Tokoh SASTRA ANG 66
Tokoh SASTRA ANG 66
1. Taufiq Ismail
Taufiq Ismail dilahirkan di Bukittinggi, 25 Juni 1937, lulusan Fakultas
Kedokteran Hewan UI, redaktur senior Horison. Penerima Anugerah Seni dari
pemerintah RI tahun 1970 dan Sastra ASEAN tahun 1994 ini telah berjasa besar
dalam memasyarakatkan, mengembangkan dan memajukan sastra Indonesia bersama
tokoh-tokoh lain seperti Sutarji Calzoum Bachri, Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman,
Abdul Hamid Jabbar (almarhum) melalui program SBSB (Sastrawan Buicara Siswa
Bertanya) di sekolah-sekolah (SMA/MAN/SMK) di seluruh Indonesia tahun 2000 –
2004. Karena jasa-jasanya dan prestasinya, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
memberinya gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang sastra.
Penyair ini terkenal dengan kumpulan sanjak Tirani dan Benteng, tertbit tahun
1966. Sanjak berjudul Seorang Tukang Rambutan dan Istrinya, Karangan Bunga,
Sebuah Jaket Berlumur Darah, Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini, Yang Kami
Minta Hanyalah…bisa dijumpai dalam buku-buku tersebut. Kumpulan sanjaknya
yang lain, Sajak Ladang Jagung (1973) terbit setelah ia pulang dari Amerika. Dalam
buku tersebut, kita bisa membaca Kembalikan Indonesia Padaku, Beri Daku Sumba,
Bagaimana Kalau ….. Sejak puluhan tahun yang lalu (1974) Taufiq bekerja sama
dengan Bimbo Group dalam penulisan lirik lagu. Kita bisa dengar nikmati lagu dan
lirik Aisyah Adinda Kita, Sajadah Panjang, Balada Nabi-nabi, Bermata tapi Tak
Melihat, Ibunda Swarga Kita, dan lain-lain dari dirinya. Taufiq Ismail juga menulis
Sajak-sajak Si Toni, Balai-balai, Membaca Tanda-tanda, Abad ke-15 Hijriah, Rasa
Santun yang Tidur, Puisi-puisi Langit.
Pada awal tahun 1994 diluncurkan buku antologi puisi berjudul Tirani dan
Benteng cetak ulang dua kumpulan puisinya yang terkenal itu. Buku tersebut diberi
pengantar oleh sang penyair secara cukup panjang dan mendalam. Di antara kata
pengantar dan dua kumpulan sanjak tersebut disertakan pula dalam buku ini Sajak-
sajak Menjelang Tirani dan Benteng. Pada tahun-tahun seputar Reformasi ditulisnya
puisi berjudul Takut 98 dan antologi puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia (MAJOI)
terbit tahun 1998. Bersama DS Mulyanto, rekan sastrawan Angkatan ’66, Taufiq
Ismail mengeditori buku tebal berjudul Prahara Budaya (antologi esai, 1995), bersama
LK Ara dan Hasyim Ks menyusun buku tebal juga berjudul Seulaweh Antologi Sastra
Aceh (1995).
2. Bur Rasuanto
Bur Rasuanto dilahirkan di Palembang, 6 April 1937, adalah pengarang,
penyair, wartawan. Ia menulis kumpulan cerpen Bumi yang Berpeluh (1963) dan
Mereka Akan Bangkit (1963). Bur Rasuanto juga menulis roman Sang Ayah (1969);
Manusia Tanah Air (1969) dan novel Tuyet (1978).
3. Goenawan Mohamad
Dilahirkan di Batang, 29 Juni 1941. Penyair, esais, wartawan, yang sampai
sekarang menjadi pimpinan umum majalah Tempo ini termasuk penanda tangan
Manifes Kebudayaan. GM adalah juga penerima Anugerah Seni pemerintah RI,
penerima Hadiah A. Teeuw tahun 1992 dan Hadiah Sastra ASEAN tahun 1981.Di
samping prestasi-prestasi di atas, GM pernah menjadi wartawan Harian KAMMI,
anggota DKJ, pimred Express, pimred majalah Zaman, redaktur Horison, anggota
Badan Sensor Film.
Ia menulis kumpulan sanjak Interlude, Parikesit (1971);kumpulan esai
Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malinkundang (1972); Catatan Pinggir I (1982),
Catatan Pinggir 2 (1989), Catatan Pinggir 3 yang dihimpun dari majalah Tempo.
Karyanya yang lain: Asmaradahana (kumpulan puisi, 1992); Seks, Sastra, Kita
(kumpulan esai); Revolusi Belum Selesai” (kumpulan esai); Misalkan Kita di
Serayewo (antologi puisi, 1998).
4. Subagio Sastrawardoyo
Dilahirkan di Madiun, 1 Febuari 1924, meninggal di Jakarta, 18 Juli 1995.
Penyair, pengarang, esais ini, pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, dosen bahasa
Indonesia di Adelaide, dosen FS UGM, SESKOAD Bandung, Universitas Flinders,
Australia Selatan. I menulis kumpulan sanjak Simphoni (1957); Daerah Perbatasan,
Kroncong Motenggo (1975). Kumpulan esainya berjudul Bakat Alam dan
Intelektualisme (1972); ManusiaTerasing di Balik Simbolisme Sitor, Sosok Pribadi
dalam Sajak (1980); antologi puisi Hari dan Hara; kumcerpen Kejantanan di Sumbing
(1965). Cerpennya Kejantanan di Sumbing dan puisinya Dan Kematian Makin Akrab
meraih penghargaan majalah Kisah dan Horison.
8. Hartoyo Andangjaya
Hartoyo Andangjaya dilahirkan di Solo 4 Juli 1930, meninggal di kota ini juga
pada 30 Agustus 1990. Penyair yang pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo dan
Sumatra Barat ini menulis sanjak-sanjak terkenal berjudul Perempuan-perempuan
Perkasa, Rakyat, juga Sebuah Lok Hitam, Buat Saudara Kandung. Sanjak-sanjak
tersebut bisa dijumpai dalam bukunya Buku Puisi (1973). Musyawarah Burung
(1983) adalah karya terjemahan liris prosaya tokoh sufi Fariduddin Attar. Seratusan
puisi karya penyair sufi terbesar sepanjang sejarah, Maulana Jalaluddin Rumi, diambil
dari Diwan Syamsi Tabriz, diterjemahkan dan dihimpunnya di bawah judul buku
Kasidah Cinta.
Hartoyo juga menulis antologi puisi Simponi Puisi (bersama DS Mulyanto,
1954), Manifestasi (bersama Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, 1963),
kumpulan syair Dari Sunyi ke Bunyi (1991).Karya-karya terjemahannya: Tukang
Kebun (Tagore, 1976), Kubur Terhormat bagi Pelaut (antologi puisi J. Slauerhoff,
1977), Rahasia hati (novel Natsume Suseki,1978); Puisi Arab Modern (1984).Hartoyo
Andangjaya termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan.
9. Slamet Sukirnanto
Slamet Sukirnanto dilahirkan di Solo 3 Maret 1941. Penyair ini menulis buku
kumpulan puisi Kidung Putih(1967); Gema Otak Terbanting; Jaket Kuning (1967),
Bunga Batu (1979), Catatan Suasana (1982), Luka Bunga (1991). Bersama A. Hamid
Jabbar, Slamet mengeditori buku Parade Puisi Indonesia (1993). Dalam buku itu,
termuat sanjak-sanjaknya: Rumah, Rumah Anak-anak Jalanan, Kayuh Tasbihku,
Gergaji, Aku Tak Mau; Bersama Sutarji Calzoum Bachri dan Taufiq Ismail, Slamet
menjadi editor buku Mimbar Penyair Abad 21.
Sastra adalah suatu bentuk hasil kerja orang lain yang memiliki nilai – nilai estetika,
yang berupa hasil pemikiran, perasaan, pengalaman pribadi, maupun imajinasi – imajinasi
yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan maupun ucapan. Karya sastra sangatlah dinamis,
dengan kata lain mereka sangat fleksibel dengan perkembangan jaman.
Karena sifatnya yang dinamis ini, karya sastra ikut mengalami perkembangan seiring
dengan perkembangan jaman itu sendiri. Perkembangan–perkembangan tersebut
menghasilkan karya sastra yang berbeda – beda setiap periodenya. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dengan mudah berdasarkan kelompok angkatannya masing – masing.
Hal ini juga yang menjadikan dasar dari terbentuknya klasifikasi yang yang menjadi
pembeda anatar, termasuk periode 45 dengan periode 66. Angkatan 45 disebut juga dengan
angkatan Chairil Anwar atau angkatan kemerdekaan. Ciri khas dari angkatan 45 yaitu bebas,
individualistik, realistik, dan futuristik. Angkatan ini lahir dalam suasana lingkungan yang
sangat memprihatinkan dan serba keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan
dengan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sehingga pada periode ini karya
kesusastraan terkesan lebih terbuka karena banyak terpengaruh dengan sastra asing lebih luas.
Puisi yang dinggap sebagai maskot pembaruan dalam sejarah perpuisian di Indonesia adalah
puisi yang berjudul “Aku” karya Chairil Anwar.
Aku
Berlari
Tergesa-gesa
Ke luar jalanan
‘Gugur Bunga’
Perlahan-lahan
Prajurit ini
Membuka baretnya
Di puncak Gayatri
Menundukkan bendera