Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan sebagian besar


wilayahnya merupakan daerah perbukitan. Hal ini disebabkan karena
Indonesia terletak pada pertemuan lempeng dunia yaitu lempeng Pasifik,
lempeng Eurasia, dan lempeng Australia. Pergerakan ketiga lempeng yang
saling menumbuk menyebabkan terbentuknya jalur gunung api dan vulkanik,
akibatnya Indonesia memiliki bentuk geografis berupa lahan pegunungan dan
perbukitan dengan lereng yang landai dan terjal. Sehingga sangat berpotensi
terjadinya berbagai bencana alam di sejumlah titik di Indonesia, salah satunya
tanah longsor.

Tanah longsor merupakan peristiwa terjadinya pergerakan tanah,


seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah, yang terlepas dari
bagian utama gunung atau bukit. Tanah longsor umumnya terjadi dikawasan
pegunungan. Di Indonesia, bencana tanah longsor hampir setiap tahun terjadi,
khususnya ketika memasuki musim penghujan. Meningkatnya intensitas curah
hujan serta perubahan fungsi lahan menjadi penyebab utama terjadinya
bencana tersebut.

Tercatat di sejumlah tempat rawan mengalami tanah longsor, salah


satunya di daerah Malino. Malino adalah kelurahan yang terletak
di Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Daerah
yang terletak 90 km dari Kota Makassar ke arah selatan. Letaknya yang
berada di lereng Gunung Bawakaraeng menyebabkan di daerah Malino mudah
terajdi tanah longsor. Jika musim penghujan tiba, kita dapat melihat sejumlah
titik longsoran tanah di sepanjang jalan daerah Malino. Tentu hal tersebut
sangat mengkhawatirkan. Apabila tanah di tepi jalan raya mengalami longsor,
maka longsoran tanahnya akan menutupi badan jalan dan menyebabkan
terganggunya jalur transportasi. Bisa menimbulkan kerugian material hingga
korban jiwa jika bencana tersebut menimpa masyarakat yang sementara
melintasi daerah tersebut. Melihat kondisi ini, maka penulis berinisiatif untuk
mempelajari permasalahan tersebut dan berupaya memberikan solusi
pencegahan.

Sebagai upaya pencegahan, penulis memanfaatkan rumput vetiver.


Rumput vetiver merupakan sejenis rumput-rumputan berukuran besar dan
memiliki banyak keistimewaan. Tanaman yang dikenala dengan nama akar
wangi ini dapat tumbuh diberbagai bentuk kondisi tanah seperti areal
perbukitan, dataran rendah, daerah rawa dan bahkan pada areal bekas
tambang. Akar rumput vetiver berbentuk serabut dan mampu menembus tanah
hingga kedalaman 5.2 meter jika telah tumbuh. Jika ditanam di lereng-lereng
keras dan berbatu, ujung-ujung akar vetiver mampu menjadi semacam jangkar
yang kuat.

Akar-akar ini mampu menahan partikel-partikel tanah sehingga dapat


mencegah erosi. Batangnya kaku dan keras, tahan terhadap aliran air. Jika
ditanam rapat atau berdekatan, akan membentuk pagar dan mampu
mengurangi kecepatan aliran air dan menahan matrial sediment. Tumbuhan ini
tidak menghasilkan bunga dan biji-bijian namun dapat tumbuh menyebar
seperti alang-alang atau rerumputan lainnya. Selain sebagai alat untuk
mencegah terjadinya tanah longsor, menanam rumput vetiver juga bisa
sebagai upaya penghijaun.

Dengan demikian penulis mengangkat judul “ Pemanfaatan si akar


wangi (Vetiveria zizanioides) sebagai solusi pencegahan tanah longsor di desa
….. kelurahan Malino, kec. Tinggimoncong, kab. Gowa, Sulawesi Selatan”
sebagai judul dalam penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarakan latar belakang tersebut, maka adapun rumusan rmasalah


untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana cara pemanfaatan rumput vetiver sebagai solusi pencegahan


tanah longsor?
2. Bagaimana efektifitas penggunaan rumput vetiver dalam mencegah
terjadinya tanah longsor?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara pemanfaatan rumput vetiver sebagai solusi
pencegahan tanah longsor
2. Untuk mengetahui tingkat keefekifan penggunaan rumput vetiver dalam
mencegah terjadinya tanah longsor

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat dari panulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai motivasi bagi masyarakat khususnya masyarakat daerah Malino
untuk aktif serta dalam melakukan pencegahan tanah longsor
2. Sebagai sarana bagi Penulis dalaam meningkatkan motivasi dan
kemampuan menulis karya ilmiah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanah

2.1.1 Pengertian Tanah

Dalam pengertian teknik secara umum, tanah didefinisikan sebagai


material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak
tersementasi (terikat secara kimia) satu sam lain dari bahan-bahan organic yang
telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang
mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel-partikel padat tersebut. Tanah
berguna sebagai bahan bangunan pada berbagai macam pekerjaan teknik sipil,
disamping itu tanah berfungsi juga sebagai pendukung pondasi dari bangunan
(Braja M, Das, 2011)

2.1.2 Klasifikasi Tanah (Jenis-jenis Tanah)

Tanah umumnya dapat disebut sebagai kerikil (gravel), pasir (sand), lanau (slit)
dan lempung (clay), tergantung pada ukuran partikel yang dominan pada tanah
tersebut. Untuk menerangkan tentang tanah berdasarkan ukuran partikel-
partikelnya beberapa organisasi telah mengembangkan batasan-batasan ukuran
golongan jenis tanah.

Pada tabel ditunjukkan batasan-batasan ukuran golongan jenis tanah yang telah
dikembangkan oleh Massachussetts Insitute of Technology (MIT), U.S
Department of Agriculture (UDSA), American Association of State Highway and
Transportation Offficals (AASHTO) dan U.S Army Corps of Engineers dan U.S
Bureau of Reclamation yang kemudian menghasilkan apa yang disebut sebagai
Unifed Soil Classification System (USCS). Pada tabel tersebut sistem MIT
diberikan hanya untuk keterangan tambahan saja. Sistem MIT ini merupakan
sistem yang telah dipakai oleh American Society and Materials (ASTM). Secara
umum tanah terbagi menjadi:

- Kerikil (gravels) adalah kepingan-kepingan dari batuan yang kadang-


kadang juga mengandung partikel-partikel mineral quartz, feldspar,
dan mineral yang lain.
- Pasir (sand) sebagian besar terdiri dari mineral quartz dan feldspar.
Butiran dari mineral yang lain mungkin masih ada golongan ini.
- Lanau (Silts) sebagian besar merupakan fraksi mikroskopis (berukuran
sangat kecil) dari bentuk lempengan-lempengan pipih yang merupakan
pecahan dari mineral-mineral mika
- Lempung (clays) sebagian besar terdiri dari partikel mikroskopis dan
submikroskopis (tidak dapat dilihat dengan jelas bila hanya dengan
mikroskopis biasa) yang berbentuk lempengan-lempengan pipih dan
merupakan partikel-partikel dari mika, mineral-mineral lempung, dan
mineral-mineral yang sangat halus lain.

2.2 Longsor dan Erosi

2.2.1 Pengertian Longsor

Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa


batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke
bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan
sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah.
Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang
gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak
mengikuti lereng dan keluar lereng.
Secara umum kejadian longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor
pendorong dan faktor pemicu. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang
memengaruhi kondisi material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor
yang menyebabkan bergeraknya material tersebut. Meskipun penyebab utama
kejadian ini adalah gravitasi yang memengaruhi suatu lereng yang curam, namun
ada pula faktor-faktor lainnya yang turut berpengaruh:

 Erosi yang disebabkan aliran air permukaan atau air hujan, sungai-
sungai atau gelombang laut yang menggerus kaki lereng-lereng bertambah
curam
 Lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang
diakibatkan hujan lebat
 Gempa bumi menyebabkan getaran, tekanan pada partikel-partikel mineral
dan bidang lemah pada massa batuan dan tanah yang mengakibatkan
longsornya lereng-lereng tersebut.

Tanah longsor secara umum adalah perpindahan material pembentuk lereng


berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau material laporan, bergerak ke bawah
atau keluar lereng. Secara geologi, tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi
dimana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar
tanah.

2.2.2 Penyebab Tanah Longsor

Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng
lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh
kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan daya pendorong dipengaruhi
besarnya sudut lereng, air beban serta jenis tanah batuan. Proses terjadinya tanah
longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan
menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang
berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan
diatasnya akan bergerak mengikuti lereng dan luar lereng.
Gejala umum tanah longsor ditandai dengan munculnya retakan-retakan
dilereng yang sejajar dengan arah tebing, biasanya terjadi setelah hujan,
munculyamata air baru secara tba-tiba dan tebing rapuh serta kini kerikil mulai
berjatuhan. Faktor penyebab lainnya sebagai berikut:

1. Hujan

Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena


meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan
menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah
besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga
terjadi retakan dan merekanhnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan
menyusup kebagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang
kembali. Pada awal musim hujan, intensitas curah hujan yang tinggi biasanya
terjadi, sehingga kansdungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu yang
singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor karena
melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi dibagian dasar
lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan
dipermukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh
tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah.

2. Lereng Terjal

Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong.


Lereng yag terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan
angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 1800.
Apabila ujung lereng terjal dan bidang longsorannya mendatar.

3. Tanah yang kurang padat dan tebal

Jenis tanah kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan
ketebalan lebih dari 2,5 m dari sudut leren lebih 220. Tanah jenis ini memiliki
potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu
tanah sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena
air dan pecah ketika hawa terlalu panas.

4. Batuan yang kurang kuat

Batuan endapan gunung api dan sedimen berukuran pasir dan


campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan
tersebut akan mudah menjadi taah apabila mengalami proses pelapukan dan
umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

5. Jenis Tata Lahan

Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan,


perladangan, dan adanya genangan air dilereng yang terjal. Pada lahan
persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat
tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor.
Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar
pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya
terjadi di daerah longsoran lama.

6. Getaran

Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan,


getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya
adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak.

7. Susut Muka Air Danau

Akibat susutnya muka air yang cepat didanau maka gaya penahan
lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi
longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.

8. Adanya Beban Tambahan

Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan


kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di
sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya
penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah.

2.2.3 Erosi Dan Problema Stabilitas

Pergerakan massa tanah atau slip/slide yang menyebabkan problema


stabilitas, dibedakan dalam 2 (dua) kategori, yaitu : kelongsoran dangkal dan
kelongsoran dalam seperti ditampilkan pada Gambar.

Gambar 1. Jenis kelongsoran Kelongsoran dalam, adalah masalah geotek-nik atau


geologi, yang mencakup geometri le-reng, kuat tanah, kondisi cuaca/iklim,
karakte-ristik air tanah, dan lain-lain yang memerlukan analisis stabilitas. lereng.
Sedangkan kelong-soran dangkal agak sulit diperhitungkan. Ke-longsoran
dangjkal ini (1-2 m), justru masalah yang banyak terjadi setelah pembentukan le-
reng (galian atau timbunan), khususnya pada kawasan dengan intensitas hujan
tinggi dan durasi lama. Hal ini tetap dapat muncul wa-laupun analisis lereng telah
menunjukkan le-reng mempunyai faktor keamanan yang cukup. Walaupun
masalah erosi dan masalah stabilitas agak berbeda, namun sebagai masalah saling
ada keterkaitan. Erosi adalah proses alami dimana faktor luar seperti angin atau air
mengikis partikel tanah dan seringkali dipicu oleh hujan yang mengikis lapis
permukaan, membentuk saluran atau sungai-sungai kecil dengan kedalaman 10-60
cm, lama kelamaan makin dalam Stabilisasi Lereng untuk Pengendalian Erosi
dengan Soil Bioengineering sehingga menyebabkan lereng makin curam yang
memicu ketidakstabilan (Agustin J, 2009).

Problem ketidakstabilan atau kelongsoran dalam, merupakan


permasalahan yang tergantung pada karakteristik geometrik lereng, sifat tanah dan
air pori yang pada dasarnya problem geoteknik/geologi yang harus ditangani
dengan studi analisis yang tepat. Dilain pihak, problem glincir dangkal, yang
terletak pada kedalaman 60-250cm, tidak tersedia analisnya, sehingga menjadi
problem kronis, apalagi dengan adanya hujan lebat dan material lerang yang
sangat erosif (Agustin J, 2009).

Masalah erosi dan kelongsoran pada umumnya ditangani dengan mortared


rip-rap, shotcrete atau semacamnya untuk melapisi/menutupi lereng untuk
mencegah infiltrasi air yang menyebabkan kelongsoran. Namun, tidak dalam
semua kasus, hal ini berhasil. Ada 2 pendekatan, pertama dengan cara
konvensional yang keras/kaku yang sering digunakan, yaitu dengan shotcrete, soil
nailing, tanah bertulang, dan lain-lain yang lebih mahal, atau kedua dengan
pendekatan hijau yang lebih murah, lebih baik estetikanya dan ramah lingkungan.
Penggunaan tanaman, khususnya penggunaan akar untuk tujuan memperkuat
tanah pada daerah pergerakan dangkal (stabilitas lereng) yang berfungsi sebagai
paku/pasak tanah mulai diperhitungkan setelah beberapa parameter
membuktikannya (Agustin J, 2009).

2.3 Rumput Vetiver

2.3.1 Definisi dan Deskripsi Rumput vetiver

2.3.1.1 Definisi Rumput Vetiver

Rumput vetiver adalah tanaman tropis sejenis rumput-rumputan berukuran


besar yang memiliki banyak keistimewaan, di Indonesia dikenal sebagai akar
wangi (Vetiveria zizanioides) atau usar (Vetiveria nemoralis). Sedangkan dalam
bahasa daerah dikenal dengan useur (Gayo), urek usa (Minang Kabau), hapias
(Batak), narwasetu atau usar (Sunda), larasetu (Jawa), karabistu (Madura), nausina
fuik (Roti), tahele (gorontalo), akadu (buol), sere ambong (Bugis), babuwamendi
(Halmahera), garamakusu batawi (Ternate), dan baramakusu buta (Tidore). Yang
sering digunakan dalam teknologi rumput vetiver adalah Vetiveria zizanioides,
karena belum banyak penelitian yang membuktikan Vetiveria nemoralis mampu
memberikan keuntungan yang sebanding dengan Vetiveria zizanioides. Ini
mugkin dikarenakan sistem perakaran Vetiveria nemoralis yang lebih pendek
dibandingkan sistem perakaran Vetiveria zizanioides.
Penerapan teknologi rumput vetiver dalam stabilitas lereng atau tebing
jalan sangatlah mudah, praktis dan murah. Ini dikarenakan teknologi ini hanya
membutuhkan tingkat perawatan yang rendah (low maintenance), sangat efektif
dalam konservasi air dan tanah, mengendalikan endapan, menstabilkan dan
merehabilitasi tanah, dan juga ramah lingkungan.

Beberapa Negara yang memanfaatkan rumput retiver adalah Brazil,


India,Vietnam, Haiti, Kepulauan Reunion, Honduras, Guatemala, Meksiko,
Dominika dan Indonesia. Negara yang mengusahakan secara komersial untuk
kepentingan penyulingan hanya Indonesia, khususnya pulau jawa.

2.3.1.2 Deskripsi Rumput Vetiver

2.3.1.2.1 Bentuk Fisik Rumput Vetiver

Kita dapat mengenali rumput vetiver dari beberapa bentuk fisiknya, yaitu :

a. Rumput Vetiver tidak memiliki stolon dan rizoma. Sehingga secara


keseluruhan sistem akarnya dapat tumbuh dengan cepat, pada beberapa
aplikasi, pertumbuhan akarnya dapat mencapai 3 – 4 m pada tahun pertama.
Bahkan ada yang mampu menembus hingga kedalaman 5,2 meter. Perakaran
ini membuat rumput, vetiver memiliki daya tahan yang tinggi terhadap api,
suhu dingin, tekanan udara tinggi, dan efek lalu lintas kendaraan.
b. Memiliki batang yang kaku dan keras, sehingga tahan terhadap aliran air
dalam (0,6 – 0,8 m).
c. Tidak menghasilkan bunga dan biji yang dapat menyebar liar seperti
alangalang atau rerumputan lainnya.
d. Tumbuhnya tegak dengan tinggi 1,5 – 2,5 m .
e. Bila ditanam di lereng-lereng keras dan berbatu, ujung-ujung akar vetiver
mampu masuk menembus dan menjadi semacam jangkar yang kuat. Cara
kerja akar ini seperti besi kolom yang masuk ke dalam menembus lapisan
tanah, dan pada saat yang sama menahan partikel-partikel tanah dengan akar
serabutnya. Kondisi seperti ini dapat mencegah erosi yang disebabkan oleh
angin dan air sehingga vetiver dijuluki sebagai ”kolom hidup”.
f. Jika ditanam berdekatan, membentuk baris/pagar yang rapat. Hal tersebut akan
mengurangi kecepatan aliran, mengalihkan menahan matrial sedimen dengan
tanpa merubah arus air dan dapat menjadi filter yang sangat efektif.

2.3.1.2.2 Karakteristik Teksis Rumput Vetiver

Akar vetiver Kuat tarik dan kuat geser, dengan kuat tarik tinggi
yang berinteraksi dengan tanah akan membentuk komposit. Akar vetiver
memperkuat tanah dengan memindahkan tegangan geser dalam matriks tanah
ke tegangan tarik. Dengan kata lain, kuat geser tanah diperbesar oleh matris
akar. Telah disebutkan bahwa akar vetiver mempunyai kuat tarik rata-rata
cukup tinggi yaitu 75 Mpa atau ± 1/6 dari kuat baja lunak (mild steel).
Jaringan akar yang padat dan massif akan bekerja serempak, mirip soil nailing,
dengan daya penetrasi menembus lapisan keras atau berbatu, akar ini layaknya
soil nail yang hidup. Ketika jaringan akar dibawah yang rapat menyediakan
peningkatan kuat geser yang menghasilkan peningkatan stabilitas lereng,
bagian atasnya, atau batang yang kaku berfungsi seperti penghalang hidup
menahan lumpur/sedimen dalam proses pengendalian erosi. Dengan tingkat
pertumbuhan yang cepat, dapat membentuk pagar yang rapat jika ditanam
berpola. Kemampuan dari baris pagar vetiver sedemikian rupa sehingga tidak
menyebabkan tertimbun dan mati. Dari studi diketahui bahwa kemapuan
menahan lumpur adalah 6-35 kali >dari rumput atau tanaman laninnya
(Agustin J, 2009). Penetrasi akar dari pagar vetiver dengan jarak tanam ± 15
cm dapat meningkatkan kuat geser tanah pada daerah sekitarnya sebesar 50
cm sebesar 90% pada kedalaman 0,25 cm. Peningkatan 39% pada kedalan 0,5
m dan perlahan-lahan menurun 12,5% pada kedalaman 1m (Agustin J, 2009).
Kemampuan penetrasi akar vetiver cukup besar, melalui lapisan yang keras
atau lapisan berbatuan (dengan titik-titik lunak), dan bekerja sebagai paku
tanah (soil nails) atau pasak (dowel) pada kedalaman 2-3 m seperti umumnya
digunakan dalam pendekatan pekerjaan rekayasa stabilisasi lereng (Agustin J,
2009).
2.3.2 Syarat Tumbuh Rumput Vetiver

Pada dasarnya rumput vetiver memiliki beberapa toleransi dalam


pertumbuhannya, yaitu :

a. Membutuhkan ketinggian 500 – 1500 m dpl, dengan curah hujan 500 –


2.500 mm per tahun, dan suhu udara lingkungan 17o – 27oC.
b. Membutuhkan sinar matahari yang cukup dan lahan terbuka. Lahan
yang terbaik adalah tanah berpasir dan daerah aliran gunung berapi.
Meskipun pada lahan yang ekstrim masih mampu tumbuh dengan baik.
c. Waktu penanaman dapat sepanjang tahun, namun yang terbaik pada
awal musim hujan.

2.3.3 Keunggulan Rumput Vetiver

Keunggulan dari rumput Vetiver, yaitu :

a. Tahan terhadap variasi cuaca, seperti : kekeringan panjang, banjir,


genangan dan temperatur - 14º C sampai 55º C.
b. Mempunyai daya adaptasi pertumbuhan yang sangat luas pada berbagai
kondisi tanah, seperti :
- Pada tanah masam (mengandung mangan dan aluminium)
- Pada tanah bersalinitas tinggi dan mengandung banyak natrium
c. Pada tanah yang mengandung logam berat
d. Tahan terhadap rentang pH tanah : 3 – 10.5
e. Yang paling penting adalah teknologi rumput vetiver hanya membutuhkan
biaya yang sedikit dan berkelanjutan. Ditambah lagi biaya perawatannya
yang secara signifikan akan semakin berkurang setelah penanaman pagar
rumput vetiver. Contohnya : Dalam stabilisasi lereng di China pada tahun
1997-1999 dengan teknologi Rumput Retiver mampu memberikan
penghematan dana sebesar 85%-90%.
f. Pagar vetiver adalah pagar yang alami, bagian dari teknik soft Bio-
Engineering yang ramah lingkungan, dimana merupakan alternatif dari
struktur keras dan kaku (beton dan batu).
g. Teknologi Rumput Vetiver sangat baik untuk daerah dengan biaya buruh
rendah. Kelemahan dari Rumput Vetiver , yaitu :
- Teknologi Rumput Vetiver hanya akan efektif apabila Rumput Vetiver
dapat didirikan/ditanam dengan baik.
- Karena pola pertumbuhan vetiver yang tegak lurus atau vertikal
terhadap tanah, maka disarankan penanamannya dikombinasikan
dengan jenis tanaman penutup tanah, seperti bahia, rumput pahit
(carpet grass) atau jenis kacang-kacangan (legume). Sehingga tanaman
penutup tanah tersebut dapat mengurangi percikan dan aliran
permukaan terutama pada awal pertumbuhan vetiver.
- Dinding Vetiver hanya akan berfungsi penuh ketika dinding barisan
vetiver memiliki jarak yang dekat satu sama lain. Jadi harus dilakukan
penanaman ulang pada bagian-bagian dinding rumput yang terpisah.
- Karena vetiver adalah tanaman hidup, sehingga tidak dapat langsung
berfungsi dengan baik dalam menangani erosi permukaan. Tanaman
ini masih memerlukan waktu atau suatu proses yaitu proses
pertumbuhan.
- Sangatlah sulit untuk menanam dan melakukan penyiraman pada
lereng yang tinggi dan bertingkat-tingkat.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Metode penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam menyusun karya
tulis ini ada beberapa metode. Metode yang digunakan diantaranya :
3.1.1 Metode Deskripsi
Metode ini bertujuan untuk membuat pancandraan atau deskripsi
secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta,
proses dan sifat-sifat sesuatu yang di teliti. Yang termasuk
metode ini adalah study kasus, study kolerasi, dan survei. Hasil
penelitian dengan menggunakan metode ini pada umumnya
hanya berupa penjelasan atyau deskripsi tentang konsep dan
variabel yang diteliti.
3.1.2 Metode Kajian Pustaka
Medote Kajian Pustaka dilakukan dengan mengambil referensi
dari internet dan buku-buku ilmiah maupun buku-buku non
ilmiah seperti majalah dan koran.
3.2 Desain Penelitian
Dalam menyusun penelitian penulis memiliki desain penelitian
yang teridiri dari :
3.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ke lokasi kasus ini dilakukan pada :
Hari : Rabu
Tanggal : 2 Desember 2015
Lokasi : Malino, kec. Tinggimoncong, Kab. Gowa
3.2.2 Sasaran Penulisan
Sasaran Penulisan Karya Tulis ini adalah Masyarakat kelurahan
Malino. Tujuannya untuk memberikan pemahaman dan motivasi kepada
masyarakat tersebut dalam melakukan pencegahan tanah longsor di daerah
tempat tinggalnya.
3.4 Tahapan Penulisan
Dalam menulis karya tulis ini, penulis melalui berbagai tahapan yaitu :
3.4.1 Menentukan judul tulisan
3.4.2 Menentukan kerangka tulisan
3.4.3 Merumuskan masalah
3.4.4 Menentukan variabel, sampel, dan populasi penelitian
3.4.5 Melakukan penelitian dan kunjungan lapangan
3.4.6 Menyusun hasil penelitian
3.4.7 Melakukan kajian pustaka
3.4.8 Menulis karya tulis berdasarkan hasil penelitian dan kajian pustaka.
3.4.9 Menentukan Kesimpulan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemanfaatan Rumput Vetiver Sebagai Solusi Pencegahan Tanah Longsor


Pada dasarnya vetiver bekerja dengan menahan laju air run-off dan
material erosi yang terbawa dengan tubuhnya. Daun dan batang vetiver akan
memperlambat aliran endapan yang terbawa run-off dititik A sehingga tertumpuk
di titik B. Air akan terus mengalir menuruni lereng C yang lebih rendah. Akar
tanaman (D) akan mengikat tanah di bawah tanaman hingga kedalaman 3 meter
dengan membentuk “Tiang” yang rapat dan dalam di dalam tanah, akar-akar ini
nantinya akan mencegah terjadinya erosi dan longsor. Pada dasarnya rumput
vetiver akan efektif jika ditanam dalam bentuk barisan yang membentuk pagar.

Vetiver berinteraksi dengan tanah setelah tumbuh, membentuk bahan


komposit yang terdiri dari akar dengan kuat tarik yang tinggi dan melekat pada
tanah yang kuat tariknya lebih kecil. Akar vetiver ini memperkuat tanah dengan
menyalurkan kuat geser (shear stress). Pada saat jaringan akar yang massif dan
padat terbentuk utuh, akan bekerja sebagai paku tanah (soil nails) seperti yang
diharapkan dalam pekerjaan rekayasa sipil. Dengan kemampuan menembus
lapisan keras atau tanah bebatuan (rock), akar vetiver bekerja analogis sebagai
paku tanah yang hidup (living soil nails). Vetiver dapat digunakan dalam
pekerjaan sipil (Agustin J, 2009), mengingat::vetiver mempunyai kekuatan
(strength) yang paling tinggi diantara semua jenis rumput; vetiver memberikan
estetika lebih baik karena bisa berdampingan dengan tumbuhan asli lainnya;
vetiver dapat hidup di tanah yang berpasir dan bersalinitas; baris pagar vetiver
dapat menahan pengikisan dari aliran air (scouring of water flow) hasil dari badai
hujan lebat sebesar 0,028 m3/det ; di tanah keras, akar vetiver hanya dapat
mencapai 1 m, sedangkan pada tanah normal sampai 2-4 m; biaya penanganan
dengan vetiver ± 1/6 – 1/8 dari cara konvensional (stone based engineering) dan
selain itu lebih baik estetika dan lansekapnya. Layaknya barang hidup, tanaman
perlu waktu untuk tumbuh, berkembang, dan mantap sebelum dapat berfungsi dan
bahwa perlu pemeliharaan agar fungsinya dapat bertahan atau berkelanjutan.
Vetiver diklasifikasikan sebagai rumput tapi berprilaku seperti karakteristik
pohon. Jaringan akar vetiver yang massif dan panjang (2-4m) dan sangat cepat
tumbuh (4-6 bulan), lebih baik daripada berbagai pohon lainnya, yang normal
membutuhkan 2-5 tahun agar efektif. Vetiver bukan pengganti bangunan struktur
tapi lebih baik sebagai pendukung. Pada kondisi ekstrem dan kritis, bangunan
struktural dapat dikombinasikan dengan vetiver.

4.2 Efektifitas Penggunaan Rumput Vetiver Dalam Mencegah Terjadinya


Tanah Longsor
Pada konstruksi sipil pengikatan bangunan atau timbunan dilakukan
dengan pemadatan dan pembangunan tembok penahan longsor (tembok penahan
tebing). Pada situasi tertentu pada saat tanah dalam kondisi jenuh air, struktur
kestabilan pada lereng tidak dapat ditahan oleh gravitasi atau tidak terpancang
dengan mantap yang mengakibatkan terjadinya erosi atau longsor. Idealnya, pasak
(jangkar) yang terpasang melalui permukaan yang tidak stabil ke dalam substrat
stabil. Pada mengisian tanah yang dipadatkan untuk timbunan, struktur
permukaan idealnya akan terikat ke dalam ke material yang berada didalam.
Pengikatan ini dilakukan dengan penanaman vetiver dengan akar yang
berkekuatan baja akan menjadi pasaknya. Permukaan dari tanggul, atau potongan
lereng pada pembangunan jalan harus mampu menahan cuaca ekstrim atau
peristiwa banjir selama bertahun-tahun. Dengan dilakukan Teknologi Rumput
Vetiver, yang semakin lama semakin tumbuh dan membesar akan sebagai
pelindung alami yang semakin kuat. Perawatan semakin lama semakin kecil, atau
tidak perlu perawatan jika sudah tumbuh menjadi rumpun yang tinggi dan besar.
Jika dibandingkan, teknologi Konvensional atau 'Hard' solusi, teknis yang cukup
mahal dengan sumber daya intensif. Pada kontruksi yang besar, kontraktor
pelaksana proyek, sering menggunakan tenaga kerja asing yang harus dibayar
mahal dan dengan alat berat yang besar. Biaya mobilisasi material dalam jumlah
besar dengan menghabiskan bahan bakar yang digunakan mengangkut bahan ke
lokasi. Sedangkan, rancang bangun rekayasa 'Soft' atau Bioenginering
menggunakan tanaman dengan karakteristik tertentu yang cocok dilaksanakan
secara manual dengan teknologi sederhana. Pelaksanaannya dapat melibatkan
masyarakat sekitar. Perawatan dapat dilakuan oleh masyarakat sekitar. Dengan
demikian dapat lebih menghemat biaya secara jangka panjang.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis menarik
kesimpulan sebagai berikut:
a. Rumput vetiver adalah tanaman tropis sejenis rumput-rumputan yang
memiliki struktur unggul dalam stabilisasi lereng.
b. Rumput retiver memiliki tingkat keunggulan dan tolerasi yang tinggi jika
dibandingkan dengan tanaman-tanaman atau kayu-kayu lain yang biasa
digunakan dalam stabilitas lereng.
c. Teknologi Rumput Retiver (Bio-engineering) dapat dikatakan jauh lebih
murah jika dibandingkan dengan menggunakan metode Hard solusi yang
mengandalkan bahan-bahan konstruksi yang kaku dan keras.
d. Rumput Vetiver sudah terbukti dalam mengatasi masalah dalam stabilisasi
lereng. Selain itu, bila dikombinasikan dengan menggunakan rumput bahia
(rumput gajah), tingkat erosi pada lereng dapat mencapai 0%. e.
e. Dalam penerapan Teknologi Rumput Vetiver masih memerlukan peran
serta masyarakat sekitar. Karena teknologi ini masih dapat dikatakan baru.

5.2 Saran
Adapun saran untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Saat teknologi rumput retiver ingin dihentikan jangan mencoba untuk
mencabut akar dari rumput ini secara konvensional, karena akarnya dapat
merusak struktur tanah secara keseluruhan.
b. Partisipasi atau peran serta masyarakat sekitar sangat diperlukan dalam
penerapan teknologi ini. Sehingga, penting untuk diadakan pengenalan
mengenai teknologi rumput vetiver baik melalui Workshops maupun
Training Courses.
c. Karena Teknologi Rumput Vetiver ini masih baru di Indonesia, maka
masih belum bisa diterapkan dalam pelaksanaan tender. Sehingga, selama
ini sifatnya hanya memberi masukan kepada pemenang tender sehingga
dapat dipakai atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai