Anda di halaman 1dari 13

Agama dan Humanisme (1)

A. Pendahuluan

Suatu hal yang menjadi prinsip dasar pandangan dunia sekaligus merupakan pondasi penting dalam diri
seorang manusia terutama bagi mereka yang “beragama” salah satunya adalah beriman atau memiliki
kepercayaan. Dengan kepercayaannya itu akan melahirkan suatu tata nilai guna menopang hidup dan
budayanya, dan tentunya tanpa adanya sikap yang dilandasi kepercayaan atau pun adanya keraguan
tidak mungkin dapat mempercayai tentang ada sesuatu yang lebih berkuasa di luar kemampuan dirinya
sendiri. Sehingga kepercayaan merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut sebagai
agamawan, dan sudah dapat dipastikan bagi yang tidak memiliki kepercayaan hakiki tersebut bukanlah
seorang agamawan.

Sebagian masyarakat Indonesia pada umumnya seringkali mengukur identitas seseorang melalui banyak
hal, salah satunya adalah agama. Tercermin dari pertanyaan sehari-hari seperti :Apakah agama anda?
Atau Agama apakah yang anda anut/peluk? Tidak hanya itu, bahkan pada kartu identitas penduduk,
agama pun dicantumkan selain jenis kelamin, status pernikahan, dan jenis profesi. Singkatnya, akan
menjadi aneh dan ‘salah’ jika ditemukan seseorang yang tidak memiliki agama tertentu atau menganut
agama tertentu. Dan dengan demikian, agama menjadi salah satu isu sentral dalam kehidupan
masyarakat kita, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik kekerasan antar umat beragama. Sedangkan
pada belahan dunia lain, kelompok orang yang tidak menganut agama, baikatheisme maupun
agnotisisme dapat hidup dengan tenang berdampingan dengan orang beragama.

Seperti yang dikatakan oleh Franz Magnis Suseno, bahwa modernitas (terutama di Eropa sejak abad ke-
17) telah mengubah kondisi penghayatan manusia terhadap ketuhanan (agama). Salah satu fenomena
dari perubahan itu adalah munculnya banyak orang yang non-agama (atheisme maupun agnotisisme).

Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan, agama telah menjadi salah satu atribut paling penting bagi
sebuah peradaban manusia. Agama dipandang sebagai suatu ketentuan yang mampu mengatur jalan
hidup manusia agar memiliki nilai-nilai kehanifan dalam hidup seperti yang telah diajarkan dalam agama
Ibrahim. Agama diasumsikan sebagai institusi yang mampu mewadahi kebutuhan-kebutuhan psikis
manusia, karena di dalam agama memberikan ajaran-ajaran yang sekiranya mampu menjawab
persoalan-persoalan yang sulit untuk dipecahkan dalam pandangan sains sebagai wakil dari modernitas,
semisal pembuktian adanya hari akhirat.

Seseorang akan dapat diakui sebagai seorang yang “beradab” dan atau “berperadaban” jika dalam
dirinya melekat suatu atribut agama, terlepas apapun nama agama yang dianutnya. Terkadang bagi
sebagian orang memiliki pandangan negatif tentang persoalan agama yang lebih mengidentikkan agama
dengan keterbelakangan, ketertinggalan, kumpulan orang-orang primitif, memilliki pikiran radikalisme
dan seterusnya. Pernyataan ini tidaklah benar juga tidak keiru, secara tidak langsung apa yang dikatakan
tersebut hanya ingin memberikan shock terapy kepada golongan agamawan agar dapat mampu
merevitalisasi sekaligus memikirkan kembali persoalan-persoalan keagamaan yang bukan sekedar bentuk
ritual-ritual ibadah secara vertikal tanpa melihat sisi lain yang justru bersinggungan langsung dengan
kehidupan kaum agamawan yang lain.

Agama telah muncul bersamaan dengan keberadaan manusia di muka bumi ini dalam bentuk yang paling
sederhana sekalipun, yaitu kepercayaan kepada kekuatan ”supra rasional” dan ”supra natural”. Dorongan
agama merupakan sesuatu tuntutan psikis manusia yang tidak dapat dihindari untuk membentuk
interpretasi baru bagi dirinya untuk mengenal Tuhan sehingga mereka menciptakan suasana batin
dengan mewujudkan sebuah bentuk peribadatan.

Beberapa anggapan negatif yang ditujukan kepada kaum agamawan disinyalir sebagai “kambing hitam”
atas munculnya perpecahan bahkan permusuhan dalam perkembangan kehidupan dewasa ini. Agama
yang semestinya dijadikan sebagai alat kontrol masyarakat, justru dituduh sebagai penyebab keresahan
dan selalu bertolak belakang dengan perubahan modernitas kehidupan.

Namun patut untuk dikaji, bukankah dalam kondisi ketidakberdayaan setiap orang pasti mengharapkan
adanya ”keajaiban” agar dia dapat selamat dari bahaya, mendapat keberuntungan, mengharap
terjadinya sesuatu yang sangat diharapkan. Oleh karenanya hal itu sebagai bukti bahwa sejatinya semua
manusia memiliki potensi untuk beragama dengan satu tujuan, mencari kebahagiaan yang hakiki.
Meskipun demikian bagi Sigmund Freud menganggap agama sebagai sebuah ilusi dan gangguan
kejiwaan manusia yang mengakibatkan kemuduran kembali dalam hidup.

Ketika ”potensi agama” yang ada pada diri manusia mengalami intervensi dari ”Tuhan”, melalui seruan
”para pengkhotbah”, rasul, nabi, pastor, pendeta, ulama bahkan para penjahat, nara pidana, dan
koruptor sekalipun, yang terjadi selanjutnya adalah berebut Tuhan sebagai alih-alih berebut kebenaran
menurut keyakinannya masing-masing. Manusia saling bersekongkol membentuk satu kelompok dan
mengkafirkan kelompok yang lain, bahkan tidak jarang rela bertaruh nyawa. Jika sudah demikian halnya,
di mana lagi kedamaian sejati yang ditawarkan agama? Masihkah agama diperlukan manusia jika hanya
memberikan kesengsaraan hidup bagi keberlangsungan peradaban manusia?. Hal seperti inilah yang
sudah semestinya dapat disorot agar keberlangsungan agama sebagai institusi Tuhan mampu berfungsi
dan mengakar dengan baik dalam kehidupan manusia.

Secara kodrati agama bukan sebagai bahan olok-olok, juga bukan sesuatu yang membuat belenggu
keimanan, sehingga muncul tindakan-tindakan kemanusiaan yang tidak manusiawi. Sebagai sebuah
institusi, tentu saja agama memiliki tujuan dan fungsi tertentu dalam praktiknya. Secara sederhana,
tujuan dari institusi keagamaan diperlihatkan dari dimensi praktis dan sosiologis yang sebenarnya juga
merupakan bagian kecil dari dimensi teoritis, yaitu mengenai keselamatan atau penerimaan kebaikan
yang terakhir (ultimate) atau kesejahteraan. Kemudian, fungsi agama sebagai institusi adalah
menyediakan keseluruhan arti/identitas bagi kehidupan masing-masing orang (individual), atau
kelompok agama, dan untuk mengintegrasikan dan menyatukan masyarakat sesuai bentuk/kondisinya.
(Misalnya: kelompok Kristen Katolik, kelompok Kristen Anglikan, kelompok Islam Muhammadiyah,
kelompok Islam NU, dll.)

Dengan demikian, dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebuah pengertian terhadap agama,
yaitu: A religion is (1) a systems of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive and long-
lasting moods and motivations in men by (3) formulating concepts of a general order of existence (4) and
clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem
uniquely realistic. (Geertz, 1996: 4)

Dari pengertian diatas, kita mendapatkan bahwa agama sebagai sebuah institusi, memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mempengaruhi manusia dalam kehidupannya melalui praktek keagamaan yang
mengandung simbol-simbol kepercayan. Institusi agama pun dengan demikian memiliki kuasa untuk
menciptakan seperangkat keteraturan yang mendukung berjalannya praktek keagamaan. Salah satu
bagian terpenting dari institusi agama adalah wahyu yang diformulasikan ke dalam doktrin agama
tentang kebenaran. Sehingga, tidak heran bahwa masing-masing penganut agama akan bersikukuh
tentang kebenaran agamanya. Dengan demikian, agama telah menjelma menjadi sebuah kekuatan yang
mengendalikan umat manusia, seperti yang tercermin pada bentuk-bentuk Negara-Agama, dimana
agama menjadi sebuah ideologi. Dan pada Negara lainnya, seringkali juga agama menjelma menjadi
kekuatan ekonomis-politis, dalam bentuk partai politik misalnya.

Namun, dalam perkembangannya, umat manusia kemudian mempertanyakan mengenai kebenaran


(tertutup) yang diklaim oleh agama, dan tentu saja hal ini menimbulkan gejolak pada sejarah kehidupan
beragama. Salah satunya adalah melalui perjuangan Marx yang menolak agama, sebab agama seolah-
olah mendukung kapitalisme dengan mempertahankan kondisi ketertindasan buruh. Agama dalam hal
ini sebenarnya memiliki kesempatan untuk membebaskan manusia dari ketertindasan dan mencapai
kesejahteraannya, namun yang terjadi justru sebaliknya. Agama hanya menjadi tempat pelarian dari
buruh yang tertindas, dan bahkan menyediakan kekuatan bagi kaum tertindas untuk kembali ditindas.

Agama merupakan tema paling penting yang sanggup membangkitkan perhatian serius masyarakat,
seperti apa yang dikatakan Erich Fromm bahwa kebutuhan manusia akan agama berakar dalam kondisi
dasar eksistensi spesies manusia yang senantiasa memerlukan objek pengabdian dan salah satu
medianya adalah agama.

Oleh karenanya agama menyadarkan akan sebuah dimensi nilai yang abadi. Menurut F. O`Dea bahwa
agama senantiasa memiliki enam fungsi diantaranya; Pertama, agama mendasarkan diri manusia pada
segala sesuatu di luar dirinya. Kedua, agama menawarkan suatu hubungan transedental melalui
pemujaan atau peribadatan dengan memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan identitas yang
lebih kuat di atas ketidakpastian hidup. Ketiga, agama mensucikan nilai-nilai dan norma masyarakat yang
telah dan akan terbentuk. Keempat, agama dapat memberikan standar nilai berupa norma-norma yang
telah terlembaga yang dapat dikaji kembali secara kritis. Kelima, agama memberikan fungsi identitas bagi
pemeluknya. Keenam, agama berkaitan dengan evolusi hidup manusia sehingga akan mempengaruhi
karakteristik tingkat keberagamaan manusia.

B. Humanisme dan Agama


Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya
ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia.
Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh
etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi
kelompok-kelompok etnis tertentu. Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme
keagamaan/religi berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen
garis tengah, dan para cendekiawan dalam kesenian bebas.

Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta
kemungkinan yang dihasilkan umat manusia. Humanisme sekular mencerminkan bangkitnya globalisme,
teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai
seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk
dalam kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum
yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama.

Humanistik ditinjau dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan intelektual dan kesusastraan
yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 masehi. Pergerakan ini merupakan
motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa. Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat,
humanistik adalah faham atau aliran yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga
manusia menduduki posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati
maupun dalam praktis hidup sehari-hari. Maka dalam faham filsafat ini mengatakan bahwa segala
sesuatu ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan kepada
manusia itu sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan diluar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau
alam).

Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya merupakan aspek dasar
dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.) tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari
belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka
dalam batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan
manusia harus segera dipatahkan. Kebebasan merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi
bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad
pertengahan yang dilakukan oleh orang-orang Gereja pada waktu itu, tapi bukan berarti Humanisme
pada waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan Tuhan. Namun, mereka percaya bahwa di balik
kekuasaan Tuhan, masih banyak peluang bagi manusia untuk menentukan jalan hidupnya,
mengembangkan potensi dan memilih masa depannya sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau
ketakutan terhadap murka Tuhan.

Mereka berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada, dan perlu dipertahankan dan di expresikan. Di
depan sudah dijelaskan bahwa manusia adalah pusat dari Realitas, sehingga segala sesuatu yang
terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan demikian, tidak dibenarkan
adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau jika humanisme diartikan seperti itu, maka
aliran filsafat seperti marxisme, pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam
humanisme.
Paham marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia (masyarakat / kaum buruh) pada pusat
kehidupan. Secara teoritis, paling tidak menjunjung tinggi martabat dan kemanusiaan masyarakat buruh.
Pragmatismepun adalah humanisme, karena paham inipun menempatkan manusia pada posisi yang
sentral dalam realitas. Segala sesuatu yang ada pada realitas selalu dihubungkan dengan kegunaannya
bagi manusia dalam menuju hidup yang lebih baik. Existensialismepun juga termasuk humanisme.
Menurut paham ini, tidak ada dunia diluar dunia manusia, dan di dalam dunianya itu manusia berada
dalam posisi yang paling sentral.

Paham humanisme dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada gerakan pembebasan pada zaman
Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang membelenggu manusia, melainkan berkembang dalam ilmu-
ilmu pengetahuan. Misalnya kita sering mendengar tentang ilmu-ilmu pengetahuan humanistik. Tetapi
apakah artinya itu? Wilhelm Dulthey (1833-1911) dalam gagasannya tentang Geisteswissenchaften, yang
akan kita jadikan ancang-ancang untuk menjawab tentang pertanyaan di atas. Istilah
Geisteswissenchaften bisa kita terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”. Disiplin keilmuan yang
menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang biasanya kita sebut ilmu-ilmu sosial,
misalnya ekonomi, psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik. Pertanyaan
berikutnya adalah di manakah letak humanistiknya Geisteswissenchaften, atau dalam hal apakah
Geisteswissenchaften dikatakan sebagai humanistik?

Konsep Dilthey tentang manusia memang berbau humanisme. Menurut dia, gejala manusia adalah unik
dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang
lain. Manusia adalah subyek, bukan obyek. Jawaban tentang pertanyaan yang tepat untuk pertanyaan di
atas adalah dengan melihat ciri humanistik Geisteswissenchaften. Yakini, tekanannya pada keunikan,
subjektivitas, dan kerohanian manusia. Dalam Geisteswissenchaften manusia ditinggikan nilai dan
martabatnya. Namun ada juga kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey tentang
Geisteswissenchaften yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften (alam fisik yang natural).

Seperti halnya Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu menghilangkan peran statistik. Demikian
pula dengan Psikolog Humanistiknya Abraham Maslow, yang tidak mengabaikan arti pentingnya
Behaviorisme dan Psikoanalisa. Satu hal yang tampaknya menjadi trade mark mereka adalah: Manusia
yang menjadi “obyek” telaah ilmu-ilmu mereka, diperlakukan secara hormat sebagai “subyek”. Maka sah
saja bagi kita untuk mendefinisikan ilmu-ilmu humanistik sebagai ilmu-ilmu yang menempatkan manusia
sebagai subyek, sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan martabat
kemanusiaannya.

Suatu realitas sepanjang sejarah hidup dan kehidupan manusia masa lalu, kini, dan akan datang bahwa
berbagai ideologi, aliran filsafat, ajaran-ajaran, dan lain sebagainya muncul dan hilang, akan tetapi agama
tetap ada dan agama tidak pernah mati dan lenyap. Dalam arti, bentuk-bentuk penyembahan manusia
kepada Illahi tetap ada dan terus menerus mengalami perkembangan. Quraish Shihab dalam pengantar
buku Agama Punya Seribu Nyawa bahwa organisasi keagamaan bisa bubar, umat beragama bisa habis,
namun agama walaupun tidak abadi, tetap ada. Karena agama tetap atau tidak pernah lenyap, maka
ajaran tentang Tuhan yang diajarkan dalam dan oleh agama-agama pun tetap ada. Seandainya tidak ada
agama, namun Tuhan tetap dan terus menerus ada, karena Ia tidak tergantung pada ada atau tidaknya
agama.

Agama muncul karena adanya manusia. Manusia merupakan makhluk yang yang diberikan
kesempurnaan berupa fitrah sebagai motivator intrinsik untuk mencapai rasa atau naluri ingin tahu pada
suatu hakikat relaitas kehidupan, karena dengannya manusia memiliki dorongan untuk memiliki rasa
ketenteraman jiwa. Agama hanya bisa terlihat sebagai agama dalam arti berdampak pada perubahan
manusia secara utuh jika ada manusia yang menjadi penganut atau umatnya. Agama tak berarti apa-apa
jika tidak ada umatnya. Agama akan menjadi sekedar kumpulan orang-orang yang menjalankan suatu
sistem ajaran jika tidak dijalankan oleh penganutnya. Agama akan mempunyai faedah jika para
penganutnya menjalankan serta mengaplikasikan ajarannya dengan baik dan benar dalam hidup dan
kehidupan setiap hari.

Lalu mengapa manusia beragama? Jawaban sederhananya adalah karena manusia mempunyai
naluri religius untuk menyembah sesuatu di luar dirinya sebagai suatu ketundukan pada kekuasan yang
superior artinya sebagai daya penentu kehidupan manusia yaitu sebuah ikatan yang menyatukan pikiran
manusia dengan pikiran misterius yang menguasai dunia dan diri yang dia sadari, dan dengan hal-hal
yang menimbulkan ketenteraman bila terikat dengan hal tersebut.

Namun, jika ditelaah lebih mendalam, maka alasan-alasan manusia beragama ternyata tidak
sederhana. Ada banyak faktor yang menjadikan manusia ataupun seseorang beragama sekaligus
mengembangkan pola-pola keberagamaannya. Pada umumnya, manusia beragama di dalamnya ada
upaya sungguh-sungguh untuk menyembah dan percaya kepada Tuhan sebagai pusat keyakinannya,
karena berbagai alasan. Misalnya, alasan atas keterbatasan dan ketidakmampuan psikologis. Manusia
merasa tidak mempunyai kepastian masa depan karena tak mampu mengikuti perubahan, sehingga
mengalami stagnasi berpikir, kemudian melarikan diri kepada hal-hal rohaniah.

Di samping semua hal tersebut, ada orang yang menjadi pemeluk atau umat salah satu agama dengan
alasan-alasan khas, misalnya ingin memberi pengaruh positif pada hidup dan kehidupan secara pribadi
dan anggota masyarakat serta ikut ambil bagian dalam pembangunan serta perbaikan masyarakat
melalui berbagai bidang hidup dan kehidupan. Atau pun ajaran agama menjadikan manusia mempunyai
sikap moral dan etika yang baik, sehingga mampu membangun relasi antar sesama dengan penuh
tanggungjawab, mendorong seseorang untuk berbuat kebajikan, membantu, menolong, memperhatikan
sesama manusia berdasarkan cinta kasih.

Betapa pun alasan yang dikeluarkan tentang agama, Agama berperan untuk perubahan manusia,
sebaliknya manusia pun dapat berubah karena adanya agama. Oleh sebab itu, ada beberapa peran yang
bisa dilakukan agama terkait peranannya sebagai institusi agama atau umat beragama, terutama mereka
yang berperan sebagai pemimpin-pemimpin keagamaan. Ketika seseorang mengikatkan diri pada agama
tertentu atau menjadi umat beragama, tersirat dari dalam dirnya bahwa ia harus mendapat keuntungan
dari tindakannya itu. Ini berarti, agama harus membawa perbaikan dan perubahan total pada manusia.

Barangkali perselisihan antara agama dan modernisasi merupakan gambaran utama terkait orang
yang mempertahankan keagamaannya sebagai institusi keyakinan hakiki ketimbang modernitas sebagai
pembentur peradaban manusia. Dengan begitu agama bagi yang menolak keberadaannya hanyalah
omong kosong belaka yang terus menerus menuntun manusia ke jurang kebodohan dengan segenap
kelemahan berpikirnya.

Untuk meraih kemajuan materi dan kemakmuran pada manusia tersebut, semestinya perlu
diupayakan bagi umat beragama untuk melakukan pembenahan diri dan melakukan hijrah pemikiran
yang cenderung eksklusif menuju pola pikir inklusif agar dapat berjalan seimbang dengan laju zaman.
Meskipun demikian, bahwa fakta kemajuan dalam hal ini modernitas masih dianggap tidak segaris
dengan agama, agamawan masih mempertahankan pola ritual keagamaannya pada nilai-nilai kesalehan
individual sehingga berdampak pada tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Demikian posisi agama dalam menghadapi tantangan modernitas sebagai suatu yang mesti
dihadapi dengan semangat menerima perubahan, ketika agama tidak memiliki ruh positif dalam
memberikan kedamaian individu dan masyarakat maka akan hilang peranan sosialnya di masyarakat. Dan
untuk itu apa pun pergeseran nilai tata kelola kehidupan, sudah sepatutnya agama menjadi alat kontrol
bagi terwujudnya keselarasan dalam menjalani kehidupan.

Sudah septutnya umat beragama memiliki andil yang sangat besar untuk mengubah wajah dunia ke
depan. Tantangan besar yang dihadapi kaum beragama adalah berupa krisis global yang mengepung
disegala penjuru baik terorisme sebagai bentuk adanya pemikiran radikal. Kebangkrutan akan kesalehan
sosial umat beragama tampak dipermukaan, namun sudah menjadi luka dalam yang harus segera di
ambil resolusi yang begitu stagnan ini.

C. Revitalisasi Peran Agama: Mewujudkan Masyarakat Humanis

Humanisme merupakan fenomena dari paradigma antroposentris, dimana segala sesuatu dipertanyakan
dari sudut manusia (antrophos=manusia), dan bukan dari sudut Tuhan atau theosentris (theos=Allah).
Sebelum kemunculan humanisme, para penganut agama besar telah mengkonstruksi sebuah
pemahaman bahwa moral manusia identik dengan kepercayaan spiritual tertentu atau agama. Sehingga
ada anggapan bahwa kualitas moral seseorang ditentukan dari apakah orang itu beragama atau tidak.
Humanisme kemudian menolak segala bentuk kepicikan dan fanatisme agama.

Humanisme membawa perubahan pada agama-agama besar yaitu menempatkan manusia sebagai
subjek yang berpikir dan memiliki kebebasan, terutama di Eropa, humanisme hadir melawan dominasi
gereja Katolik, sampai akhirnya membuahkan pernyataan bahwa kebenaran tentang keselamatan tidak
hanya ada pada (Gereja Katolik). Martin Luther (1483-1546) adalah salah satu tokoh penting dalam hal
ini yang menegaskan bahwa setiap orang Kristiani berhak membaca Kitab Suci serta memahaminya
sendiri. Tafsiran (interpretasi) Kitab Suci bukan lagi terbatas pada hak para pimpinan Gereja. Secara
singkat dapat disimpulkan bahwa humanisme muncul sebagai reaksi penolakan atas determinasi yang
berasal dari konstruksi keagamaan. Franz Magnis Suseno bahkan menegaskan bahwa humanisme
merupakan criteria kesejatian agama,“adalah keyakinan bahwa setiap orang harus dihormati sebagai
persona, sebagai manusia dalam arti sepenuhnya, bukan karena ia pintar atau bodoh, baik atau buruk,
dan dengan tidak tergantung dari daerah asal-usulnya, komunitas etnik atau umat beragama mana, dan
apakah dia seorang laki-laki atau perempuan”.
Dalam beberapa waktu ini, isu fundamental yang dihadapi dunia berhubungan erat dengan pertanyaan
dasar tentang bagaimana seseorang berurusan dengan perbedaan dan keanekaragaman konsep
kebenaran. Dengan adanya perbedaan pemikiran tentang konsep kebenaran menurut keyakinannya itu
senantiasa mengundang perselisihan dan kebencian mendalam yang dilandaskan pada agama, sehingga
peran agama tak lebih sebagai bagian dari permasalahan ketimbang pemecahannya.

Agama lebih menyumbang pada pertumpahan darah dan perpecahan ketimbang pengkondisian yang
positif bagi masyarakat untuk urusan dengan keberlainan pihak lain. Hal ini diperkuat dengan adanya
istilah istilah jihad yang menjadi tema menarik untuk diperdebatkan. Pasalnya, aksi terorisme yang
menimpa bangsa Indonesia dewasa ini dalam implementasinya mengatasnamakan jihad, berperang di
jalan Tuhan dan atas nama Agama. Terlepas benar atau tidak, pemahaman tentang jihad perlu di
reeksplorasi mengingat erat kaitannya dengan paham keagamaan masyarakat luas. Sehingga ada satu
pihak yang menganggap bahwa agama adalah puncak masalah dan kekerasan di samping juga sebagai
sumber kebaikan dan perdamaian.

Asumsi demikian bisa saja benar karena agama dijadikan alat legitimasi tindakan-tindakan yang kurang
searah dengan substansi agama itu sendiri, agama secara terang-terangan dijadikan sebagai landasan
ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindakan kekerasan misalnya. Maka tak heran jika agama
dianggap telah “tergadaikan” akan tindakan-tindakan pembenaran yang keliru.

Melihat keadaan yang demikian ironisnya, terkesan agama dijadikan sebagai topeng bagi mereka yang
berkehendak melakukan tindakan-tindakan amoral dan cenderung tidak lebih manusiawi, padahal
substansi agama mengajarkan dan memberi rasa damai yang diperlukan berani berpetualang di dunia
yang bersifat sementara.

Semestinya agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam
pemaknaan relasi antar manusia. Tapi di sisi yang berbeda, fungsi ini justru menampilkan bahwa agama
bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama menyangkut masalah ketidakadilan dan kesenjangan.
Meminjam bahasa Cak Nur bahwa kita sebagai manusia beragama semestinya memiliki pemahaman
inklusif atas keagamaannya, karena dengan cara demikian seorang yang beragama akan lebih toleran dan
humanis dalam menyikapi segala bentuk perbedaan yang menyangkut agama.

Agama memiliki banyak wajah (multi faces) dan bukan satu wajah (single face). Di satu sisi agama adalah
sumber toleransi, namun di waktu yang berbeda dapat menjadi penyulut lahirnya konflik yang
berkepanjangan dan menjadi motivasi lahirnya tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi umat
beragama.

Namun dewasa ini, agama dengan fungsi memberikan keselarasan sering tampak dalam kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang perlu mewujudkan agama yang lebih humanis yakni agama yang
menghargai hak-hak orang lain baik dalam kapasitasnya sebagai masyarakat, warga negara, maupun
orang beragama. Paling tidak dalam menyikapi persoalan pertentangan bahkan peselisihan antar umat
beragama diperlukan sebuah dialog agar terlihat sikap eksklusifisme, inklusifisme bahkan pluralis dalam
setiap diri agamawan.
Terkait dengan agama yang humanis, terdapat dua konsepsi penting yang dimiliki setiap agama-agama
yang bisa mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan orang lain, yaitu fanatisme dan
toleransi. Kedua konsep tersebut harus dipraktekkan secara seimbang. Sebab ketidakseimbangan
keduannya akan melahirkan problema tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari
umat beragama tertentu bisa menjebak mereka ke dalam pengaburan makna doktrin agama mereka
yang pada gilirannya menyamaratakan semua agama-agama, dan dari sinilah biasanya konflik bermula.
Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk
agama lain atau bahkan terhadap saudara seagama dengan faham yang berbeda.

Lebih jauh dari itu, humanisme mengajak umat beragama melampaui simbol-simbol keagamaan. Kita
harus yakin, perbedaan dalam hal-hal ritual simbolik dari agama-agama adalah "jalan menuju Tuhan",
bukan hal yang mutlak. Oleh karena itu, tidak perlu memutlakkan simbol-simbol dari agama, melainkan
kemanusiaan, yang kita yakini sebagai universalisme dari agama-agama. Untuk itulah, berpandangan
ekstrem, fanatis, dan tidak bersahabat atas umat agama yang lain, tidak tepat dilakukan. Di situlah
sebenarnya dimensi humanisme agama-agama yang harus disebarkan seluas-luasnya, bukan ditutup
rapat-rapat dan takut terjadinya sinkretisasi dengan agama lain. Humanisme karena itu harus dipahami
sebagai bagian terpenting dari agama-agama, ketimbang ritual simbolik. Humanisme harus menjadi
pijakan bersama umat beragama dalam membangun bangsa yang telah carut-marut dan tercabik-cabik
oleh kepentingan kelompok agama dan politik.

Dengan membuka lebar-lebar dimensi humanisme, agama-agama akan melahirkan umat terbuka,
toleran, serta demokratis; bukan umat yang otoriter dan fanatis-parokial. Namun, jika humanisme agama
tidak dibuka, yang akan berkembang adalah sikap ingin menang sendiri, sehingga berkembang sikap
saling mengafirkan. Dari sana dialog dan kerja sama antaragama akan sangat sulit dilaksanakan.
Mengabaikan dimensi humanisme dari agama-agama telah terbukti melahirkan orang-orang yang
bermental rendah, korup, dan bromocorah. Apa yang sedang terjadi di negeri ini adalah buah dari
kesalahan dalam memahami agama. Di negara yang katanya religius, ternyata banyak pejabat yang
mengorupsi uang negara, uang rakyat, berani melakukan persaksian bohong, menyuap dan menerima
suap, "dagang sapi" antar-elite politik, perlakuan istimewa di hadapan hukum terhadap orang-orang
tertentu, dan konflik-konflik atas nama agama, bisa disebut sebagai bukti-bukti mutakhir rendahnya
keberagamaan kita.

D. Prospek ke Depan

Pluralisme agama, konflik intern atau antaragama, adalah fenomena nyata. Untuk mencari pemecahan
atas segala sikap destruktif ini banyak tawaran teoritis maupun praktis dikemukakan oleh mereka yang
peduli terhadap kerukunan antaragama. Antara lain dan paling keras gemanya, adalah upaya untuk
menciptakan suasana dialog antarumat beragama.

Namun perkembangan akhir-akhir ini menunjukan bahwa keinginan meraih kehidupan damai tenteram
antar ummat beragama tak sunyi dari rintangan-rintangan besar. Rintangan ini antara lain adalah
tampilnya individu yang membawa gerakan-gerakan radikal yang menganut pandangan agama yang
dimilikinya sebagai satu-satunya agama yang mutlak kebenarannya. Dengan adanya pandangan seperti
itu akan memunculkan konflik baru dalam kehidupan beragama sehingga kedamaian antar umat sulit
dipertemukan.

Radikalisme secara popular menunjuk kepada ekstremisme politik dalam aneka ragam bentuknya, atau
usaha untuk mengubah orde sosial-politik secara drastis dan ekstrem. Tuduhan yang sering dilontarkan
oleh sebagian orientalis bahwa islam adalah agama “pedang” yang menganjurkan aksi-aksi radikal pada
umumnya. Adanya pandangan negatif ummat lain terhadap agama tertentu senantiasa mendorong
konflik baru dan untuk itu perlu adanya resolusi.

Tampaknya fenomena kekerasan ini tidak terbatas pada kurun waktu tertentu. Pada masa kini yang
ditandai dengan meluasnya anjuran sikap moderasi, toleransi dan saling pengerian antar dan interumat
beragama kekerasan atas nama agama tetap sulit untuk dibendung. Berangkat dari fenomena ini,
kesadaran dan tanggung jawab atas melandanya kekerasan atas nama agama di mana-mana, sekitar 60
pemuka agama dari berbagai berupaya menghentikan tindak kriminalitas yang melanda di beberapa
Negara di dunia.

Sejak lahirnya agama di permukaan bumi ini, berbagai penyakit sosial merupakan garapan utamanya.
Untuk itu, tentu saja bagi kaum agamawan, terapi yang paling ampuh adalah kembali kepada nilai-nilai
agama. Namun mereka belum meyakini keampuhan peran agama, selalu mencari jalan keluar lain untuk
mengatasi penyakit ini.

Dunia barat, yang paling bertanggung jawab dalam pengikisan pengaruh agama melalui kebangkitan
rasionalisme secular era pencerahan (enlightenment), mulai menyadari dampak negatif dari
keberhasilan rasionalisme minus agama tersebut. Kendati hasil empiris menunjukan bahwa program
rehabilitasi sosial yang diprakarsai oleh kelompok agama cukup mengesankan, pengambil keputusan
(pemerintah) selama ini enggan memberi peluang lebih besar bagi institusi keagamaan gereja, sinagog,
atau masjid. Dalih klasik adalah “tidak seiring dengan esensi konstitusi yang menetapkan pemisahan
agama dan Negara”.[25]

Namun akselarasi penyakit sosial yang menunjukan angka mengerikan dewasa ini memaksa para
pengambil keputusan, akademisi, dan para pekerja sosial yang semulla enggan berpeling kepada faktor
agama, bergegas mengaku peran positif agama. Momentum ini tampaknya digunakan oleh kelompok
agama untuk mendapat dukungan dana dari pemerintah guna membiayai program-program yang
berkaitan dengan usaha penanggulangann penyakit sosial ini.

Dalam suasana keakraban dan solidaritas mendalam antar ummat yang berbeda agama dan kepercayaan
ini, setiap umat agama mengacu kepada Tuhan Yang mahakuasa, yang senantiasa memberi cobaan pada
hamba-Nya. Semoga hubungan antarpemeluk agama yang dicerminkan di negeri Indonesia ini dapat
terwujud secara makro di dunia.

Sikap keterbukaan akan pluralism ummat beragama merupakan suatu sikap kunci pembuka kedamaian
dalam beragama, tanpa membuat kegaduhan atau pencampuradukan ajaran atau yang lebih dikenal
dengan sinkretisme agama, ummat agama akan lebih humanis dalam menyikapi persoalan kehidupan
sosial terutama yang bersangkut paut dengan agama itu sendiri.
Melalui hubungan baik dengan kekuatan yang diyakini oleh setiap kaum agamawan, setiap manusia akan
merasa tenang dan damai. Kecemasan munculnya konflik dapat dikurangai dengan sikap inklusiftas
beragama. Dan untuk itu kenapa manusia beragama, tiada lain adalah untuk mendapatkan ketenangan
batin dalam menjalankan roda kehidupan yang heterogen. Manusia sebagai makhluk yang senantiasa
dilingkupi rasa cemas dan penuh harap, sejatinya membutuhkan suatu kekuatan yang dapat
menggiringnya pada kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, yakni Tuhan sebagai tujuan akhir dari
manusia.

D. Penutup

Gerakan humanisme modern sungguh menjadikan manusia sebagai pusat alam semesta. Alam, dan
bahkan Tuhan, dikesampingkan demi mengembalikan kebebasan manusia yang sebelumnya tertutup
oleh kabut tafsir religius. Ludwig Feuerbach, yang dianggap sebagai bapak Ateisme modern, bahkan
melihat keberadaan tuhan sebagai suatu proyeksi manusia, karena ia tidak mampu mewujudkan
kemampuan-kemampuan kodratinya secara penuh dalam hidup yang nyata. Friedrich Nietzsche bahkan
menyatakan, bahwa tuhan sudah mati, dan kita semua, yakni manusia, yang membunuhnya.

Descartes, Hegel, dan Kant adalah para filsuf modern yang merayakan kemampuan manusia untuk
menjadi sadar atas diri dan realitas di sekitarnya. Dengan kemampuan akal budinya, manusia mampu
menentukan apa yang baik dan apa yang buruk untuk dirinya sendiri. Lewat kritik agama para humanis
ateistis itu menantang orang-orang beriman untuk secara mendalam merenungkan mengapa dan
bagaimana mereka beriman

Di masa modern ini, manusia dilihat sebagai mahluk yang transenden dengan kebebasan, kesadaran, dan
akal budi yang ia miliki. Ia bukan lagi citra Tuhan, melainkan mahluk hidup yang mampu membuat alam
tunduk pada keinginan dan kepentingannya. Ia tidak lagi tunduk pada tafsir-tafsir religius tentang
kebenaran dan kehidupan, melainkan berani mengangkat kekuatan-kekuatan yang ada di dalam dirinya
sendiri untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk dirinya. Agama diminta untuk
memberikan tempat untuk akal, kebebasan, dan kesadaran manusia, sehingga bisa tetap menjadi
pedoman hidup manusia yang justru mengangkat kemampuan-kemampuan terpendam di dalam dirinya.

Berkaitan dengan humanism tersebut, agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi
kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia. Tapi di sisi yang berbeda, fungsi ini justeru
menampilkan bahwa agama bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama menyangkut masalah
ketidakadilan dan kesenjangan. Kedua, karena agama sebagai identitas, artinya agama secara spesifik
dapat diidentikkan pada kelompok tertentu.

Lahirnya tindak kekerasan karena besar kemungkinan terdapat ikhtilaf pemahaman, penafsiran, kerangka
berfikir, dan etos kerja antara satu kelompok dengan yang lainnya. Selain itu, agama terkadang menjadi
alat legitimasi hubungan antar manusia sebagaimana telah disinggung di awal pembahasan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa selama agama eksis di tengah peradaban dan kehidupan manusia
akan tetap berkelit kelindan dengan kekerasan. Artinya, agama dan kekerasan bagaikan dua sisi mata
uang yang tidak dapat dipisahkan tapi bisa dibedakan. Namun tidak dapat dilupakan bahwa agama juga
sumber kebaikan dan toleransi. Intinya, dalam perjalanannya agama akan menjadi sumber intimedasi
atau sumber toleransi bergantung pada umat manusia selaku subjeknya.

Humanisme lentur mengajak kita semua untuk bersikap lunak terhadap akal budi kita sendiri, terhadap
iman kita, terhadap kebebasan kita sebagai manusia, dan melepaskan diri dari sikap bangga diri atas
agama dan kepercayaan yang kita pegang. Buku ini, pada hemat saya, amatlah penting untuk Indonesia
sekarang ini. Di tengah begitu banyak pandangan hidup dan sistem nilai yang ada, buku ini mengajak
kita, sebagai manusia, untuk tetap lunak dan lentur di dalam menjalani hidup, sambil tetap menghayati
misteri kemegahan Tuhan dan kehidupan, serta selalu siap memberi diri untuk memperbaiki kualitas
hidup bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanudin. 2007. Agama dalam kehidupan manusia. Grafindo. Jakarta

Durkheim, Emile. 2011. The Elementary Forms of The Religious Life; Sejarah Bentuk-Bentuk Agama yang
paling dasar. Terj. Inyiak Ridwan Muzie. M. Syakir. Ircisod. Yogyakarta

Grose, George B. & Hubbard, Benjamin J. 1998. Tiga Agama Satu Tuhan; Sebuah Dialog. Mizan. Bandung

Hidayat, Komarudin. 2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Noura Books. Jakarta

O`Dea, Thomas F. 1994. Sosiologi Agama, Rajawali Press. Jakarta

Kahmad, Dadang. 2011. Sosiologi Agama. Pustaka Setia. Bandung

Keene, Michael. 2006. Agama-agama Dunia. Kanisius. Yogyakarta

Madjid, Nurcholis. 2008. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Cetakan VIII. Paramadina. Jakarta

--------------------------. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Cetakan VIII. Paramadina. Jakarta
Sardar, Ziaudin. 2005. Kembali Ke Masa Depan. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta

Shihab, Alwi. 1997. Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Mizan. Bandung

Yazdi, Misbah. 2005. Iman Semesta; Merancang Piramida Keyakinan. Alhuda. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai