Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA OTAK


BERAT (COB) DAN EPIDURAL HEMATOMA (EDH) DI RUANG
GARDENA RSD DR. SOEBANDI JEMBER

oleh
Pungki Wahyuningtyas, S.Kep
NIM 182311101115

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN

Laporan Tugas Program Profesi Ners Stase Keperawatan Bedah yang disusun
oleh:

Nama : Pungki Wahyuningtyas


NIM : 182311101115
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Cedera Otak Berat (COB) Dan
Epidural Hematoma (EDH) Di Ruang Gardena RSD dr. Soebandi Jember

telah diperiksa dan disahkan pada:

Hari :
Tanggal :

Jember, April 2019

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

.......................................................... ..........................................................
........................................................... ...........................................................
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

Laporan Tugas Program Profesi Ners Stase Keperawatan Bedah yang disusun
oleh:

Nama : Pungki Wahyuningtyas


NIM : 182311101115
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cedera Otak Berat (COB) Dan
Epidural Hematoma (EDH) Di Ruang Gardena RSD dr. Soebandi Jember

telah diperiksa dan disahkan pada:

Hari :
Tanggal :
Jember, April 2019

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

.......................................................... .......................................................
........................................................... .......................................................
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi

Cedera otak traumatis atau Traumatic Brain Injury (TBI) didefinisikan


sebagai dampak, penetrasi atau pergerakan cepat otak di dalam tengkorak yang
mengakibatkan perubahan kondisi mental. Meskipun setiap kasus TBI bersifat
individual, unik dan menunjukkan derajat cedera yang berbeda dengan pemulihan
yang berbeda (Prins, 2013).
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). Cidera kepala
merupakan kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada
jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma
yang terjadi. Cedera Kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2010).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak, atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala (Tarwoto, 2007). Disebut cedera otal sedang
bila GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera
kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak
sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK (Oman,
2008).
Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur
tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan
duramater. Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera
kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural
paling sering terjadi di daerah perietotemporal akibat robekan arteria meningea
media (Wilson, 2002; Sidharta, 2005)

Gambar 2. Epidural hematom dan subdural


13
hematom

B. Anatomi Fisiologi
Otak merupakan sistem saraf pusat dan merupakan organ utama sistem
saraf. Pengalaman sadar seseorang didasarkan pada aktivitas saraf di otak.
Regulasi homeostasis diatur oleh daerah khusus di otak (RICE, 2013).
Bagian- bagian otak menurut RICE (2013) adalah sebagai berikut:
1. Cerebrum
Cerebrum atau otak besar membentuk sebagian besar massa otak. Bagian
yang keriput adalah korteks serebral, dan sisa struktur berada di bawah lapisan
luar itu. Pemisah antara kedua sisi serebrum disebut fisura longitudinal. Ini
memisahkan otak menjadi dua bagian yang berbeda, belahan otak kanan dan kiri.
Fungsi neurologis pada cerebrum yaitu ingatan, emosi, dan kesadaran. Serebrum
terdiri dari materi abu-abu luar (korteks) dan beberapa nukleus dalam yang
termasuk dalam tiga kelompok fungsional penting. Nukleus ini berfungsi dalam
fungsi kognitif dan pengaturan gerak. Otak basal berfungsi dalam pembelajaran
dan memori. Korteks limbik adalah wilayah korteks serebral yang merupakan
bagian dari sistem limbik, kumpulan struktur yang terlibat dalam emosi, memori,
dan perilaku (RICE, 2013).
Gambar 3. Gambar otak lateral dan anterior

Beberapa bagian dari hemisfer mempunyai tugas yang berbeda terhadap


informasi yang masuk. Bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut (RICE,
2013).

Gambar 4. Lobus pada Korteks Cerebral

1). Lobus Temporal


Lobus Temporal berperan dalam mengolah informasi suara. Lobus temporal
dikaitkan dengan sensasi pendengaran primer, yang dikenal sebagai daerah
Brodmann 41 dan 42 di lobus temporal superior. Lobus temporal adalah bagian
dari sistem limbik dan memori adalah fungsi penting yang terkait dengan lobus
tersebut. Memori pada dasarnya adalah fungsi sensorik; kenangan adalah sensasi
yang teringat dan ingatan tentang gerakan. Struktur di lobus temporal bertanggung
jawab untuk membangun ingatan jangka panjang.
2). Lobus Oksipital
Lobus Oksipital berhubungan dengan pengolahan impuls cahaya dari
penglihatan. Lobus oksipital bertanggung jawab atas persepsi visual primer yang
terletak di bagian belakang dan mengaitkan informasi tersebut pada memori yang
ada dalam otak.
3). Lobus Parietal
Lobus parietal merupakan pusat pengaturan impuls dari kulit serta
berhubungan dengan pengenalan posisi tubuh. Sensasi utama yang terkait dengan
lobus parietal adalah somatosensasi, yaitu sensasi umum yang terkait dengan
tubuh. Area ini diidentifikasi sebagai area Brodmann 1, 2, dan 3. Rangsangan
sentuhan akan diproses di area ini, termasuk sentuhan, tekanan, gelitik, nyeri,
gatal, dan getaran, serta indera tubuh yang lebih umum seperti propriosepsi dan
kinesthesia.
4). Lobus Frontal
Lobus frontal merupakan bagian yang penting dalam proses ingatan dan
perencanaan kegiatan manusia. Lobus frontal dikaitkan dengan fungsi motorik.
Gyrus precentral adalah korteks motorik primer. Sel-sel dari daerah korteks
serebral ini adalah neuron motorik atas yang menginstruksikan sel-sel di sumsum
tulang belakang untuk menggerakkan otot rangka. Anterior ke wilayah ini adalah
beberapa area yang berhubungan dengan gerakan yang direncanakan. Area
premotor bertanggung jawab untuk memikirkan gerakan yang akan dibuat. Bidang
mata frontal penting dalam memunculkan gerakan mata dan dalam
memperhatikan rangsangan visual. Area Broca bertanggung jawab untuk produksi
bahasa, atau mengendalikan gerakan yang bertanggung jawab untuk berbicara.
Bagian anterior adalah lobus prefrontal, yang melayani fungsi kognitif yang dapat
menjadi dasar kepribadian, memori jangka pendek, dan kesadaran.
Kekurangan oksigen ke SSP dapat merusak otak. Arteri yang membawa
darah dari jantung adalah aorta. Cabang pertama dari aorta memasok jantung
dengan nutrisi dan oksigen. Cabang berikutnya adalah arteri karotis umum yang
bercabang ke dalam arteri karotis interna. Arteri karotis eksternal memasok darah
ke jaringan di permukaan tempurung kepala. Basis karotid yang umum
mengandung reseptor peregangan yang segera merespon penurunan tekanan darah
saat berdiri. Arteri karotis interna memasuki tempurung kepala melalui kanalis
karotis di tulang temporal. Arteri karotid internal kiri, kanan dan cabang arteri
basilar menjadi lingkaran willis, pertemuan arteri dapat mempertahankan perfusi
otak ketika terjadi penyempitan atau penyumbatan.

Gambar 5. Siklus wilis


Setelah melewati SSP, darah kembali ke sirkulasi melalui serangkaian
sinus dan vena dural. Sinus sagital superior berjalan di alur fisura longitudinal dan
menyerap Cairan Serebrospinal (CSS) dari meninges. Sinus sagital superior
mengalir menuju pertemuan sinus, bersama dengan sinus oksipital dan sinus lurus,
untuk kemudian mengalir ke sinus transversus. Sinus transversus terhubung ke
sinus sigmoid, yang kemudian terhubung ke vena jugularis. Kemudian darah
menuju jantung untuk dipompa ke paru-paru untuk reoksigenasi.
Gambar 6. Sirkulasi darah otak

C. Epidemiologi

Cedera otak terjadi setiap 15 detik di AS, menghasilkan 1,7 juta korban
cedera kepala baru per tahun. Peristiwa ini bertanggung jawab atas 50.000
kematian, meninggalkan 80.000 orang dengan cacat tetap dan biaya rata-rata
lebih dari 77miliar US $ per tahun. Frekuensi cedera otak saat ini lebih tinggi
daripada penyakit lainnya, termasuk penyakit kompleks seperti kanker payudara,
AIDS, penyakit parkinson dan multiple sclerosis (Prins, 2013)

Epidural Hematom terjadi pada 2% dari semua cedera kepala dan hingga 15%
dari semua trauma kepala fatal. Laki-laki lebih sering terkena daripada
perempuan. Selain itu, insidensinya lebih tinggi di kalangan remaja dan dewasa
muda. Usia rata-rata pasien yang terkena adalah 20 hingga 30 tahun, dan jarang
terjadi setelah 50 hingga 60 tahun. Seiring bertambahnya usia individu, dura
mater menjadi lebih melekat pada tulang di atasnya. Ini mengurangi
kemungkinan bahwa hematoma dapat berkembang di ruang antara cranium dan
dura (Khairat, 2018).

D. Etiologi
1. Trauma tumpul
Kecepatan tinggi : tabrakan motor dan mobil
Kecepatan rendah : terjatuh atau dipukul
2. Trauma tembus
Luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya
3. Jatuh dari ketinggian
4. Cedera akibat kekerasan
5. Cedera otak primer
Adanya kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari
trauma. Dapat terjadi memar otak dan laserasi
6. Cedera otak sekunder
Kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia metabolisme,
fisiologi yang timbul setelah trauma (Tarwoto, 2007). Epidural hematom
umumnya disebabkan oleh pukulan atau tumbukan langsung pada kalvarium yang
menyebabkan terlepasnya perlekatan durameter dari permukaan dalam kalvarium
yang disertai terputusnya atau robeknya pembuluhnya darah baik disertai dengan
atau tanpa adanya fraktur tulang cranium (Purwirantono, 2002). Pada epidural
hematoma yang terjadi ketika pecahnya pembuluh darah umumnya arteri yang
kemudian mengalir ke dalam ruang antara durameter dan tengkorak.

E. Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme terjadinya, cedera otak dibedakan menjadi:
1. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau
karena kena lemparan benda tumpul.
2. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada
kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan
batang otak.
3. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
4. Cedera sekunder, sebagai akibat dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada
area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi (Nasir Muhammad, dkk
2012.
Klasifikasi berdasarkan keparahan ini dibagi menurut GCS atau tingkat kesadaran.
Klasifikasinya adalah sebagai berikut.
a. Cedera Otak Ringan (COR) : GCS 13- 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran
(pinsan) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada
fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma.
b. Cedera Otak Sedang (COS) : GCS 9- 12, kehilangan kesadaran atau amnesia
retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
c. Cedera Otak Berat (COB) : GCS 3-8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intracranial.

F. Patofisiologis

Pada epidural hematoma, perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan


dura mater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi fraktur
tulang tengkorak di daerah yang bersangkutan. Hematom dapat terjadi di daerah
frontal dan oksipital. Pada epidural hematoma, perdarahan terjadi di antara tulang
tengkorak dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal
bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi
bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematoma dapat pula terjadi
di daerah frontal atau oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam
tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di
permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom
epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari
tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma yang membesar di
daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah
dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi
di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik. Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di
tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf
ini mengakibatkan dilatasi pupil dan palpebraptosis kelopak mata. Tekanan pada
lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan
tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang besar.
Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial antara lain kekakuan
deserebrasi dan gangguan tanda- tanda vital dan fungsi pernafasan. Karena
perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga
makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin
penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa
jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian
kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini
selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada epidural
hematom. Epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid
interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami
fase sadar (De Jong, 2006).
a.
Clinical Pathway

Trauma tumpul, Cedera Otak Fraktur tulang


tembus,
deselarisasi

Terputusnya Ruftur pembuluh darah Terputusnya jaringan


kontinuitas tulang otot, kulit dan vaskuler

Pelepasan prostaglandin, Epidural Hematom


bradikinin, leukotrien, Gangguan suplai
darah ke otak
Perubahan sirkulasi CSS
Kehilangan darah
Iskemi

Peningkatan tekanan
Defisien volume
intra kranial Hipoksia
cairan

Bradikinin merangsang Mual


nosisepr Penurunan Risiko
kesadaran ketidakefektifan
perfusi jaringan otak
Penurunan nafsu
Nyeri Akut makan
Tirah baring Peningkatan
lama pernapasan
Nutrisi tidak adekuat
Kelemahan otot
Penumpukan Penggunaan otot
sekret bantu pernapasan
Penurunan berat badan
Tidak bisa
melakukan Ketidakefektifan
Ketidakefektifan pola napas
perawatan bersihan jalan napas
mandiri

Defisit perawatan diri: Ketidakseimbangan nutrisi


mandi, makan, berpakaian, kurang dari kebutuhan

Hambatan Mobilitas Fisik


G. Manifestasi Klinis

Manifestasi epidural hematoma menurut Muttaqin (2008) antara lain:


1. Penurunan kesadaran GCS 1-8 disertai lateralilasi (ada ketidaksamaan
antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh)
2. Hemiparese (jika salah satu sisi tangan atau kaki atau wajah menjadi
lemah namun tak sepenuhnya lumpuh)
3. Hemiplegia (jika satu tangan atau kaki, wajah menjadi lumpuh dan
tidak dapat bergerak)
4. Pupil anisokor
5. Reflek patologis satu sisi
6. Lucid interval (adanya fase sadar diantara 2 fase tidak sadar karena
bertambahnya volume darah)
7. Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang dengan pemberian
analgesik

H. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
4. Analisa gas darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial (Batticaca, 2008).

I. Kemungkinan Komplikasi
1. Peningkatan tekanan intrakranial, yaitu tekanan yang terjadi pada ruang
serebral akibat bertambahnya volume otak melebihi ambang toleransi
dalam ruang kranium. Hal ini dapat disebabkan karena edema serebri
dan perdarahan serebral.
2. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis, maupun
tampilan intraoperatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang
sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan
peningkatan tekanan intrakranial
3. Kompresi batang otak sehingga mengakibatkan kematian (Muttaqin,
2008).

J. Penatalaksanaan Medis
1. Penanganan darurat :
a. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
b. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
2. Terapi medikamentosa
a. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah
yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang
pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang
terutama untuk membuka jalur intravena.
b. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
1) Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah
sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
2) Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol per
infus untuk menarik air dari ruang intersel ke dalam ruang
intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
3) Barbiturat, digunakan untuk membius pasien sehingga
metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya
kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang
rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan
kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.
3. Operasi di lakukan bila terdapat :
b. Volume hamatom > 30 ml
c. Keadaan pasien memburuk
d. Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan
kedalaman >1 cm
e. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis
tengah dengan GCS 8 atau kurang
f. Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg (Sidharta, 2005)

Ketidakefektifan pola
nafas
K. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama, umur, agama, pendidikan, status, perkawinan
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Pada umumnya klien mengalami penurunan kesadaran baik biasanya
mengeluh sakit atau nyeri kepala, pusing, mual muntah.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Kaji penyebab trauma : biasanya karena kecelakaan lalu lintas atau
sebab lain tanyakan kapan dimana apa penyebab serta bagaimana
proses terjadinya trauma. Apakah saat trauma pingsan, disertai muntah
perdarahan atau tidak. Riwayat amnesia setelah cedera kepala
menunjukkan derajat kerusakan otak.
3) Primary Survey
- Airway apakah ada sumbatan jalan nafas seperti darah secret lidah
dan benda sing lainnya, suara nafas normal/tidak, apakah ada
kesulitan bernafas
- Breathing : pola nafas teratur, observasi keadaan umumdengan
metode : look : liat pergerakan dada pasien,teratur, cepat dalam
atau tidak. Listen : dengarkan aliranudara yang keluar dari hidung
pasien. Feel : rasakanaliran udara yang keluar dari hidung pasien
- Sirkulasi : akral hangat atau dingin, sianosis atau tidak,nadi teraba
apakah ada.
4) Secondary
- Disability apakah terjadi penurunan kesadaran, nilai GCS, pupil
isokor, nilai kekuatan otot, kemampuan ROM.
- Eksposure ada atau tidaknya trauma kepala ada atau tidaknya luka
lecet ditangan atau dikaki. Fareinhead ada atau tidaknya trauma
didaerah kepala, ada tau tidaknya peningkatan suhu yang
mendadak, demam.
5) Riwayat kesehatan terdahulu
Apakah klien pernah mengalami cedera kepala atau penyakit
persyarafan maupun system lain yang dapat memperburuk keadaan
klien. Riwayat trauma yang lalu hipertensi, jantung dan sebagainya.
6) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada salah satu anggota keluarga yang mengalami penyakit
hipertensi jantung dan sebagainya.
7) Riwayat psikososial
Bagaimana mekanisme klien terhadap penyakit danperubahan
perannya, pola persepsi dan konsep diri sebagairasa tidak berdaya
tidak ada harapan, mudah marah dantidak kooperatif, kondisi ekonomi
klien seperti dampak biaya perawatan dan pengobatan yang besar.
c. Pemeriksaan Fisik Keperawatan
1) Keadaan umum
Tergantung berat ringannya cedera, keadaan umum biasanya lemah
2) Kesadaran
Pada cedera ringan biasanya tidak sadar kurang dari 10 menit,
kemudian sadar. Compas mentis: pada cedera sedang umumnya tidak
sadar lebih dari 10 menit, perubahan kesadaran sampai koma. Pada
cidera berat, tidak sadar lebih dari 24 jam. Perubahan kesadaran
sampai koma.
3) Tanda-tanda vital
Tekanan darah hipertensi bila ada peningkatan Tekanan IntraCranial
dan bisa normal pada keadaan yang lebih ringan, nadi bisa terjadi
bradicardi, tachicardi.
4) Kepala
Kulit kepala: pada trauma tumpul terdapat hematom, bengkak dan
nyeritekan. Pada luka terbuka terdapat robekan dan perdarahan
5) Wajah
Pada cedera kepala sedang, cedera kepala berat yang terjadi
contusion cerebri, terjadi mati rasa pada wajah
6) Mata
Terjadi penurunan fungsi penglihatan, reflek cahayamenurun,
keterbatasan lapang pandang. Dapat terjadi perubahan ukuran
pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah.
7) Telinga
Penurunan fungsi pendengaran pada trauma yang mengenai lobus
temporal yang menginterprestasikan pendengaran,drainase cairan
spinal pada fraktur dasar tengkorak, kemungkinan adanya
perdarahan dari tulang telinga.
8) Hidung
Pada cedera kepala yang mengalami lobus oksipital yang
merupakan tempat interprestassi penciuman dapat terjadipenurunan
fungsi penciuman. Bisa juga terdapat drainasecaran serebro spinal
pada fraktur dasar tengkorak yang mengenai sinus paranasal
9) Mulut
Gangguan menelan pada cedera kepala yang menekanreflek serta
gangguan pengecapan pada cedera kepala dan berat.

10) Leher
Dapat terjadi gangguan pergerakan pada cedera kepala sedang dan
berat yang menekan pusat motorik, kemungkinan didapatkan kaku
kuduk.
11) Dada.
Inspeksi : biasanya bentuk simetris, terjadi perubahan irama,
frekuensi dan kedalaman pernafasan terdapat retraksi dinding dada
Palpasi : biasanya terjadi nyeri tekan apabila terjadi traumac.
Perkusi : bunyi resonan pada seluruh lapang paru, terkecuali daerah
jantung dan hepar bunyi redup
Auskultasi : biasanya bunyi nafas normal (vesikuler), bisa ronchi
apabila terdapat gangguan, bunyi S1 dan S2 bisa teratur bisa tidak,
perubahan frekuensi dan irama
12) Abdomen
Jika terdapat trauma maka akan timbul jejas ataupun perdarahan
intraabdomen
13) Ekstremitas
Perubahan pada tonus otot ataupun fraktur, hemiparase, hemiplegi

2. Diagnosa Keperawatan yang sering muncul


1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
2. Ketidakefektifan pola nafas
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
4. Hambatan mobilitas fisik
5. Nyeri akut
6. Defisien volume cairan
7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
8. Mual
9. Defisit perawatan diri: mandi, berpakaian,makan
L. Perencanaan/Nursing Care Plan

No. Masalah Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


Keperawatan
1. Risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 Manajemen Edema Serebral (2540)
ketidakseimba diharapkan perfusi jaringan otak klien adekuat dengan
kriteria hasil: 1. Monitor status neurologi
ngan perfusi 2. Monitor TTV
jaringan otak ( Perfusi Jaringan Serebral (0406) 3. Monitor status pernafasan
Awa Tujuan 4. Posisikan tinggi kepala 30º
No Indikator 5. Kolaborasi pemberian diuretik
l 1 2 3 4 5
1 TIK 6. Hindari fleksi leher
2 TD sistole Monitor Tekanan Intra Kranial (2590)
3 TD diastole
4 Gelisah
5 Penurunan tingkat
kesadaran
6 Reflek neurologis
Keterangan:
1. Deviasi berat dari kisaran normal
2. Deviasi cukup berat dari kisaran normal
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal
2. Ketidakefektif NOC NIC
an Pola Nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 Monitor Pernafasan (3350)
diharapkan pola nafas klien efektif dengan kriteria hasil: 1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan
kesulitan nafas
Status Pernafasan (0415) 2. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan
Awa Tujuan otot bantu pernapasan, retraksi pada otot
No Indikator supraclaviculas dan intercosta
l 1 2 3 4 5
1 Frekwensi pernapasan 3. Monitor pola napas
4. Monitor suara napas tambahan
2 Irama pernapasan 5. Monitor saturasi oksigen
3 Kedalaman inspirasi 6. Palpasi kesimetrisa ekpansi dada
4 Kepatenan jalan napas 7. Kaji perlunya suction pada jalan napas dengan
5 Suara asukultasi napas auskultasi suara napas ronki
8. Monitor keluhan sesak termasuk kegitan yang
6 Saturasi oksigen
memperburuk sesak apas tersebut
7 Pernapasan cuping hidung 9. Monitor hasil foto thorax
Keterangan:
1. Deviasi berat dari kisaran normal Manajemen Jalan Napas (3140)
2. Deviasi cukup berat dari kisaran normal 1. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Lakukan fisioterapi dada
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
3. Instruksikan bagaimana agar bisa untuk batuk
4. Deviasi ringan dari kisaran normal efektif
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal 4. Gunakan teknik menyenangkan untuk motivasi
bernafas dalam (misalnya meniup balon, peluit)
5. Auskultasi suara napas, catat area yang
ventilasinya menurun atau tidak ada dan adanya
suara napas tambahan
6. Kolaborasi pemberian bronkodilator/nebulizer

Terapi Oksigen (3320)


1. Berikan oksigen seperti yang diperintahkan
2. Monitor aliran oksigen
3. Periksa perangkat (alat) pemberian oksigen secara
berkala untuk memastikan bahwa konsentrasi
yang telah) ditentukan telah diberikan
4. Monitor peralatan oksigen untuk memastikan
bahwa alat tersebut tidak mengganggu upaya
pasien untuk bernapas

3. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 NIC


(00132) jam, nyeri pasien berkurang serta dapat mengontrol nyeri Manajemen nyeri (1400)
dengan kriteria hasil:
1. Lakukan pengkajian nyeri secara
Kontrol Nyeri (1605) komprehensif (lokasi, karakteristik, durasi,
faktor pncetus dan intensitas nyeri)
Tujuan
No Indikator Awal 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
1 2 3 4 5
1 Mengunakan tindakan
3. Kendalikan faktor lingkungan (suara bising,
pengurangan nyeri suhu, pencahayaan)
tanpa analgesik 4. Ajarkan mengenai teknik non farmakologi
2 Mengenali kapan (hypnosis, relaksasi, dll)
terjadinya nyeri
Terapi relaksasi (6040)
3. Menggambarkan faktor
penyebab nyeri 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi
4. Melaporkan nyeri seperti nafas dalam dan musik
terkontrol 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
Pemberian analgesik (2210)
Keterangan:
7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
1. tidak pernah menunjukkan
keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
2. jarang
8. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis,
3. kadang dan frekuensi obat analgesik yang diresepkan
4. sering secara konsisten
M. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan untuk melihat perkembangan pasien
setelah diberikan implementasi keperawatan. Evaluasi dilakukan secara
sistematis sesuai dengan data pengkajian, diagnosa, intervensi,
implementasi lalu evaluasi. Terdapat dua macam evaluasi yaitu evaluasi
formatif dan sumatif. Evaluasi dilakukan untuk mengukur apakah outcome
(NOC) telah tercapai atau masih belum dan melihat langkah apa
selanjutnya yag harus dilakukan. Evaluasi keperawatan mengandung unsur
SOAP (evaluasi sumatif), yaitu:
1. S (subjektif) merupakan respon klien setelah tindakan keperawatan.
2. O (objektif) merupakan data pasien yang ditemukan oleh perawat
setelah dilakukan tindakan keperawatan.
3. A (analisis) merupakan masalah keperawatan pada pasien yang
berkaitan dengan pencapaian apakah sudah teratasi, teratasi sebagian,
belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru.
4. P (planning) merupakan rencana intervensi berupa pilihan untuk
dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau dimodifikasi sesuai dengan
hasil analisis berdasarkan data yang diperoleh.
Berdasarkan diagnosa diatas hasil evaluasi antara lain
1. Nyeri akut
S : pasien mengatakan nyeri berkurang dan dapat mengontrol nyeri
menggunakan teknik non farmakologi
O : pasien tampak dapat mengontrol nyeri dengn teknik non farmakologi
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
2. Ketidakefektifan pola nafas
S : pasien mengatakan dapat bernafas tanpa kesulitan
O : RR 16-24x/menit, nadi 60-80x/menit, saturasi O2 99-100%
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
3. Risiko ketidakfektifan perfusi jaringan serebral
S : pasien mengatakan telah lebih baik dari sebelumnya
O : GCS 456, TD 110-130 sistole, 80-90 diastole, tidak gelisah
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi

N. Discharge Planning

Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk discharge planning bagi klien dengan
cidera kepala antara lain

1. Jelaskan tentang kondisi pasien yang memerlukan perawatan dan


pengobatan
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya
kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, muntah
3. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip
lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.
4. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas
sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum.
Aktivitas dan latihan ROM bila mengalami gangguan mobilitas fisik.
5. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat
pengaman.
6. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadwal.
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

De Jong, Wim. 2006. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Dewanto, George dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana
Penyakit Saraf. Jakarta :EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Nasir Muhammad, dkk. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ny. A. Dengan Cedera
Kepala Sedang (CKS) Di Instalasi Gawat Darurat RSUD Sragen.
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Khairat&Waseet. 2018. Epidural Hematoma. StatPearls

Oman, Kathlen dkk. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta:


EGC
Prins, dkk. 2013. The Pathophysiology of Traumatic Brain Injury At A Glance.
Disease Models & Mecanisms. Vol. 6 Hal 1307-1315

Purwiranto. 2002. Akurasi Beberapa Tanda dan Gejala Klinik dalam Menegakkan
Diagnosa Hematoma Epidural pada Kasus Cedera Kepala. Semarang:
Universitas Diponegoro

Sidharta P, Mardjono M. 2005. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat

Smeltzer, Bare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC

Tarwoto. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.


Jakarta: CV Segung Seto
Wilson M. L, Price S. A. 2002. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses Penyakit.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai