Anda di halaman 1dari 4

Epilog Negeri Hujan

Di negeriku hujan selalu turun setiap hari. Tak peduli siang atau malam. Rintik-rintik air selalu turun
dari langit. Bahkan sejak aku kecil, tak pernah sekalipun hujan tak turun. Hujan membuat orang-orang
lebih banyak diam di rumah. Jujur saja, aku pun lebih baik diam di rumah.
Kau tahu? Hujan di negeriku sangat tak menentu. Terkadang hujan deras atau hanya rintik-rintik kecil,
tetapi kebanyakan hujannya akan cukup membuatmu basah kuyub dan terkena demam. Bisa dibilang hidup
kami bak tumbuhan yang berada di rumah kaca dalam musim salju. Untuk berpergian, orang-orang
menggunakan mobil. Nasib dunia luar? Yang kutahu dari televisi, hewan dan tumbuhan diberikan sebuah
shelter perlindungan. Hal itu perkara cetek bagi pemerintah kami yang sudah canggih. Namun jangan
salah, tak semua hewan dan tumbuhan diurusi. Hanya yang bisa memberikan pasokan untuk kelangsungan
hidup manusia saja yang dipertahankan.
Aku bersekolah dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi tanpa bertemu lasgung dengan pengajarku.
Orang tuaku selalu berkata bahwa jangan buang-buang waktu dengan menerobos hujan hanya demi
bertemu langsung dengan seseorang begitu saja. Menerobos hujan dengan mobil sekalipun adalah hal yang
tabu dan dilakukan pada saat yang sangat penting seperti pemakaman atau pernikahan. Bahkan hal itu
dikategorikan sebagai sebuah kesia-siaan.
“Mengapa tak kita manfaatkan saja teknologi yang kita punya sekarang?” tutur mereka.
Di negeriku sudah sejak lama teknologi berkembang pesat. Membeli sesuatu, klik, langsung diantar
seketika. Jika kau sakit maka mesin akan memindaimu dan memberikanmu obat yang cocok. Pekerjaan
pun turut menjadi jarak jauh. Gambaran surga yang ditawarkan agama hampir sudah tercapai semua.
Walaupun tak terlalu terbebani dengan adanya hujan, tetapi harapan untuk bisa merasakan hari tanpa
hujan masih selalu ada dalam diri sebagian orang di negeriku. Mungkin salah satu motivasi terkuat mereka
adalah ketika melihat film dengan hari tanpa hujan yang begitu menyenangkan dan indah. Bisa berlari
menikmati matahari di tempat terbuka. Maklum, tak ada fasilitas terbuka yang terkait dengan orang-orang.
Lapangan sepak bola, tempat pemakaman, dan lain lain semuanya tertutup. Hal yang bisa kau lihat ketika
menerobos hujan di kiri dan kanan kebanyakan bangunan.
Agenda untuk menghentikan hujan juga sudah menjadi kampanya para calon petinggi negeri.
“Kami akan berusaha mengembangkan teknologi untuk menghentikan hujan.” Begitulah kira-kira
yang disampaikan semua calon. Namun kenyataannya nihil dan lagi mereka berdalih sudah berusaha.
Pintar sekali menambahkan kata berusaha dalam kampanye sebagai tameng dari ketidakbecusan.
***
Cerita tentang hujan di negeriku tak pernah dijelaskan di buku manapun. Hujan ini hanya dianggap
sebagai sebuah fenomena alam tanpa sebab. Penasaran? Tentu saja aku penasaran. Sampai pada satu
minggu yang lalu. Kala itu aku menerobos hujan dengan beralasan pada orang tuaku bahwa aku akan
menghadiri pernikahan seorang kawan. Mereka mengiyakan. Ya, mau bagaimana lagi mereka tak pernah
benar-benar tahu siapa yang menjadi temanku atau bukan. Padahal ini sudah menjadi ritualku beberapa
bulan sekali untuk sekedar menyegarkan pikiran.
Keadaan di luar sangat tak jelas seperti biasa, hujan membuatnya samar. Jika tak ada penerangan
modern mungkin seseorang akan mengalami kecelakaan. Selama menerobos hujan, tak pernah kutemui
seorang pun yang di luar. Namun alangkah terkejutnya aku ketika mendapati sesosok kakek tua dengan
payung di persimpangan jalan. Mobilku langsung kuparkir disamping kakek tua itu. Kubuka kaca jendela
mobilku.
“Kau tahu? Hujan ini menjadi lebih reda ketika kau keluar rumah. Kau harus merasakannya di luar
sini,” kata kakek tua itu, bahkan sebelum aku memulai pembicaraan. Aku hanya diam melihatnya.
Sepertinya ia hanya orang gila.
“Hahaha, negeri ini memang terlampau hebat. Ketika hujan turun pun semuanya tetap berjalan,”
lanjutnya sembari tertawa.
“Maaf kek, tapi hujannya sangat deras. Kakek bisa saya antar pulang kalau mau,” ucapku. Meskipun
dia gila, aku tak tega jika melihat orang tua kedinginan seperti itu.
“Pulang? Apa maksudmu dengan pulang? Kalau kita pulang, hujan tak akan reda,” jawab kakek tua
itu dengan nada agak tinggi. Aku tersentak mendengarnya. Seketika itu, aku dilanda kebingungan.
“Aku ingin seperti dulu.” Tiba-tiba ia berbicara lagi.
“Maksud kakek?” aku bertanya. Pembicaraannya semakin sulit di mengerti.
“Hujan ini,” tambahnya dengan terbata-bata, raut wajahnya tiba-tiba murung.
“Memangnya ada apa dengan hujan ini?” aku semakin penasaran.
“Hari itu aku diam disini. Menunggu untuk menyebrangi jalan. Rasanya hari itu adalah hari yang
sangat sepi. Mobil yang melintas semakin menurun, Orang yang berlalu lalang pun dapat dihitung dengan
jari,” suaranya menjadi pelan, terlihat kakek itu sedang memikirkan sesuatu. “Dan gerimis pun muncul,”
dia tetap melanjutkan. “Membuat jalan ini menjadi lebih sepi lagi. Bahkan istriku tak mau kuajak jalan-
jalan hanya karena gerimis ini.”
Aku tetap memperhatikannya dari dalam mobilku, sementara dia masih di luar ditemani tetesan hujan
yang melewati payungnya dan angin yang menerpa badannya.
“Hingga satu minggu berlalu, gerimis itu tak pernah berhenti dan berlanjut menjadi hujan yang
semakin deras,” kakek tua itu seakan menutup pembicaraannya.
Suara petir menggelegar setelah dia berbicara. Refleks, aku memejamkan mata dan menutup telinga.
Saat kubuka mata kembali, kakek tua itu sudah hilang dari pandanganku. Kutengok sekelilingku, tak ada
tanda tanda darinya lagi. Mungkin dia berlindung di balik bangungan-bangungan itu. Sungguh kakek tua
yang aneh, sepertinya dia kebanyakan menonton film di televisi. Menurut pengamatanku, keadaannya yang
sudah senja dan ditinggal istri memperburuk keadaan psikologisnya.
***
Hari ini aku bangun seperti yang sudah-sudah. Aku melihat keluar jendela. Pagi terlihat sama saja.
Hujan cukup deras. Sebenarnya agak sulit membedakan pagi atau siang di Negeriku, karena sinar matahari
tak terlalu nampak. Mungkin satu-satunya pembeda adalah jam.
Selesai mandi aku menuju ruang keluarga untuk sarapan. Orang tuaku sudah bersiap di sana.
Sandwich terhidang di meja. Menu yang sangat membosankan sejujurnya, tetapi mau bagaimana lagi, bisa
dibilang sandwich adalah hidangan tersehat dan tercepat di negeri ini. Hidangan yang lain membutuhkan
waktu yang lama.
Televisi menayangkan perkembangan teknologi baru lagi. Aku sudah bingung melihatnya, karena
hampir setiap hari selalu saja ada yang baru. Haruskah aku senang? Namun pagi ini ternyata tak sama
seperti biasanya. Tayangan televisi di semua saluran berubah ke sebuah berita. Menurut sumber dari
pemerintahan, wakil pemimpin negeri ini wafat. Sontak, pemberitaan berfokus pada hal tersebut. Dari
mulai pemberitaan tentang penyebabnya yang merupakan serangan jantung hingga jumlah pelayat yang
akan menghadiri pemakamannya sangat banyak. Ini adalah pertama kalinya di negeriku seorang petinggi
negara yang sedang aktif menjabat wafat. Jadi wajar saja jika banyak yang ingin melihat.
Keluarga kami memutuskan untuk menghadiri pemakaman Peristiwa yang tak boleh dilewatkan
begitu saja, mungkin itulah pikiran orang tuaku dan juga orang kebanyakan. Mobil di garasi di siapkan.
Rasanya aku baru melihat lagi orang tuaku mengendarainya.
“TIIID.”
Banyak sekali suara klakson di jalanan. Untuk pertama kalinya sepanjang hidupku jalanan di negeri
ini agak padat. Tak jarang mobil yang kutumpangi berhenti. Aku memandang ke luar, melihat wajah-wajah
baru di dalam mobil yang baru kali ini kulihat, meskipun mobilku belum terlalu jauh dari rumah. Asing,
sangat asing. Namun rasanya ada sesuatu yang ganjil. Bukan, bukan tentang orang-orang itu. Ini tentang
hujan, ya hujan yang kulihat tadi pagi.
“Oh iya Ma, rasanya hujannya tak terlalu deras seperti biasa ya?”
“Ah, perasaan kamu saja mungkin.”
Tak begitu, aku sangat yakin hujan kali ini sangat aneh. Tak deras dan hampir seperti gerimis. Beda
dengan yang kulihat tadi pagi.
“Rrrrr.”
Telepon genggamku bergetar, terdapat sebuah pesan aneh yang membuatku terperanjat. Kulihat
sekelilingku, ternyata orang tuaku juga sedang melihat telepon genggamnya, begitu pula dengan orang-
orang di luar yang kulihat lewat kaca.
Mungkin kau tidak menyadarinya. Namun, aku punya sebuah informasi yang sangat penting. Kau
tahu? Tadi pagi hujan sangat deras sekali. Namun, lihat sekarang hujan jauh lebih reda dari
biasanya. Ya, hal itu tepat setelah wakil pemimpin wafat. Kau pasti tahu apa yang ada di pikiranku.
Teruntuk orang-orang yang masih berharap keindahan hari tanpa hujan, jika wakil pemimpin saja
bisa membuat hujan menjadi seperti ini, maka mengapa tak kita coba mengorbankan pemimpin kita
supaya hujan dapat berhenti? Bukankah pemimpin akan rela berkorban demi rakyatnya?
Bukankah kau selalu menunggu pelangi selama ini?
Seketika itu klakson mobil yang sedari tadi silih ganti berbunyi menjadi hening. Suasana beku saat
itu. Tak lama kemudian, wajah-wajah yang kulihat tadi menyeringai.

Anda mungkin juga menyukai