Anda di halaman 1dari 8

Diare Akut Infeksi Bakteri

a. Infeksi non-invasif.
Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan makanan yang mengandung
toksin stafilokokkus, yang terdapat pada makanan yang tidak tepat cara pengawetannya.
Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 – 6 jam setelah asupan makanan terkontaminasi. Sekitar 75
% pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang kemudian diikuti diare sebanyak
68 %. Demam sangat jarang terjadi. Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah putih tidak
terdapat pada pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang terkontaminasi, atau
dari kotoran dan muntahan pasien.
Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik dalam
mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang ditelan.
Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora. Enterotoksin
dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan gejala muntah lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah asupan makanan terkontaminasi, dan masa
berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala akut mual, muntah, dan nyeri abdomen,
yang seringkali berakhir setelah 10 jam. Gejala diare terjadi pada 8 – 16 jam setelah asupan
makanan terkontaminasi dengan gejala diare cair dan kejang abdomen. Mual dan muntah jarang
terjadi. Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk spora. Bakteri ini
sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari enterotoksin dan biasanya sembuh sendiri .
Gejala berlangsung setelah 8 – 24 jam setelah asupan produk-produk daging yang
terkontaminasi, diare cair dan nyeri epigastrium, kemudian diikuti dengan mual, dan muntah.
Demam jarang terjadi. Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.
5
Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari 10 organisma per
gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan C perfringens . Pulasan cairan fekal
menunjukkan tidak adanya sel polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak
diperlukan.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan menyebabkan diare
yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi setelah 3 – 4 jam pada pasien yang
tidak dirawat. Toksin kolera dapat mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan
meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari
makanan dan air yang terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat menjadi diare berat,
diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit dan volume darah. Demam ringan
dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera digantikan yang
sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang signifikan, dan penggantian yang tepat
harus diperhatikan. Biakan feses dapat ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif. Kebanyakan kasus
dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah memerlukan cairan intravena.
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare. Tetrasiklin 500 mg tiga
kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai dosis tunggal, merupakan pilihan
pengobatan. Perbaikan yang agresif pada kehilangan cairan menurunkan angka kematian (
biasanya < 1 %). Vaksin kolera oral memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan
vaksin parenteral.
Escherichia coli patogen
E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong. Mekanisme patogen yang
melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada beberapa agen penting, yaitu :
1 Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2 Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3 Enteroadherent E. coli (EAEC).
4 Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5 Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala ringan yang
terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang terjadi, dimana pasien
melakukan BAB lima kali atau kurang dalam waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5
hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel
darah merah atau sel darah putih. Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan EPEC
merupakan penyakit self limited, dengan tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit feses jarang
ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan EHEC dapat diisolasi dari
kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari pada penyakit
yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-sulfametoksazole atau kuinolon yang
diberikan selama 3 hari. Pemberian antimikroba belum diketahui akan mempersingkat penyakit
pada diare EPEC dan diare EAEC. Antibiotik harus dihindari pada diare yang berhubungan
dengan EHEC.
2. Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air. Organisme Shigella
menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons inflamasi pada kolon melalui
enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen, demam, BAB
berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri abdomen, dan diare cair
tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 – 5 hari kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada
orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus yang lebih parah menetap selama 3 – 4 minggu.
Shigellosis kronis dapat menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala pernapasan, gejala
neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic Syndrome. Artritis oligoartikular
asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah. Kultur feses
dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung dari
keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi antimikroba diberikan untuk
mempersingkat berlangsungnya penyakit dan penyebaran bakteri. Trimetoprim-sulfametoksazole
atau fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan.
Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di Amerika Serikat.
Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan penyebab. Awal penyakit dengan
gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult
blood jarang terjadi. Lamanya berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se. Kultur darah
positip pada 5 – 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada pasien terinfeksi HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi adekuat.
Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan resistensi bakteri.
Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis, usia ekstrem ( bayi dan berusia > 50
tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal (osteomilitis, abses).
Pilihan antibiotik adalah trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti
ciprofloxacin atau norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 – 7 hari atau Sephalosporin generasi
ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat diberi oral.
Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam tiphoid. Demam
tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang, splenomegali, delirium, nyeri abdomen, dan
manifestasi sistemik lainnya. Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan
gejala primer yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya
adalah makanan terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem retikuloendotelial, menyebabkan
hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer pacthes di dalam usus halus. Pembesaran yang
progresif dan ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus halus atau perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari. Minggu
pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan perbedaan peningkatan
temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi
splenomegali dan timbul rash. Pada minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan
toksemia, keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan
berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada 90% pasien pada
minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif pada minggu kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka waktu penyakit. Kolesistitis
jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu dapat menjadi karier dari pasien yang telah
sembuh dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu. Jika terjadi resistensi,
penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier disarankan sepalosporin generasi ketiga
dan flourokinolon. Sepalosforin generasi ketiga menunjukkan effikasi sangat baik melawan S.
Thypi dan harus diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali
sehari selama 14 hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier yang rendah.
Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi) direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik.
Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus, sering ditemukan pada
pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit toksin dan invasi pada mukosa.
Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari asimtomatis sampai sindroma
disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah organisme masuk. Diare dan demam timbul
pada 90% pasien, dan nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang
mungkin timbul adalah demam, mual, muntah dan malaise. Masa berlangsungnya penyakit ini 7
hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat ditemukan
adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin dan quinolon, namun
pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik diindikasikan untuk pasien yang berat atau
pasien yang nyata-nyata terkena sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin
500 mg 2 kali sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya,
penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.
Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya gastroenteritis. V
parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah dihubungkan dengan konsumsi kerang
mentah. Diare terjadi individual, berakhir kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat
kultur feses yang memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan.
Antibiotik tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien dengan diare parah
atau diare lama, direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.
Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai dengan antigen
somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi epitel usus. Yersinia
menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan daerah yang paling sering terlibat,
walaupun kolon dapat juga terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang dapat diikuti
dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema multiforme). Feses berdarah dan
demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis, mual, muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis
ditegakkan dari kultur feses. Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu.
Terapi dengan hidrasi adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada
penyakit yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon nampaknya dapat
menjadi terapi empirik pada sepsis.
Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)
EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini terjadi akibat
makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari setelah asupan makanan atau
air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan penyebab utama diare infeksius. Subtipe 0157 : H7
dapat dihubungkan dengan perkembangan Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for
Disease Control (CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab diare
berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin shiga, yang
menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan kerusakan ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat (hingga 10-12 kali perhari).
Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang menjadi berdarah. Nyeri abdomen berat dan kejang
biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3 pasien. Pemeriksaan abdomen didapati distensi
abdomen dan nyeri tekan pada kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada 1/3 pasien. Hingga
1/3 pasien memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis sering terjadi. Urinalisa
menunjukkan hematuria atau proteinuria atau timbulnya lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik
9
mikroangiopatik (hematokrit < 30%), trombositopenia (<150 x 10 /L), dan insufiensi renal (BUN
>20 mg/dL) adalah diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena diare. Faktor
resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5 tahun) dan penggunaan anti
diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko. Hampir 60% pasien dengan HUS akan
sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan 30%
akan mengalami gejala sisa proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi
lebih jarang dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe biasanya dilakukan
pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan vaskuler.
Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko komplikasi infeksi EHEC.
Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan antibiotik dapat meningkatkan resiko HUS.
Pengobatan antibiotik dan anti diare harus dihindari. Fosfomisin dapat memperbaiki gejala
klinis, namun, studi lanjutan masih diperlukan.
Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas menghasilkan
beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah. Penyakit sembuh
sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau kondisi yang
berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk malignansi, penyakit hepatobiliar,
atau pasien immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah trimetroprim sulfametoksazole.
Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Kebanyakan kasus
berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa olah dan perjalanan ke daerah tropik,
Gejala paling sering adalah nyeri abdomen, demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit
sembuh sendiri kurang dari 14 hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah tritoprim
sulfametoksazole.

Diare akibat Rotavirus


Diare rotavirus adalah penyakit infeksi akut yang ditandai dengan buang air besar cair dan
muntah yang disebabkan rotavirus, dan paling sering dijumpai pada anak umur di bawah dua
tahun. Diare rotavirus merupakan salah satu penyebab diare akut, diperkirakan terdapat pada
50%-60% kasus diare akut pada anak yang dirawat di rumah sakit di seluruh dunia. Penelitian
yang dilakukan pada enam rumah sakit di Indonesia mendapatkan 55% diare pada balita
disebabkan oleh rotavirus. Di negara yang sedang berkembang, angka kesakitan dan kematian
penyakit rotavirus tinggi, sedangkan di negara maju angka kematian dapat ditekan dengan
pelayanan kesehatan yang lengkap dan mudah terjangkau. Dilaporkan dari daerah yang beriklim
tropis, infeksi rotavirus berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya dijumpai pada bulan Juli
hingga Agustus. Diare rotavirus ditularkan secara oro-fekal dan diduga dapat ditularkan melalui
droplets menurut Zahn dan Marshall. Diare rotavirus dapat terjadi sebagai infeksi nosokomial
sebagaimana pernah terjadi kira-kira seperempat kasus diare rotavirus di Amerika Serikat. Pada
diare rotavirus, terjadi kerusakan morfologi epitel usus yang menyebabkan pemendekan jonjot
usus dan bentuk brush border menjadi tidak teratur serta jarang, sehingga kemampuan untuk
menyerap air dan elektrolit di usus halus menjadi terganggu dan pencernaan terhadap karbohidrat
juga terganggu.
Masa inkubasi pada umumnya kurang dari 48 jam, dengan lama diare 5-7 hari. Infeksi
rotavirus dapat asimtomatis ataupun menyebabkan diare dengan dehidrasi ringan sampai berat.
Pada diare rotavirus, gejala klinis yang paling menonjol adalah diare cair (watery diarrhea) dan
muntah sehingga anak mudah jatuh pada keadaan dehidrasi, sehingga pasien memerlukan
perawatan. Pemeriksaan laboratorium pada dua kasus dehidrasi berat meliputi pemeriksaan
darah perifer, elektrolit, dan analisis gas darah dalam batas normal.
Diare akibat alergi susu sapi
Alergi susu sapi terjadi kurang lebih sekitar 6% pada 2 tahun pertama kehidupan anak.
Sekitar 40% nya adalah reaksi non-IgE mediated dan sebagian besar melibatkan traktus
gastrointestinal. Kesulitan banyak terjadi saat melakukan interpretasi gejala-gejala alergi pada
gastrointestinal karena manifestasi yang terjadi tidak mudah dilihat seperti manifestasi alergi
pada kulit dan tidak mudah diukur seperti manifestasi pada bronkus. Manifestasi alergi susu sapi
pada gastrointestinal dapat dibedakan menjadi yang IgE mediated dan non- IgE mediated . Sel
mast, telah lama dikenal sebagai sel utama pada reaksi hipersensitivitas tipe I, banyak didapatkan
pada bagian-bagian tubuh lain terutama traktus gastrointestinal. Stimulasi sel mast yang
berikatan dengan IgE menyebabkan keluarnya mediator dan protease seperti histamine, tryptase,
chymase, dan leukotriene. Keadaan ini akan meningkatkan kontraksi otot polos. Selain sel mast,
beberapa peneliti juga menunjukkan peran sel eosinophil pada manifestasi alergi susu sapi pada
gastrointestinal. Terdapat peningkatan kadar eosinophil cationic protein (ECP) atau eosinophil
protein (EPX) pada penderita dengan alergi susu sapi. Eosinofil ini dikatakan teraktivasi dalam
waktu 20 menit setelah ingesti alergen dan dapat juga teraktivasi lebih lama sekitar 2-4 jam
reaksi cepat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti.
Bukti keterlibatan IgE dalam reaksi alergi susu sapi telah jelas diketahui. Manifestasi
utamanya adalah eritema dan urtikaria pada kulit, sedangkan gejala gastrointestinal dapat
menyertai gejala tersebut ataupun berdiri sendiri. Gejala gastrointestinal untuk delayed food
allergy adalah diare kronik, jarang terjadi muntah dan dapat disertai dengan eksem kronik.
Mekanisme imunnya masih belum dimengerti dengan jelas, tetapi diduga peran sel T merupakan
peran utama. Enteropati yang dihubungkan dengan alergi susu sapi telah diketahui selama
hampir 40 tahun. Pada bopsi didapatkan berbagai derajat atrofi vili-vili dan inflamasi baik pada
intraepitel maupun lamina propria. Jika gejala intestinal tidak berat, maka patologi dan inflamasi
yang terjadi juga tidak hebat.
Pada sebagian besar kasus didapatkan peningkatan limfosit intraepithelial. Sebagian besar
limfosit intraepitelial tersebut adalah CD3+ a/b T-cell reseptor bearing cells, seperti pada sel
normal dimana sebagian besar adalah sel supresor/sitotoksik CD8. Proporsi TIA1 dalam
meningkatkan sel intraepitelial limfosit (sel UCHL+1) pada specimen penderita dengan alergi
susu sapi (cow milk allergy, CMA) dan menurun dengan diet eliminasi. TIA1 ini adalah protein
granula sitotoksik spesifik yang hanya diekspresikan oleh limfosit T dan natural killer cell. Jadi
pada penderita dengan alergi susu sapi proporsi sel sitotoksik pada epitelnya tinggi, seperti pada
penyakit Celiac. Sedangkan pada lamina propria didapatkan peningkatan limfosit, sel plasma dan
eosinophil. Studi awal pada immunoglobulin dan komplemen menunjukkan infiltrasi IgA dan
IgM. Hauer dkk menemukan bahwa terdapat peningkatan IFN-∂ dan IL-4 pada biopsi duodenum
pasien dengan cow’s milk protein sensitive enteropathy (CMPSE). Hal ini menunjukkan
dominasi Th1. Sedangkan studi yang dilakukan Perez-Machado dkk yang mengikutsertakan baik
IgE mediated dan non-IgE mediated, tdak menemukan adanya signifikan kecenderungan baik
kearah Th1 maupun Th2. Mereka mendapatkan penurunan limfosit TGF-β1 baik pada intraepitel
maupun lamina propria. Maka disimpulkan bahwa kelainan yang terjadi bukan akibat deviasi
Th1/Th2, tetapi akibat kerusakan pada Th3.

Diare akibat Intoleransi Laktosa


Gejala intoleransi laktosa dapat berupa rasa mual, sakit perut, kembung dan sering flatus dan
perianal rash setelah 30 menit-2 jam setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang
mengandung laktosa. Mual dan muntah merupakan salah satu gejala yang paling sering pada
anak. Gejala klinis paling sering adalah rasa tidak nyaman di perut/abdomen. Feses yang
dihasilkan sering mengapung karena kandungan gasnya tinggi dan juga berbau busuk.
Selanjutnya, 80% gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum dan sisanya akan berdifusi ke
dalam sistem portal dan dikeluarkan melalui sistem pernapasan.

Anda mungkin juga menyukai