1. Pengertian kesehatan
a) Menurut WHO
“Keadaan yg meliputi kesehatan fisik, mental, dan sosial yg tidak hanya berarti
suatu keadaan yg bebas dari penyakit dan kecacatan.”
“Keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”
2. Pengertian lingkungan
“ Tempat pemukiman dengan segala sesuatunya dimana organismenya hidup beserta segala
keadaan dan kondisi yang secara langsung maupun tidak dpt diduga ikut mempengaruhi
tingkat kehidupan maupun kesehatan dari organisme itu.”
“ Suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologi yang dinamis
antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia
yang sehat dan bahagia.”
“Suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat
menjamin keadaan sehat dari manusia.”
Menurut kalimat yang merupakan gabungan (sintesa dari Azrul Azwar, Slamet Riyadi, WHO
dan Sumengen)
4) Pengendalian Vektor
8) Pengendalian radiasi
9) Kesehatan kerja
Menurut Pasal 22 ayat (3) UU No 23 tahun 1992 ruang lingkup kesling ada 8 :
5) Pengamanan radiasi
6) Pengamanan kebisingan
1) Tempat umum : hotel, terminal, pasar, pertokoan, dan usaha-usaha yang sejenis
4) Angkutan umum : kendaraan darat, laut dan udara yang digunakan untuk umum.
5) Lingkungan lainnya : misalnya yang bersifat khusus seperti lingkungan yang berada dlm
keadaan darurat, bencana perpindahan penduduk secara besar2an, reaktor/tempat yang
bersifat khusus.
1) Sebelum Orba
2) Setelah Orba
· Adanya Program Perumnas, Proyek Husni Thamrin, Kampanye Keselamatan dan kesehatan
kerja, dll.
Interaksi antara agent, host dan lingkungan serta model ekologinya adalah sebagai berikut
:
Pejamu Agent
Lingkungan
Pejamu
Agent
Lingkungan
Pejamu
Agent
Lingkungan
1) Karakteristik Lingkungan
· Fisik : Air, Udara, Tanah, Iklim, Geografis, Perumahan, Pangan, Panas, radiasi.
· Sosial : Status sosial, agama, adat istiadat, organisasi sosial politik, dll.
Agent penyakit dapat berupa agent hidup atau agent tidak hidup. Agent penyakit dapat
dikualifikasikan menjadi 5 kelompok, yaitu :
a. Agent biologis
3) Karakteristik Host/pejamu
Faktor manusia sangat kompleks dalam proses terjadinya penyakit dan tergantung dari
karakteristik yang dimiliki oleh masing – masing individu, yakni :
a. Umur : penyakit arterosklerosis pada usia lanjut, penyakit kanker pada usia
pertengahan
g. Status kekebalan : kekebalan terhadap penyakit virus yang tahan lama dan seumur
hidup.
1. Air Bersih
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi
syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
2. Pembuangan Kotoran/Tinja
Metode pembuangan tinja yang baik yaitu dengan jamban dengan syarat sebagai berikut :
b. Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin memasuki mata air atau sumur
e. Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar ; atau, bila memang benar-benar diperlukan, harus dibatasi
seminimal mungkin.
f. Jamban harus babas dari bau atau kondisi yang tidak sedap dipandang.
3. Kesehatan Pemukiman
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
b. Memenuhi kebutuhan psikologis, yaitu : privacy yang cukup, komunikasi yang sehat
antar anggota keluarga dan penghuni rumah
4. Pembuangan Sampah
b. Penyimpanan sampah.
d. Pengangkutan
e. Pembuangan
Dengan mengetahui unsur-unsur pengelolaan sampah, kita dapat mengetahui hubungan dan
urgensinya masing-masing unsur tersebut agar kita dapat memecahkan masalah-masalah ini
secara efisien.
Binatang pengganggu yang dapat menularkan penyakit misalnya anjing dapat menularkan
penyakit rabies/anjing gila. Kecoa dan lalat dapat menjadi perantara perpindahan bibit
penyakit ke makanan sehingga menimbulakan diare. Tikus dapat menyebabkan Leptospirosis
dari kencing yang dikeluarkannya yang telah terinfeksi bakteri penyebab.
Sasaran higene sanitasi makanan dan minuman adalah restoran, rumah makan, jasa boga
dan makanan jajanan (diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau
disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan
jasa boga, rumah makan/restoran, dan hotel).
Persyaratan hygiene sanitasi makanan dan minuman tempat pengelolaan makanan meliputi :
7. Pencemaran Lingkungan
2. Keanekaragaman sosial budaya dan adat istiadat dari sebagian besar penduduk.
3. Kegiatan di kota (lalu lintas alat transportasi)>>>emisi gas buang (asap) >>>mencemari
udara kota>>>udara tidak layak dihirup>>>penyakit ISPA.
Di dalam SPM Kab/kota di Propinsi Jawa Tengah (Keputusan Gubernur Jawa Tengah ) pada
point (huruf) “U” tentang Penyuluhan Perilaku Sehat disebutkan terdapat item Rumah
Tangga Sehat (item 1), dimana disebutkan bahwa Rumah Tangga sehat adalah Proporsi Rumah
Tangga yang memenuhi minimal 11 (sebelas) dari 16 indikator Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) tatanan Rumah Tangga. Lima diantara 16 indikator merupakan Perilaku yang
berhubungan dengan Kesehatan Lingkungan, yaitu :
Terdapat juga Penilaian Rumah Sehat (rumah secara fisik : pencahayaan, kelembaban,
ventilasi, dll)
Selain Rumah Tangga sehat terdapat pula point “R” yakni Pelayanan Kesehatan
Lingkungan dimana item pertama (Institusi yang dibina) meliputi RS, Puskesmas,
Sekolah, Instalasi Pengolahan Air Minum, Perkantoran, Industri Rumah Tangga dan Industri
Kecil serta tempat penampungan pengungsi. Institusi yang dibina tersebut adalah unit
kerja yang dalam memberikan pelayanan/jasa potensial menimbulkan resiko/dampak kesehatan.
Rumah Sehat
Kumpulan Rumah Sehat, Rumah Tangga Sehat dan Institusi-institusi yang dibina akan
mewujudkan Kabupaten/Kota sehat (Healthy City)
Kepustakaan :
Achmadi, Umar Fahmi, 1991. Transformasi Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja di
Indonesia, Jakarta : UI Press.
Ehler, Victor M. 1965., Municifal and Rural Sanitation. Mc. Graw Hill, Publishing Company
Ltd, New Delhi.
Harsanto, et al.2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Jakarta : Depkes RI.
Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 71 tahun 2004 tentang Standard Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan Kab/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Leavel and Clark. 1965. Preventive Medicine for the Doctor in His Community, 3th Edition,
McGraw-Hill Inc, New York.
Peraturan Menteri Kesehatan No 416 tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas
Air
Soeparman dan Suparmin. 2001.Pembuangan Tinja dan Limbah Cair : Suatu Pengantar. Jakarta :
EGC.
Wagner & Lanoix,1958. Excreta Disposal for Rural Areas and Small Comunities, World Health
Organization. Geneva.
Soal Latihan :
1. Sebutkan pengertian kesehatan lingkungan menurut sintesa dari Azrul Azwar, Slamet Riyadi,
WHO dan Sumengen !
2. Sebutkan ruang lingkup kesehatan lingkungan menurut Pasal 22 ayat (3) UU No 23 tahun 1992
!
3. Jelasakan konsep hubungan interaksi antara tiga komponen yang berperan dalam menimbulkan
penyakit model ecology (Jhon Gordon)
4. Sebutkan karakteristik host, agent dan environmental dan beri contoh masing-masing 2
(diua) buah !
5. Sebutkan masalah-masalah kesehatan lingkungan di Indonesia dan apa penyebabnya ?
6. Jelaskan dengan contoh (2 saja), hubungan dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap
kesehatan masyarakat di perkotaan dan pemukiman !
7. Jelaskan dengan diagram, kaitan antara Indonesia sehat 2010, kesehatan lingkungan dan
Healty city !
-oOo-
http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/udara/penc_udara_info_020604/ᄃ
Secara umum, terdapat 2 sumber pencemaran udara, yaitu pencemaran akibat sumber alamiah
(natural sources), seperti letusan gunung berapi, dan yang berasal dari kegiatan manusia
(anthropogenic sources), seperti yang berasal dari transportasi, emisi pabrik, dan lain-
lain. Di dunia, dikenal 6 jenis zat pencemar udara utama yang berasal dari kegiatan manusia
(anthropogenic sources), yaitu Karbon monoksida (CO), oksida sulfur (SOx), oksida nitrogen
(NOx), partikulat, hidrokarbon (HC), dan oksida fotokimia, termask ozon.
Di Indonesia, kurang lebih 70% pencemaran udara disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor.
Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang dapat menimbulkan dampak negatif,
baik terhadap kesehatan manusia maupun terhadap lingkungan, seperti timbal/timah hitam (Pb),
suspended particulate matter(SPM), oksida nitrogen (NOx), hidrokarbon (HC), karbon monoksida
(CO), dan oksida fotokimia (Ox). Kendaraan bermotor menyumbang hampir 100% timbal, 13-44%
suspended particulate matter (SPM), 71-89% hidrokarbon, 34-73% NOx, dan hampir seluruh
karbon monoksida (CO) ke udara Jakarta. Sumber utama debu berasal dari pembakaran sampah
rumah tangga, di mana mencakup 41% dari sumber debu di Jakarta. Sektor industri merupakan
sumber utama dari sulfur dioksida. Di tempat-tempat padat di Jakarta konsentrasi timbal bisa
100 kali dari ambang batas.
Sementara itu, laju pertambahan kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 15% per tahun
sehingga pada tahun 2005 diperkirakan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 2,8 juta
kendaraan. Seiring dengan laju pertambahan kendaraan bermotor, maka konsumsi bahan bakar
juga akan mengalami peningkatan dan berujung pada bertambahnya jumlah pencemar yang
dilepaskan ke udara.
Tahun 1999, konsumsi premium untuk transportasi mencapai 11.515.401 kilo liter [Statistik
Perminyakan Indonesia, Laporan Tahunan 1999 Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi]. Dalam
setiap liter premium yang diproduksi, terkandung timbal (Pb) sebesar 0,45 gram sehingga
jumlah Pb yang terlepas ke udara total sebesar 5.181,930 ton. Dengan pertumbuhan penjualan
mobil dan sepeda motor sebesar 300% dan 50% diperkirakan tahun 2001 polusi akibat timbal
(Pb) meningkat.
Menurut penelitian Jakarta Urban Development Project, konsentrasi timbal di Jakarta akan
mencapai 1,7-3,5 mikrogram/meter kubik (ìg/m3) pada tahun 2000. Menurut Bapedalda Bandung,
konsentrasi hidrokarbon mencapai 4,57 ppm (baku mutu PP 41/1999: 0,24 ppm), NOx mencapai
0,076 ppm (baku mutu: 0,05 ppm), dan debu mencapai 172 mg/m3 (baku mutu: 150 mg/m3).
Berdasarkan studi Bank Dunia tahun 1994, pencemaran udara merupakan pembunuh kedua bagi anak
balita di Jakarta, 14% bagi seluruh kematian balita seluruh Indonesia dan 6% bagi seluruh
angka kematian penduduk Indonesia. Jakarta sendiri adalah kota dengan kualitas terburuk
ketiga di dunia.
Dampak terhadap kesehatan yang disebabkan oleh pencemaran udara akan terakumulasi dari hari
ke hari. Pemaparan dalam jangka waktu lama akan berakibat pada berbagai gangguan kesehatan,
seperti bronchitis, emphysema, dan kanker paru-paru. Dampak kesehatan yang diakibatkan oleh
pencemaran udara berbeda-beda antarindividu. Populasi yang paling rentan adalah kelompok
individu berusia lanjut dan balita. Menurut penelitian di Amerika Serikat, kelompok balita
mempunyai kerentanan enam kali lebih besar dibandingkan orang dewasa. Kelompok balita lebih
rentan karena mereka lebih aktif dan dengan demikian menghirup udara lebih banyak, sehingga
mereka lebih banyak menghirup zat-zat pencemar.
Dampak dari timbal sendiri sangat mengerikan bagi manusia, utamanya bagi anak-anak. Di
antaranya adalah mempengaruhi fungsi kognitif, kemampuan belajar, memendekkan tinggi badan,
penurunan fungsi pendengaran, mempengaruhi perilaku dan intelejensia, merusak fungsi organ
tubuh, seperti ginjal, sistem syaraf, dan reproduksi, meningkatkan tekanan darah dan
mempengaruhi perkembangan otak. Dapat pula menimbulkan anemia dan bagi wanita hamil yang
terpajan timbal akan mengenai anak yang disusuinya dan terakumulasi dalam ASI. Diperkirakan
nilai sosial setiap tahun yang harus ditanggung akibat pencemaran timbal ini sebesar 106
juta Dollar USA atau sekitar 850 miliar rupiah.
WALHI menyerukan kepada pemerintah untuk memperbaiki sistem transportasi yang ada saat ini, dengan
sistem transportasi yang lebih ramah lingkungan dan terjangkau oleh publik. Prioritas utama harus diberikan
pada sistem transportasi massal dan tidak berbasis kendaraan pribadi.
WALHIjuga menyerukan kepada pemerintah untuk segera memenuhi komitmennya untuk memberlakukan
pemakaian bensin tanpa timbal.
Di sektor industri, penegakan hukum harus dilaksanakan bagi industri pencemar.
-oOo-
Metromini Penyebab Pencemaran Udara Terbesar Di Jakarta Selasa, 18 Januari 2005 | 07:16 WIB
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/01/18/brk,20050118-10,id.html
TEMPO Interaktif, Jakarta: Tingginya tingkat pencemaran udara di Jakarta tidak lain disebabkan oleh meningkatnya jumlah angkutan umum yang
menggunakan bahan bakar solar.
"60 persen pencemaran udara di Jakarta disebabkan karena benda yang bergerak atau transportasi umum, terutama karena mereka memakai bahan bakar
solar, " kata Senior Program Officer Clean Air Project (Swisscontact), Paul Butar-Butar saat pertemuan dengan Komisi D DPRD DKI di ruang rapat
komisi D, Jakarta, Senin (17/1).
Paul menyatakan, 94 persen penyakit pernafasan yang diderita oleh masyarakat Jakarta disebabkan oleh pencemaran udara luar ruang. Seperti yang
disebabkan oleh asap dari angkutan umum, misalnya metromini yang menggunakan bahan bakar solar.
Sedangkan 30 persen penyakit pernafasan, disebabkan oleh pencemaran dalam ruang seperti adanya asap rokok di ruang yang menggunakan AC.
Paul menilai, uji emisi yang telah diluncurkan sejak 2002, yang telah dirintis oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bekerjasama dengan
berbagai LSM tidak menghasilkan dampak yang signifikan. Karena masih banyaknya kendaraan yang menggunakan bahan bakar solar dan tidak layak jalan.
"Dari hasil survei karbonmonoksida (CO2), 50 persen kendaraan yang ada itu tidak lolos uji emisi. Kadar CO2 mereka berada di atas ambang batas
(500), " jelas Paul.
Mengingat kondisi udara Jakarta yang semakin mengkhawatirkan, Paul berharap agar pemerintah segera menetapkan kebijakan khusus yang mengatur hal
tersebut, khususnya sanksi yang tegas dan lebih berat.
Denda maksimal Rp 5 juta dan hukuman pidana kurungan paling lama 6 bulan dinilai terlalu ringan bagi pelanggar pencemaran udara.
Seharusnya, kata Paul, dasar acuan penetapan sanksi berdasar pada UU No. 32 tahun 2004 yang menetapkan denda sebanyak-banyaknya Rp 50 juta.
Anggota komisi D dari Fraksi Partai Demokrat, Denny Taloga sependapat dengan Paul. Menurut Denny, pemerintah saat ini harus bisa melakukan tindakan
yang tegas terhadap pada pelanggar pencemaran udara. "Denda itu terlalu kecil, seharusnya Rp 50 juta bukan Rp 5 juta," kata Denny.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzy Bowo, dalam rapat paripurna DPRD, menyatakan setuju besaran denda yang disampaikan oleh beberapa fraksi beberapa
waktu lalu. Yaitu dengan mengacu pada UU No. 32 tahun 2004 yang menetapkan denda sebanyak-banyaknya Rp 50 juta dan pidana kurungan paling lama 6
bulan.
Untuk mengurangi pencemaran udara yang diakibatkan oleh angkutan umum, pihaknya juga kan menggalang aksi pemasyarakatan pemakaian Bahan Bakar Gas
(BBG).
"Sebagai langkah awal, pemasyarakatan BBG ini akan diberlakukan pada berbagai kendaraan dinas operasional instansi pemerintah maupun BUMD, " kata
Fauzy. suryani ika sari
Di sisi lain, pengelolaan sampah hanya dilakukan sebagai sesuatu yang bersifat rutin, yaitu
hanya dengan cara memindahkan, membuang, dan memusnahkan sampah. Pada akhirnya, hal ini
berdampak pada semakin langkanya tempat untuk membuang sampah dan produksi sampah yang
semakin banyak mencapai ribuan m3/hari, menyebabkan merebaknya TPA/TPS ilegal di berbagai
tempat baik lahan kosong maupun di sungai – sungai yang terdapat di wilayah DI Yogyakarta.
Di Kabupaten Bantul saja, terdapat paling tidak 12 TPA/TPS ilegal lahan kosong dan di sungai
mencapai 7 TPA/TPS ilegal. Di Kabupaten Sleman, terdapat 10 TPA/TPS ilegal lahan kosong dan
di sungai mencapai 21 TPA/TPS ilegal. Di Kota Yogyakarta sendiri, terdapat 24 TPS/TPA ilegal
di sungai.
Ribuan m3/hari sampah yang ada tidak terangkut semuanya. Itu terlihat di Kota Yogyakarta
dari 1.724 m3 sampah yang terangkut 1.321 m3/hari. Kabupaten Bantul dari 1.145 m3/hari
sampah yang terangkut 178 m3/hari dan kabupaten Sleman dari 1.268 m3/hari sampah yang
terangkut 285 m3/hari. Bisa dibayangkan, sampah yang tidak terangkut berada di sungai, lahan
kosong, atau di rumah.
Bagaimana potret kehidupan masyarakat ke depan, jika persoalan ini tidak segera
diselesaikan. Permasalahan sampah bukan hanya berdampak pada persoalan lingkungan, tetapi
juga telah menimbulkan kerawanan sosial dan bencana kemanusiaan. Berbagai kasus, seperti di
Bantargerbang, Bojong Gede, dan Leuwigajah, mengingatkan kita bahwa persoalan sampah bukan
sesuatu yang bisa dianggap sepele.
Pengelolaaan sampah swakelola Sukunan, Banyuraden, Gamping, Kabupaten Sleman adalah salah
satu contohnya. Penanganan sampah mulai dari sumbernya, yaitu dari rumah tangga, terbukti
mampu mengelola potensi sampah yang selama ini luput dari perhatian masyarakat. Sampah
organik yang selama ini dibuang karena bau dapat dimanfaatkan lagi menjadi kompos. Sedangkan
sampah kertas, plastik, logam, dan kaca, mampu dimanfaatkan sebagai kerajinan seni atau
dijual ke industri pengolahan selanjutnya.
Contoh lain adalah di Gondolayu Lor, Cokrodiningratan, Jetis, Kota Yogyakarta, tengah
memproduksi secara massal alat pembuatan kompos. Mereka juga memilah sampah non organik,
mulai plastik dan kertas yang masih mempunyai nilai ekonomis, dimanfaatkan dan dikelola,
serta sampah non organik lainnya akan dibuang di tempat khusus. Terobosan masyarakat ini,
merupakan sesuatu yang perlu kita dorong dan kembang-tularkan ke tempat-tempat yang lain.
Kegiatan simulasi pengolahan sampah swakelola dan pembuatan bakteri yang dilaksanakan pada
tanggal 14 Januari 2006 ini, merupakan upaya untuk mengatasi permasalahan di atas, dan juga
menindaklanjuti hasil kunjungan Sahabat Lingkungan bersama Sheep dan Yasanti, yang merupakan
anggota WALHI Yogyakarta, beserta masyarakat dampingannya ke Sukunan pada tanggal 21
Desember 2005.
Kegiatan ini juga melibatkan anggota WALHI Yogyakarta yang lain, yaitu Mitra Tani (sebagai
narasumber) dan kegiatan ini dilaksanakan di Gubuk Rembug Lingkungan yang merupakan Crisis
Center WALHI Yogyakarta, dimana salah satu fungsinya adalah sebagai pusat pelatihan
pendidikan lingkungan. Kegiatan ini merupakan upaya menciptakan budaya baru dalam
masyarakat, mulai dari pemilahan, pengolahan, dan pemanfaatan sampah menjadi barang yang
mempunyai nilai ekonomi, sehingga permasalahan sampah, baik dari segi lingkungan maupun
sosial, bisa berkurang, bahkan dapat teratasi.
Berbicara sanitasi, berarti kita lebih jauh membicarakan kesehatan lingkungan. Saat ini,
banyak sekali permasalahan lingkungan yang harus dihadapi dan sangat mengganggu terhadap
tercapainya kesehatan lingkungan. Ironisnya, hanya Rp 200,00/orang/tahun yang disediakan
pemerintah dalam 30 tahun terakhir untuk mengatasi masalah ini, padahal kebutuhan ideal per
orang setiap tahunnya adalah Rp 47.000,00.
Sungguh satu nilai yang jauh berbeda, padahal kesehatan lingkungan bisa berakibat positif
terhadap kondisi elemen-elemen hayati dan non hayati dalam ekosistem itu sendiri. Bila
lingkungan tidak sehat maka sakitlah elemennya, tapi sebaliknya jika lingkungan sehat maka
sehat pulalah ekosistem tersebut. Perilaku kurang baik dari manusia, telah mengakibatkan
perubahan ekosistem dan timbulnya sejumlah permasalahan sanitasi.
Pertama, kebocoran septic tank. Saat ini sekitar 70 persen air tanah di daerah perkotaan
sudah tercemar berat bakteri tinja, padahal separuh penduduk perkotaan masih menggunakan air
tanah. Banyak hal yang mengakibatkan kebocoran atau bahkan rembesan limbah septic tank,
padatnya perumahan bisa mempercepat terjadinya kondisi ini, seperti dimuat Pikiran
Rakyat(Senin, 19/2), 2007 merupakan tahun emas industri perumahan. Satu kondisi yang perlu
diantisipasi dampaknya sejak dini.
Bappenas menyatakan, saat ini standar nasional tentang konstruksi septic tank sudah ada,
tetapi dalam implementasinya kurang ditunjang oleh aturan-aturan lainnya, seperti belum
adanya aturan yang membatasi jumlah septic tank per satuan luas kawasan. Demikian pula
dengan aturan yang mewajibkan penyedotan tinja secara rutin dan pihak yang merasa
berkepentingan memeriksa isi septic tank, belum ada. Selain itu, masih ada anggapan dari
masyarakat bahwa bagus dan tidaknya septic tank hanya dirasakan oleh pemiliknya saja.
Kedua, MCK yang tidak berfungsi secara optimal baik karena usang, salah konstruksi, tidak
terawat, tidak ada air, maupun masyarakat yang belum siap menerima keberadaannya sesuai
fungsinya. Ketiga, saluran air yang tersumbat. Seharusnya fungsi saluran tersebut adalah
mengalirkan air hujan, tetapi dalam pelaksanaannya dipakai menampung air kakus dan sampah
sehingga jadi sarang penyakit. Keempat, melakukan aktivitas harian di sungai yang tercemar
terjadi akibat terbatasnya akses masyarakat terhadap sarana MCK dan air bersih.
Kelima, pembuatan jamban yang asal-asalan, 35 persen jamban di kawasan perkotaan tidak ada
air, tidak ada atap atau tidak tersambung ke septic tank.Keenam, influein industri di
kawasan pemukiman sebagian besar dialirkan ke sungai tanpa proses pengelolaan terlebih
dahulu. Ketujuh, buang air besar sembarangan. Lebih dari 12 persen penduduk perkotaan
Indonesia sama sekali tidak memiliki akses ke sarana jamban (Susenas 2004). Artinya, belasan
juta penduduk perkotaan Indonesia masih membuang tinja langsung di kebun, selokan, ataupun
sungai. Kedelapan, pembuangan liar lumpur tinja. Pada kenyataannya, saat ini banyak truk
tinja membuang langsung muatannya ke sungai, alasannya tidak ada IPLT, IPLT tidak berfungsi
atau petugasnya malas.
Membaiknya sanitasi suatu kota, berarti juga mengurangi penyakit-penyakit akibat buruknya
sanitasi di masyarakat yang disebabkan oleh bakteri patogen, jamur, maupun cacing parasit.
Meluasnya penyakit seperti flu burung juga disebabkan oleh buruknya sanitasi. Padahal jelas,
hasil riset Bappenas menyatakan, sanitasi yang baik mampu mengurangi biaya kesehatan 6 - 19
persen, bahkan mengurangi biaya pengobatan sekitar 2 - 5 persen.
Contoh konkret bisa kita lihat di Bandung dan Jakarta, dua kota besar yang ada di Indonesia
sekaligus ibu kota provinsi dan negara. ”Jakarta kebanjiran....” itulah sepenggal syair
yang pernah dinyanyikan oleh Benyamin S. (alm) semasa hidupnya. Setidaknya syair tersebut
menunjukkan betapa banjir senantiasa menjadi kejadian tahunan di ibu kota. Tahun 2007,
sedikitnya 70 persen wilayah Jakarta terendam banjir sebagai akibat kesalahan dalam rencana
tata ruang dan wilayah (RTRW). Kerugian yang dialami akibat bencana ini mencapai Rp 8
triliun dan berdampak luas pada perekonomian bangsa.
Kasus banjir ini sudah menyita banyak waktu dan perhatian masyarakat, siapa yang pantas
disalahkan atau bahkan apa yang salah dalam hal ini? Satu pertanyaan yang harus dicari
jawabannya karena dari hasil penelitian menyatakan bahwa sanitasi yang baik ternyata
meningkatkan waktu produktif masyarakat sekitar 34-79 persen. Tentunya tanpa harus mengurus
lumpur banjir yang mampir ke rumah mereka.
Kejadian serupa pernah mampir di Kota Bandung tahun 2006 lalu. Longsornya Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Leuwigajah, sempat membuat pusing tujuh keliling pemerintah Kota Bandung. TPA
itu pun ditutup. Akibatnya, pengangkutan sampah masyarakat oleh petugas dari PD Kebersihan
terhenti, sampah berserakan, lalat beterbangan menebar penyakit, bau tak sedap tercium
setiap kali melewati daerah timbunan sampah. Banyak yang mengeluh karena sakit diare atau
pernapasan, bahkan para pejalan kaki, pengguna kendaraan banyak yang mengeluh karena baunya,
konsumen-konsumen di pasar-pasar tradisional pun merasa tidak nyaman saat berbelanja.
Kembali pemerintah dan masyarakat Bandung harus menanggung malu, karena mendapat predikat
“kota terkotor”. Para pejabat negara turun tangan, mulai dari gubernur hingga Menteri
Lingkungan Hidup.
Kota Bandung kembali harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk mengatasi masalah ini. Tidak
sedikit biaya yang harus dikeluarkan, belum lagi pencemaran air akibat lindi sampah yang
tidak tertangani. Data Bappenas menyebutkan, akibat buruknya sanitasi mengakibatkan 70
persen air tanah tercemar dan 75 persen air sungai tercemar. Padahal, 50 persen penduduk
perkotaan saat ini masih menggunakan air tanah untuk kehidupan sehari-hari.
Wajar kalau kemudian Ir. Ratna Hidayat, seorang peneliti lingkungan pengairan, menyatakan
bahwa kondisi air Citarum sangat kritis dengan kandungan bakteri E.coli-nya mencapai
50.000/100 ml, sehingga perlu proses yang agak panjang dalam memanfaatkannya (Pikiran
Rakyat,4/12/2006). Biaya produksi PDAM meningkat sekitar 25 persen dari rata-rata tarif air
nasional. Bahkan, ekspor hasil perikanan Indonesia pun pernah ditolak karena diindikasikan
tercemar salmonella.
Bangsa yang maju bisa terlihat dari kemampuan SDM-nya dalam menata lingkungan atau tempat
tinggalnya. Kanada dan Brasil, dua negara yang mampu membiayai operasional wilayahnya hanya
dengan mengelola sampah dengan baik. Tidak pelak lagi terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup
baik, karena minimnya biaya operasional dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi kota, pastinya
investor pun akan datang dengan sendiriya dan tentunya disambut dengan tangan-tangan handal
dari SDM-SDM yang terlahir dari bangsa yang berhasil menata lingkungannya dengan baik.***
Pada tanggal 15 Februari 2007 diadakan Seminal Nasional Peningkatan Kualitas Lingkungan
Perumahan Dan Permukiman Di Indonesia. Bertempat di Aula Barat Institut Teknologi Bandung,
dimana perkotaan dengan kompleksitas permasalahan yang ada di tambah laju urbanisasi yang
mencapai 4,4% per tahun membuat kebutuhan perumahan di perkotaan semakin meningkat,
sementara itu ketersediaan lahan menjadi semakin langka. Kelangkaan ini menyebabkan semakin
mahalnya harga lahan di pusat kota, sehingga mendorong masyarakat berpeng-hasilan menengah-
bawah tinggal di kawasan pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja. Kondisi ini menyebabkan
meningkatkan biaya transportasi, waktu tempuh, dan pada akhirnya akan menurunkan mobilitas
dan produktivitas masyarakat. Sedangkan sebagian masyarakat tinggal di kawasan yang tidak
jauh dari pusat aktivitas ekononomi, sehingga menyebabkan ketidak-teraturan tata ruang kota
dan dapat menumbuhkan kawasan kumuh baru.
Kecenderungan Global menuju Abad Perkotaan dimana petumbuhan penduduk lebih cepat bila
dibandingkan dengan pertambahan penduduk di perdesaan (urbanisasi). Bila dihubungkan dengan
fenomena tersebut membawa kondisi kemasyarakatan di kawasan perkotaan menjadi lebih kompleks
berikut permasalahan yang timbul. Hal ini banyak disebabkan oleh tingkat persaingan untuk
mencari penghidupan di perkotaan semakin ketat seiring dengan bertambhanya jumlah penduduk.
Dampak lingkungan hunian yang lazim adalah bertambahnya jumlah masyarakat kawasan permukiman
yang tidak layak huni, kurang sarana – prasarana, dan tidak teratur (kumuh). Lokasi
permukiman tersebut cenderung berada pada kawasan yang tidak diperentukan sebagai kawasan
hunian seperti pinggir kali, pinggir rel kreta api, dan areal tidak resmi lainnya. Akibatnya
berbagai dampak lingkungan lanjutan seperti banjir, penyakit menular dan keamanan lingkungan
menambah tugas rumah bagi pemerintah kota dan pusat.
Keterbatasan kemampuan pemerintah daerah merupakan hambatan utama bagi penyediaan kawasan
pemukiman penduduk yang layak. Pemerintah kota didorong untuk menjadi motor dalam
mengkondisikan penduduk agar dapat memahami pentingnya menjada lingkungan permukiman merek
secara swadaya. Selain juga mengupayakan penyediaan kawasan permukiman berserta fasilitas
yang memadai. Mendorong inovasi teknologi yang dapat diadaptasikan kepada lingkungan serta
melakukan penyebarannya. Melalui seminar nasional dengan tema “Peningkatan Kualitas
Lingkungan Perumahan Dan Permukiman Di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Mahasiswa
Teknik Planologi ITB dapat memberikan masukan bagi perencaan permukiman yang memiliki
kualitas, berkesinambungan dan menjawab semua tantangan dan permasalahan yang ada pada
permukiman penduduk di perkotaan. Seminar yang dibuka oleh Staf Ahli Menteri Negara
Perumahan Rakyat Bidang Tehnologi (mewakili Menteri) diharapkan akan membuka wacana para
akademisi dan para pemangku pemerintahan kota dalam memberikan perencanaan kawasan
permukiman yang berwawasan lingkungan, kemanusiaan dan berkeadilan bagi para penghuni dan
warga sekitar kawasan tersebut.