Anda di halaman 1dari 22

Meet The Expert

RUPTUR UTERI

Oleh:

Prima Dewi Yuliani 1210312120

Okta Rahmanda 1310311179

Preseptor :

dr. Suhadi, Sp.OG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD KOTA PADANG PANJANG

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya, sehingga MTE yang berjudul “Ruptur Uteri” ini dapat
dilesaikan.

MTE ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai tubo
ovarium absessebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di
bagian Ilmu penyakit Obstetri dan Ginekologi Kedokteran Universitas Andalas.

Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Suhadi, Sp.OG sebagai preseptor,
dan residen pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis dalam
pembuatan MTE ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa MTE ini masih jauh dari


kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan segala kritik dan saran
membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.

Akhir kata penulis berharap semoga MTE ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua di masa mendatang.

Payakumbuh, 22 Februari 2018

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

Ruptur uteri atau robekan uterus merupakan perobekan uterus sehingga terjadi

hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum.Robekan pada

uterus ditemukan sebagian besar pada bagian bawah uterus. Apabila pada ruptur

uteri,peritoneum permukaan uterus ikut robek,hal itu dinamakanruptur uteri

komplit,jika tidak maka dikatakanruptureuteriinkomplit. Ini biasanya merupakan

hasil dari penanganan persalinan yang buruk. Berhubungan dengan komplikasi yang

langsung terjadi yaitu anemia berat, syok dan ruptur kandung kencing. Jika dalam

kasus ruptur, pasien dapat bertahan hidup maka dapat terjadi komplikasi jangka

panjang seperti fistel vesikovaginal.1,2

Sebagian besar rupturuteri terjadi pada wanita yang memiliki bekas luka

uterus yang sebagian besar merupakan bekas seksio sesarea sebelumnya. Bekas

seksio sesarea satu kali meningkatkan angka ruptur uteri keseluruhan 0,5

%,sedangkan pada bekas seksio sesarea dua kali atau lebih meningkat menjadi 2

%.Faktor lain yang meningkatkan risiko ruptur adalah penutupan histerotomi seksio

sesarea single layer, jarak antar kehamilan yang pendek setelah seksio sesarea

sebelumnya, kelainan uterus congenital, makrosomia janin, pemberian prostaglandin,

dan kegagalan trial of labor (TOL) sebelumnya.2

Di Indonesia angka kejadian rupturuteri berkisar antara 1 dalam 93 persalinan

sampai 1 dalam 1280 persalinan.3 Penelitian kasusruptur uteri di RS Hasan Sadikin

dan 3 rumah sakit jejaringnya pada periode 1999-2003. Hasilnya,insiden kasus ruptur

3
uteri di RS Hasan Sadikin 0,09% (1: 1074). Insiden di rumah sakit jejaring sedikit

lebih tinggi yaitu 0,1% (1:996).Di RSHS tidak didapatkan kematian ibu,sedangkan di

3 RS jejaring didapatkan sebesar 0,4 %. Kematian perinatal di RSHS mencapai 90 %

sedangkan di rumah sakit jejaring 100%. Maka dariitu dapat disimpulkan, kasus

ruptur uteri memberikan dampak yang negatif baik pada kematian ibu maupun bayi.4

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ruptur uteri atau robekan uterus yaitu peristiwa dimana terjadi robekan

pada uterus sehingga terjadi hubungan langsung antara kavum uteri dengan kavum

peritoneum. Robekan pada uterus ditemukan sebagian besar kasus pada bagian bawah

uterus. Apabila pada ruptur uteri,peritoneum permukaan uterus ikut robek,hal itu

dinamakanruptur uteri komplit, jika tidak maka dikatakanrupturuteriinkomplit.Hal ini

biasanya merupakan hasil dari penanganan persalinan yang buruk.Mortalitas dan

morbiditas ruptur uteri inkomplit lebih tinggi pada ruptur uteri lengkap.2,5

Ruptur uteri karna jaringan parut sectio cesaria harus dibedakan dengan

dehesensi jaringan parut uteri post sectio cesaria. Ruptur paling berarti pelepasan atau

pemisahan luka insisi lama di sepanjang uterus dengan robeknya selaput ketuban

sehingga kavum uteri berhubungan langsung dengan kavum peritoneum.Pada

keadaan ini seluruh atau sebagian janin mengalami ekstrusike dalam kavum

peritoneum.Disamping itu, biasanya terjadi perdarahan yang masif dari tepi jaringan

parut atau dari perluasan robekan yang mencapai bagian uterus yang tadinya tidak

apa-apa.Sebaliknya, pada dehisensi jaringan parut bekas seksio sesarea, selaput

ketuban tidak pecah dan janin tidak mengalami ekstruksi ke dalam kavum

peritoneum. Ciri khas dari dehisensi adalah pemisahan tersebut tidak mengenai

seluruh jaringan parut yang sudah ada sebelumnya pada uterus, sehingga peritoneum

yang melapisi defek masih utuh dan perdarahan minimal atau tidak ada.6

5
2.2 Klasifikasi Ruptur Uteri 7

1. Menurut tingkat robekan :

a. Ruptur uteri komplit, bila robekan terjadi pada seluruh lapisan dinding uterus.

b. Ruptur uteri inkomplit, bila robekan hanya sampai miometrium, disebut juga

dehisensi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan eksplorasi dinding

rongga uterus setelah janin dan plasenta lahir.

c. Ruptur uteri imminens, bila baru ada gejala akan terjadi ruptur. Penderita

merasa kesakitan terus menerus baik waktu his maupun di luar his. Teraba

ligamentum rotundum menegang. Teraba cincin Bandl setinggi pusat. Segmen

bawah rahim menipis. Urine kateter kemerahan.

2. Menurut waktunya:

a. Kerusakan atau anomali uterus sebelum hamil

 Pembedahan pada miometrium : sectio cesaria, histeretomi, histerorafia,

miokornua uterus, reseksi kornu uterus

 Trauma pada uterus : instrumentasi sensok kuret/snde, trauma umpul atau

tajam seperti pisau atau peluru, ruptur tanpa gejala kehamilan sebelumnya

b. Kerusakan atau anomali uterus selama kehamilan

 Sebelum persalinan: his spontan dan kuat terus menerus, pemakaian

oksitosin atau prostaglandin untuk merangsang persalinan, hidramnioa,

kehamilan ganda

 Intrapartum : versi ekstraksi, ekstraksi cunam yang sukar, ekstraksi bokong,

anomali janin, kesulitan manual plasenta.

6
 Cacat rahim didapat : plasenta ikreta aktreta, adenomiosis, neoplasia,

trofoblas gestasional, adenomiosis, retroversi uterus gravidus inkarserata11

3. Menurut etiologinya:

a. Ruptur uteri pada jaringan parut :

- Bekas seksio sesarea klasik (vertikal)

 Terjadi pada kehamilan lewat waktu atau persalinan premature

 Terjadi pada kasus nyeri akut abdomen dan syok

 Resiko ruptur uteri pada proses persalinan sangat tinggi, hampir 9%

- Ruptur uteri pada jaringan parut di segmen bawah uterus

Ruptur uteri demikian terdapat paling sering pada parut bekas seksio sesarea;

peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk

mengangkat mioma (miomektomi), dan lebih jarang lagi pada uterus dengan

parut karena kerokan yang terlampau dalam.Diantara parut-parut bekas

seksio sesarea, parut yang telah terjadi sesudah seksio sesarea klasik lebih

sering menimbulkan ruptur uteri daripada parut bekas seksio sesarea

profunda.Perbandingannya ialah 4:1.Hal ini disebabkan oleh karena luka

pada segmen bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang

pada masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih

kuat.Ruptur uteri pada bekas parut seksio sesaria klasik juga lebih sering

terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai, sedang peristiwa

tersebut pada parut bekas seksio sesaria profunda umumnya terjadi pada

waktu persalinan.Ruptur uteri pasca seksio dapat terjadi tanpa banyak

7
menimbulkan gejala karena tidak terjadi robekan yang mendadak, melainkan

lambat laun jaringan di sekitar bekas luka menipis untuk akhirnya terpisah

sama sekali dan terjadilah ruptur uteri. Di sini biasanya peritoneum tidak

ikut serta, sehingga terdapat ruptur uteri inkompleta.Pada peristiwa ini ada

kemungkinan arteri besar terbuka dan timbul perdarahan yang sebagian

berkumpul di ligamentum latum dan sebagian keluar. Biasanya janin masih

tinggal dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada.8

Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan

tempat bekas luka. Jika arteri besar terluka, gejala-gejala perdarahan dengan

anemia dan syok; janin dalam uterus dapat meninggal.8

b. Ruptur uteri tanpa jaringan parut

Ruptur uteri yang terjadi secara spontan pada uterus yang utuh (tanpa

parut). Faktor pokok di sini adalah persalinan yang tidak maju karena

rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosefalus, janin dalam letak

lintang, dan sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin

teregang.Pada suatu regangan yang terus bertambah melampaui batas

kekuatan jaringan miometrium terjadilah ruptur uteri.Faktor yang

merupakan predisposisi terhadap terjadinya ruptur uteri ialah multiparitas

akibat di tengah-tengah miometrium sudah terdapat banyak jaringan ikat

yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga

regangan lebih mudah menimbulkan robekan.Banyak juga dilaporkan

bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh dukun-dukun memudahkan

terjadinya ruptur uteri.Pada persalinan yang kurang lancar, dukun-dukun

8
itu biasanya melakukan tekanan keras ke bawah terus menerus pada fundus

uteri; hal ini dapat menambah tekanan pada segmen bawah uterus yang

teregang dan mengakibatkan terjadinya ruptur uteri.Pemberian oksitosin

dalam dosis yang terlampau tinggi dan/atau atas indikasi yang tidak tepat,

bisa pula menyebabkan ruptur uteri.

Sebelum terjadi ruptur uteri umumnya penderita menunjukkan gejala

ruptur uteri. Pasien akan gelisah, pernapasan dan nadi menjadi cepat serta

dirasakan nyeri terus menerus di perut bawah. Segmen bawah uterus

tegang, nyeri pada perabaan dan lingkaran retraksi (Bandl) tinggi sampai

mendekati pusat, ligamentum rotundum tegang. Pada saat terjadinya ruptur

uteri penderita kesakitan sekali dan merasa seperti ada yang robek dalam

perutnya; tidak lama kemudian ia menunjukkan gejala-gejala kolaps dan

jatuh dalam syok. Pada waktu robekan terjadi perdarahan; pada ruptur uteri

kompleta untuk sebagian mengalir ke rongga perut dan untuk sebagian

keluar per vaginam.Sering seluruh atau sebagian janin masuk ke dalam

rongga perut.Pada pemeriksaan vaginal bagian bawah janin tidak teraba

lagi atau teraba tinggi dalam jalan lahir.Pada ruptur uteri inkompleta

perdarahan yang biasanya tidak seberapa banyak, berkumpul di bawah

peritoneum atau mengalir keluar.Janin umumnya tetap tinggal di

uterus.Pada pemeriksaan ditemukan pasien pucat dengan nadi yang cepat

dan dengan perdarahan pervaginam. Segera setelah ruptur uteri terjadi dan

janin masuk ke dalam rongga perut, ia dapat diraba dengan jelas pada

pemeriksaan luar, dan di sampingnya ditemukan uterus sebagai benda

9
sebesar kepala bayi. Lambat laun perut menunjukkan meteorismus kadang-

kadang disertai defense muskulaire dan janin lebih sukar diraba. Pada

ruptur uteri kompleta kadang-kadang juga pada pemeriksaan vaginal,

robekan dapat diraba, demikian pula usus dalam rongga perut melalui

robekan.7,8

c. Ruptur Uteri Traumatik 8

Ruptur uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh,

kecelakaan dan sebagainya.Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada

setiap saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena otot uterus cukup tahan

terhadap trauma dari luar.Yang lebih sering terjadi ialah ruptur uteri yang

dinamakan ruptur uteri violeta. Distosia menyebabkan regangan segmen

bawah uterus dan usaha vaginal untuk melahirkan janin sehingga

terjadiruptur uteri. Hal ini misalnya terjadi padaekstraksi pada letak lintang

yang dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut.

Kemungkinan besar yang lain ialah ketika melakukan embriotomi.

Berhubungan dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut di atas dan

juga setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar, perlu dilakukan

pemeriksaan kavum uteri dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi

ruptur uteri. Gejala-gejala ruptur uteri violeta tidak berbeda dengan ruptur

uteri spontan.

4. Menurut lokasi:

a. Korpus uteri, biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami

operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.

10
b. Segmen bawah rahim (SBR), biasanya pada partus sulit dan lama (tidak

maju). SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah

ruptur.

c. Servik uteri, biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forcep atau

versi dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.

d. Kolpoporeksis-kolporeksis, robekan-robekan diantara servik dan vagina.

2.3 Etiologi7

1. Ruptur jaringan parut uterus

a. Jaringan parut seksio sesarea ( merupakan penyebab terbanyak)

b. Riwayat kuretase atau perforasi uterus

c. Trauma abdomen

d. Metroplasty

e. Myometrium insisi melalui atau sampai endometrium

2. Persalinan yang terhambat akibat disproporsi cephalopelvik

3. Stimulasi yang berlebihan pada uterus pada induksi persalinan

a. Pematangan serviks ( Misoprostol atau Dinoprostone)

b. Stimulasi persalinan (oksitosin atau prostaglandn)

c. Penggunaan kokain pada masa kehamilan

4. Faktor-faktor lain

a. Peregangan uterus yang berlebihan

b. Amnioinfusion

c. Neoplasia Trofoblastik Gestasional

11
d. Marfan / Ehlers Danlos syndrome

e. Pelepasan plasenta yang sulit secara manual

2.4 Faktor Resiko Ruptur Uteri9

Kelainan uterus kongenital,multiparitas,miomektomi sebelumnya,

jumlah dan jenis seksio sesarea sebelumnya, makrosomia janin, induksi persalinan,

instrumentasi uterus, dan trauma uterus, semuanya meningkatkan risiko ruptur uteri,

sedangkan keberhasilan persalinan pervaginam sebelumnya dan jarak antar

kehamilan setelah seksio sesarea mungkin memberikan perlindungan secara relatif.

Berbeda dengan tersedianya cara untuk memprediksi potensi keberhasilan suatu trial

of labor (TOL) setelah seksio sesarea sebelumnya,cara yang akurat untuk

memprediksi seseorang secara spesifik berisiko terjadinya ruptur uteri pada individu

tidak tersedia.

1. Keadaan uterus,berparut atau tidak.

Status berparut termasuk :

a. Bekas seksio sesarea sebelumnya,meliputi :

• Bekas SC low-transverse 1 kali (penutupan uterus 1 lapis atau 2 lapis)

• Bekas SC vertikal rendah 1 kali

• Bekas SC klasik

• Bekas SC multipel

b. Keadaan uterus berparut termasuk juga miomektomi sebelumnya (baik

transabdominal atau laparoskopi)

2. Bentuk uterus, apakah normal atau mengalami kelainan kongenital

3. Kehamilan yang perlu perhatian khusus meliputi :

12
a. Grande multipara

b. Umur ibu

c. Keadaan plasenta (akreta,perkreta,increta,previa,abruption)

d. Keadaan cornu (angular)

e. Overdistensi(kehamilan multiple,polihidramnion)

f. Distosia (makrosomia janin,panggul sempit)

g. Invasi trofoblas pada miometrium (mola hidatidosa,koriokarsinoma)

4. Riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya,meliputi :

a. Keberhasilan persalinan pervaginam sebelumnya

b. Tidak ada persalinan pervaginam sebelumnya

c. Jarak persalinan sebelumnya

5. Status persalinan,meliputi :

a. Sebelum persalinan

b. Persalinan spontan

c. Induksi persalinan,dengan oksitosin,prostaglandin

d. Akselerasi persalinan dengan oksitosin

e. Lamapersalinan

f. Persalinan macet

6. Tindakan obstetri kebidanan meliputi :

a. Penggunaan instrument seperti forceps ekstraksi

b. Intra uterine manipulasi (versi ekstraksi, versi internal, ekstraksi sungsang,

distosia bahu, manual plasenta)

c. Tekanan pada fundus

13
7. Trauma uterus meliputi :

a. Trauma langsung uterus ( kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh )

b. Kekerasan (luka tembak,pukulan pada abdomen)

2.5 Mekanisme Terjadinya Ruptur Uteri 3,5

Mekanisme utama dari ruptur uteri disebabkan oleh proses persalinan

sebelumya diawali oleh adanya kontraksi dan retraksi secara aktif segemn atas uterus,

yang menyebabkan dindingnya menjadi lebih tebal ketika persalinan sedang

berlangsung.bagian bawah relative lebih pasif, sehingga bagian ini berkembang

menjadi jalan lahir yang berdinding jauh lebih tipis. Segmen bawah uterus analog

dengan ismus uterus yang melebar dan menipis pada perempuan yang tidak

hamil.Segmen bawah secara bertahapa terbentuk ketika kehamilan bertambah tua dan

kemudian menipis sekali pada saat persalinan.Segmen bawah rahim menjadi kebih

lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis tertari ke atas oleh segmen atas

yang berkontraksi kuat, berulang dan sering, sehingga lingkaran retraksi yang

membatasi kedua segmen menjadi bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin

dapat terdorong turun tanpa halangan dan jika kapasitas segmen bawah rahim telah

penuh terpakai untuk ditempati oleh tubuh janin , maka pada dilirannya bagian

terbawah janin akan terdorong kedalam jalan lahir. Sebaliknya apabila bagian

terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab yang menahannya, maka

volume korpus yang tambah mengecil pada waku adaa his harus diimbangi oleh

perluasn segmen bawah rahim ke atas. Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologi

semakin tinggi kea rah pusat melewati batas fisiologi menjadi patologik (pathologic

retraction ring ). Lingkaran ini disebut lingkaran Bandl (ring van Bandl).

14
Jika his berlangsung kuat terus menerus, tetapi bagian terbawah tubuh janin

tidak kunjung turun lebih ke bawah melalui jalan lahir, lingkaran retraksi semakin

lama semakin meninggi dan segmen bawah rahim akan semakin tertarik ke atas

sehingga dindingnya menjadi semakin tipis. Ini menandakan telah terjadi tanda-tanda

rupture uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada saat dinding segmen bawah

rahim itu akan robek spontan pada tempat yang tertipis ketika his berikut dating, dan

terjadilah perdarahan yang banyak, bergantung pada luas robekan dan pembuluh

darah yang terputus.

Seperti yang kita ketahui, uterus pada wanita hamil bersifat resisten terhadap

trauma tumpul. Namun, pada ibu haml yan mengalami trauma pada abdomen harus

dipertahitkan tanda-tanda terjadinya ruptur uteri.5

2.6 Manifestasi Klinis3,5

1. Tekanan darah menurun, nadi cepat dan halus, anemis akibat perdarahan yang

terjadi

2. Nyeri abdomen akibat robekan rahim

3. Pada palpasi ibu merasa sangat nyeri dan bagian terbawah janin mudah teraba

di bawah diding abdomen

4. Kekuatan his menurun seolah his telah menghilang

5. Nyeri dada yang disebabkan oleh haemoperitonium yang merangsang

diafragma

15
6. Pada pemeriksaan dalam teraba bagian terbawah janin berpindah atau naik

kembali keluar pintu atas panggul dan pemeriksa dapat menemukan robekan

yang berhubungan dengan rongga peritoneum terkadang dapat meraba usus.

2.7 Diagnosis Ruptur Uteri3

a. Anamnesis

1. Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa,

menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut,

pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.

2. Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.

3. Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.

4. Syok, nadi halus dan cepat, tekanan darah turun bahkan tak terukur.

5. Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih

kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun, dan menyumbat jalan lahir.

6. Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke dada.

7. Kontraksi uterus biasanya hilang.

8. Terdapat defans muskuler dan kemudian menjadi kembung dan meteorismus.

b. Pemeriksaan Fisik

1. Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutan

2. Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas panggul.

3. Bila janin sudah keluar dari kavum uteri dan di rongga perut maka teraba

bagian-bagian janin langsung di bawah kulit perut, dan di sampingnya kadang-

kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.

4. Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.

16
5. Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit

setelah ruptur, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk ke rongga

perut.

c. Pemeriksaan Dalam

1. Kepala janin yang tadinya sudah turun ke bawah, dengan mudah dapat didorong

ke atas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak banyak.

2. Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan

kalau jari atau tangan pemeriksa dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba

usus, omentum, serta bagian-bagian janin. Kalau jari tangan pemmeriksa yang di

dalam kita temukan dengan jari luar, maka terasa seperti dipisahkan oleh bagian

yang tipis sekali dari dinding perut, juga dapat diraba fundus uteri.

2.8 Penatalaksanaan

Pada kasus ruptur uteri harus dilakukan tindakan segera. Keselamatan pasien

tergantung dari kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi keadaan hipovolemia dan

mengendalikan perdarahan.6 Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin

tidak bisa dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat

dikendalikan, karena itu, dengan adanya alasan ini, keterlambatan dalam tindakan

pembedahan tidak bisa diterima. Sebaliknya, darah harus ditransfusi dengan cepat

dan seksio sesarea atau laparatomi segera dimulai.6

Apabila sudah terjadi ruptur uteri, tindakan yang terbaik adalah

laparatomi.Janin dikeluarkan lebih dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (jika

janin sudah tidak di dalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi.Janin tidak

17
dilahirkan pervaginam, kecuali janin masih terdapat seluruhnya dalam uterus dengan

kepala sudah turun jauh dalam jalan lahir dan ada keragu-raguan terhadap diagnosis

ruptur uteri.Dalam hal ini, setelah janin dilahirkan, perlu diperiksa dengan satu tangan

dalam uterus apakah ada ruptur uteri.Pada umumnya pada ruptur uteri tidak dilakukan

penjahitan luka dalam usaha untuk mempertahankan uterus.Hanya dalam keadaan

yang sangat istimewa hal itu dilakukan; dua syarat dalam hal ini harus dipenuhi,

yakni pinggir luka harus rata seperti pada ruptur parut bekas seksio sesaria, dan tidak

ada tanda-tanda infeksi.Pengobatan untuk mencegah syok dan infeksi sangat penting

dalam penanganan penderita dengan ruptur uteri.8

Pada kasus-kasus yang perdarahannya hebat, tindakan kompresi aorta dapat

membantu mengurangi perdarahan. Pemberian oksitosin intravena dapat mencetuskan

kontraksi miometrium, dan selanjutnya vasokonstriksi sehingga mengurangi

perdarahan.6

2.9 Komplikasi3

Syok hipovolemik dan sepsis merupakan penyebab utama yang

meningkatkan angka kematian ibu dalam obstetri. Syok hipovolemik dikarenakan

perdarahan yang hebat dan tidak segera mendapatkan penatalaksanaan. Sepsis akibat

infeksi biasanya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri terjadi sebelum tiba

di rumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk pemeriksaan

dalam yang berulang. Kedua komplikasi ini merupakan komplikasi yang fatal,

meskipun pasien bisa diselamatkan namun angka morbiditas dan kecacatan tetap

tinggi.

18
2.10 Prognosis

Ruptur uteri merupakan peristiwa yang gawat bagi janin.8 Angka

mortalitas yang ditemukan dalam berbagai penelitian berkisar dari 50% hingga

75%.Janin umumnya meninggal pada kasus ruptur uteri.Tetapi, jika janin masih

hidup pada saat peristiwa tersebut terjadi, satu-satunya harapan untuk

mempertahankan jiwa janin adalah dengan persalinan segera, yang paling sering

dilakukan adalah laparatomi. Kalau tidak, keadaan hipoksia baik sebagai akibat

terlepasnya plasenta maupun hipovolemia maternal tidak akan terhindari. Jika tidak

diambil tindakan, kebanyakan wanita akan meninggal karena perdarahan atau

mungkin pula karena infeksi yang terjadi kemudian, kendati penyembuhan dapat

terjadi spontan pernah pula terjadi pada kasus yang luar biasa.8

Diagnosis cepat, tindakan operasi cepat, ketersediaan darah dalam jumlah

besar dan terapi antibiotik merupakan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi

wanita dengan ruptur uteri yang hamil.6

19
BAB III

KESIMPULAN

1. Ruptur uteri atau robekan uterus yaitu peristiwa dimana terjadi robekan pada

uterus sehingga terjadi hubungan langsung antara kavum uteri dengan kavum

peritoneum

2. Klasifikasi ruptur uteridibedakan berdasarkantingkat robekan, etiologi, waktu

dan lokasi terjadinya ruptur.

3. Ruptur uteri disebabkan oleh jaringan parut uterus, persalinan yang terhambat

akibat disproporsi cephalopelvik, stimulasi yang berlebihan pada uterus pada

induksi persalinan, dan lain-lain

4. Tatalaksana ruptur uteri yang paling tepat adalah laparatomi dan perhatikan

komplikasi seperti syok hipovolemik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Kadowa, I. 2010. Ruptured uterus in rural Ughanda : prevalence,

predisposing, factor and outcome. Singapur med J: 1221-1228

2. Cunningham FG, Gant NF, Loveno KJ. 2010.Williams Obstetrics, 23 st Ed.

The Mc Graw-Hill Companies. New York: McGraw-Hill. Pg: 820-829.

3. Chalik TMA et al. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan.Dalam :

Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2009;(4):

492-521

4. Andra. 2007.Ruptur uteri. Jakarta: Majalah Farmacia. Pg: 16

5. Cunningham, F.G, et al. 2004. Williams Obsetrics 22nd edition. New York.

McGraw-Hill : 824-838, 792-798.

6. Departemen Kesehatan RI. 2004. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta. Tridasa

Printer : 5-16.

7. Fadel, H.E. 1982. Diagnosis and Management of Obstetric Emergencies.

California. Addison-Wesley publishing company : 193-213.

8. Hanretty, K. Obstetrics illustrated 6th edition. 2003.Philadelphia. Churchill

Livingstone : 285-290.

9. Bujold E, Gauthier RJ. Neonatal morbidity associated with uterine rupture:

what are the risk factors?. Am J Obstet Gynecol. Feb 2002;186(2):311-4.

21
10. Nahum GG. Uterine Rupture in Pregnancy.Diakses dari http:// www.

medscape.com. 2011 .

11. Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

2010.

22

Anda mungkin juga menyukai