Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………….……………1

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….2

1.1. Latar Belakang……………………………………………………………………2

1.2. Rumusan Masalah………………………………………………………………..3

1.3. Tujuan.…………………………………………………………………………..4

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………...5

2.1. Sejarah Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial………5

2.2. Perubahan yang terjadi didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industriak terhadap peraturan perundang-
undangan sebelumnya………………………………………………………………..11

BAB III PENUTUP…...……………………………………………………………..26

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….…….28

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia adalah mahluk social (zoon politicon), yakni maskluk yang tidak
dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain dalam
rangka memenuhi kebutuhannya baik yang bersifat jasmani maupun rohani.1 Dan
untuk memenuhi kebutuhannya, terjalinlah yang dinamakan hubungan industrial
antara pekerja dan pemberi kerja.

Hubungan industrial adalah hubungan yang membahas seluruh aspek dan


permasalahan ekonomi, sosial, politik dan budaya baik secara langsung maupun tidak
langsung berkaitan dengan hubungan pekerja/buruh dengan pengusaha. 2 Lazimnya
hubungan ini didasari oleh kesepakatan antara pihak pengusaha dan pihak karyawan,
maka dari itu setiap permasalahan yang terjadi di tingkat perusahaan dan masalah-
masalah ketenagakerjaan yang timbul harus diselesaikan terlebih dahulu secara
kekeluargaan atau musyawarah. Ruang lingkup hubungan industrial menurut
Heidjrahman adalah “bahwa hubungan industrial secara garis besarnya dibedakan
menjadi dua, yaitu masalah man power marketing dan masalah man power
management”.3

Pengertiannya “perselisihan hubungan industrial” menurut Dewan pimpinan


Pusat Ikatan Perantaraan Hubungan Industrial Indonesia, ialah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya

1
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar
Pengadilan, Jakarta: Rajawali press, 2004, hlm.1
2
Sri Haryani, Hubungan Industrial di Indonesia, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002, hlm.3
3
Sri Haryani, Hubungan Industrial di Indonesia, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002, hlm.3 - 4

2
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu
perusahaan4

Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua perselisihan yang terjadi didalam
hubungan industrial dapat diselesaikan secara musyarawah atau kekeluargaan. Hal ini
disebabkan oleh karena adanya perbedaaan persepsi mengenai berbagai hal yang
berkenaan dengan hubungan kerja atau syarat-syarat kerja lain, sehingga timbulnya
Perselisihan Hubungan Industrial tidak dapat dihindarkan.

Perselisihan didalam hubungan industrial antara pihak-pihak yang terkait


didalam perusahaan mengakibatkan kerugian baik secara materil maupun imateril.
Maka dari itu sejak zaman Hindia Belanda hingga sekarang, Pemerintah Indonesia
telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan. Akan tetapi seiring
perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, banyak timbul permasalahan-
permasalahan baru di dalam hubungan industrial yang menuntut perkembangan
peraturan perundang-undangan untuk menangani permasalahan tersebut.

Maka dari itu, sangatlah penting bagi kita untuk menelusuri lebih dalam
mengenai sejarah perkembangan penyelesaian persilihan hubungan industrial di
Indonesia dan menganalisa perubahan yang terjadi dari setiap peraturan yang telah
dikeluarkan sehingga kita memiliki pemahaman lebih dalam mengenai hal tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
di Indonesia?

4
Muzni Tambusai, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia DPP IPHII, Jakarta
2004, hlm. 11.

3
2. Bagaimana perubahan yang terjadi didalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industriak
terhadap peraturan perundang-undangan sebelumnya?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan ini ialah:
1. Memahami sejarah Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial di Indonesia.
2. Memahami perubahan yang terjadi didalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industriak
terhadap peraturan perundang-undangan sebelumnya.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan dalam Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial

Perkembangan peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang


penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau sengketa perburuhan ,dapat dibagi
menjadi 3 ( Tiga ) bagian atau 3 (tiga) zaman , yaitu zaman sebelum reformasi.
Pembagian ini sekedar untuk memudahkan pemahaman, sehingga didapat penjelasan
yang lebih jelas.

2.1.1. Zaman Sebelum Kemerdekaan

Prof. Iman Soepomo, S.H., dalam bukunya Hukum perburuhan Bidang


Hubungan Kerja mengemukakan bahwa berkenaan dengan perselisihan kepentingan,
mula – mula sebagai akibat dari pemogokan buruh kereta api, hanya diadakan Dewan
Perdamaian ( Verzoeningsraad ) untuk kereta api dan trem di jawa dan madura yang
diatur dalam Peraturan tentang Dewan Perdamaian bagi kereta api dan Trem di jawa
dan madura ( Regeling van de Verzoeningsraad Voor de Spoor en tramwegen op java
en Madoera, regeringsbesluit tanggal 26 Februari 1923,Stbl.1923 No.80, yang
kemudian diganti dengan Stbl. 1926 No.224 ).

Pada tahun 1937, Peraturan tersebut dicabut kembali dan diganti dengan
peraturan yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yaitu Peraturan tentang Dewan
Perdamaian bagi Kereta Api dan Trem di Indonesia ( Regeling van de
Verzoeningsraad Voor de Spoor-en tramwegen in indonesia, regeringsbesluit tanggal
24 November 1937,Stbl.1937 No.31,Stbl.1937 No.624 ). Dewan Pendamai untuk
Kereta Api dan terem ini terdiri atas :

5
 Seorang Ketua
 Seorang atau beberapa orang wakil ketua yang diangkat oleh Gubernur
Jenderal dari Kalangan di luar Perusahaan kereta Api dan Trem.
 Anggota yang ditunjuk oleh Kepala Jawatan Kereta Api.
 Anggota yang ditunjuk oleh Dewan Pengurus dari Persatuan Perusahaan
Kereta Api dan Trem di Indonesia ( Bestuursercommisie van de Vereniging
van Nederlands – Indische Spoor-en Tramwegmaattschappijen )
 2 orang anggota yang ditunjuk oleh Persatuan pegawai Sarjana pada
 Jawatan Kereta Api di Indonesia ( Federatie van gegradueerdeambtenaren bij
de staatsspoorwegen in Nederlands-Indie )
 6 Orang anggota yang ditunjuk oleh Spoorbond.
 2 Orang anggota yang ditunjuk oleh Roomsch Katholieke Bond Van Spoor-en
Tramweg Personeel in Nederlands-Indie”st. Raphael “.
 Seorang anggota yang ditunjuk oleh Vereniging van het Europeesch Personel
der Delispoorweg.
 2 Orang yang ditunjuk oleh Persatuan Pegawai Spoor dan Trem.
 Seorang yang ditunjuk oleh BumiPutera Statsspoor, Tramwegen,
Ombilinmijnen en Landsautomobielddiensten op Sumatera.

Tugas Dewan Pendamai ini ialah memberi perantaraan jika di perusahaan


kereta api dan trem timbul atau akan timbul perselisihan perburuhan yang akan atau
telah mengakibatkan pemogokan atau dengan jalan lain dapat merugikan kepentingan
umum.

Kemudian pada tahun 1939, ditetapkan aturan tentang mengadakan


penyelidikan pada perselisihan perburuhan yang membahayakan (
Voorschriftennopens het instellen van een onderzoek bij ernstige arbeidsgeschillen,
regeringsbesluit, tanggal 20 juli 1939 No.26, Stbl.1939 No.407 ) di perusahaan
swasta di luar perusahaan Kereta Api dan Trem, yang mengatur sebagai berikut :

6
Jika Telah atau akan timbul perselisihan perburuhan yang kan menyangkut
kepentingan umum, maka diadakan penyelidikan dan diusahakan pendamaian oleh
seorang atau beberapa orang pegawai atau panitia yang ditunjukkan oleh direktur
Justisi. Dalam laporan hasil penyelidikan itu sedapat – dapatnya dimuat anjuran –
anjuran bagi pihak – pihak yang berselisih untuk menyelesaikan Perselisihan mereka
menurut ketentuan tertentu.

2.1.2. Zaman Sesudah Kemerdekaan

Pada Zaman sesudah Kemerdekaan 17 Agustus 1945, negara kita ndonesia


telah beberapa kali membuat peraturan perundang –undangan yang mengatur tentang
penyelesaian perselisihan hubungan industrial ( Sengketa Perburuhan ), hal mana juga
telah dikemukakan oleh Prof.Iman Supomo, yaitu sebagai berikut.

a) Instruksi Menteri Perburuhan Tanggal 20 Oktober 1950 No. P.B.U. 1022-


45/U 4091
Sesudah Negara Indonesia menjadi sebuah Negara yang merdeka, maka pada
Tahun 1950 lahirlah Instruksi Menteri Perburuhan tanggal 20 Oktober 1950
No.P.B.U. 1022-45/U 4091 tentang cara penyelesaian perselisihan perburuhan secara
aktif yang bersifat perantaraan ( Mediation ) atau perdamaian ( Conciliation ) dan
jika dikehendaki oleh pihak – pihak yang berselisih, mengadakan pemisahan (
arbitrase,arbitration ).

b) Peraturan Kekuasaan Militer Tanggal 13 Februari 1951 No.1


Dengan adanya pemogokan yang terus – menerus,keamanan dan ketertiban
sangat terganggu. Karena itu dan supaya ada pimpinan sentral, oleh kekuasaan
militer pusat dengan persetujuan Dewan Menteri, ditetapkan Peraturan Penyelesaian
Pertikaian Perburuhan ( Peraturan Kekuasaan Militer tanggal 13 Februari 1951 No.1
). Peraturan ini dengan mengadakan larangan mogok di perusahaan jawatan dan
Badan yang vital, menetapkan aturan supaya pertikaian antara buruh dan pengusaha

7
perusahaan, jawatan dan badan lainnya dapat diselesaikan sedemikian rupa,sehingga
keamanan dan ketertiban tidak terganggu. Perselisihan di perusahaan vital, yang
ditunjuk dengan keputusan kekuasaan militer pusat tanggal 13 Februari 1951 No.1,
diputuskan secara mengikat oleh Panitia Penyelesaian Pertikaian Perburuhan yang
terdiri atas menteri perburuhan sebagai ketua dan sebagai anggota Menteri
perhubungan, Menteri Perdagangan dan Perindustrian, Menteri Keuangan dan
Menteri Pekerjaan Umum. Perselisihan di perusahaan yang tidak vital, diselesaikan
secara mendamaikan ( Conciliator ) oleh instansi Penyelesaian pertikaian perburuhan
didaerah yang terdiri atas wakil Kementerian Perburuhan sebagai ketua dan sebagai
anggota wakil kementeri dalam negeri, Wakil Kementerian Keuangan, Wakil
Kementerian Pekerjaan Umum dan wakil Kementerian Perhubungan. Jika usaha
instansi ini tidak berhasil, persoalannya harus diajukan kepada panitia penyelesaian
pertikaian perburuhan yang memberi anjuran terakhir.

c) Undang – undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tanggal 17 September 1951.


Pada tahun 1951 itu juga, sebagai pengganti Peraturan Kekuasaan Militer
Pusat tentang penyelesaian pertikaian perburuhan ditetapkan Undang – Undang
Darurat tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan ( Undang – Undang Darurat
Nomor 16 Tahun 1951 tanggal 17 September 1951 ), yang menurut penjelasannya
“meskipun belum sempurna,tetapi sesudah merupakan perbaikan yang banyak, jika
dibandingkan dengan peraturan kekuasaan militer itu”. Menurut undang – undang
darurat ini perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau
perserikatan majikan dengan perserikatan buruh atau sejumlah buruh berhubungan
dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja dan/atau keadaan
perburuhan. Pertentangan berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham
mengenai hubungan kerja atau perjanjian perburuhan, dengan perkataan lain adalah
perselisihan hak, yang menurut Reglement op de Rechterlijke organisatie en het
beleid der justitie jo. Undang – Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang
tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara

8
pengadilan sipil,masuk wewenang Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, pertentangan
soal perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan, majikan atau serikat buruh dapat
memajukannya pula kepada Pengadilan Negeri, di samping perkaranya diurus panitia
yang diadakan oleh Undang – Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tersebut.
Buruh perseorangan sebaliknya hanya dapat mengajukan perkara mengenai soal
perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan itu kepada pengadilan negeri,tidak dapat
diajukan kepadapanitia penyelesaian perselisihan perburuhan. Keistimewaan dari
Undang – Undang darurat ini ialah bahwa jika majikan dan serikat buruh tidak
mengadakan pemisahan secara sukarela,yaitu menyerahkan perkaranya kepada
seorang juru pemisah atau sebuah dewan pemisah untuk diselesaikan ( Voluntary
arbitration ) perselisihannya akan diselesaikan oleh instansi tersebut dalam undang –
undang darurat itu (Compulsory arbitration ). Demikian itu bila pihak – pihak yang
berselisih atau salah satu dari mereka itu memberitahukannya kepada pegawai
perantara. Keharusan untuk memberitahukan itu, tidak ada sanksinya. Keistimewaan
lainnya ialah bahwa tidak tunduk kepada putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat yang sifatnya mengikat, diancam dengan pidana kurungan selama –
lamanya tiga bulan atau denda sebanyak – banyaknya sepuluh ribu rupiah ( Pasl 18
angka 3 ) Undang – Undang darurat tersebut acapkali mendapat kecaman dari pihak
serikat buruh karena dipandangnya sebagai peraturan pengekangan hak mogok,
karena :
 Pihak yang hendak melakukan tindakan terhadap pihak lainnya, harus
memberitahukan maksudnya itu dengan surat kepada Panitia daerah.
Tindakan itu baru boleh dilakukan secepat – cepatnya tiga minggu
sesudah pemberitahuan itu diterima oleh Panitia Daerah. Pelanggaran
atas ketentuan ini diancam dengan Pidana.
 Putusan Panitia Pusat yang sifatnya mengikat,harus ditaati.
Pelanggaran atas ketentuan ini juga diancam dengan pidana.
Rangkaian kedua ketentuan ini tidak memungkinkan serikat buruh

9
untuk menekankan atau memaksakan kehendaknya kepada pihak
majikan dengan jalan mengadakan pemogokan tanpa ancaman pidana.

Kecaman – kecaman itulah yang terutama mendorong dicabutnya Undang –


Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 dan digantinya dengan Undang – Undang
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan ( Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1957 tanggal 8 April 1957 LN 1957 No.42 ).

d) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang – Undang Nomor 12


Tahun 1964
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan itu mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 1958. Yang sangat penting dalam
undang – undang ini ialah perubahan susunan panitia penyelesaian yang dipusat tidak
lagi terdiri atas materi – materi dan di daerah tidak lagi terdiri atas semata – mata
pegawai – pegawai wakil kementerian, tetapi sekarang terdiri atas :
 Lima orang wakil Kementerian, yaitu seorang Wakil Kementerian
perburuhan sebagai ketua, wakil – wakil darI kementerian
Perindustrian, Kementerian Keuangan , Kementerian Pertanian dan
Kementerian Perhubungan atau Kementerian Pelayaran.
 Lima Orang dari kalangan Buruh.
 Lima Orang dari kalangan majikan.

Dengan adanya badan tripartit ini diharapkan bahwa dalam penyelesaian


perselisihan perburuhan akan lebih dapat dipertimbangkan dan diperimbangkan
kepentingan buruh, kepentingan majikan dan kepentingan umum sebagai kepentingan
bersama, terutama bila perselisihan itu mengenai syarat kerja dan/atau keadaan
perburuhan (perselisihan kepentingan).

10
2.1.3. Zaman Reformasi ( Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 )
Setelah kurang lebih 46 Tahun lamanya Undang – Undang Nomor 22 Tahun
1957 dan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1964 berlaku, baru pada tahun 2004 (
zaman reformasi ) diganti Undang – Undang Nomor 2 Tahum 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang efektif mulai berlaku pada tahun
2006 dengan adanya Perpu No.1 Tahun 2005 ( untuk selanjutnyadisingkat UUPPHI ).

2.2. Perubahan yang terjadi didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004


Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terhadap
peraturan perundang-undangan sebelumnya.

Berdasarkan paparan pada pembahasan sebelumnya, dapat kita ketahui bahwa


didalam penyelesaian persilisihan hubungan industrial di Indonesia yang menjadi
acuan sekarang ini adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

UU 2/2004 dipandang perlu dikeluarkan karena UU 22/1957 dipandang sudah


tidak sesuai dengan perkembangan hubungan industrial yang terjadi di era sekarang
ini. Dapat kita temukan beberapa perubahan yang terjadi didalam peraturang
perundang-undangan terbaru antara lain sebagai berikut :

2.2.1. Pihak-Pihak Yang Berselisih


Pada UU Darurat 1951 dan UU no. 22 Tahun 1957 hanya dikenal 2 pihak
yang dapat berselisih didalam hubungan industrial yaitu :
a. Pihak Buruh; ialah barangsiapa bekerja pada majikan dengan menerima upah;
b. Pihak Majikan; ialah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh;

Akan tetapi, pada UU no. 2 Tahun 2004, pihak-pihak yang bersilih pun
pengelompokannya dibuat lebih spesifik sebagai berikut :
a. Pekerja / Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.

11
b. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentukdari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
c. Pengusaha adalah :
 orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
 orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
 orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada
di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
d. Perusahaan adalah :
 setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik
 badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
 usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain.
 dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perubahan


didalam pihak-pihak yang dapat berselisih didalam hubungan industrial. Apabila pada
UU 22/1957 hanya terdapat dua pihak yang berselisih yaitu antara majikan dan buruh,
akan tetapi pada UU 2/2004 mengikut perkembangan zaman perselisihan dapat
terjadi antara pekerja dan pengusaha maupun antar sesama serikat pekerja.

12
2.2.2. Jenis-Jenis Perselisihan
Pada Undang-Undang Darurat 1951 dan UU no. 22 Tahun 1957 yang
dimaksud dengan perselisihan hubungan industrial adalah perselisihan perburuhan,
ialah pertentangan antara majikan atau perserikatan majikan dengan perserikatan
buruh atau sejumlah buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian faham
mengenai hubungan kerja dan/atau keadaan perburuhan. Dan dapat dikategorikan
sebaiagi berikut :
a. Dari pihak majikan : menutup perusahaan atau menolak buruh untuk
menjalankan pekerjaan, sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan
dengan maksud untuk menekan atau membantu majikan lain menekan,
supaya buruh menerima suatu syarat dan/atau keadaan perburuhan.
b. Dari pihak buruh: secara kolektif menghentikan pekerjaan atau
memperlambat jalannya pekerjaan, sebagai akibat perselisihan
perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk menekan atau membantu
golongan buruh lain menekan supaya majikan menerima hubungan kerja,
syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan.

Dapat kita lihat bahwa pada UU 22/1957 tidak dikenal pengelompokan jenis
perselisihan sehingga Panitia Daerah dan Panitia Pusat dapat menangani semua jenis
perkara perselisihan hubungan industrial.

Sedangkan Pada pada UU 2/2004 yang dimaksud dengan Perselisihan


Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dan dapat dikelompokkan menjadi :

a. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya


hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap

13
ketentuan peraturan perundangundangan, perjanjian kerja, peraturan
perusa-haan, atau perjanjian kerja bersama.
b. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan,
dan/atau perubahan syaratsyarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian
kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh denganserikat pekerja/serikat buruh lain
hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham
mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikatpekerjaan.

Pengelompokan diatas berpengaruh pada wewenang dan kompetensi


Peradilan Hubungan Industrial yang terbatas pada :

a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;


b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

2.2.3. Proses Penyelesaian Hubungan Industrial


Pada UU no. 22 Tahun 1957 Perselisihan hubungan industrial dapat
diselesaikan melalui tahapan seperti berikut :
a. Perundingan Bipartit, yaitu perundingan antara kedua belah pihak majikan
dan buruh.

14
b. Melalui Juru Pemisah, apabila tidak tercapai kesepakatan maka atas
kehendak mereka sendiri atau atas anjuran dari Pegawai atau Panitia
Daerah yang memberikan perantaraan , dapat menyelesaikan perselisihan
mereka melalui juru pemisah atau dewan pemisah dengan langkah
sebagai berikut :
 Dinyatakan dengan surat perjanjian antara kedua belah pihak
dihadapan pegawai atau panitia daerah tersebut dan menerangkan
pokok-pokok persoalan, nama-nama pengurus atau wakil serikat
buruh dan majikan, siapa yang ditunjuk menjadi juru pemisah,
bahwa kedua belah pihak akan tunduk kepada putusan yang akan
diambil oleh juru pemisah, dan hal-hal yang perlu untuk
melancarkan pemisahan.
 Penunjukan juru pemisah harus didasarkan oleh persetujuan kedua
belah pihak, dan pegawai atau panitia daerah dapat ditunjuk
sebagai juru pemisah.
 Putusan juru pemisah yang telah disahkan oleh panitia pusat akan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap sebagai putusan panitia
pusat.
 Panitia pusat dapat menolak pengesahan keputusan juru pemisah
apabila utusan tersebut melampaui kekuasaan atau kewenangan
juru pemisah, terdapat itikad buruk dalam putusan tersebut atau
bertentangan dengan Undang-Undang dan ketertiban umum.
 Putusan juru pemisah tidak dapat dimintakan pemeriksaan ulang.
 Putusan juru pemisah yang telah disahkan oleh panitia pusat dapat
dijalankan dengan meminta Pengadilan Negeri sesuai dengan
daerah hukum kedudukan para pihak agar putusan tersebut dapat
dijalankan.

15
 Sesudah dinyatakan dapat dijalankan oleh Pengadilan Negeri,
maka putusan itu dilaksanakan menurut aturan-aturan yang biasa
untuk menjalankan perkara perdata.
c. Penyelesaian Tingkat Daerah dilaksanakan apabila tidak tercapai
kesepakatan dalam perundingan bipartit dan kedua belah pihak tidak
bermaksud untuk menyerahkan perselisihan mereka dengan Juru/Dewan
Pemisah. Adapun langkah penyelesaian ditingkat daerah adalah sebagai
berikut:
 Kedua belah pihak mengirimkan surat pemberitahuan kepada
pegawaidaerah untuk memberikan perantaraan guna mencari
penyelesaian dalam perselisihan tersebut.
 Satu Pegawai akan mengadakan penyelidikan dan perantaraan
kepada kedua belah pihak tentang duduknya perkara paling lambat
7 hari hari setelah surat tersebut diterima.
 Jika pegawai berpendapat bahwa perselisihan tersebut tidak dapat
diselesaikan olehnya, maka perkara tersebut akan diserahkan ke
Panitia Daerah dengan memberitahukan kepada pihak-pihak yang
berselisih.
 Menteri Perburuhan membentuk panitia-panitia penyelesaian
perselisihan tingkat daerah yang terdiri dari:
i. Wakil Kementerian Perburuhan (sebagai ketua merangkap
anggota),
ii. Wakil Kementerian Perekonomian, Wakil Kementerian
Keuangan,
iii. Wakil Kementerian Pertanian, Wakil Kementerian
Perhubungan,
iv. Lima orang perwakilan buruh,
v. Lima orang perwakilan pengusaha

16
 Panitia Daerah kemudian melakukan perantaraan terhadap kedua
belah pihak segera setelah menerima penyerahan perkara dan
memimpin perundingan atas perkara tersebut kearah mencapai
penyelesaian secara damai.
 Persetujuan yang tercapai mempunyai kekuatan hukum sebagai
perjanjian perburuhan.
 Panitia Daerah berhak memberikan putusan yang berupa anjuran
kepada pihak yang berselisih supaya mereka menerima suatu
penyelesaian tertentu.
 Panitia Daerah berhak memberikan putusan yang sifatnya
mengikat apabila perselisihan tersebut sukar dapat diselesaikan
dengan putusan yang bersifat anjuran. Putusan tersebut dapat
mulai dilaksanakan bila terhadapnya dalam kurun waktu 14 hari
tidak dimintakan pemeriksaan ulang pada Panitia Pusat.
 Jika dipandang perlu, untuk melaksanakan putusan panitia daerah
yang bersifat mengikat maka oleh pihak yang bersangkutan dapat
dimintakan kepada Pengadilan Negeri supaya putusan tersebut
dapat dijalankan. Setelah dinyatakan dapat dijalankan oleh
Pengadilan Negeri, maka putusan tersebut dilaksanakan menurut
aturan yang biasa untuk menjalankan perkara perdata.
d. Penyelesaian Tingkat Pusat, terhadap putusan panitia daeragh yang
bersifat mengikat, kecuali putusan itu itu mengenai soal-soal yang bersifat
lokal, maka salah satu pihak yang berselisih dapat memintakan kepada
Panitia Pusat untuk melakukan pemeriksaan ulang dalam kurun waktu 14
hari. Panitia Pusat juga dapat menarik suatu perselisihan perburuhan dari
tangan pegawai/panitia daerah untuk diselesaikan apabila perselisihan
tersebut dipandang dapat membahayakan kepentingan negara/umum

17
dengan memberitahukan kepada pegawai/panitia daerah dan pihak-pihak
yang berselisih. Berikut langkah penyelesaian di tingkat pusat :
 Panitia tingkat pusat dibentuk oleh Dewan Menteri dengan surat
keputusan Presiden, atas usul Menteri Perburuhan dan terdiri dari :
i. Seorang wakil Kementerian Perburuhan merangkap ketua
ii. Seorang wakil Kementerian Perekonomian
iii. Seorang wakil Kementerian Keuangan
iv. Seorang wakil Kementerian Pertanian
v. Seorang wakil Kementerian Perhubungan
vi. Lima orang perwakilan buruh
vii. Lima orang perwakilan pengusaha
 Putusan Panitia Pusat bersifat mengikat dan dapat mulai
dilaksanakan apabila dalam kurun waktu 14 hari Menteri
Perburuhan tidak membatalkan atau menunda pelaksanaan putusan
tersebut.
 Jika perlu untuk melaksanaka putusan panitia pusat dapat
dimintakan pada Pengadilan Negeri di Jakarta supaya putusan
tersebut dapat dijalankan. Setelah dinyatakan demikian, maka
pelaksaan putusan tersebut dilaksanakan menurut aturan-aturan
yang biasa untuk menjalankan perkara perdata.
 Menteri perburuhan melaluia perundingan dengan Menteri-Menteri
yang kementeriannya mempunyai wakil dalam panitia pusat dapat
membatalkan atau menunda pelaksanaan putusan Panitia Pusat
apabila dipandang perlu untuk memelihara ketertiban umum dan
melindungi kepentingan negara.
 Keputusan yang diatur sebagai akibat dari pembatalan atau
penundaan tersebut dapat dilaksanakan sebagai putusan panitia
pusat.

18
e. Enquete dapat diadakan apabila Panitia Pusat/Daerah tidak mempunyai
cukup keterangan atau bahan yang dianggap perlu dalam pengambilan
putusan, ataupun apabila dipandang perkara tersebut dapat membahayakan
kepentingan umum dan negara. Dan selama diadakan enquete pihak-pihak
yang berselisih tidak dapat mengambil tindakan.

Melalui paparan diatas dapat dilihat bahwa didalam UU 22/1957, campur


tangan pemerintah merupakan suatu keharusan ketika tidak tercapai persetujuan
dalam perundingan bipartit di internal perusahaan dan kedua belah pihak tidak
berkehendak untuk menyelesaikan perselisihannya melalui juru pemisah.

Sedangkan Pada pada UU no. 2 Tahun 2004 Perselisihan hubungan industrial


dapat diselesaikan melalui tahapan seperti berikut :

a. Perundingan Bipartit, dilakukan melalui perundingan kedua belah pihak


dan harus didokumentasikan melalui risalah yang ditandatangani oleh para
pihak. Apabila tercapai kesepakatan, maka akan dibuat Perjanjian
Bersama yang disepakati oleh para pihak dan menjadi hukum yang harus
dilaksanakan oleh para pihak dan dapat dimintakan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
perjanjian bersama didaftarkan.
b. Apabila tidak tercapai kesepakatan didalam perundingan Bipartit, maka
dengan persetujuan kedua belah pihak dapat dilibatkan pihak ketiga untuk
menangani perkara perselisihan tersebut melalui :
 Mediasi, dilakukan oleh mediator yang berada disetiap kantor
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota dengan langkah sebagai berikut :
i. Dalam kurun waktu 7 hari setelah menerima berkas
penyerahan perkara, mediator harus sudah melakukan

19
penelitian tentang duduknya perkara dan mengadakan
sidang mediasi.
ii. Mediator dapat memanggil saksi dan saksi ahli guna
memutuskan penyelesaian perkara tersebut.
iii. Apabila tercapai kesepakatan, maka akan dibuat perjanjian
bersama yang ditandatangani para pihak serta didaftarkan
di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
untuk mendapatkan akta pendaftaran.
iv. Apabila tidak tercapai kesepakatan maka mediator dapat
mengeluarkan anjuran tertulis dan dalam kurun waktu 10
hari kerja setelah sidang mediasi pertama, anjuran tersebut
harus diserahkan kepada para pihak.
v. Para pihak harus sudah memberikan jawaban atas
persetujuan ataupun penolakan atas anjuran tersebut dalam
10 hari kerja setelah anjuran tersebut diterima.
vi. Apabila anjuran tersebut disetujui maka akan dibuatkan
perjanjian bersama oleh mediator dan didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
vii. Apabila anjuran tersebut ditolak oleh salah satu pihak atau
para pihak, maka dapat melanjutkan penyelesaian
perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Setempat.
 Konsiliasi, para pihak mengajukan permintaan penyelesaian
secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati
oleh para pihak. Adapun langkah-langkah penyelesaian melalui
konsiliator adalah sebagai berikut :

20
i. Dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor
instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
ii. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan
secara tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-
lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan
sidang konsiliasi pertama.konsiliasi pertama.
iii. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui konsiliasi, maka dibuat
Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak
dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran.
iv. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi,
konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis yang dalam
waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja harus
sudah disampaikan kepada para pihak. Dan para pihak
harus sudah memberikan jawaban secara tertulis dalam
waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah
menerima anjuran tertulis;
v. Apabila anjuran tersebut disetujui maka akan dibuatkan
perjanjian bersama oleh mediator dan didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

21
vi. Apabila anjuran tersebut ditolak oleh salah satu pihak atau
para pihak, maka dapat melanjutkan penyelesaian
perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Setempat.
 Arbitrase adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan. Berikut prosesnya :
i. Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial harus arbiter yang telah ditetapkan
oleh Menteri. Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh
wilayah negara Republik Indonesia.
ii. Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter
tunggal, maka para pihak harus sudah mencapai
kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja tentang nama arbiter dimaksud.
iii. Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa
arbiter (majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak
berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga
ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat
sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
iv. Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian
penunjukan arbiter.

22
v. Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah penanda-
tanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
vi. Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk
memperpanjang jangka waktu penyelesaian perselisihan
hubungan industrial 1 (satu) kali perpanjangan selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
vii. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter
harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah
pihak yang berselisih.
viii. Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib
membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para
pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter.
ix. Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan
sidang arbitrase.
x. Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan,
keadilan dan kepentingan umum.
xi. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan
putusan yang bersifat akhir dan tetap.
xii. Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.
xiii. (1) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat
mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah

23
Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter.
c. Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri. Pengadilan
Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada
lingkungan peradilan umum.
 Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus :
i. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
ii. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan;
iii. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan
hubungan kerja;
iv. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
 Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.
 Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan
akhir dan bersifat tetap.
 Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan
permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
d. Mahkamah Kasasi di Mahkamah Agung, Salah satu pihak atau para pihak
yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara

24
tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi
harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah
Agung.
 Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan
dua orang Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili
perkara perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung
yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
 Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan
hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi.

Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada UU 22/2004,


terdapat perubahan didalam proses penyelesaian perselisihan hubungan
industrial ditunjukkan dengan dihapuskannya lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, yaitu Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (P4) balk di tingkat Daerah maupun Pusat, dan menggantikannya
dengan suatu pengadilan khusus hubungan industrial, yaitu Pengadilan
Hubungan Industrial.

25
BAB III

PENUTUP

Undang-Undang no. 2 Tahun 2004 dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa


Undang-Undang no. 22 Tahun 1957 sudah tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Terdapat banyak perubahan yang terjadi seperti :

a. Pihak yang dapat berselisih:


 Pada UU 22/1957 pihak yang berselisih hanya antara Majikan dan
Buruh
 Pada UU 2/2004 pihak yang berselisih dapat berupa antara Pekerja dan
Perusahaan serta antar Serikat Pekerja
b. Jenis Perselisihan
 Pada UU Pada UU 22/1957 dikenal 2 penyebab atau jenis perselisihan
yaitu:
i. Dari pihak majikan : menutup perusahaan atau menolak buruh
untuk menjalankan pekerjaan, sebagai akibat perselisihan
perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk menekan atau
membantu majikan lain menekan, supaya buruh menerima
suatu syarat dan/atau keadaan perburuhan.
ii. Dari pihak buruh: secara kolektif menghentikan pekerjaan atau
memperlambat jalannya pekerjaan, sebagai akibat perselisihan
perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk menekan atau
membantu golongan buruh lain menekan supaya majikan
menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan
perburuhan.
 Pada UU Pada UU 22/1957 dikenal 4 penyebab atau jenis perselisihan
yaitu:
i. perselisihan hak;

26
ii. perselisihan kepentingan;
iii. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
iv. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan.
c. Proses Penyelesaian hubungan industrial
 Pada UU 22/1957 dapat kita lihat bahwa campur tangan pemerintah
dalam proses penyelesaian hubungan industrial jelas terlihat ketika
tidak tercapainya kesepakatan antara majikan dan buruh pada
perundingan internal. Campur tangan tersebut dibuktikan dengan
adanya Panitia Daerah dan Panitia Pusat dalam proses penyelesaian
tersebut.
 Pada UU 2/2004 proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dikembalikan kepada pihak yang berselisih, hal ini dibuktikan dengan
dihapusnya panitia daerah dan panitia pusat dalam proses tersebut dan
digantikan dengan Pengadilan Hubungan Industrial (Litigasi).

27
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan


Diluar Pengadilan, Rajawali press, Jakarta 2004.

Muzni Tambusai, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia


DPP IPHII, Jakarta 2004.

Sri Haryani, Hubungan Industrial di Indonesia, UPP AMP YKPN, Yogyakarta,


2002.

Ugo. Pujiyo. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.


Jakarta: Sinar Grafika 2011.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial.

28
29

Anda mungkin juga menyukai