Anda di halaman 1dari 29

Mekanisme Kerja Obat

Mekanisme kerja obat


Obat menimbulkan efeknya melalui berbagai cara yang berbeda. Caranya dapat berdasarkan
fisikokimia, farmakodinamik atau interaksi farmakokinetik dengan sistem biokimia dan
fisiologi.

Mekanisme kerja utama obat bukan merupakan satu-satunya yang dapat mempengaruhi zat
yang berada dalam tubuh namun terdapat berbagai cara kerjanya. Sebagai contoh, berbagai
obat dapat berinteraksi dengan lebih dari satu tipe reseptor dan beberapa obat juga dapat
mengubah farmakokinetik dari obat yang diberikan sebelumnya melalui induksi atau
hambatan enzim.

Mekanisme fisikokimia

Mekanisme ini umunya tidak spesifik dan bergantung pada sifat fisikokimia dari setiap obat
yang meliputi ukuran molekul dan bentuknya, derajat isonisasi dan nilai pKa dari setiap
unsurnya serta daya larut obat dalam lemak dan air.

Mekanisme fisikokimia obat yang tidak spesifik meliputi :

- Netralisasi (efek pH)


- Efek osmotik
- Absorpsi
- Kelasi
Netralisasi

Cara kerja obat ini khas pada obat antasida. Natrium sitrat merupakan asam lemah dan jika
bergabung dengan asam hidrochlorida yang merupakan asam kuat di lambung akan
menghasilkan natrium klorida dan asam sitrat yang merupakan asam yang cukup lemah
sehingga dapat mengurangi pH dalam lambung. Kalsium bikarbonat juga merupakan antasida
yang cukup efektif namun dapat menghasilkan karbondioksida yang dapat menyebabkan
distensi abdomen dan flatus. Untuk menghindari masalah ini, maka natrium sitrat dapat
diberikan sebelum operasi untuk mengurangi resiko aspirasi lambung pada pasien yang
beresiko tinggi yang memerlukan anestesi umum. Natrium sitrat sebaiknya tidak digunakan
dalam jangka panjang karena kandungan natriumnya cukup tinggi, idealnya obat antasida
sebaiknya tidak digunakan dalam jangka waktu lama. Preparat aluminium hidroxida pada
dasarnya tidak larut dan dapat bertahan lama, sehingga mendekati kategori obat yang ideal
untuk dikonsumsi, namun dalam pemakaiannya harus tetap berhati-hati terhadap terjadinya
gagal ginjal. Contoh lain dari netralisasi adalah penggunaan protamin dalam melawan efek
heparin (lihat bagian 3, Bab 17, hal 701). Protamin berasal dari protein spermatozoal ikan
yang kandungan argininya cukup tinggi, sehingga kaya akan muatan positif sedangkan
heparin sendiri mengandung muatan negatif. Kombinasi antara protamin dan heparin
menghasilkan suatu kompleks yang tidak menimbulkan efek antikoagulan.

Efek osmotik

Manitol adalah alkohol yang berasal dari gula mannosa. Manitol ini tidak dimetabolisme
tetapi menimbulkan efek osmotik pada plasma, seperti glukosa, yang dapat memicu ekspansi
volume ekstraseluler, mengurangi viskositas darah dan menimbulkan efek diuresis. Manitol
seluruhnya disaring dan direabsorsi secara minimal. Pemberian dosis manitol perlu
diperhatikan untuk menghindari kerusakan fungsi tubular ginjal akibat tingginya osmolalitas
plasma.

Absorpsi

Absorbsi yang tidak spesifik dari berbagai obat bertujuan untuk mengaktivasi charcoal yang
nantinya berguna dalam penanganan overdosis obat dengan cara mengeluarkan obat dari
dalam lambung. Fungsi Charcoal sendiri tidak efektif terhadap keracunan lithium, sianida,
besi, ethanol atau methanol.

Kompleks Kelasi dan inklusi

Logam besi berat seperti timah, arsen, dan tembaga dapat dikeluarkan secara efektif melalui
mekanisme yang melibatkan satu atau lebih bahan kelasi. Bahan ini mengandung atom
oksigen, sulfur atau nitrogen yang membentuk ikatan kordinat dengan ion logam (ligan
menyokong kedua elektron). Bahan kelasi yang ideal adalah bersifat larut dalam air, tidak
mengalami proses biotransformasi, memiliki afinitas yang rendah terhadap kalsium dan
membentuk kompleks logam yang non-toxic yang dapat dieksresi. Edetate calcium disodium
(Ca2+ Na+2 EDTA) dan penicillamine dapat digunakan pada keadaan keracunan,
penicillamin juga dapat digunakan pada keadaan keracunan tembaga dan merkuri.

Secara alamiah, Cyclodextrins alpha, beta dan gamma terbentuk dari bucket-shaped
oligosakarida yang dihasilkan dari pati; siklodestrin-α memiliki enam β dan delapan γ residu
gula. Permukaannya dilapisi oleh suatu lapisan yang bersifat hidrofilik dan bagian dalamnya
bersifat hidrofobik yang dapat memerangkap molekul lain dengan membentuk kompleks
inklusi. Modifikasi siklodestrin digunakan secara luas untuk menyamarkan bau serta untuk
sistem penghantaran obat, khususnya untuk obat yang kadar kelarutan dalam airnya rendah.
Sebuah bahan siklodestrin- γ yang baru telah dikembangkan secara selektif dalam
membentuk kompleks inklusi dengan rocuronium, tetapi kurang efektif dengan obat
pelumpuh otot non-depolarisasi lainnya. Obat ini melawan efek obat blokade neuromuskuler
non-depolarisasi tanpa menimbulkan efek yang tidak diinginkan dari penghambatan
asetilkolinesterase.

Radio-opasity

Media kontras mengandalkan bahan absorpsi sinar X untuk fungsinya masing-masing. Media
kontras yang ideal sebaiknya lembam tetapi dapat dipilih untuk memastikan bahwa mereka
terkonsentrasi di daerah tertentu seperti dalam sistem urinarius.

Mekanisme farmakodinamik

Banyak obat menimbulkan efeknya karena adanya interaksi dengan sisi spesifik dan selektif
pada reseptor. Reseptor merupakan sebuah protein yang besar yang berhubungan dengan
struktur seluler seperti membran sel, sitoplasma, membran intraseluler atau nukleus.
Selektivitas ini berasal dari konfigurasi kimia 3D dari obat, yang cocok dengan sisi protein
yang relevan dan memungkinkan terjadinya pengikatan pada tempat tersebut. Efek yang
diamati kemudian dihasilkan secara langsung atau tidak langsung dari interaksi ini. Jenis aksi
ini ditandai dengan adanya mekanisme kunci dan-gembok yang melibatkan gaya kimia yang
berbeda yang memungkinkan obat untuk mendekati bagian yang aktif dan kemudian masuk
ke daerah ikatan. Penarikan awal mungkin disebabkan oleh adanya gaya ion, namun
stabilisasi terjadi karena adanya interaksi van der Waals ketika obat ini berdekatan dengan
bagian perlekatan.

Mekanisme interaksi meliputi :

- Obat dengan Reseptor membran sel


- Obat dengan gerbang saluran ion
- Obat dengan reseptor membran intraseluler
- Obat dengan mekanisme reseptor sitosolik
Obat dengan Reseptor membran sel

Berbagai obat yang kami gunakan pada tindakan anestesi dengan menganggu pengikatan
neurotransmitter alami ke sisi reseptor pada membran sel. Yang paling penting adalah ligand-
gated ion channels dan reseptor protein-G. Mekanisme transduksi yang tergantung pada
membran lainnya mungin juga penting misalnya aktivasi reseptor thyrosin kinase oleh
insulin.

Ligand-gated ion channels

Ini sangat penting untuk membedakan saluran ion yang terbuka sebagai akibat dari perubahan
potensial membran di sekitar saluran ion yang berhubungan dengan pengikatan
neurotransmitter. Ligand-gated ion channel umumnya ditemukan di sinaps, yang terkait
dengan membran pre dan postsinaps. Walaupun beberapa voltage-gated ion channel muncul
di presinaps, saluran ini paling sering ditemukan di saraf akson atau di daerah yang tidak
bersinaps dari membran otot polos dan skelet.

Anestesi lokal seperti pada lidokain dan bupivacaine bekerja dengan memblok voltage-gated
sodium channels. Obat ini biasanya diberikan pada lokasi yaang dekat dengan saraf perifer,
aktivitas ini membutuhkan akses ke sisi sitosolik akson sehingga kelarutan dalam lemak
cukup penting, walaupun bentuk yang terionisasi masih aktif. Beberapa antikonvulsan seperti
obat lamotrigin dan carbamazepin bekerja dengan memblok pusat saluran natrium sehingga
mengurangi rangsangan dari saraf. Obat Voltage-gated calcium-channel blockers seperti
nefedipine dan verapamil bekerja dengan memblok saluran kalsium tipe-L: dimana timbulnya
efek antihipertensi dan antiangina dikaitkan dengan aksi otot polos pembuluh darah,
sedangkan efek myokardium menghasilkan aksi antiaritmia. Saluran kalsium tipe-T sentral
diblok dengan obat anticonvulsant ethosuxamide.

Berbagai obat yang kami gunakan untuk menganggu saluran ion neurotransmitter yang
memediasi transmisi informasi yang cepat melalui sistem saraf pusat dan perifer. Aktivasi
ligand-gated channels baik depolarisasi membran postsinaps yang memungkinkan transmisi
sinyal listrik ke depan atau hiperpolarisasi membran, dalam menghambat sinyal. Terdapat
tiga jenis reseptor ligand yang berbeda yang dapat dibedakan dari struktur subunitnya yang
meliputi : reseptor pentamerik, ionotropic glutamat dan purinergic ionotropic. (gambar
MD1)

Reseptor Cys-loop pentamerik

Contohnya yaitu nicotinic acetylcholine receptor (nAChR), γ-aminobutyric acid type A


receptor (GABAA), inhibitory glycine receptors (GlyR) dan 5-hydroxytryptamine (serotonin)
type 3 receptor (5-HT3).
Setiap subunit dari jenis pentamerik memiliki 4 domain transmembran heliks (TMD)-domain
adalah bagian dari rantai protein yang berperan penting dalam fungsi protein tersebut, sering
tidak berbentuk lipatan 3D (istilah yang digunakan ketika rantai protein melewati membran
dan loop yang melengkung tanpa keluar dari sisi yang berlawanan dari membran). Nama cys-
loop sendiri berasal dari sebuah fakta bahwa di dekat terminal-N eksraseluler terdapat 2
jembatan sistein disulpida yang dapat membuat terminal-N kembali ke struktur loop.

Gambar MD1 skema ilustrasi dari golongan reseptor ionotropik. (A) Golongan pentametrik
ditandai dengan adanya reseptor asetilkolin nikotinik pada neuromuskular junction; (i)
konfigurasi subunit- terdapat 4 domain transmembran dan 2 jembatan sistein di dekat
terminal NH2; (ii) pengaturan subunit seperti yang terlihat di atas- pada tanda panah tersebut
memperlihatkan 2 sisi tempat pengikatan asetilkolin. (B) golongan glutamat ionotropik
ditandai dengan adanya reseptor NMDA dengan tiga domain transmembran dan satu loop
yang melengkung. (C) reseptor P2x ionotropik purinergik dengan dua domain transmembran
sebuah loop ekstraseluler yang besar.

Golongan pentamerik memberikan tempat paling penting dalam kerja obat penghambat
neuromuskuler (nAChR) dan telah diakui untuk berbagai obat anestesi umum (GABA A):
mekanisme kerja anestesi umum akan didiskusikan lebih detail di bawah ini. Komposisi
subunit dapat bervariasi untuk reseptor asetilkolin nikotinik. Pada daerah neuromuskular
junction, komposisinya adalah αεαβδ, tetapi pada fetus komposisinya αγαβδ, asetilkolin
mengikat hubungan subunit α-ε dan α-δ. Hubungan ikatan dari dua molekul asetilkolin ini
diperlukan untuk menghasilkan perubahan konformasi dan untuk membuka saluran, yang
memerlukan lima kali lebih selektif pada kation monovalen-Na+ dibandingkan kation divalen
seperti Ca2+. Penghambat depolarisasi seperti suksamethonium, mengikat sisi yang sama
seperti asetilkolin transmitter alami dan menyebabkan pembukaan saluran ion dengan
memicu perubahan konformasi yang sama dengan yang diinduksi oleh asetilkolin, walaupun
waktu pembukaan saluran meningkat. Akan tetapi, suksamethonium tidak dapat dihidrolisis
dengan cepat, selama terpisah dengan reseptornya karena ini bukan merupakan substrat untuk
asetilkolin. Akibatnya, reseptor tidak dapat kembali ke bentuk istirahat, namun mengalami
desensitasi dan tidak lagi mampu berespon terhadap agonis. Ini kemudian menghasilkan
blokade neuromuskular. Asetilkolin sendiri juga dapat menghasilkan penghambatan seperti
yang terlihat ketika asetilkolinesterase dihambat oleh organofosfat. Pada kenyataannya, obat
pelumpuh otot non-depolarisasi bersaing untuk menempati tempat yang sama dengan
asetilkolin namun, adanya perubahan konformasi ini dapat mencegah pembukaan saluran ion.
Sementara itu, peningkatan konsentrasi asetilkolin di celah sinaps oleh penghambatan
asetilkolinesterase akan mengatasi penghambatan ini.

Reseptor nikotinik dapat ditemukan di tempat selain neuromuskuler junction (NMJ),


khususnya di ganglia otonom dan di sistem saraf pusat (CNS). Komposisi subunit di CNS
sangat berbeda dengan di NMJ, yaitu subunit 2α3β atau 5β, yang memberikan perbedaan
sensitivitas reseptor pada obat kolinergik. Selain itu, permeabilitas kalsium jauh lebih besar
pada reseptor nikotinik CNS. Seperti yang dibahas di bawah ini, reseptor nikotinik neuron
cukup sensitif terhadap efek bahan anestesi umum tertentu.

Reseptor GABAA dan glisin adalah penghambat sinyal transduser utama pada CNS,
sedangkan glisin ditemukan lebih banyak di sumsum tulang belakang dan otak belakang, dan
GABA di supraspinal. Berbeda dengan saluran nACh, saluran GABAA merupakan saluran
anionik yang menyebabkan klorida melewati membran sinaps, sehingga terjadi
hiperpolarisasi dan penghambatan sinyal. Subunit stoikiometri bergantung pada lokasi
anatomisnya namun biasanya ditemukan di 1α:2β:2γ dan 2α:2β:1γ. Sisi reseptor
benzodiazepin dikaitkan dengan reseptor GABAA dan bertanggung jawab terhadap timbulnya
efek sedatif dan antikonvulsan akibat modulasi alosterik positif dari hiperpolarisasi sinyal
yang berhubungan dengan transmisi GABA. Tempat pengikatan benzodiazepin
membutuhkan subunit α dan γ untuk memunculkan modulasi allosterik positif sedangkan
etomidate berikatan dengan reseptor yang afinitasnya lebih tinggi dengan subunit β2 atau β3.
Tempat pengikatan obat pada reseptor GABAA diperlihatkan pada gambar MD2.

Gambar MD2 sisi aktif dari kompleks reseptor GABAA/Cl− ionophore/

Benzodiazepine terlihat pada gambar di atas. Lingkaran kelabu menunjukkan 2 sisi agonis
pada GABA yang dihambat secara kompetitif oleh gabazine dan bicucullin.

Ondansetron menghambat saluran iontropik 5-hydroxytryptamine type 3 (5-HT3). Seperti


pada saluran nACh, reseptor 5-HT3 merupakan saluran kation yang lebih monovalen
dibanding divalen. Terdapat beberapa tipe reseptor serotonergik nemun hanya subtipe-3 yang
ionotropik, sedangkan yang lainnya merupakan gabungan reseptor protein-G. Mekanisme
anti emetik dikaitkan dengan adanya efek vagolitik, dimana reseptor ini juga ditemukan pada
saraf aferen vagal dari traktus gastrointestinal (GIT). Ondansetron sendiri memiliki efek
sentral dan perifer.
Reseptor glutamat ionotropik

Terdapat tiga tipe reseptor glutamat ionotropik yaitu NMDA, AMPA dan kainite. Reseptor
glutamat lainnya adalah gabungan reseptor protein-G metabotropik. Reseptor NMDA
memerlukan ko-aktivasi oleh glisin dan glutamat. Reseptor ini terbagi atas 2 subunit, satu
pembentuk pori (NR1) dan satu regulator, yang mengikat glisin (tipe NR2 A-D). Pada in-
vivo, diperkirakan bahwa reseptor dimerisasi membentuk sebuah kompleks dengan 4 subunit.
Setiap subunit NR1 memiliki 3 membran heliks, dua diantaranya dipisahkan oleh loop
pembentuk pori yang melengkung masuk dan keluar dari membran pada permukaan
sitoplasmanya. Terminal-C terdapat sitoplasma dan terminal-N di ekstraseluler. Semua
reseptor glutamat sama-sama permeabel terhadap Na + dan K + namun memiliki
permeabilitas yang tinggi terhadap kation divalen yaitu Ca2+, berbeda dengan saluran
eksitator pentamerik yang telah dibahas di atas. Seorang dokter anestesi lebih tertarik pada
reseptor NMDA karena disinilah tempat ketamin bekerja, sedangkan oksida nitrat dan xenon
merupakan penghambat glutamat yang non-kompetitif. Reseptor NMDA banyak terdapat di
hipokampus dan regio yang berhubungan dengannya, dimana semuanya ini penting dalam
pembentukan dan pengingatan memori. Beberapa bukti menunjukkan bahwa obat
antikonvulsan topiramat bekerja dengan menghambat reseptor kainate, walaupun ini juga
dapat mengurangi hantaran saluran natrium.

Reseptor purinergik ionotropik : subtipe P2X

Golongan reseptor ini memiliki 2 TMD dan tidak memiliki loop pembentuk pori. Keduanya
sama-sama membentuk saluran kation yang permeabel terhadap Na + dan K + serta Ca2
+. Reseptor ini tidak segera diaktivasi pada potensial membran yang tinggi, agak mirip
dengan voltage-gated Na+ channels dalam membran saraf. Reseptor ini diaktifkan oleh ATP
dan metabolitnya dan kemudian disebarluaskan di neuron sentral dan perifer. Efek analgesik
dari pentobarbital diperkirakan sebagai akibat penghambatan reseptor P2X di pangkal ganglia
dorsalis. Reseptor purinergik ionotropik tidak dapat dikelirukan dengan reseptor protein-G
yang menbentuk reseptor purinergik : semua subtipe P1 (reseptor adenosin) dan P2Y.

Gabungan Reseptor protein-G (GPCR)

Hampir 1000 gen GPCR telah diidentifikasi, dan beberapa diantaranya memiliki ciri tertentu.
GPCR memiliki TMD heliks yang melingkari membran sel, dimulai pada terminal-N
ekstraseluler dan berakhir pada terminal-C intraseluler. Struktur kuarter pada kelompok
heliks, terjadi akibat keselarasan interaksi antara domain ekstraseluler dan intraseluler. Ketika
ligand berikatan, struktur heliks diperkirakan akan terputar satu sama lain, sehingga
menyebabkan perubahan konformasi yang ditrasmisikan ke elemen sitoplasma bersama
dengan penggabungan protein-G. Domain transmembran ketiga spesifik pada GPCR dan
tidak memperlihatkan urutan homolog tingkat tinggi antara golongan reseptor, berbeda
dengan TMD lainnya. Ini akan berkorelasi dengan sisi tempat pengikatan ligand, yang
dikaitkan dengan lengkung ekstraseluler kedua dan ketiga. Lengkung intraseluler kedua dan
ketiga berhubungan dengan ikatan protein-G. Telah diidentifikasi tujuh golongan GPCR yang
berbeda, dan ketujuh golongan ini dibedakan berdasarkan kedekatannya dengan sisi
pengikatan ligan ke domain heliks dalam membran. Jika dibandingkan dengan GPCR lain,
reseptor glutamat metabotropik memiliki komponen ekstraseluler yang lebih besar.

Semua reseptor adrenoreseptor, muskarinik, kolinergik dan opioid bekerja melalui


mekanisme GPCR. Protein-G berhubungan dengan lapisan dalam membran sel dan biasanya
tidak terkait dengan reseptor. Pada pengikatan ligand, perubahan konformasi meningkatkan
kemungkinan reseptor terkait dengan subtipe protein G. Interaksi kinetik protein G-GPCR
memerlukan model yang kompleks untuk menjelaskan respon yang terjadi. Pada dasarnya,
reseptor berada pada sejumlah tempat, yang membedakannya adalah hal afinitasnya untuk
agonist, antagonist atau kebalikan dari agonist; masing-masing mungkin atau tidak terkait
dengan penggabungan protein-G. Respon akan membesar ketika bagian agonis berikatan
dengan protein-G. Setelah terjadi ikatan protein G-GPCR, terjadi perubahan konformasi pada
subunit α protein-G yang menyebabkan pemisahan subunit α dari dimer βγ. Ikatan GTP-
subunit α memiliki kekuatan yang cukup untuk berinteraksi dengan enzim intraseluler atau
dengan ikatan saluran ion-membran sel dan mengaktivasi atau menghambat mekanisme
sekunder tersebut. Aktivitas GTP-ase dari subunit α membatasi durasi aktivitas ini dan
setelah GTP dihidrolisis ke GDP, interaksi lebih lanjut tidak dibutuhkan dan subunit α
kemudian dihubungkan kembali dengan dimer βγ yang sebelumnya telah dipisahkan dari
GPCR. Di beberapa situasi, dimer βγ juga dapat bekerja sebagai aktivator mekanisme
sekunder.

Terdapat berbagai tipe protein-G yang berbeda dengan subfamili yang diklasifikasi
berdasarkan aktivitas subunit-α-nya. Berbagai tipe tersebut yaitu subfamili Gs, Gi, Gq dan
G12: dimana protein Gs dan Gi dapat mengaktifkan dan menghambat adenylyl cyclase, Gq
menyebabkan hidrolisis phospolipase C menjadi phosphatidylinositol, yang merupakan
komponen fosfolipid membran sel, untuk menghasilkan diasil gliserol (DAG) dan inositol
trifosfat (IP3) – yang keduanya merupakan pengantar pesan sekunder; protein G12
berhubungan dengan GPCR yang menyebabkan saluran K+ terbuka pada membran sel.
Semua aksi katekolamin dimediasi melalui GPCR, walaupun subtipe adrenoreseptor yang
berbeda dikaitkan dengan subfamili protein-G yang berbeda. Gambar MD3 merupakan daftar
beberapa GPCR dan hubungannya dengan protein-G yang sangat penting diketahui oleh
seorang dokter anestesi.

Ligand alami/tipe reseptor Tipe subunit-α Obat agonis/antagonist


protein-G

Acetylcholine M1, M3 dan M5 Gq Atropine, glycopyrrolate


adalah antagonists

Acetylcholine M2 dan M4 Gi Atropine, ipratropium,


glycopyrrolate antagonists

Noreadrenalin α1 Gq Phenylephrine agonist;


phentolamine antagonist

Noreadrenalin α2 Gi Clonidine agonist;


yohimbine antagonist

Noreadrenalin β1 dan β2 Gs Isoprenaline, salbutamol


agonist (β2); atenolol,

propranolol, labetolol
antagonist

Reseptor opioid (semua tipe) Gi Morphine, fentanyl,


alfentanil, remifentanil (ϥ);
pentazocine (κ)

Reseptor GABAB Gi Baclofen agonist

Reseptor adenosin P1 Gi Adenosine agonist

Reseptor P2Y1 dan P2Y2 Gi ADP agonist; clopidogrel


antagonist yang irreversible

Reseptor histamin H1 Gq Cetirizine antagonist

Reseptor histamin H2 Gs Ranitidine antagonist

Reseptor dopamin D1 dan D5 Gs Dopamine dan dobutamine


(postsinaps) agonist pada ginjal

Reseptor dopamin D2, D3, dan Gi Bromocriptine agonist;


D4 (presinaps) haloperidol, risperidone,

chlorpromazine dan
clozapine (D4 selektif)

antagonists

Reseptor serotonin 5-HT1A Gi Buspirone antagonist

Reseptor serotonin 5-HT2 Gs Ketanserin antagonist

Reseptor angiotensin II AT1 Gq Losartan, valsartan


antagonist

Gambar MD3 beberapa GPCR yang penting beserta agonis dan antagonisnya.

Reseptor tirosin kinase (TRK)

Berbeda dengan GPCR, reseptor TRK tidak bergantung pada protein perantara untuk berkerja
tetapi menggabungkan sisi enzim pada transmembran protein itu sendiri, bagian sitoplasma
dari reseptor merupakan kinase yang diaktivasi oleh ligan yang berikatan dengan bagian
ekstraseluler dari reseptor. Reseptor insulin merupakan tipe TRK dan diperkirakan bahwa 2
reseptor harus bekerja bersama-sama (dimerise) untuk menimbulkan sebuah rangsangan.

Reseptor intraseluler

Reseptor dalam sel dapat dihubungkan dengan sitosol atau berbagai membran intraseluler
tertentu; yang terpenting adalah reseptor pada retikulum sarkoplasmik yang dapat meregulasi
pelepasan kalsium.

Reseptor hormon sitoplasma

Hormon yang larut dalam lemak berinteraksi dengan reseptor sitoplasma intraseluler.
Terdapat sebuah golongan yang besar dari reseptor ini yang meliputi hormon seks,
kortikosteroid, tiroksin dan vitamin D3. Reseptor ini bekerja sebagai faktor transkripsi
regulasi ligan yang berikatan dengan DNA dan dapat mempengaruhi pola RNA dengan
meningkatkan atau menghambat produksi protein spesifik. Dalam sitoplasma, reseptor ini
menjadi tidak aktif akibat berikatan dengan penghambat protein. Pengikatan ligand
menyebabkan perubahan konformasi yang mengaktivasi reseptor dan memulai translasi ke
nukleus dan bergabung dengan urutan DNA spesifik. Transkripsi gen dipengaruhi oleh
pengerahan protein tambahan yang bekerja sebagai ko-aktivator atau ko-represor untuk
remodeling struktur kuarter DNA. Struktur kromatin dapat terlepas, sehingga
mendorong transkripsi atau kondensasi kromatin menjadi baik, sehingga menghambat proses
transkripsi. Oestrogen-receptor modulator tamoxifen menghambat transkripsi sel tumor pada
kanker tertentu. Selain itu, reseptor nukleus lainnya juga dapat mempengaruhi produksi
protein : sebuah obat antidiabetik baru, rosiglitazone merupakan reseptor agonist tipe-γ yang
mengaktivasi proliferasi peroksisom (PPAR-γ) dapat menstimulasi transkripsi protein,
memicu aktivitas sensitasi insulin dalam jaringan lemak.

Hormon steroid adrenal

Terdapat 2 tipe reseptor kortikosteroid yaitu : MR (atau tipe 1) yang merupakan reseptor
mineralokortikoid dan GR (atau tipe 2) yang merupakan reseptor glukokortikoid. Reseptor
MR dan GR terbagi atas 4 daerah protein yang berbeda, meliputi daerah terminal-N sebagai
tempat aktivasi transkripsi, pengikatan DNA-domain, lokalisasi nuklear, dan daerah
pengikatan hormon terminal-C. Pengikatan glukokortikoid menyebabkan perpindahan protein
penghambatan panas dan memicu perubahan konformasi yang menyebabkan translokasi dan
pengikatan ke daerah spesifik pada DNA. Reseptor GR tersebar di dalam sel sedangkan
reseptor MR terbatas di jaringan epitel seperti tubulus kolektivus ginjal. Kortisol dan
aldosteron equipotent terhadap reseptor MR : aktivasi pemicu aldosteron disebabkan oleh
adanya 11β-hydroxysteroid dehydrogenase pada sel epitel, yang memetabolisme kortisol
menjadi bahan campuran yang tidak aktif pada reseptor MR.

Reseptor yang terikat pada membran sel

Membran intrasel memiliki GPCR sebagai reseptor yang merespon pembawa pesan sekunder
yang dihasilkan oleh penggabungan ligand- GPCR pada membran sel. Hal yang penting
adalah pengaturan kalsium intrasel sedangkan pada retikulum endoplasmik, yang paling
penting adalah reseptor IP3 (inositol triphosphate). Dalam retikulum sarkoplasma (SR),
reseptor ryanodine berhubungan erat dengan saluran kalsium tipe-L dengan calmodulin dan
kalsium sebagai modulator, yang memicu pelepasan kalsium melalui mekanisme kontraksi-
eksitasi. Dantrolene bekerja pada reseptor ryanodin untuk menghambat pelepasan kalsium
dari retikulum sarkoplasma. Beberapa keluarga yang mengalami hipertermi malignan
memiliki kelainan genetik yang berkaitan dengan reseptor ryanodine.
Mekanisme farmakokinetik

Obat dapat memunculkan efeknya dengan mengganggu penyerapan, distribusi dan


metabolisme zat endogen yang terkait dengan sistem biokimia dan fisiologi. Pada bagian ini
kami mempertimbangkan mekanisme obat-enzim dan transpor-obat.

Interaksi obat dengan enzim

Enzim yang relevan dengan anestesi adalah enzim yang memetabolisme neurotransmitter dan
yang menghambat sistem homeostatik non-neuronal seperti unsur imun atau jalur koagulasi.

Interaksi dengan metabolisme neurotransmitter Asetilkolin: acetylcholinesterase

Secara klinis, semua obat pelumpuh otot berguna untuk mengganggu transmisi asetilkolin
pada neuromuskular junction. Durasi aktivitas asetilkolin dibatasi oleh asetilkolinesterase,
sebuah enzim metabolik yang berada pada celah membran sinaps. Beberapa molekul enzim
yang membentuk oligomer akan bermuara pada membran sinaps namun memiliki sisi enzim
yang menghadap ke celah tersebut. Obat pelumpuh otot yang tidak terdepolarisasi seperti
vecuronium dan atracurium, secara kompetitif menghambat penggabungan asetilkolin dengan
reseptor nACh, penghambatan ini merupakan hasil dari penggunaan obat penghambat
asetilkolin seperti neostigmin, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi asetilkolin
pada celah sinaps. Kurva respon-dosis asetilkolin mengalami pergeseran ke kanan oleh
adanya vecuronium, dengan adanya neostigmin konsentrasi asetilkolin meningkat sehingga
menyebabkan kembalinya kontraksi otot (gambar MD4). Ini sangat penting diketahui bahwa
beberapa aktivitas muncul sebelum neostigmin diberikan atau peningkatan konsentrasi
asetilkolin yang relatif tidak cukup untuk mengatasi hambatan yang sempurna.

Terdapat dua tempat pengikatan pada asetilkolinesterase yaitu pada sisi anionik dan esteratik.
Sisi anionik menarik muatan positif nitrogen kuarter dari asetilkolin, yang memungkinkan
substrat mendekati sisi esteratik. Sisi esteratik mengandung residu serine yang sangat penting
untuk memperbaiki kerusakan dan diasetilasi untuk sementara. Neostigmin berikatan dengan
sisi anionik dan esteratik sehingga terjadi carbamilasi, ini merupakan substrat untuk enzim
dan bukannya metabolisme yang menghasilkan asetilasi enzim. Meskipun kelompok
carbamoyl dapat dipisahkan dari sisi esteratik, angka kejadiannya sangat rendah
dibandingkan pada kelompok asetil.; sisa-sisa enzim cukup lama menghambat konsentrasi
sinaps dari obat penghambat neuromuskular untuk berada pada tingkat yang tidak
signifikan.
Gambar MD4. Penambahan obat vecuronium menyebabkan kurva respon-dosis-log bergeser
ke kanan. Sedangkan penambahan neostigmin menimbulkan efek pergeseran kurva kembali
ke arah kiri (ditunjukkan dengan garis panah), selama konsentrasi asetilkolin ditingkatkan
(ditunjukkan oleh panah tebal) pada penghambat asetilkolinesterase.

Neurotransmisi Katekolamin

Obat-obatan seperti metildopa merupakan substrat untuk jalur sintetik alami dan dapat
dikemas ke dalam vesikel sinaps yang sama seperti transmitter endogen. Selain itu, obat ini
juga kurang aktif jika dibandingkan dengan noradrenalin, dan menyebabkan kontrol otonom
tekanan darah terganggu.

Katekolamin endogen dimetabolisme oleh monoamine oksidase (MAO) dan catechol-O-


methyltransferase; penghambatan MAO terjadi berkaitan dengan mekanisme kerja
antidepresan. Keberadaan MAO tersebar luas namun dapat ditemukan khususnya pada
membran mitokondria pada terminal sinaps dan hepatosit. Terdapat 2 bentuk MAO yaitu
MAO-A dan MAO-B. Penghambat MAO yang non-selektif (MAOI) seperti tranylcypromine
dan phenelzine merupakan obat yang kerja lama (long-acting). Penghambat MAO-A yang
selektif (misalnya moclobemide) sekarang tersedia dan bersifat kerja pendek (shorter-acting);
penghambat MAO-B misalnya selegile digunakan pada penanganan penyakit Parkinson.
Penggunaan petidine dan katekolamin sintetik kerja tidak langsung seperti ephedrin
kontraindikasi digunakan bersama dengan obat pengghambat MAOI. Ini menunjukkan bahwa
penggunaan obat MAOI harus dihentikan selama 2 minggu sebelum operasi.

Metabolisme GABA

Peningkatan transmisi GABA merupakan sasaran untuk mengembangan obat antikonvulsant.


Baik Sodium valproat maupun vigabatrin dapat menghambat GABA-transaminase, yang
bertanggung jawab terhadap kerusakan GABA.

Aksi Imunomodulator

NSAID dan parasetamol mengerahkan efeknya dengan menghambat siklo-oksigenase, yang


merupakan enzim yang bertanggung jawab untuk menghasilkan berbagai variasi
prostaglandin dan terkait autosoid. Enzim ini berasal dari asam arakidonat, yang dihasilkan
oleh aktivasi pospolipase C pada membran dalam menanggapi respon terhadap mediator
inflamasi. Terdapat 2 bentuk siklo-oksigenase yang ditentukan secara genetik yaitu : siklo-
oksigenase 1 (COX-1) yang cukup aktif dan siklo-oksigenase 2 (COX-2) yang muncul jika di
induksi. Bentuk terakhir ini dihasilkan sebagai respon terhadap proses inflamasi dan akibat
nyeri inflamasi. Obat aspirin dan NSAID non-selektif bekerja dengan menghambat kedua
bentuk enzim tersebut, mengurangi kerja bentuk konstitutif yang dianggap bertanggung
jawab terhadap berbagai aksi yang tidak diinginkan dari kelompok obat ini.

Obat NSAID yang selektif seperti etoricoxib, memiliki afinitas yang lebih besar terhadap
bentuk induksi yaitu COX-2, yang menyebabkan pengurangan berbagai efek yang tidak
diinginkan seperti erosi lambung dan ulserasi. Bukti terbaru menunjukkan bahwa tipe ketiga
dari siklooksigenase, COX-3, telah ditemukan banyak pada otak, termasuk di
hipotalamus. Bentuk ini merupakan modifikasi pasca-transkripsi dari produk gen COX-2,
yang berada tidak begitu luas seperti COX-2 itu sendiri. Saat ini, Parasetamol diperkirakan
dapat menghambat COX-3 sebagai bagian dari mekanisme kerja obat. Aspek ini memberikan
kesatuan mekanisme untuk semua obat analgesik minor.

Interaksi obat dengan transport protein

Durasi kerja berbagai neurotransmitter dibatasi oleh proses pengambilan kedalam neuron,
yang diikuti dengan pengemasan ke dalam vesikel atau oleh metabolisme. Transpor protein
berkaitan dengan membran presinaps yang bertanggung jawab terhadap efek ini akan
meningkatkan ketersediaan neurotransmitter pada membran postsinaps. Yang menarik adalah
obat-obat penghambat ambilan serotonin yang selektif (SSRI) seperti paroxetine yang
merupakan obat antidepresan yang efektif memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat yang kurang selektif seperti imipramide.

Di tubulus renalis, furosemide menghambat mekanisme Na+/K+/2Cl− symport dalam bagian


ascending yang tebal dari lengkung henle untuk menghasilkan efek diuresis. Thiazide
diuretik menghambat Na + / Cl-symport di tubulus distal, dan efeknya lemah jika konsentrasi
elektrolit pada cairan tubulus distal relatif rendah.

Mekanisme transpor lainnya yang lebih penting adalah mekanisme pompa proton dalam
lambung, yang bertanggung jawab untuk sekresi ion hidrogen dan mempertahankan pH
lambung. Sistem enzim H+K+ATPase pada permukaan sel parietal lambung merupakan
sasaran untuk penghambat pompa proton seperti pada omeprazole.

Obat antikonvulsan tiagabine merupakan penghambat mekanisme transpor GABA yang


bertanggung jawab terhadap ambilan sel glia pada GABA dari sinaps yang berdekatan.

Mekanisme kerja anestesi umum


Mekanisme kerja obat telah dijelaskan sebelumnya pada bab ini, yaitu obat yang relevan
digunakan pada anestesi yang melibatkan fungsi neurotransmitter. Gambar MD5 merangkum
berbagai cara dimana jalur neuron dapat diubah oleh obat-obatan.

Salah satu mekanisme kerja obat yang paling sukar dipahami adalah mekanisme kerja pada
obat anestesi umum itu sendiri. Selama beberapa tahun, diperkirakan obat ini melibatkan
mekanisme yang fisikokimia yang tidak spesifik namun sekarang, diperkirakan bahwa yang
berperan dalam mekanisme ini adalah mekanisme yang berdasar pada reseptor spesifik.

Gambar MD5 diagram skematik yang memeprlihatkan bagaimana obat dapat mengganggu
jalur neuronal.

A. Penghambatan/aktivasi reseptor postsinaps


B. Penghambatan ikatan enzime-membran
C. Penghambatan/ aktivasi reseptor presinaps
D. Penghambatan ambilan neurotransmiter
E. Penghambatan metabolisme intraneuronal
F. Kesalahan Pembentukan transmitter
G. Penghambatan axonal voltage-gated ion channels
H. Penghambatan transpor pada sel glial

Salah satu masalah utama dalam menyelidiki mekanisme yang mendasari kerja anestesi
adalah kurangnya kejelasan defenisi dari anestesi umum. Defenisinya harus mencakup
pengamatan klinis tertentu: yaitu hilangnya kesadaran, hilangnya respon terhadap rangsangan
berbahaya (efek antinosiseptik). Dan yang paling penting adalah efek seharusnya bersifat
reversibel. Pemberian anestesi pada hewan coba dapat memberikan efek antinosiseptif dan
bersifat reversibel namun tidak dapat mengukur tingkat kesadaran.

Hal ini memungkinkan bahwa obat anestesi umum yang berbeda memberikan profil aktivitas
pre dan postsinaps yang berbeda pula pada saluran ligand dalam CNS. Semua efek tersebut
mengakibatkan depresi sinyal dalam mencapai hippocampus dan kortex sehingga berkas
memori tidak dapat ditentukan, proses informasi terganggu dan terjadilah ketidaksadaran.
Efek sedatif nampaknya dimediasi melalui nukleus tuberomammillary dan immobilitas
terjadi lebih tinggi melalui spinal dibandingkan dengan di supraspinal. Sisi molekul sebagai
tempat anestesi bekerja adalah pada sisi lipofilik molekul pada ligand-gated ionic channels,
meskipun begitu kami tidak dapat mengeluarkan efek pada voltage-gated channels. Sebagai
hasilnya, perubahan konformasi allosterik pada saluran ion dapat meningkatkan
penghambatan atau menghambat arus rangsangan. Bukti terbaik adalah untuk meningkatkan
penghambatan efek GABA pada reseptor GABAA dan/atau penghambatan arus rangsangan
pada reseptor NMDA. Hasil yang dibuat oleh aksi glisin dan reseptor neuronal nikotinik
belum terlalu ditampilkan. Apapun efek dari anestesi umum, anestesi dalam klinis dapat
dicapai dengan adanya keseimbangan kombinasi antara obat yang berperan dalam
menimbulkan efek ini.

Lokasi anatomis dari kerja obat

Lokasi anatomis dari kerja obat anestesi umum adalah di otak dan sumsum tulang belakang
(spinal cord). Di Tempat tersebut terdapat respon fisiologi terhadap nosiseptif dan kesadaran;
yang cukup jelas namun kemungkinan juga terdapat mekanisme memori yang sebaiknya
dihambat. Memori dikaitkan dengan sistem limbik dan derajat kewaspadaan dikaitkan dengan
kedalaman anestesi yang terjadi. Input afferent kortikal dan eferen motorik juga terganggu.
Ini menandakan adanya keterlibatan spinal dan supraspinal.

Pendengaran dan sensori memberikan data untuk membantu menentukan tempat anatomis
dari aksi obat anestesi yang mudah menguap yaitu di tempat antara batang otak dan korteks,
dengan thalamus sebagai sasaran utamanya. Hal ini sesuai dengan fungsi dari thalamus, tanpa
mengecualikan sistem limbik atau area kortikal tertentu. Adanya bukti telah menunjukkan
bahwa beberapa area di otak dapat dipengaruhi oleh aktivitas anestesi, dimana masing-
masing memediasi komponen anestesi yang berbeda. Efek sedatif anestesi terjadi
berhubungan dengan nukleus tuberomammilary. Penghambatan reseptor GABA pada daerah
ini, dengan menggunakan obat gabazine yang merupakan GABA antagonist, dapat
mengurangi efek sedatif propofol dan pentobarbital, tetapi tidak pada ketamin.

Teori Molekuler

Pada awal abad kesembilan belas, ketika efek anestesi pada sejumlah obat telah diselidiki
pada hewan coba, Overton dan Meyer menggambarkan sebagai hubungan lurus antara
kelarutan lemak dari bahan anestesi (khususnya pada minyak zaitun) dan potensinya (gambar
MD6). Hubungan ini cukup mengesankan, memberikan variasi yang besar dari struktur obat
tersebut, yang menunjukkan bahwa terdapat mekanisme kerja yang tidak spesifik yang
berdasar pada sifat fisikokimia. Interpretasi selanjutnya menunjukkan bahwa setiap daerah
yang sangat lipofilik merupakan tempat aksi potensial obat dengan membran sel sebagai
pesaingnya, yang dapat meningkatkan konsentrasi lemak. Tidak semua lemak memberikan
korelasi kelarutan dan potensi yang baik. Korelasi yang paling sering terjadi yaitu pada
lecitin, yang merupakan bagian utama dari membran sel. Akan tetapi, terdapat masalah
dengan teori yang berdasar pada interaksi lemak yaitu pada beberapa obat anestesi umum
yang terlalu keras seperti ketamin. Pasangan stereoisometrik dari obat steroid yaitu
alphaxalone dan betaxalone memiliki kelarutan lemak yang serupa tetapi hanya alphaxalone
yang memiliki sifat anestesi (akan dijelaskan oleh mekanisme sifat agonisme GABA A). Jadi,
kelarutan lemak terlihat cukup relevan namun tidak dapat dijelaskan pada anestesi sendiri.

Membran lipid (lemak)

Hubungan fisikokimia antara kelarutan lemak dan potensinya sebagai obat anestesi dengan
struktur yang berbeda sangat mengesankan. Dalam beberapa hal, penolakan dari berbagai
bahan dengan daya kelarutan lemaknya yang rendah telah dilakukan dan lebih mengarahkan
dalam mencari sisi reseptor yang spesifik. Terdapat beberapa bagian lipofilik pada membran
sel, yang meliputi lapiran lipid itu sendiri dan lipid yang mengelilingi saluran ion.

Bahan anestesi yang bersifat lipofilik dapat menembus lapisan tersebut dan mengubah
susunan molekul dari fosfolipid dengan cara yang digambarkan sebagai membran
‘fluidising’. Perluasan membran diperkirakan dapat mengganggu fungsi saluran ion pada
membran. Teori ini menjelaskan mengapa bahan anetesi umum dapat mempengaruhi
sejumlah arus ion, karena terdapat perubahan yang tidak spesifik pada struktur membran.
Penghitungan dapat mengidentifikasi volume bahan anestesi yang diperlukan untuk
memperluas membran dan disebut 'hipotesis volume yang kritis'. Hal ini menunjukkan bahwa
anestesi dapat terjadi jika volume dari bahan anestesi masuk ke dalam membran. Pada teori
tersebut, peningkatan suhu 1°C dapat meningkatkan ketebalan membran sampai batas yang
sama seperti yang terlihat dengan bahan yang mudah menguap, akan tetapi dengan adanya
peninkatan tersebut dapat mengurangi efek dari anestesi yang diberikan. Alasan terakhir
menjelaskan mengapa teori tersebut memegang berbagai aksi yang terjadi karena adanya
tekanan balik dari anestesi. Pada hewan coba, efek anestesi yang mudah menguap dapat
diatasi dengan melakukan penekanan pada faktor lingkungan. Ini adalah salah satu
pengamatan yang belum sepenuhnya dijelaskan dalam mekanisme aksi anetesi.

Akan tetapi, berbagai molekul yang kelarutan lipidnya tinggi yang dapat menginduksi
perubahan pada lapisan lipid bukan merupakan sifat anestesi. Beberapa hidrokarbon
terhalogenasi, termasuk beberapa pengganti fluorin, gagal dalam menimbulkan efek anestesi
dan beberapa diantaranya menimbulkan kejang.
Karena teori fisikokimia tidak lagi mendukung setiap lingkungan lipid tertentu, maka deviasi
dari garis Overton-Meyer dapat dijelaskan dengan mengidentifikasi bagian lipid tertentu di
mana bahan anestesi dapat memberikan aksi tersebut. Ketidaksesuaian kemudian dapat
dijelaskan dengan adanya perbedaan sterik. Telah diketahui bahwa komposisi fosfolipid di
sekitar saluran ion berbeda dengan lapisan lipid umum, khususnya pada saluran tertentu. Oleh
karena itu, ditentukan bahwa gangguan pada lipid yang mengelilingi saluran ion ini dapat
mengubah fungsi saluran ion spesifik dan oleh karena itu perlu diperhitungkan untuk
anestesi—teori pertubasi.

Kemajuan yang pesat dalam mengidentifikasi reseptor protein dalam sistem saraf pusat,
bersama dengan pengamatan pada bahan anestesi dapat mengubah fungsi enzim,
menyebabkan timbulnya teori terbaru yang berdasar pada interaksi dengan protein yang
spesifik. Saat ini terlihat bahwa hubungan antara potensi dan kelarutan lipid dapat
mencerminkan sifat lipofilik alamiah dari ikatan protein spesifik.

Protein dalam mekanisme kerja obat

Bukti mengenai bagian protein dalam mekanisme kerja obat

- konsentrasi tertentu dari obat anestesi umum, dapat menghasilkan efek anestesi,
menghambat enzyme luciferase. Untuk mencapai penghambatan yang efektif memiliki
potensi yang sama bagi setiap obat anestesi.
- Ikatan jenuh antara halotan dan synaptosomes otak tikus menunjukkan sejumlah pembatasan
tempat ikatan. Ini tidak akan menjadi contoh kasus untuk interaksi non-spesifik.
- Para enansiomer dari obat anestesi umum tertentu menunjukkan perbedaan stereolektif
dalam perubahan arus ion.
Jika tempat ikatan tersebut spesifik dan jenuh, maka ini menunjukkan bahwa stereoisomer
dari obat anestesi akan menampilkan ikatan yang berbeda dan ciri khas responnya. Adanya
perbedaan tersebut merupakan bukti yang baik untuk keberadaan tempat ikatan yang spesifik,
khususnya yang berhubungan dengan protein.

Anestesi dapat mencegah sinyal afferen sampai ke otak dengan meningkatkan penghambatan
atau dengan mengurangi jalur eksitasi atau dengan menggabungkan kedua aksi tersebut.
Dalam percobaan, digunakan aksi eksitasi dan hambatan fungsi saluran ion, termasuk
voltage-gated channel dan ligand-gated channels pada obat anestesi.

Diketahui bahwa obat anestesi dapat mengubah hantaran natrium dan kalsium, walaupun
pengaruh konsentrasi keduanya dapat dipicu sedikit lebih besar daripada yang ditemukan di
vivo. Kurva respon-dosis-log pada anestesi memperlihatkan tampilan yang lebih curam,
kurva yang bergeser ke kiri dibandingkan pada depresi voltage-gated sodium channels. Ini
menunjukkan bahwa tidak hanya efek anestesi yang terjadi jika konsentrasi obat rendah
namun yang juga berperan adalah adanya mekanisme yang berbeda.

Beberapa ligand-gated ionic channels lebih sensitif terhadap aksi anestesi umum
dibandingkan pada voltage-gated channels. Interaksi antara saluran penghambat (GABAA
dan glycine) dan saluran pengeksitasi (neuronal nikotinik dan NMDA) telah dipelajari
sebelumnya. Gambar MD7 merupakan ringkasan dari aktivitas relatif dari sejumlah obat pada
reseptor tersebut.

Reseptor GABAA

Reseptor GABAa memiliki tempat modulasi pada subunit β untuk benzodiazepin, barbiturat,
propofol dan bahan yang mudah menguap. Pada pemeriksaan stereospesivisitas secara in
vitro pada mekanisme kerja barbiturat dan isofluran mendukung ide tempat ikatan spesifik
dari setiap obat.

- Etomidate muncul sebagai preparat enantiopure pada isomer R(+); sedangkan bentuk isomer
S(-) tidak aktif. Pada Reseptor GABAa, terdapat 30 kali lipat aktivitas yang berbeda.
- Stereoisomers pada barbiturates, pentobarbital dan thiopental menunjukkan dua kali
perbedaan peningkatan aktivitas GABA pada reseptor GABAA. Belum ada penelitian
mengenai stereoisomers barbiturate pada manusia, namun pada penelitian menggunakan
hewan coba menunjukkan 2 kali lipat perbedaan potensi, dimana s-barbiturat lebih poten
dibandingkan R-barbiturat.
- Stereoisomer pada isofluran memiliki 1,5 kali perbedaan efikasinya pada reseptor GABAA,
meskipun belum terdapat bukti klini terhadap perbedaan potensinya.
Gambar MD7 efek obat anestesi intravena pada ligand-gated ion channels

Obat Anestesi dapat memperpanjang waktu pembukaan saluran, sehingga memungkinkan


banyaknya klorida yang masuk sehingga menyebabkan hiperpolarisasi. Efek ini terlihat pada
pemakaian obat etomidate, propofol, barbiturat, alphaxalone sebagai gas anestesi. Reseptor
pentamerik lainnya dipengaruhi oleh beberapa obat tersebut, namun etomidate terlihat
selektif untuk reseptor GABAA. Pada kenyataannya, propofol juga akan meningkatkan waktu
pembukaan dari saluran glisin dan menghambat reseptor neuronal nikotinik dan 5-HT3.
Penelitian mutasi menunjukkan setiap obat menempati sisi yang terpisah, walaupun semua
terlihat terkait dengan subunit-β dan dibedakan dari sisi reseptor benzodiazepin. Sedikitnya
terdapat 30 tipe reseptor GABAA , dan masing-masing memiliki stoikiometri komposisi
subunit yang berbeda. Bentuk yang berbeda cenderung memiliki sensitivitas yang berbeda
pula. Pada pemeriksaan in-vitro menunjukkan bahwa subunit β2 dan β3 lebih sensitif
terhadap efek etomidate dibandingkan subunit β1. Penggantian asam amino tunggal pada
subunit β2 dapat mengurangi efek etomidate pada penghantaran klorida. Akan tetapi,
percobaan pada hewan dengan tikus yang telah dimodifikasi secara genetik menunjukkan
pemulihan yang cepat dari efek anestesi; perubahan EEG dan hilangnya righting refleks
dimana ini menyerupai tikus tipe liar. Mutasi subunit β2 terjadi dalam mencegah penekanan
hind-limb withdrawal dan righting reflex akibat etomidate. Dengan adanya hewan coba,
dapat memberikan bukti akan pentingnya reseptor GABA dalam menghasilkan tahapan yang
kita sebut anestesi.

Reseptor glisin

Glisin merupakan transmitter penghambat yang utama pada sumsum tulang belakang (spinal
cord) dan batang otak. Reseptor glisin dihubungkan dengan saluran klorida yang menyerupai
reseptor GABAA. Adanya bukti elektrofisiologis menunjukkan bahwa walaupun spinal cord
bukan merupakan tempat yang utama untuk pelemahan rangsangan dengan memberikan
anestesi intravena, anestesi dengan obat anestesi yang mudah menguap dapat berpotensi
dalam kerja glisin, walaupun belum terdapat bukti mengenai stereolektivitasnya. Ini
menunjukkan bahwa sumsum tulang belakang merupakan tempat yang penting untuk
mekanisme kerja obat anestesi yang mudah menguap (volatil) dibandingkan dengan obat
anestesi intravena. Efikasinya berhubungan dengan immobilitas dibanding dengan tingkat
keadarannya.

Reseptor NMDA

Sinyal neuron juga dapat dikurangi dengan penghambatan jalur eksitasi. Pengeksitasi
asam amino glutamat menerima banyak perhatian, namun yang menarik difokuskan pada
reseptor NMDA seperti yang terlibat dalam potensiasi sinyal jangka panjang yang
berhubungan dengan proses belajar dan memori.

Reseptor NMDA diaktivasi oleh glutamat, dimodulasi oleh magnesium dan dihambat oleh
ketamin, oksida nitrat dan xenon melalui mekanisme non-kompetitif. Oleh karena itu
kemungkinan bahwa mekanisme yang dimediasi glutamat merupakan jalur tambahan untuk
terjadinya tahap anestesi. Bebrapa obat anestesi, seperti barbiturat, dapat menguragi
efektivitas glutamat namun potensinya lebih rendah dibandingkan dalam menghambat fungsi
reseptor GABAA. Oleh karena itu, Berbagai teori anastesi sebaiknya melibatkan jalur yang
dimediasi oleh NMDA dan GABAA.

Efek samping

Efek samping obat-obatan dapat diprediksikan atau bersifat idiosikrasi, dapat bersifat kecil
atau mengancam jiwa. Faktor genetik mempengaruhi kerentanan terhadap efek samping yang
terjadi. Efek samping yang dapat diprediksi biasanya tergantung pada dosis yang digunakan
dan dapat terjadi pada siapa saja yang menggunakan obat ini. Tingginya dosis obat yang
diberikan maka semakin besar kemungkinan efek samping yang akan terjadi. Akan tetapi,
faktor farmakogenetik dan lingkungan juga berperan dalam luasnya variabilitas antar-
individu dalam terjadinya efek samping tersebut.

Efek fisikokimia

Berbagai obat yang memiliki struktur heterosiklik yang kompleks seperti sulponamide, dapat
difotoaktivasi untuk menimbulkan perubahan warna dan dermatitis. Dermatitis yang
disebabkan oleh fotosensitivitas terlihat dalam bentuk ekstrim dalam porfiria.

Aktivitas kimia dari obat tertentu dapat mengubah valensi ion logam yang berperan dalam
aktivitas enzim. Oksida nitrat dapat menginduksi perubahan kobalt dari bentuk monovalen
menjadi bivalen yang tidak aktif pada sianokobalamin (vitamin B12) yang merupakan ko-
aktivator untuk methionin sintase. Paparan oksida nitrat yang terus-menrus dapat
menyebabkan timbulnya anemia megaloblastik.

Efek farmakodinamik

Efek farmakodinamik biasanya muncul dari tempat obat bekerja selain yang bertanggung
jawab terhadap efek yang dibutuhkan. Ini melibatkan aktivitas pada sasaran protein yang
sama (enzim atau reseptor) tetapi pada lokasi anatomis yang berbeda, aktivitas subtipe yang
berbeda, atau karena obat dapat berinteraksi dengan lebih dari satu target. Efek tersebut
bergantung pada dosis yang diberikan dan dapat diprediksi tetapi terdapat berbagai variasi
antar individu yang bergantung pada faktor pasien seperti umur, patofisiologi dan susunan
genetiknya.

Efek depresi pernapasan dari morfin ditandai pertama kali oleh mekanisme berikut :
analgesik dan depresi pernapasan disebabkan oleh adanya reseptor opioid -μ tetapi pada pusat
lokasi yang berbeda. Efek konvulsi timbul dari tingkat toksisitas dari obat anestesi lokal
seperti lidokain atau bupivacaine yang disebabkan oleh hambatan dari saluran natrium neuron
: dose-dependent

phenomenon terjadi pada lokasi anatomis yang berbeda.

Efek gastrointestinal dari aspirin diakibatkan oleh karena hambatan dari bentuk konstitutif
dari siklooksigenase, COX-1, sedangkan efek anti-inflamasinya timbul akibat asetilisasi dari
bentuk induksi, COX-2, sehingga ini merupakan tipe kedua dari efek samping
farmakodinamik. Contoh lainnya adalah terjadinya asma yang dipicu oleh obat antihipertensi
yaitu propanolol, yang disebabkan oleh aksi adrenoreseptor-β2, sedangkan aksi β1
menyebabkan efek penurunan tekanan darah.

Mekanisme ketiga diperlihatkan dengan terjadinya mulut kering dan takikardi akibat
penggunaan obat cyclizine intravena, yang merupakan antihistamin H1 yang digunakan
sebagai obat anti-emetik, yang disebabkan karena adanya efek muskarinik dari reseptor
asetilkolin.

Obat yang diberikan dengan infus di unit perawatan intensif (ICU) seringkali menimbulkan
efek yang tidak diinginkan selama peningkatan durasi infus. Salah satu efek yang dapat
timbul adalah tachypilaksis (penurunan respon sistem fisiologis terhadap obat akibat paparan
yang terus-menerus) yang memerlukan peningkatan dosis dan akhirnya kehilangan respon.
Hal ini dibuktikan dengan adanya agonist dan dikaitkan dengan reseptor down-regulation.
Sebaliknya, reseptor up-regulation dapat menghasilkan peningkatan respon yang dapat
menimbulkan efek samping misalnya jika terpapar dengan suxomethonium selama beberapa
hari setelah cedera denervasi. Regulasi reseptor akan dibahas di bawah ini. Efek samping
lainnya yang dapat terlihat adalah dengan pemakaian obat pelumpuh otot non-depolarisasi
yang jika diberikan secara terus-menerus dapat memicu terjadinya myelopathy dan dengan
pemberian sodium nitroprusside melalui infus secara berlebihan dapat menyebabkan
toksisitas sianida akibat pelepasan fosforilasi oksidatif yang memicu hipoksia jaringan.

Regulasi aktivitas reseptor

Beberapa mekanisme molekuler dari regulasi reseptor pada GPCR dan reseptor ionotropik
saat ini telah dipahami. Interaksi GPCR dengan agonist meningkatkan reseptor down-regulasi
dan internalisasi. Sejauh mana internalisasi terjadi tergantung pada sistem yang bersangkutan.
Pengikatan agonist dapat mengaktivasi GPCR-kinase (GRK), yang memfosforilasi baik
terminal-C dan domain yang berhubungan dengan ikatan protein-G. Fosforilasi terminal-C
akan meningkatkan afinitas GPCR untuk arrestin-β, yang merupakan sebuah protein yang
memicu internalisasi reseptor. Aktivitas down-regulation reseptor terlihat pada agonist
adrenoreseptor-β1 seperti dobutamin. Terdapat golongan protein kinase yang meregulasi
aktivitas reseptor—beberapa diantaranya menjadi sasaran sebagai lokasi untuk tindakan
terapi yang potensial.

Peningkatan dan penurunan regulasi juga terlihat pada kelompok reseptor ionotropik. Yang
paling penting adalah adanya perubahan yang terlihat pada motor endplate setelah cedera
denervasi seperti yang terlihat setlah terjadi cedera tulang belakang. Pada keadaan dimana
reseptor tidak tersedia untuk mengaktivasi reseptor postsinaps, maka respon homeostatik
akan aktif untuk menghasilkan lebih banyak reseptor. Sejumlah besar reseptor akan masuk ke
dalam ekstrajunctional ; dan yang paling penting adalah reseptor tersebut akan
menyesuaikan diri dengan konfigurasi subunit fetus (αγαβδ) dibandingkan dengan reseptor
orang dewasa. Reseptor tipe fetus memiliki waktu pembukaan saluran yang lebih lama, yang
memungkinkan pengeluaran kalium yang lebih besar, yang cukup untuk meningkatkan kadar
potasium plasma dan memicu aritmia. Efek yang sama juga terlihat pada cedera luka bakar
dan penyakit degeneratif akut. Dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk membentuk reseptor
yang baru, suxamethonium dapat aman digunakan segera setelah terjadinya cedera namun
sebaiknya tidak digunakan setelah 48-72 jam setelah cedera.

Efek farmakokinetik

Efek samping yang dihasilkan dari mekanisme farmakokinetik dapat disebabkan oleh
perubahan dalam distribusi, metabolisme atau eliminasi bioagen endogen atau efek tersebut
timbul dari pengaruh biotransformasi dari obat itu sendiri.

Bradikardi yang timbul akibat pemberian neostigmin disebabkan karena adanya peningkatan
konsentrasi asetilkolin pada daerah otonom, khususnya reseptor muskarinik M2 pada jantung,
sama seperti pada neuromuskular junction. Dalam prakteknya, kami mengantisipasi efek ini
dengan sebelumnya telah memberikan obat antimuskarinik seperti glikopyrrolate.

Metabolit obat-obatan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Metabolit parasetamol
sebagian besar diubah menjadi senyawa yang tidak aktif dengan mekanisme konjugasi
dengan sulfat dan glucuronida, tetapi sebagian kecilnya lagi dimetabolisme melalui sistem
enzim sitokrom P450. Enzim ini berperan dalam proses oksidasi parasetamol menjadi
metabolit yang sangat reaktif yaitu N-acetyl-pbenzo-quinone imine (NAPQI). Dalam keadaan
normal, NAPQI mengalami detoksifikasi oleh konjugasi dengan glutathione. Dalam hal
kelebihan jalur konjugasi yang berubah menjadi jenuh, produksi NAPQI mengalami
peningkatan. Ketika suplai glutation pada hepatoseluler berkurang sebanyak lebih dari 70%,
NAPQI akan bebas bereaksi dengan unsur membran sel dan mneyebabkan nekrosis hepatik
akut dan kematian.

Efek samping idiopatik

Efek samping ini umumnya tidak berkaitan dengan dosis dan seringkali tidak dapat
diprediksi. Beberapa efek melibatkan reaksi hipersensitivitas yang telah diketahui mulai dari
timbulnya ruam kulit yang ringan sampai syok anafilaktik. Baik faktor farmakokinetik dan
lingkungan dapat berkontribusi terhadap respon masing-masing individu. Efek idiosinkrasi
lainnya dapat timbul akibat kelainan keturunan.

Reaksi hipersensitivitas

Reaksi ini mulai dari timbulnya ruam kulit yang ringan melalui edema angioneurotik sampai
terjadinya serangan anafilaktik. Mekanisme ini melibatkan aktivasi imun dengan (anafilaktik)
atau tanpa (anafilaktoid) paparan sebelumnya dan ini telah dijelaskan pada bagian1, bab 2
(hal. 27-9). Dalam praktek anestesi, obat pelumpuh otot memegang peranan sebanyak 80%
terhadap terjadinya reaksi hipersensitivitas; obat yang utama menyebabkan ini adalah
suxamethonium dan vecuronium. Mekanisme yang dimediasi imun diperkirakan dapat
mendasari terjadinya hepatitis halothan, dimana metabolisme oksidatif dari halothan
menghasilkan zat perantara reaktif yaitu trifluoroacetylchloride yang dapat memicu produksi
protein membran yang ter-trifluoracetylasi yang bekerja sebagai hapten terhadap nekrosis
hepatik fulminan akibat imun pada paparan kedua. Tingkat keparahan meningkat sebanyak
50% walaupun insiden terjadinya masih relatif rendah yaitu sekitar 1 pada 10.000 paparan.

Pengaruh farmakogenetik

Kelainan farmakogenetik dapat berperan dalam menimbulkan beberapa efek samping yang
serius. Hipertermia malignan dapat dipicu oleh suxamethonium dan halogenasi bahan yang
mudah menguap. Morbiditas yang terjadi sekitar 50% pada keluarga terjadi akibat kelainan
reseptor ryanodin, yang erat hubungannya dengan kontrol pelepasan kalsium dari retikulum
sarkoplasma pada otot skelet. Sifat keturunannya adalah autosomal dominan dan juga
berhubungan dengan kejadian myopati kongenital.

Keadaan suxamethonium apnoe bersifat autosomal co-dominan yang berespon terhadap


kelainan kolinesterase plasma (pseudokolinesterase) (lihat bagian 1, bab 4 hal 63). Keadaan
Homozigot menunjukkan blokade neuromuskular total yang terus-menerus setelah
menggunakan suxamethonium, sehingga memerlukan alat bantu ventilasi. Pada keluarga
yang rentan, sebaiknya menghindari penggunaan obat suxamethonium dan mivacurium
sehingga dapat mencegah timbulnya berbagai masalah.

Farmakogenetik dari enzim dalam memetabolime obat, melibatkan sistem sitokrom P450,
dapat mempengaruhi tingkat dan lamanya respon. Walaupun bukan merupakan efek yang
merugikan, adanya kelainan isozyme CYP2D6 dapat mencegah efek samping dari analgesik
yang tidak adekuat. Asetilator lemah akan menimbulkan efek obat yang berkepanjangan
seperti pada pemakaian obat hidralazine, khususnya jika digunakan secara intravena untuk
menimbulkan efek antihipertensi jangka pendek.

Mekanisme interaksi obat

Kami dapat menggambarkan mekanisme interaksi antara obat sebagai mekanisme


fisikokimia, farmakokinetik atau farmakodinamik. Interaksi fisikokimia mempengaruhi
farmakokinetik obat yang nantinya dapat mempengaruhi rangsangan. Beberapa interaksi
tersebut (penisillin dan probenecid) dapat digunakan untuk keperluan terapi.

Interaksi obat yang signifikan melibatkan obat antikoagulan, antiaritmia, antikonvulsan dan
obat hypoglikemik, dimana perubahan sedikit dalam konsentrasi plasma akan menimbulkan
efek yang tidak diinginkan, yaitu adanya indeks terapi yang sempit. Selanjutnya, polyfarmasi
akan meningkatkan risiko interaksi obat yang signifikan: pasien yang menggunakan lebih
dari enam obat memiliki 80% kemungkinan interaksi obatnya. Karena orang tua lebih
cenderung menjalani multipel terapi, dan seringkali lebih sensitif terhadap efek obat, maka
mereka lebih mungkin mengalami efek samping dari interaksi obat tersebut.

Fisikokimia

Interaksi kimia dari dua obat dapat menghasilkan produk yang tidak dapat larut atau tidak
dapat diserap oleh tubuh. Yang terpenting adalah interaksi antara obat yang asam seperti
thiopental dan obat yang bersifat basa seperti sodium bikarbonat- ketika diberikan secara
intravena melalui jalur yang sama akan mengalami presipitasi. Maslah yang sama terjadi
pada thiopenthal (asam) dan suxamethonium (basa), dapat digunakan dalam percepatan
induksi—pembilasan dengan larutan garam sebaiknya dilakukan sebelum memberikan obat
pelumpuh otot. Untuk pemberian secara oral, dua obat yang dapat berinteraksi di dalam
lambung, dapat mengurangi penyerapan dan menyebabkan tingkat sub-terapi plasma satu
atau keduanya. Antasida adalah obat yang terkenal dapat mengurangi absorpsi antibiotik di
traktus gastrointestinal, khususnya obat siprofloksasin, ripamfisin dan tetrasiklin.
Ketokonazol yang diberikan secara oral, memiliki dasar kelarutan yang lemah sehingga harus
diubah ke bentuk garam hidroklorida yang lebih larut dalam asam lambung. Antagonist-H2
(seperti ranitidin) dan penghambat pompa proton (seperti omeprazole) dapat meningkatkan
pH lambung sehingga mengurangi penyerapan ketokonazol di lambung.

Farmakokinetik

Obat yang mengubah penyerapan, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain dikatakan
berinteraksi secara farmakokinetik. Absorpsi seringkali dipengaruhi oleh interaksi
fisikokimia dan tertundanya absorpsi dapat terjadi pada obat yang mengalami stasis pada
traktus gastrointestnal, seperti opioid, namun pada umumnya, keterlambatan absorpsi tidak
mencegah obat memasuki plasma, yang diperirakan bahwa ini akan mengurangi peninggian
konsentrasi.

Distribusi obat dapat dipengaruhi oleh proses kompetisi protein plasma berikatan pada
tempatnya. Ini dapat memicu peningkatan kadar plasma yang secara teoritis dapat mencapai
kadar toksik. Walaupun berbagai obat merupakan ikatan plasma-protein, perubahan dalam
tingkat pengikatan protein akibat perpindahan jarang terjadi. Peningkatan fraksi bebas dapat
terjadi namun meningkatkan eliminasi dalam melawan efek ini. Interaksi yang melibatkan
persaingan terhadap tempat pengikatan dapat terjadi hanya pada obat yang ikatan proteinnya
cukup besar (lebih dari 95%) dan jika obat ini dieliminasi tanpa melibatkan dosisnya,
misalnya mekanisme kinetika nol (lihat Bagian 3, bab 3, hal 538). Sebagai tambahan,
interaksi yang paling penting adalah yang berkaitan dengan perubahan metabolisme obat
yang mengalami pergantian. Sebagai contoh, obat amiodaron dan warfarin merupakan obat
dengan ikatan protein yang tinggi terhadap albumin (99%); nilai INRnya akan meningkat jika
obat tersebut digunakan bersama yang dianggap sebagai akibat dari penggantian warfarin,
namun amiodaron sendiri juga dapat menghambat metabolisme warfarin-S. Perubahan kecil
pada obat juga menjadi hal yang penting ketika 2 obat bereaksi pada sistem efektor yang
sama namun melalui mekanisme yang berbeda. NSAID menggantikan warfarin, namun salah
satu nya dapat menyebabkan pembekuan darah dengan mengurangi adesi trombosit
sementara yang lainnya mengganggu jalur koagulasi, dan kombinasi dari hal tersebut dapat
meningkatkan risiko terjadinya perdarahan.

Sebagian besar interaksi obat diakibatkan oleh faktor farmakokinetik yang melibatkan
induksi atau hambatan metabolisme. Berbagai obat dimetabolisme oleh sistem enzim
sitokrom P450. Enzim ini berperan dalam proses induksi atau hambatan oleh berbagai obat,
termasuk tembakau, obat-obatan dan jus buah (khusunya buah cranberry dan jeruk). Induksi
enzim oleh salah satu obat dapat meningkatkan clearance dari yang lain, sehingga
mengurangi peningkatan konsentrasi dan lamanya aktivitas. Obat antikonvulsan seperti
fenitoin, fenobarbital dan carbamazepin merupakan obat penginduksi sitokrom yang dapat
mempersingkat waktu durasi dari obat aminosteroidal (misalnya vecuronium dan
rocuronium) yang merupakan obat non-depolarising neuromuscular blokade ; sedangkan
obat bisbenzylisoquinoliniums tidak terpengaruh karena metabolisme keduanya berbeda.
Pemberian bersama obat penghambat sitokrom seperti ranitidin, flukonazol, clarithromisin
dan amiodaron dapat memicu toksisitas; dimana kombinasi flukonazol dan terfenidin dapat
meningkatkan resiko aritmia ventrikel (lihat gambar MD8 sebagai interaksi yang penting).

Kolinerterase plasma berperan dalam metabolisme suxamethonium dan terdapat beberapa


obat yang dapat menghambat atau merupakan substrat terhadap enzim ini. Neostigmin dapat
menghambat kolinesterase plasma sama seperti pada asetilkolinesterase; blokade
neuromuskuler oleh suxamethonium diperpanjang dengan pemberian neostigmin.
Ecothiopate, obat yang digunakan pada penanganan glaukoma, merupakan penghambat
kolinesterase plasma yang irreversibel.

Interaksi antara probenesid (obat urikosurik yang digunakan dalam penanganan gout) dan
penisillin dapat digunakan untuk terapi. Kedua obat ini akan berkompetisi untuk
penghantaran protein pada asam lemah (seperti asam urat) pada tubulus renalis, dimana
probenesid dapat mengurangi ekskresi dari penisillin.

Kombinasi obat Obat yang Hasil Mekanisme


berpengaruh

Simetidin + Theophylline Agitasi SSP, Penghambatan


theofilin aritmia, nausea CYP1A2

Antidepresan TCAs Toksisitas Penghambatan


trisiklik (TCA) + serotonin; agitasi, CYP2D6
Paroxetene hiperrefleksia,
aritmia

Amiodarone + S-warfarin Peningkatan INR, Penghambatan


fenitoin risiko perdarahan CYP2C9

Fluoxetin + Fenitoin Toksisitas Penghambatan


fenitoin fenitoin: ataksia, CYP2C19
nistagmus, slurred
speech, nausea
dan vomitus

Claritromisin + Terfenidine Aritmia ventrikel Penghambatan


terfenidin CYP3A4

Carbamazepin + Vecuronium Pengurangan Penghambatan


vecuronium durasi blok CYP3A4
neuromuskular

Rifampisin + S-warfarin Penurunan INR; Penghambatan


warfarin-S risiko kejadian CYP2C9
trombotik

Chlorpropamide + Chlorpropamide Kontrol diabetik Penghambatan


rifampicin yang buruk, CYP2C9
penurunan level

Gambar MD8 interaksi obat terhadap sistem sitokrom P450. CYP2D6 tidak diinduksi tidak
seperti isoform lainnya. Berdasarkan British National Formulary, interaksi ini dianggap
penting dalam klinis.

Farmakodinamik

Dua obat yang bekerja pada sistem fisiologi tubuh mungkin meyebabkan efek yang sama
(contohnya vecuronium dan suxamethonium yang dapat memblok neuromuskular) atau
menyebabkan efek yang berlawanan (contohnya phenylephrine menyebabkan vasokostriksi
sedangkan nifedipin menyebabkan vasodilatasi). Dalam kombinasinya, Obat yang memiliki
efek fisiologi yang sama akan menghasilkan respon berupa aditif, sinergis atau antagonis.
Aditivitas menunjukkan efek dari mekanisme kerja yang sama, sedangkan sinergistik atau
antagonisme merupakan bukti terhadap adanya mekanisme kerja yang berbeda. Sebagai
contoh, sifat aditif ini dapat terlihat pada penggunaan bersama antara vecuronium dan
rocuronium dan sevofluran dan isofluran. Baik obat antidepresan trisiklik (TCA) maupun
obat penghambat ambilan serotonin yang selektif (SSRI) dapat menghambat ambilan
biogenik amine pada pusat sinaps. Kombinasi TCA dan SSRI menimbulkan sifat aditif dan
dapat menimbulkan gejala toksisitas serotonin seperti agitasi, hiperrefleksia, dan
hiperpireksia. Jika konsentrasi serotonin di sinaps meningkat akibat 2 mekanisme yang
berbeda, maka sinergisme dapat menyebabkan sindrom serotonin yang membahayakan. Saat
ini, Interaksi antara petidin dan obat penghambat monoamin oksidase dianggap dapat
menyebabkan sindrom serotonin, dimana petidhine merupakan obat penghambat ambilan
serotonin yang tergantung pada dosisnya.

Sinergisme juga dapat dilihat jika nifedipe dan obat penghambat ACE digunakan bersama
untuk menimbulkan efek antihipertensi; dosis mungkin perlu disesuaikan untuk mencegah
hipotensi yang tidak diinginkan. Demikian pula, efek hipotensi pada bahan anestesi yang
mudah menguap dapat terjadi pada pemakaian obat penghambat ACE. Sinergsime pada
aktivitas trombosit dapat terlihat dengan pemakaian obat aspirin dan clopidogrel, serta aspirin
dan abcizmab. Diuretik dapat meningkatkan pelepasan potasium melalui mekanisme yang
berbeda, misalnya golongan loop diuretik (furosemid) dan thiazide (bendroflumethiazide),
jika digunakan bersama dapat menimbulkan hipokalemia yang berat dengan risiko aritmia
pada pasien yang beresiko. Dalam kenyatannya, pemberian kombinasi diuretik menimbulkan
efek yang berlawanan berupa pelepasan potasium dapat aman digunakan bersama-sama,
tanpa membutuhkan tambahan potassium seperti bendroflumethiazide dan amiloride yang
secara klinis dapat berguna.

Antagonisme timbul pada pemakaian kombinasi bat penghambat ACE dan obat angiotensin
II receptor (AT1) antagonists : dimana penghambatan reseptor dapat meminimalkan
efektivitas penurunan konsentrasi angiotensin II dan gabungan efek antihipertensi tidak sama
besar seperti yang diperkirakan dari aktivitasnya masing-masing.

You might also like:

SKYDRUGZ: Refarat Mekanisme Kerja Obat http://skydrugz.blogspot.com/2013/04/refarat-


mekanisme-kerja-obat.html#ixzz3qaypmHD0

Anda mungkin juga menyukai