Rangkuman MRB
Rangkuman MRB
Pengelolaan liquiditas
Pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan leabilitas (liability
management). Melalui pengelolaan likuiditas yang baik, bank dapat memberikan keyakinan pada
para penyimpan dana bahwa mereka dapat mengambil dananya sewaktu-waktu atau pada saat jatuh
tempo. Oleh karena itu bank harus mempertahankan sejumlah alat likuid guna memastikan bahwa
bank sewaktu-waktu dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
a. Current Ratio
Current Ratio digunakan sebagai alat untuk mengukur keadaan likuiditas
suatu perusahaan, dan juga merupakan petunjuk untuk dapat megetahui dan
menduga sampai dimanakah kiranya kita, apabila memberikan kredit berjangka
pendek kepada seorang nasabah, dapat merasa aman atau tidak.
Current ratio yang tinggi maka makin baik posisi para kreditor, karena
terdapat kemungkinan yang lebih besar bahwa utang perusahaan itu akan dapat
dibayar pada waktunya.. Dilain pihak ditinjau dari sudut pemegang saham suatu
current ratio yang tinggi tak selalu paling menguntungkan, terutama bila terdapat
saldo kas yang kelebihan dan jumlah piutang dan persediaan adalah terlalu besar.
Munawwir menyatakan current ratio 200% kadang sudah memuaskan bagi
suatu perusahaan, tetapi jumlah modal kerja dan besarnya rasio tergantung pada
beberapa faktor, suatu standar atau rasio yang umum tidak dapat ditentukan
untuk seluruh perusahaan. Current ratio 200% hanya merupakan kebiasaan atau
rule of thumb dan akan digunakan sebagai titik tolak untuk mengadakan
penelitian atau analisa yang lebih lanjut.
Current ratio ini menunjukkan tingkat keamanan (margin of safety) kreditor
jangka pendek, atau kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutang
tersebut.
b. Quick ratio
Rasio ini disebut sebagai acid test ratio, yaitu perbandingkan antara aktiva
lancar dikurangi persediaan dengan utang lancar.
Rasio ini lebih tajam dari pada current ratio karena hanya membandingkan
aktiva yang sangat likuid.
Secara umum yang dimaksudkan dengan risiko adalah sebagai bentuk peristiwa
yang mempunyai pengaruh terhadap kemampuan seseorang atau lembaga untuk
mencapai tujuannya.
Dalam pengertian umum di atas belum terlihat gambaran ukuran besar atau luas
dampak risiko tersebut terhadap pencapaian tujuan bank Bank Indonesia
mendefinisikan manajemen risiko sebagai “serangkaian prosedur dan metodologi
yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan
risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank”.
Risiko mempunyai potensi suatu peristiwa terjadi atau tidak terjadi dengan dampak
/ peluang untung (upside) atau rugi (downside).
Bank dapat terhindar dari risiko yang tidak perlu terjadi dengan cara:
a. Standarisasi dan memutakhirkan semua kebijakan dan prosedur bank
b. Mengkaji penetapan limit risiko
c. Membangun konstruksi portfolio asset
d. Memanfaatkan keuntungan diversifikasi
e. Melakukan proses pendidikan mengenai risiko secara berkelanjutan untuk
semua pegawai
Membangun budaya manajemen risiko pada seluruh jenjang organisasi
Risiko yang dapat merugikan bank antara lain :
a. Tidak memadainya modal yang tersedia
b. Risiko pemberian fasilitas kredit
c. Risiko kecurangan
Risiko likuiditas timbul secara alamiah sebagai akibat dari mismatch
atau Gap antara Rate Sensitive Assets (RSA) dan Rate Sensitive
Liabilities (RSL). Bank mengelola risiko likuiditasnya agar dapat
memenuhi setiap kewajiban yang jatuh tempo dan menjaga tingkat
likuiditas yang optimal. Tujuan tersebut dicapai oleh Bank dengan
menetapkan dan mengimplementasikan kebijakan cadangan likuiditas
yang optimal, mengukur dan menetapkan limit untuk risiko likuiditas
serta penyusunan contingency plan.
Contoh
Krisis yang melanda Indonesia, mulai mengenai perbankan dengan
timbulnya masalah kekura ngan likuiditas (liquidity mismatch), semula
dialami oleh beberapa bank, tetapi kemudian menjadi sistemik. Krisis
likuiditas secara sistemik, yang dialami perbankan dimulai sekitar
pelaksanaan kebijakan pencabutan ijin usaha atau likuidasi 16 bank
tanggal 1 November 1997. Kepercayaan terhadap Rupiah yang menurun
sejak terjadinya gejolak moneter bulan Juli 1997 menjadi lebih buruk lagi
setelah diterapkan sistim nilai tukar yang mengambang secara bebas pada
pertengahan Agustus 1997. Pembelian mata uang dollar (USD) atau
penjualan aset rupiah ramai dilakukan, dimulai oleh pelaku pasar asing,
akan tetapi kemudian diikuti oleh pemain pasar dalam negeri dan pemilik
dana dalam negeri.
Strategi
Pemerintah menghadapi perkembangan ini dengan melakukan
pengetatan moneter, dengan menggunakan tindakan fiskal (melalui
pengurangan pengeluaran rutin maupun pembangunan dari APBN),
kebijakan moneter (langkah BI menghentikan pembelian SBPU bank-
bank dan peningkatan suku bunga SBI sampai lebih dari dua kali lipat),
dan tindakan adminsitratif (instruksi Menkeu ke pada berbagai Yayasan
dan BUMN untuk mengalihkan deposito mereka menjadi SBI).