Anda di halaman 1dari 2

Ini Kekuatan Industri Rokok RI yang Sulit Dikalahkan

SHARE

2. Rokok: Barang Elastis yang Cenderung Inelastis

2 dari 2 Halaman

Rokok: Barang Elastis yang Cenderung Inelastis

Industri rokok nasional memang berulang kali mengeluhkan penurunan. Data Kementerian
Perindustrian menyebutkan jumlah pabrik rokok di Indonesia turun 80,8% dari 2.540 pabrik pada 2011
menjadi 487 pabrik pada 2017. Akibatnya, lapangan kerja berkurang dan produksi rokok terus menurun.

Namun, kinerja tiga perusahaan rokok besar yang tercatat di bursa nasional tidak banyak terpukul,
meski volume produksi rokok mereka menurun. Ini terlihat dari kenaikan penjualan setahun terakhir di
tiga perusahaan emiten rokok

Penjualan HM Sampoerna menguat 9,2% menjadi Rp 83,3 triliun dari Rp 76,3 triliun (2016) menyusul
kenaikan harga jual rata-rata per batang sebesar 8,4% untuk SKT (sigaret kretek tangan) dan 7,1% untuk
SKM (sigaret kretek mesin). Hal ini terjadi meski volume penjualan rokoknya turun 4% menjadi 101,3
miliar batang (dari 105,5 miliar batang).

Margin kotor HM Sampoerna pada kuartal III-2018 naik 24,2% secara tahunan (year on year/YoY)
dibandingkan dengan posisi yang sama pada kuartal III-2017 sebesar 24,1%. Margin bersih juga terjaga
di kisaran 12,6% di tengah kenaikan tarif cukai sebesar 10%.

Sementara itu, pendapatan Gudang Garam naik 3,8% menjadi Rp 99,1 triliun dari Rp95,5 triliun (2016)
berkat kenaikan harga jual rokok dan naiknya volume penjualan rokok sebesar 2% menjadi 78,7 miliar
batang. Margin kotornya sedikit melemah menjadi 19,2% pada kuartal III-2018, dibandingkan dengan
22% (kuartal III-2017). Margin bersih sedikit melemah dari 10,8% ke 9%.

Dari situ, terlihat bahwa di tengah kenaikan harga rokok, konsumsi masyarakat tidak banyak terganggu
sehingga penjualan kedua raksasa rokok itu juga tidak banyak terpukul. Ini sejalan dengan temuan WHO
yang menyebutkan bahwa permintaan rokok cenderung inelastis.

“Relatively inelastic demand,” demikian tulis WHO merujuk pada produk tembakau, terutama rokok,
dalam laporannya yang berjudul “The Demand for Cigarettes and Other Tobacco Products.” Laporan itu
disusun dengan formula penghitungan koefisien elastisitas barang yang jamak dipakai.

Menurut Anne-Marie Perucic, Ekonom WHO yang menyusun laporan tersebut, teori permintaan bisa
diaplikasikan untuk produk tembakau, tetapi dengan keunikan khusus karena adanya sifat
ketergantungan (adiktif) yang diciptakan oleh produk tersebut terhadap konsumennya.

“Konsumsi menurun ketika harga naik, tapi karena nature (sifat alamiah) adiktif produk tembakau,
permintaan pun menjadi kurang sensitif terhadap perubahan harga,” tulisnya dalam laporan yang dirilis
pada 2012 dan hingga kini menjadi acuan kebijakan pengendalian rokok dunia.

WHO merekomendasikan kenaikan pajak dan cukai rokok dalam besaran signifikan guna mengerem
pertumbuhan industri rokok yang-menurut Kementerian Kesehatan-menyebabkan kerugian ekonomi
Indonesia sebesar Rp 596,6 triliun (2015), empat kali lebih besar dari penerimaan cukai rokok periode
tersebut.

Namun jelang tahun politik 2019, pemerintah memilih untuk tak menaikkan cukai rokok alias
mengenakan tarif yang sama seperti tahun lalu. Kapan terakhir kali pemerintah tak menaikkan tarif cukai
rokok? Pada 2014, yang juga merupakan tahun politik.

TIM RISET CNCB INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai