PENDAHULUAN
Space Occupying Lesion (SOL) merupakan lesi yang meluas atau menempati
ruang dalam otak termasuk tumor, hematoma, abses, maupun tuberkuloma. Karena
cranium merupakan tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi maka lesi-lesi ini
akan meningkatkan tekanan intrakranial. Suatu lesi yang meluas pertama kali
diakomodasi dengan cara mengeluarkan cairan serebrospinal dari rongga cranium.
Akhirnya vena mengalami kompresi dan gangguan sirkulasi darah otak dan cairan
serebrospinal mulai timbul dan tekanan intrakranial mulai naik. Kongestivenosa
menimbulkan peningkatan produksi dan penurunan absorbsi cairan serebrospinal dan
meningkatkan volume dan terjadi kembali hal-hal seperti di atas.
1
neuroinfeksi RSUPNCM angka kejadian 31%. Diagnosis presumtif toksoplasma
serebri dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan penunjang serologis
dan pencitraan, baik dengan CT Scan atau MRI. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan baku emasnya dengan pemeriksaan histopatologis dari biopsy dan
ditemukannya takizoit dan bradizoit. Lesi toksoplasma serebri sulit dibedakan dengan
lesi lainnya, meskipun demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal
tunggal atau multiple yang menyangat bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi
tersering pada basal ganglia 75%, thalamus, periventrikular, dan corticomedullary
junction (subkotikal) disertai edema perifokal dan berdiameter 1 sampai ≤ 3cm.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Sefalgia dapat merupakan tanda dari proses penyakit tertentu baik ekstrakranial
maupun intrakranial. Tumor dan abses serebral merupakan contoh dari space
occupying lesion (SOL) yang menimbulkan nyeri kepala oleh karena terjadinya
kompresi jaringan otak terhadap tengkorak sehingga meningkatkan tekanan
intrakranial. Mual dengan atau tanpa muntah dapat menyertai nyeri kepala yang
disebabkan oleh migrain, glaukoma, SOL, dan meningitis (AANS, 2012).
Tumor intrakranial atau yang juga dikenal dengan tumor otak, ialah massa
abnormal dari jaringan di dalam cranium, dimana sel-sel tumbuh dan membelah tidak
dapat dikendalikan oleh mekanisme yang mengontrol sel-sel normal (Dorland,2015).
Terdapat lebih dari 150 jenis tumor intrakranial yang telah ditemukan, namun
menurut asalnya, tumor intrakranial atau tumor otak dikelompokan menjadi tumor
primer dan tumor sekunder (AANS, 2012; University, 2014)
Tumor otak primer mencakup tumor yang berasal dari sel-sel otak, selaput otak
(meninges), saraf, atau kelenjar. Tumor otak sekunder merupakan tumor yang berasal
dari tumor ganas jaringan tubuh lain (University, 2014).
4
Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor menyebabkan nekrosis jaringan
otak dan bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut. Serangan kejang
merupakan manifestasi aktivitas listrik abnormal yang dihubungkan dengan
kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak (Sjamsuhidajat, 2011).
Beberapa tumor juga menekan parenkim otak sekitarnya sehingga memperberat
gangguan neurologis fokal (Price, 2005)
Gejala yang biasanya banyak terjadi akibat tekanan ini adalah sakit kepala,
muntah, papil edema (choked disc atau edema saraf optik), perubahan kepribadian
dan adanya variasi penurunan fokal motorik, sensorik dan disfungsi saraf kranial.
Sakit kepala, meskipun tidak selalu ada, tetapi ini banyak terjadi pada pagi hari
dan menjadi buruk oleh karena batuk, menengang atau melakukan gerakan yang tiba-
tiba. Keadaan ini disebabkan oleh serangan tumor, tekanan atau penyimpanan
struktur, sensitif nyeri atau oleh karena edema yang mengiringi adanya tumor.
Sakit kepala selalu digambarkan dalam atau meluas atau dangkal tetapi terus
menerus. Tumor frontal menghasilkan sakit kepala pada frontal bilateral: tumor
kelenjar hipofisis menghasilakn nyeri yang menyebar antara dua pelipis (bitemporal):
tumor serebelum menyebabkan sakit kepala yang terletak pada daerah suboksipital
bagian belakang kepala.
Papiledema (edema pada saraf optik) ada sekitar 70-75% dari pasien dan
dihubungkan dengan gangguan penglihatan seperti penurunan ketajaman penglihatan,
diploppia (pandangan ganda) dan penurunan lapang pandangan. Gejala terlokalisasi,
lokasi gejala-gejala terjadi sepesifik sesuai dengan gangguan daerah otak yang
terkena, menyebabkan tanda-tanda yang ditunjukkan lokal, seperti pada ketidak
normalan sensori dan motorik, perubahan penglihatan dan kejang. Karena fungsi-
fungsi dari bagian-bagian berbeda dari otak yang tidak diketahui, lokasi tumor
5
dapat ditentukan pada bagiannya, dengan mengindentifikasi fungsi yang dipengaruhi
oleh adanya tumor.
Menurut National Cancer Institute USA, berdasarkan data tahun 2006 s.d.
2010, jumlah kasus baru kanker otak dan sistem saraf lainnya adalah 6,5 per 100.000
pria dan wanita per tahun. Jumlah kematian diperkirakan 4,3 per 100.000 pria dan
wanita per tahun (Fynn, 2004). Tumor metastasis ke otak terdapat pada sekitar satu
dari empat pasien dengan kanker, atau sekitar 150.000 orang per tahun (Lo BM et all,
2015).
2. TUBERKULOMA SEREBRI
2.1. Definisi
Tuberkuloma intrakranial adalah suatu massa seperti tumor yang berasal dari
penyebaran secara hematogen lesi tuberkulosa pada bagian tubuh yang lain terutama
dari paru. Tuberkuloma sering multiple dan paling banyak berlokasi pada fosa
posterior pada anak dan orang dewasa tetapi dapat juga pada hemisfer serebri
(Shams, 2011).
2.2. Etiologi
2.3. Epidemiologi
7
Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan
ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita
tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif.
Pada awal abad 20, tuberculoma pada Central Nervus System (CNS) merupakan
34% dari semua lesi massa intrakranial diidentifikasi pada otopsi. Rasio ini
ditemukan sekitar 0,2% di semua tumor otak yang dibiopsi antara tahun 1955 dan
1980 pada lembaga neurologis pada negara maju. Frekuensi keterlibatan CNS
berdasarkan literature berkisar dari 0,5% sampai 5,0%, dan banyak ditemukan pada
Negara berkembang. Manifestasi yang sering dari tuberculosis CNS adalah
tuberculosis meningitis, diikuti oleh tuberkuloma dan abses tuberculosis.
Tuberkuloma ditemukan hanya 15% sampai 30% dari kasus tuberkulosis CNS
dan kebanyakan terjadi pada hemisfer. Sejauh ini berdasarkan literatur hanya empat
kasus yang dilaporkan terjadi pada sinus kavernosus. Lokasi yang jarang lainnya
adalah pada area sellar, sudut cerebellopontin, Merckel’s cave, sisterna suprasellar,
region hypothalamus. Tuberkuloma yang berlokasi pada sisterna prepontin belum ada
laporan berdasarkan literatur. Walaupun tuberculoma biasanya lebih banyak pada
negara berkembang dapat juga meningkat pada negara maju dalam kaitan dengan
efek infeksi HIV dari tampakan klinis TBC (Yanardag et al, 2005).
8
2.4. Patogenesis
Cara penularan TB yang paling banyak ialah melalui saluran napas, meskipun
cara lain masih mungkin. Kuman TB yang masuk alveol akan ditangkap dan dicerna
oleh makrofag. Bila kuman virulen, ia akan berbiak dalam makrofag dan merusak
makrofag. Makrofag yang rusak mengeluarkan bahan kemotaksik yang menarik
monosit (makrofag) dari peredaran darah dan membentuk tuberkel kecil. Aktivasi
makrofag yang berasal dari darah dan membentuk tuberkel ini dirangsang oleh
limfokin yang dihasilkan dari sel T limfosit.
Kuman yang berada di alveol membentuk fokus Ghon, melalui saluran getah
bening kuman akan mencapai kelenjar getah bening di hilus dan membentuk fokus
lain (limfadenopati). Fokus Ghon bersama dengan limfadenopati hilus disebut primer
kompleks dan Ranke. Selanjutnya kuman menyebar melalui saluran limfe dan
pembuluh darah dan tersangkut di berbagai organ tubuh. Jadi TB primer merupakan
suatu infeksi sistemik. Pada saat terjadinya bakteremia yang berasal dari focus
infeksi, TB primer terbentuk beberapa tuberkel kecil pada meningen atau medula
spinalis. Tuberkel dapat pecah dan memasuki cairan otak dalam ruang subarachnoid
dan sistim ventrikel, menimbulkan meningitis dengan proses patologi berupa:
1. Keradangan cairan serebrospinal. meningen yang berlanjut menjadi
araknoiditis, hidrosefalus dan gangguan saraf pusat
2. Vaskulitis dengan berbagai kelainan serebral, antara lain infark dan edema
vasogenik.
3. Ensefalopati atau mielopati akibat proses alergi.
Gambaran klinis penderita dibagi menjadi 3 fase. Pada fase permulaan gejalanya
tidak khas, berupa malaise, apati, anoreksia, demam, nyeri kepala. Setelah minggu
kedua, fase meningitis dengan nyeri kepala, mual, muntah dan mengantuk
(drowsiness). Kelumpuhan saraf knanial dan hidrosefalus terjadi karena eksudat yang
mengalami organisasi, dan vaskulitis yang menyebabkan hemiparesis atau kejang-
kejang yang juga dapat disebabkan oleh proses tuberkuloma intrakranial. Pada fase
ke tiga ditandai dengan mengantuk yang progresif sampai koma dan kerusakan fokal
yang makin berat (Mulyono & santoso, 1997).
9
Tuberkulosis adalah penyakit airbone disebabkan oleh bakteri “Mycobacterium
tuberculosis” dua proses patogenik TB pada CNS adalah meningoencephalitis dan
formasi granuloma (tuberkel). Proses patologi dimulai dengan formasi pada basil,
berisi tuberkel kaseosa (focus kaya) dalam parenkim otak (Lee, 2002).
Gambaran klinis tuberkulosa cerebral tanpa ada kelainan di paru sebagai fokal
infeksi memberikan gambaran menyerupai tumor intracranial, abses cerebral,
neurosarcoidosis. Pada suatu case report, pasien dengan tuberculosis cerebral datang
dengan keluhan yang tidak khas seperti nyeri kepala dan leher, mual, muntah,
strabismus, diplopia, gangguan gaya berjalan, penglihatan teganggu, dan mempunyai
riwayat kejang. Gejala ini dapat membingungkan jika pada pasien tidak ditemukan
10
tanda-tanda infeksi sepeti demam dan tidak adanya riwayat tuberculosis sebelumnya,
sehingga dapat mengaburkan dalam membuat diagnosis.
Kemoterapi anti tuberkulosis harus segera diberikan pada penderita yang diduga
TB milier tanpa harus menunggu ditemukannya kuman (BTA). Penggunaan
kortikosteroid pada TB miller dapat menyebabkan tuberkel menjadi kecil dan sangat
efektif untuk mengurangi sesak napas yang kadang-kadang dijumpai pada TB milier,
serta untuk mengontrol edema otak (Djoko Mulyono, Djoko Iman Santoso, 1997).
2.6. Diagnosis
Tuberculoma otak mungkin tunggal atau multiple. D.J. Reddy melaporkan hanya
satu kasus lesi multiple diantara lima kasus. Asenjo1 et al dari Cili tahun 1951
melaporkan 33 kasus multiple tuberculomata dari 97 kasus. Tuberculomata multiple
yang berhubungan dengan plaque like lesions meningen jarang ditemukan. Multiple
tuberkuloma sagat erat hubungannya dengan infeksi HIV/AIDS.
2.7. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Jenis dan Dosis OAT:
o Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bacterisida, dapat membunuh 90% populasi
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap
kuman dalam keadaan metabolic aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang.
Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu dengan dosis 10 mg/ kg BB (WHO, 1997).
o Rifampisin
Bersifat bakterisida, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak
dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk
pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu (WHO, 1997).
o Pirazinamid
Bersifat bakterisida, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk
13
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB
(WHO, 1997).
o Streptomisin
Bersifat bakterisida, dosis yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita
yang berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk berumur
60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari (WHO, 1997).
o Etambutol
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30
mg/kg BB (WHO, 1997).
Prinsip pengobatan: Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap
hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
OAT. Sedangkan ditahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjut ini penting untuk membunuh
kuman persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (WHO, 1997).
Kategori 1 :
o 2HRZE/1H3R3
o 2HRZE/1HR
o 2HRZE/6HE
Kategori 2 :
o 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
o 2HRZES/HRZE/5HRE
Kategori 3 :
o 2HRZ/1H3R3
o 2HRZ/1HR
o 2HRZ/6HE
14
Kategori 1 diberikan pada :
‒ Penderita baru TB paru BTA positif
‒ Penderita TB paru BTA negative, Rontgen positif sakit berat
‒ Penderita TB ekstra paru berat
Kategori 2 diberikan pada :
‒ Penderita kambuhan
‒ Penderita gagal
‒ Penderita dengan pengobatan setelah lalai
Kategori 3 diberikan pada :
‒ Penderita TB paru BTA negative, Rontgen positif sakit ringan
‒ Penderita ekstra paru ringan, yaitu TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif
unilateral, TB kulit, TB tulang dan kelenjar adrenal
b. Operatif
Pengobatan optimal adalah eksisi tuberkuloma, jika tuberkuloma berada di
daerah yang dapat dijangkau dengan operasi dan diikuti kemoterapi antituberkulosa
(Shams, 2011). Indikasi operasi pada tuberkuloma adalah adanya peningkatan
Intrakranial atau akan dilakukan biopsi untuk memastikan diagnosa.
2.8. Komplikasi
1. Peningkatan TIK
2. Destruksi Otak Ireversibel
3. Gejala sisa yang menginkat pada keterlambatan inisiasi terapi
4. Syringomyelia Akut atau Kronis
5. Hilangnya penglihatan pada Optochiasmatic Tuberculoma
2.9. Prognosis
15
3. TOKSOPLASMOSIS SEREBRI
3.1. Definisi
Toksoplasmosis adalah penyebab utama penyakit Sistem Saraf Pusat (SSP) pada
AIDS. Toksoplasmosis SSP pada pasien terinfeksi HIV biasanya merupakan
komplikasi dari fase akhir penyakit.
3.2. Etiologi
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung
dan hewan lainyang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan
kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam
16
sistem kekebalan, ia menetap di sana; tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat
dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba
yang mentah yang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari
sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat
terjadi transmisi lewat transplasental, transfusidarah, dan transplantasi organ. Infeksi
akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia
dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksilaten. Yang
akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.
Daur hidup T. gondii melalui dua siklus yaitu siklus enteroepitel dan siklus
ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh hospes definitif seperti kucing.
Siklus ekstraintestinal pula di dalam tubuh hospes perantara seperti manusia, kambing
dan domba. Pada siklus ekstraintestinal, ookista yang keluar bersama tinja kucing
belum bersifat infektif. Setelah mengalami sporulasi, ookista akan berisi sporozoit dan
menjadi bentuk yang infektif. Manusia dan hospes perantara lainnya akan terinfeksi
jika tertelan bentuk ookista tersebut.
Di dalam ileum, dinding ookista akan hancur sehingga sporozoit bebas.
Sporozoit-sporozoit ini menembus mukosa ileum dan mengikuti aliran darah dan
17
limfa menuju berbagai organ tubuh seperti otak, mata, hati dan jantung.
Sporozoit bebas akan membentuk pseudokista setelah berada dalam sel organ-
organ tersebut. Pseudokista tersebut berisi endozoit atau yang lebih dikenal sebagai
takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara
berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista
biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten).
18
Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang
dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang sering terjadi dengan hewan
terkontaminasi atau dagingnya, dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang
lebih tinggi di antara dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah
potong hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak
(Chahaya, 2003). Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari
donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T.
gondii. Infeksi juga dapat terjadi di laroratorium pada orang yang bekerja dengan
binatang percobaan yang diinfeksi dengan T. gondii yang hidup. Infeksi dengan T.
gondii juga dapat terjadi waktu mengerjakan autopsi.
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang
meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan
perubahan kepribadian.
Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala dan rasa bingung
dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya abses
sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu
merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-penderita
yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnya
cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan
penurunan kesadaran.
Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa, misalnya retardasi
mental dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sikatriks pada retina yang
dapat kambuh pada masa anak-anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena
toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital. Akibat
kerusakan pada berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi bermacam-macam
jenisnya.
19
3.6. Diagnosis
3.7. Penatalaksanaan
20
Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin
1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap
6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan
gejala klinis.
Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV
dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total
kurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.
21
BAB III
PEMBAHASAN
Pada pasien ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis pasien didapatkan nyeri kepala, terjadi secara
kronik, progresif, berdenyut, dan memberat terutama pada pagi hari, pada seluruh kepala
terutama bagian depan. Hal ini sesuai dengan adanya gejala nyeri kepala yang
berhubungan dengan peningkatan TIK. Nyeri kepala ini cenderung bersifat intermittent,
tumpul, berdenyut dan memberat terutama di pagi hari karena selama tidur malam PCO2
serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan Cerebral Blood Flow (CBF) dan
dengan demikian mempertinggi tekanan intrakranial.
Pada saat mengalami nyeri kepala pasien mengaku disertai muntah, muntah tanpa
diawali dengan mual, mengindikasikan tumor yang luas dengan efek massa tumor
tersebut juga mengidikasikan adanya pergeseran otak. Sifat muntah dari penderita dengan
TIK meningkat adalah khas, yaitu muntah yang “menyemprot” (proyektil) dan tidak
didahului oleh mual. Hal ini terjadi oleh karena tekanan intrakranial yang menjadi lebih
tinggi selama tidur malam, akibat PCO2 serebral meningkat. Muntah proyektil tanpa
didahului mual memperbesar kecurigaan adanya suatu masa intrakranial.
Dari anamnesis didapatkan adanya pandangan kabur. Hal ini sesuai dengan adanya
kemungkinan tumor berdasarkan lobus fokal, dalam hal ini dicurigai terjadi pada bagian
frontal. Apabila tumor terletak pada basis lobus frontalis, kehilangan sensasi penciuman
(anosmia), gangguan penglihatan, dan pembengkakan pada nervus optikus (papiloedema)
dapat terjadi.
Pada tumor otak biasanya gangguan penglihatan disebabkan oleh karena terjadinya
papiloedema atau karena pendesakan oleh tumor itu sendiri. Gangguan penglihatan yang
terjadi pada pasien ini kemungkinan juga disebabkan peningkatan tekanan intrakranial
hingga mendesak chiasma optikum sehingga terjadi gangguan penglihatan berupa
penurunan visus pada kedua mata.
22
Pada pemeriksaan N. Cranial pada N. II didapatkan refleks cahaya dextra (+)
sedangkan sinistra (-), visus OD 1/300 dan visus OS 0, lapang pandang bagian dextra
terbatas.
Pemeriksaan penunjang: laboratorium darah rutin dan kimia lengkap dalam batas
normal, pada pemeriksaan toxoplasma didapatkan Anti Toxoplasma IgG positif 83.00
IU/mL. Hasil tersebut sesuai dengan teori bahwa pasien tidak selalu menunjukkan tanda
infeksi toksoplasmosis, namun berdasarkan pemeriksaan serologi didapatkan anti
toxoplasma IgG positif.
CT-Scan tampak
massa tumor temporoparietal
kanan bentuk ring dengan
mass effect sampai cortical
subcortical kanan dengan
kontras enchancement. Hal
tersebut sesuai dengan teori
diagnosis tuberkuloma dan
lokasi tumor pada lobus
frontalis dapat menyebabkan
pandangan mata kabur
disebabkan oleh karena
terjadinya papil edema atau
karena pendesakan oleh
tumor itu sendiri. Gangguan
penglihatan yang terjadi
pada pasien ini kemungkinan
juga disebabkan peningkatan tekanan intrakranial hingga mendesak chiasma optikum
sehingga terjadi gangguan penglihatan berupa penurunan visus pada kedua mata.
Gambaran CT-scan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi pasien
yang diduga menderita tumor otak. Gambaran CT-scan pada tumor otak, umumnya
tampak sebagai lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur otak sekitarnya.
23
Biasanya tumor otak dikelilingi jaringan oedem yang terlihat jelas karena densitasnya
lebih rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan, atau invasi mudah dibedakan dengan
jaringan sekitarnya karena sifatnya yang hiperdens. Beberapa jenis tumor otak akan
terlihat lebih nyata bila pada waktu pemeriksaan CT-scan disertai dengan pemberian zat
kontras.
Pada pasien ini tidak ditemukan gejala afasia karena lesi yang terjadi tidak
melibatkan bagian posterior gyrus frontalis inferior dekstra maupun area brocca. Pada
pasien juga tidak ditemukan gejala anosmia karena tidak ada penekanan pada saraf
olfaktorius. Lesi pada lobus temporalis dapat mengakibatkan perubahan kepribadian:
antisosial, kehilangan inisiatif, penurunan tingkat intelektual (misalnya deemensia,
terutama jika korpus kalosum terlibat), bila tumor menekan jaras motorik menimbulkan
hemiparese kontra lateral, kejang fokal, dan pada lobus dominan menimbulkan gejala
afasia.
Prognosis untuk pasien ini tergantung pada tipe tumor dan seberapa luas lesi abses
intrakranial, hanya dapat diketahui dengan tindakan operatif (craniotomy).
24
BAB IV
KESIMPULAN
Jika mengalami kepala nyeri, disorientasi, kejang-kejang, atau gejala tokso lain,
maka langsung menghubungi dokter. Dengan diagnosis dan pengobatan dini, tokso dapat
diobati secara efektif. Jika mengalami penyakit tokso, sebaiknya anda terus memakai obat
antitokso untuk mencegah penyakitnya kambuh.
25
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long, alih bahasa R.Karnaen dkk, 1996, Perawatan Medikal Bedah. EGC,
Jakarta Barbara L. Bullock 1996, Patofisiology, Adaptasi and alterations infeksius
function, Fourth edition, Lipincott, Philadelpia
Brunner & Sudarth, 2003, Buku Ajar Medikal Bedah Ed 8 Vol 3 , EGC, jakarta
Sylvia A. Price, Alih bahasa Adji Dharma, 1995 Patofisiologi, konsep klinik proses-
proses penyakit ed. 4, EGC, Jakarta
Lee WY, KY Pang, CK Wong, 2002. Case Report; Tuber Brain tuberculoma in
HongKong. HKMJ 2002;8:52-6.
Mulyono, Djoko, Djoko Iman Santoso, 1997. Tuberkulosis Milier dengan Tuberkuloma.
Intrakranial Laporan Kasus. PPDS I Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Rumah Sakit Umum Daerah Dr Sutomo, Surabaya.
Shams, Shahzad. 2011. Intracranial Tuberculoma. Omar Hospital, Jail Road, Lahore,
Pakistan. www Brain Tuberculomas.htm, diakses 16 April 2018 jam 01.00.
Suslu, Hikmet Turan, Mustafa Bozbuga, Cicek Bayindir, 2010. Cerebral Tuberculoma
Mimicking High Grade Glial Tumor. JTN.: 21( 3): 427-429.
26
Wai S. Poon, A. Ahujal and A.K.C. Li, 1993.Optochiasmatic tuberculoma causing
progressive visual failure: when has medical treatment failed?. Postgrad Med J
(1993) 69, 147- 149.
27