Anda di halaman 1dari 8

GABUNGAN

1. definisi

Kata 'euthanasia' berasal dari kata Yunani euthanatos yang berarti 'kematian mudah'.1 Secara
umum kata ini digunakan untuk menggambarkan proses pengakhiran hidup seseorang dengan
sengaja untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan mereka.2 Eutanasia tidak hanya dicari oleh
mereka yang menderita karena menyiksa. rasa sakit, tetapi karena alasan lain seperti perubahan
kualitas hidup akibat cedera fisik yang parah dan faktor psikologis yang terkait dengan penyakit
yang tidak dapat disembuhkan.1

Sumber : Australian Human Rights Commission, Euthanasia, human rights and the law, Issue
Paper, 2016.

Beberapa mengatakan hak untuk mati, kematian yang baik, bunuh diri yang rasional, bantuan
dalam kematian, dan pembebasan penuh belas kasihan semuanya eufemisme untuk kemungkinan
membunuh atau membantu individu untuk bunuh diri. Physician Assisted-Suicide (PAS) dapat
didefinisikan sebagai berikut: "Ketika seorang dokter menyediakan peralatan atau obat, atau
menginformasikan pasien bahwa tata cara pengobatan yang paling memungkinan sudah tidak ada,
untuk tujuan tersebut membantu pasien untuk mengakhiri hidupnya sendiri ”. American Geriatrics
Society (AGS), juga mendefinisikan euthanasia aktif sukarela sebagai “ketika atas permintaan
pasien, seorang dokter yang mengelola obat atau perawatan, yang tujuannya adalah untuk
mengakhiri hidup pasien”

Sumber : Lachman, V., Physician-Assisted Suicide: Compassionate Liberation or Murder?,


MEDSURG Nursing, 2010, Vol. 19, No. 2.

2. Kaidah bioetik euthanasia


Dalam KUHP yang berkaitan dengan euthanasia yaitu KKUHP Bab XIX Kejahatan terhadap
nyawa pasal 344, dapat dipaparkan sebagai berikut: BARANG SIAPA MERAMPAS NYAWA
ORANG LAIN ATAS PERMINTAAN ORANG ITU SENDIRI YANG JELAS DINYATA-KAN
DENGAN KESUNGGUHAN HATI, DIANCAM DENGAN PIDANA PENJA-RA PALING
LAMA DUA BELAS TAHUN.

Pasal di atas ini menghalangi para dokter untuk melakukan tindakan voluntary euthanasia. Bagi
kalangan dokter yang berpegang pada pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP, pelaksanaan
eutanasia apa-pun jenisnya tidak mungkin dilaksanakan, terkecuali bila tindakan eutanasia tidak
diartikan sebagai tindakan kejahatan se-bagaimana dimaksudkan dalam KUHP.

BIOETIK DAN EUTANASIA


Hipocrates menuangkan pemikiran mengenai eutanasia di dalam buku karya-nya, antara lain
Prognosis. Berg mengutip pandangan Hipocrates mengenai kematian pasien akibat penyakit yang
tidak dapat disembuhkan. Dalam buku Medicine: The Forgotten Art, Elliot-Bijnns mengutip
pandangan Hipocrates yang relevan dengan hal di atas, yaitu: Ilmu kedokteran adalah upaya
mengurangi penderitaan si sakit, menyingkirkan penyakit, dan tidak meng-obati kasus-kasus yang
tidak memerlukan pengobatan.
Berdasarkan kedua pandangan Hipocrates tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dokter tidak
lagi mengobati penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak perlu diobati atau tidak membohongi
pasien yang sebenarnya sudah tidak memerlukan obat. Disamping itu, dokter itu tidak harus
berupaya mengobati penyakit-penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi yaitu bila pengobatan
atau perawatan dokter sudah tidak kompeten lagi untuk melaku-kan medikasi terhadap pasiennya.
Pandangan lain dari Hipocrates yang dikutip oleh Elliot-Bijnns, ialah: „Adalah gila untuk
menuntut dari dokter upaya penyembuhan yang tidak dimungkinkan oleh ilmu kedokteran, seperti
menuntut agar tubuh melawan penyakit yang sudah tidak dapat dihindarkannya‟.

Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Hipocrates telah menerima
eutanasia pasif, khususnya terhadap penyakit-penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi,
sedangkan mengenai eutanasia aktif, salah satu sumpah Hipocrates berbunyi: “Saya tidak akan
memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun meskipun dimintanya, atau menganjurkan
kepada mereka untuk tujuan itu”. Sumpah Hipocrates tersebutmenunjukkan bahwa dalam situasi
apapun keadaan pasien, Hipocrates tidak akan memberikan obat yang mematikan sekali-pun
pasien telah memintanya; dengan kata lain, Hipocrates tetap menolak tindakan eutanasia aktif.
Dokter lebih baik memberikan penjelasan terhadap pasiennya untuk memahami kenyataan yang
sedang di-hadapinya, yaitu pada saat-saat menjelang kematiannya. Jadi, menurut Hipocrates
tindakan eutanasia aktif merupakan per-buatan yang dilarang, sedangkan untuk penyakit-penyakit
yang yang tidak dapat disembuhkan lagi, lebih baik melakukan eutanasia pasif.

Tugas seorang dokter ialah untuk menolong jiwa seorang pasien, walaupun bila hal tersebut sudah
tidak bisa dilanjutkan lagi dan bila diteruskan, kadang-kadang malah akan menambah penderitaan
seorang pasien. Penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk eutanasia. Dalam
KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesi-nya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya, seorang dokter dalam melakukan
kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran
mutakhir, hukum, dan agama. Berdasarkan perspektif kesehatan maka eutanasia masih tidak
diperbolehkan karena pada dasarnya dokter harus tetap bersikap profesional dan mengupayakan
semaksimal mungkin untuk pengobatan pasien. Menurut KODEKI dokter juga tidak boleh tidak
mengupayakan atau melakukan pembiaran terhadap penderitaan pasien.

Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersimpul bahwa pembunuhan atas permintaan korban
sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif
di Indonesia, eutanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang dan tidak dimungkinkan
melakukan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan
tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebaga perbuatan yang diancam dengan
pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut
Tiap jenis eutanasia mengandung aspek moral dan etika yang harus menjadi pertimbangan
mendalam, mengingat penentuan hidup dan mati tidak ditangan manusia semata. Bila kita melihat
lebih jauh mengenai hak-hak pasien untuk me-nentukan nasib sendiri, eutanasia nampak sebagai
pilihan cerdas untuk mengakhiri penderitaan karena pasien tidak berkeberat-an hidupnya berakhir
(eutanasia sukarela). Walaupun demikian, penghargaan atas nilai insani ini tidak begitu saja dapat
diabaikan meskipun oleh si pemilik jiwa itu sendiri yaitu pasien, oleh karena hal tersebut akan
membuka peluang bagi yang lain untuk mengakhiri hidupnya dengan begitu mudah bila ia tidak
lagi mampu menahan penderi-taan. Terlebih lagi bagi pasien yang sudah berada dalam kondisi
koma selamabertahun-tahun, faktor biaya, perawatan,dan faktor mental spiritual menjadi harga
yang begitu mahal harus dibayar untuk mempertahankan kehidupan seseorang tanpa mengetahui
apakah harapan itu masih ada.

3. kaidah bietik pas


Versi terbaru dari Kode Etik Asosiasi Medis Amerika menyatakan bahwa bunuh diri yang dibantu
dokter adalah dilarang. Hal ini melarang bunuh diri yang dibantu dokter karena "secara
fundamental tidak sesuai dengan peran dokter sebagai penyembuh" dan karena itu akan "sulit atau
tidak mungkin untuk dikendalikan, dan akan menimbulkan risiko sosial yang serius".

Lagay, F. (2003-01-01). Lagay, Faith. "Physician-Assisted Suicide: The Law and Professional
Ethics". Virtual Mentor. 5 (1).
Sumpah Hipokrates

Beberapa dokter mengingatkan bahwa bunuh diri yang dibantu dokter bertentangan dengan
Sumpah Hipokrates, yang secara sumpah diambil oleh dokter. Disebutkan, "Saya tidak akan
memberikan obat mematikan kepada siapa pun jika diminta, atau menyarankan nasihat semacam
itu". Namun sumpah asli telah dimodifikasi berkali-kali dan, bertentangan dengan kepercayaan
yang ada, hal ini juga tidak dibutuhkan bagi sebagian besar sekolah kedokteran di era modern.
selain itu Ada juga prosedur yang dilarang oleh Sumpah Hipokrates yang dalam praktik umum
saat ini, seperti aborsi.

Kass, Leon R. (1989). "Neither for love nor money: why doctors must not kill" (PDF). Public
Interest. 94: 25–46. PMID 11651967

Kode Etik Medis Internasional, terakhir direvisi pada tahun 2006, termasuk "A physician shall
always bear in mind the obligation to respect human life" di bagian "Duties of physicians to
patients"
"WMA International Code of Medical Ethics". wma.net. 1 October 2006.

4.pas dan euthanasia dalam praktik kedoktteran


Mengenai euthanasia, ternyata dapat digunakan dalam tiga arti, yaitu:

a.Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi yang beriman
dengan nama Allah di bibir

b. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maul) penderitaan pasien diperingan dengan memberi
obat penenang.

c. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan
keluarganya.

Pasal 11: Pelindung kehidupan.Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya
dalammelindungi hidup makhluk insani.

Pada pasal 11 ada 2 cakupan pasal yang memberitahu tentang masalah euthanasia da. PAS (
Physician-Assisted Suicide ) pada cakupan pasal ke 2 dan cakupan pasal ke 5
1. Seorang dokter dilarang terlibat atau melibatkan diri ke dalam abortus,euthanasia, maupun
hukuman mati yang tidak dapat dipertanggungjawabkan moralitasnya
2. Seorang dokter dialrang menggugurkan kandungan (abor tusprovocatus) tanpa indikasi
medis y ang membahayakan kelangsungan hidup ibu dan janin atau mengakhiri kehidupan
seseorang y angmenurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh(euthanasia)
Dengan penjelasan pasal

Hal ini sesuai dengan moralitas deontologik profesi kedokteran sejagat, karena dokter
yang memiliki sifat ketuhanan dankemanusiaan akan memahami bahwa hanya Tuhan Yang
Maha Kuasa satu-satunya yang berhak mencabut kehidupan manusia. Menurut agama,
peraturan perundang-undangan dan etik, seorang dokter tidak diperbolehkan melakukan
menggugurkan kandungan (abortusprovocatus); atau mengakhiri kehidupan seseorang yang
menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh (euthanasia)
Sumber : Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).2012
5. alasan penggunaan authanasia dan pas pada Negara-negara tertentu
Argumen yang Pro Euthanasia dan PAS
1. Setiap orang harusnya memiliki hak untuk menentukan hidup sendiri, yang berarti pasien
memiliki hak menentukan di mana, bagaimana dan kapan mereka mengakhiri hidup
mereka sendiri
2. Euthanasia dan PAS adalah tindakan yang manusiawi dan mulia karena mengurangi
penderitaan
3. Assisted in dying adalah tindakan yang logis dan masuk akal serta merupakan semacam
ekstensi dari praktik perawatan end of life yang dianggap legal dan etis
4. Dengan pengawasan yang baik, risiko terjadi penyalahgunaan rendah.
Sumber:

Boudreau JD, Somerville MA. Euthanasia and assisted suicide: a physician’s and athicist’s
perspectives. Medicolegal and Bioethics; 2014:4, pp. 1-12.
6. Alasan apakah euthanasia tepat atau tidak dilakukan di Indonesia
Apakah euthanasia tepat atau tidak digunakan di Indonesia?

Euthanasia di Indonesia masih belum mendapatkan tempat pengakuan yang diakui secara yuridis.
Di Indonesia suntik mati atau euthanasia atau menyuntik mati akan disamakan dengan tindakan
pidana pembunuhan seperti apa yang sudah ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, ada beberapa pasal yang berkaitan atau
dapat menjelaskandasar hokum dilakaukannya euthanasia bagi orang atau keluarga yang
mengajukan untuk dilakukan euthanasia:
1. Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan
jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman
mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya
dua puluh tahun.
2. Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selamalamanya satu tahun.
3. Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,
dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.

Berdasarkan penjelasan pandangan hokum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario


ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat
dijeratkan dengan pasal 345 KUHP yang ber bunyi barang siapa dengan sengaja mendorong orang
lain untuk bunuh diri, atau memberikan sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana
penjara dengan acaman penjara selamalamanya empat tahun penjara. Dengan tidak adanya
regulasi yang jelas di Indonesia maka dapat dipastikan bahwa suntik mati (euthanasia) masih
belum mempunyai dasar hukum yang jelas untuk melakukan tindakan suntik mati atau euthanasia
tersebut. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis
formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu
euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu sendiri dan euthanasia yang
dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien/ korban sebagaimana secara
eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan
sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib
memberi kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah”
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 dan 304 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan
dengan sengaja membiarkan sengsara dan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana
bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap
dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di
Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu
sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jika
kita menilai euthanasia dari aspek hak asasi manusia. Tindakan euthanase adalah perbuatan
melanggar hak asasi manusia. Ada beberapa alas an sehingga tindakan euthanasia melanggar hak
dasar kehidupan manusia, melanggar deklarasi yang dikeluarkan PBB, pasal 28A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidanadan yang
paling penting adalah melangkahi wewenang dari kewanangan TuhanYang Maha Kuasa..

Prakoso. D. dan D. A. Nirwanto. 1984. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana.
Ghalia Indonesia.
Euthanasia belum di atur pada undang-undang yang ada di Indonesia, karena banyak pihak yang
tidak setuju akan hal ini. Setiap orang yang melakukan euthanasia disamakan dengan tindakan
pidana seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP yang bunyinya :

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Walaupun pasal ini tidak mengatur dengan tegas tentang euthanasia, tapi seharusnya dokter
megerti tentang pasal ini dan tidak mengambil tindakan seperti euthanasia aktif. Suatu artikel
menyebutkan bahwa jika euthanasia diatur oleh hokum Indonesia, sama saja dengan membiarkan
orang berpikir untuk melakukannya.

Pasal-pasal penghilangan nyawa manusia juga diatur pada Pasal340 KUHP, pasal 259, dan pasal
345. Dalam hal ini sudah jelas bahwa euthanasia di tolak oleh pemerintah Indonesia dan setiap
orang yang melakukan atau menghasutnya akan diberikan tindakan pidana.

Jika kita menilai euthanasia dari aspek hak asasi manusia. Tindakan euthanase adalah perbuatan
melanggar hak asasi manusia. Ada beberapa alas an sehingga tindakan euthanasia melanggar hak
dasar kehidupan manusia, melanggar deklarasi yang dikeluarkan PBB, pasal 28A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidanadan yang
paling penting adalah melangkahi wewenang dari kewanangan TuhanYang Maha Kuasa

Pada penjelasan pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama,hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dianaut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang belum lahir, dengan adanya
larangan abortus.

Jadi di Indonesia tindakan eutthansia masih belum ada regulasi atau peraturan legal yang
diterapkan dan berlaku di Indonesia dan setiap orang yang melakukannya akan melanggar tetapkan
akan dipidanakan karena melanggar hokum di Indonesia.
Kita bias berkaca walaupun di Indonesia belum diatur tentang euthanasia terutama euthanasia
pasif, tapi banyak orang yang telah melakukannya tanpa diketahui, kita bisa melihat pada dokter
yang tidak mau memberikan imunisasi pada bayi, rumah sakit yang tidak menerima pasien, dan
banyak lagi, jadi euthanasia juga sudah sering dilakukan di Indonesia terutama euthanasia pasif.

Pradjonggo, T S. 2016. Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau dari Aspek Hukum Pidana dan Hak
Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Vol 1(1)

Anda mungkin juga menyukai