Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pada hakekatnya manusia sudah memiiki hak-hak pokok dari lahir sampai meninggal.
Hak-hak pokok tersebut adalah hak asasi manuasia yang dikenal dengan HAM. Hak asasi
manusia bersifat universal. Hak asasi manusia ( HAM ) dalam Islam berbeda dengan hak
asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban
bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah
bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu”. Maka
negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai
kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap
individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, status sosialnya, dan juga
perbedaan agamanya. Islam tidak hanya menjadikan itu sebagai kewajiban negara,
melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini.
Disisi lain umat Islam sering kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama,
demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum bisa diterima
secara utuh. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpatimbal balik, sementara yang
lain, justru bersikap ekstrim. Menolak bahkan mengharamkannya sama
sekali. Sebenarnya banyak yang tidak bersikap sepertikeduanya. Artinya, banyak yang
tidak mau bersikap apapun. Kondisi ini dipicu dari kalangan umat Islam sendiri yang
kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian HAM?
2. Bagaimana sejarah hak asasi manusia?
3. Bagaimana latar belakang adanya HAM?
4. Bagaimana perspektif islam terhadap hak asasi manusia?
5. Apa saja dasar-dasar hak asasi manusia dalam Al-Qur’an?
6. Apa pengertian demokrasi demokrasi?
7. Bagaimana asal-usul demokrasi?
8. Bagaimana Islam memandang demokrasi?
9. Apa saja prinsip-prinsip demokrasi.

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami apa itu hak asasi manusia.
2. Mengetahui sejarah hak asasi manusia.
3. Mengetahui latar belakang pemikiran hak asasi manusia.
4. Memahami perspektif islam terhadap hak asasi manusia.
5. Mengetahui dasar-dasar hak asasi manusia dalam Al-Qur’an.
6. Memahami pengertian demokrasi.
7. Mengetahui bagaimana asal-usul demokrasi.
8. Memahami pandangan islam terhadap demokrasi.
9. Mengetahui prinsip-prinsip demokrasi dalam islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM

2.1.1 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)


Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, Hak asasi diartikan sebagai hak dasar
atau hak pokok seperti hak hidup dan hak mendapatkan perlindungan. Hak-hak
asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak
dapat dipisahkan daripada hakekatnya dan karena itu bersifat suci.

Selanjutnya hak-hak asasi manusia yang dianggap sebagai hak yang dibawa
sejak seseorang lahir ke dunia adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Pencipta
(hak yang bersifat kodratif). Oleh karena itu, tidak ada satu kekuasaan pun
di dunia yang dapat mencabutnya. Jadi, hak asasi mengandung kebebasan secara
mutlak tanpa mengindahkan hak-hak dan kepentingan orang lain. Karena itu HAM
atas dasar yang paling fundamental yaitu hak kebebasan dan hak persamaan. Dari
kedua dasar ini pula lahir HAM yang lainnya.

2.1.2 Hak-hak Asasi Manusia dan Sejarahnya


Kedatangan Islam di muka bumi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
bertujuan untuk membawa rahmat bagi makhluk seisi bumi termasuk didalamnya
manusia. Menurut ajaran Islam, manusia tidak hanya menjadi objek tapi sekaligus
menjadi subjek bagi terciptanya keselamatan dan kedamaian itu. Oleh
karena itu, setiap muslim dituntut pertanggungjawaban atas keselamatan diri dan
lingkungannya. Seorang muslim harus dapat memberikan rasa aman bagi orang
lain baik dari ucapan maupun tindak-tanduknya.

Berdasarkan ini, maka penghargaan tertinggi kepada manusia dan kemanusiaan


menjadi perhatian yang paling utama dan prinsipil di dalam Islam. Penghargaan
yang tidak dibatasi oleh kesukuan, ras, warna kulit, kebangsaan dan agama.
Misalnya nilai persamaan, persaudaraan, dan kemerdekaan merupakan nilai-nilai
universal Islam yang berlaku pula untuk seluruh umat manusia di jagad raya ini.
Hal ini tercermin dari penegasan Allah didalam kitab suci al-qur’an :

“Sesungguhnya kami telah memuliakan Bani Adam (manusia) dan Kami angkat
mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan

3
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan” (Q.S. Al-Isra’/17:70).

Hal itu sesungguhnya manusialah yang diberikan kebebasan memilih antara


hal-hal yang baik dan yang buruk, benar dan salah, bermanfaat dan mendatangkan
mudarat dan sebagainya. Kunci dari itu semua adalah manusia dikaruniai akal
pikiran dan hati nurani (qalb). Untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi
kekhalifahan itu setiap manusia harus mengerti terlebih dahulu hak-hak dasar yang
melekat pada dirinya seperti kebebasan, persamaan, perlindungan dan sebagainya.
Hak-hak tersebut bukan merupakan pemberian seseorang, organisasi, atau Negara
tapi adalah anugerah dari Allah yang sudah dibawanya sejak lahir ke alam dunia.
Hak-hak itulah yang kemudian disebut dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

Tanpa memahami hak-hak tersebut mustahil ia dapat menjalankan tugas serta


kewajibannya sebagai khalifah Tuhan. Namun persoalannya, apakah setiap
manusia dan setiap muslim sudah menyadari hak-hak tersebut? Jawabnya,
mungkin belum setiap orang, termasuk umat Islam menyadarinya. Hal ini mungkin
akibat rendahnya pendidikan atau sistem sosial politik dan budaya disuatu tempat
yang tidak kondusif untuk anak dapat berkembang dengan sempurna.

2.1.3 Latar Belakang Pemikiran tentang HAM


Manusia pada dasarnya berasal dari satu ayah dan satu ibu, yang kemudian
menyebar ke berbagai penjuru dunia, membentuk aneka ragam suku dan bangsa
serta bahasa dan warna kulit yang berbeda-beda. Karena itu manusia menurut
pandangan Islam adalah umat yang satu “ummatun wahidatun”. Karena manusia
itu bersaudara yang saling mengasihi dan sama derajatnya, manusia tidak boleh
diperbudak oleh manusia lain. Manusia bebas dalam kemauan dan perbuatan,
bebas dari tekanan dan paksaan orang lain. Manusia, menurut islam, hanya milik
Allah dan hamba Allah (‘Abd Allah) dan tidak boleh menjadi hamba dari makhluk-
Nya, termasuk hamba dari manusia.

Dari ajaran dasar persaudaraan, persamaan dan kebebasan ini pula timbul
manusia yang lainnya. Seperti kebebasan dari kekurangan, rasa takut, meyalurkan
pendapat, bergerak, kebebasan dari penganiayaan dan penyiksaan. Hal ini
mencakup semua sisi dari apa yang disebut hak-hak asasi manusia seperti hak
hidup, hak memiliki harta, hak berfikir, hak berbicara dan mengeluarkan pendapat,

4
mendapat pekerjaan, hak memperoleh pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak
berkeluarga dan hak diperlakukan sebagai manusia yang terhormat (mulia) dan
sebagainya.

2.1.4 Perspektif Islam tentang Hak Asasi Manusia


a. HAM sebagai tuntutan fitrah manusia
Manusia adalah puncak ciptaan tuhan. Ia dikirim kebumi untuk menjadi khalifah
atau wakil-Nya. Oleh karena itu setiap perbuatan yang membawa perbaikan
manusia oleh sesama manusia sendiri mempunyai nilai kebaikan dan keluhuran
kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya, menyimpan kebenaran dan kebaikan
universal, suatu nilai yang berdimensi kesemestaan seluruh alam.

Berdasarkan pandangan ini, maka manusia memikul beban serta tanggung


jawab sebagai individu dihadapan Tuhan-Nya kelak, tanpa kemungkinan untuk
mendelegasikannya kepada pribadi lain. Punya pertanggung jawaban yang dituntut
dari seseorang haruslah didahului oleh kebebasan memilih. Tanpa adanya
kebebasan itu lantas dituntut dari padanya pertanggung jawaban, adalah suatu
kezaliman dan ketidakadilan, yang jelas hal itu bertentangan sekali dengan sifat
Allah yang maha adil.

Berkaitan dengan penggunaan hak-hak individu itu, yang mempunyai hak


dianggap menyalahgunakan haknya apabila:
1. Dengan perbuatannya dapat merugikan orang lain.
2. Perbuatan itu tidak menghasilkan manfaat bagi dirinya, sebaliknya
menimbulkan kerugian baginya.
3. Perbuatan itu menimbulkan bencana umum bagi masyarakat.

b. Perimbangan antara hak-hak individu dan masyarakat


Untuk menjaga keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat,didalam
islam tidak dikenal adanya kepemilikan mutlak pada manusia. Oleh karena
itu,didalam syariat islam apabila disebut hak Allah,maka yang dimaksud adalah
hak masyarakat atau hak umum. Allah adalah pemilik yang sesungguhnya terhadap
alam semesta,termasuk apa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Hal ini
ditegaskan oleh firman-nya antara lain:
1. “Ketahuilah bahwa milik Allahlah apa-apa yang ada dilangit dan dibumi” (Q.S
Yunus/10:55)

5
2. “Dan Dialah yang menciptakan bagimu semua yang terdapat dibumi” (Q.S Al-
Baqarah/2:29)
3. “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah
dikaruniakan-Nya kepadamu” (Q.S An-Nuur/24:33)
4. “……..di dalam harta mereka tersedia bagian tertentu bagi orang miskin yang

meminta dan tak punya” (Q.S Al-Ma’arij/70:24:25)

2.1.5 Dasar-dasar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Al-Qur’an


1. Hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat
Al-Qur’an menegaskan:
a. “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
Dan merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S Ali-Imran/3:104)
b. “Hendaklah kamu saling berpesan kepada kebenaran dan saling berpesan
dengan penuh kesabaran” (Q.S Al-Ashr/103:3)
c. “Berilah berita gembira kepada hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai
akal” (Q.S Az-Zumar/39:17:18)

Ayat-ayat diatas menegaskan bahwa setiap orang berhak menyampaikan


pendapatnya kepada orang lain, mengingatkan kepada kebenaran, kebajikan serta
mencegah kemungkaran. Bahkan hal itu disampaikan bukan saja karena ada hak tapi
sekaligus merupakan suatu kewajiban sebagai orang beriman.

2. Hak kebebasan memilih agama


Sehubungan dengan kebebasan memilih agama dan kepercayaan,Al-Qur’an
menyebutkan antara lain:
a. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam),sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang Ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S Al-Baqarah/2:256)

6
b. “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir…” (Q.S Al-kahfi/18:29)
c. “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang
dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?“ (Q.S.
Yunus/10:99)

Berdasarkan ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa masalah menganut suatu agama atau
kepercayaan sepenuhnya diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk memilihnya.
Didalam islam, kita hanya diperintah untuk berdakwah yang bertujuan
menyeru, mengajak dan membimbing seseorang kepada kebenaran itu. Dakwah
bertujuan juga untuk menegakkan “Al-Amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-
munkar”(menyeru kepada kebajikan serta mencegah dari kemungkaran ).

3. Hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sosial


Sehubungan dengan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama ini Al-Qur’an
menyebutkan sebagai berikut :
“ Dialah orang yang menjadikan segala yang ada dibumi ini untuk kamu…..” (Q.S
Al-Baqarah / 2:29)

Ayat ini menjadi dasar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dari apa-apa yang sudah disiapkan Allah
dipermukaan bumi ini. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk mendapatkan
Rezki yang halal dan baik hal ini di tegaskan dalam firman-Nya :

“ Hai sekalian Manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
dibumi…..” (Q.S Al-Baqarah / 2:168)

2.2 DEMOKRASI DALAM ISLAM


2.2.1 Pengertian Demokrasi
Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-
wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863)
menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”. Dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang

7
membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat harus melaksanakan apa yang telah
ditetapkan rakyat tersebut.
Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh
dalam hal :
a. Kebebasan beragama
b. Kebebasan berpendapat
c. Kebebasan kepemilikan
d. Kebebasan bertingkah laku
Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua
negara yang ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami
variasi-variasi tertentu yang dilatar belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta
agama yang dominan di suatu negara. Namun, variasi yang ada hanyalah terjadi pada
bagian cabang bukan pada prinsip tersebut.

2.2.2 Asal Usul Demokrasi


Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia“kekuasaan rakyat”,
yang dibentuk dari kata demos “rakyat” dan kratos“kekuasaan”, merujuk pada
sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota Yunani
Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari
demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa
Sumeria memiliki beberapa kota yang independen. Di setiap kota tersebut para
rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan
keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem
pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu
terdiri dari 1.500 kota (poleis) yang kecil dan independen. Kota tersebut memiliki
sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga
demokrasi. Salah satunya Athena, kota yang mencoba sebuah model pemerintahan
baruyaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali
adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang
ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak
berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian
oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada

8
perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri
dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150.000
penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan
pendapat mereka.
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem
Kufur, demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat
selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk
mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi
lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat
Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya tidak
bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah
berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya
mustahil menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba
mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar
belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.

2.2.3 Demokrasi dan Islam


Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid
dan peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka
yang dengannya para cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori politik
tertentu yang dapat dianggap demokratis. Didalamnya tercakup definisi khusus dan
pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan
kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintahan.
Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual islam,
banyak perhatian diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik.
Demokrasi islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami
yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan
penilaian interpretative yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep dalam tradisi
politik Barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan
mempunyai banyak konteks dalam wacana Muslim dewasa ini. Namun, lepas dari
konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan
menyangkut demokratisasi dikalangan masyarakat muslim.
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan
manusia. Oleh karena itu perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin

9
terutama dalam doktrin musyawarah. Hal ini disebabkan menurut ajaran Islam,
setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita adalah
khalifah Allah di bumi. Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan
kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam
menangani masalah negara. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan
masalah-masalah ijtihadiyyah, dalam surat Al-syura ayat 3 :

“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.(QS Asy-
Syura : 38).

Disamping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah
demokrasi, yakni konsensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang
menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat
besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Dalam pengertian yang lebih luas,
konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi
demokrasi Islam modern.
Selain syura dan ijma’, ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi
Islam, yakni ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci
menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Hal ini dengan jelas
dinyatakan oleh Khursid Ahmad:“Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama
dan memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dengan
arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya”. Itjihad dapat berbentuk
seruan untuk melakukan pembaharuan, karena prinsip-prinsip Islam itu bersifat
dinamis, pendekatan kitalah yang telah menjadi statis. Oleh karena itu sudah
selayaknya dilakukan pemikiran ulang yang mendasar untuk membuka jalan bagi
munculnya eksplorasi, inovasi dan kreativitas.
Dalam pengertian politik murni, Muhammad Iqbal menegaskan hubungan
antara konsensus demokratisasi dan ijtihad. Dalam bukunyaThe Reconstruction of
Religious Thought in Islam ia menyatakan bahwatumbuhnya semangat republik dan
pembentukan secara bertahap majelis-majelis legislatif di negara-negara muslim
merupakan langkah awal yang besar. Musyawarah, konsensus, dan ijtihad
merupakan konsep-konsep yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi islam

10
dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai
khalifah-Nya.
2.2.4 Prinsip-prinsip demokrasi dalam islam
Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan
yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS.
As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga
yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman
khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas
memilih kepala negara atau khalifah.
Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan
tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan
begitu, setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung
jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian
penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan
menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk
rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan
bijaksana. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini
ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-
Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan seterusnya. Prinsip
keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang
berbunyi “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya
negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”.
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa
lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak
bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif.
Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari hegemoni
penguasa atas rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi
wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk
melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat.
Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar dihadapan rakyat
demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki
sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami

11
al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah.
Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-
Hujurat:13.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan
seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus
dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang
diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan
tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan
sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa
diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah
bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui
bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan
nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau
penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua
pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan
juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil
Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam
mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah)
ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang
terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak
ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan
sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat
wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh
para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap
warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya.
Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq
al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka
tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai
adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik

12
dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam
suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
Ada beberapa alasan mengapa islam disebut sebagai agama demokrasi, yaitu
sebagai berikut:
1) Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama islam berlaku bagi semua
orang tanpa memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi hingga rakyat
jelatah dikenakan hukum yang sama. Jika tidak demikian, maka hukum dalam
islam tidak berjalan dalam kehidupan.
2) Islam memiliki asas permusyawaratan “amruhum syuraa bainahum” artinya
perkara-perkara mereka dibicarakan diantara mereka. Dengan demikian, tradisi
bersama-sama mengajukan pemikiran secara bebas dan terbuka diakhiri dengan
kesepakatan.
3) Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan manusia tarafnya tidak
boleh tetap, harus terus meningkat untuk menghadapi kehidupan lebih baik di
akhirat.
Jadi, prinsip demokrasai pada dasrnya adalah upaya bersama-sama untuk
memperbaiki kehidupan, karena itulah islam dikatakan sebagai agama
perbaikan “diinul islam” atau agama inovasi. Untuk itu, islam selau menghendaki
demokrasi yang merupakan salah satu ciri atau jati diri islam sebagai agama hukum.

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme pemerintahan negara yang menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat. Demokrasi menurut islam dapat diartikan seperti musyawarah,
mendengarkan pendapat orang banyak untuk mencapai keputusan dengan
mengedepankan nilai-nilai keagamaan. HAM adalah hak yang telah dimiliki seseorang
sejak ia ada di dalam kandungan.

HAM dalam islam didefinisikan sebagai hak yang dimiliki oleh individu dan kewajiban
bagi negara dan individu tersebut untuk menjaganya. Manusia adalah puncak ciptaan
tuhan. Ia dikirim kebumi untuk menjadi khalifah atau wakil-Nya. Oleh karena itu setiap
perbuatan yang membawa perbaikan manusia oleh sesama manusia sendiri mempunyai
nilai kebaikan dan keluhuran kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya, menyimpan
kebenaran dan kebaikan universal, suatu nilai yang berdimensi kesemestaan seluruh alam.

3.2 Saran
a. Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat membedakan antara demokrasi di
Indonesia dan demokrasi Islam dan dapat melihat sisi baik dan buruknya.
b. Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat memahami pentingnya HAM dalam
kehidupan kita dan kewajiban kita untuk menjaganya.

14

Anda mungkin juga menyukai