PENDAHULUAN
Tanah umumnya dapat disebut sebagai kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (slit)
dan lempung (clay), tergantung pada ukuran partikel yang dominan pada tanah
tersebut. Untuk menerangkan tentang tanah berdasarkan ukuran partikel-
partikelnya beberapa organisasi telah mengembangkan batasan-batasan ukuran
golongan jenis tanah.
Pada tabel ditunjukkan batasan-batasan ukuran golongan jenis tanah yang telah
dikembangkan oleh Massachussetts Insitute of Technology (MIT), U.S
Department of Agriculture (UDSA), American Association of State Highway and
Transportation Offficals (AASHTO) dan U.S Army Corps of Engineers dan U.S
Bureau of Reclamation yang kemudian menghasilkan apa yang disebut sebagai
Unifed Soil Classification System (USCS). Pada tabel tersebut sistem MIT
diberikan hanya untuk keterangan tambahan saja. Sistem MIT ini merupakan
sistem yang telah dipakai oleh American Society and Materials (ASTM). Secara
umum tanah terbagi menjadi:
Erosi yang disebabkan aliran air permukaan atau air hujan, sungai-
sungai atau gelombang laut yang menggerus kaki lereng-lereng bertambah
curam
Lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang
diakibatkan hujan lebat
Gempa bumi menyebabkan getaran, tekanan pada partikel-partikel mineral
dan bidang lemah pada massa batuan dan tanah yang mengakibatkan
longsornya lereng-lereng tersebut.
Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng
lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh
kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan daya pendorong dipengaruhi
besarnya sudut lereng, air beban serta jenis tanah batuan. Proses terjadinya tanah
longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan
menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang
berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan
diatasnya akan bergerak mengikuti lereng dan luar lereng.
Gejala umum tanah longsor ditandai dengan munculnya retakan-retakan
dilereng yang sejajar dengan arah tebing, biasanya terjadi setelah hujan,
munculyamata air baru secara tba-tiba dan tebing rapuh serta kini kerikil mulai
berjatuhan. Faktor penyebab lainnya sebagai berikut:
1. Hujan
2. Lereng Terjal
Jenis tanah kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan
ketebalan lebih dari 2,5 m dari sudut leren lebih 220. Tanah jenis ini memiliki
potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu
tanah sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena
air dan pecah ketika hawa terlalu panas.
6. Getaran
Akibat susutnya muka air yang cepat didanau maka gaya penahan
lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi
longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.
Kita dapat mengenali rumput vetiver dari beberapa bentuk fisiknya, yaitu :
Akar vetiver Kuat tarik dan kuat geser, dengan kuat tarik tinggi
yang berinteraksi dengan tanah akan membentuk komposit. Akar vetiver
memperkuat tanah dengan memindahkan tegangan geser dalam matriks tanah
ke tegangan tarik. Dengan kata lain, kuat geser tanah diperbesar oleh matris
akar. Telah disebutkan bahwa akar vetiver mempunyai kuat tarik rata-rata
cukup tinggi yaitu 75 Mpa atau ± 1/6 dari kuat baja lunak (mild steel).
Jaringan akar yang padat dan massif akan bekerja serempak, mirip soil nailing,
dengan daya penetrasi menembus lapisan keras atau berbatu, akar ini layaknya
soil nail yang hidup. Ketika jaringan akar dibawah yang rapat menyediakan
peningkatan kuat geser yang menghasilkan peningkatan stabilitas lereng,
bagian atasnya, atau batang yang kaku berfungsi seperti penghalang hidup
menahan lumpur/sedimen dalam proses pengendalian erosi. Dengan tingkat
pertumbuhan yang cepat, dapat membentuk pagar yang rapat jika ditanam
berpola. Kemampuan dari baris pagar vetiver sedemikian rupa sehingga tidak
menyebabkan tertimbun dan mati. Dari studi diketahui bahwa kemapuan
menahan lumpur adalah 6-35 kali >dari rumput atau tanaman laninnya
(Agustin J, 2009). Penetrasi akar dari pagar vetiver dengan jarak tanam ± 15
cm dapat meningkatkan kuat geser tanah pada daerah sekitarnya sebesar 50
cm sebesar 90% pada kedalaman 0,25 cm. Peningkatan 39% pada kedalan 0,5
m dan perlahan-lahan menurun 12,5% pada kedalaman 1m (Agustin J, 2009).
Kemampuan penetrasi akar vetiver cukup besar, melalui lapisan yang keras
atau lapisan berbatuan (dengan titik-titik lunak), dan bekerja sebagai paku
tanah (soil nails) atau pasak (dowel) pada kedalaman 2-3 m seperti umumnya
digunakan dalam pendekatan pekerjaan rekayasa stabilisasi lereng (Agustin J,
2009).
2.3.2 Syarat Tumbuh Rumput Vetiver
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis menarik
kesimpulan sebagai berikut:
a. Rumput vetiver adalah tanaman tropis sejenis rumput-rumputan yang
memiliki struktur unggul dalam stabilisasi lereng.
b. Rumput retiver memiliki tingkat keunggulan dan tolerasi yang tinggi jika
dibandingkan dengan tanaman-tanaman atau kayu-kayu lain yang biasa
digunakan dalam stabilitas lereng.
c. Teknologi Rumput Retiver (Bio-engineering) dapat dikatakan jauh lebih
murah jika dibandingkan dengan menggunakan metode Hard solusi yang
mengandalkan bahan-bahan konstruksi yang kaku dan keras.
d. Rumput Vetiver sudah terbukti dalam mengatasi masalah dalam stabilisasi
lereng. Selain itu, bila dikombinasikan dengan menggunakan rumput bahia
(rumput gajah), tingkat erosi pada lereng dapat mencapai 0%. e.
e. Dalam penerapan Teknologi Rumput Vetiver masih memerlukan peran
serta masyarakat sekitar. Karena teknologi ini masih dapat dikatakan baru.
5.2 Saran
Adapun saran untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Saat teknologi rumput retiver ingin dihentikan jangan mencoba untuk
mencabut akar dari rumput ini secara konvensional, karena akarnya dapat
merusak struktur tanah secara keseluruhan.
b. Partisipasi atau peran serta masyarakat sekitar sangat diperlukan dalam
penerapan teknologi ini. Sehingga, penting untuk diadakan pengenalan
mengenai teknologi rumput vetiver baik melalui Workshops maupun
Training Courses.
c. Karena Teknologi Rumput Vetiver ini masih baru di Indonesia, maka
masih belum bisa diterapkan dalam pelaksanaan tender. Sehingga, selama
ini sifatnya hanya memberi masukan kepada pemenang tender sehingga
dapat dipakai atau tidak.