Anda di halaman 1dari 5

THE PROTOCOL OF CHOICE FOR TREATMENT OF SNAKE BITE

PROTOKOL PILIHAN UNTUK PENANGANAN GIGITAN ULAR


Afshin Mohammad Alizadeh, Hossein Hassanian-Moghaddam, Nasim Zamani, Mitra Rahimi,
Mohammad Mashayekhian, Behrooz Hashemi Domeneh, Peyman Erfantalab, and Ali Ostadi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan tiga metode berbeda dari
penanganan gigitan ular untuk menentukan mana yang paling efisien. Untuk menyatukan
protkol dari penanganan gigitan ular pada tempat kami, kami secara retrospektif mereview
data dari pasien gigitan uar yang diserahkan kepada kami antara 2010 dan 2014. Mereka
dihubungi untuk di folow up menggunakan telepon. Karakteristik dan demografi, protokol
yang digunakan untuk penanganan (WHO/Haddad/GF) dan hasil/komplikasi dievaluasi.
Pasien diamasukan pada salah satu kelompok protokol dan dibandingkan. Dari sejumlah 63
pasien, 56 laki laki, 5 dengan Haddad, 19 dengan WHO dan 28 menggunakan Gf. Sebelas
pasien masuk pada protkol WHO dan GF dieksklusi. Penyakit serum secara signifikan saat
protokol WHO digunakan sedangkan 100% dari sindroma kompartmen dan 71% dari
deformitas dilaporkan menggunakan protokol GF. Komplikasi yang paling penting untuk
dipertimbangkan adalah deformitas, sindroma kompartmen, dan amputasi dan paling sering
menggunakan protkol WHO (23.1%) dan GF (76.9%) dan tidak ada pada di protokol Haddad.
Protokol Haddad sepertinya menjadi yang terbaik dalam penanganan pasien gigitan ular
pada region kita. Namun, ini tidak bisa secara langsung disimpulkan karena sampel yang
terbatas dan nilai P yang tidak signifikan.

PENDAHULUAN

Gigitan ular adalah permaslahan kesehatan yang penting dan sering ditemui di berbagai
belahan dunia termasuk negara kita. Terlepas dari produksi antivenom, pemasukan venom
ular membagi semua karakteristik dari sebuah penyakit tropis yang terabaikan di asia.
Gigitan ular sudah menyebabkan hampir 4.5-9.1 angka efek di tiap 100000 populasi Iranian
dan 67 kematian (0.1% angka kematian) selama 2002 sampai 2011. Walaupun angka
kematian dari gigitan ular cukup rendah, komplikasi karena gigan ular atau penanganannya
(termasuk koagulopati, gagal ginjal dan atau pulmoner, DIC, perdarahan, deformitas,
sindroma kompartemen, amputasi, dan sindrom penyakit serum cukup sering.

Berbagai protokol ada untuk pmenangani gigtan ular, beberapa yang paling sering
digunakan adalah protokol WHO, Godfaank toxicologic emergencies (GF dan Haddadn dan
winchester (Haddad) (gambar2)

Menariknya, protokol ini sangat jauh berbeda masing masing berdasarkan manajemen dari
pasien dan bahkan penentuan beratan dari keracunannya (tabel1). Mereka masing masing
memiliki pengikutnya. Tidak ada penelitian yang membandingkan efikasi dari protokol ini
untik mentukan mana yang paling efisien dengan sedikit komplikasi.

Di Iran ada 3 jenis antivenom, hanya yang polyvalen yang diproduksi oleh Razi Vaccine and
Serum Research Institute. Produk polivalen ini bisa menetralkan venom dari 6 jenis ular
berbisa termasuk Naja naja oxiana, Pseudocerastes persicus fieldi, Echis carinatus, Vipera
albicornuta, Vipera lebetina obtusa, dan Agkistrodon halys

Mereka diproduksi oleh kondensasi plasma dan pemurnian dari imun kuda dan
mengandung 10 mL dari zat efektif yang bisa secara intravena atau intra muskular diberikan.
Tempat kami adalah pusat toksikologi tersier dengan pasian yang masuk pertahun 30-40
orang dengan ggitan ular. Pada penelitian sebelumnya ditempat kami, dua kematian
dilaporkan dengan gigitan ular berbisa. 5 dokter dari tempat kami menggunakan protokol
yang berbeda dari penanganan gigitan ular (kebanyakan GF dan WHO) berdasarkan
kesukaan mereka tetapi bukan berdasarkan kondisi klinsi pasien. Dalam rangka menyatukan
protokol dalam penagananan gigitan ular di tempat kami, kami mengulas data dari pasien
gigitan ilar dan membandingkan hasil dan frekuensi komplikasi antara mereka untuk
menentukan protokol mana yang terbaik untuk penanganan gigitan ular.

METODE

Data dari semua pasien yang digigit ular dan dimasukan dalam pusat toksikologi tersier
dalam 5 tahun (april 2010 sampai april 2014) secara retrospektif dievaluasi. Data diekstraksi
menggunakan abstrakor tunggal. Data diektraksi termasuk demografi pasien (umur dan
jenis kelamin), lokasi gigitan ular, selang waktu antara gigitan ular dan rumah sakit, gejala
dan tanda saat datang, protokol penanganan yang digunakan, jumlah vial yang diberikan
pada masing pasien, komplikasi selama perawatan di rumah sakit (adanya selulitis, sindroma
kompartemen, fasiotomi dan amputasi tungkai), komplikasi setelah keluar rumah sakit
(demam, bengkak, dan kemerahan untuk menentukan selulitis; demam, ruam dan
artiritis/artralgia untuk sindrom penyakit serum; dan deformitas tungkai), lama perawatan
di rumah sakit, dan hasil akhir dari pasien (pulih sempurna, pulih dengan konsekuensi, dan
kematian). Namun, karena WHO tidak merekomendasikan protokol spesifik pada daerah
kami, protokol WHO yang termodifikasi berfokus pada ular di Iran (dikembangkan oleh
Depkes Iran) digunakan pada negara kami. Sindroma kompartemn dikonfrmasi
menggunakan USG doppler pada masing masing kasus.

Dua orang mereview semua data dan menentukan apakah pasien ditangani dengan protokol
WHO GF atau Haddad. Criteria untuk menilai pemenuhan pada protokol penanganan adalah
berdasarkan keparahan dari masiknya venom didefinisikan pad masing masing protokol,
penggunaan vial, dan pengulanagan dari itu selama perawatan di rumah sakit. Jika mereka
tidak setuju pada satu putusan, seorang dokter menyetujui untuk menggunakan putusan
yang mana. Akhirnya para ahli setuju pada smeua data dan protkol mereka. Untuk follow up
mereka, pasien dihubungi menggunakan telepon.

Komplikasi setelah rawat inap dievaluasi menggunakan kuesioner yang kami buat
mengevaluasi perkembangan dari penyakit serum, selulitis, dan komplikasi permanen
semacam deformitas dari tungkai yang tergigit. Pasien lalu dimasukan dalam salah satu
kelompok protokol dan dibandingkan berdasarkan penanganan yang dilakukan, komplikasi
yang terjadi, dan hasil akhir.

Data dimasukan dalam statistik menggunakan SPSS versi 17 dan dianalisis menggunakan uji
t (perbedaan rata-rata) dan kruskal Wallis test (perbedaan median) untuk data yang berlajut
dan uji x2 (untuk data kategorikal). Nilai P <0.05 dianggap signifikan scara statistik.
Penelitian ini sudah disetujui oleh the Local Ethics Committee of Shahid Beheshti University
of Medical Sciences.

HASIL

Sejumlah 147 paisien tergigit viper di rujuk dalam masa penelitian. Dari semuanya hanya 63
yang bisa difollow up menggunakan telepon dan 56 laki laki.5 pasien menggunakan Haddad,
19 mnggunakan WHO dan 28 pasien mengunakan GF, sedangkan 11 menggunakan
keduanya GF dan WHO dan dieksklusi. Faktanya, dikarenakan kemiripan pada dia protokol
di kasus ringan, kita tidak bisa menentukan protokol mana yang digunakan oleh dokter
untuk menanganani dan maka dari itu kami mengeksklusi pasien ini. 52 pasien sisanya, 46
pasien laki laki. Lokasi gigitan ular yang paling sering adalah di jari (24 pasien), kaki (12
pasien), dan betis (5 pasien). Tidak ada dari pasien ini yang digigit di leher dan kepala.
Gejala yang paling sering adalah bengkak (51 pasien) dan nyeri (44 pasien). Pasien
diperkirakan memiliki kemasukkan bisa ringan, sedang dan berat berdasarkan protokol
yang diterapkan untuk penanganan mereka sedangkan klasifikasi ini bisa berbeda pada
berbagai protokol penanganan. Komplikasi termasuk penyakit serum, deformitas, sindroma
kompartmen yang memerlukan fasiotomi, amptasi, nekrosis, dan neuropati terdeteksi 10
(19.2%), 7 (13.5%), 4 (7.7%), 2 (3.8%), 2 (3.85), dan 1 (1.9%) pasien masing-masing. Penyakit
serum secara signifikan (p=0.04) lebih sering saat protokol WHO diterapkan (70% kasus
penyakit serum), sedangkan 100% dari sindroma kompartem dan 71 % dari deformitas
dilaporkan terjadi setelah protokol GF. Komplikasi paling penting untuk dipertimbangkan
adalah deformitas, sindroma kompartemen, dan amputasi dan lebih sering setelah
menggunakan protokol WHO dan GF (23.1% versus 76.9%; none in Haddad; 𝑃 = NS; Table 2).

DISKUSI

Berdasarkan hasil kami, walaupun jumlah sampelnya terbatas, protokol hadad tampak
menjadi yang paling baik untuk menanganani gigitan ular. Ini menimbulkan komplikasi yang
paling sedikit (deformitas, sindroma kompartemen yang memerlukan fasciotomy dan
amputasi) dan bahkan lebih sedikit penyakit serum jika dibandingkan dengan dua protokol
lain. Namun, berdasarkan jumlah vial yang dimasukan tiap protokol, Haddad adalah yang
paling invasif. Seperti ditampilkan di tabel 2, jumlah antvenom yang direkomendasikan
secara signigfikan lebih banyak di protokol hadad.

Peningkatan jumlah antivenom yang dimasukan biasanya meningkatkan resiko dari penyakit
serum. Haddad secara umum menyarankan 10, 10-20 dan lebih dari 20 untuk kemasukan
bisa yang ringan, sedang, dan berat masing-masing, yang mana jauh diatas vial yang
direkomendasikan oleh GF (4-6 di masing-masing tahapan sebelum dipertimbangkan ulang)
sedangkan menggunakan 3 sampai 20 vial oleh who. Kami berpikir ini dikarenakan fakta
bahwa semakin awal pasien menerima antivenom, semakin cepat membaik. Penulis
sebelumnya juga menekankan peran protektif dari pemberian awal antivenom pada pasien
gigitan ular dan efek yang lumayan pada hasil akhir.

Kita yakin walaupun pemberian 4-6 vial dan pertimbangan ulang dari pasien berdasarkan
protokol GF (dan juga WHO) mencegah pemberian antivenom yang banyak, ini
mempengaruhi resiko pasien menjadi lebih tinggi dari kurangnya pemberian vial di jam-jam
awal setelah gigitan yang mana menjadi jam kritis pada penanganan pasien karena hasil
terbaik akan terjadi saat antovenom dimasukan dalam 24 jam. Dalam hal lain, tampaknya
pemberian awal dari antivenom dalam sejumlah besar vial-sebagaimana disaranan oleh
Haddad- harusnya berpengaruh pada resiko pasien yang lebih tinggi dalam sindroma
penyakit serum di kemudian hari; ini tidak didudkung oleh penelitian kami, sebuah hasil
yang tidak bisa kami jelaskan.

KETERBATASAN PENELITIAN

Penelitian retrospektif adalah keterbatasan dari penelitian ini. Juga perbedaan antara ular
yang biasa ditemui di negara asal penulis buku dan milik kami, perbedaan pada antivenom
yang tersedia di negara kami dan mereka, dan pasien penelitian yang sedikit dimana hanya
52 kasus yang tersedia dan kemungkinan keterbatasan lain harus dipertimbangkan pada
penelitian ke depan. Faktanya kebanyakan dari pasien kami adalah penggembala dan tidak
bisa difollow up melalui telepon. Namun, harus dikarakan bahwa kekuatan dari penelitian
kami adalah kami menggunakan antivenom polivalen yang sama dan dikelola oleh satu
pabrik untuk semua pasien.

Juga kejadian dari penyskit serum bisa berhubungan dengan dosis dari antivenom dan
kualitasnya dan adalah tidak beralasan untuk menemukan penyakit serum lebih sering
ditemukan di protokol WHO. Ini dalah temuan dari penelitian ini yang harus diteliti lebih
lanjut. Kesimpulanya, meskipun protokol Hadad tampak menjadi protokol terbaik dalam
penanganan gigitan ulat pada daerah kami, ini tidak bisa secara langsung disimpulkan
karena jumlah sampel yang terbatas. Penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih
banyak diharapkan untuk menentukan protokol terbaik untuk pasien gigitan ular di daerah
berbeda.

Anda mungkin juga menyukai