Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Space Occupying Lesion (SOL) merupakan lesi yang meluas atau menempati
ruang dalam otak termasuk tumor, hematoma, abses, maupun tuberkuloma. Karena
cranium merupakan tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi maka lesi-lesi ini
akan meningkatkan tekanan intrakranial. Suatu lesi yang meluas pertama kali
diakomodasi dengan cara mengeluarkan cairan serebrospinal dari rongga cranium.
Akhirnya vena mengalami kompresi dan gangguan sirkulasi darah otak dan cairan
serebrospinal mulai timbul dan tekanan intrakranial mulai naik. Kongestivenosa
menimbulkan peningkatan produksi dan penurunan absorbsi cairan serebrospinal dan
meningkatkan volume dan terjadi kembali hal-hal seperti di atas.

Tuberkulosis merupakan penyakit endemi di negara berkembang dan 30% dari


space occupying lesion adalah tuberkuloma. Tuberkuloma intrakranial merupakan
kejadian yang langka dan salah satu penyebab lesi massa intrakranial. Dengan
diagnosis yang cepat berdasarkan temuan patologis dapat meningkatkan prognosisnya.

Tuberkuloma cerebra (tuberculosis otak) merupakan penyakit yang jarang


didapatkan tetapi menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi walaupun
metode diagnostic dan pengobatan sudah modern (WY Lee, KY Pang, dan CK Wong,
2002). Tuberkuloma cerebral menyebabkan masa lesi intracerebral. Diagnosis cepat
berdasarkan penemuan tanda patologi dapat meningkatkan prognosis (H Yanardag,
dkk, 2005). Penanganan tuberkuloma tergantung pada kondisi penderita dan lokasi
tuberkuloma. Bila kondisi penderita stabil dan tidak ada massa yang menonjol, terapi
konservatif sebaiknya dilakukan terlebih dahulu.

Toksoplasma serebri, merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi


oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadiannya mencapai 30-
50%, sedangkan di Eropa mencapai 50-70%. Berdasarkan penelitian di bagian

1
neuroinfeksi RSUPNCM angka kejadian 31%. Diagnosis presumtif toksoplasma
serebri dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan penunjang serologis
dan pencitraan, baik dengan CT Scan atau MRI. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan baku emasnya dengan pemeriksaan histopatologis dari biopsy dan
ditemukannya takizoit dan bradizoit. Lesi toksoplasma serebri sulit dibedakan dengan
lesi lainnya, meskipun demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal
tunggal atau multiple yang menyangat bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi
tersering pada basal ganglia 75%, thalamus, periventrikular, dan corticomedullary
junction (subkotikal) disertai edema perifokal dan berdiameter 1 sampai ≤ 3cm.

Sejak 2 dekade terakhir setelah ditemukannya AIDS, jumlah penderita AIDS


secara dramatis meningkat tajam, 90% individu yang terinfeksi ini tinggal di negara
berkembang, termasuk Indonesia. Lebih dari 50% penderita yang terinveksi HIV akan
berkembang menjadi kelainan neurologis. Kelainan neurologis yang sering terjadi pada
penderita yang terinfeksi HIV adalah toksoplasma serebri, limfoma SSP, meningitis
criptococcal, CMV ensefalitis dan progressive multifocal leukoencephalopathy.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. SPACE OCCUPYING LESION (SOL)

Space occupying lesion (SOL) merupakan generalisasi masalah tentang adanya


lesi pada ruang intrakranial khususnya yang mengenai otak. Banyak penyebab yang
dapat menimbulkan lesi pada otak seperti kontusio serebri, hematoma, infark, abses
otak, dan tumor intrakranial. Karena cranium merupakan tempat yang kaku dengan
volume yang terfiksasi, maka lesi-lesi ini akan meningkatkan tekanan intrakranial.
(Long C, 1996).

Tekanan intrakranial adalah tekanan dalam ruang tengkorak. Dimana ruang


tengkorak terdiri atas pembuluh darah 2-10%, cairan cerebrospinal 9-11%, dan
jaringan otak s.d 88%.

Peningkatan tekanan intrakranial adalah suatu peningkatan diatas normal dari


tekanan cairan cerebrospinal di dalam ruang subaraknoid. Normalnya tekanan
intrakranial adalah 80-180 mm air atau 0-15 mmHg.

Peningkatan TIK dapat


disebabkan oleh beberapa faktor:
bertambahnya massa dalam tengkorak,
terbentuknya oedema sekitar tumor,
dan perubahan cairan serebrospinal.
Pertumbuhan tumor akan mendesak
ruang yang relatif tetap pada tengkorak
(Sjamsuhidajat, 2011). Mekanisme
terbentuknya oedema pada kanker
diduga karena selisih osmotik yang
menyebabkan penyerapan cairan otak.

3
Sefalgia dapat merupakan tanda dari proses penyakit tertentu baik ekstrakranial
maupun intrakranial. Tumor dan abses serebral merupakan contoh dari space
occupying lesion (SOL) yang menimbulkan nyeri kepala oleh karena terjadinya
kompresi jaringan otak terhadap tengkorak sehingga meningkatkan tekanan
intrakranial. Mual dengan atau tanpa muntah dapat menyertai nyeri kepala yang
disebabkan oleh migrain, glaukoma, SOL, dan meningitis (AANS, 2012).

Tumor intrakranial atau yang juga dikenal dengan tumor otak, ialah massa
abnormal dari jaringan di dalam cranium, dimana sel-sel tumbuh dan membelah tidak
dapat dikendalikan oleh mekanisme yang mengontrol sel-sel normal (Dorland,2015).
Terdapat lebih dari 150 jenis tumor intrakranial yang telah ditemukan, namun
menurut asalnya, tumor intrakranial atau tumor otak dikelompokan menjadi tumor
primer dan tumor sekunder (AANS, 2012; University, 2014)

Tumor otak primer mencakup tumor yang berasal dari sel-sel otak, selaput otak
(meninges), saraf, atau kelenjar. Tumor otak sekunder merupakan tumor yang berasal
dari tumor ganas jaringan tubuh lain (University, 2014).

Tumor intrakranial menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif.


Gangguan neurologik pada tumor otak disebabkan oleh gangguan fokal akibat tumor
dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Gangguan fokal terjadi apabila terdapat
penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau invasi langsung pada parenkim
otak dengan kerusakan jaringan neural (Price, 2005).

4
Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor menyebabkan nekrosis jaringan
otak dan bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut. Serangan kejang
merupakan manifestasi aktivitas listrik abnormal yang dihubungkan dengan
kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak (Sjamsuhidajat, 2011).
Beberapa tumor juga menekan parenkim otak sekitarnya sehingga memperberat
gangguan neurologis fokal (Price, 2005)

Gejala yang biasanya banyak terjadi akibat tekanan ini adalah sakit kepala,
muntah, papil edema (choked disc atau edema saraf optik), perubahan kepribadian
dan adanya variasi penurunan fokal motorik, sensorik dan disfungsi saraf kranial.

Sakit kepala, meskipun tidak selalu ada, tetapi ini banyak terjadi pada pagi hari
dan menjadi buruk oleh karena batuk, menengang atau melakukan gerakan yang tiba-
tiba. Keadaan ini disebabkan oleh serangan tumor, tekanan atau penyimpanan
struktur, sensitif nyeri atau oleh karena edema yang mengiringi adanya tumor.

Sakit kepala selalu digambarkan dalam atau meluas atau dangkal tetapi terus
menerus. Tumor frontal menghasilkan sakit kepala pada frontal bilateral: tumor
kelenjar hipofisis menghasilakn nyeri yang menyebar antara dua pelipis (bitemporal):
tumor serebelum menyebabkan sakit kepala yang terletak pada daerah suboksipital
bagian belakang kepala.

Muntah, kadang-kadang dipengaruhi oleh asupan makanan, yang selalu


disebabkan adanya iritasi pada pusat vagal dimedula, jika muntah dengan tipe yang
kuat, hal ini digambarkan sebagai muntah proyektil.

Papiledema (edema pada saraf optik) ada sekitar 70-75% dari pasien dan
dihubungkan dengan gangguan penglihatan seperti penurunan ketajaman penglihatan,
diploppia (pandangan ganda) dan penurunan lapang pandangan. Gejala terlokalisasi,
lokasi gejala-gejala terjadi sepesifik sesuai dengan gangguan daerah otak yang
terkena, menyebabkan tanda-tanda yang ditunjukkan lokal, seperti pada ketidak
normalan sensori dan motorik, perubahan penglihatan dan kejang. Karena fungsi-
fungsi dari bagian-bagian berbeda dari otak yang tidak diketahui, lokasi tumor

5
dapat ditentukan pada bagiannya, dengan mengindentifikasi fungsi yang dipengaruhi
oleh adanya tumor.

Menurut National Cancer Institute USA, berdasarkan data tahun 2006 s.d.
2010, jumlah kasus baru kanker otak dan sistem saraf lainnya adalah 6,5 per 100.000
pria dan wanita per tahun. Jumlah kematian diperkirakan 4,3 per 100.000 pria dan
wanita per tahun (Fynn, 2004). Tumor metastasis ke otak terdapat pada sekitar satu
dari empat pasien dengan kanker, atau sekitar 150.000 orang per tahun (Lo BM et all,
2015).

2. TUBERKULOMA SEREBRI
2.1. Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya.

Tuberkuloma intrakranial adalah suatu massa seperti tumor yang berasal dari
penyebaran secara hematogen lesi tuberkulosa pada bagian tubuh yang lain terutama
dari paru. Tuberkuloma sering multiple dan paling banyak berlokasi pada fosa
posterior pada anak dan orang dewasa tetapi dapat juga pada hemisfer serebri
(Shams, 2011).

Tuberkulosis Cerebral adalah salah satu bentuk tuberkulosis yang menyerang


sistem central nervous yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang
menginfeksi otak. Tuberkulosis cerebral merupakan suatu proses peradangan kronik
dan destruktif yang disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen
dari fokus jauh, dan hampir selalu berasal dari paru-paru. Penyebaran basil ini dapat
terjadi pada waktu infeksi primer atau pasca primer. Penyakit ini sering terjadi pada
anak-anak, gangguan sistem imun, dan penderita AIDS.

Pada CT Scan terlihat gambaran granuloma tuberkulosa merupakan low


attenuation dengan kontras yang meningkat pada kapsulnya. Biasanya dikelilingi
oedema dan lesi dapat multiple. Pada tuberkuloma kadang terdapat kalsifikasi.
6
Diagnosa preoperative biasanya diapresiasikan hanya setelah pengenalan focus
tuberkulosa pada tempat lain ditubuh.

2.2. Etiologi

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis, sejenis kuman yang berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-4 μm dan tebal 0,3-0,6
μm dan digolongkan dalam basil tahan asam
(BTA).

Kuman Mycobacterium tuberculosisi berbentuk batang, mempunyai sifat khusus


yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai
Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun
(DepKesRI, 2003). Pada manusia paru-paru merupakan pintu gerbang utama
masuknya infeksi pada organ lain, bahkan bisa sampai menginfeksi otak.

Mycobacterium tuberculosis adalah tahan asam, tidak berspora, tidak berkapsul,


dan obligat aerob. Pertumbuhannya lambat, yaitu waktu penggandaannya adalah 12-
24 jam, 2-6 minggu pada media yang padat. Tumbuh baik pada suhu badan. Dapat
bertahan hidup dalam kondisi kering dalam beberapa lama, tetapi dapat mati oleh
cahaya langsung matahari, sinar Ultraviolet, 60°C dalam 20 menit, atau phenol (zat
asam karbol) dalam 12 jam (Anonim, 2004).

2.3. Epidemiologi

Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)


di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Pada daerah dengan
ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang
akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi
penderita TB, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB.

7
Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan
ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita
tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif.

Ekstrapulmonal Tuberkulosis kejadiannya diperkirakan 20% dari kejadian semua


tuberkulosis dan kejadiannya meningkat setiap tahunnya. Tuberkulosis sistem central
nervous kejadiannya diperkirakan hanya 5% dari kejadian ekstrapulmonal
tuberkulosis, sedangkan untuk tuberkulosis cerebral tidak ada data pasti sebanyak apa
tingkat kejadiannya, karena bentuk tuberkulosis ini sangat jarang terjadi dan juga
jarang dilaporkan.

Pada awal abad 20, tuberculoma pada Central Nervus System (CNS) merupakan
34% dari semua lesi massa intrakranial diidentifikasi pada otopsi. Rasio ini
ditemukan sekitar 0,2% di semua tumor otak yang dibiopsi antara tahun 1955 dan
1980 pada lembaga neurologis pada negara maju. Frekuensi keterlibatan CNS
berdasarkan literature berkisar dari 0,5% sampai 5,0%, dan banyak ditemukan pada
Negara berkembang. Manifestasi yang sering dari tuberculosis CNS adalah
tuberculosis meningitis, diikuti oleh tuberkuloma dan abses tuberculosis.

Tuberkuloma ditemukan hanya 15% sampai 30% dari kasus tuberkulosis CNS
dan kebanyakan terjadi pada hemisfer. Sejauh ini berdasarkan literatur hanya empat
kasus yang dilaporkan terjadi pada sinus kavernosus. Lokasi yang jarang lainnya
adalah pada area sellar, sudut cerebellopontin, Merckel’s cave, sisterna suprasellar,
region hypothalamus. Tuberkuloma yang berlokasi pada sisterna prepontin belum ada
laporan berdasarkan literatur. Walaupun tuberculoma biasanya lebih banyak pada
negara berkembang dapat juga meningkat pada negara maju dalam kaitan dengan
efek infeksi HIV dari tampakan klinis TBC (Yanardag et al, 2005).

Tuberkuloma central nervous system (CNS) berhubungan dengan morbiditas dan


mortlitas, meskipun terdapat metode dan deteksi serta pengobatan modern (Lee,
2002).

8
2.4. Patogenesis

Cara penularan TB yang paling banyak ialah melalui saluran napas, meskipun
cara lain masih mungkin. Kuman TB yang masuk alveol akan ditangkap dan dicerna
oleh makrofag. Bila kuman virulen, ia akan berbiak dalam makrofag dan merusak
makrofag. Makrofag yang rusak mengeluarkan bahan kemotaksik yang menarik
monosit (makrofag) dari peredaran darah dan membentuk tuberkel kecil. Aktivasi
makrofag yang berasal dari darah dan membentuk tuberkel ini dirangsang oleh
limfokin yang dihasilkan dari sel T limfosit.

Kuman yang berada di alveol membentuk fokus Ghon, melalui saluran getah
bening kuman akan mencapai kelenjar getah bening di hilus dan membentuk fokus
lain (limfadenopati). Fokus Ghon bersama dengan limfadenopati hilus disebut primer
kompleks dan Ranke. Selanjutnya kuman menyebar melalui saluran limfe dan
pembuluh darah dan tersangkut di berbagai organ tubuh. Jadi TB primer merupakan
suatu infeksi sistemik. Pada saat terjadinya bakteremia yang berasal dari focus
infeksi, TB primer terbentuk beberapa tuberkel kecil pada meningen atau medula
spinalis. Tuberkel dapat pecah dan memasuki cairan otak dalam ruang subarachnoid
dan sistim ventrikel, menimbulkan meningitis dengan proses patologi berupa:
1. Keradangan cairan serebrospinal. meningen yang berlanjut menjadi
araknoiditis, hidrosefalus dan gangguan saraf pusat
2. Vaskulitis dengan berbagai kelainan serebral, antara lain infark dan edema
vasogenik.
3. Ensefalopati atau mielopati akibat proses alergi.

Gambaran klinis penderita dibagi menjadi 3 fase. Pada fase permulaan gejalanya
tidak khas, berupa malaise, apati, anoreksia, demam, nyeri kepala. Setelah minggu
kedua, fase meningitis dengan nyeri kepala, mual, muntah dan mengantuk
(drowsiness). Kelumpuhan saraf knanial dan hidrosefalus terjadi karena eksudat yang
mengalami organisasi, dan vaskulitis yang menyebabkan hemiparesis atau kejang-
kejang yang juga dapat disebabkan oleh proses tuberkuloma intrakranial. Pada fase
ke tiga ditandai dengan mengantuk yang progresif sampai koma dan kerusakan fokal
yang makin berat (Mulyono & santoso, 1997).
9
Tuberkulosis adalah penyakit airbone disebabkan oleh bakteri “Mycobacterium
tuberculosis” dua proses patogenik TB pada CNS adalah meningoencephalitis dan
formasi granuloma (tuberkel). Proses patologi dimulai dengan formasi pada basil,
berisi tuberkel kaseosa (focus kaya) dalam parenkim otak (Lee, 2002).

Tuberkel bisa tumbuh, mendesak atau menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan


menimbulkan gejala yang tergantung pada lokasi, kecepatan tumbuh serta reaksi
radang di sekitarnya, Lesi ini bila bersifat lokal, tuberkel dapat membesar sampai ke
bentuk ukuran tuberkuloma, khususnya jika tersebut kaya focus didalamnya dan
kekuatan regangnya lebih baik daripada jaringan sekitarnya. Tuberkel juga dapat
tersebar, infiltrasi sebagai granulomata. Sebagai alternative fokus kaya tersebut dapat
rupture dan menyebabkan perkembangan meningioencephalitis (Mulyono & santoso,
1997, Lee, 2002).

2.5. Gejala Klinis

Keluhan yang dirasakan pasien tuberculosis cerebral dapat bermacam-macam


atau malah ditemukan tanpa keluhan yang berarti. Biasnya terdapat gangguan
neurologis sesuai dengan tingkat keparahan penyakit dan lokasi infeksi sedang
berlangsung. Gejala yang seing didapatkan adalah defisit neurologic fokal (73%),
sakit kepala (47%), demam (46%), kejang (35%), dan gangguan/perubahan
kesadaran (24%).

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda defisit neurolofik fokal


seperti gangguan bicara, gangguan motorik, medan penglihatan menurun,
hemiparesis, dan hiperreflek.

Gambaran klinis tuberkulosa cerebral tanpa ada kelainan di paru sebagai fokal
infeksi memberikan gambaran menyerupai tumor intracranial, abses cerebral,
neurosarcoidosis. Pada suatu case report, pasien dengan tuberculosis cerebral datang
dengan keluhan yang tidak khas seperti nyeri kepala dan leher, mual, muntah,
strabismus, diplopia, gangguan gaya berjalan, penglihatan teganggu, dan mempunyai
riwayat kejang. Gejala ini dapat membingungkan jika pada pasien tidak ditemukan

10
tanda-tanda infeksi sepeti demam dan tidak adanya riwayat tuberculosis sebelumnya,
sehingga dapat mengaburkan dalam membuat diagnosis.

Gejala klinisnya serupa dengan tumor intrakranial, dengan adanya peningkatan


tekanan intrakranial, tanda neurologic fokal, dan kejang epileptic, symptom sistemik
dari tuberculosis seperti demam, lesu dan keringat berlebihan, terjadi kurang dari
50% dari kasus (Shams, 2011).

Pada tuberkuloma intrakranial, selain terdapat gejala kenaikan tekanan


intrakranial akibat proses desak ruang juga menimbulkan gejala meningitis, sering
disertai TB pada organ lain. Manifestasi klinis dari tuberkuloma intrakranial adalah
proses desak ruang (20% dari proses desak ruang disebabkan oleh tuberkuloma
intrakranial). Gejala yang terjadi akibat dari edema otak, dan ini merupakan indikasi
untuk pemberian kortikosteroid.

Kemoterapi anti tuberkulosis harus segera diberikan pada penderita yang diduga
TB milier tanpa harus menunggu ditemukannya kuman (BTA). Penggunaan
kortikosteroid pada TB miller dapat menyebabkan tuberkel menjadi kecil dan sangat
efektif untuk mengurangi sesak napas yang kadang-kadang dijumpai pada TB milier,
serta untuk mengontrol edema otak (Djoko Mulyono, Djoko Iman Santoso, 1997).

2.6. Diagnosis

Penemuan infeksi sistemik dan laboratorium umum yang berhubungan dengan


infeksi dapat tidak ditemukan, karena basil tuberculosis tidak selalu jelas pada CSF
dan bahkan pada massa yang diambil, maka dari itu hasil yang negative dari
pemeriksaan bakteri tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi tuberculosis.

Neuroradiological imaging dengan CT and MRI mempunyai sensitifitas yang


tinggi untuk tuberkuloma, tetapi spesifitas untuk diagnose defenifnya rendah
(Yanardag et al, 2005). Pada CT Scan sesudah pemberian kontras, tuberkuloma
memberi gambaran sebagai:
1. Lesi berbentuk cincin dengan area hipodens/isodens di tengah dan dinding
yang menyerap kontras.
2. Lesi berbentuk nodul/plaque yang menyerap kontras.
11
Tanpa kontras, lesi pada umumnya hipodens/isodens, pada beberapa kasus
didapatkan kalsifikasi. Gambaran tuberkuloma pada CT Scan sukar dibedakan
dengan tumor, abses atau granuloma kronik (Mulyono & Santoso, 1997).

MRI mempunyai peranan penting dalam diagnose tuberkuloma intracranial Pada


MRI, gambar T1-weighted MR dapat menunjukan area hypo- or isointensity dan T2-
weighted images dapat menunjukan hypointense, isointense atau central hyperintense
zone dikelilingi hypointense rim. Maka biasanya misdiagnosis dengan meningioma,
neurinoma, bahkan dengan metastasis. Saat ini dilaporkan bahwa proton magnetic
resonance spectroscopy membedakan tuberculomas dari kelainan intracranial lainnya
(Yanardag et al, 2005).

Meskipun demikian tumor metastase seperti malignant gliomas, meningiomas,


dan neurocysticercosis dapat menunjukan gambaran yang mirip pada CT maupun
MRI (Lee, 2002).

Beberapa penulis berpendapat bahwa tuberkuloma dapat dipastikan bila pada


serial CT Scan atau serial Magnetic Resonance Imaging (MRI) lesi menghilang
sesudah mendapat terapi obat antituberkulosis (OAT). (Mulyono & Santoso, 1997).

CNS tuberculosis umumnya adalah aktivasi inisial infeksi setelah beberapa


tahun. Maka lesi yang terlihat pada radiografi dada ditujukan untuk gejala sisa
tuberculosis dan hasil serologis diperlukan pada kecurigaan tuberkuloma dalam
periode preoperative. Jika kecurigaan kuat diagnosanya adalah tuberkuloma
pengobatan dengan agen tuberculosis dapat lebih dipakai untuk intervensi
pembedahan dan regresi pada lesi diikuti secara teratur dapat mengkonfirmasi hasil
diagnosis.

Tetapi dalam beberapa kasus khusus, biopsy dapat mencegah kesalahan


diagnosis pada lesi (contoh: meningioma) dan mencegah pasien dari efek berbahaya
yang tidak diperlukan dari pengobatan (misalnya radioterapi), sebagai akibat dari
lokasi yang tidak biasa dari tuberkuloma dan kemampuan untuk meniru lesi yang
sering pada CNS, menyebabkan kesalahan diagnosis preoperatif (Yanardag et al,
2005).
12
Diagnosis pasti tuberkuloma ditegakkan dengan operasi (Mulyono & Santoso,
1997). Pemeriksaan histologi akan mengungkapkan suatu tuberkuloma (Suslu, 2011).

Tuberculoma otak mungkin tunggal atau multiple. D.J. Reddy melaporkan hanya
satu kasus lesi multiple diantara lima kasus. Asenjo1 et al dari Cili tahun 1951
melaporkan 33 kasus multiple tuberculomata dari 97 kasus. Tuberculomata multiple
yang berhubungan dengan plaque like lesions meningen jarang ditemukan. Multiple
tuberkuloma sagat erat hubungannya dengan infeksi HIV/AIDS.

2.7. Penatalaksanaan

Tujuan dari pengobatan Tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita,


mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan.
Pengobatan tuberkulosa cerebral ada 2 macam yaitu dengan pembedahan craniotomy
dan medikamentosa. Untuk tuberkuloma sendiri pengobatannya menjadi lebih
konservatif belakangan ini. Karena banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
dengan pengobatan konservatif menunjukkan hasil yang baik.

a. Medikamentosa
Jenis dan Dosis OAT:
o Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bacterisida, dapat membunuh 90% populasi
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap
kuman dalam keadaan metabolic aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang.
Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu dengan dosis 10 mg/ kg BB (WHO, 1997).

o Rifampisin
Bersifat bakterisida, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak
dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk
pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu (WHO, 1997).

o Pirazinamid
Bersifat bakterisida, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk
13
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB
(WHO, 1997).

o Streptomisin
Bersifat bakterisida, dosis yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita
yang berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk berumur
60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari (WHO, 1997).

o Etambutol
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30
mg/kg BB (WHO, 1997).

Prinsip pengobatan: Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap
hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
OAT. Sedangkan ditahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjut ini penting untuk membunuh
kuman persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (WHO, 1997).

Panduan OAT di Indonesia, WHO merekomendasikan panduan OAT standart,


yaitu :

 Kategori 1 :
o 2HRZE/1H3R3
o 2HRZE/1HR
o 2HRZE/6HE
 Kategori 2 :
o 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
o 2HRZES/HRZE/5HRE
 Kategori 3 :
o 2HRZ/1H3R3
o 2HRZ/1HR
o 2HRZ/6HE
14
 Kategori 1 diberikan pada :
‒ Penderita baru TB paru BTA positif
‒ Penderita TB paru BTA negative, Rontgen positif sakit berat
‒ Penderita TB ekstra paru berat
 Kategori 2 diberikan pada :
‒ Penderita kambuhan
‒ Penderita gagal
‒ Penderita dengan pengobatan setelah lalai
 Kategori 3 diberikan pada :
‒ Penderita TB paru BTA negative, Rontgen positif sakit ringan
‒ Penderita ekstra paru ringan, yaitu TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif
unilateral, TB kulit, TB tulang dan kelenjar adrenal

b. Operatif
Pengobatan optimal adalah eksisi tuberkuloma, jika tuberkuloma berada di
daerah yang dapat dijangkau dengan operasi dan diikuti kemoterapi antituberkulosa
(Shams, 2011). Indikasi operasi pada tuberkuloma adalah adanya peningkatan
Intrakranial atau akan dilakukan biopsi untuk memastikan diagnosa.

2.8. Komplikasi

Komplikasi yang mugkin terjadi pada tuberkuloma intrakranial yaitu:

1. Peningkatan TIK
2. Destruksi Otak Ireversibel
3. Gejala sisa yang menginkat pada keterlambatan inisiasi terapi
4. Syringomyelia Akut atau Kronis
5. Hilangnya penglihatan pada Optochiasmatic Tuberculoma

2.9. Prognosis

Demam, sakit kepala, tanda-tanda iritasi meningeal dan kelumpuhan saraf


kranial adalah gejala umum yang sering terjadi. Pemulihan lengkap terlihat pada
pasien 40%. Koma dan TB milier predisposisi prognosis buruk.

15
3. TOKSOPLASMOSIS SEREBRI
3.1. Definisi

Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii,


merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia (Hiswani,
2005). Parasit ini merupakan golongan Protozoa yang bersifat parasit obligat
intraseseluler. Menurut Wiknjosastro (2007), toksoplasmosis menjadi sangat
penting karena infeksi yang terjadi pada saat kehamilan dapat menyebabkan abortus
spontan atau kelahiran anak yang dalam kondisi abnormal atau disebut sebagai
kelainan kongenital seperti hidrosefalus, mikrosefalus, iridosiklisis dan retardasi
mental.

Toksoplasmosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang banyak dijumpai di


hampir seluruh dunia dan menyerang berbagai jenis mamalia. Kasus toksoplasmosis
juga banyak terjadi pada manusia bahkan disebut sebagai opportunistic diseases pada
immunocompromise patients. Penyakit ini mempunyai dampak ekonomis yang penting
karena mampu menimbulkan penurunan produksi, gangguan pertumbuhan dan
fertilitas, termasuk abortus.

Ensefalitis toksoplasma disebut juga toksoplasmosis otak, muncul pada kurang


lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati. Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit
kepala berat yang tidak menanggapi pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang,
kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah
berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien
menunjukkan tanda infeksi.

Toksoplasmosis adalah penyebab utama penyakit Sistem Saraf Pusat (SSP) pada
AIDS. Toksoplasmosis SSP pada pasien terinfeksi HIV biasanya merupakan
komplikasi dari fase akhir penyakit.

3.2. Etiologi

Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung
dan hewan lainyang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan
kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam
16
sistem kekebalan, ia menetap di sana; tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat
dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit.

Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba
yang mentah yang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari
sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat
terjadi transmisi lewat transplasental, transfusidarah, dan transplantasi organ. Infeksi
akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia
dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksilaten. Yang
akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.

3.3. Siklus hidup

Daur hidup T. gondii melalui dua siklus yaitu siklus enteroepitel dan siklus
ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh hospes definitif seperti kucing.
Siklus ekstraintestinal pula di dalam tubuh hospes perantara seperti manusia, kambing
dan domba. Pada siklus ekstraintestinal, ookista yang keluar bersama tinja kucing
belum bersifat infektif. Setelah mengalami sporulasi, ookista akan berisi sporozoit dan
menjadi bentuk yang infektif. Manusia dan hospes perantara lainnya akan terinfeksi
jika tertelan bentuk ookista tersebut.
Di dalam ileum, dinding ookista akan hancur sehingga sporozoit bebas.
Sporozoit-sporozoit ini menembus mukosa ileum dan mengikuti aliran darah dan

17
limfa menuju berbagai organ tubuh seperti otak, mata, hati dan jantung.

Sporozoit bebas akan membentuk pseudokista setelah berada dalam sel organ-
organ tersebut. Pseudokista tersebut berisi endozoit atau yang lebih dikenal sebagai
takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara
berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista
biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten).

3.4. Cara Penularan

Gambar Cara Penularan Toksoplasmosis


Sumber: American Family Physician (2003)

Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara. Pada


toksoplasmosis kongenital, transmisi toksoplasma kepada janin terjadi melalui
plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil. Pada toksoplasmosis
akuista, infeksi dapat terjadi bila makan buah, sayur, dan daging mentah atau kurang
matang ketika bahan makanan tersebut mengandung kista atau trofozoit T. gondii.
Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif parasit ini pada
waktu pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk penyebaran T. gondii.

18
Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang
dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang sering terjadi dengan hewan
terkontaminasi atau dagingnya, dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang
lebih tinggi di antara dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah
potong hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak
(Chahaya, 2003). Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari
donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T.
gondii. Infeksi juga dapat terjadi di laroratorium pada orang yang bekerja dengan
binatang percobaan yang diinfeksi dengan T. gondii yang hidup. Infeksi dengan T.
gondii juga dapat terjadi waktu mengerjakan autopsi.

3.5. Gejala Klinis

Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang
meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan
perubahan kepribadian.

Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala dan rasa bingung
dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya abses
sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu
merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-penderita
yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnya
cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan
penurunan kesadaran.

Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa, misalnya retardasi
mental dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sikatriks pada retina yang
dapat kambuh pada masa anak-anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena
toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital. Akibat
kerusakan pada berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi bermacam-macam
jenisnya.

19
3.6. Diagnosis

 Pemeriksaan Serologi: didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM.


Deteksi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA),
aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai
puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.
 Pemeriksaan cairan serebrospinal: menunjukkan adanya pleositosis ringan dari
mononuklear predominan dan elevasi protein.
 Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR): mendeteksi DNA T. gondii. PCR
untuk T. gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus
atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR
yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst
dapat bertahanlama berada di otak setelah infeksi akut.
 CT scan: menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple
disertai dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen
dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma
jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.
 Biopsi otak : untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak.

3.7. Penatalaksanaan

 Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin.


Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak.
 Toxoplasma Gondii, membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat
penggunaannya.
 Kombinasi pirimetamin 50-100mg perhari yang dikombinasikan dengan
sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam.
 Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-
100mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
 Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum
tulang.

20
 Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin
1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap
6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan
gejala klinis.
 Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV
dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total
kurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.

21
BAB III

PEMBAHASAN

Pada pasien ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis pasien didapatkan nyeri kepala, terjadi secara
kronik, progresif, berdenyut, dan memberat terutama pada pagi hari, pada seluruh kepala
terutama bagian depan. Hal ini sesuai dengan adanya gejala nyeri kepala yang
berhubungan dengan peningkatan TIK. Nyeri kepala ini cenderung bersifat intermittent,
tumpul, berdenyut dan memberat terutama di pagi hari karena selama tidur malam PCO2
serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan Cerebral Blood Flow (CBF) dan
dengan demikian mempertinggi tekanan intrakranial.

Pada saat mengalami nyeri kepala pasien mengaku disertai muntah, muntah tanpa
diawali dengan mual, mengindikasikan tumor yang luas dengan efek massa tumor
tersebut juga mengidikasikan adanya pergeseran otak. Sifat muntah dari penderita dengan
TIK meningkat adalah khas, yaitu muntah yang “menyemprot” (proyektil) dan tidak
didahului oleh mual. Hal ini terjadi oleh karena tekanan intrakranial yang menjadi lebih
tinggi selama tidur malam, akibat PCO2 serebral meningkat. Muntah proyektil tanpa
didahului mual memperbesar kecurigaan adanya suatu masa intrakranial.

Dari anamnesis didapatkan adanya pandangan kabur. Hal ini sesuai dengan adanya
kemungkinan tumor berdasarkan lobus fokal, dalam hal ini dicurigai terjadi pada bagian
frontal. Apabila tumor terletak pada basis lobus frontalis, kehilangan sensasi penciuman
(anosmia), gangguan penglihatan, dan pembengkakan pada nervus optikus (papiloedema)
dapat terjadi.

Pada tumor otak biasanya gangguan penglihatan disebabkan oleh karena terjadinya
papiloedema atau karena pendesakan oleh tumor itu sendiri. Gangguan penglihatan yang
terjadi pada pasien ini kemungkinan juga disebabkan peningkatan tekanan intrakranial
hingga mendesak chiasma optikum sehingga terjadi gangguan penglihatan berupa
penurunan visus pada kedua mata.

22
Pada pemeriksaan N. Cranial pada N. II didapatkan refleks cahaya dextra (+)
sedangkan sinistra (-), visus OD 1/300 dan visus OS 0, lapang pandang bagian dextra
terbatas.

Pemeriksaan penunjang: laboratorium darah rutin dan kimia lengkap dalam batas
normal, pada pemeriksaan toxoplasma didapatkan Anti Toxoplasma IgG positif 83.00
IU/mL. Hasil tersebut sesuai dengan teori bahwa pasien tidak selalu menunjukkan tanda
infeksi toksoplasmosis, namun berdasarkan pemeriksaan serologi didapatkan anti
toxoplasma IgG positif.

CT-Scan tampak
massa tumor temporoparietal
kanan bentuk ring dengan
mass effect sampai cortical
subcortical kanan dengan
kontras enchancement. Hal
tersebut sesuai dengan teori
diagnosis tuberkuloma dan
lokasi tumor pada lobus
frontalis dapat menyebabkan
pandangan mata kabur
disebabkan oleh karena
terjadinya papil edema atau
karena pendesakan oleh
tumor itu sendiri. Gangguan
penglihatan yang terjadi
pada pasien ini kemungkinan
juga disebabkan peningkatan tekanan intrakranial hingga mendesak chiasma optikum
sehingga terjadi gangguan penglihatan berupa penurunan visus pada kedua mata.

Gambaran CT-scan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi pasien
yang diduga menderita tumor otak. Gambaran CT-scan pada tumor otak, umumnya
tampak sebagai lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur otak sekitarnya.
23
Biasanya tumor otak dikelilingi jaringan oedem yang terlihat jelas karena densitasnya
lebih rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan, atau invasi mudah dibedakan dengan
jaringan sekitarnya karena sifatnya yang hiperdens. Beberapa jenis tumor otak akan
terlihat lebih nyata bila pada waktu pemeriksaan CT-scan disertai dengan pemberian zat
kontras.

Pada pasien ini tidak ditemukan gejala afasia karena lesi yang terjadi tidak
melibatkan bagian posterior gyrus frontalis inferior dekstra maupun area brocca. Pada
pasien juga tidak ditemukan gejala anosmia karena tidak ada penekanan pada saraf
olfaktorius. Lesi pada lobus temporalis dapat mengakibatkan perubahan kepribadian:
antisosial, kehilangan inisiatif, penurunan tingkat intelektual (misalnya deemensia,
terutama jika korpus kalosum terlibat), bila tumor menekan jaras motorik menimbulkan
hemiparese kontra lateral, kejang fokal, dan pada lobus dominan menimbulkan gejala
afasia.

Penatalaksanaan untuk pasien ini adalah pengobatan medikamentosa dan


pembedahan. Penatalaksanaan sementara yang dapat dilakukan pada pasien ini adalah
terapi suportif, yaitu infus NaCl 0.9 % 1500 cc/24 jam (20 tpm makro), Metil Prednisolon
2 x 31,5 mg (iv) jenis kortikosteroid untuk menurunkan oedem serebri dan mengurangi
tekanan Intrakranial diberikan secara tapp off, Ranitidine 3 x 50 mg (iv), Ketorolac 3 x 1
amp (iv), OAT, Kalmeco 2 x 1 amp (iv) dan Pirimetamin 2 x 25 mg + Clindamicin 3 x
300 mg untuk pengobatan toksoplasmosis. Terapi pembedahan dapat dilakukan untuk
mengurangi tumor pokok, memberikan jalan untuk cairan serebrospinal (CSF) mengalir
dan mencapai potensial penyembuhan.

Prognosis untuk pasien ini tergantung pada tipe tumor dan seberapa luas lesi abses
intrakranial, hanya dapat diketahui dengan tindakan operatif (craniotomy).

24
BAB IV

KESIMPULAN

Tuberkulosis merupakan penyakit endemi di negara berkembang dan 30% dari


space occupation lesi adalah tuberkuloma. Tuberculoma intrakranial berasal dari
penyebaran secara hematogen dari lesi tuberkulosa pada bagian tubuh yang lain terutama
dari paru.

Gejala klinisnya serupa dengan tumor intrakranial, dengan adanya peningkatan


tekanan intracranial, tanda neurologic fokal, dan kejang epileptic, symptom sistemik dari
tuberculosis seperti demam, lesuh dan keringat berlebihan, terjadi kurang dari 50% dari
kasus.

Diagnosis Tuberkoloma intra cranial meliputi penemuan infeksi sistemik dan


laboratorium umum Neuroradiological imaging dengan CT and MRI (mempunyai
sensitifitas yang tinggi untuk tuberkuloma, tetapi spesifitas untuk diagnose defenifnya
rendah), radiografi dada, serologis, biopsy. Diagnosis pasti tuberkuloma ditegakkan
dengan operasi dan pemeriksaan histologi akan mengungkapkan suatu tuberkuloma.

Pengobatan optimal adalah eksisi tuberkuloma, jika tuberkuloma berada di daerah


yang dapat dijangkau dengan operasi dan diikuti kemoterapi antituberkulosa.

Toksoplasmosis merupakan infeksi oportunistik yang serius. Jika anda belum


terinfeksi tokso, anda dapat menghindari risiko terpajan infeksi dengan tidak memakan
daging atau ikan mentah, dan ambil kewaspadaan lebih lanjut jika anda membersihkan
kandang kucing atau hewan lainnya.

Jika mengalami kepala nyeri, disorientasi, kejang-kejang, atau gejala tokso lain,
maka langsung menghubungi dokter. Dengan diagnosis dan pengobatan dini, tokso dapat
diobati secara efektif. Jika mengalami penyakit tokso, sebaiknya anda terus memakai obat
antitokso untuk mencegah penyakitnya kambuh.

25
DAFTAR PUSTAKA

Barbara C. Long, alih bahasa R.Karnaen dkk, 1996, Perawatan Medikal Bedah. EGC,
Jakarta Barbara L. Bullock 1996, Patofisiology, Adaptasi and alterations infeksius
function, Fourth edition, Lipincott, Philadelpia

Brunner & Sudarth, 2003, Buku Ajar Medikal Bedah Ed 8 Vol 3 , EGC, jakarta

Sylvia A. Price, Alih bahasa Adji Dharma, 1995 Patofisiologi, konsep klinik proses-
proses penyakit ed. 4, EGC, Jakarta

Anonim 2011. Anatomi dan Fisiologi Otak. http://www.scribd.com/doc/28579070/


Anatomi-Dan-Fisiologi-Otak, diakses 15 April 2018 jam 20.00

Lee WY, KY Pang, CK Wong, 2002. Case Report; Tuber Brain tuberculoma in
HongKong. HKMJ 2002;8:52-6.

Mulyono, Djoko, Djoko Iman Santoso, 1997. Tuberkulosis Milier dengan Tuberkuloma.

Intrakranial Laporan Kasus. PPDS I Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Rumah Sakit Umum Daerah Dr Sutomo, Surabaya.

Shams, Shahzad. 2011. Intracranial Tuberculoma. Omar Hospital, Jail Road, Lahore,
Pakistan. www Brain Tuberculomas.htm, diakses 16 April 2018 jam 01.00.

Suslu, Hikmet Turan, Mustafa Bozbuga, Cicek Bayindir, 2010. Cerebral Tuberculoma
Mimicking High Grade Glial Tumor. JTN.: 21( 3): 427-429.

Yanardag, H S Uygun, V Yumuk, M Caner, B Canbaz, 2005. Cerebral Tuberculosis


Mimicking Intracranial Tumour. Singapore Med J 2005; 46(12) : 731.

Wasay M, Moolani MK, Zaheer J, 2004.Prognostic indicators in patients with intracranial


tuberculoma: a review of 102 cases. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
15134209, diakses 15 April 2018, jam 20.00.

26
Wai S. Poon, A. Ahujal and A.K.C. Li, 1993.Optochiasmatic tuberculoma causing
progressive visual failure: when has medical treatment failed?. Postgrad Med J
(1993) 69, 147- 149.

Ceyalan E, Gencer M. .Milliary Tuberculosis Associated with Multiple Intracranial


Tuberculomas. Tohoku J Exp Med, 2005, 20, 367-370.

D. Bhaskara reddy, v. Kameswararao. TUBERCULOMA OF THE BRAIN. The Indian


Journal Of Tuberculosis.

27

Anda mungkin juga menyukai