Anda di halaman 1dari 12

eISSN: 2549-4198

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809


Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

Ismail
Pascasarjana IAIN Bukittinggi, ismanov_2003@yahoo.com

Diterima: 12 Juni 2017 Direvisi: 20 Juni 2017 Diterbitkan: 30 Juni 2017

Abstract
The study of local custom law and Islamic law in Minangkabau is a media to know how Islamic law and
local custom law contacted. The current development descibed that there was a harmony and contact between
both of them. It created an acculturation in activity of Minangkabau Traditional Inheritance today. This
paper discussed contiguities between Islamic law and custom law in Minangkabau society. Furthermore, the
approach that used in this is library research with content analysis methodology. The research shown that there
are conformity between constancy of Minangkabau people in running custom law and their observance in
implementing the Islamic law. The harmony were established by the traditional philosophy “adat basandi
syarak, syarak basandi Kitabullah, syarak mangato adat mamakai”. That synergy shown that there were
dialogues that reconstructed new Islamic law in the shade of local custom.

Keywords: Minangkabau, custom law, Islamic law, acculturation.

Abstrak
Kajian hukum adat dan hukum Islam di Minangkabau menjadi wacana untuk melihat
bagaimana perjumpaan antara hukum Islam dan hukum adat di Minangkabau. Perkembangan
terakhir menunjukkan adanya harmoni dan interaksi di antara keduanya. Sehingga ada proses
akulturasi dalam menampilkan praktik kewarisan harta pusaka di Minangkabau saat ini. Untuk
itu, penelitian ini akan mengkaji interaksi antara hukum Islam dan hukum adat di masyarakat
Minangkabau dalam tinjauan akulturasi. Paper ini disusun dengan studi kepustakaan. Adapun
metode analisa yang digunakan adalah metode konten analisis. Studi ini menunjukkan bahwa
ada sinergi antara keteguhan dalam menjalankan hukum adat dengan ketaatan untuk
melaksanakan hukum Islam dengan menjadikan falsafah Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi
Kitabullah, Syara’ mangato adat mamakai sebagai dasar bagi penyatuan kedua sistem hukum
yang berbeda tersebut. Akhirnya, perjumpaan hukum adat dan hukum Islam dalam
masyarakat Minangkabau menunjukkan telah terjadi dialog dan merekonstruksi hukum Islam
baru dalam nuansa lokal.

Kata Kunci: Minangkabau, hukum adat, Hukum Islam, akulturasi.

LATAR BELAKANG suku bangsa lainnya di Indonesia. Keunikan


Minangkabau –kini sebagian besar Minangkabau terletak pada sistem sosial
wilayahnya termasuk propinsi Sumatera Barat- materilinialnya. Menurut sistem ini garis
dari segi sosio-kultural memiliki karakteristik keturunan seseorang ditarik dari pihak ibunya.
yang unik dibandingkan dengan suku bangsa- Begitu pula dalam sistem pembagian harta

Ismail 57 Akulturasi Hukum Kewarisan…


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809
Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

pusaka, sawah ladang dan tempat kediaman, Pertama, menurut pespektif tradisional, bahwa
kaum wanita menduduki tempat yang dominan.1 hukum Islam menyajikan sebuah sistem yang
ditakdirkan Tuhan, yang tidak ada kaitannya
Sistem adat Minangkabau yang unik itu dengan berbagai pandangan historis. Menurut
semakin unik dan khas bila dihubungkan dengan pandangan mereka, Alquran dan sunnah Nabi
Islam. Menurut filsafat hidup Minangkabau, telah memberikan uraian rinci tentang segala
tidak ada pertentangan antara adat dan agama. sesuatu. Menurutnya hanya ada satu sumber
Keduanya berjalan seiring tanpa harus terlibat hukum yang darinya aturan-aturan hukum dapat
konflik, karena adat sebagai institusi kebudayaan dikembalikan, dan itulah wahyu tuhan.3 Kedua,
dalam masyarakat mendapat posisi yang selaras perspektif modern, golongan ini berpendapat
dan harmoni dengan agama. Hubungan adat dan bahwa hukum Islam bukan sebagi seperangkat
agama yang demikian itu dengan indah norma yang diwahyukan, melainkan sebagai
diungkapkan dalam pepatah; “Adat basandi syara’, fenomena historis yang berhubungan erat
syara’ basandi Kitabullah. Syara’ mangato adat dengan realitas sosial. Pandangan ini didasarkan
memakai. Camin nan tindak kabua, palito nan tidak karena Islam (baca hukum Islam) tidak turun
padam”. (Adat bersendi syara’, syara’ bersendi terhadap masyarakat yang kosong dari budaya,
Kitabullah. Syara’ menyatakan, adat melainkan terhadap masyarakat yang sudah
mengejewantahkan. Cermin yang tidak buram, memiliki budayanya sendiri. Betapa pun
pelita yang tidak padam).2 masyarakat Arab dikatakan sebagai masyarakat
Pola hubungan antara adat dan agama jahiliyah, mereka memiliki kebudayaannya
yang demikian itu tercapai setelah berlangsung sendiri yang tidak dapat begitu saja diabaikan.
proses islamisasi secara terus menerus dalam Artinya, bagaimanapun budaya tetap memiliki
masyarakat Minangkabau, terutama dengan kaitan dengan wahyu.4
pengenalan ide-ide baru dalam Islam yang
Bila diperhatikan sejarah awal
dibawa oleh orang-orang Minangkabau yang
pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam
kembali dari Mekkah, Medinah, dan Kairo.
akan dijumpai banyak pengakuan hukum Islam
Tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana
terhadap hukum adat yang berlaku. Sebagai
pola hubungan antara adat dan agama tersebut
contoh uang tebusan atau diyat yang harus
berjalan dalam masalah kewarisan, dengan judul
dibayar oleh pihak pelaku pembunuhan
Akulturasi Hukum Kewarisan Islam dengan
terhadap pihak keluarga korban pembunuhan.
Hukum Kewarisan Adat Minangkabau.
Hukum ini telah berlaku di kalangan orang Arab
AKULTURASI HUKUM ISLAM jauh sebelum Islam datang. Hukum ini
DENGAN HUKUM ADAT: SUATU kemudian dikukuhkan oleh Alquran Surat al-
KERANGKA TEORITIS. Baqarah ayat 178 dan An-Nisa’ ayat 92. Contoh
lain adalah Zhihar atau ucapan seorang suami
Paling tidak, ada dua pandangan yang kepada isterinya bahwa isterinya tersebut sama
berbeda tentang pembentukan hukum Islam. dengan ibunya. Menurut adat Arab ucapan

1Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan 3Ahmad Minhaji, Kontribusi Yosep Scach Terhadap

Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Pembentukan Hukum Islam, (Yogjakarta: UII Press. 2000),
Ilmu, 1999), 123. 15.
2Ibid., 124-125. 4Ibid., 16.

Ismail 58 Akulturasi Hukum Kewarisan…


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809
Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

tersebut membuat keduanya tidak boleh lagi kerabat laki-laki terdekat melalui garis laki-laki
melakukan hubungan badan dan selanjutnya (H.R. Bukhari).5
bercerai. Hukum Islam dalam masalah zihar ini,
tidak outomatis menjadikannya bercerai. Hanya, Menurut Nurchalis Madjid dalam
tidak boleh melakukan hubungan badan khasanah Islam, akulturasi timbal balik antara
sebelum membayar denda atau kafarat zhihar, Islam dan budaya lokal ini dia ui oleh Islam.
sebagaimana QS. Al-Mujadalah: 3. Ulama-ulama Ushul Fiqh menyusun sebuah
kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushûl
Bentuk lain dari penerimaan Hukum Al-Fiqih, yang berbunyi, “al’adah muhakkamah”
Islam terhadap hukum adat bangsa Arab adalah, (adat itu dihukumkan) atau lebih lengkapnya,
dengan melakukan perubahan terhadap hukum “Adat adalah syarî‘ah yang dihukumkan.”
adat tersebut sebagiannya. Sebagai contoh Artinya, adat dan kebiasaan suatu masyarakat,
tentang kewarisan. Hukum adat bangsa arab yaitu budaya lokal, adalah sumber hukum dalam
menganut asas kewarisan unilateral sedangkan Islam.6
hukum Islam menganut asas indifidual. Menurut
hukum kewarisan Islam harta warisan harus Dalam ilmu Ushûl Al-Fiqih, budaya lokal
dibagikan kepada indifidu-indifidu yang dalam bentuk adat kebiasaan itu juga disebut
disebutkan dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 7,11,12, ‘‘urf (secara etimologis berasal dari akar kata
dan 176. Namun, bila terdapat sisa harta, yang sama dengan al-ma‘ruf). Karena ‘‘urf suatu
hendaklah diberikan kepada laki-laki terdekat masyarakat, sesuai dengan uraian di atas,
sebagai ashabah. Menurut Amir Syarifuddin, mengandung unsur yang salah dan yang benar
ashabah ini sebenarnya ketentuan dalam adat sekaligus, maka dengan sendirinya orang-orang
masa jahiliyah di masayarakat Arab, dimana yang Muslim harus melihatnya dengan kritis, dan
berhak menerima harta warisan dari yang tidak dibenarkan sikap yang membenarkan
meninggal hanyalah keturunan laki-laki terdekat semata.7
yang dihubungkan kepada pewaris melalui garis
laki-laki. Alquran kemudian memperkenalkan Berkenaan dengan ‘urf ini, Madjid
kewarisan furud yang pada umumnya adalah mengutip Khalaf, menguraikan bagaimana para
perempuan. Dalam hal ini Nabi SAW pembangun mazhab dahulu juga menggunakan
mengambil kebijaksanaan untuk mengakui unsur-unsur tradisi untuk sistem hukum yang
kewarisan adat, tetapi kewarisan menurut furud mereka kembangkan. Kutipan dari keterangan
yang ditetapkan Alquran harus lebih dahulu Khallaf yang panjang lebar terbaca sebagai
dilakukan. Seandainya telah selesai pembagian berikut:
untuk ahli waris yang termasuk dalam ketentuan
furud dan masih ada sisanya, barulah “Oleh karena itulah para ‘ulamâ’ berkata:
diperlakukan kewarisan ashabah. Hal ini sesuai al-‘Âdah syarî‘ah muhakkamah (Adat adalah
dengan hadis Nabi SAW. “Serahkanlah furud-
5Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan
furud itu kepada orang-orang yang berhak.
Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta:
Seandainya masih ada sisanya, berikanlah kepada Gunung Agung, 1984), 371.
6Nurchalis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,

“Sebuah Tela’ah Kritis tentang Masalah Keimanan, dan


Kemoderenan”, (Jakarta: Paramadina, 2005), 550.
7 Ibid., 50.

Ismail 59 Akulturasi Hukum Kewarisan…


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809
Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

syarî‘ah yang dihukumkan). Dan adat kebiasaan Al-Fiqih yang disebut ‘‘urf. Akulturasi yang
(‘‘urf) itu dalam syara‘ harus dipertimbangkan. semacam ini ternyata telah terjadi sejak awal
Imam Malik menyusun hukum-hukumnya atas Islam diturunkan oleh Allah SWT melalui rasul-
dasar praktik penduduk Madinah. Abu Hanifah Nya Muhammad SAW. Muhammad yang
dan para pendukungnya beraneka ragam dalam diturunkan di Kota Mekah mau tidak mau tentu
hukum-hukum mereka berdasarkan aneka berhadapan dengan kultur atau budaya Kota
ragamnya adat kebiasaan mereka. Imam Al- Mekah tersebut. Dari uaraian di atas tampak
Syafi‘i setelah berdiam di Mesir mengubah bahwa ternyata tidak semua yang berlaku di
sebagian hukum perubahan adat kebiasaan (dari Kota Mekah tersebut kemudian dihapus dan
Irak ke Mesir). Karena itu ia mempunyai dua diganti oleh Rasulullah SAW dengan yang baru,
pandangan hukum, yang lama dan yang baru melainkan ada juga yang tetap dipertahankan
(qawl qadîm dan qawl jadîd). Dan dalam fiqih olehnya, seperti masalah kewarisan ashabah.
Hanafi banyak hukum yang didasarkan pada
adat kebiasaan… Karena itu ada ungkapan- TATANAN SOSIAL MASAYARAKAT
ungkapan terkenal, “al-ma‘rûf ‘‘urfan ka al- MINANGKABAU10
masyrûth syarthan, wa al-tsâbit bi al-‘‘urf ka altsâbit bi
Minangkabau atau disingkat Minang
al-nashsh (yang baik menurut adat kebiasaan
merujuk pada entitas kultural dan geografis yang
adalah sama nilainya dengan syarat yang harus
ditandai dengan penggunaan bahasa, adat yang
dipenuhi, dan yang mantap benar dalam adat
menganut sistem kekerabatan matrilineal, dan
kebiasaan adalah sama nilainya dengan yang
identitas agama Islam. Secara geografis,
mantap benar dalam nas).8
Minangkabau meliputi daratan Sumatera Barat,
Menurut Amir Syarifuddin agar adat separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu,
dapat menjadi hukum Islam adalah, (1) adat itu bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara,
bernilai mashlahah dan dapat diterima oleh akal barat daya Aceh, dan Negeri Sembilan di
sehat, (2) adat itu berlaku umum dan merata di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang
kalangan orang-orang yang berada dalam Minang seringkali disamakan sebagai orang
lingkungan adat itu, atau di kalangan sebagian Padang, merujuk pada nama ibu kota provinsi
besar warganya, (3) adat yang dijaikan sandaran Sumatera Barat Kota Padang. Namun, mereka
dalam dalam penetapan hukum itu telah ada biasanya akan menyebut kelompoknya dengan
berlaku pada saat itu, bukan adat yang muncul sebutan urang awak, bermaksud sama dengan
kemudian, (4) adat tersebut tidak bertentangan orang Minang itu sendiri.
dan melalikan dalil syara’ yang ada atau
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih
bertentangan dengan prinsip yang pasti. 9
kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu
Dari uraian di atas tampak bahwa dalam yang tumbuh dan besar karena sistem monarki
khasanah Islam, akulturasi timbal balik antara serta menganut sistem adat yang dicirikan
Islam dan budaya lokal ini diakui dalam suatu dengan sistem kekeluargaan melalui jalur
kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushûl perempuan atau matrilineal, walaupun
budayanya sangat kuat diwarnai ajaran agama
Ibid., 554.
8
9Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: 10https://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangk

Kencana Prenadamedia Group, 2014), 424-425. abau (diakses pada 30 Mei 2017).

Ismail 60 Akulturasi Hukum Kewarisan…


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809
Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

Islam. Thomas Stamford Raffles, setelah Sebelum Islam diterima secara luas,
melakukan ekspedisi ke pedalaman masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis
Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan menunjukan pernah memeluk agama Buddha
Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau terutama pada masa kerajaan Sriwijaya,
adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, Dharmasraya, sampai pada masa-masa
yang kelak penduduknya tersebar luas di pemerintahan Adityawarman dan anaknya
Kepulauan Timur. Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur
kerajaan dengan munculnya Kerajaan
Masyarakat Minang bertahan sebagai Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam
penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-
etnis ini telah menerapkan sistem proto- 16, Suma Oriental masih menyebutkan dari tiga
demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya raja Minangkabau hanya satu yang telah
kerapatan adat untuk menentukan hal-hal memeluk Islam.
penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat
Minangkabau tertuang dalam pernyataan Adat Masyarakat Minangkabau menganut
basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat sistem Matrilineal. Sistem ini menempatkan
bersendikan hukum, hukum bersendikan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris
Alquran) yang berarti adat berlandaskan ajaran harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan
Islam. dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande
(se-ibu), sedangkan ayah mereka disebut oleh
Masyarakat Minang saat ini merupakan masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan
pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
keluar dari agama Islam (murtad), secara
langsung yang bersangkutan juga dianggap Kaum perempuan di Minangkabau
keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya memiliki kedudukan yang istimewa sehingga
disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan
diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir peranan dalam menentukan keberhasilan
timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat, pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat
terutama pada kawasan Pariaman, namun oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai
kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan
yang berada pada pesisir timur juga telah penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar
menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan tersebut menjadikan perempuan Minang
Sungai Kampar maupun Batang Kuantan disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan
berhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Gadang (pilar utama rumah). Walau kekuasaan
Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap
Adat manurun, Syarak mandaki (Adat diturunkan aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga
dari pedalaman ke pesisir, sementara agama pihak perempuan tersebut masih tetap
(Islam) datang dari pesisir ke pedalaman), serta memegang otoritas atau memiliki legitimasi
hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang kekuasaan pada komunitasnya.
Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan
tekun dalam agama Islam, masih tetap
digunakan di dataran tinggi Minangkabau.

Ismail 61 Akulturasi Hukum Kewarisan…


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809
Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

PRAKTEK KEWARISAN HARTA sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya;


PUSAKA DI MINANGKABAU (7) Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami
Untuk melihat bagaimana akulturasi datang ke rumah isterinya; (8) Hak-hak dan
antara hukum kewarisan Islam dengan hukum pusaka diwariskan oleh mamak kepada
kewarisan adat Minangkabau, perlu terlebih kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu
kepada anak saudara perempuan.12
dahulu dilihat praktek kewarisan harta pusaka
Imam Syaukani mengutip Musyair
yang berlaku di Minangkabau. Untuk tujuan ini
Zainuddin, mengemukakan bahwa pada
penulis akan mengemukakan tentang sistem
dasarnya yang menjadi inti dalam sistem
kekerabatan dan sistem pewarisan.
kekerabatan matrilineal Minangkabau adalah
1. Sistem Kekerabatan
suku dan paruik yang diungkapkan dengan
Secara umum sistem kekerabatan yang
kata-kata adat: nagari bakaampek suku, suku
berlaku dalam masyarakat dapat terbagi kepada
tiga macam, yakni patrilineal, matrilineal, dan babuah paruik. Sedangkan yang disebut paruik
bilateral atau parental. Masyarakat hukum yakni ditarik dari garis ibu pertama, turun
patrilineal merupakan masyarakat yang susunan kepada anak-anak ibu berikutnya baik laki-
pertalian darahnya mengikuti garis bapak (laki- laki maupun perempuan. Bila paruik
laki).Contoh : masyarakat Batak. Lampung, berkembang, maka terus berlanjut kepada
Nias, Sumba dan Bali.Sedangkan, Masyarakat keturunan berikutnya yang terbentuk
hukum matrilineal adalah masyarakat yang
susunan pertalian darahnya ditarik menurut garis beberapa jurai sampai dengan 6-8 keturunan
keturunan ibu (wanita). Contoh : masyarakat sepanjang masih dapat diingat ranjinya.
Minangkabau,Semendo Sumatera Selatan dan Semuanya itulah yang dianggap sebagai
Timor.Sedangkan masyarakat hukum parental Keluarga di Minangkabau. Keluarga di
Masyarakat yang susunan pertalian darahnya Minangkabau yang merupakan satu
ditarik menurut garis keturunan orang tua secara persukuan mempunyai tiga elemen pokok,
bersama-sama (ayah dan ibu).Jadi, hubungan
yakni: (1) pimpinan suku (datuk/penghulu);
kekerabatannya berjalan secara sejajar, seimbang,
dan sama tingginya. Untuk menentukan hak-hak (2) anggota-anggota keluarga suku (laki-laki
dan kewajiban seseorang,maka kerabat dari dan perempuan); dan (3) hartanya yaitu sako
pihak bapak sama artinya dengan kerabat pihak dan pusako.13
ibu. Contoh : Jawa, Aceh, Kalimantan dan Dalam sistem kekerabatan matrilineal
Sulawesi. 11 Minangkabau, peranan laki-laki sebagai suami
Dalam masyarakat Minangkabau berlaku di rumah isterinya adalah lemah sekali dan
sistem matrilineal yakni sistem kekerabatan yang
menduduki posisi samping. Ia bukanlah
hubungan keluarga didasarkan pada garis ibu
(perempuan). Sistem kekerabatan matrilineal ini kepala keluarga bagi anak dan isterinya dan
memiliki cirri-ciri: (1) keturunan dihitung menurut rumah yang ditempatinya itu bukanlah
garis ibu; (2) suku dibentuk menurut keturunan rumahnya. Ia tidak dibebani tanggungjawab
ibu; (3) Tiap orang diharuskan kawin dengan ekonomi terhadap anak dan isterinya.
orang luar sukunya (exogami); (4) Pembalasan
dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh
suku; (5) Kekuasaan di dalam suku, “secara 12Muhammad Radjab, Sistem Kekerabatan di
teori” terletak di tangan “ibu” tetapi jarang Minangkabau, (Padang: Center of Minangkabau Studies
sekali digunakan, sedangkan; (6) yang Press, 1969), 15.
13Imam Syaukani, “Respon Ulama dan Hakim

Agama terhadap Fikih Waris dalam Kompilasi Hukum


11Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Islam di Sumatera Barat”, Harmoni, Jurnal Multikultural dan
(Jakarta: Universitas, 1966), 39. Multireligius 9, no.2 (2010): 115-116.

Ismail 62 Akulturasi Hukum Kewarisan…


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809
Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

Kedatangannya di rumah isterinya hanya dibikinkan oleh suami yang meninggal pun
dalam waktu terbatas, sisa dari waktu yang tidak dibagi menurut hukum faraidh, tetapi
dipergunakannya di rumah ibunya. Inilah tetap tinggal pada istri dan anak-anak
yang menyebabkan tidak intimnya hubungan perempuannya. Ini bisa jatuh kepada masalah
ayah dengan anak-anaknya.Sebaliknya yang “mashalihul mursalah” demi menjaga
menjadi figur sentral dalam rumah tangga muruah dan martabat anggota kaum yang
adalah saudara laki-laki dari ibu yang disebut lemah yang perlu dilindungi itu. Perlakuan
mamak. Mamak inilah yang bertanggungjawab penghargaan yang tinggi terhadap perempuan
terhadap kehidupan ekonomi kemenakannya dalam adat dan budaya Minangkabau hanya
dengan harta kolektif yang mereka miliki. bisa tertandingi oleh hukum Islam yang juga
Keberadaannya di rumah kemenakannya itu sangat menjunjung tinggi akan muruah dan
menimbulkan kedekatan hubungan antara martabat wanita.17
mamak dengan kemenakan, hingga komposisi Sebelum agama Islam masuk ke
keluarga secara sederhana dalam bentuk ini Minangkabau seperti itulah sistem pewarisan
adalah anak-ibu-mamak.14 harta yang berlaku. Namun, ketika Agama
2. Sistem Pewarisan Harta Pusaka Islam masuk dan berkembang di
Secara umum sistem pewarisan harta Minangkabau, harta pusaka dan sistem
warisan dalam masyarakat dapat dibagi tiga pewarisannya mulai berubah. Harta pusaka
yakni individual, kolektif, dan majorat. Dalam yang tadinya hanya satu macam saja,
masyarakat Minangkabau berlaku sistem kemudian berubah menjadi dua macam yakni
kewarisan kolektif. Pada sistem kewarisan “harta pusaka tinggi” atau “harta tua” dan
kolektif ini para ahli waris dapat mewarisi “harta pusaka rendah”. Harta pusaka tinggi
harta peninggalan yang tidak dapat dibagi- ialah pusaka yang “didapat dengan tembilang
bagi pemiliknya kepada masing-masing ahli besi, pusaka rendah didapat dengan tembilang
waris.15 Adapun yang menjadi ciri-ciri dari emas”.18 Maksud dari tembilang besi adalah,
sistem kewarisan kolektif ini adalah: (1) harta harta yang diperoleh secara turun temurun
peninggalan diwarisi sejumlah ahli waris yang dari orang-orang terdahulu. Sedangkan
merupakan semacam badan hukum, disebut maksud dari tembilang emas adalah hasil
harta pusaka; (2) harta peninggalan tersebut jerih payah sendiri.
tidak boleh dibagi-bagikan kepemilikannya
Mengenai masalah ini Abdul Karim
oleh ahli waris; (3) harta tersebut hanya boleh
Amarullah, seorang ulama minangkabau yang
dibagi-bagikan pemakaiannya.16
sangat berpengaruh, juga pernah
Menurut Mochtar Naim, secara
sosiologis, bagaimanapun karena ada mengemukakan pendapatnya, bahwa harta
keharusan melindungi kaum yang perempuan warisan di Minangkabau sebenarnya dapat
dalam setting budaya matrilineal itu, maka diklasifikasikan menjadi dua yakni harato tuo
bukan saja tanah dan harta pusaka tinggi
17MochtarNaim, Konflik dan Penyesuaian antara
lainnya yang tidak dibagi, rumah yang
Adat dan Syara’ di Minangkabau, makalah disampaikan
pada Seminar Reaktualisasi ABS-SBK, ICMI Orwil
14Ibid., 116. Sumatera Barat, di Bukittinggi, tanggal 22-23 Januari 2000,
15Soeroyo Wignyodipuro, Pengantar dan Asas- 9.
Asas Hukum Adat, (Jakarta: CV. Haji Mas Agung), 166. 18HAMKA, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta:
16 Imam Syaukani, Respon Ulama…., 117. Penerbit Pustaka Panjimas, 1984), 96.

Ismail 63 Akulturasi Hukum Kewarisan…


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809
Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

dan harta pencaharian. Menurutnya harato tuo di antaranya dengan cara membeli, digadai
adalah harta benda yang asalnya tidak tidak, artinya harta yang ada harus tetap
diketahui. Akan tetapi dikelola oleh para dipertahankan dan tidak boleh digadaikan
sesepuh tiap rumah suku, lalu diwariskan dari atau dipindahtangankan, dimakan sando
suatu generasi ke generasi berikut, dari kakek artinya harta yang ada harus dihemat
buyut kepada kakek, dari kakek kepada sedemikian rupa sehingga tidak dengan
paman, dan dari paman kepada kemenakan, mudah untuk menghabiskannya. Dari
dan seterusnya. Mengenai harta ini, Haji ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa
anak cucu dari suatu keluarga harus selalu
Abdul Karim Amrullah mengatakan hukum
berusaha untuk menambah dan
waris Islam tidak bisa dan tidak dapat
memperbanyak hartanya dan tidak boleh ada
diterapkan sama sekali. Harta tersebut tidak
yang berpikiran dan berusaha untuk
diwariskan kepada anak, isteri, atau pewaris-
menguranginya.20
pewaris lain seperti telah ditetapkan hukum
Islam. Karena, harta tersebut bukan milik
AKULTURASI HUKUM KEWARISAN
orang yang wafat, melainkan ia hanya ISLAM DAN HUKUM KEWARISAN
mengelolanya semasa hidupnya. Harta benda ADAT MINANGKABAU
itu adalah milik suku, bukan milik seseorang Kehadiran agama Islam, termasuk di
anggota tertentu dari suku tertentu.19 dalamnya hukum waris, di Minangkabau tidak
begitu saja dapat diterima oleh masyarakat
Selain dari itu, ada juga yang Minangkabau. Taufiq Abdullah, menjelaskan
menyebutnya dengan “harta bersama”, bahwa pola perjumpaan adat dan Islam di
artinya harta yang diperoleh selama hidup Minangkabau mengalami konflik antara
berumah tangga. Bukan harta hasil warisan keinginan untuk mempertahankan adat dengan
dari orang tua atau pun pemberian orang lain. penerimaan Islam sebagai agama dan jalan
Pusaka rendah dapat menjadi pusaka tinggi, hidup.21 Konflik tersebut sangat terlihat dalam
sedang pusaka tinggi tidak dapat menjadi masalah kewarisan harta pusaka. Persoalannya,
pusaka rendah, kecuali bila adat itu sudah antaralain, karena berbedanya sistem
tidak berdiri lagi. kekerabatan yang dianut oleh Islam dengan yang
Harta pusaka tinggi itu secara logika dianut oleh hukum adat Miangakabau. Adat
lama kelamaan akan selalu bertambah, karena Minangkabau menganut sistem kekerabatan
dalam adat harta pusaka tinggi itu pada matrilineal sementara Islam menganut sistem
prinsipnya tidak boleh diperjualbelikan, kekerabatan parental. Dalam masalah tempat
seperti yang tertuang dalam satu ungkapan tinggal keluarga, adat Minangkabau menetukan
sebagai berikut: dijual tidak, dimakan dibeli, tinggal di rumah yang disediakan isteri
digadai tidak, dimakan sando. Artinya dijual (matrilokal), sedangkan dalam Islam rumah
tidak ialah tidak boleh diperjualbelikan, tempat tinggal keluarga disediakan oleh suami
dimakan dibeli artinya untuk kebutuhan hidup (patri atau neolokal). Dalam ajaran Islam yang
sehari-hari harus dicari dengan usaha sendiri,
HAMKA, 1984. Islam dan…, 98.
20
19Murni Jamal. DR. H. Abdul Karim Amrullah: 21Taufik
Abdullah, “Adat and Islam: An
Pengaruhnya dalam gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Examination of Conflict in Minangkabau”, Indonesia 2,
pada Awal Abad ke-20, (Jakarta: INIS, 2002), 46. (1966): 1 – 24.

Ismail 64 Akulturasi Hukum Kewarisan…


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809
Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

memegang kuasa di rumah tangga adalah ayah, dia bertenggung jawab untuk kebutuhan anak
sedangkan menurut adat Minangkabau adalah dan isterinya, sementara sebagai mamak dia juga
ibu yang didampingi oleh mamak dan ayah memiliki tanggung jawab terhadap
hanya sebagai tamu. Begitu juga tanggung jawab kemenakannya.
rumah tangga, Islam membebankan sepenuhnya Tahap ketiga, tahap ketiga merupakan
kepada ayah, sedangkan adat membebankannya tahap dimana terjadi consensus antara pemuka
kepada ibu atau mamak. adat dan pemuka agama. Konsensus ini lahir
Untuk keluar dari perbenturan dalam setelah terjadinya konflik terbuka antara kaum
bidang sosial budaya ini, hingga tercapai adat dan kaum agama, yang kemudian berakhir
konsensus adat basandi syara’ syarak basandi dengan konsensus antara pemuka adat dan
kitabullah, sebagaimana yang dikemukakan pemuka agama di Bukit Marapalam. Dalam
sebelumnya, ternyata membutuhkan proses yang konsensus itu dirumuskan hasil-hasil yang
cukup panjang. Amir Syarifuddin menge- disebut sebagai Piagam Bukit Marapalam. Isi
mukakan sebagai berikut:22 yang terpenting dari piagam tersebut dan
Pertama, Adat dan hukum Islam berjalan menjadi ciri dari proses penyiaran Islam tahap
sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak ketiga adalah, “Adat basandi syarak, Syara’ basandi
saling mempengaruhi. Dengan arti bahwa kitabullah. Syara’ mangato, adat mamakai”.
masyarakat Minangkabau menjalankan Khusus mengenai kewarisan harta
agamanya dalam bidang aqidah dan ibadah. pusaka di Minangkabau, terdapat konsensus
Sedangkan dalam hal yang menyangkut bahwa harta pusaka tinggi dibagi secara adat dan
kehidupan sosial, adat lama masih tetap berlaku. harta pusaka rendah atau harta pencaharian
Tahap berjalan sendiri-sendiri ini dalam pepatah dibagi berdasarkan hukum Islam atau faraid.
adat dikatakan “Adat bersendi alur dan patut, Konsensus tentang masalah ini, antara lain,
dan syarak bersandi dalil. merupakan kesimpulan seminar hukum adat
Dalam tahap kedua, salah satu pihak Minangkabau yang diadakan di Padang pada
menuntut haknya pada pihak lain hingga Bulan Juli 1968 yang menegaskan bahwa
keduanya sama-sama diperlakukan tanpa pembagian harta warisan orang Minangkabau
menggeser kedudukan yang lain. Hal ini terbagi dua, yakni (a) harta pusaka tinggi yang
tergambar dalam pepatah adat, “Adat basandi diperoleh secara turun temurun dari nenek
syara’, Syarak basandi adat”. Pepatah tersebut moyang menurut garis keturunan ibu, dilakukan
mengandung arti bahwa adat dan syara’ saling menurut hukum adat. (b) Harta pencarian yang
membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan. disebut dengan pusaka rendah diwaiskan
Dalam tahap ini, bangunan lama tetap menurut syara’.23
berlangsung sedangkan bangunan baru diterima
oleh adat. Dalam beberapa hal penyesuaian Adanya pengakuan hukum Islam
dalam bentuk ini memberatkan kepada pihak terhadap hukum adat berdasarkan dalil ‘urf, serta
yang melaksanakannya. Karena, pada waktu penerimaan hukum adat terhadap hukum Islam
yang sama harus mematuhi dua peraturan yang menunjukkan telah terjadi akulturasi antara
berbeda yakni ketentuan adat dan ketentuan kedua sistem hukum tersebut.
Islam. Contohnya adalah bapak, menurut agama
Muhammad Nasrun, Dasar Falsafah Adat
23
22 Amir syarifuddin, Pelaksanaan..., 133-136. Minangkabau, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), 23.

Ismail 65 Akulturasi Hukum Kewarisan…


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809
Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

SIMPULAN momentum bagaimana akulturasi antara Islam


Kehadiran Islam dalam masyarakat dan adat itu terjadi.
Minangkabau merupakan penerimaan nilai yang Pengakuan Islam terhadap hukum adat
sama sekali baru ke dalam budaya yang sudah dengan tetap memperlakukan hukum adat atas
wujud secara mapan. Namun, kehadiran budaya harta pusaka, kemudian penerimaan masyarakat
baru ke dalam budaya yang sudah ada ini tidak adat terhadap hukum islam untuk harta pusaka
meruntuhkan nilai dan tanpa menghilangkan jati rendah atau harta pencarian juga dapat dijadikan
diri asal. Dalam pertemuan dua budaya baru bukti akan terjadinya akulturasi antara kedua
memungkinkan terjadinya ketegangan. Respon sistem hukum ini.
kaum adat terhadap kaum agama tentang harta Adapun dasar penerimaan Islam
pusaka di Minangkabau dalam bentuk terhadap hukum adat adalah ‘urf, yakni adat
penentangan menunjukkan adanya proses kebiasaan yang kemudian dihukumkan.
penerimaan yang cukup pelik. Akan tetapi,
perjanjian Bukit Marapalam merupakan

Ismail 66 Akulturasi Hukum Kewarisan…


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809
Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, Taufik, “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau”, Indonesia 2, (1966):
1 – 24.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999.

HAMKA, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1984.

Jamal, Murni, DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau
pada Awal Abad ke-20, Jakarta: INIS, 2002.

Madjid, Nurchalis, Islam Doktrin dan Peradaban, “Sebuah Tela’ah Kritis tentang Masalah Keimanan, dan
Kemoderenan”, Jakarta: Paramadina, 2005.

Minhaji, Ahmad, Kontribusi Yosep Scach Terhadap Pembentukan Hukum Islam, Yogjakarta: UII Press.
2000.

Naim, Mochtar, Konflik dan Penyesuaian antara Adat dan Syara’ di Minangkabau, makalah disampaikan
pada Seminar Reaktualisasi ABS-SBK, ICMI Orwil Sumatera Barat, di Bukittinggi, tanggal
22-23 Januari 2000.

Nasrun, Muhammad, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.

Radjab, Muhammad, Sistem Kekerabatan di Minangkabau, Padang: Center of Minangkabau Studies


Press, 1969.

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Universitas, 1966.

Syaukani, Imam, “Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fikih Waris dalam Kompilasi Hukum
Islam di Sumatera Barat”, Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius 9, no.2 (2010): 115-
116.

Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta:
Gunung Agung, 1984.

_____________, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.

Wignyodipuro, Soeroyo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: CV. Haji Mas Agung.

https://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau (diakses pada 30 Mei 2017).

Ismail 67 Akulturasi Hukum Kewarisan…


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index
eISSN: 2549-4198
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam pISSN: 2549-3809
Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017

Halaman ini tidak disengaja kosong

Ismail 68 Akulturasi Hukum Kewarisan…


http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/alhurriyah/index

Anda mungkin juga menyukai