Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS KASUS PERBUATAN KORUPSI/TINDAK PIDANA KORUPSI YANG

BERKAITAN DENGAN DUNIA PENDIDIKAN


(Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah PBAK)

Dosen Pembimbing: H. Odang Hermanto, M.Pd.

Oleh

Ana Purnama Arfiana

17615008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU SOSIAL, BAHASA DAN SASTRA

INSTITUT PENDIDIKAN INDONESIA

GARUT

2019

1
ANALISIS KASUS KORUPSI DANA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN
OLAHRAGA (DIKPORA) KABUPATEN KEBUMEN

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah otonom, dalam rangka NKRI. Kewenangan daerah kabupaten/kota
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain. Desentralisasi bertujuan agar suatu daerah dapat mandiri dalam
mengelola wilayahnya dengan dibiayai dari pemerintah pusat. Namun, kewenangan yang
diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah seringkali disalahgunakan. Salah satu
tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini adalah tindak pidana korupsi.
Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan
diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi HAM dan kepentingan masyarakat. Dalam
penulisan paper, penulis menggunakan metode penelitian menggunakan deskriptif kualitatif
berupa penelitian dengan metode studi kasus (Case Study). Data studi kasus dapat diperoleh
dari sumber pustaka berupa buku, jurnal, dan berita.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana analisis kasus korupsi yang melibatkan Hartoyo yang merupakan satu dari
lima orang tersangka yang saat ini menjalani proses persidangan?
2. Bagaimana pendapat mengenai kasus korupsi Dikpora yang menyeret petingi di
Kebumen?

Tujuan

1. Mengkaji dan mengetahui tindakan Hartoyo melalui analisis setiap pasal yang memenuhi
rumusan pelanggaran hukum

2
2. Berpendapat terkait kasus korupsi Dikpora Kebumen yang sedang dalam masa
persidangan agar menjadi perhatian bagi penegak hukum.

PEMBAHASAN

Pembahasan Kasus Korupsi Dikpora Kebumen


Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan terhadap lima orang
pejabat di Kabupaten Kebumen dan seorang pengusaha swasta pada Sabtu, 15 Oktober 2016
terkait dengan ijon proyek di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan 2016 oleh seorang pengusaha Rp 4,8 miliar yang
menjanjikan komitmen 20%. KPK menangkap Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Kebumen Yudi Tri Hartanto dan pengusaha bernama Salim yang
memimpin anak perusahaan Otoda Sukes Mandiri Abadi (OSMA) Group berlokasi di Jakarta
yang dipimpin Hartoyo. Kemudian, penyidik KPK menangkap Sigit Widodo seorang
pegawai negeri sipil dan Pak Adi Pandoyo Sekretaris Daerah Kabupaten Kebumen, Dian
Lestari serta Hartono anggota DPRD Kabupaten Kebumen. Sejak melakukan Operasi
tangkap tangan (OTT) pada 15 Oktober silam, KPK baru menetapkan lima tersangka atas
kasus ini. Dari lima tersangka, hingga pada Sabtu 18 Februari 2017, baru perkara satu
tersangka Hartoyo yang disidangkan. Persidangan Hartoyo baru memasuki sidang keenam
dengan masih pemeriksaan para saksi. Adi Pandoyo bersama Sigit dan Yudi diduga ikut
menerima suap atas proyek senilai Rp4,8 miliar. Sementara Basikun dan Hartoyo
disangkakan dengan Pasal pemberi suap terkait proyek di Dinas Dikpora dalam APBD
perubahan 2016.

Analisis Umum Kasus Korupsi Dikpora Kebumen

Berdasarkan hasil sidang pemeriksaan sementara para saksi, Hartoyo Direktur Utama PT
Otoda Sukses Mandiri Abadi selaku terdakwa dalam kasus suap proyek dikpora diduga
melanggar:
1. Pasal 5 KUHP :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a.
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan

3
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau ; b. memberi
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
Analisis: Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri, yaitu Hartoyo
Komisaris PT OSMA mengakui dia menyuap Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan, Sigit Widodo dan Yudi Trihartanto serta Sekretaris Daerah Adi Pandoyo
dan Petruk Basikun Mualim. ; Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu, yaitu uang yang diberikan kepada
Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Sigit Widodo dan Yudi
Trihartanto serta Adi Pandoyo agar bisa mendapatkan proyek alat peraga pada APBD
Perubahan 2016. ; Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, yaitu Hartoyo telah didakwa menyuap Sigit,
Yudi, Adi Pandoyo serta Basikun Mualim agar mendapatkan proyek di Dikpora. Pada sidang
yang digelar di Pengadilan Tinggi Korupsi (Tipikor) Semarang Selasa (7/2/2017) Hartoyo
mengakui sudah menyerahkan uang sejumlah 150 juta kepada empat orang tersebut.
Pasal 12 B :
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.
Analisis: Gratifikasi diberikan oleh Hartoyo kepada Sigit, Yudi, Adi Pandoyo serta Petruk
Basikun Mualim sejumlah 150 juta agar mendapatkan proyek di Dikpora. Hal tersebut
dibenarkan oleh Adi Pandoyo selaku penerima suap pada sidang yang digelar di Pengadilan
Tinggi Korupsi Semarang, Selasa (7/2/2017).
2. Pasal 55 KUHP :
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
Analisis: Ada 4 unsur tindak pidana yang dilakukan Hartoyo dalam Pasal 55 (I) ayat 1:

4
a. Yang melakukan tindak pidana : Hartoyo mengakui tindakan suap kepada Kepala
Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Sigit Widodo dan Yudi Trihartanto
serta Sekretaris Daerah Adi Pandoyo, ia mengakui perbuatannya saat sidang tanggal
17/1/2017.
b. Yang menyuruh melakukan tindak pidana : Hartoyo menyuap Sigit, Yudi, Adi
Pandoyo serta Petruk Basikun Mualim agar dapat mendapatkan proyek di Dikpora.
c. Yang turut serta melakukan tindak pidana : Persidangan mengungkap,
Sekda Adi Pandoyo yang merupakan Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah(TAPD)
Kabupaten Kebumen yang menyetujui anggaran pokok-pokok pikiran (pokir) yang
digunakan untuk mencari keuntungan dengan melakukan "transaksi" dengan dengan
pihak-pihak rekanan yang mendapatkan proyek terkait besaran komisi bagi mereka.
Hartoyo menyuap Sigit, Yudi, Adi Pandoyo serta Petruk Basikun Mualim agar dapat
mendapatkan proyek di Dikpora.

Analisis Dalam Perspektif Budaya

Korupsi sebagai kejahatan pencurian uang dalam bentuk penyalahgunaan


wewenang, memiliki arti yang sangat luas. Jika korupsi dilihat dari sudut pandang budaya,
maka pengertian korupsi memiliki dimensi tradisi atau kebudayaan. Beberpa ahli
mengemukakan pendapat bahwa tindakan korupsi sekarang ini bukan sebagi fenomena
penyimpangan, namun telah manjadi tindakan yang masif terjadi dan telah menjadi budaya.

Pengertian “membudaya” dalam konteks korupsi memberikan pengertian bahwa prilaku


koruptif telah masuk dalam struktur kesadaran masyarakat sebagai proses yang wajar dan tak
terbantahkan dalam relasi sosial, politik, dan ekonomi. Hal tersebut seperti pernyataan
Mohammad Hatta (wakil presiden RI pertama) bahwa “prilaku korupsi telah membudaya
dalam masyarakat Indonesia”. Pernyataan hatta tersebut di lontarkannya pada tahun 1970an,
ketika ia menjadi penasehat Presiden Soeharto dalam upaya pemberantasan korupsi saat itu
(Margana, dalam Wijayanto, 2009:415-416).

Melabel korupsi sebagai tindakan yang membudaya akan menghubungkan korupsi dengan
konsep “determinisme kultural” (cultural determinism). Determinisme kultural ini merupakan
konsep yang sering menjadikan acuan beberapa ahli dalam mengamati dan mempelajari
korupsi yang semakin tumbuh meluas dalam masyarakat. Dimana determinisme kultural

5
memberikan pengertian bahwa kebudayaan tertentu dalam masyarakat tertentu telah
memberikan landasan mentalitas menguatnya tindakan korupsi dan penyelewengan.

Dalam sejumlah kebudayaan, terdapat nilai-nilai yang sedemikian berbeda sehingga korupsi
kurang dituntut kepengadilan, lebih dapat diterima, atau bahkan merupakan bagian dari adat
istiadat itu (Klitgaard, 2001:82). Nillai-nilai dan adat-istiadat yang sedemikian itu telah
menjadikan praktek tindakan korupsi dan penyelewengan semakin masif terjadi di
masyarakat. Perbedaan adat-istiadat, kebiasaan, dan pedoman berperilaku masyarakat satu
dengan masyarakat lain, pada gilirannya, dapat menjelaskan bagaimana berbagai macam jenis
serta tingkat korupsi terjadi. Perbedaan-perbedaan “budaya” disalahgunakan untuk
mendukung tindakan korupsi.

Banyak teori dapat digunakan untuk menjelaskan korupsi sebagai persoalan budaya.
Diantaranya adalah teori dari Emile Durkheim (185-1917). Sosiolog Prancis ini memandang
bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif dipengaruhi dan dikendalikan oleh struktur
dalam masyarakatnya. Individu secara moral, netral, dan masyarakatlah yang menciptakan
kepribadiannya (Kamil, 2009:848). Dalam konteks prilaku koruptif dan penyelewengan
bantuan bencana, berarti bahwa sistem budaya dan kelembagaan yang ada dalam masyarakat
yang membentuk prilaku individu. Ketika individu berada dalam struktur kelembagaan yang
korup, maka struktur yang korup tersebut akan membentuk individu yang korup pula. Sebesar
apapun sifat baik yang dimiliki seorang individu, ketika ia masuk dalam lembaga yang korup
maka lama kelamaan akan masuk dalam pusaran hitam prilaku korupsi.

Sistem budaya yang korup akan mempengaruhi dan membentuk prilaku individu. Ketika
suatu lembaga memiliki sistem budaya yang korup, nilai dan moral telah bergeser dan
membentuk nilai baru, yang selanjutnya dipegang bersama oleh anggotanya sebagai pedoman
berperilaku. Nilai baru inilah yang dianggap sebagai nilai yang benar walaupun dalam ukuran
nilai yang sebelumnya merupakan nilai yang menyimpang. Sehingga ketika ada seorang
Indvidu yang memiliki kepribadian yang baik dengan pegangan moral dan nilai yang kuat
akan dianggap menyimpang ketika ia berada dalam lembaga yang korup tersebut.

Sementara Gabriel Almond, seorang ahli teori kebudayaan politik yang banyak dipengaruhi
oleh teori Sosiologi Fungsionalisme struktural Talcot Parson dan Behavioral Science dari
disiplin Psikologi, memiliki pengertian yang lain mengenai tindakan korupsi dan
penyelewengan berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Almond, yang banyak dipengaruhi
fungsionalisme struktural, memahami kebudayaan dan masyarakat dengan pengertian yang

6
luas, dimana masyarakat dipandang sebagai suatu sistem dengan bagian-bagian yang saling
bergatung (interdeoendensi). Baginya praktik politik dalam bntuk tindakan korupsi tidak bisa
dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri, namun saling berkaitan dan berinteraksi dengan
struktur lain seperti ekonomi, dan budaya (Kamil,2009:848-850).

Analisis Dalam Perspektif Hukum dan Konstitusi di Indonesia

Jika dilihat dalam konteks hukum, Korupsi tergolong sebagai suatu tindakan yang melanggar
hukum dan dapat dipidanakan. Dalam konteks hukum, setiap tindakan yang melanggar
peraturan Perundang-Undangan maka dapat dipidanakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Berkaitan dengan penyelewengan bantuan bencana alam, maka Undang-undang
yang dapat menjerat pelaku yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak pidana
Korupsi.

UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi, memuat 29 pasal berkaitan dengan
tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Sebagai persoalan hukum dan telah
diatur dalam perundang-undangan, maka segala bentuk tindakan individu ataupun kelompok
yang melanggar UU tersebut dapat dipidanakan dan dikenakan sanksi yang berat.

Adapun pemberatan pidana menurut Undang-undang ini selain ancaman pidana yang lebih
berat dari UU sebelumnya (UU No.3 Th.1971), UU ini juga memberikan pemberatan
terhadap hal-hal sebagai berikut: (Wijayanto: 573-575)

Terhadap perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, ancamannya dapat
berupa pidanan mati. Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu yaitu keadaan saat
negara ditetapkan dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku; Terjadi Bencana
Alam Nasional; Pengulangan tindak pidana korupsi; dan dalam keadaan krisis moneter.

Apabila oleh UU yang lain dikatakan sebagi perbuatan Korupsi, maka diberlakukan UU ini;

Percobaan, upaya membantu atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi
dipidana dengan pidana yang sama;

7
Orang diluar negeri yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidanan korupsi dipidana dengan pidana yang sama dengan pelaku;

Dilakukan dalam hal ini tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Dalam perkara pidana korupsi sealain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam
KUHP, juga dapat dijatuhkan sebagai pidana tambahan berupa: pertama, Perampasan barang
bergerak yang berwujud dan tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Kedua, pembayaran uang Penganti
yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, dan apabila dalam tenggang waktu satu bulan setelah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti,
harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Namun jika terpidana tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesudah putusan pengadilan. Ketiga, penutupan seluruh
atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan seluruh
atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,
yang telah atau diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Jika melihat konteks hukum dan perundang-undangan yang berlaku, maka tidakan individu
atau kelompok dalam menyelewengkan bantuan bencana Alam juga tergolong sebagai tindak
pidana korupsi. Sesuai UU no.31 tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, pelaku
penyelewengan bantuan menurut UU tersebut dapat menerima pemberatan pidana yaitu
pidana mati. Pidana mati ini dapat dijatuhkan karena perbuatan korupsi yang dilakukan dalam
keadaan tertentu, yaitu ketika negara sedang menghadapi Bencana alam Nasional. Hal ini
sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999.

Ancaman pidana mati yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 sesuai
dengan pernyataan Kejaksaan Tinggi Jawatimur yang memberikan warning kepada pelaku
penyelewengan bantuan bancana alam meletusnya gunung kelud februari 2014
(EncietyNews, 2014).

Pemberantasan korupsi sebagai persoalan hukum dilakukan sebagai upaya yang lebih bersifat
represif dari pada upaya yang bersifat preventif. Upaya pemberntasan ini dilakukan oleh

8
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK sebagai lembaga yang bertugas untuk
membernatas kasus korupsi di Indonesia dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002.

Analisis Dalam Perspektif Religi

Agama sebagai dasar dari segala kepercayaan dan keyakinan tiap individu berperan penting.
Dalam semua ajaran agama, tidak ada yang mengajarkan umatnya untuk berlaku atau
melakukan tindakan korupsi. Namun, pada kenyataannya praktik korupsi sudah menjadi
kebiasaan yang dilakukan orang-orang beragama.

Agama memang mengajarkan dan mengarahkan para penganutnya untuk hidup jujur, lurus,
dan benar. Korupsi termasuk kategori perilaku mencuri yang diharamkan agama dan tindakan
pendosa. Logikanya seseorang yang beragama atau memegang teguh ajaran agamanya tidak
akan melakukan korupsi.

Penyebabnya tentu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Harus disadari bahwa kelakuan
seseorang tidak hanya ditentukan oleh agamanya. Ada banyak faktor yang memengaruhi
orang untuk bertindak atau berperilaku koruptif, antara lain faktor genetik, faktor neurologis,
faktor psikologis, faktor sosiologis, faktor pendidikan dan pengasuhan.

Ada faktor lain yang bisa mengalahkan pengaruh ajaran agama sebagai godaan manusiawi,
yaitu nilai – nilai agama tidak menjadi pedoman dalam tindak perilaku di masyarakat,
ketiadaan apresiasi terhadap nilai-nilai kemuliaan disertai dengan lemahnya disiplin diri dan
etika dalam bekerja, serta adanya sifat tamak dan egois yang hanya mementingkan diri
sendiri.

Dengan gaya hidup modern sekarang ini, orang dengan mudah melupakan atau dengan
sengaja mengabaikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya, lalu melakukan tindak pidana
korupsi. Ada kalanya uang hasil tindak pidana korupsi itu digunakan untuk hal-hal yang

9
berbau religi. Dalam hal ini tentu harus ada introspeksi diri dari kita semua, termasuk dari
para pemuka agama.

 Perspektif dalam agama Islam mengenai korupsi

Islam sebagai agama yang (syamil) sangat mengharamkan praktik suap – menyuap bahkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutuk (melaknat) para pelaku hingga penghubung
suap – menyuap sebagaimana hadits tersebut. Dalam agama islam praktik – praktik korupsi
itu digolongkan ke dalam 4 bagian yaitu:

1. Ghulul, yaitu penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu,
penyalahgunaan terhadap amanat hukumnya haram dan termasuk perbuatan tercela.
Perbuatan ghulul misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang
tidak halal dan tidak semestinya dia terima. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu, dan
kami beri upah menurut semestinya, maka apa yang ia ambil lebih dari upah yang
semestinya, maka itu namanya korupsi”. (HR. Abu Dawud dari Buraidah). Jadi semua
komisi atau hadiah yang diterima seorang petugas atau pejabat dalam rangka
menjalankan tugasnya bukanlah menjadi haknya. Misalnya seorang staf sebuah kantor
pemerintahan dalam pembelian inventaris kantornya dia mendapat discount dari si
penjual, maka discount tersebut bukanlah menjadi miliknya, tetapi menjadi milik
kantor. Contoh lainnya yang sering terjadi adalah seorang pejabat menerima hadiah
dari calon tender supaya calon tender yang memberi hadiah tersebut yang mendapat
tender tersebut. Ghulul juga adalah pencurian dana (harta kekayaan) sebelum
dibagikan, termasuk di dalamnya adalah dana jaring pengaman sosial. Contohnya
adalah kasus pencurian terhadap barang-barang bantuan yang seharusnya diserahkan
kepada korban bencana alam berupa gempa dan tsunami di Aceh. Bentuk lain dari
penyalahgunaan jabatan (ghulul) adalah perbuatan kolutif misalnya mengangkat
orang-orang dari keluarga, teman atau sanak kerabatnya yang tidak memiliki
kemampuan untuk menduduki jabatan tertentu, padahal ada orang lain yang lebih
mampu dan pantas menduduki jabatan tersebut.

10
2. Sariqah Syekh Muhammad An-Nawawi al-Bantani mendefinisikan sariqah dengan
“Orang yang mengambil sesuatu secara sembunyi – sembunyi dari tempat yang
dilarang mengambil dari tempat tersebut”. Jadi syarat sariqah harus ada unsur
mengambil yang bukan haknya, secara sembunyi – sembunyi, dan juga
mengambilnya pada tempat yang semestinya. Kalau ada barang ditaruh di tempat
yang tidak semestinya untuk menaruh barang menurut beliau bukan termasuk kategori
sariqah. Islam mengakui dan membenarkan hak milik pribadi, oleh karena itu, Islam
akan melindungi hak milik tersebut dengan undang – undang. Orang yang melakukan
pencurian berarti ia tidak sempurna imannya karena seorang yang beriman tidak
mungkin akan melakukan pencurian sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Pencuri
tidak akan mencuri ketika dia dalam keadaan beriman” (HR al-Bukhari-Muslim dari
Abu Hurairah).
3. Khianat, Khianat adalah tidak menepati amanah, ia merupakan sifat tercela. Sifat
khianat adalah salah satu sifat orang munafiq sebagaimana sabda Rasulullah saw.
bahwa tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga, yaitu apabila berkata berdusta, apabila
berjanji ingkar, dan apabila diberi amanah berkhianat. Oleh karena itu, Allah SWT.
sangat membenci dan melarang khianat. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu
mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui”. (QS al-Anfâl: 27). Kemudian di dalam QS. Al Imran: 161 Allah
berfirman: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan
perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada
hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-
tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan)
setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” Orang – orang yang beriman mestinya
menjauhi sifat tercela ini, bahkan seandainya mereka dikhianati Rasulullah saw.
melarang untuk membalasnya dengan pengkhianatan pula. Sabda beliau: “Sampaikan
amanat kepada orang yang mempercayaimu dan jangan berkhianat kepada orang yang
mengkhianatimu” (H.R. Ahmad dan Abu Daud dari Abu Hurairah).
4. Risywah (suap), Secara harfiyah, suap (risywah) berarti batu bulat yang jika
dibungkamkan ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu berbicara apapun”. Jadi suap
bisa membungkam seseorang dari kebenaran. Menurut Ibrahim an-Nakha’i suap
adalah “Suatu yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan kebathilan atau
untuk menghancurkan kebenaran”. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

11
mendefinisikan suap dengan “Memberikan harta kepada seseorang sebagai
kompensasi pelaksanaan mashlahat (tugas, kewajiban) yang tugas itu harus
dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uang tip”. Dasar hukum pelanggaran suap
adalah firman Allah SWT: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar
berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka,
atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak
akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara
mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang adil.“ (QS al-Mâidah: 42) Suap bisa terjadi apabila
unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur suap meliputi, pertama yang disuap (al-
Murtasyi), kedua, penyuap (al-Rasyi), dan ketiga, suap (al-Risywah). Suap dilarang
dan sangat dibenci dalam Islam karena sebenarnya perbuatan tersebut (suap) termasuk
perbuatan yang bathil. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah sebahagian kamu
memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui” (QS al-Baqarah: 188). Baik yang menyuap maupun yang
disuap dua-duanya dilaknat oleh Rasulullah saw. sebagai bentuk ketidaksukaan beliau
terhadap perbuatan keduanya. Rasulullah saw. Bersabda: “Rasulullah saw. melaknat
penyuap dan yang disuap”. Riwayat yang lain, Ahmad ibn Hanbal dari Tsauban r.a.
berkata: “Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang disuap dan si perantara.
Artinya orang yang menjadi perantara suap bagi keduanya”.

 Perspektif dalam agama Kristen mengenai korupsi

Di dalam perspektif agama Kristen identik dengan mencuri.Dalam 10 Perintah Tuhan,


larangan kedelapan adalah larangan untuk mencuri. 10 Perintah Tuhan adalah salah satu
norma yang dituangkan di Alkitab Perjanjian Lama dan merupakan inti dari etika Alkitab
Perjanjian Lama. Dalam Keluaran 20:15, Allah berfirman “Jangan mencuri”. Demikian
jelasnya larangan Tuhan untuk tidak mencuri. Sementara itu korupsi adalah mencuri dengan
cara diam – diam, dengan cara halus mengurangi hak negara atau orang lain demi
kepentingan pribadi. Larangan mencuri juga dikemukakan Yesus dalam bentuk yang berbeda,

12
yaitu hukum mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (Matius 22:39; Mark 12:31;
Lukas 10:27). Hukum ini sama dengan hukum pertama, yaitu hukum untuk mengasihi Tuhan
Allah dengan segenap hati dan dengan segenap akal budi.

Korupsi adalah perbuatan melanggar hukum. Firman Allah yang tertulis lengkap dalam
Alkitab juga menyebutkan bahwa orang Kristen pun selain wajib taat perintahNya, juga
berlaku sama terhadap hukum yang berlaku. Ini jelas tertulis dalam Roma 13:3, yang
menyatakan “jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah (hukum),
hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah (hukum)?
Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian daripadanya.

Untuk menjaga dari kekhawatiran akan segala kekurangan yang ujungnya melahirkan
keinginan korupsi, Allah juga menegaskan dalam firmannya. Janganlah khawatir akan
hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah khawatir pula akan
tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada
makanan, dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian?(Matius 6:25-34).

Perlu direnungkan atau dimaknai pada Matius 4: 4 tertulis bahwa “manusia hidup bukan dari
roti saja , tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” artinya bahwa manusia
hidup bukan untuk makan, mengumpulkan harta tetapi memaknai firman Allah yaitu
menjalankan perintahnya . Namun pada modern ini manusia lebih mementing kepentingan
individualismenya.

 Perspektif dalam agama Budha mengenai korupsi

Dalam agama Buddha dasar seseorang melakukan korupsi adalah keserakahan (lobha) dan
berakar pada kebodohan-batin (moha). Jika seseorang memiliki pandangan yang benar,
niscaya ia tidak akan bertindak bodoh. Ia akan menyadari bahwa segala sesuatu itu, baik itu
materi maupun non-materi adalah tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicca). Walaupun
bersumber pada diri sendiri, lingkungan juga mempunyai andil yang sangat besar dalam
pembentukan karakteristik seorang manusia. Lingkungan yang buruk banyaknya korupsi
akan menarik jatuh seseorang ke jurang kejahatan jikalau ia tidak memiliki kebijaksanaan
(panna atau prajna). Lingkungan buruk yang dimaksudkan di sini terutama ditekankan pada
pergaulan dengan teman-teman yang kurang baik dalam hal ini korupsi yang mungkin saja

13
bisa mempengaruhi seseorang menjadi buruk juga, walaupun pada akhirnya kembali kepada
dirinya sendiri.

Salah satu Aturan moralitas Buddhis (sila) dalam Lima Aturan moralitas Buddhis (pancasila)
yang perlu dihindari oleh umat Buddha adalah menahan diri dari mengambil barang – barang
yang tidak diberikan pemiliknya. Mengambil barang – barang yang tidak diberikan
pemiliknya termasuk antara lain: mencuri, merampok, atau pun korupsi. Korupsi bisa
dikatakan melanggar Aturan moralitas Buddhis (sila) ke dua Lima Aturan moralitas Buddhis
(pancasila), dikarenakan memenuhi syarat – syarat pelanggaran sila ke-2, adanya subjek
(pelaku), keinginan mencuri, objek (Negara, perusahaan, masyarakat, dsb) dan kejadian nyata
perpindahan kepemilikan (hasil yang diambil).

Korupsi termasuk melanggar Aturan moralitas Buddhis (sila) ke dua mengambil barang yang
tidak diberikan pemiliknya dan akan mengkondisikan seseorang melanggar Aturan-moralitas
Buddhis (sila) ke-4 buddhis (menahan diri dari ucapan yang tidak benar atau berbohong)
dikarenakan ketika seseorang melakukan korupsi, ia telah ‘mencuri’ dan akan
mengondisikannya berbohong untuk menyembunyikan perbuatannya. Jadi korupsi bisa
membuat seseorang melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-2 dan Aturan moralitas
Buddhis (sila) ke-4 dari Lima Aturan-moralitas Buddhis (pancasila). Sehingga menurut
Buddhisme, korupsi merupakan sesuatu yang sebaiknya tidak dilakukan karena telah
melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila).

Sang Buddha menjelaskan dalam Majjhima Nikaya 117, bahwa mata pencaharian akan
menjadi tidak benar ketika mata pencahariannya dimanfaatkan untuk:

1. Menipu (kuhana),
2. Membual (lapana),
3. Memeras (nemittakata),
4. Menggelapkan (nippesikata),
5. Merampok agar mendapat hasil yang banyak (labha).

Di dalam sutta (ucapan Sang Buddha) tersebut Sang Buddha menjelaskan bahwasanya cara –
cara kita dalam mencari kekayaan tidak boleh seperti itu. Korupsi bisa dikatakan telah
memenuhi kelima hal tersebut di atas, sehingga perbuatan yang dilakukannya tersebut bisa
jadi akan mencemarkan profesi yang ditekuninya dan mungkin berakibat ketidakpercayaan
orang-orang terhadap profesi tersebut.

14
Peran agama tetaplah penting dan bersamaan dengan itu hukum positif harus ditegakkan
tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi harus menjadi kegiatan serius negara yang
dilakukan secara berkesinambungan.

Pendapat Penulis Tentang Kasus Korupsi Dikpora Kebumen


Kasus korupsi dana Dikpora yang terjadi di Kebumen menambah deret angka kasus korupsi
di Indonesia. Kota yang memiliki slogan “beriman” ini menjadi sorotan di media-media
televisi dan surat kabar terkait dengan kasus korupsi yang menyeret sejumlah pejabat
pemerintahan di kota Kebumen. Dana APBD yang seharusnya dialokasikan untuk
mensejahterakan rakyat justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Kota
yang viral di media sosial karena keindahan wisata alamnya ini ternyata merupakan
kabupaten di Jawa Tengah dengan predikat “kota miskin” kedua setelah Kabupaten
Wonosobo dengan presentase kemiskinan 22,40% berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Jawa Tengah Tahun 2010-2012. Proyek pengadaan buku ajar, alat peraga, dan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) merupakan proyek yang bertujuan untuk memajukan
Kebumen dari segi Pendidikan. Dalam penentuan siapa yang berhak memegang proyek
diadakan lelang dari pemerintah. Namun, dalam kasus ini proyek ditawarkan kepada kepada
oknum yang sekiranya dapat memberi keuntungan bagi berbagai pihak yang
menyelenggarakan, termasuk para pejabat pemerintah yang turut andil dalam pengadaan
proyek. Menurut pendapat penulis, dalam kasus korupsi dana Dikpora Kebumen, pihak
berwajib harus segera bertindak dalam penyelesaian kasus korupsi ini, karena dari ke 5
tersangka yang telah ditetapkan, baru 1 tersangka yang masuk dalam pengadilan. Selain itu,
penyelidikan juga harus dilakukan secara mendalam untuk mengungkap siapa siapa saja yang
mempunyai peran dalam melancarkan tindak pidana korupsi ini bahkan jika orang tersebut
adalah orang berpengaruh atau yang duduk di pemerintahan, karena tidak menutup
kemungkinan adanya oknum-oknum lain yang berperan dalam kasus korupsi dana Dikpora
selain yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.

PENUTUP
Kesimpulan
Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang
menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas

15
bangsa Indonesia. Korupsi di lingkungan birokrasi biasanya telah dikemas dengan berbagai
mekanisme administrasi sehingga tidak dapat dengan segera terungkap. Mewujudkan peradilan
bersih dan bebas adalah tanggung jawab bersama stake holder bangsa. Oleh karena itu
dibutuhkan upaya yang luar biasa dari setiap lapisan masyarakat guna pemberantasan korupsi.

Saran
Berdasarkan analisis yang penulis berikan, dengan demikian penulis memliki saran yaitu:
1. Meningkatkan ketegasan dalam penindakan korupsi agar memberikan pembelajaran bagi
para koruptor dan masyarakat mengenai kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana
korupsi
2. Andil dari semua lapisan masyarakat agar korupsi dapat di tebas, siapapun pelakunya
termasuk jika pelaku yang tindakan korupsi mempunyai hubungan dengan pemerintahan,
atau lembaga negara.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Dwiyatmi, Sri Harini. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Djaja, Ermansjah.2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika.
Klitgaard, Robert. 2001. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Moeljatno. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara

Nurdjana, Igm. 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Redaksi Sinar Grafika. 2007. Himpunan Peraturan Tentang Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Soedarso, Boesono. 2009. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)

Wijayanto dkk.2009. Korupsi Mengkorupsi Indonesia: sebab, akibat, dan prospek


pemberantasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Jurnal:

16
Rasdi. 2012. Persepsi Masyarakat Terhadap Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana Korupsi.
Jurnal Hukum. Volume 7 No 1.

Web:
Metro News, “Dua Pimpinan DPRD Kebumen Diperiksa
KPK”,http://m.metrotvnews.com/news/hukum/PNgg887N-dua-pimpinan-dprd-kebumen-
diperiksa-kpk..
Kebumen Ekspress, “Santainya Bos OSMA Jalani Persidangan”,
http://www.kebumenekspres.com/2017/01/santainya-bos-osma-jalani-persidangan.html.
Kebumen Ekspress, “Kepada Hakim Adi Panyodo Mengaku”,
http://www.kebumenekspres.com/2017/02/kepada-hakim-adi-pandoyo-mengaku.html.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
http://kpu.go.id/dmdocuments/UU202001.pdf.
Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah Tahun 2010, 2011 dan 2012. https://jateng.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/793.

17

Anda mungkin juga menyukai