Anda di halaman 1dari 45

Referat

MANAJEMEN GANGGUAN ASAM


BASA

Disusun oleh:
Eriska Geriana Permatasari Saing, S.Ked.
04054821820042
Nur Mahmudah, S.Ked.
04054821820090
Thiarini Rahmawati, S.Ked
04054821820115

Pembimbing
dr. Zulkifli, SpAn, KIC, M.Kes, MARS
DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019

2
LEMBAR PENGESAHAN

Referat
Manajemen Gangguan Asam-Basa

Disusun oleh :
Eriska Geriana Permatasari Saing, S.Ked. 04054821820042
Nur Mahmudah, S.Ked. 04054821820090
Thiarini Rahmawati, S.Ked 04054821820115

Dosen Pembimbing :
dr. Zulkifli, SpAn, KIC, M.Kes, MARS

telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti


Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif Rumah Sakit Umum Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.

Palembang, Mei
2019
Pembimbing,

dr. Zulkifli, SpAn, KIC, M.Kes, MARS

3
4
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang


Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat ini sebagai salah satu syarat mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian Anestesi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Zulkifli, SpAn,
KIC, M.Kes, MARS dan dr. Muhammad David Riandi selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penulisan dan penyusunan referat ini, serta semua pihak yang
telah membantu hingga selesainya referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam
penyusunan referat ini disebabkan keterbatasan kemampuan
penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak untuk perbaikan
di masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat memberi
manfaat bagi yang membacanya.

Palembang, Mei 2019

Penulis

5
6
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................1
HALAMAN PENGESAHAN.............................................2
KATA PENGANTAR.......................................................3
DAFTAR ISI.................................................................4
BAB I PENDAHULUAN..................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................6
2.1. Fisiologi Asam-Basa............................................................6
2.1.1 Produksi Asam-Basa Endogen...................................6
2.1.2 Menjaga pH Normal...................................................7
2.2. Manajemen Gangguan Asam-Basa.....................................11
2.2.1 Evaluasi Gangguan Keseimbangan Asam-Basa.........11
2.2.2 Alkalosis Respiratorik................................................16
2.2.3 Asidosis Respiratorik.................................................19
2.2.4 Alkalosis Metabolik....................................................29
2.2.5 Asidosis Metabolik.....................................................34
BAB III KESIMPULAN...................................................40
DAFTAR PUSTAKA.......................................................41

7
BAB I
PENDAHULUAN

Ion hidrogen adalah proton tunggal bebas yang dilepaskan dari atom
hidrogen. Molekul yang mengandung atom hidrogen yang dapat melepaskan ion
hidrogen dalam larutan disebut asam. Basa adalah ion atau molekul yang dapat
menerima H+. Pengaturan H+ yang tepat sangat penting karena hampir semua
aktivitas sistem enzim dalam tubuh dipengaruhi oleh konsentrasi H+.1
Terdapat berbagai mekanisme dasar asam-basa yang melibatkan darah, sel,
dan paru yang penting untuk mempertahankan konsentrasi H + normal dalam
cairan ekstrasel dan intrasel. Tingkat keasaman (pH) dalam tubuh manusia
ditentukan oleh konsentrasi ion hidrogen [H+].1
Pendekatan tradisional pembacaan asam basa yang pertama adalah hasil
kerja Henderson dan Hasselbalch yang menggunakan HCO3- dan PaCO2 untuk
mendeskripsikan tipe gangguan asam basa. Pendekatan modern kelainan asam
basa diajukan oleh Stewart pada awal 1980an. Stewart menggunakan prinsip
fundamental yang mempengaruhi [H+]. Dari tiga pendekatan, Stewart menjelaskan
hal-hal yang mempengaruhi keseimbangan asam basa. Gangguan asam basa dapat
berupa asidosis metabolik, asidosis respiratorik, alkasosis metabolik, alkalosis
respiratorik dan gangguan asam basa campuran, mengetahui etiologi dari
gangguan asam basa membantu untuk penatalaksanaan selanjutnya.
Oleh karena itu, penting bagi dokter umum untuk mengetahui bagaimana
pendekatan analisis asam-basa dalam melakukan diagnostik yang tepat untuk
masalah keseimbangan asam-basa yang menentukan terhadap pilihan terapi,
cairan, dan ventilator yang berguna bagi kesembuhan pasien.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Asam-Basa


Fisiologi asam basa berhubungan dengan menjaga konsentrasi ion hidrogen
(H+) dalam tubuh. Dalam keadaan normal, konsentrasi H+ di ekstrasel sekitar 40
nmol/L atau 40 nEq/L (38–42 nmol/L), yang diregulasi oleh buffer tubuh, paru-
paru, dan ginjal. Walaupun jumlahnya sangat rendah, H+ penting, karena banyak
reaksi kimia, termasuk sistem enzim, hanya bekerja dalam kisaran pH yang
sempit. Saat terjadi deviasi dari H+, maka terjadi acidemia (H+>40 nmol/L) atau
alkalemia (H+<40 nmol/L). H+ dalam darah sangat rendah, sehingga jarang diukur
secara rutin, namun diukur sebagai pH.1,2

Terdapat hubungan terbalik antara pH dan H+, sehingga saat pH meningkat,


maka H+ menurun dan sebaliknya. Sel tidak dapat berfungsi bila pH di bawah 6,8
atau di atas 7,8. pH normal arteri adalah 7,38 sampai 7,42. Terdapat tiga sistem
protekif yang berperan mencegah perubahan pH, yaitu buffer, paru, dan ginjal.1

2.1.1. Produksi Asam-Basa Endogen


Asam adalah donor proton. Oksidasi karbohidrat, lemak, dan asam amino
(metabolisme) dari diet membentuk CO2 yang bergabung dengan air dalam darah
dikatalis oleh karbonat anhidrase di jaringan dan sel darah merah membentuk
asam karbonat (H2CO3). Saat H2CO3 pecah terbentuk CO2 dan H2O (proses
dehidrasi), maka CO2 dikeluarkan oleh paru. Hal ini menyebabkan H 2CO3 disebut
sebagai asam volatil.1

Tubuh juga membentuk asam non-volatil (fixed acids) dari metabolisme sel.
Dalam keadaan basal, tubuh menghasilakn 80 mEq/hari H + dari asam non-volatil.
Hasil selain karbon dioksida dan asam laktat dieliminasi melalui respirasi. Asam
non-volatil dihasilkan dari asam amino yang mengandung sulfur (misalnya, sistein

9
dan metionin) dan fosfoprotein membentuk asam sulfur (50%) dan asam fosfor.
Sumber asam non-volatil lain adalah glukosa, membentuk asam laktat dan asam
piruvat; trigliserida membentuk asetoasetat dan asam ß-hidroksibutirat; dan
nukleoprotein membentuk asam urat. Asam hidroklorik dibentuk dari
metabolisme asam amino kationik (misalnya, lisin, arginin, dan histidin).1,2
Dalam keadaan tertentu, asam dihasilkan dari sumber selain diet, misalnya
dalam keadaan kelaparan terjadi produksi asam keton yang menumpuk dalam
darah. Selain itu, aktivitas berlebihan menghasilkan asam laktat. Obat, seperti
kortikosteroid, menyebabkan produksi asam endogen meningkat dengan
meningkatkan katabolisme protein otot.1
Basa merupakan penerima proton. Basa endogen (HCO3-) dihasilkan dari
asam amino anion (glutamat dan aspartat) berasal dari diet. Sitrat atau laktat
dihasilkan dari metabolisme karbohidrat juga menghasilkan HCO3-. Diet
vegetarian mengandung asam amino anion yang tinggi dan sedikit protein yang
mengandung sulfur dan fosfat, sehingga menghasilkan basa yang lebih tinggi.1

2.1.2. Menjaga pH Normal


2.1.2.1. Buffer
Buffers (seluler dan ekstraseluler) menjadi upaya awal terhadap perubahan
pH. Buffer bersifat cepat namun durasi kerjanya cepat. Buffer yang terdiri dari
asam lemah dan basa lemah berperan dalam meminimalkan perubahan pH saat
asam dan basa ditambahkan.2 Proses buffer ekstrasel berlangsung selama 30
menit, namun proses intraseluler membutuhkan beberapa jam untuk sempurna dan
kebanyakan terjadi di tulang.1
Buffer paling penting dalam darah adalah bikarbonat dan karbon dioksida
(HCO3-/CO2). Sistem buffer lain adalah dinatrium fosfat/monosodium fosfat
(Na2HPO22-/NaH2PO4-) dan protein plasma. Selain itu, eritrosit mengandung
sistem hemoglobin (Hb), reduced Hb (HHb-) dan oksihemoglobin (HbO22-).
Tulang juga berperan dalam proses buffer.1
Bikarbonat (basa) berada dalam keadaan seimbang dengan karbondioksida
(asam). Jika lebih banyak asam yang masuk ke dalam aliran darah, maka akan

10
dihasilkan lebih banyak bikarbonat dan lebih sedikit karbondioksida. Jika lebih
banyak basa yang masuk ke dalam aliran darah, maka akan dihasilkan lebih
banyak karbondioksida dan lebih sedikit bikarbonat. 3 Sistem HCO3-/CO2 berperan
sebagai pelindung utama terhadap perubahan pH yang perannya dijelaskan oleh
rumus Henderson-Hasselbalch. Dalam sistem ini asam karbonat (H2CO3) berperan
sebagai asam lemah dan anion bikarbonat (HCO3-) berperan sebagai basa organik.1

Walaupun H2CO3 tidak dapat diukur secara langsung, konsentrasinya dapat


diperkirakan dengan tekanan CO2 (pCO2) dan koefisien kelarutan (α) dari CO2
pada temperatur dan pH tertentu. Pada temperature 37oC dan pH 7,4, pCO2 adalah
40 mmHg dengan α adalah 0,03 dan pKa 6,1. HCO3- normal 24 mEq/L.1

Berdasarkan rumurs Henderson-Hasselbalch, pH tergantung dengan pKa dan


rasio HCO3 dan pCO2. Ginjal dan paru meregulasi pH ekstraseluler dengan
meregulasi HCO3- dan pCO2. Gangguan asam-basa akibat perubahan HCO3-
plasma disebut gangguan asam-basa metabolik. Gangguan asam-basa akibat
perubahan pCO2 disebut gangguan asam-basa respiratorik.1
Buffer fosfat efektif untuk meregulasi pH intraseluler, karena konsentrasinya
lebih tinggi dalam sel. Fosfat muncul dalam dua bentuk, yaitu asam (H 2PO4-) dan
basa (HPO42-) yang memiliki kemampuan mengikat H+ bebas. Fosfat lebih efektif
daripada bikarbonat sebagai buffer. Dalam ekstraseluler, kosentrasi fosfat hanya
sedikit dan hanya berkontibusi 8% kemampuan buffer pada ekstraseluler.1,2
2.1.2.2. Paru
Setelah buffer, paru merupakan perlindungan kedua terhadap perubahan pH.
pCO2 normal sekitar 40 mmHg yang dicapai dengan membuang CO2 yang
dihasilkan oleh metabolisme seluler melalui paru. 1 CO2 yang dihasilkan dari
metabolisme dapat berdifusi melawati membran sel dan mencapai sirkulasi. CO 2
berdifusi ke dalam eritrosit lalu terhidrasi dan membentuk asam karbonik dikatalis
oleh karbonik anhidrase. Asam karbonik lalu pecah membentuk ion H + yang

11
berikatan dengan hemoglobin dan protein intrasel lain, sedangkan bikarbonat
meninggalkan eritrosit dan bertukar dengan klorida, berperan dalam buffer di
plasma. Saat darah memasuki paru, dimana pCO2 rendah, maka proses terbalik,
CO2 berdifusi keluar eritrosit ke udara alveolar dan dikeluarkan melalui ventilasi.2
Ventilasi alveolar dikontrol oleh kemoreseptor di medulla, badan karotis,
dan arcus aorta. Kemoreseptor merasakan perubahan H+ atau pCO2 dan mengubah
kecepatan ventilasi, misalnya kenaikan H+ menyebabkan penurunan pH yang
menstimulasi kenaikan ventilasi untuk menurunkan pCO2 dan sebaliknya untuk
penurunan H+. Respon respiratori terhadap perubahan H+ membutuhkan beberapa
jam untuk sempurna.1 Kompensasi respiratori terhadap abnormalitas asam-basa
metabolik selalu intermediet dan parsial.2
2.1.2.3. Ginjal
Ginjal adalah upaya akhir dalam menjaga keseimbangan pH yang
membutuhkan beberapa jam sampai hari untuk muncul, namun respon paling
efektif dalam mengeleminasi asal non-volatil dan membentuk bikarbonat yang
dibutuhkan reaksi buffer.2 Pada orang sehat, ginjal mengekskresi asam dan
menjaga HCO3- plasma sekitar 24 mEq/L. Mekanisme ginjal dalam menjaga
HCO3- dilakukan dengan (1) Reabsorbsi HCO 3-; (2) HCO3- dibentuk oleh ekresi
titratable acid (TA); dan (3) pembentukan HCO3- dari pembentukan NH4+.1
Dalam proses reabsorbsi HCO3- oleh ginjal, HCO3- difilter oleh glomerulus
dan hampir semuanya direabsorbsi oleh tubulus dan ekskresi urin sedikit (<3
mEq). Reabsorbsi HCO3- mayoritas oleh tubulus proksimal (80%). Pada tubulus
proksimal, reabsorbsi muncul karena sekresi H+ ke lumen tubular. H+ bergabung
dengan HCO3- membentuk H2CO3. Membran tubulus mengandung karbonik
anhidrase IV yang memecah H2CO3 menjadi H2O dan CO2. CO2 berdifusi ke
dalam sel yang terhidrasi membentuk H2CO3 dengan bantuan karbonik anhidrase
II. H2CO3 dipecah membentuk H+ dan HCO3-.1

12
Gambar 1. Reprentasi skematik sekresi H+ dan reabsorbsi HCO3- pada tubulus proksimal

Setiap kali H+ disekresikan ke dalam tubulus dan ia bergabung dengan


HCO3- atau dengan dua buffer urin lainnya, HPO42- dan NH3, membentuk H2PO4-
dan NH4+. Bila tidak terdapat buffer urin maka asam akan masuk ke urin sehingga
menjadi asam (<4,5). Jumlah H+ dalam urin.1
Buffer lainnya yang penting adalah HPO42-/ H2PO4- dan NH3/NH4+. Sekitar
40% H+ dieksresikan sebagai fosfat dan sisanya (60%) sebagai ammonium.
HPO42- bergabung dengan H+ yang disekresi ke lumen membentuk H2PO4-. Ion H
dibentuk di dalam sel karena dehidrasi H2CO3 dengan bantuan katalis karbonik
anhidrase II. NH4+ terbentuk dari glutamin di tubulus proksimal dan NH 4+ yang
diekskresikan ke urin. Ekskresi NH4+ tidak menghasilkan HCO3-, namun HCO3-
dihasilkan dari metabolisme glutamin dan anion organiknya (α-ketoglutarate)
denga hasil akhir reaksi adalah ion 2NH4+ dan 2 HCO3-.

Gambar 2. Pembentukan titrable acid pada ductus kolektivus secara skematik

13
2.2. Manajemen Gangguan Asam Basa
2.2.1. Evaluasi Gangguan Keseimbangan Asam-Basa
2.2.1.1. Gangguan Asam-Basa Primer
Adanya kelainan pada satu atau lebih mekanisme pengendalian pH (buffer,
paru, atau ginjal) dapat menyebabkan salah satu dari 2 kelainan utama dalam
keseimbangan asam basa, yaitu asidosis atau alkalosis.3 Asidosis dan alkalosis
merupakan suatu akibat dari sejumlah penyakit petunjuk penting dari adanya
masalah metabolisme yang serius. Asidosis dan alkalosis dikelompokkan menjadi
metabolik atau respiratorik, tergantung kepada penyebab utamanya.4
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pH (power of hydrogen)
bergantung pada H+. Perubahan pH dan H+ tidak secara linear. Berdasarkan
konsep tradisional fisiologi asam basa, H+ ekstrasel ditentukan oleh keseimbangan
pCO2 dan konsentrasi HCO3.6

Rasio pCO2/HCO3 menggambarkan gangguan asam-basa primer dan respon


sekunder. Perubahan pada pCO2 yang menyebabkan perubahan H+ disebut
gangguan asam-basa respiratorik. Bila PCO2 meningkat maka disebut asidosis
respiratorik, sedangkan bila menurun disebut alkalosis respiratorik. Perubahan
HCO3 yang menyebabkan perubahan H+ disebut gangguan asam-basa metabolik.
Bila HCO3 meningkat maka disebut alkalosis metabolik, sedangkan bila menurun
disebut asidosis metabolik.6
Tabel 2. Gangguan asam-basa primer dan respon sekunder
Gangguan Primer Perubahan Primer Respon Sekunder
Asidosis respiratori  pCO2  HCO3
Alkalosis respiratori  pCO2  HCO3
Asidosis metabolik  HCO3  pCO2
Alkalosis metabolik  HCO3  pCO2
Catatan : Respon sekunder selalu searah dengan perubahan primer
Respon sekunder bertugas untuk membatasi perubahan H+ akibat gangguan
asam-basa dan dicapai dengan perubahan komponen lain dari rasio PaCO 2/HCO3
ke arah yang sama. Respon sekunder seharusnya tidak disebut “respon
kompensasi”, karena mereka tidak sepenuhnya memperbaiki perubahan H+ yang
dihasilkan gangguan asam-basa primer.6

14
2.2.1.2. Respon Sekunder
a. Respon Gangguan Asam-Basa Metabolik
Respon asam-basa metabolik bergantung pada ventilasi per menit dimediasi
kemoreseptor perifer (badan karotis). Respon sekunder asidosis metabolik dengan
menaikkan ventilasi (volume tidal dan frekuensi napas) dan menurunakan pCO 2.
Respon ini muncul dalam 30–120 menit dan membutuhkan 12–24 jam untuk
sempurna. Bila pCO2 lebih besar dari nilai pCO 2 expected maka terdapat asidosis
respiratorik sekunder, sedangkan bila lebih kecil maka terdapat alkalosis
respiratorik sekunder.6

pCO2 normal = 40 mmHg dan HCO3 normal = 24 mEq/L

Respon alkalosis metabolik membaik dengan menurunakan ventilasi dan


meningkatkan pCO2. Respon ini tidak sekuat respon untuk asidosis metabolik,
karena kemoreseptor tidak terlalu aktif dalam keadaan normal, sehingga lebih
mudah untuk distimulasi daripada dihambat.6

b. Respon Gangguan Asam-Basa Respiratorik


Respon sekunder perubahan pCO2 muncul pada ginjal dimana absorbsi
HCO3 pada tubulus proksimal yang disesuaikan untuk menghasilkan perubahan
HCO3 plasma yang sesuai. Respon renal secara relatif lambat dan membutuhkan 2
sampai 3 hari untuk sempurna. Keterlambatan respon sekunder ini membuat
gangguan asam-basa dibagi menjadi gangguan akut dan kronik.6
Pada gangguan respiratorik akut, perubahan pCO2 memiliki sedikit efek
terhadap HCO3 plasma. Pada gangguan asam-basa respiratorik yang kronik,
respon renal terhadap kenaikkan pCO2 adalah peningkatan reabsorbsi HCO3
untuk menaikkan konsentrasinya di plasma, sedangkan saat pCO2 menurun, maka
reabsobsi HCO3 menurun.6

15
Asidosis respiratorik akut Alkalosis respiratorik akut

Asidosis respiratorik kronik

Alkalosis respiratorik kronik

Dalam melakukan pendekatan gangguan asam-basa, digunakan hubungan


antara konsentrasi H+, pCO2, dan HCO3. Nilai normal pH adalah 7,36–7,44. Nilai
normal pCO2 adalah 36–44 mmHg. Nilai normal HCO3 adalah 22–26 mEq/L.6
2.2.1.3. Langkah Pendekatan Analisis Asam-Basa
1. Langkah 1: Menentukan Gangguan Asam Basa Primer
Pendekat pertama adalah mengindentifikasi pCO2 dan pH pada gangguan
asam-basa.
a. Aturan 1 : Bila pCO2 dan/atau pH abnormal, maka terdapat gangguan asam-
basa. Bila pH lebih rendah dari normal, maka disebut asidosis, namun bila
lebih tinggi dari normal, maka disebut alkalosis.
b. Aturan 2 : Bila pCO2 dan pH berubah, bandingkan arah perubahannya.
i. Aturan 2a : Bila perubahan pCO2 dan pH pada arah yang sama, maka
terdapat gangguan metabolik.
ii. Aturan 2b : Bila gangguan berlawanan arah, maka terdapat gangguan
respiratorik.
c. Aturan 3 : Bila hanya salah satu dari pH atau pCO2 yang abnormal, maka
kondisi ini disebut gangguan metabolik dan respiratorik campuran.
i. Aturan 3a : Bila pCO2 abnormal, maka arah perubahannya menggambarkan
tipe gangguan respiratorik (misalnya, pCO2 tinggi mengindikasikan asidosis
respiratorik) dan berlawanan dengan gangguan metabolik.
ii. Aturan 3b : Bila hanya pH yang abnormal, maka arah perubahan pH
menggambarkan tipe gangguan metabolik (misalnya, pH rendah
mengindikasikan asidosis metabolik) dan berlawanan dengan gangguan
respiratorik.
2. Langkah 2: Evaluasi Respon Sekunder
Langkah kedua dilakukan bila gangguan-asam-basa primer telah
diindetifikasi dengan tujuan menentukan gangguan asam-basa tambahan. Bila
gangguan asam-basa campuran, maka langsung ke langkah 3.

16
a. Aturan 4: Gangguan metabolik primer, bila pCO 2 terukur lebih tinggi
daripada nilai expected, maka terdapat gangguan asidosis respiratorik
sekunder, dan bila pCO2 terukur lebih kecil daripada expected, maka terdapat
alkalosis respiratorik sekunder.6
b. Aturan 5: Untuk gangguan respiratorik primer, bila HCO3 normal atau
mendekati normal mengindikasikan gangguan akut.
c. Aturan 6: Bila gangguan respiratorik primer, dimana HCO3 abnormal,
menunjukkan gangguan respiratorik kronik.
i. Aturan 6a : Untuk asidosis respiratorik kronik, bila HCO3 lebih kecil
daripada expected, maka terdapat respon renal inkomplit, namun bila lebih
besar daripada expected, maka terdapat alkalosis metabolik sekunder.
ii. Aturan 6b : Untuk alkalosis respiratorik kronik, bila HCO 3 lebih besar
daripada expected, maka respon renal inkomplit, dan bila lebih kecil daripada
expected, maka terdapat asidosis metabolik sekunder.

Gambar 3. Persamaan prediktif untuk mengevaluasi respons sekunder terhadap


gangguan asam-basa primer.

17
3. Langkah 3: Menggunakan “Gaps” untuk Evaluasi Asidosis Metabolik
Langkah terakhir digunakan untuk pasien dengan asidosis metabolik,
dimana mengukur gaps untuk menentukan penyebab asidosis. Anion gap (AG)
adalah perhitungan kotor terhadap jumlah anion yang tak terukur dan digunakan
untuk menentukan bila asidosis metabolik akibat akumulasi dari asam non-volatil
(misalnya, asam laktat) atau akibat kehilangan bikarbonat primer (misalnya,
diare).6
Untuk mencapai keseimbangan elektrokimia, konsentrasi anion harus
seimbangan dengan kation. Menggunakan elektrolit yang sering diukur, misalnya
natrium (Na), klorida (Cl), dan bikarbonat (HCO 3), maka didapatkan rumus anion
gap (selisih anatara unmeasured anion dan unmeasured cation). Nilai normal dari
AG adalah 7 ± 4 mEq/L (3–11 mEq/L).6

Albumin berperan sebagai unmeasured anion dalam menentukan anion gap.


Albumin merupakan asam lemah yang berkontribusi 3 mEq/L terhadap AG untuk
setiap 1 g/dL albumin plasma (pada pH normal). bila albumin rendah, maka nilai
AG menurun dan dapat menutupi nilai unmeasured anion (misalnya, laktat) yang
berkontribusi sebagai asidosis metabolik. Pada pasien yang mengalami
hipoalbumin, maka digunakan rumus corrected AG.6

AG dapat digunakan untuk mengindektifikasi mekanisme penyebab asidosis


metabolik yang membantu mengindentifikasi kondisi klinis. AG yang meningkat
muncul saat terjadi akumulasi asam fixed atau non-volatil (misalnya, asidosis
laktat), sedangkan AG normal muncul saat kehilangan bikarbonat (misalnya,
diare).6

Tabel 3. Klasifikasi asidosis metabolik dengan Anion Gap (AG)6


AG Tinggi AG Normal
Asidosis laktat Diare
Ketoasidosis Infus salin isotonic
Gagal ginjal stadium akhir Awal insufisiensi ginjal

18
Menelan metanol Asidosis tubular ginjal
Menelan etilen glikol Acetazolamide
Keracunan salisilat Ureteroenterostomi

Pada AG yang normal, kehilangan HCO3 diimbangi dengan bertambahnya


ion klorida untuk menjaga keseimbangan elektrik, sehingga disebut
hyperchloremic metabolic acidosis untuk metabolik asidosis dengan AG normal.
Pada AG tinggi, sisa anion dari asam yang pecah mengimbangi kehilangan HCO 3,
sehingga tidak berhubungan dengan hiperkloremia.6

2.2.2. Alkalosis Respiratorik


Alkalosis respiratorik adalah pengeluaran berlebih CO2 dari tubuh akibat
hiperventilasi. Jika ventilasi paru meningkat melebihi laju produksi CO 2 maka
CO2 yang keluar akan terlalu banyak. Akibatnya H2CO3 yang berkurang dan [H+]
menurun. Alkalosis respiratorik, disebut juga dengan hipokapnia primer, dicirikan
dengan pCO2 yang rendah dan pH yang tinggi (>7,40). Hipokapnia primer
merefleksikan hiperventilasi pulmoner. Hasil alkalinisasi cairan tubuh bertambah
akibat penurunan bikarbonat serum. Hipokapnia sekunder harus dibedakan
dengan hipokapnia primer, karena hipokapnia sekunder terjadi sebagai respon
terhadap asidosis metabolik. Segera setelah alkalosis respiratorik timbul,
penurunan bikarbonat serum terjadi dalam hitungan menit. Hal ini terjadi akibat
buffer nonbikarbonat dan pelepasan H+ dari jaringan. Laktat juga dihasilkan dari
alkalemia. Proses buffer dari berbagai sumber menetap selama beberapa jam, dan
hasil gangguan asam-basa ini disebut dengan alkalosis respiratorik akut. Selama
hipokapnia akut, sekresi H+ baik pada tubulus proksimal dan duktus kolektivus
kortikal ditekan. Saat alkalemia menetap, kompensasi ginjal dimulai dengan
penurunan sekresi H+. Kompensasi ginjal penuh membutuhkan waktu 2-3 hari,
dan keadaan stabil terjadi, yang disebut dengan alkalosis respiratorik kronis.1
2.2.2.1. Etiologi
Penyebab alkalosis respiratorik dapat berupa hipoksia (penurunan tekanan
oksigen inspirasi, ventilasi-perfusi yang kurang, hipotensi, anemia berat), sindrom
hiperventilasi-ansietas, nyeri, penyakit paru (pneumonia, asma, edema pulmoner,

19
emboli pulmoner, penyakit paru interstisial), konsumsi obat-obatan (salisilat,
progesteron, nikotin, derivat xantin), gangguan saraf pusat (hiperventilasi yang
disadari, penyakit neurologis seperti infark, trauma atau tumor, pengaruh obat
sepeti nicotin, salisilat), infeksi, peningkatan ventilasi semenit pada pasien yang
mendapatkan ventilasi mekanik, atau lainnya (gagal hati, sepsis, paparan panas).1,7
Sejenis alkalosis respiratorik yang fisiologis dapat terjadi ketika seseorang
mendaki hingga mencapai tempat di ketinggian. Kadar oksigen yang rendah
dakam udara akan merangsang pernapasan, yang menyebabkan banyak sekali
pelepasan CO2 dan terbentuknya alkalosis respiratorik ringan.8
2.2.2.2. Menifestasi Klinis
Saat pCO2 menurun secara akut, dapat terjadi parestesia dan perasaan sesak
napas. Sakit kepala, konfusi, dan disorientasi juga sering terjadi. Alkalosis berat
dapat menyebabkan kejang dan aritmia jantung. Sementara, individu dengan
alkalosis respiratorik kronis secara umum lebih tidak menunjukkan gejala
dibanding individu dengan alkalosis respiratorik akut. Penurunan ion kalsium
terionisasi juga sering terjadi, menyebabkan tetanus, adanya tanda Chvostek’s dan
Trousseau’s.1
2.2.2.3. Diagnosis
Anamnesis dapat menemukan riwayat nyeri, ansietas, penggunaan obat, atau
kehamilan dengan mudah. Penyebab pulmoner juga harus dicari. Hiperventilasi
pada pasien dengan ventilator dapat diketahui melalui pengaturan pada ventilator.
Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan hipotensi, takikardia, hipertermia,
dan takipnea. Pada pemeriksaan fisik spesifik dapat ditemukan tanda aritmia dan
hipertensi pulmoner, asites, asteriksis, sianosis, tremor, parestesia, kelemahan otot,
tanda Chvostek’s dan Trousseau’s. 1
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakuakan adalah analisis gas darah
dan kimia serum. Alkalosis respiratorik dicirikan dengan pCO2 rendah,
bikarbonat serum rendah dan pH yang tinggi. Pada alkalosis respiratorik akut,
bikarbonat serum sekitar 20 mEq/L karena respon sekunder terhadap hipokapnia
20 mmHg adalah penurunan 4 mEq/L dari normal bikarbonat (24 mEq/L).
Bikarbonat serum dari normalnya 24 mEq/L turun menjadi 16 mEq/L pada

20
alkalosis respiratorik kornis dengan hipokapnia yang sama yaitu 20 mmHg. Tanpa
pH, terkadang sulit dibedakan antara asidosis metabolik hiperkloremik dari
alkalosis respiratorik kronis, karena keduanya mengalami hiperkloremia.1
Pada pemeriksaan kimia serum dapat ditemukan hiponatremia, hipokalemia,
hipofosfatemia, dan rendahnya kalsium terionisasi yang persisten sugestif
terhadap alkalosis respiratorik. Peningkatan leukosit sugestif terhadap proses
infeksi. Penurunan hemoglobin sugestif anemia. Peningkatan hematokrit sugestif
terhadap paparan dataran tinggi. Tes fungsi hati yang abnormal menunjukkan
penyakit hati. Peningkatan T3 dan T4 dan penurunan TSH sugestif
hipertiroidisme.1
2.2.2.4. Tatalaksana
Alkalosis respiratorik bukan lagi penyakit yang bisa sembuh sendiri,
tatalaksana dibutuhkan tergantung penyebab primernya.

Tabel 4. Tatalaksana Alkalosis respiratorik


Penyebab Pilihan terapi
Sindrom cemas- Rebreathing (menghembuskan napas dala kantong
hiperventilasi kertas), sedasi ringan, dan ditenangkan
Hipoksia O2
Salisilat Urinary alkalinization, diuresis paksa, dialisis
Sepsis Antibiotik
Hipertiroid β-blockers,obat-obatan antitiroid
Asma Bronkodilator, kortikosteroid
Pneumonia Antibiotik
Edema pulmonal Diuretik, perbaikan CHF
Aritmia jantung Menurunkan pH <7.50, acetazolamid, rebreather
Ketinggian, Memanjat O2, acetazolamide
Ventilasi mekanik ↓ ventilation rate dan volume tidal, ↑ Dead space,
sedasi ringan tanpa pelumpuh otot skeletal.

Biasanya satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah memperlambat


pernafasan. Jika penyebabnya adalah kecemasan, memperlambat pernafasan bisa
meredakan penyakit ini.Jika penyebabnya adalah rasa nyeri, diberikan obat pereda
nyeri. Menghembuskan nafas dalam kantung kertas (bukan kantung plastik) bisa

21
membantu meningkatkan kadar karbondioksida setelah penderita menghirup
kembali karbondioksida yang dihembuskannya.5
Pilihan lainnya adalah mengajarkan penderita untuk menahan nafasnya
selama mungkin, kemudian menarik nafas dangkal dan menahan kembali
nafasnya selama mungkin. Hal ini dilakukan berulang dalam satu rangkaian
sebanyak 6-10 kali. Jika kadar karbondioksida meningkat, gejala hiperventilasi
akan membaik, sehingga mengurangi kecemasan penderita dan menghentikan
serangan alkalosis respiratorik.5

2.2.3. Asidosis Respiratorik


Asidosis respiratorik adalah akibat dari retensi abnormal CO 2 karena
hipoventilasi. Karena CO2 yang keluar dari paru lebih sedikit daripada normal
maka peningkatan pembentukan dan penguraian H2CO3 yang menyababkan terjasi
peningkatan [H+]. 9
Asidosis respiratorik, disebut juga dengan hiperkapnia primer, diawali
dengan peningkatan pCO2 arteri berkaitan penurunan ekskresi relatif terhadap
produksi CO2. Saat pCO2 meningkat, pH menurun. Kelebihan H+ secara
langsung (dalam menit) disangga dengan buffer nonbikarbonat, seperti
hemoglobin, fosfat, dan protein plasma, sehingga bikarbonat tidak terpakai.
Selama proses buffer, sejumlah bikarbonat juga diberntuk dari disosiasi asam
karbonat. Respon buffer nonbikarbonat akut dicapai dalam 10–15 menit, dan
kondisi stabil bertahan selama 1 jam. Jika hiperkapnia berlanjut selama lebih dari
12 jam, ginjal membentuk bikarbonat tambahan melalui ekskresi H+, dan jumlah
maksimal pembentukan bikarbonat dicapai dalam 3–5 hari. Oleh karena itu,
asidosis respiratorik dapat diklasifikasikan menjadi tipe akut (kurang dari 12 jam)
atau kronik (lebih dari 5 hari). Baik hiperkapnia akut dan kronik dihubungkan
dengan hipoksemia.1
Selama akut hiperkapni, hipoksemia lebih mengancam jiwa dibanding
hiperkapni. Pada keadaan tidak adanya suplementasi oksigen, hiperkapnia berat
(PaCO2>80 mmHg) jarang terjadi, karena pasien akan terjadi hipoksemia sebelum
kadar PaCO2 meningkat. Meningkatnya respiratory load dapat menyebabkan

22
kebutuhan ventilasi, tingginya resistensi aliran udara, kekakuan paru, dan
kekakuan dinding pleura/dinding dada (tabel 5).10
2.2.3.1. Etiologi
a. Penurunan Pernapasan
Penurunan pernapasan melibatkan perubahan fungsi neuron dalam
menstimulus inhalasi dan ekhalasi. Neuron mengurangi pada tingkat sel tubuh
melalui zat/agen kimia dan kerusakan fisik. Penurunan kimia pada neuron dapat
terjadi sebagai hasil agen anastesi, obat-obatan (narkotik) dan racun dimana
merintangi darah menuju ke otak dan langsung menghalangi depolarisasi.
Ketidakseimbangan elektrolit (hiponatrium, hiperkalsemia dan hiperkalemi) juga
secara lambat menghalangi depolarisasi neural. Trauma sebagai hasil langsung
kerusakan fisik untuk neuron respirasi atau menimbulkan hipoksia sampai
iskemik yang dapat mengganggu atau menghancurkan kemampuan neuron untuk
membangkitkan dan mengirimkan impuls ke otot skeletal yang membantu dalam
respirasi. Neuron respirasi dapat rusak atau hancur secara tidak langsung apabila
terdapat masalah di area otak karena meningkatnya tekanan intrakranial.
Meningkatnya tekanan intrakranial ini karena adanya edema jaringan yang
menekan pusat pernapasan (batang otak). Trauma medula spinalis, penyakit
tertentu seperti polio adalah sebab yang aktual bagi kerusakan di axon, penyakit
lain seperti mistenia gravis, dan syndrom Guillain-Barre yang mengganggu
transmisi impuls nervous ke otot skeletal.1
b. Inadekuat Ekspansi Dada
Karena ekspansi ini penting untuk mengurangi tekanan di dalam rongga
dada sehingga terjadi pernapasan. Beberapa kondisi membatasi ekspansi dada
sehingga menghasilkan inadekuatnya pertukaran gas walaupun jaringan paru sehat
dan pusat pesan sudah dimulai dan transmisi yang tepat. Beberapa orang
mengalami masalah dalam ekspansi dada dapat mencukupi pertukaran gas selama
periode istirahat sehingga retensi CO2 tidak terjadi pada waktu itu. Bagaimanapun
meningkatnya aktivitas atau kerusakan pada jaringan paru menghasilkan
permintaan untuk pertukaran gas dimana seseorang tidak dapat memenuhinya,
hasilnya asidemia. Tidak adekuatnya ekspansi dada dapat dihasilkan dari trauma

23
skeletal atau deformitas, kelemahan otot respirasi. Masalah skeletal yang
membatasi perpindahan pernapasan dalam dinding dada jika terdapat kerusakan
tulang atau malformasi tulang yang menyebabkan distorsi dalam fungsi dada.
Struktur tulang dada yang tidak berbentuk serasi dapat membentuk deformitas
pada rongga dada dan mencegah penuhnya ekspansi pada satu atau kedua paru.
Deformitas skeletal mungkin kongenital: hasil dari kesalahan pertumbuhan tulang
(seperti skoliosis, osteogenesis imperfekta dan syndrome Hurler’s) atau hasil yang
tidak seimbang dari degenerasi jaringan tulang (osteoporosis, metastase sel
kanker). Kondisi kelemahan otot respirasi berhubungan dengan
ketidakseimbangan elektrolit dan kelelahan.1
c. Obstruksi Jalan Napas
Pencegahan perpindahan masuk dan keluarnya udara pada paru melalui
bagian atas dan bawah pada obstruksi jalan napas dapat menimbulkan pertukaran
gas yang tidak efektif, retensi CO2 dan asidemia. Jalan napas bagian atas dan
bawah dapat terobstruksi secara internal dan eksternal. Kondisi eksterna yang
menyebabkan obstruksi jalan napas atas termasuk tekanan yang kuat pada daerah
leher, pembesaran nodus limfe regional. Sedangkan kondisi internal yang
menyebabkan obstruksi jalan napas atas termasuk masuknya benda asing pada
saat bernapas, konstriksi otot halus bronkial dan pembentukan edema pada
jaringan luminal. Obstruksi jalan napas bagian bawah terjadi melalui kontriksi
otot halus, pembentukan jaringan luminal, pembentukan lendir yang berlebihan.
Kondisi umum yang berhubungan dengan obstruksi jalan napas bagian bawah
yaitu karena terlalu lama menderita penyakit inflamasi (bronkitis, emfisema dan
asma) dan masuknya bahan-bahan iritan seperti asap rokok, debu batu bara, serat
asbes, serat kapas, debu silikon, dan beberapa partikel yang mencapai jalan napas
bagian bawah.1
d. Gangguan Difusi Alveolar-Kapiler
Pertukaran gas pulmonal terjadi oleh difusi di persimpangan alveolar dan
membran kapiler. Beberapa kondisi yang mencegah atau mengurangi proses difusi
dapat meretensi CO2 dan terjadi asidemia. Masalah difusi dapat terjadi pada
membran alveolar, membran kapiler atau area di antara keduanya. Asidosis

24
respiratorik sering terjadi akibat kondisi patologis yang merusak pusat pernapasan
atau yang menurunkan kemampuan paru untuk mengeliminasikan CO2.1

Tabel 5. Penyebab Akut respiratori asidosis


Increased load Depressed pump
Enchanced ventilatory demand Depresi pusat pengaturan
Diet tinggi karbohidrat Anestesi umum
Dialisis tinggi karbohidrat (peritonial Overdosis sedasi
dialisis) Trauma kepala
Sorbent-regeneratif hemodialisis Cedera serebrovaskular
Obesitas-hipoventilasi sindrom
Edema serebri
Tumor otak
Ensefalitis
Lesi batang otak
Ondine’s curse
Increased dead space ventilation Abnormal neuromuscular transmisi
Cedera paru akut Cedera spinal cord letak tinggi
Pneumonia multi-lobar Guillain-Barre sindrom
Edema kardiogenik-pulmonal Status epileptikus
Emboli pulmonal Botulisme, tetanus
Ventilasi tekanan positif Krisis pada miastenia gravis
Suplementasi oksigen Obat atau agen toksik (suksinilkolin,
aminoglikosid, keracunan
organophosphate).

25
Augmented airway flow resistance Disfungsi Otot
Obstruksi jalan napas atas Kelelahan
Koma akibat obstruksi hipofaringeal Hiperkalemia
Aspirasi benda asing atau vomitus Hipokalemia
Laringospasme Hipotiroid
Angioedema
Inadekuat intubasi laringeal
Obstruksi laringeal post intubasi
Obstruksi jalan napas bawah
Status asmatikus
Eksaserbasi PPOK
Lung Stiffness
Atelektasis
Kekakuan dinding pleura/ dinding dada
Pneumothorak
Hemotoraks
Flail chest
Distensi abdominal
Dialisis peritonial

2.2.3.2. Manifestasi Klinis


Asidosis respiratorik akut menyebabkan hipoksemia, mengakibatkan
beberapa disfungsi organ. Manifestasi sistem saraf pusat paling umum, berupa:1
1) Tanda dan gejala: mual, muntah, gelisah, sakit kepala, konfusi, kejang, dan
koma
2) Aliran darah serebral: meningkat secara akut akibat vasodilatasi kapiler
dan venula serebral. Vasodilatasi serebral ini dimediasi oleh nitrit oksida.
3) Hiperkapnia meningkatkan tekanan intrakranial akibat peningkatan
volume darah dan peningkatan tekanan vaskuler dikarenakan vasodilatasi.
Manifestasi jantung berupa peningkatan tekanan darah dan denyut jantung
sebagai akibat sekunder dari peningkatan tonus simpatik. Curah jantung
meningkat. Selain itu, aliran darah koroner meningkat akibat vasodilatasi-
diinduksi hiperkapnia. Baik vasodilatasi perifer (akibat hiperkapnia) dan
vasokonstriksi (akibat peningkatan tonus simpatik) terjadi pada pasien asidosis
respiratorik akut. Aritmia juga sering terjadi.1

26
Efek ginjal berupa vasodilatasi ginjal dengan hiperkapnia ringan dan
vasokonstriksi pada pCO2 > 70 mmHg. Renin–angiotensin II (AII)–aldosterone
dirangsang oleh tonus simpatik-diinduksi hiperkapnia. Sekresi antidiuretic
hormone (ADH) juga meningkat. Efek lain seperti kontraksi otot skeletal,
khususnya gerakan diafragmatika berkurang.1
2.2.3.3. Diagnosis
Riwayat batuk, sesak napas, demam, asma, gagal jantung kongestif, trauma
kepala atau punggung, penggunaan obat, dan kondisi medis lain harus dicari
dalam anamnesis.1
Pemeriksaan fisik harus termasuk tanda-tanda vital, pola pernapasan,
habitus, gigi (gigi palsu, bila ada), mulut (benda asing), pemeriksaan dada berupa
bentuk dan penggunaan otot tambahan, auskultasi paru untuk ronkhi, wheezing,
fremitus taktil, pergerakan diafragma, pemeriksaan jantung berupa bunyi jantung
tambahan S3 dand S4, abdomen berupa penggunaan otot, ekstremitas berupa
edema dan clubbing.1
Pemeriksaan laboratorium dapat berupa, (1) Analisis gas darah: pH rendah
(< 7.25), karbonat serum sedikit meningkat (< 30 mEq/L), dan pCO2 meningkat
(> 60 mmHg); (2) Kimia serum, tidak terdapat perubahan pada natrium, kalium,
dan klorida; (3) Anion gap normal;(4) pH urin asam (< 5.5).1
Seperti asidosis respiratorik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat
penting dalam mendiagnosis asidosis respiratorik kronis. Habitus, deformitas
dada, dan clubbing adalah temuan utama.1
2.2.3.4. Tatalaksana
Retensi karbondioksida selalu dihubungkan hipoksemia, bukan hiperkapnea
atau asidemia, sehingga penting untuk memastikan oksigenasi cukup. Selain itu,
yang menjadi tujuan tatalaksana asidosis respiratorik akut dan kronik termasuk
menghindari asidemia berat dan memperbaiki hiperkapnea.10
Dalam tatalaksana asidosis respiratorik akut diarahkan untuk mengatasi
penyebab sesegera mungkin. Usaha terapi diawali dengan menjaga patensi jalan
napas, mengembalikan oksigenasi yang cukup dengan memberikan oksigen, dan
menjaga ventalasi yang cukup dengan bantuan alat mekanik bila napas spontan

27
tidak mencukupi. Menghilangkan penyebab yang memungkinkan (misalnya
benda asing di jalan napas, ventilator yang tidak sesuai, dan tension
pneumothoraks), hal tersebut untuk mengembalikan oksigenisasi dan ventilasi.10
Bila pasien dalam keadaan penurunan kesadaran, hiperkapnea berat
(pCO2>80 mmHg), atau asidemia berat (pH<7,10), ventilasi bantuan harus segera
diberikan. Bila pasien dalam keadaan kardiovaskular stabil, O2 dapat diberikan
dengan kanul nasal atau air-entrainment mask. Target pemberian O2 adalah
saturasi 88–93% atau pO2 60–70 mmHg. Peningkatan fraksi O2 lebih lanjut dapat
memperburuk hiperkapnea dan kemungkinan keracunan O2, sehingga digunakan
pemeberian O2 paling minimal untuk mencapai saturasi yang diinginkan.
Perburukan asidemia (misalnya, pH <7,2) atau penurunan kesadaran lebih lanjut
saat terapi oksigen, menandakan kebutuhan ventilasi mekanik, walaupun ventilasi
tekanan positif noninvasif (Noninvasive positive Pressure Ventilation/ NPPV)
dapat membantu menghindari intubasi.10
Mengembalikan pCO2 ke tingkat normal disarankan pada pasien dengan
hiperkapnea akut. Usaha untuk menghindari faktor reversibel yang berisiko
menyebabkan asidosis respiratorik harus dihindari. Terapi bronkodilator
(misalnya, xanthines, agonis -adrenergik, kortikosteroid) harus digunakan untuk
pasien dengan bronkospasme. Membersihkan sekresi bronkial dapat membaik
dengan hidrasi yang cukup, udara inspirasi yang lembab, meningkatkan batuk,
dan menggunakan agen mukolitik. Usaha untuk langsung untuk mengatasi sekresi
bronkial dengan sunction, dan untuk beberapa keadaan, intubasi endotrakeal,
bronkoskopi, atau trakeostomi mungkin dibutuhkan. Infeksi paru harus diatasi
secara agresif, pemeriksaan sekresi bronkial dan kultur harus menjadi acuan
terapi.10
Perbaikan hiperkapnea, asidemia, dan hipoksemia sering memperbaiki
disfungsi kardiak dan hipertensi pulmonal. Pengawasan ketat cairan pasien
penting, karena kelebihan volume meningkatkan tekanan kapiler pulmonal dan
menjadi predisposisi edema pulmonal. Diuretik digunakan bila perlu.10
Asidosis respiratorik biasanya juga disertai asidosis metabolik ringan,
karena hipoksia akan menyebabkan terjadinya penimbunan asam laktat dan asam

28
organik lainnya dalam cairan ektraselular. Koreksi cairan perlu disertai
pemeriksaan pH dan analisis gas darah. Pengobatan yang tepat adalah
memperbaiki ventilasi dengan respirator. Pengobatan dengan natrium bikarbonat
kurang tepat, karena tindakan ini malahan akan menyebabkan hiperosmolalitas
dan gagal jantung. Pengobatan ditujukan terhadap etiologi, disamping usaha untuk
menurunkan pCO2 dalam darah. Pemberian amonium klorida tidak dianjurkan.
Bernapas dalam sungkup yang dipasang di wajah (rebreathing) dapat mengurangi
gejala dan kehilangan CO2 pada hiperventilasi akut.5

Skema 1. Algoritma tatalaksana asidosis respiratorik akut10

Pasien dengan asidosis respiratorik kronik sering mengalami dekompensasi


akut yang dapat mengancam nyawa sehingga membutuhkan tatalaksana segera.
Penyebab dekompensasi harus segera diatasi.10
Infeksi paru, mungkin penyebab paling sering dekompensasi paru pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), sehingga harus diatasi
dengan antibiotik. Bronkodilator digunakan untuk menurunkan resistensi jalan
napas dan dapat memperbaiki fungsi otot pernaasan. Eliminasi sekret napas
(dengan batuk, drainase postural, dan fisioterapi dada) dapat menurunkan usaha

29
napas dan meningkatkan ventilasi. Terapi diuretik menurunkan edema
alveolar/interstitial berhubungan dengan kongesti vaskular pulmonal dan
meningkatkan pertukaran napas. Dalam penggunaan diuretik, harus berhati-hati
untuk menghindari alkalosis metabolik. Pemberian klorida yang cukup (biasanya
dalam bentuk garam kalium) menghindari dan memperbaiki komplikasi.
Penurunan fosfat dan kalium arus diperbaiki, karena berperan dalam
perkembangan gagal napas dengan mengganggu fungsi otot. Usaha menurunkan
berat badan pasien overweight dilakukan untuk menurunkan konsumsi oksigen
dan produksi CO2.10
Penurunan usaha ventilasi saat pemberian O2 dapat muncul pada pasien
dengan asidosis respiratorik kronik, karena meraka menjadi tidak sentitif terhadap
efek stimulasi CO2 pada ventilasi dan hipoksemia menjadi stimulus penting untuk
ventilasi. Namun, risiko ini tidak berarti pemberian O 2 yang berhati-hati dan
terkontrol tidak diberikan untuk memperbaiki oksigenasi dan gejala tanpa
memperburuk hiperkapnea. Tujuan terapi oksigen adalah menjadi saturasi 88–
93% atau pO2 60–70 mmHg.10
Pemakaian ventilasi mekanik tidak dibutuhkan pada pasien yang sadar,
dapat batuk, dan kooperatif terhadap pengobatan. Penggunaan NPPV dapat efektif
pada pasien tertentu dengan eksaserbasi akut pada PPOK. Kontraindikasi NPPV
adalah instabilitas kardiovaskular (misalnya, hipotensi, aritmia, infark miokard),
trauma karniofasial atau terbakar, ketidakmampuan menjaga patensi jalan napas,
atau membutuhkan intubasi segera. Penurunan kesadaran progresif dan
ketidakmampuan batuk, membutuhkan intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik.
Bila menggunakan ventilasi mekanik, maka pH darah dan pCO2 harus dijaga
mendekati nilai baseline pasien.10

30
Skema 2. Algoritma tatalaksana asidosis respiratorik kronik10

2.2.4. Alkalosis Metabolik


Alkalosis metabolik adalah penurunan H+ plasma akibat defisiensi relatif
asam-asam nonkarbonat.9 Pada alkalosis metabolik, terjadi peningkatan
bikarbonat pada serum > 32 mEq/L dengan pH > 7,45. Hipoventilasi dengan
peningkatan pCO2 arterial merupakan respon respirasi yang tepat terhadap
peningkatan bikarbonat serum. Oleh karena itu, alkalosis metabolik dicirikan
dengan kenaikan pH, peningkatan bikarbonat serum, dan peningkatan pCO2. 1
Namun, penyebab alkalosis metabolik adalah peningkatan konsentrasi HCO 3-
cairan ekstraselular.8
2.2.4.1. Etiologi
Keadaan alkalosis metabolik timbul karena hal-hal berikut.1,9
a. Kehilangan asam karena muntah atau pengosongan lambung
Kehilangan asam karena muntah atau pengosongan lambung, menyebabkan
pengeluran abnormal H+ dari tubuh akibat hilangnya getah lambung yang asam.
Asam hidroklorida disekresikan ke dalam lumen lambung selama pencernaan.
Selama sekresi HCl, bikarbonat ditambahkan ke plasma. HCO3- ini dinetralkan
oleh H+ sewaktu sekresi lambung, akhirnya diserap kembali ke dalam plasma

31
sehingga dalam keadaan normal tidak terjadi penambahan netto HCO 3- ke plasma
dari sumber ini. Namun, jika asam ini keluar dari tubuh sewaktu muntah maka
[H+] plasma tidak saja menurun tetapi tidak lagi terjadi reabsorpsi H + untuk
menetralkan HCO3- ekstra yang ditambahkan ke plasma sewaktu sekresi HCl
lambung. Karena itu, keluarnya HCl pada hakikatnya meningkatkan [HCO3-]
plasma. (Sebaliknya, pada muntah yang “lebih dalam”, HCO 3- di getah
pencernaan yang disekresikan ke dalam usus halus bagian atas mungkin keluar
bersama muntahan sehingga yang terjadi adalah asidosis bukan alkalosis).
b. Ingesti obat alkali
Ingesti obat alkali menyebabkan alkalosis, misalnya saat soda kue
(NaHCO3, yang terurai, menjadi Na+ dan HCO3- dalam larutan) digunakan sebagai
terapi hiperasiditas lambung. Dengan menetralkan kelebihan asam di lambung,
HCO3- meredakan gejala iritasi lambung dan heartburn, tetapi jika HCO3- yang
ditelan melebihi kebutuhan maka kelebihan HCO 3- akan diserap dari saluran cerna
dan meningkatkan [HCO3-] plasma. Kelebihan HCO3- ini berikatan dengan
sebagian H+ bebas yang normalnya ada di plasma dari sumber-sumber
nonkarbonat, menurunkan [H+]. (sebaliknya, produk alkali komersial untuk
mengobati hiperasiditas lambung tidak diserap dari saluran cerna sehingga
mengubah status asam-basa tubuh).
c. Penggunaan diuretik (tiazid, furosemid, asam etakrinat)
d. Kelenjar adrenal yang terlalu aktif (sindroma Cushing atau akibat
penggunaan kortikosteroid)
2.2.4.2. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari alkalosis metabolik terkait dengan kekurangan Cl -,
magnesium, volume plasma, dan K+, serta Ca2+. Gejala neurologis yang dapat
timbul adalah aptis, kebingungan, iritabilitas neuromuskular (terkait Ca2+).
Alkalosis metabolik dapat menyebabkan iritabilitas, otot berkedut, dan kejang
otot; atau tanpa gejala sama sekali. Bila terjadi alkalosis yang berat, dapat terjadi
kontraksi (pengerutan) dan spasme (kejang) otot yang berkepanjangan. Alkalosis
juga memiliki efek inotorpik positif yang lemah dan sedikit efek pada ritme
jantung. Aritmia terkait dengan hipokalemia. Selain itu, dapat terjadi peningkatan

32
denyut nadi, hipoventilasi, dan konfusi. Poliuria dan polidipsia dapat muncul bila
terjadi gangguan konsentrasi urin.1,10
2.2.4.3. Diagnosis
Adanya riwayat penggunaan diuretika, konsumsi antasida, suplemen
kalsium, laksatif, akar manis, dan riwayat muntah-muntah atau bulimia, serta
riwayat hipertensi sangat penting ditanyakan. Selain itu, keluhan diare dan
konstipasi berulang secara bergantian adalah salah satu tanda penyalahgunaan
laksatif. 1
Pemeriksaan fisik dapat berupa tekanan darah, status volume, pemeriksaan
terhadap enamel gigi (biasanya hitam akibat asam lambung), pemeriksaan luka
pada punggung tangan dan hipertrofi pada kelenjar ludah (muntah habitual),
edema perifer pada perempuan muda yang tidak berkaitan dengan kehamilan atau
menstruasi (suspek penggunaan diuretika pada edema idiopatik).1
Pemeriksaan laboratorium; (1) Elektrolit serum, berupa kreatinin, BUN,
kalsium, magnesium, fosfat, dan albumin; (2) Analisis gas darah untuk
mengesampingkan asidosis respiratorik kronis; (3) Elektrolit dan pH urin. Dari
semua elektrolit urin, klorida (Cl-) urin adalah elektrolit paling penting yang
membedakan alkalosis responsif atau alkalosis resistan terhadap klorida; (4)
Anion gap serum meningkat pada alkalosis metabolik akibat dari peningkatan
albumin dengan muatan negatif, dan peningkatan glikolisis akibat stimulasi rate-
limiting enzyme, fosfofruktokinase, dan produksi asam laktat. Walaupun anion
gap ditemukan meningkat sampai 8 mEq/L, kepentingan klinisnya belum
dianggap penting sebagai temuan alkalosis metabolik.1
2.2.4.4. Tatalaksana
Tatalaksana alkalosis metabolik, dengan semua gangguan asam basa,
koreksi dari penyebab yang mendasari. Untuk kontrol emergensi dari sistemik pH,
kontrol hipoventilasi perlu dilakukan, pada keadaan klinis ini, intubasi, sedasi, dan
kontrol hipoventilasi dengan ventilator mekanik. Kontrol pH dilakukan saat
situasi tidak lagi kritis, koreksi sebagian atau total metabolik alkalosis lebih dari
6-8 jam dengan masuknya cairan HCl sebanyak 0.15 M melalui vena diperlukan,

33
hidrocloride arginine bisa juga digunakan, namun efek dari HCl tidak cukup cepat
untuk mencegah atau mengobati komplikasi yang mengancam jiwa.13
Pada keadaan non kritis, pada keadaan yang kurang urgen, alkalosis
metabolik ditatalaksana setelah menilai responsif Cl- atau tidak. Pada alkalosis
metabolik responsif Cl- berespon terhadap penggantian volume dan hipokalemia
yang terjadi juga perlu dikoreksi. Alkalosis metabolik resisten Cl - ditatalaksana
dengan antagonis mineralokortikoid yang menjaga kehilanngan H+ ginjal, bisa
juga dengan spironolakton, epleronen, atau diuretik lain yang bekerja distal seperti
amiloride.13
Pada alkalosis metabolik dengan penurunan Cl-, defisit Cl- harus segera
digantikan. Pemilihan kation yang menyertai pemberiannya (Na+, K+, H+, atau
lainnya) tergantung pada penilaian: (1) status volume cairan ekstraseluler; (2)
tingkat penurunan K+; dan (3) tingkat dan reversibilitas dari penurunan GFR. Bila
ginjal dapat mengekskresikan Na+ dan K+, HCO3- dan base equivalent akan
diekskresikan dengan kation tersebut dan alkalosis metabolik akan membaik dan
Cl- akan tersedia. Saat fungsi renal terganggu atau terdapat gagal jantung
kongestif refrakter, atau terdapat hiperkalemia, maka penting untuk menghindari
pemberian Na+ dan K+.13

34
Skema 3. Algoritma intervensi alkalosis metabolik dengan penurunan Cl-13

Keadaan klinis yang umum terjadi adalah, Cl- dan cairan ekstraseluler
menurun, sehingga diberikan cairan NaCl isotonik. Pada pasien dengan tanda
kekurangan cairan (hipotensi, takikardi, penurunan turgor kulit) pemberian NaCl
isotonik minimal 3–5l untuk memperbaiki hipovolemia. Bila cairan ekstraseluler
dalam keadaan normal, defisit Cl- tubuh dapat diperkirakan dengan rumus: 13
Defisit Cl- tubuh = BB (kg)x 0,2 x [Cl-] target
Koreksi K+ diindikasikan pada pasien. Ekskresi kalium mungkin tetap tinggi
sehubungan dengan volume plasma dan GFR yang normal. Kehilangan kalium
diganti dengan pemberian KCl dengan kosentrasi 10–20 mEq/L melalui infus
dengan kecepatan >20 mEq/jam.13
Bila terjadi kelebihan volume atau gagal jantung kongestif, maka NaCl tidak
disarankan. Bila terdapat hipokalemia, dapat diberikan KCl untuk mengganti Cl-.
Bila hiperkalemia atau tidak mampu ekskresi kalium karena insufisiensi ginjal,
maka dapat digunakan (1) infus Cl- dalam bentuk HCl atau NH4Cl atau (2)
menyediakan Cl- melalui dialisis peritoneal, hemodialisis, atau hemodiafiiltrasi
sehingga K+ dan Na+ seimbang dan volume plasma dapat diperbaiki.13
HCl diindikasikan bila dibutuhkan perbaikan segera (pH > 7,55) dan ketika
NaCl dan KCl merupakan kontraindikasi. Adanya ensefalopati hepatik, aritmia,
kardiotoksisitas digitalis, atau perubahan status mental membutuhkan tatalaksana
segera. HCl dalam larutan 0,1 atau 0,2 M dibutuhkan. HCl diberikan melalui
kateter ke vena cava atau vena besar. Jumlah HCl yang dibutuhkan untuk
memperbaiki alkalosis adalah dengan:13
Jumlah HCl = 0,5 x BB (kg) x [HCO3] target (mEq/L)
Pemberian HCl digunakan untuk mengatasi alkalosis, sehingga lebih baik
untuk menurunkan HCO3- setengah menuju normal. Pemberian dengan kecepatan
0,2 mEq/kg/jam. Pilihan lain adalah NH4Cl, yang dapat diberikan infus melalui
vena perifer dengan kecepatan kurang dari 300 mEq/24 jam. NH 4Cl
dikontraindikasikan bila ada gangguan hepar atau renal.13

35
Pada pasien yang muntah persisten, dapat diberikan H2-receptor blocker,
seperti simetidin atau ranitidin; atau H+/K+ ATPase inhibitor, seperti omeprazole
untuk menurunkan produksi asam lambung.13
Pada alkalosis metabolik dengan penurunan K+, meningkatkan kalium
adalah tatalaksana awal untuk alkalosis dengan penurunan K +. Jumlah K+ yang
dibutuhkan tergantung pada tingkat keparahan defisit K+ serum. Kalium dapat
diberikan secara oral (hipokalemia ringan sampai sedang) atau intravena (berat).
Defisit ringan sampai sedang (K+ > 2,5 mEq/l), diberikan KCl oral dalam bentuk
slow-released dengan dosis 40–60 mEq 4–5 kali sehari. Biasanya dibutuhkan 50–
100 mEq KCl untuk menjaga kalium serum dalam batas normal. Kalium fosfat
dapat diberikan pada pasien yang mengalami penurunan fosfat (alkoholik, sirosis
hepatis, ketoasidosis diabetik). Bila terdapat aritmia atau paralisis, dapat diberikan
KCl dengan kecepatan tidak melebihi 40 mEq/jam. Glukosa tidak diberikan
melalui infus, karena dapat memacu insulin yang akan menurunkan kalium lebih
lanjut.13

2.2.5. Asidosis Metabolik


Asidosis metabolik adalah peningkatan H+ melebihi HCO3- yang terjadi
terutama di cairan tubulus akibat penurunan filtrasi HCO 3-. Penurunan filtrasi
HCO3- ini terutama disebabkan oleh penurunan konsentrasi HCO 3- cairan
ekstraselular.8 Pada asidosis metabolik, keasaman darah yang berlebihan, yang
ditandai dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah. Seiring dengan
menurunnya pH darah, pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat sebagai
usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah dengan cara
menurunkan jumlah karbon dioksida. Pada akhirnya, ginjal juga berusaha
mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara mengeluarkan lebih banyak asam
dalam air kemih. Tetapi kedua mekanisme tersebut bisa terlampaui jika tubuh
terus menerus menghasilkan terlalu banyak asam, sehingga terjadi asidosis berat
dan berakhir dengan keadaan koma.11
2.2.5.1. Etiologi

36
Pada prinsipnya, penyebab asidosis metabolik antara lain:12
a. Peningkatan asam karena mengkonsumsi suatu asam atau suatu bahan yang
diubah menjadi asam. Sebagian besar bahan yang menyebabkan asidosis bila
dimakan dianggap beracun. Contohnya adalah metanol (alkohol kayu) dan zat
anti beku (etilen glikol). Overdosis aspirin pun dapat menyebabkan asidosis
metabolik.
b. Tubuh menghasilkan asam yang lebih banyak melalui metabolisme. Tubuh
dapat menghasilkan asam yang berlebihan sebagai suatu akibat dari beberapa
penyakit; salah satu diantaranya adalah diabetes melitus tipe I. Jika diabetes
tidak terkendali dengan baik, tubuh akan memecah lemak dan menghasilkan
asam yang disebut keton. Asam yang berlebihan juga ditemukan pada syok
stadium lanjut, dimana asam laktat dibentuk dari metabolisme gula.
c. Ginjal tidak mampu untuk membuang asam dalam jumlah yang semestinya.
Bahkan jumlah asam yang normal pun bisa menyebabkan asidosis jika ginjal
tidak berfungsi secara normal. Kelainan fungsi ginjal ini dikenal sebagai
asidosis tubulus renalis, yang bisa terjadi pada penderita gagal ginjal atau
penderita kelainan yang mempengaruhi kemampuan ginjal untuk membuang
asam.
Beberapa penyebab tersering pada keadaan asidosis metabolik: 9,12
a. Asidosis di Tubulus Ginjal
Asidosis tubulus renalis (ATR) atau Renal tubular acidosis (RTA) adalah
suatu penyakit ginjal (renal) khususnya pada bagian tubulus renalis-nya. Penyakit
ATR ini memang tergolong penyakit langka, dengan manifestasi klinis yang tidak
spesifik sehingga diagnosis sering terlambat. Mekanisme yang terjadi adalah
akibat dari gangguan sekresi ion hidrogen atau reabsorbsi bikarbonat oleh ginjal
atau kedua-duanya. Gangguan reabsorbsi bikarbonat tubulus ginjal menyebabkan
hilangnya bikarbonat dalam urin atau ketidakmampuan mekanisme sekresi
hidrogen di tubulus ginjal untuk mencapai keasaman urin yang normal
menyebabkan ekresi urin yang alkalis. Dalam keadaan normal, ginjal menyerap
asam sisa metabolisme dari darah dan membuangnya ke dalam urin. Pada
penderita penyakit ini, bagian dari ginjal yaitu tubulus renalis tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga hanya sedikit asam yang dibuang ke

37
dalam urin. Akibatnya terjadi penimbunan asam dalam darah, yang
mengakibatkan terjadinya asidosis. Diduga penyakit ini disebabkan faktor
keturunan atau bisa timbul akibat obat-obatan, keracunan logam berat atau
penyakit autoimun (misalnya lupus eritematosus sistemik atau sindroma Sjogren).
b. Diare
Selama pencernaan, getah pencernaan kaya HCO3- biasanya disekresikan ke
dalam saluran cerna dan kemudian diserap kembali ke dalam plasma ketika
pencernaan selesai.
Diare berat mungkin merupakan penyebab asidosis yang paling sering.
Bentuk asidosis metabolik ini berlangsung berat dan dapat menyebabkan kematian
terutama pada anak-anak.
Penyebabnya adalah hilangnya sejumlah besar natrium bikarbonat ke dalam
feses. Selama diare, HCO3- ini hilang dari tubuh dan tidak direabsorpsi. Karena
HCO3- berkurang maka HCO3- yang tersedia mendapar H+ berkurang sehingga
lebih banyak H+ bebas yang ada di cairan tubuh. Dengan melihat situasi ini dari
segi yang berbeda, berkurangnya HCO3- menggeser reaksi ke kanan untuk
kompensasi defisit HCO3-, meningkatkan [H+] di atas normal.
CO2 + H2O ↔ H+ + HCO3-
c. Diabetes Melitus
Diabetes melitus disebabkan oleh tidak adanya sekresi insulin oleh pankreas
yang menghambat penggunaan glukosa dalam metabolisme. Ini terjadi karena
adanya pemecahan lemak menjadi asam asetoasetat dan asam ini di metabolisme
oleh jaringan untuk menghasilkan energi, menggantikan glukosa. Penguraian
asam-asam keto ini meningkatkan H+plasma. Pada diabetes mellitus yang berat
kadar asetoasetat dalam darah meningkat sangat tinggi sehingga menyebabkan
asidosis metabolik yang berat. Penyerapan Asam, jarang sekali sejumlah besar
asam diserap dari makanan normal akan tetapi asidosis metabolik yang berat
kadang-kadang dapat disebabkan oleh keracuan asam tertentu antara lain aspirin
dan metil alkohol.
d. Gagal Ginjal Kronis

38
Pada gagal ginjal berat (uremia), ginjal tidak dapat menyingkirkan H+ dalam
jumlah normal yang dihasilkan dari asam-asam nonkarbonat dari proses-proses
metabolik sehingga H+ mulai menumpuk di cairan tubuh. Selain itu penurunan laju
filtrasi glomerulus mengurangi eksresi fosfat dan NH4+ yang mengurangi jumlah
bikarbonat. Ginjal juga tidak dapat menahan HCO3- dalam jumlah memadai untuk
menyangga beban asam yang normal.
e. Olahraga berat
Ketika otot mengandalkan glikolisis anaerob sewaktu olahraga berat, terjadi
peningkatan produksi asam laktat, yang meningkatkan [H+] plasma.
2.2.5.2. Manifestasi Klinis
Asidosis metabolik ringan bisa tidak menimbulkan gejala, namun biasanya
penderita merasakan mual, muntah dan kelelahan. Pernapasan menjadi lebih
dalam atau sedikit lebih cepat, namun kebanyakan penderita tidak memperhatikan
hal ini. Sejalan dengan memburuknya asidosis, penderita mulai merasakan
kelelahan yang luar biasa, rasa mengantuk, semakin mual dan mengalami
kebingungan. Bila asidosis semakin memburuk, tekanan darah dapat turun,
menyebabkan syok, koma dan kematian.11
2.2.5.3. Diagnosis
Diagnosis asidosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pengukuran pH
darah yang diambil dari darah arteri (arteri radialis di pergelangan tangan). Darah
arteri digunakan sebagai contoh karena darah vena tidak akurat untuk mengukur
pH darah. Untuk mengetahui penyebabnya, dilakukan pengukuran kadar karbon
dioksida dan bikarbonat dalam darah. Mungkin diperlukan pemeriksaan tambahan
untuk membantu menentukan penyebabnya. Misalnya kadar gula darah yang
tinggi dan adanya keton dalam urin biasanya menunjukkan suatu diabetes yang
tak terkendali. Adanya bahan toksik dalam darah menunjukkan bahwa asidosis
metabolik yang terjadi disebabkan oleh keracunan atau overdosis. Kadang-kadang
dilakukan pemeriksaan air kemih secara mikroskopis dan pengukuran pH air
kemih.11
2.2.5.4. Tatalaksana

39
Pengobatan asidosis metabolik tergantung kepada penyebabnya. Sebagai
contoh, diabetes dikendalikan dengan insulin atau keracunan diatasi dengan
membuang bahan racun tersebut dari dalam darah. Kadang-kadang perlu
dilakukan dialisa untuk mengobati overdosis atau keracunan yang berat. Asidosis
metabolik juga bisa diobati secara langsung. Bila terjadi asidosis ringan, yang
diperlukan hanya cairan intravena dan pengobatan terhadap penyebabnya.5
Asidosis metabolik-non anion gap (hiperkloremik), dengan metabolik
hiperkloremik asidosis dikoreksis bertahap dari asidosis efektif dan bermanfaat.
Oral bikarbonat atau anion yang bisa di metabolisme menjadi bikarbonat secara
umum diperlukan. 1 gr dari sodium bikarbonat ekuivalen dengan 12 mEq dari
HCO3-, untuk memberikan 1 mEq/Kg/hari, dosis akan melebihin 5g/hari pada
dewasa. Asidosis metabolik-meningkatnya anion gap, tatalaksana akut dari
asidosis metabolik yang beruhubungan dengan meningkatnya anion gap terapi
dengan IV sodium bikarbonat kontroversial. Berdasarkan penelitian, terapi
bikarbonat pada anion gap, terutama jika asidosis berhubungan dengan gangguan
perfusi jaringan, atau disebut paradoksikal intraseluler asidosis yaitu hasi; dari
ketika bikarbonat diberikan secara infus selama asidosis metabolik mungkin
melebih efek tersebut. Hipertonik sodium bikarbonat terapi dalam bentuk 50 ml 1
ampul dari NaHCO3 mungkin dapat mempercepat hipertonisitas pada keadaan
hipertoik itu sendiri bisa menganggu fungsi jantung, terutama pada pasien yang
sedang dilakukan resusitasi pada cardiac arrest. Bila terjadi asidosis berat,
diberikan bikarbonat mungkin secara intravena; tetapi bikarbonat hanya
memberikan kesembuhan sementara dan dapat membahayakan.5,7
Terapi utama pada ketoasidosis diabetikum adalah mengembalikan defisit
cairan dan menjaga sirkulasi tercukupi, memperbaiki metabolisme, mengkoreksi
elektrolit, dan mengkoreksi gangguan asam-basa.13
Cairan yang diberikan adalah cairan isoosmolar untuk menurunkan tingkat
glukosa dan menurunkan pelepasan hormon katekolamin. Salin isotonik diberikan
secara cepat pada pasien syok. Pasien dengan defisit cairan tidak ekstrim dapat
menerima 500 ml/jam cairan untak 1 jam pertama lalu 250 ml/jam untuk 4 jam

40
selanjutnya. Setelah pasien stabil hemodinamik, diberikan cairan salin setengah
isotonik dengan 20–40 mEq K+ per liter. Pasien diawasi tanda edema pulmonal.13
Pasien diberikan insulin pada ketoasidosis dan untuk memperbaiki
hiperglikemia. Insulin menurunkan keton dan produksi glukosa di hepar. Insulin
diberikan secara intravena. Dosis awal yang diberikan adalah 15–30 unit secara
bolus, lalu diikuti 10–20 unit/jam (bila glukosa 150–30 mg/dL diberikan 3–8
unit/jam) sampai pasien mampu makan. Insulin intravena kontinu (100 unit
insulin dalam 100 ml salin isotonik) sering digunakan. Glukosa harus turun sekitar
5–10% per jam, saat glukosa mendekati 300 mg/dL, diberikan D5 dalam air
dengan kecepatan 50 ml/jam.13
Pemberian bikarbonat tidak dibutuhkan (setidaknya pada pasien dengan
asiodosis anion-gap tinggi) karena keton, setelah dimetabolisme membentuk CO 2
dan H2O dan mengahsilkan HCO3-. Pasien dengan ketoasidosis dapat mengalami
defisit kalium saat terapi insulin, sehingga dapat diberikan 20–30 mEq/jam kalium
bila <4,0 mEq/L sampai terkontrol 4–5 mEq/L.1
Prinsip yang ditakuti dari asidosis adalah risiko kegagalan kontraktilitas
miocard. Bagaimanapun pada organisme utuh, acidemia juga sering dibarengi
dengan meningkatnya cardiac output. Ini menjelaskan kemampuan asidosis untuk
menstimulasi pengeluaran katekolamin dari adrenal dan untuk membuat
vasodilatasi. Gangguan kontraktilitas dari asidos kurang diperhatikan pada
organisme. Asidosis mungkin berperan sebagai protektif pada keadaan klinis syok.
Sebagai contoh, ekstraseluller asidosis menunjukkan sebagai melindungi
pengurangan energi sel dari kematian sel.14
Sodium bikarbonat adalah standar buffer yang digunakan pada laktat
asidosis, tetapi mempunyai keterbatasan dalam menaikkan pH serum. Buffer
bikarbonat efektif pada ekstraseluller pH antara 5.1 sampai 7.1 pH unit. Karena
itu, bikarbonat bukan buffer yang diharapkan efektif pada rentang pH biasanya
dari cairan ekstraseluller. Bikarbonat bukan buffer yang sesungguhnya, melainkan
merupakan bentuk transport karbondioksida di darah. 14
Beberapa efek yang tidak diharapkan dari terapi sodium bikarbonat. Salah
satunya adalah kemapuan bikarbonat untuk meningkatkan CO2, yang bisa

41
menurunkan pH intraseluller dan pH cairan serebrospinal. Infus bikarbonat dapat
menaikkan kadar laktat darah. Walau efek ini dapat berbarengan dengan alkalosis-
induced augmentasi produksi laktat, ini efek yang tidak diharapkan dari terapi
untuk laktat asidosis. 14
Terapi alkali bukan merupakan manajemen rutin tatalaksana asidosis.
Tetapi, apabila untuk mengembalikan keadaan secara cepat pada pasien dengan
acidemia berat (pH<7.0), boleh dicoba infus bikarboat dapat diberikan dengan
pemberian setengah dari estimasi kehilangan HCO3. Apabila ada perbaikan
kardiovaskular, terapi bikarbonat dapat diteruskan untuk menjaga HCO3 plasma
pada 15mEq/L. Jika tidak ada perbaikan lebih lanjut, pemberian bikarbonat lebih
lanjut tidak menjamin. 14

42
BAB III
KESIMPULAN

Fisiologi asam basa berhubungan dengan menjaga konsentrasi ion hidrogen dalam
tubuh. Tubuh menggunakan berbagai mekanisme untuk mengendalikan
keseimbangan asam-basa darah, baik melalui fungsi buffer, ginjal, maupun paru.
Ketiga sistem protektif ini berperan mencegah perubahan pH. Adanya kelainan
pada satu atau lebih mekanisme pengendalian pH tersebut, bisa menyebabkan
gangguan keseimbangan asam-basa, baik asidosis atau alkalosis, yang keduanya
dikelompokkan menjadi metabolik atau respiratorik, tergantung pada penyebab
utamanya. Gangguan keseimbangan asam basa adalah masalah yang serius karena
dapat mempengaruhi berbagai fungsi vital seperti aktivitas enzim, pembekuan
darah, dan aktivitas neuromuskular.
Asidosis metabolik dan alkalosis metabolik disebabkan oleh
ketidakseimbangan dalam pembentukan dan pembuangan asam atau basa oleh
ginjal. Asidosis respiratorik atau alkalosis respiratorik terutama disebabkan oleh
penyakit paru-paru atau kelainan pernapasan. Terapi dari gangguan keseimbangan
asam-basa tergantung dari penyakit yang mendasarinya serta jenis gangguan yang
terlibat. Jika penyebab gangguan adalah masalah respirasi, maka terapi
yangdiberikan adalah dengan mengatur pernapasan dan memperbaiki ventilasi.
Jika gangguan ini disebabkan oleh kurangnya konsumsi atau intake cairan yang
tidak tepat, perubahan nutrisional dapat dianjurkan. Jika pengobatan seperti
diuretik mencetuskan gangguan keseimbangan asam-basa ini, maka penghentian
atau pengaturan terapi obat dapat memperbaiki kondisi tersebut secara efektif.
Terapi penggantian asam atau basa melalui atau intravena, dapat mengoreksi
keseimbangan asam-basa tubuh. Pemberian obat yang mempengaruhi
keseimbangan asam-basa tubuh harus dilakukan secara hati-hati.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Reddi AS. Fluid, Electrolyte, and Acid-Base Disorders. Fluid, Electrolyte and
Acid-Base Disorders. New Jersey: Springer; 2014. 289–299; 383–426 p.
2. Domingos F. Physiological principles of acid-base balance: An integrative
perspective. Port J Nephrol Hypert. 2015;29(2):123–9.
3. Eyster K. Acidosis and Alcalosis and Hypocalemia. Advances in Physiology
Education. Adv Physiol Educ. 2007;31:5–16.
4. Sacher R, Mcpherson R. Pengaturan Asam-Basa dan Elektrolit. Tinjauan Klinis
Hasil Pemeriksaan Laboratorium. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2002. 320–40 p.
5. Munajat Y, Nur M, Madjid S, Siregar P, Aniwidyaningsih W. Gangguan
Keseimbangan Air, Elektrolit dan Asam Basa. 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2010.
6. Marino PL. Acid-Base Analysis in Marino’s The ICU Book. 4th ed. Donnellan
K, editor. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins;
2014. 587–99 p.
7. Robert F, Mark A. Acid-Base, Fluids and Electrolytes. New York: Mc Graw
Hill; 2007.
8. Guyton A, Hall J. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 12th ed. Jakarta: EGC;
2014. 407–25 p.
9. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. 6th ed. Jakarta: EGC;
2011. 618–37 p.
10. Gennari F. Acid-Base Disorders and Their Treatment. London: T&F Informa;
2005.
11. Seifter J. Integration of acid–base and electrolyte disorders. N Engl J Med.
2014;371(19):1821–1831.
12. Abramowitz M. Acid-Base Balance and Physical Function. Clin J Am Soc
Nephrol. 2014;9(12):2030–2034.
13. Kraut J, Kurtz I. Core Concepts in The Disorders of Fluid, Electrolytes, and
Acid-Base Balance. America: Springer; 2012. 307–312 p.
14. Marino PL. Organic Acidoses in Marino’s The ICU Book. 4th ed. Donnellan
K, editor. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins;
2014. 601–8 p.

44
45

Anda mungkin juga menyukai