Anda di halaman 1dari 16

REFERAT ILMU KESEHATAN JIWA

“DELIRIUM”

Untuk Memenuhi Persyaratan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa

Disusun Oleh:
FRANS RAHMAT
26079085

RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MIDIYATO SURATANI


KOTA TANJUNG PINANG
TAHUN 2015
BAB I

PENDAHULUAN

Delirium adalah kondisi yang sering dijumpai pada pasien di rumah sakit. Sindrom ini
sering tidak terdiagnosis dengan baik saat pasien berada di rumah (akibat kurangnya kewaspadaan
keluarga) maupun saat pasien berada di unit gawat darurat atau unit rawat jalan. Gejala dan tanda
yang tidak khas merupakan salah satu penyebabnya. Setidaknya 32%-67% dari sindrom ini tidak
dapat terdiagnosis oleh dokter, padahal kondisi ini dapat dicegah. Literature lain menyebutkan
bahwa 70% dari kasus sindrom delirium tidak terdiagnosis atau salah terapi oleh dokter. Sindrom
delirium sering muncul dalam keluhan utama atau tak jarang justru terjadi pada hari pertama
pasien dirawat dan menunjukkan gejala yang berfluktuasi. Keadaan yang terakhir ini tentu jika
tidak ada keterangan yang memadai dari dokter-dapat disalahartikan keluarga pasien sebagai
kesalahan pengelola di rumah sakit.

Kepentingan untuk mengenali delirium adalah (1) kebutuhan klinis untuk


mengidentifikasi dan mengobati penyebab dasar dan (2) kebutuhan untuk mencegah
perkembangan komplikasi yang berhubungan dengan delirium.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI

Kata “delirium” berasal dari bahasa latin yang artinya lepas jalur. Sindrom ini pernah
dilaporkan pada masa Hippocrates dan pada tahun 1813 Sutton mendeskripsikan sebagai delirium
tremens, kemudian Wernicke menyebutnya sebagai Encephalopathy Wernicke.4
Delirium merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit. Delirium adalah suatu
gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global.
Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau hari), perjalanan singkat
dan berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika factor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan.1

2.2. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Intrakranial

• Epilepsi dan keadaan paska kejang

• Trauma otak (terutama gegar otak)

• Infeksi :
Meningitis
Ensefalitis

• Neoplasma

• Gangguan vaskular

Exstrakranial

• Obat-obatan

• Toxic

• Disfungsi Endokrin
• Defisiensi zat tertentu

• Infeksi sistemik

• Ketidakseimbangan elektrolit

• Trauma

• Paska operasi

Berdasarkan aktivitas psikomotor (tingkat/ kondisi kesadaran, aktivitas perilaku)


delirium diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:3

1. Hiperaktif: didapatkan pada pasien dengan gejala putus substansi antara lain; alkohol,
amfetamin, lysergic acid diethylamide atau LSD. Pasien bisa nampak gaduh gelisah, berteriak-
teriak, jalan mondar-mandir, atau mengomel sepanjang hari.
2. Hipoaktif: didapatkan pada pasien pada keadaan hepatic encephalopathy dan hipercapnia.
3. Campuran: pada pasien dengan gangguan tidur, pada siang hari mengantuk tapi pada malam
hari terjadi agitasi dan gangguan sikap.

Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara seutuhnya. Beberapa


peneliti mengatakan bahwa delirium terjadi karena terdapat kerusakan metabolisme oksidatif
serebral dan abnormalitas pada beberapa neurotransmitter. Berikut terdapat beberapa hipotesis
mengenai delirium:2,4

a. Asetilkolin
Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari
neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Hal yang mendukung teori ini
adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan bingung. Pada pasien
dengan transmisi kolinergik yang terganggu juga muncul gejala ini dan pada pasien post operatif
delirium serum antikolinergik juga meningkat.

b. Dopamine
Pada otak, hubungan timbal balik muncul antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik. Gejala simptomatis
membaik dengan pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan obat penghambat dopamine.
c. Neurotransmitter lainnya
Serotonin ; terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan encephalopati
hepatikum. Peningkatan inhibitor GABA (Gamma-Aminobutyric acid); pada pasien dengan
hepatic encephalopati, peningkatan inhibitor GABA juga ditemukan. Peningkatan level ammonia
terjadi pada pasien hepatic encephalopati, yang menyebabkan peningkatan pada asam amino
glutamat dan glutamine (kedua asam amino ini merupakan precursor GABA). Penurunan level
GABA pada susunan saraf pusat juga ditemukan pada pasien yang mengalami gejala putus
benzodiazepine dan alkohol.
d. Mekanisme peradangan/inflamasi
Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan interleukin-6,
dapat menyebabkan delirium. Saat terjadi proses infeksi, inflamasi dan paparan toksik dalam
tubuh, bahan pirogen endogen seperti interleukin-1 dilepaskan dari sel. Trauma kepala dan
iskemia, yang sering dihubungkan dengan delirium, dihubungkan dengan hubungan respon otak
yang dimediasi oleh interleukin-1 dan interleukin 6.
e. Mekanisme reaksi stress
Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium.
f. Mekanisme struktural
Formatio reticularis dan jalurnya memainkan peranan penting dari bangkitan delirium.
Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari formation retikularis mesensephalon ke tectum dan
thalamus adalah struktur yang terlibat pada delirium. Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat
menyebabkan delirium, mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel
peradangan (sitokin) untuk menembus otak.
Tabel 1. Beberapa Kondisi yang Lazim Mencetuskan Kondisi Delirium 3

Iatrogenik Pembedahan, kateterisasi, urin, psysical restraints


Obat-obatan Psikotropika
Gangguan metabolic/ Insufisiensi ginjal, dehidrasi, hipoksia, azotemia,
cairan hiperglikemia, hipernatremia, hipokalemia
Penyakit psikis/ Demam, infeksi, stres, alcohol, putus obat (tidur), fraktur,
psikiatrik malnutrisi, gangguan pola tidur
Overstimulation Perawatan di ICU, atau perpindahan ruang rawat

2.3. MANIFESTASI KLINIS

Delirium ditandai dari perubahan mental akut dari pasien,perubahan fluktuatif pada
kognitif termasuk memori,berbahasa dan organisasi.3, 4
1. Gangguan atensi
Pasien dengan delirium mengalami kesulitan untuk memperhatikan. Mereka mudah
melupakan instruksi dan mungkin dapat menanyakan instruksi dan pertanyaan untuk diulang
berkali-kali. Metode untuk mengidentifikasi gangguan atensi yaitu dengan menyuruh pasien
menghitung angka terbalik dari 100 dengan kelipatan 7.
2. Gangguan memori dan disorientasi
Defisit memori, hal yang sering jelas terlihat pada pasien delirium. Disorientasi waktu,tempat
dan situasi juga sering didapatkan pada delirium.
3. Agitasi
Pasien dengan delirium dapat menjadi agitasi sebagai akibat dari disorientasi dan kebingungan
yang mereka alami. Sebagai contoh; pasien yang disorientasi menggangap mereka dirumah
meskipun ada dirumah sakit sehingga staff rumah sakit dianggap sebagai orang asing yang
menerobos kerumahnya.
4. Apatis dan menarik diri terhadap sekitar/withdrawal
Pasien dengan delirium dapat menampilkan apatis dan withdrawal. Mereka dapat terlihat
seperti depresi, penurunan nafsu makan, penurunan motivasi dan gangguan pola tidur.
5. Gangguan tidur
Pada pasien delirium sering tidur pada waktu siang hari tapi bangun pada waktu malam hari.
Pola ini digabungkan dengan disorientasi dan kebingungan yang dapat menimbulkan situasi
berbahaya pada pasien, yaitu resiko jatuh dari tempat tidur, menarik kateter atau IV dan pipa
nasogastric.
6. Emosi yang labil
Delirium dapat menyebabkan emosi pasien yang labil seperti gelisah, sedih, menangis dan
kadang kadang gembira yang berlebih. Emosi ini dapat muncul bersamaan ketika seseorang
mengalami delirium.
7. Gangguan perseps
Terjadi halusinasi visual dan auditori.
8. Tanda tanda neurologis
Pada delirium dapat muncul tanda neurologis antara lain: tremor gait, asterixis mioklonus,
paratonia dari otot terutama leher, sulit untuk menulis dan membaca, dan gangguan visual.

2.5. DIAGNOSA

Secara klinis penegakkan diagnosis delirium dapat menggunakan DSM IV-TR. Di


bawah ini adalah kriteria diagnostik delirium berdasarkan DSM IV –TR:2

Kriteria diagnostik delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum:

1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan dalam


bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian).
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka pendek namun
daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi terutama visual,
hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang
khas terdapat sedikit inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan orang).
3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya singkat dan
ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Berdasarkan bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium untuk
menemukan penyebab delirium ini.
Kriteria diagnostik delirium yang disebabkan intoksikasi zat:

1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan dalam


bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian)
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka pendek namun
daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi terutama visual,
hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang
khas terdapat sedikit inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan orang).
3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya singkat dan
ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium untuk
menemukan delirium ini (1) atau (2):
(1) Gejala pada kriteria A dan B berkembang selama intoksikasi
zat.
(2) Penggunaan intoksikasi disini untuk mengatasipenyebab
yang ada hubungan dengan gangguannya.

Kriteria diagnostik delirium yang disebabkan putus zat:

1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan dalam


bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian)
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka pendek namun
daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi terutama visual,
hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang
khas terdapat sedikit inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan orang).
3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya singkat dan
ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium untuk
menemukan penyakit delirium ini dalam kriteria A dan B. Keadaan ini berkembang selama
atau dalam waktu singkat sesudah sindroma putus zat.
Kriteria diagnostik delirium yang berkaitan dengan berbagai penyebab:

1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan dalam


bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian)
2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka pendek namun
daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi terutama visual,
hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang
khas terdapat sedikit inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan orang).
3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya singkat dan
ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium untuk
menemukan etiologi delirium ini yang disebabkan oleh lebih dari satu penyebab kondisi
medik umum, disertai intoksikasi zat atau efek samping medikasi.

PEDOMAN DIAGNOSTIK

Untuk memastikan diagnosis, maka gejala-gejala baik yang ringan atau yang berat haruslah

ada pada setiap kondisi dibawah ini, yaitu sesuai dengan pedoman diagnostik menurut PPDGJ-

III : 4,7

1. Gangguan kesadaran dan perhatian :

 Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma.

 Menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan dan

mengalihkan perhatian.

2. . Gangguan kognitif secara umum :

 Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi (terutama halusinasi visual)

 Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham yang bersifat

sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan


 Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat jangka panjang relatif

masih utuh.

 Disorientasi waktu, pada kasus yang berat terdapat disorientasi tempat dan orang.

3. . Gangguan psikomotor :

 Hipoaktivitas atau hiperaktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari satu ke

yang lain.

Waktu bereaksi yang lebih panjang

 Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang

 Reaksi terperanjat meningkat

4. Gangguan siklus tidur-bangun :

 Insomnia atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur sama sekali atau terbaliknya siklus

tidur-bangun (mengantuk pada siang hari).

 Gejala yang memburuk pada malam hari

 Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk yang dapat berlanjut menjadi halusinasi

setelah bangun tidur.

5. . Gangguan emosional : misalnya depresi, ansietas atau takut, lekas marah, euforia, apatis

atau rasa kehilangan akal.

. Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang timbul sepanjang hari, dan keadan
ini berlangsung kurang dari 6 bulan

2.6. DIAGNOSA BANDING

Banyak gejala yang menyerupai delirium. Demensia dan depresi sering menunjukkan
gejala yang mirip delirium; bahkan kedua penyakit/ kondisi tersebut acap kali terdapat bersamaan
dengan sindrom delirium. Pada keadaan tersebut informasi dari keluarga dan pelaku rawat menjadi
sangat berarti pada anamnesis.3

a. Delirium versus demensia

Yang paling nyata perbedaannya adalah mengenai awitannya, yaitu delirium


awitannya tiba-tiba, sedangkan pada demensia berjalan perlahan. Meskipun kedua kondisi tersebut
mengalami gangguan kognitif, tetapi pada demensia lebih stabil, sedangkan pada delirium
berfluktuasi.2

Tabel 2. Perbandingan Delirium dan Demensia 2

Gambaran Klinis Delirium Demensia


Gangguan daya ingat +++ +++
Gangguan proses berpikir +++ +++
Gangguan daya nilai +++ +++
Kesadaran berkabut +++ -
Major attention deficits +++ +
Fluktuasi perjalanan penyakit +++ +
(1 hari)
Disorientasi +++ ++
Gangguan persepsi jelas ++ -
Inkoherensi ++ +
Gangguan siklus tidur- bangun ++ +
Eksaserbasi nocturnal ++ +
Insight/tilikan ++ +
Awitan akut/subakut ++ -

b. Delirium versus skizofrenia dan depresi

Sindrom delirium dengan gejala yang hiperaktif sering keliru dianggap sebagai pasien
yang cemas (anxietas), sedangkan hipoaktif keliru dianggap sebagai depresi. Keduanya dapat
dibedakan dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi terdapat perubahan yang bertahap dalam
beberapa hari atau minggu sedangkan pada delirium biasanya gejala berkembang dalam beberapa
jam.3

Beberapa pasien dengan skizofrenia atau episode manik mungkin pada satu keadaan
menunjukkan perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan dengan delirium. Secara umum,
halusinasi dan waham pada pasien skizofrenia lebih konstan dan lebih terorganisasi dibandingkan
dengan kondisi pasien delirium.2

2.7. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama adalah untuk mengobati gangguan dasar yang menyebabkan delirium,
tujuan lainnya adalah untuk memberikan bantuan fisik sensorik dan lingkungan.

a. Pengobatan farmakologis

Dua gejala utama delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis


adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih untuk psikosis adalah Haloperidol (haldol), obat
antipsikotik golongan butyrophenon. Pemberian tergantung usia, berat badan,dan kondisi fisik
pasien, dosis awal dengan rentang antara 2 sampai 10 mg intramuscular, diulang dalam satu jam
jika pasien teragitasi. Segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam cairan konsentrat atau
bentuk tablet dapat dimulai. Dua dosis oral harian harus mencukupi, dengan duapertiga dosis
diberikan sebelum tidur. Untuk mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira 1,5
kali kali lebih tinggi dibandingkan dosis parenteral. Dosis harian efektif total haloperidol mungkin
terentang dari 5 sampai 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium.

Droperidol (inapsine) adalah suatu butyrophenon yang tersedia sebagai suatu formula
intravena alternative, walaupun monitoring elektrokardiogram adalah sangat penting untuk
pengobatan ini. Golongan phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium, karena obat tersebut
disertai dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna.

Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan waktu paruh
pendek atau hydroxizine (vistaril), 25 sampai 100 mg. Golongan benzodiazepine dengan waktu
paruh panjang dan barbiturate harus dihindari kecuali obat tersebut telah digunakan sebagai bagian
dari pengobatan untuk gangguan dasar (sebagai contohnya, putus alcohol).1

b. Non-farmakologis (pencegahan)

Berbagai literature menyebutkan bahwa pengobatan sindrom delirium sering tidak


tuntas. 96% pasienyang dirawat karena pulang dengan gejala sisa. Hanya 20% dari kasus-kasus
tersebut yang tuntas dalam 6 bulan setelah pulang. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya
prevalensi sindrom delirium di masyarakat lebih tinggi dari pada yang diduga sebelumnya.
Pemeriksaan penapisan oleh dokter umum atau dokter keluarga di masyarakat menjadi penting
dalam rangka menemukan kasus dini dan mencegah penyulit yang fatal.

Rudolph (2003) melaporkan bahwa separuh dari kasus yang diamatinya mengalami
delirium saat dirawat di rumah sakit. Berarti ada karakteristik pasien tertentu dan suasana/situasi
rumah sakit sedemikian rupa yang dapat mencetuskan delirium. Beberapa obat juga dapat
mencetuskan delirium, terutama yang mempunyai efekanti kolinergik dan gangguan faal kognitif.
Beberapa obat yang diketahui meningkatkan resiko delirium antara lain: benzodiazepine, kodein,
amitriptilin (antidepresan), difenhidramid,ranitidine, tioridazin, digoksin, amiodaron, metildopa,
procainamid, levodopa, fenitoin, siprofloksasin. Beberapa tindakan sederhana yang dapat
dilakukan di rumah sakit (di ruang rawat akut geriatric) terbukti cukup efektif mampumencegah
delirium. Inouye et all (1999) menyarankan beberapa tindakanyang terbukti dapat mencegah
delirium seperti yang tertera pada tabel 3

Tabel 3. Pencegahan Delirium dan Keluarannya3

Panduan intervensi Tindakan Keluaran P


Reorientasi Pasang jam dinding Memulihkan orientasi 0,04
Kalender
Memulihkan siklus Padamkan lampu Tidur tanpa obat 0,001
tidur Minum susu hangat
atau the herbal
Musik yang tenang
Pemijata (massage)
punggung
Mobilisasi Latihan lingkup gerak Pulihnya mobilisasi 0,06
sendi
Mobilisasi bertahap
Batasi penggunaan
restrain
Penglihatan Kenakan kacamata Meningkatkan 0,27
kemampuan
Menyediakan bacaan
penglihatan
dengan huruf
berukuran besar
Pendengaran Bersihkan serumen Meningkatkan 0,10
prop kemampuan
pendengaran
Alat Bantu dengar
Rehidrasi Diagnosis dini BUN/Cr < 18 0,04
rehidrasi
Tingkatkan asupan
cairan oral kalau
perlu per infuse

2.8. PROGNOSIS

Awitan delirium yang akut, gejala prodromalnya seperti gelisah dan perasaan takut
mungkin muncul pada awal awitan. Bila penyebabnya telah diketahui dan dapat dihilangkan maka
gejala-gejalanya akan hilang dalam waktu 3-7 hari dan akan hilang seluruhnya dalam waktu dua
minggu.2
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Sindrom delirium sering tidak terdiagnosis dengan baik karena berbagai sebab.
Keterlambatan diagnosis memperpanjang masa rawat dan meningkatkan mortalitas. Defisiensi
asetilkolin yang berhubungan dengan beberapa factor predisposisi dan factor pencetus merupkana
mekanisme dasar yang harus selalu diingat. Pencetus tersering adalah pneumonia dan infeksi
saluran kemih.

Gangguan kognitif global, perubahan aktivitas psikomotor, perubahan siklus tidur,


serta perubahan kesadaran yang terjadi akut dan berfluktuatif merupakan gejala yang sering
ditemukan. Beberapa peneliti menggolongkan delirium ke dalam beberapa tipe. Kriteria diagnosis
baku menggunakan DSM-IV; instrument baku yang digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis.

Beberapa penyakit mempunyai gejala dan tanda mirip sehingga diperlukan


kewaspadaan serta pemikiran kemungkinan diferensial diagnosis. Pengelolaan pasien terutama
ditujukan untuk mengidentifikasi serta menatalaksana factor predisposisi dan pencetus.
Penatalaksanaan non-farmakologik dan farmakologik sama pentignnya dan diperlukan kerjasama
dengan psikiater geriatric terutama dalam pengelolaan pasien yang gelisah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Psikiatri. 2010; hal. 99-105
2. http://emedicine.medscape.com/article/288890-overview,

3. Maslim R: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III,

Jakarta, 2001: 27-28.

Anda mungkin juga menyukai