Anda di halaman 1dari 6

1.

Pengelolaan liquiditas

Pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan leabilitas (liability
management). Melalui pengelolaan likuiditas yang baik, bank dapat memberikan keyakinan pada
para penyimpan dana bahwa mereka dapat mengambil dananya sewaktu-waktu atau pada saat jatuh
tempo. Oleh karena itu bank harus mempertahankan sejumlah alat likuid guna memastikan bahwa
bank sewaktu-waktu dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

Dalam likuiditas terdapat dua risiko :


- risiko ketika kelebihan dana dimana dana yang ada dalam bank banyak yang idle, hal ini akan
menimbulkan pengorbanan tingkat bunga yang tinggi.
- risiko ketika kekurangan dana, akibatnya dana yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan
kewajiban jangka pendek tidak ada. Dan juga akan mendapat pinalti dari bank sentral.

Pada umumnya likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa faktor:


a. kewajiban reserve yang ditetapkan otoritas moneter atau bank sentral.
b. Tipe-tipe dana yang ditarik oleh bank.
c. Komitmen nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan
atau melakukan investasi.

Likuiditas adalah berhubungan dengan masalah kemampuan suatu perusahaan


untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi. Suatu
perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar sedemikian besarnya sehingga
mampu memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi,
dikatakan bahwa perusahaan tersebut adalah likuid, dan sebaliknya yang tidak
mempunyai kemampuan membayar adalah illikuid.

2. Penghitungan Ratio Likuiditas

a. Current Ratio
Current Ratio digunakan sebagai alat untuk mengukur keadaan likuiditas
suatu perusahaan, dan juga merupakan petunjuk untuk dapat megetahui dan
menduga sampai dimanakah kiranya kita, apabila memberikan kredit berjangka
pendek kepada seorang nasabah, dapat merasa aman atau tidak.
Current ratio yang tinggi maka makin baik posisi para kreditor, karena
terdapat kemungkinan yang lebih besar bahwa utang perusahaan itu akan dapat
dibayar pada waktunya.. Dilain pihak ditinjau dari sudut pemegang saham suatu
current ratio yang tinggi tak selalu paling menguntungkan, terutama bila terdapat
saldo kas yang kelebihan dan jumlah piutang dan persediaan adalah terlalu besar.
Munawwir menyatakan current ratio 200% kadang sudah memuaskan bagi
suatu perusahaan, tetapi jumlah modal kerja dan besarnya rasio tergantung pada
beberapa faktor, suatu standar atau rasio yang umum tidak dapat ditentukan
untuk seluruh perusahaan. Current ratio 200% hanya merupakan kebiasaan atau
rule of thumb dan akan digunakan sebagai titik tolak untuk mengadakan
penelitian atau analisa yang lebih lanjut.
Current ratio ini menunjukkan tingkat keamanan (margin of safety) kreditor
jangka pendek, atau kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutang
tersebut.

Adapun formulasi dari current ratio (CR) adalah sebagai berikut :


Current ratio= (aktiva lancar : hutang lancar) x 100%

b. Quick ratio
Rasio ini disebut sebagai acid test ratio, yaitu perbandingkan antara aktiva
lancar dikurangi persediaan dengan utang lancar.

Rasio ini merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam memenuhi


kewajibannya dengan tidak memperhitungkan persediaan, karena menganggap
persediaan memerlukan waktu lama untuk direalisir menjadi kas, walaupun pada
kenyataannya mungkin persediaan lebih likuid dari piutang.

Rasio ini lebih tajam dari pada current ratio karena hanya membandingkan
aktiva yang sangat likuid.

Quick Ratio = ( Aktiva Lancar – Persediaan) : (utang lancar) x 100%


3. Risiko likuiditas
Bank wajib menyediakan likuiditas tersebut dengan cukup dan mengelolanya
dengan baik, karena apabila likuiditas tersebut terlalu kecil maka akan
mengganggu kegiatan operasional bank, namun demikian likuiditas juga tidak
boleh terlalu besar, karena apabila jumlah likuditas terlalu besar maka akan
menurunkan efisiensi bank sehingga berdampak pada rendahnya tingkat
profitabilitas.
Risiko Likuditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan akibat dari
adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka pendek
dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Besar kecilnya risiko likuditas
ditentukan antara lain:
a. Kecermatan dalam perencanaan arus kas atau arus dana berdasarkan prediksi
pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat
fluktuasi dana;
b. Ketepatan dalam mengatur struktur dana termasuk kecukupan dana-dana non
PLS;
c. Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas; dan
d. Kemampuan menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana
lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort.

4. Strategi Manajemen Cadangan dan Kebijakannya

Secara umum yang dimaksudkan dengan risiko adalah sebagai bentuk peristiwa
yang mempunyai pengaruh terhadap kemampuan seseorang atau lembaga untuk
mencapai tujuannya.

Dalam pengertian umum di atas belum terlihat gambaran ukuran besar atau luas
dampak risiko tersebut terhadap pencapaian tujuan bank Bank Indonesia
mendefinisikan manajemen risiko sebagai “serangkaian prosedur dan metodologi
yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan
risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank”.

Risiko mempunyai potensi suatu peristiwa terjadi atau tidak terjadi dengan dampak
/ peluang untung (upside) atau rugi (downside).
Bank dapat terhindar dari risiko yang tidak perlu terjadi dengan cara:
a. Standarisasi dan memutakhirkan semua kebijakan dan prosedur bank
b. Mengkaji penetapan limit risiko
c. Membangun konstruksi portfolio asset
d. Memanfaatkan keuntungan diversifikasi
e. Melakukan proses pendidikan mengenai risiko secara berkelanjutan untuk
semua pegawai
Membangun budaya manajemen risiko pada seluruh jenjang organisasi
Risiko yang dapat merugikan bank antara lain :
a. Tidak memadainya modal yang tersedia
b. Risiko pemberian fasilitas kredit
c. Risiko kecurangan
Risiko likuiditas timbul secara alamiah sebagai akibat dari mismatch
atau Gap antara Rate Sensitive Assets (RSA) dan Rate Sensitive
Liabilities (RSL). Bank mengelola risiko likuiditasnya agar dapat
memenuhi setiap kewajiban yang jatuh tempo dan menjaga tingkat
likuiditas yang optimal. Tujuan tersebut dicapai oleh Bank dengan
menetapkan dan mengimplementasikan kebijakan cadangan likuiditas
yang optimal, mengukur dan menetapkan limit untuk risiko likuiditas
serta penyusunan contingency plan.

Pengukuran rasio likuiditas Bank meliputi struktur pendanaan,


expected cash flow, akses pasar dan asset marketability. Pengelolaan
cadangan primer dan cadangan sekunder adalah untuk keperluan
pendanaan operasional harian dan sebagai buffer untuk mengcover
penarikan dana yang tidak terduga.

Asset Liability Management Sering disebut dengan ALMA,


merupakan alat utama untuk mengendalikan risiko pasar : suku bunga,
nilai tukar dan risiko likuiditas
Kebijakan ini memuat:
a. Penetapan limit risiko oleh Asset Liabities Committee
b. Prosedur dan dokumentasi yang harus dipenuhi
c. Analisis yang harus dilakukan
d. Metode untuk mengendalikan eksposur suku bunga dan kurs
e. Menetapkan otorisasi dan proses menangani
penyimpangan terhadap kebijakan
f. Sistem penetapan harga dan penilaian pasar
Bank dapat membiayai kebutuhan nasabah / operasional dari beberapa sumber :
a. Mendapatkan dana dalam bentuk simpanan jangka pendek dan jangka panjang
b. Meningkatkan pinjaman jangka pendek maupun jangka panjang
c. Meningkatkan modal
d. Menjual altiva bank
Beberapa apek kunci dalam perspektif pengendalian risiko likuiditas a.l.:
a. Menyusun strategi pendanaan khususnya pada kondisi pasar yang
kurang menguntungkan
b. Mempersiapkan pedoman yang jelas mengenai pengelolaan risiko
likuiditas sesuai dengan strategi yang diambil
c. Aktif mengukur posisi likuiditas bank
d. Mengkaji rencana darurat keuangan bank agar mampu mengatasi
masalah likuiditas dengan biaya yang relatif murah

Contoh
Krisis yang melanda Indonesia, mulai mengenai perbankan dengan
timbulnya masalah kekura ngan likuiditas (liquidity mismatch), semula
dialami oleh beberapa bank, tetapi kemudian menjadi sistemik. Krisis
likuiditas secara sistemik, yang dialami perbankan dimulai sekitar
pelaksanaan kebijakan pencabutan ijin usaha atau likuidasi 16 bank
tanggal 1 November 1997. Kepercayaan terhadap Rupiah yang menurun
sejak terjadinya gejolak moneter bulan Juli 1997 menjadi lebih buruk lagi
setelah diterapkan sistim nilai tukar yang mengambang secara bebas pada
pertengahan Agustus 1997. Pembelian mata uang dollar (USD) atau
penjualan aset rupiah ramai dilakukan, dimulai oleh pelaku pasar asing,
akan tetapi kemudian diikuti oleh pemain pasar dalam negeri dan pemilik
dana dalam negeri.

Strategi
Pemerintah menghadapi perkembangan ini dengan melakukan
pengetatan moneter, dengan menggunakan tindakan fiskal (melalui
pengurangan pengeluaran rutin maupun pembangunan dari APBN),
kebijakan moneter (langkah BI menghentikan pembelian SBPU bank-
bank dan peningkatan suku bunga SBI sampai lebih dari dua kali lipat),
dan tindakan adminsitratif (instruksi Menkeu ke pada berbagai Yayasan
dan BUMN untuk mengalihkan deposito mereka menjadi SBI).

Anda mungkin juga menyukai