Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS JURNAL DENGAN JUDUL

“STUDI PERBANDINGAN KEBIJAKAN TATA RUANG


DI INDONESIA DAN BELANDA”
Restiyani (E0016360) – Hukum Lingkungan E

Judul Asli : A Comparative Study of Spatial Policy In Indonesia and


The Netherlands
Penulis : Haris Budiman (Universitas Islam Sultan Agung), Anis
Mashdurohatun (Universitas Islam Sultan Agung), dan
Eman Suparman (Universitas Padjadjaran)
Publikasi : Jurnal Dinamika Hukum Vol.18 No 3, September 2018

Pengantar
Artikel ini secara khusus membahas mengenai kebijakan tata ruang yang
ada di Indonesia dan Belanda. Sebelum lebih jauh membahas mengenai
perbandingan antara kedua negara, artikel ini diilhami oleh banyaknya
permasalahan mengenai tata ruang yang dialami oleh Indonesia. Ruang jika
didefinisikan bukan hanya mengenai dimensi tempat atau wilayah saja, namun
meliputi satu kesatuan ruang darat, udara, laut, serta segala apa yang ada di
dalamnya termasuk sumber daya alam, sumber daya manusia dan kegiatannya.
Dalam beberapa penelitian, telah ditemukan beberapa permasalahan yang muncul
dalam pengelolaan tata ruang di Indonesia, yaitu (i) konflik kepentingan
antarsektor, (ii) penyimpangan pemanfaatan ruang, (iii) kurangnya fungsi
optimalisasi dari perencanaan tata ruang yang bertujuan untuk menyelaraskan dan
mengintegrasikan berbagai sektor rencana dan program, (iv) tidak tersedianya
fungsi kontrol dalam pengalokasian Tata Ruang Wilayah Perencanaan, (v) serta
kurangnya keterbukaan dalam menempatkan kepentingan dari sektor dan wilayah
dalam tata ruang kerangka kerja. Kajian perbandingan ini digagas mengingat
Belanda dianggap layak dijadikan sebagai referensi dalam pengembangan serta
perbaikan kebijakan tata ruang yang ada di Indonesia.
1. Telaah terhadap Kebijakan Tata Ruang di Indonesia dan
Permasalahannya
Secara filosofis, kebijakan tata ruang yang ada di Indonesia diatur di
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa bumi, air, serta kekayaan alam
yang terkandung di wilayah alam Indonesia dikuasai oleh negara dan
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari perspektif
konstitusi, maka jelas terlihat bahwa arah kebijakan tata ruang Indonesia
berorientasikan pada kepentingan dan kemaslahatan masyarakat banyak.
Kebijakan lebih lanjut mengenai tata ruang di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang, serta Peraturan Provinsi dan
Kabupaten/Kota tentang Perencanaan Tata Ruang (RTRW) dan Detail
Perencanaan Tata Ruang (RDTR).
Konsep Undang-Undang Penataan Ruang dalam proses perencanaan
tata ruang, pemanfaatan, serta kontrol cukup memperhatikan banyak aspek
fisik, mulai dari aspek geografis seperti kondisi daerah rawan bencana
alam, potensi alam, aspek sumber daya manusia dan buatannya, aspek
sosial, ekonomi, teknologi, hingga geopolitiknya. Hal ini guna
mengakomodir kondisi tata ruang di Indonesia yang begitu kompleks.
Pendekatan yang berusaha dilakukan oleh Pemerintah melalui Undang-
Undang ini yaitu bertujuan untuk mewujudkan tata ruang yang nyaman,
produktif, dan berkelanjutan. Dengan pendekatan ini, diharapkan tercipta
adanya keharmonisan dan integrasi antara alam dan buatan serta
terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan atas pemanfaatan
lingkungan yang berlebih.
Yang menarik dari pengaturan tata ruang dalam Undang-Undang ini
yaitu penerapan sanksi sebagai salah satu upaya pembatasan pemanfaatan
tata ruang yang tidak sejalan dengan pengaturan tata ruang dan zonasi.
Sanksi ini bukan hanya diterapkan kepada penerima manfaat yang
melanggar ketentuan pemanfaatan tata ruang, tetapi juga kepada
pemerintah yang tidak konsisten dalam memberikan izin sesuai dengan
rencana tata ruang.
Untuk menjamin kepastian hukum, Undang-Undang ini dijadikan
sebagai pedoman dalam perencanaan pembangunan daerah, penggunaan
tata ruang, kontrol penggunaan tata ruang di daerah, interkoneksi,
penentuan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi dan penyusunan
wilayah strategis. Selain itu, kepastian hukum juga dapat diukur dari
adanya pembagian tugas, tanggungjawab serta wewenang yang jelas antara
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota
sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 11 ayat (1).
Secara umum, permasalahan tata ruang di Indonesia lebih berkutat
pada permasalahan konversi lahan dan konflik antar sektor. Konversi lahan
yang awam terjadi yaitu area hijau yang dilindungsi seperti hutan dan
daerah pertaniah yang dikonversi menjadi daerah perumahan dengan dalih
pemenuhan kebutuhan. Hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah yang memberikan wewenang untuk mengatur
dan mengurus urusan daerahnya sendiri secara tidak langsung sering
bersinggungan dengan apa yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Mengutip pendapat dari Budihardjo yang menyatakan bahwa adanya
perubahan mengenai rencana tata ruang dapat disebabkan oleh kekuatan
kelompok sosial tertentu, sistem sosial, peran serta orientasi kepentingan
yang ada di masyarakat. Seperti yang disebutkan di atas, bahwa dalih
kebutuhan kerapkali menjadi alasan utama adanya konversi lahan seperti
meningkatnya populasi penduduk, meningkatnya jumlah permintaan akan
hunian atau bangunan lain, adanya pemanfaatan ruang yang tidak layak,
Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis yang meningkat, perencanaan tata
ruang yang belum optimal untuk menyinkronkan dan mengintegrasikan
berbagai rencana dan program serta terjadinya penurunan kualitas
lingkungan.
2. Telaah Kebijakan Tata Ruang di Belanda dan Penerapannya
Kebijakan mengenai tata ruang di Belanda dapat dikatakan cukup
progresif dibandingkan dengan negara lainnya yang terlihat dengan adanya
penciptaan bendungan untuk mengatasi banjir pada tahun 1916 dan
pembentukan delta pada banjir tahun 1953. Kebijakan tata ruang di
Belanda diatur di dalam Undang-Undang Perumahan Tahun 1901
(Woningwet) yang telah diperbaharui pada tahun 1960. Kebijakan tata
ruang di Belanda bermula pada saat berkembangnya pusat kota di luar area
Metropolitan. Sebagai bentuk penghormatan atas kebijakan daerah,
kesenjangan pembangunan daerah dengan pusat terhitung sangat minim
jika dibandingkan dengan negara Eropa lainnya. Meskipun dukungan telah
diberikan utamanya kepada daerah-daerah di batas luar untuk melakukan
pembangunan dan kebijakan tata ruangnya sendiri, namun negara
memutuskan untuk mengakhiri kebijakan daerah tersebut pada tahun 2006
dan berfokus pada pembangunan daerah yang sejalan dengan kebijakan
ekonomi nasional dalam rangka meningkatkan tingkat persaingan dan
memajukan inovasi.
Kebijakan tata ruang di Belanda dilaksanakan oleh Badan
Perencanaan Tata Ruang Nasional, Kementerian Perumahan, serta
Kementerian Rencana Tata Ruang dan Lingkungan. Badan-badan ini
merancang suatu rencana tata ruang pada lahan yang sempit (mengingat
luas wilayah Belanda) namun tetap bisa menarik, layak huni dan mampu
menciptakan masyarakat yang sejahtera. Untuk mewujudkan rencana tata
ruang ini, pihak-pihak yang bertanggungjawab ini menetapkan beberapa
kriteria pada rencana tata ruangnya, diantaranya yaitu (i) perbedaan tata
ruang, perbedaan antara desa dan kota, (ii) fungsi ekonomi dan tata ruang,
(iii) hubungan antara perumahan, mobilitas, dan pekerjaan, (iv)
keanekaragaman budaya seperti ruang untuk kegiatan budaya dan rekreasi,
(v) keadilan sosial yaitu menghapus kesenjangan antar kelompok sosial
dan agama, (vi) keberlanjutan dalam hal konservasi lingkungan, (vii)
aspek daya tarik serta (viii) aspek kemanusiaan.
Kebijakan tata ruang di Belanda telah mengalami beberapa kali
penyempurnaan. Pada kebijakan yang terakhir, pemerintah berusaha
menyediakan porsi yang cukup besar bagi masyarakat untuk turut
berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. Melalui strategi ini, pemerintah
berharap terdapat perkembangan yang lebih baik untuk aktor-aktor
penghuninya seperti Dewan Kota, komunitas, dan terlebih masyarakatnya.
Selain itu, strategi tata ruang ini lebih memperhatikan aspek alam,
ketersediaan air, sungai, zona hijau, wilayah Randstand, yang
dikoordinasikan secara baik dengan kebijakan pembangunan lainnya.
Randstand untuk daerah kota di Belanda terdiri dari 4 kota utama,
yaitu Amsterdam, Rotterdam, The Hague, dan Utrecht. Rancangan terdekat
dalam menyambut visi 2040 adalah menciptakan daerah yang
berkelanjutan dan serta wilayah yang memiliki daya saing di Eropa.
Rancangannya bermula dengan pembangunan pelabuhan di Rotterdam dan
Amsterdam, membentuk The Hague sebagai kota hukum, kedamaian, dan
keamanan serta taman kota yang menyenangkan.
Kebijakan tata ruang di Belanda mencakup strategi nasional atas
alokasi tanah dan sumber air untuk ekonomi yang berkelanjutan serta
perkembangan masyarakat. Koordinasi kebijakan tata ruang nasional ini
meliputi implementasi terhadap peraturan di Uni Eropa yang masuk dalam
program legislasi nasional. Kegunaan utama tanah di Belanda yaitu untuk
permukiman, aktivitas industri, produksi pertanian, transportasi dan
infrastruktur serta aktivitas yang berhubungan dengan alam dan
biodiversitas. Daerah provinsi dan kota diberikan kewenangan lebih besar
untuk menentukan lokasi yang akan dijadikan sebagai daerah bisnis. Hal-
hal yang dijadikan bahan pertimbangan penentuan lokasi bisnis
diantaranya yaitu, kemudahan akses, tingkat kemudahan untuk dikerjakan
serta keamanan. Strategi ini merupakan bentuk kontribusi perencanaan tata
ruang nasional untuk mewujudkan daerah yang aman, tingkat
perekonomian yang kuat, layak huni dan menyenangkan.
Kesimpulan
Pada dasarnya, kebijakan tata ruang yang ada di Indonesia memiliki tipe
yang hampir serupa dengan Belanda. Kemiripan tersebut terletak pada
pertimbangan aspek lingkungan dan sosial kemasyarakatnnya. Perjalanan
kebijakannya pun hampir serupa, di mana penitikberatan kebijakan tata ruang
dibebankan kepada daerah masing-masing agar lebih berkembang. Perbedaanya,
Belanda tidak mempertahankan kebijakan tersebut karena ingin menyeleraskan
kebijakan tata ruang daerah dengan kebijakan nasional agar lebih berdaya saing
serta memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sedangkan Indonesia, meskipun telah
menyadari bahwa penerapan kebijakan tata ruang daerah kerapkali tidak selaras
dengan kebijakan nasional, namun hingga saat ini tetap dipertahankan dengan
alasan adanya otonomi daerah. Hal ini yang sesungguhnya menghambat
perkembangan tata ruang nasional karena setiap daerah berusaha menggali dan
menentukan kebijakan tata ruangnya sendiri sehingga perkembangan yang ada
tidak merata dan selaras. Alpanya pemerintah dalam menangani kebijakan tata
ruang juga mengakibatkan tidak ada grand design yang jelas tentang tujuan tata
ruang yang diidamkan. Berbeda dengan Belanda yang telah memiliki Randstaad
dimana ciri khas dan tujuan dari setiap daerah ditentukan melalui kebijakan tata
ruangnya yang mendukung program nasional seperti menjadikan kota The Hague
sebagai kota hukum serta ciri khas dari tiga kota lainnya.

Anda mungkin juga menyukai