Abstract
The research was an explorative research deploying interview and questionnaire as
collecting data methods. Collected data was analyzed descriptive qualitatively. The
research found that (1) although respondents have different conceptions of good
citizens, they have shared view on main features of good citizen, namely caring others,
responsibility, independence, democratic, critical, and simple life; (2) almost all of
them have chosen lecturing as instructional method to develop good citizen; (3) they
have found both internal and external obstacles in dealing with their efforts, such as
teachers themselves and students and the lack of infrastructures of schools; and (4)
many efforts were deployed, one of them was of seduction their colleagues to work
professionally. They believed that it was not thought but caught by which a good citizen
could be developed. They were ready to be examples.
137
Jurnal Civics Volume 13 Nomor 2, Desember 2016
para ahli. Oleh karena itu, konsepsi tentang active in politics is, on average, least
warga negara yang baik sangat beragam. supported in all European countries”.
Selain itu, perbedaan konsep tentang warga Keengganan warga negara Eropa untuk
negara yang baik juga disebabkan karena meletakkan pentingnya partisipasi baik politik
adanya perbedaan konsepsi tentang tatanan maupun sosial sebagai indikator warga
bermasyarakat dan bernegara yang dianggap negara yang baik juga ditemukan dalam
baik. Bagi kaum konservatif yang beberapa studi (Theiss-morse & Hibbing,
mengutamakan keteraturan, kenyamanan, dan 2005).
kedamaian, tentu saja berbeda dengan kaum Perbedaan konsepsi tentang
progresif yang menginginkan kemajuan, kewarganegaraan akan berimplikasi pada
tantangan, dan inovasi. Kelompok yang perbedaan konsepsi tentang sosok warga
pertama tentu lebih menyukai sosok warga negara yang baik. Demikian juga
negara yang disiplin, mengikuti atau selanjutnya, perbedaan konsepsi tentang
mematuhi segala peraturan dan norma yang karakteristik warga negara yang baik akan
berlaku, sedangkan kelompok kedua merasa berakibat terjadinya perbedaan dalam
tidak nyaman dengan konsep warga negara upaya untuk mewujudkannya. Namun
yang baik seperti itu, karena hanya akan demikian, upaya untuk memahami secara
melestarikan status quo. Kelompok progresif serius berupa penelitian dengan fokus
lebih menginginkan warga negara yang baik, permasalahan pada konsepsi para guru
yang bersifat critical. Kelompok ketiga, tentang sosok warga negara yang baik
menginginkan sosok warga negara yang baik termasuk upaya pembentukannya, baik
bukan hanya yang disiplin, kritis, tetapi juga melalui kegiatan pembelajaran PPKn di ruang
yang mandiri atau otonom. Para pendukung kelas maupun di luar ruang kelas, belum
liberalisme, warga negara yang baik adalah banyak dilakukan. Dengan logika pemikiran
yang bisa menjadi diri sendiri. Sedangkan seperti ini, perlu kiranya dilakukan penelitian
para pendukung Pancasila, tentu juga untuk mengetahui konsepsi para guru PPKn
memiliki konsepsi yang berbeda tentang ciri- tentang sosok warga negara yang baik dan
ciri warga negara yang baik. upaya pembentukannya.
Proyek penelitian yang dilakukan dengan Beberapa penelitian menunjukkan
nama Citizenship, Involvement, Democracy kesimpulan secara umum, sebagaimana
(CID) dan European Social Survey (ESS) dirangkum Print dan Lange (2012) sebagai
menemukan gambaran sosok warga negara berikut. Pertama, penelitian menunjukkan
yang baik di kalangan bangsa Eropa, bahwa participatory pedagogy di sekolah
mencakup: form independent opinion agak lemah. Pembelajaran lebih ditandai oleh
(didukung 70%), always obey laws/regulation textbooks, rote learning, and non-
(65%), vote in elections (61%), support participatory, non-critical strategies, serta
people worse off (58%), be active in voluntary tanpa persiapan guru yang memadai. Kedua,
organizations (27%), be active in politics penelitian substansi; menunjukkan bahwa
(10%) (Deth, 2013, p. 11). Gambaran serupa pendekatan partisipatif seperti class voting,
juga disimpulkan oleh Denters and van der group inquiry, simulations, fieldwork dan
Kolk (Deth, 2013) bahwa “...the general cooperative learning, lebih cenderung untuk
statement of a good citizen being one who is membuat siswa terlibat dalam belajar dengan
138
Upaya Pembentukan Warga …. Suyato, dkk.
139
Jurnal Civics Volume 13 Nomor 2, Desember 2016
140
Upaya Pembentukan Warga …. Suyato, dkk.
142
Upaya Pembentukan Warga …. Suyato, dkk.
143
Jurnal Civics Volume 13 Nomor 2, Desember 2016
145
Jurnal Civics Volume 13 Nomor 2, Desember 2016
146
Upaya Pembentukan Warga …. Suyato, dkk.
e. Dimensi 5: Dialog. Dalam dimensi ini, berpikir ini hanya cocok untuk dunia industri
pembahasan difokuskan pada yang berorientasi pada produksi massal
kemampuan dan kemauan seseorang dengan standar dan mekanisme yang seragam.
untuk melakukan dialog. Dialog Keseragaman mengingkari hukum alam.
mengisyaratkan kemauan seseorang Alam bersifat heterogen, demikian juga
untuk menghormati dan menerima seharusnya proses pendidikan, baik cara
pendapat atau visi orang lain dan yang maupun penekanan tujuannya.
memiliki kesadaran untuk mencapai Pelajaran kedua yang bisa ditarik dari
kesepakatan atau pemahaman timbal hasil penelitian ini adalah bahwa untuk
balik. Dua sifat yang harus dimiliki daerah-daerah dengan kondisi sarana dan
yaitu empathy dan kompetensi prasarana yang sangat terbatas, guru justru
dialogis. mendapat keleluasaan untuk melakukan
Dari perspektif teori yang dikemukakan “eksperimentasi” dengan mengerahkan segala
di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan atau kreativitas mereka.
ada lima dimensi dari sikap positif terhadap Kebanyakan dari mereka (terutama yang
demokrasi dan keberagaman, yang bisa ditempatkan di Papua atau di SD Perintis),
dijadikan pedoman para guru ketika berusaha justru memanfaatkan keterbatasan sarana dan
membentuk warga negara yang demokratis, prasarana sekolah dengan cara
yaitu: (1) elaborasi pemahaman akan nilai- menyelenggarakan kegiatan belajar di luas
nilai demokrasi dan keberagaman (refleksi ruang kelas dengan memanfaatkan alam
dan sensitivitas moral); (2) kapasitas (efikasi sebagai media pembelajaran. Dengan
internal dan eksternal); (3) hubungan- demikian, upaya penyiapan warga negara
hubungan aktif (komitmen dan koneksi); (4) yang baik melampaui tembok atau pagar (bisa
Kemauan transformasi (bersifat terbuka jadi tidak ada tembok atau pagar) sekolah
terhadap kritik ); dan (5) kemampuan termasuk tuntutan birokratis. Ada yang
berdialog ( empati dan kompetensi dialogis). menekankan pentingnya kedisiplinan (di
Kelima sikap positif tersebut sebenarnya Malinau), belajar mengoperasikan laptop
sudah dipraktikkan di dalam budaya sebagai pengantar pelatihan Teknologi
masyarakat Indonesia hanya tidak secara Informasi (IT) (di Pegunungan Bintang),
tegas dinyatakan bahwa sikap tersebut adalah Demikian juga dengan pengalaman
sikap positif terhadap demokrasi. beberapa subjek penelitian yang mengajar di
Proses pembentukan warga negara yang SD menarik untuk dikaji lebih lanjut. Dengan
baik ternyata tidak bisa dilakukan dengan latar belakang akademik yang dimaksudkan
pendekatan kebijakan yang bersifat top down untuk menjadi guru mata pelajaran (baca:
(dari Pemerintah Pusat), tetapi harus bersifat guru PPKn), di lapangan mereka terpaksa
bottom up (dari bawah-akar rumput). Dengan harus mengajar sebagai guru kelas. Perlunya
kata lain, harus bersifat kontekstual. Daerah mata kuliah peminatan yang berorientasi
tertentu dengan karakteristik alam dan kultur sebagai koordinator pendidikan karakter atau
khas, harus mendapat perhatian khusus pendidikan moral pada tingkat pendidikan
sehingga program pembentukan warga negara dasar tampaknya perlu mendapat perhatian.
yang baik bisa efektif. Pendekatan one size fits Lebih-lebih, pendekatan tematik menjadi
all sudah saatnya ditinggalkan. Logika kebijakan pemerintah saat ini untuk tingkat
147
Jurnal Civics Volume 13 Nomor 2, Desember 2016
148
Upaya Pembentukan Warga …. Suyato, dkk.
150