolah-sekolah tidak menggunakan bahasa ibu sehingga para
siswa tidak mengenal bahasa ibu mereka.

Sheldon mengatakan penting bagi guru untuk memahami fase belajar yang
disesuaikan dengan perkembangan anak dalam berbahasa. Jika dalam kehidupan
sehari-hari mereka biasa mendapatkan bahasa ibu maka hendaknya digunakan pula
dalam pengantar di sekolah. Saat ini ia melihat masih banyak anak di pelosok
nusantara yang menghadapi kendala dalam memahami pelajaran dan akhirnya
prestasi belajar mereka tidak optimal.

Hasil survei yang dilakukan oleh Southeast Asian Minister of Education


Organization Regional Centre of Quality Improvement of Teacher and Education
Personal (SEAMO QITEP) in Language menunjukkan penggunaan bahasa daerah
perlu dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama di wilayah pelosok di
Indonesia.

Direktur SEAMO QITEP Felicia Nuradi Utorodewo mengatakan bahwa program


pendidikan multibahasa berbasis bahasa ibu memfokuskan daerah menggunakan
bahasa daerah sebagai bahasa pengantar yang selanjutnya menggunakan bahasa
Indonesia sebagai pengantar.

banyak hal tentang peran bahasa dalam kehidupan keseharian manusia. Tanpa
bahasa -lisan atau tulisan- manusia seakan terhenti, tidak berperadaban, atau
setidaknya sulit saling berhubungan. Bahasa menjadi penanda kesadaran manusia
yang berfungsi untuk mengutarakan, mengungkap dan menyampaikan kesadaran
atau pemahaman tertentu manusia. Bahasa bukanlah sesuatu yang terbentuk
dengan proses yang singkat. Bukan pula menjadi suatu yang seragam meski
serumpun. Itulah bahasa, berkembang sesuai dengan kebudayaan dan situasi lokal
di mana ia muncul dan berkembang.

Sejak 18 Agustus 1945 Bahasa Indonesia disahkan menjadi bahasa negara.


Termaktub pada pasal 36 Undang-udang Dasar 1945, Bahasa Indonesia menjadi
bahasa yang dipilih sebagai bahasa pemersatu unit-unit kesukuan, kebangsaan dan
teritorial Indonesia. Mengapa bahasa Indonesia? Peran Bahasa Indonesia sangat
sentral sejak perjuangan kemerdekaan hingga dewasa ini. Bahasa Indonesia
berperan seperti Bahasa Inggris di dunia internasional: menghubungkan antar
kebudayaan dalam komunikasi dan pertukaran pengetahuan. Pentingnya bahasa
pemersatu inilah yang mendorong kongres pemuda Indonesia tahun 1928 untuk
mendeklarasikan adanya bahasa pemersatu yang digunakan bersama sebagai
sebuah alat politik pemersatu sekaligus penghubung antar kebudayaan di
Nusantara. Semangat tersebut dapat dipahami jika mengacu pada data yang
berkembang setelahnya bahwa Indonesia adalah bentangan satuan politik dan
budaya yang terdiri dari 17.504 pulau. Bentangan geografis ini tentu mewakili
keragaman budaya, termasuk bahasa.
Seberapa kayakah bahasa lokal Indonesia? Mengacu pada data Pusat Bahasa
Kementrian Pendidikan dan Pariwisata, Indonesia memiliki 442 bahasa daerah atau
lokal. Data yang diperoleh melalui penelitian antara tahun 2006-2008 tersebut
berbeda dengan data yang dimunculkan oleh Summer Institute of Lingustic (SIL)
yang menyebut Indonesia memiliki 743 bahasa daerah. Data keduanya
menunjukkan kekayaan bahasa daerah yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
Nyaris tidak ada negara di dunia yang memiliki kompleksitas dan keragaman
bahasa, seperti Indonesia.

Bahasa daerah di Indonesia terdiri berasal dari 22 rumpun besar bahasa. Rumpun
inilah yang melahirkan jenis dan ragam bahasa yang cukup beragam. Sebaran
bahasa ini menunjukkan ragam kebudayaan yang sangat kaya dari bangsa ini.
Bahasa sebagai sebuah wujud tampak (etos) kebudayaan dengan keragamannya di
Indonesia, menunjukkan kekayaan kebudayaan itu sendiri. Beberapa daerah,
seperti Kalimantan, Papua, Sulawesi, kepulauan Maluku dan Nusatenggara adalah
beberapa wilayah yang sangat kaya akan jenis bahasa. Di Kalimantan, tercatat
tidak kurang dari 74 ragam bahasa berbeda yang digunakan. Papua bagian timur
memiliki tak kurang dari 272 jenis bahasa, sementara Papua bagian Barat memiliki
62 Jenis bahasa. Pulau Sulawesi tercatat memiliki 114 jenis bahasa
lokal. Keberadaan Bahasa yang sangat beragam ini menunjukkan bahwa
kebudayaan Nusantara berkembang dengan keragaman yang sangat luas. Bahasa
tidak hanya menunjukkan bagaimana suatu kelompok bertutur atau berkomunikasi,
melainkan juga menunjukkan ekspresi kebudayan tertentu. Keragaman ini adalah
indikator ekspresi kebudayaan yang sangatlah kaya.

Kepunahan bahasa adalah ancaman yang terus mengikuti kekayaan ragam bahasa.
Hal ini mungkin sedang dimulai karena banyak terdapat sistem pendidikan yang
mengharuskan penggunaan bahasa Inggris menggatikan bahasa pemersatu yaitu
bahasa Indonesia, yang seakan-akan mengucilkan penggunaan bahasa daerah yang
sudah jarang diajarkan kepada para peserta didik. Miris sekali kalau kita
bayangkan keanekaragaman bahasa akankah tergantikah oleh bahasa universal?

Kepunahan itu dimulai dari anak-anak sekarang yang kurang bisa berbahasa daerah
tapi lebih fasih dengan bahasa luar negeri, peristiwa itu tidak sulit kita temukan
dimasyarakat bahkan media elektronik lainnya. Dikhawatirkan saat ini, 169 jenis
bahasa lokal akan punah. Hal tersebut salah satunya diungkap oleh Multamia
Rauder, Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia. Ancaman kepunahan bahasa tersebut tidak hanya disebabkan oleh
peralihan penggunaan bahasa, tetapi juga menghilangnya penutur asli bahasa
tersebut. Beberapa bahasa, seperti Lom (Sumatera) hanya menyisakan 50 penutur;
Budong-budong (Sulawesi) hanya menyisakan 70 penutur; dan Bahasa Hukumina
(Maluku) hanya menyisakan satu penutur saja. Selain ketiga bahasa tersebut,
sederet bahasa masuk dalam daftar terancam punah.
Kekayaan bahasa ini merupakan sebuah modal sosial yang juga mengandung
tantangan. Tantangan terbesar pada soal keragaman bahasa ini terkait dengan
kelestarian masing-masing bahasa. Idealnya, penggunaan bahasa Indonesia yang
bertujuan untuk menghubungkan masyarakat antar kebudayaan di Indonesia, tidak
menyebabkan kepunahan bahasa lokal atau daerah. Sudah menjadi kewajiban
semua pihak untuk turut menjaga kekayaan kebudayaan Indonesia ini. Tentu tidak
seorang pun ingin suatu ketika kelak jenis keragaman bahasa ini hanya menjadi
sejarah yang tidak bisa terus dipertahankan. Pemerintah, masyarakat pemilik
bahasa, dan seluruh masyarakat Indonesia lain berkewajiban sama untuk
melestarikan ragam kekayaan bahasa ini. Pendokumentasian, kampanye
penggunaan bahasa lokal hingga pemasukan pelajaran bahasa lokal ke dalam
kurikulum dan rencana strategis pendidikan menjadi kian dibutuhkan. Akankah
strategi pendididkan yang mendatang akan mempertimbangkan pemakaian bahasa
daerah yang terancam punah?
“Belajar bahasa dimulai dari bahasa daerah kemudian bahasa Indonesia apabila
sudah fasih barulah belajar bahasa luar dan jangan sampai sebaliknya,
Saat anda belajar bahasa daerah maka anda telah menjaga dan melestarikan budaya
dan bahasa bangsa Indonesia

Home

Edukasi

Edukasi

Bahasa Daerah Dapat Menguatkan Karakter Bangsa


15/02/2013 | 21:49 WIB

ANDRI
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

SOLO, KOMPAS.com - Bahasa daerah dapat mengarahkan siswa untuk berkembang dalam
lingkungan lokalnya sehingga pembelajarannya juga penting karena dapat membangun dan
menguatkan karakter bangsa, demikian dikatakan pengamat budaya Jawa Universitas Sebelas
Maret UNS), Tunjung W Suturta.

Karena itu, katanya di Solo, Jumat, sudah sewajarnya pelajaran Bahasa Jawa tetap
dipertahankan dalam Kurikulum 2013. Tunjung menyambut baik dipertahankannya pelajaran
Bahasa Jawa dalam kurikulum 2013, karena pembelajaran bahasa daerah ini penting untuk
pembinaan karakter siswa.

Tunjung juga tidak mempermasalahkan jika pelajaran Bahasa Jawa tersebut tidak berdiri
sendiri sebagai satu mata pelajaran (mapel), melainkan masuk dalam mapel Muatan Lokal.
"Tidak masalah, yang penting Bahasa Jawa diajarkan kepada siswa," katanya, di Solo, Jumat
(15/2/2013).

Penerapan kurikulum pendidikan baru pada tahun ini dipastikan akan mecoret sejumlah mata
pelajaran (mapel) dari daftar mapel yang akan diberikan kepada siswa.

"Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Dispora) Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta
memastikan tetap memasukkan pelajaran Bahasa Jawa dalam kurikulum baru 2013," kata
Kepala Dispora Pemkot Surakarta Rahmad Sutomo.

Ia mengatakan, pelajaran Bahasa Jawa tersebut tidak dijadikan satu mapel tersendiri
melainkan masuk dalam mapel Muatan Lokal. "Intinya Bahasa Jawa tetap diajarkan, namun
masuk dalam mata pelajaran muatan lokal," katanya.

Meski demikian, dijamin hal tersebut tidak akan mengurangi esensi materi yang disampaikan
kepada siswa. Dikatakannya, pihaknya menyadari pentingnya pembelajaran muatan lokal
tersebut untuk memperkuat identitas bangsa di kalangan siswa sekolah.

Pemberian pelajaran Bahasa Jawa kepada siswa sekolah juga diharapkan dapat terus
melestarikan kebudayaan tradisi di Indonesia dan tradisi Solo pada khususnya.

Kurikulum baru 2013 tersebut, lanjut dia, mulai diterapkan pada tahun ajaran baru tahun ini.
Kurikulum tersebut akan diterapkan di semua jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP hingga
SMA/SMK sederajat.

Ia mengatakan, meski demikian pihaknya akan menerapkan kurikulum baru tersebut secara
bertahap. "Mulai dari kelas satu dulu di setiap jenjang. Untuk menerapkan secara keseluruhan
ya kira-kira butuh waktu tiga tahun," katanya.

Anda mungkin juga menyukai