Anda di halaman 1dari 31

PAPER MTLB

Efek Budidaya terhadap Lingkungan di


‘Pekalongan’

Dosen Pengampu: Dr. Dicky Harwanto ....

ANGGOTA :
Oktaviola Dian Hapsari 26020117130074
Muhammad Mustofa 26020117130081
Muhammad Hanief F. A. 26020117140081
Salma Khoironnida H. 26020117140082
Yulia Sri Dewi Padusi 26020117130087

Kelas C
AKUAKULTUR
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pekalongan merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang terletak di pantai utara jawa,

sehingga cukup banyak penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan maupun petani

tambak. Tambak hanya ditemukan di Pekalongan bagian utara karena memiliki air payau,

kebanyakan tambak di dimiliki perorangan sehingga ukuran tambak per kepemilikan tidak terlalu

besar, untuk menunjang ekonomi saat hasil tangkapan buruk. Meskipun demikian, usaha

budidaya tambak di Pekalongan memiliki kendala yang membuat kegiatan ini tidak maksimal

bahkan tidak bertahan lama akibat berbagai hal, faktor utamanya adalah tekanan lingkungan.

Suatu usaha yang memiliki tekanan lingkungan yang tinggi maka tidak memiliki daya dukung

dan daya lenting yang baik pula, sehingga usaha budidaya sulit untuk berkembang bahkan

bertahan. Menurut Marfai et al, (2011) dalam Kusumaningrum et al. (2016) daerah pertambakan

di Pekalongan Utara sering mengalami banjir/rob akibat geomorfologi dengan erosi pantai

mencapai 1 meter per tahun serta pasang surut sekitar 0,7 meter. Hal ini akan memicu efek dari

kegiatan budidaya yang terasa besar.

Penebangan mangrove dan pohon lainnya untuk digunakan sebagai lahan pertambakan dapat

mengurangi daerah resapan air sehingga air tergenang dan membuat kondisi tanah mudah rapuh.

Tanah yang mudah rapuh ini memicu terjadinya erosi sehingga ketinggian daratan dari

permukaan laut semakin rendah. Ketinggian daratan terhadap permukaan laut yang rendah

terutama yang dekat dengan laut memicu banjir atau genangan yang sulit surut. Air genangan

yang sulit surut ini akan memicu permasalah lainnya. Menurut Wijaya dan Cahyono (2017),

daerah genangan atau disebut rawa, setiap tahunnya mengalami penambahan luas pada tahun
2009 hingga 2016 mencapai penambahan luas 382,9 Ha. Akibat besarnya genangan ini membuat

daerah tambak justru juga ikut menurut akibat tidak bisa digunakan karena kondisi lingkungan

dan kualitas air berubah.

Pesisir kota Pekalongan pernah mengalami kejayaan pada bidang tambak, terutama dari

udang dan bandeng. Hal ini membuat penduduk atau pemilik lahan di daerah pesisir banyak yang

membuat tambak didaerah tersebut dengan jumlah tinggi yang tidak disesuaikan dengan

kemampuan lingkungan itu sendiri. Lingkungan yang tidak mampu lagi menerima buangan dan

mempertahankan kondisi pada tambak membuat tambak tersebut rusak atau collaps. Tambak di

pekalongan menggunakan sistem ekstensif dan semi-intensif, meskipun demikian tetap dapat

merusak lingkungan jika penataan tambak dan sirkulasi air yang buruk. Sampai saat ini petani

tambak yang mampu bertahan melakukan kegiatan budidaya dengan menggunakan jaring tancap

untuk keamanan jika ada banjir/rob sewaktu-waktu. Adapun faktor yang dapat digunakan

sebagai evaluasi keadaan baik atau buruknya tambak beserta kualitas airnya dapat melihat

kondisi lahan, kandungan logam berat, kondisi fitoplankton, kadar nitrit, serta kadar fosfat.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui kondisi tambak budidaya di Pekalongan

2. Mengetahui apa saja dampak dari kegiatan budidaya di Pekalongan

3. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi dampak dari kegiatan budidaya di pekalongan

4. Menganalisa tindakan yang tepat untuk menanggulangi dampak negatif dari kegiatan budidaya di

Pekalongan
BAB II :
PEMBAHASAN

2.1. Lokasi Tambak di Pekalongan

Kecamatan Pekalongan Utara merupakan daerah yang paling sering terkena tekanan

lingkungan berupa rob/banjir, karena lokasinya yang berdekatan dengan pantai utara. Terdapat

enam lokasi tempat dibuatnya tambak di Kota Pekalongan. Enam lokasi tersebut terdapat di

Kecamatan Pekalongan Utara, yaitu di Kelurahan Degayu, Bandengan, Panjang Baru, Krapayak

Lor, Pabean, Kandang Panjang. Tambak kelurahan Panjang Baru, Krapyak Lor, Pabean, dan

Kandang Panjang tidak mengalami banyak tekanan lingkungan berupa rob, banjir, maupun erosi

dan abrasi yang dapat mengancam produksi tambak. Tambak yang terkena tekanan lingkungan

berupa rob, banjir, abrasi/erosi terdapat di dua kelurahan. Kedua kelurahan tersebut adalah

kelurahan Degayu dan Bandengan.

Menurut Isdarmawan (2005) dalam Kusumaningrum et al. (2016), sebagaimana halnya

ekosistem pesisir lainnya, maka kawasan pertambakkan sebagai suatu ekosistem bentukan

mempunyai karakteristik dan toleransi tertentu untuk dapat di intervensi. Sebagai kawasan

ekosistem terbina, maka pengelolaan harus melakukan sesuatu untuk memelihara dan

mempertahankan karakteristik serta kemampuan tersebut untuk menjamin tercapainya tujuan

pengelolaan dari penggunaan sekarang maupun yang akan datang.

Sampai saat ini, petani tambak di Kelurahan Bandengan dan Kelurahan Degayu masih

secara aktif mengelola tambak mereka meski dengan adanya tekanan lingkungan. Tekanan

lingkungan yang melanda tambak di Kelurahan Bandengan berdampak cukup besar pada

kegiatan pertambakan karena rob tidak dapat surut, sementara tekanan lingkungan di kelurahan
Degayu tidak separah di Kelurahan Bandengan kerana rob yang menggenangi tambak masih

dapat surut.

Usaha yang dilakukan petani tambak dalam menanggulangi tekanan lingkungan adalah

dengan menentukan sistem budidaya yang diterapkan dan komoditas utama yang akan serta

memberikan jaring tancap untuk tambak yang terendam rob secara total dan meninggikan

tanggul atau menambah jaring pada tambak yang terkena rob saat musim-musim tertentu, ketiga

hal tersebut didasarkan pada seberapa besar tekanan lingkungan yang melanda masing-masing

daerah.

Berikut adalah perkembangan penggunaan wilayang di Pekalongan Utara :


( Shofiana et al, 2013)
2.2. Kondisi Tambak di Pekalongan

Kendala lingkungan yang dihadapi dalam kegiatan budidaya diantaranya penataan wilayah

atau penataan ruang pengembangan budidaya yang tidak memperhatikan daya dukung

lingkungan akibat pengelolaan yang tidak tepat, sehingga menimbulkan permasalahan

lingkungan dengan segala aspek komplikasinya dalam kurun waktu yang panjang. Pembangunan

tambak sebaiknya diikuti dengan daya dukung lingkungan sehingga tidak menyebabkan

degradasi lingkungan dan dapat memberikan keuntungan untuk pemilik tambak. Kegiatan

budidaya tambak yang terus menerus menyebabkan degradasi lingkungan, yang ditandai dengan

menurunnya kualitas air.

Masalah penurunan kualitas air di wilayah pesisir Pekalongan antara lain adalah

pencemaran logam berat. Pencemaran logam berat akan merusak lingkungan perairan dalam hal

stabilitas, keanekaragaman dan kedewasaan ekosistem. pencemaran logam berat dapat menjadi

masalah besar berdasarkan beberapa aspek. Berdasarkan aspek ekologis, kerusakan ekosistem

perairan akibat pencemaran logam berat ditentukan oleh faktor kadar dan kesinambungan

polutan yang masuk ke dalam perairan, sifat toksisitas, bioakumulasi dan persistensinya baik

terhadap proses fisika, kimia, maupun biologi (Madusari et al., 2016).

2.2. Pencemaran Logam Berat

Pencemaran logam berat akan menyebabkan perubahan struktur komunitas perairan, jaring

makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan resistensi. Efek logam berat mempunyai efek

racun terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya. Beberapa contoh logam berat yang esensil

bagi metabolisme makhluk hidup antara lain Chromium (Cr), Cobalt (Co), Cooper (Cu), Besi

(Fe), Manganese (Mn), serta logam yang tidak banyak dibutuhkan makhluk hidup dan beracun

seperti Arsenic (As), Cadmium (Cd), Timbal (Pb), Mercury (Hg), Selenium (Se).
Pb atau timbal yang masuk keperairan tambak pada akhirnya akan akan ditemukan pada

ikan bandeng, sehingga jika ikan bandeng bila dikonsumsi oleh masyarakat akan terakumulasi

dalam jaringan tubuh manusia. Ikan bandeng yang dipelihara di tambak dapat terpapar secara

langsung maupun tidak langsung oleh logam berat seperti Cd maupun Pb. Logam berat yang

ditemukan pada ikan bandeng seperti Cd dan Pb apabila terakumulasi dalam jaringan manusia

dapat menyebabkan anemia, kerusakan sistim syaraf, kerusakan ginjal, terganggunya sistem

reproduksi , turunnya IQ, dan kerusakan jaringan lainnya.

Pencemaran logam berat akan merusak lingkungan perairan dalam hal stabilitas,

keanekaragaman dan kedewasaan ekosistem. Berdasarkan aspek ekologis, kerusakan ekosistem

perairan akibat pencemaran logam berat ditentukan oleh faktor kadar dan kesinambungan

polutan yang masuk ke dalam perairan, sifat toksisitas, bioakumulasi dan persistensinya baik

terhadap proses fisika, kimia, maupun biologi. Pencemaran logam berat akan menyebabkan

perubahan struktur komunitas perairan, jaring makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan

resistensi. Limbah industri batik di Kota Pekalongan terdiri dari limbah cair dan padat(KLH Kota

Pekalongan, 2010). Limbah cair tersebut antara lain berasal dari zat warna cair yang digunakan

untuk membatik dan pewarna tekstil . Menurutnya seluruh sungai yang ada di Kota Pekalongan

tercemar akibat limbah pabrik dan sablon batik yang dibuang ke sungai.Kelima Sungai besar

tersebut adalah Sungai Banger, SungaiPekalongan, Sungai Asembinatur, Sungai Bremi, dan

Sungai Meduri. Di sebagian besar tercemar limbah batik yang melebihi ambang batas baku yang

terbukti melebihi angka yang ditetapkan pemerintah. sungai yang bermuara di pantai yang telah

tercemar limbah industri akan masuk ke dalam petakan tambak bersamaan pasang surut air laut

maupun pemompaan. Kondisi perairan baik sungai maupun laut di kota pekalongan memang

sudah banyak tercemar logam berat akibat kegiatan industri batik maupun kegiatan perikanan
tangkap.Kawasan perairan Kabupaten dan Kota Pekalongan telah mengalami penurunan kualitas

air karena ditemukan kadar Pb dan Cd pada air tambak sebagai akibat pembuangan limbah batik

dan kegiatan industri (Madusari et al., 2016).

2.3. Dampak terhadap Sungai Sekitar

Selain mempengaruhi wilayah pesisir dan tambak, penurunan kualitas air juga dapat

mempengaruhi wilayah sungai sebagai sumber air tawar. Sungai merupakan ekosistem yang

penting bagi kehidupan makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya. Sungai memberi manfaat bagi

kehidupan manusia di sekitarnya serta kehidupan organisme di dalam perairan. Peranan sungai

bagi aktivitas manusia berkaitan dengan kehidupan organisme. Adanya aktivitas manusia yang

memanfaatkan perairan sungai tidak hanya berdampak bagi kehidupan organisme namun bagi

kualitas air sungai tersebut.

Wilayah Kabupaten Pekalongan dialiri oleh beberapa sungai, salah satunya adalah Sungai

Bremi. Sungai yang mengalir sepanjang ±9 km ini berada di sekitar pemukiman warga yang

padat penduduk. Aktivitas warga di sekitar aliran sungai memegang peran penting dalam

mempengaruhi kondisi perairan Sungai Bremi.

Sungai Bremi merupakan salah satu anak sungai dari Sungai Sengkarang terletak di

Kecamatan Tirto dan melewati beberapa desa yaitu Desa Pasirsari, Jeruksari, Pabean, Jenggot

dan Kranding. Kebanyakan masyarakat di desa-desa tersebut bermata pencaharian sebagai petani

tambak, nelayan, pengrajin batik dan buruh batik. Aktivitas masyarakat di sekitar aliran sungai

memegang andil dalam penurunan kualitas perairan Sungai Bremi. Masalah penurunan kualitas

air pada sungai yang sering dihadapi akibat aktivitas budidaya perairan adalah kandungan nitrat
dan fosfat yang berlebihan. Kandungan nitrat dan fosfat di perairan berpengaruh terhadap

keberadaan dan pertumbuhan fitoplankton.

Bentuk senyawa nitrogen yang paling dominan di perairan alami adalah ion nitrat (NO3-)

dan sangat penting bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Senyawa ini dihasilkan dari proses

oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Fosfat merupakan elemen penting yang

dibutuhkan untuk menopang kehidupan di perairan. Fosfat berasal dari erosi tanah, buangan

industri, buangan kotoran hewan serta pelapukan batuan. Fitoplankton dapat dijadikan indikator

biologi yang dapat menentukan kualitas perairan baik melalui pendekatan keragaman spesies

maupun spesies indikator. Fitoplankton sebagai indikator biologis bukan saja menentukan

tingkat kesuburan perairan, tetapi juga fase pencemaran yang terjadi dalam perairan.

(Elfinurfajri, 2009 dalam Rumanti et al., 2014).

2.4. Harmful Algae Blooms

Kandungan zat hara di lingkungan perairan memiliki dampak positif, namun pada

tingkatan tertentu juga dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak positifnya adalah adanya

peningkatan produksi fitoplankton dan total produksi ikan sedangkan dampak negatifnya adalah

terjadinya penurunan kandungan oksigen di perairan, serta memperbesar potensi muncul dan

berkembangnya jenis fitoplankton berbahaya yang lebih umum dikenal dengan istilah Harmful

Algal Blooms atau HAB.

Keberadaan fitoplankton dapat dijadikan sebagai bioindikator adanya perubahan kualitas

lingkungan perairan yang disebabkan ketidakseimbangan suatu ekosistem perairan akibat

pencemaran. Fitoplankton memiliki batas toleransi tertentu terhadap faktor-faktor fisika kimia

sehingga akan membentuk struktur komunitas fitoplankton yang berbeda. Hal tersebut dapat
dilihat berdasarkan keanekaragaman jenis komposisi dan keberadaan jenis fitoplankton yang

mendominasi diperairan tersebut (Ferianita, 2007 dalam Mayagitha et al., 2014).

Konsentrasi TSS (Total Suspended Solid), BOD (Biochemical Oxygen Demand), dan COD

(Chemical Oxygen Demand) yang terkandung dalam perairan dapat mempengaruhi keberadaan

fitoplankton dan menurunkan konsentrasi DO dalam perairan tersebut. TSS, BOD, dan COD

dapat menentukan tingkat pencemaran lingkungan air. TSS yang tinggi akan menghambat

cahaya matahari masuk kedalam badan perairan. Cahaya matahari yang rendah mempengaruhi

keberadaan fitoplankton. Konsentrasi BOD dan COD yang tinggi mencerminkan konsentrasi

bahan organik yang tinggi sehingga diperlukan oksigen yang tinggi dan menyebabkan penurunan

konsentrasi DO di perairan. Konsentrasi oksigen yang sangat rendah dapat menyebabkan

kematian bagi organisme air. Semakin tinggi konsentrasi BOD dan COD, maka tingkat

pencemaran perairan juga semakin parah (Mayagitha et al., 2014).

2.6. Tambak Rentan Collaps

Kota Pekalongan merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang berada di pesisir utara

Pulau Jawa yang seringkali mengalami banjir rob akibat kenaikan muka air laut. Terdampaknya

Kota Pekalongan dari kenaikan muka air laut berpengaruh pada karakteristik perkembangan

kotanya. Adanya banjir rob tersebut menyebabkan dampak yang besar pada penggunaan lahan

produktif yang ada, yaitu menjadi salah satu pemicu perubahan penggunaan lahan di Kota

Pekalongan akibat tergenang oleh kenaikan muka air laut. Berdasarkan data statistik, di Kota

Pekalongan luas lahan sawah setiap tahunnya selalu berkurang. Pada tahun 2014, luas tanah

sawah mengalami pengurangan sekitar 8 persen dari tahun sebelumny.

Selain lahan pertanian, lahan tambak juga mengalami perubahan akibat terdampak

genangan kenaikan muka air laut. Berdasarkan pendataan dari Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Pekalongan, pada tahun 2015 lahan tambak yang tidak dapat digunakan. mencapai 346 Ha.

Lahan budidaya tambak tersebut menjadi tidak produktif akibat tingginya genangan dari

kenaikan muka air laut yang terjadi. Kemudian secara keseluruhan untuk perubahan penggunaan

lahan yang telah terjadi di Kota Pekalongan dalam periode waktu tahun 2003 sampai tahun 2009

sudah banyak mengalami perubahan pemanfaatan dikarenakan salah satu faktornya adalah

adanya banjir rob. Kondisi tersebut tentunya akan mengakibatkan terbentuknya pola penyebaran

penggunaan lahan yang tidak optimal.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah memfokuskan untuk menggenjot

produksi perikanan budidaya dan mengendalikan perikanan tangkap. Oleh karena potensi

sumberdaya perikanan tangkap terbatas, maka peluang sekaligus tumpuan besar akan tertuju

pada perikanan budidaya. Total target produksi perikanan budidaya Indonesia yang ingin dicapai

pada tahun 2014 adalah sekitar 16,8 juta ton yang berarti peningkatan produksi sampai 353%.

Dari berbagai komoditas perikanan budidaya, KKP telah menentukan komoditas unggulan, di

antaranya rumput laut, ikan bandeng, udang windu, dan udang vaname yang merupakan

komoditas yang dapat dibudidayakan di tambak. KKP juga telah mencanangkan revitalisasi

tambak yang akan dimulai di Pulau Jawa yang juga dimaksudkan agar target produksi perikanan

budidaya dapat tercapai.

Semua jenis komoditas termasuk komoditas perikanan budidaya yang berbasis lahan untuk

dapat tumbuh atau hidup dan berproduksi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu, yang

dapat berbeda satu sama lain. Dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, dikenal istilah lahan

yang merupakan suatu lingkungan fisik yang terdiri atas tanah, topografi, hidrologi, vegetasi, dan

iklim di mana pada batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan (FAO,

1976 dalam Rayes, 2007). Oleh karena itu, perbedaan kombinasi penyusun lingkungan fisik
lahan tersebut akan memberikan karakteristik lahan yang berbeda dan pada akhirnya kesesuaian

dan pengelolaan lahan yang berbeda pula.

Menurut Rossiter (1996), evaluasi kesesuaian lahan sangat penting dilakukan karena lahan

memiliki sifat fisik, sosial, ekonomi, dan geografi yang bervariasi atau lahan diciptakan tidak

sama. Evaluasi kesesuaian lahan dapat memprediksi keragaan lahan dalam hal keuntungan yang

diharapkan dari penggunaan lahan dan kendala penggunaan lahan yang produktif serta degradasi

lingkungan yang diperkirakan akan terjadi karena penggunaan lahan. Kesesuaian lahan

merupakan suatu kunci sukses dalam kegiatan akuakultur yang mempengaruhi kesuksesan dan

keberlanjutannya serta dapat memecahkan konflik antara berbagai kegiatan dan membuat

penggunaan lahan lebih rasional (Pérez et al., 2003; Hossain & Das, 2010). Pengelolaan lahan

yang tepat dapat meningkatkan produktivitas lahan termasuk lahan budidaya tambak dengan

penggunaan masukan yang seminimum mungkin dan tidak menyebabkan terjadinya degradasi

lingkungan. Setiap jenis lahan memiliki karateristik tersendiri sehingga pengelolaan alamnya

juga bersifat khas terhadap penggunaan lahan tersebut (Mustafa & Rachmansyah, 2008).

Sejak diberlakukan otonomi daerah, maka setiap kabupaten atau kota di Indonesia,

termasuk Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah, memiliki hak yang seluas-luasnya untuk

mengeksploitasi dan mengekplorasi potensi sumberdaya yang ada, selain itu juga memiliki hak

penuh untuk menentukan arah dan strategi pengembangan wilayahnya termasuk wilayah pesisir.

Berbagai pendekatan dan konsep telah dilakukan oleh setiap kabupaten atau kota untuk

mengembangkan wilayah pesisirnya, namun konflik sektoral dan kepentingan masih mewarnai

pengelolaan wilayah pesisir pada umumnya di Indonesia. Untuk menjaga keselarasan dan

koordinasi dengan pengembangan sektor lainnya, maka pengembangan sumberdaya perikanan

termasuk perikanan budidaya perlu direncanakan dengan berbasis pada pengelolaan ruang. Oleh
karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik lahan sebagai

upaya untuk menentukan kesesuaian dan pengelolaan lahan untuk budidaya tambak agar

produktivitas tambak dapat meningkat dan berkelanjutan serta dapat menjadi acuan Pemerintah

Kota Pekalongan secara khusus dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah secara umum dalam

penentuan Rencana Tata Ruang Wilayah.

Penelitian dilaksanakan di wilayah pesisir Kecamatan Pekalongan Utara yang merupakan

satu-satunya kecamatan di Kota Pekalongan yang memiliki lahan tambak (Gambar 1). Penelitian

yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 ini diawali berupa diskusi dengan staf Dinas

Pertanian, Peternakan dan Kelautan Kota Pekalongan untuk mendapatkan informasi umum

mengenai lahan budidaya tambak di Kota Pekalongan.

Topografi diketahui melalui pengamatan di lapangan dan hasil pengukuran dengan

menggunakan Theodolite. Data hidrologi diketahui dari pasang surut dan kualitas air. Data

pasang surut diperoleh dari Jawatan Hidro-Oseanografis (2009) untuk lokasi yang terdekat dari

Kota Pekalongan yaitu Kota Semarang. Pengukuran dan pengambilan contoh air dilakukan di

sungai, sodetan, laut, saluran, dan tambak. Pengukuran dan pengambilan contoh air di tambak
mengikuti titik pengambilan contoh tanah. Peubah kualitas air yang diukur langsung di lapangan

adalah suhu, salinitas, oksigen terlarut dan pH dengan menggunakan Hydrolab Minisonde.

Contoh air untuk analisis di laboratorium diambil dengan menggunakan Kmerer Water Sampler

dan dipreservasi mengikuti petunjuk APHA (2005). Peubah kualitas air yang dianalisis di

Laboratorium Air BRPBAP di Maros meliputi: NH3, NO3, NO2, dan Fe berdasarkan petunjuk

Menon (1973), Parsons et al. (1989), dan APHA (2005).

Spesies vegetasi mangrove diketahui dengan mencatat setiap jenis vegetasi mangrove yang

ditemui. Identifikasi dan klasifikasi vegetasi mangrove ditentukan berdasarkan petunjuk Blasco

(1984) dan Cintrõn & Novelli (1984). Seluruh titik-titik pengamatan dan pengambilan contoh

ditentukan titik koordinatnya dengan menggunakan Global Positioning System (GPS).

Karakteristik Lahan

Telah disebutkan sebelumnya bahwa lahan adalah suatu lingkungan fisik yang terdiri atas

tanah, topografi, hidrologi, vegetasi, dan iklim. Dengan demikian, setiap bagian dari lahan

tersebut dibahas pada bagian berikut.

Tanah

Jenis tanah di Kota Pekalongan adalah tanah aluvial non-sulfat masam dan sebagian kecil

tanah sulfat masam dengan warna agak kelabu. Kualitas tanah tambak di Kota Pekalongan dapat

dilihat pada Tabel 1 dan 2. Ciri tanah aluvial non-sulfat masam jelas terlihat pada Tabel 1 di

mana pHF-pHFOX tidak terlalu besar. Hal yang sama juga dijumpai pada kedalaman 0,5-0,7 m

(Tabel 2). pHF -pHFOX dapat digunakan untuk menentukan potensi kemasaman yang ada pada

tanah. Pada tanah sulfat masam, pHF -pHFOX dapat mencapai >5. Nilai SPOS tanah telah

digunakan oleh Ahernet al. (1998b) untuk menentukan kebutuhan kapur bagi tanah sulfat

masam. Dari data yang ada (Tabel 1 dan 2) menunjukkan bahwa kandungan SPOS tanah
tergolong rendah yang berarti membutuhkan kapur yang rendah pula. Seperti telah disebutkan

sebelumnya, bahwa tanah tambak di Kota Pekalongan secara umum tergolong tanah aluvial non-

sulfat masam, walaupun ada daerah tertentu yang dijumpai memiliki kandungan SPOS tanah

yang agak tinggi yaitu di Kelurahan Krapyak Lor. Hal ini juga diperlihatkan dengan tingginya

kandungan unsur atau senyawa penyebab kemasaman seperti pirit, besi, aluminium, dan bahan

organik di kelurahan tersebut.

Dijumpai nilai SPOS tanah yang lebih tinggi pada tanah sawah terintrusi daripada tanah

tambak, terutama pada kedalaman 0-0,2 m yang diikuti juga dengan tingginya unsur atau

senyawa penyebab kemasaman, terutama kandungan besi dan aluminium. Proses pencucian

alami yang berlangsung lama dengan frekuensi pencucian yang lebih tinggi akibat pergantian air

pada tambak, diduga merupakan salah satu penyebab lebih rendahnya kandungan unsur atau

senyawa tersebut pada tanah tambak daripada tanah sawah terintrusi. Seperti telah disebutkan

sebelumnya, bahwa kandungan bahan organik tanah yang tinggi dijumpai di Kelurahan Krapyak

Lor. Hal yang sama juga dijumpai di Kelurahan Bandengan dalam luasan yang lebih sempit.

Namun demikian, tanah di kedua kelurahan tersebut belum digolongkan sebagai tanah gambut

sebab kandungan bahan organiknya masih lebih rendah dari 20%. Tanah gambut adalah tanah

yang mengandung bahan organik lebih dari 20% (bila tanah tidak mengandung liat) atau lebih

dari 30% (bila tanah mengandung liat lebih besar dari atau sama dengan 60%).

Walaupun kandungan bahan organik tanah secara umum relatif rendah, tetapi kandungan N-

total yang sangat rendah berdampak pada sangat tingginya rasio C:N tanah tambak di Kota

Pekalongan (Tabel 1 dan 2). Rasio C:N yang ideal untuk tambak adalah 8:1 sampai 12:1 (Boyd,

2008). Pada tanah dengan rasio C:N tinggi, maka terjadi immobilisasi N oleh mikrobiologi untuk

memenuhi kebutuhan metabolismenya.


Tekstur tanah tambak sangat berpengaruh terhadap porositas dan pertumbuhan kelekap

yang dapat menjadi salah satu sumber makanan bagi ikan dan udang. Tambak dengan tanah

bertekstur kasar seperti pasir berlempung dan pasir memiliki tingkat porositas yang tinggi,

sebagai akibatnya tambak tidak bisa menahan air. Tanah tambak sering dijumpai bertekstur halus

dengan kandungan liat minimum 20-30% untuk menahan peresapan ke samping (Boyd, 1995).

Tekstur tanah yang baik untuk tambak adalah: liat, lempung berliat, lempung liat berdebu,

lempung berdebu, lempung dan lempung liat berpasir (Ilyas et al., 1987). Secara umum, tanah

tambak di Kota Pekalongan tergolong tekstur liat berat atau memiliki kandungan liat yang sangat

tinggi. Dikatakan oleh Boyd (1995) bahwa suatu material tanah yang merupakan campuran dari

partikel yang berbeda ukuran dan mengandung minimum 30% liat adalah ideal untuk konstruksi

tambak. Kandungan liat tanah ini mendukung usaha budidaya tambak yang masih memerlukan

makanan alami seperti kelekap sebagai sumber utama makanan bagi organisme yang

dibudidayakan di tambak. Dalam hal ini, teknologi tradisional dan tradisional plus adalah pilihan

yang dapat dilakukan di tambak.

Sementara kisaran pasang surut di kawasan pesisir kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah

sekitar 1,0 m. Kisaran pasang surut yang ideal untuk tambak budidaya udang adalah antara 1,5

dan 2,5 m. Walaupun tidak tergolong dalam kisaran pasut yang ideal, tetapi dengan elevasi

tambak yang tepat maka tambak dapat dikeringkan dan diisi air secara gravitasi, tanpa pematang

utama dibuat lebih lebar dan tinggi untuk menahan tekanan air waktu pasang tinggi dan surut

rendah. Akan tetapi, dari hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan adanya tambak yang

memiliki ketinggian pematang yang rawan pada saat pasang tinggi atau pada saat terjadi rob

(banjir pasang).

Kesesuaian dan Pengelolaan Lahan


Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukkan bahwa dari luas tambak yang ada di Kota

Pekalongan, yaitu 331,292 ha ternyata tidak ada tambak yang tergolong sangat sesuai (kelas S1),

191,856 ha tergolong cukup sesuai (kelas S2) dan 140,436 ha tergolong kurang sesuai (kelas S3)

(Gambar 5). Hasil analisis kesesuaian lahan tersebut digolongkan kesesuaian lahan aktual sebab

dinilai untuk kondisi saat ini berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumberdaya lahan

sebelum lahan tersebut diberikan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala

atau faktor pembatas. Apabila usaha perbaikan dapat dilakukan, kelas kesesuaian lahan dapat

naik satu tingkat pada golongan kesesuaian lahan potensial (Ritung et al., 2007).

Budidaya udang dengan teknologi tradisional sampai madya dapat dilakukan pada tambak

yang tergolong cukup sesuai. Polikultur udang dan bandeng atau monokultur bandeng dapat

dilakukan pada tambak yang tergolong kurang sesuai pada areal yang bukan tanah sulfat masam

dan polikultur bandeng dan rumput laut dapat dilakukan pada tambak yang tergolong kurang

sesuai pada areal tanah sulfat masam.

Faktor utama pembatas kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di Kota Pekalongan adalah

kandungan unsur atau senyawa penyebab kemasaman pada areal-areal tertentu di Kelurahan

Bandengan, Panjang Wetan, Krapyak Lor, dan Degayu. Unsur atau senyawa penyebab

kemasaman yang dimaksud adalah: pirit, bahan organik, besi, dan aluminium yang akhirnya

dicerminkan dengan nilai SPOS yang relatif tinggi. Pengelolaan lahan terutama tanah yang dapat

dilakukan untuk menurunkan potensi kemasaman tanah adalah melalui remediasi baik berupa

pengeringan dan pembilasan tanah maupun melalui pengapuran. Prinsip remediasi melalui

pengeringan dan pembilasan tanah adalah pengeringan tanah untuk mengoksidasi pirit,

perendaman untuk melarutkan dan menetralisir kemasaman atau menurunkan produksi

kemasaman lanjut dan pembilasan untuk membuang hasil oksidasi dan meminimumkan
cadangan unsur-unsur beracun dalam tanah (Mustafa & Rachmansyah, 2008). Bentuk lain

remediasi berupa pengapuran dapat dilakukan untuk mengurangi unsur-unsur beracun dan unsur-

unsur penyebab kemasaman tanah yang masih tersisa dalam tanah.

Kota Pekalongan memiliki lahan tambak yang produktivitas tambaknya masih tergolong relatif

rendah. Tanah tambak di Kota Pekalongan tergolong tanah aluvial non-sulfat masam yang tidak

memiliki potensi kemasaman tanah yang tinggi dan sebagian kecil tanah sulfat masam. Sumber

air laut untuk tambak tergolong agak keruh dan salinitas air tambak cukup bervariasi sebagai

akibat adanya sumber air tawar yang berasal dari Sungai Pekalongan dan sodetan. Vegetasi

bakau adalah jenis vegetasi yang dominan di kawasan tambak sebab adanya Program GERHAN

(Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) di Kota Pekalongan. Curah hujan di Kota

Pekalongan sebesar 2.300 mm/tahun di mana curah hujan yang rendah dijumpai pada bulan Juli

sampai Oktober. Di kawasan pesisir Kota Pekalongan dijumpai tambak, sawah, sawah terintrusi,

dan pemukiman yang luasnya masing-masing 332,29; 372,53; 183,83; dan 619,73 ha. Dari luas

tambak yang ada di Kota Pekalongan, yaitu 331,292 ha ternyata tidak ada tambak yang tergolong

sangat sesuai (kelas S1), 191,856 ha tergolong cukup sesuai (kelas S2) dan 140,436 ha tergolong

kurang sesuai (kelas S3). Pada areal yang mengandung unsur atau senyawa penyebab

kemasaman yang tinggi disarankan untuk melakukan upaya perbaikan tanah terlebih dahulu

berupa remediasi, pemberian pupuk yang mengandung nitrogen pada areal yang memiliki rasio

C:N tanah yang tinggi serta pemberian pupuk kandang pada tanah yang mengandung liat lebih

besar 60% dan bahan organik kurang dari 8% (Rachmansyah et al., 2010).

Lingkungan pesisir merupakan lingkungan yang sangat dinamis dengan berbagai penggunaan

lahan yang sangat komplek. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai daerah pesisir yang

sangat strategis yang dapat dioptimalkan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan. Banyak
perkotaan dan kawasan strategis di Indonesia yang terletak di kawasan pesisir, seperti Jakarta,

Semarang, dan Surabaya. Namun demikian, disisi lain, kawasan pesisir juga merupakan kawasan

yang sangat rawan untuk terkena bencanaLahan budidaya tambak banyak dijumpai di dekat

pantai. Sawah yang berada di dekat tambak seringkali menjadi sawah yang tidak produktif akibat

tergenang air laut. Lahan tambak memiliki luasan 329,9 Ha. Kawasan pesisir di Pekalongan

umumnya dimanfaatkan sebagai lahan tambak. Hanya terdapat sebagian kecil wilayah

permukiman di dekat pantai yang merupakan permukiman nelayan. Penggunaan lahan tambak

dan hutan rawa merupakan lahan yang tergenang seluruhnya pada skenario genangan 135 cm.

Hal ini dikarenakan lahan tambak dan hutan rawa terletak dekat dengan pantai sehingga

memiliki potensi yang sangat besar terhadap banjir genangan. dikarenakan lahan tambak dan

hutan rawa terletak dekat dengan pantai sehingga memiliki potensi yang sangat besar terhadap

banjir genangan.Banjir rob menyebabkan banyak kerusakan pada infrastruktur. Banyak

bangunan mengalami kerusakan ataupun penurunan kualitas dikarenakan tidak dapat bertahan

dengan genangan air laut yang masuk ke daratan. Permukiman, jalan, sawah, tambak, industri

serta jalan di wilayah Pekalongan Utara cukup terkena dampak banjir pasang. Namun genangan

banjir mengakibatkan lahan tambak mengalami kerusakan dan penurunan produktivitas. Kondisi

perairan di muara sungai menjadi tercemar akibat adanya genangan banjir. Penurunan

produktivitas lahan tambak dikarenakan kondisi perairan sudah tidak sesuai lagi dengan syarat

hidup ikan maupun udang budidaya (Marfai et al., 2013).

Banyaknya aktivitas di wilayah pesisir memberikan banyak tekanan yang menyebabkan

terjadinya perubahan pada wilayah pesisir seperti perubahan garis pantai, erosi dan abrasi. Selain

dari aktivitas manusia wilayah pesisir juga menda pat tekanan dari alam. Wilayah pesisir

semakin menghadapi tekanan tinggi dari aktivitas alami dinamika pesisir termasuk angin dan
gelombang yang berdampak pada dinamika bentang lahan. Selain itu, wilayah pesisir juga

menerima berbagai dampak yang disebabkan oleh aktivitas manusia, sebagai contohnya beban

bangunan serta ekstraksi air tanah besar-besaran yang menyebabkan penurunan permukaan

tanah/land subsidence. Salah satu aktivitas manusia yang berdampak pada adanya tekanan

lingkungan adalah kegiatan pertambakan. Pembangunan tambak sebaiknya diikuti dengan daya

dukung lingkungan sehingga tidak menyebabkan degradasi lingkungan dan dapat memberikan

keuntungan untuk pemilik tambak. Menurut Ristiyanti (2012), kekurang cermatan dalam

menentukan lokasi tambak dan tingkat pengelolaan tambak, selain merupakan pemborosan yang

besar, juga dapat mempengaruhi produksi tambak. Kegiatan budidaya tambak yang terus

menerus menyebabkan degradasi lingkungan, yang ditandai dengan menurunnya kualitas air.

Kendala lingkungan yang dihadapi dalam kegiatan budidaya diantaranya penataan wilayah atau

penataan ruang pengembangan budidaya yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan

akibat pengelolaan yang tidak tepat, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan dengan

segala aspek komplikasinya dalam kurun waktu yang panjang. Kecamatan Pekalongan Utara

merupakan daerah yang paling sering terkena tekanan lingkungan berupa rob/banjir, karena

lokasinya yang berdekatan dengan pantai utara (Kusumaningrum et al., 2016).

2.7. Penurunan Kualitas Air Sekitar Tambak

Keberadaan fitoplankton dapat dijadikan sebagai bioindikator adanya perubahan kualitas

lingkungan perairan yang disebabkan ketidakseimbangan suatu ekosistem perairan akibat

pencemaran. Fitoplankton memiliki batas toleransi tertentu terhadap faktor-faktor fisika kimia

sehingga akan membentuk struktur komunitas fitoplankton yang berbeda. Hal tersebut dapat

dilihat berdasarkan keanekaragaman jenis komposisi dan keberadaan jenis fitoplankton yang

mendominasi diperairan tersebut. Konsentrasi TSS (Total Suspended Solid), BOD5


(Biochemical Oxygen Demand), dan COD (Chemical Oxygen Demand) yang terkandung dalam

perairan dapat mempengaruhi keberadaan fitoplankton dan menurunkan konsentrasi DO dalam

perairan tersebut. TSS, BOD5, dan COD dapat menentukan tingkat pencemaran lingkungan air.

TSS yang tinggi akan menghambat cahaya matahari masuk kedalam badan perairan. Cahaya

matahari yang rendah mempengaruhi keberadaan fitoplankton. Konsentrasi BOD5 dan COD

yang tinggi mencerminkan konsentrasi bahan organik yang tinggi sehingga diperlukan oksigen

yang tinggi dan menyebabkan penurunan konsentrasi DO di perairan. Konsentrasi oksigen yang

sangat rendah dapat menyebabkan kematian bagi organisme air. Semakin tinggi konsentrasi

BOD5 dan COD, maka tingkat pencemaran perairan juga semakin parah. Status kualitas perairan

Sungai Bremi berdasarkan nilai konsentrasi TSS, BOD5, COD dan struktur komunitas

fitoplankton dalam kondisi tercemar (Mayagitha et al., 2014).

Beberapa hal yang mendukung pentingnya komoditas nila adalah memiliki resistensi yang relatif

tinggi terhadap kualitas air dan penyakit, memilliki toleransi yang luas terhadap kondisi

lingkungan, memiliki kemampuan yang efisien dalam membentuk protein kualitas tinggi dari

bahan organik, limbah domestik dan pertanian, memiliki kemampuan tumbuh yang baik, dan

mudah tumbuh dalam sistem budidaya intensif. Keberhasilan budidaya ikan nila terkait dengan

pemeliharaan kesehatan lingkungan dan penyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri. Salah satu

bakteri yang umum dijumpai di dalam ekosistem perairan adalah Eschericia coli. E.coli adalah

bakteri yang apabila terdapat pada daging ikan, kemudian dikonsumsi akan mempengaruhi

pencernaan pada manusia, misalnya sakit perut.

a. Kandungan E.coli pada perairan tambak Slamaran dan Degayu adalah N1 adalah 3,6 MPN/gr,

N2 adalah 9,4 MPN/gr, dan N3 adalah 93 MPN/gr.

b. Kandungan E.coli pada ikan nila pada tambak Slamaran dan Degayu adalah < 3 MPN/gr .
Hasil ini didapat dengan perhitungan metode indeks APM dengan tingkat kepercayaan 95%

sesuai dengan SNI 01-2332.1- 2006

c. Ikan nila dikatakan aman untuk dikonsumsi, karena keberadaan E.coli dalam media perairan

tambak tidak masuk kedalam jaringan daging ikan nila (Amalia et al., 2016).

2.8. Penurunan Luas Kawasan Mangrove

Kota Pekalongan juga mengalami perusakan ekosistem mangrove. Keadaan ini tentu

sangat mengkhawatirkan dan pasti akan berdampak pada penurunan kualitas wilayah pesisir

Kota Pekalongan. Oleh karena itu diperlukan upaya sesegera mungkin untuk kembali

memulihkan ekosistem mangrove. Penyusunan dokumen Reklamasi Vegetasi Pesisir Kota

Pekalongan merupakan salah satu upaya dalam rangka mengembalikan terwujudnya ekosistem

mangrove di wilayah pesisir Kota Pekalongan.Hasil pengukuran parameter kualitas perairan,

diperoleh kisaran data pH 7,7-7,8, DO (Oksigen terlarut) 4,10–4,50 mg/l, Indeks bias 1,019, suhu

28-31 oC, salinitas 24,5–25 o/oo, dan substrat lumpur berpasir. Secara umum kisaran suhu di

lokasi PRPM masih tergolong alami untuk pertumbuhan ekosistem mangrove. Mangrove dapat

tumbuh dengan baik pada daerah tropis dengan suhu di atas 20 oC. Begitu juga dengan salinitas

dan substrat memperlihatkan bahwa perairan disekitar ekosistem mangrove masih tergolong

normal dan mampu mendukung pertumbuhan mangrove di lokasi PRPM. Salah satu parameter

kualitas perairan yang perlu mendapat perhatian adalah pH. Namun secara umum kondisi

lingkungan lokasi PRPM masih berada pada kisaran yang layak untuk kehidupan mangrove.

Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10–30 ppt. Jika salinitas

yang sangat tinggi terjadi melebihi salinitas umum (± 35 ppt) maka dapat berpengaruh buruk
terhadap vegetasi mangrove. Daerah yang paling dekat dengan substrat agak berpasir, sering

ditumbuhi oleh Avicennia sp. (Ario et al., 2014).

2.9. Tata Letak Tambak yang Baik

Kecenderungan kearah ini memang beralasan karena terbukti pada lahan- lahan yang

baru dibuka ternyata dapat menghasilkan produksi, baik pada tingkat penguasaan teknologi

petani yang masih rendah hingga sedang, seperti halnya dikabupaten luwu utara, produksi yang

dicapai pada tahun 1998 sebesar 1.641 ton, sekalipun produksi tersebut masih rrendah jika

dibandingkan dengan potensi tambak sebesar 11.090 ha (anonym, 2000). Kondisi yang terlihat

diawal masa usaha tersebut pada umumnya diikuti dengan ekspansi lahan atau peningkatan

jumlah input yang selalu berakhir dengan penurunan produktivitas yang berulang- ulang dengan

pemecahan masalah jangka pendek.

Tata letak tambak, jenis tanah setempat, kesalahan desain, dan teknologi pengelolaannya

adalah faktor- faktor yang berperan terhadap penurunannya produktivitas tambak, seperti ukuran

udang yang cenderung sulit berkembang serta respon tambak yang negative terhadap

pertumbuhan fitoplankton. Dilain pihak terdapat kesalah pahaman dalam memandang organisme

lain selain udang windu seperti ikan dan tumbuhan setempat yang selalu disarankan untuk

dieliminasi. Pada kenyatannya masing- masing komponen biota tersebut akhirnya digunakan

kembali setelah terbukti berperan dalam memutus rantai penyakit, pemasokan prabiotika serta

sat- sat bioaktif serta mineralisasi dampak toksik dari berbagai polutan buatan manusia.

Menurut Beveridge (1996), pemilihan lokasi budidaya merupakan langkah awal dan

umumnya sebagai tahapan yang sangat penting untuk menentukan perikanan budidaya yang

berkelanjutan, dan salah memilih lokasi menyebabkan kegiatan budidaya mengalami kegagalan.
Dalam hal ini, kondisi lingkungan biofisika-kimia tanah dan air menjadi salah satu acuan penting

bagi pemilihan lokasi pengembangan kawasan budidaya tambak. Keberlanjutan manfaat sumber

daya lahan pesisir bagi usaha perikanan budidaya dalam jangka waktu yang panjang sangat

dipengaruhi oleh dinamika kondisi kualitas lingkungan sekitarnya yang memiliki pengaruh yang

kecil bagi kegiatan tersebut.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kesesuaian lingkungan untuk perikanan budidaya

antara lain: karakteristik biofisik lokasi (biologi, hidrologi, meteorologi, kualitas tanah dan air);

karakter spesifik dari biota yang dibudidayakan; metode budidaya (konstruksi dan desain, level

produksi dan operasi) kemampuan akses untuk pinjaman dan informasi serta teknologi yang

sesuai (Radiarta et al., 2005). Kegiatan usaha perikanan budidaya berkelanjutan harus dilandasi

dengan perencanaan yang tepat, menyeluruh, dan terpadu dengan rencana sektor lainnya,

menjaga kelestarian sumber daya dan lingkungan dengan mempertahankan karakteristik wilayah

dan daya dukung lahan yang stabil serta memperhatikan kepentingan sektor lain (Naamin et al.,

1991).
Dalam model ini air yang keluar dari kolam pertambakan harus memenuhi baku mutu air

sungai pada bagian muara. konsentrasi zat organik terlarut dipersyaratkan seminimal mungkin

agar tidak terjadi perubahan ekosistem di luar petakan pertambakan. Desain tanggul yang

nantinya digunakan sebagai pemisah (perimeter) antar kolam dan sebagai pembatas kolam

dengan wilayah laut mengikuti ketentuan sebagai berikut:

Tabel 1. Kriteria Luasan dan Proporsi Pembagian Kolam tambak

Tabel 2. Kriteria Desain Tanggul Kolam Tambak


Kontruksi tambak yang baik
BAB IV :

KESIMPULAN DAN PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisa dan sumber ilmiah mengenai dampak kegiatan tambak di Kota

Pekalongan, dapat disimpulkan bahwa kegiatan budidaya ini cukup merugikan serta merugikan

pemilik sendiri karena rentan collaps. Semakin menurunnya hasil tangkapan serta semakin

tingginya permintaan ikan konsumsi hasil budidaya air payau (tambak), waktu ke waktu

penduduk pesisir Pekalongan membuat tambak dengan menebang mangrove serta vegetasi

lainnya. hal ini membuat daerah resapan berkurang drastis ditambah dengan penurunan tanah

terhadap permukaan air laut setiap tahunnya membuat banyak wilayah mudah tergenang. Air

yang tergenang dengan salinitas tinggi membuat kesuburan tambak terus berkurang, ini sangat

berdampak pada kegiatan tambak karena kebanyakan tambak menggunakan sistem budidaya

ekstensif dan semi-intensif yang masih membutuhkan bahan organik dari alam atau tempat itu

sendiri.

3.2. Penutup

Keberadaan tambak yang tidak terkendali serta tata letak dan konstruksi yang buruk

membuat tambak cepat rusak tidak bisa difungsikan apapun. Maka perlu dalam

mempertimbangkan tata letak dan konstruksi yang disesuaikan dengan kondisi tanah dan

topografi daerah setempat.


DAFTAR PUSTAKA

Kusumaningrum, A.P., Supriharyono, dan B. Hendrarto. 2016. Usaha Petani Tambak dalam

Menanggulangi Tekanan Lingkungan di Wilayah Pesisir Kota Pekalongan.

Diponegoro Journal of Maquares. 5 (1):17-23

Wijaya, A., dan C. Susetyo. 2017. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kota Pekalongan

Tahun 2003, 2009, dan 2016. Jurnal Teknik ITS. 6(2):417-420

Rachmansyah, A. Mustafa, dan M. Paena. 2010. KARAKTERISTIK, KESESUAIAN, DAN

PENGELOLAAN LAHAN TAMBAK DI KOTA PEKALONGAN PROVINSI

JAWA TENGAH. Junal Riset Akuakultur. 5(3) : 505-521.

Wijaya A. dan C. Susetyo. 2017. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kota Pekalongan

Tahun 2003, 2009, dan 2016. Jurnal Teknik ITS. 6(2): 417-420.

Rachmansyah, A. Mustafa, dan M. Paena. 2010. Karakteristik, Kesesuaian, dan Pengelolaan

Lahan Tambak di Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Riset Akuakultur.

5(3): 505-521.

Marfai, M. A., D. Mardiatno, A. Cahyadi, F. Nucifera, dan H. Prihatno. 2013. Pemodelan Spasial

Bahaya Banjir Rob Berdasarkan Skenario Perubahan Iklim dan Dampaknya di

Pesisir Pekalongan. Jurnal Bumi Lestari, 13(2): 244-256.

Kusumaningrum, A. P., Supriharyon, dan B. Hendrarto. 2016. Usaha Petani Tambak dalam

Menanggulangi Tekanan Lingkungan di Wilayah Pesisir Kota Pekalongan.

Diponegoro Journal of Maquares Management anof Aquatic Resources. 5(1):17-23.


Rumanti, M., S. Rudiyanti1, dan M. N. Suparjo. 2014. Hubungan Antara Kandungan Nitrat dan

Fosfat dengan Kelimpahan Fitoplankton di Sungai Bremi Kabupaten Pekalongan.

Diponegoro Journal of Maquares Management of Aquatic Resources. 3(1): 168-176.

Mayagitha, K. A., Haeruddin, dan S. Rudiyanti. 2014. Status Kualitas Perairan Sungai Bremi

Kabupaten Pekalongan Ditinjau dari Konsemtrasi TSS, BODA, COD dan Struktur

Komunitas Fitoplankton. Diponegoro Journal of Maquares Management of Aquatic

Resources. 3(1): 177-185.

Amalia, E., H. Soeprapto, dan M. B. Syakirin. 2016. Analisis Bakteri Escherichia coli pada

Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Tambak-Tambak Kota Pekalongan.

Pena Akuatika. 14(1): 59-66.

Madusari, B. D., H. Pranggono, dan Linayati. 2016. Analisis Kandungan Timbal (Pb) ,Cadmium

(Cd) pada Air dan Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Tambak Kota dan Kabupaten

Pekalongan. Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian

Perikanan dan Kelautan.

Ario, R., P. Subardjo, dan G. Handoyo. 2014. Analisis Kerusakan Mangrove Di Pusat Restorasi

Dan Pembelajaran Mangrove (PRPM), Kota Pekalongan. Jurnal Kelautan Tropis.

18(2): 64-69.

Madusari, B. D., H. Pranggono dan Linayati. 2016. Analisis Kandungan Timbal (Pb) ,Cadmium

(Cd) pada Air dan Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Tambak Kota dan Kabupaten

Pekalongan. Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian

Perikanan dan Kelautan, Pekalongan : Juni 2016. Hal 658-668.


Rumanti, M., S. Rudiyanti dan M. N. Suparjo. 2014. Hubungan Antara Kandungan Nitrat dan

Fosfat dengan Kelimpahan Fitoplankton di Sungai Bremi Kabupaten Pekalongan.

Diponegoro Journal of Maquares. 3(1): 168-176.

Mayagitha, K. A., Haeruddin dan S. Rudiyanti. 2014. Status Kualitas Perairan Sungai Bremi

Kabupaten Pekalongan Ditinjau dari Konsentrasi TSS, BOD5, COD dan Struktur

Komunitas Fitoplankton. Diponegoro Journal of Maquares. 3(1): 177-185.

Kusumaningrum, A. P., Supriharyono dan B. Hendrarto. 2016. Usaha Petani Tambak dalam

Menanggulangi Tekanan Lingkungan di Wilayah Pesisir Kota Pekalongan.

Diponegoro Journal of Maquares. 5(1): 17-23.

Anda mungkin juga menyukai