Anda di halaman 1dari 133

1

Artikel

KATA PENGANTAR i

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 LATAR BELAKANG 1

1.2 TUJUAN 1

BAB II ISI 2

2.1 PENGERTIAN ALINYEMEN VERTIKAL 2

2.2 FAKTOR – FAKTOR YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN 3

2.3 KELANDAIAN MAKSIMUM 4

2.4 LENGKUNG VERTIKAL 6

2.5 LENGKUNG VERTIKAL CEMBUNG 9

2.6 LENGKUNG VERTIKAL CEKUNG 12

2.7 JARI-JARI RENCANA LENGKUNG VERTIKAL 15

2.8 JALUR PENDAKIAN 16

2.9 KOORDINASI ALINYEMEN 17

BAB III PENUTUP 20

3.1 KESIMPULAN 20

3.2 SARAN 20

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1
LATAR BELAKANG

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap jalan, dan perlengkapannya yang diperuntukkan
bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah,
dibawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan
kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (UU RI No. 38 Tahun 2004).

Perencanaan geometrik baru dikenal di Indonesia sekitar pertengahan tahun 1960


kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat sejak tahun 1980.Dalam
Makalah ini diuraikan perencanaan geometrik jalan khususnya untuk Alinyemen
vertikal

1.2
TUJUAN

Tujuannya adalah untuk mendesain suatu penampang jalan yang memadai untuk
keperluan lalu lintas, tidak saja memperhatikan keamanan dan ekonomisnya
biaya, tetapi juga nilai strukturalnya. Kita harus lebih teliti dalam memilih lokasi
perencanaan geometrik sehingga suatu jalan menjadi nyaman dan aman akan
stabilitas.

BAB II
ISI

3
2.1
PENGERTIANALINYEMEN VERTIKAL

Alinyemen Vertikal (Potongan Memanjang), adalah bidang tegak yang melalui as


jalan atau proyeksi tegak lurus bidang gambar. Potongan memanjang ini
menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka tanah asli. Alinyemen
vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan lengkung vertikal dan bila ditinjau
dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif
(tanjakan) atau landai negatif (turunan) atau landai nol (datar). Bagian lengkung
vertikal dapat berupa lengkung cekung dan lengkung cembung. Kalau pada
alinyemen horizontal yang merupakan bagian KRITIS adalah lengkung
horizontal (bagian tikungan), maka pada alinyemen vertikal yang merupakan
bagian KRITIS justru pada bagian yang lurus. Dibawah ini diberikan gambar
lengkung vertikal.

2.2
FAKTOR – FAKTOR YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN

Alinyemen vertical direncanakan dengan mempertimbangkan antara lain hal-hal


sebagai berikut :

a. Kecepatan rencana

Kecepatan rencana yang diambil harus disesuaikan dengan ketetapan yang telah
dipakai pada alinyemen horizontal. Dengan demikian klasifikasi medan yang telah
ditetapkan untuk alinyemen horizontal berikut wilayah-wilayah kecepatan
rencananya harus dijadikan pegangan untuk menghitung tikungan-tikungan pada
alinyemen vertikal. Kalau hal ini tidak dijaga akan diperoleh ketidak seimbangan,
misalnya disatu pihak kita mempunyai kecepatan rencana yang tinggi untuk
alinyemen horizontal, sedangkan alinyemen vertikalnya hanya mempunyai
kecepatan rencana yang lebih rendah atau sebaliknya. Ini berarti akan merugikan
pemakai jalan atau bahkan bias membahayakan pemakai jalan.

b. Topography

4
Keadaan topography ini earat hubungannya dengan volume pekerjaan tanah.
Untuk terrain yang berat sering kita terpaksa harus menggunakan angka-angka
kelandaian maksimum pada alinyemen vertikal agar volumem pekerjaan tanah
dapat dikurangi. Pada perencanaan jalan baru kita harus agak berhati-hati dalam
menetapkan alinyemen vertikal. Sebab sekali kita kurang bijaksana dalam
menetapkan kelandaian jalan, perbaikannya akan menuntut biaya yang sangat
besar. Disamping itu penetapan kelandaian harus sedemikian sehingga tinggi
galian atau dalamnya timbunan masih dalam batas-batas kemampuan pelaksanaan.

c. Fungsi jalan

Dalam merencanakan jalan (terutama didaerah perkotan) sering kita hadapi bahwa
rencana jalan kita akan crossing dengan existing road. Sebelum menetapkan
bentuk tersebut kita harus mengetahui betul, apa sebetulnya fungsi jalan kita
maupun fungsi jalan yang dicross oleh kita jalan tersebut. Sehingga dengan
demikian dapat kita tentukan bentuk-bentuk crossing tersebut. Dari bentuk-bentuk
crossing tersebut baru dapat kita tentukan alinyemen vertikalnya.

d. Tebal perkerasan yang diperhitungkan

Untuk design jalan baru, tebal perkerasan tidak mempengaruhi penarikan


alinyemen vertikal. Tapi untuk design yang sifatnya betterment, tebal perkerasan
akan memegang peranan penting. Dalam hal ini penarikan alinyemenvertikal
harus sudah sedemikian sehingga kedudukannya terhadap permukaan jalan lama
mendekati atau sesuai dengan yang telah diperhitungkan.

e. Tanah dasar

Kadang-kadang kita terpaksa membuat jalan diatas tanah dasar yang sering kena
banjir. Disini kita harus hati-hati artinya jangan sampai alinyemen vertikal kita
tidak cukup tinggi. Kedudukan alinyemen vertikal harus sedemikian sehingga :
Permukaan air banjir tidak mencapai lapis-lapis perkerasan. Cukup tinggi sampai
kita dapat memasang culvert yang betul-betul bisa berfungsi.

2.3
KELANDAIAN MAKSIMUM

Walaupun hampir semua mobil penumpang dapat mengatasi kelandaian 9 sampai


10 persen tanpa kehilangan kecepatan berarti, pengaruh kelandaian pada
kecepatan truk agak nyata. Untuk menentukan kelandaian maksimum,
kemampuan menanjak sebuah truk bermuatan maupun biaya konstruksi harus
diperhitungkan. Tabel menunjukkan kelandaian maksimum. Untuk kasus biasa,

5
kelandaian diperbolehkan mengikuti nilai-nilai yang ditunjukkan pada tabel
tersebut. Bila anggaran tidak dapat menampung biaya untuk mendapatkan
kelandaian maksimum sepanjang suatu bagian jalan yang pendek, maka
kelandaian pada bagian itu dapat dinaikkan sampai nilai kelandaian maksimum
mutlak.

Patokan untuk kelandaian maksimum yang diperlihatkan pada tabel dibawah ini,
ialah bahwa sebuah kendaraan dimungkinkan bergerak terus tanpa kehilangan
kecepatan yang berarti pada tanjakan. Untuk jarak yang cukup jauh, patokan
tersebut :

Didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak
dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separoh kecepatan semula tanpa
menggunakan gigi rendah.Dalam menanjak, truk yang bermuatan penuh dapat
melakukan pergerakan dengan waktu perjalanan tidak lebih dari satu menit.

Harus ada suatu batas untuk panjang kelandaian yang tidak melebihi kemampuan
maksimum, ditandai bahwa kecepatan sebuah truk bermuatan penuh akan lebih
rendah dari separuh kecepatan rencana atau jika gigi “rendah” terpaksa dipakai.
Keadaan kritis demikian tidak boleh berlangsung terlalu lama dan ditetapkan
tidak lebih dari satumenit. Panjang kritis tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

Untuk jalan perkotaan dapat dilihat pada tabel seperti dibawah ini untuk landai
maksimum.

6
Kelandaian yang lebih besar dari kemiringan maksimum yang disebutkan diatas
pada jalan perkotaan dapat digunakan apabila panjang kelandaian lebih
kecil dari padapanjang kritis yang ditetapkan dalam tabel di bawah ini sesuai
dengan kecepatan rencana.

2.4
LENGKUNG VERTIKAL

Pada setiap penggantian landai harus dibuat lengkung vertikal yang memenuhi
keamanan dan kenyamanan. Adapun lengkung vertikal yang digunakan adalah
lengkung parabola sederhana seperti gambar di bawah ini.

Rumus Parabola :

Lengkung vertikal diatas disebut lengkung vertikal cembung, sehingga


mempunyai tanda MINUS (-) dimuka persamaan. Adapun untuk lengkung
vertikal cekung akan mempunyai tanda PLUS (+), maka persamaan umum dari
lengkung vertikal adalah:

Jika A dalam bentuk persentase

Untuk menyerap guncangan dan untuk menjamin jarak pandangan henti,


lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi dimana kelandaian berubah.

Dengan berdasar pada penampilan, kenyamanan dan jarak pandang dapat


ditentukan langsung panjang lengkung vertikal seperti tabel di bawah ini.

Untuk jalan perkotaan dengan dasar pada panjang pergerakan selama 3 detik
dapat digunakan Nilai pada tabel seperti di bawah ini.

7
2.5
LENGKUNG VERTIKAL CEMBUNG

Bentuk persamaan umum lengkung vertikal cembung adalah :

Dan dari gambar, lengkung parabola sederhana didapat :

· Ev = Penyimpangan dari titik potong kedua tangen ke lengkungan vertikal


(disini y = Ev untuk x = ½ L)

· A = Perbedaan aljabar kedua tangen = g2 – g1

· L = Panjang lengkung vertikal cembung

adapun panjang minimumnya berdasarkan :

1. syarat pandangan henti

2. syarat pandangan menyiap

Rumusan untuk lengung vertikal cembung :

Ø Untuk S>L

Dari persamaan dapat dinyatakan dengan y = kx2, dimana :

8
Ø Untuk S>L

Lengkung vertikal cembung yang panjang dan relatif datar dapat menyebabkan
kesulitan dalam masalah drainase jika di sepanjang jalan dipasang kereb. Air di
samping jalan tidak mengalir dengan lancar. Untuk menghindari hal tersebut,
panjang lengkung vertikal biasanya dibatasi untuk tidak melebihi L = 50 A

2.6
LENGKUNG VERTIKAL CEKUNG

Analogdengan penjelasan Lengkung Vertikal Cembung. hanya panjang lengkung


vertikal cekung ditentukan berdasarkan jarak pandangan pada waktu malam
dengan syarat bahwa pada alinyemen vertikal tidak selalu dibuat lengkungan
dengan jarak pandang menyiap, bergantung medan dan klasifikasi jalan.

9
Jangkauan lampu depan kendaraan pada lengkung vertikal cekung merupakan
batas jarak pandangan yang dapat dilihat oleh pengemudi pada malam hari. Di
dalam perencanaan umumnya tinggi lampu depan diambil setinggi 60 cm, dengan
sudut penyebaran sebesar 1o. Letak penyinaran lampu dengan kendaraan dapat
dibedakan atas 2 keadaan yaitu:

1. Jarak pandangan akibat penyinaran lampu depan < L

2. Jarak pandangan akibat penyinaran lampu depan > L

Jarak pandangan bebas pengemudi pada jalan raya yang melintasi bangunan –
bangunan lain seperti jalan lain, jembatan penyeberangan, dan lain sebagainya
seringkali terhalangi oleh bagian bawah bangunan tersebut. Panjang lengkung
vertikal cekung minimum dengan mengambil tinggi mata pengemudi truk yaitu
1,80 m dan tinggi objek 0,50 m, ruang bebas vertikal minimum 5 m, disarankan
mengambil lebih besar untuk perencanaan yaitu ± 5,5 m, untuk memberi
kemungknan adanya lapisan tambahan dikemudian hari.

Ø Jika jarak pandangan S<L

Jika h1 = 1,80 m, h2 = 0,50 m, dan C = 5,50 m, maka :

Ø Jika jarak pandangan S>L

Jika h1 = 1,80 m, h2 = 0,50 m, dan C = 5,50 m, maka :

Adanya gaya sentrifugal dan gaya gravitasi pada lengkung vertikal cekung
menimbulkan rasa tidak nyaman kepada pengemudi. Panjang lengkung vertikal
cekung minimum yang dapat memenuhi syarat kenyamanan adalah

Dimana :

V = kecepatan rencana (km/jam)

A = perbedaan aljabar landai

10
L = panjang lengkung vertikal cekung

2.7
JARI-JARI RENCANA LENGKUNG VERTIKAL

Untuk perencanaan Desain Geometrik Jalan perkotaan dengan


mempertimbangkan kenyamanan dan keamanan pengemudi, pemakaian standar
jari-jari minimum dalam merencanakan dibatasi oleh masalah-masalah pelik,
maka sebagai ganti standar jari- jari minimum diambil dari tabel di bawah ini.

2.8
JALUR PENDAKIAN

Jalur pendakian bertujuan untuk menampung truk bermuatan berat atau kendaraan
lain yang lebih lambat agar supaya kendaraan lain dapat mendahului kendaraan
yang lebih lambat itu tanpa menggunakan jalur lawan.

Jalur pendakian harus disediakan pada ruas jalan raya yang mempunyai
kelandaian tinggi dan menerus, dan pada saat yang bersamaan mempunyai lalu
lintas yang padat.

Kriteria yang diusulkan untuk menyediakan jalur pendakian adalah :

· Jalan arteri atau jalan kolektor

· Apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000


SMP/perhari, dan persentase truk > 15 %

Kriteria ini diterapkan secara longgar atau ketat tergantung pada keadaan di
lapangan.

Lebar lajur pendakian adalah sama dengan lajur utama, dan panjang lajur
pendakian harus 200 m atau lebih. Kedua ujung jalur harus berakhir seperti
terlihat dalam gambar 6- 6. dan 6-7.Jalur pendakian dimulai 30 meter dari awal
perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter dan berakhir 50 meter
sesudah puncak kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter seperti terlihat
pada gambar di bawah ini.

11
Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,5 km diperlihatkan seperti
gambar berikut.

2.9
KOORDINASI ALINYEMEN

Alinyemen vertikal, alinyemen horizontal, dan potongan melintang jalan adalah


elemen- elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan
sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk yang baik dalam arti
memudahkan pengendara mengemudikan kendaraannya dengan aman dan
nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat
memberikan kesan atau petunjuk kepada pengendara akan bentuk jalan yang akan
dilalui di depannya sehingga pengendara dapat melakukan antisipasi lebih awal.

Koordinasi alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal harus memenuhi


ketentuan sebagai berikut :

· Alinyemen horizontal sebaiknya berhimpit dengan alinyemen vertikal, dan


secara ideal alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinyemen
vertikal

· Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau
pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan

· Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang
harus dihindarkan

· Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus
dihindarkan

· Tikungan yang tajam di antar 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan.

Sebagai ilustrasi, gambar berikutmenampilkan contoh-contoh koordinasi


alinyemen yang ideal dan harus dihindarkan.

Koordinasi yang ideal antara alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal yang
berhimpit

12
Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana alinyemen vertikal menghalangi
pandangan pengemudi pada saat mulai memasuki tikungan pertama

Koordinasi yang harus dihindarkan, di mana pada bagian yang lurus pandangan
pengendara terhalang oleh puncak alinyemen vertikal sehingga pengemudi sulit
memperkirakan arah alinyemen dibalik puncak tersebut

BAB III
Penutup

13
3.1
KESIMPULAN

Alinyemen Vertikal (Potongan Memanjang), adalah bidang tegak yang melalui as


jalan atau proyeksi tegak lurus bidang gambar. Alinyemen vertikal terdiri atas
bagian landai vertikal dan lengkung vertikal. Apabila ditinjau dari titik awal
perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan) atau
landai negatif (turunan) atau landai nol (datar). Bagian lengkung vertikal dapat
berupa lengkung cekung dan lengkung cembung. Dapat disimpulkan pula
bahwa :

· Perencanaan alinyemen vertikal selalu dengan mempertimbangkan kondisi


lapisan tanah dasar, tinggi muka air banjir, tinggi muka air tanah, fungsi jalan,
kelandaian, dan keadaan medan.

· Kelandaian suatu tanah dapat mempengaruhi kecepatan rencana, semakin


tinggi persentase kelandaian tanah akan mengakibatkan kecepatan rencana
semakin rendah begitu pula sebaliknya

· Lengkung vertikal cekung maupun cembung dapat menghalangi pandangan


pengguna jalan apabila alinyemen jalanya tidak ideal

· Jalur pendakian adalah jalur khusus untuk kendaraan berat yang dibuatkan
pada jalan berlandai cukup tinggi dan panjang

3.2
SARAN

Dari penjeasan dalam makalah ini, kami dapat menyarankan beberapa hal seperti
berikut ini:

· Pastikan bahwa kecepatan rencana sudah mengikuti aturan kelandaian


maksimum supaya kecepatan yang direncanakan tidak melebihi aturan yang
berlaku.

· Dalam merancang jalan pastikan bahwa kecepatan rencana sudah sesuai


dengan aturan.

· Dalam membuat jalan perlu diperhatikan pandangan pengemudi baik dalam


landai positif (tanjakan) maupun negatif (turunan). Karena hal ini dapat menjadi
faktor yang dapat mengganggu kenyamanan saat berkendara

14
15
Artikel

Perencanaan Geometrik Jalan Raya

Perencanaan geometrik adalah bagian dari perencanaan jalan yang bersangkut


paut dengan dimensi nyata dari bentuk fisik dari suatu jalan beserta bagian-
bagiannya, masing-masing disesuaikan dengan tuntutan serta sifat-sifat lalu lintas
untuk memperoleh modal layanan transfortasi yang mengakses hingga ke rumah-
rumah.

Dalam perencanaan geometrik jalan terdapat beberapa parameter perencanaan


seperti kendaraan rencana, kecepatan rencana, volume dan kapasitas jalan, dan
tingkat pelayanan yang diberikan oleh jalan tersebut. Parameter – parameter ini
merupakan penentu tingkat kenyamanan dan keamanan yang dihasilkan oleh suatu
bentuk geometrik jalan

Dalam menentukan trase kita akan menghadapi beberapa persoalan diantaranya


mengenai bentuk dari permukaan alam yang tidak teratur, turun naik kemudian
keadaan tanah dasar dan lain sebagainya.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menentukan trase diantaranya
yaitu :
1. Perencanaan Garis trase dibuat sependek mungkin.
2. Dipilih Route rencana jalan dipilih sedatar mungkin mengikuti garis kontur atau
transis.
3. Syarat antara sudut belokan pertama dan sudut belokan kedua diusahakan
sepanjang – panjangnya. (4,0 cm pada gambar dengan skala 1 : 10.000).
4. Perencanaan sudut belok pada masing-masing tikungan disesuaikan dengan
kecepatan rencana kendaraan (Vr)
.

Walaupun kita tahu bahwa jarak yang tersingkat untuk menghubungkan dua
tempat adalah merupakan garis lurus, tetapi dalam hai ini tidak mungkin untuk
membuat centre line selurus – lurusnya karena banyak menghadapi rintangan –
rintangan yang berupa bukit, lembah, sungai yang sukar dilalui, maka trase jalan
dibuat sedemikian rupa dengan memperhatikan faktor keamanan dan kenyamanan
pemakai jalan.

Untuk menghitung koordinat ada dua alternatif hitungan, yaitu :


1. Pengukuran lapangan langsung.
2. Perhitungan pada peta topografi.
Pada perencanaan disini hanya akan dibahas perhitungan koordinat dari peta
topografi. Yaitu dengan cara menginterpolasi koordinat yang telah ada pada peta
topografi yaitu dengan adanya perpotongan sumbu X dan sumbu Y.

16
Minggu, 13 Mei 2012

17
Artikel

PERENCANAAN TIKUNGAN

PERENCANAAN TIKUNGAN
I. Perencanaan Tikungan 1R
1. Menentukan Kelas Jalan

Berdasarkan tabel II.8 Tata Cara Perencanan Geometrik Jalan Antar Kota 1997 hal
17

Ditentukan fungsi jalan arteri, kelas IIIA lebar lajur ideal 3,75.

Berdasarkan tabel II.15 Tata Cara Perencanan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
hal 27
Panjang bagian lurus maksimum arteri datar 3000 m.

2. Menentukan Kecepatan Rencana


Berdasarkan tabel II.6 Tata Cara Perencanan Geometrik Jalan Antar Kota 1997 hal
11
Diambil VR = 100 km/jam

Dari grafik 4.3 hal 70 Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan :


Untuk kecepatan 80-112 km/jam

f = -0,0125 v + 0,24
= -0,00125 x 100 + 0,24

18
= 0,115

e max = 10%
R min =
=
= 366,233m
Dapat pula dilihat pada tabel 4.1 hal.76 Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan

3. Perhitungan Sudut tikungan (Δ)

Perhitungan jarak lurus (A-PI) ; (PI-B)


dA-PI =
=
= 200,42 m
dPI-B =
=
= 237,857 m

Menurut tabel 4.6 halaman 112 Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan

R butuh = 366,233 m
Rpakai = 409 m
Ls = 90 m
D = 3,50

19
4. Penentuan Bentuk Tikungan

Dilihat dari tabel 4.6 hal 112 Dasar-dasar Perencanaan Geometrik R=409 terletak
di bawah garis tabel maka tikungan berbentuk SCS atau SS
Δ = 23,3730
Ls Hitung =
=
= 13,396 m

Kontrol :
Ls Hitung< Ls tabel
Ls pakai = 90 m

5. Cek Persyaratan Bentuk Tikungan


Θs = = = 6,3014 0

Kontrol SCS
Δ’ = Δ-2 Θs
= 23,373 – (2 x 6,3014)
= 10,7702

L’ = 76,9129
L’ > 20 m… (SCS)
6. Menghitung Komponen Tikungan

Xs = Ls ( )
= 90 ( )
= 89,891 m
Ys = =
= 3,3007 m
Θs = 6,3014 0
p = - Rc(1-cos Θs)
= Θs)
= 0,8297 m
k = Ls - - Rc sin Θs
= 90 - - 409 sin 6,3014
= 44,9998 m

Ts = (Rc + p) tan 1/2Δ + k


= (409 + 0,8297) tan ½ 23,373 + 44,9998
= 129,7708 m
Es = (Rc + p) sec 1/2Δ – Rc
= (409 + 0,8297) sec½ 23,373 – 409
= 8,7425 m
Lc = x π x Rc

20
= x π x Rc
= 76,913 m
L total = Lc +2Ls
= 76,913 + 2 90 = 256,913 m
7. Mencari Posisi titik – titik tikungan
Posisi A awal Proyek
Sta A = 0 + 000
Sta PI = Sta A + dA-PI
= (0+000) + 200,422
= 200,422 m
Sta TS = Sta A + dA-PI – Ts
= (0+000) + 200,422 – 129,7708
= 70,6512 m
Sta SC = Sta TS + LS
= 70,6512 + 90
= 160,6512 m
Sta CS = Sta SC + LC
= 160,6512+ 76,913
= 237,5642
Sta ST = Sta CS + LS
= 237,5642 + 90
= 327,5642
Sta B = Sta ST – TS + dPI-B
= 327,5642 -129,7708 + 237,857
= 435,6504
Jadi panjang Jalan rencana A – B = 435,6504 m

II. Perencanaan Tikungan 2R

Menentukan Kelas Jalan

Berdasarkan tabel II.8 Tata Cara Perencanan Geometrik Jalan Antar Kota 1997 hal
17

Ditentukan fungsi jalan arteri, kelas IIIA lebar lajur ideal 3,75.

Berdasarkan tabel II.15 Tata Cara Perencanan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
hal 27

21
Panjang bagian lurus maksimum arteri datar 3000 m.

Menentukan Kecepatan Rencana


Berdasarkan tabel II.6 Tata Cara Perencanan Geometrik Jalan Antar Kota 1997 hal
11
Diambil VR = 100 km/jam

Dari grafik 4.3 hal 70 Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan :


Untuk kecepatan 80-112 km/jam

f = -0,0125 v + 0,24
= -0,00125 x 100 + 0,24
= 0,115

e max = 10%
R min =
=
= 366,233m
Dapat pula dilihat pada tabel 4.1 hal.76 Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan

1. Diketahui :
Rmin = 366,233 m ;
Dari tabel 4.6 hal 112 Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan :
ditentukan Rc = 477 m ; e = 0,094 ; Ls = 90 m
diketahui dari tabel (terletak di bawah garis) bahwa bentuk tikungan berupa SCS
atau SS
VR = 100 km / jam

Perhitungan Sudut tikungan (Δ)

Perhitungan jarak lurus (A-PI) ; (PI-B)


dA-PI =

22
=
= 200,42 m
dPI-B =
=
= 371,65 m
dB-C =10750-10550 = 200 m

Cek Persyaratan bentuk tikungan SCS


Ls Hitung =
=
= 10,2439 m
Kontrol :
Ls Hitung< Ls tabel
Ls pakai = 90 m

Θs = = = 5,405 0

Δ1’ = Δ-2 Θs
= 23,373 – (2 x 5,405)
= 12,563o

L1’ = 104,5897 m
L1’ > 20 m (SCS)…OK!
Δ2’ = Δ-2 Θs
= 19,654 – (2 x 5,405)
= 8,844

L2’ = 73,6282 m
L2’ > 20 m (SCS)…OK!
Menghitung Komponen Tikungan
Xs = Ls ( )
= 90 ( )
= 89,92 m
Ys = =
= 2,8302 m
Θs = 5,405 0
p = - Rc(1-cos Θs)
= Θs)
= 0,7093 m
k = Ls - - Rc sin Θs
= 90 - - 477 sin 5,405
= 44,9888 m
Ts1 = (Rc + p) tan 1/2Δ1+ k
= (477 + 0,7093) tan ½ 23,373 + 44,9888
= 143,8003 m

23
Ts2 = (Rc + p) tan 1/2Δ2 + k
= (477 + 0,7093) tan ½ 19,654 + 44,9888
= 127,7354 m
Kontrol jarak Ts agar terdapat jarak lurus diantara kedua tikungan:
Ts1+Ts2 < dPI-B => 143,8003+127,7354 < 371,65
271,5357 < 371,65…OK!
Es1 = (Rc + p) sec1/2Δ1 – Rc
= (477 + 0,7093) sec ½ 23,373 – 477
= 10,8216 m

Es2 = (Rc + p) sec1/2Δ2 – Rc


= (477 + 0,7093) sec ½ 19,654 – 477
= 7,8228 m
Lc1 = x π x Rc
= x π x Rc
= 104,5897 m
Lc2 = x π x Rc
= x π x Rc
= 73,6282 m
L1 total = Lc1 +2Ls
= 104,5897 + 2 x 90 = 284,5897m
L2 total = Lc2 +2Ls
= 73,6282 + 2 x 90 = 253,6282m

Mencari Posisi titik – titik tikungan


Sta A = 0 + 000
Sta PI = Sta A + dA-PI
= (0 + 000) + 200,42
= 200,42 m
Sta TS1 = Sta A + dA-PI – Ts1
= (0 + 000) + 200,42 – 143,8003
= 56,6197 m
Sta SC1 = Sta TS1 + Ls
= 56,6197 + 90
= 146,6197 m
Sta CS1 = Sta SC1 + Lc1
= 146,6197 + 104,623
= 251,2427 m
Sta ST1 = Sta CS1 + Ls
= 251,2427 + 90
= 341,2427 m
Sta B = Sta ST1 – Ts1 + dPI-B
= 341,2427 – 143,8003 + 371,65
= 569,0924 m
Jadi panjang jalan rencana A-B = 569,0924 m

24
Dengan menganggap Sta PI sbg titik awal R2 (R2 pakai = R1 pakai)
Sta PI = 0 + 000
Sta B = Sta PI + dPI-B
= (0+000) + 371,65
= 371,65 m
Sta TS = Sta PI + dPI-B– Ts2
= (0+000) + 371,65 – 127,7354
= 243,9146 m
Sta SC = Sta TS + Ls
= 243,9146 + 90
= 333,9146 m
Sta CS = Sta SC + Lc2
= 333,9146 + 73,6282
= 407,5428m
Sta ST = Sta CS + Ls
= 407,5428 + 90
= 497,5428m
Sta C = Sta ST – Ts2 + dB-C
= 497,5428 -127,7354 + 200
= 569,8074m
Jadi panjang Jalan rencana PI-C = 569,8074 m
Jadi panjang Jalan rencana A-PI-B-C = (PI-C)+(A-B) – dPI-B
= 569,8074 + 569,0924 – 371,65
= 767,2498 m

25
Artikel

Perencanaan Pada Geometrik Jalan

Perencanaan geometrik adalah merupakan bagian dari perencanaan jalan keseluruhan.


Ditinjau secara keseluruhan perencanaan geometrik harus dapat menjamin
keselamatan maupun kenyamanan dari pemakai jalan. Untuk dapat
menghasilkan suatu rencana jalan yang baik dan mendekati keadaan yang
sebenarnya diperlukan suatu data dasar yang baik pula.

Perencanaan geometrik jalan juga merupakan bagian dari perencanaan jalan yang
dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi
fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimal pada arus
lalu-lintas. Jadi tujuan dari perencanaann geometrik jalan adalah menghasilkan
infrastruktur yang aman dan efisien pelayanan arus lalu lintas serta
memaksimalkan biaya pelaksananaan ruang, bentuk dan ukuran. Jalan dapat
dikatakan baik apabila dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada
pemakai jalan.

Secara geometrik, perencanaan jalan dibagi menjadi 2, yaitu perencanaan alinyemen


horisontal dan alinyemen vertikal. Alinyemen horizontal atau trase suatu
jalan adalah garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus pada bidang peta, yang
biasa disebut tikungan atau belokan. Sedangkan Alinyemen vertikal adalah
garis potong yang dibentuk oleh bidang vertikal melalui sumbu jalan dengan
bidang permukan pengerasan jalan, yang biasa disebut puncak tanjakan dan
lembah turunan (jalan turun).
Tinjauan alinyemen horizontal secara keseluruhan
Ditinjau secara keseluruhan, penetapan alinyemen horizontal harus dapat menjamin
keselamatan maupun kenyamanan bagi pemakai jalan. Untuk mencapai tujuan
ini antara lain perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

 Sedapatnya mungkin menghindari broken back, artinya tikungan searah yang


hanya dipisahkan oleh tangen yang pendek.

 Pada bagian yang relatif lurus dan panjang, jangan sampai terdapat tikungan
yang tajam yang akan mengejutkan pengemudi.

 Kalau tidak sangat terpaksa jangan sampai menggunakan radius minimum,


sebab jalan tersebut akan sulit mengikuti perkembangan-perkembangan mendatang.

26
 Dalam hal kita terpaksa menghadapi tikungan dengan lengkung majemuk
harus diusahakan agar R1 > 1,5 R2.

 Pada tikungan berbentuk S maka panjang bagian tangen diantara kedua


tikungan harus cukup untuk memberikan rounding pada ujung-ujung tepi perkerasan.

Menetapkan kecepatan rencana (design speed)


Untuk menetapkan alinyemen horizontal pada suatu rute, section ataupun segment
dari suatu jalan, perlu diketahui terlebih dahulu ‘Topography” yang akan dilalui
oleh trase jalan yang akan di design. Keadaan topograpi tersebut kemudian
akan dijadikan dasar dalam menetapkan besarnya kecepatan rencana dari
jalan yang akan direncanakan, setelah kelas jalan tersebut ditentukan.
Macam-macam kurva dalam alinyemen horizontal
Bentuk kurva dalam alinyemen horizontal terdiri atas :

 Full Circle – FC (Lengkung Penuh) yaitu, Lengkung yang hanya terdiri dari
bagian lengkung tanpa adanya peralihan. Yang dimaksud disini adalah hanya
ada satu jari2 lingkaran pada lengkung tersebut. (lihat perbedaan dengan SCS)

 Spiral-Circle-Spiral – SCS yaitu, Lengkung terdiri atas


bagian lengkungan (Circle) dengan bagianperalihan (Spiral) untuk menghubungkan
dengan bagian yang lurus FC. Dua bagian lengkung di kanan-kiri FC itulah yg disebut
Spiral. (lihat perbedaan dengan FC).

27
 Spiral-Spiral – SS yaitu, Lengkung yg hanya terdiri dari spiral-spiral saja
tanpa adanya circle. Ini merupakan model SCS tanpa circle. Lengkung ini biasanya
terdapat di tikungan dengan kecepatan sangat tinggi. (lihat perbedaan dengan SCS)

Tinjauan alinyemen vertikal secara keseluruhan


Ditinjau secara keseluruhan alinyemn vertikal harus dapat memberikan kenyamanan
kepada pemakai jalan disamping bentuknya jangan sampai kaku. Untuk
mencapai itu harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

 Sedapat mungkin menghindari broken back, grad line atinya jangan sampai
kita mendesaign lengkung vertikal searah (cembung maupun cekung) yang hanya
dipisahkan oleh tangen yang pendek.

 Menghindari hidden dip, artinya kalau kita mempunyai alinymen vertikal yang
relatif datar dan lurus, jangan sampai didalamnnya terdapat lengkung-lengkung
cekung yang pendek yang dari jauh kelihatannya tidak ada atau tersembunyi.

 Landai penurunan yang tajam dan panjang harus diikuti oleh pendakian agar
secara otomatis kecepatan yang besar dari kendaraan dapat dikurangi.

 Kalau pada suatu potongan jalan kita menghadapi alinyemen vertikal dengan
kelandaian yang tersususun dari prosentase kecil sampai besar, maka kelandaian

28
yang paling curam harus ditaruh pada bagian permulaan landai, berturut-turut
kemudian kelandaian yang lebih kecil. Sampai akhirnya yang paling kecil.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan


Alinyemen vertical direncanakan dengan mempertimbangkan antara lain hal-hal
sebagai berikut :

 Kecepatan rencana

Kecepatan rencana yang diambil harus disesuaikan dengan ketetapan yang telah
dipakai pada alinyemen horizontal. Dengan demikian klasifikasi medan yang
telah ditetapkan untuk alinyemen horizontal berikut wilayah-wilayah kecepatan
rencananya harus dijadikan pegangan untuk menghitung tikungan-tikungan
pada alinyemen vertikal. Kalau hal ini tidak dijaga akan diperoleh ketidak
seimbangan, misalnya disatu pihak kita mempunyai kecepatan rencana yang
tinggi untuk alinyemen horizontal, sedangkan alinyemen vertikalnya hanya
mempunyai kecepatan rencana yang lebih rendah atau sebaliknya. Ini berarti
akan merugikan pemakai jalan atau bahkan bias membahayakan pemakai
jalan.

 Topography

Keadaan topography ini earat hubungannya dengan volume pekerjaan tanah. Untuk
terrain yang berat sering kita terpaksa harus menggunakan angka-angka
kelandaian maximum pada alinyemen vertikal agar volumem pekerjaan tanah
dapat dikurangi. Pada perencanaan jalan baru kita harus agak berhati-hati
dalam menetapkan alinyemen vertikal. Sebab sekali kita kurang bijaksana
dalam menetapkan kelandaian jalan, perbaikannya akan menuntut biaya yang
sangat besar. Disamping itu penetapan kelandaian harus sedemikian sehingga
tinggi galian atau dalamnya timbunan masih dalam batas-batas kemampuan
pelaksanaan.

 Fungsi jalan

Dalam merencanakan jalan (terutama didaerah perkotan) sering kita hadapi bahwa
rencana jalan kita akan crossing dengan existing road. Sebelum menetapkan
bentuk tersebut kita harus mengetahui betul, apa sebetulnya fungsi jalan kita
maupun fungsi jalan yang dicross oleh kita jalan tersebut. Sehingga dengan
demikian dapat kita tentukan bentuk-bentuk crossing tersebut. Dari bentuk-
bentuk crossing tersebut baru dapat kita tentukan alinyemen vertikalnya.

 Tebal perkerasan yang diperhitungkan

Untuk design jalan baru, tebal perkerasan tidak mempengaruhi penarikan alinyemen
vertikal. Tapi untuk design yang sifatnya betterment, tebal perkerasan akan
memegang peranan penting. Dalam hal ini penarikan alinyemenvertikal harus

29
sudah sedemikian sehingga kedudukannya terhadap permukaan jalan lama
mendekati atau sesuai dengan yang telah diperhitungkan.

 Tanah dasar

Kadang-kadang kita terpaksa membuat jalan diatas tanah dasar yang sering kena
banjir. Disini kita harus hati-hati artinya jangan sampai alinyemen vertikal kita
tidak cukup tinggi. Kedudukan alinyemen vertikal harus sedemikian sehingga :
Permukaan air banjir tidak mencapai lapis-lapis perkerasan. Cukup tinggi
sampai kita dapat memasang culvert yang betul-betul bisa berfungsi.
Macam-macam contoh bentuk dalam alinyemen vertikal

Label: perencanaan geometrik jalan

Nawar Syarif at 12/20/2011 06:51:00 AM

Artikel

30
BANGKINANGISTI
Monday, 11 January 2010

STANDAR PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA

2.1. Pengertian
Perencanaan geometrik adalah bagian dari perencanaan jalan dimana geometrik
atau dimensi nyata jalan beserta bagian-bagiannya disesuaikan dengan tuntutan
serta sifat-sifat lalu lintas. Melalui perencanaan geometrik ini perencana berusaha
menciptakan sesuatu hubungan yang baik antara waktu dan ruang sehubungan
dengan kendaraan yang bersangkutan, sehingga dapat menghasilkan efisiensi
keamanan serta kenyamanan yang paling optimal dalam pertimbangan ekonomi
yang paling layak.Perencanaan geometrik pada umumnya menyangkut aspek
perencanaan jalan seperti lebar, tikungan, landai, jarak pandang dan juga
kombinasi dari bagian-bagian tersebut.Perencanaan geometrik ini berhubungan
erat dengan arus lalu lintas, sedangkan perencanaan konstruksi jalan lebih
bersangkut paut dengan beban lalu lintas tersebut.
Dilihat dari sudut tahapan pembangunan, perencanaan geometrik merupakan fase
lanjutan dari over all plan yang selanjutnya diikuti oleh fase pembangunan.
Sedangkan tujuan akhirnya adalah menyediakan jalan standar tertinggi dan sesuai
dengan fungsinya.

2.2. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Perencanaan Geometrik Jalan Raya


Di dalam proses perencanaan geometrik, semua langkah yang akan diambil oleh
seorang perencana akan banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor penting yang
harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya.
2.2.1. Lalu Lintas
Masalah yang menyangkut lalu lintas meliputi :
a. Volume/jumlah lalu lintas
Untuk volume lalu lintas ini, harus diketahui sebelumnya jumlah lalu lintas per
hari per tahun serta arah dan tujuan lalu lintas, sehingga diperlukan juga
penyelidikan lapangan terhadap semua jenis kendaraan untuk mendapatkan data
LHR.
Volume lalu lintas menyatakan jumlah lalu lintas perhari dalam satu tahun untuk
kedua jurusan, yang disebut juga lalu lintas harian rata-rata (LHR).
LHR = jumlah lalu lintas dalam satu tahun
365
LHR dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp). Satuan mobil penumpang
adalah jumlah mobil yang digantikan tempatnya oleh kendaran lain dalam kondisi
jalan, lalu lintas dan pengawasan yang berlaku. LHR ini memerlukan
penyelidikan lapangan selama 24 jam selama satu tahun dan dilaksanakan tiap
tahun dengan mencatat tiap jenis kendaraan. Sifat lalu lintas meliputi lambat dan
cepatnya kendaraan bersangkutan, sedangkan komposisi lalu lintas
menggambarkan jenis kendaraan yang melaluinya.
b. Sifat dan komposisi lalu lintas

31
Sifat lalu lintas meliputi cepat dan lambatnya kendaraan yang bersangkutan,
sedangkan komposisi lalu lintas menggambarkan jenis kendaraan yang
melaluinya. Dalam penggunaannya hanya dipakai kendaraan bermotor saja yang
dibagi dalam 2 kelompok
 Kendaraan penumpang (P), termasuk jenis mobil penumpang dan truk
ringan seperti pick up dengan ukuran dan sifat operasinya sesuai/serupa
dengan mobil penumpang.

 Kendaraan truk (T), termasuk truk tunggal, truk gandengan (berat kotor
3,5 ton) dan kendaraan bis.

Demikian pula untuk sifat-sifat kendaraan dari berbagai macam ukuran yang
mempergunakan jalan akan mempengaruhi perencanaan geometrik, sehingga
perlu memeriksa semua type dan kelas jalannya.
Adapun kelas umum dari kendaraan yang biasa dipakai adalah :
 Kelas kendaraan penumpang

 Kelas kendaraan truk.

Adapun sifat-sifat dari kendaraan meliputi :


 Beratnya

 Dimensi (ukuran)

 Sifat operasi (cepat atau lambat)

c. Kecepatan rencana lalu lintas


Kecepatan rencana adalah kecepatan maksimum yang diizinkan di sepanjang
bagian tertentu pada jalan raya tersebut, jika kondisi yang beragam tersebut
menguntungkan dan terjaga oleh keistimewaan perencanaan jalan, dalam arti tidak
menimbulkan bahaya, inilah yang digunakan untuk perencanaan geometrik. Suatu
kecepatan rencana haruslah sesuai dengan tipe jalan dan sifat lapangan. Kecepatan
rencana merupakan faktor utama untuk menentukan elemen-elemen geometrik
jalan raya.
Dipandang dari segi mengemudi, kecepatan rencana dinyatakan sebagai kecepatan
yang memungkinkan seorang pengemudi berketrampilan sedang dapat
mengemudi dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca cerah, lalu lintas
lengang tanpa pengaruh lain yang serius.
Kecepatan yang digunakan oleh pengemudi tergantung dari :
 Pengemudi dan kendaraan yang bersangkutan

 Sifat fisik jalan

 Cuaca

 Adanya gangguan dari kendaraan lain.

32
Kecepatan rencana adalah kecepatan untuk menentukan elemen-elemen geometrik
jalan raya, seperti jari–jari lengkung, super elevasi dan jarak pandang langsung
yang bersangkutan dengannya. Penampang seperti lebar jalan atau jumlah jalur
mempengaruhi kecepatan. Oleh karena itu penampang dan kecepatan rencana
harus direncanakan secara bersama. Dipandang dari segi pengemudi, kecepatan
rencana dinyatakan sebagai kecepatan yang memungkinkan seorang pengemudi
untuk mengemudikan kendaraan dengan aman dan nyaman dalam kondisi
keadaan cerah, lalu lintas lengang dan tanpa pengaruh lain yang serius.

Tabel Kecepatan Rencana


Kelas11&233&44&55
Kecepatan Rencana (km/jam) 80 60 50 40 30 20

Dipandang dari kondisi lingkungan pada umumnya peran jalan raya dan
karakteristik fisik kendaraan yang menggunakan jalan raya, kecepatan rencana
maksimum 80 km/jam adalah layak bagi jalan raya tanpa pengawasan jalan
masuk. Kecepatan rencana minimum 30km/jam merupakan volume lalu lintas
rencana rendah. Kecepatan rencana 80–30 km/jam cocok untuk jalan kelas 1–5,
untuk kondisi kelas 5 cocok untuk lalu lintas yang cukup rendah dan kondisi
medan curam.

2.2.2. Keadaan Topografi


Topografi merupakan faktor-faktor penting dalam menentukan lokasi jalan dan
pada umumnya mempengaruhi alinemen sebagai standar perencanaan geometrik
seperti landai jalan, jarak pandang, penampang melintang dan lain-lain. Untuk
memperkecil biaya pembangunan jalan maka standart perencanaan geometrik
perlu sekali disesuaikan dengan topografi dan keadaan fisik serta penggunaan
daerah yang dilaluinya. Misalnya keadaan tanah dasar yang kurang baik dapat
memaksa perencana untuk memindahkan trase atau mengadakan timbunan yang
tinggi (elevated high way) dan hal ini juga dapat terjadi bila terdapat tanah dasar
dengan permukaan air tanah yang tinggi. Berdasarkan hal ini jenis medan dibagi
menjadi 3 golongan umum berdasarkan besarnya kelerengan melintang dalam
arah kurang lebih tegak lurus sumbu jalan.
Klasifikasi medan dan besarnya kelerengan melintang

Golongan medan
 Datar (D)

 Bukit (B)

 Gunung (G) Lereng melintang

0 sampai 9,9 %
10 sampai 24,9 %
25 % keatas

33
Adapun pengaruh medan meliputi hal-hal seperti :
 Tikungan, jari-jari tikungan dan pelebaran perkerasan diambil sedemikian
rupa sehingga terjamin keamanan jalannya kendaraan dan pandangan
bebas yang cukup luas.

 Tanjakan, adanya tanjakan yang cukup curam dapat mempengaruhi


kecepatan kendaraan dan tenaga tariknya tidak cukup, maka berat muatan
kendaraan harus dikurangi yang berarti mengurangi kapasitas angkut dan
sangat merugikan. Karena itu diusahakan supaya tanjakan dibuat landai.

 Bentuk penampang melintang jalan.

 Trase.

2.2.3. Kapasitas Jalan


Kapasitas jalan berarti kecepatan arus kendaraan maksimum layak diperkirakan
akan melintasi suatu titik atau ruas jalan atau daerah manfaat jalan atau selama
jangka waktu tertentu pada kondisi jalur lalu lintas, pengawasan dan lingkungan
ideal, dinyatakan dalam banyaknya kendaraan per jam. Kapasitas jalan terbagi
atas tiga golongan :
 Kapasitas dasar (ideal capacity), yaitu kapasitas jalan dalam kondisi ideal,
yang meliputi :

- Lalu lintas mempunyai ukuran standart


- Lebar perkerasan ideal : 3,6 m
- Lebar bahu : 1.3 m dan tak ada penghalang
- Jumlah tikungan dan tanjakan sedikit.
 Kapasitas rencana (design capacity), yaitu kapasitas jalan untuk
perencanaan yang dinyatakan sebagai jumlah kendaraan yang melalui
suatu tempat dalam satu satuan waktu (jam).

 Kapasitas mungkin (possible capacity), yaitu jumlah kendaraan yang


melalui titik pada suatu tempat dalam satuan waktu dengan
memperhatikan percepatan atau perlambatan yang terjadi pada jalan
tersebut.

2.2.4. Faktor Keamanan


Karena pada jalan raya kita berhadapan dengan manusia dan kendaraan, tentu saja
perencanaan geometrik jalan raya ditunjukkan terhadap efisiensi, keamanan dan
kenyamanan. Faktor kecepatan kendaraan merupakan faktor keamanan sehingga
dalam perencanaan harus diberikan suatu penampang batas kecepatan untuk
mendapatkan keamanan yang tinggi.

2.2.5. Analisa Untung Rugi

34
Analisa ini diperlukan untuk membuat trase jalan (garis tujuan) yang didasarkan
atas :
 Biaya pembangunan

 Biaya pemeliharaan

 Biaya operasi jalan yang menyangkut bahan bakar, bahan pelumas ataupun
pemeliharaan kendaraan yang bersangkutan.

Dengan adanya analisa inilah suatu trase dibuat sependek mungkin dan
diusahakan lurus. Bila segi pembiayaan terbatas maka jalan diusahakan mengikuti
permukaan tanah asli sehingga tidak banyak galian dan timbunan. Bila dilihat dari
segi kemampuan kendaraan, maka :
 Perlu pembatas dari segi kemampuan kendaraan yang lewat

 Pembangunan disesuaikan dengan klasifikasi lalu lintas (volume dan


kapasitas).

2.3. Jarak Pandang


Jarak pandang adalah panjang bagian suatu jalan di depan pengemudi yang masih
dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik kedudukan pengemudi. Kemungkinan
untuk melihat ke depan adalah faktor penting dalam suatu operasi di jalan agar
tercapai keadaan yang aman dan efisien. Untuk itu harus diadakan jarak
pandangan yang cukup panjang, sehingga pengemudi dapat memilih kecepatan
kendaraan terbaik dan tidak menghantam benda yang tak terduga di atas jalan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jarak pandangan adalah:
 Waktu PIEV (Percepatan, Intellection, Emotion, Volition), adalah waktu
sadar dan reaksi dari masing-masing pengemudi.

 Waktu yang diperlukan untuk menghindari bahaya dalam keadaan tertentu


yang beresiko terhadap keselamatan.

 Kecepatan kendaraan.

2.3.1. Jarak Pandang Henti


Jarak pandang henti adalah jumlah dua jarak, dimana jarak yang dilintasi
kendaraan sejak saat pengemudi melihat suatu objek yang menyebabkan ia harus
berhenti sampai saat rem diinjak dan jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraan sejak penggunaan rem dimulai.
Jarak pandang henti merupakan gabungan dari:
 Jarak PIEV, adalah jarak yang ditempuh kendaraan dari saat pengemudi
melihat suatu penghalang sampai saat pengemudi mulai menginjak rem.

 Jarak mengerem, adalah jarak yang diperlukan untuk menghentikan


kendaraan dengan menggunakan atau memakai rem.

35
Besarnya jarak PIEV dapat ditentukan dengan rumus:
dp = 0,278 V t
dengan: dp = jarak PIEV (meter)
V = kecepatan rencana (km/jam)
t = waktu PIEV (detik)
Dalam penentuan jarak mengerem, gesekan antara rem dan tromolnya atau gaya
mekanisme rem dianggap cukup besar. Untuk daerah datar, jarak mengerem dapat
ditentukan dengan rumus :
dr = V2 / 254 fn
dengan : dr = jarak mengerem (meter)
V = kecepatan awal (km/jam)
fn = koefisien gesekan normal antara ban dengan permukaan gesekan
Untuk daerah-daerah dengan kelandaian tertentu digunakan rumus :
dr = V2 / 254 (fn  l )
dimana : l = besarnya landai jalan, tanda (-) untuk penurunan, sedangkan tanda (+)
untuk pendakian
Jadi rumus untuk jarak pandang henti adalah :

D = dp + dr

Gabungan dari rumus di atas adalah :

D = ( V/3,6)t + (V/3,6)2 / 2gf

Dimana : D = jarak pandang henti minimum (m)


V = kecepatan rencana
t = waktu tanggap (detik) = 2,5 detik
g = percepatan grafitasi = 9,81 m / detik2
f = koefisien gesekan membujur = 0,3 – 0,4
Jarak pandang henti juga merupakan hal yang menonjol untuk keamanan dan
kenyamanan pengemudi. Meskipun sebaiknya panjangnya diambil lebih besar,
jarak pandang di setiap titik sepanjang jalan raya sekurang–kurangnya harus
memenuhi jarak yang diperlukan oleh rata–rata pengemudi atau kendaraan untuk
berhenti.
Jarak pandangan henti minimum untuk kecepatan tertentu dapat dilihat pada tabel
berikut :

Kecepatan rencana (km/jam) 80 60 50 40 30 20


jarak pandangan henti minimum (m) 120 75 55 40 25 15

2.3.2. Jarak Pandang Menyiap


Jarak pandang menyiap adalah panjang bagian suatu jalan yang diperlukan oleh
pengemudi suatu kendaraan untuk melakukan gerakan menyiap kendaraan lain
yang lebih lambat dan aman. Faktor – faktor yang mempengaruhi :
 Kecepatan kendaraan yang bersangkutan

36
 Kebebasan

 Reaksi

 Kecepatan pengemudi

 Besar kecepatan maksimum kendaraan

Besar atau panjangnya jarak pandang menyiap dapat dihitung berdasarkan rumus
berikut :
D = d1 + d2 + d3 + d4

Dimana :
D = jarak pandang menyiap (m)
d1 = jarak pandang PIEV (Percepatan, Intellection, Emotion, Volition )
= 0,278 t1 (V - m + (at1/2))
d2 = jarak yang ditempuh dalam penyiapan
= 0,276 V t2
d3 = jarak bebas
= (30 – 100)m
d4 = jarak yang ditempuh dari arah lawan
= 2/3 d2
Catatan :
V = kecepatan rata–rata kendaraan menyiap
t1 = waktu PIEV
m = perbedaan kecepatan kendaraan yang disiap dan menyiap = 15 km/ jam
t2 = waktu kendaraan menyiap berjalan dijalan kanan
Jarak pandangan menyiap secara umum dibagi 2 :
* jarak menyiap total : D = d1 + d2 + d3 + d4
* jarak menyiap minimum : Dm = d2 + d3 + d4
Pembagian jarak pandang menyiap di atas secara tabelaris dilihat sebagai berikut :
kecepatan rencana (km/jam) 80 60 50 40 30 20
jarak pandangan menyiap total 550 350 250 150 150 100
Jarak pandangan minimum yang diperlukan 350 250 200 150 100 70

Pengaruh landai jalan :


Pada pendakian jalan diperlukan jarak yang lebih besar, karena berkurangnya
percepatan dan kendaraan menyiap dan sering kendaraan yang mendatang lebih
mempercepat kendaraannya. Pada penurunan jalan terjadi sebaliknya.
Afriandy di 22:18

37
Artikel

Geometrik Jalan Raya


Posted by Mujahidin on Januari 23, 2014
Posted in: Ilmu Teknik Sipil. Tinggalkan komentar

38
BAB I

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA

I. STANDAR PERENCANAAN

Dalam merencanakan jalan raya bentuk geometriknya harus ditentukan


sedemikian rupa sehingga jalan raya yang bersangkutan dapat memberikan
pelayanan optimal kepada kegiatan lalu lintas sesuai dengan fungsinya. Direktorat
Jenderal Bina Marga Departemen PU telah menetapkan peraturan “ Perencanaan
Geometrik Jalan Raya “ No. 13 / 1970, sehingga semua perencanaan jaln di
Indonesia harus berdasarkan pada peraturan tersebut.

Faktor – faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik jalan raya :

1. Lalu lintas

Masalah – masalah yang menyangkut lalu lintas meliputi :

– Volume / jumlah lalu lintas

– Sifat dan komposisi lalu lintas

– Kecepatan rencana lalu lintas

1. Topografi

Topografi merupakan faktor penting dalam menentukan lokasi jalan raya dan pada
umumnya mempengaruhi alignement sebagai standart perencanaan geometrik,
seperti jalan landai, jarak pendangan, penampang melintang dll.

Untuk melihat klasifikasi medan dan besarnya kelerengan melintang, maka dapat
dilihat pada tabel berikut ini :

Golongan medan Lereng melintang


– Datar ( D ) 0 sampai 9,9 %
– Perbukitan ( B ) 10 sampai 24,9 %
– Pegunungan ( G ) >25 %

II. ALINYEMEN HORISONTAL

Adalah garis proyeksi sumbu jalan yang tegak lurus bidang gambar, dikenal juga
dengan sebutan “ Trase Jalan “.

39
Alinemen horisontal Terdiri dari :

Þ Garis Lurus ( Tangent ), merupakan bagian jalan lurus

Þ Garis lurus Horisontal yang disebut tikungan

Bentuk – bentuk tikungan :

– Full Circle

– Spiral – Circle – Spiral

– Spiral – Spiral

Syarat – syarat pemakaian :

Full Circle

Untuk menggunakan bentuk ini adalah tergantung dari kecepatan rencana, jika
sudah memenuhi yaitu dengan melihat tabel sebagai berikut :

Kecepatan Rencana
120 100 80 60 40 30
( Km / Jam )
Jari-jari lengkung
2000 1500 1100 700 300 180
Minimum ( m )

Gambar lengkung Circle

– Tc = R tan ½ b

– Ec = Tc tan ¼ b

– Lc = ( b / 360 ) 2R = 0.017453 R

Walaupun bentuk ini tidak mempunyai lengkung peralihan ( Ls ) akan tetapi


diperlukan adanya lengkung peralihan fiktif ( Ls’ )

Ls’ = B ( em + E ) ————-

40
Dimana : B = Lebar perkerasan ( m )

cm = Kemiringan melintang maksimum relatif ( super elevasi max pada


tikungan tersebut )

E = Kemiringan perkerasan pada jalan lurus

Spiral – Circle – Spiral

Syarat pemakaian : – Bila bentuk Circle tidak dapat dipakai

– Dc < 0 Dc = D – 2q s

– Lc > 20 meter

Yang dihitung jika memenuhi Syarat diatas :

qs = 90 Ls / p R

p = Ls² / 6R – R ( 1-cos qs )

k = Ls – Ls³ / 40R² – R sin qs

Dc = D – 2qs

Lc = 0.017453 Dc . R

Tt = ( R + p ) tan 0.5 qs + k

Et = {( R + p ) sec 0.5 qs } – R

Ls min = 0.022 V³ – 2.727 V. k

R.c c

Dimana : Ls = Panjang lengkung spiral ( m )

V = Kecepatan rencana ( Km / jam )

R = Jari – jari circle ( m )

C = Perubahan kecepatan ( m/det )

Harga c dianjurkan = 0.4 m/det

K = Super elevasi

41
Spiral – spiral

Syarat pemakaian : – Bila bentuk S – P – S tidak bisa dipakai

– s = 0.5

yang dihitung jika memenuhi syarat diatas adalah :

Ls = ( qs . R ) / 28.648

Tt = {( R + p ) tan 0.5 qs } + k

Et = {( R + p ) sec 0.5 qs } – R

P = p* . Ls

K = k* . Ls

Gambar Lengkung Spiral-spiral

III. ALINYEMEN VERTIKAL

Alinyemen vertikal adalah bidang tegak yang melalui sumbu jalan atau proyeksi
tegak lurus bidang gambar. Profil ini menggambarkan tinggi rendahnya jalan
terhadap muka tanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap kemampuan
kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan penuh ( Truck digunakan sebagai
kendaraan standart ).

Alinemen vertikal sangat erat hubungannya dengan besarnya biaya pembangunan,


biaya penggunaan kendaraan serta jumlah lalu – lintas. Kalau pada alinemen
horisontal yang menggunakan bagian kritis adalah lengkung horisontal ( Bagian
tikungan ), maka pada alinemen vertikal yang merupakan bagian kritis justru pada
bagian yang lurus. Kemampuan pendakian dari kendaraan Truck sangat
dipengaruhi oleh panjang pendakian ( Panjang kritis landai ) dan besarnya landai.

1. a. Landai Maksimum dan panjang Maksimum

Landai
3 4 5 6 7 8 10 12
Max %
Panjang
480 330 250 200 170 150 135 120
Kritis

(m)

42
Landai maksimum hanya digunakan bila pertimbangan biaya sangat memaksa dan
hanya untuk jarak yang pendek. Panjang kritis landai dimaksudkan adalah
panjang yang masih diterima tanpa mengakibatkan gangguan arus lalu lintas
( Panjang ini menyebabkan pengurangan kecepatan maksimum sebesar 25 Km /
Jam ). Bila pertimbangan biaya memaksa, maka panjang kritis dapat dilampaui
dengan syarat ada jalur khusus untuk kendaraan berat.

1. b. Lengkung Vertikal

Pada setiap penggantian landai harus dibuat lengkung vertikal yang memenuhi
keamanan, kenyamanan dan Drainase yang baik.

Rumus yang digunakan :

y’ = Ev = ( A x L )

800

A = g2 – g1

Dimana :

Ev = Penyimpangan dari titik potong kedua tangent ke lengkung vertikal


( Disini y’ = Ev untuk x = L ),jika Ev diperoleh > 0 berarti lengkung vertikal
cembung dan sebaliknya.

A = Perbedaan aljabar kedua tangen= g2 – g1

L =Panjang lengkung vertikal cembung, adapun panjang minimumnya


ditentukan berdasarkan :

– Syarat pandangan henti dan Drainase

– Syarat pandangan menyiap

Lengkung vertikal terbagi atas :

1. Lengkung Vertikal Cekung, adakah lengkung dimana titik perpotongan


antara kedua tangen berada di bawah permukaan jalan.
2. Lengkung Vertikal Cembung,adalah lengkung dimana titik perpotongan
antara kedua tangen berada diatas permukaan jalan bersangkutan

Panjang vertikal cembung hanya ditentukan berdasarkan jarak pandangan waktu


malam dan syarat drainase. Persamaan umum dari lengkung vertikal adalah :

Y’ = + ( g2 – g1 ) x ²

43
200L

IV. JARAK PANDANGAN

Kemungkinan untuk melihat ke depan adalah faktor penting dalam sebuah


operasi jalan raya agar tercapai keadaan yang aman dan efisien.

Jarak pendangan adalah : jarak dimana pengemudi dapat melihat bebas ke depan.
Jarak ini dibagi atas dua, yaitu :

1. a. Jarak Pandang Henti

—- adalah : Jarak minimum yang dibutuhkan kendaraan untuk berhenti dari


kecepatan desain, diukur pada saat obyek pertama klinya terlihat pada jalur gerak
kendaraan.

Rumus yang digunakan :

Dph = 0,278 Vt + [ V² / 254 ( f + L ) ]

Dimana : – Dph = Jarak pandangan henti ( m 0

–V = Kecepatan rencana ( Km / jam )

–t = t1 + t2 > 25 detik

dimana : t1 = Waktu sadar ( Perception Time ) yakni waktu pertama melihat benda
yang ada pada jalurnya sampai keputusan harus mengerem ( Harga diambil t1 =
1,5 detik ).

t2 = waktu eaksi mengerem ( Brake reaction time ), diambil berdasarkan test t2 =


1 detik

f = Koefisien gesek antara ban dan jalan

L = Landai jalan dalam persen dibagi 100

1. b. Jarak Pandang Menyiap

—– Adalah : Jarak yang dibutuhkan untuk menyusul atau menyiap kendaraan


lain, yang dipergunakan hanya untuk jalan dua lajur.

Rumus yang digunakan : Dpm = D1 + D2 + D3 + D4

Dimana : Dpm = Jarak pandang menyiap

44
D1 = Jarak yang ditempuh selama pengamatan

= 0,278 t1 ( V – m + 0,5 at1 )

D2 = Jarak antara kendaraan yang menyiap setelah gerakan menyiap dengan


kendaraan lawan

= 30 – 100 meter

D4 = Jarak yang ditempuh arah lawan = 2/3 D2

tl = Waktu selama membuntuti kendaraan yang akan disusul sampai akan


menyiap

t2 = Waktu selama kendaraan yang menyiap berada pada jalur kendaran arah
berlawanan

V = Kecepatan rata – rata kendaraan penyusul

m = Perbedaan kecepatan ( Km / Jam )

a = Percepatan rata – rata

V. PELEBARAN PADA TIKUNGAN

Pelebaran pada tikungan diperlukan oleh karena bagian belakang kendaraan


terutama yang bergandengan tidak mengikuti jalur gerak bagian depannya.

Pelebaran perkerasan pada tikungan sangat bergantung pada :

R = Jari – jari tikungan

= Sudut tikungan

V = Kecepatan rencana

Rumus – rumus yang digunakan dalam menghitung pelebaran ini adalah :

B = n ( b’ + c ) + ( n – 1 ) . Td + Z

Dimana : n = jumlah jalur lalu lintas

b’ = Lebar lintasan truck pada tikungan ( m )

= R – ( R² – p ) ^ ½ + 2.4

45
c = Kebebasab samping ( 0.4 – 0.8 m )

Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan ( m )

= { R² – A ( 2P + A )}^ ½ – R

Z = Lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi ( m )

= 0.105 V/R

p = 6.1 m

A = 1.2 m

VI. KEMIRINGAN MELINTANG JALAN

Pada daerah tikungan, kemiringan melintang dari permukaan jalan mengalami


perubahan, yaitu dari kemiringan penuh yang berubah berangsur –angsur.
Perubahan profil melintang dapat dilakukan dalam tiga tempat, yaitu :

1. Sumbu jalan sebagai sumbu putar


2. Tepi perkerasan sebelah dalam sebagai sumbu putar
3. Tepi perkerasan sebelah luar sebagai sumbu putar

BAB II

TEBAL PERKERASAN

Perkerasan jalan adalah lapis – lapis material yang dipilih dan dikerjakan menurut
peraturan tertentu sesuai dengan macam dan fungsinya untuk menyebarkan beban
rodakendaran sedemikian rupa sehingga dapat ditahan oleh tanah dasar sesuai
daya dukungnya.

Umumnya bagiab – bagian perkerasan jalan terdiri dari :

1. Tanah dasar ( Sub Grade )


2. Lapis Pondasi Bawah ( Sub Base Course )
3. Lapis Pondasi Atas ( Base Course )
4. Lapis Permukaan

A = Lapis Permukaan ( Saurface )

B1 = Lapisan Pondasi Atas ( Base )

46
B2 = Lapisan Pondasi bawah (Sub–Base)

C = Tanah Dasar

Gambar Lapis Perkerasan

1. 1. TANAH DASAR

Tanah dasar adalah permukaan tanah asli, permukaan tanah galian atau permukaan
tanah timbunan yang merupakan permukan dasar untuk perlerakn bagian – bagian
perkerasan lainnya. Kekuatan dan keawetan dari konstruksi perkerasan jalan ini
tergantung dari sifat – sifatnya dan daya dukung dari tanah dasar.

1. 2. LAPIS PONDASI BAWAH

Adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapisan pondasi dan tanah dasr.
Umumnya tanah setempat yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan
sebagai bahan dasar pondasi bawah. Campuran –campuran tanah setempat dengan
dengan kapur atau kerikil.

1. 3. LAPIS PONDASI

Adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis permukaan dan lapis pondasi
bawah. Bahan – bahan untuk lapis pondasi umumnya dibutuhkan keawetan dan
kekuatan tertentu agar mampu mendukung beban dari roda kendaraan. Bermacam
– macam bahan alam atau bahan setempat dapat digunakan sebagai bhn lapis
pondasi, antara lain: batu pecah, kerikil, pasir ataupn campuran – campuran
daripadanya dengan ataupun bahan stabilisasi ( aspal, kapur, PC ) yang masing –
masing akan bervariasi pula dari segi derajat kekuatannya.

1. 4. LAPIS PERMUKAAN

Adalah bagian perkersan yang paling atas. Bahan – bahan untuk lapis permukaan
umumnya sama dengan bahan – bahan untuk lapis pondasi, hanya pada lapis
permukaan membutuhkan persyaratan mutu yang lebih tinggi serta panambahan
aspal agar lapisan tersebut dapat bersifat kedap air dan memberikan tegangan tarik
yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu lintas.

DEFINISI ISTILAH DALAM PENENTUAN TEBAL PERKERASAN

1. 1. Jalur Rencana

——–Salah satu jalur lalu lintas dari suatu sistim jalan raya yang menampung lalu
lintas terbesar. Umumnya jalur ini adalah salah satu dari jalan raya dua jalur atau
jalur tepi luar dari jalan raya berjalur banyak.

47
1. 2. Umur rencana

———Jumlah waktu dalam tahun dihitung dari mulai dibukanya jalan raya
tersebut sampai saat diperlukan perbaikan yang bersifat struktural atau dianggap
perlu untuk memberikan lapisan permukaan yang baru agar jalan tersebut tetap
berfungsi dengan baik sebagaimana direncanakan.

1. 3. Indeks Permukaan ( IP )

———- Suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan kerataan atau


kehalusan serta kekokohan permukaan jalan raya yang berhubungan dengan
tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat.

1. 4. Lalu lintas Harian Rata – Rata ( LHR )

———Jumlah rata – rata dari lalu lintas berjenis – jenis kendaran bermotor dari
yang beroda empat sampai pada jenis kendaraan berat yang dicatat selama 24 jam
sehari untuk kedua jurusan.

1. 5. Angka Ekivalen ( E )

———-Angka yang menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang


ditimbulkan oleh suatu lintasan beban sumbu tunggal kendran tertentu terhadap
tingkat beban standart sumbu tunggal kendaraan sebesar 8,2 ton

1. 6. Lintas Ekivalen Permukaan ( LEP )

———–jumlah lintas ekivalen rat – rata dari as tunggal sebarat 8,2 ton pada jalur
rencana yang diduga terjadi pada permulaan umur rencana.

1. 7. Lintas Ekivalen Akhir ( LEA )

———–jumlah lintas ekivalen harian rata – rata dari as tunggal seberat 8,2 ton
pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir umur rencana.

1. 8. Lintas Ekivalen Rata – Rata ( LER )

————Suatu besaran yang dipakai pada nomogram penetapan tebal perkerasan


untuk menyatakan jumlah lintas ekivalen as tunggal seberat 8,2 ton pada jalur
rencana.

1. 9. Faktor Regional ( FR )

48
————-Faktor setempat sehubungan dengan iklim, curah hujan dan kondisi
lapangan secara umum yang akan terpengaruh terhadap daya dukung tanah dasar.

10. Daya Dukung tanah Dasar ( DDT )

————-Suatu skala yang dipakai dalam nomogram penetapan tebal perkerasan


untuk menyatakan kekuatan tanah dasar. Skala tersebut dikorelasikan dengan
bermacam – macam cara test yang umum untuk menentukan kekuatn tanah dasar.

11. Indeks Tebal Perkerasan ( ITP )

————–Suatu angka yang berhubungan dengan penentuan tebal perkerasan

12. Besaran Rencana

———–Angka – angka yang perlu dicari, dihitung, ditetapkan atau diperkirakan


dengan menggunakan nomogram penetapn tebal perkerasan.

13. As Tunggal

————-Suatu as dengan dua roda atau empt roda

14. As Tandem

———–As yang berdekatan, yang berjarak paling dekat 100 cm, paling jauh 240
cm dan dilengkapi sedemikian rupa sehingga keduanya bekerja sama dan
merupakan satu kesatuan.

15. Pembatasan Beban As

———–Berat beban as tunggal maksimum yang diizinkan untuk kendaran –


kendaran yang mempergunakan jalan.

16. Pembatasan Beban Total

————Berat total kendaran dan muatan maksimum yang diizinkan.

BAB III

URAIAN TEKNIS PELAKSANAAN

Langkah awal untuk memulai pkerjaan jalan adalah melakukan survey kembali.
Hal ini untuk menentukan titik dasar atau menentukan ketinggian dari pekerjaan
selanjutnya. Kemudian dibuat BM ( Brench Mark ) dan CL ( Centre Line ).

49
Apabila telah selesai atau telah diketahui hal – hal yang perlu, maka pekerjaan
baru dapat dilanjutkan.

A. PEKERJAAN TANAH ( EARTH WORK )

Ada dua macam pekerjaan tanah, yaitu :

1. Galian – Cut
2. Timbunan – Fill

1. 1. GALIAN – CUT

Tanah galian yang akan digunakan untuk timbunan pertama harus dibersihkan dari
tumbuh – tumbuhan dan lapisan humus. Dapat atau tidaknya material ini dipakai
untuk timbunan dilakukan dengan pengetesan di laboratorium. Teknis
penggaliannya adalah sebagai berikut : Setiap akn berhenti pakerjaan, diusahakan
agar apabila turun hujan , air tidak akan tergenang. Setelah sampai pada
permukaan yang dikehendaki ( Sub Grade ) dilakukan pengecekan elevasi dan
dipadatkan, kemudian di test oleh Soil Material Enginer ( Sub Grade
Preparation ) dan kemudin dapat di teruskan ke lapisan Sub Grade.

1. 2. TIMBUNAN – FILL EMBARKMENT

Materialnya dapat dipakai dari hasil galian ( Cut ) yang termasuk dalam rencana
(Common Excavation ), atau material / bahan galian yang didatangkan dari luar
daerah pekerjaan ( Borrow Excavation ). Dapat tidaknya material ini dipakai
untuk badab jalan / Embarkment harus di test di laboratorium atau mendapat
persetujuan dari Soil Material Engineer. Sebelum dilakukan penimbunan harus
dibuat profil ( Patok – patok, ketinggian, kemiringan 0 dari daerah yang akan
dikerjakan.

Cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

Setelah diketahui dengan pasti daerah yang akan dikerjakan serta siap segala
peralatannya, maka dapat dilakukan pekrjaan :

 Cleraing And Grubbing

Yaitu pekerjaan pemotongan pohon – pohon besar dan kecil.

 Top Soil and Stripping

Yaitu pembuangan humus dan lapisan atas akar kayu, biasanya setebal 10 – 30 cm

50
 Compaction Of Fondation Of Embarkment

Pemadatan tanah dasar sebelum dilakukan penimbunan. Lapisan ini perlu di


test

( Density test of proof rooling test ), kemudian dilakukan penimbunan.


Penimbunan dilkukan lapisan demi lapisan ( Layer by Layer ) setebal + 20 cm dan
dipadatkan. Alat yang digunakan untuk memadtkan dapat digunakan Motor
Grader dan Buldozer. Untuk pemadatan digunakan Road Roller, Tandem Roller,
Mac Adam Roller, Tire Roller Sheep, Foot Roller atu Fibrating Roller. Memilih
atau menentukan pemakaian alat dengan melihat medan atau lapangan kerja , jenis
dan keadaan material. Setelah ketinggian yang diperlukan cukup, maka pekerjaan
selanjutnya dapat diteruskan. Untuk penentuan ketinggian ini dilakukan oleh
Surveyor sedangkan pengetesan di laboratorium ( Soil Material Engineer ),
setelah itu diteruskan pekerjan selanjutnya.

B. SUB BASE

Sesudah lapisan Sub Grade betul – betul telah memenuhi syarat elevasi dan
kepadatan, kita memulai pekerjaan Sub Base Course.

Pertama–tama ditentukan patok – patok untuk mencapai ketebalan yang


dikehendaki. Diperlukan minimal 5 titik menurut potongan melintang dan dengan
jarak maksimum 25 meter menurut potongan memanjang. Setelah selesai
pemasangan patok – patok untuk menentukan ketinggian / tebalnya, maka
material Sub Base dapat didatangkan ke lapangan. Pemasangan patok harus cukup
kuat dan dilindungi oleh material Sub Base tersebut. Sebagai toleransi ketinggian
untuk mencapai ketinggian yang diinginkan, maka setelah di padatkan di lebihkan
+ 15 % dari yang kita perlukan.

1. 1. pencampuran dan Penghamparan


1. Dengan cara peralatan tidak berjalan ( Stasioner ) : air dan agregat
harus dicampurkan dengan alat pencampuran yang sudah disetujui
oleh direksi. Selama pencampuran jumlah air harus diatur agar
diperoleh kadar air yang sesuai yang diperlukan untuk pemadatan.
Setelah selesi pencampuran, jumlah air harus diatur agar diperoleh
kadar air dalam batas yang disyaratkan dan harus di hampar
dengan alat yang disetujui.

b. Dengan cara peralatan berjalan ( mobil ) : setelah bahan untuk tiap lapis
dihampar dengan mesin penebar agregat atau mesin lain yang telah disetujui oleh
direksi, pencampuran dilakukan dengan mesin pencampur berjalan sehingga
campuran merata. Selam pencampuran jumlah air harus sesuai dengan yang
disyaratkan.

51
1. c. Dengan cara pencampuran di tempat : setelah bahan untuk setiap lapis
di hampar, sambil menakar kadar airnya, bahan dicampur dengan Motor
Grader atau mesin alih yang disetujui direksi.

Bahan lapis pondasi bawah harus dihamparkan dan dipadatkan lapis demi lapis
sdemikian rupa sehingga dapat dicapai kepadatan maksimum yang disyaratkan.
Tebal lapisan tidak boleh lebih dari 25 cm. Apabila diperlukan pemadatan –
pemadatn lebih dari satu lapis, penghamparan lapis selanjutnya dilakukan setelah
lapis sebelumnya selesai dipadatkan. Penghamparan bahan harus menggunakan
alat yang memberikan hasil yang seragam. Penempatan bahan yang akan
dihampar harus dengan jumlah dan jarak yang tepat agar pemadatan dapat
dilakukan sesuai dengan gambar rencana. Apabila dilakukan pembongkaran
lapisan pada suatu tempat yang selesai dipadatkan, maka pembongkaran tersebut
harus dilakukan pada seluruh lebar dan tebal lapisan agar tidak menimbulkan
kepadatan yang tidak seragam.

1. 2. Pemadatan :

Prinsip pemadatan harus dimulai dari pinggir yang terendah ke tengah / tinggi.
Setelah diratakan permukaannya dengan Road Roller ( Mac Adam Roller atau
Tandem Roller ). Sesudah cukup padat dilihat dengan pandangan mata, sebelum
meneruskan pekerjaan selanjutnya, elevasi oleh surveyor dan kepadatannya di test
( density test oleh Soil Material Engineer / Laboratorium ).

Apabila telah memenuhi syarat untuk kedua hal ini ( Elevasi dan kepadatan )
secara tertulis, baru dapat dilaksanakan pekerjaan selanjutnya yaitu Base Course.

C. BASE COURSE

Seperti pada pekerjan Sub Base Course, pekerjaan Base Course pada prinsipnya
sama saja, yaitu :

– Permukaan Sub Base Course harus telah rata dan padat.

-Dipasang patok – patok untuk pedoman ketinggiannya ( Dalam arah melintang

5 patok dan dalam arah memanjang dengan jarak maksimum setiap 25 meter).

– Toleransi ketinggian diambil + 1 cm, dilebihkan dari tinggi yang diperlukan.

– Semua material tersedia di lapangan kerja dengan volume yang diperlukan.

D. PRIMING

52
Apabila pekerjaan priming ini akan dilaksanakan, base course nya harus
memenuhi syarat yang dikehendaki, baik ketinggian maupun kepadatannya. Perlu
dijaga hal sebagai berikut : permukaan harus bersih dari kotoran sert kering. Alat
untuk membersihkan adalah kompresor, sapu lidi dan karung goni, power blow.
Pemakiannya dilihat dari kotoran yang melekat pada Base Course tersebut.
Setelah ini selesai baru dipersiapkan alat – alat untuk priming berupa distribusi
aspal. Langkah selanjutnya adalah penyemprotan ( Priming ) dengan aspal ( MC
70 ).

E. PELAPISAN DENGAN ASPAL CONCRETE ( ASPAL BETON )

Pelapisan terakhir berupa aspal beton ( Asphalt Concrete ) baru dapat


dilaksanakan apabila prime coat ( priming ) telah memenuhi syarat berikut :

Sudah kering dan permukaan prime coat itu bersih dari kotoran tau debu. Sesudah
kita mengetahui berapa lebar jalan yang akan dikerjakan, kemudian kita
membentuk form ( bentuk / mal ). Alat – alat harus lengkap, seperti : finisher, mac
adam Roller, Tandem Roller, Mobil Tangki Air, AMP ( Asphalt Concrete Plant ),
dump Truck harus dalam kondisi baik. Sebelum penghamparan finisher diatur
sedemikian rupa sehingga didapat tabel Asphalt Concrete yang diperlukan.
Asphalt Concrete ( A/C ) dapat dihampar setelah sampai di lapangan dalam
keadan utuh / tidak basah dan panasnya memenuhi syarat.

Pelaksanaan Pekerjaan Lapisan Aspal Beton

Campuran hanya boleh dihampar apabila permukan jalan benar – benar kering,
cuaca tidak berkabut atau hujan serta apabila permukaan jalan dalam kondisi yang
memenuhi syarat. Pekerjaan tidak boleh diteruskan apabila peralatan
pengangkutan, mesin penghmpr atau mesin gilas tidak menjamin unit
pencampuran dapat bekerja dengan kecepatan minimum 60 % dari kapasitasnya.

Pemadatan

Sewaktu penghamparan mungkin saja terjadi pada tempat – tempat tertentu


kurang rat, maka perlu ditambah penghamparan, cukup dengan tenaga mnusia.
Setelah tidak ada lagi bagian yang kurang sempurna maka pemadatan dapat
dilaksanakan.

Pemadatan Pertama : Apabila A / C itu temperaturnya 95 °C – 120 °C dan latnya


adalah Mac Adam Roller.

Pemadatan Kedua : Disebut Intermediate Rolling, apabila A/C itu temperaturnya


70 °C – 90 °C, alatnya Tire Roller.

53
Pemadatan Ketiga : Disebut Finishing Rolling, apabila A/C itu temperaturnya 50
°C – 70 °C dan alatnya adalah Tandem Roller. Sewaktu pemadatan roda Roller
harus disiram air secukupnya.

Cara Pemadatan

1. Apabila pertama ½ dari lebar jalan belum ada A/C, pemadatannya


dilakukan secara berturut – turut sebagai berikut :

– Pada sambungan melintang / transverse joints.

– Dari pinggir tepi sebelah luar / out side edge.

– Dari bagian terendah ke bgian tinggi pemadatan yang pertama.

– Pemadatan yang kedua sama urutannya dengan pemadatan yang pertama.

– Pemadatan ketiga atau terakhir, urutannya sama dengan pemadatan yang


pertama dan kedua.

1. Apabila dibagian lain ( ½ jalan ) sudah ada A/C, pemadatan dilaksanakan


sebagai berikut :

– pada sambungan melintang / transverse jalan.

– Pada sambungan memanjang / longitudinal joints.

– Dari pinggir tepi sebelah luar / out side edge.

– Dari bagian terendah ke bagian tertinggi pada pemadatn pertama.

– Pemadatan yang kedua sama urutnnya dengan yang pertama.

– Pemadatan terakhir sama urutannya dengan pemadatan yang pertama dan


kedua.

PERALATAN – PERALATAN UTAMA YANG DIGUNAKAN

1. Peralatan Pencampur

Unit pencampur aspal

Alat yang digunakan untuk mengolah campuran dengan pemanasan terpisah yang
terdiri dari :

54
– Tipe Batch Plant

– Tipe Continous Plant

Dari kedua tipe ini, perbedaannya terletak pada cara pemasukannya bahan ke
dalam alat pencampur. Untuk tipe pertama berdasarkan timbangan berat material
campuran atau dengan kata lain berat tiap ukuran fraksi agregat di dalam suatu
Batch. Juga aspal ditimbang sesuai kebutuhan pada tiap kali pengadukan
campuran dalam suatu mixer.

Sedangkan untuk tipe kedua berdasarkan pada penyetelan rongga. Apabila


penyetelan ronggadari setiap material telah ditetapkan, maka pengolahan material
akan berjalan secara otomatis, dengan prinsip secara terus menerus dari Hotbin ke
Mixer. Demikian pula diukur kecepatan putaran pompa aspal sesuai yang
dibutuhkan. Alat pencampur aspal yang sering digunakan adalah AMP ( Asphalt
Mixing Plant ) dimana dengan menggunakan alat ini pencampuran antara aspal
dengan agregat dilakukan dalam keadaan panas sesuai dengan ketentuan Mix
Design.

II. Peralatan Lapangan

1. Mesin Penghampar ( Asphalt Finisher )

Alat ini berfungsi untuk menghamparkan campuran ke permukaan. Finisher ini


prinsipnya mempunyai dua bagian utama, Yaitu :

– Hopper, yaitu bagian yang menerima panas dari alat angkut.

Hopper ini meneruskan penghamparan yang dibantu oleh mesin penggerak.

– Screed, berfungsi meratakan serta sedikit pemadatan dan untuk menentukan


tebal lapisan perkerasn yang kita perlukan.

1. Alat pemadat Tandem Roller 4 – 6 ton

Alat ini digunakan untuk pekerjaan penggilasan pertama dan penggilasan terakhir.

1. Alat Pemadat Tired Roller

Alat ini digunakan untuk penggilasan kedua

1. Dump Truck

Adalah sebuah truck dimana bak meterialnya dapat menuang sendiri dengan
dikendalikan supir dari dalam truck. Funsi alat ini untuk mengangkut campuran
dari AMP ke lokasi penghamparan.

55
1. Asphalt Sprayer

Alat ini berfungsi untuk menyemprotkan Tack Coal.

1. Compresor

Fungsinya untuk membersihkan permukan yang akan dilapisi dari kotoran dan
debu atau bahan pengotor lainnya.

1. Peralatan – peralatan kecil lainnya, seperti : sekop, gerobak dorong, stick


pengukur ketebalan, thermometer dan lainnya.
2. Tangki air, berfunsi untuk membasahi roda alat pemadat agar campuran
tidak menempel pada roda.

Beberapa komponen Pencampur Aspal ( AMP ) yang penting

1. a. Colt Bin Agregat Hopper

Komponen ini dapat terdiri dari beberapa corong ( Hopper ) dan merupakan
tempat penimbunan agregat menurut fraksi – fraksi. Cold Bin memiliki fungsi
yang sangat penting terutama pada bagian bukaan pintunya ( Feeder ). Bila terjadi
kesalahan bukaan akan terjadi kekacauan pada gradasi agregat, misalnya dari bin
yang satu terjadi kelebihan agegat pada bin yang lainnya. Sebelum pelaksanaan di
mulai, maka feeder harus di kalibrasi sedemikian rupa sehingga untuk
mendapatkan proporsi agregat yang sesuai dengan komposisi campuran yang
direncankan.

1. b. Dryer ( pengering )

Alat penegring ini berbentuk silinder, merupakan tabung berputar dilengkapi


dengan burrer sebagai penyembur api guna mengeringkan serta memanaskan
agregat. Agar pengaliran agregat dapat berjalan lancar setelah mencapai
temperatur yang disyaratkan, maka kedudukan silinder dimiringkan dengan sudut
tertentu mengarah ke buffer.

1. c. Screen ( saringan )

Komponen sanringan terletak pada bagian yang peling atas, terdiri dari beberapa
saringan dengan ukuran yang berbeda – beda. Bentuk saringan tergantung dari
kapasitas pengolahan, untuk AMP dengan produksi kecil, bentuk saringan berupa
silinder berputar disusun berderetan dari saringan yang berukurn halus sampai
dengan ukuran kasar. Untuk produksi yang besar, saringan disusun secara

56
bertingkat dimulai dari saringan yang berukuran kasar sampai ukuran yang paling
halus. Gerakan saringan dilakukan dengan sistim getaran ( Vibrating ), agar
memudahkan pemisahan agregat menurut diameter lubang saringan dengan fungsi
sebagai berikut :

 Saringan paling atas memisahkan dan membuang agregat yang paling


besar atau bahn lainnya yang dibutuhkan melalui corong pembuang.
 Saringan yang dibawahnya menyaring untuk dipisahkan menurut yang
dikehendaki, dan selanjutnya akan tertuang ke Hot Bin. Demikian
seterusnya sampai diperoleh gradasi campuran yang dikehendaki.
 Sebagai alat pengontrol terakhir gradasi campuran.

1. d. Hot Bin Agregat

Hot Bin agregat merupakan kamar yang terpisah, berisi gregat dengan fraksi
tertentu, sesuai dengan diameter saringan yang di diatasnya. Tiap kamar Hot Bin
dilengkapi dengan alat pembuang yang bekerja baik bila telah penuh.

1. e. Filter Hot Bin

Pada AMP yang berkapasitas besar biasanya filter binnya terbuat dari silo, sedang
AMP yang berkapasitas kecil materialnya langsung ditumpah pada elevator filter.

1. f. Aspal Tank

Bagian ini digunakan untuk menyimpan aspal yang dilengkapi dengan pemanas
dengan menggunakan pipa – pipa minyak yang panas, atau dengan pipa api
( burner ). Aspal yang telah dipanaskan dengan temperatur tertentu disemprotkan
dengan menggunakan pompa. Pemanas aspal yang dikontrol dengan termometer
tertentu tergantung pada tingkat penetrasinya seperti yang tercantum pada tabel
dibawah ini.

Temperatur yang diizinkan dari aspal tank

Temperatur
Pen aspal
°F °C
315 – 345 160 – 175
40 – 50
300 – 330 150 – 165
60 – 70
290 – 320 140 – 160
80 – 100
280 – 310 135 – 155
130 – 150

57
Untuk mengetahui jumlah aspl yang diperlukan, disediakan alat – alat yang
bekerja dengan sistim timbangan atau meteran. Setiap alat tersebut harus diperiksa
agar kecepatan pengaliran atau jumlah aspal tetap dalam batas – batas spesifikasi.

1. g. Mixer

Mixer atu Pugmil merupakan tempat pengadukan dari material – material


campuran. Pintu yang ada dibawah mixer harus terkunci dengan rapat selama
proses pencampuran berlangsung. Pintu ini baru dibuka setelah dicapai
homogenitas didalam mixer. Untuk aspal minyak biasanya diambil 30 detik.

Prosedur pengolahan Campuran di AMP

Pelaksanaan pengolahan campuran di AMP merupakan suatu hal yang ikut


menentukan mutu campuran, terutama yang menyangkut komposisi dan
homogenitas campuran. Sebelum proses pencampuran, terlebih dahulu dilakukan
persiapan – persiapan material yang akan digunakan, juga pemeriksaan komponen
– komponen AMP, apakah sudah siap berproduksi sebagaimana mestinya. Setelah
semuanya memenuhi maka proses pengolahan campuran segera dimulai. Adapun
proses – proses pengolahan dengan menggunakan AMP tipe Batch Plant adalah
sebagai berikut :

1. Fraksi Agregat halus ( Pasir )haruslah sekering mungkin, sebelum


dimasukkan kedalam Cold Bin. Agregat yang ada pada Cold Bin sudah
sedemikian rupa sehingga dapat megalir baik melalui pintu, setelah
diadakn kalibrasi. Pengaturan bukaan pintu ini sangat penting agar agregat
yang sudah ada pada Belt Conveyor memenuhi persyaratan.
2. Agregat ( Pasir ) yang diangkut oleh Belt Conveyor diterima oleh Cold
Elevator menuju ke atas untuk dituang pada Dryer. Burner yang ada pada
dryer dengan semburan api mengeringkan dan memanaskan agregat
dengan temperatur 150 °C-175 °C. Hal ini perlu diperhatikan untuk
memperoleh pengeringan dan pemanasan agregat yang merata, agar dapat
diselimuti oleh aspal secara merata. Kecepatan dan jumlah pengaliran
harus tetap jangan sampai melampaui kemampuan dryer. Dalam proses
pengeringan ini agregat yang dipanaskan tetap terpisah dari debu dan gas.
Agregat panas diteruskan ke hot Elevator, sedangkan debu dan gas dihisap
oleh Exhousepan, dimana debu dikumpulkan untuk diserap pada Dust
Collector dan gasnya dikeluarkan melalui cerobong gas.
3. Agregat panas tadi kembali bercampur dengan debu pada Hot Elevator
untuk diangkut ke atas menuju Screen. Kapasitas saringan harus lebih
besar dari pada kemampuan pemanas Dryer, agar tidak terjadi
bertumpuknya agregat di atas saringan. Saringan ini di gerakkan dengan
sistem getara, disusun secara bertingkat dengan diamater lobang yang
berbeda – beda. Penyaringan yang paling atas memisahkan dan membung
agregat yang terlalu besar atau bahan lainnya yang tidak di kehendaki
melalui corong pembuang. Disini masih dapat dikontrol gradasi pasir yang

58
digunakan apakah masih memenuhi spesifikasi yang disyaratkan /
ditetapkan.
4. Agregat yang telah melalui penyaringan masuk ke dalam Hot Bin. Ukuran
Hot Bin haruslah sedemikian rupa, sehingga dapa memenuhi berat agregat
yang dibutuhkan untuk satu kali pengolahan campuran. Bilamana
jumlahnya berlebihan maka secar otomatis agregat tersebut terbuang.
5. Filter Bin yang akan ditambahkan harus memperhitungkan kadar filter
yang ada pada hot bin.
6. Bila berat material campuran sudah memenuhi komposisi campuran maka
pintu Hot Bin, Filter Bin dan aspal Weight Hopper akan menutup secara
otomatis dan material – material campuran akan dituang ke dalam Mixer.
Material diaduk sedemikian rupa sehingga agregat terselimuti aspal secara
merata. Hal yang perlu diperhatikan adalah temperatur campuran pda saat
keluar dari mixer untuk dituang ke dalam Dump Truck harus mencapai
140 °C sampai 160 °C. Usahakan agar jarak jatuhnya campuran sedekat
mungkin dan tidak membentuk kerucut yang tinggi, ini dapat dilakukan
dengan menggerakkan kendaran secar mengagetkan untuk mencegah
Segregasi. Untuk mencegah penurunan temperatur yang terlalu besar pada
saat campuran diangkut ke lapangan maka Dump Truck harus dilengkapi
dengan penutup terpal.

PENINGKATAN MUTU JALAN LAMA

Pada peningkatan jalan, bentuk konstruksinya kita temui bervariasi pada


pekerjaan Sub – Base dan Base, terutama pada lebar dan tebalnya. Ini karena
muka jalan lama ( Existing Road ) kurang memenuhi syarat, maka kita akan
mempunyai pekerjaan :

1. Rekonstruksi, ialah melaksanakan konstruksi yang dikehendaki


adakalanya dimulai dari Embarkment atau hanya dari pekerjaan Sub Grade
Proporation saja.
2. Re-Surface, ialah pekerjaan penambahan Sub – Base saja baik lebar atau
tebalnya.
3. Overlay, ialah penambahan lapisan aspal, langsung diatas aspal / jalan
lama. Karena tempat tertentu kita menemui kekurangan lebar dari yang
kita perlukan ataupun juga pada bagian yang lemah dari itu perlu
perbaikan, juga umumnya cukup dengan menambahkan Base Course
material.

Umumnya jalan luar yang akan penting kita beri kulit aspal, atau bidang
dikerjakan dengan adukan minyak aspal. Cara yang pertama disebut pengerjaan
bidang muka, jalan digaruk dengn brsih dengn gundar – gundar baja. Bagian –
bagian yang terlepas disapu dengan sapu lidi, abu halus dikipas dengan karung
hingga permukaannya bersih.

59
Waktu menyapu pekerja – pekerja harus memperhatikan arah angin. Bagian yang
tidak berdebu sekarang mempunyai permukaan dengan ujung – ujung tajam
dimana aspal dpt melekat dengan baik.

Dari tengah – tengah puncaknya aspal dituangkan dengan lapisan – lapisan tipis
dan dengan sapu dan sikat karet bertangkai panjang dihapus setipis mungkin.
Sesudah itu dengan seger seregu pekerja menyebarkan secara merata pasir tajm
atau batu abu kira – kira setebal 0.5 cm.

Lapisan ini digiling sebentar, sesudah itu jalan dapat digunakan oleh lalu lintas,
selama satu bulan pasir yang dipindahkn lalu lintas ketepi – tepi selalu disapu
kembali sama rata pada seluruh bidang muka.

Dengan pekerjaan bidang muka ini tidak saja terdapt penghindaran dari
pembentukan debu dan lumpur, akan tetapi biaya pemeliharaan juga berkurang.

Jika kita berbicara tentang aspal, yang kita maksudkan adlah aspal minyak tanah,
karena ini yang paling banyak dipakai. Tentang kwalitetnya tidak banyak
perbedaan dengan aspal alam ( misalnya asbuton ), hanya persiapannya agak
berlainan. Dalam asbuton misalnya, sudah ada tepung batu kapur, sehingga pada
waktu memasak harus diaduk terus. Aspal ini cepat sekali membeku, sehingga
harus cepat dituangkan.

Penambalan jalan dilakukan dengan memacul lubang – lubang yang terjadi dan
mengisinya dengan batu – batu pecah, kemudiandituangi dengan aspal cair.
Diatasnya disebarkan abu batu dan seluruhnya ditumbuk, bila terjadi pengausan
dari kulitnya, dengan lekas harus dibuat kulit aspal yang baru.

Artikel

60
Perencanaan Geometrik Jalan

Perencanaan geometrik adalah merupakan bagian dari perencanaan jalan


keseluruhan. Ditinjau secara keseluruhan perencanaan geometrik harus dapat
menjamin keselamatan maupun kenyamanan dari pemakai jalan. Untuk dapat
menghasilkan suatu rencana jalan yang baik dan mendekati keadaan yang
sebenarnya diperlukan suatu data dasar yang baik pula.

Perencanaan geometrik jalan juga merupakan bagian dari perencanaan jalan yang
dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi
dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimal pada arus lalu-lintas.
Jadi tujuan dari perencanaann geometrik jalan adalah menghasilkan infrastruktur
yang aman dan efisien pelayanan arus lalu lintas serta memaksimalkan biaya
pelaksananaan ruang, bentuk dan ukuran. Jalan dapat dikatakan baik apabila dapat
memberikan rasa aman dan nyaman kepada pemakai jalan.

Secara geometrik, perencanaan jalan dibagi menjadi 2, yaitu perencanaan


alinyemen horisontal dan alinyemen vertikal. Alinyemen horizontal atau
trase suatu jalan adalah garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus pada bidang peta,
yang biasa disebut tikungan atau belokan. Sedangkan Alinyemen vertikal adalah
garis potong yang dibentuk oleh bidang vertikal melalui sumbu jalan dengan
bidang permukan pengerasan jalan, yang biasa disebut puncak tanjakan dan
lembah turunan (jalan turun).

Tinjauan alinyemen horizontal secara keseluruhan

Ditinjau secara keseluruhan, penetapan alinyemen horizontal harus dapat


menjamin keselamatan maupun kenyamanan bagi pemakai jalan. Untuk mencapai
tujuan ini antara lain perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

 Sedapatnya mungkin menghindari broken back, artinya tikungan searah


yang hanya dipisahkan oleh tangen yang pendek.
 Pada bagian yang relatif lurus dan panjang, jangan sampai terdapat
tikungan yang tajam yang akan mengejutkan pengemudi.
 Kalau tidak sangat terpaksa jangan sampai menggunakan radius
minimum, sebab jalan tersebut akan sulit mengikuti perkembangan-
perkembangan mendatang.
 Dalam hal kita terpaksa menghadapi tikungan dengan lengkung majemuk
harus diusahakan agar R1 > 1,5 R2.
 Pada tikungan berbentuk S maka panjang bagian tangen diantara kedua
tikungan harus cukup untuk memberikan rounding pada ujung-ujung tepi
perkerasan.

Menetapkan kecepatan rencana (design speed)

61
Untuk menetapkan alinyemen horizontal pada suatu rute, section ataupun segment
dari suatu jalan, perlu diketahui terlebih dahulu ‘Topography” yang akan dilalui
oleh trase jalan yang akan di design. Keadaan topograpi tersebut kemudian akan
dijadikan dasar dalam menetapkan besarnya kecepatan rencana dari jalan yang
akan direncanakan, setelah kelas jalan tersebut ditentukan.

Macam-macam kurva dalam alinyemen horizontal

Bentuk kurva dalam alinyemen horizontal terdiri atas :

 Full Circle – FC (Lengkung Penuh) yaitu, Lengkung yang hanya terdiri


dari bagian lengkung tanpa adanya peralihan. Yang dimaksud disini adalah
hanya ada satu jari2 lingkaran pada lengkung tersebut. (lihat perbedaan
dengan SCS)

 Spiral-Circle-Spiral – SCS yaitu, Lengkung terdiri atas bagian


lengkungan (Circle) dengan bagian peralihan (Spiral) untuk
menghubungkan dengan bagian yang lurus FC. Dua bagian lengkung di
kanan-kiri FC itulah yg disebut Spiral. (lihat perbedaan dengan FC).

62
 Spiral-Spiral – SS yaitu, Lengkung yg hanya terdiri dari spiral-spiral
saja tanpa adanya circle. Ini merupakan model SCS tanpa circle. Lengkung
ini biasanya terdapat di tikungan dengan kecepatan sangat tinggi. (lihat
perbedaan dengan SCS)

63
Tinjauan alinyemen vertikal secara keseluruhan

Ditinjau secara keseluruhan alinyemn vertikal harus dapat memberikan


kenyamanan kepada pemakai jalan disamping bentuknya jangan sampai kaku.
Untuk mencapai itu harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

 Sedapat mungkin menghindari broken back, grad line atinya jangan


sampai kita mendesaign lengkung vertikal searah (cembung maupun
cekung) yang hanya dipisahkan oleh tangen yang pendek.
 Menghindari hidden dip, artinya kalau kita mempunyai alinymen vertikal
yang relatif datar dan lurus, jangan sampai didalamnnya terdapat
lengkung-lengkung cekung yang pendek yang dari jauh kelihatannya tidak
ada atau tersembunyi.
 Landai penurunan yang tajam dan panjang harus diikuti oleh pendakian
agar secara otomatis kecepatan yang besar dari kendaraan dapat dikurangi.
 Kalau pada suatu potongan jalan kita menghadapi alinyemen vertikal
dengan kelandaian yang tersususun dari prosentase kecil sampai besar,
maka kelandaian yang paling curam harus ditaruh pada bagian permulaan
landai, berturut-turut kemudian kelandaian yang lebih kecil. Sampai
akhirnya yang paling kecil.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan

64
Alinyemen vertical direncanakan dengan mempertimbangkan antara lain hal-hal
sebagai berikut :

 Kecepatan rencana

Kecepatan rencana yang diambil harus disesuaikan dengan ketetapan yang telah
dipakai pada alinyemen horizontal. Dengan demikian klasifikasi medan yang telah
ditetapkan untuk alinyemen horizontal berikut wilayah-wilayah kecepatan
rencananya harus dijadikan pegangan untuk menghitung tikungan-tikungan pada
alinyemen vertikal. Kalau hal ini tidak dijaga akan diperoleh ketidak seimbangan,
misalnya disatu pihak kita mempunyai kecepatan rencana yang tinggi untuk
alinyemen horizontal, sedangkan alinyemen vertikalnya hanya mempunyai
kecepatan rencana yang lebih rendah atau sebaliknya. Ini berarti akan merugikan
pemakai jalan atau bahkan bias membahayakan pemakai jalan.

 Topography

Keadaan topography ini earat hubungannya dengan volume pekerjaan tanah.


Untuk terrain yang berat sering kita terpaksa harus menggunakan angka-angka
kelandaian maximum pada alinyemen vertikal agar volumem pekerjaan tanah
dapat dikurangi. Pada perencanaan jalan baru kita harus agak berhati-hati dalam
menetapkan alinyemen vertikal. Sebab sekali kita kurang bijaksana dalam
menetapkan kelandaian jalan, perbaikannya akan menuntut biaya yang sangat
besar. Disamping itu penetapan kelandaian harus sedemikian sehingga tinggi
galian atau dalamnya timbunan masih dalam batas-batas kemampuan pelaksanaan.

 Fungsi jalan

Dalam merencanakan jalan (terutama didaerah perkotan) sering kita hadapi bahwa
rencana jalan kita akan crossing dengan existing road. Sebelum menetapkan
bentuk tersebut kita harus mengetahui betul, apa sebetulnya fungsi jalan kita
maupun fungsi jalan yang dicross oleh kita jalan tersebut. Sehingga dengan
demikian dapat kita tentukan bentuk-bentuk crossing tersebut. Dari bentuk-bentuk
crossing tersebut baru dapat kita tentukan alinyemen vertikalnya.

 Tebal perkerasan yang diperhitungkan

Untuk design jalan baru, tebal perkerasan tidak mempengaruhi penarikan


alinyemen vertikal. Tapi untuk design yang sifatnya betterment, tebal perkerasan
akan memegang peranan penting. Dalam hal ini penarikan alinyemenvertikal
harus sudah sedemikian sehingga kedudukannya terhadap permukaan jalan lama
mendekati atau sesuai dengan yang telah diperhitungkan.

 Tanah dasar

65
Kadang-kadang kita terpaksa membuat jalan diatas tanah dasar yang sering kena
banjir. Disini kita harus hati-hati artinya jangan sampai alinyemen vertikal kita
tidak cukup tinggi. Kedudukan alinyemen vertikal harus sedemikian sehingga :
Permukaan air banjir tidak mencapai lapis-lapis perkerasan. Cukup tinggi sampai
kita dapat memasang culvert yang betul-betul bisa berfungsi.

Macam-macam contoh bentuk dalam alinyemen vertikal

66
Artikel

Parameter Perencanaan Geometri Jalan

Parameter
Perencanaan Geometrik Jalan
• Perencanaan geometrik jalan

adalah bagian dari perencanaan jalan yang menentukan dimensi


nyata dari sesuatu jalan beserta bagian-bagiannya yang disesuaikan
dengan tuntutan lalu lintas.
• Bagian-bagian jalan meliputi :
- lebar jalan - pertemuan jalan
- tikungan - dll
- kelandaian

• Yang harus diperhatikan oleh perencana jalan :


 Kenyamanan : tidak banyak tikungan & gangguan, tidak terlalu terjal
 Keamanan : kecelakaan
 Biaya : faktor ekonomi
 Keindahan (sebagai pelengkap) : diusahakan lingkungan jalan tidak
membuat orang bosan / jenuh.
Hasil yang diharapkan :

1. Fisik Jalan :
a. Pemilihan lokasi yang tepat
b. Syarat perancangan sesuai dengan kebutuhan
c. Tipe jalan yang tepat, sesuai tuntutan lalu lintasnya

2. Pemakai Jalan :

merasakan adanya efisiensi, keamanan, dan kenyamanan.


• Faktor yang terkait dalam proses perencanaan geometrik jalan adalah :

a. Kondisi Fisik & Topografi Daerah

1) Keadaan tanah dasar


2) Keadaan iklim
3) Keadaan topografi
4) Keadaan daerah yang akan dilalui
b. Lalu lintas

67
1) kendaraan rencana
2) kecepatan kendaraan
3) volume lalu lintas
c. Jarak pandangan

. a. Kondisi fisik & topografi daerah


1) Keadaan tanah dasar
 baik : daya dukung (CBR) tinggi
 buruk (CBR < 2%), langkah yang diambil :
 menggeser trase jalan (berpengaruh pada alinemen horizontal)
 mengganti tanahnya dengan tanah yang baik
2) Keadaan iklim
 tidak banjir : tidak ada masalah !
 banjir, diatasi dengan :
 timbunan yg tinggi (berpengaruh pada alinemen vertikal)
 kemiringan permukaan jalan dibuat lebih besar
 drainasi memanjang (selokan samping)
 drainasi melintang
3) Kondisi topografi / medan
• kondisi medan dibedakan berdasarkan besarnya kemiringan melintang
rata-rata dari potongan melintang tegak lurus as jalan raya.
• Jenis medan :
 datar,
 perbukitan, dan
 pegunungan.

 Daerah datar :
– geometrik mudah,
– drainasi perlu mendapat perhatian.
 Daerah perbukitan / pegunungan :
– geometrik agak terbatas, sebab sumbu jalan sudah agak tertentu.
– drainasi mudah.
– Kadang perlu ditambah lajur pendakian (climbing lane) untuk
menampung kendaraan yang berjalan lambat (truk).
 Keadaan daerah yang dilalui
– Daerah industri : banyak truk besar
– Daerah perumahan : banyak persimpangan
– Daerah pertokoan : banyak pejalan kaki, tempat parkir

3. b. 1). Kendaraan Rencana


• Kendaraan (vehicle)
 merupakan komponen terbesar yang menggunakan jalan.
 berupa kendaraan bermotor dan tidak bermotor.

68
 memiliki variasi ukuran dari kecil sampai besar
 berkecepatan rendah sampai cepat.

• Kendaraan bermotor
adalah alat angkut yang digerakkan oleh peralatan teknik yang ada
pada alat angkut tersebut, untuk mengangkut barang atau orang yang
berjalan di jalan, tetapi tidak termasuk alat angkut yang berjalan di atas
rel.
• Alat untuk membelokkan kendaraan adalah setir.
• Jejak roda setiap kendaraan pada saat membelok akan selalu lebih
besar dari lebar kendaraannya sendiri.
• Roda belakang akan mempunyai jejak yang berbeda dengan roda depan
(disebut off tracking).
• Lebar maksimum jejak roda tersebut terjadi pada jari-jari minimum
saat membelok dengan kecepatan 10 Km/jam
• Maka konsep kendaraan rencana sangat diperlukan.
• Kendaraan rencana / kendaraan standar (design vehicle) :
adalah kendaraan yang berat, dimensi, dan radius putarnya dipilih
sebagai acuan dalam perencanaan geometrik jalan, agar dapat
menampung kendaraan dari tipe yang telah ditentukan.
• Lebar kendaraan, berpengaruh thd :
– penentuan lebar dan jumlah lajur,
– penentuan lebar bahu jalan
– area parkir.
• Panjang kendaraan berpengaruh thd :
– Penentuan alinemen horizontal (tikungan)
– Penentuan jarak pandangan
– lebar median dimana kendaraan diperkenankan untuk membelok (U-
turn).
• Tinggi kendaraan, berpengaruh thd :
– clearance / ruang bebas : 4,5 m dari permukaan perkerasan
– bawah jembatan
• Berat kendaraan, berpengaruh thd :
– Alinemen vertikal
– Input bagi perencanaan jembatan
– Tebal perkerasan
– Kerusakan yang timbul pada perkerasan
• Kendaraan rencana (kendaraan standar) merupakan ukuran standar
terbesar yang mewakili setiap kelompoknya.
• Kendaraan Rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori:
(1) Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang;
(2) Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau bus besar 2
as;
(3) Kendaraan Besar, diwakili oleh truk-semi-trailer.

69
• Kendaraan rencana yang akan dipilih sebagai dasar perencanaan
geometrik jalan ditentukan berdasarkan :
– fungsi jalan
– jenis kendaraan yang dominan memakai jalan tersebut
– biaya
• Jenis dan ukuran kendaraan yang digunakan sebagai kendaraan
standar untuk setiap negara berbeda-beda.
• Amerika Serikat dalam AASHTO 1984 mengenal 7 jenis kendaraan
standar yaitu : Passenger vehicle, Single unit, Bus, Articulated Bus, WB-
12, WB-18.
• Sedangkan dalam AASHTO 1994 kendaraan standar bertambah menjadi
15 jenis, dengan menambahkan WB-19,WB-20, WB-29, Recreation vehicle
yang terdiri atas Motor Home, Car and Camper Trailer, Car and Boat
Trailer, serta Motor Home and Boat Trailer.
• Inggris mengenal 3 jenis kendaraan standar yaitu : Car, Rigid vehicle,
dan Articulated bus.
• Kanada mengenal 5 jenis kendaraan standar yaitu : Passenger vehicle,
Single unit, Bus, WE-12, WB15.
• Australia menggunakan 3 jenis kendaraan standar yaitu : Passenger
vehicle, Bus/Single unit. Articulated Truck.

4. b. 2). Kecepatan Rencana


• Kecepatan
adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh
kendaraan dibagi waktu tempuhnya (satuan km/jam atau mph).
• Kecepatan rencana (vR) / design speed
adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan
geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan bergerak dengan aman
dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang,
dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.
• Kecepatan rencana digunakan untuk perancangan :
– tikungan,
– kemiringan jalan,
– tanjakan dan turunan,
– jarak pandangan.
• Faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan rencana :
a. Kondisi Medan / (terrain)

• vR di daerah datar > vR di daerah perbukitan & gunung.


• Kecepatan truk di daerah datar bisa menyamai kecepatan kendaraan
kecil, tetapi di daerah perbukitan, kecepatan truk akan berkurang.
Bahkan di daerah gunung kadang-kadang diperlukan jalur khusus
untuk truk (jalur pendakian).

70
• Kondisi medan ruas jalan yang diproyeksikan harus diperkirakan untuk
keseluruhan panjang jalan.
Perubahan medan untuk bagian kecil ruas jalan dapat diabaikan.
b. sifat dan tingkat penggunaan daerah
• Untuk jalan arteri mempunyai vR yang lebih tinggi dibandingkan dengan
jalan kolektor maupun jalan lokal.
• Jalan raya untuk daerah luar kota akan mempunyai vR yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan jalan di dalam kota.

Kecepatan sesaat ( spot speed ) :


kecepatan kendaraan yang terjadi pada suatu tempat dan waktu
tertentu.
Kecepatan tempuh rata-rata (average running speed) :
kecepatan yang merupakan hasil bagi dari panjang jalan dan
waktu tempuhnya.

2. b. 3). Volume Lalu Lintas


• Adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik tertentu pada suatu
jalan dalam satu satuan waktu (detik, menit, jam, hari).
Data vol. lalin digunakan untuk :
 menentukan jumlah dan lebar lajur yang dibutuhkan untuk
memenuhi tuntutan lalu intas
 menentukan tebal lapisan jalan

Satuan volume lalu lintas yang umum digunakan untuk penentuan


jumlah dan lebar lajur :
(i) LHR dan LHRT
 Lalu lintas Harian Rata-rata ( LHR ) atau Average Daily Traffic (ADT)
LHR = (jumlah lalin selama pengamatan) /
(lamanya pengamatan)

 Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan ( LHRT) atau Average Annual Daily
Traffic (AADT)
adalah jumlah kendaraan rata-rata yang melewati satu jalur jalan
selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahun penuh.
LHRT = (jumlah lalin dalam 365 hari / (365 hari)
Satuan :
- Untuk jalan 2 jalur 2 arah :
SMP / hari / 2 arah atau kendaraan / hari / 2 arah
- Untuk jalan berlajur banyak dengan median :
SMP / hari / 1 arah atau kendaraan / hari / 1 arah
LHR & LHRT adalah vol lalin dalam 1 hari, tdk dpt memberikan
gambaran perubahan yang terjadi pada berbagai jam dalam 1 hari yang

71
nilainya bervariasi antara 0 -100 % LHR. Karena itu LHR tidak dapat
langsung digunakan dalam perencanaan geometrik.
Arus lalin bervariasi dari jam ke jam berikutnya dalam 1 hari, maka
cocok jika vol. lain dalam 1 jam digunakan untuk perancangan
geometrik
(ii) Volume Jam Perencanaan (VJP)
adalah volume lalu lintas dalam satu jam yang digunakan sebagai
dasar untuk perencanaan jalan.
VJP ditentukan dengan :
• mencacah kendaraan tiap jam yang lewat
• volume lalu lintas tiap jam dinyatakan dalam % LHR
• dalam 1 tahun didapat data sebanyak 365 x 24 = 8760 jam
• data diurutkan dari yang terbesar sampai yang terkecil
• dimulai dari data terbesar disebut dengan jam ke -1, ke – 2, dst
• digambarkan hubungan antara jam ke .......... dan volume lalu lintas
(dalam % LHR), maka akan didapat garis lengkung.

• Menurut AASHTO :
– garis lengkung tersebut bentuknya tetap dari tahun ke tahun.
– vol. yang memberikan perbandingan antara pelayanan yang akan
diberikan dan besarnya biaya pembangunan jalan yang paling
menguntungkan adalah volume pada “tumit”.
– Pada jalan arteri, volume lalin dalam 1 jam yang digunakan untuk
perencanaan jalan adalah volume pada jam ke 30 dari 1 tahun dengan
volume lalu lintas = 15 % LHR yang VJP diambil pada timit garis
lengkung yang terjadi pada VJP = 15 % LHR.
– Pada jalan yang kurang penting, volume lalin dalam 1 jam yang
digunakan untuk perencanaan jalan dapat diambil pada jam ke 100 -
200 untuk menghemat biaya. Berarti antara 100 – 200 jam dalam 1
tahun jalan mengalami kemacetan.

(iii) Kapasitas Jalan


• adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati suatu
penampang jalan selama satu jam dengan kondisi serta arus lalu lintas
tertentu.
• dinyatakan dalam mobil penumpang / jam.
• Berhubung arus lalin kenyataannya tidak selalu sama setiap saat,
kadang-kadang volume & kapasitas dinyatakan dalam periode yang
lebih singkat (misal 15 menit).
Beberapa jenis kapasitas :
– Kapasitas dasar ( basic capacity, ideal capacity )
adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati satu
penampang pada satu lajur / jalan selama 1 jam dalam keadaan jalan
dan lalin yang mendekati ideal yang bisa dicapai.
Keadaan ideal (2200 – 2400 kendaraan / jam/lajur).

72
Kondisi ideal :
 Lebar lajur : 3,75 m
 Jalan harus dapat dilalui kendaraan dengan v = 120 km/jam tanpa ada
gangguan apapun.
 Hanya mobil penumpang saja yang lewat
 Bahu jalan & kebebasan samping cukup lebar.
– Kapasitas mungkin ( possible capacity )
adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati satu
penampang pada satu lajur / jalan selama 1 jam dalam keadaan yang
sedang berlaku pada jalan tsb.
Kapasitas ini sudah mempertimbangkan kondisi jalan maupun
lainnya akibat kondisi ideal tidak terpenuhi.
– Kapasitas rencana ( design capacity)
adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati satu
penampang pada satu lajur / jalan selama 1 jam dalam keadaan yang
sedang berlaku sedemikian rupa shg kepadatan lalin ybs
mengakibatkan kelambatan, bahaya & ganggguan pada kelancaran lain
yang masih ada dalam batas-batas yang ditetapkan.
Kapasitas ini diturunkan dari possible capacity, dengan
mempertimbangkan tingkat pelayanan yang diinginkan.

3. c. Jarak Pandangan
(sight distance)
4. Definisi :
a. adalah jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi
pada saat mengemudi, sehingga pengemudi melihat suatu
halangan yang membahayakan dan dapat menghindari
halangan tersebut.
b. adalah panjang bagian jalan di depan pengemudi yang
masih dapat dilihat dengan jelas, diukur dari titik
kedudukan pengemudi tsb.

Fungsi :
 Menghindari terjadinya tabrakan yang dapat membahayakan kendaraan
dan manusia akibat adanya benda yang berukuran cukup besar seperti:
kendaraan berhenti, pejalan kaki atau hewan pada lajur lainnya.
 Memberikan kemungkinan untuk menghindari kendaraan yang lain
dengan menggunakan lajur di sebelahnya.
 Menambah efisien jalan, dan volume pelayanan dapat maksimal.
 Sebagai pedoman bagi pengatur lalu lintas dalam menempatkan rambu-
rambu lalu lintas yang diperlukan pada segmen jalan.

73
Faktor-faktor yang mempengaruhi panjang jarak pandangan yang
dibutuhkan :
 waktu sadar & reaksi pengemudi (waktu PIEV).
 waktu untuk menghindari keadaan bahaya.
 kecepatan kendaraan.
 P : Perception
Pengemudi perlu menelaah rangsangan yang diterima (melalui
mata, telinga, maupun badan).
Proses ini perlu waktu (perception time).
Besarnya waktu yang pasti sukar ditentukan, bervariasi
tergantung keadaan pengemudi & rangsangannya.
• I : Intelection
Penelaahan terhadap rangsangan sering tidak begitu saja
langsung berhasil, tetapi memerlukan proses pemikiran /
pembandingan dengan ingatan yang lalu (intelection process).
• E : Emotion
Merupakan proses penanggapan terhadap rangsangan setelah
proses perception & intelection.
Reaksi yang akan diambil pengemudi sering sangat dipengaruhi
proses emosi.
• V : Volition

Kemauan untuk mengambil tindakan sesuai dengan


pertimbangan - pertimbangan yang diambil.
Jenis Jarak pandangan :
1. Jarak pandangan henti (stopping sight distance)

2. Jarak pandangan susul / menyiap (passing sight distance)

1. Jarak Pandangan Henti (JPH)

Stopping Sight Distance

• Definisi
 adalah jarak pandangan minimum yang diperlukan oleh seorang
pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu
melihat adanya halangan di depannya.
 adalah suatu jarak yang memungkinkan kendaraan yang berjalan
dengan kecepatan maksimum untuk jalan tsb dapat diberhentikan
sebelum mencapai suatu penghalang yang ada pada lintasannya.
Jarak pandang henti (jph) terdiri atas :
a. Jarak tanggap / jarak yang ditempuh selama waktu sadar / jarak
PIEV (d1) :

74
jarak yang ditempuh oleh kendaraan dari saat pengemudi melihat
suatu penghalang yang mengharuskan kendaraan untuk berhenti
sampai saat pengemudi mulai menginjak rem.
Besarnya : dari 0,5 detik (untuk rangsangan sederhana) s/d 4 detik
(untuk rangsangan yang sukar).
Faktor yang berpengaruh terhadap besarnya waktu reaksi :
• Keadaan cuaca & penerangan
• Jarak obyek
• Kemampuan melihat pengemudi
• Kecepatan reaksi alamiah pengemudi
• Kondisi jalan
• Tipe, warna, & kondisi penghalang
• untuk perencanaan ditetapkan waktu sadar :
2,5 detik (rural)
1,5 detik (urban)
d1 = 0,278 v x t

dengan :
d1 = jarak dari saat melihat rintangan sampai
menginjak pedal rem (m).
v = kecepatan kendaraan (km/jam).
t = waktu reaksi, diambil = 2,5 detik

Besarnya fm berubah-ubah tergantung :


– Tekanan udara dalam ban
– Macam ban & bentuk bunga ban
– Tipe & kondisi permukaan perkerasan
– Kelembaban permukaan perkerasan
• Sebagai dasar perencanaan, harga f diambil pada keadaan permukaan
basah, karena merupakan keadaan paling kritis.

• Untuk jalan dengan lalu lintas 2 arah, pengaruh landai diabaikan (jarak
pandangan dari kedua arah saling memberikan koreksi)  digunakan
jph pada jalan datar.
• Untuk jalan raya terpisah (dual carriageway), jarak pandangan masing-
masing lajur diberi koreksi akibat landai jalan.

2. Jarak Pandangan Susul / Menyiap (JPS)

Passing Sight Distance

Definisi :

75
adalah jarak pandangan minimum yang dibutuhkan sejak
pengemudi memutuskan untuk menyiap kendaraan lain, kemudian
menyiap dan kembali ke lajur semula dengan aman dalam keadaan
normal.
Anggapan dasar :
1. Kendaraan yang disiap berjalan dengan kecepatan yang tetap.
2. Pada saat memasuki daerah penyiapan, kendaraan yang akan
menyiap telah mengurangi kecepatannya dan mengikuti
kendaraan yang akan disiap.
3. Pada saat permulaan berada di daerah penyiapan, pengemudi
memerlukan waktu untuk melihat/memikirkan amannya daerah
penyiapan dan memulai gerakan menyiap.
4. Jika pengemudi sudah yakin benar & menguasai segala
sesuatunya, maka penyiapan dilaksanakan dengan yang
diistilahkan start kelambatan (delay start). Selama gerakan
menyiap kendaraan yang menyiap tsb mempercepat
kendaraannya sedemikian shg kecepatan rata-rata selama pada
lajur lawan +15 km/jam lebih tinggi dari kendaraan yang disiap.
5. Setelah menyiap, kendaraan yg menyiap segera kembali ke lajur
asal tepat berada di antara kendaraan yg disiap & kendaraan
yang datang dari arah berlawanan dengan suatu jarak bebas ttt.
6. Kendaraan yang datang dari arah berlawanan berjalan dengan
kecepatan sama dengan kecepatan kendaraan yang menyiap.
7. d1 : jarak yang ditempuh selama pengamatan dan waktu reaksi
serta waktu mulai masuk daerah penyiapan (lajur lain).

dengan:

t1 = waktu reaksi (PIEV), tergantung dari kecepatan yang dapat


ditentukan dengan korelasi t1 = 2,12 + 0,026.v.
v = kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap (km/jam).
m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan disiap
= 15 km/jam.
a = percepatan rata-rata yang dapat ditentukan dengan korelasi
a = 2,052 + 0,0036.v.
• d2 : jarak yang ditempuh selama kendaraan menyusul di lajur lain.
d2 = 0,278 v x t2
dengan:
d2 = jarak yang ditempuh selama kendaraan yang
menyiap berada pada lajur kanan.
v = kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap
(km/jam).
t2 = waktu kendaraan yang menyiap berada pada
lajur kanan

76
= 6,56 + 0,048.v
• d3 : jarak antara kendaraan yang selesai melakukan gerakan menyiap
dengan kendaraan dari arah yang berlawanan.
d3 = 30 -100 m
• d4 : jarak yang ditempuh kendaraan yang datang dari arah
berlawanan selama gerakan menyiap dilakukan.
d4= 2/3.d2
( diasumsikan kec. kend. yang datang = kec. kend. yang menyiap )
• Jarak pandangan menyiap standar adalah :
d = d1 + d2 + d3 + d4
• Dalam perencanaan seringkali kondisi jarak pandangan menyiap
standar ini terbatasi oleh kekurangan biaya, sehingga jarak pandangan
menyiap yang dipergunakan dapat menggunakan jarak pandangan
minimum (dmin).
dmin = 2/3 d2 + d3 + d4

Ketentuan mengukur jarak pandangan :


• Diukur dari ketinggian mata pengemudi ke puncak suatu penghalang di
jalan pada waktu pertama-tama pengemudi melihatnya.
• Tinggi mata pengemudi dari permukaan perkerasan = 125 cm, terdiri
atas :
– Tinggi rata-rata tempat duduk depan mobil penumpang = ± 60 cm
– Tinggi mata rata-rata pada waktu duduk = ± 65 cm
JHONY SAPUTRA di 06.48
Berbagi

Artikel

PERENCANAAN GEOMETRI JALAN

JALAN
• Disain jalan membutuhkan elemen-elemen perancangan yang spesifik
seperti jumlah lajur, lebar lajur, type dan lebar median, panjang lajur

77
pendakian untuk truk dalam menerima perubahan kelandaian
(superelevasi), dan jari-jari tikungan.
• karakteristik kendaraan (performance dan dimensi) yang lewat sangat
mempengaruhi .
C. SEJARAH JARINGAN JALAN DI INDONESIA
• Jaringan jalan yang pertama dibangun di Indonesia : pada masa
kerajaan Mataram oleh Sultan Agung.
• Tahun 1811 Gubernur Jenderal Daendeles merintis pembangunan jalan
Anyer sampai Banyuwangi yang merupakan jaringan jalan terpanjang
yang pernah dibangun pada waktu itu.
• Pemerintah kolonial Belanda melaksanakan pembangunan berbagai
jaringan jalan, antara lain:
• Jalan Lintas Selatan dari Jakarta ke Surabaya melalui kota-kota di
Selatan pulau Jawa,
• Jalan Lintas Timur dari Surabaya ke Banyuwangi melalui Probolinggo,
Klakah dan Jember,
• jalan penghubung seperti Krawang – Padalarang, Cirebon – Bandung,
Wangon – Cilacap, Semarang – Solo, dan Cepu – Ngawi.

• Di luar Jawa pembangunan jaringan jalan pada masa itu masih sangat
terbatas dan dibangun untuk kepentingan pemerintah, antara lain:
• Jalan Banda Aceh-Bireun-Medan-Balige-Taruntung-Bukit Tinggi-Muara
Tebo-Jambi,
• Jalan Bireuh-takengon,
• Blangkejeren-Kotacane-Kabanjahe,
• Bukit Tinggi-Padang,
• Bengkulu-Curup-Muara Enim, dan
• Pelembang-Telukbetung (dibuka tahun 1941).

• Tahun 1940 mulai dibuka beberapa ruas jalan di Kalimantan seperti :


• Pontianak-Singkawang-Sambas,
• Banjarmasin-Martapura-Kandangan,
• Kandangan-Balikpapan-Samarinda,
• Kandangan-Muaratewe.
dan beberapa ruas jalan di Sulawesi.

D. PERATURAN DAN UNDANG-UNDANG JALAN


• Sebelum tahun 1900 tidak / belum ada peraturan tentang lalu lintas
atau jalan.
Yang ada hanya beberapa ketentuan setempat mengenai berjalan
di sebelah kiri, dan ini merupakan ketentuan yang berasal dari zaman
pemerintahan Inggris (1811 – 1816).
• Lembaran Negara untuk lalu lintas mulai dikeluarkan pada tahun 1899
no. 301 dan 302 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1900, berisi

78
tentang ketentuan umum untuk menggunakan mobil di jalan umum,
antara lain:
a. Melarang semua pengguna kendaraan bermotor di jalan umum, kecuali
mendapat ijin dari Kepala Daerah.
b. Kecepatan maximum mobil adalah 20 Km/jam.
c. Ketentuan mengenai Surat Ijin Mengemudi.

• Pada periode antara tahun 1900 sampai dengan tahun 1965 terdapat
beberapa peraturan termuat di beberapa Lembaran Negara :
 Lembaran Negara tahun 1910 mengatur penggunaan sepeda di jalan
umum yaitu :
 larangan bagi sepeda yang berjalan di jalan umum sehingga dapat
membahayakan lalu lintas di jalan,
 adanya ketentuan tentang perlengkapan sepeda.
 Lembaran Negara No. 465 tahun 1910 tentang Rijwiel Reglement (RR –
Aturan ttg Kereta api).
 Lembaran Negara No. 73 tahun 1917 tentang Motor Reglement (MR)
menggantikan LN tahun 1899, berisi antara lain :
 Pengemudi wajib menghindar ke kiri jika bepapasan atau disusul oleh
kendaraan lain, dan menghindar ke kanan jika menyusul kendaraan
lain.
 Kemungkinan pengemudi menghentikan kendaraannya, jika keamanan
lalu lintas menghendaki.
 Ketentuan tentang : SIM, penerangan, rem, dsb.
• Sejak tahun 1920 mulai ada peningkatan lalu lintas di jalan umum.
• Dengan adanya bus dan mobil pengangkut di jalan maka perlu segera
meninjau kembali MR. Pada tanggal 9 Juli 1925 dibentuk komisi dengan
tugas :
 menyelidiki besarnya lalu lintas,
 memberikan usulan tentang tindakan yang perlu dilakukan oleh
Pemerintah.
 Pada tahun 1933 dikeluarkan Lembaran Negara no. 86 dan 451 tentang
peraturan pelaksanaannya, dan kemudian MR dan RR dicabut .
 Pada tahun 1965 dikeluarkan UU no. 3 tahun 1965 tentang lalu lintas
dan angkutan jalan raya
(sebagai pengganti Lembaran Negara no. 86 tahun 1933).
• Thn 1980 berlaku UU no. 13 /1980 tentang jalan.
• Thn 1985 berlaku Peraturan Pemerintah no. 26 /1985 tentang Jalan,
• Thn 1992 berlaku UU no. 14 / 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Raya.
• Tahun 2004 ada pembaharuan UU jalan menjadi no 38 tahun 2004
dengan adanya beberapa istilah baru menggantikan istilah yang sudah
ada.
• Thn 2006 berlaku Peraturan Pemerintah no. 34 /2006 tentang Jalan,
• UU No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas angkutan jalan

79
A. PENGERTIAN
TENTANG JALAN
1) Menurut Undang Undang No. 13 Tahun 1980
jalan adalah suatu prasarana penghubung darat dalam bentuk
apapun, tidak terbatas pada bentuk jalan yang konvensional yaitu jalan
pada permukaan tanah, akan tetapi juga jalan yang melintasi sungai
besar/danau/laut, di bawah permukaan tanah dan air (terowongan)
dan di atas permukaan tanah (jalan layang), meliputi segala bagian
jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperhitungkan bagi lalu lintas (kendaraan, orang atau hewan).
• Dalam pengertian ini tidak termasuk jalan rel (jalan kereta api, jalan
lori, dan jalan kabel).
• Bangunan pelengkap jalan :
adalah bangunan yang tidak dapat dipisahkan dari jalan, antara
lain :
– jembatan,
– lintas atas (overpass),
– lintas bawah (underpass),
– tempat parkir,
– gorong-gorong,
– tembok penahan tanah, dan
– saluran air jalan.
– Perlengkapan jalan meliputi:
– rambu-rambu lalu lintas,
– tanda-tanda jalan (marka),
– pagar pengaman lalu lintas,
– pagar dan patok-patok Ruang Milik Jalan,
– patok hektometer dan patok kilometer,
– lampu penerangan jalan,
– lampu pengatur lalu lintas (traffic light)

– 2). menurut UU no 38 tahun 2004:


– Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala
bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di
atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta
di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan
kabel.
– . Menurut peruntukkannya, jalan dibedakan atas:
– Jalan Umum dan Jalan Khusus
– (UU RI No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan)
– Jalan Umum : jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum
– . Jalan Khusus : jalan yang tidak diperuntukkan bagi lalu

80
– lintas umum serta dikelola oleh satu instansi tersendiri,
– misalnya :
– * jalan inspeksi saluran pengairan, minyak, atau gas
– * jalan perkebunan, pertambangan, Perhutani
– * jalan komplek perumahan bukan untuk umum,
– * jalan di kompleks sekolah atau perguruan tinggi, serta
– * jalan untuk daerah-daerah keperluan militer.

. Menurut sistemnya, jaringan jalan dibedakan


atas: sistem jaringan jalan primer dan sistem
jaringan jalan sekunder.
(UU RI No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan)
1. Sistem jaringan jalan primer:

sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi


barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di
tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul
jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
(kota sebagai simpul)
2. Sistem jaringan jalan sekunder:

sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi


barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan
perkotaan.

. Menurut fungsinya jalan dibedakan atas:


Jalan Arteri, Jalan Kolektor, Jalan Lokal dan
Jalan Lingkungan
(UU RI No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan)

1. Jalan Arteri

jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama


dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata
tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.

2. Jalan Kolektor

jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul


atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk
dibatasi.
3. Jalan Lokal

jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat

81
dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata
rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
Jalan Lingkungan
jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan
kecepatan rata-rata rendah.
• Penentuan kelas jalan menjadi Jalan Arteri, Jalan Kolektor ataupun
Jalan Lokal dilakukan berdasar pada kebutuhan akan penggunaannya
sesuai dengan survai asal tujuan.
• Jalan berdasarkan fungsinya tidak akan dapat melayani lalu lintas
secara mandiri, tetapi terdapat dalam suatu jaringan jalan (road
network).
. Berdasarkan statusnya, jalan dibedakan menjadi:
Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten,
Jalan Kota, dan Jalan Desa
1. Jalan Nasional :

jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan antara ibu kota provinsi dan jalan strategis nasional
serta jalan tol.
Penyelenggaraan jalan : wewenang Mentri Pekerjaan Umum
2. Jalan Provinsi :

Jalan kolektor dalam sistim jaringan jalan primer yang menghubungkan


Ibu kota provinsi dengan ibu kota kabupaten/ kota, atau antar ibukota
kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
Penyelenggaraan jalan : wewenang Pemerintah Provinsi
3. Jalan Kabupaten :
jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan
ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota
kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal,
antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan
jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis
kabupaten.
Penyelenggaraan jalan : wewenang Pemerintah Kabupaten
Jalan Kota :
jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, pusat pelayanan
dengan persil, antarpersil, serta antarpusat permukiman yang berada
di dalam kota.
Penyelenggaraan jalan : wewenang Pemerintah Kota
. Jalan Desa :
jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar
permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
Penyelenggaraan jalan : wewenang Pemerintah Kabupaten.

82
. Berdasarkan kelasnya, jalan dibedakan menjadi:
Jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang,
dan jalan kecil.

. JALAN BEBAS HAMBATAN (FREEWAY) :


Jalan umum untuk lalu lintas menerus yang memberikan pelayanan
menerus/tidak terputus dengan pengendalian jalan masuk secara
penuh,
dan tanpa adanya persimpangan sebidang, serta dilengkapi dengan
pagar ruang milik jalan, paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah
dan dilengkapi dengan median.
. JALAN RAYA (HIGHWAY) :
Jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan
masuk secara terbatas dan dilengkapi dengan median, paling sedikit 2
(dua) lajur setiap arah.
. JALAN SEDANG (ROAD) :
Jalan umum dengan lalu lintas jarak sedang dengan pengendalian
jalan masuk tidak dibatasi, paling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua)
arah dengan lebar paling sedikit 7 (tujuh) meter.
. JALAN KECIL (STREET) :
Jalan umum untuk melayani lalu lintas setempat, paling sedikit 2 (dua)
lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar paling sedikit 5,5 (lima setengah)
meter

• JALAN TOL
• adalah jalan umum yang kepada pemakainya dikenakan kewajiban
membayar tol.
• Tol ialah sejumlah uang tertentu yang dibayar langsung oleh
pemakaian jalan pada saat melewati jalan tersebut.
• Syarat :
– Tetap merupakan satu kesatuan dengan jaringan jalan yang ada.
– Merupakan jalan alternatif dari jalan yang sudah ada.
Dengan demikian sebelum dibuat Jalan tol harus ada lintas jalan umum
lain yang mempunyai asal dan tujuan yang sama, sehingga pemakai
jalan bebas menentukan pilihan untuk menggunakan atau tidak
menggunakan Jalan tol.
• Menurut aturan lama, kepemilikan dan hak penyelenggaraan jalan tol
ada pada Pemerintah dan oleh Pemerintah diserahkan kepada Badan
Hukum Usaha Negara Jalan Tol (PT. Jasa Marga).
• Menurut UU No 38/2004 tentang Jalan, penyelenggaraan jalan tol
dilakukan oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), yakni suatu badan
yang dibentuk oleh Menteri, berada di bawah, dan bertanggung jawab
kepada Menteri.

83
• Penyelenggaraan Jalan tol meliputi semua kegiatan perwujudan
sasaran pembinaan jalan tol dan kegiatan operasinya yakni:
• peraturan pemakaian,
• pengamanan jalan tol, serta
• usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan penyelenggaraan
Jalan tol.
• Atas usul Menteri Pekerjaan Umum, Presiden menetapkan suatu ruas
jalan sebagai jalan tol dengan didasarkan atas rencana umum jangka
menengah dan program perwujudan jaringan jalan.
• Untuk menarik minat agar masyarakat memakai jalan tol, maka :
• Biaya Operasi Kendaraan (BOK) jika melalui jalan tol ditambah dengan
biaya tol harus lebih rendah dari BOK jika melalui jalan umum yang
ada.
• Jalan tol harus menpunyai spesifikasi yang lebih tinggi daripada jalan
umum yang ada seperti :
• tidak mempunyai persilangan yang sebidang dengan jalan lain,
• tidak mempunyai jalan masuk secara langsung kecuali yang terkendali.
• Jalan tol juga harus memberi keandalan yang lebih tinggi (keamanan
dan kenyamanan) kepada para pemakainya.

. PENAMPANG MELINTANG JALAN


• Definisi :
adalah potongan melintang tegak lurus sumbu jalan yang menunjukkan
bentuk dan susunan bagian-bagian jalan.
 Bagian-bagian jalan yang utama :
1) Bagian yang langsung digunakan untuk lalu lintas :
a) Badan jalan, terdiri dari :
- Jalur lalu lintas
- Bahu jalan
b) Trotoar
c) Median.
2) Bagian untuk drainase jalan
a) Saluran tepi jalan
b) Kemiringan melintang jalur lalu lintas
c) Kemiringan melintang bahu
d) Kemiringan lereng / talud / ambang pengaman
3) Bagian pelengkap jalan
a) Kereb
b) Pengaman tepi

4) Bagian konstruksi jalan (lapis perkerasan)


a) Lapisan permukaan
b) Lapisan fondasi atas
c) Lapisan fondasi bawah
d) Lapisan tanah dasar

84
Menurut Pasal 11 UU no 38 tahun 2004 tentang Jalan, bagian-bagian
jalan dibedakan menjadi:
1. Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA) meliputi badan jalan, saluran tepi
jalan dan ambang pengaman.
2. Ruang Milik Jalan (RUMIJA) meliputi Ruang Manfaat Jalan dan
sejalur tanah tertentu di luar Ruang Manfaat Jalan.
3. Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA) merupakan sejalur tanah
tertentu di luar Ruang Milik Jalan yang ada di bawah pengawasan
penyelenggara jalan .
4. Ruang Manfaat Jalan dibatasi oleh

a) lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi


jalan,
b) tinggi 5 meter di atas permukaan perkerasan pada sumbu jalan, dan
c) kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah muka jalan.

• Ruang Milik Jalan dibatasi oleh lebar yang sama dengan RUMAJA
ditambah ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter
dan kedalaman 1,5 meter.
• Ruang Pengawasan Jalan : ruang sepanjang jalan di luar RUMAJA yang
dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan sbb:
(1) jalan Arteri minimum 20 meter,
(2) jalan Kolektor minimum 15 meter,
(3) jalan Lokal minimum 10 meter.
Untuk keselamatan pemakai jalan, Ruwasja di daerah tikungan
ditentukan oleh jarak pandang bebas.

Artikel

Bagian-Bagian
dari
Penampang Melintang Jalan
• Badan Jalan
• Badan jalan terdiri atas :
a. Jalur lalu lintas (Carriageway / travelled way):

bagian penampang melintang jalan yang digunakan untuk lewat


kendaraan.
Bagian ini terdiri dari atas beberapa lajur (lane), tergantung
volume lalulintas yang akan ditampung.
b. Bahu jalan.

85
Bagian jalan yang terletak ditepi jalur lalulintas
Lajur lalu lintas adalah bagian dari jalur lalu lintas yang
yang digunakan untuk dilewati oleh satu rangkaian
kendaraan beroda empat atau lebih dalam 1 arah.

• Penentuan Lebar Lajur Lalu Lintas


Secara teoritis lebar lajur ini sukar dan bahkan tidak mungkin
ditentukan secara teliti, mengingat :
1. Lintasan kendaraan tidak mungkin diikuti secara tepat oleh
kendaraan lain yang ada di belakangnya.
2. Lebar lajur tidak boleh lebih kecil dari lebar maksimum
kendaraan, tetapi jangan terlalu lebar karena konstruksi
perkerasan akan mahal.
3. Tidak mungkin membuat lebar lajur sama dengan lebar lintasan
kendaraan, karena pengemudi sulit mempertahankan
kendaraannya untuk tetap berjalan lurus.
4. Perlu adanya kebebasan samping antar sesama kendaraan,
karena adanya perubahan kemudi (karena angin, kendaraan lain
yg menyiap, permukaan tidak rata, gaya sentrifugal di tikungan).
5. Makin cepat suatu kendaraan berjalan, diperlukan lebar lajur
yang makin besar.

Keamanan
Penelitian menunjukkan bahwa jumlah kecelakaan akan menurun bila
lebar jalan ditambah.
Penelitian lain menunjukkan bahwa naiknya lebar lajur sampai dengan
3,5 meter jumlah kecelakaan menurun tajam.
Jika lebar > 3,5 meter jumlah kecelakaan hampir tetap.

Kenyamanan
ditentukan oleh rasa lega yang dialami oleh pengemudi, terutama saat
keadaan kritis, misal : berpapasan dengan kendaraan lain, memasuki
jembatan sempit & under pass.
Rasa lega akan tetap ada apabila pada daerah kritis tsb tersedia
kebebasan yang cukup.
Penelitian di AS : lebar lajur > 3,5 m.
Jarak antara bila kendaraan berpapasan
Lebar lajur kendaraan = lebar kendaraan + jarak antara bila kendaraan
berpapasan.
Lebar lajur jalan di beberapa negara:
1. Amerika Serikat : 10, 11, 13 ft
2. Inggris : 9 – 12 ft (urban)

7.3, 10, 11 m (rural)

86
1. Kanada : 3 – 3,25 m (tanah),
3,75 m
2. Indonesia :

Jalan di daerah pedalaman : 3,5 meter


Jalan di daerah perkotaan :
Kelas perencanaan Lebar Lajur ( m )
Tipe I Kelas 1 3,5
Kelas 2 3,5
Tipe II Kelas 1 3,5
Kelas 2 3,25
Kelas 3 3,25 – 3.0

• Adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas.


• Fungsi :
a. Tempat berhenti sementara bagi kendaraan (orientasi arah
perjalanan, mogok, istirahat, dll )
b. Memberikan kebebasan samping (rasa lega), sehingga
meningkatkan kegunaan jalan.
c. Menahan konstruksi perkerasan dari samping
d. Tempat memasang rambu lalu lintas, rel pelindung (guard rail),
patok-patok Km, DMJ dan lain-lain.
e. Tempat persiapan bagi pemeliharaan & perbaikan jalan.
f. Meningkatkan jarak pandangan pada tikungan.

• Lebar bahu jalan tergantung pada :


a. fungsi dan tipe jalan,
b. volume lalu lintas,
c. kecepatan kendaraan,
d. kegiatan di sekitar jalan
e. biaya yang tersedia (untuk pembebasan tanah & konstruksi)
f. Lebar bahu jalan biasanya bervariasi antara 0,5 – 2,5 m
tergantung tingkat keperluannya.
g. Kemiringan melintang bahu jalan bervariasi (s/d 6 %),
tergantung :
a. jenis permukaan bahu jalan
b. intensitas hujan
c. kemungkinan penggunaan bahu jalan
h. Berdasarkan tipe perkerasannya bahu dapat dibedakan atas :
i. Bahu yang tidak diperkeras (soft shoulder):
j. bahu yang hanya dibuat dari material perkerasan jalan tanpa
bahan pengikat.
k. Digunakan untuk daerah-daerah yang tidak penting, dimana
kendaraan yang
l. menggunakan bahu ini tidak begitu banyak.

87
m. Bahan yang digunakan : agregat sedikit bercampur lempung.
n. Bahu yang diperkeras (hard shoulder):
o. dibuat dengan menggunakan bahan pengikat sehingga lapisan
tersebut lebih
p. kedap air dibandingkan dengan bahu yang tidak diperkeras.
q. Jenis ini digunakan pada jalan-jalan dimana kendaraan yang
akan berhenti &
r. memakai bagian tersebut besar jumlahnya, misal : sepanjang
jalan tol, jalan
s. arteri dalam kota, dan di tikungan yang tajam.

• Trotoar / Side walk


• adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas yang
digunakan khusus untuk pejalan kaki (pedestrian).
• Untuk keamanan pejalan kaki, maka trotoar harus dibuat terpisah dari
jalur lalu lintas oleh struktur fisik berupa kerb.
• Jalur Pemisah / median
• Fungsi lain :
a. membatasi belokan (U-turn) agar lalu lintas lebih lancar,
b. membentuk lajur belok kanan pada persimpangan
c. mengurangi sorotan lampu
d. menyediakan jalur hijau dan pembuatan taman kota.

• Jalan dengan median juga disebut divided carriage way.


• Saluran samping
Berguna untuk :
1. Mengalirkan air dari permukaan perkerasan jalan atau dari
bagian luar jalan.
2. Menjaga supaya konstruksi jalan selalu dalam keadaan kering
tidak terendam air.

• Bentuk : trapesium atau persegi panjang.


• Di daerah perkotaan :
karena terbatasnya tanah yang ada, saluran samping dibuat
empat persegi panjang dari beton bertulang dan ditempatkan di bawah
trotoar.
• Di daerah pedalaman :
karena tanah yang tersedia biasanya masih longgar, saluran
samping umumnya berbentuk trapesium.
• Dinding saluran bisa dibuat dari tanah asli atau pasangan batu kali.
• Lebar dasar disesuaikan dengan debit air yang akan mengalir pada
saluran tersebut.
• Landai dasar saluran biasanya dibuat mengikuti kelandaian jalan,
tetapi jika kelandaian jalan cukup besar dan dasar saluran hanya dibuat

88
dari tanah asli maka landai dasar saluran tidak dibuat mengikuti landai
jalan tetapi bertingkat.
Hal ini dilakukan untuk menghindari gerusan air ke dasar
saluran.

• Talud / Kemiringan Lereng


• Umumnya dibuat 1V : 2H.
– Yang terbuat dari pasangan batu kali dapat dibuat 1V : 1H.
– Untuk tanah yang mudah longsor talud jalan harus dibuat sesuai
dengan besarnya landai yang aman, yang diperoleh dari perhitungan
kestabilan lereng.
• Berdasarkan keadaan tanah pada lokasi jalan tersebut, mungkin saja
dibuat bronjong, tembok penahan tanah, lereng bertingkat (berm)
ataupun hanya ditutupi rumput saja.

• Kereb (Curb / batas perkerasan)


• adalah penonjolan atau peninggian tepi perkerasan atau bahu jalan,
yang terutama dimaksudkan untuk :
– keperluan drainase,
– mencegah keluarnya kendaraan dari tepi perkerasan, dan
– memberikan ketegasan tepi perkerasan.

1. Kereb peninggi (mountable curb)

– adalah kereb yang direncanakan agar dapat didaki kendaraan,


biasanya terdapat di tempat parkir di pinggir jalan / jalur lalu lintas.
– Untuk kemudahan didaki oleh kendaraan maka kereb harus
mempunyai bentuk permukaan lengkung yang baik.
– Tingginya berkisar antara 10-15 cm.
2. Kereb penghalang (barrier curb)

– adalah kereb yang direncanakan untuk menghalangi atau mencegah


kendaraan meninggalkan jalur lalu lintas, terutama di median, trotoar,
& pada jalan tanpa pagar pengaman.
– Tinggi : antara 25-30 cm.
3. Kereb berparit (gutter curb)

– adalah kereb yang direncanakan untuk membentuk sistem drainase


perkerasan jalan.
– Kereb ini dianjurkan pada jalan yang memerlukan sistem drainase
perkerasan yang baik.
– Pada jalan lurus diletakkan di tepi luar dari perkerasan, sedangkan
pada tikungan diletakkan pada tepi dalam.
– Tinggi : antara 10-20 cm.
4. Kereb penghalang berparit (barrier gutter curb)

89
– adalah kereb yang direncanakan untuk membentuk sistem drainase
perkerasan jalan.
– Tinggi : antara 20-30 cm.

• Pengaman Tepi
• Fungsi :
– untuk memberikan ketegasan tepi badan jalan.
– Jika terjadi kecelakaan, dapat mencegah kendaraan keluar dari badan
jalan.
Pengaman tepi umumnya dipergunakan di :
– sepanjang jalan yang menyusur jurang,
– tanah timbunan dengan tikungan yang tajam,
– tepi jalan dengan tinggi timbunan > 2,5 meter, dan
– pada jalan-jalan dengan kecepatan tinggi.

Jenis pengaman tepi dapat dibedakan dari jenis


material yang digunakan, antara lain:
1. dari besi (guard rail)
2. dari beton (parapet) untuk jalan dgn kec. 80 km/jam
3. dari tanah timbunan untuk jalan dgn kec. < 80 km/jam
4. dari batu kali untuk jalan dgn kec. < 60 km/jam
5. dari balok kayu untuk jalan dgn kec. < 40 km/jam dan daerah
parkir.

Lapisan perkerasan jalan dapat dibedakan atas :


Lapisan permukaan
Lapisan pondasi atas
Lapisan pondasi bawah
Lapisan tanah dasar
• Ruang Bebas
• Ruang bebas diperlukan untuk memberikan rasa lega bagi pengemudi
dalam menjalankan kendaraannya.
• Dengan demikian kapasitas dan tingkat pelayanan jalan akan
meningkat.

JHONY SAPUTRA di 06.07

90
Artikel
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dengan melihat besarnya jumlah kecelakaan yang ada di Indonesia
keselamatan jalan harus dipandang secara komprehensif dari semua aspek
perencanaan, pekerjaan pembuatan suatu jalan. Perencanaan Geometrik jalan
merupakan salah satu persyaratan dari perencanaan jalan yang merupakan
rancangan arah dan visualisasi dari trase jalan agar jalan memenuhi persyaratan
selamat, aman, nyaman, efisien. Tidak selalu persyaratan itu bisa terpenuhi karena
adanya faktor – faktor yang harus menjadi bahan pertimbangan antara lain
keadaan lokasi, topografi, geologis, tata guna lahan dan lingkungan. Semua faktor
ini bisa berpengaruh terhadap penetapan trase jalan karena akan mempengaruhi
penetapan Alinyemen Horisontal, Alinyemen Vertikal dan penampang melintang
sebagai bentuk efisiensi dalam batas persyaratan yang berlaku.
Berbagai penelitian tentang pengaruh geometrik terhadap keamanan
berkendara telah dilakukan di beberapa Negara namun menghasilkan kesimpulan
yang berbeda sehingga mendorong peneliti untuk mengetahui lebih jauh
hubungan geometri jalan dan keamanan berkendara beserta karakteristiknya yang
terjadi di Indonesia. Dalam makalah ini kami akan coba mengangkat tema “

91
Tinjauan Alinyemen Horisontal pada Pertigaan Jalan Brigjen Sudiarto – Terminal
Bus Pucang Gading Surabaya“.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Kecelakaan bisa diakibatkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi.


Geometrik bisa menjadi faktor penyebab terjadinya kecelakaan. Sejauh mana
pengaruh keadaan geometrik jalan terhadap terjadinya kecelakaan, maka untuk
kepentingan penanggulangannya diperlukan adanya suatu pola yang dapat
menggambarkan karakteristik suatu jalan raya.
Didalam makalah ini akan dibahas mengenai :
1. Pengertian Geometrik jalan
2. Pengertian Alinyemen Horisontal
3. Pengertian Alinyemen Vertikal
4. Tinjauan Alinyemen Horisontal

1.3 TUJUAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini antara lain :
1. Memahami pengertian Geometrik jalan
2. Memahami pengertian alinyemen horisontal
3. Memahami contoh perhitungan keamanan alinyemen horisontal
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Geometrik jalan

Geometrik jalan adalah suatu bangun jalan raya yang menggambarkan


tentang bentuk/ukuran jalan raya baik yang menyangkut penampang melintang,
memanjang, maupun aspek lain yang terkait dengan bentuk fisik jalan. Secara
filosofis, dalam perencanaan (perancangan) bentuk geometrik jalan raya harus
ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan dapat memberikan pelayanan yang
optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya.

92
Geometrik jalan raya mencakup berbagai hal / ketentuan yang telah ditetapkan
diantaranya tentang Alinemen Vertikal jalan, Alinemen Horizontal jalan,
Klasifikasi jalan, bagian-bagian jalan serta hal-hal yang menyangkut teknis jalan
lainnya didasarkan pada UU No. 38/2004 tentang Jalan.

Faktor – Faktor Dalam Perancangan Geometri Jalan


Tujuan utama perancangan geometri adalah untuk menghasilkan jalan
yang dapat melayani lalu lintas dengan nyaman, efisien serta aman. Kapasitas
suatu jalan merupakan suatu faktor pada jalan – jalan , dengan keselamatan
merupakan suatu faktor yang dominan untuk jalan , yang mempunyai kecepatan
tinggi.
Elemen – elemen utama perancangan geometri jalan adalah :

a. Alinyemen Horisontal

Alinyemen Horisontal terutama dititik beratkan pada perencanaan sumbu jalan


dimana akan terlihat jalan tersebut merupakan jalan lurus, menikung ke kiri, atau
ke kanan. Sumbu jalan terdiri dari serangkaian garis lurus, lengkung berbentuk
lingkaran dan lengkung peralihan dari bentuk garis lurus kebentuk kebentuk
lingkaran. Perencanaan geometrik jalan memfokuskan pada pemilihan letak dan
panjang dari bagian ini , sesuai dengan kondisi medan.
Besarnya radius lengkung horizontal dipengaruhi oleh nilai kecepatan rencana,
elevasi dan gaya gesek jalannya, hindarkan merencanakan alinyemen horizontal
jalan dengan mempergunakan radius minimum karena akan menghasilkan
lengkung yang paling tajam pada ruas jalan tersebut sehingga pengemudi merasa
tidak nyaman dengan kondisi ini. Besar kecilnya radius lengkung horizontal
disesuaikan dengan kecepatan rencana pada ruas jalan tersebut, tabel dibawah ini
menunjukkan besarnya radius lengkung Horizontal dengan kecepatan rencananya.

b. Alinyemen Vertikal

93
Alinyemen Vertikal atau penampang memanjang jalan disini akan terlihat
apakah jalan tersebut tanpa kelandaian, mendaki atau menurun. Pada perencanaan
alinyemen Vertikal ini mempertimbangkan bagaimana meletakkan sumbu jalan
sesuai kondisi medan dengan memperhatikan sifat operasi kendaraan, keamanan,
jarak pandang, dan fungsi jalan.
Pada jalan – jalan berlandai dan volume yang tinggi, seringkali kendaraan –
kendaraan berat yang bergerak dengan kecepatan di bawah kecepatan rencana
menjadi penghalang kendaraan lain yang bergerak dengan kecepatan sekitar
kecepatan rencana, jenis kendaran yang sering menjadi penghalang adalah jenis
truk. Dalam perencanaan jalan prosentase turunan / kelandaian yang disarankan
menggunakan landai datar untuk jalan – jalan diatas tanah timbunan yang tidak
mempunyai kereb. Lereng melintang jalan dianggap cukup untuk mengalirkan air
di atas badan jalan dan kemudian ke lereng jalan. Landai 15 % dianjurkan untuk
jalan – jalan diatas tanah timbunan dengan medan datar dan menggunakan kereb.
Kelandaian ini cukup membantu mengalirkan air hujan ke inlet atau saluran
pembuangan. Landai minimum sebesar 3 – 5 % dianjurkan dipergunakan untuk
jalan – jalan di daerah galian atau jalan yang memakai kereb. Lereng melintang
hanya cukup untuk mengalirkan air hujan yang jatuh diatas badan jalan,
sedangkan landai jalan dibutuhkan untuk membuat kemiringan dasar saluran
samping.

94
BAB III
PEMBAHASAN

Evaluasi geometrik jalan dilakukan untuk mengetahui apakah kondisi


geometrik jalan yang ada masih dapat memenuhi syarat atau tidak. Evaluasi
dilakukan terhadap ketetapan jarak pandang, alinyemen horisontal, alinyemen
vertikal dan keterpaduan antara keduanya.

Alinyemen Horisontal

Evaluasi alinyemen horinsontal ini bertujuan untuk mengetahui apakah


kondisi – kondisi yang ada masih memenuhi syarat geometrik jalan. Syarat –
syarat yang harus dipenuhi adalah :
􀂉 Rc > Rminimum untuk kecepatan rencana dan jenis lengkung yang sesuai.
Rminimum untuk Vr = 40 km/jam dengan lengkung peralihan adalah 60
m,sedangkan
untuk Vr = 40 km/jam tanpa lengkung peralihan Rcmin = 250 m. (Tabel 2.30)
􀂉 ex < e maks untuk perencanaan super elevasi dimana e maks = 8 %
􀂉 Jarak antara 2 tikungan > ½ * ( Ltotal kedua tikungan) untuk dua buah tikungan
yang berdekatan.
Contoh perhitungan evaluasi terhadap alinyemen horisontal.

95
* Lengkung full circle Station PH1 0+541,75
- Sudut tangen = 31 º 00 ’

- Tc = 132 m

- Rc = Tc = 132 = 476 m
tan1/ 2β. tan1/ 2.31

BAB IV
KESIMPULAN
Hubungan lebar jalan, alinyemen horisontal dan vertikal serta jarak
pandang dasarnya memberikan efek besar pada keamanan berkendara. Umumnya
lebih peka bila mempertimbangkan faktor – faktor ini bersama – sama karena
mempunyai efek psikologis pada para pengemudi dan mempengaruhi pilihannya
pada kecepatan gerak. Misalnya memperlebar alinyemen jalan yang tadinya
sempit dan tidak memenuhi persyaratan akan dapat mengurangi kecelakaan bila
kecepatan tetap sama setelah perbaikan jalan. Akan tetapi, kecepatan biasanya
semakin besar karena adanya rasa aman, sehingga laju kecelakaanpun meningkat.
Perbaikan superelevasi dan perbaikan permukaan jalan serta alinyemen yang
dilaksanakan secara terisolasi juga mempunyai kecenderungan yang sama untuk
memperbesar laju kecelakaan. Dari pertimbangan keselamatan, sebaiknya
dilakukan penilaian kondisi kecepatan yang mungkin terjadi setelah setiap jenis
perbaikan jalan dan mengecek lebar jalur, jarak pandang dan permukaan jalan
semuanya memuaskan untuk menaikkan kecepatan yang diperkirakan.

96
Pemilihan bahan untuk lapisan jalan yang sesuai dengan kebutuhan lalu
lintas dan menghindari kecelakaan selip tidak kurang pentingnya dibanding
pemilihan untuk tujuan – tujuan konstruksi. Tempat – tempat yang mempunyai
permukaan dengan bagian tepi yang rendah koefisien gayanya beberapa kali lipat
akan mudah mengalami kecelakaan selip dibanding lokasi – lokasi lain yang
sejenis yang mempunyai nilai – nilai yang tinggi. Hal ini penting bila pengereman
atau pembelokan sering terjadi , misalnya pada bundaran jalan melengkung dan
persimpangan pada saat mendekati tempat pemberhentian bis, penyeberang dan
pada jalan jalan miring, maka perlu diberi permukaan jalan yang cocok.
Dalam menganalisis sebaiknya dilakukan secara bersamaan antara
pengaruh Lengkung Horisontal dan Naik Serta Turun Vertikal, sehingga pengaruh
terhadap angka kecelakaan bisa didapatkan suatu hubungan yang signifikan /
dapat ditekan seminimal mungkin.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pola hubungan Angka
Kecelakaan dengan berbagai karakteristik kecelakaan yang ada. Untuk
memperkaya studi empiris perlu diadakan studi sejenis pada wilayah yang
berbeda.
Saran
Sebagai seorang calon tenaga ahli teknik sipil yang professional, harus
dipahami bahwa menata suatu konstruksi ruas jalan dibutuhkan berbagai
perhitungan yang matang, akurat dan ketelitian yang tinggi agar faktor-faktor
yang dipersyaratkan dalam perencanaan pembangunan maupun peningkatan jalan
serta pelaksananaan pekerjaan dapat terpenuhi. Hal ini untuk menjaga kualitas
jalan dan faktor keselamatan sesuai dengan standard yang telah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Jenderal Bina Marga, Peraturan Perencanaan Geometrik untuk Jalan
Antar Kota No 038/T/BM/1997.
2. Sukirman, S., (1994), Dasar Dasar Perencanaan Geometrik Jalan, Nova,
Bandung.
3. Fachrurrozy.(2001), Keselamatan Lalu Lintas ( Traffic Safety ), Universitas
Gadjah Mada,Yogyakarta.

97
4. Hamirhan Saodang ., (2004), Geometrik Jalan, Nova, Bandung.
Yudi Wahyudin di 05.09

98
Artikel 1

Desain Geometric Jalan Raya (Rakayasa Jalan Raya)

Disadari bersama, bahwa jalan sebagai salah satu prasarana transportasi


merupakan unsur penting dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara, dalam pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, wilayah negara, dan
fungsi masyarakat serta dalam memajukan kesejahteraan umum sebagaimana
tercantum dalam Undang-undang Nomor 38
Tahun 2004 tentang Jalan
Perencanaan geometrik jalan adalah berkaitan dengan perencanaan dimensi-
dimensi jalan agar tetap terlihat. Tujuan utama dari perencanaan geometrik jalan
adalah untuk menjamin keamanan, efisiensi dan efektivitas pergerakan
lalu lintas. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah sifat gerakan, dimensi
kendaraan, sifat pengemudi, dan
karakteristik arus lalu lintas.

BAGIAN-BAGIAN JALAN

Bagian yang bermanfaat untuk lalu lintas, terdiri dari: jalur lalu lintas, lajur lalu
lintas, bahu jalan, trotoar, median
Bagian yang bermanfaat untuk drainase jalan, terdiri dari: ditch, kemiringan
melintang jalan maupun bahu, kemiringan lereng
 Bagian pelengkap, terdiri dari: kerb, guard rail atau parapet
 Bagian konstruksi jalan, terdiri dari: lapisan surface, lapisan pondasi atas
maupun bawah, lapisan tanah dasar
 Ruang manfaat jalan (Rumaja)
 Ruang milik jalan (Rumija)
 Ruang pengawasan jalan (Ruwasja)

jalur lalu lintas (travelled/carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan


jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan.
Lajur lalu lintas adalah bagian dari jalur lalu lintas yang khusus diperuntukkan
untuk dilewati oleh satu rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu
arah.
Bahu jalan adalahjalur yang terletak pada berdampingan jalur lalu lintas dengan

99
ataupun tanpa diperkeras
Trotoar (side walk) adalah jalur yang terletak bersisian dengan jalur lalu lintas
yang khusus diperuntukkan bagi pejalan kaki (pedestrian)

jalur lalu lintas (travelled/carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan


jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan. Sedangkan Lajur lalu lintas
adalah bagian dari jalur lalu lintas yang khusus diperuntukkan untuk dilewati oleh
satu rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu arah.

PARAMETER DESAIN

 Kendaraan rencana
 Kecepatan
 Volume lalu lintas
 Tingkat pelayanan
 Jarak pandang

ALINEMEN HORISONTAL

Alinemen horisontal (trase jalan) adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang
horisontal. Alinemen horisontal tersusun atas garis lurus dan garis lengkung
(busur) atau lebih dikenal dengan istilah tikungan. Busur terdiri atas busur
lingkaran saja (full-circle), busur peralihan saja (spiral-spiral), atau gabungan
busur lingkaran dan busur peralihan (spiral-circlespiral).

Ada Gaya Apa Saja yang terjadi di tikungan ?

F=ma
F = (G.V^2)/(g.R)
Dimana :
F = gaya sentrifugal
m = massa kendaraan
a = percepatan sentrifugal
G = berat kendaraan
g = gaya gravitasi

100
V = kecepatan kendaraan
R = jari-jari tikungan

Gaya yang mengimbangi gaya sentrifugal adalah berasal dari :


• Gaya gesekan melintang roda (ban) kendaraan yang sangat
dipengaruhi oleh koefisien gesek (= f)
• Superelevasi atau kemiringan melintang permukaan jalan (= e)

Ketajaman lengkung horisontal (tikungan) dinyatakan dengan besarnya radius


lengkung (R) atau dengan besarnya derajat lengkung (D). Derajat lengkung (D)
adalah besarnya sudut lengkung yang menghasilkan panjang busur 25 meter.

D = (25/π.R) . 360
D = 1432.39 / R

Radius lengkung (R) sangat dipengaruhi oleh besarnya superelevasi (e) dan
koefisien gesek (f) serta kecepatan
rencana (V) yang ditentukan. Untuk nilai superelevasi dan koefisien gesek
melintang maksimum pada suatu kecepatan yang telah ditentukan akan
meghasilkan lengkung tertajam dengan radius minimum (Rmin).

Pada jalan lurus dimana radius lengkung tidak berhingga perlu direncanakan super
elevasi (en) sebesar 2 – 4 persen
untuk keperluan drainase permukaan jalan.

Secara teori pada tikungan akan terjadi perubahan dari radius lengkung tidak
berhingga (R~) pada bagian lurus menjadi radius lengkung tertentu (Rc)pada
bagian lengkung dan sebaliknya. Untuk mengimbangi perubahan gaya sentrifugal
secara bertahap diperlukan lengkung yang merupakan peralihan dari R~ menuju
Rc dan kembali R~
Lengkung peralihan ini sangat dipengaruhi oleh sifat pengemudi, kecepatan
kendaraan, radius lengkung dan superelevasi jalan. Pencapaian superelevasi dari
en menjadi emaks dan kembali menjadi en dilakukan pada awal sampai akhir
lengkung secara bertahap. Panjang lengkung peralihan (Ls) diperhitungkan dari

101
superelevasi sebesar en sampai superelevasi mencapai emaks.

Panjang lengkung peralihan (Ls) yang digunakan dalam perencanaan adalah yang
terpanjang dari pemenuhan persyaratan untuk:
• Kelandaian relatif maksimum

Modifikasi rumus SHORT

Berdasarkan panjang perjalanan selama waktu tempuh 3 detik (Bina Marga) atau
2 detik (AASHTO)Ls = (V/3.6) . T

Kelandaian relatif maksimum (1/m) berdasarkan kecepatan rencana

No Kecepatan Rencana (Vr)


20 30 40 50 60 80 100
Bina Marga 1/50 1/75 1/100 1/115 1/125 1/150 1/100

No Kecepatan Rencana (Vr)


32 48 64 80 88 96 104

AASHTO 1/33 1/244


1/150 1/175 1/200 1/213 1/222

Diagram Superelevasi

102
Merupakan penggambaran pencapaian superelevasi dari lereng normal (en)
sampai lereng maksimal (e maks), sehingga dapat ditentukan diagram penampang
melintang setiap titik (stationing) pada suatu tikungan yang direncanakan.

Bentuk Tikungan

 Full Circle,
 Spiral – Circle – Spiral,
 Spiral – Spiral,

Full Circle

103
Karena hanya terdiri dari lengkung sederhana saja, maka perlu adanya lengkung
peralihan fiktif (Ls`) untuk mengakomodir perubahan superelevasi secara
bertahap. Bina marga menempatkan ¾ Ls` pada bagian lurus dan ¼ Ls` pada
bagian lengkung • AASHTO menmpatkan 2/3 Ls` pada bagian lurus dan 1/3 Ls`
pada bagian lengkung.

Spiral – Circle – Spiral

104
Lc untuk lengkung type S – C – S sebaiknya ≥ 20 meter

Spiral – Spiral

105
Rc yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga Ls yang diperlukan dari Ls
berdasarkan landai relatif lebih besar dari
pada Ls berdasarkan modifikasi SHORT serta Ls berdasarkan panjang perjalanan
selama 3 detik (Bina Marga) atau selama 2 detik (AASHTO).

Pelebaran Pada Lengkung

b = lebar kendaraan rencana


B = lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah
dalam
U = B-b
C = lebar kebebasan samping di kiri dan kanan kendaraan

106
Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan
Bn = lebar total perkerasan pada bagian lurus
Bt = lebar total perkerasan di tikungan
n = jumlah lajur
Bt = n(Bt + C) + Z
Db= tambahan lebar perkerasan di tikungan = Bt - Bn

Rw = radius lengkung terluar dari lintasan kendaraan pada lengkung horisontal


untul lajur sebelah dalam, besarnya dipengaruhi oleh tonjolan
depan (A) kendaraan dan sudut belokan roda depan (a). Ri = radius lengkung
terdalam dari lintasan kendaraan pada lengkung horisontal untuk lajur sebelah
dalam, besarnya dipengaruhi oleh jarak gandar kendaraan (p).

ALINEMEN VERTIKAL

Alinemen vertikal (kelandaian) adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang


permukaan perkerasan jalan sehingga sering dikenal dengan penampang
memanjang jalan. Faktor yang menjadi pertimbangan penentuan alinemen vertikal
adalah: kondisi tanah dasar, keadaan medan (terrain), fungsi jalan, hwl/lwl,
kelandaian yang masih memungkinkan. Kelandaian dibaca dari kiri ke kanan;
diberi nilai positif untuk pendakian dari kiri ke kanan dan nilai negatif untuk
penurunan dari kiri ke kanan.

Kelandaian

Landai minimum; landai idealnya sebesar 0% (datar), landai 0.15% disarankan


untuk jalan menggunakan kerb, landai 0.3 – 0.5% disarankan untuk jalan di
daerah galian menggunakan kerb. Landai maksimum; adalah kelandaian tertentu
dimana kelandaian akan mengakibatkan berkurangnya kecepatan yang masih
lebih besar dari setengah kecepatan rencana.

107
Vr (Km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Kelandaian Max (%) 3 3 4 5 8 9 10 10

Panjang kritis (meter) sangat diperlukan sebagai batasan kelandaian maksimum


agar pengurangan kecepatan tidak lebih dari kecepatan rencana (tabel di bawah)

Kelandaian
Vr (Km/jam) (%)
4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80

Pada jalan berlandai dengan LHR yang tinggiperlu dibuat lajur pendakian untuk
menampung kendaraan (khususnya kend berat) yang sering mengalami penurunan
kecepatan agar tidak mengganggu lalu lintas dengan kecepatan yang lebih tinggi.

TYPE ALINEMEN VERTIKAL

Lengkung vertikal cembung

Lengkung vertikal cekung

108
109
Artikel 2

BAB I
PENDAHULUAN

Jalan raya merupakan prasarana transportasi. Jalan ini memegang


peranan penting dalam menghubungkan antar daerah satu dengan
daerah lain. Sehingga antar daerah satu dengan daerah yang lain
terjadi hubungan silaturrahmi. Jalan juga berfungsi sebagai sarana
pengembangan wilayah dan sarana pembangunan.
Selain itu jalan juga berfungsi sebagai prasarana lalu lintas
kemudian dalam bab selanjutnya akan tampak arti penting kendaraan
bagi perencanaan pembuatan jalan baru .
* Maksud pembuatan Prasarana Jalan.
Dunia yang kian hari kian moderen mempengaruhi
perkembangan sosial masyarakat yang semakin menuntut manusia
untuk lebih maju dalam banyak hal. Perkembangan masyarakat yang
demikian menyebabkan meningkatnya kebutuhan masyarakat,
Sehingga masyarakat secara sadar / tidak selalu dituntut untuk
memenuhi kebutuhan itu.
Aktifitas berjangkauan luas mengharuskan pemindahan barang
maupun manusia. Apabila keadaan yang demikian telah tercipta,
mutlak diperlukan alat angkut sebagai sarana lalu lintas dan lahan
sebagai prasarana lalu lintas.

110
* Persyaratan Yang Dituntut
Perencanaan geometri adalah bagian dari perancangan jalan raya,
dimana geometri suatu jalan dan bagian harus diselesaikan sesuai
dengan tuntutan serta sifat lalu lintas. Dalam perencanaan tersebut
diharapkan memperoleh hubungan yang baik antara waktu dan ruang
sehubungan dengan kendaraan yang akan melewatinya.

Tuntutan diharapkan adalah tercapainya suatu keadaan yang


aman, nyaman dan ekonomis. Hal ini selain ditentukan dari
perencanaan Geometriknya juga ditentukan oleh konstruksi lapis
perkerasan ” Pavement”, juga oleh pengaturan lalu lintas yang ada.
Akan tetapi disini hanya ditinjau dari segi perancangan geometris saja.

A. AMAN
Aman dimaksudkan bahwa perancangan trase jalan didasarkan
pada kecepatan tertentu / design speed, sehingga dapat
memberikan jaminan keselamatan bagi pemakai jalan.
Perencanaan tikungan, tanjakan dan turunan harus dirancang
sebaik – baiknya dengan dasar kecepatan rencana tersebut. Maka
harus dihindari tikungan tajam, tanjakan yang curam dan turunan
yang curam.

B. NYAMAN.
Selain memberikan keamanan, jalan harus memberikan
kenyamanan bagi pemakainya. Hal ini berarti menyajikan

111
rancangan yang estetika, sehingga pemakai jalan tidak merasakan
kejenuhan dalam Perjalanan.

C. EKONOMIS
Pembangunan jalan baru maupun yang sudah rusak
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu
perancang geometrik jalan selain ditujukan untuk keamanan dan
kenyamanan yang semaksimal mungkin tetap dibatasi dengan
biaya yang ada.
Perencanaan biaya harus seminimal dan seefisien mungkin
tanpa mengurangi keamanan dan kenyamanan yang
direncanakan. Dalam perencanaan geometrik jalan, usaha
meminimalkan biaya dengan menurunkan jumlah volume
pekerjaan tanah yang meliputi pekerjaan galian dan timbunan
serta pemadatan.

112
ANALISA PERENCANAAN GEOMETRI JALAN

PERHITUNGAN LHR
Mobil Penumpang : 1750 Kd/Hari
Bus : 750 Kd/Hari
Truk 2 As : 500 Kd/Hari
Truk 3 As : 250 Kd/Hari
Apabila pertumbuhan lalu lintas ( i ) = 3% dan umur rencana ( n ) = 10 tahun
maka LHR menjadi :
LHR = x ( 1 + i )n
Mobil Penumpang = 1750 .( 1 + 0,03 )10 = 1750.(1,03)10 = 2.352 Kd/Hari
Bus = 750 .( 1 + 0,03 )10 = 750.(1,03)10 = 1008 Kd/Hari
Truk 2 As = 500 .( 1 + 0,03 )10 = 500.(1,03)10 = 672 Kd/Hari
Truk 3 As = 250 .( 1 + 0,03 )10 = 250.(1,03)10 = 336 Kd/Hari

1. Jenis jalan = jalan


perkotaan
2. lkarakteristik geometri jalan = 2/2 UD
3. lahan guna = Perbukitan
4. bukaan pemisah jalur = -

Fungsi jalan = Jalan Tol


Penampang melintang = lebar jalur lalu lintas 7 m, lebar bahu efektif 1,5 m
pada kedua sisi tidak ada median
Alinemen = datar

113
Hambatan samping = rendah
Ukuran kota = 0,5 – 2,0 juta
Komposisi lalu lintas = kendaraan ringan (Lv) : 54 %
Kendaraan berat (Hv) : 46 %
Faktor K = K = 0,09 (arus jam rencana 0,09 x LHRT )
Pemisah arah = 50/50
A. KECEPATAN RENCANA
Kecepatan rencana yang disyaratkan sebagai jalan untuk daerah :
o Datar = 60-90 km/jam  diambil 90 km/jam
o Perbukitan = 50-60 km/jam  diambil 60 km/jam
o Gunung = 30-50 km/jam  diambil 50 km/jam

B. KEMIRINGAN MEDAN
Tipe medan
o Datar < 3%
o Perbukitan 3 – 25 %
o Gunung > 3%

C. ELINEMEN HORISONTAL
1. Perhitungan kelengkungan pada tikungan
Ketentuan menurut tabel II.1 PP. No.43/1993
Kelas jalan =I
Vr = 60 km/jam
R minimum = 220 m
Rc digunakan = 400 m
ep = 0,008
en (super elevasi normal) =2%
re ( tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan )
sebagai berikut :
Vr < 70 km/jam re maks = 0,035 m/m/detik

114
Vr > 80 km/jam re maks = 0,025 m/m/detik
Maka diambil re = 3,50 m
B ( lebar perkerasan ) = 3,50 m
Lc (panjang busur lingkaran ) = 25 m

2. Besar derajat kelengkungan


25
D = . 360
2 R
25
= . 360
2 .  . 400
= 11,25 %
Vr 2
Rmin =
127 (emax  max)

60 2
= = 110 m
127 (0,1  0,153)

3. Besar legkung peralihan


a. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik) untuk melintas
lengkung peralihan maka panjang lengkung :
Vr
Ls = 3,6 . T

60
= 3,6 . 3

= 50 m
b. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal digunakan rumus
Vr 3 Vr . e
Ls = 0,022 - 2,727
R .C C
60 3 60 . 0,098
= 0,022 - 2,727
400 . 0,4 0,4

= 51,297 m

c. Beradasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian :

115
(em - en)
Ls = . Vr
3,6 . re
(0,1 - 0,02)
= . 60
3,6 . 0,035

= 53.34 m
Dari ketiga hitugan diatas maka Ls diambil 60 m
d. Perhitungan kelengkungan pada tikungan

C. A
x = 3100
x = 580 y = 2000
y = 500

B
?

x = 2800
y = 270

o Titik F dianggap berhimpit BAN = 0 sebagai awal proyek STA


0+00 dengan koordinat dan elevasi seperti pada gambar
o Titik G dengan koordinat seperti gambar diatas merupakan
tikungan yang akan direncanakan
o Titik H adalah titik akhir (sembarang) yang ditinjau, terletak pada
sumbu jalan rencana
o Jalan yang akan direncanakan berupa jalan kolektor sekunder pada
daerah perbukitan
e. Dengan adanya lengkung peralihan maka tikungan menggunakan
jenis full circle R = 130 m > Rmin = 110 m
f. Mencari jarak lurus (A-B) dan (B-C)

116
2
d A-B =  XB - XA  2   YB  Y A 

=  2800 - 3100 2   270  2000


2

= 1755,82 cm = 17,56 m
Skala 1: 100
Jadi jarak A – B = 17,56 x 100
= 1756 m

d B-C =  X C - X B  2   YC  YB  2
=  580 - 2800  2   500  270 
2

= 2231,88 cm = 22,32 m
Skala 1 : 100
Jadi jarak B – C = 22,32 x 100
= 2232 m

g. Mencari besar sudut tikungan


x
Sudut azimuth = arc tg y

TITIK A B C
X 3100 2800 580
Y 2000 270 500
X 0 -300 -2220
Y 0 -1730 230
Arc tg 9,84 -84,08
azimuth 9,84 95,92
 940

Menggunakan tikungan S-C-S dengan R = 400 > Rmin = 110 m


Xs = obsis titik Sc pada garis tengah, jarak dari titik Ts ke Sc (jarak
lurus lengkung peralihan)
 Ls 2 
Xs = Ls 1 - 
 40 . Rc 2 

 60 2 

= 60  1 -  = 59,96 m
 40 . 400 2 

117
Ys = ordinat titik Sc pada garis tegak lurus garis tengah, jarak tengah
lurus ketitik Sc pada lengkung
Ls 2 60 2
Ys = = = 1,5 m
6 . Rc 6 . 400

90 Ls 90 60
s = . = . = 4,300
 Rc  400
c =  - s
= 94 – 4,30
= 89,7

Ls 2
P = - Rc ( 1- cos s )
6 . Rc

60 2
= - 400 ( 1- cos 4,30 )
6 . 400
= 0,37 m
Ls 2
K = Ls - - Rc sin s
40 . Rc 2
60 2
= 60 - - 400 sin 4,30
40 . 4002
= 30
Ts = (Rc + P ) tg ½  + K
= (400 + 0,37) tg (0,5 . 94) + 30
= 459,34 m
Es = (Rc + P ) Sec ½  - Rc
= (400 + 0,37) Sec 0,5 . 94 – 400
= 187,05 m
  - 2s  .  . Rc
Lc =
180
 94 - 2 . 4,3  .  . 400
=
180

118
= 596,20 m
L total = Lc + 2 . Ls
= 596,20 + 2 . 60
= 716,20 m

h. Stationing titik tikungan


Sta A = 0+00 (awal proyek)
Sta B = Sta A + d A-B
= (0+00) + 1756 m
= 1 + 756 m
Sta Ts = Sta B + d A-B – Ts
= (1+756) – 459,34
= 1+296,66
Sta Sc = Sta Ts + Ls
= (1+296,66) + 60
= 1+356,66

Ts ?

xs Es

k
Sc Cs
P ST
Ts

Rc Rc

?s ?c ?s
?

Gambar lengkung
S-C-S di titik B
Skala 1 : 2000

119
120
DIAGRAM SUPERELEVASI TIKUNGAN

Bagian lurus Bagian lengkung peralihan Bagian lengkung penuh Bagian lengkung peralihan Bagian lurus

TS Sc Lc Cs ST

Sisi luar Tikugan


e max

e = 0%

2% -2% -2% 2%
-2% 0% 0% -2%

2% 2%
Sisi dalam Tikugan

10% 10%

121
4. Cek Kebebasan Samping
Vr = 60 km/jam
Jh min = 75 m
Landai =6%

60 60 2
Jh = . 2,5 
3,6 254 (0,3 - 0,05)

= 41,67 + 56,69
= 88,91 m
Lt = 2 . Ls + Lc
= 2 . 60 + 596,20
= 716,20

Jh < Lt
  90 . Jh 
E = R 1 - cos  
   . R 

  90 . 88,91 
= 200 1 - cos  
   . 200 
= 4,92 m

5. Pelebaran pada tikungan


Lebar jalur 2 x 3,5 . 2 arah dengan Vr = 60 km/jam
R = 200 m
diperoleh pelebaran ditikungan B = 0,25 m

122
Jh = 88,91 m
39
562,
LT =

garis pandang

jalur dalam penghalang pandangan jalur luar

PENENTUAN SEGMEN JALAN


JENIS SEGMEN KETERANGAN
Jalan lurus ( I ) Kelas jalan II tipe II LHR = 17000 Vr = 60 km / jam
Panjang maksimal lurus = 500 m, landai maks 8 %, panjang
kritis 500 m
Asumsi : panjang jalan lurus 715,12, landai medan 2 %
Lengkung (II) Vr = 60 km/jam  = 750 menggunakan lengkung
Syarat = Rmin = 200 m (S-C-S)
Raktual = 300 m
Rtanpa Ls = 600 m
Jalan lurus ( III ) Kelas jalan II tipe II LHR = 17000 Vr = 60 km / jam
Panjang maksimal lurus = 500 m, landai maks 8 %, panjang
kritis 500 m
Asumsi : panjang jalan lurus 358,12 landai medan 5 %

123
GAMBAR TIPE JALAN 2/2 UD

350
700

trotoar
saluran drainase

WK WK
WC

GAMBAR PENAMPANG JALAN

124
1

C
70
1 ,9
4

4m
A
6 m
6 ,6
III 5
13
I
2
3

596,20 M

II
B

Panjang design = I + II + III


= 1356,66 + 596,20 + 701,94
= 2654,80 m

125
PANJANG KELANDAIAN KRITIS
STANDARD PERENCANAAN GEOMETRIK UNTUK JALAN
PERKOTAAN
KECEPATAN RENCANA KELANDAIAN PANJANG KRITIS DARI KELANDAIAN
(km/jam) (%) (m)
4 700
100 5 500
6 400
5 600
80 6 500
7 400
6 500
60 7 400
8 300
7 500
50 8 400
9 300
8 400
40 9 300
10 200

KELANDAIAN
Daerah I
97  136
g1 =
900
= -0,043 %

Daerah II
136  115
g2 =
1100
= 0.019 %

STASIONING DAN TITIK –TITIK ELEVASI


1. Sta = 0+000

126
Elevasi = + 97,00 m
2. Sta = 0+100
Elevasi = +97,00 + (-0,043% x 900)
= +96,61 m
3. Sta = 1+000
Elevasi = +136,00 + (0.019% x 1100)
= +136,21 m

ALINEMEN VERTIKAL
Untuk kecepatan rata-rata (Vr) = 60 km/jam, kelandaian max 8 %
a. Jarak pandang henti
a.Dari tabel perencanaan 75 m (jarak pandang henti minimum)
b. Jh hitungan
Jarak pada waktu sadar dan reaksi mengerem (d1)
d1 = 0,278 . V . t
= 0,278 . 60 . 2,5
= 41,7 m
Jarak yang diperlukan untuk berhenti setelah menginjak rem (d2)
Vr 2
d2 =
254 (f  L)

60 2
=
254 (0,3  0,04)

= 41,69 m
Jadi Jh = d 1 + d2
= 41,7 + 41,69
= 83,3 m
Dari hasil diatas diambil Jh terbesar / maksimum = 125 m

b. Jarak pandang menyiap


a.Dari tabel perencanaan Jd = 350 m

127
b. Jd hitungan
Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (d1)
 a . T1 
d1 = 0,278 . T1  Vr - m  
 a 

 2,268 . 3,68 
= 0,278 . 3,68  60 - 10  
 2 
= 55,42 m

Jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali kelajur


semula (d2)
d2 = 0,278 . Vr . T2
= 0,278 . 60 . 9,44
= 157,46 m

c. Jarak antara kendaraan menyusul setelah gerakan menyusul dengan


kendaraan lawan (d3 )
d3 = 30 m

d. Jarak yang ditempuh oleh lawan (d4 )


2
d4 = .d2
3
2
= . 157,46
3
= 104,97 m
Jadi Jd = d 1 + d2 + d 3 + d4
= 55,42 + 157,46 + 30 + 104,97
= 347,85 m
Diambil nilai yang terbesar maka Jd = 350 m

Lengkung vertikal I (cembung)


A = g 2  g1

= 0,019  0,043

128
= -0,024 %
 Mencari L
a. Berdasarkan jarak pandang henti
A . Jh 2
Jh = 125 < L L =
399
- 0,024 . 125 2
=
399
= -0,940  tidak memenuhi
399
Jh = 125 > L L = 2 . Jh -
A
399
= 2 . 125 -
- 0.024
= -16375 m  memenuhi
b. Berdasar pada jarak pandang mendahului
A . Jd 2
Jd = 350 < L L =
884
- 0,024. 350 2
=
884
= -3,326  tidak memenuhi
840
Jd = 350 > L L = 2 . Jd -
A
840
= 2 . 350 - - 0,024

= -34300  memenuhi
 Syarat keamanan
1. keluasan bentuk
Lv = 0,6 . Vr
= 0,6 . 60 = 36 m
2. syarat drainase
Lv = 40 . A
= 40 . 0,005
= 0,2 m
3. syarat kenyamanan

129
A . Vr 2 - 0,024 . 60 2
Lv = = = -0,222 m
389 389
Dimbil Lv = 80 m
A.L - 0,024 . 80
Ev = = = -0,0024 m
800 800

PERHITUNGAN CUT AND FILL


1. CUT / GALIAN
 0  0,6 . 100
L1 = = 30 m2
2
 0,6  4,8 . 100
L2 = = 270 m2
2
 4,8  4,2  . 100
L3 = = 450 m2
2
 4,2  1,6 . 100
L4 = = 290 m2
2
1,6  0  . 100
L5 = = 80 m2
2
 0  2,4  . 100
L6 = = 120 m2
2
 2,4  7,8 . 100
L7 = = 510 m2
2
 7,8  3,2 . 100
L8 = = 550 m2
2
 3,2  10,6 . 100
L9 = = 690 m2
2
10,6  0 . 100
L10 = = 530 m2
2
 0  3,6  . 65
L12 = = 117 m2
2
 3,6  5,4 . 100
L13 = = 450 m2
2

130
 5,4  3,2 . 100
L14 = = 430 m2
2
 3,2  0 . 100
L15 = = 160 m2
2
 0  2,8 . 100
L16 = = 140 m2
2
 2,8  4,6 . 100
L17 = = 370 m2
2
 4,6  4,4 . 100
L18 = = 450 m2
2
 4,4  3,2 . 100
L19 = = 380 m2
2
 3,2  0  . 100
L20 = = 160 m2
2

Luas total galian = 6.177 m2

Volume galian = luas x jarak


= 6.177 x 10
= 61.770 m3

2. FILL /TIMBUNAN
 0  2,2 . 100
L11 = = 110 m2
2
 2,2  0 . 35
L12 = = 38,5 m2
2

Luas total timbunan = 148,5 m2

Volume timbunan = luas x jarak


= 148,5 x 10
= 1.485 m3

131
MARKA JALAN

* PENGERTIAN / DEFINISI
- Marka Jalan adalah suatu tanda yang berupa garis, simbol angka, huruf atau
tanda lainnya yang digambarkan.
- Marka jalan berfungsi sebagai penuntun / pengarah pengemudi selama
perjalanan.
- Warna marka jalan umumnya putih, terdiri dari :
1. Marka garis

132
2. Marka huruf
3. Marka simbol
- Pemakaian warna marka jalan selain warna putih harus sesuai petunjuk / ijin
pembina jalan.
- Keputusan menteri perhubungan NO.KM.al / oT . 002 / Phh . 80 . No . KM . 164
/ oT 002 / PHB – 80 dan No : KM . 210 / HK 601 / Phb – 87 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Perhubungan Terlampir.

133

Anda mungkin juga menyukai