Sebagai fenomena multidemensi, budaya konstitusi merupakan objek kajian dari berbagai
disiplin ilmu, misalnya ilmu politik dan ilmu hukum. Dalam ilmu politik, budaya konstitusi
dianggap sebagai bagian dari budaya politik dan budaya warga (political and civic culture),
menyangkut perilaku-perilaku konstitusional tertentu. Sementara itu dalam kajian ilmu hukum,
budaya konstitusi dianggap sebagai bagian dari budaya hukum secara umum. Misalnya, Francis
Snyder yang mengatakan bahwa budaya konstitusi merupakan bagian dari budaya hukum secara
umum (the general legal culture). Ketika Lawrence M. Friedman memberikan definisi budaya
hukum pada tahun 1963, Snyder menganggapnya sebagai definisi terbaik tentang budaya hukum.
Menurut Friedman, budaya hukum adalah the values and attitudes which bind the system together,
and which determine the place of the legal system in the culture of the society as a whole (nilai-
nilai dan perilaku yang mengikat suatu sistem secara bersamaan, yang menentukan letak sistem
hukum dalam budaya masyarakat sebagai satu kesatuan). Menurut Gagik Harutyunian, factor
faktor yang menentukan constitutional culture yaitu:
Sementara itu, Nikolay Wenzel memberikan pengertian budaya konstitusi sebagai sebuah tipe
ideologi tertentu sebagai suatu perilaku mengenai pembatasan konstitusional dan
konstitusionalisme, yang di dalamnya mencakup ungkapan-ungkapan yang implisit atau
eksplisit, dinyatakan atau tidak dinyatakan, secara sadar atau tidak sepenuhnya sadar,
pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan norma-norma dari suatu kumpulan tentang
hakekat, ruang lingkup dan dan fungsi pembatasan konstitusiona.
Di samping budaya konstitusi yang reaksioner, hasil perubahan UUD 1945 juga mencerminkan
beberapa karakter budaya konstitusi lain yang positif. Pertama, adanya penegasan prinsip
supremasi konstitusi dalam melembagakan kedaulatan rakyat. Hal tersebut tercermin dalam
Pasal 1 ayat (3), yang menegaskan bahwa: kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar. Ketentuan tersebut merupakan respon dari
ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan di mana ditafsirkan kekuasaan yang
tertinggi ada di tangan MPR (Oie Gezamte Staatgewalt Liergi allein der Majelis). Istilah
“sepenuhnya” menurut para anggota MPR yang terlibat proses perubahan UUD 1945
menimbulkan persepsi bahwa kedaulatan rakyat telah beralih kepada MPR.
Kedua, penekanan pada perluasan jaminan HAM. Perluasan pasal – pasal HAM dalam UUD
1945 didahului dengan dibentuknya Tap MPR No. XVIII/ MPR/ 1998 tentang HAM. Gagasan
dimasukkannya ketentuan HAM yang komprehensif dianggap sesuai dengan kehendak
Indonesia yang menjunjung HAM.
Ketiga, penegasan sistem desentralisasi melalui pemberian otonomi seluas-luas. Pasal 18 UUD
1945 sebelum perubahan dianggap terlalu ringkas mengatur pemerintahan daerah, padahal
masalah daerah khususnya mengenai hubungan pusat daerah sangat besar. Berdasarkan Pasal
18 yang baru (Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B), pengaturan pemerintahan daerah lebih jelas
dan yang paling penting, menghilangkan tafsir dualisme bentuk daerah (otonom dan
administratif), yang diambil berdasarkan Pasal 18 yang lama.
Keempat, Penekanan pentingnya independensi lembaga peradilan dan judicial review, dengan
adanya penegasan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan
keadilan, serta dibentuknya MK
DAFTAR PUSTAKA
Perwira Indra, dkk. 2009. Budaya Konstitusi (Constitutional Culture ) Dalam Uud 1945
Perubahan Dikaitkan Dengan Gagasan Perubahan Kelima Uud 1945. Fakultas Hukum.
Universitas Padjadjaran