REFERAT
Dibuat dalam Rangka Tugas Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter
Oleh:
Andi Aisya Z. Haliza
111 2018 2046
Pembimbing
dr. Ema Alasiry Sp.A(K)
Laporan Kasus yang berjudul “Kejang Pada Neonatus” yang dipersiapkan dan disusun
oleh:
Telah diperiksa dan dianggap telah memenuhi syarat Tugas Ilmiah Mahasiswa
Pendidikan Profesi Dokter dalam disiplin Ilmu Kesehatan Anak pada,
Menyetujui,
Pembimbing Penulis
PENDAHULUAN
Kejang merupakan keadaan emergensi atau tanda bahaya yang sering terjadi pada
neonatus, karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi
ke langsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan sekuele di kemudian hari di
samping itu kejang dapat merupakan tanda atau gejala dari 1 masalah atau lebih.
Walaupun neonatus mempunyai daya tahan terhadap kerusakan otak lebih baik, namun
efek jangka panjang berupa penurunan ambang kejang, gangguan belajar dan daya ingat
tetap terjadi. Aktivitas kejang yang terjadi pada waktu diferensiasi neuron, mielinisasi dan
proliferasi glia pada bayi baru lahir dianggap sebagai penyebab terjadinya kerusakan
otak.1
Kejang disebabkan oleh aktivitas listrik yang tiba-tiba, abnormal, dan berlebihan
di otak. Menurut definisi, kejang neonatal terjadi selama periode neonatal, pada bayi
cukup bulan 28 hari pertama kehidupan. Sebagian besar terjadi dalam satu atau dua hari
pertama hingga minggu pertama kehidupan bayi. Bayi prematur atau berat badan lahir
rendah lebih mungkin menderita kejang neonatal.2,3
Kejang neonatal bisa sulit didiagnosis karena kejang mungkin pendek dan halus.
Selain itu, gejala kejang neonatal dapat meniru gerakan dan perilaku normal yang terlihat
pada bayi sehat. Gejalanya tergantung pada jenis kejang yaitu subtle, klonik, tonik atau
mioklonik. Karena sulitnya mengenal bangkitan kejang pada BBL, angka kejadian
sesungguhnya tidak diketahui. Meskipun demikian angka kejadian di Amerika Serikat
berkisar antara 0.8-1.2 setiap 1000 BBL per tahun, sedang pada kepustakaan lain
menyebutkan 1-5 % bayi pada bulan pertama mengalami kejang. Insidensi meningkat
pada BKB sebesar 57.5 132 dibanding BCB sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup.
Pada kepustakaan lain menyebutkan insidensi 20% pada BKB dan 1.4% pada BCB.
Sekitar 70-80% BBL secara klinis tidak tampak kejang, namun secara elektrografik
masih mengalami kejang. Insidensi kejang dini (terjadi kurang dari 48 jam setelah lahir)
pada bayi aterm telah diajukan sebagai indikator dari kualitas perawatan perinatal karena
penyebab tersering pada kelompok bayi ini adalah hipoksik isemik ensefalopati.
Penyebab lain yang dapat menyebabkan kejang ialah gangguan metabolik, perdarahan
intrakranial, infeksi, ensefalopati bilirubin, kejang yang berhubungan dengan obat hingga
idiopatik.1,2,3
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Kejang pada BBL (Bayi Baru Lahir) secara klinis adalah perubahan paroksimal dari
fungsi neurologik (misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom system
syaraf) yang terjadi pada neonatus (bayi berumur sampai dengan 28 hari).2
B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian bangkitan kejang pada BBL sulit dikenali sehingga kejadiannya
sesungguhnya tidak diketahui. Kejang pada BBL relatif umum dan terjadi pada 0,15-
1,5% dari semua neonatus. Angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2
setiap 1000 BBL per tahun, sedang pada kepustakaan lain menyebutkan 1-5 % bayi pada
bulan pertama mengalami kejang. Insidensi meningkat pada BKB sebesar 57.5 132
dibanding BCB sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada kepustakaan lain
menyebutkan insidensi 20% pada BKB dan 1.4% pada BCB. Sekitar 70-80% BBL secara
klinis tidak tampak kejang, namun secara elektrografik masih mengalami kejang.
Insidensi kejang dini (terjadi kurang dari 48 jam setelah lahir) pada bayi aterm telah
diajukan sebagai indikator dari kualitas perawatan perinatal karena penyebab tersering
pada kelompok bayi ini adalah hipoksik isemik ensefalopati.1
C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang
berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan
yang berulang. Terjadinya depolarisasi pada syaraf akibat masuknya Natrium dan
repolarisasi terjadi karena keluar nya Kalium melalui membaran sel. Untuk
mempertahankan potensial membran memerlukan energi yang berasal dari ATP dan
tergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya Natrium dan masuk nya Kalium.1
Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan anatomi dan
fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut:1
- Keadaan Anatomi susunan syaraf pusat perinatal: Susunan dendrit dan remifikasi
axonal yang masih dalam proses pertumbuhan
- Sinaptogensis belum sempurna
- Mielinisasi pada sistem efferent di cortical belum lengkap
Dalam sebuah penelitian besar (2,3 juta kelahiran) dari California, faktor-faktor risiko
berikut diidentifikasi untuk kejang pada bayi baru lahir selama penerimaan kelahiran:
prioritas, berat lahir <2500 g, persalinan ≥42 minggu, diabetes mellitus ibu, usia ibu ≥ 40
tahun, nulliparitas, demam / infeksi intrapartum (korioamnionitis), dan pelahiran
kastropik (solusio plasenta, ruptur uteri, dan prolaps tali pusat).2
H. Idiopatik Kejang pada BBL yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif
sering menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang berulang yang lama,
resisten terhadap pengobatan atau kejang terulang sesudah pengobatan dihentikan
menunjukkan kemungkinan adanya kerusakan di otak. Pada golongan idiopatik
terdapat 2 hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, kejang BBL familial jinak dan
kejang hari kelima. 1
a) Kejang BBL familial jinak (Benign familial neonatal seizures) Kelainan ini
diturunkan secara autosomal dominan, pertama diketahui tahun 1964. Penanda
genetik menunjukkan adanya mutasi pada kromosom 20q13.3 dan 8q.24.
Kejang terjadi antara hari kedua dan kelimabelas sesudah lahir, dan
kebanyakan (80%) dimulai pada hari kedua dan ketiga setelah lahir. Jenis
kejang biasanya klonik, sering berulang sampai beberapa puluh kali per hari
tetapi berhenti secara spontan setelah beberapa lama, biasanya serangan
kejang berhenti pada usia 6 bulan. Pada keadaan antara kejang, bayi tampak
normal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga ada yang pernah
mengalami kejang. Kelainan elektrografis yang spesifik berupa gelombang
datar diikuti gelombang bilateral spike dan slow. Kejang dapat dihentikan
dengan obat-obatan biasa dan prognosis untuk perkembangan anak baik.
b) Kejang hari ke lima (The Fifth day fits) Kelainan ini pertama kali terjadi pada
beberapa unit bersalin di Australia pada akhir 1970an, dan Perancis.
Karakteristik kejang ini adalah kejang berulang antara hari ketiga dan ketujuh
kehidupan, paling sering terjadi pada hari ke 4 dan 5 80-90 %) berlangsung
hingga 2 minggu pada BCB dengan riwayat kelahiran normal dan tidak
terdapat kelainan neurologis pada beberapa hari pertama kehidupan. Serangan
kejang yang terjadi dapat berbentuk klonik fokal acau multifokal dan serangan
apne. Sindrom ini tidak mempunyai gambaran klinis dan EEG yang spesifik.
Penyebabnya masih berupa misteri meskipun kadar Zinc pada cairan
serebrospinal yang rendah ditemukan pada beberapa kasus.
c) Bangkitan mioklonus jinak pada BBL tidur (Benign Neomnatal Sleep
Mioklonus) Kejang mioklonik hanya terjadi saat BBL tidur, dan EEG nya
normal. Mioklonus terjadi pada semua fase tidur meskipun frekuensinya
tergantung fase tidurnya dan paling sering saat BBL tidur tenang. Kejang
menghilang saat usia 6 bulan. Tidak diperlukan terapi, dan orang tua harus
diyakinkan jika kejang ini pada akhirnya akan berhenti sendiri.1
Gambar 1: Penyebab Kejang pada BBL2
E. MANIFESTASI KLINIS
Penting untuk dipahami bahwa kejang pada neonatus berbeda dari yang terlihat pada
anak yang lebih besar. Perbedaannya mungkin karena status perkembangan
neuroanatomik dan neurofisiologis bayi baru lahir. Di otak neonatal, proliferasi glial,
migrasi neuron, pembentukan kontak aksonal dan dendritik, dan deposisi mielin tidak
lengkap. Kejang klinis dapat terjadi tanpa korelasi elektrografi dan sebaliknya (disosiasi
elektroklinik). Empat jenis kejang, berdasarkan presentasi klinis, diakui: subtle, klonik,
tonik, dan mioklonik.1
a) Subtle
Bentuk kejang subtle lebih sering terjadi dibanding tipe kejang yang lain,
hampir 50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun cukup bulan.
Manifestasi klinis berupa orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan maca,
gerakan alis (lebih sering pada BKB) yang bergetar berulang-ulang, mata
yang tiba ciba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah ( lebih sering
pada BKB) gerakan seperti menghisap, mengunyah, mengeluarkan air liut,
menjulurkan lidah, gerakan pada bibir, dan pergerakan ekstremitas sering
seperti gerakan orang berenang, mendayung. bertinju arau bersepeda. Episode
apnu dapat disebabkan oleh kejang, diagnosis ini dipercimbangkan jika
terdapat respon yang lambat terhadap ventilasi dengan balon dan sungkup
khususnya pada neonatus preterm dengan lesi intrakranial. Perubahan
autonom/vasomotor, seperti perubahan tekanan darah atau peningkatan
salivasi, sering terjadi bersamaan dengan kejang subcde dan hal ini dapat
memberikan petunjuk ke arah diagnosis yang benar jika tidak tersedia EEG
sebagai konfirmasi.1
b) Tonik
Kejang tonik biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi-bayi dengan komplikasi perinatal
berat misalnya berat misalnya pada perdarahan intraventrikular. Bentuk klinis
kejang ini yaitu pergerakan tonik satu ekstremitas atau pergerakan tonik
umum
i. Fokal terdiri dari postur tubuh asimetris yang menetap dari badan atau
ekstremitas dengan atau tanpa adanya gerakan mata abnormal.
ii. Kejang tonik umum ditandai dengan fleksi tonik atau ekstensi leher, badan
dan ekstremitas, biasanya dengan ekstensi ekstremitas bawah juga.
Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan
sikap opistitonus yang disebabkan oleh rangsang meningeał karena infeksi
selaput orak atau kernikterik.1
c) Klonik
Kejang klonik seringnya merupakan petunjuk dari lesi fokal yang mendasari
seperti infark korteks, namun kejang klonik juga dapat disebabkan oleh sebab
metabolik. Bayi dengan kejang klonik biasanya tidak mengalami penurunan
kesadaran. Dikenal 2 bentuk:1
i. Fokal: terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremiatas pada
sisi unilateral dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini
pelan dan ricmik dengan frekuensi 1-4 kali perdetik.
ii. Multifokal: Kejang klonik pada BBL dapat mempunyai lebih dari
satu fokus atau migrasi terdiri dari gerakan dari satu ekstremitas yang
kemudian secara acak pindah ke ekstremitas lain nya Bentuk kejang
merupakan gerakan klonik dari salah satu atau lebih anggota gerak yang
berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik
lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai boobh kon bawah
kanan. Kadang-kadang karena kejang yang satu dengan yang lain sering
bersinambungan, seolah-olah memberi kesan sebagai kejang umuin.
Bentuk kejang ini biasanya terdapat pada gangguan metabolik. Kejang
ini lebih sering dijumpai pada BCB dengan berat lebih 2,500 grams.1
Tipe kejang ini dihubungkan dengan gambran EEG yang khas yang terdiri
dari gelombang tajam dan lambat berurutan yang menyebar secara ipsilateral
dari hemisfer asal gelombang tersebut.1
d) Mioklonik
Kejang mioklonik cenderung terjadi pada kelompok otot fleksor. Kejang
mioklonik terdiri atas:1
i. Fokal: terdiri dari kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor ekstremitas
atas
ii. Multifokal: terditi dari gerakan tidak sinkron dari beberapa bagian tubuh
iii.Umum: terdiri dari satu atau lebih gerakan fleksi massif dari kepala dan
badan dan adanya gerakan fleksi atau ekstensi dari ekstremitas.
Ketiga jenis kejang mioklonik sering dijumpai pada BKB dan cukup bulan
saat sedang tidur.1
Gerakan yang menyerupai kejang
1. Apneu
Pada BBLR biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi dengan
berhentinya pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selam 10-50 detik.
Bentuk pernapasan ini disebabkan belum sempurnanya pernapasan di batang otak
dan berhubungan denagn derajat prematuritas.1
Serangan apneu yang termasuk gejala kejang apabila disertai dengan bentuk
serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia. Serangan apne tiba-tiba
disertai kesadaran menurun pada bayi berat lahir rendah perlu dicurigai adanya
perdarahan intrakranial dengan penekanan pada batang otak. Pada keadaan ini
USG perlu segera dikerjakan.1
2. Jitterness
Jitterness adalah fenomena yang sering terjadi pada BBL normal dan harus
dibedakan dengan kejang. Jitterness lebih sering pada bayi yang lahir dari ibu
yang menggunakan mariyuana, dapat menjadi tanda dari sindroma abstinensia
BBL. Bentuk gerakan adalah tremor simetris dengan frekuensi yang cepat 5-6 kali
per detik. Jitterness tidak termasuk wajah (tidak seperti kejang subtle) merupakan
akibat dari sensitifitas terhadap stimulus dan akan mereda jika anggota gerak
ditahan. 1
Manifestasi klinis Jitterness Kejang
a. Gerakan abnormal mata - +
b. Peka terhadap rangsang + -
c. Bentuk gerakan Tremor Klonik
dominan
d. Gerakan dapat + _
dihentikan dengan fleksi
pasif
e. Perubahan fungsi - +
autonom
f. Perubahan pada tanda + _
vital dan penurunan
saturasi oksigen
Tabel 2. Perbedaan jitterness dan kejang1
3.Hiperekpleksia
Merupakan kelainan yang ditandai dengan hioertoni. Respon kejut ini
dapat terlihat seperti kejang mioklonik dan keluarnya suara dengan nada tinggi.
Hiperekpleksia kemungkinan sama dengan kondisi yang sebelumnya disebut
dengan sindroma stiff – baby herediter. Meslkipun gambaran EEG normal,
spasme tonik dapat berbahaya dan terapi sangat diperlukan 1
4. Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang, tetapi
kedua hal tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya yang berbeda.1
Awitan Kejang
Awitan kejang Kebanyakan dimulai antara 12 hingga 48 jam setelah lahir; bayi
jarang mengalami kejang saat berada di ruang bersalin. Penelitian pada binatang
menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan hipoksik iskemik
dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan penghancuran glutamat
selama fase reperfusi sekunder. Keadaan yang sama dapat rerjadi pada bayi. Kejang onset
lanjut memberi kesan adanya meningitis, kejang familial benigna arau hipokalsemia.
Gambar 14.1 menunjukkan awitan kejang yang direkam dari 277 kasus pada BBL.
Sebuah penelitian terbaru juga memperlihackan hal yang serupa. Awitan kejang pada
setiap etiologi dapat berbeda, perbedaan tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan
penyebab kejang.1
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sagraves R. menyebut pemeriksaan penunjang ini dengan melakukan
"Neonatal seizure work-up" : yaitu pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan
untuk menegakkan diagnosis kejang yang terdiri dari:1
H. DIAGNOSIS BANDING1
Hipoglikemia
Tetanus neonatorum
Meningitis
Asfiksia neonatorum
Perdaahan intraventrikular
Ensefalopati bilirubin/Kernikterus
Gambar 2:
A. Terapi suportif
1. Pemantauan ketat: Pasang monitor jancung dan pernapasan serca "pulse
oxymeter"
2. Intra vena, berikan infus dekstro
3. Beri bantuan respirasi dan terapi oksigen bila diperlukan
4. Koreksi gangguan metabolik dengan tepat
B. Medikamentosa
Pemberian antikonvulsan merupakan indikasi pada manajemen awal
1. Fenobarbital
Dosis awal (loading dose) 20-40 mg mg/kgBB intravena diberikan
mulai dengan 20 mg/kg BB selama 5 - 10 menit
Pantau depresi pernapasan dan tekanan darah
Dosis rumatan: 3-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis
Kadar terapeutik dalam darah diukur 1 jam setelah pemberian
intravena atau 2 4 jam setelah pemberian per oral dengan kadar 15-45
ugm/mL
2. Fenitoin (Dilantin) : biasanya diberikan hanya apabila bayi tidak memberi
respons yang adekuat terhadap pemberian fenobarbital
Dosis awal (Loading dose) untuk status epileptikus 15 20 mg/kgBB
intravena pelan-pelan
Karena efek alami obat yang ititatip maka beri pembilas larutan garam
fisiologis sebelum dan sesudah pemberian obat
Pengawasan terhadap gejala bradikardia, aritmia dan hipotensi selama
pemberian infus
Dosis rumat hanya dengan jalur intra vena (karena pemberian oral
tidak efektip) 5-8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 atau 3 dosis
Kadar terapeutik dalam darah (Fenitoin bebas dan terikat) 12 - 20
mg/L atau 1-2 mg/L (hanya untuk Fenitoin bebas)
3. Lorazepam (Ativan TM) : biasanya diberikan pada BBL yang tidak
memberi respons terhadap pemberian fenobarbital dan fenitoin secara ber
urutan
Dosis efektip: 0.05 0.10 mg/kgBB diberikan intravena dimulai dengan
0.05 mg/kgBB pelan-pelan dalam beberapa menit
Obat ini akan masuk ke dalam otak dengan cepat dan membentuk efek
antikonvulsan yang nyata dalam waktu kurang 5 menit
Pengawasan terhadap depresi pernapasan dan hipotensi
Benzodiazepin
Benzodiazepin meningkatkan inhibisi GABA-mediated melalui aktifasi
reseptor GABA-A. Benzodiazepin adalah antikonvulsan yang efektif pada anak
dan dewasa namun kurang berperan pada BBL karena GABA bersifat eksitatorik.
Benzodiazepin mempunyai profil keamanan yang baik
Midazolam
Midazolam larut dalam air, benzodiazepin bekerja cepat dan terbukti
efektif untuk terapi status epileptikus pada populasi anak. Telah di evaluasi
perbandingan midazolam dengan lidokain sebagai terapi lini kedua pada bayi
dengan kejang yang gagal merespon fenobatbital; kejang dimonitor dengan
menggunakan video-EEG secara kontinyu. Enam bayi menerima klonazepam atau
midazolam namun tidak ada yang berespon. Didapatkan adanya gerakan abnormal
pada bayi preterm yang menerima infus midazolam, meski EEG tetap normal
Kelanjutan dari perkembangan sarafnya lebih baik pada bayi yang disedasi
dengan morfin daripada dengan penggunaan midazolam, dan hasil seperti ini
menyebabkan perhatian khusus pada penggunaan midazolam pada bayi.
Diazepam
Diazepam mempunyai efek antikonvulsan hanya bersifat sementara.
Ketidakstabilan kardio respiratorik dapat terjadi jika obat ini digunakan bersama
dengan fenobarbital (fenobarbiton), dan metabolit utamanya yang memiliki waktu
paruh panjang, N-dismetildiazepam, dapat menyebabkan sedasi tanpa dapat
mengontrol kejangnya. Karena alasan ini, diazepam bukanlah pilihan terbaik dari
golongan benzodiazepin untuk digunakan pada BBL
Jika kejang telah teratasi maka dilanjutkan dengan pemberian anti kejang
rumatan, fenobarbital 5 mg/kg/hari adalah pilihan pertama. Kasus yang resisten harus
diterapi dengan kombinasi fenobarbital dan karbamazepin, meski sodium valproat dapat
berhasil pada beberapa kasus.
Lamanya pemberian dosis rumatan pada kejang BBL masih belum terdapat kata
sepakat. Beberapa penulis kefainan neurologis. sedangkan yang lain menggunakan
patokan gambaran klinis dan gambaran EEG. menghentikan dosis rumacan setelah
ternyata cidak ada.
J. PROGNOSIS
Kejang pada BBL dapat menyebabkan kematian, atau jika hidup menyebabkan
gejala sisa atau sekuel. Ini terutama tergantung pada penyebab primer gangguan ini atau
beratnya serangan. Pada kasus bayi hipoglikemia dari ibu diabetes atau hipokalsemia
akubat makan fosfat berlebihan, prognosisnya sangat baik. Sebaliknya, anak dengan
kejang yang bandel karena ensefalopati hipoksik-iskemik atau kelainan sitoarkitektural
otak biasanya tidak akan berespon dengan anti konvulsan dan rentan terhadap status
epileptikus dan kematian awal. Tantangan pada dokter adalah untuk mengenali penderita
yang akan sembuh dengan pengpbatan segera dan mengjindari penundaan diagnosis yang
dapat menyebabkan cidera neurologis berat irreversibel. 1,7