Anda di halaman 1dari 7

BAB V

HASIL PENELITIAN
5.1 Deskripsi Karakteristik Responden
Responden penelitian ini adalah balita dengan rentang usia 0-59 bulan yang bertempat
di wilayah Puskesmas Tembuku II, Desa Yangapi dan Peninjoan Kabupaten Bangli. Balita
berjumlah 80 orang dipilih melalui sistem random sampling yang sudah memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi serta orang tua dari balita tersebut sudah menyetujui untuk menjadi
responden dengan menandatangani informed consent. Karakteristik responden terdiri dari
status gizi, pendapatan orang tua, pendidikan orang tua, dan pekerjaan ibu yang diperoleh dari
pengisian kuisioner. Deskripsi karakteristik responden dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.1 Deskripsi Responden Menurut Status Gizi


Variabel Kategori Jumlah %
Status Gizi Baik 58 72.5
Kurang 19 23.8
Buruk 3 3.8
Pendapatan Orang Tua <Rp.500.000 20 25.0
Rp.500.000 s/d Rp.1.000.000 30 37.5
> Rp.1.000.000 30 37.5
Pendidikan Orang Tua SD 26 32.5
SMP 28 35.0
SMA 16 20.0
Sarjana 10 12.5
Pekerjaan Ibu Bekerja 38 47.5
Tidak bekerja 42 52.5

5.2 Hubungan Status Gizi dan Sosial Ekonomi


Hubungan status gizi dan sosial ekonomi diperoleh dengan menggunakan analisis
bivariat, dengan menggunakan crosstab yang akan dibagi berdasarkan; hubungan status gizi
dengan pendapatan orang tua, hubungan status gizi dengan pendidikan orang tua dan hubungan
status gizi dengan pekerjaan ibu. Metode yang digunakan yaitu uji spearman rank correlation
untuk melihat korelasi antara variabel. Korelasi dianggap signifikan jika nilai p  0,05.
Tabel 5.2 Hubungan Status Gizi dengan Pendapatan Orang Tua
Kategori Kategori Status Gizi
Pendapatan Baik Kurang Buruk Total
r p
Orang Tua N % N % N % N %
<Rp.500.000 11 13.8 9 11.3 0 0.0 20 25.0
Rp.500.000 20 25.0 10 12.5 0 0.0 30 37.5
sampai
Rp.1.000.000
> Rp.1000.000 27 33.8 0 0.0 3 3.8 30 37.5
Total 58 72.5 19 23.8 3 3.8 80 100 0.277 0.013

Berdasarkan tabel di atas balita dengan pendapatan orang tua <Rp.500.000 jumlah yang
memiliki gizi baik 11 orang (13,8%), 9 orang (11,3%) gizi kurang dan tidak terdapat balita
yang memiliki gizi buruk. Dengan pendapatan Rp.500.000 sampai Rp.1.000.000 terdapat gizi
baik 20 orang (25%), tidak terdapat balita dengan gizi kurang, dan tidak terdapat balita dengan
gizi buruk. Pendapatan >Rp.1.000.000, terdapat gizi baik 27 orang (33,8%), tidak terdapat gizi
kurang, dan gizi buruk 3 orang (3,8%). Mayoritas anak yang memiliki gizi baik dengan orang
tua dengan pendapatan >Rp.1.000.000. Dari analisis bivariat hubungan status gizi dengan
pendapatan orang tua diperoleh nilai p = 0,013 ( 0,05) yang artinya terdapat hubungan yang
signifikan.
Tabel 5.3 Hubungan Status Gizi dengan Pendidikan Orang Tua
Kategori Kategori Status Gizi
Pendidikan Baik Kurang Buruk Total
r p
Orang Tua N % N % N % N %
SD 17 21.3 9 11.3 0 0.0 26 32.5
SMP 18 22.5 9 11.3 1 1.3 28 35.0
SMA 13 16.3 1 1.3 2 2.5 16 20.0
Sarjana 10 12.5 0 0.0 0 0.0 10 12.5
Total 58 72.5 19 23.8 3 3.8 80 100 0.200 0.076

Berdasarkan tabel diatas balita dengan orang tua yang tingkat pendidikan sampai SD, 17 orang
(21,3%) dengan gizi baik, 9 orang (11,3%) gizi kurang dan tidak ada yang memiliki gizi buruk.
Orang tua yang tingkat pendidikan sampai SMP, 18 orang (22,5%) dengan gizi baik, 9 orang
(11,3%) dengan gizi kurang dan gizi buruk 1 orang (1,3%). Orang tua yang tingkat pendidikan
sampai SMA, 13 orang (16,3%) dengan gizi baik, gizi kurang 1 orang (1,3%) dan gizi buruk 2
orang (2,5%). Orang tua dengan tingkat pendidikan sampai sarjana, 10 orang (12,5%) dengan
gizi baik, tidak terdapat balita dengan gizi kurang dan buruk. Dari analisis bivariat hubungan
status gizi dengan pendidikan orang tua, diperoleh nilai p = 0,076 (> 0.05) yang artinya tidak
terdapat hubungan yang signifikan.

Tabel 5.4 Hubungan Status Gizi dengan Pekerjaan Ibu


Kategori Status Gizi
Kategori
Baik Kurang Buruk Total
Pekerjaan Ibu r p
N % N % N % N %
Bekerja 30 37.5 6 7.5 2 2.5 38 47.5
Tidak bekerja 28 28.5 13 16.3 1 1.3 42 52.5
Total 58 72.5 19 23.8 3 3.8 80 100 0.123 0.279

Berdasarkan tabel diatas balita dengan ibu yang bekerja memiliki gizi baik 30 orang (37,5%),
gizi kurang 6 orang (7,5%), gizi buruk 2 orang (2,5%). Dengan ibu yang tidak bekerja, gizi
baik 28 orang (28,5%), gizi kurang 13 orang (16,3%) dan gizi buruk 1 orang (1,3%). Dari
analisis bivariat hubungan status gizi dan pekerjaan ibu, diperoleh nilai p = 0,279 (> 0,05) yang
artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Gambaran Status Gizi Balita 0-59 Bulan
Status gizi dinilai berdasarkan baku antropometri yang sering digunakan di Indonesia yaitu
World Health Organization-National Centre for Health Statistik (WHO-NCHS). Indikator
yang digunakan yaitu IMT/U (Sinaga dan Meyanta, 2017). Pada balita pemantauan
pertumbuhan dan kesehatan dapat menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS), status gizi
dilihat melalui berat badan berdasarkan usia pada penimbangan yang pertama dan ada
tidaknya kecenderungan kenaikan berat badan pada penimbangan berikutnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 80 balita 0-59 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Tembuku II, Desa Yangapi dan Peninjoan, Kabupaten Bangli, dari hasil KMS,
terdapat gizi baik 58 orang (72,5%), gizi kurang 19 orang (23,8%) dan gizi buruk 3 orang
(3,8%). Dari data tersebut, sesuai asumsi, status gizi berhubungan dengan tingkat sosial
ekonomi.
6.2 Gambaran Sosial Ekonomi Orang Tua
Status sosial ekonomi merupakan kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat.
Sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang yang mancakup tiga faktor
yaitu, pendapatan, pendidikan dan pekerjaan. Hal tersebut kemungkinan besar merupakan
pembentuk gaya hidup keluarga (Fariza,2013).
Berdasarkan data yang diperoleh untuk sosial ekonomi orang tua menunjukkan,
pendapatan orang tua <Rp.500.000 20 orang (25%), pendapatan Rp.500.000 sampai
Rp.1.000.000 30 orang (37,5%) dan >Rp.1.000.000 30 orang (37,5%). Orang tua yang
tingkat pendidikan sampai SD 26 orang (32,5%), tingkat pendidikan sampai SMP 28 orang
(35%), tingkat pendidikan sampai SMA 16 orang (20%) dan sarjana 10 orang (12,5%).
Ibu yang bekerja 38 orang (47,5%) dan tidak bekerja 42 orang (52,5%). Dari data tersebut
sebagian pendapatan orang tua dengan tingkat ekonomi menengah cukup untuk
memberikan nutrisi yang optimal bagi balitanya. Berdasarkan pendidikan sebagian besar
tingkat pendidikan sampai SD dan SMP hal ini menyebabkan sulitnya penerimaan
informasi mengenai gizi sehingga dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan nutrisi bagi
balita. Berdasarkan pekerjaan ibu, lebih banyak ibu yang tidak bekerja. Keadaan balita
lebih banyak dikontrol oleh seorang ibu, ibu yang tidak bekerja lebih banyak memiliki
waktu untuk memperhatikan makanan balitanya.

6.3 Hubungan Status Gizi dengan Pendapatan Orang Tua

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi
balita dengan pendapatan orang tua. Berdasarkan tabel 5.5 diperoleh nilai p = 0,013 (
0,05). Sesuai dengan penelitian Ferbrianto ID (2012), bahwa semakin tinggi pendapatan
orang tua, maka semakin baik pula status gizi balita, sebaliknya semakin rendah tingkat
penghasilan orang tua, status gizi balita kurang baik. Hal ini juga sesuai dengan pendapat
Suhendri (2012), orang tua dengan pendapatan rendah mempunyai kemungkinan kurang
dapat memenuhi kebutuhan makanan sejumlah yang diperlukan, keanekaragaman
makanan kurang dapat dijamin sehingga gizi balita kurang tercukupi, orang tua biasanya
memberikan asupan makanan seadanya tanpa mempertimbangkan kualitas gizi.
Sedangkan orang tua dengan pendapatan yang tinggi cukup untuk memenuhi kebutuhan
pangan, baik jumlah maupun mutunya. Orang tua dapat menyediakanan semua kebutuhan
balita baik primer maupun sekunder, sehingga setiap memberikan makanan akan
memberikan yang terbaik bagi balitanya. Ini sesuai dengan penelitian Mulazimah (2017)
yaitu hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi balita di Desa Ngadiluwih
Kecamatan Ngadiluwih Kabupaten Kediri, terdapat hubungan yang signifikan p= 0,019 (
0,05).
Tetapi hasil penelitian, orang tua dengan pendapatan >Rp.1.000.000 terdapat balita
dengan gizi buruk 3 orang (3,8%), kemungkinan orang tua dengan pendapatan tinggi dapat
membeli berbagai jenis makanan yang diinginkan dalam segi kuantitas, tetapi belum tentu
makanan tersebut sudah baik dalam segi kualitas dan memenuhi gizi seimbang. Sesuai
dengan pendapat Apriaji (2009) walaupun seseorang memiliki penghasilan yang tinggi,
tetapi tanpa memiliki pengetahuan untuk memilah bahan makanan yang bergizi, maka
pertumbuhan balita kurang maksimal karena tidak adanya keseimbangan antara zat gizi
yang diperlukan dengan zat gizi yang diterima oleh tubuhnya.

6.4 Hubungan Status Gizi dengan Pendidikan Orang Tua


Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status
gizi balita dengan pendidikan orang tua. Berdasarkan tabel 5.6 diperoleh nilai p = 0,076
(> 0.05). Kemungkinan, hal tersebut tergantung apakah orang tua memiliki pengetahuan
tentang gizi dan mau mencari informasi tentang gizi. Dari seluruh responden yang diteliti
tidak ada orang tua dengan latar belakang pendidikan kesehatan, walaupun pendidikannya
tinggi atau rendah tidak menjamin bahwa orang tua mengetahui informasi tentang gizi. Ini
tidak sesuai dengan pendapat Rahmawati (2013), yaitu semakin tinggi pendidikan orang
tua semakin baik status gizi balita. Orang tua dengan pendidikan tinggi akan lebih
memahami dan memperhatikan faktor-faktor yang dapat menentukan status gizi balitanya.
Sebaliknya orang tua yang berpendidikan rendah akan memiliki keterbatasan informasi
serta kemampuan. Sesuai dengan penelitian Putri RM, et al (2017), tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara status gizi dan pendidikan orang tua, hal tersebut tidak
dapat dijadikan patokan bahwa pendidikan yang tinggi berarti pengetahuan dalam segala
bidang juga baik. Pendidikan orang tua tidak bisa dijadikan tolak ukur pengetahuan gizi
yang baik. Pendidikan formal yang selama ini ditekuni orang tua mungkin berbeda dengan
pendidikan kesehatan. Sehingga kemungkinan orang tua mempunyai pengetahuan yang
kurang tentang kesehatan (gizi).
6.5 Hubungan Status Gizi dengan Pekerjaan Ibu
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status
gizi balita dengan pekerjaan ibu. Berdasarkan tabel 5.7 diperoleh nilai p = 0,279 (> 0,05).
Hasil tersebut tidak sesuai dengan pendapat Fertig, et al (2009), yaitu balita memiliki gizi
lebih baik dengan ibu yang tidak bekerja dibanding ibu yang bekerja. Hal ini disebabkan
karena ibu yang tidak bekerja memiliki waktu yang lebih maksimal untuk mengawasi
balita, termasuk mengatur pola makan, sehingga balitanya menkonsumsi makanan yang
sehat dan bergizi. Sedangkan pada ibu yang bekerja memiliki waktu yang lebih sedikit
untuk memperhatikan dan mengasuh balitanya, termasuk dalam hal makanan.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Rozali, et al (2016) yang menyatakan bahwa
pekerjaan ibu tidak berpengaruh secara signifikan dalam status gizi balita di Wilayah Kerja
Puskesmas, Kota Surakarta. Menurut penelitian Suranandi dan Chandradewi (2008)
walaupun ibu yang bekerja berada di luar rumah, bisa menggunakan jasa pengasuh atau
penitipan anak serta dapat menyiapkan makanan yang memenuhi gizi untuk balitanya
sebelum bekerja, maka gizi balitanya akan tetap baik. Pada ibu yang tidak bekerja
meskipun memiliki banyak waktu untuk balitanya akan tetapi tidak memiliki pengetahuan
tentang gizi untuk pemberian makan balita dan tidak memerhatikan balitanya secara
maksimal, maka gizi balitanya bisa terganggu.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 SIMPULAN
Dari hasil penelitian hubungan status gizi dan sosial ekonomi balita 0-59 bulan, dapat
disimpulkan bahwa, terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dan
pendapatan orang tua p = 0,013 ( 0,05), tetapi tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara status gizi dan pendidikan orang tua p = 0,076 (> 0.05) dan antara status gizi dan
pekerjaan ibu p = 0,279 (> 0,05).

7.2 SARAN
7.2.1 Bagi pihak Puskesmas Tembuku II penelitian ini dapat menjadi informasi, sebagai
bahan kajian untuk meningkatkan pelayanan, karena masih terdapat balita dengan
status gizi kurang dan buruk, dengan memberikan penyuluhan dan memantau
orang tua supaya lebih memperhatikan gizi balita, serta memberikan penjelasan
akan pentingnya KMS bagi orang tua untuk memantau pertumbuhan dan
perkembangan balita, mengingat banyak terdapat KMS balita yang hilang.
7.2.2 Bagi orang tua penelitian dapat menambah pengetahuan tentang gizi bagi
balitanya, dan faktor-faktor yang mempengaruhi gizi balita, orang tua hendaknya
memperhatikan pola makan dan memberikan asupan yang baik untuk balita.
7.2.3 Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian sejenis, penelitian ini
dapat menjadi sumber referensi. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk meneliti
secara lebih terperinci untuk variabel yang digunakan atau melakukan penelitian
berdasarkan faktor lain, dengan menitikberatkan pada pengetahuan orang tua
karena pada penelitian ini sebagian besar faktor dipengaruhi oleh pengetahuan
dan agar faktor yang mempengaruhi status gizi balita dapat teridentifikasi lebih
luas.

Anda mungkin juga menyukai