Anda di halaman 1dari 4

Perbandingan Antara Marketing 1.0, 2.0, dan 3.

0
Marketing 1.0 Marketing 2.0 Marketing 3.0
Product-centric Customer-oriented Values-driven
Marketing Marketing Marketing
Objektif Menjual produk Memuaskan dan Membuat dunia yang
Perusahaan membuat konsumen lebih baik
loyal
Pemicu Arus Industrial Revolution Teknologi informasi Teknologi New
Pergerakan dan komunikasi Wave
Bagaimana Mass buyers dengan Konsumen yang Konsumen yang
Perusahaan kebutuhan fisik memiliki rasional dan secara holistic
Melihat emosional memiliki mind, heart,
Konsumen dan spirit.
Kunci Konsep Pengembangan Diferensiasi Nilai-nilai (values)
Pemasaran produk
Panduan Spesifikasi produk Positioning Visi, Misi, dan
Pemasaran perusahaan dan Values dari
Perusahaan produk Perusahaan
Nilai yang Dijual Fungsional Fungsional dan Fungsional,
Perusahaan emosional emosional, dan
spiritual, Emotional,
and Spiritual
Interaksi Dengan Transaksional yang Hubungan intimasi Kolaborasi antar
Konsumen bersifat top-down yang bersifat one-to- jejaring konsumen
(One-to-Many ) one (many-to-many)

Marketing 1.0 mengandalkan rational intelligent: Produk bagus, harga terjangkau. Konsumen
memilih produk berdasarkan tinggi-rendahnya harga yang ditawarkan produsen. Pada level ini
konsumen sangat mudah berpindah.

Marketing 2.0 berbasiskan emotional intelligent: Sentuhlah hati customer. Meski suatu produk
lebih mahal dibanding yang lain, tapi tetap dipilih konsumen, sebab ia sudah memiliki ikatan
emosional dengan produknya.

Marketing 3.0 berdasarkan spiritual intelligent: Lakukan semua dengan Nilai-Nilai Universal
seperti kasih dan ketulusan maka profit akan datang. Pada tahap ini, merek telah menjadi “reason
for being.” Karena merek itu maka si konsumen diakui keberadaannya.

Values-driven marketing adalah model untuk Marketing 3.0, yang melekatkan nilai-nilai pada
misi dan visi perusahaan. Gagasan ini akan memperbaiki persepsi publik terhadap marketing dan
membimbing perusahaan dan pemasar untuk menginkorporasikan visi yang lebih manusiawi
dalam memilih tujuan mereka.

Marketing 3.0 ini akan terlihat dari seberapa dalam hubungan hubungan produsen dengan
konsumen atau stakeholder-nya. Wujud spiritualisme adalah bagaimana mencintai jejaring
stateholder bisnis kita dengan modal dan menjunjung tinggi kejujuran. Jika sudah sampai tahap
spiritual sedemikian itu, hubungan antara perusahaan dengan siapapun yang berkepentingan,
apakah itu konsumen, karyawan, supplier, akan langgeng terus.

Marketing 3.0 inilah yang merupakan cikal bakal pemikiran bahwa pada akhirnya marketing
menjadi horisontal, di mana sisi humanisme si pemasar membuat pasar menjadi datar. Artinya,
tidak ada perbedaan status antara Marketer dan Customer. Marketer dan Customer sama rata.
Marketer sudah berbaur dengan Customer-nya.

Di tahun 2009 ini, satu kampanye pemasaran yang menyita banyak orang adalah kontes ”The
Best Job in The World” yang mana si kontestan ditawari pekerjaan di Gugusan Great Barrier
Reef, Australia dengan penghasilan sebesar Rp 1 miliar dalam enam bulan. Lantas apa kerjanya?
Menjadi penjaga Pulau Hamilton, salah satu pulau di gugusan tersebut.

Sebagai penjaga pulau ini, Anda tidak hanya dibayar dengan harga selangit, tapi juga dapat
menikmati semua keindahan ibarat di surga, mulai dari menyusuri pantai pasir putih, menyelam
bawah laut, kerja sambil berlibur. Menyenangkan bukan apabila dapat bekerja menyerupai
liburan dengan gaji yang besar pula?

Kontes The Best Job in the World yang digelar oleh Badan Pariwisata Negara Bagian
Queensland, Australia, tersebut akhirnya dimenangi oleh Ben Southall dari Inggris. Dengan
dibayar Rp 1 Milliar untuk enam bulan kerja, Ben memiliki tugas untuk mempromosikan pulau-
pulau di wilayah Gugusan Barrier Reef tersebut dan melaporkan setiap kejadian yang ada di sana
ke seluruh dunia melalui blog, twitter, album foto, video, dan berbagai interview di media.

Banyak orang yang awalnya tidak mengira kalau kontes itu sebetulnya adalah kampanye untuk
promosi daerah. Kontes ”The Best Job in the World” ini menjadi pembicaraan banyak orang dan
menciptakan pemberitaan di press yang sangat intensif, termasuk di antaranya program
dokumenter dari stasiun TV BBC yang tertarik menjadikan fase penyaringan di kontes ini
sebagai reality show. Diperkirakan impact yang didapati oleh kampanye ini lewat acara stasiun
tersebut berkisar sebesar 100 juta dollar dari budget yang minim yaitu sekitar 1,2 juta dollar.

Kampanye ini akhirnya menang banyak penghargaan dari industri periklanan sepanjang tahun
2009, termasuk beberapa kategori award di ajang Cannes Lions International Advertising
Festival yang sangat bergengsi. Sebuah kampanye yang sangat smart, dan menempuh jalan yang
low-budget high impact.

Selama ini perusahaan yang pintar selalu mengidam-idamkan pola pemasaran yang didasari
modal kecil tapi menghasilkan secara luar biasa. Mereka selalu mencari jalan untuk
meningkatkan impact dari langkah pemasaran seiring dengan melakukan penurunan ongkos
implementasi. Praktek seperti ini kini menjadi trend, terutama dengan perubahan lanskap yang
semakin kacau dengan berbagai macam bentuk krisis. Dengan perkembangan teknologi New
Wave dengan internet, berbagai macam alat konektor, pola low-budget high impact menjadi
sangat mungkin.

Dulu kita hidup di zaman yang vertikal. Meskipun slogan yang beken adalah konsumen sebagai
raja, namun pada kenyataannya yang pemasarlah yang bergaya seperti raja. Kenapa? Karena
konsumen hanyalah target dari si pemasar dan pemasar masih memegang kendali dan otoritas. Di
zaman yang vertikal itu, segala aktivitas pemasaran dikerjakan secara top-down dari perusahaan
ke konsumen sebagai obyek.

Di zaman yang horisontal di era New Wave Marketing ini, tidak ada perbedaan status antara
Marketer dan Customer. Marketer dan Customer sama rata. Marketer sudah berbaur dengan
Customer-nya. Secara konsep, New Wave Marketing mengakomodir hubungan horisontal antara
perusahaan, konsumen, kompetitor, dan agen-agen yang merubah tatanan makro. Di dalam
proses pemasaran, konsumen kini dapat untuk berpartisipasi sehingga segala aktivitas semakin
efisien dari segi biaya.

Kesuksesan kampanye komunikasi ”The Best Job in The World” menjadi contoh bahwa di
zaman New Wave yang horisontal, pemasar hanya perlu memikirkan sebuah ide konseptual yang
stratejik sebagai pemicu, untuk kemudian dituangkan ke dalam implementasi yang bersifat
taktikal yang mana aktivitasnya dikerjakan bukan oleh pemasar, melainkan oleh konsumennya.

Dulu aktivitas promosi pariwisata daerah seperti ini mungkin lebih banyak dikerjakan in-house
oleh instansi terkait, bekerja sama dengan biro iklan, tim PR dan event organizer. Effort yang
digalang menjadi lebih besar untuk mendatangkan energi pemasaran yang maksimal.

Namun kini, pemasar tidak perlu susah payah lagi, cukup mencari orang seperti Ben Southall
yang mengerjakan segala aktivitas untuk dalam hal ini, mempromosikan gugusan pulau di sekitar
Pulau Hamilton. Dialah yang melaporkan setiap kejadian yang ada di sana ke seluruh dunia
melalui blog, twitter, album foto, video, dan berbagai interview di media. Dengan demikian
energi pemasaran yang dikeluarkan bisa jadi lebih besar dan efisien apalagi karena didukung
word of mouth (kekuatan offline) dan word of mouse (kekuatan online).

Ketika Marketing.0 tiba

Saat ini kita hidup di dunia yang baru di mana krisis dan chaos menjadi ‘menu makanan’ sehari-
hari. Lingkungan bisnis semakin complex, penuh dengan kekacauan.
Di kurun waktu sepuluh tahun terakhir, kita sudah melihat betapa hebatnya badai-badai dan
kekacauan yang terjadi di lingkungan bisnis mulai dari krisis ekonomi di Asia, meledaknya balon
dot-com, skandal pelaporan keuangan (contoh Enron dan Worldcom), gerakan teroris, gerakan
anti-globalisasi, perubahan iklim, krisis energi, krisis pangan, skandal investasi, sampai resesi
perekonomian global tahun 2008.

Di tengah berbagai macam badai dan munculnya Scumbag Millionaire mulai dari Jeffrey
Skilling (Enron) sampai Bernard Madoff yang telah menghasilkan 50 triliun dollar AS dari
investasi berskema Ponzi (atau skema piramid), langkah bisnis perusahaan terus menjadi sorotan
publik. Tingkat kepercayaan diri di internal perusahaan terus menurun. Tingkat kepercayaan
publik terhadap perusahaan juga terus menurun. Dan celakanya lagi, teknologi new-wave yang
memperluas jaringan media informasi, menjadikan dunia semakin transparan, sehingga sudah
semakin susah bagi perusahaan untuk memutup aib dirinya.

Publik membutuhkan aktivitas dan proses bisnis yang didasari oleh prinsip dan nilai-nilai yang
lebih etis dan fair. Kini tidak cukup lagi bagi perusahaan untuk searching for excellence, karena
di tengah perubahan lanskap seperti sekarang yang menjadi keharusan adalah searching for
meaning.

Di tengah badai-badai krisis dan jatuhnya reputasi perusahaan, sudah saatnya bagi pemasar
adalah meninjau ulang dan menjual nilai-nilai, prinsip, dan karakter yang dimiliki dan dijunjung-
tinggi, agar dapat tampil stand-out dan terus berupaya senantiasa meninggalkan warisan bagi
masyarakat.

Marketing 3.0

Di era sekarang, pemasaran saat ini tidak hanya diterjemahkan dalam pengertian positioning,
diferensiasi dan merek yang dibungkus dalam identitas merek, integritas merek, dan
menghasilkan citra merek. Dunia pemasaran perlu menunjukkan nilai-nilai (spiritual) dalam
pemasaran.

Nilai-nilai yang ditebarkan itu diyakini tidak hanya mendongkrak profit tetapi juga menjamin
kelanggenan dan penguatan karakter brand, sekaligus membentuk diferensiasi yang tidak
tertandingi.

Di dalam buku ”Marketing 3.0: Values-Driven Marketing” Philip Kotler dan saya mengatakan,
perusahaan seharusnya tidak hanya memasarkan produk dengan manfaat fungsional ataupun
manfaat emosional, melainkan harus pula menonjolkan manfaat spiritual.

Pendekatan pemasaran berbasis nilai ini diyakini akan memperoleh hasil yang berbeda. Karena
perusahaan atau pemilik merek tidak sekadar memberikan kepuasan atau mengincar
profitabilitas, melainkan memiliki compassion, dan keberlanjutan. Model bisnis yang
menyeimbangkan pencetakan profit dan tanggung jawab sosial seperti itu sungguh didambakan
oleh banyak pemain bisnis.

Kita tahu bahwa, perjalanan waktu telah membuat model pemasaran berubah, dari Marketing 1.0
ke Marketing 2.0 – dari product centric ke customer-centric era. Dan sekarang marketing telah
mentransformasi diri ke dalam human-centric era. Itulah yang dikatakan sebagai Marketing 3.0.

Anda mungkin juga menyukai