Anda di halaman 1dari 10

Tulisan Tangan Bapak1

Tulisan Tangan Bapak

Aroma cengkeh dari pabrik rokok di kota ini semakin mengoar apabila hujan turun.
Malam itu tepat tahun ketiga aku kembali memijakkan kaki di tanah rantau ini. Dimana, dua
tahun terakhir aku bergulat dengan diriku sendiri. Melewati tahapan yang sering orang bilang
ABG labil. Banyak yang terombang-ambing jiwanya, belum tau jelas kemana mereka hendak
pergi. Realita dan mimpi terkadang saling bertentangan. Kenyataan yang pahit harus kita telan
utuh-utuh bersamaan dengan mimpi kita. Proses pendewasaan ini tak pelak merupakan hasil dari
peningkatan intelegensi. Aku mulai bisa mengasosiasikan realita hidupku. Menghubungkan
semua informasi yang kudapat. Mencari kebenaran darinya. Dan telah kutemukan fakta. Bisa
jadi apa aku nantinya.

Suara riuh anak-anak TK yang bersahutan saling meneriakkan cita- cita mereka membuat
pak guru kewalahan. Aku hanya duduk di barisan paling belakang. Asik dengan pensil warnaku.
Menggoreskan impian dalam sebuah gambar. Entah darimana datangnya gambaran adegan itu.
Sebuah ingatan samar-samar mengendalikan jari-jemariku. Orang-orang berseragam putih berdiri
mengerumun. Seingatku ada 4. Suasana disana temaram. Ataukah itu buram? Entahlah satu detik
kemudian aku tak ingat. Tiba-tiba ada suara yang memanggil.

“Ning, bagaimana dengan kamu?”

“Bagaimana, bagaimana, Pak?”

“Kamu ini malah melamun. Tadi kita sedang membahas cita-cita. Apa cita-citamu?”

“Yah, hmm.. Dokter aja deh, Pak.”

“Dari suaramu, kamu nggak yakin begitu.”

“Memang aku mulai kehilangan keyakinan.” Kataku dalam hati.

“Kalian ini sudah kelas 11. Sudah harus tahu apa yang kalian inginkan dalam hidup.
Rencanakan dengan matang. Kalian boleh saja bermimpi tinggi, tapi harus bisa lihat kondisi
juga. Misal kamu pengen jadi dokter, kamu harus melihat dulu kemampuan diri dan ayah ibu.
Kamu punya berapa saudara. Berapa penghasilan orang tua. Kemana universitas yang ingin
Tulisan Tangan Bapak2

kamu tuju. Dan berapa biaya yang dibutuhkan untuk sekolah kedokteran.” Pak Roni tak henti-
hentinya menghancurkan harapan.

Aku sudah memperhitungkan semuanya.

Sepertinya pertemuan pertama dalam mata pelajaran bimbingan konseling atau BK ini
akan jadi yang pertama dan terakhir bagiku. Pelajaran yang asalnya ditujukan untuk
mengarahkan murid-murid remaja labil ini mengenal diri sendiri justru malah membuatku
meragukan diriku sendiri. Pasti seusai pelajaran, mereka membicarakan soal kemungkinan-
kemungkinan buruk masuk dalam jurusan tertentu.

“Kamu tahu tidak, katanya tahun ini uang pangkal masuk sekolah kedokteran naik.”

“Ah, masa iya. Bukannya emang dari dulu mahal, ya?”

“Bener juga kamu. Males juga sih jadi dokter, udah sekolahnya mahal, lulusnya lama,
resikonya gede pula. Dari kecil kita sudah didoktrin kalo dokter itu pekerjaan yang menjanjikan
masa depan cerah. Memang bayaran dokter itu mahal, mungkin itu yang bikin anak-anak pengen
jadi dokter semua.”

“Yah, pinter-pinternya kita aja buat milih jurusan yang cocok. Lagipula pekerjaan nggak
cuma dokter, kan? Masa semua orang jadi dokter, hahaha. Makan ke kantin, yuk.”

Sedari tadi aku menguping pembicaraan mereka dengan berpura-pura tidur seketika
menggapai-gapai tas untuk mencari sebuah benda. Benda itu hilang. Kemana hilangnya?
Kemana?

“Pasti tertinggal di rumah. Iya, itu pasti. Tenang ning, hufft” Aku berusaha menenangkan
pikiranku.

Benda itu kembali mengingatkanku pada Bapak. Saat aku bercerita pada orang-orang aku
ingin jadi dokter, orang lain mungkin tersenyum dan memberiku kata-kata penyemangat tapi
bapakku hanya diam mengelus rambutku. Ia berjongkok seketika memelukku. Kudengar Ia
membisikkan sesuatu

“Doakan Bapak ya, Ning.”

Aku yang saat itu masih TK dengan polosnya berkata


Tulisan Tangan Bapak3

“Kan yang mau jadi dokter Wening, bukan Bapak.”

Dengan cemberut yang dibuat-buat, aku berlari menjauh. Berharap Bapak akan
mengejarku dan meralat ucapannya. Tapi tidak. Semenjak itu, aku jarang melihat Bapak pulang
jam 5 sore. Aku yang semula berpura-pura marah, menjadi benar-benar marah. Suatu ketika aku
sengaja menunggu Bapak pulang. Sejak pukul 5 aku duduk di kursi rotan ruang tamu kami.

“Ning, ayo sholat maghrib.”Sesekali aku beranjak jika Ibuk memanggilku. Aku kembali
bertapa di atas kursi rotan itu. Memandang daun pintu.

“Ning, kamu sudah mengerjakan PR belum?“ Ibuk memanggil lagi.

Aku pun beranjak, mengambil buku dan kembali lagi.

“Kamu kenapa di ruang tamu terus?” Ibuk duduk menjejeriku.

“Bapak jahat! Bapak nggak pengen Wening jadi dokter. Waktu itu Ning cerita sama
Bapak kalau Wening pengen jadi dokter. Eh malah Bapak yang minta di doakan.” Ocehku pada
Ibuk.

“ Jadi ceritanya kamu marah?” Tanya Ibuk.

“Iya, Wening nggak suka Bapak yang jadi dokter. Wening mau marahin Bapak. Bapak
pasti takut dimarahin Wening, jadi pulangnya waktu Wening udah tidur” Kembali aku
mengerucutkan bibir. Ibuk hanya menyunggingkan senyum.

“Kamu kalau mau jadi dokter ya harus belajar. Nanti biar Ibuk yang bilangin Bapak. Ibuk
selalu berdoa buat Ning, buat Mbak, buat Adek, supaya pada pinter-pinter.” Ibuk mengelus
pipiku lantas mengambilkan aku bantal.

“Ning nggak mau tidur, Buk.” Sewotku.

“Ini bukan untuk tidur, ini buat ngelempar Bapak.” Ibu mengedipkan sebelah matanya
dan pergi. Aku melanjutkan mengerjakan PR matematikaku. “1+4=5, 3+12=15” Aku merapalkan
penjumlahan untuk mengalihkan pandanganku dari ambang pintu.“Bapak jahat!”Pikirku. Dan
aku pun terlelap.

Pagi menjelang dan aku dibangunkan oleh ayam jago tetanggaku. Aku terbangun di atas
kasur kapuk yang mulai padat tapi tetap nyaman bagiku. Seingatku semalam aku ketiduran di
Tulisan Tangan Bapak4

kursi rotan menunggu Bapak pulang untuk memarahinya. Jejak pola anyamannya masih tersisa.
Kurasa ada sesosok manusia berdiri di ambang pintu, lalu masuk menuju ke arah meja lipat dari
triplek yang biasa aku gunakan untuk belajar itu dan cepat-cepat pergi. Aku berusaha membuka
mataku lebar-lebar. Berjalan tak seimbang menuju meja belajar. Kudapati sebuah kotak dibalut
koran seperti hadiah lomba 17-an di kampung. Apa ini? Hari ini bukan ulang tahunku. Aku ragu-
ragu membukanya. Takut-takut isinya bom. Selapis demi selapis aku merobek kertas
pembungkusnya. Di akhir lapisan masih ada sebuah kotak merah muda. Aku mulai berfirasat
baik untuk ini. Kubuka kotak itu dan kudapati sebuah alat yang biasanya digunakan para dokter
dengan cara menempelkannya di dada pasien tapi hanya lebih kecil saja. Baru aku tahu nama
benda itu adalah stetoskop setelah kecelakaan yang menimpa adikku 5 bulan lalu. Aku sedang
senang-senangnya bermain gelembung sabun setelah Bapak mengajariku resep rahasianya.

Sore itu aku mengajak adikku ikut bermain. Karena aku terlalu bersemangat, tanpa
sengaja wadah tempat sabun itu tertendang dan tumpah. Bersamaan dengan itu, adikku lari
mengejar gelembung yang kubuat. Kakinya menginjak cairan sabun dan ia limbung. Tubuh
kecilnya belum bisa mengatur keseimbangan dengan baik dan Ia rubuh. Kepalanya membentur
beton. Ia kehilangan kesadaran. Aku melihat darah mengalir perlahan dari kepalanya. Segera aku
mengangkat kepalanya. Aku bingung. Aku berteriak-teriak meminta tolong. Kulihat darah mulai
memenuhi tanganku. Bermaksud menghentikan pendarahan, aku pun merobek rok panjang yang
aku kenakan dan kubalutkan ke kepala adikku.

“Tolong! Bapak! Ibuk! Tolong!” Aku mulai ketakutan. Air mataku hampir jatuh. Hingga
Bapak datang. Bapak langsung menatapku tajam mengisyaratkan Ia ingin penjelasan. Saat aku
ingin membuka mulut, Bapak sudah melesat pergi menggendong adik. Ibuk yang datang
menyusul Bapak dari belakang langsung memelukku. Air mataku pun tumpah.

“Ibuk, aku melukai adik..” Aku sesenggukan dalam pelukan Ibuk.

“Bukan, Ning, ini hanya kecelakaan. Kamu nggak melakukan apa-apa.” Ibu melepaskan
pelukannya dan melihat rokku yang kini compang-camping.

“Kamu anak yang pinter, Ning. Ayo masuk, kita bersihin darahnya, ganti baju lalu nyusul
Bapak ke rumah sakit.” Aku hanya mengangguk dan mengikuti Ibuk masuk ke rumah.
Tulisan Tangan Bapak5

Di Instalasi Gawat Darurat (IGD), aku melihat kegaduhan para pegawai yang disebabkan
oleh seorang anak kecil. Seorang terlihat sedang berbicara dengan mengulang-ulang kalimat
“Siapkan RO sekarang juga.” Seorang menyiapkan kasur beroda dan menempatkan adikku di
atasnya. Seorang memasang selang infus di tangan adikku. Seorang membersihkan darah dari
kepala adikku. Seorang lagi menimpali “ke RO 5!” Kasur itu pun didorong menuju ruang operasi
5. Sesaat dunia terasa berjalan sangat lambat. Suara geledek dari kasur itu membuatku pusing.
Aku berusaha berlari mengimbangi langkah panjang Bapak. Hingga akhirnya kami tiba di depan
ruangan tempat menghilangnya adikku bersama dengan orang-orang tadi. Bersamaan dengan
ayunan pintu yang hendak ditutup, aku sempat melihat ke dalam. Ada 4 orang sedang berdiri.
Dibawah lampu temaram. Mengenakan baju hijau, penutup kepala, dan masker. Pintu berdebam
di depanku menambah pening di kepalaku. Pintu ditutup rapat-rapat. Aku berusaha mengintip
dari kaca buram yang agak tinggi di atas kepalaku. Aku menjinjitkan kaki. Tidak sampai. Aku
melompat-lompat hanya bisa melihat sepersekian detik. Kaca buram itu semakin buram. Dan aku
limbung di lompatan terakhirku. Sebelum aku terjatuh, Bapak menangkapku. Aku pun pingsan.

Aku tersadar di sebuah ruangan berdinding putih dan ber-AC. Bapak yang khawatir akan
kondisiku meminta dokter mengecek kondisiku. Bapak tidak ada di sana. Aku sendirian bersama
dengan seorang dokter. Dokter yang melihatku sadar lantas tersenyum. “Bagaimana kondisimu?”
Tanya dokter itu. “Ning masih agak pusing.” Jawabku menggunakan nama panggilan karena aku
terbiasa melakukannya di rumah. “Oh, kamu yang bernama Ning?” Aku hanya mengangguk.
“Apa kamu yang membalut kepala adikmu dengan kain rok?” Aku tersipu malu. Aku tidak tahu
yang Ia maksudkan. Apakah ia memuji? Atau justru mengejekku? “Iya.” Jawabku. “Kamu gadis
yang cerdas. Kamu bisa bertindak cepat dan berjiwa penolong.” Timpal Dokter Tono yang
kuketahui namanya dari papan nama yang tersemat di jas putihnya. “Aku hanya tidak ingin
adikku terluka.” Jawabku perlahan. “Apa cita-cita mu, Ning?” Tanya Dokter Tono. “Aku belum
tahu.” Ucapku. “Kamu berbakat menjadi dokter, Ning.” Kalimat Dokter Tono kini membuatku
mendongak menatap dokter yang telah beruban itu. “Apa iya?” Jawabku sumringah. Dokter
Tono hanya tersenyum kepadaku. “Dokter, boleh aku bertanya? Apa nama benda yang ada di
lehermu itu?” Tanyaku polos. “Oh, ini namanya stetoskop” Terdengar suara ketukan di pintu.
Dokter Tono membukakan pintu. Aku melihat Ibuk masuk. Ibuk lantas mengajakku ke ruang
dimana adikku di rawat. Disana ada Bapak dan adik yang masih belum tersadar. Ibuk berkata
adik mendapat 10 jahitan di kepalanya. Bapak duduk di sofa. Tanpa disuruh, aku duduk di
Tulisan Tangan Bapak6

samping Bapak untuk menjelaskan apa yang terjadi. Aku diam sejenak menunggu reaksi Bapak.
Bapak tidak marah akan kejadian itu. Ia hanya berkata “Besok lagi harus hati-hati, Ning. Jangan
ceroboh.” Lalu mengusap kepalaku. Namun mimik mukanya datar dan tegas sehingga aku
mengurungkan niat untuk menceritakan percakapanku dengan Dokter Tono tadi. Aku baru berani
mengungkapkannya kemarin. 5 bulan kemudian.

Aku menggenggam stetoskop itu dengan mata yang berbinar-binar. Air mataku mulai
menggenang. Bapak muncul dari ambang pintu. Tersenyum padaku. “Dokter Wening, tolong
obati saya. Saya sakit karena anak saya marah pada saya yang ingin jadi dokter ini..” Seketika
aku cemberut namun aku tak kuasa menahan rasa bahagia. Aku berlari menuju Bapak lantas
memukul-mukul kaki Bapak. “Bapak boleh jadi dokter, tapi sekarang Wening yang akan
mengobati Bapak.” Aku memainkan stetoskopku pada dada Bapak seolah-olah dokter
sungguhan. “Bapak sakit pilek. Bapak tidak boleh pulang malam-malam karena anaknya ini
rindu tidur di samping Bapak.” Candaku pada Bapak. Bapak yang tidak paham hubungan antara
pilek dan rindu hanya tertawa. Aku pun ikut tertawa karena tawa Bapak. Sejak itu, hari-hariku
berjalan dipandu oleh sebuah mimpi. Setidaknya sebelum sekolah ini membelenggu mimpiku.

Aku rebahan di kasurku dalam istirahat yang singkat ini. Pandanganku terpaku pada
sebuah kalender. Tanggal 22. Tiba-tiba aku tersadar. Perpulangan dua bulan lagi! Kekhawatiran
mulai menyergap diriku. Ada yang ketinggalan di rumah, setidaknya itu yang aku yakini.
Dimana terakhir kali aku meletakkan stetoskop itu? Aku selalu membungkusnya dengan sapu
tangan. Apakah aku manaruhnya di kamar? Bagaimana jika terbuang? Perpulangan terakhirku
satu bulan yang lalu. Dirumah hanya ada aku, Ibuk, dan adek. Mbakku kini sudah kuliah baru
semester awal, masih ada 6 semester untuk lulus. Adekku kini sudah masuk SMP. Bapakku
seperti biasa selalu pulang larut malam. Bekerja keras demi mewujudkan mimpi. Mimpi anak-
anaknya. Kakakku yang ingin menjadi pengacara kini sudah melewati tahap kebimbangan
menuju tahap yang pasti. Ia berhasil menempuh sekolah hukum. Adikku sedang membangun
impiannya. Aku sedang menghadapi kehancuran pondasi mimpiku. Aku tak tahu, apa yang
dikatakan Pak guru dan teman-teman memang benar. Aku tidak bisa menafikan fakta dan
perhitungan-perhitungan bibit bebet dan bobotnya. Aku tidak bisa egois. Aku harus mulai
mancari mimpi lain. Buat apa aku mengkhawatirkan stetoskop itu? Lagipula aku sudah
Tulisan Tangan Bapak7

memutuskan untuk merubah haluan. Mimpi datang saat kita terlelap. Jadi aku memutuskan untuk
tidur.

Hari berlalu seperti biasa. Sama monotonnya. Duniaku hanya seputar dinding. Dinding-
dinding yang membelenggu. Kemanapun aku mengalihkan pandangan, mataku hanya akan
menabrak dinding. Menyempitkan pandanganku. Semua disini sangat berbeda. Aku yang
memiliki jiwa pemberontak dan petualang kini tak bisa berkutik oleh aturan. Atau lebih tepatnya
ancaman. Ancaman bagi nama baikku, maupun keluargaku. Jika aku tidak becus bersekolah di
sini, mereka akan mengeluarkanku. Aku bertanya-tanya mengapa dulu aku menerima saja untuk
bersekolah di sini. Orang tuaku, bapak, ibu, kalau bukan karena mereka aku tidak ingin
bersekolah di sini. Itu bisa menjadi alasan yang tepat untuk bertahan.

Aku terus menghitung mundur hari. Menanti tibanya perpulangan. Aku kira aku harus
menunggu 2 bulan lagi, tapi hari ini aku dipanggil oleh BK. Aku menerka-nerka apa yang telah
aku lakukan sampai aku dipanggil ke BK. Apa mereka akan mengeluarkan aku? Tidak mungkin.
Aku anak baik-baik disini. Tidak pernah berbuat salah. Kecuali satu hari dimana aku sengaja
menyenggol salah satu vas bunga keramik di depan kantor guru. Tapi itu sudah setahun yang
lalu. Apa aku terekam cctv?

Aku begitu larut dalam prasangka hingga realita berdiri di depan mata. Di hadapanku
berdiri Pakde Pur. Masnya Bapak. Aku lantas salim dengan Pakde.

“Pakde, kenapa pakde ke sini?”

“Pakde mau ngajak kamu pulang, Ning.”

“Ada acara apa sampai Wening dijemput segala.”

“Nanti saja kita bicara. Kamu sudah mendapat ijin, ayo kita pulang, Ning.”

Pakde berpamitan dengan Pak Roni. Pakde juga mengisyaratkanku untuk mengikutinya.
Aku hanya mengucap salam ke Pak Roni. Sebelum aku melangkahkan kaki menjauh, Pak Roni
menepuk pundakku. Isyarat apa itu? Aku beralih pada wajah Pak Roni. Alisnya berkerut dan
turun. Wajah orang yang ingin menunjukkan simpati atas kesedihan kita. Ah! Sesaat tubuhku
seperti tersambar petir. Aku langsung berlari mengejar Pakde yang sudah beberapa meter di
Tulisan Tangan Bapak8

depan. “Pakde!” Suara teriakanku begitu nyaring hingga mungkin dalam radius 100 meter masih
terdengar. Pakde tidak berhenti sama sekali. Hingga Ia berhadapan dengan mobilnya.

“Pakde, siapa yang meninggal? Siapa?!”

“Masuk dulu.”

“Jelaskan dulu!”

“Kalau kamu nggak masuk, kita akan terlambat menghadiri pemakaman Bapakmu.”

Sudah ku duga. Aku lemas bukan kepalang. Tulangku seperti dilolos satu per satu. Aku
tidak bisa membuang waktu. Aku ingin bertemu Bapak untuk yang terakhir kalinya. Pikiranku
berkecamuk. Marah. Sedih. Tidak percaya. Semua bercampur menimbulkan rasa mual. Aku pun
memutahkannya di mobil.

Butuh sekitar satu jam dari sekolahku sampai rumah. Awan terlihat kelabu. Bukan,
seluruh penglihatanku yang kelabu. Aku turun dari mobil bagai orang mabuk. Berjalan
sempyongan, kekiri, kekanan. Pakde memapahku menuju rumahku. Bukan, itu bukan rumahku.
Dinding rumahku hijau, bukan kelabu. Di depan rumahku ada bendera merah putih, bukan
kelabu. Dan kami tidak pernah kedatangan tamu sebanyak ini.

“Siapa orang-orang ini, Pakde? Aku tidak pernah melihat mereka berkunjung ke rumah
saat Bapak masih hidup. Kenapa mereka justru berdatangan saat Bapak meninggal?”

“Sudah, Ning. Ikhlaskan Bapakmu, jangan malah menyalahkan orang-orang. Seka dulu
ingusmu.”

Aku tak kuasa menahan perih di hatiku. Bapakku tersayang pergi meninggalkanku tanpa
meminta ijin. Aku menerobos kerumunan orang yang tak kukenal mencari sepasang mata yang
paling terluka. Disana, disudut kamarku Ibuk berusaha menyeka air matanya berulang-ulang.
Aku pun mendekat, ingin ikut merasakan kepedihan hatinya. Dari kejauhan, kukira Ibuk
membawa selembar tisu. Tapi yang terlihat adalah secarik kertas. Ibuk mendongak menatapku.
Sungguh tak bisa aku gambarkan seberapa dalam palung kesedihan Ibuk. Ia berusaha tersenyum
saat berjumpa tatap denganku. Pedih rasanya memalsukan senyum. Aku bersimpuh dibawah kaki
Ibuk.
Tulisan Tangan Bapak9

“Ibuk, Bapak sudah ndak ada. Siapa yang bakal membiayai sekolah Wening, Mbak, sama
Adik? Wening ingin berhenti sekolah saja. Bantu-bantu cari uang Ibuk.”

“Kamu yakin Bapak akan bahagia dengan keputusanmu?”

Seraya mengelus rambutku, Ibuk menyodorkan kertas yang tadi di tangannya. Tulisan
tangan Bapak. Tulisan yang dulu sering kusebut-sebut sebagai tulisan paling bagus sedunia.
Tulisan yang biasa menjadi sumber candaan keluarga kami. Ibuk, Mbak, dan Adik menyebutnya
cakar ayam. Tapi bagiku, itu tulisan seorang dokter.

Kuterima surat itu dengan tangan gemetaran.

“Wening, anakku.

Kamu ingat hari dimana kamu menceritakan keinginanmu untuk menjadi dokter? saat itu kamu
masih TK. Tapi Bapak melihat tekad yang kuat di matamu. Bapak seneng banget mendengar
anak Bapak ada yang mau jadi dokter. Bapak nggak hanya melihat seorang anak yang
mengungkapkan mimpinya di mulut saja tetapi kamu berbicara dengan hatimu juga. Sejak saat
itu Bapak terpacu untuk mencari penghasilan tambahan agar Bapak bisa mewujudkan mimpi
anak-anak Bapak. Maafkan Bapak yang membuatmu kehilangan waktu bareng Bapak. Kamu
ingat percakapan malam itu? Jujur Bapak sangat sedih waktu kamu bilang udah nggak mau jadi
dokter. Tapi Bapak tahu yang sebenarnya lebih terluka hatinya itu kamu. Matamu tidak bisa
berbohong. Kamu anak baik, Ning. Kamu rela mengorbankan cita-citamu demi mbak dan
adikmu. Seberapa sakit hatimu waktu itu, Ning? Andaikan Bapak dokter, pasti sudah Bapak
sembuhin sakit yang teramat di hatimu. Sekarang satu-satunya jalan untuk menyembuhakan luka
di hatimu adalah dengan mengobatinya sendiri. Kamu harus jadi dokter, Ning, maka sakitmu
akan sembuh. Kamu nggak usah khawatir tentang biaya. Insyaallah kalau Allah meridhai pasti
akan diberi jalan. Yang penting kamu belajar sungguh-sungguh dan terus berdoa. Seiring dengan
surat ini, Bapak harap bisa melihat lagi pancaran harapan di matamu. Bapak ingin kamu bahagia,
Ning, anakku sayang.

Salam rindu,

Bapak
Tulisan Tangan Bapak10

Aku ingat percakapan malam itu. Malam sabtu, perpulangan ke-5.

“Bagaimana, nduk? Katanya kamu mau jadi dokter?”

“Nggak, Pak.”

“Lho kenapa?”

“Dokter itu cita-cita yang mainstream, Pak.”

“Mainstream bagaimana?”

“Ya biasa aja, nggak ada spesialnya. Rata-rata anak TK yang ditanya pengen jadi apa?
Pasti pada bilang Dokter, termasuk Wening.”

“Oalah, yang nggak spesial itu ya kalau cita-citanya hanya diomongin tapi nggak di
usahain.”

“Yaudah lah, Pak. Wening sudah memutuskan. Ning sudah dewasa, sudah bisa memilih
jalan hidup sendiri. Lagipula sekolah dokter itu mahal, susah lagi masuknya. Apalagi Ning anak
tengah, punya mbak satu, punya adek satu. Semuanya masih sekolah. Ning harus memikirkan
juga sekolah mbak sama adek. Ning nggak bisa egois, Pak. Kalau uang bapak cuma buat
nyekolahin Wening sekolah dokter, nanti mbak sama adek gimana biaya sekolahnya? Ning
nggak mau nyusahin bapak, Ning nggak mau sukses sendirian. Semua anak bapak harus sukses.”
Hidungku memanas di akhir kalimat. Aku hanya bisa menunduk. Bapak bangkit dari duduknya.
Sudut mata kananku berusaha melirik wajah bapak. Bapak hanya tersenyum dan mengelus
kepalaku.

“ Ya wis, Ning, kalau itu maumu. Kamu memang anak bapak yang paling prihatin.”

Sebuah kotak muncul di hadapanku. Kotak yang sama seperti dulu begitu juga isinya,
hanya saja yang sekarang ini asli. Stetoskop dokter yang sangat aku dambakan. Aku menangis di
paha Ibuk. Menyesali batapa aku sangat egois. Aku tidak pernah melihat kepercayaan Bapak
yang begitu besar padaku. Mataku telah tertutup oleh fakta-fakta dan rasionalitas sehingga aku
mengabaikan betapa kuatnya mimpi dan tekad. Malam itu, kupeluk kepingan mimpi yang pecah.
Kembali menyusunnya satu persatu. Aroma cengkeh dari pabrik rokok menelisik hidungku.
Mengiringi Bapak menuju persinggahan barunya. Aku harus kembali.

Anda mungkin juga menyukai