¢
ig \\ 16-1 -1m a
CeO}
SYAHID MUHAMMAD
(ELEFTHERIAWORDS)
AMOR FATI
KITA ADALAH SEPASANG SALAH
YANG MENOLAK PASRAHTentang KALA. Tentang proses, romansa. Ya hidup. Dengan
penyampaian yang.. ah, baca saja. Semoga tenggelam.
~ @ghumaydha
Novel yang sungguh puitis, bahkan untuk orang-orang yang
menyukai puisi dan terlalu manis untuk dilewatkan mereka yang
tidak menyukai puisi. Novel ini untuk semua orang yang sempat
kehilangan sesuatu dalam dirinya, dan tetap percaya bahwa kelak
nanti akan menemukannya kembali.
~ Tia Setiawati (Penulis Buku Perempuan Penggenggam Rindu)
Kisah cinta yang lahir dari kolaborasi 2 penulis muda berbakat. Diksi
yang indah dari 2 sudut pandang yang berbeda dikemas dengan
alur yang menarik membuat pembaca tidak sulit untuk memahami
karakter Saka dan Lara. Bacalah, maka kau akan tau bagaimana
indahnya menginterpretasikan gambar ke dalam aksara.
~ Hani (bookstagrammer)
Satu kisah romansa dari dua penulis muda berbakat yang bisa
dikategorikan unik, dengan pemilihan diksi yang tidak umum
digunakan oleh penulis-penulis muda zaman sekarang. Alur kisah
yang manis, diceritakan dalam sudut pandang masing-masing (Saka
dan Lara).
~ F. Annisa (bookstagramer, guru)
Sebuah kisah sederhana yang mencerminkan kehidupan sehari-
hari, tetapi dengan pemilihan kata yang luar biasa indah. Kisah
yang ingin terkubur, namun dia akan selalu menemukan celah untuk
muncul dalam memorimu. Sebab Saka dan Lara adalah kau dan dia.
~ Elmaria (Master Student in Acturial Science, Kent University)Novel ini recomended banget bagi kalian yang suka bacaan berbau-
bau sastra puisi dan yang gagal move on dalam percintaan.
~ Amberr
Untuk para penikmat sastra, buku ini bisa menjadi salah satu pilihan
untuk dibaca untuk mengisi waktu senggang, dan untuk awam
yang baru atau ingin belajar memahami sastra, buku ini merupakan
pilihan yang tepat.
~ alineafajr
Untuk pecinta genre romance buku ini sangat romantis. Saya
membaca buku ini layaknya orang gila, senyum-senyum sendiri.
Diksi dalam cerita ini amat sangat pas bikin baper. Covernya lucu
hitam manis gimana gitu.
~ Syabillaptr
Aku masih begitu terpukau dengan deretan kalimatnya. Menambah
perbendaharaan kataku juga seperti: entitas, enigma, nisbi, dsb.
Banyak kata-kata baru yang berseliweran, senang aku mendapatkan
pengetahuan lebih. Sekali lagi, tidak picisan.
~ @ra.juwita
Cocok buat yang suka novel yang agak puisi-puisi gitu, setelah
kamu baca halaman pertama, aku yakin kamu gakan bisa berhenti
sampai halaman terakhir.
~ @putridinaryr
Kisah cinta dengan akhir yang lucu. Aku pun mau punya ending
kaya dibuku ini. Semesta yang tidak mau meninggalkan sepasang
manusia yang terluka.
~ irhammaladi (http://www.penar.org)AMOR FATI
KITA ADALAH SEPASANG SALAH
YANG MENOLAK PASRAH
STEFANI BELLA
{HUJANMIMPI)
SYAHID MUHAMMAD
({ELEFTHERIAWORDS)
€
GRADIEN MEDIATAMAAMOR FATI
Penulis:
Stefani Bella & Syahid Muhammad
ISBN: 978-602-208-161-6
Penyunting:
flo
Penyelaras Aksara:
Tri Prasetyo
Desain Sampul dan Tata Letak:
eleftheriawords, Techno
Penerbit:
Gradien Mediatama
Redak:
Jl. Wora-Wari A-74 Baciro,
Yogyakarta 55225
Telp/Faks: (0274) 583 421
E-mail: redaksi@gradienmediatama.com
Web: www.gradienmediatama.com
Distributor Tunggal:
TransMedia Pustaka
Jin, Moh, Kahfi 2 No.13-14 Cipedak,
Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640
: (021) 7888 1000 Fax: (021) 7888 2000
emasaran@distributortransmedia.com
Cetakan Pertama, November 2017
Cetakan Kedua, Januari 2018
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apa pun tanpa izin dari penerbit
Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Stefani Bella & Syahid Muhammad
AMOR FATI /Penulis, Stefani Bella & Syahid Muhammad —
Yogyakarta: Gradien Mediatama, 2017.
440 him. ; 13 x 19. cm
ISBN 978-602-208-161-6
1. AMOR FATI 1, Judul
I. flo
895“Dalam sebuah KALA tempat kita bermula,
pada sebuah percaya kita ingin bermuara.”Thanks To
\\
AMOR FATI tak pernah direncanakan sebelumnya.
Setelah kelahiran KALA, Tuhan dengan rencana-rencananya
membawa kami pada kesempatan yang tidak pernah kami
semogakan. Dengan Keromantisan Tuhan, hinggaplah kami
pada masa yang siap untuk akhirnya AMOR FATI dapat
terlahir dari dua pasang jari-jari kami.
Oleh karena itu, kembali kami ingin memanjatkan syukur
yang tiada henti tercurah. Izinkan kami mengucapkan terima
kasih untuk setiap hal yang sempat bersinggungan di hidup
kami.
Terima kasih kepada Allah SWT, atas segala kesempatan
lainnya, kekuatan, dan seluruh hal yang diberikan kepada
kami hingga detik ini. Sebab, jika bukan karena izin-Nya
karya ini tidak akan bisa lahir.
Kepada keluarga kami, terima kasih atas doa, kasih
sayang, dan support yang tidak pernah ada habisnya.Kepada editor kami, Mbak Aning, terima kasih sudah
menemukan dan memberikan kesempatan kepada kami
untuk menjadikan kolaborasi ini nyata. Dan, tentunya kepada
seluruh tim Penerbit Gradien Mediatama yang terlibat—Mas
Tepe, Mas Tikno, dan mereka-mereka yang belum kami kenal
namanya—terima kasih. Sebab, tanpa kerja keras mereka
buku ini tidak akan hadir.
Kepada semua pembaca KALA dan tulisan kami lainnya,
kalianlah yang sesungguhnya membuat AMOR FATI punya
kesempatan untuk hidup di hati kalian.
Kepada Fadil dan rekan-rekan di The Point Coffee & Drama
di Jogja, terima kasih telah memberikan kami izin untuk
menggunakan nama tempat coffee shop-nya. Juga, kepada
Kyotown Coffee di Bandung yang menjadi tempat penulis
untuk bisa meramu AMOR FATI.
Dan, kepada Andry Bem Mandariana terima kasih untuk
dukungannya yang tiada henti terhadap kami, juga terhadap
KALA. Terima kasih atas kreativitas dan karyanya karena
telah dengan luar biasa membuatkan sebuah lagu tentang
SAKA dan LARA.
Last but not least, kepada seluruh sahabat, teman, dan
orang-orang yang mengenal kami—baik yang hanya singgah
dan masih bertahan hingga sekarang—terima kasih sudah
hadir dan memberikan banyak pelajaran akan kehidupan.Darl Kami with Camu
\\
Hai, selamat berjumpa lagi! Bagaimana, sudah
bosan dengan kisahku? Atau, justru semakin
penasaran dengan ceritaku dengannya? Sebab,
menurut kabar yang kudengar, kamu bahkan teman-
temanmu cukup gemas dengan akhir yang katanya
menggantung.
Padahal siapa bilang itu menggantung? Menurutku,
yang kemarin itu adalah akhir terbaik yang bisa aku
ceritakan. Kamu tahu kan, meminta lebih terkadang justru
tak akan berakhir baik? Bagaimana jika nanti pada apa
yang kuceritakan ini, malah akan kamu temui hal-hal yang
mengecewakan? Jangan protes! Ingat, ini juga maumu kan?
Maka, saat ini aku putuskan untuk kembali,
menyelesaikan apa-apa yang belum selesai. Ya, aku kembali,
pada rangkaian kisah yang belum jua usai. Aku kembali,
pada potongan-potongan kejadian yang membawaku untukmengurai kembali segalanya agar lebih jelas. Bila pada kisah
Jalu katamu aku terlalu egois dan menuntut, maka kali ini
mungkin saja masih akan atau malah berubah. Entah aku tak
tahu juga.
Sudahlah, aku tahu kamu tak ingin berlama-lama
membaca ini. Justru kamu mungkin lebih tertarik untuk
membalik halamannya. Maka, segeralah balik halamannya
Jalu lanjutkan cerita yang kemarin sempat tertunda. Tapi
ingat, tak usah gemas sendiri. Ajak saja temanmu untuk ikut
serta merasakannya.
Sebab, kisahku ini bukan hanya tentang perjalanan
melainkan juga tentang pelajaran. Sebab, kisahku ini bukan
hanya perihal kisah cinta yang manis atau penuh kemelut, tapi
juga tentang sebuah penerimaan akan hidup. Tenggelamlah
bersama barisan aksaranya, tapi jangan sampai hanyut,
karena pagi masih menantimu untuk kembali.
Oh ya, jangan selalu berharap akhir dari kisahku ini
akan penuh kebahagiaan. Sebab mungkin, definisi bahagiaku
denganmu memang tak pernah sama.
Salam rindu,
Lara
10\\
=, Kudengar banyak yang sebal denganku pada kisah
= Bd sebelumnya? Ayolah, jangan egois. Aku ini lelaki.
Aku yang harusnya egois, bukan?
Sebetulnya kisah yang lalu sudah selesai, bahkan
menurutku tidak menggantung. Karena di sini, perjalananku
berbeda. Tidak akan seperti yang kalian harapkan. Oh
tentu, kini aku sudah berteman baik dengan semesta untuk
mengacaukan harapan kalian. Hanya untuk kalian yang mau
untuk menerjemahkan makna di balik semua yang akan aku
persembahkan, yang dapat memahaminya.
Aku tidak berpikir aku akan berhenti menyebalkan pada
kisah ini. Karena, jika beberapa orang terlihat baik, mungkin
mereka cukup pandai menyembunyikan keburukannya. Jadi,
jika aku terlihat menyebalkan di mata kalian, sempurnakan
pandangan kalian. Mubazir rasanya memiliki sepasang mata
sempurna nan indah tapi hanya digunakan memandang
dengan sebelah mata.
Semesta, masih akan mengajak kalian berjelajah.
Cerita kami hanya sebuah portal pengingat perihal takdir
ayang menuju diri kalian masing-masing. Apakah semua
yang terjadi memang sepatutnya demi kebaikan kalian?
Atau, justru adalah sebuah tantangan? Bahwa, kalian perlu
melakukan hal yang lebih. Karena, hanya kalian yang dapat
memahami, kapan kiranya sebuah cukup akhirnya bisa
disepakati.
Salam syahdu,
Saka
12DAFTAR ISI
Thanks to
Dari Kami untuk Kamu
Semesta
CHAPTER |
“Kelak Setiap Kenangan Hanya
Akan Berakhir Pada Ingatan"
CHAPTER Il
“Dekat yang Tak Melekat,
Tetapi Hanya Memberi Sekat"
CHAPTER III
“Pergi, dari Satu Titik Ragu
Menuju Satu Titik Percaya”
CHAPTER IV
“Hingga Kemudian Kembali Meragu,
Pada Satu Titik yang Berujung Temu"
15
21
87
143
217
13CHAPTER V 265
“Masing-Masing Kita Membawa Rahasia,
yang Menanti untuk Diungkap"
CHAPTER VI 319
“Pada Jarak yang Sempat Tercipta,
Sebuah Renung Seharusnya Berkuasa”
CHAPTER VII 375
“Pada Sebuah Kembali yang Seutuhnya,
Ada Sebuah Penerimaan yang Sepenuhnya"
Tentang Penulis 437
14SEMESTA
“Mas, iced chocolate satu, ya.” pesan seorang wanita yang
baru datang. Ia duduk di kursi bar sambil tersenyum.
“Siap, Mbak. Gulanya mau manis aja apa manis banget?”
tanya seorang barista sedikit menggoda untuk mencairkan
dan mengakrabkan suasana. Terlebih, perempuan itu
sepertinya bukan salah satu tamu reguler yang sering datang
ke coffee shop tersebut.
“Manisnya yang cukup aja, asal nyaman.” Si perempuan
balik menggoda.
Sambil tersenyum, barista tadi dengan sigap menyiapkan
gelas untuk membuat pesanan perempuan itu. Tidak butuh
waktu lama, segelas iced chocolate pun ready.
“Silakan Mbak, iced chocolate-nya. Gulanya sengaja saya
pisahin aja. Saya enggak punya hak untuk nentuin seberapa
manisnya Mbak. Eh, seberapa manis minumannya buat
Mbak.”
15Perempuan itu kemudian tertawa mendengar kelakar si
barista.
“Eh, Kev. Gue cabut ya.” Barista itu mendadak pamit
seraya melepaskan vest berwarna biru tuanya.
“Lah, tumben balik cepet lu.” Lelaki yang bernama Kevin
itu menjawab keheranan.
“Yoi, ada janji gue,” ucap barista itu sambil memamerkan
senyuman yang menyiratkan tanda tanya bagi yang melihat.
“Mas Saka pasti mau ketemu cewek sih ini. Enggak pernah
kayaknya Mas Saka pamit pulang on time,” timpal seorang
perempuan bernama Narni dari salah satu kursi yang tidak
jauh dari bar. Di mejanya tampak segelas Americano dingin di
samping buku dan tumpukan diktat.
“Serius lu? Ajegilee... akhirnya, pergi sama cewek lagi
doi,” goda Kevin.
“Ah, kalian enggak bisa apa liat temennya seneng? Udah
ya, gue cabut dulu.” Saka meninggalkan teman-temannya
setelah sebelumnya sempat kembali menyapa barista yang
lain.
“Eh, Gil, cabut duluan ya!”
Yang disapa kemudian ikut tersenyum sambil menggoda
Saka, “Mas Saka, sukses ya! Lain kali diajak ke sini toh temen
perempuannya.”
“lya, diajak Mas. Jangan disembunyiin lagi, terus tiba-
tiba cerita udah putus aja.” Narni masih menggoda.
Saka tersenyum namun tak mengindahkan godaan
16teman-temannya. Ia hanya melambaikan satu tangannya
sebagai tanda pamit.
YO.
“Siaaal...! Kok, ilustrasinya enggak kayak yang diharepin
sih,” gerutu seorang perempuan dari balik mejanya.
Mata perempuan itu terus menatap kertas-kertas yang
menampilkan sederet gambar. Ia acuh saja meski jam di
dinding sudah menunjukkan hari semakin malam.
“Kenapa, Ra? Enggak sesuai lagi? Udah dibilang kalau
buat ilustrasi buku romance tuh mending sama yang freelancer
satunya lagi aja.” Temannya kemudian menasihati.
“Ya, masalahnya kemarin tuh udah ditanya sanggup apa
enggak? Doi jawab sanggup. Ya, udah aja kasih ke dia. Lagian
juga, gue pikir enggak ada salahnya ngasih kesempatan
buat orang lain biar bisa berkembang. Eh, enggak tahunya,
hasilnya bikin naik darah gini. Mampus, deh!”
Perempuan itu terlihat kesal. Ia membanting kertas-
kertas yang ada di mejanya, “Kalau dia belum paham konsep-
nya tuh harusnya bilang, elah. Mana deadline besok lagi.
Minggu depan harus udah up buat cetak. Sekarang, kalau
begini jadinya, kan kacau semua.”
Si perempuan lalu menghempaskan diri ke kursi sambil
memijat pelipisnya.
17“Coba lu tanyain sama ilustrator satu lagi, keburu enggak
kira-kira kalau dia yang handle?”
“Raniiii... ini bukan masalah keburu enggaknya. Tapi, gue
telanjur deal sama yang ini. Kalau harus gue tolak padahal
udah bolak-balik revisi, kan kasian juga. Lagian, kalau
sekarang gue hubungin ilustrator yang itu, bisa kena mahal
kali bayarannya. Ya, lu pikir aja, semalem harus selesain
sekian ilustrasi, dikira lagi bikin candi?”
“Lara, gini deh mending nolak karena enggak sesuai sama
konsep. Atau, diterima tapi setengah hati? Ngejalanin yang
setengah hati tuh enggak enak loh.” Perempuan bernama
Rani itu kembali mengomentari kemarahan si perempuan,
Lara, dengan menggodanya.
“Lah, kenapa malah curhat? Haha,” Lara kemudian
tertawa sambil melirik ke jam tangannya. “Sial, udah hampir
telat. Gue cabut duluan deh ya. Ntar malem di rumah aja baru
gue pikirin lagi enaknya gimana. Atau, kalau enggak besok
lagi baru gue kerjain.” Lara berpamitan seraya membereskan
meja kerjanya.
“Lah, mau ke mana lu? Tumben amat. Ntaran lagi, Ra.
Gue masih nanggung nih. Masa lu tega, gue lembur sendirian
sekarang.”
“Gue ada janji makan malem. Lupa gue,” ucap Lara sambil
meringis memamerkan deretan giginya.
Rani sontak menghentikan kegiatannya sambil mem-
belalakkan mata menatap Lara.
18“DEMI APA? Been centuries, akhirnya lu punya janjimakan
malem sama cowok?”
“Enggak usah lebay dih. Lagian siapa yang bilang, gue
janjiannya sama cowok?”
“Alah, udah santai kali. Muka lu enggak usah merah kalau
emang bukan sama cowok. Lagian, kalau emang iya sama
cowok juga enggak apa-apa. Gue malah seneng dengernya.”
“Hmm... Ya, udah ah, gue cabut ya. Sampe ketemu besok,
Sayang.” Lara kemudian mencium pipi teman kerjanya lalu
bergegas pergi.
~”
1920
Semoga separuh aku yang kamu bawa dapat menemanimu.
Karena kamu pergi membawa doa-doa yang aku titipkan.
Semoga, doa-doa itu akan selalu bisa menemanimu,
bukan hanya saat kamu kesepian.
Namun, juga saat kamu bersama seseorang meski tetap
merasa sepi.
Kupastikan, aku tak kehilangan apa pun kecuali
kehadiranmu.
Percayalah, kini aku telah menerima kehilanganmu,
menerima luka yang tersisa dari kepergianmu.
Tak ada yang lebih menenangkan dari sebuah penerimaan.
Karena tak ada yang lebih menyiksa dari mempertahankan
kebencian.
Melangkahlah dengan tegap,
tak perlu lagi kamu pikirkan bagaimana aku tanpamu.
Nikmatilah kamu yang kini tanpaku.se
CHAPTER I.
“KELAK SETIAP KENANGAN HANYA
AAU laa a CA;°“Thad it all figured out. So I cut out a little early, who cares? Its
probably a good thing. Life sucks, anyway. But I met you and it
got weird. And, you were so... Amazing. And I?”
“What? What?”
“I just wanted a little more time. So all in all, I'd say you’re the
worst thing that’s ever happened to me. Goodbye partner.”
“I’m staying with you until you leave. I don’t care how much
time we have! Give up you stupid jerk.”
“th, Mas Saka nangis yaaaa...?” celetuk Narni.
“Anjriiiiit... sialan, Narniiii...!” Aku yang tengah
“ menikmati scene goodbye dari film Keith harus
terganggu oleh celetukan Narni yang tiba-tiba.
“Hahahahahahahahahahahahahaha....
terbahak-bahak.
“Anjrit, mata lu kok juga basah gitu, Nyet? Hahahaha.”
Kevin tertawa
Giliran aku menggoda Kevin.
“ya, apa? Masa sih?” Kevin segera mengelap genangan
di kedua matanya.
“Duh, kalian nih ya, cowok-cowok lembut. Bisa banget
nangis nonton film drama gini.” Narni masih saja menggoda.
“Kita enggak nangis, Narni! Enggak sempet nangis
karena udah keburu kamu ganggu duluan!” Aku protes
sembari diam-diam menyeka mataku.
23“Lagian kamu bisa-bisanya lagi nonton malah merhatiin
orang sih?” Kevin protes dan berdiri dari tempatnya duduk.
Ja menuju dapur, mungkin mau mengambil minum.
“Ya, gimana mau merhatiin, Mas? Udah kalian berdua
nonton paling depan, berisik bener sama idung. Kukira
ingusan, ternyata lagi siap-siap mau nangis. Gimana aku mau
konsen coba?” canda Narni.
Film yang seharusnya membuatku tergugah, puas akan
aksi kedua tokoh dari Natalie dan Keith, harus berakhir
mengesalkan karena Narni. Kami masih saja_berisik
menyalahkan Narni. Namun, gadis itu sama sekali tidak
merasa berdosa. Dia malah asyik menggoda kami terus. Dia
yang perempuan seharusnya lebih terharu menonton film
drama bukan?
Ini malam terakhirku di Jogja. Sebelum pulang, kami
ngumpul di rumah Narni. Dia yang memaksaku, karena
setelah sekian lama saling kenal tak pernah sempat
mengunjungi rumahnya.
“Rame juga tapi ya filmnya. Narni nanti nonton sendiri
aja ah, biar enggak ada yang ledekin kalau nangis. Hehehe.”
Narni berdiri dari ranjang tempatnya duduk.
“Ah, sialan Narni. Harusnya aku pulang ke Bandung
dalam keadaan bahagia nih. Udah bisa terharu nonton film.
Lah, malah jadi mentah gini deh.” Aku kembali protes, lalu
segera berdiri menyiapkan barang-barangku.
“Lu bawa laptop bukan? Lu nonton aja di kereta
24ntar. Download dulu aja, bentaran juga kelar pasti.” Kevin
menyarankan.
“Yakali Sob, terus gimana ntar kalau gue di kereta
terenyuh mau nangis gara-gara filmnya? Bayangin
penumpang lain harus nahan ketawa ngeliat gue yang
gondrong gini, tapi matanya berair nonton drama. Enggak
keren lagi gue.” Aku menjawab.
“Mas Saka, lakik yang berani nangis tuh keren!
Yang enggak keren tuh lakik yang bikin nangis.” Narni
membalasku.
“Hahaaaaaaaaaa.... Kenaa lu, Nyet. Kena lu! Skak mat!
Hahahahaha....” Kevin tak bisa menahan tawa mendengar
ucapan Narni.
“Eh, Narni salah ngomong ya?” Narni belagak polos.
“Enggak, Narni. Kamu... bener.. banget....” Aku menjawab
pelan dengan wajah yang tak keruan.
Aku teringat Lara. Teringat apa yang pernah membuatnya
menangis. Sebuah penyesalan yang tidak bisa aku bayar.
Namun, kini setidaknya keadaan kami sudah cukup untuk
membuatku sedikit tenang dari rasa bersalah yang bisa saja
masih menghantuiku.
“Udah tenang, Sob. Lu sama Lara kan udah baikan.
Udah saling merelakan dan saling nerima lagi.” Kevin coba
menenangkan. Dia sepertinya bisa membaca pikiranku.
“Saling nerima lagi sebagai teman ya, Mas Saka.” Narni
masih saja menggodaku dengan ucapannya.
25“Duh, kok gue dengernya nyelekit gitu ya.”
“Man, gue baik-baik aja. Kata-kata lu yang bikin seolah
itu nyelekit. Jangan gitu dong. Stop saying like I’m not okay. You
guys who make me not okay!”
Aku mengeluh sebal sembari mengecek perlengkapanku.
Memastikan tidak ada barang yang tertinggal.
“Eh, sori-sori, Sob. Gue enggak maksud, sumpah!
Keceplosan gue. Sori!” Kevin meminta maaf.
“Mas Kevin tuh, dijaga coba omongannya sama sahabat
sendiri.” Narni menyalahkan Kevin.
Aku hanya diam dan mengacuhkan permintaan maaf
Kevin.
“Heh! Kamu juga tuh, Narni. Mentang-mentang cewek
bisanya nyalahin doang. Hih,” jawab Kevin ketus.
Sementara mereka berseteru, aku masih sibuk dengan
barang-barangku untuk menyembunyikan wajahku, dan
mencoba memastikan apa aku benar baik-baik saja, atau
sebetulnya tidak. Meski sebenarnya tidak apa jika memang
aku masih menyimpan sisa-sisa luka. Tidak apa jika aku
memang tidak baik-baik saja. Tapi, jika aku harus berpura-
pura saat ini, aku memilih untuk berpura-pura baik-baik
saja. Ya, dari pada berpura-pura tidak baik-baik saja.
“Udah napa, pada berisik mulu. Just please stop making
fun of it. Gue tuh enggak kenapa-napa. Lu pada boleh
becandain hal itu, tapi please jangan ngomong apa pun yang
menyudutkan gue, atau seolah gue nyesek dan enggak baik-
26baik aja. Becandanya enggak usah nyampah, please.” Aku
memberi nada tegas, meski sedikit tidak enak. Tapi, mereka
perlu tahu bahwa tidak semua orang bisa menerima gurauan.
“Siap, Pak Bos! Maafkan kami!” seru Narni dan Kevin
bersamaan.
Meski kadang menyebalkan atau kadang ada perkataan
dan gurauan mereka yang menyinggung, yang membuatku
senang adalah mereka begitu bisa menerima teguran dariku.
Bukan teman yang hanya akan lebih menyudutkanku jika
aku marah, atau tidak terima atas gurauan mereka.
Setelah selesai bersiap, kami melaju menuju Stasiun
Tugu untuk mengantarkanku pulang. Jalanan Jogja di tengah
malam selalu melambaikan kerinduan. Mengejekku dengan
riang, seolah aku akan pulang dengan berat. Aku terhibur
saat memandang lampu-lampu jalan yang seolah tersenyum
mengantarkan kepulanganku.
“Gue balik dulu ya!”
Aku pamit setelah menukarkan boarding pass di stasiun
Tugu. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kereta
yang akan membawaku pulang ke Bandung akan berangkat
30 menit lagi.
“Mas Saka, ini Narni tadi dibawain nasi kucing sama
Mama. Buat Mas Saka kalau laper di jalan. Kucingnya udah
Narni pisahin kok. Sama ini juga semangka buat makanan
penutupnya. Atau, kalau enggak mau repot, makan
semangkanya pake nasi aja biar sekalian telan.” Narni
27tersenyum polos.
“Kapan kamu bawa semangka? Kok, enggak ketahuan?
Anyway, terima kasih Narni.” Aku berkata dengan gemas,
sedang Narni hanya tersenyum.
“Tiati, Sob. Jangan lupa bentar lagi gue lulus. Terus, yang
gue omongin kemarin dipikirin. Siapa tahu ya, siapa tahu lu
masih pengen perjuangin Lara. Kan, biar sekalian. Haha.”
Kevin memelukku.
“Hahaha... kampret! Ya, gampang lah...”
“th! Kalian ngobrolin apaan kemarin. Kok, Narni enggak
tahu sih?” Belum selesai aku menjawab, Narni langsung
memotong. Mukanya cemberut.
“Sstt.... Itu urusan lelaki, kamu jangan dulu ikut-ikutan!”
tukas Kevin.
“Lah, itu ngomongin Mbak Lara juga, berarti ada urusan
perempuannya juga dong,” balas Narni.
“th, nih anak enggak bisa dikit aja enggak bawel. Udah,
ntar juga kamu tahu. Ini masih rencana, belum bisa dikasih
tahu siapa-siapa. Nanti kalau enggak jadi kan malah malu,”
jelas Kevin berharap Narni bisa diam.
“Yo Mas, mumpung masih rencana siapa tahu aku bisa
bantu. Aku nih lagi dilanda tekanan proposal skripsi, sedang
teraniaya. Amin dariku tuh bakal didenger ribuan malaikat
Joh. Bisa bikin rencana yang kalian obrolin jadi diijabah sama
Tuhan.” Narni bersikeras ingin tahu.
Aku hanya bisa tertawa terbahak mendengar debat
28mereka.
“Heh, Narni. Itu enggak ada apa-apanya dibanding aku
yang bentar lagi mau sidang tesis. Deg-deganku lebih kenceng
daripada kamu. Aku nih lebih teraniaya. Amin dariku bisa
bikin isi surga ikut ngaminin! Sstt, udah diem!” Kevin kali ini
benar-benar gemas.
“Emm, penghuni surga sama malaikat banyakan mana
ya, Mas?” Narni bertanya polos.
Kevin mengelap wajah dengan kedua tangan, tanda tak
lagi bisa menahan gemas. Aku masih tertawa melihat mereka
berdua. Pulang memang selalu menjadi hal terberat. Harus
membawa rindu yang tak bisa aku bawa sendirian. Aku yakin
rindu yang aku bawa akan cukup membuatku sendu dalam
beberapa hari ke depan. Sejak nanti aku kembali tiba di
Bandung.
Tidak lama, kami benar-benar berpisah. Aku melangkah
masuk ke ruang tunggu penumpang. Terlihat para
penumpang yang sedang beristirahat. Entah untuk pulang
atau melanjutkan perjalanan.
“Bu, air mineralnya satu,” pintaku kepada ibu-ibu di
kantin stasiun.
Aku lalu melongok isi bungkusan yang diberikan Narni
kepadaku. Nasi kucing dan potongan buah semangka. Aku
tertawa kecil. Sungguh ada-ada saja kelakuan gadis itu.
Langkahku gontai mencari tempat duduk yang menurutku
nyaman. Lalu, tak bisa kutolak pikiranku menyapa ingatan
29tentang Lara.
Bahagia dan rindu sedang berpesta dalam diriku.
Perutku dibuat geli karena kupu-kupu baru saja keluar dari
kepompong. Saat seperti ini, sulit sekali menahan bibirku
untuk tidak keras kepala tersenyum. Orang-orang di stasiun
bisa menganggapku sedang jatuh cinta. Memang iya. Tapi,
mereka tidak tahu bahwa aku tidak jatuh cinta kepada
seseorang. Sial, aku merasa kikuk sendiri di antara ratusan
orang, padahal mereka tidak sedang memerhatikanku.
Aku memutuskan membuka aplikasi notes di smartphone
milikku. Rasa ini harus tumpah pada tempat yang tepat.
Kepada nurani,
Inikah tujuan dari semua langkah?
Mengantarkan aku pada rasa yang megah?
Membukakan aku sebuah pintu yang penuh berkah?
Apa kamu sedang mengejekku dengan senyummu yang
merekah?
Sial kamu nurani,
berani-beraninya mempermainkanku.
Tapi, apa daya. Aku pun dibuatnya malu dan terpaku.
Dan, akhirnya yang hanya bisa aku lakukan hanya mengaku.
Bahwa kamu telah memberiku pemahaman yang sangat
membahagiakan aku.
30Biar saja semua orang melirikku dengan curiga.
Tentang senyum yang sedari tadi sombong ingin terus
bersinar.
Tentang degup yang tak ingin berhenti menggelar perayaan
dalam dada.
Kukatakan dengan lantang dalam diam.
Aku memang sedang jatuh cinta.
Tapi, bukan pada seseorang.
Biar saja mereka mereka-reka.
Rasa ini milikku,
takkan kubagi kepada siapa pun yang tak pantas.
Kedatangan kereta yang akan membawaku pulang telah
meneriakkan semangatnya dari jauh. Aku bergegas berdiri
dan bergerak menuju titik tunggu. Bersama para penumpang
yang ingin segera pulang, atau ingin segera sampai, atau
hanya ingin segera pergi. Kereta api Malabar tujuan Bandung
akhirnya tiba di depan kami. Semua penumpang dengan
teratur memasuki pintu masuk. Jogja, terima kasih untuk
kejutannya, rindu ini akan aku tanggung sendirian.
“Lara, sampai tiba-tiba bertemu lagi ya,” ucapku dalam hati.
31Bandung masih selalu cerah sejak kepulanganku.
Mungkin karena seirama dengan suasana hatiku. Meski
begitu, sudah beberapa hari aku bermalas-malasan dulu.
Menghabiskan rasa bahagia yang masih bersisa. Rasa yang
mengganggu mood untuk mulai kembali bekerja. Maksudku,
untuk membuka email. Karena aku bisa tahu ada pekerjaan
design dari notifikasi email yang ada di smartphone milikku.
Sengaja aku biarkan, sekali aja aku ingin bermalas-
malasan. Ya, sesekali setelah liburanku selesai. Badanku
lesu karena terlalu banyak tertidur dan menonton TV
kabel. Sesuatu tiba-tiba muncul dalam kepalaku. Aku ingin
berolahraga. Hal yang cukup aneh memang bagiku, tapi
entah dari mana datangnya keinginan itu. Apakah Lara
mengirim doa agar aku mulai mau hidup sehat?
Entah, tapi sepertinya aku ingin. Entah hanya ingin
atau memang ingatan tentang Lara yang dulu sering
mencerewetiku perihal kesehatan, membuatku ingin
memiliki pola hidup yang lebih baik. Aku teringat ada
tempat fitness dekat rumahku. Seketika aku bersiap dan
setelah menikmati sarapan seadanya di dapur, lalu pergi
untuk mendaftarkan diri sebagai anggota. Mulailah aku
berolahraga.
Ternyata, olahraga cukup membuatku, bahagia. Badanku
terasa segar dan lelah di saat yang sama. Sesampainya
di rumah aku berniat untuk membuka email yang sejak
beberapa hari kemarin aku abaikan. Namun sayang, lelah ini
32membawa kantuk yang sangat menggoda hingga tak terasa
aku terlelap.
Drrrtt...dddrrttt...
Kepalaku masih pusing. Sepertinya, aku baru terlelap
beberapa detik saja. Getar pesan di ponsel membangunkanku.
“Man, cek email bisa kali. Sekalian jangan lupa
gue tunggu di kantor buat brief desainnya.”
Salah satu temanku mengirimi pesan. Ah ya, aku lupa
akan membuka email yang sudah menungguku, berserta janji
untuk bertemu rekanku di kantornya. Pesan temanku itu
belum sempat aku balas.
Aku terbangun dan mulai membuka email. Setelah
membuka inbox email di layar laptop, aku tiba-tiba merasa
lapar. Entah karena olahraga yang ternyata menguras
tenaga, atau isi email yang ternyata cukup banyak. Badanku
mulai terasa pegal-pegal.
Aku seketika mengutuki diri sendiri kenapa bisa-bisanya
ingin berolahraga.
“Badan segar ternyata hanya ilusi!” Aku merutuk dalam
hati.
Tak lama aku segera mandi dan bersiap untuk pergi ke
kantor temanku.
“Udah enak males-malesannya, Kasep? Ganteng?”
Suara dari ruang tengah tiba-tiba menyapaku saat aku baru
33menuruni tangga.
“Lah, Mamah, kirain kerja.”
“lya, Mamah ngambil libur dulu lagi enggak enak badan,”
jawab ibuku santai. Meski begitu, ibuku masih saja sibuk
dengan laptop untuk mengerjakan pekerjaannya.
Aku menangguhkan kepergianku, berjalan ke arah dapur
dan membuatkannya teh panas. Bisa-bisanya aku tidak
mengetahui jika ibuku sedang sakit.
“Nih, santai dulu atuh Mah, kerja mulu. Udah makan?”
Aku bertanya seraya duduk di sebelahnya.
“Eh, nuhun bageur. Udah udah makan kok tadi. Istirahat
teh bikin makin lemes, Mamah mah enggak suka. Mending
sambil ngerjain sesuatu biar istirahatnya produktif,” jawab
ibuku sembari meneguk teh panas dariku.
“Eh, Saka, kamu teh udah umur segini, enggak kepikiran
apa pengen nikah?” Ibuku tiba-tiba saja berhenti melakukan
pekerjaannya dan bertanya. Seolah pertanyaannya adalah
pertanyaan, biasa. Seolah apa yang aku dengar, biasa saja.
“Emm... Mamah kepikiran pengen punya mantu?” Aku
berbalik bertanya karena belum mendapatkan jawaban yang
baik untuk didengar ibuku. Aku masih sibuk terkejut dengan
pertanyaannya.
“Lah, dari dulu atuh kepikiran pengen punya mantu
mah. Mamah teh suka penasaran, Mamah bakal punya mantu
kaya gimana. Ya, habis anak Mamah kerjaannya sering pergi-
pergian. Sering di rumah cuma buat istirahat atau ngerjain
34kerjaan.” Ibuku terdengar sedang mengerjaiku.
“Emm... Saka juga penasaran Mamah teh kepengen punya
mantu kayak gimana?” Aku masih saja menjawab dengan
pertanyaan.
“Mamah mah, yang penting kamu sayang dan enggak
bikin kepaksa. Enggak kepaksa karena Mamah nanyain kamu
kapan nikah. Enggak kepaksa karena kamu enggak tahu lagi
mau sama siapa. Enggak kepaksa kalau, amit-amit, kamu
udah ngebet banget pengen nikah. Pokoknya, jangan kalau
bikin kamu kepaksa.”
Ibuku meneguk lagi teh panasnya. Kali ini lalu
menyimpan laptop di pangkuan dan meletakkannya di meja.
Arah duduk ibuku kini menghadapku, seolah perbincangan
semakin seru. Aku semakin gemetar.
“Terus, Saka tahu kalau itu enggak kepaksa itu gimana?”
Lagi-lagi tanyaku pelan.
“Yang enggak kepaksa itu, yang bikin kamu sehat. Bikin
ibadah kamu sehat. Bikin diri kamu sehat. Bukan hanya
badan kamu sehat, tapi yang bikin pikiran kamu juga sehat.”
Ibuku menjelaskan.
Aku diam. Mataku menatap layar televisi yang
menampilkan seseorang berbaju seksi tengah membicarakan
kehidupan orang lain. Isi kepala ini bertengkar, ingin
mengeluh kenapa ibuku menonton acara seperti ini, atau
membahas apa yang sedang ibuku coba bicarakan.
“Mamah enggak kepikiran nikah lagi?” Tiba-tiba per-
35tanyaan itu melayang dari bibirku. Aku hanya berharap, per-
tanyaan itu akan mengalihkan pembicaraan tentang diriku.
Ingin sekali aku menariknya kembali, namun kata-kata
itu kini sudah hinggap di kepala ibuku. Giliran ibuku yang
kini diam. Cukup untuk membuatku mengerti bahwa ada
yang sedang dipikirkan olehnya.
“Mamah tuh takut, Saka...” Ibuku menarik napas, “Takut
kalau anak-anak Mamah ada yang enggak setuju. Kalian pasti
enggak rela kalau posisi almarhum Bapak ada yang gantikan
di hidup kalian.” Ibuku menyelesaikan kalimatnya.
Kalimat itu menghujam dadaku, mengobrak-abrik
perasaanku, membuat degup kebingungan berdetak. Aku tak
tahu pernyataan itu akan keluar dari bibir ibuku.
Ada hal yang sedang membuat sesak dan menyeruak
dalam dadaku. Ibuku harus takut terhadap anak-anaknya.
Harus mengekang keinginannya menemukan orang yang
baru untuk menemaninya. Dan, seolah aku dan adik-
adikku mengekang dirinya. Hal lainnya, kalimat ibuku jelas
menyampaikan kesepiannya.
Air mata merajuk ingin tumpah. Semua sel darah dalam
diri aku paksa untuk menahannya agar tak sedikit pun berani
untuk menggenang di kelopak mataku. Tak aku sangka,
ternyata aku memang masih tak rela jika ibuku harus bersama
seseorang yang tidak aku kenali. Aku tidak menginginkan
ada orang asing berada dalam rumahku. Kini aku hanya ingin
menjadi egois, dengan menyesali pertanyaanku yang tidak
36bisa aku terima jawabannya.
“Mamah emang pengen nikah lagi?” Aku beranikan
untuk bertanya. Lebih bersiap untuk mendengar apa
kata beliau daripada menjawab pertanyaan ibuku perihal
keinginanku untuk menikah.
“Mamah enggak ingin mengeluh kesepian karena kamu
dan adik-adik kamu sibuk sama kegiatannya masing-masing.
Adik kamu paling gede, Sinar, udah kerja. Permata, lagi
giat-giatnya kuliah dan cari beasiswa sana-sini. Si bungsu,
Putri, seneng sama ekskul debat di SMP-nya. Mamah seneng,
kalian tuh sibuk buat ngejar cita-cita kalian. Seneng enggak
ada dari kalian yang sering di rumah cuma males-malesan.
Meskipun Mamah enggak bisa perhatiin kalian semua, tapi
dengan tahu kalian sibuk untuk hal positif, Mamah lega.
Mamah rela kesepian.” Ibuku meneguk teh yang sepertinya
kian menghangat, bersiap melanjutkan perkataannya.
“Tapi, Mamah juga pengen ada temen ngobrol. Mamah
enggak pengen minta waktu kalian terus-terusan kalau lagi
pengen ngobrol. Mamah cuma pengen minta izin kalian
kalau Mamah ingin punya ayah baru untuk kalian. Mamah
berani ngomongin ini sama kamu, karena kamu anak paling
gede. Kamu yang gantiin Bapak untuk bertanggung jawab
sama Mamah. Untuk ngasih izin sama Mamah.” Ibuku
menyelesaikan kalimat yang selama ini sepertinya menunggu
untuk diutarakan.
Hal yang kukira akan tentangku, ternyata sebenarnya
37menyoal ibuku. Kini aku merasakan sebuah beban yang
selama ini dipendam oleh ibuku. Sebuah rindu yang lama
ibuku sembunyikan. Rindu akan seseorang yang dapat
mengayomi selayaknya saat Bapak masih hidup. Aku dan
adik-adikku bukan hanya sibuk untuk cita-cita kami. Kami
sibuk membiarkan ibuku menelan kesepiannya sendirian.
Ddrrttt...ddrrrttt....
Notifikasi pesan baru sampai di ponselku.
"Udah di mana lu? Jangan telat yak!
Bos gue lagi rewel.”
Temanku bertanya lagi. Aku hampir lupa bahwa aku
harus pergi. Tapi, aku tak mungkin meninggalkan obrolan
dengan ibuku menggantung.
“Sok, kalau kamu harus ngerjain kerjaan. Pergi aja dulu ya.
Mamah juga mau ngerjain kerjaan lagi. Eh, nanti pulangnya
Mamah minta tolong nitip beliin madu hitam ya. Punya
Mamah udah habis.” Ibuku mengerti bahwa aku harus pergi.
Sungguh tidak adil bagaimana ibuku yang harus selalu
mengerti akan kesibukan anak-anaknya.
“Nanti, kita ngobrol lagi ya, Mah. Nanti Saka coba ngobrol
juga sama yang lain. Saka pergi, dulu. Assalamualaikum.” Aku
pamit dan mencium punggung tangan ibuku. Meninggalkan
pernyataan yang setidaknya bisa menenangkan ibuku. Tidak
menggantung dengan perasaan yang mungkin membuatnya
38tak keruan karena telah mengatakan hal-hal yang membuatku
tidak nyaman.
“Walaikumsalam,” ibuku menjawab. Betapa ironis dan
egois, pekerjaan yang menunggu harus mengorbankan ibuku
sendiri. Seketika aku merasa menjadi anak yang durhaka.
Perasaan tak nyaman ini menaungi diriku. Namun, aku yakin
ibuku tidak marah dan tidak merasa ditinggalkan.
“Ya elah, gue kira lu lagi ngapain. Itu kursor
kedip-kedip mulu, capek kali dianggurin.”
Ucapan dan tepukan halus Rani sukses mem-
buatku terperanjat. Aku yang sedari tadi hanya menatap
kosong ke layar monitor sambil bertopang dagu, kemudian
menoleh sambil tersenyum menatap wanita berkacamata itu.
“Kenapa lu bengong aja? Biasanya jam segini kalau enggak
lagi nulis atau ngedit, lu blogwalking. Ini kenapa kayak orang
kesambet gitu?” Rani kembali mengajukan pertanyaannya
kepadaku usai meneguk air dari gelas yang tadi dibawanya.
Rani adalah editor di tempatku bekerja saat ini. Kiranya
aku bisa menyebut dia sebagai Kanaya kedua. Sifatnya mirip
sekali dengan Kanaya. Hanya saja Rani belum sedekat itu
denganku. Percakapan kami pun tidak pernah menyinggung
masalah pribadi. Hanya berkutat soal pekerjaan dan
39gosip-gosip yang memang sedang marak dibicarakan oleh
kebanyakan orang.
“Enggak tahu nih, enggak ada ide. Males juga ngerjain
yang lain. Kalau belum deadline kayaknya kurang berasa
dikejar.”
“Dikejar banget, Ra? Lagian tumben amat enggak ada ide
tulisan. Hidup lu lagi kurang sedih sama kurang patah hati
tuh kayaknya,” ucap Rani seraya terkekeh sambil kembali
mengamati kertas-kertas di hadapannya.
Aku tak menimpali ucapannya sama sekali, justru
sibuk memikirkan ucapan Rani tadi. Aku kembali diam dan
mengingat-ingat kapan terakhir kali menulis dengan lancar
bahkan bekerja dengan teramat sibuk sampai lupa waktu
untuk sejenak menjeda.
“Mungkin karena ini di Jogja,” pikirku.
Hawa santainya membuatku jauh lebih rileks dalam
melakukan kegiatan. Tak seperti sedang dikejar waktu,
pun tidak seperti sedang mengejar sesuatu. Atmosfernya
memang teramat berbeda ketika aku berada di Jakarta.
Hingga akhirnya aku tak sempat lagi merasakan kesedihan,
karena cukup sibuk menjadi bahagia dengan kehidupanku
sekarang.
Atau, mungkin juga benar seperti kata Rani tadi. Aku
kurang patah hati. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku
merasakannya, sampai akhirnya mataku menemukan sebuah
tulisan di arsip blogku. Seketika aku terpaku pada akhir
40kalimat dalam tulisan itu. Tulisan yang sudah cukup lama
aku unggah.
-
Kamu, awal tanpa akhir dan akhir yang tak
membutuhkan awalan:
=
Seketika itu juga pikiranku kembali saat aku dan Saka
akhirnya kembali bertemu, tidak dalam kondisi yang salah
apalagi bertengkar. Malah pertemuan itu terjadi dalam
kondisi yang teramat tepat untuk kemudian membuatku
dengannya bisa menyelesaikan apa yang masih mengganjal.
Seulas senyum tiba-tiba saja tersungging di bibirku hanya
dengan mengingat momen itu. Bahkan aku juga teringat
momen saat aku dan Saka lagi-lagi tidak sengaja bertemu di
coffee shop, sehari sesudah camping itu berlalu.
Mungkin memang benar apa yang tadi Rani katakan,
hidupku saat ini kurang mengalami kesedihan pun patah
hati tak sedang kurasakan. Hubunganku dengan Saka yang
sudah kandas, kukira akan menyisakan namanya dalam
barisan tulisanku hingga bertahun-tahun lamanya. Tapi
ternyata, sesudah percakapan di pantai itu, aku bisa selega ini
melepasnya. Tak merasakan sesak, justru perasaan bahagia
tengah menguasaiku dengan terang-terangan.
Saka, dia saat ini memanglah bukan siapa-siapa lagi di
hidupku. Bukan seseorang yang memiliki status khusus
bahkan istimewa untuk membuatku dan dia terikat. Tapi,
41tanpa status itu sekalipun, kehadirannya di hidupku ternyata
membuat segalanya lebih dari sekadar cukup. Hubungan
kami bahkan sudah lebih dari sekadar kata baik.
“Ra, beneran kesambet lu lama-lama! Tadi bengong,
sekarang mesem-mesem. Gih, kerjain itu naskah yang
barusan gue email. Dimarahin sama Rio baru tahu rasa lu!”
Rani kembali menyadarkanku.
“Serba salah mulu gue kayak Raisa hahaha,” aku
kemudian tertawa menanggapi ucapan Rani, seraya mulai
mengecek inbox.
Aku sendiri tak habis pikir dengan apa yang ada di hati
dan pikiranku saat ini. Sebuah perasaan yang baru kali ini
aku miliki ternyata mampu membuatku kehabisan kata-kata
untuk menggambarkannya. Mungkin memang benar kata
orang-orang, lebih mudah menuliskan kesedihan daripada
kebahagiaan.
“Saka, apa kabar?” tanyaku lirih di dalam hati.
a
“Loh Lara, kamu enggak makan siang?”
Aku yang sedang asyik membaca naskah dari Rani
mendadak dikagetkan oleh suara lelaki yang kini tengah
memandangiku dengan lekat. Rio, dia adalah pemimpin
redaksi di kantor. Saat pertama kali datang ke sini aku jarang
42bersinggungan dengannya, karena dia baru cuti. Tapi, lain
halnya untuk saat ini. Aku bahkan bisa melihatnya berada
di kantor setiap hari, pun ketika ada rapat redaksi di tiap
Minggu.
“Eh iya Pak, ini nanggung, hehe.” Aku menjawab
pertanyaannya sembari menggaruk leher yang tidak gatal
untuk menutupi kecanggungan yang tiba-tiba saja merebak
di sekitarku.
“Deadline?” tanyanya sembari menautkan kedua alis.
“Belum sih Pak, emang lagi asyik aja.”
“Kerjaannya kan bisa ditunda dan enggak ngaruh apa-
apa juga. Tapi, kalau makan siang ditunda bisa kena maag
kamu.”
Aku sedikit tersentil mendengar kalimat itu. Aku ingat
sering menasihati Saka seperti ini saat aku masih berpacaran
dengannya. Jika dulu aku terbiasa mengingatkan, sekarang
justru aku yang perlu diingatkan oleh hal-hal yang sudah aku
tahu betul konsekuensinya.
“Eh, iya sih. Bentar lagi deh Pak, 5 menit lagi.”
“Berapa kali dibilangin sih kalau enggak usah manggil
Pak? Panggil nama aja kayak yang lain. Atau, kalau alesanmu
biar sopan, ya udah panggil Mas aja.”
Umurku dengan Rio memang tak jauh berbeda, hanya
terpaut 2 tahun lebih dewasa dia daripada aku. Sejak pertama
bertemu dengannya, Rio memang menyuruhku untuk
memanggilnya dengan nama saja. Atau, bisa juga dengan
43embel-embel mas, seperti karyawan lain memanggilnya.
Tapi, entah kenapa ketika berpapasan dengannya aku selalu
lekat dengan sapaan pak.
Mungkin karena pembawaan Rio yang sangat dewasa dan
penampilannya yang karismatik, sehingga membuatku segan
kepadanya. Padahal cara berpakaiannya tidak menyiratkan
kedewasaan umurnya sama sekali. Bahkan cenderung jauh
dari umurnya. Mirip dengan Saka, hanya saja ini dalam versi
yang lebih rapi. Sepatu new balance cokelat tua dan sweter
abu-abu yang sering dikenakannya membuat Rio seperti
Jelaki yang baru saja lulus bangku perkuliahan.
“Ya, udah buruan beresin kerjaannya, kita makan siang
bareng abis itu.”
Ucapannya tidak terdengar seperti pertanyaan, justru
seperti sebuah perintah. Sejak kapan pula dia menawariku
untuk makan siang bersama, dan aku menyetujui ajakannya.
Seusai mengatakan hal itu Rio justru segera melangkah
ke luar, membuat aku hanya terdiam sambil menatap
punggungnya dengan keheranan.
Belum usai menelaah apa yang tadi Rio ucapkan,
suaranya kembali terdengar. Namun, kali ini setengah
berteriak, “Buruan Ra, aku tunggu di mobil ya!”
Aku segera menyimpan naskah yang tadi kubaca
kemudian mematikan komputer. Buru-buru mengambil
gawaiku setelah sebelumnya memasukkan dua lembar uang
pecahan lima puluh ribu pada case belakangnya.
44Jika hanya ke luar untuk makan siang seperti ini, aku
memang tak suka membawa banyak barang apalagi tas.
Karena, bagiku waktu makan siang bukanlah saat yang
tepat untuk disibukkan dengan kegiatan lain yang justru
membuatku tidak bisa menikmati hidangan yang tersaji.
“Loh Ra, kamu enggak bawa tas?” Rio memandangku
yang baru saja masuk ke dalam mobilnya dengan tatapan
penuh keheranan.
“Enggak,” aku menoleh sembari menggeleng, lalu
memasang seatbelt, “cuma mau makan siang, kan?”
“Tya sih, tapi biasanya cewek tuh mau ke mana aja selalu
bawa tas,” ucapnya sambil mulai melajukan mobil.
“Ya, itu kan cewek biasanya, Pak. Eh, Mas. Nah, aku
kan cewek yang enggak seperti biasanya.” Aku kemudian
tersenyum memamerkan sederet gigiku kepada Rio. Rasanya
baru kali ini aku berbicara sepercaya diri itu kepada seseorang
yang masih dibilang cukup baru di hidupku.
Rio tertawa mendengar gurauanku, “Haha, ya, ya, ya.
Aku tahu itu sejak pertama kali liat kamu.”
“Ha? Gimana, gimana?” Aku tersedak mendengar
jawabannya.
“Enggak, itu tadi ada kucing lewat. Eh, ini mau makan di
mana?”
Aku menyatukan alis sembari menatapnya heran.
Gurauan lelaki itu justru tak lucu sama sekali. Aku tahu
ucapannya hanyalah untuk mengalihkan topik saja.
45Sebetulnya ingin mencari tahu maksud dari perkataan Rio,
tapi sudahlah aku terlalu malas untuk sekadar bertanya.
“Dih lucu dia mah, segala bawa-bawa kucing. Makan di
mana aja, terserah.”
“Kalau aku kasih kamu pilihan buat turun sekarang di
tengah jalan atau turun di tempat sepi enggak ada angkutan
umum, jawabanmu juga terserah?”
“Eh, ya itu mah kalau Masnya tega.”
Rio melirikku sekilas kemudian menggelengkan kepala.
“Ra, Ra, hidup itu selalu ngasih pilihan ke kita. Terserah itu
bukan jawaban. Terserah itu milik mereka yang enggak tahu
mau dibawa ke mana hidupnya.”
Aku tersenyum melihat Rio. Menarik juga pikirku.
“Salah, Mas. Terserah itu lebih luas tahu artinya. Gini,
ketika kita ngasih jawaban terserah berarti ada hal yang
melatarbelakangi itu. Pertama, karena emang seikhlas itu
nerima mau diajak ke mana aja dan emang udah sepercaya
itu dengan pilihan si pemberi pertanyaan. Kedua, karena
emang sedang enggak ada rencana mau milih apa. Ketiga,
karena enggak mau sampe melukai keinginan dari si pemberi
pertanyaan untuk mendapatkan sesuatu yang dia mau.”
“Gimana, gimana, Ra? Coba jelasin, coba.” Rio bertanya,
tampak tertarik dengan jawabanku.
“lya, gini. Tadi kan yang ngajak makan tuh Mas Rio. Ya,
manalah aku tahu kalau sebenernya Mas Rio tuh mau makan
miayam misalnya. Terus, ketika aku jawab mau sop ayam kan
46jadi enggak cocok. Mematahkan keinginan Mas sebelumnya.
Padahal siapa tahu tadi Mas udah ngebayangin enaknya mi
ayam pake ceker dengan kecap dan sambel yang pedes. lya,
enggak?”
Rio terlihat sejenak berpikir sebelum kemudian
mengangguk dan bersuara. “Oh, I see. Menarik dan cukup
masuk akal sih. Tapi, tetep aja sih, Ra. Kalau kita udah dikasih
pertanyaan gitu dan bebas nentuin pilihan, berarti si penanya
emang udah seikhlas itu untuk ngasih pilihan dan keputusan
ke yang dia tanya. Kedewasaan seseorang bisa juga diukur
dari dia yang bisa menentukan pilihan loh.”
Kini giliran aku yang memikirkan perkataan Rio. “Iya sih,
tapi itu juga enggak bisa dijadikan tolok ukur kedewasaan,
Mas. Itu malah...”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Rio sudah
memotongnya, “Ya, udah ya, bahasannya udah dulu. Tuh, di
depan ada tongseng, makan itu aja mau?” Rio mengarahkan
jari telunjuk pada sebuah warung makan di pinggir jalan.
“Mm...
“Jawab iya atau enggak, jangan terserah lagi.”
“Tya mau,” ucapku sambil memberikan senyuman tipis
kepadanya.
“Good girl!” Rio tersenyum seraya mulai menepikan
a”
mobil.
4748
Memiliki
Kita pada akhirnya kembali semesta pertemukan,
dengan rencananya yang selalu mencengangkan.
Kita pada akhirnya mampu menerima segala hal,
dengan lebih terbuka tanpa menyimpan sedikit pun sesal
serta amarah.
Kita pada akhirnya bisa tersenyum dan saling mendamaikan,
usai seluruh perdebatan yang dulu begitu kita kutuk sebagai
kesalahan.
Kita pada akhirnya sampai pada sebuah pemahaman,
yang terbentuk dari sebuah perenungan ketika jarak
berkuasa.
Kita telah sampai pada titik itu.
Kita sampai meski dengan tertatih bahkan sesekali merintih.
Untuk kamu yang kembali hadir membawa serta seluruh
kenyamanan dan menyingkirkan ketakutan, terima kasih
telah memberi banyak pelajaran.
Untuk kamu yang kembali datang membawa ribuan
pemahaman dengan penerimaan yang tidak pernah aku
sangka sebelumnya, terima kasih karena sudah berani untuk
menyelesaikan.Dan terima kasih, untuk kamu yang akhirnya membiarkanku
kembali memilikimu, sebagai apa pun kamu di hidupku.
-L-
Aku baru saja mem-posting sebuah tulisan baru di Blog
ketika teleponku berdering. Mama calling.
“Assalamualaikum. lya Ma, ada apa?”
“Waalaikumsalam. Yeee, kamu mah, Mamanya baru nelepon
udah ditanya ada apa.”
“Hehe, Lara lagi engga konsen tadi, Ma. Jadinya langsung
to the point deh.”
“Kamu tuh ya, enggak kangen emang sama Mama?”
Sebuah pertanyaan terdengar dari seberang telepon
dan aku hanya tersipu mendengarnya. Entah, rasanya
selalu seperti ini ketika beliau menanyakan kerinduanku
kepadanya.
“Bilang aja Mama yang kangen, haha. Mau dibawain apa?
Minggu ini Lara balik kok, Ma.”
Aku tersenyum di ujung telepon sambil menutup laptop.
“Bakpia telo ungu ya, tiga. Kejunya dua,” pinta ibuku.
“th, banyak banget! Emang Mama sanggup ngabisinnya?”
tanyaku lagi.
49“Ya, kan buat disimpen-simpen. Nanti kalau Mama mau lagi,
tinggal makan aja. Enggak usah nungguin kamu balik. Kalau
nungguin kamu balik tuh bisa keburu udahan kepinginnya.”
Sebuah sindiran halus kini terdengar dan membuatku
keki. Tapi, aku tak kehabisan akal, justru sekarang balik
menggoda dengan sebuah permintaan yang terselubung.
“Makanya, kalau Mama mau bisa makan itu kapan aja,
ikut pindah ke Jogja, yuk! Temenin Lara di sini, biar kita
engga LDR-an lagi. Hehehe.”
“LDR-an banget, Nak? Dulu sama yang kemarin aja betah buat
LDR, nyamperin mulu lagi. Ini LDR-an sama Mamanya, malah
jarang nyamperin.”
Aku dibuat mematung oleh ucapan ibuku barusan. Tiba-
tiba saja kembali teringat kebiasaanku untuk berkunjung
ke Bandung bila akhir pekan datang. Sudah lama rasanya
tidak bertemu Saka. Terakhir kali, itu pun pertemuan tidak
sengaja di coffee shop di Jogja. Setelah itu perjanjianku
dengannya sebelumnya tetap berlaku. Kami tidak akan
saling menghubungi jika aku tidak lebih dulu berkunjung
ke kotanya, atau kami kembali dipertemukan secara tidak
sengaja.
Aku tersenyum mengingat-ingat hal itu hingga suara
ibuku di ujung telepon kembali terdengar.
50“udahan ngelamunnya? Ini Mamamu masih nelepon loh.”
“Hahaha, enggak ada yang ngelamun, Ma. Ya, udah nanti
Lara beliin pesenan Mama. Ada yang mau dititip lagi?”
“Titip bawain calon mantu ya, Nak. Assalamualaikum.”
Belum sempat aku protes mengenai omongan ibuku,
beliau sudah mematikan sambungan telepon. Meninggalkan
aku yang hanya bisa tersenyum menggeleng sambil berucap
lirih.
“Waalaikumsalam.”
Sebetulnya topik itu menjadi salah satu hal yang
membuat aku malas bolak-balik ke Jakarta dan berlama-lama
ada di rumah. Meski aku senang dengan sifat jahil ibuku dan
sering merasakan rindu akan sifatnya itu, tapi tetap saja, aku
merasa malas jika beliau sudah mulai merambah ke ranah
jodoh dan semacamnya.
Ya, aku memang hidup di tengah keluarga yang bisa
dibilang cukup kuno. Bila seorang wanita belum menikah
di umur twenty something, maka akan banyak pertanyaan
‘kapan’ yang akan hadir.
Tak hanya berhenti sampai di situ, pertanyaan kapan
adalah momok terbesar di setiap acara keluarga yang
kuhadiri. Bila belum juga membawa pasangan maka
pertanyaan yang mampir adalah, kapan menikah? Bila sudah
menikah dan belum jua dikarunia anak, pertanyaannya
51akan berganti dengan, kapan punya momongan? Bila sudah
menikah dan punya anak, pertanyaannya akan semakin
bervariatif dengan, kapan nih dikasih adik? Kasihan masa
sendirian aja anaknya?
Menarik sebetulnya. Banyak sekali yang lebih peduli
dengan kekurangan hidup orang lain dibandingkan dengan
kekurangan hidupnya. Sibuk menambal sulam kekurangan
dirinya dan memamerkan kesempurnaan semata di depan
khalayak umum.
Masih dirasa belum cukup, mereka juga menerapkan
standar definisi bahagianya kepada orang lain. Dengan kata
lain, bila seseorang yang dia kenal itu belum seperti apa
yang ada di bayangan mereka, maka orang itu memang tidak
bahagia.
Aku memijat kedua pelipis dengan ujung jari telunjuk
dan ibu jari. Menyandarkan kepalaku di kursi sambil
memejamkan mata. Berusaha menghentikan isi kepalaku
yang terasa semakin melelahkan jika terus-menerus kuberi-
kan pemikiran seperti tadi. Mendadak aku dihadiahi semesta
sebuah perasaan rindu. Rindu untuk berkisah dan berbagi,
setidaknya kepada sahabatku, Kanaya.
a
52Aku mulai kembali pada rutinitas pekerjaan
freelance-ku. Karena hampir setiap hari pulang
malam, belum sempat lagi aku dan ibuku melanjut-
kan perbincangan kami. Belum sempat juga aku mengajak
ngobrol adik-adikku perihal apa yang disampaikan ibuku.
Meski kadang aku mengerjakan pekerjaan di rumah,
ibu dan adik-adikku pasti sudah berangkat untuk bekerja
dan sekolah saat aku terbangun. Lalu, tak lama bosan akan
datang dan membuatku ingin mendatangi beberapa coffee
shop untuk mencari inspirasi dan melanjutkan pekerjaanku.
Tidak hanya bergelut dengan rutinitas, aku mulai
membeli beberapa buku untuk aku baca. Aku juga semakin
aktif untuk menulis di Blog pribadiku. Hal lain yang
membuatku tetap merasa hidup dan tidak kesepian. Hal lain
juga yang menggantikan hobiku berkutat dengan kamera,
karena sudah jarang mengikuti kegiatan komunitas fotografi.
Di suatu weekend, aku memutuskan berkumpul dengan
beberapa rekan komunitas menulis di salah satu coffee shop
di Bandung. Ajakan dari salah satu teman.
“Mas Saka kemarin abis dari Jogja katanya ya? Ketemu
sama anak-anak nulis di sana?” tanya Nina, salah seorang
anggota di komunitas menulis.
“Tya. Hehe. Sebenernya enggak sengaja ketemu. Ternyata
temenku ada yang ikutan komunitas nulis juga. Hehe.” Aku
menjawab sambil asyik menatap layar laptop karena sedang
memikirkan tulisan yang akan aku buat.
53“Ketemu Mbak Lara lagi dong ya? Gimana rasanya,
Mas? CLBK enggak? Hahaha,” goda Asri, salah satu anggota
lainnya.
“Hah? Hehe.” Aku kikuk dan terperangah setengah mati.
Bagaimana mereka bisa tahu perihal aku dan Lara? Seketika
diriku merasa tak nyaman ada di sekitar mereka.
“Hehe, aja nih. Ciyeee...” goda yang lain.
Aku hanya bisa tertawa menutupi ketidaknyamananku.
Aku tidak pernah suka urusanku dicampuri. Entah sejak
kapan, entah bagaimana. Aku hanya tidak suka. Aku yang
terbiasa tertutup, membuat hal seperti ini menjadi seperti
serangan. Padahal sepatutnya aku bisa biasa saja. Namanya
juga komunitas, kabar bisa beredar di antara para anggota.
Tapi, aku tidak pernah suka hal itu. Tidak pernah.
Ingin sekali aku bercerita kepada Lara. Keadaanku
dengannya sudah baik dalam hal apa pun. Ya, kami baik.
Perasaanku kepada Lara masih ada, tapi tidak lagi ada ambisi
untuk memenangkannya kembali. Entah karena memang
benar aku sudah rela, atau aku yang memaksa diri ini untuk
rela.
Tapi, aku lebih suka seperti ini. Memiliki perasaan
kepadanya yang tidak membuatku kelimpungan, tidak
membuatku khawatir akan apa pun. Aku bebas. Kami merasa
bebas. Tapi, di saat yang sama seolah aku memiliki dirinya,
sebagai apa pun dia untukku.
“Eh, katanya Mbak Ratih lagi siapin buku yang kedua
54ya?” Anto, seorang perbankan yang juga anggota komunitas
bertanya.
“Hehe. lya nih, doakan ya.” Ratih mengangguk sungkan.
Ratih adalah salah satu anggota yang diseniorkan. Jam
terbang menulisnya sudah tinggi. Dia sudah menulis sejak
2010. Butuh waktu enam tahun hingga bisa dilirik oleh salah
satu penerbit yang tak sengaja blogwalking di laman miliknya.
Ia kemudian ditawari membuat buku, dan ternyata memiliki
pembaca yang cukup banyak.
“Gilak, gilak, belum juga ada lima bulan udah bikin buku
lagi aja, Mbak. Kapan ya aku juga bisa bikin buku? Hehe,”
ucap Rudi, anggota komunitas juga.
“Eh, kalian juga bisa tahu. Cuma ya yang konsisten aja
kalau nulis. Aku aja enggak pernah kepikiran pengen bikin
buku. Aku nulis karena suka. Cuma pengen curahin isi kepala
sama hati aja. Tapi, rezeki siapa yang tahu. Setelah bertahun
nulis ada yang nawarin buat dibikin buku. Eh, sekarang
malah ketagihan. Hahaha. ” Ratih tertawa.
Fyi, Ratih adalah seorang guru honorer di salah satu SD
di Bandung. Di antara padatnya jadwal untuk mengurusi
pelajaran dan nilai-nilai anak didiknya, ia masih bisa
menyisakan waktu untuk menulis.
“Enam tahun ya, Mbak? Aku masih harus nunggu lima
tahun lagi dong biar bisa nerbitin buku. Haha,” canda Rudi.
“Waktu akan rezeki orang kan beda-beda. Siapa tahu
kalau kamu konsisten bisa lebih cepet. Yang penting, kamu
55coba pelajarin pembaca. Kamu mungkin awalnya nulis cuma
nyampah, cuma curhat. Tapi di stase berikutnya, saat sadar
ternyata tulisan kamu banyak yang baca, kamu akan mulai
memperhatikan pembaca. Kamu mulai peduli apa yang
ingin pembaca dapatkan dari tulisan kamu.” Ratih coba
menjelaskan.
“Kalau gitu, kita harus ngikutin mau pembaca dong?”
Nina bertanya.
“Kalau itu menurut aku tergantung pemahaman masing-
masing. Tergantung tujuan menulis masing-masing orang.
Gimana pun itu, kalau kamu nyaman ya kerjain. Tapi yang
harus diperhatikan, gimana pun pembaca adalah salah
satu jalan rezeki kita juga. Mereka yang setia baca tulisan
kita, yang ngebantu kita untuk bisa terus berkarya.” Ratih
menjawab.
“Tumben-tumbenan obrolan kita ada faedah nih,”
celetuk Anto, dan membuat kami tertawa mendengarnya.
“Bikin apa nih sekarang, Mbak? Masih prosa?” tanya
Asri.
“lya, masih buku prosa atau senandika aja.” Ratih
menjawab.
“Apa itu senandika, Mbak,” tanya seseorang di sudut
meja.
“Bentar, gue buka KBBI. Eng... senandika itu wacana
seorang tokoh dalam karya sastra dengan dirinya sendiri di
dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan,
56firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut,”
papar Asri dengan baik hatinya menjelaskan.
“Eh, enggak coba bikin novel non fiksi, Mbak?” Anto ikut
bertanya.
“Hmm, nah ini aku tuh pengen bahas. Kalau kalian
sendiri tuh lebih seneng baca prosa-prosa gitu atau baca
novel sih?” Ratih balik bertanya.
Pertanyaan Ratih itu bisa jadi terpicu dengan sebuah
keanehan yang terjadi dalam komunitasnya. Semua teman
dari Blog menerbitkan buku yang serupa. Kalau enggak prosa
ya novel. Aku yang belum tahu banyak tentang tulis-menulis
hanya bisa menikmati obrolan mereka. Sebuah pengalihan
yang baik daripada membahas hubungan seseorang.
“Emmm, aku sih lebih seneng prosa. Enggak panjang-
panjang, dan langsung ke inti. Jadi, lebih kaya makna tapi
tanpa harus baca keseluruhan cerita. Sama kayak quote-quote
gitu,” Nina berpendapat.
“Aku lebih suka novel. Kalau baca novel itu bisa ngebawa
kita sama ceritanya. Jadi, kayak kita cuma perlu duduk, tapi
diajak jalan-jalan.” Asri berpendapat. “Tapi, aku juga suka
prosa kalau bagus mah. Hehe,” Asri menambahkan.
Aku menikmati obrolan ini. Tak pernah terpikirkan juga
jika tulisanku akhirnya dibuat buku. Mimpi yang tak pernah
berani aku semogakan. Bukan perihal kepandaian dalam
menulis, ini tentang diriku yang memang tak pernah berani
bermimpi.
57Aku baru menyadari bahwa aku hidup tanpa mimpi. Aku
hanya menjalani hari sesuai inginku saja. Sesuai caraku. Saat
ada hal yang harus aku kejar, seolah itu hanya membuatku
lemah karena seringkali aku hanya merasa tak akan mampu
menggapainya.
Selesai ngumpul dengan teman-teman komunitas
menulis, aku beranjak pulang, Pembahasan tentang menulis
terus terngiang di kepalaku selama aku mengemudikan
motor matic milikku.
Betapa kesuksesan seseorang bisa terdengar begitu
menggoda, seolah kita bisa melakukan hal yang sama. Saat
seperti ini, nurani dan nalar seolah akur. Cerita tadi seperti
sihir yang dapat membuat keduanya tunduk.
Aku tersadar tengah berada di satu kemacetan dalam
perjalanan pulang. Suara musik terdengar dari sebuah
bangunan yang di lahan parkirnya terlihat penuh oleh
kendaraan. Aktivitas yang akhirnya mengakibatkan sedikit
kemacetan.
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Terdengar sayup sebuah nyanyian dari bangunan itu,
menyanyikan sebuah puisi yang sepertinya aku kenali.
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kamu akan tetap kusiasati
58Sapardi! Ya, itu puisi Sapardi! Seketika aku mem-
berhentikan motor di pelataran parkir. Terlihat orang begitu
penuh di dalamnya tengah menikmati alunan musikalisasi
puisi yang tengah dimainkan. RUANG PUTIH, tertulis di
tembok bagian depan, dekat tangga kecil yang dijadikan
tempat masuk. Sepertinya nama dari tempat ini.
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kamu takkan letih-letihnya kucari
Alunan musik ditutup oleh tepuk tangan yang meriah.
Tak terasa aku pun dibuat merinding mendengarkan
alunannya. Mendengarkan tepuk tangan yang berteriak atas
jiwa-jiwa yang dibuat puas.
Terlalu lama diam di rumah dan mengungkung diri
dari kehidupan sosial membuatku kehilangan pengetahuan
untuk hal-hal seperti ini. Musikalisasi puisi yang dibawakan
Ari Reda itu sanggup menghidupkan sesuatu yang sepertinya
telah lama mati dalam diriku. Mimpi.
Setelah Ari Reda, giliran pengisi acara lain yang
menampilkan musiknya. Aku berkeliling sebentar dan
memutuskan untuk memesan kopi sambil mengamati
sekitar. Tempat ini seperti sebuah portal khusus yang mem-
bawa penikmat musik mana pun bisa berada pada satu titik
59nyaman. Titik yang tidak bisa didapat dalam keadaan biasa.
Cukup menarik bagiku. Sebuah area terbuka di bagian
tengah yang dikelilingi oleh satu bar coffee shop, satu buah
galeri, satu barber shop, dan dua kedai makanan. Bahkan
setelah aku mengecek sosial media Ruang Putih, aku
mendapati sebuah hal menarik. Ternyata di tempat ini
memang sering diadakan acara musik. Hampir setiap bulan
bahkan. Jazz, folk, blues, dan musik lainnya. Aku yang berniat
untuk pulang cepat mau tak mau mengurungkan niatku. Ada
hal yang lebih menggoda untuk aku nikmati di sini.
“Cappuccino panas satu?” Baru saja aku akan memesan
kopi, barista di depanku mendahului. Aku hanya mengangguk
sambil tersenyum.
“Cappuccino panas terus pesennya, Mas? Mau coba yang
seger-seger enggak? Ini ada kopi campur susu juga kok,”
tawar sang barista.
“Oh ya, apa tuh yang nyegerin?” aku bertanya penasaran.
“Es Kopi Susu Kioton,” ucapnya sambil tersenyum.
Setelah itu sang barista segera membuatkan pesananku
setelah aku mengiyakan tawarannya. Sejak acara musik di
Ruang putih waktu itu, hampir setiap hari saat aku sedang
bosan mengerjakan pekerjaan desain di rumah, aku selalu
60datang kemari.
Tempat ini ternyata sangat cocok untukku. Tempat yang
terbuka membuat angin siang bisa dengan bebas menghibur
pengunjung yang ada di sini. Dengan sentuhan tumbuhan-
tumbuhan morning vibes; tumbuhan berdaun lebar, seperti
monstera, kuping gajah, talas; kaktus-kaktus lucu; dan
tumbuhan lainnya membuat Ruang Putih terasa sangat hijau
dan sejuk. Tambahan lain, satu buah kedai kopi bernama
Kyotown Coffee selalu bisa memenuhi kebutuhan kafeinku
dengan kopinya yang nikmat.
“Es kopi susu Kiotonnya Mas, silakan.”
Aku menggumamkan ucapan terima kasih. Sofa yang aku
duduki membuatku sedikit malas. Terlalu nyaman hingga
aku hanya ingin melamun lalu menuliskannya.
Aku sering begitu lelah.
Mendengar suara yang terdengar merusak.
Semua percakapan terasa egois, dan ingin benar sendiri.
Di antara sering itu, aku lebih banyak mendengar.
Sepi.
Menurutku, sepi adalah sebuah percakapan paling jujur.
Aku dapat mendengar lebih banyak kebenaran, ketimbang di
keramaian.
61Bahkan, saat di antara ramai aku seperti kehilangan diriku.
Dalam sepi aku dapat menemukan sebenar-benarnya diriku.
Dalam sepi, aku bercakap dengan Tuhan, saat ramai tak
memberiku ruang bagiku untuk hal itu.
Dalam sepi, Tuhan memintaku untuk mendengar, apa yang
tak tersampaikan.
Mengerti, apa yang tak terdengar.
Hingga akhirnya, giliranku yang ingin berbicara.
Aku ingin menangkap sebuah gambar.
Cerita yang sepi, namun dapat memberi banyak makna dan
mengundang banyak paradigma.
Untuk menyampaikan pesan tanpa paksaan.
Untuk bercerita tanpa harus meminta orang untuk
mendengar.
Dari sebuah gambar yang ditangkap oleh mata lensa.
Semoga mereka, dapat menangkap banyak makna dengan
mata hati.
Dari sebuah gambar, kuberi mereka sebuah ruang sepi.
Agar lebih banyak mendengar, yang hati mereka ceritakan
pada dirinya.
‘Klik. Aku memposting tulisan di laman pribadiku, lalu
mengeluarkan kamera mirrorless milikku untuk mengambil
62beberapa gambar dari tempat ini. Aku menemukan beberapa
foto diriku sendiri di kamera. Tiba-tiba pikiranku teringat
pada kali terakhir aku menghabiskan waktu dengan Lara di
salah satu coffee shop di Jogja.
Aku tersenyum rindu. Apa yang sedang dilakukan Lara
sekarang? Ah, ingin sekali aku menghubunginya. Tapi, kami
telah berjanji untuk tidak bertukar kabar hingga bertemu
lagi secara tak sengaja, atau setidaknya jika Lara datang ke
kota ini.
Aku kembali membuka Blog lalu menjelajahi tulisan-
tulisan orang lain. Membaca tulisan semua orang seolah
tengah mendengar keluh kesah mereka. Mendengar rahasia-
rahasia yang tak sempat didengar oleh siapa pun, atau
bahkan tak punya tempat di telinga orang-orang.
Seandainya semua tulisan yang ada di media sosial seperti
ini. Tidak hanya berisi hak-hak yang tengah diperjuangkan
namun di saat yang sama menyakiti hak orang lain. Tidak
melulu berisi cacian yang hanya tentang kebencian. Seolah
berramai-ramai mengajak pembaca untuk ikut membenci.
Namun aku sadar, mungkin mereka juga telah lama
diam. Telah lama menyuarakan keresahan mereka, tapi tak
ada satu pun yang mendengar dan mengerti. Seolah aku pun
tak ada bedanya dengan mereka. Tengah memperjuangkan
sesuatu.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk di Blog milikku. Tertulis
nama akun, Eleftheriana.
63“Aku suka semua tulisanmu. Rasanya, semua kata
seperti sedang menari di kepalaku :)"
Aku tersenyum dan sedikit penasaran. Aku mengunjungi
laman Blog miliknya. Ketika kembali membuka tulisan-
tulisanku, setelah aku perhatikan ternyata dia selalu
meninggalkan sebuah pesan pada kolom komentar. Ia
membuat pesan berupa prosa yang seolah-olah tengah
membalas tulisanku.
Perasaan lucu hadir dalam diriku. Aku tak pernah
memerhatikan kolom komentar. Aku pikir, tulisanku
tidak ada yang membaca, pun kalau ada ya sudah. Tapi,
saat ada sebuah apresiasi yang disampaikan, sampai saat
aku mengetahuinya, ada rasa senang yang tak terduga
mendatangiku.
“Terima kasih. Mungkin suatu saat kita bisa menari
bersama :)”
Balasan aku kirimkan. Beberapa detik kemudian aku
ingin sekali menjitak kepalaku sendiri. Untuk apa aku
membalas segombal itu. Sial! Namun, pesan sudah terlanjur
terkirim. Aku hanya bisa menertawakan dan memarahi
diriku sendiri dalam waktu yang bersamaan.
Aku mulai melihat satu demi satu tulisan yang dia
tinggalkan di kolom komentar dari setiap tulisanku.
64Membawaku pada sebuah imajinasi tentang dirinya. Meski
avatar miliknya hanya sebuah gambar siluet seorang
gadis, tetapi pikiranku membentuk sendiri setiap lekukan
wajahnya. Bagaimana mata dan bibir, hidung dan telinganya.
Seperti ada kesenangan sendiri dalam salah satu aspek
harapan ketika terjadi kontak dengan seseorang yang tidak
kita ketahui.
Di Sepertiga Malam
Pernah ada seseorang berkata,
teruslah menulis sebab karenamu aku tahu bagaimana
mengungkap rasa.
Pernah ada seseorang berkata,
teruslah berani mengutarakan rasa melalui tulisanmu,
sebab karenanya aku menjadi mampu memikirkan apa yang
sebelumnya tak pernah kurenungkan.
Aku tersenyum sekaligus tertawa dalam hati.
Selama ini, tidak pernah ada yang menganggap apa yang
kuukir berarti.
Selama ini, tidak pernah ada yang berkata aku berhak atas
suara yang kuingin perdengarkan.
Lucunya, kata-kata itu hanya mampir di beranda dunia
mayaku saja.
65Aku tak mengenalnya dengan terlalu.
Aku bahkan sama sekali tidak dekat dengannya.
Namun, sedikit kata-katanya membuatku merasa pantas
untuk kemudian berjuang.
Setidaknya, perjuangan untuk merasa hidup.
Perjuangan untuk merasa bahagia.
Perjuangan yang aku tahu adalah jawaban dari doa-doa yang
kerap kupanjatkan di sepertiga malam.
Perjuangan dari mereka yang juga pernah mendoakanku dan
membiarkan aku tetap menumbuhkan mimpi.
Ada rasa yang lucu menggerayangi diriku, hingga ke pipi
yang sepertinya kini tengah mengembang.
“Gimana Mas, es kopi susunya?” Seorang barista tiba-tiba
mendatangiku.
“Enak, kok.” Aku refleks menjawab, diikuti tanganku
yang mengambil gelas es kopi susu dan meneguknya untuk
semakin memastikan. Aku baru menyadari bahwa minuman
di tanganku ini benar-benar enak.
“Masnya tahu Kyotown Coffee dari mana nih kalau boleh
tahu? Belakangan seneng banget ke sini kayaknya ya. Hehe.”
Barista itu sudah duduk di sofa depanku.
“Kebetulan waktu itu ada acara musik gitu kan di sini,
terus saya lagi kejebak macet di depan. Penasaran ada rame-
rame kayaknya dari sini, terus mampir deh. Eh, ketagihan
66nongkrong di sini, haha.” Aku menjelaskan.
Kami alu kami berbincang lebih jauh tentang kegiatanku,
tentang Kyotown Coffee, tentang Ruang Putih yang sering
mengadakan acara musik, hingga tentang kopi.
“Es kopi susu emang lagi tren banget ya sekarang, Mas?”
aku bertanya.
Meski aku tidak terlalu tahu bagaimana perkembangan
dunia kopi dan meski hanya sebentar belajar menjadi
seorang barista, tetapi aku cukup aware bahwa es kopi susu
menjadi sebuah fenomena menarik. Fenomena yang sedang
terjadi hampir di setiap kedai kopi.
“Yah, kayaknya gitu, Mas. Emang lucu sama pasar tuh,
bisa-bisanya sesuatu yang baru mengubah budaya.” Timpal
sang barista.
“Lucunya gimana emang, Mas?” Aku penasaran.
“Kayak, katakanlah setiap kedai kopi berusaha menjaga
kualitas kopi yang baik demi rasa yang enak di lidah pasar.
Rasa kopi juga jadi hal yang idealis bagi setiap orang yang
berkecimpung di dunia kopi. Tapi, mereka akhirnya harus
mengakui bahwa kopi enggak melulu tentang rasa. Mereka
harus berhenti untuk merasa seperti Tuhan yang selalu tahu
tentang kopi yang enak dan baik bagi pasar. Karena akhirnya,
pasar yang menentukan. Ada hal lain yang akhirnya membuat
pasar beralih. Es kopi susu misalnya, jadi fenomena yang
luar biasa di dunia kopi, karena sekarang menu yang satu itu
udah kaya lifestyle.” Barista di depanku terlihat bersemangat
67menjelaskan.
“Menurut Mas sendiri, dengan mengikuti tren yang
lagi happening kayak sekarang ini, merasa mati di tangan
idealisme sendiri enggak sih?” Aku bertanya. Agak riskan
memang jika harus membahas idealisme.
“Untuk beberapa orang, saya rasa sih iya, Mas. Cuma
gimana, kita hidup dari pasar. Kita hanya pelayan yang mau
enggak mau harus manut sama tren yang lagi berlangsung.
Meski untuk beberapa kedai kopi atau coffee shop besar,
es kopi susu atau kopi bukan pemasukan terbesar, tetapi
dilihat dari demand yang tinggi terhadap es kopi susu, kedai-
kedai kopi kayak kita harus mau ikut hanyut.” Barista itu
menjelaskan.
Kami beranjak dari perbincangan mengenai kopi yang
sedang tren hingga persiapan dan apa yang dibutuhkan bagi
orang-orang yang ingin membuat kedai kopi. Ada sesuatu
dalam diriku yang sepertinya sangat tertarik perihal kopi.
Bukan hanya untuk sekadar ikut-ikutan tren di dunia kopi
yang membuat semakin banyaknya kedai kopi. Lebih besar
dari sekadar itu. Dunia kopi seperti hidup itu sendiri. Banyak
hal yang selalu diperbincangkan tapi tak pernah menemukan
titik temu untuk dijadikan jalan keluar. Terlebih, aku selalu
suka bagaimana seorang barista selalu memperhitungkan
rasa. Sama seperti apa yang pernah aku alami.
68Bagaimana Jika
Bagaimana jika sebuah perkenalan pada akhirnya memang
akan berakhir dengan perpisahan?
Apakah kamu masih akan semangat untuk menunggu sebuah
pertemuan?
Bagaimana jika sebuah perjumpaan hanyalah awal untuk
kemudian saling meninggalkan?
Apakah kamu lantas akan percaya kepada mereka yang
mendekat?
Menariknya aku masih saja tetap menunggu.
Menariknya aku masih saja tetap percaya.
Pada siapa katamu?
Pada duka setelah kehilangan, aku masih menunggu suka.
Pada luka setelah kepergian, aku masih percaya selalu akan
ada yang menetap.
--L--
69“Besok ikut liat sunrise di Mangunan bareng
kan, Ra?”
A Aku yang sedang asyik mendengarkan lagu
sambil membuat tulisan di Blog terperanjat akan kehadiran
Rio di sampingku. Senyumnya merekah ketika bertanya
kepadaku. Siang ini dia mengenakan kemeja lengan panjang
berwarna abu-abu dengan vest rajut tak berlengan warna
hitam. Heran, lelaki ini sepertinya memang selalu senang
mengenakan baju berlapis-lapis.
“Hmmm... enggak, Mas. Aku enggak bisa ikut hehe.”
“Loh, kenapa?” ucapnya sambil mengambil kursi di
sampingku, lalu membuka toples berisi keripik yang ada di
meja.
“Harus pulang ke Jakarta. Soalnya, udah dua minggu
belum pulang.” Aku mengambil segelas air putih, sembari
menutup Blog, dan kembali fokus dengan naskah yang baru
saja di-print dan sudah siap untuk aku baca ulang.
“Homesick terus ya? Sampe bolak-balik mulu,” tanyanya
lagi.
“Haha, enggak juga sih. Cuma kan Mama di sana
sendirian, jadi enggak enak aja kalau enggak pulang.”
“Oh, Mamamu tinggal sendiri? Lalu, Ayahmu?”
Aku meliriknya sekilas. Menatap manik mata itu lalu
mempertimbangkan apakah harus memberitahu tentang
keluargaku. Mungkin sudah bukan saatnya aku terus-
menerus mengelak untuk menjawab pertanyaan seperti ini.
70Pun sudah bukan waktunya aku menjawab pertanyaan itu
dengan kebohongan. Lagipula aku semestinya sudah harus
mulai terbuka kepada orang lain. Bukankah untuk menjadi
diterima, aku harus lebih dulu menerima diriku sendiri?
“Divorce, udah lama,” ucapku tenang sambil memberikan
senyuman kepadanya.
Rio menatapku kikuk. Sebuah perasaan bersalah hadir di
wajahnya. Aku yang tidak terkejut akan hal itujustru kembali
bersuara sebelum dia mengucapkan kata maaf.
“Santai, Mas. Toh, perceraian itu pilihan terbaik jika
udah enggak ada kenyamanan lagi di suatu hubungan rumah
tangga, kan? Dan, enggak semua anak-anak dari keluarga
broken home akan salah kaprah kok. You can see me, right? I’m
a good girl, I guess.”
“Percaya Ra, percaya. Cuma aku enggak enak aja jadinya
pake nyinggung tentang orang tuamu. Lagian, orang kayak
kamu mah weekend aja kerjaannya pasti cuma diem baca
buku, dengerin musik, kalau enggak ya nyari foto. lya, kan?”
“th, sok tahu!”
Aku kemudian tertawa mendengar ucapan Rio yang
memang benar adanya. Selama di Jogja, jika tidak sedang
bertolak ke Jakarta, aku hanya menghabiskan waktu
di kamar. Tak jarang, sesekali aku ke luar hanya untuk
memotret sudut-sudut indah di Jogja, menghabiskan senja di
pelataran parkir Abu Bakar Ali, atau menyusuri jalanan Jogja
di malam hari.
71“Ye, bukan sok tahu. Tapi, itu berbicara fakta. Kalau
enggak kayak gitu ngapain tiap hari isi tasmu kalau bukan
buku ya kamera. Well, isi tas itu mencerminkan kebiasaan
orang yang memilikinya, Ra.”
“Ya, ya, ya, analisa yang menarik. Hehe.” Aku meng-
anggukkan kepala sambil menjawabnya.
Sekilas aku melihat Rio kini sedang sibuk menggerakkan
jemarinya pada gawai yang dipegang. Melihatnya yang
sudah kembali sibuk, mau tak mau aku kembali menatap
naskah di tanganku sambil membubuhkan beberapa catatan
di sampingnya.
“Kalau gitu kita flight Jumat malem ya, Ra?”
Aku mengernyitkan kening ketika mendengarnya
kembali berbicara. “Flight? Jumat? Kita? Apaan sih, Mas? Kok,
aku gagal paham.”
“Iya, kita. Aku sama kamu berangkat ke Jakarta hari
Jumat malem, penerbangan terakhir. Cek email deh, aku
udah kirim ke kamu bukti booking-nya.”
Aku yang masih kesulitan menelaah ucapan barusan
hanya mengedikkan bahu sambil menggelengkan kepala
menatapnya. Rio yang tahu aku masih membutuhkan pen-
jelasan cuma tersenyum, kemudian mengambil napas dan
melanjutkan perkataannya.
“Gini ya Lara, hari Jumat malem, aku bakal temenin kamu
untuk balik ke Jakarta. Enggak usah ge-er aku mau anterin
kamu doang. Kebetulan sepupuku juga ada yang tinggal di
72Jakarta. Udah lama dia minta aku dateng buat dikenalin
ke calonnya. Nah, karena aku enggak tahu jalanan Jakarta
terus kebetulan kamu asli sana, lumayan kan aku bisa minta
dianterin sama kamu kalau suntuk di tempat saudaraku.
Hehe.”
“Ha? Kan, ada ojek online kali, Mas. Maps juga ada. Mau ke
mana aja kamu engga akan ilang, ih. Lagian ya, aku biasanya
ke Jakarta naik kereta tahu.”
“Kalau ojek online mana bisa diajak ke tempat-tempat
menarik, terus dijelasin kenapa tempat itu bagus. Kalau pake
maps juga ribet. Jalanan Jakarta kan enggak pernah sepi.
Nanti yang ada aku cuma buang-buang waktu di jalan aja
untuk muter kalau ternyata salah arah. Ayolah, sekali-sekali
jadi tour guide masa enggak mau? Perkara pesawat, tenang
aku enggak akan minta ganti kok.”
Rio membujukku dengan memberikan tatapan memelas.
Aku yang melihat kelakuannya itu hanya tertawa sambil
menggelengkan kepala tak percaya.
“Alesannya ih, ada aja. Aku enggak janji, ya. Karena,
biasanya kalau balik Jakarta akan sibuk nganterin Mama.
Lagian ya Mas, siapa juga yang mau gantiin tiket pesawatnya?
Kan, aku enggak minta dibeliin. Kalau pun aku akhirnya
nolak dan tiket itu hangus, itu salah Mas Rio sendiri. Kenapa
pula beli enggak bilang-bilang?”
Rio tertawa sambil mengusap tengkuk. “Kalau aku
bilang-bilang juga emangnya kamu udah pasti mau? Lagian
73ya Ra, banyak hal di dunia ini yang kalau berkaitan dengan
kebaikan tuh enggak usah diumbar-umbar. Aku beliin kamu
tiket pesawat kan artinya aku sedang berbuat kebaikan, jadi
enggak usah disebarluaskan toh?”
“Pantes jadi Pemred, ngelesnya pinter. Alesanmu itu loh
Mas, maksa banget. Terserah wes, terserahhhhhh....”
Aku dan Rio kemudian tertawa. Sesaat setelahnya
kami kembali pada kesibukan masing-masing. Aku kembali
menekuni naskah yang harus kuselesaikan hari ini, sedang
Rio sibuk menanda tangani beberapa kertas yang baru saja
dibawakan ke hadapannya. Aku diam dan mencoba fokus.
Namun, pikiranku masih sibuk menelaah kedekatan yang
baru tercipta antara diriku dengan Rio. Semoga saja selalu
akan semenyenangkan ini untuk mengenal orang-orang
a
baru.
“Tara!”
Aku menoleh ke arah sumber suara. Mataku masih sibuk
mencari-cari hingga kemudian aku melihatnya melambaikan
tangan. Aku segera berjalan menuju ke arahnya sambil
memasukkan handphone yang sedari tadi kugenggam ke
dalam tas.
“Langsung check in aja ya, Ra.”
74Aku mengangguk menyetujui perkataannya, yang
kemudian disambut dengan dia yang melangkah lebih dulu di
depan. Aku mengekori sambil memerhatikan punggungnya.
Terasa aneh sebetulnya. Baru kali ini aku melakukan
perjalanan dengan orang yang belum lama kukenal. Biasanya,
aku hanya bersedia bepergian dengan orang-orang yang
sudah lama kukenal, atau bahkan cukup orang-orang asing
yang kutemui selama perjalanan.
Tapi, kali ini, aku bersama dengannya. Atasanku yang
sebetulnya baru saja dekat denganku selama beberapa pekan
terakhir. Tak banyak percakapan yang terjadi di antara kami.
Tapi, ketika ada momen yang membuat kami bisa mengobrol,
maka arah percakapan itu tidak pernah tidak menyenangkan.
Aku menyukainya sejauh ini. Setidaknya aku merasa
memiliki teman saat ini. Anggap saja dia Kanaya versi lelaki,
yang bisa untuk kubagikan cerita tanpa harus memusingkan
tentang rasa.
Selesai melakukan check in, aku dan Rio sibuk dengan
kegiatan masing-masing. Aku yang baru saja mengabadikan
pesawat dengan kamera HP kemudian berbalik. Hendak
memotret suasana ruang tunggu di bandara yang cukup
ramai kali ini. Namun, ketika kamera ponselku mengarah
kepada sosoknya, aku malah tertarik untuk memotret Rio. Ia
sedang fokus berbicara dengan seseorang di telepon.
Aku baru menyadari bahwa Rio selalu terlihat rapi. Tidak
ada sedikit pun yang membuat penampilannya tak sempurna.
75Yang menarik, dia selalu saja mengenakan outfit luar sejenis
waistcoat, puffer vest, atau sleeveless sweater yang dipasangkan
dengan kaos maupun kemejanya.
Berbeda sekali dengan Saka yang kerap berantakan
di setiap waktu. Saka seolah tak pernah peduli dengan
penampilannya. Bukan berantakan urakan. Berantakan versi
Saka itu menunjukkan kalau ia tak peduli dengan penilaian
orang lain. Bagi Saka, asalkan dirinya nyaman dengan apa
yang dia kenakan, maka pendapat orang lain tak akan berarti
apa-apa.
Tapi jangan salah, meski berantakan, penampilan Saka
selalu enak untuk dipandang. Tidak hanya olehku, tapi
juga orang lain. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang
membuatku bahkan kebanyakan orang tak bisa mengalihkan
pandangan dari dia.
Meski tak menampik kalau hal-hal berantakan itulah
yang kadang membuatku gemas dengan Saka. Ingin sekali
rasanya merapikan dirinya dari ujung rambut hingga kaki.
Setidaknya agar penampilannya bisa lebih apik dilihat oleh
ibuku.
Aku tersenyum sekilas. Membayangkan andai saja
Saka berpenampilan seperti Rio saat ini ketika nanti
bertemu dengan ibuku, mungkin beliau akan melihat Saka
dengan cara yang berbeda. Mungkin ibuku juga tidak akan
mempertanyakan perihal pekerjaan Saka, serta tak akan
khawatir dengan hubunganku dan Saka.
76Aku buru-buru mengenyahkan pikiranku yang kembali
membuat pengandaian akan hubunganku dengan Saka. Aku
dengan Saka mungkin memang lebih baik seperti ini. Sebagai
apa pun kami bagi satu sama lain. Ya, setidaknya agar tak
saling melukai, lagi.
“Ngambil foto orang secara diem-diem tuh termasuk
perbuatan enggak baik loh, Ra. Apalagi terus-terusan diliatin
kayak gitu.”
“Ngeliatin isi HP orang lain secara diem-diem juga
termasuk menguntit dan perbuatan enggak baik, Mas.”
Aku langsung menoleh ke arahnya yang kini sudah berdiri
di belakangku. Cepat aku mematikan layar serta menarik
ponsel itu ke dadaku. Berusaha menyembunyikan apa yang
tidak sepatutnya untuk dia lihat.
Rio terkekeh. “Udah keliatan, enggak usah ditutupin juga
ih. Kalau mau foto tuh bilang-bilang, Ra. Biar bisa gaya dan
benerin penampilan dulu. Jadi, hasilnya keren.” Ia kemudian
kembali memasang senyumnya.
Aku mendengus pelan, “Kalau bilang-bilang itu namanya
bukan candid. Kalau mau yang kayak gitu mah dateng aja ke
studio foto.”
Rio kemudian mengacak-acak rambutku dan menyam-
pirkan lengannya di bahu. Aku sedikit berjengit akan
sikapnya tersebut. Tak nyaman dengan perlakuannya itu aku
kemudian buru-buru berlari.
“Mumpung belum take off, cari foto yang lain dulu ya!”
77Tampaknya tak butuh waktu lama untuk membuat Rio
mengerti, sebab ia tak mengatakan apa-apa, pun ia tidak
berteriak memanggil namaku. Dia hanya mengangguk
perlahan sambil tersenyum seolah memahami perkataanku.
a
Aku terus memandangi gelapnya malam. Alunan lagu
Shiver yang dinyanyikan Lucy Rose mengalun indah melalui
Ipod. Secara tiba-tiba sebuah perasaan menghinggapiku.
Membuatku sedikit gusar karena beragam kata seolah
berebut keluar dari kepalaku dan memaksa dituangkan
menjadi sebuah tulisan. Aku lekas mengambil buku catatan
dan pulpen yang selalu kubawa dari dalam sling bag.
Penerimaan
Pernah ada yang berkata,
bahwa sedikit memberi jarak pada dua hati yang sempat
bersitegang itu diperlukan.
Semula aku tak setuju, tapi sekarang aku dibuatnya percaya.
Sebab bila tak ada jarak,
tentu tak ada hal yang kemudian bisa kumaknai.
Bila tak ada jarak,
78mungkin aku masih terus menuduhmu sebagai tersangka
atas seluruh luka.
Sebab bila tak ciptakan jarak,
mungkin kita tidak akan saling terbuka untuk memaafkan
segala luka.
Bila tak ciptakan jarak,
tentu rasa yang kini hadir tidak akan lebih damai lagi.
Aku belajar pada saat kita saling berjarak,
bahwa rasa sayang semestinya tidak lantas membuat kita
merasa paling berhak memiliki.
Aku belajar pada saat kita tengah berjarak,
bahwa perasaan sayang tak selayaknya membuat kita saling
menyalahkan,
hingga masing-masing harus berkemas pergi.
Aku menyadarinya kini,
tepat setelah melihatmu kembali baik-baik saja,
setelah banyak hal yang kita lewati dan sempat membuat kita
berselisih.
Kini aku mengerti,
arti cinta tidak hanya sesempit perasaan kita yang saling
berbalas.
Bukan juga tentang kita yang tidak pernah sekalipun
bertengkar apalagi menggores luka.
79Arti cinta juga bukan hanya perihal aku suka kamu dan
kamu menyukai aku,
lalu kita akan menua bersama.
Cinta lebih luas daripada itu.
Cinta juga termasuk menerima segala luka yang pernah
disebabkan.
Dan bagiku, cinta adalah saat di mana aku kembali berani
bersitatap denganmu.
Seperti saat ini, saat semua damai dari maaf yang tercipta di
antara kita, mampu membuat semesta cemburu.
—L--
Aku tenggelam ketika kembali membaca barisan aksara
yang kubuat. Seulas senyum seketika hadir begitu saja, kali
ini bukan dengan paksaan atau bahkan dibuat-buat. Tapi,
senyum itu datang dari kelegaan akan rasa yang sebelumnya
kukira akan bercokol lebih lama dari luka yang pernah
bersemayam.
Nyatanya, sebuah penerimaan mampu membuatku
merasa jauh lebih hidup. Nyatanya, sebuah maaf tidak
selamanya harus diucapkan, melainkan memang cukup
dengan dikomunikasikan saja alasan yang melatar-
belakanginya.
Aku masih menatap lekat ke arah jendela, menyaksikan
80pendar lampu yang berkilauan di pekatnya malam. Jakarta.
Kota ini tak pernah tidur barang sedetik. Hingga tengah
malam pun masih saja ada yang bergulat dengan pekerjaan
pun dengan kemacetan lalu lintas.
Satu-satunya hiburan yang paling diminati hanyalah
pusat perbelanjaan. Perhatikan saja bioskop dan tempat
makan yang akan semakin ramai ketika weekend menjelang.
“Pernah ngerasa capek enggak pas tinggal di Jakarta?”
Rio yang sedari tadi asyik dengan buku bacaannya kini mulai
mengajakku berbicara.
Aku kemudian mengalihkan pandanganku menatapnya.
Tersenyum sambil memutar bola mataku mengingat-ingat
memoriku selama tinggal di Jakarta, sembari kembali
memasukkan buku catatan ke dalam sling bag.
“Capek itu manusiawi, Mas. Mau tinggal di mana aja,
kalau kita terus aktivitas pasti capek, kan?” Aku menjawab
sekaligus melemparkan pertanyaan kepadanya.
“ya, sih. Tapi, kalau di Jakarta akan berkali lipat rasa
capeknya, kan?” Rio kembali bertanya.
“Bisa iya, bisa enggak. Balik lagi kita mau mensyukuri apa
yang sedang dijalani atau enggak. Kalau enggak bersyukur
mah, capek dan keluhan bakal dateng terus. Namanya hidup,
ya kan?”
Rio mengangguk mendengar ucapanku, kemudian
kembali menambahkan. “Aku takjub sama orang-orang yang
bertahan hidup di Jakarta, Ra. Salut sama mereka, keren gitu.
81Kemampuan adaptasi orang-orang itu ngebuat mereka bisa
bertahan di mana aja kaki melangkah. Ya, kayak kamu. Keren
bisa struggling di kota sekejam ini.”
“Wow, baru kali ini aku ketemu sama orang kayak kamu.
Yang muji kita yang tinggal di Jakarta itu keren. Kenapa
gitu?” Aku bertanya sembari mengencangkan seatbelt.
“Kenapa takjub maksudmu?” Rio menatapku lekat.
Aku mengangguk untuk memberikannya jawaban. Rio
kemudian berdeham halus, seolah sedang menyiapkan
jawaban terbaik atas pernyataannya tadi. Aku hanya diam
sambil terus menatap, memberikannya ruang untuk kembali
melanjutkan kalimat.
“Aku takjub karena enggak semua orang tahan untuk
hidup dan terus ditekan, berhari-hari, bahkan bertahun-
tahun. Kejenuhan pasti udah bersarang gitu.”
Aku kemudian mengernyit mendengarnya. Menyadari
kebingunganku, Rio mengulasi sebuah senyuman yang
menenangkan, setidaknya untukku demikian.
“Gini Ra, kalau Jogja ngajarin kamu tentang gimana
caranya ngadepin masalah dengan kepala dingin. Nah,
menurutku Jakarta ngajarin kamu untuk berpikir cepat dan
berani ngadepin masalah meski di bawah tekanan. Semua hal
dan masalah tumpah ruah di jalanan, dan penyelesaiannya
juga kadang dipikirin di jalanan. Bener enggak?”
Aku menyandarkan kepala pada sisi jendela, meletakkan
tangan kananku di dagu, tapi pandanganku masih menatap-
82nya lekat. Jika dipikir-pikir apa yang Rio katakan memang
benar. Selama tinggal di Jakarta, semua hal rasanya memang
terkuras di jalanan. Aku terus menelaah setiap ucapan lelaki
itu kemudian mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban
atas pertanyaannya tadi.
“Jakarta tuh... enggak tahu kenapa putaran waktunya
terasa lebih cepet. Karena, mungkin ya itu tadi waktunya
hanya dihabiskan di jalanan. Bahkan di hari Minggu aja
kalian jarang banget kan punya waktu untuk bernapas
dengan tenang di rumah atau di tempat berlibur? Mau ke mal
aja harus bermacet-macet ria atau bahkan berdesak-desakan
sama orang di halte dan stasiun.” Rio berhenti sebentar,
meneguk air mineral lalu melanjutkan perkataannya lagi.
“Ttu baru menuju aja tuh, belum lagi pas udah sampe
tempat tujuan, enggak jarang harus antri. Itu hari libur,
gimana pas hari kerja coba? Mau berangkat kerja, kalau
enggak macet ya, desak-desakan. Terus, sampe kantor tiba-
tiba kerjaan udah segunung. Mau pergi makan siang, ketemu
macet lagi. Belum lagi masih kepikiran sama kerjaan di
kantor. Mau marah, cemberut, nangis, tapi inget kalau abis
itu mau ketemu klien. See? Sekeren itu loh, bisa banget untuk
menghadapi semuanya dengan cepat.”
Mata Rio begitu berbinar ketika memberikan penjelasan.
Ia begitu bersemangat untuk mengeluarkan seluruh hal
yang kutebak selama ini hanya bercokol di kepalanya saja.
Mengendap dan seringnya dibiarkan menguap, karena tak
83menemukan lawan bicara yang pas untuk menceritakan
segalanya.
Seulas senyum masih tergambar di raut muka Rio.
Hening selama beberapa detik sebelum ia akhirnya kembali
bersuara.
“Kalian yang tinggal di Jakarta tuh terus-menerus dapet
tekanan kayak gitu. Tapi, kalian enggak sadar telah terbiasa
untuk ngejalaninnya. Itu yang bikin aku selalu percaya,
orang-orang yang pernah ngerasain bertahan hidup di
Jakarta, bisa banget untuk kerja dan beradaptasi di mana
aja. Kamu sendiri Ra, apa yang bikin kamu betah tinggal di
Jakarta sebelum akhirnya dipindahin ke Jogja? Aku berani
taruhan, kamu enggak pernah sedikit pun punya pikiran
mau pindah kerja di Jogja, kan?”
Aku terdiam sebentar, menatap ke arah luar jendela,
kemudian mengulaskan sebuah senyum ketika melihat
deretan gedung pencakar langit yang begitu berlimpah di
kota kelahiranku ini.
“Hmmm... lya sih, aku enggak pernah ada niatan untuk
pindah kerja atau pindah tempat tinggal. Maksudku gini,
untuk liburan dan jalan-jalan aku sih selalu mau jauh dari
Jakarta. Kayak Jogja, buatku ya cocoknya hanya jadi pelepas
penat. Enggak pernah kepikiran buat jadi tempat tinggal
apalagi tempat kerja. Karena kalau sampe kerja dan tinggal
di Jogja, sewaktu-waktu aku bosen, nanti ngilangin suntuk di
mana lagi dong? Kan kalau udah ribet-ribet di Jakarta, enak
84gitu tiba-tiba ke Jogja dan nikmatin hidup sepelan mungkin.
Enggak berasa lagi dikejar-kejar waktu.”
Aku kemudian memberikan sedikit jeda untuk sekadar
menarik napas lalu kembali berucap. “Kalau kenapa betah?
Ya, mungkin karena udah terbiasa kali. Jadinya, terbentuk
semacem zona nyaman dengan rutinitas selama di Jakarta.
Bener kata Mas Rio, kayaknya aku enggak pernah sadar akan
tekanan yang selalu dateng itu karena aku terbiasa dengan
semuanya. Bahkan tanpa sadar pola kehidupan yang seperti
itulah yang membuatku akhirnya jadi suka kalau semua
halnya well-prepared, terencana, udah disusun dari jauh-jauh
hari, dan terbiasa untuk on time. Karena, semua hal di Jakarta
enggak bisa untuk diprediksi apalagi dikira-kira.”
Aku kembali berhenti berbicara, menatap sekilas ke arah
Rio yang sedari tadi tampaknya tak mengalihkan pandangan
dariku. Dia begitu antusias untuk mendengarkan semua
ucapanku yang jika Saka sering bilang terlalu bijaksana dan
terus-menerus berpikiran positif. Padahal bisalah untuk
sesekali menciptakan hal yang berbeda agar tak selalu
terjerat aturan yang mengikat.
“Kasarnya gini Mas, sedetik aja enggak merhatiin lampu
APILL’ kita harus nunggu lagi sampe satu menit untuk
kemudian bisa nyeberang atau lewat. Atau misalnya, jalanan
yang tadinya di maps lengang, bisa mendadak macet hanya
1 Lampu APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas) atau biasa disebut
lampu merah.
85karena ada kereta lewat atau orang-orang yang belok di
sembarang tempat. Seenggak teratur itu, tapi bisa ngebuat
kita jadi manusia paling teratur untuk menyiapkan A sampe
Z. Hehe.” Aku terkekeh untuk mengakhiri ucapanku yang
tampaknya sudah terlalu panjang. Anehnya, Rio tak bosan
mendengar aku bicara. Ia justru berkali-kali mengangguk
mengiyakan setiap ucapanku.
Mengobrol dengan Rio membuatku seperti menemukan
diriku dalam wujud seorang lelaki. Bukan menemukan
sebagian diri, melainkan sepenuhnya aku. Sial, tampaknya
aku mulai nyaman untuk bertukar cerita dengannya.
Setidaknya, bersama dengan Rio aku bisa bercerita, bukan
hanya sebagai pendengar.
Perjalanan memang tidak pernah salah memerangkap
dua orang asing untuk kemudian menjadi lebih dekat
dan melabuhkan nyaman. Ada banyak hal yang tak perlu
dipaksakan untuk bisa dimengerti, tapi memang ternyata
semudah itu untuk diterima. Tak lain hanya karena cara
berpikirku dengannya yang ternyata begitu sama.
a
86Se
CHAPTER Il
“DEKAT YANG TAK MELEKAT,
Uap aR) a;°Di sela-sela pekerjaanku yang telah rampung,
=<=)¥ aku mendatangi beberapa kedai kopi di Bandung
setiap hari. Belajar memerhatikan bagaimana
mereka menyuguhkan kopi, bagaimana mereka menyambut
tamu dan mengajak mengobrol. Atau, bagaimana mereka
berbagi mengenai kopi yang dibuat, serta mengenai apa yang
mereka perhitungkan.
Benar saja, beberapa tempat kopi di Bandung memiliki
menu es kopi susu. Beberapa yang tidak ada, saat aku sekadar
bertanya, ternyata mereka sedang dalam tahap persiapan
untuk menyajikan menu es kopi susu. Begitulah, begitu besar
pengaruh tren yang terjadi pada beberapa kedai kopi.
Gimana, Man? Udah lu pikirin?
Pesan masuk muncul di layar ponselku. Kevin menanya-
kan lagi perihal tawarannya.
Nanti kita ngobrol lagi ya, gue beresin kerjaan dulu.
Aku menjawab sekenanya. Saat ini aku memang tengah
membereskan pekerjaan desain yang harus aku selesaikan
dahulu.
89“Es kopi susunya, Mas.” Barista yang mengajakku ber-
bincang saat itu datang membawakan pesananku.
Kini, setiap aku datang ke mari, es kopi susu menjadi
pesanan wajib untukku. Tidak ada lagi cappuccino yang aku
pesan, kecuali jika Bandung sedang dingin-dinginnya.
Selesai mengerjakan pesanan desain, aku bersandar
di sofa. Melamunkan semua hal yang ingin dikembarakan.
Imajinasi mulai membentuk harap. Bagaimana jika aku
menerima tawaran Kevin? Bagaimana jika aku akan bisa
sering bertemu dengan Lara? Bagaimana aku akan bertemu
orang-orang baru? Namun, tiba-tiba aku teringat ibu dan
adik-adikku.
Aku belum berani membahas lebih lanjut perihal tawaran
Kevin. Bukan tidak ingin, tapi aku tidak ingin menjanjikan
sesuatu yang belum pasti dapat aku penuhi. Harap akan
tumbuh subur dalam diri Kevin. Jika suatu saat ternyata
aku tidak bisa meninggalkan Bandung, mungkin Kevin akan
dapat memaklumi keadaanku. Tapi, tidak tentangku. Aku
akan dihantui perasaan tidak enak.
Aku tidak mungkin meninggalkan mereka, ibu dan adik-
adikku. Ada rasa ingin untuk selalu ada dengan mereka. Ada
rasa tanggung jawab yang harus aku penuhi. Sebagai anak
lelaki paling tua dan satu-satunya, serah-terima jabatan
sebagai orang yang harus menjaga dan mengayomi jatuh
kepadaku. Sebuah tanggung jawab tanpa persetujuan yang
harus aku terima.
90Beberapa saat, aku merasa sangat ingin untuk egois lagi.
Kini, saat aku akhirnya memiliki mimpi, semua tanggung
jawab yang aku miliki seolah mengekangku, dan tidak
mengizinkanku untuk memiliki mimpi. Seandainya setiap
orang dapat memahami bahwa kita tidak bisa dengan mudah
bermimpi. Setiap orang akan tidak mudah membangun
begitu saja mimpinya di satu tempat.
MENJATUHKAN SAUH
Aku terbangun dari hujan semalam,
yang rintikknya kelelahan saat matahari berencana hadir.
Bagaimana kiranya aku bisa sampai di sini?
Aku yang memilih, atau tempat ini yang terpilih untukku?
Bagaimana aku bisa percaya,
pada semua yang dihadirkan untukku?
Padahal aku punya kuasa untuk memilih,
pada apa dan siapa sauhku akan kujatuhkan.
pada apa dan siapa aku akan menetap.
Pernahkah ada yang bertanya,
bagaimana bisa dirinya bisa ada pada suatu tempat?
Hingga pada akhirnya percaya bahwa yang ditempati adalah
yang teruntuk dirinya, selain karena tidak ada tempat lain
giyang bisa ditemukan, atau yang bisa ditempati.
Kiranya, kita semua begitu terbiasa pada semua hal yang
tersaji. Rasa percaya yang hadir, tumbuh bukan berdasarkan
pilihan, melainkan karena penerimaan.
Hingga akhirnya menyerah, saat percaya mulai melahirkan
kekecewaan dan memaksa kita kembali memilih.
Setia pada apa yang dihadapkan,
atau melangkah mencari yang lain,
untuk kembali menancapkan sauh.
Aku mem-posting tulisan di laman Blog pribadiku.
Menumpahkan sesuatu yang tersirat. Bagaimana pun
menulis masih menjadi hal asing yang sedang aku biasakan.
Masih sedikit malu-malu untuk sepenuhnya jujur.
Seolah mencoba berteman dengan orang baru yang
tidak aku ketahui, tapi begitu membuatku tergoda untuk
aku selami. Menulis, seperti sebuah pendekatan yang
menyenangkan. Namun, yang kudekati adalah diriku sendiri.
Lucu bukan?
Ada bagian dari diriku yang memaksa untuk jujur.
Meraung untuk menyerah pada kebohongan atau pada topeng
yang selama ini aku kenakan. Hingga akhirnya, seolah diriku
yang asli adalah diriku yang lain. Sedang, aku yang ini adalah
92diriku yang palsu. Diriku yang telah terkontaminasi oleh
pemahaman-pemahaman yang dibentuk oleh kebutuhan
sosial.
Kepergian Lara saat itu berhasil mempertemukan aku
dengan diriku yang lain. Hal itu sepertinya yang dapat
membuatku begitu merelakan kepergian Lara. Menerima
salahku atasnya, karena membuatku akhirnya memahami
bahwa kepergiannya membawaku kepada diriku seutuhnya.
Hanya dengan kehilanganlah, aku dapat menemukan diriku
yang utuh.
Aku menyeruput es kopi susu. Manis dari gula aren
terasa menyempurnakan rasa kopi dan susu di dalamnya.
Berbeda dengan cappuccino yang biasa aku minum. Manis
buatan ini, bukan rasa yang dibuat-buat. Seperti, aku yang
kini terkejut melihat notifikasi pesan masuk di laman Blog
milikku. Muncul nama Eleftheriana, lagi.
“Menarik bukan, kita sama-sama mengirim puisi dan
prosa sebagai utusan untuk menyampaikan sapa.
Hingga sapa itu bisa jauh lebih puitis dan memiliki
irama daripada dua raga yang menulisnya, yang
mengirimnya.”
Isi pesan itu pun dibuat oleh seseorang yang masih
belum aku ketahui. Namun, rasa manis saat membacanya
tidak terasa seolah dibuat-buat olehku. Aku benar-benar
93merasakan manis saat membacanya.
Ada rasa manis di balik ketidaktahuanku tentang seorang
Eleftheriana. Dirinya benar-benar semenyenangkan es kopi
susu yang ternyata sedari tadi masih ada di tangan kiriku.
Aku meletakkan es kopi susu di meja dan bersiap membalas
pesannya.
Jariku tak mau bergerak. Sial! Apa yang sedang terjadi
kepadaku?
“Oke, Saka kamu harus tenang. Ini adalah perasaan yang
bodoh. Kamu sangat, menyedihkan.” Aku berbicara pada diri
sendiri.
Apa benar aku semenyedihkan ini? Mudah untuk begitu
tergoda pada hadir yang begitu samar. Namun, bukankah
semua orang sangat tertarik pada hal yang membuat mereka
penasaran?
“Apakah prosa dan puisi akan tiba di titik lelah untuk
saling menyapa? Semoga saja kita tidak lelah untuk
tetap menulis rasa.”
Jariku menari seinginnya di atas keyboard. Mengetik
pesan yang ingin disampaikan oleh nurani. Nalar kali ini tak
sempat untuk mencegah atau berkomentar. Aku bingung,
apakah ini pertanda baik atau buruk? Diri ini tak semestinya
mudah untuk membuka sapa, terlebih pada nama yang tak
memiliki rupa.
94Pesan akhirnya terkirim. Anehnya, kali ini degup sedang
kewalahan menunggu balasan. Sial, untuk apa aku menunggu
balasan? Rasa seperti ini kembali menjahiliku. Membuatku
ragu dan takut, tapi juga penasaran.
Aku menyeruput lagi es kopi susu di depanku. Rasanya
benar-benar persis seperti ini, seperti es kopi susu! Sial! Isi
kepalaku mulai kacau. Aku harus mengalihkan perhatianku,
kembali mengerjakan pekerjaan desainku.
“Aku rasa kita harus mencari tahu sendiri :)”
Pesan balasan masuk. Aku membaca perlahan, percepat,
berkali-kali, hingga tak ada arti pasti dari kalimat yang aku
baca. Hingga aku tersadar sesuatu, aku tidak merasa ragu
atau bahkan takut. Tak seperti kali terakhir dengan Lara
yang membuatku harus bertindak sangat hati-hati.
Ingatan itu membangunkan nalar yang kini mulai
mengerjaiku dengan akal-akalannya. Kali ini aku membiar-
kan nalar beraksi, membiarkan diriku dikuasainya. Aku
merasa perlu untuk benar hati-hati.
Pesan darinya tak kuindahkan, kubiarkan tanpa balasan
dariku. Aku kembali mengerjakan pekerjaanku. Hari semakin
sore, matahari terlihat mulai menghangatkan kedai kopi
ini. Beberapa orang yang sedang menongkrong memetik
gitarnya dan mulai memainkan nada serta lagu.
95Sementara... teduhlah hatiku.
Tidak lagi jauh.
Belum saatnya kamu jatuh.
Lirik lagu Sementara milik Float berhasil menenangkan
sekaligus mengacaukan pikiranku. Rindu akan Lara masih
saja sering menghampiri. Kurasa, aku cukup paham mengapa
banyak sekali orang yang susah untuk move on.
Bagaimana tidak, rindu akan kehadiran seseorang di
masa lalu memang begitu menyesakkan. Tapi, di saat yang
sama harapan seolah sama besar dengan kemungkinan.
Rindu juga berbanding lurus dengan luka saat harap semakin
ditancapkan.
Sebuah euphoria yang kontradiksi. Sebuah rasa yang
bertabrakan namun membuat ketagihan. Tenggelam dalam
ingatan masa lalu dan hanyut dalam keadaan sekarang
merupakan rasa yang memang membuat ketagihan.
Kita memang begitu senang menyiksa diri sendiri.
Keadaan seperti itu membuatku mengerti, lebih baik terluka
dalam ingatan daripada tidak merasa apa pun sama sekali.
Ini bukan perkara ingin baik-baik saja namun perkara ingin
merasakan sesuatu.
Percayalah, hati.
Lebih dari ini, pernah kita lalui.
Jangan henti di sini.
96“Jadi, kamu nginep di mana, Mas?” tanyaku
begitu kami sampai di depan pintu kedatangan
Bandara Soekarno Hatta.
“Di Kalibata City, saudaraku tinggal di sana. Kamu sendiri
langsung balik ke rumah?”
Aku mengangguk sambil membalas pesan yang masuk
ke telepon genggamku. Salah satunya pesan dari ibuku yang
menanyakan aku sudah berada di mana.
“Yap, langsung balik aja, udah malem juga. Kasian Mama
kelamaan nungguin aku balik.”
“Bareng aja yuk, Ra. Kebetulan aku kan dijemput
saudaraku. Masa iya kamu malem-malem gini nunggu ojek
online,” ajak Rio sambil menunjuk arah di mana saudaranya
memarkirkan kendaraan.
Aku menolak ajakannya dengan gelengan kepala ringan.
“Enggak usah, Mas. Santai aja, kalau udah balik ke kota
sendiri mau pulang semalem apa pun enggak ngerasa was-
was. Lagian aku kebetulan dijemput temen kok. Dia udah
nunggu di parkiran, jadi enggak perlu order, hehe.”
“Wuih, temen apa temen, Ra?” Kali ini pertanyaan Rio
menyiratkan keingintahuan yang cukup jelas.
“Enggak boleh kepo, nanti suka!”
o7Aku langsung mencari menu kontak untuk menelepon
Kanaya dan menanyakan di mana keberadaannya. Sambil
menempelkan ponsel di telinga, aku segera berjalan menjauh
dan melambaikan tangan kepada Rio.
“Udah ya duluan, Mas. See you!”
“Hati-hati, Ra! Besok kabarin ya kalau bisa nemenin
keliling-keliling.”
Samar aku mendengar kalimat Rio itu, dan menjawabnya
dengan sebuah senyum simpul dan anggukan kecil. Telepon
yang dari tadi hanya terdengar nada sambung kini sudah
diangkat.
“Lu di parkiran sebelah mana?” Aku kemudian
mengedarkan pandangan mencari-cari sosok perempuan
yang sedang berbicara di telepon juga saat ini.
“Parkiran keluar motor, Ra.”
Mataku terbelalak mendengar ucapannya, kemudian
mengalihkan pandangan ke arah yang dimaksud Kanaya.
“Gilaaaa... jauh juga gue jalannya. Lagian kenapa enggak
masuk sih, bantuin gue bawa barang. Capek tahu. Kalau
enggak ikhlas jemput mah mending enggak usah, Nay.”
“Manja banget, baru juga pindah Jogja bentaran udah lembek.
Lu enggak jalan kaki sampe lima kilo kali. Udah buruan, gue
ngantuk.”
98Kali ini Kanaya yang menggerutu di ujung telepon.
Belum sempat aku membalas perkataannya, Kanaya sudah
lebih dulu mematikan sambungan telepon. Memang sih
jarakku dengan parkiran motor tidak terlalu jauh. Tapi,
dengan sisa tenaga yang sudah habis dikuras sejak pagi tadi,
ditambah harus membawa tentengan oleh-oleh untuk ibuku
dan Kanaya, membuat langkahku terasa semakin berat.
Sebetulnya aku tidak meminta Kanaya menjemputku.
Tapi, begitu dia tahu aku akan balik ke Jakarta hari ini, ia
segera menawarkan diri untuk menjemputku.
“Sekalian nginep di rumah lu,” katanya kemarin saat aku
a
“Dari Mas Rio. Katanya, ‘Siang ini sibuk enggak? Bisa kali
jadi pemandu perjalanan. Saudaraku sibuk nganter calonnya
mengabarinya.
belanja tuh, masa tamu dianggurin. Bosen nih, Ra.
Aku yang baru keluar dari kamar mandi dibuat malas
ketika Kanaya dengan kencang membaca pesan masuk itu.
Bukan hal yang mengherankan jika Kanaya bisa membuka
passcode di ponselku. Di antara kami memang tak pernah
ada rahasia apa-apa yang disembunyikan. Kecuali... mungkin
tentang rasaku kepada Saka.
Aku hanya menghela napas pelan, tak mengindahkan
99ucapan Kanaya barusan. Memilih untuk terus melangkahkan
kaki lalu duduk di atas tempat tidur sambil mengeringkan
rambutku yang basah dengan handuk.
“Jadi, Rio tuh siapa, Ra? Kok, gue enggak pernah denger
lu nyebut namanya,” tanya Kanaya sembari melemparkan
ponsel ke pangkuanku.
“Pemred gue, di atas gue lah pokoknya. Sebut aja doi, bos
gue,” jawabku singkat sambil mulai mengetik balasan untuk
Rio.
“Bos? Terus, lu udah sedeket apa sama doi sampe dia
minta ditemenin gitu. Lagian ya, emangnya doi di Jakarta apa
di Jogja sih?”
Usai membalas pesan Rio, aku kemudian mengambil
guling yang berada di samping Kanaya dan memeluknya erat
sembari merebahkan badan di tempat tidur.
“Lagi di Jakarta, semalem ke sini bareng gue.”
“Bareng lu? Sepesawat maksud lu? Pantes lu belagu naik
pesawat, tumben banget. Ternyata sama bos yang merangkap
calon, nih?” Kanaya mulai menggodaku kini.
“lya, dia mau ke tempat saudaranya. Terus, pas tahu gue
juga mau balik ke Jakarta ngajakin bareng deh. Siapa juga
yang nolak kalau dikasih tiket gratis?”
Sedetik kemudian Kanaya melemparkan bantal ke
wajahku. “Gaji udah gede, mental masih gratisan. Hari gini
mana ada yang gratis sih, Lara? Tiati lu sama sikap baiknya
si Rio itu. Siapa tahu doi lagi usaha deketin lu. Kalau lu nya
100enggak mau mending ngejauh deh. Nanti anak orang keburu
ngarep. Lu dikira PHP, Ra.”
“Gini ya, kalau semua orang mikirnya kayak lu, enggak
akan ada namanya orang bisa berbuat baik deh gue rasa.
Berbuat baik dibilang ada maksud terselubung. Sekalinya tuh
orang niat beneran tulus eh, karena takut ini-itu kita malah
nolak kebaikan itu. Lu tahu enggak? Ke...”
“Enggak, gue enggak tahu, Ra.” Belum selesai aku
berbicara, Kanaya dengan iseng langsung memotong
omonganku,
“Yeee sialan, dengerin gue ngomong dulu makanya.”
Aku kemudian duduk bersandar di kepala tempat tidur.
“Kemurahan hati dan kebaikan seseorang ke kita tuh enggak
sepantesnya kita curigain dan dipikirin macem-macem.
Yang perlu kita lakuin tuh, ya udah menerima dengan ikhlas
apa yang mereka tawarkan kalau sekiranya itu enggak
memberatkan. Karena, sama aja kita udah bantuin orang itu
buat dapet pahala. Balik deh situasinya, kalau lu yang niat
baik sama orang tapi ditolak karena mikir niatnya macem-
macem, lu bakal kesel enggak?”
“Omongan lu bener juga sih, Ra. Tapi, gue berasa lagi
denger Mamah Dedeh ceramah.” Kanaya terkekeh kemudian.
“Eh, tapi ya, Ra, lu yakin itu bos lu enggak ada rasa sama lu?”
tanyanya sambil mendekatkan wajahnya ke arahku. Mencoba
melihat apakah aku berbohong atau tidak.
Melihat tingkahnya yang seperti itu aku langsung
101mendorongnya menjauh. “Ya, kalau soal itu mah bukan
urusan gue, Nay. Biar aja itu urusan dia sama hatinya sendiri.
Lagian orang kayak dia mah mau dapet cewek model apa juga
bisa. Mukanya enggak jelek kok, manis malah. Tipikal mas-
mas Jawa yang kalau senyum manisnya kayak gula merah.
Enggak bikin sakit, tapi nagih.”
“Anjir! Lara, Lara, semenjak di Jogja kenapa bisa jadi
tukang gombal gini dah? Receh banget, sumpah.”
Aku dan Kanaya kemudian tertawa bersama. Aku
sendiri heran dengan gurauan yang baru saja kulontarkan.
Sebelumnya aku bahkan tak bisa sebebas ini. Rasanya aku
seperti sudah mulai menerima segala hal yang pernah terjadi
hingga akhirnya bisa lebih menikmati hidup, lengkap dengan
lelucon yang bisa diciptakan untuk sekadar melepas penat.
Mungkin, Saka lah yang turut ikut andil dalam semua
penerimaan yang tengah kureguk. Mungkin, Saka jugalah
yang tanpa sadar telah mengubahku untuk bisa terbuka dan
mulai lepas mengungkapkan segala rasa dan pendapat.
“Lagian elo mancing, Nay. Btw ya, mana bisa gue ngontrol
perasaan orang lain. Kalau lu tanya gue ada rasa apa enggak,
gue sih bakal dengan yakin bilang enggak ada. Eh, belum ada
deng, mana tahu besok jadi ada. Gue nanti ketulah lagi kalau
sekarang sok ngomong enggak ada.”
“Ya, iyalah mana bisa lu ada rasa ke si Rio-Rio itu,
sementara hati lu masih nyangkut di Saka. Geblek, dasar. Eh,
ngomong-ngomong ya, apa kabar tuh Saka? Masih tuh kalian
102enggak komunikasi? Perjanjian macem apa pula sih kalian
tuh? Zaman sekarang masih aja sok-sok mengandalkan
semesta yang berkonspirasi buat mempertemukan kalian.
Lu hidup di Zaman apa sih, Ra? Lu lagi bikin kisah kayak di
novel-novel?”
Aku mendengus kesal, tidak suka jika segala hal tentang
perasaanku masih saja disangkutpautkan dengan Saka yang
saat ini bahkan sudah lebih dari kata selesai itu sendiri.
Entahlah, rasanya tidak nyaman saja jika harus kembali
mengungkit apa yang sudah terjadi. Sebab, mungkin
sebagian dari diriku juga masih berusaha untuk menerima
apa yang sebaiknya diterima, terutama ketika aku mengingat
kesalahan-kesalahanku kepada Saka.
“Berisik ah, Nay. Gue sama Saka udah enggak ada rasa
apa-apa kali, enggak usah digituin terus. Yang awalnya udah
enggak ada, malah bisa jadi ada kalau dicengin mulu.”
“Yang enggak ada bisa jadi ada sih emang. Tapi, yang
udah ada terus disangkal malah jadi makin berkembang
loh, Ra.” Kanaya masih saja mencoba menggodaku dengan
ucapannya yang selalu saja bisa untuk membuatku tak bisa
berkata apa-apa lagi. Karena, terkadang apa yang dia katakan
adalah benar adanya.
“Serah lu, serah! Lagian ya, lu mau pulang jam berapa?
Entar abis zuhur gue mau nemenin si Rio jalan-jalan,”
tanyaku berusaha mengalihkan topik.
“Gue diusir? Ih, enggak berperikemanusiaan banget sih
103lu jadi sahabat.”
Aku menggeleng malas sambil menatap Kanaya. “Apa
deh? Siapa yang ngusir? Maksud gue nanya tuh biar nanti
keluarnya bisa bareng kalau gue tahu lu mau balik jam
berapa. Hhhh.... Heran jadi orang suudzon amat.”
“Hehe, ya maaf, Ra. Gue tidur dulu deh ya, nanti pas zuhur
bangunin. Mata gue masih sepet nih abis jemput ibunda ratu
tadi malem.”
Tanpa menunggu jawabanku, Kanaya langsung meng-
ambil selimut dan kembali melanjutkan tidurnya di sebelah-
ku. Melihat kelakuannya itu aku hanya bisa terkekeh sambil
a
“Jadi, mau ke mana kita hari ini, Bu?”
menggelengkan kepala.
Rio yang sedang sibuk memasang seatbelt di sebelahku
bertanya tentang tujuan perjalanan hari ini. Berhubung
dia tak mengerti seluk-beluk jalan di Jakarta dan enggan
menggunakan Maps, maka kemudi aku yang ambil alih.
Sepuluh menit lalu aku sudah tiba di depan apartemen
saudaranya. Menunggunya keluar sembari memikirkan akan
mengajaknya jalan-jalan ke mana hari ini.
“Mas, enggak usah ngejayus manggil ibu, ih. Enggak
usah banyak nanya juga ya, percaya aja sama aku. Insya
104Allah enggak nyasar, tapi kalau macet mah maklumin aja ya.
Namanya juga ibukota.”
“Macet di jalanan mah biasa, Ra. Asal jalan ke hatimu
enggak usah ikutan macet aja.”
Aku yang sedari tadi fokus menatap jalanan, kini
menautkan kedua alis sambil memandang ke arahnya sekilas.
Menariknya, Rio mengucapkan hal itu dengan intonasi paling
datar yang pernah kudengar. Tidak ada nada menggoda
bahkan senyuman jahil yang biasa ditunjukkan oleh laki-laki
yang sedang berusaha menarik perhatian seorang wanita.
Bukannya mencari tahu reaksiku setelah mengatakan
hal itu, Rio justru sibuk memilih lagu yang akan dia putar.
Aku hanya tertawa lirih lalu kembali menatap lurus ke depan,
sama sekali tak mengerti dengan gurauannya.
Biarlah, mungkin lebih baik memang seperti ini. Tak
usah dilanjutkan sesuatu yang sebetulnya tak perlu terlalu
dipikirkan. Lagipula mengapa aku harus memikirkan maksud
dari perkataan Rio tadi. Atau, jangan-jangan aku penasaran.
“Ah pasti karena ucapan Kanaya nih,” ucapku lirih dalam
hati.
Aku langsung mengarahkan mobil ke arah Gambir
dengan kecepatan standar. Hari Sabtu siang di Jakarta kali ini
ternyata cukup lengang. Ya, setidaknya tak terlalu membuat
kaki pegal untuk sekadar berpindah pedal. Maklum, mobil
yang kupakai hari ini adalah mobil ibuku, bukan matic, maka
akan sedikit pegal jika aku harus berjam-jam menghadapi
105kemacetan.
“Tahu enggak Ra, apa yang bikin Jogja tuh selalu ngebuat
kita bisa enggak merasa besar? Besar pake tanda kutip ya.
Besar karena merasa jabatan kita penting, dan besar yang
membuat kita jadi jemawa.” Lagi-lagi Rio membuka obrolan.
Bisa dipastikan sepanjang perjalanan ini seluruh percakapan
akan didominasi olehnya. Aku hanya menggeleng lemah dan
menatapnya meminta penjelasan lebih lanjut.
“Karena di Jogja tuh lebih banyak manusianya yang
bersyukur. Mungkin karena atmosfernya juga sih ya, budaya
juga. Setiap orang di Jogja tuh menghargai pekerjaannya
dengan terlalu. Sesepele apa pun pekerjaan itu bagi orang lain
yang ngeliat, tapi yang bekerja itu ngejalaninnya sepenuh
hati. Itu yang bikin manusianya satu sama lain enggak
ngerasa iri dan enggak ngerasa paling besar. Mereka bisa
sesadar itu dan nerimo dengan porsi rezeki masing-masing.”
Rio melirikku yang sedari tadi masih diam mendengar-
kannya berpendapat. “Eh, enggak bermaksud diskriminasi
ya, ini hanya pendapatku yang memang asli dan besar
di Jogja tapi beberapa kali sering plesiran ke kota lain.
Mayoritas penduduknya kayak gitu, selebihnya mah balik
lagi ke manusianya masing-masing kok.”
Aku yang sedari tadi sibuk memecah isi kepala untuk
fokus mendengarkannya dan fokus terhadap jalanan, kini
memilih untuk tak lagi diam namun menimpali. “Contohnya
kayak gimana tuh?”
106“Nih Ra, kamu liat di depan, itu tukang parkir.”
Aku mengikuti ke mana arah telunjuk Rio bermuara.
“Dia mah asal banyak yang markir di lahannya pasti
seneng banget karena pemasukannya banyak. Enggak peduli
mau orang itu bilang makasih atau enggak. Karena, yang
penting buatnya ya, hanya uang parkirannya aja. Beda kalau
di Jogja, meski juga butuh uang tapi ada satu hal lain yang
lebih penting, yaitu ucapan terima kasih.
“Aku pernah sampe diketok kaca mobilku hanya karena
lupa bilang makasih. Padahal itu enggak sengaja, aku lagi
keasyikan ngobrol sama temenku. Terus, si bapak parkirnya
ngetok aja sambil bilang, ‘Jogja Mas, matur nuwun.’ Di situ
rasanya aku malu banget, Ra. Malu banget. Aku sampe
kepikiran kalau ucapan makasih tuh dari hari ke hari makin
terasa susah terucap. Sama kayak susah ngucapin maaf,
padahal tahu kalau dirinya salah.”
Aku dibuatnya terperangah. Sedikit terkejut dengan cara
Rio bercerita dan mengambil hikmah dari sebuah kejadian.
Aku jarang bertemu lelaki seperti Rio ini, yang mau melihat
sesuatu dengan cara dan penerimaan yang begitu berbeda.
Aku jadi penasaran dengan masa lalunya. Setidaknya pasti
ada sebuah kejadian yang membuat dirinya menjadi Rio yang
seperti ini.
Sepanjang satu jam perjalanan, percakapan didominasi
oleh Rio yang membahas tentang hal-hal yang cenderung
biasa. Namun, ketika dibicarakan olehnya justru menjadi
107luar biasa, ya seperti percakapan tadi. Jujur saja aku
menikmatinya. Rasanya sudah cukup lama aku tidak
mengobrol sesuatu yang ringan tapi sarat makna seperti hari
ini.
Jika dulu Saka yang selalu menyuguhiku ceritanya yang
luar biasa, kehadiran Rio seolah menjadi pengobat rindu akan
kehadiran Saka. Aku buru-buru mengenyahkan kerinduanku
kepada Saka yang sepertinya masih saja sering mampir.
Usai memarkirkan mobil di Gambir, aku kemudian
mengajak Rio berjalan menuju Galeri Nasional yang letaknya
tidak jauh. Hanya perlu menyeberang dan berjalan ke sisi
kiri.
“Nah, sampe deh!” ucapku sambil merentangkan kedua
tangan bak seseorang yang sedang mempersilakan tamu
datang ke kediamannya.
Rio kemudian mengedarkan pandangannya dari ujung
ke ujung. Menatap sekeliling yang cenderung sepi. Aku
kemudian kembali bersuara sebelum ia berkomentar apa-
apa tentang mengapa aku membawanya ke sini.
“Jangan salah ya, Mas. Ini bukan sembarang galeri. Di sini
banyak hal bisa kamu dapet. Mau menikmati seni, ya di sini
tempatnya. Mau merenung? Di sini juga bisa banget. Main-
mainlah ke museum, karena banyak hal yang bisa dibawa
pulang. Ini salah satu tempat favorit aku untuk melarikan
diri, hehe. Kebetulan aku lagi pengen hunting foto, terus
kepikiran sama tempat ini. Enggak keberatan, kan kalau kita
108ke sini? Nanti pulangnya makan es krim Ragusa deh. Oke,
oke?” rayuku sambil menangkupkan kedua tangan di depan
mukaku, seakan memohon kepadanya agar tak menolak
ajakanku kali ini.
“Selama tempat-tempat yang aku datengin beda sama di
Jogja, aku mah mau-mau aja, Ra. Enggak ada masalah. Lagian
yang penting tuh sama siapa dateng ke sininya, bukan seperti
apa indah tempatnya.”
Usai mengatakan itu dia kemudian berjalan men-
dahuluiku. Meninggalkan aku yang masih terperangah
akan ucapannya. Lagi-lagi, Rio berhasil membuatku ingin
menggaruk kepala yang tidak gatal saking dibuat bingung
oleh ucapan dan tindakannya.
Belum usai aku melamun, Rio kemudian berbalik dan
menyapaku dengan gurauannya lagi, “Mau sampe kapan
berdiri di situ? Panas loh, nanti kamu item. Yuk ah, masuk.
Jelasin ke aku mana aja tempat yang menarik di sini.”
Aku yang tersadar dari isi kepalaku, lalu setengah berlari
menyusulnya sambil mengikat satu rambutku. Membuat
angin bisa mengenai tengkuk leher dan membuatku tidak
lagi merasakan panas yang menyengat.
a”
109CE “Sinar, sini bentar,” panggilku kepada adikku
y yang paling besar. Sinar tengah libur kerja saat
\/ itu.
“Kak Saka mau tanya. Hmm... Kamu suka mikirin
enggak sih kalau Mamah kesepian?” Aku hati-hati bertanya
kepadanya.
“Hah? Tumben nanyanya begitu? Kenapa emang?” Sinar
duduk di sebelahku di kursi ruang tamu. Sudah lama tidak
berbincang, aku hampir lupa wajah polosnya kini semakin
terlihat dewasa.
“Yah, kamu kan tahu Bapak meninggal udah belasan
tahun. Belasan tahun juga Mamah sendiri. Yang biasa dulu
ada yang rawat, ada temen ngobrol, ada yang perhatiin, ada
yang mengayomi, sekarang enggak ada. Selama sebelas tahun
kamu emang enggak pernah mikirin kebutuhan Mamah
yang kayak gitu?” Aku coba mengarahkan pernyataan untuk
membangun pemahaman Sinar dahulu. Tak ingin segera
menembaknya dengan pertanyaan inti.
“Hmm, iya, ya. Udah sebelas tahun, enggak kerasa. Tapi,
emang kita enggak cukup buat nemenin Mamah ya?” Sinar
balik bertanya.
“Yah, itu menurut kamu. Kita sama adik-adik pada
sibuk sama kegiatannya. Ramenya paling cuma malem, itu
juga masih sibuk di kamar masing-masing. Yang nongkrong
di ruang tengah paling cuma Mamah. Rame juga kalau
kebetulan kalian makan malem barengan aja kan? Waktu
110itu, waktu Mamah lagi cuti karena enggak enak badan, Kakak
merhatiin Mamah yang lagi ngerjain kerjaannya di ruang
tengah, sendirian. Kakak tiba-tiba ngerasa khawatir sama
Mamah.” Aku masih bercerita dengan hati-hati.
“Kalau Kakak mau nanya apa Mamah boleh nikah lagi,
Insya Allah Sinar mah enggak pernah keberatan, Kak.” Sinar
menembakkan maksud yang kuajukkan.
Aku hanya tersenyum. Jawaban darinya cukup untuk aku
sedikit merasa lebih tenang tapi khawatir juga. Aku tidak
bisa membayangkan bagaimana ibuku akan bersama seorang
lelaki yang tidak kami kenali, tidak aku kenali.
Sebuah pikiran muncul di kepalaku mengenai ini. Apakah
ibuku pernah khawatir perihal wanita yang aku pilih untuk
aku jadikan istri kelak? Apakah kami memiliki kekhawatiran
yang serupa satu sama lain? Atau, mungkin hanya aku saja
yang masih tidak rela untuk hormat pada seseorang yang
tiba-tiba menjabat sebagai ayah.
Berhari-hari aku memikirkan ini sejak perbincanganku
dengan Sinar. Ingin sekali membicarakan hal ini lagi dengan
kedua adikku yang lain, Permata dan Putri, tetapi ada sesuatu
yang masih menahanku.
Meski sedikit tenang bahwa Sinar sudah menyetujui tapi
bagiku jabatan seorang ayah bukan hanya perihal sosok. Ini
lebih kepada sejarah dan cerita, yang membentuk sosok itu
sendiri. Hormat dan cinta yang kemudian hadir dibentuk
oleh cerita dan sejarah itu.
a1Sob, doain gue besok sidaang...! Setelah itu gue
tunggu kabar dari lu. You know what | mean.
Aku sedang menikmati es kopi susu di Kyotown Coffee
Siang ini saat sebuah pesan masuk dari Kevin muncul di layar
ponsel. Aku menarik napas panjang. Belum selesai perihal
ibuku, kini masih tersimpan satu hal lain yang belum berani
aku sampaikan kepada ibuku. Tentang keinginanku untuk
tinggal di Jogja beberapa waktu yang lama. Ya, beberapa lama
sudah bukan dalam hitungan hari. Bisa beberapa minggu,
bulan, atau bahkan tahun tanpa satuan waktu yang pasti.
Yoi, mangat, Sob! Make a great shot!
Aku membalas pesan singkat Kevin lalu kembali
menikmati es kopi susu di siang yang agak terik ini. Desain
yang sedang aku kerjakan tinggal finishing. Namun, enggan
sekali aku selesaikan. Kepalaku berkecamuk. Seolah banyak
hal yang harus aku selesaikan padahal aku hanya terlalu
senang membuat perandaian dalam kepalaku.
Lagi-lagi andai, andai semua masalah bisa bekerja dan
berbanding lurus dengan perandaianku dalam kepala. Saat
aku membayangkan semua jalan keluar dari apa yang tengah
12aku hadapi dan bisa aku selesaikan, apakah akhirnya aku bisa
untuk tenang?
Kembali pada sebuah pemahaman perihal merasa,
bahwasanya manusia adalah mahluk dinamis yang tidak
pernah rela untuk diam. Seolah diam berkebalikan dengan
makna hidup itu sendiri. Perasaan, pemikiran, kesenangan,
kesedihan, adalah sebuah ledakan supernova di angkasa
yang akan membentuk kehidupan. Namun, laiknya ledakan,
semua ledakan bermula dari ketiadaan. Dan, setiap ledakan
hanya bersifat sementara. Maka, jika ledakan berangsur-
angsur menyusut dan kembali pada sepi, setiap orang
akan mencari dan membuat gesekan apa pun yang bisa
menciptakan macam-macam ledakan. Menciptakan macam-
macam keadaan agar bisa kembali merasakan sesuatu.
Ya, setiap orang memang senang membuat-buat masalah
sendiri dalam kepala dan hidupnya. Seperti aku yang senang
membesar-besarkan semua hal dalam kepalaku.
Aku membuka browser dan blogwalking untuk mencari-
cari inspirasi. Mencari tulisan-tulisan yang bisa menstimulus
pemahamanku. Meski tak tahu pasti tulisan dan pemahaman
apa yang aku butuhkan, setidaknya, aku mencari. Diam
dengan isi kepalaku yang hanya selalu berputar di situ-situ
saja kadang hanya memperkusut pikiran saja.
113Kadang kita tidak tahu untuk percaya pada apa dan siapa,
semua hal terlihat samar dan membuat kita nanar.
Tetapi, itu bukan perihal apa atau siapa. Mungkin doa kita
yang tidak cukup baik,
untuk membuat kita bisa percaya.
Sehingga, ragu masih menjadi teman baik yang selalu kita
jaga.
Kita saja yang terlalu nyaman dengan ragu. Karena untuk
percaya, ternyata dibutuhkan usaha yang lebih.
Tulisan itu aku temukan di salah satu Blog milik
perempuan dengan rupa yang rahasia, Eleftheriana.
Sayangnya, aku tidak bisa untuk tidak setuju. lya kan, betapa
kita sebegitu rela untuk diperbudak ragu. Aku ragu jika aku
dapat dengan rela memberi izin ibuku untuk menikah lagi
dengan seseorang. Aku ragu jika ibuku dapat memilih orang
yang tepat, yang tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk
aku dan adik-adikku. Aku ragu jika harus pergi mengejar
mimpiku membuka kedai kopi di Jogja, dan meninggalkan
ibu dan adik-adikku.
Ragu, terlalu membuatku nyaman untuk tidak percaya
pada sesuatu. Hanya membuatku terlihat egois. Seolah aku
tidak membiarkan kesalahan yang mungkin saja terjadi.
Seolah semua harus sesuai dengan inginku, dengan caraku,
114tanpa mau memedulikan orang lain.
Lalu, aku teringat pada pesan dari pemilik akun
Eleftheriana yang belum aku balas. Aku ragu jika harus
membalas pesannya. Entah karena aku masih takut melukai
seseorang, atau karena takut aku terlalu mudah untuk mau
membalas sapa seseorang. Bisa saja dia hanya wanita kesepian
yang melakukan hal itu ke setiap orang yang tulisannya
dia sukai. Namun, memang apa salahnya jika begitu? Aku
bertanya dalam hati.
Pikiranku sejenak melayang saat pertemuanku dengan
Lara. Tentang keraguan dan ketakutan. Tentang kesempatan
dan kemungkinan. Semua yang terjadi mengarahkan aku pada
hal besar. Aku mengerti, pertemuan akan membawaku pada
banyak kemungkinan yang akan semakin mendewasakanku,
dengan semua kejutan-Nya.
Saat ini, aku tidak bisa menghitung apa yang membuatku
tertarik dengan nama samaran Eleftheriana. Hanya ada
sebuah foto siluet gadis di profilnya. Ketertarikanku tidak
memiliki asal muasal selain, tertarik. Entah pada kata-
kata yang dia tulis, entah dari sapanya, entah dari caranya
mengirim pesan kepadaku. Aku hanya, tertarik. Kemudian...
“Ya, kita harus mencari tahunya. Aku ada ide, kamu
bisa menebak?”
Kalimat itu terkirim menuju kotak masuknya.
115I’m done doubting! ujarku dalam hati.
Aku menyeruput es kopi susu milikku. Manis dan
pahitnya menyatu menjadi pengisi daya semangatku untuk
menyelesaikan yang selama ini berkecamuk dalam hati.
Perjhal ibuku, perihal izin untuk aku pergi, dan memberi izin
kepada ibuku untuk mempersilakan dirinya menikah lagi.
Kak, lagi di mana?
Pesan masuk dari adikku, Sinar.
Di tempat ngopi, ngerjain kerjaan. Kenapa?
Balasku kemudian.
Tak lama Sinar sudah mendatangiku dari kantornya
setelah mengajakku untuk bertemu. Sekalian dia tengah
beristirahat untuk makan siang.
“Di sini cuma kopi doang, kak?” Sinar bertanya.
“Tuh, itu ada salad. Belum pernah nyobain sih, tapi
kayaknya enak.” Aku menunjuk kedai salad di ujung ruangan.
“wah, salad. Pas banget Sinar lagi diet. Hehehe.” Sinar
terkekeh dan segera memesan makanan.
“Jadi, kenapa tumbenan ngajak ketemu?” Aku langsung
menembak dengan pertanyaan.
116Bukan kebiasaan atau bahkan hal yang normal Sinar
mengajakku bertemu di suatu tempat. Kami tidak pernah,
sekali pun menikmati waktu berdua, atau berbincang laiknya
kakak-adik.
“sinar udah ngobrol sama Mama.” Sinar menjawab pasti.
Aku sedikit terperanjat. “Hah? Kok bisa?” Aku penasaran.
“Hah? Apanya yang kok bisa? Kok, kayak yang aneh
gitu?” Sinar tidak terima dengan pertanyaanku.
“Ya itu, kok udah ngobrol aja.” Aku masih terkejut.
“Ya, bisa, lah. Tinggal ngobrol. Kok, Kak Saka aneh sih,
pake kaget segala?”
Belum sempat aku menjawab Sinar melanjutkan
ucapannya. “Ahhh... Sinar ngerti. Emangnya Kak Saka yang
sok-sokan nyari waktu yang tepat buat ngobrol kayak gitu
sama Mama. Sibuk terus sih.” Sinar menggodaku.
Memang begitu, aku selalu memperhitungkan suasana.
Obrolan seserius itu harus aku perhitungkan suasananya.
Ini perihal hati ibuku. Meski urusan hati tidak bisa
diperhitungkan, setidaknya aku mengkhawatirkan dirinya.
Semua diksi yang keluar dari bibirku, harus bisa diterima
olehnya secara nyaman.
“sinar juga udah ngobrol sama Permata, sama Putri.”
Belum selesai aku memikirkan ibuku, Sinar membuatku
lebih terkejut lagi. “Hahhhh...?” Aku tak bisa menahan
keterkejutanku. Saking lepas kendali, sepertinya tamu lain
yang sedang menongkrong ikut terkejut mendengarku yang
7setengah berteriak.
“Heh, pelan aja kali kagetnya. Lebay, ah.” Sinar
menegurku.
“Ya, lagian kamu kok bisa udah ngobrol sama mereka.”
Seolah aku tak terima karena itu adalah tugasku.
“Udah Kak, Sinar tahu Kak Saka sibuk. Kak Saka enggak
gampang buat ngobrol sama mereka ngomongin hal ini. Itu
urusan Sinar, urusan perempuan ke perempuan. Biar lebih
bisa diterima sama mereka.” Sinar coba menenangkan.
Namun, yang aku terima hanya ketidakmampuanku untuk
berbicara dengan adik-adikku.
“Eh, jangan marah. Bukan berarti Sinar enggak percaya
Kak Saka bisa ngobrol baik-baik sama mereka. Maksud
Sinar... Ngerti kan, perasaan perempuan?”
Aku mengangguk tersenyum. Setelah pesanan Sinar
datang, kami melanjutkan obrolan perihal ibuku. Semua
ternyata menyutujui untuk memberi izin ibuku menikah
lagi. Putri, hanya sempat bertemu Bapak beberapa tahun.
Permata, adalah yag paling dekat dengan ibuku sejauh ini.
Dialah yang ingin mewujudkan keinginan ibuku agar salah
satu anaknya yang menjadi seorang guru. Permata akan
menyetujui apa pun perihal menyenangkan ibu.
Sinar, sudah jelas. Dari cara ibuku memberinya restu
dan izin untuk dekat dengan seorang lelaki di kantornya
yang beberapa kali diajak ke rumah. Dari situ Sinar sudah
berada di titik paham. Setiap orang tak terkecuali ibuku,
118membutuhkan seseorang yang dapat menemaninya, dapat
membimbing, di luar mata rantai keluarga inti.
Semua persetujuan dari adik-adikku seolah sedang
menghakimi dan memperkosa diriku di saat yang sama.
Tinggal aku sendiri yang masih menyimpan ketidakrelaan
untuk ibuku menikah lagi. Untuk dekat dengan seseorang
yang tidak aku kenali. Yang dalam waktu sangat singkat bisa
menjadi seorang ayah bagiku.
“Kalau boleh jujur, alasan lain kenapa Kakak nanyain
persetujuan ini ke kamu adalah untuk mencari alasan yang
kuat. Biar Kakak juga bisa ngizinin Mamah untuk nikah lagi,
Sinar.” Aku mengakuinya sedikit malu.
Sinar tersenyum. Bola mata hitamnya seakan ingin
memeluk aku. Ada lega dan khawatir akan perkataanku.
“Kalau boleh jujur juga,“ Sinar menarik napas panjang
sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sebenernya, Sinarlah
yang minta Mamah untuk ngobrol sama Kak Saka, untuk
minta ijin.” Kini bola mata tadi berubah sepenuhnya
khawatir.
Aku tidak bisa lebih terkejut dari yang sudah-sudah
dikatakan Sinar. Selama ini mereka menyembunyikan
sesuatu dari aku. Seolah aku adalah musuh utama mereka,
hambatan terbesar mereka. Dada ini mendegupkan sebuah
rasa tidak terima akan apa yang didengarnya.
“Kok, gitu sih?” Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Aku
tak sedikit pun memiliki hak untuk marah terhadap Sinar.
119Ada sesuatu yang aku yakini yang membuat Sinar dan ibuku
melakukan hal itu kepadaku.
“Kak... Kami enggak bermaksud nyembunyiin apa pun
dari Kak Saka meski memang terkesan seperti itu.” Sinar
membuat jeda pada ucapannya. “Sinar sama Mamah paham
banget. Dari kami semua, selain Mamah, Kak Saka yang
paling deket sama almarhum Bapak. Kak Saka yang paling
lama diasuh, dirawat sama Bapak. Kak Saka tahu itu. Semua
kebebasan yang ada di diri Kak Saka. Semua sifat, karakter
Bapak, ada di Kak Saka. Kita semua sadar itu. Mungkin Kak
Saka yang enggak menyadarinya. Liat adik-adik Kakak.
Aku, Permata, Putri, kita semua punya kecenderungan yang
sama kayak Mamah.” Sinar terdengar masih belum selesai
bercerita.
Namun, memang ada benarnya. Aku yang selama ini
tidak menyadarinya. Aku, adalah kloningan dari almarhum
bapak.
“Kerinduan Kak Saka sama Bapak, mengakar di diri
Kak Saka. Sampe Kak Saka sendiri terasa seperti Bapak.
Seorang yang independen, seorang yang tertutup, tetapi
menyembunyikan kasih sayang luar biasa. Seseorang yang
tegas sama pilihannya, tapi juga rapuh dan butuh untuk
disentuh. Yang kadang pengen manja, tapi malu karena
harus tetap kuat di sekitar orang yang disayang. Kak Saka
udah bisa ngerasain itu sekarang, bahwa almarhum Bapak
ada di diri kak Saka?” ucapan Sinar memeluk nurani.
120Seketika, diri ini jadi sangat rapuh. Semua sel dalam raga
bergegas memojokkan air mata untuk muncul ke kelopak
mata. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menangis. Aku
tak memberinya izin untuk tumpah di atas pipiku. Biarpun
aku menangis, biar aku menangis dalam pikiranku sendiri.
“Kak, Bapak emang enggak bakal pernah bisa digantikan
posisinya sebagai orang yang luar biasa di hidup kita, di hidup
Mamah. Mamah juga enggak berniat sama sekali melupakan
atau menggantikan posisi Bapak sama orang lain. Tapi, bagi
Sinar, ada sesuatu yang lebih besar dari itu. Sebuah ibadah.
Bayangin, calon Bapak kita yang baru juga kehilangan
istrinya, punya anak-anak yang merindukan sosok ibu. Dua
keluarga yang memiliki luka-luka yang sama, bergabung
untuk saling menyembuhkan. Apakah enggak indah, Kak?”
Sinar mengakhiri ucapannya dengan senyum. Namun, ada
hal yang lagi-lagi mengejutkanku.
“Kehilangan istri? Maksud kamu? Mamah?” Aku ber-
tanya penasaran. Gelagapan.
“lya, Sinar udah sempet ketemu sama orangnya. Insya
Allah, kalau Mamah aja bisa nyaman sama orang tersebut,
Sinar juga. Pasti Kakak juga bisa nyaman dan nerima beliau.”
Sinar tersenyum.
Meskibegituterkejut, semua penjelasandariadikku Sinar,
berhasil meluluhkan perasaanku. Membuat pemahaman
yang mengindahkan tanpa sama sekali menggurui atau
membuatku terpojokkan. Terasa seperti sebuah kasih sayang
121yang selama ini tidak aku ketahui.
“Bapak juga di sana pasti pengen ada yang bisa
jagain Mama. Kita kasih restu atau izin bukan perihal
hasil perhitungan kelayakan atas seseorang yang dipilih,
melainkan titik percaya pada kelayakan seseorang yang
memilih orang tersebut. Kita tahu bagaimana Mamah kan?”
ucap Sinar pelan.
Aku tersenyum. Kami sama-sama menyetujuinya tanpa
perdebatan. Kami sepakat. Ibuku pantas mendapatkannya.
Pantas mendapatkan kebahagiaan bahkan tanpa harus
meminta izin.
Aku tengah tertegun memandangi sebuah
lukisan karya Dede Eri Supria yang diberi judul
‘Yang Berusaha Tumbuh’, ketika sebuah tepukan
halus mampir di pundakku.
“Lara!”
Aku menoleh dan mendapatinya sudah berdiri di
belakang dengan senyuman yang masih sama seperti
sebelumnya. Aku masih terpaku menatap sosok itu hingga
kemudian ia kembali bertanya.
“Menurutmu arti lukisan ini apa?”
Aku memandangnya lekat tapi sekilas, kemudian
122memejamkan mata sebentar. Sebuah tarikan napas yang
cukup dalam begitu kuperlukan untuk memberi oksigen pada
kepalaku. Berharap sekelebat kejadian yang terus berputar
silih berganti di kepalaku segera enyah.
Beberapa tahun lalu, hal seperti ini pernah sekali terjadi
di hidupku. Sebuah pameran yang membuatku bertemu
dengan seseorang. Bukan hanya bertemu, melainkan
memutuskan untuk terbuka agar bisa berbagi cerita, bahkan
setelahnya malah menjalin cerita bersama. Pertemuan di
pameran itu membuatku menutup sebuah luka yang telah
lama menganga. Menambalnya dengan sebuah suka cita baru
akan sebuah rasa cinta yang ternyata malah memberi luka
kembali.
Iya, sayangnya menambal luka_ bukan __berarti
menyembuhkan. Itu hanyalah upaya untuk melupakan
sejenak. Luka yang ada itu kemudian kembali karena
memang tak pernah aku terima sebagai sebuah pelajaran.
Luka itu kembali karena tak pernah aku pahami dan maknai
untuk kemudian diikhlaskan.
“Lara, are you okay?” Suara Rio kembali menarikku pada
keadaan utuh dan sadar saat ini.
“Ya, ya, aku baik-baik aja.” Aku memaksakan sebuah
senyum hadir di wajah. Berusaha membuatnyatidak bertanya-
tanya lebih lanjut. “Cuma lagi mikir mau nerjemahin maksud
tulisan ini kayak gimana ke kamu. Karena, di kepalaku
banyak banget kosakata yang berebutan mau keluar. Berisik,
123Mas. Sampe aku bingung mau ngomong apa aja. Hehe”
Rio terkekeh mendengar ucapanku. “Hahaha. Kalem
Ra, keluarin aja satu-satu. Aku siap jadi pendengarmu kok.
Kalau kamu biasanya nulis di Blog karena enggak ada yang
bersedia menjadi telingamu bercerita, now, here I am. Aku
dengan senang hati dengerin kamu ngomong, biar kamu
enggak capek nuanginnya di tulisan. Ya, itung-itung biar
kamu enggak pusing sendiri sama isi kepalamu yang penuh
diksi dan kata-kata itu.”
Aku tidak tahu apakah ucapan Rio tersebut memang
terlontar begitu saja karena dia mengetahui hobiku menulis
di Blog, atau dia mengatakannya karena memang semudah
itu untuknya membaca dan mengenali diriku.
“Menurut Mas ini berat enggak? Hmm, I mean ketika
liat lukisan ini, Mas Rio kebayang hal-hal rumit atau bisa
nikmatin karya ini begitu aja tanpa berusaha mikir keras
maknanya apa?”
Menanggapi pertanyanku itu, Rio terlihat berpikir
sejenak sambil memerhatikan lukisan yang dimaksud dengan
saksama. Matanya menyapu lukisan itu dari keseluruhan sisi,
menelitinya sebelum akhirnya bicara. “Aku bisa nikmatin
gitu aja sih Ra, enggak ada yang buat jadi mikir. Tapi, ada
hal aneh gitu yang bikin aku pengen ngungkapin sesuatu.
But, I don’t know how to describe it,” tegasnya sambil menoleh
menatapku.
Aku yang sedari tadi memerhatikannya kini kembali
124memandang lukisan di depan kami. Mencoba mulai
merangkai kata dan berusaha menyampaikannya kepada Rio.
“Mas, liat itu ada persemaian yang tumbuh subur?” tanyaku
sambil menunjuk ke arah lukisan yang berwarna hijau persis
seperti padi ataupun tanaman teh di daerah Puncak.
Rio mengangguk sebagai jawaban atas tanyaku itu.
Membuatku kemudian melanjutkan ucapanku. “Buatku
itu artinya kekuatan dan harapan. Tanaman atau
tumbuhan adalah salah satu kehidupan. Petani-petani yang
menanamnya menggantungkan harapan di sana, harapan
untuk menyambung hidup. Sedang, pedagang di pasar dan
kita sebagai pembeli menjadikan tumbuhan itu sebagai
harapan untuk memberi kekuatan bagi tubuh, dengan
mengonsumsinya tentu aja.”
Aku menjeda sebentar, melirik ke arah Rio yang
bergantian menatapku serta lukisan itu. Seolah sedang
menelaah semua yang sedang aku tuturkan. Aku kembali
mengarahkan pandangan pada lukisan tersebut, tersenyum
sekilas sebelum akhirnya kembali bersuara.
“Sementara gedung yang runtuh dan hancur ini,” ucapku
sambil membingkai lukisan itu dengan jemariku.
“Layaknya simbolis dari kelemahan dan keputusasaan.
Dua hal yang bertolak belakang sekali kan? Kekuatan
dan kelemahan, harapan dengan keputusasaan. Seolah
mengisyaratkan bahwa di balik harapan petani-petani itu
tersimpan sebuah keputusasaan ketika tanaman mereka
125diserang hama dan tak ada bantuan dari Pemerintah,
misalnya. Atau, bisa juga mengisyaratkan bahwa ada pihak-
pihak yang bisa membeli tanaman itu dalam jumlah banyak
tapi membandrolnya dengan harga murah hanya agar
mendapatkan untung banyak. Si pihak pembeli itu punya
kekuatan, tapi mereka melupakan kelemahan yang juga
dimiliki si petani.”
Aku kemudian mengulas sedikit senyum, lega karena
sebagian isi kepalaku berhasil kukeluarkan dengan baik
melalui ucapan. Bukan lagi hanya lewat sederet aksara yang
terkadang menimbulkan tafsir yang berbeda-beda.
Aku mengalihkan pandangan untuk menatap Rio.
“Entah maksud sang pelukis yang sebenarnya apa, tapi aku
menangkapnya sebagai sebuah kehidupan yang haruslah
berjalan seimbang. Jika ada pihak yang kuat, maka mereka tak
boleh lalai dengan si lemah. Jika ada harapan yang merekah,
maka orang lain tak boleh lupa sewaktu-waktu putus asa
itu bisa aja dateng. Jadi, gitu deh, menurutku tentang arti
lukisan ini. Hehe.”
Aku menutup penuturanku dengan sedikit tawa ringan
agar suasana menjadi sedikit lebih rileks. “Wow, aku enggak
ngerti sama isi kepalamu, Ra. But to be honest, I adore you.”
Matanya menunjukkan binar kejujuran akan setiap kata
yang diucapkan.
Aku menunduk karena tersipu malu dibuatnya.
“Dan setelah diliat-liat, apa yang kamu bilang tadi tentang
126lukisan ini tuh masuk akal sih. Menarik, Ra. Aku jadi enggak
hanya nikmatin lukisannya aja, tapi bisa menggabungkannya
jadi sebuah pemahaman baru setelah denger ceritamu.”
Sembari kembali berjalan meninggalkan lukisan tadi
menuju lukisan lain, aku menanggapi ucapannya barusan,
“Ya, asal enggak semua lukisan di sini harus aku jelasin aja,
Mas. Banyak banget loh ini, aku bisa berbusa-busa. Nanti yang
ada pemandu tur di tempat ini harus pindah lapak karena aku
bisa gantiin mereka,” selorohku yang disambutnya dengan
sebuah tawa renyah.
Aku menatapnya yang sedang tertawa. Caranya tertawa
membuat sebuah perasaan bahagia menyeruak di dadaku.
Aku tidak mengerti mengapa bisa, tapi ternyata bahagia
memang bisa menular hanya dengan sebuah tawa yang
dibagi. Aku masih memerhatikannya hingga kemudian
mendapati sebuah kejutan manis yang dia miliki.
“Mas, itu... kamu punya, dimple?” tanyaku sambil
menaruh telunjuk pada pipiku sendiri.
“Oh, ini?” timpalnya sambil menaruh jemarinya pada
lekukan kecil di pipi sebelah kanannya. “Iya, punya, tapi
cuma satu, yang kanan aja. Itu juga harus ketawa atau senyum
yang lebar baru keliatan. Kamu aja baru liat sekarang, kan?”
“Hehe, iya sih, baru liat. Itu juga karena kebetulan kamu
ketawa dan aku baru merhatiin, Mas.”
“Jadi, dari tadi kamu merhatiin aku nih?” Rio kemudian
menghentikan langkahnya dan berdiri tepat di hadapanku
127dengan menatapku lekat.
Aku yang sedari tadi melangkah dibuat terkesiap oleh
perkatannya. “Apa sih, Mas? Kebetulan tadi posisiku kan
di sebelah kananmu, jadi ya keliatan,” elakku berusaha
menyangkal pernyataannya. Malu sebetulnya mengakui
bahwa sedari tadi aku memang memerhatikannya.
“lya, deh iya. Sekarang ke mana nih? Laper nih, Ra. Tadi
belum sempet makan siang udah keburu kamu jemput,”
keluhnya sambil memegangi perut.
“Lagian dandannya lama sih!” ucapku menggodanya,
“Hm, cari makan di Gambir aja deh kalau gitu. Baru abis itu
kita beli es krim Ragusa. Soalnya, kalau makan di Ragusa
nanti enggak dapet tempat duduk hari libur begini.”
a
Aku dan Rio kini tengah duduk di trotoar pinggir jalan di
depan toko-toko yang sedang tutup, sambil menikmati es
krim yang tadi sudah kami beli. Kebetulan tempat duduk di
kedai Ragusa sedang penuh. Itu sebabnya aku memilih duduk
di sini seperti beberapa pengunjung lain yang tidak kebagian
tempat.
Aku sendiri memang sengaja tak membawa mobil
ke tempat ini. Sudah lama rasanya tidak berjalan kaki di
Jakarta, menikmati sudut-sudut keramaian yang sebetulnya
128menyimpan begitu banyak cerita jika saja kita mau untuk
sedikit saja mendengar. Sayang, kebanyakan penduduknya
lebih suka mengeluh dan mengaduh tentang rumitnya lalu
lintas dan segala pelik kehidupan lain.
“Sering ke sini, Ra?” Rio bertanya.
Aku menoleh memerhatikannya yang sedang lahap
menikmati spaghetti ice cream yang tadi dipilihnya.
“Enggak juga, kalau lagi ke Galnas aja mampir ke sini.
Sekalian jalan, nanggung kalau enggak mampir.”
Rio mengangguk kemudian menatap lurus ke depan,
menerawang selama beberapa detik. “Kenapa kamu enggak
coba nulis buku aja, Ra?”
“Buku harian maksud Mas?” Aku mencoba bercanda
menanggapi pertanyannya, yang kemudian dibalasnya
dengan mengacak rambutku.
“Ya, bukan buku harian juga, Ra. Kamu nih lama-lama
ngeselin juga yah, haha.”
Rio tertawa sejenak baru melanjutkan lagi omongannya.
“Maksudku, kamu kan udah biasa nih edit naskah. Suka nulis
juga kan kamunya, dan sejauh yang kuperhatiin tulisanmu
enak untuk dibaca. Kenapa enggak coba membukukan
tulisan-tulisanmu itu? Mencoba hal baru, Ra. Masa enggak
ada sih keinginan untuk membuat karya sendiri. Melahirkan
karya orang udah jago, melahirkan karya sendiri masa
enggak mau?”
“Bukan enggak mau Mas, tapi emang belum ngerasa
129pantes aja untuk membuat buku sendiri. Belum sepede itu,
hehe.” Kilahku singkat.
“Yang nilai pantes enggaknya tulisanmu untuk jadi buku
emangnya hanya kamu aja? Kan enggak, Ra. Sayang aja sih,
menurutku. Kamu punya bakat untuk mengolah kata dan
menelaah sebuah peristiwa jadi satu kisah yang menarik.”
Rio menjeda dengan kembali menyuap es krim ke mulutnya.
“Atau, kamu kan suka fotografi tuh. Kenapa enggak
bikin buku yang ada fotonya aja? Kamu yang menangkap
gambarnya, dan kamu juga yang menginterpretasikan
makna dan perasaanmu ketika mengambil gambar itu.
Caramu menceritakan lukisan-lukisan tadi tuh enggak
semua orang bisa loh. Maksudku, enggak semua orang
mampu menyatukannya dengan pas. Secara foto dan tulisan
memiliki dua roh yang berbeda.”
Aku yang tengah asyik memakan es krim dibuat tersedak
oleh ucapannya barusan. “Mas, bukain botolnya dong,”
pintaku sambil menyodorinya sebotol air mineral.
“Kamu enggak bisa buka tutup botol ya?” tanyanya
sambil membuka botol tersebut lalu memberikannya kembali
padaku.
Aku hanya menggeleng lemah dan buru-buru meneguk
air mineral itu untuk melegakan kerongkongan.
Jujur saja, mendengar kata gambar dan tulisan yang
disatukan, membuatku kembali teringat pameran foto di
Bandung yang akhirnya mempertemukan aku dengan Saka.
130Aku ingat betul setiap orang yang melihat kolaborasi yang
kami ciptakan selalu berdecak dan berkata ada semacam
roh yang membuat foto Saka dan tulisanku menjadi sangat
terkoneksi. Bahkan, sampai ada beberapa orang yang
menawar untuk membelinya.
Sepertinya, menarik untuk menciptakan buku seperti
yang Rio maksud. Sayang, aku belum merasa semahir itu
mengabadikan foto. Aku merasa masih butuh orang semacam
Saka yang lebih lihai menempatkan rasa pada sebuah gambar
yang diabadikan.
“Menarik sih, Mas. Tapi, nanti deh, tunggu aku
jago ngambil fotonya dulu. Aku belum ngerasa mampu
menyampaikan rasa melalui gambar, hehe.” Aku
menjawabnya dengan tertawa sambil berdiri hendak
membuang bungkus tempat es krim dan botol air mineral
yang sudah kosong.
“Nanti sampe kapan? Sampe azan magrib yang bentar
lagi mau berkumandang?” Rio mengikuti berdiri lalu
membuang sampah bekas makanannya juga.
Aku kemudian melihat jam tangan dan mengarahkan
pandanganku. Melihat langit yang sudah memperlihatkan
semburat oranye.
“Eh, iya udah mau magrib. Salat di Istiqlal aja yuk
sekalian, Mas. Baru abis itu aku anter kamu balik.”
a”
131So let me know the truth
Before I dive right into you
You’re a mystery
Thave travelled the world
And there’s no other girl like you, no one
What’s your history?
Do you have a tendency to lead some people on?
Cause I heard you do
Suara Ed Sheeran mengalun memenuhi mobil.
Mengisi kekosongan yang hadir antara aku
dengan Rio. Aku yang sedari tadi fokus menyetir
tak jua membuka obrolan karena sibuk dengan pikiranku
sendiri tentang percakapan yang tadi disinggung Rio.
Sedangkan, lelaki itu sibuk melihat-lihat foto yang kuambil
dengan kameraku.
“Ra, ngeliat foto-foto kamu aku kayak diajak dengerin
cerita. Semuanya sarat makna, gimana sih caranya? Dari
dulu aku juga pengen bisa foto sesuatu kayak gini dan enggak
pernah bisa. Emang enggak bakat kali ya,” keluh Rio.
“Bukan enggak bisa, hanya belum bisa. Kalau mau belajar
mah semua orang juga bisa, Mas. Aku juga awalnya enggak
bisa foto dengan fokus, tapi sekarang udah mulai bisa tuh.
Semuanya ya karena aku membiasakan diri dan terus belajar.
Gimana mau bisa foto kalau jarang-jarang hunting?”
132Rio mengangguk menyetujui perkataanku. “Iya, juga sih
ya. Kalau jarang-jarang pegang kamera, sampe kapan juga
tetep enggak akan bisa. Tapi Ra, feel-nya tuh beda gitu kalau
liat fotomu. Ada hal lain yang bisa diliat. Beda dari kalau
liatnya cuma pake mata aja.”
Aku kemudian teringat kembali perkataan Saka saat
ia mengajariku. “Itu sih hanya karena sudut pandang aja,
Mas. Apa yang mau aku sampein lewat foto itu akan beda
dengan jepretan tangan orang lain. Karena rasa yang dibawa
memang beda. Hmm...dulu pernah ada yang ngomong sama
aku. Dalam ngambil gambar kita hanya perlu fokus sama apa
yang ingin diliat. Cari sudut pandang yang membuat mata
kita nyaman untuk menikmati hal yang ada di depan kita itu.
Jika deket, ya seberapa deket kita nyaman. Tapi kalau jauh, ya
seberapa nyaman hal itu bisa untuk kemudian kita nikmati.”
“Menarik, Ra!” Rio kemudian mengarahkan kamera ke
jalanan melalui jendela yang tertutup dan sudah dibasahi
oleh tetesan air hujan. Aku mengira ia akan mengabadikan
hujan yang mengalir di kaca jendela, tapi ternyata malah
mengarahkan kamera itu kepadaku. Sebelum aku sempat
menolak, ia sudah membidikku.
“Kenapa jadi aku yang difoto sih, Mas? Padahal tuh ya,
kaca jendela lebih romantis buat difoto,” selorohku.
“Kalau kaca jendela yang diguyur hujan mah kapan aja
bisa diabadiin. Di Jogja juga bisa. Tapi, kalau kamu yang lagi
nyetirin aku, kapan lagi bisa diabadiin kalau bukan sekarang?
133Lagian sekalian mau coba, seberapa deket dan nyaman yang
aku rasa kalau lagi liat kamu.”
Aku kemudian menoleh sambil tertawa lirih mendengar
ucapannya. Tak ada tatapan yang ia lontarkan kepadaku. Ia
malah sudah asyik kembali fokus pada kamera, melihat hasil
gambarnya dan berkali-kali mencoba mengambil gambar
lainnya.
Tak ada sikap lanjutan dari ucapannya barusan. Entah
sudah kali keberapa di hari ini aku dibuatnya tak mengerti
atas semua perkataannya. Ingin menganggapnya hanya
sekadar lelucon, tapi dari intonasinya saat berbicara, hal
itu tidak terdengar sebagai lelucon. Ingin menganggapnya
serius, tapi ia tak menjelaskan apa-apa juga kepadaku.
Aku kembali mengedikkan bahu dan melajukan
kendaraan lebih cepat dari sebelumnya. Berharap lekas
sampai di apartemen saudaranya agar kecanggungan yang
tiba-tiba hadir bisa segera berakhir.
a
Hari Minggu kali ini kuhabiskan dengan menemani ibuku
berbelanja kebutuhan rumah serta membeli beberapa bahan
untuk membuat kue nastar serta kastengel. Dua camilan
kesukaanku yang akan kubawa pulang ke Jogja nanti malam.
Ya, malam ini aku akan kembali bertolak ke Jogja, bersama
134dengan Rio juga tentunya.
“Ma, yang waktu itu Lara pernah bilang udah Mama coba
pikirin belum?” Aku mengetuk-ngetukkan tanganku pada
kemudi sambil sesekali melihat angka penghitung mundur
yang menunjukkan detik lampu berwarna hijau akan segera
hadir.
“Yang mana ya? Oh, Mama tahu nih, yang pindah ke
Jogja itu ya?”
“Yap!” Aku mengangguk dan kemudian segera melajukan
kendaraan karena pusing dengan bunyi klakson di belakang.
“Gimana ya Ra, masalahnya tuh pindah bukan cuma
perkara beralih ke tempat baru dan memulai segalanya di
lingkungan baru aja. Tapi, banyak hal yang harus diselesaiin
dulu sebelum akhirnya memutuskan pindah. Mama udah
terlalu kerasan di sini. Mama enggak tahu di Jogja nanti bisa
betah atau enggak. Lagian kamunya kan juga sibuk kerja. Apa
bedanya coba sama Mama yang tinggal di Jakarta?”
“Ttu teh kode mah? Kode biar Lara di rumah aja nemenin
Mama? lyah, gitu?”
Ibuku kemudian menepuk lenganku pelan, sementara
aku hanya terkekeh karena berhasil menggodanya.
“Hemmm... gini deh. Gimana kalau Mama nyoba dulu
tinggal di Jogja sama Lara selama sebulan dua bulan. Kalau
emang enggak betah, Mama mau balik lagi juga enggak
apa-apa. Sekalian nanti Lara cari kerja baru aja di Jakarta,
biar enggak jauh-jauh lagi sama Mama. Biar Mama enggak
135kebanyakan kangennya sama Lara,” lanjutku.
“th, kamu mah! Mama enggak kangen kok, cuma
kesepian aja sendirian mulu di rumah. Kalau pagi sih enak,
ada karyawan di toko kue yang nemenin. Lah, kalau malem?
Sama Bibi aja di rumah. Kamu sih, makanya buruan nikah,
terus kasih Mama cucu biar ada temennya di rumah.”
Aku menelan ludah mendengar ucapan ibuku. Nalarku
sedang bersiteru. Ada sedikit rasa mencelos karena ibuku
berkata bahwa beliau kesepian. Namun, di satu sisi aku resah
jika sudah mulai disenggol perihal pasangan. Ah, lagi-lagi
ajakan untuk pindah malah menjadi bumerang untuk diriku
sendiri.
Sebetulnya aku malas untuk menanggapi ucapan itu,
tapi di benakku justru terlintas ide untuk kembali menggoda.
“Tuh, di kamar Lara ada boneka yang Mama pernah beliin.
Peluk aja Ma biar enggak kesepian. Lumayan loh bisa bikin
Mama ada temen tidur.”
“Th, kamu ya. Bener-bener deh. Mama sendiri malah
diisengin.” Ibuku kemudian menjewer telingaku pelan sambill
tetap mengomel, sedang aku hanya terbahak melihatnya.
Tak lama tangannya kemudian mengelus rambutku. Bila
sudah seperti ini, aku tahu ada sesuatu yang ingin beliau
sampaikan.
“Ra, Mama udah pernah pesen ke kamu kan ya, kalau
Mama enggak mau kamu berhenti kerja kalau nanti udah
nikah? Bukan apa ya Nak, Mama cuma enggak mau kamu
136sepenuhnya bergantung sama suamimu aja. Seenggaknya
kamu tetep punya uang tabunganmu sendiri. Atau, ya kamu
bisa usaha apa gitu di rumah. Pokoknya, jangan sampe kamu
enggak ada pemasukan sendiri. Belajar dari pengalaman
Mama ya, Ra.”
Aku tersenyum sambil menggenggam tangannya yang
sedari tadi mengelus rambutku. Menyalurkan kekuatan yang
kupunya dan memberinya sedikit ketenangan. Rasanya di
mataku saat ini sudah ada air mata yang ingin tumpah. Aku
mencegahnya sekuat yang aku mampu. Aku menghela napas
pelan.
“Tya Ma, tenang aja. Lara inget kok pesen Mama. Doain
aja semoga Lara dapet suami yang bertanggung jawab dan
sayang sama kita.”
Ibuku kemudian mengambil tangannya yang tadi sempat
aku cium dan mulai menoyor pipiku pelan. Kebiasaan yang
sering dilakukan oleh ibuku bila mulai tak suka dengan
perlakuanku yang terlalu manis.
Mungkin benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Hal itu juga yang membuatku akan mudah jengah dengan
lelaki yang baru berkenalan tapi sudah berusaha menarik
perhatian dengan seribu jurus gombalan dan rayuan. Bukan
berarti aku tak suka diperlakukan romantis, hanya saja
aku tak suka diperlakukan terlalu manis secara kontinyu.
Roman picisan bagi perempuan seumurku rasanya sudah
tak lagi diperlukan. Aku justru lebih tertarik dengan cara
137Saka mendekatiku. Pun, dengan cara Rio yang membuatku
merasa nyaman berada di dekatnya. Sial, ada apa lagi dengan
kepalaku yang sudah mulai menilai dan membandingkan
Saka dengan Rio. Tanpa sadar seulas senyum terbentuk
ketika aku memikirkan hal tersebut.
“Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Eh, kamu beneran
udahan sama Saka? Terus, di Jogja nemu mas-mas Jawa yang
manis enggak?”
“Apa, Ma? Nemu? Manusia loh Ma, masa bahasanya
nemu sih. Emangnya barang yang ilang apa?” Aku hanya
menggeleng-gelengkan kepala tanpa sedikit pun menjawab
pertanyaan beliau tentang Saka. Ibuku kali ini hanya tertawa
mendengar perkataanku. Lupa dengan pertanyaannya yang
tak sempat aku jawab.
Mungkin aku sudah menerima hubunganku dengan Saka
yang tak lagi bersama kini. Mungkin aku bisa menerima
dengan ikhlas seluruh luka yang sempat dia torehkan,
bahkan aku juga torehkan kepadanya.
Namun, ketika membahasnya dengan ibuku, rasanya
masih selalu ada kesempatan untuk aku merasa bersalah dan
bersedih dengan kandasnya hubungan itu. Hubungan yang
kupikir akan berakhir dengan indah meski beberapa kali tak
diyakini oleh ibuku.
Mengenai kandasnya hubunganku dengan Saka juga
sebetulnya tak pernah secara gamblang kuceritakan kepada
ibuku. Jangankan bercerita tentang alasannya, berkata kapan
138semua berakhir saja aku tak pernah.
Tapi, mungkin begitulah kepekaan orang tua terhadap
anaknya. Beliau justru yang bertanya kepadaku. Kenapa kok
udah enggak sama Saka lagi? Pertanyaan itu terlontar sehari
sesudah aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya
dengan Saka.
Aku sempat menanyakan kepadanya bagaimana ibuku
bisa mengetahui hal itu. Aku sendiri tak menunjukkan
gelagat aneh dan tak berbicara apa pun terkait putusnya
hubunganku dengan Saka. Namun, jawaban yang diberikan
hanya, “Mama cuma liat kamu gelisah aja. Enggak kayak biasanya
yang seneng terus dan senyum mulu. Dari situ Mama tahu kamu
udah enggak sama Saka lagi.”
Semua rentetan kejadian menari-nari di benakku,
seolah sedang terpasang proyektor besar di depan wajahku.
Membiarkanakuterusterpekur dan terjebak dalam kenangan.
Beruntungnya, ibuku kembali memecah lamunanku dengan
sebuah pertanyaan yang menyalakan semangat di hatiku.
“Bulan depan deh ya Mama ke Jogja. Sebulan aja tapi,
kalau betah ya pindah. Tapi, kalau enggak kamu yang harus
pindah lagi ke Jakarta.”
“Nah, gitu kek daritadi, Ma. Yey! Bulan depan Lara bisa
makan enak lagi di rumah.” Aku kemudian tersenyum lebar
sambil mengepalkan tangan.
“Ye, dasar maunya tuh biar enggak capek.”
“Lah, kan emang gitu niatnya, Ma. Hehehe.”
139Gelak tawa kemudian menghiasi suasana pagi kami
kali ini. Ya, ini yang membuatku selalu senang berkendara
dengan ibuku. Selalu ada hal yang bisa dibicarakan dengan
lebih personal, dan membuatku selalu bisa merasa dekat
dengan ibuku.
“Mama masakin. Tenang aja. Asal kamu bawa aja calonmu
ke rumah.”
Kali ini ucapan ibuku itu membuat keningku kembali
berkerut. “Calon apaan sih, ma? Masih aja bahas gituan, heran
deh. Mendadak Lara jadi pusing,” jelasku sambil memijat
pelipis, seolah-olah aku memang sedang pening karenanya.
“th, kamu ya, udah berani main rahasia-rahasiaan.
Mama enggak akan ngomong gitu kalau Mama enggak lewat
kamarmu kemarin siang, pas ada Kanaya. Kamu pikir Mama
enggak denger waktu Kanaya sebut-sebut nama cowok?
Kamu juga sempet kan teleponan pas udah sampe rumah
kemarin malem.”
Aku kemudian mengingat-ingat semuanya, dan menepuk
jidatku setelah menyadari bahwa Kanaya memang sempat
berteriak ketika menyebut nama Rio waktu itu. Bahkan
waktu menerima telepon dari Rio, aku memang baru sampai
di rumah dan akan naik ke dalam kamar. Sementara, ibuku
saat itu ada di ruang tengah.
“Apa? Mau ngelak lagi kamunya?”
“Enggak, Ma. Lagian kalau yang itu tuh bukan siapa-siapa,
ih. Dia atasan aku di Jogja. Kebetulan dia juga lagi ke Jakarta.
140Nanti malem berangkat ke Jogja sama aku juga. Bukan siapa-
siapa, serius deh,” ucapku dengan nada meyakinkan.
“Loh, jadi kamu pulangnya bareng dia? Kalau gitu nanti
Mama yang anter kamu. Mama mau tahu orangnya kayak
gimana.”
“Tapi Ma, nanti tuh....”
“Enggak ada penolakan. Sekali Mama bilang Mama
mau anter, ya pokoknya Mama.” Belum sempat aku
menyelesaikan ucapanku, beliau sudah memotong dengan
memberi pernyataan yang tak bisa untuk dibantah.
Aku akhirnya mengangguk pasrah. Tampaknya salah-
ku untuk berkata jujur mengenai keberadaan Rio dan
kepulanganku dengannya.
“Iya, iya. Ya, udah nanti Lara bilang Kanaya biar enggak
usah jemput sama anter Lara.”
a”
141Se
CHAPTER III
lt. 1C] OY ey VOM EEG TA\CLOn
MENUJU SATU TITIK PERCAYA";°Kevin telah berhasil membuat dosen penguji
bangga atas tesisnya. Kini mimpi lainnya bisa
terpenuhi hanya dari sebuah kata iya dariku.
Selain itu, proposal Narni juga sudah berhasil diterima dosen,
tinggal meneruskan penelitian untuk skripsinya. Sebuah
kabar yang membawa pesan kebahagiaan. Saat seseorang
yang kita pedulikan berhasil melalui salah satu chapter
menantang dalam hidupnya.
“Lu mulai siapin semua aja. Bisa atau enggaknya,
pokoknya I’m in!” Aku berbicara di telepon. Kevin di
ujung telepon sana langsung terdengar kegirangan dan
bersemangat. Bahkan suara yang bersemangat itu berhasil
membuatku bergelora juga.
Rumah tengah sepi. Semua orang di tengah bekerja dan
sekolah. Hari ini aku memutuskan untuk mulai mengerjakan
semua to do list untuk beberapa minggu ke depan. Pekerjaan
dari beberapa klien dan teman harus aku selesaikan. Lalu
memberikan kabar kepada mereka bahwa aku tidak bisa
menerima pekerjaan desain untuk beberapa bulan ke depan.
Mengerjakan semua hal yang harus aku selesaikan di
Bandung ini agar dapat dengan mudah pergi ke Jogja untuk
beberapa lama. Beberapa lama yang kumaksud kali ini
kujanjikan dari satu hingga tiga bulan. Ibuku sedikit terkejut
awalnya. Tapi, setelah menceritakan rencanaku, ibuku
akhirnya paham dan mengizinkan aku untuk pergi. Untuk
sementara waktu tidak di rumah.
145“Meni lama gening sampe tiga bulan?” tanya ibuku untuk
memastikan.
“Ttu tergantung, Mah. Kalau emang kafe yang dibuka
di sana mengharuskan Saka untuk tinggal beberapa bulan.
Atau, kalau Saka juga betah di sana. Hehe.” Aku mencoba
menenangkan. Masih ada raut kekhawatiran meski akhirnya
ibuku mengizinkan aku untuk bekerja dan membuka kedai
kopi di Jogja.
Ada ragu yang menyeruak dalam diriku. Tapi, bagaimana
pun aku sekarang merasa tenang. Setelah perbincangan
dalam dengan derasnya air mata dari ibuku saat aku
menyampaikan kunci yang dirinya tunggu-tunggu. Sebuah
pernyataan bahwa dirinya sangat dipersilakan untuk
menikah. Untuk mendapat perhatian lebih dari orang lain.
Untuk mendapat seseorang yang bisa diajak berbincang dan
berkeluh kesah kapan pun ibuku membutuhkan.
Tangis itu akhirnya tumpah sebagai jelmaan rasa syukur
yang selama ini dipendamnya. Sebuah kelegaan yang tak
bisa dibayar dengan hal lain kecuali tangis. Setiap rintik
airmatanya, memuja Tuhan, memuji aku dan adik-adikku.
Menjadi sebuah jatuh yang paling dinanti oleh ibuku. Aku
dihadiahi peluk yang akhirnya hanya membuatku kikuk.
Membuat air mataku pun ingin ikut-ikutan jatuh. Meski
akhirnya hanya jatuh dalam pikiranku sendiri.
Senyum dariku, dan tangan yang mengusap punggung
ibuku kurasa cukup untuk membuatnya bahagia saat
146itu. Sejak kejadian itu juga kelegaan terpapar jelas dari
senyumku. Ibuku pun berani untuk memperkenalkan
aku dengan seseorang yang memang telah layak untuk
dikenalkan kepadaku.
Seseorang yang tidak lagi bisa membuatku ragu atas
pilihan ibuku. Satu titik percaya tentang ibuku, cukup untuk
mengerti bahwa ibuku tidak akan memilih seseorang yang
tidak pantas bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk
anak-anaknya. Bahkan, titik pantas baginya, adalah paham
betul bahwal lelaki itu baik untuk anak-anaknya.
Hingga kemudian aku berani untuk mengutarakan
mimpiku kepadanya. Mengutarakan ingin dan maksudku
atas kepergianku ke Jogja kelak. Meminta izinnya untuk
sebuah mimpi yang ingin aku kejar. Tapi, ternyata sebuah
izin tetap saja membuatku tak kuasa untuk benar-benar
pergi dari rumah selama beberapa lama. Lebih lama dari
waktu yang biasanya aku pakai untuk berlibur.
Ada tanggung jawab atas ibuku dan adik-adikku. Meski
kini aku yakin ada yang mulai bisa menjaga mereka. Ada
yang bisa membuat mereka merasa aman meski tanpa aku
di sekitar. Adalah sebuah rasa tidak rela akan diriku sendiri
yang harus tidak ada di sekitar mereka.
“Bener, Mamah mah Insya Allah lega. Lega karena kamu
akhirnya tahu apa yang ingin kamu kejar buat hidup kamu.
Mamah akhirnya tahu kamu punya mimpi. Kamu juga tahu
bagaimana caranya merealisasikannya. Kamu udah dikasih
147jalan. Jangan sampe Mamah dan adik-adik kamu malah
jadi penghalang buat kamu.” Ibuku meyakinkanku, dengan
suaranya yang selalu ramah dan merdu, sambil memegang
pundakku.
“Berkah yang besar memang ada di keluarga. Banyak
orang yang justru susah untuk bisa terus-terusan berkumpul
sama keluarga. Tapi, bukan di situ aja intinya. Berkah itu
hadir dari keikhlasan dan kerelaan keluarga. Kepergian kamu
untuk menggapai hal yang bisa membanggakan bukan diri
kamu aja, tapi juga keluarga. Tentunya dengan seizin Mama,
adik-adik kamu. Semoga jadi berkah buat kamu, Saka.” Ibuku
masih melanjutkan.
Perbincangan seperti inilah yang selalu aku tunggu
dengan ibuku. Perbincangan sepi tanpa adik-adikku di
rumah. Tanpa satu pun yang mendengar. Sebegitu masih
malunya aku untuk hal seperti ini. Seolah masih tak rela
sisi-sisi sentimental diriku diketahui orang lain bahkan adik-
adikku sendiri.
Aku yang terbiasa terlihat cuek dan misterius, padahal
menutup diri agar tak terlihat lemah. Yah, egois memang
saat aku berada dirumah. Hanya mampu menyayangi mereka
sembunyi-sembunyi.
Sejak perbincangan dengan ibuku, mimpi seolah hanya
selangkah dari tempatku berdiri. Namun untuk membuat
langkah, perlu keyakinan luar biasa agar aku bisa bergerak
dan menapak hingga pasti di titik itu.
148Di suatu pelayaran tanpa angin, aku menengadah ke langit.
Tempat beribu tanya menguap,
menjadi kebingungan-kebingungan yang mendung.
Aku sering mengutuk kehilangan.
Bukan perkara ditinggalkan,
namun sekedar merasa, kehilangan.
Aku bahkan bertanya lebih dalam,
kapan aku merasa memiliki, hingga harus merasa
kehilangan.
Apakah aku juga tak bisa memlih,
perihal apa saja yang dapat membuatku merasa memiliki dan
kehilangan?
Sebuah pesan masuk di inbox laman blog pribadiku.
Eleftheriana, mengirimkan sebuah tulisan yang meminta
untuk aku sambung atau aku balas. Ya, sejak mengirimkan
pesan terakhir kali kepadanya, aku akhirnya mengajukkan
sebuah ide perihal apa yang bisa kita lakukan selain saling
memuji tulisan. Aku mengajaknya untuk menulis bersama,
dan dia menyetujuinya.
Meski kami hanya sepasang orang asing yang bertemu
melalui laman maya, tapi aku merasa ada yang berbeda.
Bukan sekadar pesan yang memuji, atau pesan yang mencari
149perhatian belaka. Bahwa, setiap pesan memiliki roh sendiri
yang dikirim oleh penulisnya.
Perihal sampai, diterima atau dibalas, itu urusan
kecocokan jiwa. Karena aku meyakini, masing-masing
manusia saling mengirim gelombang, saling mengundang dan
menarik. Entah dalam cara apa pun, entah dalam singgungan
ke berapa. Semua hal, semua orang yang memiliki kedekatan
atau kesamaan gelombang, akan saling mengarahkan pada
satu titik jumpa.
Dan, perjumpaanku dengan seorang yang memiliki nama
akun Eleftheriana adalah hasil dari tarik-menarik kami
melalui lempengan kosmos yang tak kasat mata. Menembus
lembaran-lembaran gelombang lain yang berdesakan dan
saling bersinggungan.
Karena tak ada batas jelas,
kapan dan bagaimana tepatnya,
rasa tersebut hadir dalam diriku.
Hingga jawaban tak kunjung jatuh dari langit,
cemas membawaku pada gerah yang membuat pikiranku
berpeluh.
Terik di lautan bimbang, dengan semilir resah,
membawaku pada daratan penuh pertanyaan lainnya.
150Salah satunya, haruskah aku berhenti bertanya?
Atau haruskah aku berhenti mencari jawaban?
Selesai aku menuliskan prosa balasan, segera aku kirim.
Tulisan miliknya kemudian aku padukan dengan tulisanku,
dan aku post di laman Blog pribadiku beserta namaku dan
Eleftheriana di catatan kakinya. Tak lama, pesan balasan
muncul.
ay
Sebuah senyum. Apa artinya itu? Dia senang? Ya, tentu
saja. Tapi, apa? Hanya senang? Aku kelimpungan menebak
dan mencari arti senyum agar lebih banyak penjelasan yang
lebih memuaskan.
Tapi, akhirnya aku berhenti menebak apa artinya
itu. Karena, seharusnya emoticon senyum itu sudah cukup
menjelaskan arti pesan balasan itu sendiri. Cukup, setelah
aku mengunjungi laman Blog miliknya dan sudah ter-posting
hasil tulisan kami berdua.
Aku melanjutkan pekerjaanku. Mengecek semua to do
list apakah sudah sesuai. Aku kemudian mencatat beberapa
‘keinginan’ dalam sebuah notebook yang baru aku beli
beberapa waktu lalu. Ya, aku mulai mencatat keinginan-
keinginanku. Memiliki mimpi yang semakin melebar dari
151hasil kalkulasi harap dalam kepalaku, hanya membuatku
kewalahan saat memikirkannya.
Sepertinya, sudah banyak orang menceritakan perihal
mimpi-mimpi yang mereka catat dalam sebuah buku, atau
melalui apa pun. Hingga suatu saat mimpi itu bisa terjadi.
Bagiku hal itu lebih besar dari sekadar tabungan mimpi
yang disimpan dalam sebuah catatan. Melainkan sebuah
daftar untuk dilakukan, untuk mengingatkan, serta untuk
memindahkan data mimpi itu agar tidak memberatkan
kepalaku.
Laiknya sebuah komputer, kepalaku akan terasa berat
dan bekerja lamban jika semua data disimpan di dalamnya.
Aku perlu menyimpannya di hardisk external dalam bentuk
buku catatan.
Membuka coffee shop, menjadi seorang barista, menjelajahi
beberapa kepulauan di Indonesia lalu beberapa negara dunia
karena aku senang berpetualang, hingga menjadi orang
yang berguna entah sebagai apa. Semua aku tuliskan dalam
bentuk mind mapping. Membuat sebuah urutan kejadian dari
satu mimpi ke mimpi selanjutnya.
Namun, aku merasa mimpiku terasa terlalu sedikit.
Meski aku tak tahu aku akan mati pada umur berapa, tetapi
sepatutnya hal yang telah kutuliskan tadi bisa saja terjadi
dalam beberapa tahun jika aku memang_benar-benar
mengejarnya. Aku perlu mimpi yang lain, entah mimpi yang
lebih besar, atau mimpi yang lebih, mimpi. Lebih tidak logis,
152lebih tidak dapat diperhitungkan oleh kemungkinan yang
dapat aku bayangkan.
Lalu pada saat aku ingin menulis mimpi yang lain,
tanganku menolak untuk bergerak. Meski isi kepalaku punya
mimpi lain yang lebih liar, tanganku tidak menyetujuinya.
Karena ternyata, sebagian dari otakku tidak bisa mencari
perhitungan logis dari mimpi itu. Tidak menemukan titik-
titik, urutan kejadian untuk bisa sampai pada mimpi itu.
Pada cerita Alice in wonderland, tokohnya pernah
berkata bahwa kita semua begitu menginginkan sesuatu
terjadi secara magis, secara ajaib, yang bisa memukau kita.
Tapi di saat yang sama, kita tidak percaya pada keajaiban.
Sialnya, aku sedang merasa seperti itu. Aku sandarkan kursi,
sedikit melamun perihal mimpi.
“Kehilangan apa yang paling menakutkan bagimu?”
Pesan masuk datang lagi, Eleftheriana. Sebuah per-
tanyaan random dilayangkan kepadaku. Menarik. Aku
tegakkan badan di kursi. Mencoba memikirkan segala jenis
kehilangan yang pernah terjadi kepadaku. Kehilangan bapak,
adalah hal paling menyedihkan bagiku saat itu. Namun,
manusia memang sudah sepatutnya akan selalu kehilangan
manusia lainnya. Sebuah ketakutan yang pasti dan tidak
terelakkan. Begitupun kita, akan menjadi kehilangan bagi
orang lainnya.
153Aku memikirkan hal lain, sebuah kehilangan yang paling
tidak pasti. Sesuatu yang selalu kita perjuangkan, tetapi tak
terasa tengah kita perjuangkan. Hingga pada satu titik, hal
itu hilang, hancur, melebur, dan menguap entah menjadi
apa.
“Keyakinan.”
Ya, keyakinan. Menjadi sebuah kehilangan yang tak
pernah dihiraukan banyak orang. Seolah bukan sesuatu hal
yang sangat berharga. Satu-satunya hal yang tak pernah
semua orang bayangkan akan bisa, hilang.
Eleftheriana membalas pesanku, melanjutkan per-
bincangan. Seolah kami memang sedang berbincang
berhadapan. Dia ada di depanku secara pararel bukan virtual
dan hanya dipisahkan oleh dimensi jarak.
Eleftheriana: Menarik, aku tak menduga jawaban
seperti itu yang akan sampai di kotak pesanku.
Aku: Menarik, saat kamu justru harus bersiap pada
jawaban yang sudah kamu duga.
Eleftheriana: Menarik, bukan? Bahwa jawaban yang
datang, harus membuatku semakin bersiap pada hal
mengejutkan lainnya.
Aku: Jadi, sekarang kamu akan berhenti menduga?
154Eleftheriana: Kita tidak akan pernah berhenti men-
duga-duga. Seperti kamu, yang kini tengah membuat
dugaan perihal apa yang akan aku tanyakan
selanjutnya :).
Aku: Aku ingin membiarkan dugaanmu_benar,
tapi sayang pertanyaan selanjutnya akan datang
dariku. Apa yang paling membuatmu lebih sedih?
Meninggalkan? Atau, ditinggalkan?
Pesan terakhir yang aku kirim berakhir dengan jeda.
Dugaanku, dia sedang mencoba memberikan jawaban
yang akan membuatku terpukau. Oh, aku yakin ini akan
membutuhkan waktu yang cukup lama. Lebih lama dari
dirinya saat menunggu jawabanku.
Eleftheriana: Tentu saja_ ditinggalkan. Aku_ ini
perempuan!
Ya, tak bisa kupungkiri, aku cukup terpukau karena
ternyata dirinya tidak membutuhkan waktu lama untuk
menjawab.
Aku: Waw! Kau hebat!
Eleftheriana: Satu, kamu satu-satunya orang yang
tidak menertawakan, mengejek, atau mengasihani
aku karena ditinggalkan. Kedua, apanya yang hebat?
155perlombaan siapa yang lebih terluka. Dirinya benar, aku
tidak perlu mengajaknya membuktikan bahwa ditinggalkan
Karena jumlah luka yang aku simpan?
Aku: Bukan, kamu hebat karena kamu tidak pernah
meninggalkan seseorang.
Eleftheriana: Memang untuk apa meninggalkan
seseorang yang kamu cintai?
Aku: Kalau begitu tunggu sampai kamu _ingin
meninggalkan seseorang.
Eleftheriana: Untuk apa? Untuk =membuktikan
bahwa meninggalkan lebih menyakitkan daripada
ditinggalkan? Apa tidak ada hal lain yang lebih bodoh
yang bisa aku dengar? Kamu memang benar-benar,
mengejutkan :).
Sial, langkahku terbaca. Meski begitu, ini bukan perihal
tidak ada apa-apa dibanding meninggalkan seseorang.
156
Aku: Tidak, lupakan. Hehe.
Eleftheriana: Apa semua lelaki seperti itu?
Aku: Seperti apa?
Eleftheriana: Meminta | perempuan melupakan
semudah itu?!Aku kelimpungan, kewalahan, dan tertawa terbahak di
saat yang sama. Wanita ini, sungguh, gila. Aku berkali-kali
tersenyum.
Aku: Hahahahahahhahahaha.
Eleftheriana: Lucu bukan? Tapi, pertanyaanku serius.
Apa kamu memang seperti itu? Hahaha.
Aku: Hmm. Entahlah, tapi buatku meninggalkan lebih
menyedihkan daripada ditinggalkan. Kamu paham
jawabannya?
Eleftheriana: Sebuah kata “tidak” yang panjang dan
rumit ya. Hehe.
Aku: Agar kamu tidak hanya mendengar jawabanya
dariku, tapi juga dari hasil olah pikiranmu :).
Eleftheriana: Menarik. Anw, aku harus pergi. Jangan
lupa tulisan selanjutnya, giliranmu memulai. Kirimkan
kapan pun kamu selesai menulisnya. See you!”
Aku: K!
Eleftheriana: Wanita tidak pernah suka balasan
seperti itu. Sekali lagi kamu membalas pesan seperti
itu, kamu akan tahu bahwa ditinggalkan lebih
menyakitkan daripada meninggalkan!
Aku: Hahahahaha. /'l/ see you soonest!
157Aku tersenyum, lama sekali.
“Oh Eleftheriana. Mari kita bertemu. Kamu terasa seperti aku
yang lain,” ucapku dalam hati.
Perkenalan dengan Eleftheriana, membuatku selalu
menunggu percakapan selanjutnya. Caranya berbicara
kepadaku seolah kami sudah mengenal lama. Seolah dia
adalah sisi lain aku yang tidak ingin menjadi rahasia, yang
hanya aku sembunyikan dari siapa pun.
Mendapat teman berbincang seperti ini seperti kado
rahasia yang dikirim malaikat, seperti keajaiban yang tidak
pernah aku percayai. Sama seperti mimpi yang tidak berani
aku buat dalam kepalaku. Hingga keajaiban itu datang,
hingga membuatku ingin mengejek diriku sendiri karena
tidak mempercayainya.
Hampir setiap hari kami berbincang, membahas tulisan
yang aku dan dia buat.
Pernahkah ada yang berencana menyakiti?
Seingatku, aku hanya pernah berencana tinggal,
hingga menetap jadi salah satu harapanku.
Namun, perihal dikecewakan,
entah siapa yang pertama mengaku.
Atau bahkan, berebut menjadi yang pertama.
158Saat harus ada yang mengaku,
siapa yang mengecewakan, tak satu pun berani,
mengangkat keberanian dan menurunkan ego.
masing-masing bersembunyi, di balik keangkuhan dan rasa
yang benar.
Haruskah selalu aku, yang mengalah untuk dihakimi?
Haruskah selalu aku, yang rela menjadi penyebab luka?
Aku mengirimkan tulisan yang aku buat. Tak berapa
lama Eleftheriana membalas pesanku dengan tulisan darinya
untuk melengkapi.
Tidak ada keadilan dalam perpisahan,
pergi dengan duka,
atau menetap penuh luka.
Biar aku saja yang menyembunyikan kelelahan,
aku saja yang menyisakan keraguan.
karena aku mungkin memang pantas,
untuk disalahkan. Atau, untuk terluka
Harapku,
pada perjalanan selanjutnya.
agar semesta menutup semua pintu kesempatan,
untuk aku dilukai
Tolong, pertemukan aku dengan apa pun, kecuali penyesalan.
159Aku gabungkan tulisannya dengan milikku, dan segera
aku unggah di laman Blog pribadiku.
Eleftheriana: Sungguh, apa kamu_benar-benar
semenyedihkan itu karena telah meninggalkan
seseorang?
Aku: Hei, aku tidak bisa menjelaskan seberapa
hancurnya aku saat pergi. Itu bukan hal yang
ingin didengar banyak orang. Kamu pun tidak
memercayainya sejak awal.
Eleftheriana: Aku bukan tidak memercayainya, aku
tidak tahu bagaimana rasanya karena aku tidak
pernah meninggalkan. Jika kamu ingin aku mengerti,
kerahkan hati dan pikiranmu. Cobalah membuat
aku mengerti. Setidaknya, agar aku tahu apa yang
dipikirkan mereka saat meninggalkanku selain rasa
yang menyerah akan aku. Juga, agar aku tidak perlu
mengutuk mereka diam-diam yang memutuskan
pergi.
Aku menyandarkan badan ke sofa kedai kopi yang
menjadi tepatku mengerjakan sebagian pekerjaanku hari
ini. Kali ini dengan cappuccino panas. Bandung hari ini
tengah dingin. Sedingin kepalaku yang sedikit sulit untuk
memikirkan jawaban untuk Eleftheriana.
160Eleftheriana: Dan juga, agar ada yang bisa mengerti
akan kepergian-kepergian yang kamu lakukan :).
Saat ini, benteng yang aku pertahankan seolah tengah
diobrak-abrik dengan pertanyaan yang menggelitik. Sebuah
serangan yang lembut, mampu melemahkanku seketika.
Aku: Biarkan aku tahu namamu, baru akan aku jawab.
Eleftheriana: Akan ada saatnya kamu tahu namaku,
sekarang cepat jawab pertanyaanku.
Aku: Oh tidak akan :).
Eleftheriana: Dengar Anak Muda, kamu mungkin
tengah merasa akan memenangkan negosisasi ini.
Tapi, sebetulnya tidak. Tidak sama sekali.
Wow, mengejutkan. Dia sama sekali tidak terlihat
terdesak, memohon, atau bahkan melakukan negosisasi
ulang.
Aku: Well, itu harga yang harus kamu bayar demi
mengetahui sedikit tentang, diriku.
Eleftheriana: Sekarang kamu tampak semakin rapuh.
Aku: Apa maksudmu?
161Eleftheriana: Dengar, kebutuhan kamu untuk men-
jelaskan sesuatu yang tengah kamu pendam lama
agar ada orang yang dapat mengerti lebih besar
daripada kebutuhan kamu mengetahui namaku.
Semakin kamu mencoba jual mahal, semakin terlihat
bahwa apa yang kamu coba jaga itu adalah sesuatu
yang sangat rapuh.
Aku terbelalak membaca pesan itu. Sebuah bumerang
yang aku lemparkan baru saja menghantam kepalaku
sendiri. Dia benar, saat ini kebutuhan akan pengertian itu
muncul. Kehadiran dirinya ke permukaan hidupku, membuat
kebutuhanku untuk dimengerti dan didengar mulai naik.
Aku menghela napas dalam. Coba memahami dan
memikirkan bagaimana aku akan membalas pertanyaannya.
Tapi, pikiranku masih semrawut. Masih kalang-kabut karena
pernyataan darinya. Apa aku harus menjawab pertanyaan
utamanya atau bersikeras melakukan negosisasi? Tapi,
akhirnya pikiranku mengalami kebuntuan. Ada sebuah
keyakinan yang hebat bahwa jika aku tetap bersikeras akan
negosiasi, aku hanya akan kehilangan keadaan ini.
Sebuah keadaan dengan yang tepat aku bisa men-
ceritakan sesuatu yang aku pendam. Karena, jika aku
menolak keadaan ini, suatu saat akan meledak juga. Usahaku
akan lebih besar. Ya, aku akan melawan egoku sendiri karena
bagaimanapun suatu saat nanti aku yang membutuhkannya
untuk mendengarkan ceritaku. Baiklah...
162Aku: Apa kamu pernah merasa bahwa kamulah yang
membuat semua orang dalam hidupmu pergi?
Aku melayangkan satu pertanyaan pembuka.
Eleftheriana: Hah? Apa?
Aku: Ya, selama kamu mengutuk kepergian orang-
orang yang katanya kamu cintai itu, apa pernah kamu
mengutuk dirimu sendiri karena membuat mereka
pergi?
Eleftheriana: Hmm.... Tidak pernah rasanya.
Aku: Waw, kamu benar-benar hebat.
Eleftheriana: Benarkah?
Aku: Kamu tahu, semua yang pergi menyimpan
rahasia yang sengaja tidak pernah mereka ungkap
kepadamu. Bahwa kamulah yang membuat mereka
semua pergi. Namun, hal itu tidak akan mudah
dikeluarkan dalam kalimat yang bisa didengar
langsung. Pengakuan seperti itu, hanya akan berakhir
di atas sebuah kertas atau di dalam sebuah prosa dan
puisi, dalam draf pesan, atau notes, atau Blog mereka.
Lalu, mereka menyembunyikan rapat-rapat. Karena,
rahasia itu tidak ingin didengar oleh siapa pun, tidak
ingin didengar olehmu, hingga akhirnya rahasia
itu sendiri malu untuk diketahui orang lain. Semua
163164
rahasia itu hanya berakhir menjadi barisan kata yang
bahkan tak ingin tertuliskan.
Selain itu, ada satu hal lainnya yang akan
melukai dirinya yang memutuskan pergi. Rasa
bersalah dan rasa dihakimi. Rasa bersalah yang
menyebabkan seseorang yang ditinggalkan terluka
atas keputusannya. Dan, rasa dihakimi karena
meninggalkan seseorang yang mencintainya. Kamu
pernah ada di sana? Menjadi yang rela mengambil
keputusan untuk dihakimi? Tanpa ada satu pun pohon
yang bahkan mau memberinya teduh?
Bersyukurlah jika mereka tak pernah mengungkap-
kannya kepadamu, luka yang membuat mereka pergi.
Karena artinya, mereka sangat menyayangimu. Dan
kamu, terlalu menyayangi dirimu sendiri.
Don't be late! Enggak apa-apa, aku check in bareng
kamu aja. Aku tunggu di pintu kedatangan ya, Ra.
Sebuah notifikasi muncul dari ponselku saat baru
saja mematikan kendaraan di area parkir bandara.
Padahal aku sudah sengaja datang hampir telatdan menyuruh Rio check in lebih dulu agar ia tak bertemu
dengan ibuku.
Tapi, semesta sedang tak ingin berkonspirasi denganku
untuk tak mempertemukan mereka. Justru saat ini dengan
terang-terangan kenyataan meneriakiku bahwa ibuku akan
segera bertemu dengan atasanku itu. Dapat dipastikan beliau
akan terus-menerus membahas tentang Rio setelah hari ini.
“Ayo Ra, udah mau telat kamu tuh. Kenapa masih santai
sih ini anak? Ini Mama malah yang panik. Kalau kamu
ketinggalan pesawat gimana? Sini barangnya Mama aja yang
bawain.”
“Enggak usah Ma, Lara bisa kok bawanya. Lagian kalau
ketinggalan pesawat mah tinggal beli tiket lagi atuh,”
jawabku asal, sambil mulai mengunci mobil dan berjalan
mendekatinya.
“Ini anak kalau ngomong suka asal deh.” Ibuku kemudian
memukul lenganku pelan. Yang sedetik setelahnya aku
sambut dengan sebuah tawa untuk menenangkan perasaanku
sendiri yang sedari tadi dirundung gelisah.
“Ra, bos kamu itu yang mana?”
Pertanyaan yang enggan untuk kudengar itu akhirnya
meluncur dari mulut ibuku. Baru saja aku ingin menjawab
bahwa Rio sudah menanti di ruang tunggu, tiba-tiba saja
sebuah suara menyerukan namaku dengan lantang.
“Lara!”
Sontak aku dan ibuku segera mengalihkan pandangan
165menuju sumber suara itu. Tak ada omongan apa-apa yang
keluar dari mulutku pun dari ibuku. Kami sama-sama sibuk
dengan pikiran masing-masing sambil tetap melangkah
menuju laki-laki yang mengenakan kaus lengan panjang
berwarna abu-abu lengkap dengan puffer vest warna biru
dongkernya. Lelaki yang sedari tadi ingin aku lenyapkan tapi
justru memanggilku.
Saat kami sudah saling berhadapan, aku mengalah untuk
membuka suara lebih dulu. “Hmm, kenalin Mas ini ibuku.”
Rio kemudian segera mencium tangan ibuku seraya
memperkenalkan namanya. “Rio, Bu.”
Seulas senyum merekah dari bibir ibuku, entah pertanda
baik atau justru akan menjadi bumerang untukku nantinya.
“Oh ini toh yang namanya Rio. Lara kerjanya gimana?
Bagus enggak? Kalau enggak bagus mah marahin aja. Anaknya
suka ngeyel kalau dibilangin.”
Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan
ibuku, sementara Rio justru terang-terangan senang dengan
respon hangat yang diberikan oleh ibuku itu.
“Ah, enggak kok, Bu. Lara anaknya workaholic banget.
Bahkan sering lembur kalau udah keasyikan kerja.”
Selama dua menit keduanya terlibat percakapan basa-
basi yang cukup membuatku kesulitan bernapas. Bukan
kenapa, hanya saja bosan melihat hal-hal semacam ini.
Ya, ibuku memang selalu seperti itu. Cepat akrab dengan
siapa pun teman yang kuperkenalkan kepadanya. Tapi,
166tidak dengan Saka, karena memang aku belum sempat
mempertemukan mereka berdua.
Tidak hanya lekas akrab pada siapa saja, beliau bisa
menganggap mereka seperti anak sendiri. Tak jarang teman-
temanku yang pada akhirnya bisa bercerita tentang apa
saja dengan beliau. Meski aku sedang tak berada di antara
keduanya. Sebut saja Kanaya yang bahkan bisa menginap di
rumahku, meski aku sedang berada di Jogja.
“Hemm... langsung masuk aja yuk, Mas. Udah hampir
telat kan ya, hehe.” Aku buru-buru menghentikan perkenalan
dan percakapan yang tampaknya sudah mulai asyik itu.
Rio kemudian menatap arlojinya, mengangguk dan
segera berpamitan dengan ibuku. “Rio pamit dulu ya, Bu.
Nanti Ibu hati-hati pulangnya.”
Ibuku balas menepuk punggungnya seraya tersenyum.
“Oh iya Nak, hati-hati juga kamunya. Titip Lara ya. Marahin
aja kalau bandel.”
“Cmon Mom, Lara udah gede ih. Udah ya, Lara pamit, Ma.
Jaga kesehatan Mama. Bulan depan Lara dateng sekalian
jemput ya.”
Aku mencium tangan kemudian memeluknyaerat. Sedikit
berat hati sebetulnya bila lagi-lagi harus meninggalkan ibuku
sendirian di Jakarta. Namun apa mau dikata, beliau masih tak
ingin pindah, pun aku tak bisa begitu saja mengundurkan
diri dan berganti profesi.
Aku masih tak jua melepaskan pelukan itu hingga sebuah
167pernyataan terdengar di telingaku. Meski hanya sebuah
bisikan tapi mampu membuatku sedikit terkejut.
“Ra, kalau kamu sama yang ini Mama kayaknya langsung
setuju deh.”
Akhirnya, aku melepaskan pelukan itu sambil meng-
geleng. Berusaha membuat ibuku mengerti bahwa aku masih
belum ingin menjalin hubungan apa pun dengan lawan jenis
apalagi itu urusan asmara.
a
Aku dan Rio tidak terlalu banyak berbicara selama berada
di dalam pesawat. Mungkin terlalu lelah dengan aktivitas
seharian, atau mungkin juga sibuk dengan isi kepala yang
terlalu berisik. Ah sial, itu sih isi kepalaku sendiri tampaknya.
Aku kembali sibuk dengan buku catatanku setelah sempat
melirik Rio yang sudah fokus dengan buku yang sedang
dibacanya. Satu hal yang kembali mengejutkanku, ternyata
Rio mengenakan kacamata. Tapi, kenapa tak pernah dipakai
jika sedang bekerja? Bukankah dengan tidak mengenakan
kacamata justru akan membuatnya bertambah parah?
Aku masih sibuk menerka-nerka alasannya hingga
sebuah pertanyaan terlontar begitu saja dari mulutku,
padahal sedari tadi coba kusimpan sendirian.
“Kamu pake kacamata, Mas?”
168“Tya, Ra. Cuma jarang aku pake aja kalau lagi enggak baca
buku. Males, bikin sakit di hidung.”
“Padahal bagusan pake loh.” Sial, aku lagi-lagi kelepasan.
“Eh, maksudku bukannya bagusan kalau dipake ya? Soalnya,
kalau enggak dipake katanya malah bikin minusnya nambah.”
Imbuhku coba membuatnya tak berpikiran macam-macam
tentang pendapatku tadi.
“Iya, sih Ra, tapi so far kalau aku rajin makan yang sehat
dan rajin nambah asupan vitamin A, terus enggak terlalu
sering baca di gelap atau sambil tidur, enggak ada masalah
sih.”
“Ohhh... gitu,” Aku menanggapi seadanya. Seolah
kehabisan kata-kata untuk melanjutkan obrolan.
“Tapi Ra, kalau menurutmu bagusan aku pake kacamata,
ya udah mulai besok aku pake terus.”
Damn, jadi tadi dia ngeh? Aku hanya menunduk malu
tak membalas perkataannya sama sekali. Kemudian, beralih
melihat ke jendela sampai dia kembali membuka obrolan dan
menutup bukunya.
“Mamamu emang kayak gitu ke semua orang ya, Ra?”
tanya Rio yang kemudian hanya aku balas dengan sebuah
tatapan penuh tanda tanya. “Nggg, I mean selalu bisa akrab
ke siapa aja. Asyik gitu soalnya.” Rio menjelaskan.
“Oh iya, hampir semua temen yang aku kenalin selalu
kayak gitu sambutan Mama. Kenapa? Kaget ya, Mas? Maafin
ya, hehe,” ucapku sambil memasang senyum.
169“No, aku justru seneng banget bisa disambut segitu
baiknya, Ra. Enggak nyangka aja.”
Aku mengernyit, “Enggak nyangkanya kenapa?”
“Karena, ternyata enggak sesusah ngedapetin hati
anaknya.”
Deg. Aku tak dapat berkata apa-apa, sebab isi kepalaku
terlalu sibuk menelaah ucapannya yang tidak ada kelanjutan
sama sekali. Alih-alih akan ada penjelasan lagi, Rio
justru kembali larut dalam buku yang dibacanya, tanpa
menunjukkan ekspresi apa-apa. Hal itu sukses membuat
keheningan kembali tercipta di antara kami.
Sebetulnya aku masih ingin bertanya tentang semua
ucapannya yang kerap menggantung. Tapi, melihatnya yang
seolah tak lagi peduli dengan apa yang dia katakan, aku
kemudian memilih untuk kembali sibuk pada buku catatanku
dan menuliskan keresahan di sana.
Aku tidak tahu seperti apa aku untukmu.
Namun yang aku mengerti,
ada hal-hal pada dirimu yang membuatku merasa nyaman
berada di dekat.
Aku tidak mengerti sebagai apa aku di hidupmu.
170Namun yang aku pahami,
selalu ada tanya pada setiap pernyataan yang kamu
lontarkan.
Dan aku, masih tidak mengerti akan semuanya itu.
a
Kita yang Sudah Berakhir
:untuk kita yang sudah berakhir
Berhentilah mencari alasan, berhentilah menyalahkan,
berhentilah melihat ke belakang, dan berhentilah untuk
membawa serta luka dan duka. Karena sekarang, segalanya
telah berhenti.
Di tengah ribuan pilihan, di antara ratusan pemikiran, pada
puluhan pengharapan, serta pada banyaknya kenangan. Kita
pada akhirnya memutuskan untuk menyudahi segalanya.
Untuk beberapa alasan, kita mungkin akan terus menerus
merasa bersalah. Hingga kita lupa bahwa setiap langkah
yang kita pilih adalah bagian dari perjalanan.
Kita lupa bahwa setiap hal yang terjadi pada akhirnya akan
berlalu dan memberikan banyak pesan. Untuk membuat kita
171semakin kuat, untuk memberitahukan siapa kita sebenarnya,
dan untuk membuat kita selalu mampu bertahan.
Oleh karenanya, berhentilah menyalahkan diri masing-
masing bahkan menyalahkan orang lain. Kita terbentuk dari
masa lalu yang mungkin menyakitkan, tapi kita dibentuk
untuk menjadi lebih berarti kemudian.
-L-
Aku sedang asyik berselancar, dan memperbarui laman
Blog dengan sebuah tulisan baru hingga tak menyadari
kehadirannya dibelakangku. Akubahkan baru tahudia sedang
memandangiku ketika Rani hendak keluar untuk makan
siang, dan memberikan isyarat kepadaku untuk menoleh
dengan gerakan dagunya. Sedetik dua detik aku masih tak
paham dengan maksud Rani tersebut, hingga kemudian aku
mendengar suara ketukan sepatu dari belakang.
“Eh Mas, udah lama di situ?” Aku dibuat terperanjat
akan kehadirannya yang selalu saja tiba-tiba.
Dia hanya membalasnya dengan senyuman. Meneguk
minuman dari gelas yang dipegangnya. “Enggak selama
nungguin kamu mau untuk buka hati sih, Ra,” imbuhnya
datar lalu berlalu begitu saja.
“Jangan lupa makan siang, Rara!” teriaknya sesaat
sebelum kemudian menghilang dari pandanganku.
172Menyisakan aku yang kemudian bertanya-tanya tentang
kenapa dia mengubah namaku. Tentang apa yang sedang
terjadi di antara kami. Tentang kegamangan hatiku akan
seluruh sikapnya yang sangat mampu membuatku kembali
terjebak oleh perasaan.
Sekembalinya dari Jakarta memang segalanya terlihat
berbeda. Aku dengan Rio menjadi semakin akrab. Katakan-
lah, sekarang aku sudah terbiasa untuk bertukar cerita
dengannya. Perihal urusan pekerjaan atau bahkan hal-hal
remeh-temeh yang bisa memicu tawa pun sebuah sudut
pandang baru yang terbentuk.
Aku menghela napas dengan berat. Ada sesuatu yang
mengganjal dan membuatku merasa jengah dengan hal-hal
yang aku tahu apa, tapi aku tak ingin untuk menjadi tahu
akan hal itu. Aku akhirnya memutuskan membeli makanan
dari sebuah restoran cepat saji dan memakannya di kantor.
Di saat seperti ini, enggan rasanya harus berhadapan
dengan orang lain. Memasang mimik muka penuh bahagia
serta senyum yang bisa saja hanya sebuah kepalsuan,
mengingat isi kepalaku memang sedang tidak baik.
a
173Lara pun pergi menjauh, sepiku bagaikan debu
Hati pun tenang dekatmu
Di setiap langkahku kan selalu percaya
Kau bersamaku, kau bersamaku selalu
Saat Teduh yang dinyanyikan oleh Monita mengalun
lembut di telingaku. Membawaku kembali pada masa aku bisa
bercerita dengan bebas, tentang apa-apa yang mengganggu,
tentang apa-apa yang sedang dirasa, pada saat awal dekat
dengan Saka. Pun, sudut di otakku kembali memutar seluruh
kenangan di pantai waktu itu. Saat aku dan Saka akhirnya
bisa sebaik itu untuk kembali bertukar cerita.
Andai saja, semesta sudah kembali mempertemukan kami
secara tak sengaja. Atau, andai saja waktu mengizinkanku
untuk sejenak bertandang ke kotanya. Mungkin saat ini aku
sudah berani menghubunginya. Mengajaknya bertukar isi
kepala, atau mungkin menumpahkan segala resah dan tanya
yang menggangguku beberapa pekan.
Seingatku, terakhir bertemu kala itu, kami sudah baik-
baik saja. Pun, semesta sudah menunjukkan pada kami
bahwa ia tak ingin berlama-lama membuat kami saling tak
berkomunikasi, hingga akhirnya membiarkan pertemuan
tak sengaja di coffee shop itu terjadi.
“Ra, Ra, Rara!”
Sebuah tepukan halus di bahu, membuatku akhirnya
membuka mata yang sedari tadi terpejam. Alam bawah
174sadarku kembali bekerja dan memperingatkan bahwa saat
ini aku masih berada di kantor. Aku buru-buru melepas
earphone yang menempel di telinga ketika melihat wajah Rio
sudah berada di depanku sambil mengatakan sesuatu.
“Eh, iya Mas, kenapa?”
Rio kemudian tersenyum dan mengulangi perkataannya.
“Kamu udah makan, Rara?”
“Tya, udah kok.” Anggukku mantap. “Ih, apa sih itu,
namaku diganti-ganti gitu?”
“Ya, enggak apa-apa, mau aja. Emang setiap hal harus
ada alasannya?” jawabnya dengan pertanyaan.
Aku mendengus pelan mendengar balasannya. “Ya,
udah. Terserah deh ya.”
Kekehannya membuatku semakin malas untuk
menanggapi, hingga akhirnya aku kembali fokus pada laptop
yang menyala.
“Jangan ngambek, Ra. Ya, aku cuma pengen aja manggil
kamu Rara. Boleh, toh? Anyway, skip dulu tentang namamu
itu. Aku lagi kepikiran sesuatu nih. Kenapa sih Ra yang nulis
di Blog itu kebanyakan enggak pake nama aslinya?”
Aku melihat ke arahnya yang kini sudah duduk tepat di
hadapanku. “Banyak sebabnya sih, Mas. Bisa karena mereka
emang mau melarikan diri dari dunia nyatanya. Bisa karena
memang sengaja menyembunyikan identitas aslinya, hanya
agar bisa menjadi sebebas-bebasnya manusia yang bisa
berkeluh kesah. Ya, hanya supaya tidak ada judgmental dari
175lingkungan karena mereka terlalu mudah jujur dengan
apa yang dialami. Dan, sederet alasan lainnya. Who knows,”
jawabku antusias.
“Kamu kan suka nulis di Blog tuh, ada enggak Blog yang
menurutmu banyak pembacanya? Setidaknya, tulisannya
diminatilah oleh orang lain. Dan ya, penulisannya enggak
jelek-jelek banget. I mean, dia tahu penggunaan tanda titik-
koma. Tahu gimana caranya berkisah yang mudah dipahami
orang lain, dan yang pasti tulisannya enggak alay sih ya.”
“wah, kalau itu banyak lah, Mas. Sebatas tahu tapi aku
enggak kenal. Kenapa gitu?” tanyaku sambil kemudian
meletakkan tangan sebelah kiriku di dagu.
“Gini, sosok si penulis itu kan tersembunyi. Pembaca
tidak tahu sama sekali siapa sih si A, si B, si C. Yang mereka
tahu hanya sebatas karya di Blognya. Menurutmu, menarik
enggak sih ketika karya-karya yang sudah diminati itu
kemudian dijadikan sebuah buku? Karena, kalau diliat dari
beberapa hal, itu tampaknya akan membuat si pembaca Blog
tertarik untuk membeli dan memiliki buku itu. lya enggak
sih?” tuturnya bersemangat.
Aku menaikkan sebelah alis mendengar hal itu, “Okay,
then?”
“Gimana kalau kita membuat suatu projek untuk mengajak
penulis yang konsisten ngeblog dan memang punya pembaca
untuk membukukan tulisannya? Ya, dengan kita membuat
mereka percaya untuk mau menerbitkan sebuah buku.”
176Aku menguncir rambutku kemudian memutar-mutar
kursi seraya berpikir. “Menarik sih, Mas.”
“Oke, kalau gitu,” tukasnya cepat.
“Ha? Oke apanya?”
“Liat aja nanti,” jawabnya dengan menyunggingkan
senyuman penuh rahasia lalu melangkah pergi menuju
ruangannya.
Aku masih memandanginya menjauh sambil terus
memikirkan apa lagi yang akan dia lakukan setelah ini. Rani
lalu masuk ke dalam ruangan sambil melancarkan aksinya
meledekku.
“Ciyeh, ada yang makin akrab nih sama Pak Bos.”
“Apaan sih, Ran? Udah sana buruan kerja lagi, bikin
gosip aja lu.” Aku menjawabnya dengan sedikit ketus.
“Lah, kenapa situ yang jawab. Emang gue nyebut nama
lu?” Rani kemudian terkekeh karena berhasil membuatku
bersuara.
Aku mendadak kikuk karena baru menyadari bahwa
Rani sama sekali tak menyebutkan namaku. “Ya, enggak sih,
tapi lu ngomongnya sambil ngeliatin gue. Dan, tadi Mas Rio
papasan sama lu pas baru keluar dari ruangan ini, yang mana
cuma ada gue di dalem,” kilahku cepat.
“Haha, santai Ra. Kalau emang deket juga enggak apa-
apa kok. Gue setuju banget malah!”
Rani tertawa sambil kembali duduk di kursinya, sedang
aku hanya memutar bola mataku kemudian kembali menatap
177laptop. Mengerjakan beberapa hal yang sudah mencapai
a”
Seminggu setelah kejadian itu, Rio sudah berdiri di mejaku
sambil membawa satu bundel kertas yang aku tak tahu isinya
deadline.
apa.
“Nih, Ra. Kamu baca dulu,” ucapnya sambil menyodorkan
kertas itu kepadaku.
“Apaan nih, Mas?” tanyaku sambil mulai mencermati
setiap tulisan di kertas-kertas itu dan membukanya perlahan-
lahan.
“Masih inget yang aku bilang ke kamu tentang ajakan
kepada penulis blog untuk membukukan tulisannya?”
Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Rio
itu, kemudian otakku mulai memproses segalanya menjadi
sebuah kesimpulan.
“Jangan bilang ini adalah hasil kamu blogwalking,
mengamati beberapa penulis yang sekiranya mampu untuk
hal itu. Iya?”
Dia hanya tersenyum sambil menautkan kedua jarinya
di depan hidung. “You know me right, perfectly right. Itu emang
hasilnya. Dari semua nama yang ada di situ, aku minta
kamu buat review juga. Tapi, dari semuanya itu aku nemu
178satu Blog yang sangat menarik, lumayan misterius, punya
pembaca pastinya, dan juga bagus.” Ia kemudian kembali
menyodorkan beberapa lembar halaman hasil print tulisan
akun Blog tersebut.
“Nih, baca-baca aja dulu. Aku kasih waktu kamu seminggu
untuk kemudian kasih feedback ke aku.”
“Oke, minggu depan aku kasih hasilnya ke Mas Rio!” Aku
berseru untuk menjawabnya.
“Good. Kalau gitu selamat kerja lagi, Rara. Jangan lupa
minum air putih yang banyak!”
Aku hanya tersenyum melihatnya berjalan pergi.
Semakin lama aku semakin terbiasa dengan sikapnya yang
seringkali mengejutkanku dengan ucapan-ucapannya
yang menyiratkan makna lebih dalam dari sekadar kata-
kata. Caranya mengingatkanku untuk menjaga makan,
minum, serta kesehatan hampir sama seperti dulu saat aku
memperlakukan Saka.
Sebetulnya aku seringkali merasa terganggu akan hal
itu. Maksudku, aku seringnya mengatur, entah diri sendiri
maupun orang lain, hingga tak terbiasa untuk diatur. Tapi,
kemudian segala perhatian dan sikapnya yang seperti itu
membuatku merasa seperti diatur, dan bisa merasakan apa
yang selama ini Saka rasakan ketika aku selalu mengingatkan
~*~
ini-itu.
179Alasan
Selalu ada alasan di balik semua perbuatan.
Selalu ada alasan di balik setiap ucapan.
Selalu ada alasan pada semua hal yang kuyakini,
bisa membuatku tetap aman dan nyaman.
Dan satu-satunya alasan aku tidak pernah memberitahumu,
tentang segala penyebab perangaiku,
adalah aku hanya ingin kamu percaya bahwa aku baik-baik
saja.
Tapi ternyata aku salah...
Tidak memberikan penjelasan,
sama halnya dengan menyimpan bom waktu yang bisa
meledak kapan saja.
Tidak berkata rinci tentang penyebab sebuah luka,
sama saja dengan menabur cuka di atas luka yang belum
sepenuhnya mengering.
Hingga kemudian aku menyadari sesuatu...
Untuk kemudian melangkah meninggalkanmu,
mungkin aku seharusnya memberi alasan yang bisa diterima,
oleh diriku dan juga dirimu.
--L-
180Hari demi hari bergulir, dan aku masih terus membaca
halaman demi halaman dari bundel yang Rio berikan.
Berulang-ulang kemudian melihat Blog mereka untuk
memastikan segalanya dengan baik. Hingga akhirnya aku
sampai pada satu akun yang begitu disukai Rio.
Menarik memang, cara si penulis menuangkan segala
resahnya begitu terasa nyata. Maksudku, ada nyawa yang
dia berikan di setiap aksaranya. Aku saja yang baru membaca
beberapa judul tulisannya seolah bisa ikut merasakan semua
hal yang coba ia suarakan. Sesekali merasa sendu, sesekali
merasa rindu, bahkan sesekali bisa tersipu malu.
Aku mulai mencermati karyanya dengan beberapa
tulisan dari Blog lain. Hingga kemudian aku baru menyadari
bahwa tulisannya memiliki suaranya sendiri. Seakan-akan
siapa pun yang membacanya akan langsung tahu, tulisan itu
kepemilikan siapa. Aku tersenyum mendapati kenyataan itu.
Pantas saja Rio tertarik dengan akun ini.
Aku segera beranjak ke ruangan Rio sambil membawa
seluruh hasil review selama lima hari ini. Memang belum
seminggu, tapi aku sudah lebih dari sekadar yakin untuk
setuju dengan pilihannya waktu itu.
Baru saja aku hendak duduk, Rio sudah menodongku
dengan pertanyaannya yang membuatku tercengang.
“Jadi, gimana, Ra?”
Aku yang tak mengira dia tahu maksud dan tujuanku ke
sini hanya dibuatnya terpaku selama beberapa detik sebelum
181bisa kembali bersuara.
“Kok, kamu tahu sih Mas, kalau aku ke sini mau bahas
tentang hasil review Blog itu?”
Rio hanya terkekeh mendengar pertanyaanku. “Aku
enggak tahu, tapi barusan kamu yang kasih tahu. Kan, aku
cuma nanya jadi gimana. Maksudnya, ya jadi gimana, ada apa
kamu ke sini. Gitu.”
“Dih, rese! Ya, udah gini, ada beberapa yang cukup
menarik memang. Tapi, aku setuju dan sangat tertarik
dengan akun ini.”
Aku menyodorkan beberapa lembar draf kepadanya.
“Mungkin kita bisa mulai dengan dia dulu. Aku udah tandain
plus dan minus akun itu. Ya, biasalah untuk sedikit ngelakuin
perombakan untuk hasil yang terbaik. Itu kalau seandainya
dia bersedia.”
Rio tersenyum sambil melihat coretan tambahan yang
sudah kububuhkan di samping tulisan-tulisan itu. “Aku tahu
kamu bakal setuju sama pilihanku. Oke, jadi deal ya, kita coba
dia. Hmmm... kamu ya Ra, yang ngehubungin dia. Biasalah
perkenalan, melakukan penawaran, dan ngeyakinin dia
untuk mengiyakan kita. Selebihnya, mengenai editing naskah
dan lainnya bisa kamu serahin ke Rani aja, karena aku tahu
kerjaan kamu udah banyak. Tapi, kalau urusan yakinin orang
aku percaya kamu yang lebih bisa diandelin.”
“Oke, kalau gitu, abis ini aku langsung coba hubungin
dia.” Aku kemudian segera merapikan kembali kertas-kertas
182yang tadi sempat berserakan di atas meja Rio. “Aku langsung
balik ke ruangan berarti ya, Mas.”
“Sip, thanks, Ra!”
Aku segera melangkahkan kaki hendak ke luar, tetapi
Rio kembali memanggil dan menahanku. “Oh, ya, Ra.”
Rio tampak berpikir sejenak. Mempertimbangkan setiap
perkataan yang akan dia ucapkan. “Hmmm... enggak ada
niatan supaya Mamamu pindah tinggal di Jogja?”
Aku mengernyit. Lagi-lagi dibuat heran dengan
pertanyaan maupun pernyataannya yang kadang bisa begitu
tak bisa ditebak.
“Sedang diusahakan sih Mas, hehe. Kenapa? Takut aku
sering cuti karena homesick? Atau, takut aku enggak bisa
kerja di saat weekend hanya karena aku harus balik Jakarta?”
selidikku penuh tanya. “Santai aja, Mas. Itu enggak ganggu
kok. Aku kerja profesional aja.”
“Enggak, bukan gitu Ra. Cuma ngerasa kasian aja kalau
Mamamu sendirian di Jakarta. Kamu tinggal-tinggal gitu
terus pasti Mamamu ngerasa kesepian deh.”
Aku kemudian teringat akan obrolan dengan ibuku saat
kemarin pulang ke Jakarta. Tentang beliau yang seringkali
merasa kesepian. Tentang keinginannya untukku segera
menikah dan kemudian memberikannya cucu agar ada yang
menemaninya di rumah. Wow, bahkan di benakku sekarang
masih tak terbersit sedikitpun keinginan untuk menikah.
Lagipula aku masih sedikit trauma dengan kisah-kisah
183percintaanku di masa lalu. Bahkan rasanya, dengan Saka
aku masih merasa ada yang belum jua usai. Aku kemudian
tersenyum kepada Rio. Berusaha membuatnya paham bahwa
aku lebih dari sekadar mengerti akan hal itu. Namun, kadang
apa yang kita mengerti bahkan kita inginkan tak bisa serta
merta langsung didapatkan begitu saja.
“Ya I know, gimana pun aku tinggal punya Mama. Jadi,
enggak mungkin aku enggak mikirin itu. Anyway, terima
kasih sudah peduli.”
Usai kembali dari ruangan Rio aku segera login ke dalam
akun Blog dan mengirimkan pesan kepada seseorang yang
akan kutawari untuk membukukan tulisannya.
Halo, perkenalkan saya Lara Alana, editor dari
penerbit DreamMedia. Kebetulan penerbit saya
sudah memerhatikan Blog kamu cukup lama dan
tertarik untuk mengajakmu membukukan tulisan-
tulisanmu. Sebelumnya, apakah ada kontak yang bisa
saya dapat untuk mempermudah komunikasi? Salam
:)
Sambil menunggu balasan darinya aku memutar lagu dari
Amigdala yang berjudul Kukira Kau Rumah, seraya kembali ke
184naskah yang sedari tadi sudah menunggu untuk diedit.
Kau yang singgah tapi tak sungguh.
Kukira kau rumah, nyatanya kau cuma aku sewa.
Dari tubuh seorang perempuan yang memintamu untuk
pulang.
Kau bukan rumah
Aku berhenti ketika lirik kau bukan rumah kembali
mengulang dan seketika memenuhi isi kepalaku. Rumah itu
apa? Sebuah tanya kemudian menyeruak, dan segera aku
pikirkan untuk menemukan jawabannya.
Yang aku tahu, rumah adalah tempat di mana aku bisa
merebahkan lelah. Tempat di mana aku menyusun segala cita-
cita dan harapan. Rumah adalah awal untuk aku melakukan
perjalanan, serta akhir untuk kemudian dijadikan tempat
menuai segala pelajaran. Tapi, sebenarnya apakah rumah
hanya berupa tempat di atas tanah? Atau, pada seseorang
yang mengaku-aku sebagai tempat untuk pulang?
Tak sampai sepuluh menit, sebuah pesan masuk ke inbox
Blogku. Ternyata sebuah balasan dari dia yang tadi kukirimi
pesan.
Hai, Mbak Lara, perkenalkan juga nama saya Riana. Ini
nomer saya 08xxx
185Aku segera mencatat dan menambahkan nomornya pada
kontakku, lalu mulai menghubunginya via salah satu aplikasi
chatting.
Halo, Riana, saya Lara. Jadi begini, seperti yang tadi
sudah saya bilang tentang membuat buku. Apakah
kamu berminat dan bersedia untuk itu?
Halo juga Mbak. Waw? Ini enggak bercanda kan,
Mbak?
Apakah saya terlihat seperti sedang bercanda? Oh
well, enggak mungkin keliatan karena kita hanya
sebatas chat. Tapi, bisa saya pastikan bahwa saya tidak
sedang bercanda :).
Tapi, saya enggak yakin Mbak, untuk nulis buku.
Tanggung jawabnya besar, sedangkan kemampuan
saya untuk menulis kayaknya masih enggak ada.
186Mengenai kemampuan menulis bisa dilatih kok, asal
mau belajar. Sekarang mah intinya bersedia atau
enggak untuk menulis bukumu sendiri?
Mbak percaya sama saya?
Kalau saya enggak percaya sama kamu, enggak
mungkin saya menyapa kamu lebih dulu. Jadi, iya atau
enggak nih? :))))
Nggg... lya deh Mbak, saya coba.
Oke, kalau gitu kamu bisa langsung mulai bikin outline
dan gambaran singkat mengenai isi buku dan apa yang
mau kamu sampaikan. Kalau udah langsung email aja
ke ranianggia@dreamedia.com.
187Ada deadline enggak ya, Mbak?
Oh, santai aja. Saya menyesuaikan kamu aja. Tapi, lebih
cepat lebih baik sih.
Oke deh kalau gitu, Mbak. Paitnya, seminggu dari
sekarang ya Mbak, makasih sebelumnya.
Oke, siap. lya kembali kasih ~
Aku tersenyum puas karena akhirnya berhasil membuat
Riana percaya untuk membuat buku. Aku kemudian
mengetuk-ngetuk meja sambil memandangi chat yang baru
saja usai itu. Aku merasa ada yang terlupakan tapi teramat
penting untuk ditanyakan, hingga kemudian aku menepuk
jidat karena baru saja berhasil mengingatnya.
“Rani! Email lu masih ranianggia itu kan?”
“Yoi! Kenapa? Projekan itu deal?” Rani melongok ke
arahku dari balik laptopnya.
188“Tyalah, Lara. Masak gitu aja enggak deal.”
“Sadis, pantes Bos sayang banget sama lu.”
“Yaelahhhh... Ranii
hebat amat deh. Biasa aja, dan gue yakin lu juga bisa
ini tuh hal yang enggak hebat-
kalau ginian doang mah. Dan satu lagi, ini tuh enggak ada
hubungannya kali sama sayang-sayangan!” jawabku kesal.
Rani hanya tertawa menanggapi ucapanku. Ia mengerti
bahwa aku memang tidak suka jika diledek mengenai
hubungan asmara. “Kapan outline dikirim Ra?”
“Maksimal minggu depan, katanya. Nanti gue bantu
tagih kalau dia belum ngirim juga.”
a
Bandung sedang diguyur hujan, sejak semalam
“Sip, santai Ra.”
tak mau reda. Mungkin Jibril sedang tak rela, aku
\/ pergi malam ini ke Jogja. Dan terbangun hari ini,
terasa berbeda. Ada senang yang menunggu namun resah
sedikit menganggu.
Ibu dan adik-adikku akan aku tinggalkan lebih lama dari
biasanya kepergianku. Meski begitu, tak tampak dari mereka
terlihat sedih atau berat aku akan pergi. Mungkin mereka
sudah terbiasa tanpa aku. Menganggapku hanya hiasan di
rumah yang tak pernah memerhatikan mereka. Resah seperti
itu senang sekali mengejekku saat seperti ini.
189“Kak, katanya besok mau ke Jogja lama?” Saat aku
tengah membuat teh panas kemarin malam di dapur, Putri,
adik terkecilku bertanya.
“lya, kamu jangan nakal ya!” Hanya itu yang bisa aku
katakan kepada Putri.
“Ye, Putri mah enggak pernah nakal. Bersyukurlah, Kak,”
ucapnya seraya meninggalkanku di dapur. Perbincangan
singkat yang malu-malu, tapi sama-sama menyembunyikan
senyum,
“Ngapain aja tuh di Jogja, Kak? Bikin kafe, katanya?”
Giliran Permata bertanya kepadaku sekembalinya aku dari
dapur.
“lya, bikin tempat nongkrong gitu.” Aku menjawab.
“Kalau Permata ke Jogja mau main ke tempat Kak Saka
ya!” Permata berseru.
“Boleh dong, kamu bebas mau pesen apa aja di sana.”
Mendengar ucapan itu, ibuku tersenyum dari ruang
tengah. “Udah disiapin barang-barang yang mau dibawa?”
Tbuku memastikan.
“Belum, hehe. Besok aja. Tapi, udah tahu apa aja yang
mau dibawa.” Aku menjawab seraya duduk di sebelahnya.
“Disiapin dari sekarang atuh. Jangan kebiasaan nanti-
nanti. Ntar malah ada yang kelupaan kalau keburu-buru.”
Ibuku mengingatkan lagi.
“Mah, Mamah pernah kepikiran enggak sih kalau Saka
bakal jadi apa?” Aku tiba-tiba bertanya.
190Ibuku jelas terkejut dengan pertanyaan seperti itu.
“Hah? Hemm...” Ibuku terlihat tengah berpikir. Mencoba
menemukan harapan tentang aku pada isi kepalanya yang
mungkin sudah lama beliau lupakan.
“Hmm... Iya, yah, Mamah enggak pernah kepikiran
pengen kamu jadi apa. Hahaha. Mamah cuma selalu pengen
kamu teh jadi anak yang bageur secara kamu anak paling gede.
Udah itu aja. Tapi dulu, almarhum Bapak pengen banget
kamu jadi ustad. Hahahaha. Pengen kamu bisa jadi role model
buat banyak orang dan mengajak orang-orang ke arah yang
benar, katanya.” Ibuku bercerita dan tertawa.
Aku ikut tertawa. Diam-diam ada rindu yang ikut duduk
di antara kami. Seolah Bapak juga sedang ikut tertawa. Tapi,
entah tertawa miris atau manis melihat aku sekarang. Melihat
aku yang hanya bisa menyakiti perempuan-perempuan.
Melihat aku yang tidak bisa mengayomi dan memperhatikan
adik-adikku.
“Tapi, buat Mamah mah, ibadah kamu dijaga enggak
bolong-bolong aja udah cukup. Sisanya, kamu enggak
menjadi penyebab luka buat orang lain. Itu aja, kok.” Ibuku
menasihati. Namun, kalimatnya yang lembut mampu
menusuk nuraniku berkali-kali.
Melukai, tidak bisa bisa terhindarkan olehku
sebagaimana pun aku mencoba untuk tidak. Tuhan, nurani,
dan semesta bersekongkol membuatku melakukan hal itu.
Siapa yang sangka ternyata aku hanya menjadi tempat
191perjudian rasa? Tuhan dengan indah membolak-balik hati
manusia. Kita hanya mampu membolak-balik keadaan agar
tak terus terjerumus pada kesedihan.
“Inget, nanti di sana jaga diri. Temenan sama siapa aja,
jangan terlalu tertutup sama orang lain. Siapa tahu mereka
bisa membuka jalan rezeki kamu. Tapi, juga jangan terbuka
sama hal-hal yang buruk. Kamu harus cukup bijak untuk
menutup diri dari keadaan yang bikin kamu enggak baik.”
Seperti itu nasihat ibuku sebelum kepergianku ke Jogja.
Nasihat kepergian tidak pernah membuatku tenang, meski
senang ada yang mengkhawatirkan aku. Tapi, aku selalu lebih
tenang jika harus pergi dengan ucapan kepergian sederhana,
“Hati-hati.”
Ucapan kepergian tak seharusnya panjang bak puisi.
Karena setiap kata, hanya mampu memporak-porandakan
dada dan membuat degup hanya semakin bergemuruh tak
keruan.
Aku tersandar di kursi kamarku, menatap layar kosong
Setiap kata dalam kepala sedang berebut untuk diurai
menjadi sebuah prosa. Jariku bersiap untuk tunduk pada
nurani, perihal apa yang ingin disampaikan.
Entah kali ke berapa, entah malam ke berapa,
renung menjadi pelarianku dari semua kecewa.
Renung selalu menjadi tempat rahasia terbaik,
1g2untuk aku berbincang dengan sepenuhnya diriku.
Karena tak ada siapa pun selain diriku.
Dalam renung,
aku menemukan banyak jawaban yang pernah hilang.
Jawaban yang kucari di luar,
malah aku temukan dalam diriku sendiri.
Mungkin, jawaban tak pernah hilang.
Hanya aku saja mencarinya di tempat yang tidak tepat.
Hanya, aku saja yang terlalu memaksa, terlalu menginginkan
jawaban itu ada di luar.
Hanya agar aku mempunyai alasan, untuk mencari ke luar.
Bukan ke dalam diriku.
Dalam renung,
aku menemukan diriku yang salah,
yang mau mengakui, meski berbisik.
Dalam renung,
aku menemukan syukur, yang malu-malu ingin aku ucapkan.
Dalam renung aku meyakini,
bahwa untuk mengerti, aku butuh sepi.
193Ya, memang begitu bukan? Sepi dan renung sepatutnya
bisa menjadi kolaborasi indah untuk membuat perhelatan
syukur. Tentang semua hal yang sudah terjadi. Tentang
kejadian-kejadian yang membawaku sampai hingga titik
ini, Kemudian, berserah pada apa yang akan disuguhkan
esok menjadi sebuah kunci agar langkah dapat melenggang
dengan penuh yakin.
Eleftheriana: Kali ini apa yang sedang kamu syukuri?
Itu pesan masuk dari Eleftheriana. Aku tersenyum. Sudah
kuduga dia akan mengirim pesan. Seolah aku sudah tahu,
ataupun kalau aku jadi dia, mungkin aku akan melakukan
hal yang sama.
Aku: Banyak :).
Eleftheriana: Tentu saja banyak yang kamu syukuri,
tidak mungkin sedikit. Kasih tahu. Aku mungkin bisa
ikut bersyukur. Ayo, kita lihat apa saja yang bisa kamu
syukuri.
Bibir ini tak tahan untuk mengembangkan senyum.
Teringat percakapan perihal kepergian saat itu. Saat aku kira
dia akan tersinggung lalu menghilang dan tak akan pernah
menyapaku lagi. Oh ya, permikiran sentimental. Tapi betapa
tidak, ceritaku saat itu sedikit menyudutkannya bahwa dia
1904harus bersyukur karena orang-orang yang meninggalkannya
tidak mengatakan yang sebenarnya.
Lalu kukira, meski dia tidak akan menghilang, setidaknya
butuh waktu lama untuk dia membaca pesanku, memikirkan
dan merenungkannya. Kala itu ternyata tidak lebih dari satu
menit pesanku dibalas olehnya.
Eleftheriana: :) Kamu benar. Aku tidak pernah
memikirkan sejauh itu. Mungkin aku terlalu egois
untuk terus merasa benar, seolah hanya aku
yang hanya berjuang. Padahal aku, yang terlalu
merasa berjuang sendirian hingga tak menghargai
perjuangan mereka yang akhirnya pergi. Oh, terima
kasih! Kamu menyelamatkanku!
Yah, seperti itu. Sejak saat itu kami semakin akrab
dan semakin banyak bercerita. Semakin sering menulis
bersama. Dia bahkan selalu menagih jika aku sedikit lama
mengiriminya saat giliranku untuk menulis pertama.
Eleftheriana: Hey, kamu sedang menulis puisi? Lama
sekali memikirkan apa yang kamu syukuri.
Pesan masuk lagi. Aku terbahak membacanya karena
melamun mengingat pesan darinya kali terakhir.
195196
Aku: Tentu saja, karena tidak sedikit bukan :)) Hemm,
aku bersyukur atas keluargaku yang baik-baik saja.
Aku bersyukur bisa mengejar mimpiku. Aku bersyukur
mendapat pemahaman baru. Aku bersyukur
mendapat teman baru sepertimu. Aku bersyukur
masih bisa bernapas. Aku bersyukur baru saja makan
malam dengan sate padang. Aku bersyukur masih
hidup. Aku bersyukur akan rezekiku hari ini. Aku
bersyukur karena semua indraku masih normal. Aku
bersyukur. Sial, banyak sekali. Aku kebingungan.
Hahaha.
Eleftheriana: Sate padang? Ah, kamu bikin aku lapar.
Aku senang mendengarnya. Lucu bukan, ketika
kita benar-benar ingin menyebutkan apa saja yang
bisa kita syukuri, hingga ke titik-titik terkecil pun
kita bahkan merasa harus disyukuri. Akhirnya, kita
sadar bahwa kita sangat jarang untuk benar-benar
bersyukur. Hehe.
Aku: Ya, kamu benar. Anw, kapan kamu akan kasih
tahu nama kamu? Atau, mungkin kita harus ketemu?
Ada sedikit jeda hingga pesanku dibalas.
Eleftheriana: Kamu percaya, kalau pertemuan kita di
laman maya adalah hasil tarik-menarik gelombang
atau getaran yang ada di diri kita?
Aku: Hmm... ya! Aku suka teori itu.Eleftheriana: Jadi, kamu percaya, bahwa entah kamu
atau aku yang akan ditarik pada satu pertemuan yang
lebih hebat dari sekadar pertemuan kita sekarang?
Aku: Bagaimana jika semakin kuat tarikan semakin
jauh kita? Gelombang saat ini tidak membuat kita
saling menjauh bukan?
Eleftheriana: Hm, tapi dari tempat aku dan kamu
sekarang. Siapa yang tahu?
Aku: Ayolah, sejak awal kita tidak pernah mengajak
jarak untuk ikut campur bukan? Jangan libatkan itu.
Nanti malam aku akan pergi, untuk beberapa bulan.
Eleftheriana: Waw. Apa itu kepergian yang baik atau
buruk?
Aku: Baik untuk aku, tidak baik untuk ibu dan adik-
adikku.
Eleftheriana: :) Aku yakin. Jika itu baik untukmu, maka
akan baik juga untuk mereka. Ayolah, bersemangat.
Aku yakin kepergianmu ini untuk hal yang besar
bukan, hingga keluargamu harus kamu tinggalkan
untuk beberapa bulan itu.
Aku: Terima kasih :)
197Selesai berbincang, aku mulai memasukkan pakaian dan
barang yang sudah aku siapkan sejak malam ke dalam tas
keril milikku. Melipatnya perlahan, menatapnya satu-demi
satu karena saat ini, barang yang aku bawa lebih banyak dari
kepergian biasanya.
Setelah mengepak semua barang, aku menyelesaikan
beberapa pekerjaan final sebelum mengirimnya ke klien.
Hingga sore tiba, aku berpamitan kepada ibu dan adik-
adikku. Sengaja aku tidak memicu seolah ini akan menjadi
kepergian yang lama. Pamit yang seperlunya seperti
kepergian biasanya.
Aku menuju stasiun. Teringat pada kepergianku terakhir
kalinya yang membawa pulang setumpuk kebahagiaan.
Semoga kepergiaan kali ini akan membawaku pada
kebahagiaan yang lebih. Pada makna-makna lain yang
harus aku ungkap. Pada pemahaman-pemahaman baru yang
semakin mendewasakan. Amin!
Sudah beberapa minggu aku jarang berada di
kantor untuk duduk mengedit naskah, melakukan
pekerjaanku yang bisa dikerjakan dari balik meja,
atau sesekali menuliskan postingan terbaru di laman Blogku.
Hari demi hari kulalui dengan kesibukan yang
198tampaknya semakin menjadi-jadi. Menyenangkan memang
bila bekerja di luar ruangan. Tapi, entah mengapa aku rindu
saja dengan suasana kantor. Untuk sejenak duduk santai
sambil menikmati teh atau kopi. Bahkan rasanya aku sudah
ketinggalan banyak sekali info atau gosip dengan Rani.
Rani sendiri tampaknya sudah sibuk dengan tugas baru
yang Rio berikan, terkait dengan Riana, si Blogger itu. Tidak
sampai seminggu, outline sudah resmi dikirimkan. Bahkan
Riana membawa ide baru untuk melakukan kolaborasi
tulisan dari dua sudut pandang.
Sesuatu hal yang sudah teramat jelas langsung disetujui
oleh Rio. Lelaki itu selalu suka dengan ide-ide segar dan baru
memang. Mengingat Rio rasanyaaku sudah mulaimerindukan
waktu-waktu saat bisa bertukar cerita dengannya tentang
pekerjaan,
Sebuah hal yang tak pernah bisa aku lakukan dengan Saka.
Selama dengan Saka, aku memang hanya sebagai pendengar,
bukan pencerita. Saka seolah tak peduli dengan keseluruhan
pekerjaanku. Bahkan aku berani bertaruh, seingatku dia tak
pernah tahu di mana aku bekerja. Dia bahkan memang tak
pernah menanyakannya. Yang Saka tahu hanya aku seorang
editor, dan bekerja di penerbitan. Sudah sampai di situ saja,
tidak lebih tidak kurang.
Aku sedang makan siang seorang diri dengan salah satu
menu kesukaan Saka, sop ayam Pak Min. Sebuah keisengan
muncul di kepalaku. Segera kuambil ponsel dan mulai
199mengambil gambar sop ayam ini. Memotretnya dengan angle
sebaik mungkin untuk membuat Saka kesal karena tak bisa
menikmati.
Usai memfoto, aku tersenyum-senyum sendiri mem-
bayangkan ekspresi Saka. Segera aku beralih ke salah satu
aplikasi chatting dan mencari nama Saka untuk langsung
mengirimkan foto yang tadi kuambil. Saat aku tengah
memilih foto dan hendak mengirimkannya, aku baru sadar
bahwa aku tak seharusnya menyapa Saka.
Tapi, kenapa? Sebagian diriku mempertanyakan hal
itu. Aku langsung meletakkan kembali ponselku di dalam
tas. Buru-buru menyantap sop ayam ini, dan berpikir
untuk bergegas balik ke kantor. Kembali menduduki kursi
kesayanganku yang sudah lama kurindukan.
a
“Kenapa lu, Ran? Muka kusut banget gitu, baru juga
kemarin gajian,” selorohku saat baru kembali dari istirahat
makan siang dan hendak menuju meja kerjaku. Langkahku
terhenti saat melihat Rani yang sedang menatap kertas
sambil mengacak-acak rambutnya.
Rani kemudian menengadah sambil menatapku kesal.
“Pusing nih gue sama projek yang itu. Oh, ya ntar setengah
jam lagi rapat redaksi, Ra.”
200“Ha? Rapat? Siang-siang gini? Baru juga Selasa, kok udah
rapat aja. Emang ada apaan sih?”
“Genting pokoknya deh. Ntar lu tahu juga. Gue ke
ruangan Rio dulu ya.” Rani kemudian bangkit sambil
membawa setumpuk kertas yang kutebak adalah naskah
yang baru saja dia print, dan mungkin menjadi permasalahan
yang akan dibahas pada rapat nanti.
Aku segera meletakkan barangku di meja lalu beranjak
menuju tempat rapat. Aku memandang sekeliling karena
belum menemukan siapa-siapa di meja rapat. Ah ya, perlu
kuberitahukan kepadamu bahwa kantorku bukan seperti
perkantoran yang penuh kaca dan lantai bertingkat.
Kantorku hanyalah sebuah rumah tak bertingkat yang
ruangan kerjanya hanyalah kamar-kamar yang telah disulap
menjadi sedemikian rupa.
Tempat rapat yang dimaksud sendiri hanyalah sebuah
meja di ruangan terbuka. Letaknya di bagian belakang yang
dekat dengan taman, serta tepat di depan ruangan Rio. Bisa
dibilang ini adalah tempat favoritku dan beberapa orang
lainnya. Ya, redaksiku di Jogja ini hanya berjumlah tujuh
orang. Kami memang hanyalah tim kecil, dan kepindahanku
di sini memanglah untuk membantu menghidupkan kembali
sendi-sendi di anak group penerbitku.
Aku dan beberapa orang lainnya sering menghabiskan
waktu bekerja kami di sini. Sibuk dengan pekerjaan masing-
masing, sesekali menghilangkan jenuh dengan saling
201melempar canda. Nanti jika penat benar-benar melanda,
kami hanya perlu memandang ke taman sambil sesekali
melihat langit yang terkadang cerah namun tak jarang
menitikkan berkah air hujannya.
Aku melirik sekilas ke dalam ruangan Rio, dengan
Rani yang sedang duduk di hadapannya. Keduanya sama-
sama diam, terlihat sedang berpikir keras sekali untuk
menyelesaikan masalah yang entah apa itu. Aku sebetulnya
begitu penasaran, tetapi biar sajalah toh nanti semuanya
akan dibicarakan dalam rapat kali ini.
Melihat mereka berdua yang hanya terdiam tetapi
keningnya berkerut-kerut membuatku ingat kejadian antara
aku dan Saka sesaat sebelum dia mengantarkanku ke stasiun.
Aku berusaha mengenyahkan bayangan itu jauh-jauh, sebab
seharusnya tak perlu lagi hal itu memerangkapku. Toh,
hubunganku dengan Saka sudah lebih dari sekadar baik.
Baik tapi tetap tak bisa saling bertukar kabar. Aneh
memang. Aku juga tak mengerti kenapa tak berani untuk
menyapanya lebih dulu. Sebuah ide tulisan kemudian
melintas di kepalaku setelah tadi terbayang kejadian antara
aku dan Saka. Beruntunglah aku membawa buku catatanku,
maka di sanalah aku menuangkan segalanya. Lumayan
daripada aku tak mengerti harus melakukan apa sembari
menunggu waktu rapat tiba.
202Kita yang Tak Tahu Apa
Kita ini apa?
Sedang sama-sama menyembuhkan luka atau diam-diam
menabur duka?
Kita ini apa?
Sedang sama-sama berjuang atau hanya aku yang mencoba
bertahan?
Kita ini apa?
Sedang mencari kesempurnaan atau belajar menerima
kekurangan?
Kita ini apa?
Sedang menyamakan langkah atau justru memaksakan
langkah agar beriringan?
Kita ini apa?
Sedang mencari pemakluman atau saling menyalahkan?
Ketahuilah, aku sudah lelah mencari-cari kejelasan dari kita
yang sekarang tak lagi aku tahu sebagai apa.
Dan kepada kamu yang baru saja mematahkan harap,
haruskah segalanya berakhir tanpa ada lagi tatap,
hingga tak lagi perlu ada pertanyaan, kita ini apa?
--L--
203“Ra, mau kopi enggak?”
Aku yang baru saja menyelesaikan tulisanku tiba-tiba
ditawari kopi oleh Ardi, sang desainer cover dan ilustrasi-
ilustrasi. Aku selalu suka dengan desain Ardi yang ciamik.
Ia terlihat tengah mengaduk cangkirnya sambil berjalan
menuju meja rapat.
“Makasih Mas Ardi, tapi aku masih kenyang. Baru abis
makan tadi, hehe,” kataku sambil mengusap-usap perut.
“Biar melek, Ra. Bentar lagi rapat soalnya, lumayan buat
fokus mikir juga. Si Rani masih di dalem ya?” tanyanya sambil
mengarahkan cangkir yang dia pegang ke arah ruangan Rio.
Aku mengiyakan pertanyaannya dengan sebuah
anggukan.
“Kasian juga tuh anak,” lanjut Ardi.
Aku menaikkan sebelah alisku tak mengerti mengapa
harus kasihan dengan Rani. “Kasian kenapa, Mas? Emang ini
mau rapat apaan sih?”
“Lah, emang kamu enggak tahu?” Ardi justru balik
bertanya kepadaku.
Aku hanya menggeleng karena memang tak mengerti
apa maksud dari rapat ini. Sepertinya, memang hanya aku
satu-satunya yang tak mengerti apa yang sedang terjadi.
“th, kasih tahu, Mas. Aku kok kayaknya kudet banget ya.”
“Wajarlah Ra, beberapa minggu ini kan emang kamu yang
paling sibuk dan jarang ada di kantor. Aku juga baru tahu
kabarnya tadi pagi. Itu juga kebetulan pas aku lagi ngasih liat
204Rani desain cover. Eh, dia malah curhat.” Ardi bercerita.
“Dih, tuh anak ya. Padahal mejanya sama aku hadep-
hadepan tapi enggak cerita apa-apa. Terus, masalahnya apa
sih?” Aku kembali bertanya.
“Ttuloh yang si Riana, Riana itu. Katanya, sih naskahnya
enggak sesuai outline yang udah disetujuin sama Rio.”
“Ha? Maksudnya, Mas?”
Belum sempat Ardi menjawab pertanyaanku, Rio dan
Rani sudah bergabung bersama kami. Seperti biasa, Rani
duduk di sampingku sambil tangannya langsung mengambil
keripik yang tersedia di meja. Aku hanya memandanginya
dan Rio bergantian, berharap segala ketidaktahuanku segera
terjawab.
“Oke, jadi gini temen-temen, seperti yang kita tahu
tentang naskah si Riana itu, gimana...”
“Apaan seperti yang kita tahu? Aku enggak ngerti apa-
apa, dih. Jelasin dulu, jangan langsung ke intinya. Aku cengo
yang ada ntar.” Belum selesai Rio berkata, aku sudah lebih
dulu menyelanya karena tak rela menjadi pihak yang tak
mengerti apa-apa.
Rio melirikku kemudian mengalihkan pandangan
ke Rani. Yang ditatap hanya balik melihat Rio kemudian
menggeleng.
“Tya, Lara belum tahu. Aku belum sempet cerita,” Rani
menambahkan.
“Oalah.” Rio kemudian memejamkan matanya sebentar
205sambil memijat pangkal hidungnya. “Jadi, gini Ra, kamu
inget si Riana? Yang dari Blog itu.”
Aku hanya mengangguk dan menatap ke manik matanya
lekat, memintanya terus melanjutkan ucapannya. Satu-
satunya penulis yang bernama Riana yang sedang kami
kerjakan naskahnya setahuku memang hanya satu orang.
“Nah, kemarin dia baru aja ngirimin naskah bab
pertamanya ke aku sama Rani. Dan... naskahnya itu enggak
sesuai dengan apa yang dikatakan di awal ke Rani, pun pas
lagi ketemu sama aku waktu itu. Ya, intinya enggak sesuai
dengan outline yang waktu itu dia ajukan.” Rio menjelaskan
“Bentar, bentar, enggak sesuainya tuh karena apa?
Alurnya berubah? Kalau hanya tentang alur mah enggak apa
kali. Coba minta dia mengoreksi outline-nya lagi aja,” saranku.
“Bukan itu, Ra,” kini Rani mulai berbicara, “tapi,
perjanjian di awal kan dia bilang tulisannya akan berupa
prosa atau senandika. Nah, ini naskah yang dia kirim malah
novel.” Rani kemudian menyodorkanku naskahnya di
hadapanku.
Aku segera mengambil naskah itu dan membacanya
sekilas, membalik halaman per halamannya.
“Menarik,” pikirku.
Setiap kalimat tersusun dengan apik. Caramembahasakan
perasaan dan gaya bahasanya tidak sama seperti kebanyakan
orang. Tidak terlalu berat seperti sastra klasik, tapi tak bisa
disebut ringan untuk bacaan anak remaja.
206“Coba deh gue liat outline-nya, Ran.”
Rani kemudian memberikan draf outline Riana kepadaku.
Tak ada satu pun yang berbicara, seolah menghargaiku
untuk membaca dan memahami duduk permasalahannya.
Aku kemudian beralih membaca outline, dan menilai
kesesuaiannya dengan naskah yang tadi sedang kubaca.
“Tak ada yang berbeda,” pikirku. Tak ada yang bisa
menimbulkan masalah seharusnya. Karena, sejujurnya
naskah ini memang baik-baik saja.
Aku kemudian meletakkan naskah dan outline itu
berdampingan di hadapanku. “Secara garis besar, outline
dan naskahnya sama. Alurnya sesuai, hanya beda pada jenis
tulisannya aja. Ini bukan masalah, guys. Bahkan aku enggak
ngerti kenapa kalian membuat ini seolah-olah jadi sebuah
masalah yang genting dan superbesar.”
Rio menghela napas dan menyandarkan tubuhnya
pada kursi, berusaha setenang mungkin untuk kemudian
menjawabku.
“Salah satu alasan aku menawarkan dia adalah karena
dia fasih nulis prosa atau senandika gitu, Ra. Yang mana
selera pasar juga lagi rame di situ. Kalau dia malah ngasih
kita novel, ya buat apa. Gini, maksudku tanpa maksud
merendahkan atau mengucilkan kemampuan menulis dan
naskah itu ya. Tapi, yang aku liat pembacanya adalah orang-
orang yang menyukai tulisan-tulisan prosanya.”
Aku masih diam memikirkan kata-kata Rio, entah kenapa
207aku justru yakin karya ini akan jadi sesuatu yang menarik.
“Gimana ya, Mas? Gini loh, kalau diliat dari tulisannya
aku pribadi sih suka ya. Maksudku, ini menarik, sesuatu yang
keluar dari zona nyaman penulis sendiri. Kalau kamu khawatir
dengan pembaca mereka, justru aku malah ngerasa pembaca
mereka akan tertarik dengan karya ini. Apa ya, kasarnya sih
kalau mau baca prosa mereka mah gampang, di Blog juga
ada. Enggak perlu bayar, bisa langsung copy- paste juga kalau
mau dijadiin caption atau status di medsos. Tapi ketika novel,
mereka pasti bertanya-tanya dong, wah kayak apa ya jadinya.
Itu justru akan membuat pembacanya penasaran.”
Ardi yang sedari tadi diam pun kemudian berbicara.
“Yang Lara bilang bener juga sih. Akan ada ketertarikan
ketika kita menyuguhkan yang berbeda dari sosok yang
biasanya mereka liat karyanya sebatas prosa, senandika gitu-
gitu.”
Aku tersenyum karena akhirnya ada yang sependapat
denganku. “Dan menurutku, kenapa enggak kita coba aja?
Which is apa yang sedang mereka usung ini juga bukan hal
yang terbilang bener-bener baru gitu. Mereka masih berkutat
di genre romance. Yang mana itu selalu awet sepanjang masa,
kan? Masuk toko buku aja. Kita bisa banget nemuin teenlit
dan bacaan fiksi lainnya yang masih mendominasi pasar,
then why not?” Aku menambahkan.
Dari raut wajahnya, Rio terlihat sedang menimbang-
nimbang seluruh pernyataanku. “Tapi, Ra...”
208Aku sudah mulai jengah dengan kata tapi yang selalu Rio
ucapkan. Yang selama ini aku tahu Rio adalah orang yang
selalu optimis. Namun, mengapa di saat seperti ini justru
keraguan yang selalu dia coba tampilkan. Aku dibuatnya
menjadi gemas oleh sikap itu.
“Well, mereka ini masih baru loh untuk menulis buku.
Tugas kita adalah bikin mereka nyaman dulu dalam menulis.
Nah, kalau dalam proses kepenulisannya mereka nyamannya
kayak gini, ya udah tinggal dilanjutin aja. Sekali lagi aku
ingetin, alurnya masih sesuai dengan outline. Masih sama
semuanya dengan outline. Yang beda hanya gaya tulisannya
aja. Udah itu aja.”
Rani kemudian angkat bicara. “Gue sebenernya enggak
masalah sih, Ra, mau mereka prosa apa novel.”
“Nah, tuh kan, lu enggak masalah,” selaku di tengah
ucapannya.
“Bentar dulu, gue belum selesai ngomong, ih.” Rani
kemudian menepuk bahuku pelan. “Tapi, gue nyerah deh
buat nanganin mereka. Karena, apa ya? Dari awal sebenernya
gue kayak enggak ada chemistry gitu ke mereka juga ke
naskahnya yang dikerjakan pake dua sudut pandang gini.
Gue harus nanganin dua isi kepala sama dua ego dalam satu
waktu secara bersamaan. Belum lagi gue juga harus nanganin
ego dan isi kepala gue pribadi gitu. Gue ngerasa enggak
sanggup aja, Ra. Novel aja udah nguras otak, ditambah gue
harus berada di tengah, di antara mereka. Kayak apa ya? Gue
209ngerasa enggak mampu, serius deh.”
Aku memicingkan mataku ke arah Rani. “Ya, elah Ran,
ini tantangan malah buat lu. Kalau lu berhasil ngelewatinnya,
besok langsung jadi direktur deh lu.” Sengaja aku meledeknya
untuk membuat suasana menjadi sedikit lebih cair.
Rani yang sedang meminum air mineralnya justru
tersedak dengan ucapanku. “Sori Ra, tantangan kata lu?
Sebelah mananya tantangan? Ra, ini dua sudut pandang, loh.
Gue baru pertama kali ngerjain yang kayak gini. Berisiko
juga, njir. Kalau pembaca malah bingung gimana? Enggak
usah sampe pembaca deh, kalau guenya sendiri aja bingung
gimana?”
“Lah, di situlah tugas lu bekerja, Rani.” Sejujurnya aku
sudah gemas dengan Rani yang selalu saja bisa berkilah dan
memberikan alasan ini dan itu. “Itu tugas lu sebagai editor
sekaligus pembaca pertama mereka. Gimana cara lu bikin
pembaca jadi paham dengan tulisan yang mereka buat. Rani,
serius deh ini asyik. Kalau lu menikmati prosesnya, pas udah
selesai lu malah bakal ketagihan untuk ngerjain yang kayak
gini lagi.”
“Tbu Lara Alana yang paling cantik, mengertilah bahwa
kerjaan gue bukan ini doang. Ini tuh hal baru dan otomatis
gue harus fokus dong ke situ. Gue takutnya sebagian waktu
gue akan tersita secara penuh ke situ, sedangkan gue
enggak cuma ngurus ini aja, kan?” Rani masih berusaha
meyakinkanku dengan alasannya.
210“Gimana ya, gini loh yang ada di pikiranku tuh....”
“Gini Ra, bener apa kata Rani. Pengerjaan naskah ini
emang akan memakan proses dan waktu yang lama, editing-
nya apalagi. Dan, kita enggak tahu, bahkan enggak bisa
menjamin apakah pasar akan menerima atau enggak.”
Aku masih berusaha untuk meyakinkan Rani tapi Rio
kemudian menyela omonganku. Aku menghela napas berat.
Heran dengan kekhawatiran yang muncul di antara Rio dan
Rani. Kekhawatiran yang sebetulnya tak perlu dirisaukan,
karena siapa pun itu tidak pernah tahu jawaban pastinya jika
sudah berbicara tentang selera pasar.
“Masalah peminat, dan karya ini akan laku atau enggak,
kita enggak bisa memprediksi dengan tepat kan, Mas?
Maksudku, ketika sebuah karya dilempar ke pasaran, itu udah
menjadi milik masyarakat. Penilaian akan berjalan dengan
seiring waktu. Tugas kita yang harus memperkenalkan karya
itu dengan sebaik mungkin agar masyarakat tahu dan tertarik.
Something usual but different, kalau kata orang bijak sih gitu.
Selama ini pasar sudah dijejelin sama prosa dan senandika
yang emang lagi hype dan marak. Kita harusnya berani untuk
mendobrak dan menghasilkan sesuatu yang bisa bikin orang
bilang, ‘Wow, it is something,” ujarku bersemangat.
Rio menautkan kesepuluh jemari tangannya di
depan wajah. Tatapannya menerawang lurus ke depan,
sebelum akhirnya kembali menatapku. “Hmmm... masalah
selanjutnya adalah Rani enggak sanggup, Ra. Then, how to
211solve it? Ya, menurutku mereka hanya harus balik ke prosa.
Masalah selesai.”
Aku tersenyum sinis menanggapinya. “Kok, balik lagi
ke situ? Ini sih namanya Mas Rio belum paham dengan
omonganku tadi. Kita juga enggak bisa gitu dong, Mas. Hanya
karena Rani bilang enggak nyaman, enggak ada chemistry,
terus kita harus ngorbanin kenyamanan penulis? Be a
professional, right?”
Aku memandangi Rio, Ardi, serta Rani yang masih tetap
diam. “Apa ya? Buatku gini loh, Mas. Masalah awal adalah
tidak ada kesesuaian genre tulisan dengan outline, kan? I
know, outline tuh wajib memang sebagai rambu agar penulis
enggak melenceng, dan buku bisa selesai karena sudah ada
panduan. Yang dijadikan masalah di sini hanya karena jenis
tulisannya yang kemudian berubah dari prosa ke novel.
Udah beda di situ aja Yang aku pikirkan saat ini adalah kalau
memang penulis nyaman di sini, mereka akan do the best saat
menulis. Ya, udah kita juga seharusnya kasih yang terbaik ke
mereka.”
Hujan mendadak turun. Hawa dingin dan wangi tanah
tersiram hujan seolah menjadi penenang di saat hati dan
pikiran kami berempat sudah semakin panas. Rio kemudian
berkali-kali menggerakan jemarinya di dagu, membenahi
kacamatanya, hingga kemudian satu hela napas panjang dia
lepaskan.
“Kalau gitu Ra, proyek ini aku serahin ke kamu. Bukan
212dipegang sama Rani lagi.”
Aku kemudian terbelalak dengan keputusan yang tiba-
tiba itu. “Lah? Malah jadi ke aku? Mas, jujur ya aku bukan
enggak mau. Tapi, aku masih ada tanggungan beberapa
naskah, kerjaanku masih banyak, dan semuan deadline-nya
deketan. Beberapa minggu ini aja aku jarang stay di kantor.
Kenapa malah jadi aku yang handle deh?” protesku dengan
keputusan Rio.
Sebuah senyuman kemudian diberikan Rio. Oh ayolah,
tidakkah dia mengerti senyumannya saat ini tak berpengaruh
apa-apa.
“Aku yakin kalau kamu cinta pekerjaan ini, dan kamu
mau hasil yang terbaik yang bisa kita berikan. Kamu juga
yakin mereka udah do the best. Kalau gitu yang tim kita bisa
kasih, dan yang terbaik juga adalah memilihkan mereka
seorang editor yang memang yakin dengan proyek ini. Aku
yakin kamu yang terbaik untuk nanganin ini. Kamu percaya
mereka bisa, ya kita semua lebih percaya lagi bahwa kamu
bisa.”
Aku menggeleng sambil memijat pelipis. Mendadak
kepalaku pening. Entah kenapa semua upaya yang tadi aku
lakukan untuk membuat Rani yakin justru menjadi bumerang
untuk diriku sendiri. Aku menatap Ardi yang diam-diam
hanya tertawa melihat kesialanku.
Belum usai aku menelaah dan menenangkan isi kepala,
Rani ikut menambahi ucapan Rio dengan pernyataan yang
213lagi-lagi menyudutkanku. “Gue pribadi sih ya Ra, ikhlas
banget kalau lu yang akhirnya nanganin ini. Well, lu yang
lebih paham konsep mereka. Nah, dari pada gue nantinya
ngerjain itu semua setengah-setengah, mending lu aja yang
ngerjain. Secara dari tadi gue liat juga lu sangat excited dan
yakin dengan semua ini. Oh, dan masalah kerjaan lu yang
lain? Itu gampanglah, nanti gue bantuin.”
“Ye, sial. Seneng banget kayaknya lu,” ucapku sambil
menatap Rani kesal.
Melihat itu Rio justru semakin menambah gerah suasana
yang seharusnya dingin karena hujan dengan kalimat-
kalimatnya yang memprovokasi. “Yakin, Lara enggak bisa?
Seorang Lara enggak bisa nanganin hal kayak gini?”
Aku mendengus kesal karena Rio seolah mengerti
kelemahanku untuk kemudian menyerah, dan mengiyakan
mengambil alih tugas Rani.
“Hhhh... Aku tuh enggak suka ditantang. Ya, udah iya. I
will take all the risk.”
“Nah, gitu dong Ra, kelar ya masalah kelar. Masih ada
desain yang belum rampung nih soalnya. Rapat usai kan? Gue
duluan ya, kalau gitu. Haha.” Ardi kemudian tertawa sambil
berlalu pergi meninggalkan kami.
Aku memandangi Rio serta Rani bergantian. Wajah
mereka yang semula muram justru berganti cerah saat ini.
Berkebalikan dengan hujan yang turun semakin deras.
214“Oke, selesai ya. Rani kamu langsung forward outline dan
naskahnya ke Lara. Dan kamu, Ra, langsung ke ruanganku
aja. Ada beberapa hal yang masih harus kita bahas.”
Aku hanya melirik ke Rio sekilas, mengangguk kemudian
memilih meluruskan kakiku ke bawah meja sambil
memandangi tetesan hujan yang jatuh satu demi satu.
a”
215Se
CHAPTER IV
“HINGGA KEMUDIAN KEMBALI MERAGU,
PADA SATU TITIK YANG BERUJUNG TEMU";°“Semua kebutuhan operasional udah lu siapin?”
Aku bertanya seraya mulai mengigit satu burger
utuh yang menunggu untuk aku habiskan.
“Udahhh.... Gue ama si Yuda udah ngurus semua. Mulai
di drop ke sini ntar sore sampe besok, seterusnya sampe
beres. Yuda ntar sorean ke sini,” balas Kevin.
“Owwuwke... nawnti bewwrawrti twinggwal bwkin mwenuw
awja yw,” ucapku sambil mengunyah burger.
“Telen dulu kampret, baru ngomong. Kayak ngomong
sama kecoak gue.” Kevin protes, sembari mulai menata
ruangan yang sedang kita duduki saat ini.
Sejak kedatanganku di Jogja, aku menghabiskan waktu
bersama Kevin hampir setiap hari. Mengurus kebutuhan
untuk membuka coffee shop, mulai dari alat-alat seduh,
grinder, dan peralatan lainnya.
“Udah nemu belum lu nama buat tempat kita?” Kevin
bertanya.
“Bewluwm,” jawabku singkat.
“Ya, udah. Ya, udah, abisin dulu itu burger baru kita
ngobrol lagi.”
Tempat Aku dan Kevin sedang berada ini adalah sebuah
ruang kosong di jajaran ruko di daerah Demangan Baru,
Jogja. Sebuah tempat yang akan dijadikan coffee shop olehku
bersama Kevin dan rekannya, Yuda. Kevin mendapat tempat
ini dari kenalan Yuda, yang saat itu melihat peluang jika
tempat ini bisa dijadikan coffee shop kecil-kecilan.
219Tempat yang dikelilingi oleh macam-macam tempat
makan, stand burger kesukaanku, dan minimarket tepat di
sebelahnya menjadi perhitungan yang baik untuk membuka
coffee shop di sini. Yuda adalah rekan Kevin di kampusnya
bertahun-tahun yang sejak masuk kuliah merantau ke sini
dari Jakarta. Bahasa Jawa kini menjadi bahasa wajib juga bagi
dirinya.
Yuda sudah lama pula terjun di dunia kopi sebagai barista
dan roaster. Dia juga yang mengajak Kevin untuk membuka
kedai kopi, hingga akhirnya Kevin mengajakku bergabung.
Yuda adalah investor terbesar, pembuat konsep desain untuk
coffee shop ini, sekaligus mengurus semua kebutuhan biji kopi
dan semua bahan minuman yang akan dijual.
Sementara, Kevin akan mengurus keuangan dan
pendataan semua barang, serta membantu operasinal di bar.
Aku sendiri bertugas sebagai head bar dan marketing di media
sosial.
“Yuda kan udah bikin desain yang sesuai bujet kita.
Tinggal nama yang belum nemu nih. Yuda percayain ke
lu buat bikin logo sama namanya sekalian.” Kevin mulai
mengajak berdiskusi.
“Terus, tujuan lu sama Yuda apaan buat bikin coffee
shop ini?” Aku coba mencari bahan pembicaraan yang akan
mempermudahku menemukan nama yang pas untuk coffee
shop kami.
“Yah, kita enggak filosofis-filosofis amat untuk masalah
220itu. Cuma seneng sama kopi dan pengen buka kedai kopi.
Udah. Makanya, kita minta lu yang coba bikinin nama. At
least, setau gue kan lu deep banget nih orangnya. Hahaha.
Bisalah lu mikirin konsep dan ke mana arah coffee shop kita
biar lebih punya meaning,” ucap Kevin.
Jujur, saat ini aku masih sangat gamang perihal nama.
Entah apa yang cocok untuk coffee shop kami dengan hasil
desain interior yang sudah dibuat Yuda. Aku tidak bisa
terlalu banyak mengeksplorasi keterkaitan karakter interior
dengan nama yang akan dipilih.
“Kalau lu nih, dateng ke kedai kopi, dan ngopi, biar apa?
Apa yang lu cari?” Aku kembali coba bertanya.
“Biar keren, biar kaya anak-anak zaman now. Biar
gampang cari jodoh gue. Hahaha. Enggak deng. Yah, karena
doyan aja gue mah. Buat refreshing aja lah. Buat bantuin
mikirin hidup? Biar ngobrol sama orang? Buat lepasin
penat?”
“Hmm.... Gue kepikiran sama bar diskotik kaya di film.
Gue enggak tahu kalau di Indonesia sama apa kagak, gue
belum pernah juga. Terus, beberapa bar kopi yang ada
beberapa kursi di depannya. Ini cuma menurut gue. Orang-
orang yang doyan duduk di kursi bar adalah mereka yang
bener-bener dateng untuk ngopi dan ngobrol sama barista
atau bartendernya. Atau, ngobrol sama orang-orang asing
yang duduk di kursi bar juga. Mirip sama konsep warkop.
Orang-orang yang ke situ pasti bisa ngobrol satu sama lain.
221Ngomongin politik, curhat keluarganya, atau keresahan apa
pun. Warkop atau bar itu sendiri sebenarnya adalah area
pertumpahan keresahan, cerita, drama.” Aku bercerita.
“Jadi, lu coba pengen masukin konsep yang jadul buat
dijadiin modern?” Kevin memastikan.
“Man, itu bukan konsep jadul! Itu konsep inti yang
udah mendarah daging di setiap warkop. Di mana ada kopi
di situ pasti ada diskusi keresahan. Sedangkan, modernitas
justru menghilangkan nilai-nilai itu. Menurut gue sih.” Aku
membalas.
“Tapi Man, kalau mau ngangkat itu gue yakin setiap
kedai kopi juga tujuannya enggak jauh beda. Setiap orang
yang dateng, ya punya urusan masing-masing dan beda-
beda. Ada yang sibuk sama gadget, game-, tugas-tugasnya.”
Kevin berpendapat.
“Iya, gue paham. Tapi, maksud gue bukan ke sana.
Ini perihal gimmick, konsep marketing yang juga akan
diaplikasikan pada nama coffee shop kita. Gimana pun customer
juga doyan sama hal-hal yang punya cerita dan punya
meaning. Maksud gue ke arah situ.” Aku coba membeberkan
maksudku.
“Ah... ya, gue paham. Jadi, apa yang ada di otak lu soal
konsep kedai kopi dan keresahan itu?” Kevin menembak.
“Hmm... Kita enggak cuma nyediain kopi, dan bener
kata lu setiap kedai kopi pasti pengen nyediain ruang diskusi
untuk keresahan, kan?” Aku berpikir.
222“Yak, terus?” Kevin menunggu kesimpulan dariku.
“Coffee and Share? Karena, kita berbagi cerita?” Aku
bertanya.
“Mmm... kurang ear-catchy. Terlalu dipaksain, terlalu,
charity.” Kevin tidak setuju.
Aku kembali melamun. Memperdalam pikiran perihal
apa yang orang-orang bawa dan tumpahkan di sebuah kedai
kopi. Apa yang orang-orang cari secara subjektif di sebuah
ruang diskusi?
“Coffee and Story?” Aku bertanya lagi.
“Mmm, oke, tapi kurang. Apa ya, bagus tapi ada yang
kurang aja rasanya. Cari yang lain selain story. Yang lebih
menggoda dan kontroversial.” Saran Kevin.
Aku coba berpikir lebih dalam dan lebih luas. Perihal
cerita dan keresahan pada sebuah nama yang akan
mengundang banyak tanya dan ketertarikan di saat yang
sama. Sebuah kata yang dapat merayu dan membuat orang
penasaran sekaligus tidak menyetujui, tapi juga setuju saat
membacanya, mendengarnya, dan tanpa sadar diolah dalam
otak sebagai hal menarik untuk diketahui.
Aku teringat pada pertemuanku dengan Lara, pada
sebuah persinggungan di atas dua kursi bar. Pada gelas-gelas
kopi yang membangun sebuah cerita. Sebuah drama yang
terjadi dari persinggungan macam-macam orbit manusia.
“Coffee and Drama!” Aku setengah berteriak. Menunggu
reaksi Kevin dengan menatap wajahnya. Dengan mulut
223setengah terbuka seperti seorang bayi yang menunggu
sesendok nasi yang sedang diterbangkan ke langit oleh orang
tuanya, untuk akhirnya mendarat di dalam mulutnya.
“Hahahahaha. Anjir itu lucu sih! Drama, Man? Drama
banget?” Kevin terdengar bertanya-tanya dengan nada yang
terdengar setuju.
“Orang-orang benci drama, but still they’re doing it
anyway. Orang-orang bawa drama ke coffee shop, orang-orang
juga numpahin drama, dan bikin drama baru di coffee shop.
Semua yang kita lakuin adalah drama itu sendiri. Hahahaha.”
Aku tertawa kegirangan. Mendapatkan nama yang akhirnya
membuatku menginvestasikan harapan pada sebuah
identitas itu.
“Setuju, sih. Orang dateng ke sini buat ngopi sama
nikmatin dramanya. Drama apa pun yang disuguhin atau
yang mereka cari. Atau bahkan yang mereka bawa terus
dibagi-bagiin buat siapa pun yang mau ikutan sharing
dramanya. Hahaha”
Kami melanjutkan perbincangan mengenai harapan-
harapan lain perihal tempat ini. Mengenai masa lalu yang
membawa Kevin, membawa aku ke titik ini, ke tempat ini.
Bagaimana pun semua luka saling mengarahkan tidak hanya
pada sebuah penyesalan pun pada sebuah dendam. Jika kita
cukup bisa menerima dan menertawakan luka kita, saat ini
kita akan bisa bersyukur dengan jenaka. Semua hal itu adalah
cara Tuhan membawa kita pada keadaan yang semakin baik.
224Yuda akhirnya tiba dengan mobilnya, membawa
perlengkapan. Kami membantu menurunkan barang-barang
dari mobil.
“Man, Saka udah nemu nama yang oke!” Kevin tak sabar
memberitahukannya kepada Yuda.
“Apaan emang?” tanya Yuda sambil membawa barang-
barang di tangannya, berjalan ke ruangan yang saat ini masih
berantakan.
“Coffee and Drama!” Kevin berseru, lalu meletakkan
barang yang dibawanya ke lantai.
“Hemm...” Yuda menarik napas setelah menurunkan
barang bawaannya. Meletakkan kedua tangan di pinggang,
seolah bersiap menghakimi. Badannya yang besar dan
gempal membuatnya terlihat semakin seram.
Aku yang ada di depannya dengan barang bawaan di
tangan yang disandarkan di perutku, berhenti sejenak.
Melihat Yuda seperti itu, ada ketidaksetujuan yang terpancar
dari wajahnya.
“Seberapa yakin kalian sama nama itu?” Yuda bertanya
tegas.
Pertanyaan kepada kami tetapi matanya ditujukkan
kepadaku. Seperti dosen penguji yang mempertanyakan
apakah data yang baru saja aku presentasikan cukup valid.
“Yud, itu jenius! Siapa yang bakal kepikiran tentang
drama coba?” Kevin berusaha meyakinkan. Aku belum
bersuara.
225“Ya justru itu, siapa yang mau pake nama itu?” Matanya
masih ditujukkan kepadaku. Mengerti bahwa akulah rahim
yang melahirkan nama itu.
“Justru itu, kita yang bakal pake nama itu. Saat semua
orang enggak mau peduli dan enggak ngerti, kita jadi satu-
satunya. Gue pikir, drama udah jadi bagian hidup kita yang
coba orang-orang hindari, tapi badan dan pikiran mereka
craving for it.” Aku menjelaskan sambil tersenyum, dan
menaruh barang yang kubawa di depan mereka.
Yuda masih menatapku nanar. Pembawaannya yang
memang serius dan tegas. Cukup bisa untuk mengintimidasi
orang di depannya dengan tatapannya itu.
“Coffee and Drama, this is it!” Yuda mengangkat kedua
tangannya. Giginya yang tak rata bersinar. Lelaki dengan
rambut klimis ini sepertinya senang membuat orang tegang.
“Yeaaaaah...! Bangke! Bikin tegang aja lu!” Kevin
menampar pundak Yuda.
“Lah, gue enggak minta lu tegang. Hahaha.” Yuda
berjalan ke arah mobil, mengambil beberapa barang yang
belum dikeluarkan.
“Muka lu nyet kayak yang kagak setuju gitu!” Kevin
mengikuti Yuda.
Aku hanya tertawa melihat mereka.
“Bukan gitu, gue juga perlu jawaban yang ngeyakinin,
dan juga harus liat seberapa yakin lu berdua sama nama
itu. So far, untuk urusan nama gue bebas-bebas aja.” Yuda
226menjelaskan.
Ada benarnya apa yang Yuda katakan. Bagaimana pun
aku memang perlu meyakinkan. Eng, tidak, sebelum itu aku
perlu bisa merasa teguh sebelum akhirnya bisa meyakinkan
seseorang. Energi keyakinan itu bisa menular setahuku.
Kami membereskan semua barang di ruangan yang masih
berantakan, sebelum akhirnya esok beberapa furnitur untuk
kursi, meja, dan bar akan datang. Kevin akan bertugas untuk
memastikan semuanya. Sementara, aku akan membantunya
dan coba mulai membuat logo tulisan dan gambar untuk
Coffee and Drama. Yuda sendiri akan sering pergi mengurus
kebutuhan pasokan kopi dan bahan-bahan lain untuk calon
menu yang ada di sini.
Setelah beberapa hari aku menumpang dan menginap di
kos milik Kevin, hari ini secara sah aku mendapat tempat
tinggalku. Sebuah rumah kos yang tidak terlalu jauh dari
daerah Demangan, tempat Coffee and Drama.
Ruang 3x3m yang hanya disediakan kasur lipat lusuh
akan menjadi tempat tinggalku selama beberapa lama.
Beruntung pemilik kos di sini mengizinkan untuk aku
membayar per bulan. Beruntung juga kemarin aku dan Kevin
sempat berbelanja seprai dan sarung bantal serta beberapa
227peralatan lain di Mirota Kampus. Sebuah pusat perbelanjaan
tempat semua orang mencari kebutuhan sehari-hari yang
terkenal seantero Jogja.
“Lara sedang apa ya?” Pertanyaan tiba-tiba mengetuk
pikiranku. Nurani sedikit tergoda untuk menghubunginya,
nalar apalagi. Apa yang sedang dilakukannya sekarang?
Satu per satu pertanyaan membawa teman-temannya untuk
meramaikan isi kepalaku.
Kami seharusnya bertemu kembali jika Lara
menghubungiku saat dirinya mengunjungi Bandung entah
kapan. Kenyataan selalu memberi kejutan yang membuat
manusia hanya berusaha memaklumi dan memaknai
kejadiannya. Aku yang ternyata kini juga harus tinggal di
Jogja, harusnya janji itu bisa kandas atau bisa aku ingkari.
Menurutku ingkar janji saat ini, tidak akan melukai siapa
pun.
Sebagaimana pun Lara sepertinya akan baik-baik saja
mendapat pesan dariku. Tapi, aku tak yakin hal itu akan
membuat kami baik. Meski pertemuan terakhir dengan Lara
sangat menyenangkan tapi itu semua adalah pertemuan
yang kebetulan. Sekarang aku malah tidak siap jika harus
merencanakan pertemuan, bahkan hanya sekadar pertemuan
kalimat yang aku kirim.
Aku menidurkan badan di atas sebuah seprei biru tua
polos yang baru kubeli kemarin. Memandangi langit-langit
yang kini mulai terlihat seperti kanvas kosong. Satu sudut
228setengahnya aku isi dengan bayangan tentang sebuah foto
yang ada aku dan Lara tengah berbincang. Setengahnya
lagi aku isi dengan sebuah prosa yang menceritakan foto di
sebelahnya.
PELATARAN LANGIT
Saat ini, kita adalah pelataran langit yang sedang tersenyum.
Cahaya bintang yang berjarak ratusan juta tahun cahaya,
akhirnya sampai. Mengerlipkan napasnya yang kelelahan.
Setiap degupan dalam dada kita, membentuk satu per satu
titik-titik konstelasi berbentuk rindu.
Tak pernah kulihat langit secerah ini, bulan saja malu
bersinar. Namun, bulan selalu bijak, meski tak bercahaya,
bulan selalu mendoakan bintang-bintang.
Lalu kita tersadar, taukah kamu bahwa akhirnya kita bisa
berdampingan dan menjadi bagian dari langit, karena doa-
doa dari bulan?
Tapi tak perlu kamu pikirkan terlalu keras, bulan sedang
tertidur sambil memimpikan kita yang tengah asyik
memecah rindu hingga begitu terang.
Malam ini, kita adalah langit yang tengah dinikmati jutaan
malaikat. Mereka asyik menggoda kita dengan sunyinya
229malam. Hanya agar kita bisa terdengar lebih syahdu.
Tapi tak perlu khawatir, kita juga bisa menggoda malaikat.
Kan, kubisikkan caranya....
Kita bersinar saja, agar malaikat penasaran apa yang kita
bicarakan melalui gemerlap yang berdetak.
Prosa itu meluncur saja dalam benakku, sayang aku tak
memiliki foto Lara. Aku baru menyadari aku tak pernah
mengabadikan satu pun gambar selama aku bersama Lara.
Tiba-tiba mempertanyakan penyebabnya. Setiap hari, ke
mana pun, dimana pun, kamera mirrorless milikku selalu ada
dalam tas. Selalu aku keluarkan saat aku menemukan hal-
hal menarik di sekitarku. Jika tidak aku yang akan membuat
keadaan sekitarku menjadi menarik dengan jepretanku.
Nanti, jika kami akhirnya bertemu lagi. Akan aku
pastikan untuk mengambil gambarnya. Aku membangunkan
diri, segera mengetikkan prosa yang sempat tadi melayang di
pikiranku agar tidak terserak pada area pembuangan dalam
otak. Ya, semua hal yang tiba-tiba ada dalam kepala, bisa
tiba-tiba hilang sedetik kemudian.
Eleftheriana: Hei, mana tulisanmu untuk kita?
Sepertinya kamu sibuk dengan kepergianmu?
Sebuah pesan masuk dari Eleftheriana.
230Aku: Sepertinya begitu. Kesibukan ini agaknya
menyenangkan bagiku.
Eleftheriana: Aku selalu yakin ketika seseorang sibuk
dengan kesenangannya, orang itu menjalaninya
dengan keutuhan dirinya. Hingga lupa pada sekitar
atau hingga tak menyediakan ruang untuk hal lain
dalam dirinya selain kesenangan itu.
Aku: Kamu benar-benar harus melihatku tersenyum.
Aku suka kesal karena emoticon hanya membatasi
keindahan makna yang diwakilkan itu.
Eleftheriana: Sebegitu inginnya senyummu aku lihat?
Aku akan melihat senyummu, tenang saja!
Aku: Yah, karena... kamu perlu melihat keindahan
yang nyata daripada hanya melihat, simbol dari
sebuah keindahan.
Eleftheriana: Hahaha. Menarik. Siapa tahu nanti aku
tiba-tiba mendatangimu?
Aku: Memangnya kamu tahu aku di mana?
Eleftheriana: Tidak, kamu yang akan memberi tahuku.
:)
Aku: Sebuah “kamu di mana” yang pintar. Hahaha.
Kamu harus datang ke kedai kopi milikku kalau begitu!
231Eleftheriana: Waw, sebuah kejutan menyenangkan.
Kamu memiliki kedai kopi?
Aku: Yah, tidak milikku sendiri. Kepergianku ini adalah
tentang kedai kopi itu. Dalam beberapa hari ke depan
semoga kami sudah siap untuk membukanya.
Eleftheriana: Hebat! Aku kenapa bangga ya. Katakan
saja di mana kedai kopimu, mungkin aku akan
mendatanginya.
Aku: Coffee and Drama, daerah Demangan Baru.
Jogjakarta. Kamu harus datang ke mari.
Eleftheriana: :)
Aku: Sial, senyum itu lagi. Aku selalu sebal melihatmu
membalas hanya menggunakan emoticon itu.
Eleftherian: Tenang saja, kamu akan melihatnya juga
secara langsung. Kini, aku tunggu tulisanmu.
Entah dari belahan bumi bagian mana dirinya sekarang
tetapi sepertinya aku begitu percaya jika dia akan benar-
benar datang ke kedai kopi milikku. Hingga kini aku masih
tak paham, siapa dia untuk aku? Kehadirannya selalu mampu
membuatku merasa baik-baik saja. Apa semua pertemuan
dari dunia maya selalu seperti ini? Apa pertemuan biasa
232tidak dapat menciptakan obrolan-obrolan seperti yang aku
lakukan dengannya?
Kehadirannya bahkan selalu membuatku sangat lancar
untuk menulis, entah magis apa yang dimiliki dirinya. Tapi,
aku akui itu sangat baik untukku, membawa gelombang yang
sangat positif bagiku.
Maukah kita untuk sekiranya melupa perihal duka yang
pernah membawa luka?
Maukah kita untuk sekiranya membuka pada rasa yang kini
sama-sama ingin diungkap dan berhenti saling menerka?
Tak perlu menuding siapa pertama yang mengundang atau
mempersilakan, karena kita sebetulnya telah saling membuka
untuk tidak lagi terbelenggu oleh ragu.
Kita ada di kapal yang sama. Kita tahu arah angin. Kita
punya layar yang mantap berkembang. Lalu, kita kini ada di
depan kemudi, untuk kemudian berlayar.
Seperti kini, tulisan begitu lancar mengalir begitu saja
dari tanganku. Bahkan tanganku bertanya-tanya siapa
yang menggerakannya. Tulisan projek kami berdua sudah
aku berikan, tinggal menunggu balasan darinya untuk
menyempurnakannya.
Pernah terpikir olehku sejak kapan dirinya menulis,
233perihal apa yang membuatnya terus terusan menulis, perihal
apa yang ingin dia sampaikan ketika menulis. Namun, aku
ingin sekali bertanya kepadanya saat akhirnya nanti kami
benar benar berjumpa, yang entah kapan. Bagusnya, bukan
aku tidak berharap, tapi aku tidak terasa tergila-gila untuk
segera bertemu dengannya. Seolah perasaan ini sangat
lembut dan tenang. Perasaan yang begitu mendamaikan.
Bukankah kita mengerti,
kita telah sama-sama lelah menanti.
Rasa yang hadir pun telah kita pahami.
Lantas, masih perlukah kita mencari,
arah mana yang akan kita tuju untuk dijalani?
Taruh tanganmu di atas kemudi,
kupastikan tanganku akan selalu memeluk punggung
tanganmu.
Mari berlayar, menuju kejadian-kejadian yang tengah
menunggu untuk dimaknai. Menuju hari-hari yang akan
membuat kita saling mendewasakan. Aku, denganmu.
Apa yang dimakannya? Kamus? Buku-buku puisi? Cepat
sekali dirinya membalas tulisanku. Seolah dalam kepalanya
terdapat mesin pengatur diksi untuk dengan mudah
mencetak kalimat-kalimat yang kini tengah aku baca.
234Di kos? Gue jemput yak.
Sore mendadak telah tiba. Kevin mengirim chat untuk
menjemputku kemudian menuju kedai. Jadwal kedatangan
furnitur akan tiba hari ini. Aku sungguh bersemangat. Tak
lama setelah aku mengunggah tulisan aku dan Eleftheriana,
Kevin datang. Kami segera menuju kedai kopi kami.
Kami mulai mengatur ruangan sesuai denah dan desain
yang diberikan oleh Yuda. Anak itu baru datang saat malam
untuk membantu kami. Bekerja bertiga membuat kami cepat
menyelesaikan hampir semuanya. Tinggal area bar yang
perlu dirakit keesokan harinya karena kami sudah lelah.
Yuda pun pamit terlebih dahulu karena masih ada
urusan yang perlu dikerjakan. Aku dan Kevin menyempatkan
membeli burger kesukaan kami yang terletak hanya beberapa
langkah dari kedai. Sebuah surga yang aku idam-idamkan.
Aku bisa makan burger kesukaanku setiap hari.
“Lu udah ngabarin Lara kalau lu di sini?” Kevin bertanya
saat kami menunggu pesanan burger.
“Belom, kabarin jangan ya?” Aku balik bertanya.
“Lah, serah. Gue cuma nanya. Haha.” Kevin tertawa.
“Ye, kampret.” Aku mencela.
“Lu emang masih kepengen balikan ama dia?” Kevin
bertanya lagi.
235“Kagaklah...” Aku merespon cepat.
“sombong bener. Udah bisa move on lu?” Kevin meledek.
“Bukan masalah udah move on, gue lebih seneng gini aja.”
Aku menjawab sedikit ragu.
“Gini gimana? Diem-diem kangen? Diem-diem pengen
ngabarin tapi malu disangka mau ngedeketin lagi? Hahaha.”
Kevin semakin meledekku.
“Bukan, Nyet! Ya.... Gini aja, masing-masing, sama-sama
baik-baik aja.” Aku coba menjelaskan meski ragu.
Sebetulnya aku pun tidak begitu paham. Jika memang
kami memang baik, tapi kenapa mengabarinya saja aku tak
berani. Apa yang sebenarnya aku takutkan? Apa sebetulnya
aku memang benar-benar bisa baik-baik saja jika nanti
bertemu? Apa semua perasaan baik-baik saja kemarin hanya
sebuah aksi menghibur diri semata? Aku bertanya-tanya
dalam kepalaku.
“Lu enggak mikirin apa kalau sebenernya Lara juga
mendem buat enggak ngontak lu? Atau, dia juga sebenernya
pengen balikan ama lu? Lu berdua waktu di pantai oke
banget loh. Bisa sebaik-baik itu padahal belum lama putus.
Gue malah gemes sendiri. Kalau kalian bisa baikan gitu,
kenapa kagak balikan?” Kevin memberondongku dengan
pertanyaan. Aku hampir kewalahan.
“Ya terus kalau bisa baikan emang mesti balikan? Lu
pasti enggak pernah temenan baik lagi ya sama mantan-
mantan lu? Pasti abis putus udah aja gitu jadi kagak pernah
236ngobrol lagi? Payah, anjir.” Giliranku meledeknya.
Burger yang kami pesan akhirnya datang. Kami
melanjutkan obrolan sambil makan. Kali ini kami memastikan
menelannya dahulu sebelum berbicara.
“Bukan gitu, Sob. Tapi, kalau emang lu pengen balikan,
coba usahain aja. Karena mungkin lu merasa baik-baik aja
karena engak pernah ngobrol lagi ama dia. Mungkin perasaan
kalian baik-baik aja itu karena terakhir kali ngobrol lu bisa
baik-baik aja. Dan, sebenernya dari perasaan itu terdapat
kemungkinan bagus kalau hubungan kalian bisa diperjuangin
lagi.” Kevin memainkan logikanya. Kata-katanya mulai
membuatku harus benar-benar memikirkan hal itu.
Seolah itu adalah pernyataan yang sudah aku tunggu-
tunggu untuk kembali menanyakan apa yang sebenarnya aku
rasakan terhadap Lara. Seolah aku butuh dukungan bahwa
sebenarnya aku memang masih menginginkan kembali
berhubungan dengan Lara.
“Tuh kan, diem lu. Berarti bener. Ya elah, enggak usah
malu kali. Mending lu malu tapi jujur ama diri lu sendiri.
Malu enggak bikin lu bahagia, Coy. Halah, lu juga pasti paham
itu lah.” Kalimat kevin seolah meledekku. Seolah kini nalar
sedang mengejekku dan menjulurkan lidahnya kemudian
membuat muka konyol yang sangat meledek.
Aku membiarkan Kevin tanpa penjelasan lebih lanjut
dariku. Burger di tanganku lebih menarik untukku daripada
pertanyaan Kevin meski isi kepala masih saja memikirkannya.
237Seolah kenikmatan burger ini masih belum bisa mengalahkan
kegaduhan isi kepalaku. Seolah semua hal yang sudah aku
pastikan sedemikian rupa, berubah menjadi pertanyaan
untuk menggugat kebenarannya.
Sial, ini tidak baik. Segera setelah menghabiskan burger,
kami segera pulang. Tidur adalah satu-satunya cara meredam
pikiran yang tak bisa diam. Membuatnya lelap secara paksa,
daripada aku yang dibelenggu untuk terlarut, dan hanya
akan menyeretku pada sebuah keresahan.
“Mas, Flores satu ya,” pesan salah satu customer.
“Boleh, Mbak. Senengnya bold apa mau gimana?” tanya
Agil.
“Minta dibikin light sama sweet aja kalau bisa ya, saya
enggak terlalu suka yang tebel. Hehe.” Wanita yang memesan
kopi itu tertawa.
“Siap, diseduh pake vo0 aja kalau gitu ya. Atas nama
siapa, Mbak?” tanya Agil.
“Lara. Duduk di... sebelah sana ya, Mas.” Seraya wanita
itu menuju ke arah kursi di pojokan.
Agil mencatat pesanan wanita itu dan menaruhnya di
kertas antrian untuk dibuat berdasarkan urutan. Semua
barista sibuk menyiapkan macam-macam pesanan. Coffee
238and Drama akhirnya resmi buka beberapa hari lalu. Untuk
ukuran kedai kopi baru, Coffee and Drama sudah bisa menarik
cukup banyak tamu yang datang. Kami meng-hire dua barista
untuk membantu operasional. Agil dan Bram, rekan kampus
dan kos Kevin. Agil adalah orang Jakarta. Sedang, Bram yang
namanya tidak terlalu Jawa, tapi dia asli berasal dari tanah
ini.
“Atas nama Sabar?” Kevin mencari orang yang bernama
sabar.
Seseorang dengan perawakan kurus yang duduk bersama
rekannya mengangkat tangan.
“Silakan, Mas. Makasih sudah sabar menunggu, Mas
Sabar.” Kevin memberikan kopi pesanannya.
Sudah lama aku tidak menyibukkan diri dengan banyak
bergerak. Terbiasa bekerja di atas kursi, membuatku mudah
berkeringat dengan badan yang tak berhenti bergerak untuk
bekerja. Membersihkan gelas yang sudah terpakai, mengelap
meja, menyediakan alat seduh. Badanku terkejut saat hari
pertama kedai buka, hingga malamnya aku merasa pegal-
pegal.
Menariknya, aku merindukan rasanya berkeringat.
Kegiatan seperti ini lebih membuat diriku sibuk dibanding
pikiranku yang sibuk melayang ke mana-mana.
Untuk mengatasi kepadatan para tamu yang datang,
beberapa hari ini aku dan Kevin harus melakukan double
shift. Dan, di kemudian hari kami bisa menyesuaikan jadwal
239berapa barista yang perlu in charge per-shift-nya.
“Gil, Flores nih. Atas nama siapa tadi?” tanyaku.
“Emm... atas nama Lara, Mas. Yang duduk di ujung itu,”
balas Agil sambil mengecek kertas pesanan.
Aku dan Kevin sontak terkejut, saling berpandangan.
Muka Kevin menahan tawa. Aku, menahan tangan yang kini
mulai gemetar.
“Sumpah?” tanya Kevin sambil berbisik tapi menahan
teriak.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Kopi yang sudah siap kuantarkan tak mungkin aku
harus menyuruh Agil atau Kevin menggantikan. Aku
berjalan perlahan menuju tempat duduk, Lara. Terlihat
seorang wanita yang membelakangi arah bar, hanya terlihat
rambutnya yang terkuncir dari belakang. Kakiku gemetar
tak keruan. Keringat dingin mulai tak sabar ingin keluar dari
pori-poriku.
“Atas nama Lara?” Aku bertanya.
“lya.” Wanita itu membalas dengan senyum.
“Hhhbhhhhhhhhhhbhh....” Pikiranku seolah mengeluar-
kan napas yang sangat panjang. “Silakan Mbak, Floresnya.”
Aku memberinya senyum.
“Kampreeeeet... kaki gue lemes.” Aku duduk di atas
lantai dalam bar.
“Gimana, Man? Ngobrol enggak lu?” tanya Kevin histeris.
“Namanya doang yang sama.” Aku menyandarkan badan
240di salah satu lemari bar.
“Ahahahahahahahhaa. Santai-santai. Ini latihan kalau
Lara yang asli beneran dateng. Hahahaha.” Kevin sontak
menahan tawa dan melanjutkan menyeduh kopi pesanan.
Bertemu dengan Lara saat seperti ini bukan benar-benar
hal yang bisa aku bayangkan atau mungkin harapkan. Seolah
ada ketidaksiapan dariku untuk bertemu lagi. Semua pikiran
dan pertanyaan beberapa hari kemarin datang lagi. Seolah
benar ucapan Kevin, bahwa aku masih sangat menginginkan
Lara. Hal itulah yang selama ini menyebabkan aku belum
berani menghubungi atau memberitahu dirinya bahwa kini
aku di Jogja.
“Bangun lu, kerjain ini pesenan. Dikasih ketemu cewek
nama Lara dikit aja, lemes lu langsung. Payah ni lakik!” Kevin
mengejek lagi.
Aku bangun dan mulai menyeimbangkan diri. Hal yang
baru saja terjadi benar-benar membuat degup ini kewalahan
menentukan irama. Seraya detaknya meracaukan keadaan
genting.
Jam makan siang mulai menjadi salah satu jam sibuk
kami. Beberapa tamu yang datang di antaranya adalah
karyawan yang sekadar mengopi selepas makan siang. Atau,
mahasiswa yang sedang menunggu kelas berikutnya, atau
beberapa sedang mengerjakan tugas.
Beberapa pengunjung yang duduk di kursi bar tampak
sedang bercakap dengan Kevin dan Agil. Aku sibuk
241membereskan peralatan. Perbincangan mengenai dunia
perkuliahan, atau isu-isu panas, sebuah drama mengenai
pengalaman masing-masing, selalu malu-malu terdengar
tumpah di meja bar.
Kopi-kopi yang mereka teguk, mempermanis tawa.
Perdebatan di sini tidak pernah berakhir tragis dengan
saling membenci atau memojokkan. Seolah mereka memiliki
kearifan untuk memeluk perbedaan. Hari demi hari semakin
terbiasa. Kami mulai bisa mengatur jadwal untuk barista
yang kami hire.
“Man, lu ama Yuda enggak akan beli rok presso sama froater
gitu buat sediain menu cappuccino atau caffe latte? Banyak
yang nanyain tahu.” Aku bertanya suatu hari saat tengah
closing.
“Enggak usahlah. Kita di sini jual manual aja sama
minuman lucu lainnya. Cokelat kita juga enak,” timpal kevin.
“Lah kok gitu, kan lumayan kalau kita nambah milk based.
Bisa naikin penjualan.” Aku membalas.
“Bro, menurut gue kalau kita cuma ngikutin pasar,
pada akhirnya kopi manual akan mati. Meskipun akan tetep
ada, tapi akhirnya semakin sedikit peminatnya. Di zaman
sekarang, apresiasi seduhan kopi harus dipertahankan dan
242dikembangin.” Kevin berpendapat.
Aku sedikit tak terima dengan idealisme yang dimiliki
kevin. Karena menurutku, pengadaan menu milk based benar-
benar tidak melukai selera pasar terhadap kopi manual
brewing.
“Emang apa ruginya kalau kita jual cappuccino sama caffe
latte? Selera pasar juga enggak akan mencederai kopi manual
kali.” Aku mulai mendesakkan pendapat.
“Alah, cappuccino sama caffe latte itu cuma cari aman.
Dan, ribet. Kalau enggak pake mesin, gue ogah. Karena,
kalau rok presso sama froater, kita mesti ngeluarin duit yang
nanggung. Belum lagi grinder bakal pendek umurnya kalau
dipake ngegrind yang halus. Belum lagi kita harus stok susu,
ditambah beli cangkir khusus.”
“Ya elah Ssob, ngeluarin duit segitu buat naikin penjualan
juga kan enggak apa-apa. Lu idealis boleh tapi jangan sampe
kita malah mati sama pasar nantinya.” Kami mulai berselisih
pendapat, perihal apa yang menurut kami baik.
“Enggak, justru itu. Kita enggak pengen jadi kedai
kopi yang mentingin perkembangan zaman. Dan, mungkin
yang belum lu paham, gue cukup percaya sama pasar di
Jogja. Mereka cukup apresiatif sama kopi manual. Enggak
kayak kota-kota lain yang sedikit banyak mulai berkurang
apresiasinya karena cappuccino sama caffe latte sedikit lebih
modern. Lu bisa liat sendiri, meskipun lu enggak ngedatengin
setiap tempat ngopi, tapi lu ngerti dan bisa liat keadaan
243sekitar bahwa peminat kopi manual di luar Jojga itu lebih
rendah.” Kevin tetap pada keputusannya.
Selama mengenal Kevin, baru kali ini kami berdebat.
Hal yang bahkan sepertinya membuatku sadar, bahwa aku
memang tidak begitu mengenal Kevin sepenuhnya. Akumasih
tak habis pikir perihal idealisme yang dipertahankannya.
Lebih tak habis pikir bahwa Kevin memiliki prinsip yang
tinggi untuk dipegangnya.
Namun bagaimana pun keadaan sekarang mungkin
belum menjadi waktu yang tepat untuk mengutarakan ide
itu. Masih terlalu awal untuk sebuah penambahan, untuk
sebuah langkah lain agar lebih memajukan Coffee and Drama.
Hingga kami pulang pun Kevin masih seperti biasa. Ia
mengantarku ke kos karena satu arah menuju tempatnya.
Perdebatan tadi seolah hanya hal biasa. Setidaknya itu
membuatku tenang. Tak perlu ada yang aku atau kami
cemaskan perihal hubungan bisnis dan pertemanan ini. Hari-
hari selanjutnya pun kami kembali seperti biasa, seolah tidak
pernah ada yang terjadi.
“Siang semuaaaaa,” aku menyapa Bram dan Kevin yang
tengah in charge . Hari ini aku kebagian shift sore hingga
closing.
244“Pesenan kita mana, Coy?” Kevin menanyakan nasi
bungkus yang ia pesan untuk makan siang dirinya dan Bram.
Aku memberikan pesanan itu, lalu menyuruh Bram dan
Kevin untuk menikmati makan siangnya dahulu. Membiarkan
aku yang menggantikan mereka membuat beberapa pesanan.
Sore ini belum terlalu ramai. Hanya ada beberapa
pengunjung yang sedang mengerjakan tugas, menongkrong,
dan seorang di kursi bar sedang mengerjakan sesuatu dengan
laptopnya.
Aku membuat pesanan sesuai kertas pesanan yang
berjejer di meja bar. Satu demi satu kopi kuseduh, lalu
memberikan kepada pemesannya. Hingga satu pesanan
terakhir, segelas iced chocolate. Pesanan selesai kubuat, lalu
mengangkat kertas untuk melihat nama pemesan. Mataku
terbelalak melihat namanya. Bram yang datang ke bar untuk
meminjam sendok, aku hentikan untuk bertanya kepadanya.
“Bram, ini... Eleftheriana yang mana orangnya?” Aku
berbisik pelan, berharap tak ada yang mendengar selain
Bram.
“wah, enggak tahu, Mas. Itu Mas Kevin yang nerima
ordernya.” Bram menjawab.
“Di sini, Mas.”
Tiba-tiba sebuah suara datang dari belakangku, seorang
yang sedari tadi duduk di kursi bar. Aku membalikkan badan
sambil memegang segelas iced chocolate. Yang kuperhatikan
pertama kali adalah senyumnya yang setengah merekah.
245Seolah mengatakan, “Akhirnya, kamu bisa melihat
senyumku.”
Rambut pendek yang kemilau, kaos polos sedikit
kebesaran, sambil memegang Ipod di tangan membuatnya
terlihat menarik.
“Eleftheriana?” Aku bertanya memastikan. Entah bagai-
mana rupa wajahku? Mencoba membentuk senyum tapi rasa
terkejut sepertinya membuat rupa wajahku tak keruan.
“Yap.” Gadis itu mengangguk, barisan giginya yang
gingsul ikut berbinar.
“Ya, Tuhan. Akhirnya, aku bisa liat langsung senyum
itu!” Aku setengah berteriak.
“Hah? Hahahahahha.”
Kukira senyum tadi adalah yang paling terang tetapi
kini Eleftheriana menunjukan senyumnya yang lebih terang,
berpendar dan menyilaukan perhatianku.
“Akhirnya, aku juga liat senyum itu Mr. Catastrophic
Paradigm.” Eleftheriana menyebut nama akun Blogku,
Catastrophic Paradigm.
Aku membalas senyumnya seraya menaruh iced chocolate
di depannya.
“Gosh! Kamu beneran dateng ke sini! Parah, I don’t even
prepare my self for this! Hahaha.” Aku masih merasa canggung.
Tak tahu harus mengatakan apa.
“Why should you prepare? Pertemuan kita di Blog aja
enggak butuh persiapan apa pun, kan?” Eleftheriana tertawa
246mendengar ucapanku.
Kami akhirnya secara resmi berkenalan. Adalah Ana,
nama di belakang Eleftheria sebagai panggilan dirinya.
Seorang mahasiswi Psikologi yang ternyata berasal dari
Bandung. Tempat yang sama denganku.
Sebuah kejutan yang menyenangkan. Kami akhirnya
berbagi cerita, saling menyuguhkan senyum. Senyum-
senyum yang biasanya kami lihat hanya sebagai emoticon,
kini berbentuk nyata dan kami saling menikmati.
“Bener kan, emoticon itucumamembatasikeindahannya?”
Aku menggoda.
Ana tertawa puas tanda setuju. Entah apa yang mem-
buatku langsung begitu merasa akrab dengannya. Keakraban
di perbincangan kami melalui pesan-pesan yang saling kirim,
ternyata membangun sebuah chemistry yang dapat membuat
kami merasa seolah telah lama akrab. Gadis di depanku ini
adalah orang asing yang terasa seperti teman lama, yang
sudah lama tak kujumpai.
“Apa yang bikin kamu dateng ke Jogja, selain kedai kopi
ini, Saka?” Ana bertanya. Pertanyaannya seperti introgasi
yang lembut. Dilakukan oleh seorang yang sepertinya sangat
ingin tahu dan peduli. Tidak terdengar ingin menghakimi.
“Entahlah. Aku selalu suka akan perasaan pulang dari
Jogja setelah beberapa hari liburan di sini. Jadi, selain kedai
kopi ini, aku pengen ngerasain untuk tinggal di sini. Apakah
perasaannya akan sama.” Aku menjawab, berharap Ana bisa
247puas mendengar jawabanku.
“Terus, apa yang bikin kamu menulis?” Ana kembali
bertanya hal lainnya tentang diriku.
Aku meneguk cokelat panas yang baru saja aku buat,
berdiri di hadapan Ana dan siap menjawab.
“Setiap orang butuh mengeluarkan keresahan dalam
bentuk apa pun. Seni salah satunya. Baik bisa didengar,
dilihat, maupun dibaca. Aku seneng fotografi. Dan dari situ
aku numpahin keresahan aku, dari gambar-gambar yang aku
ambil. Dari dulu aku selalu pengen bisa nulis, tapi enggak
pernah berani. Lalu ada satu kejadian, sebuah kehilangan,
yang justru melahirkan keberanian aku buat nulis.... Then,
here I am.... Coba untuk terus nulis dan malah semakin
nyaman.” Aku mengakhiri jawaban dengan senyuman.
“Ahhh, ya! Emoticon itu sekarang keliatan hidup.
Hahaha.” Giliran Ana menggoda.
“T know!” Aku berseru.
“Anyway, aku harus balik lagi ke kampus. Kita ketemu
lagi nanti, oke? Ah, lemme know your number. I'll text you.” Ana
memberikan HP-nya agar aku mencatat nomorku. Kemudian,
dirinya pamit pergi.
Aku masih tak percaya akhirnya bertemu dengannya.
Masih merasa takjub akan ulah semesta. Kuyakin kini semesta
sedang menahan tawa melihat tingkahku yang masih salah
tingkah di dalam bar.
“Mas Sakaaaaaaaaaaaaa!” Tiba-tiba suara cempreng
248datang dari pintu masuk, tepat di depan bar.
Aku terperangah dan akan kedatangan mahluk kecil
i! Ke mana
yang sudah lama aku rindukan. “Narrrrrrniii
aja gilak. Udah buka berapa lama kamu baru dateng ke sini?
Parah, parah!” Aku memeluk kedatangannya. Narni memang
agak sibuk belakangan berkutat dengan penelitian yang
dilakukan untuk skripsinya.
“Tyaaa... maafin Narni. Nih, Narni bawain pepaya
buat nyogoknya ya, karena baru dateng sekarang.” Narni
mengeluarkan bungkusan dari tasnya. Menaruh di atas meja
tempatku duduk.
“Falah, kecoa terbang baru dateng.” Kevin menyambar
dari arah belakang, dan duduk di sebelah Narni.
“Enak aja cempreng imut gini dibilang kecoa, undur-
undur!” Narni cemberut. Kami sontak tertawa.
“Pesen dulu gih sana. Sekalian pinjemin piring,” saranku
kepada Narni.
“Eh, itu siapa yang klimis-klimis mengkilat gitu kaya
aspal baru?” Seketika Narni berbisik sehabis memesan
minuman.
Aku dan Kevin seketika melihat ke arah Bram.
“Hahahahahahaha.” Hanya itu yang bisa kami perlihat-
kan. Sebuah tawa yang meledak.
“Siniin lima puluh rebu! Hahahahaha,” ucap Kevin
kepadaku.
“Kampreeet. Wkwkwk,” ucapku sebal.
249“Heh, kalian lagi judi?” Narni keheranan.
Aku bercerita kepada Narni bahwa beberapa hari lalu
kami membuat taruhan tentangnya. Bram yang memang
memiliki wajah bersih klimis bak pemain drama Korea pasti
akan menjadi sorotan bagi perempuan-perempuan yang
datang ke sini. Narni, yang tidak pernah kami tahu selera
lelakinya seperti apa, akhirnya kita jadikan taruhan. Apakah
ia juga akan tertarik pada Bram.
Meski begitu, Narni tidak merasa sebal atau marah.
Rindunya kepada kami lebih jadi hal yang penting bagi
dirinya kini.
“Udah, makanya kamu ngerjain skripsinya di sini ajaa.
Biar bisa sering-sering ngobrol ama si Bram. Dia seangkatan
kok sama kamu,” ucap Kevin sambil menikmati pepaya
pemberian Narni.
Kedatangan Narni menjadi seperti reuni kecil bagi kami.
Seperti kedatangan adik kecil yang sudah terpisah lama
dengan kakak-kakaknya. Namun di antara Kevin dan Narni,
aku tengah menyembunyikan kebahagiaan lain yang tak
dapat aku bagi selain senyum ini. Belum saatnya mereka
tahu.
Aku tengah memutar-mutar pulpen dengan
jemariku kananku sambil menopang dagu.
250Mengisi kekosongan selama menunggu Rio masuk ke
ruangannya. Ya, aku lebih dulu berada di ruangannya sehabis
rapat redaksi membahas naskah Riana tadi. Dia ingin
membuat teh terlebih dulu katanya.
“Nih, diminum dulu tehnya. Biar enggak kesel lagi,”
perintah Rio sambil menyodorkan secangkir chamomile tea
kesukaanku. “Terpaksa banget ya nerima kerjaan ini? Marah
sama aku, Ra?” tanya Rio lagi.
“Makasih.” Aku mengambil teh yang dia berikan dan
membawanya ke depan mulutku. “Enggak, ngapain juga
marah sama kamu. Kan, aku cinta sama pekerjaan ini, masa
gini aja kesel,” sindirku kepada Rio sambil meminum teh
hangat yang ia berikan.
“Ra, aku percayain ke kamu karena sepanjang diskusi
tadi hanya kamu yang keliatan yakin dengan semua ini.
Kalau tetep Rani yang ngerjain sedangkan dia aja udah ogah-
ogahan, hasilnya enggak akan bagus toh?”
“Ya, tapi enggak gitu juga. Kamu tadi kan liat Mas, aku
setengah mati ngeyakinin kalau dia mampu. Tapi, kamu
malah nyodorin ini ke aku. Rani tuh hanya butuh dikasih
kepercayaan penuh aja kok. Dia tuh bisa. Dia cuma enggak
mau repot aja sebenernya.” Aku menyudahi ucapanku setelah
menyadari nada suaraku yang mulai meninggi karena masih
kesal dengan keputusan Rio.
“Marah lagi aja kalau masih mau marah. Biar lega, aku
enggak apa-apa kok kalau dimarahin kamu.” Rio berkata
251sambil memamerkan senyum manisnya.
“Enggak perlu, marah tuh buang-buang energi aja. Dunia
masih berputar kok biarpun aku mau marah atau enggak
marah. Gini, langsung aja deh, Mas. Tadi aku dipanggil ke
sini mau ngomongin apaan lagi?” tanyaku tanpa ada basa-
basi lagi.
“Oke, kalau gitu. Aku anggep kamu enggak marah lagi.
Hm, aku mau minta kamu untuk mulai lagi semuanya dari
awal. Maksudku gini, Ra. Kamu hubungin lagi si Riana itu.
Ajak ketemuan sama kita, sama aku dan kamu tentunya.
Sekaligus minta partnernya ntuk ikut. Nanti biar dibicarain
kalau editornya ganti kamu. Kita buat kesepakatan baru
supaya enggak ada masalah apa-apa lagi ke depan. Gimana,
bisa?” Rio bertanya kepadaku dengan hati-hati. Tampaknya
dia tahu bahwa aku masih berusaha mensetabilkan emosiku.
“Oke, ntar aku hubungin si Riana. Mau ketemuan kapan?”
tanyaku datar.
“Yang pasti di Minggu ini. Kamu tanya aja, mereka
bisanya kapan. Dan, sesuaiin sama jadwal kamu. Kalau aku
sih selama satu minggu ini free.”
“Oke. Masih ada lagi? Kalau enggak ada, aku langsung
balik ke ruanganku.” Aku baru akan berdiri tapi Rio
menahanku dengan ucapannya,
“Tahu enggak kenapa aku enggak mau panggil kamu
Lara?”
Aku hanya memandangnya tanpa mengucapkan sepatah
252kata pun.
“Karena, di kepalaku Lara itu lekat sama kesedihan. Aku
enggak mau kamu selalu deket-deket sama kesedihan atau
hal-hal yang buat kamu marah sekaligus kesel. Dan, aku rela
ngelakuin hal apa pun itu untuk bikin kamu bahagia. Jadi,
kamu enggak boleh keluar dari ruangan ini kalau masih
dilingkupi perasaan kesel dan marah.”
Lara lekat dengan kesedihan? Hahaha, rasanya ingin
aku tertawa sekencang-kencangnya. Arti namaku bukanlah
kesedihan memang, tapi apa yang dikatakannya nyaris
sempurna. Aku memang selalu dekat dengan kesedihan.
Ditinggalkan? Jangan ditanya, sudah berkali-kali. Dikecewa-
kan? Tak perlu diceritakan, itu juga sudah jelas terlalu sering
terjadi.
Masih dengan emosi akhirnya aku menimpali per-
nyataannya. “Satu hal yang harus kamu inget, Mas. Di
bahasa Yunani, Rusia, Latin, atau bahkan Spanyol, Lara
itu artinya keceriaan dan perlindungan. So, aku enggak
akan lekat dengan namanya kesedihan. Mengenai marah,
kesel, dan seluruh emosi lainnya itu naluriah kepemilikan
manusia. Mengenai musibah, duka, dan segala kejadian sedih
itu mutlak pemberiannya. Enggak ada hubungannya sama
namaku.”
“Oh, kamu manusia? Kukira bidadari, cantik sih. Tapi,
Ra, kalau manusia tuh biasanya peka sama sekitar. Kamu
peka enggak sama aku?” Bukannya merasa keki atau kesal
253dengan jawabanku, Rio justru menggombaliku.
“Gombalannya receh. Aku udah bukan ABG yang akan
senyum-senyum karena digombalin kayak gitu, Mas. Semua
manusia tuh pada dasarnya peka, tapi beberapa memilih
enggak karena emang enggak mau untuk jadi peduli dan
enggak mau untuk merasa ge-er. Udah ah aku mau balik dulu,
permisi.” Aku segera beranjak dari kursi dan melangkah
meninggalkan ruangan itu.
Namun ketika baru sampai di pintu, Rio kembali membuat
keningku berkerut dengan ucapannya. “Ra, kamu tuh selalu
bisa bikin aku makin tertarik ya. Ya, udah sana balik kerja.
Abis itu langsung kabarin aku buat jadwal ketemunya.”
a”
Jogja di sabtu siang ini sedang diselimuti langit kelabu.
Aku sedang berada di mobil Rio. Ya, kantor sedang libur
memang tapi hari ini aku serta Rio akan menemui Riana juga
partner menulisnya untuk membahas kelanjutan naskah
mereka. Serta, memastikan agar tak ada lagi yang berubah
di kemudian hari, pun dengan resmi memperkenalkan aku
sebagai editor mereka.
Aku dan Rio sudah sampai lebih dulu di tempat yang
kami janjikan. The House of Raminten, salah satu rumah makan
favoritku di kawasan Kotabaru ini memang sengaja aku
254jadikan tempat untuk kami bertemu hari ini.
Aku selalu suka berkunjung ke tempat ini. Tak ada
alasan spesifik sebenarnya. Hanya saja bau kemenyan yang
menyengat serta waiter yang selalu mengenakan pakaian
tradisional Jogja itu selalu membuatku semakin jatuh cinta
dengan kota ini. Tiba di sini selalu membuatku ingat bahwa
aku sedang berada di Jogja. Tempat di mana aku seharusnya
mendewasakan rindu pada hal-hal yang seringkali mem-
buatku terkenang.
“Kamu udah tanya mereka di mana, Ra?”
“Eh aku belum periksa HP. Bentar.” Aku kemudian
mendapati sebuah pesan masuk dari Riana yang mengatakan
bahwa dia agak terlambat karena sengaja langsung datang
bersama partnernya. “Ini sih lima belas menit lalu dia bilang
udah sama temen nulisnya. Mungkin bentar lagi sampe.”
“Oh, ya udah kalau gitu pesennya barengan aja kali ya?”
Rio bertanya kepadaku.
“Iya, Mas. Biar enggak bolak-balik juga,” jawabku.
Rio kemudian mengangguk dan mulai membaca
ulang print out naskah yang sudah dikirimkan oleh Riana.
Sementara, aku sedang menggeledah isi tasku mencari
outline mereka.
“Aduh aku lupa lagi bawa print out outline-nya. Aku
nyalain laptop aja enggak apa-apa kan ya?”
Rio menoleh ke arahku. Tersenyum berusaha menenang-
kan aku yang sudah mulai panik akibat lupa dengan hal yang
255begitu penting. “Santai aja Ra, toh kita ngobrol-ngobrol biasa
aja kan ini. Senyamannya kamu aja, Ra. Kalau buatmu nyalain
laptop akan mempermudah, ya enggak apa-apa.”
Aku sedang menghubungkan pengisi daya laptop ketika
sebuah suara wanita terdengar.
“Halo Mas Rio, maafin telat.”
“Santai Ri, kita juga baru sampe. Ini kenalin editor kamu,
Lara. Eh, kalian sudah sempat kontak-kontak kan?”
Aku langsung menoleh ketika mendengar namaku
dipanggil. Di depankukiniberdiri seorang wanita yang tengah
tersenyum manis dengan gigi gingsulnya. Dari wajahnya aku
tahu dia adalah pribadi yang menarik serta menyenangkan.
“ya, akhirnya bisa ketemu. Halo, aku Lara.” Aku
mengulurkan tangan sebagai perkenalan.
“Riana, Mbak.” Ia kemudian menjabat tanganku.
“Loh, temenmu mana? Tadi katanya dateng bareng.”
Aku mencoba membuka obrolan ketika melihatnya datang
seorang diri.
Riana mengambil tempat duduk di hadapan Rio. Kami
memang sengaja memilih tempat duduk lesehan di sebelah
kanan pintu masuk. Sengaja, agar pertemuan ini tidak
terkesan terlalu resmi.
“Oh, itu lagi parkir, Mbak,” jawab Riana yang kemudian
mengambil posisi tempat di duduk di samping Rio. “Nah
itu orangnya. Hei, di sini.” Riana lalu menunjuk ke arah
temannya sambil melambaikan tangan.
256Aku tak ikut menyambut partner menulis Riana. Tak juga
menoleh karena masih sibuk menyalakan laptop sembari
mencari folder tempat aku menyimpan outline mereka.
“Sorry tadi Bapak parkirnya ngajak ngobrol jadi
keterusan deh.”
Deg! Sebuah suara terdengar dari seorang lelaki yang
kini sedang berada di belakangku. Posisiku memang tak
menghadap arah pintu masuk. Tak sempat memperhatikan
pengunjung yang baru datang.
Aku seolah tak lagi bisa bernapas. Aku kenal suara itu.
Suaranya hampir mirip dengan....
“Kenalin, ini partner nulisku.” Riana kemudian mem-
perkenalkan lelaki yang kini sedang berdiri di sampingku
dan kemudian segera duduk tepat di sebelahku.
“Saka.” Ia tampak mengulurkan tangannya kepada Rio
dan kemudian disambut cepat oleh pemimpin redaksiku itu.
“Rio.”
Riana kemudian memperkenalkanku kepada lelaki yang
sudah lebih dari sekadar aku kenal itu.
“Saka, ini editor kita, Mbak Lara.”
Aku yang sedari tadi tengah sibuk menenangkan jantung
yang tak berhenti berdentum-dentum, mau tak mau harus
mengangkat daguku dan menatap matanya. Sebetulnya
aku bingung. Pada saat seperti ini apakah harus bersikap
sewajarnya orang yang telah saling mengenal lama, atau
justru bersikap seperti orang yang memang baru pertama
257kali bertemu.
Aku tersenyum kikuk sembari mengulurkan tanganku,
“Lara.”
Keterkejutan tampak di matanya. Mungkin dia heran
kenapa aku malah bersikap seolah tak mengenalnya. Tolong,
jangan bertanya, Saka, sebab aku sendiri tidak tahu mengapa
harus seolah baru bertemu denganmu. Mungkin aku hanya
sedang tidak siap untuk bertemu, secara tiba-tiba lagi.
Kembali dipertemukan semesta tapi kali ini dengan orang
lain yang kelihatannya cukup dekat dengan masing-masing
kita.
Aku tahu Saka sama kaget dan canggungnya denganku.
Namun, bukan Saka namanya jika tak bisa menangani apa
yang sekarang mungkin sedang mengganggu benak dan
hatinya. Ia kemudian menjabat tanganku sambil menyebut-
kan namanya lirih.
“Saka.”
Aku kemudian kembali sibuk menatap layar laptop
dengan segudang pertanyaan di kepala. Mengapa bisa Saka
yang menjadi teman menulis Riana? Sejak kapan Saka benar-
benar menulis? Sejak kapan Saka mengenal Riana? Apakah
Saka dengan Riana ada hubungan spesial hingga memutuskan
membuat buku bersama? Dan, kenapa Saka bisa berada di
Jogja?
Sungguh, begitu banyak tanya di benakku akan
pertemuan ini. Hal yang sama sekali tak pernah ada dalam
258rencana bahkan bayanganku jika suatu saat kembali bertemu
dengan Saka. Setidaknya, bukan seperti ini. Bukan dengan
aku yang melibatkan Rio di dalamnya. Tidak juga yang
membawa Saka malah terlibat dalam pekerjaanku secara
langsung.
Jika boleh mengutuk semesta, mungkin saat ini aku
sudah memakinya habis-habisan. Namun pasti semesta
justru mencemoohku karena terlihat kikuk di depan Saka.
Ingin rasanya bersyukur karena kembali bertemu Saka. Tapi
di lain sisi, aku masih merasa belum siap. Karena apa? Entah,
aku hanya merasa tidak siap saja untuk menjadi baik-baik.
Aku masih berusaha menenangkan perasaanku sambil
berusaha fokus membaca outline yang saat ini sudah
terpampang di layar. Setelah beberapa menit dikurung dalam
keheningan, Rio yang kemudian memulai pembicaraan.
“Ra, langsung pesen makanan aja kali ya? Kamu udah
laper juga kan? Udah lewat jam makan siang nih.”
Aku hampir tersedak ketika Rio memberiku perhatian.
Entah, rasanya risih saja jika itu harus di depan Saka. Meski
sebetulnya apa pun yang kemudian hadir di benak Saka sudah
bukan lagi menjadi sesuatu hal yang perlu aku risaukan. Pun
mungkin saja, Saka bahkan tak peduli dengan seperti apa
hubunganku dengan Rio maupun orang lain.
Aku hanya sekadar tak ingin jika Saka sampai berpikir
macam-macam tentang hubunganku dengan Rio. Tapi, apa
mau dikata, Rio memang selalu seperti itu kepadaku, maka
259aku hanya bisa menggangguk mengiyakan pertanyaannya.
“Hm, iya, Mas.”
“Mbak!” Rio kemudian memanggil waiter untuk mem-
bawakan daftar menu pada kami.
“Ana, kayaknya aku ada yang ketinggalan deh. Bentar ya,
aku ambil dulu.” Saka kemudian segera menghilang selesai
mengatakan hal itu kepada Riana.
Jantungku baru bisa berhenti berdetak kencang saat
dia tak berada di sampingku. Tanpa sadar aku menghela
napas lega. Beruntungnya tak ada satu orang pun yang
menyadarinya.
“Pesanannya diulang ya. Bakmi jawa satu, ayam geprek
kremes satu, es teh manis tiga, air mineral satu, dan nasi
gudeg ayamnya ditambah krecek dua. Ada lagi yang mau
ditambah?” Waiter itu tengah mengulang pesanan kami.
Namun, kemudian Rio justru mengajukan pertanyaan
yang membuatku sadar tengah melakukan kesalahan lagi.
“Eh, bentar itu kok nasi gudegnya dua. Kamu nulis dua,
Ra? Satunya buat siapa?”
“Bodoh!” ucapku dalam hati merutuki kebodohanku
sendiri.
Aku tak seharusnya berinisiatif menuliskan pesanan
kesukaan Saka hanya karena ia sedang tak berada di sini.
Justru akan menimbulkan kecurigaan Rio juga Riana. Baru
saja aku hendak berkilah, Saka tiba-tiba sudah kembali dan
menyelamatkanku.
260“Buat saya aja enggak apa-apa, kebetulan saya suka
gudeg kok.”
Saka kemudian sudah duduk kembali di sebelahku. Aku
masih berusaha mencoba untuk bersikap biasa saja dan
tak menjadi canggung oleh keberadaannya. Saka sendiri
sepertinya memang terlalu pandai untuk menutupi segala
kekikukannya dengan tetap bercengkerama dengan Rio
membahas hal-hal terkait dunia penerbitan.
Aku berdeham untuk menyudahi basa-basi yang terjadi
di antara Saka dan Rio. “Riana, jadi berapa lama nih waktu
kalian bisa selesaiin naskah ini?”
Riana dan Saka kemudian saling melempar tatap. Kedua-
nya seolah sedang berdialog tanpa suara tapi bisa dimengerti
satu sama lain. Aku melihat keduanya bergantian. Sebuah
perasaan mengganggu hatiku. Cara keduanya saling
bersitatap dan terlihat saling mengerti pernah juga aku
rasakan. Ya, aku pernah seperti itu dengan Saka. Tapi, itu
dulu. Dulu saat semuanya tidak serumit saat ini.
“Satu bulan gimana, Mbak?” Riana kemudian menatapku
sambil bertanya.
“Gimana Pak Pemred, setuju?” Aku sengaja menggoda
Rio yang sedari tadi hanya sibuk membaca naskah mereka.
Padahal aku sendiri belum sempat membaca naskah itu
secara menyeluruh.
Rio kemudian menatapku lekat seraya membenarkan
posisi kacamatanya, lalu memberikan senyuman yang
261seperti biasa kepadaku. “Harusnya aku yang tanya ke kamu,
Ra. Kamu kan tahu deadline aku buat naskah ini terbit kapan.
Kamu sanggup enggak aku kejar editing biar bisa naik cetak
dan sesuai deadline?”
Aku menimbang-nimbang waktu yang diajukan oleh
Riana sebelum memberikan jawaban kepadanya. “Oke, kalau
gitu. Minggu pertama bulan depan kalian udah harus selesai
ya. Dan Riana, email untuk kirim naskah ganti ya. Bukan ke
Rani, tapi ke lara.alana@dreamedia.com. Nanti aku chat kamu
biar enggak lupa. Karena, resmi per hari ini, naskah kalian
yang handle aku. Jadi, kalau ada pertanyaan atau kesulitan
bisa share ke aku.”
“Nah, gitu dong, Ra. Semangat. Jangan kayak kemarin,”
celetukan Rio menyadarkan aku yang sedari tadi terus
berceloteh dan mengatur segalanya sedemikian rupa. Sekilas
aku melirik ke arah Saka yang ternyata sedang menatap Rio
dengan tatapan yang tak bisa kumengerti apa.
Mungkinkah Saka sedang bertanya-tanya tentang
hubunganku dengan Rio? Ah, tapi buat apa juga? Toh,
dengan siapa pun aku dekat saat ini sudah tak lagi menjadi
urusannya. Aku masih berkutat dengan isi kepalaku sendiri
hingga kemudian waiter datang mengantarkan pesanan.
Keheningan kemudian tercipta di antara kami berempat.
Masing-masing sudah mulai mengunyah makanannya.
Hingga kemudian Riana mengajukan sebuah pertanyaan
yang sedari tadi sudah kuhindari.
262“Ngg... Mas Rio sama Mbak Lara pacaran ya? Sweet gitu
ngeliat kalian berdua.”
“Maunya sih pacaran, tapi enggak tahu nih kayaknya
Laranya enggak mau,” tambah Rio menegaskan sambil
terkekeh menatapku.
Aku yang sedari tadi berusaha bersikap tenang, kini
justru tersedak atas pertanyaan Riana dan pernyataan Rio
itu. Aku kemudian terbatuk-batuk dan buru-buru ingin
minum. Namun, baru ingat tadi memesan air mineral botol.
Baru saja ingin meminta tolong Rio untuk membukakannya,
Saka sudah lebih dulu mengambil botol air mineralku
dan membukanya. Aku sedikit dibuat terkejut karena ia
masih ingat hal-hal kecil tentang diriku. Ya, setidaknya ini
merupakan hal kecil menurutku.
“Makanya, enggak usah gegayaan beli air mineral
botol kalau enggak bisa bukanya,” ucap Saka pelan sambil
menyodorkan botol yang sudah terbuka ke depan mejaku.
Aku segera meminumnya tanpa menghiraukan ucapan
Saka itu. Namun, mataku segera beralih menatap Rio yang
sudah mengernyitkan dahinya keheranan dengan perkataan
Saka tadi.
263Se
CHAPTER V.
“MASING-MASING KITA MEMBAWA RAHASIA,
YANG MENANTI UNTUK DIUNGKAP*;°“Heh, ngelamun aja lu. Kesambet mantan, susah
move on, lu!” Kevin menegurku.
Aku baru saja menghabiskan makan siang di
salah satu meja kedai. Aku tak menggubrisnya. Mataku nanar
melihat layar laptop yang kosong.
“Si anjir masih ngelamun aja.” Kevin menegurku lagi.
“Man... Gue abis ketemu Lara,” sahutku pelan. Aku tidak
tahu mau menjawab apa, tapi kalimat itu begitu saja keluar
dari bibirku.
“SUMPAH, NYET? LU HUBUNGIN DIA AKHIRNYA? TERUS
GIMANA?”
Aku tak terkejut akan respon Kevin. Aku mengerti
mengapa Kevin begitu heboh gara-gara ucapanku barusan.
Meski aku belum siap menceritakan ini, tapi sepertinya Kevin
perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku mulai bercerita.
dan pikiranku kembali melayang ke peristiwa beberapa hari
yang lalu.
“Gini, Saka.. it’s kinda weird manggil kamu pake nama.
Hahahaha. Oke, skip. Aku sekarang lagi enggak bisa nahan
senyum-senyum sendiri. Tapi, untungnya kamu ada di sini jadi
bisa senyum-senyum bareng. Aku pengen cerita sesuatu, kamu
mau denger?” Ana memastikan aku siap untuk mendengar.
“T've got plenty of times.” Aku menjawab, memberikan
posisi siap untuk mendengar ceritanya.
267268
“Kamu pernah kepikiran untuk... nulis buku? Atau,
mungkin pengen?” Ana bertanya.
“Tyalah, kayaknya semua orang yang nulis pasti pernah
kepikiran untuk bikin buku. Yah, aku pernah denger cerita
temen komunitasku yang akhirnya bikin buku. It takes
six years sampe saatnya dia punya kesempatan untuk
membukukan tulisan-tulisannya. Kamu tahu, saat orang
menceritakan mimpinya, kamu bisa rasain energinya itu
nular. Seolah semua yang denger bisa kepengen dan ngejar
mimpi yang sama? Dan saat itu, aku seketika juga pengen jadi
penulis. Sayangnya, semangat itu cuma bertahan beberapa
hari, dan sekarang aku udah lupa. Dan... entahlah, keinginan
itu enggak terlalu besar untuk saat ini. Aku? Nulis buku it’s
like, a dream that I don’t even dare to dream about.
Hahaha.” Aku menjawab sekaligus bercerita.
“Hahaha, I know. Aku enggak tahu kejutan apa yang lagi
disiapin Tuhan, tapi semuaseolah saling mengarahkan. Ketemu
kamu di Blog, lalu ngobrol. Kamu tahu, aku sampe sekarang
enggak tahu apa yang aku suka sebenernya dari tulisan kamu.
Tapi, kayak ada sesuatu yang ngundang aku untuk suka
sama tulisan kamu. Tulisan kamu itu kayak punya roh. Lalu,
ternyata kamu datang ke Jogja. Can’t you see? Getaran kita
ternyata saling menarik, enggak cuma masalah chemistry,
tapi bahkan saling menarik jarak? Hahaha. Daaaaan... kamu
harus tahu. Dua hari lalu ada yang hubungi aku di message
Blog, salah satu penerbit yang enggak tahu dari mana tiba-tibanawarin aku bikin buku! Kamu bisa lihat enggak sih kelakuan
semesta? Sangat... gemesin, hahahaha.” Wajah Ana berbinar,
lebih terang daripada sekadar menyilaukan. Energi yang dia
keluarkan sangat bisa menyenangkan siapa pun yang ada di
sekitarnya.
“Demi apa? Wah, selamat!” Hanya itu yang bisa aku
serukan, sambil melebarkan senyum. Bahkan senyumku
seperti bulan yang memantulkan cahaya matahari yang ada
di depanku kini. Aku belum bisa berkata-kata, hanya ikut
tertawa dan menyetujui teori apa pun yang dikemukakan Ana.
Menyetujui kesenangan dan kehisterisan Ana akan apa yang
terjadi padanya.
“Dan... aku punya ide! Karena aku pun percaya, kalau
kamu ke sini bukan hanya untuk kedai kopi ini aja...” Ana
membuat jeda pada kalimatnya.
“Maksudnya?” Aku bertanya. Seolah jeda itu sengaja
untuk membiarkan aku untuk bertanya.
“Gimana, kalau aku ngajak kamu untuk, bikin buku
bareng? Projek yang kita bikin itu, kita jadiiin buku! Beberapa
hari ke depan Penerbit minta aku udah bisa ngasih outline isi
bukunya. Kalau kamu oke, kita bisa segera bikin konsepnya.
Gimana, gimana?”
Sebuah puncak cerita dengan pemandangan yang
mengejutkan pikiranku sekarang. Wajah Ana tak sanggup
menunggu lama atas jawabanku.
Kini, mimpi yang tak pernah berani aku semogakan
269270
mendadak memiliki kesempatan yang sangat nyata . Yang
memiliki kemungkinan sangat besar. Saat beberapa orang
perlu bertahun-tahun untuk akhirnya bisa menulis sebuah
buku, untuk akhirnya buku yang ditulisnya diterbitkan; aku
hanya tinggal menerima penawaran ini.
Aku tidak punya kuasa apa pun untuk menolak. Bahkan
ketidakyakinanku akan tulisanku berhasil mati kepayahan
karena kesempatan ini jauh lebih memiliki kekuatan daripada
ketakutan. Ana tampak senang sekali ketika aku menerima
penawaran Ana. Setelah kami saling sepakat, dirinya pulang
untuk kembali ke kampus.
Hal yang baru saja terjadi menyisakan degup yang
sedang berpesta. Merayakan suatu hal yang entah apa tapi
menyenangkan buatku. Sejak saat itu kami semakin sering
berhubungan, membicarakan perihal konsep buku yang akan
kami buat.
Konsep yang diajukan oleh Ana kepada penerbit untuk
mengajakku berpartisipasi pada penulisan buku telah
disetujui. Sejak saat itu, kepalaku tak bisa berhenti untuk
terus menulis dan menyambut ide-ide yang datang.
“Gimana kalau kita bikin cerita tentang penerimaan?
Cerita dari dua sudut pandang yang menjalani hubungan.”
Aku mengajukkan ide.
“Gimana tuh?” tanya Ana.
“Jadi, kita bikin alur dari sebuah proses saat dua orang
yang sama-sama punya luka. Satu tentang orang yang selaluditinggalkan, dan yang satu selalu meninggalkan. Mereka
ketemu, saling membantu menyembuhkan luka, saling
membuat masing-masing memaafkan diri mereka. Dari
pertemuan itu mereka kemudian saling mulai membuka diri,
saling memberi diri mereka kesempatan lagi. Terus, keduanya
mulai berhubungan, mulai saling nyaman, lalu mulai muncul
konflik-konflik yang bikin satu sama lain saling melukai. Pada
akhirnya, dia yang selalu meninggalkan harus ditinggalkan
oleh dia yang selalu ditinggalkan.” Aku bercerita mantap.
“Wow, kamu semangat banget kayaknya. Pengalaman
pribadi, Pak? Hehehe.” Ana menggodaku.
“Belum selesai! Hahaha. Kamu si cewek, aku si cowok.
Jadi, kita ceritain dari sudut pandang masing-masing gitu.
Tujuannya dua sudut pandang ini biar pembaca bisa belajar
untuk memahami kedalaman perasaan masing-masing tokoh.
Gimana?” tanyaku sambil meminum air putih yang kubawa.
Ana yang masih asyik menikmati iced chocolate
miliknya, hanya tersenyum dengan mata yang dilayangkan
ke atas seolah menimbang-nimbang ideku. “Boleh juga. Terus
nanti ending-nya mereka saling maafin dan saling nerima.
Mereka akhirnya ngerasain bagaimana jadi orang yang dulu
digugat. Yang ditinggalin akhirnya tahu gimana rasanya
ninggalin, begitupun sebaliknya?” Ana memastikan.
“Yap! Setelah putus mereka sama-sama tenggelam dengan
luka yang dahulu. Sama-sama marah dan kesel satu sama lain.
Tapi pada akhirnya, dalam sebuah perenungan yang baik,
271272
keduanya bisa saling nerima. Bukan hanya menerima bahwa
apa yang mereka lakukan telah mengakibatkan masing-
masing pihak terluka, karena sama-sama ngerasa bener.
Laluu... ya itu, akhirnya mereka bisa saling nerima lagi satu-
sama lain. Enggak menyimpan dendam.” Aku mulai meneguk
gelas cappucinno yang aku pesan sebelumnya.
“Akhirnya, mereka saling nerima dan balikan?” Ana
bertanya lagi.
Aku memicingkan mataku kepadanya. “Hmm... kita liat
nanti. Sejauh ini begitu konsepnya. Kita tulis dulu aja, jenis
ceritanya prosa yang bercerita aja, kayak senandika.” Aku
memegangi cangkir cappuccino. Tumben sekali Jogja hari
itu turun hujan. Kami saat itu berada di salah satu kedai kopi
kecil dekat kampus Ana. Sebuah kedai yang memiliki menu
sandwich kesukaannya.
Kebetulan hari itu jadwal aku untuk libur, sehingga aku
bisa menghabiskan waktu berbincang dengan Ana untuk
mematangkan konsep tulisan. Hingga akhirnya aku pun
bertemu Lara pada pertemuan selanjutnya bersama Ana.
Kenapa aku tidak curiga sama sekali bahwa Lara yang
akan menjadi editor Ana? Aku baru ingat bahwa Lara adalah
seorang editor di salah satu penerbitan di Jogja. Kenapa aku
tidak curiga bahwa Lara-lah yang menawari Ana untuk
menulis?
Sejak itu pikiranku carut-marut. Ingin mengutuk tapi
ingin juga bersyukur, karena akhirnya aku bertemu Lara.Namun sesuatu mengganjal diriku. Lelaki yang bersamanya
saat itu, mempunyai pandangan yang menggangguku.
Pandangannya kepada Lara, cara bicara, seolah aku pernah
ada di posisi seperti dirinya. Entahlah, mungkin itu perasaanku
yang berlebihan saja. Mungkin karena sedikit... cemburu?
Pada suatu pertemuan selanjutnya bersama Ana, setelah
pertemuan dengan Lara, ingin sekali sebetulnya aku ceritakan
pada Ana tentang Lara. Tapi aku merasa serba salah. Hingga
aku putuskan untuk mengenyampingkan dulu perihal Lara,
meski nalar sedari tadi menggodaku untuk membicarakannya.
“Kamu suka nulis dari kapan?” Aku bertanya.
“Kamu enggak akan percaya,” ucap ana.
“Tenang aja, aku cuma enggak percaya sama tukang
parkir di Bandung.” Aku berkelakar.
“Hahaha. Hmm.. dari kelas 6 SD,” jawab Ana.
“Demi apa? It’s such a long journey!” aku berseru.
“Hmm, enggak juga. Aku enggak pernah punya keinginan
buat jadi penulis atau nerbitin buku. So it’s not a long
journey. Hehe. Life is the journey itself.” Jawaban Ana
mengejutkanku. “Aku cuma menulis karena itu bikin aku
ngerasa lebih tenang.” Ana melanjutkan.
Tenang? Bagaimana caranya menulis bisa membuat
seseorang merasa tenang. Aku dibuat bingung oleh per-
nyataannya.
“Hah, tenang gimana?” tanyaku keheranan.
“Kamu mungkin nulis untuk mengeluarkan keresahanmu.
273274
Bagaimana pun di dada kamu itu menggumpalkan sesuatu
yang enggak nyenengin kamu kan? Kalau emang menulis
itu adalah salah satu cara mengeluarkan keresahan kamu,
harusnya itu bisa bikin kamu tenang. Karena itu yang aku
rasain. Sejauh ini, aku nulis karena aku enggak pengen kata-
kataku nyakitin orang. Makanya aku nulis, dan bersembunyi
dalam tulisan itu. Hehe. Aku bisa ngeluh, tapi aku coba dengan
cara yang lembut. Karena, kita enggak mungkin bisa ngeluh
dan kesel dengan lembut kalau lewat omongan” Ana bercerita.
Rasa takjub baru saja menghampiri diriku. Pembawaan-
nya yang cuek membuatku memujanya. Seolah dirinya
adalah gadis tangguh yang tak peduli bahwa dunia sedang
mengerjainya.
“Aku juga punya banyak kekecewaan. Jangan kira aku
enggak pernah sakit hati. Hahaha.” Ana memastikan. Takut
bahwa dirinya seolah adalah orang yang benar-benar kuat.
“Enggak, bukan masalah itu sih. Tapi, alasan kamu
bahwa kamu nulis karena enggak pengen kata-kata kamu
nyakitin orang itu bikin aku, takjub!” Aku mengatakan yang
sebenarnya. Tak peduli jika Ana akan merasa dipuji atau
besar kepala. Namun dirinya memang layak untuk mendapat
sebuah anugerah atas niatnya yang baik itu.
“Apanya yang bikin takjub sih? Orang biasa aja.” Ana
menolak pujianku, seolah itu hal yang biasa baginya.
“Enggak lah. It’s a good concept of kindness. Sekarang,
kebanyakan orang nulis untuk mengeluarkan keresahan. Tapi,enggak cuma itu. Dalam keresahan itu juga menyudutkan
orang lain, saling nyepet dan akhirnya saling menebar
kebencian. Kamu bisa mengolah tulisan berupa keluhan,
tapi kamu ramu tulisan kamu sehalus mungkin biar enggak
terkesan membenci sesuatu. Dan, itu keren menurutku!” Aku
berseru.
“Hmmm... aku juga paham itu. Aku ngerti gimana
perasaan ingin memojokkan sesuatu atau seseorang.Pengen
nyepet dan ngebenci sesuatu, dan ngasih tahu orang-orang
untuk ikut membenci. Aku pernah kayak gitu. Tapi, dari situ
aku belajar ternyata ngebenci sesuatu malah semakin nyakitin
diri sendiri. Dan, aku enggak suka perasaan itu. Jadi, buatku
prosa, puisi, sajak atau senandika adalah tulisan-tulisan yang
selayaknya mengutarakan kelembutan. Dan, aku suka itu.”
Ana mengakhiri ceritanya. Meneguk cokelat panas yang ada
di tangannya.
Aku semakin nyaman dengannya, semakin takjub, dan
bahkan semakin bersyukur bisa mengenalnya. Ada rasa
tenang setiap kali mendengarnya bercerita, mengeluarkan
teori-teorinya tentang banyak hal. Meski begitu, aku yakin
Ana masih menyimpan sesuatu yang membuatnya seperti
ini. Sebuah luka yang mengundang kedewasaan untuk dapat
membentuk dirinya semakin baik.
“Jadi, akhirnya ditawarin penerbit untuk bikin buku ini,
bukan salah satu mimpi kamu setelah kamu nulis belasan
tahun itu?” Aku bertanya pelan. Penasaran akan apa
275276
sebenarnya yang dia inginkan.
“Aku pengen bantu orang dalam hal apa pun tapi aku
tahu tanganku cuma dua. Makanya, aku maksimalkan dua
tangan yang aku punya, hati yang aku punya, dan isi kepala
yang aku punya. Sebisa mungkin aku selalu nyisipin pesan
atau nasihat dalam setiap tulisan. Jadi, enggak cuma tentang
resah dan luka terus. Nah, kalau perihal bikin buku ini jadi
mimpi aku atau bukan, sepertinya iya. Tuhan ngasih jalan aku
untuk bisa bantu orang mungkin lewat buku ini. Dan, kenapa
aku setuju aja sama konsep kamu, aku bisa lihat tujuan dari
konsep cerita dari dua sudut pandang, tentu agar siapa pun
yang baca bisa mengerti suatu kejadian enggak cuma dari satu
sudut pandang sempit aja. Itu yang bikin cerita itu enggak
egois dan bisa mengedukasi,” ujar Ana.
Aku sudah merasa sedari awal berbincang dengan Ana
di fitur message Blog, Ana bukan orang yang biasa saja. Ya,
meskipun tidak ada orang yang biasa saja tapi dalam konteks
sebuah kesesuaian frekuensi, dalam hubungan antar jiwa
yang tidak hanya melibatkan ketertarikan fisik, Ana memiliki
getaran yang mengundang nurani untuk nyaman. Seperti ada
sebuah kesesuaian rasa yang aku bersamai. Sebuah rasa yang
jarang dimiliki banyak orang, untuk mengenal titik terdalam
seseorang tanpa harus berusaha mencari tahu.“Lu abis ketemu Lara, tapi yang banyak diceritain kok
malah si Ana-Ana itu sih? Hmmm...” Kevin mengusap
dagunya. Ia seolah sedang menyiapkan teorema untuk
membuat kesimpulan, atau menghakimiku secara jenaka.
“Bentar. Iya, apa?” Aku tak menyadari hal itu. Tujuanku
bercerita adalah agar Kevin dapat melihat keseluruhan
kejadian. Tapi, ternyata yang ditangkap oleh Kevin adalah
sosok Ana yang sepertinya mendominasi isi ceritaku.
“Kalau gue boleh nge-judge Man, lu suka ama si Ana sampe
lu enggak nyadarin itu deh?” Kevin berasumsi. Sialnya, aku
tidak terasa ingin mengelak dan membantah.
“Oh, come on! Lu tahu sendiri konsep suka kaya gitu
terlalu subjektif.” Aku coba meluruskan.
“Ya, karena itu subjektif, pada dasarnya berarti lu suka,
tertarik sama doi. Kalau mau objektif, lu punya ketertarikan
di atas batas standar sama si Ana itu.” Kevin membuat
pernyataan lainnya.
Secara konsep, asumsi yang dibuat Kevin tidak memiliki
celah untuk aku sanggah, hingga aku tidak tahu harus
menjawab apa selain mengiyakan perkataannya.
“Masalah selanjutnya, perasaan lu gimana? Denger cerita
lu ketemu Lara pas bareng Ana, gue harus bilang you look like
an asshole. Kek playboy yang lagi ngegebet cewek tapi ketemu
cewek lain yang lu sayang. Hahahaha.” Kevin menghakimiku.
“FAK! lya gue ngerasa yang sama nyet. I felt like a jerk!
Tapi, enggak kayak gitu... lebih kayak...” Aku mencari kalimat
277yang tepat untuk menjelaskan.
“Haha, iya, iya, gue paham. Perasaan itu cuma timbul
karena kecanggungan yang enggak lu siapin. Gue paham,
Man. Santai, santai. Hahaha. Kita ambil kesimpulan. Karena,
Ana dan Lara pada saat itu adalah dua orang yang sangat lu
pedulikan, tapi dalam konteks yang beda. Lu peduli sama
Lara dalam konteks entah masih sayang atau entah karena
dia mantan lu. Sedangkan, Ana adalah orang yang bikin lu
tertarik sama, yah apa pun yang ada dirinya. Lu yang tahu.”
Kevin coba meluruskan pandangannya.
“Naaah... naaah...! lya! Gila, gila, keren lu bisa paham.””
Aku menunjuk-nunjuk Kevin sambil tertawa.
“Selanjutnya, tinggal lu pahami aja. Lu sama Ana emang
cuma tertarik sebagai apa pun dia buat lu. Entah temen yang
nyenengin, atau emang tanpa sadar lu sebenernya.... Yah,
lu tahu maksud gue. Dan, dengan Lara, kita udah bahas ini
dan gue enggak tahu lu lagi bikin denial, atau emang beneran
udah... biasa aja,” ujar Kevin.
Kalimat itu menjadi sesuatu yang akhirnya bersarang
dalam kepalaku. Mencari pembenaran atas apa yang aku
rasa. Berhari-hari rasa takut mengiringi setiap langkah,
seperti bayangan yang tak ingin pernah lepas.
“Terus, sampe sekarang lu belum ngehubungin Lara? Apa
kek? Ngajak ketemu atau ngasih tahu udah sejak kapan lu di
Jogja. Siapa tahu doi sebenernya marah atau juga nungguin
lu ngabarin?” tanya Kevin.
278Aku tersentak dengan pertanyaan Kevin. Sama-sama
mempertanyakan apa yang sebenarnya membuatku belum
mengabarinya.
“Hmm... kayaknya ntar aja. Gue pikir kami pasti sama-
sama paham kalau nanti bakal ketemu lagi, enggak sengaja
lagi. Lara juga paham gue harus fokus beresin naskah dulu
kayaknya.” Aku menjawab sebisaku.
“Ye, jangan lah. Gimana pun juga dia cewek. Kabarin kek,
meskipun mantan lu. Seenggaknya lu bersikap lakik. Kalau
kayak lu gitu malah bikin dia tambah sebel. Doi bakal ngerasa
enggak penting lagi buat lu, karena lu enggak ngasih tahu
kalau lu di jogja. Apalagi kalau doi tahu lu udah beberapa
Minggu di sini.” Kevin menasihatiku.
“Hah? Buat apa doi ngerasa enggak penting lagi? Kan,
gue enggak maksud begitu.” Aku membela diriku.
“Eh, gilak. Meskipun iya, enggak maksud gitu lu tetep
enggak bisa seenaknya, tahu. Gue paham sih lu enggak suka
sama hal yang begituan. Ngehubungin buat ngasih tahu di
Jogja karena lu juga pasti ngerasa buat apa lu ngabarin doi.
Atau, lu juga enggak pengen bikin kejutan. Tapi, cewek enggak
bisa sesimpel pikiran lu, Sakaaa... Ganteeeeng.... Gue aja lakik
gemes ama lu!” Kevin menggerutu sambil mengepalkan
kedua tangannya di sebelah telinga kiri kananku.
“Lu udah di sini, jarak lu udah tinggal ngesot doang sama
Lara, masih aja belum ngehubungin. Eh, malah ketemu sama
cewek lain. Lu mikirin perasaan Lara enggak sih?” Kevin
279mulai menceramahiku sekarang.
“Kok, jadi lu yang marah sih? Lagian Ana bukan cewek
lain, Nyeeet....” Aku membantah Kevin.
“Lah, Ana cewek kan? Apa lakik?” Kevin bertanya heran.
“Iya lah, doi cewek.” Aku menjawab.
“Ya, udah, berarti Ana itu cewek lain.” Kevin tetap pada
pendapatnya.
“Kampret lu nyebelin. Iya, Ana cewek, tapi bukan cewek
lain.” Aku tetap pada pendapatku.
“Di mata gue, di mata lu, Ana emang temen cewek lu. Di
mata Lara, Ana itu cewek lain. Ngerti kagak sih lu? Euuuh...
gemes gue nih ama gagang pintu kagak ngerti-ngerti.” Kevin
terdengar semakin gemas. Tingkahnya semakin lucu tapi aku
tetap saja bingung, untuk apa Lara memandang Ana adalah
perempuan lain.
Yang aku pahami kecanggungan kemarin karena Ana
dan Lara adalah dua orang asing yang saling mengenal, yang
kebetulan menjadi partnerku menulis. Kecanggungan saat
itu hanya karena Lara harus bertemu denganku bersama
orang lain. Sesuatu yang kemudian membuat kami bersikap
tidak normal. Aku belum bisa menceritakan ini kepada Ana
karena menurutku belum saatnya ia tahu. Ada yang harus
aku pastikan terlebih dahulu.
280Weekend berlalu dengan cepat namun tidak
dengan perasaanku yang baru saja bertemu
dengan Saka di hari Sabtu beberapa minggu lalu.
Ada sedikit perasaan yang membuatku gelisah selama
berhari-hari tapi berusaha keras aku enyahkan. Aku tak
ingin menciptakan harapan-harapan baru yang nantinya
akan aku patahkan sendiri.
Apa tadi yang baru saja aku bilang? Harapan? Aku ingin
tertawa sendiri mendengar nuraniku berkata demikian.
Harapan apalagi yang sebetulnya aku simpan untuk Saka?
Saka memperjuangkanku, Saka memintaku kembali? Atau,
Saka yang ternyata diam-diam masih mengharapkanku?
Kali ini pertarungan antara nurani dan amygdala-ku
kembali lagi. Astaga, aku rasanya butuh Kanaya untuk
menumpahkan segala keresahanku. Sampai detik ini aku
belum sempat memberitahu Kanaya bahwa aku telah
bertemu Saka kembali. Jangankan memberitahunya perihal
itu, menghubungi Kanaya saja rasanya aku tak bisa. Waktuku
seolah habis oleh hal-hal yang aku sendiri tak tahu apa.
Waktu juga yang kembali membawaku ke rutinitas
pekerjaan. Aku memulai Senin pagi ini dengan proofread
naskah milik Riana dan Saka. Ah, kenapa sekarang aku harus
berada di satu lingkungan yang sama lagi dengan Saka? Jika
sudah seperti ini rasanya percuma saja untuk tak berusaha
memikirkan atau menghubunginya.
Karena, suka tidak suka, aku dengannya memang akan
281selalu berhubungan, meski pada akhirnya selalu ada Riana di
antara kami. Jujur saja, aku memang masih menghindari Saka
terus-menerus. Aku hanya selalu memberikan informasi dan
menanyakan perkembangan naskah kepada Riana, bukan
Saka.
Entah aku harus bahagia atau sedih mengetahui Saka saat
ini berada di Jogja. Aku masih terus bertanya-tanya apalagi
yang dia lakukan di kota ini. Mungkinkah dia sedang ada
pekerjaan di sini? Tapi, pekerjaan apa? Masihkah freelance?
Atau, justru ia hanya sedang lari lagi dari masalahnya di
Bandung?
Kekesalanku sedikit bertambah karena sampai detik
ini Saka tidak juga menghubungiku. Padahal, takdir
sudah kembali mempertemukan kami dengan caranya
yang mengejutkan. Padahal ia memiliki alasan untuk
menghubungiku lebih dulu terkait dengan naskah yang
sedang ia kerjakan.
Aku kemudian membaca kalimat demi kalimat dari
tulisan Saka dan Riana. Membalik halaman per halamannya
dan dibuat berkali-kali tercengang dengan isi naskah. Aku
seolah sedang diajak kembali di saat-saat aku dan Saka baru
pertama bertemu.
Bagaimana masing-masing kami membawa luka, hingga
akhirnya terbuka dan saling menerima satu sama lain. Si
tokoh lelaki adalah pihak yang sering meninggalkan, persis
seperti Saka. Dan si tokoh perempuan adalah yang sering
282ditinggalkan.
Mungkin hanya mirip saja. Aku coba berpikir positif dan
menghilangkan pikiran macam-macam yang menggangguku.
Tapi, nuraniku semakin resah ketika kembali membaca ulang
outline yang alurnya benar-benar mirip dengan kisahku dan
Saka.
Heran, Saka tampaknya tak pernah bosan dan selalu
saja tak pernah berhenti memberikanku sebuah kejutan
yang menyakitkan. Apa-apaan lagi kali ini? Ingin menjual
kisah kami dan menjadikannya sebuah buku? Lalu, orang-
orang yang kenal dan mengerti hubungan kami akan mulai
membuat penilaian siapa yang benar dan siapa yang salah?
Sungguh, seberani ini Saka menggunakan kisah kami
sebagai bahan tulisan? Pun, tanpa permintaan izin dan
persetujuan dariku. Sebuah kejutan termenyakitkan yang
pernah kudapat sepertinya.
Kukira, setelah pertemuan di pantai itu semuanya sudah
usai. Ya, setidaknya tak ada dendam atau bahkan hal-hal
lainnya yang mengganjal di antara kami. Tapi ini, Saka seolah
sedang menabuh genderang perang lagi denganku.
Aku masih tak habis pikir dengan maksudnya dengan
semua ini. Apakah ia masih ingin mencari pembenaran
dan membuatku terus-terusan menjadi pihak yang paling
bersalah? Aku masih terus-menerus menghubungkan satu
demi satu kejadian untuk membentuk kesimpulan yang
sekiranya mendekati kebenaran. Pikiranku buyar ketika
283terdengar suara memanggil namaku.
“Ra, lu ditunggu Rio di ruangannya tuh,” ucap Rani.
Aku hanya mengangguk dan segera menuju ruangan
Rio. Entah apalagi yang akan dibahas lelaki itu di hari ini.
Rasanya tak ada sedikit pun masalah yang terjadi perihal
urusan pekerjaan. Aku memasuki ruangan ketika dia baru
saja meletakkan kacamatanya di atas meja.
Ternyata, ucapanku sewaktu di pesawat benar-benar
dia pedulikan. Jangan bilang, dugaanku benar bahwa Rio
memang menaruh harapan kepadaku. Jangan-jangan Rio
memang salah mengartikan segala sikapku yang begitu
terbuka kepadanya. Ya, setidaknya aku menerima dia
sebaik yang aku bisa. Oh, jangan sampai, karena masalah
dengan Saka saja sudah membuat hidupku rumit. Jangan lagi
ditambah dengan masalah ini.
“Duduk, Ra.” Rio kemudian menungguku hingga aku
duduk di depannya. “Kamu lagi sibuk ya?” Rio bertanya. Aku
yakin sebuah pertanyaan basa-basi.
“Enggak juga, ini udah agak longgar daripada kemarin
sih. Ada apa emang?” Aku bertanya.
Rio menatap lekat tepat di manik mataku, seolah
berusaha mencari tahu apakah ada kebohongan dari setiap
ucapanku. “Gini, Ra. Kamu yakin enggak kenapa-kenapa?”
“Kenapa-kenapa gimana? Emang aku kenapa?” Aku
keheranan dengan kenapa-kenapa yang ia maksud.
“Naskah Riana sama Saka udah sejauh mana? Aku liat
284progress-nya lama banget. Padahal aku inget loh kamu yang
paling semangat waktu rapat redaksi itu. Pas mau ketemuan
juga semangat kayaknya. Tapi, setelah ketemuan sama
mereka beberapa minggu lalu, aku ngerasa semangat kamu
jadi menurun. Aku tahu kamu sibuk dan enggak hanya urusin
naskah mereka. Tapi, aku ngerasa kesibukan kamu itu hanya
usaha kamu untuk menghindari menyelesaikan naskah itu.
Ada yang aku lewatin ya, sampe kamu mendadak berubah?”
Rio bertanya sambil menatapku tajam.
Hening berkepanjangan terjadi kepada diriku sendiri. Rio
ini cenayang atau apa sih? Kenapa dia selalu bisa menebak
hal-hal yang coba aku sembunyikan? Mengapa dia selalu
bisa tahu aku berubah? Padahal aku berusaha meminimalisir
perubahanku sekecil mungkin agar tak ada yang menyadari.
Nuraniku ingin berontak rasanya, karena mengetahui
seseorang bisa dengan mudah menebak diriku.
Aku masih berusaha mengelak dan memberikan alasan
terbaik kepadanya. “I’m fine, bener-bener enggak ada apa-
apa. Aku sibuk saja. Pegang HP aja aku tuh enggak bisa,
Mas. Aku malahan kangen ada di kantor. Duduk ngedit,
nge-proofread naskah, ngeliatin progress naskah-naskah lain,
ikut ribet dan bantuin kerjaannya Mas Ardi. Aku kangen di
kantor. Tapi, ya gimana lagi, beberapa minggu ini aku emang
enggak bisa kerja di kantor. Bukan kemauanku, tapi keadaan
yang memaksaku untuk jadi sibuk.”
“No Ra, it wasn’t you. Dari awal kamu pindah di sini,
285aku merhatiin kamu dan liat kinerja kamu. Aku tahu kamu
orangnya bisa banget untuk bagi waktu. Meski jadwal padet,
kamu selalu bisa untuk merhatiin sekitar kamu dan aku selalu
dapet perkembangan kerjaan kamu. Tapi, ini enggak. Aku
bahkan enggak pernah denger kamu ada laporan apa-apa.”
Rio masih tetap pada pendiriannya dan terus mendesakku
untuk mengaku.
Sial, kenapa Rio harus sedetail ini memerhatikanku.
Sebetulnya, aku tak mengada-ada dengan alasanku. Pada
kenyataannya aku memang sesibuk itu dan seluruh waktuku
habis. Ya. walau entah habis untuk apa. Aku saja seringkali
mengeluh kepada diri sendiri sebab tak ada waktu untuk
sekadar me-time. Jangankan me-time, menulis di Blog atau
buku catatan saja rasanya aku tak pernah bisa lagi.
Sejak pertemuanku dengan Saka waktu itu memang
segalanya berubah. Aku tahu ada yang berubah pada diriku,
pada perasaanku, pada pikiranku. Entah mengapa aku seolah
tak lagi bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku seperti
sedang melarikan diri dari pikiran-pikiranku yang kerap
mempertanyakan Saka. Aku tampaknya terlalu berlebihan
menggunakan waktuku, hingga tak bisa bernapas barang
sejenak,
“Hmm... aku tahu ada yang salah sama diriku,” ungkapku
jujur kepada Rio. “Maksudku aku tahu aku enggak sebijak
biasanya ngegunain waktuku. Tapi serius, I’m okay. Kalau
pun aku kenapa-kenapa, itu hanya antara aku dengan diriku
286sendiri yang lagi kesulitan untuk ngatur waktu. Setelah ini,
aku pastiin semuanya akan kembali seperti semula. Semua
kerjaanku bakal aku beresin. Ah, ya untuk naskah Riana
dan Saka itu, aku udah mulai baca kok dari tadi pagi.” Aku
berusaha meyakinkan Rio.
“Ra, kalau kamu butuh istirahat enggak apa-apa. Kamu
boleh cuti beberapa hari. Tapi, janji sama aku ketika nanti
masuk lagi, kamu udah kayak Lara yang pertama kali
bergabung dengan tim di sini.”
Mendengar ucapan Rio itu aku justru malah tak enak
hati. Tak biasanya aku tidak profesional seperti ini. Saat ini
aku malah semakin merasa ingin bertemu dan marah kepada
Saka, karena kehadirannya ternyata hanya mengganggu laju
kehidupanku. Kehadirannya dan kejutan yang dia bawa kali
ini justru membuatku tak lagi bisa menapak dan menjalani
rutinitasku seperti sedia kala.
“Enggak, enggak perlu sampe cuti. Ini bukan masalah
besar kok. Aku kayaknya cuma butuh tidur lebih banyak
aja. Jangan dibesar-besarin Mas, aku malah jadi enggak enak
sendiri nih.” Aku menegaskannya kepada Rio.
“Oke, kalau menurutmu semuanya baik-baik aja dan
kamu tetep enggak mau cuti. Kamu sekarang boleh balik ke
ruanganmu dan lanjut kerja lagi. Tapi Ra, kalau kamu cerita
aku selalu siap dengerin kamu. Just remember it.”
“Tya, aku inget. Makasih udah diingetin karena aku
kerjanya enggak bener, hehe. Aku langsung kerja lagi ya,”
287Aku memberikan senyum simpul kepadanya lalu segera
beranjak kembali ke meja kerjaku.
Naskah Riana dan Saka adalah hal pertama yang aku
lihat di atas mejaku. Aku menghela napas berat sambil
memandangnya. Mau tak mau, suka tidak suka, aku
tetap harus bisa profesional sekarang. Aku harus bisa
mengesampingkan segala keresahan dan pertanyaanku
tentang Saka. Terutama tentang perasaanku kepadanya yang
sampai sekarang aku yakini belum juga usai.
Aku mulai kembali membaca lembar per lembarnya.
Bukannya menjadi tenang, aku justru tak lagi kuasa menahan
amarahku. Terlalu banyak rasa kecewa dan pertanyaan atas
isi naskah yang harus Saka jelaskan kepadaku.
Rasa gengsi yang sedari kemarin membuatku enggan
menyapa Saka lebih dulu kini hilang sudah. Tenggelam
bersama kekecewaan yang sedang aku rasakan. Aku lalu
membuka aplikasi chatting dan mulai mencari nama Saka lalu
mengiriminya sebuah pesan.
Besok kita bisa ketemu?
Tak sampai lima menit aku mengirim pesan, Saka sudah
membalasnya. Haha, ingin rasanya aku tertawa melihatnya.
Menertawai diriku sendiri tentunya. Sebuah kesimpulan
mendadak muncul di kepalaku. Jadi, selama ini Saka
288memang hanya tak ingin menghubungiku lebih dulu. Bahkan
sejak dia berada di Jogja, dia memang memilih untuk tidak
memberitahuku. Mungkin untuk Saka saat ini aku tak lagi
berarti, apalagi sejak kehadiran dan kedekatannya dengan
Riana.
Bisa. Jam 5 sore, gimana?
Oke, nanti aku kasih tahu lagi tempatnya di mana.
Aku menatap percakapan itu sambil menahan amarah
yang sudah membuncah. Aku benar-benar harus bertemu
Saka untuk ini. Setidaknya untuk meminta penjelasan atas
semua sikapnya. Sekaligus menumpahkan semua kemarahan
yang aku pendam untuknya.
a
Aku mulai sibuk menulis dan kadang mencuri
waktu di sela-sela pekerjaanku di kedai kopi.
Tidak jarang juga aku pulang tepat waktu dan
mencari kedai kopi lain yang lebih sepi. Menulis butuh
289keadaan yang tidak banyak distraksi bagiku.
Ingatanku melayang pada hari-hari aku dengan Lara
bertemu. Seolah memasuki portal untuk kembali pada saat
itu. Untuk merasa apa yang tengah aku rasakan waktu itu.
Tentang luka yang aku sembunyikan. Aku kemudian kembali
pada masa sekarang untuk meramunya dalam bentuk cerita.
Menari dengan diksi dan menggabungkannya dalam bentuk
alunan prosa dan senandika yang merdu. Jari ini tidak ingin
berhenti seperti penari yang selaras dengan irama musik
yang membawanya bergerak ke sana kemari.
Hentakan jariku seperti loncatan kaki penari balet.
Melenggang dengan pasti dan merasa yakin atas pijakan-
pijakannya meski tetap lembut. Perasaan kepada Lara sedang
menguasaiku. Aku kira laiknya bernostalgia hanya untuk
mengenang kejadian, rasa, dan memiliki sifat yang kompleks.
Aku adalah air bening yang polos. Namun saat menuju pada
masa itu, seolah aku dibubuhi macam-macam rasa. Laiknya
air, aku tak punya kuasa untuk membatasi semua rasa itu
dalam diriku dan membuat batas. Semua rasa kini larut
dalam diriku.
Aku tak bisa menyangkal bahwa aku adalah sebuah unsur
yang terbentuk dari senyawa rasa tentang Lara. Perihal rasa,
nurani yang lebih paham daripada diriku sendiri. Nurani
lebih paham akan makna yang sedang menunggu untuk
dipeluk. Hinga aku menyadari bahwa penerimaan yang
aku rasakan saat bertemu dengan Lara kali terakhir adalah
290sebuah konsep renung yang membuatku sadar bahwa aku
telah mengakui kesalahanku. Bahwa Lara benar, bahwa aku
tidak bisa memaksakan prinsipku pada hidupnya.
Karena setelah aku renungkan, tujuanku ke Jogja bukan
hanya demi mimpiku membuka kedai kopi. Justru Lara yang
membuatku membangun mimpi itu. Karena yang tengah aku
pertanyakan, apakah aku akan tetap datang ke mari jika Lara
tidak tinggal di sini sekarang.
Aku menghentikan tulisanku, sampai pada titik aku dan
Lara akhirnya bersama. Seolah sulit sekali menuliskan cerita
yang eksplisit agar tak terkesan bahwa itu adalah aku. Bahwa
sudut pandang yang sedang bercerita bukanlah aku yang saat
itu merasa bahagia menjalin hubungan bersama Lara.
Namun, nalar tetap memaksa jariku agar tak ada satu pun
rasa yang perlu dibungkam. Seolah nalar memohon kepada
nurani, agar semua rasa bisa tersampaikan dan akhirnya
hinggap di mata Lara. Untuk kemudian bisa direngkuh
olehnya.
Sebuah kejujuran yang selama ini hanya dapat
berteriak dari kedalaman rasa, yang tak mampu terbang ke
permukaan. Tersembunyi di dalam rongga-rongga diksi yang
disembunyikan pada setiap prosa yang aku tulis. Hingga
jariku akhirnya tunduk pada nalar, ditunggangi rasa yang
sedang membabi-buta.
Semuanya berebut ingin tumpah lewat diksi yang
berdesak-desakkan dalam setiap paragraf yang aku tulis.
291Aku tak pernah tahu bahwa menulis ini, akan membawa Lara
terasa lebih dekat dari hari-hari sebelumnya. Membuatku
merasa memiliki kemungkinan yang tidak pernah berani aku
inginkan, Kembali pada Lara.
Tidak jarang aku dan Ana beradu argumen perihal
kesesuaian cerita, kesesuaian tokoh masing-masing.
Bagaimana baiknya membuat konflik dan menyatukannya.
Kami sama-sama seolah belajar untuk menjadi orang lain
dalam menulis ini. Namun perihal merasa, sepertinya penulis
dan tokoh yang kami buat adalah orang yang sama. Seperti
beberapa konflik yang dibuat oleh tokoh Ana, berhasil
menyita diriku untuk bersikap seperti apa.
Aku diingatkan kembali oleh nurani untuk tidak terlalu
tenggelam dalam tokoh yang aku buat sendiri. Tokoh yang
aku buat bukanlah aku. Tokoh itu hanya sebagian kecil dari
konsep tentang diriku. Aku harus bisa membatasinya agar
terjadi sebuah kesesuaian cerita yang saling mengundang
respon dan saling membangun.
“Aku belum tahu kamu sepenuhnya, Saka. Tapi, kalau
aku liat ceritamu, aku kayak lagi denger kamu cerita beneran.
Hehehe.” Suatu hari Ana menggodaku saat kami sedang
bertemu.
“Emang, iya? Hmm... Berarti aku berhasil bikin karakter
tokoh itu dong. Hehe.” Aku menjawab santai.
“Eh, pantes aja tim Penerbit ngajak ketemu. Gara-gara
kita keluar jalur dari outline yang kita bikin ya. Yang asalnya
292mau prosa malah jadi novel, Hahaha,” ujar Ana.
“Hahahahhaa. lya, tapi enggak apa-apa kan kata mereka
juga. Yang penting ceritanya masih sesuai sama outline yang
kita bikin?” Aku bertanya balik.
“Hmm, aku sih oke-oke aja. Aku bebas. Kita saling ngisi
aja. Cuma saranku jangan terlalu luas, takutnya malah
jadi berantakan. Aku paham pasti kamu pengen ngeluarin
dan ceritain banyak hal, tapi jangan dikeluarin sekaligus.
Misalnya, bikin paragraf pembangun untuk menceritakan
satu inti saja. Tujuannya, biar pembaca bisa memahami
kenapa sesuatu bisa terjadi. Bisa ngebaca sebab-akibat dari
sebuah makna yang terjadi,” tutur Ana.
“Tya, iya, aku setuju. Hehe. Eh, deadline kapan sih?” Aku
bertanya.
“Pokoknya, kita dikasih jatah satu bulan buat selesain
naskah,” ucap Ana.
Fokusku sebenarnya tidak pada deadline, tapi pada Lara.
Kapan akhirnya aku akan kembali bertemu lagi dengannya?
Berharap beberapa chapter tulisan yang sudah kami kirim
ke Lara melalui email Ana, akan membuatnya tersenyum
dengan isi cerita yang kami suguhkan.
Senyum sesekali ingin aku bentuk di wajahku. Mem-
bayangkan bagaimana respon Lara ketika tahu bahwa aku
terinspirasi dari cerita aku dengannya dulu. Berharap buku
ini bisa menjadi kejutan baginya yang benar-benar tidak
pernah dia sangka. Atau, bahkan kejutan yang tidak penah
293berani dia harapkan.
“Heh, kok ngelamun!” Ana menjentikkan jari di depan
wajahku. “Ngapain kamu senyam-senyum gitu? Hayoo...
hahaha.”
Aku tertangkap basah. “Hah? Enggak, lagi bayangin aja
siapa tahu tulisan ini diangkat jadi film. Ngayal aja dulu kan,
enak soalnya ngayal. Hehe.” Aku beralasan sebisa mungkin.
Sial. Wajahku pasti terlihat bodoh tadi.
“Bener juga. Eh, ngomong-ngomong, jadi penasaran apa
yang bikin kamu lancar gitu nulisnya? Aku aja yang seneng
nulis kayaknya enggak selancar kamu.” Ana bertanya.
Wajahnya yang innocent itu membuatku tak merasa tertekan
sedikit pun atas pertanyaan yang sebetulnya membuatku
bingung.
“Hmm... ya, keresahan,” jawabku pelan. Menebak Ana
akan puas atau tidak akan jawaban itu.
Ana memiringkan kepala, tersenyum menggoda. Seperti
sedang bertanya, itu bukan cuma keresahan sepertinya.
“Hahahaha. Muka kamu lucu kalau kikuk gitu. Santai,
Saka. I got it.” Ana kembali memfokuskan dirinya ke depan
laptop dan melanjutkan menulis.
Ada perasaan tak keruan menghinggapi dadaku.
Sebagian merasa sangat nyaman bersama Ana. Kapan pun
itu, Ana selalu mempunyai energi yang menyenangkan
untukku. Seolah aku tak perlu merasa berjuang untuk
menjadi seseorang yang sebaik mungkin.
204Aku lalu melanjutkan menulis, meski pikiranku kembali
kepada Lara. Kini aku merasakan ada hal yang berubah.
Perihal Lara, ada kesungguhan rasa yang tidak pernah
bisa aku artikan maknanya. Seolah kesimpulan tak pernah
berada di dekatku untuk mengetahui kebenaran perasaanku
kepadanya. Pikiran ini bercabang pada pertanyaan tentang
siapa sesungguhnya Lara bagiku.
Kadang aku berpikir, aku ini lelaki. Bisa saja aku jatuh
hati kepada Ana, tapi tidak bisa. Ana tidak membuatku jatuh
hati sebagaimana dia sangat menyenangkan dan membuatku
merasa sangat bebas kapan pun aku bersamanya. Ya, meski
aku tak pernah bisa memilih dan merencanakan akan jatuh
hati kepada siapa.
“Kamu pernah enggak sih sayang sama laki-laki, tapi
enggak pengen kamu miliki?” Aku tiba-tiba bertanya. Kali ini
aku menyadari betul pertanyaanku.
“Bisa enggak sih kamu enggak senyum terus. Ganggu
tahu! Hahahaha.” Aku tiba-tiba menegur Ana yang selalu saja
tersenyum. Lihat saja, bahkan sebelum menjawab sempat-
sempatnya dia tersenyum.
“Hahahaha. Kenapa ganggu? Aku baru denger ada yang
keganggu sama senyum.” Ana menjawab polos.
“Ya, karena it’s paralyzing. Ahhhh, I can’t believe I could
be that honest! Oke, oke, skip. Jawab pertanyaan aku.” Aku
mengepalkan kedua tangan karena gemas.
“Hahaha. Oke, oke. Akhirnya, ada yang nanya hal kayak
295gitu. Aku pikir itu hal yang aneh tahu. Karena aku cukup
sering kayak gitu. Aku enggak tahu kenapa aku punya banyak
temen deket laki-laki. Dan ya, aku sayang mereka semua.
Kenapa kamu nanya gitu?” Ana bertanya balik.
“Ng... Enggak apa-apa. Hehe. Itu sayang ke temen like...
bukannya biasa aja ya?” Aku memastikan.
“Kayaknya enggak biasa aja. Aku enggak tahu apa orang
lain kalau berkawan sama temen deketnya ngerasa sayang
biasa aja apa gimana. Bahkan aku juga enggak tahu sayang
biasa aja tuh kayak gimana, hahaha. Tapi, gimana ya kamu
tahu kan perasaan sayang? Kamu bisa bedain saat rasa itu
ada dalam hati kan? Ya, kayak gitu. Tapi, ya memang enggak
ada sama sekali kepengen buat miliki orang itu. Perasaan
itu menurutku nyenengin.” Ana kembali tersenyum. Kali ini
barisan giginya yang putih terlihat. Membuatnya lebih manis
dari Jogja yang cerah seperti hari ini.
Ada sebuah ketenangan mendengar jawabannya. Ada
juga rasa percaya yang tiba-tiba memuncak dan membuatku
ingin bercerita perihal Lara. Agar suatu saat kami bertemu
lagi, tidak perlu ada kecanggungan di antara kami. Agar
Lara juga paham bahwa tidak ada hubungan yang aneh-aneh
antara aku dan Ana.
Sial, pikiranku kacau. Baiknya aku kembali fokus
menulis, kembali pada rasa saat itu bersama Lara. Itu lebih
menyenangkan.
296“Saka, tolong anterin ke meja di ujung.” Yuda memberikan
secangkir manual brew flores untuk diantarkan.
Besok kita bisa ketemu?
Sekembalinya aku ke bar, sebuah pesan masuk tiba-tiba
membuat tanganku gemetar. Tak percaya pada apa yang aku
baca. Lara mengajakku untuk bertemu. Tak tahan aku ingin
tersenyum. Pesan yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang.
“Napa lu senyam-senyum?” Yuda bertanya.
“Lara ngajak ketemu, Man!” Aku berseru tak tahan. Tak
sadar aku berteriak. Di depan bar tengah duduk tiga orang
yang tengah mengobrol, dan Kevin di antaranya.
“Hah? Siapa Lara?” Yuda bertanya keheranan.
Aku lupa, tak ada yang tahu tentang Lara selain Kevin di
sini.
“Ajak sini kali!” Kevin berseru.
Yuda masih bertanya-tanya perihal Lara, tapi Kevin
menolak memberitahu. Ia malah meminta Yuda untuk
bertanya kepadaku.
“Ada laah...” Aku cekikikan sendiri. Tak dapat menahan
senyum yang sedari tadi mekar.
297Aku melanjutkan pekerjaan, mempersiapkan pesanan,
membereskan bar dan mengecek media sosial Coffee and
Drama.
Sebetulnya aku ingin sekali mengajak Lara ke Coffee and
Drama, sembari memberikan kejutan lainnya tentang kedai
kopi itu. Tapi, aku memilih bertemu dengannya di kedai kopi
Jain. Aku perlu waktuku sendiri untuk bersamanya.
Seharian aku memikirkan apa saja yang ingin aku
bicarakan dengannya. Tentang ibuku, tentang kedai kopi,
tentang pertemuanku dengan Ana yang membawaku
kepadanya. Lara harus tahu bagaimana semesta
merencanakan ini untuk aku dengannya.
Sudah kubayangkan bagaimana reaksi Lara nanti.
Bagaimana antusiasnya mendengar ceritaku. Seperti
bagaimana dulu dia selalu memintaku untuk terus berbicara,
dan terus membuatnya senang dengan cerita-ceritaku.
Aku udah sampe ya.
298Aku mengirimi Lara pesan, setibanya aku di tempat kami
janjian. Aku duduk di salah satu sofa yang bersebelahan
dengan taman. Kafe ini memiliki area outdoor di bagian
dalamnya.
Ok.
Hanya itu pesan balasan darinya. Aku menyimpan
gawaiku di atas meja dan menikmati cappuccino pesananku.
Setelah lama tak menikmati ini, aku cukup merindukannya.
Rasanya seperti nostalgia, sama seperti pertemuanku
sekarang dengan Lara. Aku masih tak habis pikir kenapa
Kevin menolak untuk membuat menyediakan cappuccino dan
latte.
Lara tiba-tiba muncul saat aku tengah meneguk
cappuccino panasku.
“Hei.” Aku sedikit terkejut sewaktu menyapanya. Bukan
karena kedatangan Lara, tapi ternyata cappuccino di tanganku
over heat. Hampir saja tumpah.
“Hei,” sapanya pelan. Rambutnya yang masih sedikit
berantakan tengah dia ikat. Mata yang kemarin sempat
canggung, kini bisa aku lihat lebih tenang. Tatapannya
mendekapku ke dalam perasaannya.
“Kamu udah pesen?” Aku bertanya.
299“Udah,” jawabnya pelan. Nadanya dingin, mungkin
karena masih canggung.
“Kamu dari kapan di Jogja?” Lara mulai bicara.
“Hehehe. Udah beberapa minggu. Tadinya aku mau
kasih kamu kejutan, atau pengennya kita bisa enggak sengaja
ketemu lagi kayak waktu itu. Eh, beneran enggak sengaja
ketemu lagi.” Aku tersenyum. Menunggu respon Lara yang
mungkin akan merasa takjub lagi dengan cara semesta
mempertemukan kami.
“Beberapa minggu? Ngapain? Wow, kamu emang bisa
bikin kejutan. Dan, kejutan lainnya sekarang kamu nulis?
Bener-bener nulis?” tanya Lara sinis.
“Yap, and that’s another surprise! Hehe. Kamu Lara, yang
akhirnya bisa bikin aku rajin buat nulis. Kamu harus tahu
gimana aku ketemu Ana, gimana Kevin ngajak aku kesini,
gimana secara random penerbit tempat kamu kerja nawarin
Ana untuk bikin tulisan, dan akhirnya ngebawa kita ke
pertemuan ini. Gosh, Lara. Kamu bisa liat gimana Tuhan
nyiapin semua ini untuk pertemuan yang enggak disengaja
lagi.” Aku berseru dengan semangat.
“Wow. Ya, aku juga pasti takjub sama semesta. Takjub
juga sama kamu. Apa kamu selalu sehebat ini, Saka?’ Lara
bertanya tapi nadanya sedikit sinis.
“Hmmm... sehebat ini? Maksud kamu?” Kali ini aku tak
paham maksud Lara.
“Kalau aku boleh tahu siapa yang bikin konsep cerita
300itu?” Lara tidak menjawab pertanyaanku. Menggantinya
dengan pertanyaan bernada semakin sinis.
“Aku sama Ana yang bikin konsep ini,” tuturku.
“Ah, menarik. Kalau aku tebak, tulisan kamu itu
kayaknya aku familiar. Terinspirasi dari cerita kita?” Lara
memicingkan tatapannya, dibubuhi senyuman sinis.
“Tya...” Aku berkata pelan.
“Sekarang kamu paham kalau kamu selalu hebat? Kamu
selalu hebat nyakitin aku Saka. Saka, mungkin kamu emang
orang yang bebas tapi kamu mungkin enggak pernah mikirin
kebebasan kamu itu bisa ngelukain orang lain. Kamu pikir
cerita kita buat dijual?” Lara terdengar semakin marah.
Suaranya meninggi. Meski dengan nada yang tetap lembut
tapi tegas. Mata hitamnya yang bersinar, memancarkan
amarah yang siap untuk tumpah.
Seorang waiter yang baru saja menyajikan pesanan
minuman Lara, memberikan kami jeda untuk terdiam.
“Eh hati-hati, masih panas!” ingatku.
Lara yang masih dilanda murka, tak sadar akan langsung
akan meminumnya. Aku tahu cappuccino di tangannya masih
panas. Wajah Lara menyembunyikan sedikit malu karena ia
tahu ucapanku benar. Cappuccino itu memang masih panas.
“Lara, aku paham kamu kesel. Aku, aku enggak jual
cerita kita. Enggak, Lara. Kamu editor, kamu paham bahasa
Indonesia, kan? Terinspirasi. lya, aku terinspirasi dari cerita
kita. Tapi, aku enggak ceritain kamu. Yang kamu baca cuma
301dari sudut pandang aku kan? Kamu udah baca tulisan Ana?
Apa itu tentang kamu? Enggak kan? Aku ceritain diri aku,
dari sudut pandang aku, dari pemahaman yang kamu ajarin
ke aku.” Aku menghela napas sebelum melanjutkan.
“Kamu udah liat outline-nya bukan? Kamu paham tujuan
konsep buku ini kan? Lara, aku lagi coba buktiin sesuatu,
bukan buat diri aku, tapi buat orang yang baca. Aku enggak
pernah bisa jadi orang yang bisa bantu banyak orang. Aku
bahkan kadang ngerasa enggak berguna buat orang-orang
sekitar aku yang aku sayang. Cuma dari bikin buku ini, dari
tujuan konsep buku ini, aku jadi paham sesuatu. Aku selalu
pengen bisa bantu orang lain tapi enggak pernah paham
gimana caranya. Meskipun dengan cara yang menurut kamu
salah, tapi inti tulisan ini adalah biar orang-orang yang
baca bisa sampai pada satu titik penerimaan saat mereka
terluka. Inget, gimana kita baik-baik aja waktu kita ketemu
di pantai? Kamu pikir orang-orang bisa sebaik kamu? Sebaik
aku? Sebaik kita yang akhirnya bisa berdamai sama luka kita
sendiri. Bisa maafin diri kita sendiri? Di luar sana banyak,
banyak banget yang cuma bisa mengutuk kepergian tanpa
mau menyadari dirinya salah. Tanpa mau menerima bahwa
kepergian seseorang adalah salah mereka sendiri. Mereka
terlalu egois karena merasa telah terluka.”
Aku menghela napas dalam. Lara masih memegangi
cangkir cappuccino-nya, seperti biasa.
“Dan iya, salah aku karena apa yang aku tulis memang
302tentang perasaan aku saat itu bareng kamu, sampai akhirnya
tanpa kamu. Itu yang bikin aku jadi salah. Dan, salah aku
karena aku enggak minta izin dulu sama kamu. Aku minta
maaf, aku sama sekali enggak berniat untuk menjual cerita
kita. Enggak, Lara.” Aku meneguk cappuccino panasku. Lebih
hangat dan menenangkan kali ini.
“Diminum dulu atuh itu kopinya, jangan dipegangin aja
ntar keburu dingin lagi.” Aku mengingatkan Lara.
Perlahan Lara meneguknya. Aku tersenyum dalam
hati. Wajahnya kuperhatikan, hingga tenang mulai meng-
hampiriku. Semoga tenang menghampiri Lara juga.
“Riana tahu kamu kenal aku? Dia tahu tulisan kamu
ceritain tentang apa?” Lara mulai bertanya.
“Enggak, dia enggak tahu sama sekali. Seenggaknya
belum saatnya.” Aku menjawab.
“Belum saatnya? Jadi, dia bakal tahu?” Lara mulai
terdengar ketus lagi.
“Look, Lara! Enggak mungkin kita harus terus-terusan
enggak kenal di depan Ana. Emang Rio tahu kita kenal?
Kamu emang pengen terus nyembunyiin kenyataan kalau
kita saling kenal? Sejalan akhirnya mereka tahu, gimana
pun mereka akan tahu kisah kita. Mereka pasti bertanya-
tanya apa yang kita simpen atau sembunyiin? Kenapa juga
dalam pertemuan kita kemaren kita bersikap pura-pura baru
kenal?” Aku berkata pelan dan hati-hati.
Lara kembali diam. Aku mengerti perasaannya. Per-
303temuan beberapa hari lalu adalah kesalahan saat kami
berlagak baru kenal. Hal itu hanya akan menyulut masalah
baru.
“Gimana pun mereka pantes untuk tahu. Kamu paham
kenapa mereka pantas buat tahu? Kamu tahu itu, kan?”
Berharap Lara paham maksudku.
Dari tatapan lelaki yang kemarin bersama Lara, aku
cukup paham apa yang sedang terjadi di antara mereka.
Lewat pernyataanku barusan aku memberikan sebuah
tuntutan untuk Lara. Seolah sebuah pertandingan. Apa yang
akan terjadi saat akhirnya lelaki itu tahu bahwa aku dan Lara
memiliki masa lalu? Memiliki rasa yang aku yakin masih
saling terpaut hingga kini.
“Kamu belum jawab, kamu ngapain di Jogja?” Lara
bertanya. Kini nadanya semakin lembut.
“Aku bikin kedai kopi di sini, sama Kevin, sama temen-
nya,” jawabku pelan. Tak ada lagi yang aku harapkan untuk
memberinya kejutan.
“Kok, bisa?” tanya Lara terdengar antusias meski masih
malu-malu.
Aku kemudian bercerita tentang ajakan Kevin sejak
kepulanganku dari Jogja. Tentang ibu dan adik-adikku yang
harus aku tinggalkan sementara. Tentang keresahanku.
Mata hitam itu kini kembali bercahaya nyaman. Tak
semurka sebelumnya. Ada ketenangan yang akhirnya
hinggap pada dirinya. Ada nyaman yang kukenali kembali
304mengetuk diriku. Rindu sedang berpesta di antara kami yang
kini saling tatap.
Seandainya dia paham bahwa kedatanganku ke Jogja
adalah untuk dirinya. Namun, aku belum bisa mengatakan
hal itu. Keadaan seperti ini masih berbahaya untuk kejujuran.
Dinding yang sekarang sedang mengelilingi Lara tak bisa aku
hancurkan begitu saja. Aku mungkin bisa melewatinya, tapi
Laraakan hancur bersama reruntuhan bentengnya. Akuyakin
ada jalan yang lebih terhormat untuk bisa menembusnya
lagi. Mengetuk pintu nuraninya.
Aku segera menghempaskan tubuh di atas
ranjang usai mematikan lampu utama dan
membiarkan gelap mendekapku erat-erat. Aku
baru saja pulang dari pertemuanku dengan Saka.
Mendengarkannya menjelaskan tentang cerita yang dia buat
untuk buku itu. Mendapati diriku yang terkejut berkali-kali
bahwa dia telah lama berada di Jogja, sedang membuat usaha
kedai kopi. Bahkan terkejut dengan keputusannya untuk
menulis, terlebih dengan wanita lain tetapi menggunakan
cerita kami untuk landasan ceritanya.
Wow, aku tertawa sendiri sambil mengingat-ingat semua
perkataan Saka. “Kamu bisa liat gimana Tuhan nyiapin semua ini
305untuk, pertemuan yang enggak disengaja lagi?”
Aku ingat binar matanya ketika mengucapkan kalimat
itu. Seolah semua kebahagiaan tumpah ruah melingkupinya.
Andai dia tahu, pertemuan ini justru entah kenapa malah
membuatku menyesal. Menyesal berada di Jogja, menyesal
bekerja pada penerbitan, menyesal harus kembali bertemu
lagi.
“Inget gimana kita baik-baik aja waktu kita ketemu di pantai?
Kamu pikir orang-orang bisa sebaik kamu?” Kata-kata itu
terus menggema di kepalaku, berdengung di telingaku, dan
membuatku duduk di pojok ranjang sambil memeluk diriku
sendiri.
“Enggak ada yang baik-baik aja Saka, enggak ada. Enggak
aku, enggak juga kamu.” Aku mengucapkannya lirih sambil
mulai membiarkan air mata jatuh satu per satu.
Setelah kejadian di pantai itu, setelahnya kembali
mengalami pertemuan tak sengaja di coffee shop, semuanya
tak lagi bisa baik-baik saja. Sebuah harapan menyeruak di
hatiku setelah pertemuan-pertemuan itu. Harapan untuk
bisa kembali merajut mimpi bersamanya. Harapan yang aku
tahu hanya asa diriku seorang.
Aku menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya aku masih
tak bisa menerima semua penjelasan Saka. Masih ada yang
mengganjal di hatiku. Aku ingin sekali marah, menumpahkan
seluruh emosi dan kekesalanku kepadanya. Tapi aku takut,
lagi-lagi terlalu takut bila aku akan kembali melukainya.
306Melukai Saka dan tentunya melukai diriku sendiri
karena sudah membuatnya terluka. Aku menangis kali ini,
dalam malam yang terlalu pekat. Tanpa suara, tanpa isakan,
hanya air mata saja yang meleleh di pipiku.
Aku bahkan tak pernah merasa seperti ini sebelumnya,
menyayangi seseorang dengan sebegitunya. Bahkan rela
mengorbankan perasaanku sendiri hanya agar ia tak terluka.
Dengan mentah-mentah menerima semua penjelasannya
yang pada nyatanya justru menimbulkan banyak pertanyaan
baru.
Jujur aku marah dengan Saka. Dengan semua hal yang
kembali dia hadirkan tanpa sengaja. Aku marah pada
semesta. Mengapa harus membuatku kembali bertemu Saka?
Namun sejujurnya aku lebih marah kepada diriku sendiri.
Aku marah kenapa masih saja menuntut hal lebih terhadap
perasaan Saka untukku.
Aku masih terus menangis tersedu. Menghabiskan sisa
malam ini hanya dengan diriku sendiri dan hening yang
membawaku semakin terasing. Sebab, esok hari, aku harus
mulai menjalani segalanya dengan normal kembali. Tak lagi
bisa jika harus terus-menerus seperti ini.
a”
307Aku terbangun dengan mata yang terlalu bengkak
untuk sekadar beralasan akibat bergadang. Aku segera
mengompresnya dengan air es dan kantung teh. Aku sudah
bilang kepada Rani bahwa hari ini akan telat datang ke kantor
karena ada urusan pribadi yang sangat mendadak. Jaga-jaga
jika Rio menanyaiku, aku harus memiliki alasan. Jika tidak
maka teguran akan kembali menghampiriku.
Usai mandi, aku mulai memoleskan concealer dan bedak di
wajahku. Dulu aku tak pernah mengenal peralatan semacam
ini. dulu, aku tak pernah tahu gunanya untuk apa. Sekarang,
di saat seperti ini aku bersyukur pernah meminta Kanaya
untuk membelikanku seperangkat alat make up lengkap.
Pada kondisi sekarang, make up memang sangat berguna
telah ditemukan dan dirancang untuk wanita.
Aku terkekeh sendiri dengan pemikiranku. Semalam
adalah kali terakhir aku menangisi Saka. Setelah ini aku
sudah harus mulai menerima Saka yang kembali hadir
di hidupku sebagai apa pun dia saat ini. Teman dengan
teman. Sebatas penulis dengan editor pun aku tak akan
mempermasalahkannya lagi. Aku sudah seharusnya mengerti
dan memahami seperti apa hubunganku dengan Saka saat
ini. Hubungan yang memang tak lagi memiliki masalah.
Justru masalahku saat ini adalah Rio. Kemarin malam
saat aku menangis karena Saka, bayangan sosok Rio selalu
terlintas di pikiranku. Terlebih ketika kata-kata Saka kembali
terngiang di telingaku, “Emang Rio tahu kita kenal? Kamu emang
308pengen nyembunyiin terus kenyataan kalau kita saling kenal?
Gimana pun, mereka pantes untuk tahu. Kamu paham kenapa
mereka pantas buat tahu. Kamu tahu itu, kan?”
Sial, aku tertawa sendiri mengingat kata-kata itu lagi.
Saka seolah menyudutkanku, tapi ada nada cemburu pada
penekanannya ketika mengatakan itu. Tapi sudahlah,
mungkin itu bukan cemburu. Hanya sebatas keterkejutan
Saka karenaakusepertinya seolah sudah kembali menemukan
penggantinya.
Padahal Saka seharusnya mengerti, Rio tak pernah bisa
masuk di hatiku. Semanis apa pun senyum dan sikapnya,
tetap saja ada orang lain yang tak pernah pergi dari relung
hatiku bahkan memoriku.
Dan ya, mau tidak mau seiring berjalannya waktu aku
harus memberitahu Rio tentang Saka. Tentang apa yang
pernah terjadi di antara kami, tidak secara lengkap tentu
saja. Tentang kenapa aku dan Saka seolah tak saling kenal
pada awal perjumpaan kami waktu itu.
a
Sudah mendekati satu Minggu terakhir deadline naskah
Riana dan Saka. Sejauh ini aku sudah melewati minggu-
minggu penuh dilema ketika membaca setiap tulisan Riana
dan Saka. Rasanya ingin jungkir-balik, sesekali tersipu karena
309adegan-adegan manis yang Saka tuliskan. Namun, sesekali
dibuat nyeri oleh konflik-konflik yang diciptakan oleh Riana.
Tapi bisa dipungkiri, aku pada akhirnya menyukai
mengerjakan naskah ini. Mungkin Saka benar, sudah
seharusnya kami membagikan apa yang pernah kami alami
untuk orang lain. Memberikan pemahaman pada orang lain
tentang meninggalkan dan ditinggalkan. Mengenai kepergian
seseorang yang selalu punya alasan dan selalu memberikan
luka pada diri setiap orang. Tentang penerimaan yang akan
selalu hadir selama kita sebagai manusia masih hidup dan
bernapas.
Sebuah pesan masuk saat aku hendak mengecek jadwalku
hari ini.
Nanti makan siang bareng ya, Ra. Gue jemput di
kantor lu aja. Kunci mobil lu taro di mana, btw?
Aku segera mengetikkan balasan untuk Kanaya.
Menjelaskan di mana aku menyimpan kunci mobil. Hari
ini memang Kanaya sedang berada di Jogja, pun tadi pagi
dia yang mengantarku ke kantor dengan motor. Sudah
sejak kemarin pagi sebetulnya dia berada di Jogja. Kali ini
alasannya bukan lagi karena patah hati, tetapi memang ingin
berlibur dari penatnya Jakarta.
Baru hendak meletakkan kembali ponselku di meja kerja,
310sebuah pesan kembali muncul di layar ponselku. Kukira dari
Kanaya, ternyata salah. Kali ini dari Saka.
Aku otw ya, bisa tolong share location? Aku sendiri
soalnya, Ana enggak bisa ikut. Dia bisanya sore.
Aku menepuk jidat karena lupa hari ini adalah jadwal
Saka dan Riana untuk menandatangani kontrak. Segera aku
membalas pesannya dengan memberikan lokasi di mana
kantorku berada. Sebaik apa pun pembicaraan kami saat
kemarin bertemu, dan sebaik apa pun penerimaanku saat
ini dengan keadaan, tetap saja aku dan Saka masih tidak
berkomunikasi bahkan bertemu lagi.
Kami memang berada di satu kota saat ini, tapi bukan
berarti kami harus kembali menjadi dekat, kan? Lagi-lagi
logikaku mencoba mengalahkan nurani yang sedang kembali
ingin berharap akan sesuatu hal yang tidak mungkin.
Sembari menunggu kedatangan Saka, aku segera
menyiapkan kontrak juga naskahnya. Ada beberapa hal
yang ingin kubahas terkait kesesuaian alur dan miss tulisan
Riana dengannya. Setidaknya hari ini aku harus bisa bersikap
senormal mungkin. Ya, berusaha saja dulu.
Aku segera beranjak ke belakang, ke meja tempat
biasanya redaksi berdikusi. Aku melirik ke ruangan Rio
sekilas. Tampaknya dia belum datang. Mungkin sedang ada
311keperluan pikirku. Bagus, setidaknya aku tidak akan terlalu
canggung jika nanti Saka datang. Setidaknya aku tidak harus
menceritakan kepada Rio tentang Saka saat ini.
“Hai!”
Aku menoleh ke arah suara yang begitu aku kenal.
Saka sudah berdiri di sana dengan rambut yang masih saja
terlihat berantakan dan membuatku gemas ingin merapikan.
Tubuhnya masih dibalut parka serta menggendong ransel
yang tak pernah alpa untuk dia bawa.
“Eh, hai. Sini, sini. Duduk di sini aja.” Aku menunjuk
bangku di hadapanku dan mempersilakannya untuk duduk.
“Asyik ya, tempatnya. Pantes kamu betah.” Saka
melepaskan parka dan menyampirkannya di kursi sambil
memandang ke sekeliling.
“Ya, atuh kalau enggak asyik mah bisa stres sendiri.
Duduk seharian terus berkutat sama tulisan-tulisan. Agak
bikin lelah juga ya, hehe. Kamu mau minum apa? Kopi, teh,
atau air putih? Kopi mah bosen kali ya, kan udah jadi saudagar
kopi sekarang,” selorohku berusaha mencairkan suasana.
“Enggak usah repot-repot, Ra. Nanti aja deh.”
“Oh, ya udah kalau gitu. Nanti kalau mau minum langsung
bikin sendiri aja ya, di situ tuh.” Aku kemudian menunjuk
dapur tempat aku dan teman-teman lain sering membuat
minuman dan terkadang masak makanan instan sendiri.
“Santai aja, Ra. Masih kenyang, soalnya aku tadi baru abis
makan gudeg juga,” ucapnya sambil mengusap-usap perut.
312Aku tersenyum melihat kelakuannya itu. “Masih aja
gudeg mulu, belum bosen juga emang?” tanyaku berbasa-
basi, menghilangkan kecanggungan serta rasa berdebar di
diriku sendiri.
“Buat hal-hal yang menyenangkan dan bisa bikin bahagia
emang bisa ada kata bosen?”
Aku menelan ludah mendengar perkataan Saka. Sorot
matanya ketika mengatakan itu membuatku tak lagi bisa
menjadi fokus. Aku kemudian mencari topik pembicaraan
lain dengannya. Setidaknya agar tak harus terjebak dengan
kesalahan ucap yang malah akan membuatnya mengerti
perasaanku. Tidak sekarang.
“Riana ke mana emang? Kok, enggak bareng?” Lagi-lagi
sebuah pertanyaan basa-basi terlontar dari bibirku.
“Doi ada jadwal kuliah, katanya. Urusan penelitian
skripsi. Bisa ke sini sore. Nah, aku in charge kalau sore,” ucap
Saka sambil menyalakan laptopnya.
Aku hanya mengulas sebuah senyum melihat tingkahnya.
Benar-benar sudah seperti penulis sekali, tak bisa jauh dari
laptop.
“Wuih, pemilik sekaligus barista juga nih? Keren, keren.”
Aku memujinya terang-terangan.
“Kapan emangnya aku enggak keren, Ra?” Senyum
jahilnya kemudian merekah dan membuatku ingin sekali
mengutuk diriku sendiri yang sepertinya bahagia bisa
kembali melihat senyum itu. Aku rindu, ya rindu dengan
313senyum itu. Rindu dengan pemiliknya, dengan Saka.
“Pas nyakitin aku enggak keren, Saka”, ucapku dalam hati
seraya menyiapkan kontrak yang tadi sudah aku bawa.
“Ini sambil diparaf di setiap halamannya ya. Terus, tanda
tangan di lembar yang ada nama kamunya. Beberapa data
diri yang belum lengkap nanti langsung kamu tulis aja.” Aku
menyodorkan surat kontrak dan pulpen kepada Saka.
“Asli ini teh aku tanda tangan kontrak nerbitin buku?
Hahaha, enggak nyangka.” Saka tertawa sambil memandangi
kontrak yang tadi kuberikan.
Jujur saja aku sebenarnya malas jika harus membahas
tentang buku kepadanya. Sebab, mau tak mau amygdala-ku
akan memroses semuanya lagi, dan membuatku kembali
teringat dengan seluruh kenangan bersama dengan Saka.
Tidak sekarang, tidak jika hanya berdua dengan Saka.
“Coffee shop kamu di mana sih?” tanyaku mencoba
mengalihkan pernyataannya.
“Demangan baru, Ra. Coffee and Drama, namanya. Aku
mau ajak kamu ke sana. Tapi, nanti pas aku enggak in charge
ya. Mau kan? Tapi, enggak ada cappuccino sama gula merah
kalau di tempatku.” Lagi-lagi dia menyunggingkan senyum
jahil itu
Mungkin untuk Saka, ini adalah hal yang mudah.
Baginya mungkin aku sudah terlalu cukup dewasa untuk
memproses semua ini agar tetap bisa menjadi baik-baik saja.
Aku masih bergeming. Mencoba untuk menenangkan hati
314serta pikiranku yang kembali carut-marut.
“Aku masih enggak nyangka aja lagi-lagi semesta bikin
kita ketemu dengan caranya yang... mengejutkan. Lagian
kamu ngapain pake bikin kedai kopinya di Jogja? Kenapa
enggak di Bandung aja? Kan jadi lebih deket juga sama
rumah, sama adek-adekmu dan tentunya sama mamamu.”
Aku bertanya lebih lanjut.
“Aku sempet mau tanya itu juga sama Tuhan, kenapa
harus di Jogja. Tapi enggak jadi, karena aku kayaknya udah
tahu kenapa. Tuhan ketawa doang kali ya, pas aku enggak jadi
nanya. Hehe.” Saka menjawabnya dengan sebuah candaan.
Aku hendak kembali membuka percakapan, yasetidaknya
entah kenapa jawaban Saka tadi justru membuatku kembali
merasa nyaman untuk mengobrol dengannya. Namun, Rio
sudah lebih dulu hadir dan duduk di sebelah Saka.
“Halo Bro, gimana naskah? Beres?” tanya Rio sambil
menepuk pundak Saka.
“Tinggal ending nih. Lusa fixed beres,” jawab Saka tenang
meski sempat terkejut dengan kehadiran Rio yang tiba-tiba.
“Mantep deh kalau gitu. Ditangani dengan baik kan sama
si ibu editor sibuk ini?” Kini Rio ganti menatapku dengan
pertanyaannya yang membuatku lagi-lagi mengutuk diri
sendiri karena harus berada di situasi seperti ini.
Saka menatapku sekilas tapi lekas menjawab pertanyaan
Rio dengan santai. “lyalah pastinya, editor terkece banget
Lara mah.”
315“Eh ya Ra, promosi gimana? Kamu udah pikirin? Atau,
kalian udah ngobrol-ngobrol tentang ini?” Rio kembali
mengajukan pertanyaan yang kali ini ditujukannya padaku.
“Aku belum ngobrol sama Saka maupun Riana sih. Tapi,
sejauh ini di bayanganku sih paling enggak jauh dari promo
di media sosial yang udah wajib hukumnya, ngadain beberapa
acara talkshow, sama paling bikin video kali ya. Video durasi
satu menit yang isinya sosok si cewek dan cowok di novel
ini. Enggak usah keliatan muka, cukup sosoknya aja. Biar
pembaca penasaran, gimana?” Kali ini aku bertanya kepada
Saka dan Rio sekaligus.
“wah, ide bagus tuh, Ra. Tapi, nanti siapa yang shoot
video-nya ya? Si Ardi kayaknya lagi enggak bisa keluar-keluar
tuh, deadline cover dia banyak kayaknya,” Rio tampak berpikir
sesudah mengucapkan itu.
“Saya aja.”
“Saka aja.”
Aku tersenyum kikuk mendapati diriku dan Saka
memberikan jawaban yang sama dan bersamaan.
“Wah, editor sama penulisnya udah sehati banget
kayaknya nih, bisa jawab barengan gitu. Saka punya basic
fotografi?” Rio kembali bertanya.
“Ya, sedikit-sedikit bisalah, Mas. Tapi, enggak jago-jago
banget.”
Rio mengangguk yakin. “Multitalented ya. Oke deh, kalau
gitu masalah video beres nih ya?”
316Kami bertiga akhirnya terlarut dalam perbincangan-
perbincangan ringan seputar kepenulisan, termasuk strategi
untuk melakukan promosi dan mengenai jadwal penjualan
online serta tanggal estimasi terbitnya buku Riana dan Saka.
Begitu beragam pembicaraan lumayan membuatku lupa
akan kecanggungan yang sempat terjadi dan bergejolak di
hatiku. Aku sampai lupa sudah berapa lama kami mengobrol,
jika saja Saka tidak pamit untuk kembali ke kedai kopinya.
Selepas kepulangan Saka, aku masih tetap duduk dan
bercengkerama dengan Rio. Membahas tentang isu-isu
terbaru seputar pekerjaan kami. Sesekali Rio juga bertanya
tentang ibuku yang hanya bisa aku jawab sekenanya. Enggan
untuk membuatnya tersinggung, tapi tak ingin membuatnya
kembali berharap terlampau jauh bahwa aku membukakan
pintu untuknya.
Aku sedang meneguk air putih di hadapanku ketika
sebuah ucapan dari seorang wanita membuatku tersedak.
“Anjir Ra, lu balikan sama Saka? Tadi gue ketemu.... Eh
maap, maap, enggak tahu kalau lu belum istirahat. Soalnya
tadi kata yang di depan langsung masuk aja.”
Kanaya! Hatiku mencelos mendengar ucapannya.
Dengan serta merta aku membelalakan mata ke arahnya.
Kesal dengan apa yang baru saja dia ucapkan. Sesuatu yang
seharusnya tak diketahui oleh Rio. Aku hanya bisa berdoa
dalam hati sekarang, semoga Rio tak mendengar dengan
jelas ucapan Kanaya tadi. Duh, kenapa Kanaya harus bertemu
317dengan Saka?
“Enggak apa-apa kok, ini emang udah waktunya istirahat.
Kalian makan dulu aja. Udah Ra, makan dulu sana. Nanti
maagmu malah kambuh.” Rio kemudian menanggapi Kanaya
Ituberarti dia mendengar apa yang tadi Kanaya katakana.
Tamatlah sudah hal yang selama ini coba aku sembunyikan.
Apa yang seharusnya bisa aku sampaikan sendiri kini justru
sudah lebih dulu didengarnya dari kecerobohan Kanaya.
Aku berusaha bersikap setenang mungkin dan tidak
menunjukkan raut wajah apa pun. “Hmmmm... kalau gitu
aku istirahat dulu ya, Mas.”
Rio hanya mengangguk dan membiarkanku serta Kanaya
menghilang dari pandangannya.
a
318Se
CHAPTER VI
“PADA JARAK YANG SEMPAT TERCIPTA,
SEBUAH RENUNG SEHARUSNYA BERKUASA*;°“Man, gue cabut dulu ya. Ntar ke sini lagi.” Aku
bersiap untuk pergi.
“Eh, kok lu jadi sering cabut gitu sih?” Kevin
berseru dari arah bar.
“Gue ada perlu dulu Man, ngurusin naskah bentar. Kan,
ntar ke sini lagi,” aku menjawab polos.
“Man, jangan suka seenaknya gitulah, ninggal-ninggalin
kerjaan.” Kevin terdengar protes.
Masalah pekerjaan, Kevin memang terkenal cukup strict.
Namun, bagaimana pun ada hal yang lebih penting untuk
kubereskan saat ini.
“Bentaran lagi naskah gue kelar. Gue janji enggak akan
izin-izin lagi. Lagian gue udah titipin bar ke Bram. Gue juga
liat-liat kali kapan bisa izin dulu. Sekiranya kedai lagi agak
sepi. Santai lah.” Aku membela diri.
“Gue cuma enggak enak sama yang lain. Lu ngasih contoh
yang enggak bener. Kalau yang lain ngikutin lu, izin-izin
di tengah kerjaan seenaknya gimana? Ngertilah, Sob. Gue
bukan mau marahin lu tanpa alesan.” Kevin berkata pelan di
depan kedai, berharap tak ada yang mendengar.
“Gue paham. Lu tenang aja, oke. Doain gue lancar, mimpi
gue dikit lagi kelar! Lu enggak pengen liat sobat lu jadi
penulis apa?” Aku berseru, menenangkan Kevin.
“Kejar mimpi boleh, tapi jangan sampe ngelukain mimpi
orang lain juga. Dah, sana pergi lu. Bawain gue makanan pas
baliknya.” Kevin menyuruhku pergi seraya kembali ke dalam
321kedai.
“Eh, Mas Sakaaa... tunggu, tunggu.” Tiba-tiba narni yang
tengah mengerjakan skripsi memanggilku. “Nitip beliin
pepaya ya, hehe. Ini uangnya. Kalau lebih kasihin tukang
buahnya aja, jangan kasih kendor, eh jangan kasih kucing,”
canda Narni.
“Kok, tumben enggak semangka?” Aku bertanya.
“Karena udah ada Mas Bram yang bisa semangka-in
akuuu... hehehe.” Narni tertawa.
“BODO!” Aku berteriak seraya pergi meninggalkan Narni.
Naskah mendekati akhir, tinggal beberapa hari menuju
deadline. Aku dan Ana berusaha menyelesaikannya lebih
cepat. Ana yang tengah sibuk mengurusi skripsi tidak punya
terlalu banyak waktu untuk pergi selain di daerah dekat
kampusnya.
Mau tidak mau aku yang harus pergi ke tempatnya.
Obrolan via chat tidak bisa kami lakukan demi kelancaran
kesempurnaan naskah. Lara sudah mengingatkan Ana
perihal deadline. Aku penasaran kenapa dia tak langsung
mengingatkan aku saja. Padahal kan bisa saja.
Atau, mungkin masih perlu waktu bagi dirinya setelah
pertemuan kemarin. Terlihat dari matanya saat dia pamit
waktu itu. Masih ada hal yang tersisa dalam dadanya yang
belum semua tersampaikan. Meski aku tahu, aku tak berani
untuk memintanya. Memintanya mengatakan secara jujur
apa yang masih mengganjal dalam dirinya. Aku tak punya
322kuasa akan permintaan itu. Tapi, setidaknya aku berhasil
untuk satu hal. Aku berhasil mengambil foto Lara secara
tiba-tiba saat dirinya sedang meneguk cappuccino. Ya, meski
akhirnya dia menghadiahiku tatapan sebal.
Namun tahu bahwa Lara kini baik-baik saja sudah lebih
dari cukup bagiku. Aku perlu lebih hati-hati dalam bertindak
di hadapan perempuan. Benar kata Kevin, kita tidak bisa
memandang hal yang sama dari dua raga yang berbeda.
Apakah itu? Apakah Ana yang ternyata mengganjal
untuk Lara. Aku tidak yakin, Lara seharusnya cukup pintar
dan mengerti mengenai hubunganku dan Ana. Dari caraku
memperlakukan Lara saat pertama kali bertemu bersama
atasannya juga Ana, Lara seharusnya tahu tidak ada yang
sedang terjadi antara aku dan Ana.
“Aku cuma punya waktu satu jam untuk kita diskusiin
ending ceritanya nih. Soalnya, aku masih harus lanjutin
penelitian, terus ketemu dosen. Huhu,” keluh Ana saat aku
temui di salah satu kedai kopi kecil di dekat kampusnya.
Terlihat beberapa kertas penelitian, tumpukan hasil
print skripsi milik Ana yang tergeletak di meja, dan beberapa
surat lainnya yang tidak aku ketahui.
“Eh, IELTS? Itu hasil tes IELTS? Buat apa?” Terlihat
salah satu amplop putih besar di atas meja yang menarik
perhatianku.
“Oh ini, buat perlengkapan beasiswa. Baru keluar
beberapa hari lalu, terus harus segera kukirim buat data-data
323pengajuannya.” Ana menjelaskan sembari membuka laptop.
“Wah, kamu mau langsung $2? Di mana?” aku bertanya
antusias.
“Di London, hehe,” jawab Ana singkat.
Aku lalu menyemangatinya untuk semangat melanjutkan
sekolah. Bagi Ana, psikologi hal yang cukup penting bagi
kehidupan manusia. Keinginan untuk membantu banyak
orang terlihat dari caranya belajar, meski aku belum pernah
berbincang mengenai alasan dia mengambil jurusan itu. Atau,
tentang apa saja yang sudah dia pelajari perihal psikologi.
Kembali ke laptop masing-masing, lihatlah kami berdua.
Waktu yang harusnya dapat kita genggam sekarang tengah
menguasai kita. Kita yang dikejar waktu. Menuntut kami
untuk segera menyelesaikan naskah.
“Ini jadi mereka setelah baikan, enggak balikan nih? Eh,
wow, it’s rhyme! Hahaha.” Ana berseru.
“Hahaha ya, it is! Emm.... Tapi, menurut kamu gimana?”
Aku bertanya balik.
“Kalau abis balikan common banget enggak sih? Semua
seneng aja gitu?” Ana bertanya memastikan.
“Hmm, kalau kita bikin sebel pembaca aja gimana? Kita
bikin scene seolah-olah mereka balikan padahal... ya, enggak
tahu. Hahaha. Bikin pembaca bertanya-tanya aja mereka
balikan atau enggak. Bikin gantung! Pasti pembaca sebel.
Hahaha.” Aku berseru.
“Dih, jail banget jadi penulis. Disebelin pembaca baru
324tahu rasa deh. Tapi iya juga deng, siapa tahu dengan akhir
yang gantung malah jadi bisa bikin lanjutannya. Rezeki siapa
yang tahu kan?” Ana berpendapat.
Akhirnya kami setuju, membuat cerita menggantung dan
menyisakan tanya himgga akan membuat pembaca merasa
gemas. Ah, hidup memang selalu seperti itu bukan? Tujuan
kami membuat cerita ini bukan hanya untuk memberikan
perasaan bahagia dan kepuasan dari hubungan yang akhir-
nya kembali. Karena jika seperti itu, aku takut pembaca akan
fokus hanya pada akhir. Bukan proses itu sendiri, yang dilalui
oleh kedua tokoh dalam cerita kami.
Sedikit banyak aku belajar dari Ana, tentang beberapa
karakter pembaca yang cukup mementingkan teknis. Pesan
yang seharusnya sampai hanya akan membias dalam cara
pandang pembaca seperti itu.
Namun bagaimana pun kita tidak bisa menuntut apa-apa
dari pembaca. Bagaimana pun pembaca adalah malaikat bagi
para penulis. Aku dan Ana hanya berharap substansi tulisan
kami dapat sampai dengan semestinya.
Dengan menulis buku, aku bisa belajar untuk bisa menjadi
pembaca yang bijak. Dari beberapa buku yang akhirnya
aku baca, aku mengetahui kekurangan, kejanggalan, atau
ketidaksempurnaan dalam setiap tulisan. Tapi jika itu
dikesampingkan, aku bisa fokus pada keutuhan cerita, pada
rentetan kejadian yang coba disuguhkan oleh penulis.
Seperti benang jaring laba-laba yang membentuk
325pemahaman dan memberi pengetahuan perihal sesuatu.
Fokus aku sebagai pembaca, bukan pada cerita yang aku
harapkan terjadi. Aku justru mencari apa yang sedang
disembunyikan penulis agar dapat aku temui di titik-titik
kosong ceritanya.
Satu jam bersama Ana cepat selesai, aku segera kembali
ke kedai kopi. Terlihat Kevin sedang sibuk di bar. Narni
sendiri masih duduk di mejanya, mencuri-curi kesempatan
menatap punggung Bram.
“Heh, punggung kok diliatin, kerjain itu skripsi!” Aku
mengagetkan Narni dari belakang, sembari memberikan
bungkusan yang berisi pepaya kepadanya.
“Mas, itu punggung Mas Bram kok kayaknya dingin ya.”
Narni berbisik.
“Hah? Emangnya kenapa?” Aku bertanya heran.
“Enak kali ya guling-guling di situ,” jawab Narni lugu,
seraya membuka pepaya dalam bungkusan di depannya.
Harusnya aku tahu Narni akan berkata seperti itu. Ingin
sekali rasanya aku meminta lima detikku kembali.
“Sak, makanan gue mana?” tanya Kevin dari balik bar.
Aku melangkah dan duduk di depannya sambil
memberikan bungkusan makan siangnya. Kami berbincang
mengenai naskahku yang sebentar lagi akan rampung, lalu
tentang pekerjaan di Coffee and Drama.
“Gue, engak maksud buat halangin mimpi lu yang lain,
Sak. Gue akuin kerjaan lu selalu beres kok. Tapi, ini pesen
326dari Yuda. Lu udah sering banget izin kalau lagi in charge .
Gue enggak bisa terus-terusan belain lu. Yuda mungkin sibuk
sama urusan lainnya, tapi dia bener buat ngingetin kerjaan-
kerjaan kita. Ngingetin kelancaran operasional. Gue bisa aja
santai karena gue udah paham perangai lu, tapi di sini ada
orang lain juga.” Kevin mulai menegurku dengan lembut.
Tidak ingin mengacaukan pertemanan kami.
“Tya, gue akuin gue agak seenaknya sih. Cuma, gimana
Sob kalau emang bisa gue kerjain di sini, gue kerjain deh. Tapi,
gue mesti cabut buat nyamperin Ana di deket kampusnya.
Doi lagi sibuk banget. Gini, gue cukup paham akan peraturan
di sini. Gue enggak maksud banding-bandingin, tapi untuk
prioritas mau enggak mau harus gue bikin perbandingan.
Urusan naskah ini cuma sebulan, udah itu beres. Sedangkan,
operasional di sini kan enggak lagi dalam keadaan urgen dan
mendesak.” Aku berpendapat.
“lya, gue paham. Ini gue ngingetin lu aja lagi. Karena
gimana pun, Bram sama si Agil juga pasti merhatiin lu. Belum
lagi itu si Joni, barista yang baru perlu juga diajarin dan
disupervisi. Gitulah pokoknya. Anyway, Lara gimana?” Kevin
bertanya sambil mengunyah makanannya.
“Iya, iya, gue paham. Bentar lagi kelar. Hmm, she’s good.
Kemaren pas ngajak ketemu itu doi marah parah sama gue.
Gue kira bakal baik-baik aja ato seneng gue kasih kejutan.
Tapi so far, udah gue jelasin.” Aku bercerita.
“Geblek emang lu, ya iyalah marah. Lu udah di sini
327beberapa lama baru ngabarin. Sekalinya ketemu sama cewek
lain.” Kevin memarahiku.
“Tapi, dia enggak marah soal itu. Doi marah soal buku
yang gue tulis.” Aku berkata pelan.
“Emang kenapa buku yang lu tulis? Iya, gue juga belum
tahu buku lu tentang apaan,” ucap Kevin.
“Dia ngira gue ceritain tentang dia. Well, iya, tapi juga
enggak. Maksud gue, tokoh yang gue tulis emang terinspirasi
dari cerita gue ama dia. Tapi itu perasaan gue, dan gue enggak
nyeritain dia. Karena....” Belum selesai aku menyelesaikan
kalimatku, semburan nasi dari mulut Kevin hampir meledak
di mukaku.
“GUOBLOKKK!” seru Kevin.
“Anjritt!” seruku seraya mengusap remahan nasi yang
terlempar di wajahku.
“Kok, begok sih lu?!” Kevin masih kesal.
“Lu yang begok itu nasi pake nyembur di muka gue
segala!” keluhku.
“Ya, lu pantes disembur nasi, daripada disembur air
mata Lara, mau lu? Biar tahu perihnya doi?” Suara Kevin
sedikit berteriak.
“Sama aja coy, asin pasti rasanya,” jawabku pelan.
“Otak lu isinya apaan sih? Makan aja burger, tapi yang
nyangkut di kepala malah rempeyek teri,” ujar Kevin
semakin kesal.
“Gue udah minta maaf. Gue tahu salah gue, dan doi udah
328maafin gue. Udah baik-baik aja, udah gue jelasin maksudnya
apaan.” Aku menenangkan.
“Saka, doi masih marah! Doi cuma enggak pengen lu
enggak tenang karena doi masih marah. Itu pertama. Kedua,
dia masih marah karena lu bikin cerita terinspirasi sama
kisah lu ama Lara, tapi nulisnya bareng cewek lain! Ketiga,
dan kalau bener doi udah maafin lu, satu-satunya alasan doi
maafin cowok gondrong depan gue ini, karena doi sayang
sama lu! Paham enggak sih lu, rengginang lebaran?” Lagi,
Kevin mengepalkan dua tangannya di kiri-kanan kepalaku.
“Udah gue bilang, Ana bukan cewek laiiiin....”
“Tapi, itu cewek laiiiin... buat Laraaaa....”
“Lah, mereka juga baik-baik aja.”
“Keliatannya doaaaang.... Lu tahu kalau perempuan
adalah master of mendem? Ah elu, master of gendeng! Lu
nyakitin dua perempuan sekaligus, gilak.”
“Hhhh. Gue enggak perlu lagi jelasin tujuan gue ngangkat
tulisan ini ke lu. Lara udah paham. Nanti kalau bukunya
udah terbit juga lu paham. Sekarang gue cuma keliatan
jahat banget karena apa yang lu bilang tadi. lya, gue ngerti
semua orang yang gue ceritain pasti mandang gue jahat. Dan,
gendeng. Karena mereka enggak suka cara gue, karena....”
“Karena emang lu nyebelin!”
“Karena hal yang baik dan buruk sekarang cuma
masalah suara. Cuma masalah mana yang lebih banyak
disetujui perihal yang bener dan salah itu gimana. Orang
329cuma mandang apa yang terjadi. Mana mau orang capek-
capek mikir maknanya. Lara yang bakal buktiin. Karena
satu-satunya yang ada di kepala gue kenapa Lara maafin gue
adalah karena Lara paham apa yang gue lakuin. Dia sakit hati
atau terluka, itu karena dunia, karena elu, dan orang-orang
yang kalau emang seandainya mereka tahu, merekalah yang
nentuin kalau Lara udah gue sakitin. Yang mau enggak mau
itu yang bikin Lara ngerasa disakitin. “ Aku menjelaskan
dengan serius.
Aku paham Kevin menasihatiku karena peduli kepadaku.
Karena tak ingin aku hanya menjadi lelaki brengsek yang
bertindak sesuka hati. Tapi, nurani tetap keras kepala pada
makna yang ingin ditujukkannya kepada semua orang.
Aku pun yakin Lara merasakan hal yang sama. Aku yakin
mungkin Lara juga cemburu pada Ana. Tapi, aku hanya yakin
pada nilai-nilai hikmah yang tak pernah bisa langsung mekar
laiknya bunga.
“Terus Ana, dia udah tahu kalau lu nulis terinspirasi dari
kisah lu?” Kevin kini bertanya pelan.
“Hmm, dia akan tahu dan dia baik-baik aja.” Aku coba
menenangkan keadaan lagi.
“Lu tahu dari mana dia bakal baik-baik aja? Doi sebegitu-
nya sama lu, bahkan ngajakin lu bikin buku bareng. Sebuah
kesempatan yang jarang dan besar, sekalinya ada dia malah
ngajakin elu? Lu emang enggak ngerasa kalau dia juga mungkin
punya perasaan yang lebih ke elu?” Kevin memastikan lagi.
330“Gue paham, tapi... Hah. Plis, enggak akan ada yang sakit
hati, Coy. Ana bakal paham, bahkan gue mikir dia malah
udah paham. She’s smart as hell.”
“Saka, lu cuma berharap mereka bakal baik-baik aja, biar
lu enggak ngerasa terlalu bersalah sama mereka. Lu memaksa
mereka buat baik-baik aja sesuai kepengenan elu.”
“Hah, ya udahlah Bro enggak ada gunanya gue jelasin
ke elu. Lu pengen gue salah, well here I am.” Aku beranjak
dari kursi. Perdebatanku dengan Kevin membuatku mem-
butuhkan minuman yang menyegarkan.
“Bram, pengen milky berry dong.” Minuman menyegarkan
di Coffee and Drama ini salah satu favoritku, juga beberapa
tamu yang datang ke mari. Perpaduan rasa stroberi dan jeruk
akan sangat berhasil untuk membawa mood-ku kembali.
Aku duduk di sebelah Narni yang tengah mengerjakan
skripsinya, seraya mengambil satu potongan buah pepaya
yang tersisa.
“Mas Sakaaaaa.... Itu pepaya terakhir Narniiii...! Kok,
jahat sih?” Narni mengeluh.
“lya, aku jahat.” Aku tak menatap Narni, sibuk
mengunyah pepaya hingga habis.
“Wah, ini pasti ada apa-apa nih sampe bikin Mas Saka
jahat gini. Abis ngobrol sama Mas Kevin, sampe jadi jahat
gini?” tanya Narni.
“Abis aku ceramahin, Nar.” Kevin tiba-tiba duduk di
sebelahku.“Hah, diceramahin apa? Ceramah kok siang-siang gini.
Biasanya malem abis Isya,” celetuk Narni.
“Dude, gue paham maksud lu. Gue bukannya pengen
lu mengakui bahwa lu jahat atau lu salah. Sorry, gue cuma
pengen lu paham aja. Ada hal yang sering disembunyiin
sama perempuan untuk ngelindungi lelaki yang mereka
sayang. Memendam kemarahan atau kekecewaan mereka.
Yang lelaki perlu lakuin adalah membiarkan kemarahan itu
keluar. Pastiin aja itu keluar dan tersampaikan. Itu aja pesen
gue. Gue yakin, Lara sama Ana emang perempuan hebat dan
dewasa.” Kevin memegang pundak sebelah kananku sambil
tersenyum.
Bram terlihat menghampiriku dan memberikan milky
berry kepadaku. Aku langsung meminumnya hingga setengah
gelas habis. Andai saja ada kata yang pas untuk rasa ini, aku
ingin mengatakan milky berry itu sangat menggemaskan.
Mampu membuat senyumku kembali. Atau, entah perkataan
Kevin yang membuat mood-ku akhirnya kembali.
“Gue ngerti Man, tenang aja.” Aku tersenyum kepada
Kevin setelah meneguk milky berry.
“iiiih... kalian kok mesra banget? Jangan-jangan habis
ini mau ciuman lagi. Plis, plis, Narni masih kecil enggak boleh
liat yang kayak gitu,” seru Narni polos.
“Kenapa, kamu udah lama ya enggak ada yang megangin
pundaknya?” Aku menjahili.
“th, enak aja. Pundak Narni tuh mahal. Cuma tangan-
332tangan terpilih yang boleh megang. Hih!” seru Narni.
“Bram, pengen pesen lagi dong,” pintaku kepada Bram.
“Milky berry lagi, Mas?” Bram memastikan.
“Bukan, pesen satu tangan lembut buat Narni.
Hahahahahaha.” Aku terbahak. Kami semua terbahak di
depan bar. Narni sendiri hanya menggerutu jengkel.
Kadang, bahkan seringnya, hal seperti ini yang sulit
untukku meninggalkan Jogja. Mereka memang bukan
keluargaku. Mereka hanya seseorang yang sangat peduli dan
menunjukannya dengan cara sendiri.
Terkadang memang cara orang peduli kepada kita terasa
seperti menjatuhkan dan memojokkan. Ya, bahkan apa
yang aku katakan tentang orang-orang yang hanya melihat
apa yang terjadi dan tampak di mata mereka, benar-benar
kembali dan menampar wajahku saat ini juga.
Karena apa yang berusaha Kevin sampaikan kepadaku,
bukan perihal menyudutkanku untuk menjadi orang yang
salah. Hanya memang itu caranya untuk memperlihatkan
bahwa dirinya peduli kepadaku. Hidup kadang memang
sebegitu menggemaskan, bukan? Seperti milky berry yang
baru saja aku habiskan.
333“Ttu tadi siapa Ra? Cakep juga, rapih, asyik
ngeliatnya.” Kanaya membuka obrolan ketika
kami sudah berada di dalam mobil.
Aku memejamkan mata sambil memijat pelipis, dan
menyelonjorkan kaki dengan menarik ke belakang kursiku.
“Rio,” jawabku singkat.
“SUMPAH? DEMI APA? NJIR, GUE SALAH NGOMONG
KAYAK TADI DONG?” Kanaya berteriak kaget karena jawaban
yang kuberikan.
“Enggak usah teriak-teriak Nay, udah telanjur. Lagian lu
pinter banget, dateng-dateng main nyerocos aja enggak liat
sikon dulu,” ocehku kepadanya.
“Gue enggak tahu kalau di depan lu ada dia. Sumpah, dari
arah pintu tuh cuma keliatan lu sendirian. Lagian gue tadi
tuh syok, papasan sama Saka di depan. Lagian dia ngapain
ke sini sih? Saka bukannya di Bandung, kok malah di Jogja?
Lu beneran balikan sama Saka? Terus, itu Rio tadi ketemu
Saka juga?” Kanaya menghujaniku dengan pertanyaannya
yang justru membuatku bingung harus menjawab yang mana
lebih dulu.
“Laraaaaa... lu kok diem aja sih? Jawab, kek.”
“Gue kira lu masih mau nyerocos nanya borongan lagi.
Jadi, udah nih nanyanya?” Aku bertanya memastikan.
Kanaya menggaruk tengkuk sambil terkekeh, “Iya, juga
ya. Sori, Ra. Gue kaget doang. Gimana gimana? Jawab dulu
sekarang.”
334Aku menghela napas sebelum akhirnya menjawab
berondongan pertanyaan Kanaya. “Pertama, Saka ke kantor
gue karena doi mau tanda tangan kontrak. Jangan nanya
dulu, biarin gue jawab semuanya dulu. Gue ceritain. Kedua,
gue enggak balikan sama Saka. Ketiga, iya Rio ketemu Saka,
secara Rio juga kerja di situ. Keempat, Saka tinggal di Jogja
sekarang, sementara sih. Udah lengkap belum tuh jawaban
gue?” aku menjelaskan.
“Kita makan di sini aja deh ya, Ra. Gue lebih antusias
denger lu cerita sampe laper gue ilang.” Kanaya kemudian
menepikan mobil setelah menemukan warung soto lenthok
yang menjadi makanan favorit kami berdua.
“Dasar tukang gosip. Serah lu aja deh, Nay.” Aku
melepaskan sabuk pengaman, kemudian segera turun
mendahuluinya.
Usai memesan makanan Kanaya langsung menodongku
bercerita. “Saka tanda tangan kontrak apa sih, Ra?”
“Penerbitan buku, doi nulis buku, Nay. Di Penerbit gue.
Semesta becandanya suka kelewat iseng. Gue yang jadi
editornya dia. Gue yang secara enggak langsung nawarin
dia untuk bisa nulis. Ya, enggak literally ke dia sih. Tapi, ke
temennya, eh apa pacarnya ya. Gue enggak tahu dan enggak
mau tahu juga. Intinya ngajak dia buat kolaborasi bikin buku.
Hahaha, bego banget enggak sih?” Aku tersenyum kecut,
menertawakan diriku sendiri.
“Gileeeeee... asli? Lu berdua tuh enggak bisa banget
335kayaknya dipisahin ya. Ada aja hal-hal yang menjadi alesan
lu bisa ketemu Saka lagi. Bentar-bentar, tadi lu bilang pacar?
Emang doi udah punya pacar?” Kanaya kembali bertanya
padaku.
“Gue males sebenernya cerita ini, karena ini udah
jauhhhhh... banget kejadiannya. Dan gue capek, capek harus
inget-inget lagi.”
“Ah elah Ra, kita enggak bakal ke mana-mana sampe lu
ceritain semuanya ke gue. Se-mu-a-nya.” Kanaya menegaskan
kalimat ‘semuanya’, Menuntutku untuk menceritakan
segalanya tanpa ada yang terlewati.
Pesanan kami datang. Memberikan aku jeda untuk
mempersiapkan diri kembali bercerita kepada Kanaya. Aku
semakin tak ada nafsu makan saja rasanya sekarang. Sudah
terlalu penuh akan cerita serta rasa yang tiba-tiba memeluk.
“Jadi tuh, hampir sebulan lalu, Rio, Pemred gue yang
kata lu cakep itu, minta gue untuk review beberapa akun Blog.
Singkat cerita, gue ngehubunginlah orang ini buat minta
kesediaan dia untuk nulis buku. Cewek, namanya Riana. Gue
sempet enggak megang proyek ini karena kerjaan gue as
always selalu segambreng. Tapi, mungkin emang udah takdir,
gue kejeblos lagi di proyek ini. Rani, editor satunya lagi,
nyerah buat nanganin projek kolaborasi mereka. Si Riana ini
menawarkan karya kolaborasi berupa penceritaan dari dua
sudut pandang gitu deh.”
Aku memberikan jeda dengan mulai melahap soto yang
336sedari tadi hanya kuaduk saja. “Gue enggak tahu kalau
partner kolaborasi Riana adalah Saka. Sampe akhirnya gue
ketemuan dengan dia bareng Riana dan Rio juga. Sumpah, itu
momen paling awkward yang pernah gue alamin. Gue ketemu
lagi sama Saka dengan kebetulan yang terlalu kebetulan.
Damn! Gue yang tadinya antusias mau ngerjain proyekan itu
jadi lemes setelah tahu Saka itu salah satu penulisnya.”
“Lemes karena Saka yang mendadak ketemu sama lu
lagi, atau lemes karena Saka deket sama si Riana?” Kanaya
menaikkan sebelah alis dan mengeluarkan pertanyaan untuk
menggodaku.
“Enggak usah mulai deh, Nay. Saka mau sama siapa juga
itu terserah dia. Toh, gue enggak ada apa-apa sama dia lagi.
We’re friend.” Aku berusaha meyakinkan Kanaya, meski aku
sendiri ragu oleh pernyataanku itu.
“Temen masih demen maksud lu? Lanjut lagi, terus
gimana ceritanya?”
“Gue agak kesel juga sih, soalnya setelah ketemu itu tuh
Saka enggak ada ngehubungin gue atau apa gitu kek. Diem-
diem aja gitu, kayak enggak terjadi apa-apa. Terusssss... ini
terngeselin lagi sih, sumpah gedek banget gue. Gue ditegur
Rio karena gue jadi sok sibuk dan enggak ada progress apa-
apa sama naskah Saka sama Riana. Gue waktu itu baru
menemukan sebuah hal yang bikin gue setengah mampus
mau bejek-bejek Saka. Yaitu... isi buku yang dia kerjain itu
ceritanya kayak gue sama Saka. Mulai dari awal ketemu,
337putus, sampe ya udah nerima dengan keadaan. Kan, sial
banget.”
Kanaya yang sedang minum es jeruk pesanannya
kemudian tersedak dan tertawa mendengar ceritaku.
“Huanjirr... hahahahaha... Kok, gue malah mau ngakak
daripada turut berduka atas cerita lu ya, Ra. Terus, terus?”
“Lu dari tadi cuma terus terus aja. Emang lu kira lagi
parkir? Komen kek, apa kek,” sahutku ketus.
“Nanti gue komentar, lu cerita dulu lah, Neng.”
“Ya udah, abis disemprot sama si Rio gue langsung
ngajak Saka ketemu besoknya. Dia cerita kalau emang
sekarang tinggal di Jogja karena lagi buka kedai kopi. Dan, lu
tahu? Saka tuh resenya ya, Tuhan, mau gue jambak. Sumpah!
Gue kan udah sinis dan emosi tuh, eh dia ngejelasin tentang
tulisannya itu dibilang hanya sekadar terinspirasi. Sampe
dia tuh ngomong gini ke gue, ‘Kamu tahu bahasa Indonesia
kan, Ra? Tahu arti terinspirasi kan, Ra? Aku cuma jelasin dari
sudut pandangku aja, bukan sepenuhnya tentang kamu. Jir...
gue di situ rasanya mau banget jedotin kepalanya ke tembok.
Heran kenapa dia bisa sesongong itu.” Aku bercerita kepada
Kanaya dengan antusias.
“Kalem, kalem. Api kayaknya berkobar banget pas lu
cerita. Hahaha. Terus, lu jedotin enggak kepalanya? Pasti
enggak, ya kan?” Kanaya masih saja menggodaku.
Aku hanya diam dan beralih menghabiskan makananku.
Memakannya dengan lahap karena entah kenapa setelah
338menumpahkan segalanya kepada Kanaya, segala hal yang
sedari kemarin mengganjal di kerongkongan dan dadaku
mendadak lenyap.
“Lu akhirnya nerima penjelasan dia, tapi kan?” Kanaya
kembali bertanya.
“Di depan dia iya, tapi udahannya masih enggak terima.
Kalau sekarang mah udah nerima. Kayak apa ya, masuk akal
aja semua yang dia bilang,” ucapku kemudian menyeruput es
teh manis yang begitu menggoda di tengah terik Jogja siang
ini.
“Sampe kapan sih, Ra?”
“Apanya sampe kapan?” Aku mengernyit mendengar
pertanyaan Kanaya.
“Sampe kapan lu terus-terusan denial kalau lu masih
sayang sama Saka? Sampe kapan lu sama Saka sama-sama
egois buat ngakuin kalau kalian tuh masing pengen nyoba
untuk bareng-bareng lagi? Sampe kapan kalian gedein gengsi
kalian itu?”
Pertanyaan Kanaya barusan membuatku tersentil. Ada
yang mengusik nuraniku setelahnya. “Nay, udah selesai.
Semuanya udah selesai. Antara gue sama Saka semuanya
udah berakhir. Apaan sih lu malah ngomong gitu?”
“Ra, sekarang lu pikir deh. Saka tuh mungkin banget
buka kedai kopi di Bandung. Ya elah, temen doi lebih
banyak di sana. Tapi, kenapa dia milih di Jogja? Karena lu,
Ra. Karena, dia mau ngejar lu. Jangan bego kenapa, peka
339dikit. Itu yang pertama. Yang kedua, kenapa doi nulis buku
sampe terinspirasi dari cerita lu sama dia? Karena, dia masih
sayang sama lu. Karena, lu penting, Ra. Dia pengen jelasin
apa yang selama ini dia rasa. Tapi, karena komunikasi di
antara kalian enggak baik terus ada kesempatan yang sangat
mungkin membuat lu nyadar, maka dia pakelah kesempatan
itu. Inspirasi banyak di mana-mana, pengalaman doi juga
banyak, tapi doi milih tentang kalian. Ka-li-an, itu artinya
emang ada yang belum bener-bener selesai di antara lu sama
dia. Ngerti, Ra?” Kanaya coba menjelaskan.
Aku hanya diam mencerna semua ucapan Kanaya
tanpa hendak menyangkalnya sama sekali. Kali ini semua
argumen Kanaya entah kenapa memang terasa begitu benar.
Aku kemudian hanya menatap mangkuk sotoku yang telah
tandas, dan hanya tersisa kuahnya yang sekarang sedang aku
aduk-aduk.
“Lu itu kenapa sih Ra, terus nyangkal perasaan lu ke
Saka? Takut apa? Takut bertepuk sebelah tangan? Saka
enggak akan ada di Jogja, saat ini, detik ini, dan bikin usaha
kedai kopi itu kalau bukan karena perasaan dia ke lu. Taruhan
sama gue! Apa yang lu takutin lagi sih Ra? Takut ngelukain
Saka karena lu nantinya akan melakukan hal kayak kemarin?
Itu pe-er lu, Ra. Lu, harus bisa nerima dia sepenuhnya dan
seutuhnya. Seinget gue, lu adalah orang yang paling bisa
nerima semuanya yang telah terjadi. Lu selalu bisa bikin hal-
hal yang negatif jadi positif dengan isi kepala lu itu. Tapi,
340kenapa kali ini enggak? Apa yang lu cemasin lagi Ra?”
Aku tak jua menjawab pertanyaan Kanaya. Rasanya
terlalu penuh saja untuk mengungkapkan semua. Kanaya
memang seperti menyudutkanku, tapi aku tahu semua yang
dia ucapkan adalah benar. Tentang ketakutan-ketakukanku,
tentang semua kekhawatiranku, bahkan tentang perasaanku
kepada Saka.
Melihatku yang masih saja diam tak bergeming, Kanaya
kembali mengajukan pertanyaan yang akhirnya mampu
membuatku menitikkan air mata.
“Buat lu, Saka itu apa? Seberapa besar pengaruh Saka
buat lu, Ra?”
“Saka tuh, Saka tuh satu-satunya yang gue mau, Nay.
Gue ngerasa cukup dengan kehadiran dia. Gue ngerasa
enggak harus nyari apa-apa lagi buat apalah itu namanya
ngelengkapin. Tapi, gue... gue takut Saka berubah jadi enggak
baik lagi, Nay. Gue capek, capek berjuang sendirian buat
bikin hubungan ini jadi serius. Sedangkan Saka, dia enggak
keliatan berjuang. Dia malah balik ke awal lagi. Gue capek
untuk itu Nay, wasting time.” Aku menghela napas setelah
berhasil menjelaskan isi hatiku kepada Kanaya.
“Hei, hei, Ra, kalau berurusan dengan berjuang, enggak
ada namanya buang-buang waktu. Belajar dari kesalahan,
Lara Sayang. Cara setiap orang berjuang itu beda-beda. Kalau
lu ngerasa cukup dengan hadirnya Saka di hidup lu, ya udah
terima dia sepenuhnya dan seutuhnya sebagai apa pun dia.
341Kalau lu berjuang dengan nerima dia tanpa ada lagi tuntutan,
gue percaya Saka akan berjuang untuk bisa ngikutin mau lu
tanpa ngerasa dituntut. Sebab dia tahu, dia memang harus
berubah buat dirinya, dan buat selalu bisa jagain lu.” Kanaya
meyakinkanku dengan pernyataannya.
Aku kemudian menangkupkan kedua tanganku ke wajah.
Berusaha meredam suara tangisanku dan berusaha menyeka
air mata yang mengalir karena aku masih harus kembali ke
kantor.
“Gue bayar dulu, lu langsung ke mobil. Tenangin diri
lu dulu baru abis itu gue anter ke kantor lagi.” Kanaya
memberikanku kunci mobil lalu segera berdiri untuk
membayar makanan kami.
a
Semenjak bukuku dan Ana rampung, kami juga
sudah tanda tangan kontrak, aku dengan Lara
semakin sering berhubungan. Namun, hubungan
kami masih sebatas urusan pemilihan cover buku dan promosi
untuk persiapan penjualan online. Masih ada benteng samar
yang membatasi kami.
Pertemuan dengan Lara saat tanda tangan kontrak
kemarin, aku rasa telah membawa kami pada keadaan yang
semakin baik. Pada perasaan yang semakin melaju meski
342perlahan. Seperti dayung yang santai di atas arus tenang
dengan ombak-ombak kecilnya yang menjahili. Aku cukup
tenang bagaimana aku akhirnya bisa berbincang dengannya
lagi. Seketika saat itu kami seperti kembali pada kami yang
memang seharusnya, tetapi masih pada batas yang menyekat
nurani.
Masih merasa kami belum bisa sepenuhnya, kembali. Itu
yang kini aku pikirkan. Kembali ke mana sebenarnya yang
aku inginkan. Karena kembali baik dengan Lara sebetulnya
sudah terjadi, tapi anehnya tidak membuatku merasa cukup.
Ada sebuah kembali yang sepertinya masih sangat aku
inginkan.
Karena sudah kuduga, atasan Lara tidak mungkin
biasa saja kepadanya. Satu hal yang aku pahami, kita tidak
seharusnya merasa canggung jika memang tidak ada apa-apa.
Meski Lara tidak begitu pandai mengatasi kecanggungan,
aku paham keresahannya. Oh, ingin sekali aku berbisik ke
telinganya bahwa dirinya tidak perlu secanggung itu. Karena,
tidak ada kecemburuan sedikit pun dalam diriku.
Aku cukup mengerti mereka setiap hari menghabiskan
waktu bersama lebih lama. Berbincang lebih sering. Hal yang
tidak pernah aku dapatkan dari Lara. Tapi, itu tidak pernah
menjadi perhitungan bagiku. Jumlah temu dan intensitas
percakapan, bukan hal yang pantas untuk diperhitungkan
dalam sebuah perasaan. Aku hanya cemburu, jika aku tahu
bahwa ada hal yang lebih menarik hatinya. Bukan hal yang
343menarik perhatiannya saja.
Namun bagaimana pun, lelaki itu adalah salah satu orang
yang membantuku untuk bisa membuat buku ini bersama
Riana. Aku tetap harus menghormatinya sebagai hubungan
penulis dan penerbit. Juga sebagai lelaki yang diam-diam
berusaha mendapatkan Lara. Aku hanya perlu paham, dia
juga lelaki, sama sepertiku yang mempunyai hak untuk jatuh
hati kepada seorang wanita.
“Gimana perasaan kamu setelah bikin buku?” Aku
bertanya kepada Ana.
“Mmm... enggak tahu. Aku masih enggak percaya aja
akhirnya aku nulis buku, hahaha. Kamu sendiri gimana?”
Ana balik bertanya.
“Aku enggak tahu perasaan ini. Aku jadi penasaran,
kenapa dulu aku enggak menganggap nulis buku adalah hal
yang memungkinkan untuk terjadi di hidup aku ya?” Aku
meninggalkan Ana dengan pertayanyaan lain.
Suatu saat saat aku tengah libur, aku dan Ana bertemu di
Coffee and Drama untuk berbincang. Ini adalah kali kedua Ana
yang kebetulan sedang bisa santai, kembali mengunjungi
Coffee and Drama. Kami bicara mengenai bagaimana respon
pembaca terhadap buku kami nanti. Apa yang kami harapkan
dan apa saja kemungkinan yang terjadi setelah buku kami
terbit. Akankah kita menjadi orang yang berbeda atau masih
terasa sama. Masa depan yang sebentar lagi akan terjadi
masih saja kami tebak-tebak.
344“Yah, semua hal emang terlihat enggak mungkin sebelum
hal itu terjadi. Eh, malah saat udah terjadi jadi kerasa aneh.
Kenapa? Karena kita enggak pernah menganggap hal itu
mungkin. Diri kita aja yang enggak siap menerima kejadian
itu, makanya jadi aneh. Tapi, menurutku itu aneh yang baik.
Hahaha,” jawab Ana sambil bergurau.
Aku menyetujuinya. Semua hal yang tidak pernah kita
sangka selalu membuat kita hanya tertawa geli, takjub, dan
konyol di saat yang sama, seperti sekarang.
“Apa yang bikin kamu ambil Jurusan Psikologi sih?”
Aku mulai bertanya tentang hal-hal yang belum kuketahui
tentang dirinya. Ana meneguk Milky berry di tangannya
sebelum menjawab.
“Banyak banget sih kalau ditanya alesannya, tapi aku
ingin mengerti manusia sampai di titik paham. Sampai pada
titik itu, aku merasa aku udah bisa mampu untuk bisa bantu
orang lain yang membutuhkan,” jawab Ana bijak.
“Emang harus psikologi? Enggak jadi psikolog juga
kamu bisa bantu banyak orang dengan cara lain kan?” Aku
berpendapat.
“Ya, aku tahu. Tapi, kamu sadar enggak kalau dua orang
yang lagi curhat masalah masing-masing, hal yang tumbuh
dalam dua orang itu adalah rasa empati terhadap masalah
temannya satu sama lain. Keluhan itu adalah sebuah akibat
dari sesuatu yang terjadi. Saat kita sebagai teman baik bisa
ngasih solusi pada akibat itu, aku justru ingin mengerti apa
345akar dari penyebabnya.” Ana menjawab.
“Dulu banget aku pernah ke rumah sakit karena punya
maag yang sering ganggu. Selesai diperiksa aku dapet respon
lucu dari dokternya saat aku ceritain apa aja yang jadi
penyebab maag aku. Dokter itu enggak mau nanganin aku,
dan malah ngasih aku surat rujukan ke psikiater. Hahaha.
Saat itu aku kaget dan sedikit kesel sama dokternya. Sebelum
aku nanya, dia langsung bilang kalau dokter itu hanya
mengobati sebuah akibat. Kalau akarnya enggak diobatin,
si akibat itu akan terus-terusan terulang dan enggak akan
sembuh-sembuh. Dari situ aku sadar dan paham, dokter itu
sudah ada di titik mengerti bahwa penyebab maag aku bukan
hanya makan yang enggak teratur, tapi dari beban pikiran
aku. Sampai akhirnya aku setuju, dan ketemu psikiater, lalu
kami ngobrol banyak. Itu waktu aku masih SMA. Sejak saat
itulah, aku pengen masuk psikologi.” Ana selesai bercerita.
Aku hanya lagi-lagi tersenyum takjub pada cerita
tentang dirinya. “Wow! Aku enggak pernah mikirin itu. Aku
juga sering sakit maag sih, tapi ya aku pikir itu cuma gara-
gara aku sering minum kopi atau gara-gara dulu aku pernah
ngerokok,” ceritaku.
“Enggak, pengaruh maag lainnya itu pikiran kamu. Aku
pengen ngasih tahu kamu sesuatu, Saka. Aku enggak tahu
kamu akan percaya atau enggak, tapi coba denger dulu. Dulu
saat aku memutuskan untuk nyapa kamu di message Blog, hal
yang aku rasakan selain aku suka tulisan kamu adalah karena
346tulisan kamu punya getaran yang sama pada di diri aku.
Selanjutnya setelah kita ketemu, di sini, aku bisa ngerasain
hal yang lain di kamu. Seolah aku ngerti sesuatu yang aku
juga enggak ngerti itu apa. Aku cuma ngerasa ngerti kamu,
cara berpikir dan cara merasa. Punya getaran yang menarik
aku. Enggak usah mikir yang macem-macem tapi ya, hehe.
But I do really love having friend like you. Dan yah, mungkin
kalau orang-orang denger apa yang aku omongin ke kamu
ini mereka cuma bisa nyinyir atau enggak percaya, atau apa
pun itu. But, aku yakin aku dan kamu jauh lebih ngerti dari
mereka.” Ana tersenyum.
Aku masih menatap mata cokelat Ana yang seolah
menarik getaran di diriku untuk menyetujui semua
perkataannya. Perasaan ini sedang bergejolak, tapi anehnya
tidak membabi-buta, seolah tenang dan menenangkan. Ya,
aku sangat menyetujuinya. Perihal aksi-reaksi, orang akan
menarik kesimpulan pendek bahwa rasa seperti ini adalah
rasa saat seseorang jatuh hati kepada lawan jenisnya.
Aku setuju dengan Ana meski tidak pernah bisa berpikir
sedalam itu, atau memiliki kemampuan seperti yang
dimiliki Ana. Tetapi, kesimpulan yang aku pahami dari
ceritanya adalah bahwa rasa itu luas, sedang manusia senang
mengambil kesimpulan yang cepat dengan pikiran sempit.
Karena mereka hanya tidak bisa mengontrol perasaannya
yang meminta penjelasan. Manusia selalu mempertanyakan
itu, hingga merasa harus mengartikan sesuatu yang bisa
347diterima logikanya, sesuai keinginannya.
“Aku paham. Aku selalu paham hal yang kayak gitu
meskipun aku juga enggak begitu ngerti. Hehe. Tapi, iya aku
setuju sama kamu. Mungkin itu juga yang aku rasain dan
enggak pernah aku ceritain ke siapa pun karena aku juga
enggak terlalu ngerti apa yang harus aku ceritain. Orang lain
yang denger juga paling ya, cuma bisa menarik kesimpulan
sesuai keinginan mereka. Tapi dari cerita kamu, aku jadi
pengen ngasih tahu sesuatu juga,” ucapku seraya bersiap
untuk memulai cerita yang selama ini aku simpan dari Ana.
Aku merasa sudah ada di titik aman untuk bercerita
kepadanya. Bukan perihal kami sedang baik-baik saja, tapi
dari cerita Ana sebelumnya membuatku paham bagaimana
dia. Bagaimana pola pikirnya seolah memintaku untuk tidak
usah khawatir perihal apa yang belum diketahuinya tentang
tulisan yang aku buat dalam buku kami.
“Hhhh... Maafin aku Saka, tapi kayaknya aku udah tahu,
hehe.” Ana menjawab pelan.
“Hah? Maksudnya?” aku bertanya keheranan.
“Sayangnya aku di sana, waktu kamu ketemu Lara.
lya, kamu enggak akan liat aku. Aku ngebelakangin kamu
duduknya. Aku baru nyadar pas kalian ngobrol, dan aku kenal
suara itu. Sejujurnya, aku mau pergi dari situ tapi enggak
bisa. Kalau aku pergi akan ketemu kalian dan bikin kita
pasti makin awkward. Mau enggak mau aku harus dengerin
obrolan yang engggak seharusnya aku tahu. Aku coba cari
348earphone biar enggak denger, eh lupa lagi enggak aku bawa.
Padahal biasanya aku bawa. Aku jadi ngerasa berdosa karena
tahu sesuatu.” Ana menjelaskan. Dari ceritanya aku mengerti
bahwa Ana, benar-benar merasa tidak enak kepadaku.
Padahal aku yang seharusnya merasa tidak enak padanya.
“Hmm... tapi itu bikin aku sangat jelas terhadap
kamu. Itulah salah satu alesan kenapa aku ngomong kayak
gitu ke kamu tadi. Aku tahu kamu pasti juga agak berat
untuk menyimpan sesuatu dan enggak tahu kapan harus
mengutarakannya. Pahamlah aku lagi ngundang kamu untuk
ngomong itu. Tapi maaf aku aja yang ngomong, takutnya
kamu juga ngerasa berat ngomongnya. Jangan khawatir
tentang aku, percaya deh. Even aku tahu sejak awal pun, aku
tetep akan ngerti kok. Aku ngerti kenapa kamu nyembunyiin
itu karena... Yah, pokoknya aku ngertilah. Hubungan laki-laki
sama perempuan selalu menyisakan kesalahpahaman yang
menyebalkan, iya kan? Hahahhaa.” Ana tertawa, kembali
meneguk milky berry-nya yang kini tersisa sedikit.
“Hahhh, Ana. Aku enggak tahu harus ngomong apa.
Bahkan temen aku aja, aku jelasin enggak bisa ngerti maksud
aku.”
“Enggak Saka, kamu enggak bisa ceritain hal kayak gini
bahkan sama temen deket kamu. Enggak usah cerita juga
untuk dapet dukungan bahwa apa yang kamu lakuin itu
bener. Aku ngerti jadi kamu. Aku ngerti karena aku dan kamu
ngelakuin hal yang sama. Aku pernah di posisi kamu meski
349dalam keadaan yang berbeda. Kita ngelawan stigma dunia.
Kita akan selalu dilihat salah dengan cara-cara kita yang
enggak sesuai aturan yang dibikin sama zona nyaman setiap
orang. Lama-lama kamu akan paham, mana orang yang tahu
kamu, dan mana yang ngerti kamu.” Ana membuat jeda di
kalimatnya.
“Karena, saat kamu enggak tahu harus percaya sama
siapa, percaya aja sama diri kamu sendiri. Enggak usah
berusaha menjelaskan agar orang percaya sama kamu.
Karena pada akhirnya nanti, saat sebuah makna akhirnya
terungkap, mereka enggak punya pilihan lain, selain percaya
sama kamu.” Ana menyelesaikan kalimatnya. Dengan
senyumannya yang bisa membuat siapa saja yang ada di
depannya merasa nyaman.
“Haaaah... gemes! Kamu emang penuh kejutan. Seandai-
nya semua orang sepinter dan sehebat kamu. Eh, tapi jangan
deng, dikit aja yang kayak kamu. Orang-orang beruntung
aja yang boleh temenan sama kamu, kayak aku. Hahaha.”
Aku coba bergurau, sekaligus sebagai ungkapan kepadanya
bahwa aku telah merasa lega.
“Hahaha. Kamu aneh, aku yang harusnya beruntung
temenan sama kamu. Temen-temen kamu yang beruntung
karena kenal kamu. Oh enggak deng, Mbak Lara yang lebih
beruntung. Dia dapetin hal yang enggak bisa didapetin orang
lain, perjuangan kamu. Ya, kan?” Ana menggodaku.
Aku tak bisa berbuat apa-apa selain tersipu. Sial, aku tak
350pernah salah tingkah sebelumnya. Ana telah melakukan itu
kepadaku secara sengaja. Seperti setan yang tengah membuat
manusia mengikuti maunya.
“Jangan bilang gitu! Aku salting nih! Hahahahaha.” Aku
tertawa.
Ana ikut tertawa. “It’s an honor, bisa bantu kamu untuk
dapetin hal yang kamu cita-citakan. Go get her, Saka. She
deserves you. Dia itu perempuan yang baik dan hebat. I can
smell it.” Ana berkata pelan.
“What? Smell? You sniff her? Hahahha,” ujarku sambil
tertawa.
Ana tersenyum, menyelesaikan tegukan terakhirnya,
kemudian pamit. Aku mengantarnya hingga pintu keluar.
Mengangkat satu tangan mengantarkan kepulangan Ana,
hingga kami akan bertemu lagi nanti saat tanda tangan buku
untuk penjualan online.
“Ttu si Ana-Ana yang lu ceritain? Cakep juga.” Kevin tiba-
tiba bertanya saat aku akan mengambil minumanku yang
belum habis di meja tempat aku dan Ana duduk.
“Yoi!” aku menjawab singkat.
“Kok, enggak dikenalin ke gue sih?” Kevin menggerutu.
“Lah, ngapain gue kenalin ke elu?” jawabku saat duduk
di kursi bar.
“Yaelah. Harus banget gue jelasin? Jodoh kan sekarang
udah bukan di tangan Tuhan aja, tapi di tangan temen, Sob.”
Kevin coba memancingku.
351“Nah, di tangan gue sekarang ada gelas iced chocolate
sama gelas bekas customer yang belom diberesin. Mau yang
mana yang gue lemparin ke elu nih?” Aku mengangkat kedua
tanganku. Kevin hanya bisa merengut.
ES “Kamu di mana? Mau ke sini dulu atau ketemu
’ di sana aja?” ucapku saat tengah menelepon Ana.
“Oke, temu sana ya! Daaah.” Aku memutuskan
hubungan telepon.
Buku kami akhirnya telah beres cetak. Lara meminta aku
dan Ana datang ke kantornya untuk membubuhkan tanda
tangan ke sejumlah buku yang akan dijual online sebelum
didistribusikan ke toko-toko buku di Indonesia.
Sesampainya di kantor Lara, Ana ternyata sudah
sampai lebih dulu dan menunggu di ruangan tempat kami
sebelumnya menandatangani kontrak buku. Aku diantar
oleh seorang resepsionis karena Lara dan atasannya masih
ada rapat yang harus diselesaikan.
“Saka! Liaaaat! It’s our name! Hahahaha.” Terlihat Ana
sangat sumeringah saat aku baru saja masuk ke ruangan
tempatnya berada.
Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang tak ingin
ada batasnya. Ana baru saja menyelesaikan sidang skripsi-
352nya beberapa hari yang lalu. Tak heran saat ini menjadi
kebahagiaan tambahan untuk dirinya, juga untukku tentunya.
“I know! Is it weird? Ada nama kita di buku itu, hahah. Ya,
Tuhan. Aku gemes sendiri enggak tahu perasaannya kayak
gimana. Haha.”
Aku duduk di sebelah Ana. Beberapa ratus buku yang
masih terbungkus boks berwarna cokelat ada di depan kami,
siap untuk kami tanda tangani. Seolah kami adalah penulis
terkenal yang ditunggu-tunggu karyanya oleh pembaca.
Kami berbincang sambil mulai menandatangani buku-
buku itu. Perbincangan-perbincangan mengenai bagaimana
akhirnya semua bisa terjadi. Bagaimana kami sama-sama
ingin tertawa tak berhenti karena masih tak percaya pada
apa yang sedang terjadi saat ini. Tentang jaring-jaring
kejadian yang mengantarkan kami ke titik-titik pemahaman,
lalu berpusat pada sebuah makna.
Bahkan kami berdebat, siapa sebenarnya yang membawa
kami ke sini. Apakah Ana karena dirinyalah yang mengajakku
untuk menulis buku bersama? Karena dirinyalah yang
membuat aku akhirnya bisa menulis sebuah buku. Namun
Ana bersikeras bahwa akulah yang membawanya ke titik ini.
Bahwa aku selalu dikelilingi keajaiban yang bisa membuat
orang menyadari bahwa rencana Tuhan selalu menyimpan
makna yang sempurna.
“Hai!” Tiba-tiba suara yang kukenali sudah ada dalam
ruangan.
353“Lara!” sahutku.
“Mbak Lara!” timpal Ana berbarengan.
“Maaf ya, aku barusan rapat dulu. Wih, udah mulai tanda
tangan. Gimana perasaan kalian?” Lara bertanya kepada
kami tapi matanya hanya mengarah kepada Ana. Seolah
sedikit enggan untuk melihatku.
Aku hanya tersenyum dalam hati. Mungkin benar, Lara
sepertinya masih canggung melihatku bersama Ana, bersama
perempuan lain. Namun aku lebih yakin, bahwa dirinya
paham perihal hubungan kami sebenarnya.
“Aduhhh.... Aku enggak tahu harus bilang apa selain
makasihhh....” Ana menjawab semangat.
Aku hanya tersenyum melihat Ana bisa bersikap sebaik
itu kepada Lara.
“Saka malah enggak tahu harus ngerasa apa katanya,
Mbak,” ujar Ana.
“Loh, kenapa enggak tahu harus ngerasa apa? Grogi ya,
bukunya terbit. Hehe.” Lara coba menggodaku.
“Enggak, bukan gitu, haha. Kamu tahu ini bukan hal yang
berani aku semogakan, nulis buku? Gosh... lucu aja rasanya.
Ini di dalem dada rasanya bergemuruh tahu. Hahaha.” Aku
coba mencairkan suasana.
Namun, masih terlihat sebuah batas yang Lara coba
atur. Senyumnya masih terlihat agak terbatas. Keterpaksaan
untuk bersikap senormal mungkin masih jelas terlihat pada
wajahnya.
354“Ciye, bergemuruh, bahasanya penulis mah beda ya.”
Lara kembali menggodaku, kali ini sedikit menyebalkan.
“Karena, akhirnya Saka bisa mengutarakan perasaannya
kayaknya, Mbak,” celetuk Ana.
Aku dan Lara sontak menatap Ana, tapi dia berlagak
polos dan melanjutkan tanda tangan ke buku-buku yang ada
di depannya. Aku menendang kaki Ana yang berada tepat di
sebelah kakiku. Kukira Ana akan paham.
“aku tuh selalu curiga tahu Mbak, tulisan-tulisan Saka
di Blog itu kayaknya tulus banget. Kayaknya ingin sampai ke
seseoramg, tapi enggak punya sayap buat akhirnya hinggap
ke orang yang dimaksud. Jadi waktu ketemu Saka dan dengan
lucunya semesta bikin aku ditawarin bikin buku sama
Penerbit ini, ya udah aku ajak dia buat nulis bareng. Tapi
selain itu, aku akuin tulisan Saka emang bagus kok. Dunia
harus banget baca tulisannya. Kayak punya roh gitu!” Ana
malah makin sengaja. Entah apa tujuannya, kini aku hanya
bisa ikut rencana yang diam-diam tengah Ana lancarkan.
“Wah, beruntung banget dong orangnya itu.” Lara
menanggapi. Lagi-lagi aku tak dapat berbuat apa-apa selain
tertawa dan melanjutkan menandatangani buku.
“Ya, pasti beruntung banget Mbak, perempuannya. Biar
semua perasaannya bisa sampai dibela-belain dibikinin buku
coba. Kalau sampe perempuan itu masih enggak bersyukur,
kebangetan pasti. Pengen kucubitin pipinya. Terus aku bilang,
‘Helloooo... kamu apa enggak nyadar juga lagi diperjuangin?’
355Gitu, hehehe.” Sembari Ana memeragakan dengan kedua
tangannya seolah tengah mencubit pipi seseorang di
depannya.
“Eh, siapa tahu loh, namanya juga perempuan kan. Perlu
diperjuangin lebih. Apalagi kalau perempuannya tahu Saka
nulisnya sama perempuan lain, pasti cemburu,” ucap Lara.
Aku terkejut mendengar ucapannya. Entah hanya untuk
menyambung cerita Ana atau dia sedang mengutarakan
apa maksud yang sebenarnya. Namun, aku paham sesuatu.
Ternyata benar kata Kevin.
“Hah, akubeneran gemes kalau gitu sama perempuannya.
Aku bakal nyubit pipi dia lagi sambil ngomong, ‘Hellooooww...
dia nulis sama aku tapi tulisannya buat kamuuu...! Aku
cuma bantu biar semua perasaannya sampe ke kamu. Hei,
kurang apalagi dia perjuangin kamuuu...?’” Hahaha. Lagian
aku juga nulis buat seseorang kok. Emangnya Saka doang
yang bisa diem-diem curhat di tulisannya,” Ana menggerutu.
Kali ini wajahnya benar-benar terlihat jahil. Tak pernah
kubayangkan Ana akan bisa bertindak sejahil ini. Aku tak
kuasa menahan senyum.
“Heh, kok kamu enggak pernah bilang? Siapa lelaki enggak
tahu diri itu, yang udah ninggalin kamu? Biar kujewer-jewer
juga itu lakik!” Aku berujar, mengikuti aksi Ana.
Lara hanya tersenyum melihat kami. Kini senyumnya
terlihat memancarkan kelegaan yang entah berasal dari
mana. Aku hanya berharap Lara bisa paham.
356“Dih, siapa yang ditinggalin. Orang itu cinta yang enggak
sampai. Dulu, dulu sekali. Aduh, kok ya malah aku yang jadi
curhat, padahal kita lagi cengin Saka.” Ana melanjutkan
fokus dengan tanda tangannya.
“lya, napa ngomongin aku terus sih? Too much information.
Ini kata Lara, penulisnya ternyata malah pada curhat di
buku.” Aku berujar.
Lara masih tertawa mendengar ucapanku. “Eh, enggak
apa-apa kali. Dari semua tulisan yang aku handle, emang para
penulis tuh pada curhat di tulisannya. Lucu deh bacanya,”
ujar Lara.
“Kalau liat tulisan kita, lucu juga enggak? Hehe.” Aku
menggoda Lara.
“Well...” Lara sedikit terlihat agak canggung.
Belum sempat Lara melanjutkan kalimatnya, Ana
memotong. “Tapi, iya bener tahu, the world deserves the
information about you,” ujar Ana.
“Eh, masih aja lanjut,” protesku.
“Sstt... diem, ini aku lagi jual kamu. Siapa tahu Mbak Lara
nawarin kamu bikin buku sendiri,” celetuk ana polos.
Lara tertawa mendengarnya.
“Kamu itu beneran dikelilingi keajaiban. Bisa bikin
orang yang ada di sekeliling kamu percaya sama kamu dan
sama dirinya sendiri. Aku sebagai temen yang udah bisa liat
itu di kamu. Aku harus bilang bahwa sejak awal ditawarin
aku enggak pernah bisa percaya sama diri aku sendiri bahwa
357aku bisa nulis buku. Ya, meskipun aku seneng nulis. Coba
liat yang ditawarin buku siapa, yang semangat bikin konsep
tulisan siapa? Kamu, kan? Kamu yang akhirnya bisa bikin aku
percaya diri buat nulis novel ini,” seru Ana.
Entah bagaimana reaksi Lara mendengarnya, tapi aku
sangat tidak suka perasaan ini.
“Jadiiii... kalau perempuan itu masih aja enggak liat
perjuangan kamu ini suruh temui aku. Tak uwel-uwel pipinya.
lya, enggak, Mbak Lara?” ujar Ana sebal, sambil melanjutkan
tanda tangan.
“Mmm... aku izin keluar sebentar.” Aku berdiri dan
pamit kepada Ana dan Lara. “Engg... aku salting. Dan, aku
enggak suka kalau salting. Aku ke toilet dulu,” ujarku buru-
buru keluar ruangan.
Entah akhirnya Lara dan Ana tertawa mendengar
alasanku atau tidak. Namun, aku benar-benar tak tahu harus
bersikap apa. Aku tak pernah suka jika harus salah tingkah.
Kalimat Ana terlalu jujur untuk bisa aku dengar. Entah
apa yang dirasakan Lara setelah mendengarnya. Entah apa
juga yang mereka bicarakan sekarang. Yang pasti aku akan
menjitak Ana sepulang kami dari sini.
“Udahan saltingnya, Saka?” tanya Lara sekembalinya
aku ke ruangan.
“Hehe. Udah lega. Aku kalau kebelet pipis emang suka
salting,” aku kembali melanjutkan tanda tangan.
“Saka, enggak apa-apa kok kamu salting aku puji. Sorry
358for not being sorry. Hehe.” Ana mengejekku.
Setelah puas menjadikan aku bulan-bulanan, (akhirnya)
kami melanjutkan perbincangan perihal penjualan online
dan promosi yang harus kami lakukan di media sosial juga
Blog kami. Hingga tak terasa semua buku selesai kami tanda
tangani.
“Pokoknya, jangan lupa ya, pada bantu up promosi,” ujar
Lara.
“Tenang, ada seleb di sini. lya, enggak?” Aku menyenggol
Ana.
“Apaan dah seleb-seleb? Yuk ah, kita pamit ya, Mbak
Lara. Makasih banget sekali lagi udah ngizinin kita untuk
nulis buku. Oh iya, salam buat Mas Rio,” ucap Ana.
“ya, sama-sama Cantik. Rio masih ada rapat soal kerjaan
jadi enggak bisa nemenin kalian,” balas Lara.
“Alhamdulillaaaah...” celetukku pelan.
“Hah? Alhamdulillah kenapa?” Lara bertanya kepadaku.
“Tauk nih apaan?” seru Ana.
“Alhamdulillah banyak kerjaan, rezeki kan, ya? Hehe.
Pamit, ya!” Aku memberikan senyum jahilku. Kuharap Lara
bisa memahami senyuman itu. Karena perasaan lega ini,
sedang mengalir deras ke seluruh diriku.
merangkul pundak Ana dan memainkan rambutnya.
“Eh... eh... jangan rangkul-rangkul. Kalau aku baper
gimana hayo, mau tanggung jawab?” seru Ana sambil tertawa.
359Tak pernah aku melihat Ana seceria ini. Bagaimana
lagi aku tak kuasa ingin memeluknya. Betapa dirinya telah
menjadi teman yang sangat baik bagiku. Oh, aku ingin sekali
dunia tahu aku memiliki teman lagi yang baik.
“Ehhehe.... Oke, enggak tadi omonganku?” Ana bertanya
menggoda.
“Oke, oke, dari Hongkong! Malu tahu!” Aku masih gemas
kepadanya.
“Alaah, seneng juga pake bilang malu. Kamu harus
traktir aku! Aku lagi pengen... Apa ya? Burger! Yang ada di
deket Coffee and Drama. Terus, traktir milky berry ya!” Ana
berseru.
Bagaimana pun dirinya baru saja bersikap sangat
menyebalkan, aku tahu Ana baru saja membantuku. Meski
sedikit merasa bersalah kepada Lara, tapi tidak apa. Sesekali
aku mengerjainya.
“Udah nyebelin minta traktir lagi. Hhhh,” aku mengeluh.
“Aku baru lulus loh, belum officially, tapi kan beres
sidang. Kamu enggak mau ngasih apa kek gitu? Hih,” keluh
Ana.
“Oh, iya. Haha. Yuk, aku traktir, deh. Kamu bebas pesen
berapa aja burgernya. Bebas pesen apa aja di Coffee and Drama.
Tapi, ada satu syarat,” aku berujar.
“Hih, kayak mau nikah aja pake syarat. Apaan emang?”
tanya Ana.
“Kamu harus cerita di tulisan itu kamu curhat tentang
360siapa, hahaha.” Aku tertawa licik.
“Udah aku duga! Udah aku dugaaaa...! Dasaaar liciiik...!”
gerutu Ana.
Kami kemudian menuju Coffee and Drama, meninggalkan
sebuah kelegaan selepas bertemu Lara. Aku hanya berharap
komunikasiku selanjutnya dengan Lara, bukan lagi perihal
urusan buku dan promosi. Aku sudah cukup merindu, untuk
membicarakan kita.
om
“Lu yakin mau kerja lagi sekarang?” tanya
Kanaya kepadaku dengan hati-hati, setelah
sampai di depan kantorku lagi.
“Iya, udah telat juga baliknya. Gue udah lega dan lumayan
tenang kok, Nay. Tenang aja, I can handle it.” Aku tersenyum
sembari mengatakan itu kepada Kanaya.
“Ra, maaf ya kalau gue ada salah kata. Gue cuma
enggak mau lu nyia-nyiain kesempatan untuk bisa dicintai
sama mencintai. Di luar sana, enggak semua perasaan bisa
berbalas, Ra. Saka itu lagi perjuangin lu. Gue harap lu bisa
bijak untuk nunjukkin ke dia, kalau lu juga berjuang buat dia.
Takdir enggak pernah main-main, Ra. Lu berkali-kali dikasih
ketemu sama dia dengan perjumpaan-perjumpaan yang
enggak terencana. Enggak mungkin kalau tanpa maksud.”
361Aku segera memeluk Kanaya. Membiarkan seluruh
perasaanku luruh di dalam pelukan itu. Setetes air mataku
kembali mengalir dan mengenai pundaknya. Kanaya yang
menyadari itu langsung mendorong tubuhku dan mengusirku
dari mobil.
“Sana kerja lagi!”
Baru hendak melangkah masuk ke dalam kantor, Kanaya
memanggil dan mengajakku berbicara melalui kaca jendela
yang terbuka.
“Nanti sore gue jemput, temenin makan gelato. Oke,
oke? Kan, gue lagi liburan. Hehe.”
Aku hanya mengangguk lalu segera melangkah kembali
ke dalam kantor. Bergegas membuka laptop untuk kemudian
mengunjungi laman Blogku dan mengunggah sebuah tulisan
yang sedari tadi bercokol di kepala.
Sebuah Pesan
Mungkin aku penuh kebohongan, sedang kamu penuh
kejujuran.
Tapi sebetulnya bukan seperti itu inginku.
Kamu tidak pernah tahu penyebab lukaku,
karena kamu tak pernah menanyakannya.
Kamu tidak pernah tahu aku terluka,
sebab aku selalu menutupi serta mengabaikannya.
362Lihat?
Selama kita masih bersama, aku hanya inginkan kamu
merasa baik.
Bahkan hingga kini tak lagi bersama, aku ingin agar kamu
selalu baik,
Itu sebabnya kubiarkan kamu berpikir, aku yang akhirnya
memberi luka serta penuh dusta.
Aku mungkin pernah terluka karenamu,
namun aku tak ingin kamu mengetahuinya.
Sebab aku memang tak ingin bila kamu merasa bersalah,
karena telah menjadi penyebab dari segala luka.
Sebab mungkin kehadiran masing-masing kita di kehidupan
orang lain—aku di kehidupanmu, kamu di kehidupanku—
adalah sebagai pengantar pesan dari semesta.
Usai mem-posting-nya aku menghembuskan napas lega.
Seolah baru saja ada beban yang terangkat. Sepertinya,
dengan bercerita kepada Kanaya tentang perasaanku
terhadap Saka yang masih saja tersisa membuatku semakin
merasa ringan untuk kemudian menatap hari esok.
Bukan maksud berlebihan. Hanya saja, aku rasa setiap
kita memang harus mengeluarkan perasaan yang kerap
tersimpan. Entah dengan bercerita dengan orang lain, entah
dengan menulis, entah dengan menumpahkan air mata, atau
363mungkin hanya dengan duduk bersimpuh di hadapan-Nya.
Setiap kita membutuhkan pelepasan untuk kemudian
bisa menerima. Untuk selanjutnya bisa memahami apa yang
sedang terjadi dengan lebih bijak, pun kemudian tahu seperti
apa harus berbuat dan ke mana lagi kaki akan berpijak.
Setelah dipikir-pikir tampaknya aku boleh sedikit
menaruh harap kepada Saka lagi. Maksudku, akan
kedatangannya kembali di sini. Sebab yang aku tahu, Saka
bukanlah seseorang yang mudah untuk meninggalkan ibu
dan adik-adiknya. Meski ia berada di rumah hanya selama
beberapa jam saja dan sekadar untuk beristirahat, dia tetap
akan memastikan ibu dan adik-adiknya merasa aman karena
bisa menemukannya di sekitar.
Mungkin, ada sesuatu di Jogja yang membuat Saka
merasa perlu berjuang. Entah itu mimpinya, atau mungkin
seseorang. Pikiranku kemudian melayang teringat dengan
Riana, teman Saka dalam menulis. Perasaan itu hinggap lagi.
Ya, aku akui sekarang tampaknya sudah mulai mencemburui
Riana. Bagaimana tidak, dengan terlibat dalam satu proyek
bersama, bukan tidak mungkin akan menimbulkan kebiasaan.
Terbiasa untuk saling bertukar cerita, terbiasa untuk
kemudian selalu berkomunikasi, hingga terbiasa untuk
kemudian saling mengisi. Ah sial, kenapa pula isi kepalaku
kali ini? Baru saja tenang kurasakan mengapa sekarang harus
kembali khawatir terhadap sesuatu yang belum pasti. Saka
selalu tahu apa yang dia butuh, bukan hanya dia mau. Dan
364jika begitu, aku tahu, pilihannya tentu bukan kepada Riana.
Sesekali menjadi lebih dari sekadar percaya diri, boleh kan?
Aku segera melanjutkan pekerjaanku karena tak terasa
hari sudah menuju petang. Setelah ini, jika semesta kembali
memberi kesempatan untuk aku bisa membuktikan sesuatu
yang memang sepantasnya diperjuangkan, semoga tak ada
lagi alasan yang membuatku menyerah.
-~
Semenjak kepulangan Kanaya beberapa minggu lalu,
hari demi hariku berjalan dengan teramat cepat. Mulai
dari proofreading naskah, lalu bertemu dengan penulis yang
kebetulan sedang mampir ke Jogja sekaligus menanyakan
kapan buku selanjutnya akan terbit. Hadir dan terlibat pula
dalam beberapa talkshow yang diadakan kantorku sebagai
salah satu upaya promosi.
Bahkan akhirnya aku harus menunda_kembali
kedatangan ibuku untuk mencoba tinggal di Jogja. Aku
merasa bersalah sekali untuk itu. Entahlah aku merasa
berdosa lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan orang
tuaku. Tapi apa mau dikata, sudah lebih dari sebulan aku
belum sempat untuk pulang.
Aku selalu merasa tidak enak dengan ibuku dan berupaya
menyempatkan waktu setiap malam untuk meneleponnya
365sebagai pengganti kehadiranku. Meski sebetulnya ibuku
tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Karena baginya
yang terpenting adalah aku bisa sangat produktif di usiaku,
pun bisa banyak mendapat pelajaran dari segala yang aku
jalani.
Bagi beliau, masa-masa sibukku kali ini adalah saat yang
harus selalu disyukuri. Sebab, tak semua orang memiliki
kesempatan serupa denganku. Walau selalu ada hal yang
perlu dikorbankan, seperti aku yang saat ini mengorbankan
waktu untuk bisa berada dekat dengannya.
Ibuku selalu berkata, “Keluarga adalah hal yang
utama, tapi bukan berarti hal itu mengungkungmu untuk
beraktivitas.”
Jarang berada di rumah bukan berarti tak peduli, jarang
bersitatap bukan berarti tak memiliki rasa sayang. Justru
hal-hal yang jarang itulah yang menjadi bukti bahwa ada
kepeduliaan dan rasa sayang yang membuncah.
Jarang bertemu sebetulnya mendekatkan serta menguat-
kan hati. Pada akhirnya aku selalu percaya jarak bukan
menjadi penghalang bahkan rintangan. Jarak adalah pem-
belajaraan. Jarak adalah pendewasaan. Jarak adalah satu-
satunya hal yang bisa mendekatkan.
Seluruh waktuku seolah benar-benar tersita untuk
pekerjaan. Pun, yang lebih parah adalah waktuku yang
tersita dengan naskah buku Riana dan Saka. Meski di awal
aku merasa tak sanggup untuk menjadi editor dari buku
366tersebut karena rasanya terlalu berat saja melihat Saka
menulis dengan wanita lain. Pun, membaca kisahnya yang
seringkali membuatku mau tak mau merasakan beragam
emosi karena pernah mengalami.
Hari ini menjadi terasa sedikit istimewa. Akhirnya,
buku mereka sudah selesai cetak. Ada beberapa eksemplar
yang perlu ditandatangani oleh penulis untuk memenuhi
kebutuhan penjualan online.
Sejujurnya aku bersyukur, setidaknya Saka berhasil
melakukan sebuah pencapaian dalam hidupnya. Selain mem-
buat kedai kopi, kali ini ia bahkan berhasil menulis sebuah
buku. Sebuah pencapaian yang tidak main-main mengingat
hal ini memerlukan sebuah konsistensi. Terlebih melongok
di masa lalu, Saka teramat susah untuk konsisten dalam
melakukan sesuatu. Ya, tak lain hanya karena ia memang
tipikal orang yang mudah jenuh dan tak ingin ditekan.
Tapi lain halnya dengan buku ini, Saka seolah selalu
bersemangat dalam mengerjakan segalanya. Aku bahkan
kerap memberikan deadline yang ternyata bisa ditepati lebih
awal oleh Saka. Berkat Kanaya pula aku akhirnya kembali
bisa berkomunikasi dengan Saka seperti seharusnya. Meski
hanya sebatas penulis dengan penerbit, penulis dengan
editor. Hanya sampai di situ, tidak lebih pun tidak kurang.
Menjelang terbitnya buku Saka dan Riana, aku lebihsering
berdiskusi dengan Saka. Seputar pemilihan cover, materi
promosi, serta segala tetek-bengek lain demi kebutuhan buku
367tersebut. Masih tersisa sedikit kecanggungan sebenarnya
untuk bisa menjadi biasa-biasa saja dengan Saka. Ya, meski
kami sudah lebih dari sekadar kata baik sebenarnya. Tapi mau
tidak mau, aku tetap harus mengatasi segala kecanggungan
itu karena Riana sedang sibuk dengan studinya.
“Oke kalau gitu pembahasan untuk buku Saka dan
Riana selesai ya. Lara, mereka jadi dateng hari ini, kan?” Rio
kemudian melemparkan pertanyaan kepadaku.
Pertanyaan itu membuatku langsung menegakkan posisi
duduk yang sedari tadi menunduk sambil melamunkan
banyak hal tentang rentetan kejadian belakangan ini. Lupa
bahwa tengah berada dalam rapat redaksi Mingguan.
“lya jadi, Mas. Tadi sih Riana ngabarin udah sampe,”
jawabku.
“Ya, udah kalau gitu kamu temenin mereka aja sekalian
sampein bahasan yang tadi udah kita rapatin. Sendirian
enggak apa-apa kan? Soalnya, aku sama yang lain akan lanjut
bahas hal lainnya lagi. Nanti hasilnya aku share ke kamu
setelah selesai temenin mereka tanda tangan. Gimana?” Rio
kembali mengajukan pertanyaan yang sebetulnya adalah
perintah.
Aku mengangguk setuju kemudian lekas membereskan
barangku dan meninggalkan ruangan rapat.
Jujur saja, sejak Kanaya yang sempat keceplosan
berbicara tentang aku dan Saka waktu itu, Rio seolah
menarik diri. Dia tak lagi sering mengajakku bercengkerama
368seperti biasa. Aku merasakan kehilangan sebenarnya. Sebuah
kebiasaan mendadak tak lagi dilakukan. Meski aku tak tahu
pasti alasan mengapa Rio berubah. Entah karena pekerjaan
yang belakangan menumpuk atau benar memang ingin
menghindariku, tetap saja aku cemas karenanya.
Aku rindu. Terang-terangan mengaku rindu kepada diri
sendiri bahwa aku kangen Rio. Pada setiap gurauannya di
saat aku tengah suntuk mengerjakan pekerjaanku di kursi
dekat taman. Pada setiap ocehannya yang tak lain adalah
pengingat untukku agar sejenak rehat dan menikmati makan
siang dengannya. Pada setiap obrolan-obrolan yang ringan
tapi sarat makna.
Aku masih memikirkan perubahan sikap Rio hingga
kemudian melihat mereka. Riana dan Saka yang tengah asyik
tertawa sambil sibuk membubuhkan tanda tangan. Melihat
Saka yang bisa tertawa selepas itu dengan Riana membuatku
kembali memikirkan perkataan Kanaya. Tentang Saka yang
sedang berusaha memperjuangkanku.
Mungkinkah Saka memang sedang berjuang untukku?
Mungkinkah Saka memang sedang berusaha meyakinkanku?
Tapi, melihat kedekatan yang saat ini berada di hadapanku,
justru membuatku ragu atas hal itu. Bukan lagi perasaan
cemburu yang hinggap, melainkan kini berganti dengan per-
tanyaan-pertanyaan ‘mungkin’ yang terselubung harapan.
Karena dari sorot mata yang kulihat, Saka tidak
memandang Riana seperti caranya dulu melihatku. Aku lalu
369memberanikan diri untuk berada di antara mereka. Menyapa
keduanya dengan tetap memusatkan fokusku kepada Riana.
Sebab melihat Saka, aku tak pernah seberani itu jika harus
melibatkan orang lain. Pun, aku tak tahu apakah Saka sudah
memberitahukan Riana perihal apa yang pernah terjadi di
antara kami.
Karena aku sendiri, masih belum sempat mengatakan
apa-apa kepada Rio karena tak kunjung menemukan waktu
yang tepat untuk itu. Lagipula rasanya terlaluaneh membahas
Saka dengan Rio tanpa Pimredku itu yang bertanya lebih
dulu.
Aku mulai memberanikan diri berbasa-basi menanyakan
perasaan mereka dengan terbitnya buku ini, dan bersikap
seolah segalanya tak terjadi apa-apa. Ya, karena memang tak
terjadi apa-apa selain perasaanku sendiri yang merasa masih
ada yang mengganjal antaraku dengan Saka.
Aku mencoba menenangkan kecanggunganku dengan
ikut berbincang bersama mereka, hingga kemudian
perkataan Riana justru mengusik nuraniku untuk kembali
percaya pada perkataan Kanaya.
“Coba lihat, yang ditawarin buku siapa, yang semangat bikin
konsep tulisan siapa? Kamu kan?”
Aku sempat mengernyit mendengar ucapan Riana
tersebut tapi buru-buru mengubah mimik mukaku agar tak
terlihat oleh Saka. Terakhir kali aku bertemu dengan Saka
dan meminta penjelasannya akan isi buku ini, aku ingat betul
370bahwa Saka bilang konsep buku ini adalah milik mereka
berdua. Namun, ketika Riana mengatakan hal ini, aku jadi
semakin merasa harus kembali membaca ulang buku mereka.
Bukan lagi sebagai editor melainkan sebagai seseorang yang
kisahnya menjadi inspirasi terciptanya buku ini.
Melihat dari dekat cara Saka dan Riana berkomunikasi,
membuatku justru semakin yakin di antara mereka memang
ada sesuatu hal yang menjadikan keduanya nyaman satu
sama lain. Bukan seperti aku kepada Saka, pun Saka kepadaku
dulu. Melainkan seperti melihat kedekatanku dengan Rio.
Sebuah rasa nyaman yang timbul karena memang merasa
cocok untuk menjadi dekat.
Setidaknya untukku demikian. Nyaman dengan Rio
adalah perasaan nyaman di batas teman. Sesinergi itu
untuk kemudian menciptakan keseruan dan hal-hal yang
menyenangkan lain. Meski memang hanya sebatas teman,
tidak lebih. Semoga Rio bisa paham akan hal itu juga, harapku.
Aku akhirnya bisa larut dan menghilangkan
kecanggungan yang ada ketika mulai membicarakan tentang
progress dan proses lanjutan setelah buku mereka terbit.
Tak kusangka, bahwa kembali bertemu dengan Saka justru
membawaku pada sebuah proses pemahaman baru mengenai
penerimaan.
Mendekati jam makan siang keduanya sudah selesai
menandatangani semua buku yang akan dijual secara online.
371Saka dan Riana lantas berpamitan kepadaku. Aku terus
memerhatikan mereka yang melenggang meninggalkan
kantorku dengan perasaan bahagia yang tak lagi bisa
dijelaskan.
Sebelum kembali ke ruangan, aku menyempatkan diri
mengambil satu eksemplar nomor lepas buku Riana dan Saka
untuk membacanya nanti sepulang kerja. Nurani serta nalar
masih terusik dengan ucapan-ucapan Riana yang sedari
tadi berkata bahwa seluruh tulisan Saka adalah caranya
menyampaikan perasaan kepada seseorang yang selama ini
hanya tersimpan rapi sendirian. Tulisan-tulisan itu adalah
bentuk Saka untuk memperjuangkan seseorang itu.
Sebetulnya, sewaktu Saka berpamitan ke toilet saat
kami sedang menggodanya tadi, Riana sempat mengobrol
denganku. Membicarakan sesuatu hal yang Saka tak perlu
tahu.
“Mbak Lara, udah baca buku ini pasti kan ya?” tanya
Riana setelah melihat Saka sudah berlalu ke kamar kecil.
“Tya udah, kan aku editor kalian. Masa iya aku enggak
baca. Memang kenapa gitu?” Aku menjawabnya sambil
terkekeh. Belum mengerti ke mana maksud pertanyaan Riana
tadi.
“Selama ini bacanya sebagai editor kan, ya?”
Aku mengangguk untuk menjawab tanyanya.
372Riana kemudian tersenyum dan melanjutkan ucapannya,
“Bacanya jangan sebagai editor coba, tapi sebagai diri Mbak
Lara sendiri.”Riana menegaskan ucapannya.
Deg! Jantungku seolah berhenti berdetak. Aku tak
mengerti harus menimpalinya seperti apa. Lidahku tiba-tiba
menjadi kelu karenanya. Selama ini aku memang berusaha
membaca buku itu sebagai seorang editor yang seolah tak
tahu menahu datangnya inspirasi dari mana. Atau, bahkan
berpura tak mengerti bahwa ada beberapa hal dalam buku itu
yang pernah aku alami.
Meskiyamemangsulit, tapi aku dituntut untuk profesional
ketika menjalankannya. Maka, mau tak mau aku membacanya
hanya untuk mengetahui jalan cerita dan mencari hal yang
memang harus dibenahi. Tidak berusaha tenggelam dalam
kisahnya apalagi membaca sambil membayangkan atau
mengharapkan tulisan-tulisan itu diperuntukkan buatku.
“Dengan begitu, Mbak Lara pasti tahu untuk siapa buku
ini ditujuin. Ngg... maksudku buat siapa Saka mengarahkan
semua tulisan-tulisannya. Mbak pasti tahu kan buat
siapanya?” Riana kembali melanjutkan ucapannya sekaligus
bertanya lagi.
Aku yang sedang membolak-balik halaman demi halaman
novel mereka akhirnya dipaksa untuk berhenti melakukam
aktivatas itu. Baru saja aku berkata bahwa enggan berharap
untuk meyakini kepada siapa tulisan ini ditujukan, Riana
justru memancing aku untuk mengetahuinya.
373374
Mendengar pertanyaan Riana itu aku hanya bisa diam.
Tak tahu harus menjawab apa. Ingin berkata iya tahu, tapi aku
masih ragu bila ternyata dugaanku salah. Ingin berkata tidak
tahu, tapi dari cara Riana mengucapkan kalimat-kalimatnya
tadi, serta melihat reaksi Saka atas semua ucapan Riana,
rasanya mustahil bila aku sama sekali tak tahu menahu.
“Well, enggak usah dijawab karena aku anggep Mbak
Lara tahu. Dan, ya aku tahu Mbak Lara emang tahu. Aduh,
aku ngomong apa sih? Intinya, mbak Lara enggak usah
cemburu atau enggak enak, atau gimana-gimana ke aku
ya. Aku pastiin, aku hanya jalan untuk Saka akhirnya bisa
menyampaikan perasaannya ke orang tersebut. Orang yang
sangat Mbak Lara tahu siapanya.” Riana tersenyum sambil
mengedipkan sebelah mata.
“th, apa itu teh maksudnya pake kedip-kedip gitu?” Aku
berpura-pura polos.
“Enggak, ini tuh kelilipan sama serat-serat yang muncul
dari buku yang baru selesai dicetak.” Riana mencoba
mengembalikan suasana menjadi cair.
“uh, penulis mah beda ya, kelilipannya sama serat buku
coba. Haha.” Aku dan Riana kemudian tertawa bersama.
aCHAPTER VII.
“PADA SEBUAH KEMBALI YANG SEUTUHNYA,
ADA SEBUAH PENERIMAAN YANG SEPENUHNYA";°“Udah gue bilaaang... dia cuma pura-puraaaaa...
baik-baik ajaaaa....” Kevin mengepalkan kedua
tangannya di sebelah kedua telingaku.
“Kok, lu enggak percaya ada cewek sekeren itu sih?
Dan, lu napa pengen banget gue salah, Nyeeet...?” Aku
mengacuhkan Kevin. Meneruskan membereskan bar yang
agak berantakan.
“Hahaha. Bercanda. It’s good to hear that. Jadi, kalau doi
biasaajasamalu, bisa dong...” Kevin sengaja menggantungkan
ucapannya.
“Bisa Sob, bisa gue atur lah.” Aku menjawab karena
paham maksudnya.
“Hah? Seriusann?” Kevin terperangah atas jawabanku.
Seolah baru saja mendapat kejutan uang kaget.
“Bisa gue atur, mau gelas mana yang bakal dilemparin ke
muka lu!” jawabku sinis sambil mulai menyiapkan pesanan
yang belum dikerjakan.
Kevin heboh menggerutu. Baginya, Ana punya pesona
yang sesuai dengan tipe gadis yang dia sukai. Tapi tidak, aku
tidak bisa mengizinkan Ana untuk bisa luluh kepada Kevin.
Ana terlalu berharga untuk Kevin. Meski aku tahu Kevin
akan menjadi lelaki yang cukup menyenangkan bagi Ana,
aku tetap tidak rela.
“Maaf Kevin, tanganku tidak bisa memberimu jodoh.” Aku
berujar dalam hati.
“Hei,” suara seorang perempuan tiba-tiba menyapa kami.
377“Lah, Lara?” Kevin terkejut sembari melihat ke arahnya.
“Heh, kok lu yang kaget sih?” Aku menepuk pundak
Kevin dengan lap meja. “Santai dulu ya, Ra. Aku beresin
pesenan dulu,” ucapku kepada Lara.
Lara mengangguk dan duduk di kursi bar. Ya, tak heran
Kevin terkejut. Aku belum sempat cerita kepadanya. Sengaja
biar Kevin mengetahuinya langsung dengan kedatangan
Lara. Hubuganku dengan Lara membaik. Hubungan baik
yang kemarin sempat tidak baik.
Lara yang baru saja pulang kerja sengaja mendatangiku
di kedai kopi sambil menungguku pulang. Selain itu kami
punya janji untuk menikmati makan malam bersama. Untuk
pertama kalinya setelah Coffee and Drama sudah buka lebih
dari satu bulan dan setelah kejadian yang cukup panjang,
untuk akhirnya Lara bisa datang kemari dengan keadaan
yang baik-baik saja.
“Enak juga tempatnya,” ucap Lara.
“Iya dong, ini yang bikin interiornya.” sembari memegang
pundak Yuda yang kebetulan saat itu tengah datang untuk
mencatat beberapa kebutuhan kafe.
Yuda dan Lara lalu berkenalan. “Ini Lara. Emm, Laranya
Saka.” Kevin kebingungan memperkenalkan Lara. Kami
hanya tertawa, paham apa yang dilakukan Kevin.
“Kamu harus tebak dong Lara siapa yang bikin nama
Coffee and Drama!” ucap Kevin.
Aku yang masih membuat pesanan hanya tertawa.
378“Yah, kalau disuruh tebak udah jelas siapa yang bikin
nama itu dong,” ucap Lara sambil tersenyum.
Hah, senyum itu! Ingin sekali aku bisikkan kepadanya
sekarang juga bahwa aku merindukannya. Sangat.
“Well, you can’t live properly without coffee and drama.” Aku
berucap sambil mengangkat kedua bahu.
“Diiiih... anjir, depan Lara aja sok keren lu. Kemaren-
kemaren ada yang nanya ogah-ogahan lu jawab. Hahahaha.”
Kevin menggodaku.
“Eh, mau cappuccino dong!” pesan Lara.
Aku tak berani menjawab. Sengaja membiarkan Kevin
yang menjawab.
“Aduh, maaf Lara. Di sini enggak ada cappuccino. Adanya
manual brew sama minuman lucu lain. Ada iced chocolate, ada
milky berry, dan yang ada di menu itu aja,” jawab Kevin sambil
menunjuk buku menu yang ada di hadapan Lara.
Ingin sekali aku membahas itu sekarang juga dengan
Kevin, tapi aku mengurungkan niat itu. Aku tidak ingin
mendebatnya di depan banyak orang.
“Tuh, ada yang nanyain cappuccino lagi kan!” ucap Yuda
pelan sambil berlari ke luar bar.
Aku yakin Kevin sedang menahan wajah kesal. Saat
ini, aku malah merasa kasihan kepadanya. Aku hanya tak
membayangkan apa yang memang menahannya untuk sama
sekali tidak menyediakan menu cappuccino dan cafe latte,
selain idealisme yang dia pertahankan.
379“Es kopi susu enggak ada juga yah?” tanya Lara iseng.
“Enggak ada, Lara. Iced chocolate aja mau?” Kevin
menawari minuman lain.
Lara menyetujuinya dan segera Kevin mulai mem-
buatkannya. Aku baru tahu bahwa Lara juga suka menikmati
es kopi susu.
Yah, menurut berita dan beberapa artikel yang kubaca.
Demam es kopi susu pun sudah mulai menyebar di beberapa
coffee shop di Jogja. Aku penasaran apakah Kevin juga tidak
ingin membuat menu es kopi susu. Menu yang sedang
menjadi trending, dan sepertinya dicari banyak orang.
“Yuk, udah beres nih!” Aku membereskan vest barista dan
menaruhnya di salah satu loker di bawah bar. Aku dan Lara
siap untuk pergi, dan pamit kepada Kevin, Yuda, juga Agil.
“Ke mana nih?” tanya Lara.
“Aku lagi pengen sop Pak Min nih. Gimana?” Aku
menjawab.
Lara hanya mengangguk tersenyum menyetujuinya.
Selain burger dan gudeg, sop Pak Min menjadi salah satu
makanan favoritku di Jogja.
“Dulu perasaan ada temenmu cewek yang kecil-kecil
lucu itu? Di mana dia sekarang?” Jelas yang dimaksud Lara
adalah Narni.
“Narni? Dia lagi sibuk ngurusin skripsinya. Hih, lucu
apanya. Kamu harus tahu kelakuan dia yang enggak lucu,”
ujarku sambil memberikan wajah sebal.
380“Oyah? Apaan emang? Hahaha.” tanya Lara antusias.
“Dulu, waktu mau pulang ke Jogja, yang kemarinnya kita
abis ketemu enggak sengaja itu, kita pada ngumpul di rumah
Narni. Sambil nunggu jadwal keretaku pulang, kita nonton
film drama gitu. Keith apa ya judulnya. Lagi adegan haru biru,
eh si Narni ngegodain aku. Masa katanya aku nangis, sebel
gilak!” Aku bercerita.
“Hahaha. Terus, kamu beneran nangis emang?” tanya
Lara penasaran.
“Baru juga mau. Eh, enggak jadi gara-gara dicengin si
Narni. Kan, kesel! Eh, tapi ternyata, si Kevin sama aja. Air
mata udah di pelupuk. Eh, balik lagi itu nangisnya ke dalem
matanya gara-gara malu dicengin si Narni. Hahaha.”
Kami tertawa puas dan lepas. Mungkin tamu yang lain
sedang menyinyir dalam hati melihat tingkah kami yang
sedang tertawa bak anak ABG yang tengah di mabuk asmara.
Padahal, kami tidak mabuk. Kami benar-benar sedang
sadar. Mungkin hanya sedang merasa kasmaran. Asmara
yang membuatku lapar sekali. Saat pesanan datang, aku tak
sabar untuk segera melahapnya.
“Fits... itu sambelnya enggak usah pedes-pedes juga, Pak.
Udah tahu punya maag.” Lara mencegah tanganku yang mau
mengambil sambal.
“Ehehehe.” Aku hanya terkekeh.
Pipi ini sedang menyembunyikan rona yang sedang
tersipu. Bibir ini apalagi, bergejolak ingin sekali senyum.
381Namun, aku harus menahannya.
Terlihat Lara begitu lahap menikmati makanannya. Aku
lekas membuka botor air mineral untuk diberikan kepadanya.
Dahinya yang putih sedang berkeringat karena pedas. Iri
sekali aku dengan orang-orang yang bisa makan pedas.
Satu hal yang tidak bisa Lara turuti dariku adalah makan
pedas. Sebagaimana pun aku melarang dan memintanya
menguranginya. Ya, sejak dulu.
“Kok, di kedai kopi kamu enggak jual cappuccino, Saka?”
Selesai makan, Lara bertanya.
Aku kemudian bercerita mengenai perdebatanku
dengan Kevin dahulu. Bagaimana selera pasar terhadap
cappuccino dan latte, juga tentang prinsip yang dipegang oleh
Kevin perihal kopi manual brew. Meski Lara tak begitu paham
mengenai itu, tapi dirinya terus bertanya ini dan itu tentang
kopi, seolah dirinya antusias dan ingin tahu lebih dalam.
“Kopi juga sedalem itu ya ternyata. Cara nyeduhnya
cukup rumit. Aku baru tahu, hehe,” ucap Lara.
“Kopi itu enggak dalem, yang dalem itu kamu. Yang
rumit mah, aku. Hehehe.” Aku menggodanya.
Kami tertawa. Tetapi, karena kekenyangan kami tidak
bisa tertawa terlalu lepas. Isi perut mengganjal otot-otot
untuk tertawa.
“Anyway, gimana perasaan kamu pas udah bikin buku?
Kejual 75% lewat penjualan online. It’s a good start, Saka.” Lara
mulai membahas buku yang aku tulis bersama Ana.
382“Aku seneng, tapi aku enggak bisa lebih seneng karena
aku takut tahu. Entahlah, ini baru awal, Lara. Dan, dunia
penulisan gini bikin aku jiper banget. Mungkin 75% bisa
abis itu karena pengaruh Ana yang udah banyak banget
pembacanya. Siapa sih yang tahu aku? Aku juga baru nulis
belum setahun kayaknya.” Aku menjawab sedikit hati-hati.
Soal penjualan buku memang membuatku takut.
“Hei, tulisan kalian berdua itu bagus. Jangan lupa, awalan
itu emang selalu jadi hal berat buat siapa pun. Tapi masih ada
yang lebih berat, mempertahankannya. Banyak penulis yang
enggak lanjut bikin buku tahu. Entah karena persaingan
dunia penulis, atau entah apa. Aku enggak rela kalau kamu
sampe kayak gitu juga.” Lara menasihatiku.
Raut wajahnya ikut serius. Hal itu hanya membuatku
semakin terharu. Karena, untuk waktu yang lama, aku
melihat ada seseorang yang bisa percaya kepadaku, lebih
dari diriku sendiri.
“Masalahnya, aku enggak pernah bener-bener pengen
ini. Aku suka nulis. Suka banget. Tapi aku enggak pernah
bener-bener percaya diri. Kalau Ana pernah bilang aku yang
bikin dia percaya, aku enggak begitu setuju. Satu hal yang
sebenernya bikin aku percaya. Kalau Ana yang ditawarin
bikin buku itu udah ada kepastian bahwa buku kita bakal
terbit. Kalau enggak, mana mungkin aku bisa percaya kalau
aku bisa bikin buku, Lara?” Aku semakin berkecil hati. Tidak
bermaksud agar Lara terus bisa menyemangatiku, tapi kali
383ini aku benar-benar jujur. Aku memang tidak sepercaya diri
itu.
“Nope, nope. Itu bukan Saka yang aku kenal. Kamu lama
enggak ketemu aku kok, jadi menciut gini? Enggak ada yang
rawat ya, Mas?” Lara mulai menggodaku.
“Sial Lara! Berhenti membuatku tersipu. Aku lemah!” teriakku
dalam hati.
“Saka, aku juga enggak nyangka banget akhirnya harus
ketemu kamu dengan perantara Riana. Siapa yang pernah
dan bisa nyangka semua hal ini sih? Kalau kata Riana, kamu
tuh dikelilingin sama keajaiban. Mungkin ini yang bisa bikin
kamu percaya. Keajaiban itu adalah rezeki kamu. Itu adalah
manifestasi dari semua yang udah terjadi, yang pernah kamu
lakuin. Aku enggak tahu kamu pernah ngapain aja, tapi
aku yakin keajaiban ini, rezeki ini, adalah milik kamu yang
emang sudah sepatutnya sampai di kamu. Hal selanjutnya
adalah apa yang bakal kamu lakuin sama rezeki itu?” Lara
menatapku. Mata hitamnya memancarkan pertanyaan yang
dalam.
Seolah dirinya memaksaku mencari makna dalam
nurani yang selama ini aku abaikan. Nalar sedang berusaha
memohon pada nurani kali ini, untuk bisa bekerja sama
mencari makna itu.
“Apa yang akan aku lakukan pada rezeki ini?” Pertanyaan
itu berputar-putar mengelilingi nalar hingga membuatnya
pusing. Terjun bebas ke dalam nurani, dan ikut menggodanya.
384“Aku enggak tahu...” jawabku pasrah.
“Saka, inget sama makna yang orang tua kamu tanam di
nama kamu...” ucap Lara pelan tapi menampar hebat diriku.
Perlahan semua sel dalam diriku sedang mengalir deras
menuju nurani. Menyalakan sebuah gelombang yang lama
mati dalam diriku. Semua atom saling bergesekkan membuat
pijar untuk membuat nurani yang tidak aku ketahui telah
lama sekarat. Sebuah rahasia sedang gemetar dan ketakutan
dalam ruang paling rahasia dalam dadaku. Ingin segera
keluar dan terkuak hingga akhirnya hinggap di telinga Lara.
“Lara, aku nulis sebenernya udah lama. Dulu, aku selalu
pengen jadi penulis. Dulu banget.... Sebelum ada orang-orang
yang jahil ngebaca tulisan aku di salah satu buku catatan
kecil yang selalu aku bawa waktu SMP. Aku akhirnya diejekin
karena jadi satu-satunya laki-laki yang nulis romantis
dengan puisi-puisi yang aku buat. Sejak saat itu, aku enggak
pernah ngerasa ingin nulis. Enggak pernah berani lagi untuk
punya mimpi itu. Itu yang selama belasan tahun mengubur
mimpi aku untuk jadi penulis. Karena emang bener, semua
orang selalu menertawakan tulisan-tulisan galau, tulisan
lembut yang terkesan melankolis. Lara, aku laki-laki. Itulah
yang selalu bikin aku ngerasa lemah dan cuma berani
nyembunyiin kelembutan itu, hingga akhirnya aku sebisa
mungkin menghilangkan itu dari diri aku.” Aku bercerita
lirih.
Rahasia yang aku pendam sangat lama, akhirnya bisa
385lepas. Seolah hidup bebas karena tak lagi terkungkung dalam
batinku yang paling gelap. Dalam masa lalu yang selalu
menghantuiku.
“Aku ngerti, Saka. Maaf kamu harus ceritain itu, dan maaf
aku harus ngerasa seneng juga karena kamu akhirnya bisa
ceritain hal yang selama ini kamu pendem. Asal kamu tahu,
hal itu yang selama ini kamu rawat dan akhirnya tumbuh
melebihi diri kamu sendiri. Ketakutan itu yang selama ini
justru harus kamu hancurin malah ngehancurin kamu.” Lara
menghela napas.
“Aku yakin kamu juga pasti punya dendam sama orang-
orang yang nertawain kamu. Tapi tanpa kamu berusaha
balas dendam, karya kamu justru yang akan menertawakan
mereka. Semua hal yang mereka tertawakan, justru akan
bisa berguna buat mereka saat ini. Maafin mereka, Saka. Saat
itu mereka enggak tahu apa yang mereka lakuin. Sekarang
kamu pasti tahu, mereka butuh baca tulisan-tulisan itu. Kata-
kata lembut yang dulu kamu sembunyiin itu ternyata bakal
bisa ngasih pemahaman yang baik buat mereka. Aku pengen
kamu terus nulis, bukan untuk balas dendam dan buktiin
bahwa mereka salah. Enggak usah.”
Aku masih menatap wajah Lara saat dirinya berbicara.
Seolah dirinya sedang menasihati seorang bocah ingusan yang
sedang menangis karena kehilangan mainan kesayangannya.
Bedanya, aku kehilangan keyakinanku pada diri sendiri.
“Kamu selalu pengen bisa berguna buat orang kan?
386Kamu pengen punya mimpi. Kamu enggak liat keterkaitan
itu dengan buku yang kamu tulis? Kamu sendiri yang bilang
bahwa banyak banget orang di luar sana yang mungkin
butuh pemahaman yang kamu punya, makanya kamu nulis
buku ini kan? Just, don’t stop now. Setelah buku ini, orang-
orang di luar sana selalu butuh cerita dan pemahaman yang
baik. Dan, mereka enggak tahu harus cari di mana. Bayangin
gimana perasaan Mama dan adik-adik kamu saat tahu tulisan
kamu bisa bantu banyak orang? Pikirin itu, Saka.” Suara lara
mengalahkan kendaraan-kendaraan yang hilir-mudik.
Kata-kata itu begitu jelas dan langsung menancap
nurani. Bak getaran petir yang merambat cepat, memompa
nyawa pada nurani untuk hidup. Semua hening kecuali
suaranya yang menggema di setiap rongga dalam diriku.
Satu persatu bayangan adik dan ibuku mulai muncul dalam
kepala. Mengingat bagaimana senyum mereka yang sudah
jarang aku ingat.
Lara benar. Aku harus kembali mengingat perihal doa
yang ditancapkan dalam namaku. Aku, harus menjadi saka
tidak hanya untuk orang-orang yang aku kasihi. Aku harus
menjadi sang saka, bagi mereka yang sedang bersembunyi
membutuhkan pemahaman baik. Setidaknya sebuah
pemahaman perihal kepercayaan akan diri masing-masing.
Semua orang selalu membutuhkan cerita yang
menggugah. Saat semua orang kini hanya berteriak saling
meneriakkan kesalahan satu sama lain. Aku ingin sekali
387berbisik pelan melalui kata-kata yang tak ingin diteriakkan.
Semua barisan kata akan aku sampaikan dengan lembut
langsung merambat pada hati setiap pembaca.
Ya, aku ingin menjadi seorang yang bisa berbisik pelan.
Seolah mengajak pembaca untuk berbincang dalam sebuah
sepi yang paling khidmat dan syahdu. Sebuah sepi yang sering
dihindari banyak orang, tapi juga diam-diam dibutuhkan
setiap jiwa.
“Makasih ya,” ucapku pelan.
Wajah Lara kembali santai. Bibirnya yang basah terlihat
menyegarkan dengan senyuman kelegaan itu.
Saat inilah, saat aku tidak merasa puas pada keadaan kami
yang kembali baik. Namun, aku masih tidak bisa melangkah
pada kembali itu sekarang. Pada titik kembali yang membuat
kami bisa lebih dekat dari sekadar berdampingan, dari
sekadar bersama, dari sekadar berbincang, dari sekadar
saling mengirim pesan dan saling bertanya perihal apa saja
yang kami lakukan hari ini.
Belum, nurani yang baru saja terbangun oleh ucapan-
ucapan Lara, memintaku untuk menunggu. Masih belum
waktunya. Aku menuruti. Nalar pun entah mengapa sedang
menyetujuinya. Padahal kemungkinan sudah jelas bisa
dikalkulasikan oleh nalar saat ini. Mungkin nalar sudah
menemukan jati dirinya, atau sudah berdamai dan malah
tertarik pada keindahan nurani yang selalu menyembunyikan
makna di balik setiap kejadian-kejadian yang mengacaukan
388nalar.
Kami akhirnya beranjak, dengan detak-detak yang saling
melegakan, pada detik-detik yang baru saja menenangkan.
Setelah makan malam, aku dan Lara pergi menuju jalanan
Malioboro. Menikmati keramaian dan pelataran kota bak
sepasang turis. Sudah lama kami tidak berjalan tak tentu
arah demi obrolan panjang yang terbang ke mana pun isi
kepala menuju.
Aku menceritakan semua, seperti biasa. Menjadi
pendongeng bagi gadis kecil sebelum pergi terlelap. Menjadi
nyanyian yang paling ditunggu untuk mengantarkan
kesadarannya menuju alam mimpinya. Ceritaku, dirindukan
Lara untuk memanjakan tidak hanya telinga tapi juga
batinnya. Kehadiran Lara menenangkan semesta yang ada
dalam diriku.
Sepatutnya keadaan ini sudah bisa menjadi sebuah titik
cukup untuk aku. Namun, entah untuk Lara. Apakah titik
kembali aku bisa sama dengan Lara? Bagaimana jika titik
cukup aku dengan Lara berbeda? Hingga akhirnya kami tidak
pernah bisa saling mencukupi.
Terkadang, dari semua yang telah terjadi dan mem-
bawaku ke sini, ada sebuah keegoisan yang masih bersarang
389dalam diriku. Merasa memilki Lara, meski sebagai apa pun
itu untukku. Namun, harusnya saat aku sadar bahwa aku
tidak ingin memilikinya secara egois, di situ pula letak
keegoisanku yang lain muncul. Merasa kehilangan.
Pikiranku pun meracaukan pertanyaan perihal mana
yang lebih egois, merasa memiliki atau merasa kehilangan?
Aku harusnya sudah cukup untuk merasa memiliki Lara
sebagai apa pun itu, dan buatku itu sudah cukup egois. Aku
jatuh cinta kepadanya pada detak yang entah kesekian
kalinya mendebarkan kehilangan. Aku selalu merasa jatuh
cinta, pada saat aku merasa kehilangannya.
Di sini, entah siapa yang paling hebat berdusta, entah
siapa yang paling hebat terluka. Jika pada akhirnya kami bisa
saling mengisi, semoga kami tidak mengisinya dengan dusta
yang seolah-olah membaikkan. Karena, pada akhirnya kita
hanya akan penuh oleh luka, alih-alih berusaha bersuka cita.
Lara selalu pandai menyembunyikan perasaannya, aku
selalu pandai meyembunyikan perjuanganku. Lalu di mana
garis temu untuk kami jika akhirnya kami hanya saling
bersembunyi pada keadaan yang seolah baik, padahal
tidak cukup baik untuk bisa merasa cukup. Aku hanya tahu
bahwa aku dan Lara, mungkin sama-sama lelah untuk saling
melukai. Lelah untuk akhirnya menjadi orang yang sama-
sama menjadi penyebab luka. Tapi bukankah di situ letak
juang yang seharusnya menjadi peluang?
390Semua yang bersama, tak pernah benar-benar dengan
sengaja meluka, tak pernah berniat berdusta. Justru dengan
selalu merasa lelah untuk meluka dan terluka, kita hanya
akan berakhir memendam dusta, berharap saling melupa,
tapi hanya bisa saling berduka.
Di ujung pelataran malam, kami akhirnya melangkah
ke tempat kembali masing-masing hari ini. Kami saling
merelakan pulang. Lampu-lampu kota, jalanan yang basah
sehabis hujan, dan keramaian orang-orang di sekitar,
melambaikan perpisahan. Mengantarkan kami pada hari
esok yang menjadi harapan semua umat.
Lara kembali pulang, aku kembali menuju Coffee and
Drama. Segelas kafein sepertinya sedang dibutuhkan oleh
kepalaku.
Sekembalinya, tamu sudah sepi. Kevin dan Agil sedang
membereskan bar. Aku hanya menyapa seperlunya dan
menyeduh segelas kopi manual brew. Kemudian, duduk di
kursi bar dan membuka laptop untuk mengunjungi laman
Blog. Isi kepala ini sudah ingin liar dan tumpah pada tempat
yang tepat.
Kita adalah manifstasi dari masa lalu, yang terbentuk dari
kesalahan-kesalahan yang penuh resah, dari kebenaran-
kebenaran yang benderang.
391Membentuk kita menjadi sebuah keteraturan yang
membosankan, terkungkung dalam stabilitas yang terlalu
aman. Padahal yang kita cari adalah sebuah kenyamanan.
Kita akhirnya menjadi sebuah makna yang terbalik,
kau ingin semua tetap aman, aku ingin kita dapat tetap
nyaman.
Karena bagiku, kau tak bisa aman jika tak nyaman.
Bagimu, kau butuh aman agar tetap hidup nyaman.
Kau yang begitu memperhitungkan setiap langkah,
aku yang begitu menikmati setiap langkah.
Bukankah, tidak ada perhitungan pasti dalam sebuah rasa?
Hubungan kita bukanlah ilmu pasti, yang selalu dapat kau
atur agar mendapatkan persamaan yang selalu kau inginkan.
Kita bukanlah barisan angka yang hanya menuntut untuk
menjadi sebuah persamaan dalam pembagian-pembagian
yang kita perankan.
Kita adalah barisan kekacauan yang indah, yang justru dapat
membentuk sajak-sajak penuh makna yang bersembunyi.
Aku mem-posting tulisan pada laman Blog pribadiku
yang sepertinya telah lama kuabaikan. Semua pertanyaan
akhirnya hidup dengan nyaman dalam sebuah prosa.
392“Mas Kevin, Mas Saka. Agil pamit ya, sampe ketemu
besok,” kata Agil seraya menuju pintu keluar.
Tinggal aku dan Kevin. Kevin masih melakukan closing
dengan mencatat pemasukan hari ini.
“vin, lu masih belum juga pengen ngadain menu
cappuccino?” Aku bertanya pelan. Cukup mengerti bahwa
pertanyaan ini bisa saja mengundang emosi Kevin.
“Gue enggak mau ngomongin itu daripada kita harus
berantem,” jawab Kevin ketus.
“Lah, ngapain mesti berantem kalau bisa diskusi doang.”
Aku berpendapat.
“Kita udah selesai diskusi. Lu udah tahu jawabannya.”
Kevin bersikeras.
“Gue enggak paham, tujuan lu untuk tetap sama prinsip
luselain membangun budaya manual brew itu sendiri. Mau ada
atau enggaknya cappuccino itu, enggak bikin mati budaya atau
prinsip yang lu bangun kan?” Aku mulai mempertanyakan
pemikirannya.
“Ini enggak sesempit idealisme yang lu pikirin, Saka.
Ini juga menyangkut dana, menyangkut operasional dan
keteraturan kerja di bar. Meskipun iya, prinsip juga. Lu
kebayang enggak sih ntar gimana barista nyiapin pesenan
dan bikin lama? Kecuali kita punya mesin. Dan, lu tahu harga
mesin berapaan kan?” ujar Kevin.
Kali ini aku tidak sedang ingin berdebat panjang dengan
Kevin. Mungkin dia memang punya tujuan lain. Mimpi lain
393dalam dunia kopi yang cuma ada pada kepalanya. Tugasku
adalah tidak mengacaukan mimpinya.
“Kalau es kopi susu, lu enggak kepengen bikin juga?”
Aku bertanya pelan.
“Anjrit. Gue lama-lama kesel. Pada akhirnya semua kedai
kopi akan bikin es kopi susu juga pada waktunya. Kampret,
kampret, kampret,” ujar kevin. Nadanya kini lebih ringan
dan terdengar bersahabat meski masih ada sedikit amarah
pada dirinya.
Prinsip yang dimiliki dan dibangun dalam diri Kevin,
bagaimana pun akan tunduk pada permintaan pasar. Karena
kami tahu, demand es kopi susu tanpa data pasti pun sudah
kami setujui lebih tinggi dari pada cappuccino dan iced coffee
latte.
“Haha. Lu tahu gimana bikinnya kan? Bikin espresso-nya
bisa diakalin dan enggak harus dibikin saat ada pesenan aja.
Bisa di stok. Dude, gue paham lu punya prinsip, dan mungkin
gue enggak tahu pasti gimana rasanya punya prinsip kayak
lu. Tapi lu enggak rugi-rugi banget kalau akhirnya ngikutin
pasar kok.” Aku berpendapat lagi. Berharap kalimatku tidak
terlalu menyulut emosinya.
“Lu juga punya prinsip, Saka. Inget obrolan kita tentang
Ana, tentang Lara, tentang buku lu yang terinspirasi dari
kisah lu? Lu punya prinsip kalau itu akan punya makna.
Prinsip sama halnya dengan nilai kepercayaan yang lu taruh
pada sesuatu yang lu pegang. Meskipun enggak semua orang
394bisa lihat itu, tapi karena lu yang punya prinsip jadi cuma lu
yang tahu. Sama halnya kayak gue. Lu enggak bisa lihat nilai
itu, karena cuma gue yang percaya sama hal itu. Gue enggak
bisa bikin lu percaya, selain gue yang harus keras kepala
sampe akhirnya nanti lu bisa percaya sendiri sama hasilnya.
Setiap makna, setiap nilai, butuh waktu untuk akhirnya
berbuah. Lu juga paham itu kan?” ujar Kevin serius.
Dirinya benar, setiap orang memiliki prinsip yang
tidak bisa diterima oleh khalayak. Oleh mata yang hanya
memandang dari titik benar masing-masing pribadi yang
melihatnya. Ada sejarah, ada cerita, ada keperluan, dan ada
hati yang terkait bagaimana sebuah prinsip bisa terbentuk.
Prinsip sama halnya dengan makna, laiknya saka, sebuah
entitas tak kasat mata. Samar, tapi begitu jelas terasa. Laiknya
iman, yang menjadi roh pada setiap maksud yang dilakukan
setiap manusia.
“Iya, gue paham kok. Tapi please ya, mau dong bikin es
kopi susu.” Aku menggoda Kevin, agar suasana di antara
kami tidak terlalu berat.
Kevin menghentikan pekerjaannya dan memandangku
lekat-lekat, seakan aku akan dihabisi oleh kalimat
selanjutnya.
Namun, perlahan yang kukira itu adalah amarah,
ternyata semakin sayup dan sedikit lirih. Seolah Kevin tengah
menyerah pada salah satu tonggak prinsip dalam dirinya.
“Hhhhh. Nanti gue coba akalin. Mending lu bantuin gue
395beresin ini biar bisa cepet pulang kita,” ujar Kevin sedikit
marah.
Aku tersenyum lebar dan membantu Kevin untuk closing.
Mengecek semua sudah beres, pembukuan, bar, sampah,
dan lainnya. Hingga akhirnya kami pulang. Aku sudah
berusaha sebisaku, Kevin sudah berusaha semampunya.
Setidaknya, aku selalu berharap apa yang masing-masing
kami perjuangkan tidak melukai ikhtiar satu sama lain.
Sudah dua hari berlalu sejak penjualan online
Saka dan Riana resmi ditutup. Hasil yang cukup
menakjubkan menurutku. Buku yang disediakan
untuk dijual secara online ternyata terjual sebanyak 75%.
Sebuah awalan yang bagus, setidaknya untuk penyemangat
kedua penulis untuk kembali menelurkan karya lagi.
Namun, tugasku belum selesai. Tidak sampai mereka
sudah melakukan talkshow, dan buku-buku itu didistribusikan
ke seluruh toko buku di Indonesia. Aku baru saja kembali
setelah makan siang dan ingin melanjutkan pekerjaanku,
tapi Rani menahanku.
“Ra, tadi Rio nitip pesen. Balik istirahat lu langsung
disuruh ke ruangan dia, katanya.”
“Oh, oke. Thanks, Ran.”
396Aku membatalkan niat untuk kembali duduk di meja dan
langsung pergi menuju ruangan Rio.
“Ada apalagi sekarang?” Aku berucap lirih dalam hati.
Rio sebetulnya jarang memanggilku ke ruangannya jika
tidak ada hal yang cukup genting untuk dibahas. Dia bahkan
lebih sering datang ke ruanganku jika sedang butuh bantuan
atau ada pekerjaan yang ingin diselesaikan olehku.
Aku mengetuk pintu ruangannya dan mendapati dia
yang sedang bersandar pada kursi sambil menatap langit-
langit dengan tatapan kosong seperti memiliki beban.
“Permisi, Mas Rio manggil aku?”
Rio terlonjak melihat kedatanganku. Ia kemudian
mengenakan kacamatanya, segera menegakkan duduk, dan
menyuruhku masuk.
“Eh iya, Ra. Sini, duduk dulu.”
“Ada apa ya, Mas? Tumben siang-siang gini manggil aku.
Ada masalahkah?” tanyaku memastikan.
Rio terlihat berpikir sebelum akhirnya mengajukan
pertanyaan kepadaku. “Belakangan sering enggak ada di
kantor ya Ra? Sesibuk itu ngurusin buku Riana sama Saka?
Masih inget harus profesional kan? Tugas kamu enggak
hanya buku mereka aja loh,” ucapnya dengan nada yang
sedikit sinis.
“Loh, loh, bentar.” Aku berdeham untuk meredakan
emosi yang tiba-tiba saja hadir. “Aku enggak profesional
gitu maksud, Mas? Emangnya letak salahku di sebelah mana
397ya? Sejauh ini semua hal berjalan tepat sesuai rencana.
Bahkan beberapa deadline selesai sebelum waktunya. Aku
di luar kantor karena memang itu tugas dari Mas Rio, kan?
Kenapa harus sampe ke buku Riana dan Saka? Mengenai
buku mereka, kan dari awal Mas Rio juga tahu proyek ini
akan menyita waktu lebih banyak daripada biasanya. So,
maksudnya tugasku enggak hanya buku mereka itu apa
ya?” Aku membalikkan pertanyaannya dengan sebuah tanya
kembali.
Rio mengetuk-ngetukkan jari pada meja. Mungkin
berusaha mencari jawaban yang pas untuk membuatku
mengerti akan maksudnya.
“Aku hanya enggak mau kamu nge-treat Saka dan Riana
secara lebih spesial dari yang lainnya. Jadi, biarpun Saka
adalah seseorang yang pernah spesial buatmu atau mungkin
masih sampe sekarang, intinya jangan sampe perlakuan
kamu ke mereka dan ke yang lainnya berbeda. Penulis yang
kamu tangani enggak hanya mereka berdua soalnya.”
Aku kemudian menggelengkan kepala tak percaya atas
ucapannya. Apa tadi dia bilang? Memperlakukan Riana
dan Saka secara lebih spesial? Wow, sudah dibilang tidak
profesional sekarang aku secara tidak langsung dibilang pilih
kasih? Ingin sekali tertawa mendengar ucapannya. Namun,
aku masih berusaha menghormatinya sebagai atasanku.
“Hmmm... maaf sebelumnya, ini yang enggak profesional
aku atau Mas Rio ya? Kok, sampe ngebahas tentang seseorang
398yang spesial segala? Aneh deh, aku enggak ngerti, serius.
Kalau emang ada yang mau Mas Rio sampein, langsung to
the point aja. Biar enggak usah melenceng ke mana-mana,”
ucapku tegas sambil memberinya tatapan yang menyatakan
aku siap dengan apa pun yang akan dia bahas. Mungkin
memang sudah saatnya membahas ini dengan Rio. Aku
meyakinkan diriku sendiri akan hal itu.
“Hmm... okay. Maybe... maybe I’m jealous. Jealous of him,
with your past.” Rio kemudian menarik napas panjang sambil
mengusap wajahnya dan bersandar pada kursi. Sepertinya,
hal yang selama ini berusaha dia pendam baru saja berhasil
dia utarakan.
Aku yang sedari tadi menahan napas untuk mendengar
jawabannya, kini menghembuskan udara sepelan mungkin.
Berusaha menenangkan ritme jantungku dan membuat
oksigen bisa masuk ke otakku dengan lebih banyak agar aku
bisa tahu seperti apa seharusnya bersikap saat ini.
“Kalau boleh jujur, aku nyesel Ra. Nyesel karena bikin
proyek ini. Nyesel karena mengiyakan kolaborasi yang
digagas oleh Riana. Baru kali ini aku ngerasa aku salah banget
dalam melakukan sesuatu. Aku, Ra, aku yang ngundang masa
lalu kamu untuk kembali. Aku yang dari kemarin berusaha
menarik hati kamu untuk bisa terbuka, tapi aku sendiri yang
justru bikin kamu akhirnya membuka hati itu hanya untuk
Saka lagi.” Rio mencoba menjelaskan semua yang ada di
hatinya dengan hati-hati.
399Aku hanya mampu menatap Rio tanpa sedikitpun
menyela perkataannya.
“But its okay, Ra. Masalah perasaan enggak ada yang bisa
duga. Enggak ada yang tahu sama siapa kita akan jatuh hati,
patah hati, dan kapan waktunya itu tiba. No one. Aku sadar
itu tapi sisi egoisku enggak terima. Enggak terima dengan
kehadiran masa lalu kamu yang tiba-tiba aja dateng lagi
di saat aku berhasil bikin kamu seenggaknya nyaman dan
terbiasa dengan kehadiranku.”
“Mas, aku...”
“Kamu jangan ngerasa enggak enak, Ra. Aku sebenernya
pengen simpen ini sendiri aja. Karena dengan begitu aku
bisa dapet pemahaman yang lebih banyak. Tapi, karena
kita selalu punya kesempatan untuk ketemu tiap hari. Aku
ngerasa perlu untuk sampein ini ke kamu, semata buat bikin
aku jadi lega. At least aku enggak perlu ngehindarin kamu.
Aku hanya perlu menerima perasaan ini dan hubungan
di antara kita. Aku bilang gini langsung, karena aku tahu,
kamu se-wise itu untuk menyikapi sesuatu.” Rio menjeda dan
berdeham, “mengenai perasaanku, itu pure urusanku pribadi
dan tanggung jawabku sendiri. Enggak ada hubungannya
sama kamu, dan kamu enggak harus jaga jarak, jaga sikap
dan menghilangkan hal-hal yang udah biasa di antara kita.
Maksudku, aku akan semaksimal mungkin bikin kamu
enggak terganggu dengan perasaanku.”
Aku baru ingin berbicara tapi Rio sudah memotongnya.
400Sebetulnya aku sangat menghargai kejujurannya, yang
justru membuatku jadi tidak enak hati bila tak mengucapkan
apa-apa. Seolah aku tidak bersalah, padahal aku juga punya
kesempatan menjadi salah karena selama ini tak berusaha
menjelaskan apa pun kepadanya.
Aku menarik napas dengan dalam sebelum akhirnya
mengeluarkan suara. “Well, Mas. Aku amat menghargai
kejujuran kamu. Kalau mau nyari siapa yang salah, sebetulnya
aku bisa banget jadi salah, pun kamu bisa jadi salah. Tapi,
intinya bukan siapa yang salah dan siapa yang bener kan?
Toh, kita udah sama-sama dewasa ini. Intinya adalah
mengakui perasaan bisa sangat melegakan untuk kita. Aku
enggak tahu ke depannya aku dengan Saka seperti apa. Tapi,
aku juga enggak bisa bohong kalau aku enggak ngarepin apa-
apa dari pertemuanku dengan Saka lagi.”
Rio tersenyum meski aku melihatnya menyunggingkan
itu dengan agak terpaksa. Tapi, diamencoba menampilkannya
setulus mungkin.
“Go get him, Ra! He still loves you. He’s still into you. Aku
mungkin enggak tahu kenapa kalian pisah, kenapa kalian
malah milih seolah saling enggak kenal pas awal ketemu. Ya,
intinya aku enggak tahu masalah kalian apa. Tapi, aku tahu
dari cara Saka ngeliat kamu. Cara dia ngomong sama kamu.
Cara dia merhatiin aku saat interaksi sama kamu. Aku tahu
kalau dia juga masih ada rasa sama kamu. Ya, gimana pun
juga aku cowok. Aku ngertilah dengan sikap-sikap yang dia
401tunjukin.”
“Rasa tuh luas, Mas. Enggak bisa diartiin hanya
dengan satu-dua kali kejadian. Enggak bisa dijelasin hanya
berdasarkan hal itu masuk akal apa enggak, bisa diterima
hati apa enggak. Kalau dunia luas, buatku rasa juga bisa
seluas itu. Apalagi konsep jodoh, luas banget. Aku mungkin
jodoh sama kamu, jodoh sebagai teman dekat. Jodoh
sebagai partner kerja. Ya, karena kita cocok dalam hal-hal
itu ya, kenapa enggak buat dibilang jodoh? Ya, enggak?”
Aku tersenyum kepadanya. Mencoba memberitahunya
bagaimana perasaanku kepadanya selama ini meski tersirat.
“Kamu tahu Ra, hal apa yang paling aku syukuri
sekarang?” Rio bertanya.
Aku hanya menggeleng, memintanya melanjutkan
kalimat.
“Aku bisa punya perasaan ke kamu itu adalah hal
yang saat ini aku syukuri. Perasaan ini adalah anugerah
yang enggak bisa buat aku pungkiri. Aku jadi belajar kalau
emang bener, enggak semua perasaan harus terbalaskan.
Enggak semua cinta harus memiliki. Liat kamu bahagia
aja, aku ternyata udah seneng. Meski mungkin di beberapa
kesempatan aku sedikit nyeri liat kenyataan bahwa aku
enggak bisa seperti Saka di mata kamu. Tapi ya, jatuh cinta
sama kamu ternyata bikin aku jadi paham bahwa rasa enggak
sesempit suka dan sayang aja. Kayak kata kamu tadi, rasa
itu luas.” Rio mengulaskan sebuah senyuman. Kali ini tidak
402terkesan terpaksa.
Kami kemudian saling bersitatap dalam keheningan
untuk beberapa hitungan menit sebelum akhirnya sama-
sama tertawa. Menertawakan bagaimana cara semesta
membuat kejutan-kejutan yang kadang membuat nalar serta
nurani bersitegang. Menertawakan penerimaan-penerimaan
yang mau tidak mau memang harus dilalui sepanjang kita
masih bernapas. Menertawakan bagaimana akhirnya aku
dan Rio bisa kembali menjadi baik bahkan lebih baik dari
sebelumnya.
“Tahu enggak sih, Ra? Sebenernya ya, aku tuh udah tahu
kamu sama Saka ada apa-apa semenjak ketemu pertama
kali di Raminten itu. Jauh sebelum temenmu keceplosan
ngomong. Haha.” Rio kali ini sudah bisa tertawa lepas, dan
aku menyukai suara tawanya itu. Setidaknya ada kelegaan
dalam hatiku. Akhirnya Rio bisa mendapat pemahaman baru
secara tidak langsung dari kejadiaan yang dia alami dan
perasaan yang dia miliki.
“Hah? Kok bisa?” kali ini aku yang dibuatnya terkejut.
Rio kembali terkekeh melihat keterkejutanku. “Logika-
nya ya Ra, kamu sama Saka tuh baru kenal gitu. Tapi kamu
tiba-tiba udah pesenin dia gudeg, dan pas dia dateng tiba-
tiba bilang suka makanan itu. Pas aku tanya kamu kenapa
pesen dua, mukamu itu loh Ra, langsung pias. Kayak abis
ngeliat hantu. Kedua, waktu kamu lagi keselek dan butuh
minum tiba-tiba aja udah dia bukain botol. Yang kenal kamu
403aja belum tentu tahu kamu enggak bisa buka botol. Lah ini
Saka, yang ceritanya baru aja kenal kamu, eh malah langsung
bukain botol. Terus bilang ke kamu, enggak usah sok pesen
air mineral botol kalau masih enggak bisa bukanya. Aneh Ra,
terlalu enggak masuk akal aja sih kalau cuma kebetulan.”
“Yah, enggak pinter drama berarti aku sama Saka. Haha.”
Aku berkelakar untuk mencairkan suasana kembali.
Kami kemudian larut dalam percakapan-percakapan
yang tak hanya seputar rasa saja. Melainkan juga tentang
pekerjaan dan hal-hal lainnya seperti yang biasa kami
obrolkan. Ya, kami akhirnya sampai pada tahap itu. Tahap di
mana aku dan Rio akhirnya bisa saling menerima kedekatan
dan kenyamanan kami memang hanya sampai di batas ini.
Tidak perlu lebih karena ini sudah lebih dari cukup. Bahkan
tak perlu dikurangi, karena memang sedari awal tak ada
yang merasa diganggu atau mengganggu.
a
“Assalamualaikum.”
Aku membuka pintu depan rumahku,
perlahan masuk sambil membawa bungkusan
oleh-oleh untuk ibu dan adik-adikku. Sudah kuduga, rumah
tengah kosong. Untung aku masih membawa kunci cadangan.
Aku menyesap bau ruangan yang telah dua bulan lebih
404aku tinggalkan. Aroma kerinduan mengisi semua penjuru
ruangan.
Aku sengaja meminta cuti beberapa hari untuk pulang
saat weekend. Kevin dan Yuda dapat mengerti itu. Aku
terduduk di ruang tengah sambil menengadahkan kepala.
Betapa aku merindukan rumah.
Bedanya, aku tidak membawa rindu pada Jogja. Ada,
namun hanya sedikit. Tidak seperti kepulanganku biasanya.
Seolah rumahku yang sebenarnya adalah Jogja. Tempat di
mana teman-temanku, beberapa bagian hidupku yang dapat
membuatku utuh ada di sana.
Namun kali ini berbeda, kepulanganku benar-benar
membawaku pada sebuah pulang. Pada keluargaku. Jogja
memang tempat rindu itu tumbuh, dan Bandung tempat
mendewasakan rindu. Benar adanya bahwa setiap orang
perlu pergi, agar tahu bagaimana rasanya pulang kepada
pelukan yang jarang sekali kita anggap.
Rumah, tempat keluarga berkumpul meski kami benar-
benar jarang berkumpul. Namun, mengetahui mereka ada,
ibu dan adik-adikku, di rumah ini, adalah sebuah pelukan
paling hangat. Hanya terasa saat aku tengah berada jauh.
Jemari yang biasa mendekapku, baru terasa saat aku tidak di
rumah, Hal yang akhirnya menyadarkanku bahwa rumahlah
pelukanku paling hangat.
Karena sebenar-benarnya pulang adalah merasa bebas
saat aku baru saja bepergian. Tanpa mempertanyakan
405langkah kaki ini yang selama ini meninggalkannya. Tanpa
mempertanyakan tubuh ini yang telah bersandar pada apa
dan siapa saja.
Aku membereskan perlengkapanku, baju-baju kotor,
oleh-oleh, dan sebuah buku yang bertuliskan namaku
dan nama Ana di depannya. Kemudian, memandangi
dan menertawakannya berkali-kali pada keheningan ini.
Mungkin makhluk-makhluk yang ada di rumahku juga ikut
tertawa melihat tingkahku yang aneh.
Aku menarik napas panjang, menyandarkan bahu lagi
pada sofa lalu membaca bukuku dan Ana beberapa halaman.
Agak merasa lucu karena aku bisa tidak ingat pernah
menuliskan beberapa kata yang kubaca sekarang. Aku
membaca hingga akhirnya terlena di kursi sofa ruang tengah.
“Saka... Saka... bangun kasep. Udah sore,” suara ibuku
membangunkanku. Tangannya mengusap-usap kepalaku
dengan lembut. Seolah di hadapannya adalah bocah kecil
yang kelelahan bermain seharian. Namun memang begitu,
sedewasa dan setua apa pun seorang anak, tetap saja seorang
anak kecil di hadapan ibunya.
Aku memeluk tangan kanannya dan mencium penuh
rindu. Barang-barang yang tadi belum sempat aku bereskan
semua sudah tidak ada, sepertinya ibuku membereskannya.
Kami kemudian berbincang, membuka oleh-oleh yang aku
bawa.
Selalu, ibuku membuatkan teh hangat untuk aku teguk
406setiap kali aku pulang. Padahal yang kelelahan adalah dirinya.
Bertanya kabar perihal usahaku di Jogja. Aku bercerita hanya
yang semestinya saja. Belum berani menceritakan secara
detail apa saja yang terjadi di sana. Aku hanya merasa ibuku
tidak perlu tahu semuanya. Bahkan perihal buku, masih ada
sangsi dalam diriku untuk memberitahukannya.
Bukan tidak ingin. Tapi, aku tidak siap untuk salah
tingkah di depannya saat ibuku tahu aku menulis sebuah
buku bersama. Tersenyum? Tersipu? Di depan ibuku sendiri?
Perasaan geli menelisik di sekujur tubuhku. Aku tidak bisa
dan tidak boleh membiarkan diriku salah tingkah di depan
ibuku sendiri. Aku tidak terbiasa seperti itu. Memperlihatkan
perasaan yang begitu murni, sentimental, dan rapuh di
depannya.
Kami berbincang mengenai adik-adikku seperti biasa.
Mereka belum pulang sore hari seperti ini. Semua akan baru
pulang saat malam. Adikku, Sinar, sang kekasih katanya baru
saja menemui ibu untuk meminta izin melamarnya. Kini aku
bisa melihat mata ibuku bersinar, memantulkan bayangan
adikku yang hidup bahagia. Sebuah harapan dari doa-doa
yang selalu beliau panjatkannya akhirnya terkabul.
“Kamu nulis buku?” Tiba-tiba ibuku menjulurkan sebuah
buku yang sedari tadi aku cari.
“Hah?” Aku merepon kikuk. Entah harus berkata apa.
“lya... hehe.” Hanya itu yang bisa aku jawab kepada ibuku.
Kukira dia akan berkata sesuatu yang manis, atau
407sebuah kalimat yang mungkin menunjukkan kebanggaannya
kepadaku. Aku yang masih terduduk di kursi terkejut saat
kedua tangannya perlahan menghinggapi tubuh hingga
punggungku, hingga kusadari aku sudah ada dalam
pelukannya. Bahuku perlahan terasa basah. Air mata menetes
dengan mesra di pipinya.
Setelah kejadian itu, aku mencoba bersikap
biasa. Saat ibuku yang tahu aku menulis buku,
hanya memelukku lalu berdiri dan menuju
kamarnya. Meninggalkanku penuh pertanyaan. Entah
bagaimana perasaanku, tapi aku yakin kegelisahan yang aku
rasakan adalah sebuah kebahagiaan yang terlalu meledak
dengan seketika. Sebuah kebahagiaan yang jarang bisa aku
ungkapkan. Seolah aku tidak bersiap akan bahagia sehebat
ini di depan ibuku. Akhirnya, aku hanya merasa gelisah
karena kikuk akan kebahagiaan yang saat itu terjadi.
Satu per satu adikku akhirnya pulang. Mereka tetap
saja sibuk di luar meski weekend. Aku memberikan oleh-oleh
yang sempat aku belikan kepada Sinar, Permata, dan Putri.
Bertanya basa-basi mengenai kegiatan mereka, dan dijawab
sekenanya serta malu-malu seperti biasa.
Hanya dengan Sinar, aku bisa bercakap-cakap. Weekend
408adalah saatnya dia tinggal di rumah untuk bersantai, atau
kadang-kadang pergi dengan kekasihnya.
“Waaah... punya kakak penulis sekarang. Enggak
nyangka Sinar. Kok, Kak Saka enggak pernah bilang-bilang
sih kalau suka nulis? Mana tulisannya keren gini lagi. Temen-
temen Sinar mesti pada tahu nih,” goda Sinar saat aku tengah
berada di ruang tengah.
“Ah, biasa aja doong. Malu nih! Baru juga satu buku
doang. Kak Saka juga enggak percaya bisa bikin buku.” Aku
menjawab.
“Namanya juga rezeki. Mungkin itu doa almarhum
Bapak dulu, akhirnya kamu bisa bikin buku.” Ibuku tiba-
tiba berkata saat baru saja keluar dari kamarnya, lalu duduk
bersama aku dan Sinar.
“Hah, emang Bapak dulu pernah punya keinginan gitu?”
Aku sedikit terkejut.
“Saka, masih inget waktu itu Mama bilang kalau Bapak
dulu pengen kamu jadi ustad? Haha. Ya ini, mungkin ini
jalannya Tuhan. Caranya Tuhan mah ada-ada aja kan?
Dakwah enggak selalu harus di masjid. Tulisan kamu juga
bisa jadi dakwah untuk memberikan pemahaman dan ilmu-
ilmu positif untuk orang-orang yang baca. Itu kenapa Mama
tadi malem terharu. Langsung inget sama almarhum Bapak,”
ucap mama bahagia.
Bulu kudukku seketika bersiap berdiri. Sebuah getaran
yang entah apa tiba-tiba hinggap di sekujur tubuhku. Aku
409hanya bisa menyimpulkan, mungkin aku rindu bapak.
Perbincangan kami semua hanya membahas aku, membahas
sebuah mimpi yang tak pernah aku semogakan, ternyata
pernah di-aminkan sejak dulu oleh ibuku dan bapak.
Merekalah yang sudah menyematkan rencana kepada Tuhan
tentang buku yang akhirnya aku tulis ini.
Seruan kebahagiaan mereka, masih saja menjadi tanda
tanya besar bagiku. Perihal kepercayaan yang ada dalam diri
mereka, ibuku, adik-adikku, Lara, Ana, Kevin. Mereka semua
memiliki kepercayaan atas aku, tumbuh subur dalam diri
mereka. Herannya aku sendiri tidak menemukan itu dalam
diriku. Aku justru bisa percaya pada diriku, saat melihat
bagaimana orang-orang begitu percaya kepada dirinya.
Kepercayaan diri merekalah yang membuat aku percaya.
“Kepercayaan yang ada di orang lain adalah pantulan
dari kepercayaan diri yang ada di diri kita, Saka. Kamu
mungkin enggak percaya kamu akhirnya bisa bikin buku,
atau sebelum itu kamu sendiri enggak percaya kamu bisa
nulis buku. Tapi lihat hasilnya, orang punya kepercayaan
lebih sama kamu. Kamu cuma enggak sadar, kamu punya itu.
Kita selalu butuh cermin untuk lihat keseluruhan diri kita
kan? Nah itu, orang-orang yang percaya sama kamu adalah
pantulan dari apa yang kamu punya. Jadi, kalau kamu punya
orang-orang kayak mereka, dijaga. Merekalah pantulan dari
diri kamu. Merekalah yang akan membantu kamu. Begitu
pun kamu ke mereka,” seru ibuku menasihati.
410Betapa indah rasanya pulang. Sayang, aku harus segera
pergi lagi esok hari untuk kembali ke Jogja. Coffee shop belum
bisa aku tinggal agak lama. Aku berjanji kepada ibuku untuk
tidak lebih dari satu atau dua bulan lagi aku tinggal di Jogja.
Semoga kedai kopiku sudah bisa aku tinggal. Juga, Lara.
Sebelum balik ke Jogja, aku ingin mengunjungi makam
bapak. Aku mengajak ibu dan Sinar sekalian karena adikku
yang lain akan bertemu kami langsung di makam.
“Bapak, terima kasih telah berdoa tentang aku. Maaf, kalau
aku tidak bisa sesuai keinginan Bapak. Tapi, setidaknya rencana
Tuhan bisa menyenangkan semua orang dengan menjadikan aku
seorang penulis.
Meski baru saja dimulai, saat ini aku akan siap dengan segala
kemungkinan yang akan menggoyahkan saka dalam diriku. Ibu dan
adik-adikku, meski tak bisa selalu aku jaga dan berada di sekitar
mereka, akan aku lindungi mereka dengan seluruh doaku. Tak ada
raga yang bisa lebih kuat dari doa yang paling tulus bukan? Bapak,
terima kasih.”
“Lah, mau ke mana Narni?” Aku bertanya saat Narni sedang
bersiap untuk pergi.
“Eh, Mas Saka udah pulang dari Bandung. Narni mau
411ke kampus Mas, dosenku ngajak nge-date. Mau nontonin
skripsiku, katanya. Ya Tuhan, kapan revisian akan berakhir.
Hiks, hiks.” Narni menirukan adegan menangis.
“Namanya juga perjuangan, Narni. Berevisi-revisi
dahulu, tapi enggak tahu lulusnya kapan. Yuk, semangat,
yuk. Jangan lupa bawain semangka buat dosennya. Satu
semangka ngurangin satu revisi.” Aku menggoda Narni.
Narni tidak menggubrisku, malah sibuk menggoda Bram
saat pamit, hingga akhirnya berlalu dari Coffee and Drama.
Kevin sedang libur. Hanya aku, Bram, dan Joni sang barista
baru yang tengah in charge hari ini.
Di manaaaa?
Sebuah pesan aku kirimkan kepada Ana. Tak berapa
lama Ana membalas pesanku dan berjanji akan menemuiku
di Coffee and Drama. Kebetulan hari ini dia tengah santai
dan ingin menyampaikan sesuatu kepadaku. Kami semakin
jarang bertemu karena dirinya harus mengurusi program
beasiswanya. Komunikasi di antara kami hanya sebatas
bertukar kabar perihal penjualan buku dan respon-respon
pembaca yang diberi tahu oleh Lara kepadaku.
Aku masih tidak percaya bahwa buku kami bisa menuai
banyak sekali pujian dari pembaca. Lara selalu mengabari aku
412dan Ana akan perkembangan penjualan kami. Cetakan kedua
setelah beberapa Minggu terbit. Siapa yang bisa menyangka
itu, aku dan Ana pun sama-sama tak pernah berani berharap
sejauh itu.
Teringat sesampainya aku di Jogja saat subuh, Lara yang
tahu aku baru tiba langsung menelepon. Awalnya kukira
hanya sekadar menanyakan kabarku atau bagaimana di
Bandung. Atau, sekadar mengingatkan salat subuh dan
sarapan. Ternyata tidak, ada hal lain yang justru lebih
mengejutkanku. Hal yang lebih mengejutkan dari sekadar
akhirnya aku menulis buku.
Belum ada sebulan Amor Fati—buku Saka dan
Riana—beredar di pasaran, distributor sudah
menyarankan untuk cetak ulang yang kedua kali.
Jumlah tarikan pertama pun berkisar di angka 1.100
eksemplar. Sebuah hasil yang cukup membuat aku dan
redaksi berdecak tak percaya. Bagaimana tidak, mereka
berdua masih terbilang baru di industri ini. Tapi ternyata,
pasar sudah memberikan respon yang baik, bahkan sangat
baik.
Aku sendiri bahagia melihat laporan penjualan yang
baru saja diberikan oleh Rio. Ada rasa bangga yang diam-
413diam menyelimutiku atas keberhasilan Saka. Sebab aku tahu,
hal ini bisa jadi pemicu semangat untuk Saka tak berhenti
menulis. Setidaknya, dia bisa percaya bahwa di luar sana ada
orang-orang yang bersedia menerimanya, karyanya, serta
tulisannya yang dulu sempat mendapat ejekan dari teman-
temannya.
“Mas, masih mau nyebut ini kesalahan enggak?” Aku
bertanya kepada Rio seraya menggodanya.
Kami baru saja melakukan rapat mingguan. Rani, Ardi,
dan teman-teman lainnya sudah kembali pada pekerjaan
masing-masing dan menyisakan aku serta Rio yang masih
betah duduk memandangi laporan penjualan.
“Ini? Kesalahan? Kesalahan termanis, kesalahan terbaik,
kesalahan terkeren yang ada, Ra. Aku masih enggak habis
pikir aja sih, Ra. Projek yang enggak biasa ini, ya walau
sebelumnya juga udah pernah ada, ternyata bisa diterima
pasar dengan sangat baik. Padahal kukira pembaca masih
tertarik dengan puisi, prosa gitu-gitu. Asli, masih enggak
nyangka. Aku enggak ada prediksi sampe ke sini soalnya,
haha.” Rio tertawa.
“Aku pun kaget ini sih. Kayak yang... gilak sampe enggak
bisa ngomong apa-apa, haha,” ujarku menimpali
Danu: Lara! Amor Fati itu yang nerbitin tempat kerja
lu, kan?
414Layar ponselku menyala dan menampilkan sebuah pesan
dari kawan lamaku, Danu. Sudah lama aku tak mendengar
kabarnya. Tapi, kali ini begitu muncul justru menanyakan
tentang Amor Fati.
Lara: Lu ye, dateng-dateng PM gue bukannya nanya
kabar dulu kek, atau apa kek. Ini langsung aja nanyain
judul buku. Enggak sopan! lya, Amor Fati yang nerbitin
tempat gue. Gue pula editornya, hehe. Kenapa?
Danu: Haha, udah gue duga pasti lu bakal komen
kayak gitu. Kalau lu bisa bales PM gue, it means lu
sehat, Ra. Udah ah, gue lagi dikejar-kejar Bos nih.
Asli lu editornya? Kebeneran berarti, gue bagi kontak
penulisnya dong.
Lara: Mau buat apaan? Enggak boleh sembarangan
ngasih tahu, enak aja. Bayar lu kalau minta gitu.
Danu: Mau gue ajak bikin film.
Lara: Jangan bercanda, Dan. Gue nanya serius dih.
Danu: Yang bercanda siape? Seriusan ini, sumpah
deh, Lara. Bos gue nanyain Amor Fati tuh. Katanya,
menarik buat dijadiin film. Penjualannya lagi ngehits
kan? Di Socmed juga banyak bener yang ngomongin.
Lara: Ah, asli? Lu beneran nih?
415Danu: Gila ya nih cewek atu, gue dari tadi ngomong
serius Ra. Ato, kalau enggak gini deh. Dua hari lagi
kebetulan gue ke Jogja. Lu ajak deh tuh penulis lu
ketemuan sama gue. Kita bahas tentang ini. Gimana?
Ponselku kuletakkan di meja begitu saja. Jujur saja
aku gemetar sendiri mendengar berita tersebut. Bukan
gemetar ketakutan. Tapi, adalah gemetar karena tak pernah
menyangka akan mendapatkan kejutan bertubi-tubi seperti
ini. Aku bahkan belum sempat memberitahukan Saka dan
Riana kabar mengenai cetak ulang buku mereka. Kini justru
sebuah kabar bahagia kembali datang menghampiri.
Mungkin benar kata Riana, Saka dikelilingi oleh
keajaiban-keajaiban. Aku masih menangkupkan kedua
tanganku di wajah hingga Rio tiba-tiba saja menyadarkanku
dari keterkejutan ini.
“Ra? Kamu kenapa? Itu HP digeletakkin gitu aja trus
sekarang malah kayak orang gemeteran.”
“Aduh Mas, sumpah ya, sumpah. Aku enggak ngerti
harus ngomong apalagi. Saking bahagianya, saking kagetnya,
saking serba mendadaknya ini semua tuh,” jawabku penuh
antusias.
“Ada apa sih Ra? Lemme know it. Bahagia tuh dibagi-bagi
lebih asyik loh.” Rio sekarang mulai serius memandangku.
Penasaran dengan hal yang menyebabkanku bisa sebahagia
ini.
416Danu: Lu kira gue koran? Dibaca doang enggak
dibales. Gimana, Ra? Gue butuh kepastian nih, eh Bos
gue deng yang butuh.
Sebuah pesan dari Danu kembali muncul di layar ponsel.
Aku buru-buru membalasnya dan membiarkan Rio semakin
penasaran dengan ceritaku.
“Dih, si Lara bener-bener ya. Orang nungguin dia cerita
ini malah sibuk main HP. Kenapa sih? Saka udah ngajak
balikan? Apa jangan-jangan langsung ngajak nikah? Kamu
dilamar?” Rio memberondongku dengan pertanyaannya.
“Yeeee... jayus! Bukan ituuuu.... Bentar dulu...” Aku
kemudian melanjutkan mengetik balasan untuk Danu.
Lara: Oke, siap. Gue atur buat kalian nanti ketemuan!
Terima kasih banyak untuk info bahagianya. Terbaik
emang temen gue satu ini!
Danu: Oke, sip kalau gitu :D
Aku kembali meletakkan ponsel di atas meja kemudian
memandang Rio sambil bertopang dagu. Menggerak-
gerakkan alisku serta memberikannya senyum jahil yang
sarat makna. Rio kemudian menutup laptop dan mengacak
rambutku gemas.
“Cepetan cerita dih. Kalau enggak kutinggal ya, bodo
amat deh enggak tahu juga enggak apa-apa.”
417“Ciye, penasaran ciye, hahaha,” ucapku sambil mem-
benarkan rambutku yang berantakan sebab ulahnya.
“Jadiiii... selain kabar bahagia Amor Fati cetak ulang, ada
kabar bahagia lagi buat Amor Fati. Tahu enggak apa?”
“Oke, apa?” tanya Rio kemudian.
“Mau tahu banget, apa mau tahu aja?” Aku kembali
menggodanya yang sudah gemas dengan ulahku. Rio tak
menjawab tanyaku tapi segera berdiri dari tempat duduknya
hendak meninggalkanku.
Aku yang terkejut karena sikapnya langsung memegang
Jengannya dan menyuruhnya untuk duduk kembali.
“Oke oke jangan ngambek, nih serius mau kukasih
tahu. Jadi... Amor Fati ditawarin... untuk... jadi FILM!” Aku
mengucapkannya dengan setengah berteriak kemudian
buru-buru menutup mulut karena lupa ini masih jam kerja.
“Asli, Ra? Gilaaaaa, ini tuh... speechless sih aku. Kamu
enggak lagi bercanda kan?”
Aku menggeleng. “Enggak, sama sekali enggak bercanda.
Dua hari lagi pihak production house-nya mau ke Jogja. Ngajak
kita, penerbitnya, dan ngajak si Saka sama Riana buat
ketemuan bahas penawaran ini.”
Rio kemudian tertawa sambil menyandarkan tubuh di
kursi. “Aku enggak ngerti lagi sih sama kejutan dan berita
bahagia yang bertubi-tubi ini. Kamu kabarin mereka gih
cepet. Manfaatin momentum yang ada. Kalau bisa langsung
ajak ketemu aja hari ini areng kita.”
418“Oke siap, Bos!” Aku meletakkan tanganku di pelipis
membentuk hormat kepadanya lalu segera berencana untuk
mengabari Saka dan Riana akan berita bahagia ini.
-~
“DEMI APA ENGGAKKK?” Ana berseru tak
percaya.
Seisi Coffee and Drama tiba-tiba melirik ke arah
kami. Aku tak peduli dan malah ikut berteriak di depan Ana.
“Demi Amor Fati! Hahaha.” Aku ikut berteriak tapi tak
sekencang Ana.
Aku tahu, berita ini tidak bisa kami terima begitu saja
dengan keadaan baik-baik saja. Kami malah dibuat baik
tapi di luar kendali. Bahkan beberapa detik setelah aku
diberitahu Lara bahwa buku yang kami tulis berhasil mencuri
perhatian salah satu Productioun House dan menawari
mengadaptasikannya menjadi sebuah film, Ana hanya bisa
menatapku dengan pelupuk mata yang seketika basah.
Ada bahagia yang jelas tak bisa dia bendung sendirian.
Kami berdua bahkan sama-sama tidak bisa membendung hal
itu.
“Well, aku bangga sama kamu Saka,” ujar Ana. Kali ini
suaranya mulai tenang tak seheboh sebelumnya.
“Lah, kok aku sih? Kita lah. Kita yang bikin buku itu.”
419Aku membantah.
“Ssttt... it’s always about you from the very first. Getaran
kamu kuat banget untuk mengundang semua keajaiban ini.
Aku cuma ya salah seorang yang terseret sama getaran yang
ada di diri kamu, yang akhirnya membuat ledakan keajaiban.
Dan, voila, kamu membuat sebuah ledakan kosmik dari semua
kebetulan yang ada.” Ana berujar penuh semangat.
“Lah? Apaan sih, kok aku doang. Kalau enggak ada kamu,
enggak mungkin ada ledakan ini. Kamu bagian dari ini juga.
Kamu ledakan itu juga tahu,” ujarku masih membantah.
“lya, aku bagian dari ini, tapi tetep kamu inti ledakan itu.
Kamu nyawa dari keajaiban ini,” ujar Ana.
“Aahhh... udah napa jadi ngomongin siapa inti ledakan,
siapa asep ledakan sih, haha. So? Hanya tinggal butuh iya
dari kamu nanti kita bakal ketemu sama Lara dan Rio
untuk obrolin ini lebih lanjut. Pihak Production House juga
ngundang kita untuk bantuin bikin script writing biar lebih
memaksimalkan feel film yang akan dibuat.” Aku menunggu
jawaban Ana.
“Saka, aku bilang ke sini juga mau ngasih tahu kamu
sesuatu kan?” ucap Ana pelan.
“Ya? And what is it?” tanyaku tanpa curiga.
“Beberapa minggu lagi aku bakal terbang ke London buat
$2. Semua urusan administrasi udah beres,” ucapnya pelan,
diakhiri senyum yang terlihat seperti sebuah lirih.
“Hah? Kok, secepet itu?” Aku bertanya seolah tak terima.
420Ana kemudian bercerita bahwa kedua orang tuanya
telah mengurus kepergiannya sejak sebelum kelulusannya.
Mereka yang bekerja di Kedutaan Indonesia di London sejak
beberapa tahun lalu memang sudah merencanakan hal ini.
“Aku seneng banget dapet kabar itu dari kamu. Aku
pikir tugasku selesai sampe akhirnya bisa bantu kamu untuk
bikin buku. Itu udah cukup banget buat aku. Ternyata masih
ada kado tambahan dari Tuhan, hahaha. Jadi, aku serahkan
semuanya sama kamu dan Mbak Lara untuk ngurus film ini,”
ucap Ana.
“Yah, duh. Kok, aku malah enggak terima ya, kamu mau
ngejar mimpi kamu di London? Emang enggak bisa diundur?”
Aku masih berusaha memohon.
“Hahaha, ya enggak lah. Udah ketentuan dari
universitasnya. Ya, masa aku yang ngatur. Haha. Udah,
aku percayain filmnya sama kamu dan Mbak Lara ya.” Ana
tersenyum, mencoba menghiburku. Seolah aku tengah
dirundung kesedihan.
“Ana, ini kan yang nulis kamu, masa dilemparin ke orang
lain?” Pikiranku melayang entah ke mana. Aku masih tidak
terima jika Ana harus pergi secepat ini. Aku bahkan tidak
pernah mempersiapkan hal ini akan terjadi.
“Aku tahu. Tapi, Mbak Lara juga perempuan. Dia akan
ngerti dan paham banget gimana punya feel yang sama di
cerita dalam buku itu. Apalagi kamu ngangkat cerita tentang
perasaan kamu ke dia juga. Jadi, pas dong kalau kalian jadi
421partner untuk bikin script writing-nya. lya, kaaan...?” Ana
masih berusaha menggodaku.
Aku tak bisa untuk tidak setuju. Sebagian dari diriku
malah merasa senang jika harus mengurus film itu
bersama Lara. Tapi, Ana juga berhak untuk bisa menikmati
kebahagiaan itu. Tak bisakah semesta mengaturnya lebih
sempurna agar perasaanku lebih lega? Agar semua keadaan
bisa lebih adil bagi semua orang. Mungkin jika aku benar-
benar meminta itu, semesta hanya akan mengutukku karena
tidak bersyukur atas semua rencana yang sudah diberikan
kepadaku.
“Mungkin tugasku udah selesai di sini. Siapa tahu loh
ternyata aku tuh utusan semesta buat bikin kamu sama Lara
akhirnya ketemu lagi, hehehe,” ucap Ana sambil menyeruput
milky berry di tangannya.
“Lah, kalau gitu andil aku buat kamu apaan dong? Kok,
aku ngerasa enggak punya andil apa-apa buat kebaikan kamu
ya, hahaha.” Aku tertawa sedikit miris. Menyeruput iced
chocolate di tanganku.
“Heh, jangan gitu. Banyak tahu! Kamu udah jadi temen
yang luar biasa hebat buat aku. Kamu ngajarin aku banyak
hal. Kamu yang bisa bikin buku ini diterima banyak pembaca
dan akhirnya malah diangkat jadi film. Kamu ngajarin aku
gimana perjuangin sesuatu yang kamu yakinin banget.
Ngejar Mbak Lara misalnya, hehe. Kamu bikin aku percaya
bahwa masih ada temen yang bener-bener baik di dunia
422ini. Yang saling bisa saling menghebatkan. Yang pedulinya
enggak cuma nyinyirin tapi ngasih tahu mana baik mana
buruk. Kamu harus tahu, aku bersyukur banget bisa ketemu
dan punya temen kayak kamu. Come on! Cheer up, Pal!” Ana
menepuk pundak kananku.
Entah aku harus bersyukur sebanyak apa. Namun,
memiliki teman seperti Ana membuat aku tak bisa meminta
apa-apa lagi selain untuk tetap bisa mengenalnya sebaik ini.
Mungkin kini saatnya untuk aku memeluk nurani. Atas semua
perih yang dilalui, semua luka dan duka yang menghampiri
dan bersarang dalam diriku, akhirnya bisa tumbuh menjadi
sebuah kesatuan makna yang indah, mekar tanpa ragu, dan
menjadi sebuah keindahan yang dapat dinikmati banyak
jiwa.
Keadaan seperti ini membuatku ingin sekali memberikan
banyak hal yang patut dimiliki oleh Ana. Meski entah apa,
tapi apa pun. Demi dirinya yang telah sangat baik dan
percaya sepenuhnya kepada diriku saat aku sendiri tidak
mempercayai diri sendiri. Ana, bagiku lebih dari teman yang
sekadar aku kenal dari laman maya. Ana adalah jiwa dari
sebagian diriku. She is more like my significant other. Dua raga
yang lahir dari satu jiwa.
“Heh, udah balik lu?” tiba-tiba suara Kevin terdengar
dari arah kursi bar.
“Oi, iya tadi pagi gue sampe, Coy. Lu libur kok ke sini?”
tanyaku sedikit berteriak ke arah Kevin.
423“Gue punya sesuatu buat lu, Nyet. Sini, sini!” ujar Kevin
semangat.
“Eh, santai. Gue dulu yang punya sesuatu buat lu,
hahaha.” Seraya aku berdiri dan mengajak Ana untuk duduk
di kursi bar.
Aku dan Kevin berebut perihal siapa yang lebih dulu
boleh memberikan ‘sesuatu’ kepada satu sama lain.
“Hah! Ya, udah lu dulu.” Kevin menyerah.
Aku menghela napas. “Buku gue sama Ana mau diangkat
jadi film, Nyeeeeet...! Hahahahha.” Aku berteriak di depan
Kevin.
“DEMI APAA LU! Anjir, enggak ngerti lagi gue. Keren
parah lu!” Kevin memelukku. “Kalau gitu pas banget, gue
punya hadiah atas berita baik ini,” ujar Kevin sambil menuju
ke dalam bar, membuat sesuatu yang sepertinya bisa langsung
aku tebak.
“ES KOPI SUSU?! Anjir!” Giliran aku yang memeluk Kevin.
Ana dan Agil serta Bram yang kebetulan saat itu tengah
in charge hanya tertawa melihat kelakuan kami.
“Eh, enak, Nyet! Parahh! Siapa dan gimana bikinnya
nih?” tanyaku sambil menawarkannya kepada Ana.
“Gue! Ntar lah, rahasia perusahaan,” sombong Kevin.
“Narni udah tahu belum kabar dari lu?” lanjut Kevin.
“Lah, tadi doi buru-buru cabut ke kampus. Mau ngasih
semangka ke dosennya biar enggak revisi, hahahha.” Kami
tertawa terbahak.
424Coffee and Drama menjadi sebuah saksi bahwa setiap
detiknya adalah sebuah rentetan drama yang tak pernah
berhenti. Setiap drama itu terjadi, kopi menjadi salah
satu penyempurna yang dapat menghangatkan hati dan
mendinginkan kepala dari semua hal yang mungkin akan
membawa kita pada ingatan-ingatan lalu tentang luka,
tentang perih, dan tentang semua yang ingin dikeluhkan.
Namun Tuhan, jika saat ini kau memberikanku izin
untuk memberikanku lebih, bolehkah aku minta untuk
merasa cukup?
Sejak aku yang akhirnya bisa berkata jujur
kepada Rio tentang hubunganku dulu dengan
Saka, semua berjalan lebih baik. Komunikasiku
pun dengan Saka saat ini tidak hanya seputar bahasan buku
saja. Meski memang masih sangat terbatas. Seolah ada
dinding kaca yang membuat kami hanya sanggup melihat
segalanya samar tanpa pernah bisa untuk meyentuh.
Aku sudah usai menamatkan membaca Amor Fati dengan
memposisikan diriku sebagai Lara dan seorang pembaca,
persis seperti kata Riana. Entah mengapa aku semakin yakin
bahwa rasaku dan Saka masih saling terpaut. Namun kami,
tampaknya masih sama-sama meragu untuk kemudian
425melangkah dan membuat yakin satu sama lain.
Aku tak tahu ketakutan apa yang membentengiku untuk
tidak mampu sepenuhnya percaya kepada Saka. Maksudku,
jika benar dan jika boleh ge-er bahwa buku itu memang
ditujukan oleh Saka untukku sebagai salah satu bukti
perjuangannya, tetap saja aku tak bisa serta merta percaya.
Saka tak pernah mengatakannya langsung.
Menarik sebenarnya, masing-masing kami terlalu
lihai dalam hal menyembunyikan sesuatu. Saka lihai
menyembunyikan perjuangannya, bahkan tak bersedia
meneriakkannya secara lantang. Sedang, aku terlalu lihat
menyembunyikan rasaku kepadanya dengan berdalih selalu
menerima dia sebagai apa pun dia untukku. Padahal ‘apa
pun’ tidak pernah membuatku merasa cukup akannya.
Sempat beberapa kali aku bertemu dan menghabiskan
waktu bersama Saka, bukan dalam kepentingan pekerjaan,
melainkan sebagai Saka dan Lara yang sudah saling
mengenal. Sebagai Saka dan Lara yang dulu pernah menjadi
teramat baik dan sekarang juga sudah mampu untuk kembali
baik. Setelah apa-apa yang tidak baik terjadi di antara kami.
Bertukar cerita, tertawa bersama, menjadi pendengar
bagi Saka, adalah kebiasaan-kebiaasan yang kini berulang.
Aku sadar, pernah menyakiti dan melukai Saka dengan masa
lalu yang kumiliki. Terlalu ingin menjadikan Saka sempurna,
hanya agar aku tak lagi kehilangan seperti yang sudah-
sudah. Terlalu ingin Saka berubah, dengan dalih agar dia
426bertumbuh menjadi lebih baik, justru malah membuatnya
menjalani semua dengan keterpaksaan.
Aku pernah melukai Saka. Aku pernah dilukai oleh
Saka. Semua itu hanya perihal ego yang tak bisa diredakan
dan dijunjung terlalu tinggi oleh diri masing-masing. Sejak
berpisah dengan Saka hingga kemudian dipertemukan
kembali dengannya, aku menyadari sesuatu. Saka telah
menerimaku sepenuhnya, tetapi aku tak jua menerima dia
seutuhnya.
Saka sudah begitu baik dengan tak memberikan banyak
permintaan untukku. Sedang aku, selama dulu berhubungan
dengannya justru selalu menuntut dan menuntut. Padahal
sepatutnya dan semestinya, Saka akan tunduk jika memang
dia bersedia untuk itu. Bukan dengan paksaan, bukan dengan
tuntutan.
Kini aku percaya, jarak memang sekiranya diperlukan
untuk mereka-mereka yang terlalu dekat. Agar setidaknya
menjadi sekat, memberi jeda, untuk memahami arti masing-
masing dari mereka yang hadir sebagai apa di hidup kita.
Saka bagiku bukanlah pelengkap apalagi penyempurna.
Saka bagiku adalah cukup. Sepenuhnya dirinya, seutuhnya
dirinya. Tak ada yang ingin aku ubah darinya. Eentah itu
sikap, perangai, atau juga kebiasaannya. Aku pada akhirnya
menerima Saka sebagai apa adanya Saka. Tak berniat
mengubah jika bukan dia sendiri yang mau berubah.
Membaca Amor Fati, buku yang katanya adalah ter-
427inspirasi dari kisahku dengan Saka, membawaku pada sebuah
pemahaman baru. Hidup itu memang berisi penerimaan, tak
hanya sekali, tapi berkali-kali di sepanjang detiknya.
Percakapan di warung sop Pak Min, tentang masa lalu
yang lagi-lagi Saka percayakan untuk kudengar. Tentang
mimpi yang sempat dikubur, tentang luka hati yang justru
menghancurkan mimpi; menjadi suatu awal yang membuatku
percaya dan mengerti bahwa Saka masih memiliki mimpi itu.
Dan aku, Lara, secara diam-diam atau bahkan terang-
terangan telah bersedia untuk menjadi pelindung untuk
mimpi-mimpi itu. Menjaganya agar tetap hidup. Merawatnya
agar tetap menyala semangat, dan membantunya agar bisa
untuk diraih.
Kali ini, lagi-lagi Saka mengantarku hingga ke stasiun.
Bukan lagi di Bandung, tapi di Jogja. Tempat sebagian hidup
dan mimpiku kemudian bertumbuh. Tempat aku pada
akhirnya mendapat banyak pelajaran tentang hidup dan
penerimaan. Tempat di mana pada akhirnya aku berkata
jujur kepada Saka sekali seumur hidup. Mengesampingkan
ego serta rasa gengsiku.
Aku memandangnya lekat. Memberanikan diri untuk
mengungkapkan perasaanku kepada Saka. Sesaat sebelum
aku masuk ke ruang tunggu, karena kereta yang akan
membawaku ke Jakarta sudah tiba.
“Saka, kalau aku punya satu kesempatan lagi untuk
bisa kembali. Aku enggak akan pernah sia-siain kesempatan
428itu. Aku enggak menolak untuk akhirnya memperjuangkan
hubungan aku sama kamu lagi. Aku ngomong gini bukan
berarti aku minta dikasih kesempatan lagi sama kamu atau
bahkan sama semesta. Aku ngomong gini, karena aku enggak
mau lagi bohong sama perasaanku sendiri. Kalau sebenernya
aku masih berharap untuk sesuatu yang entah aku kepedean
atau enggak, tapi menurutku juga masih kamu harapin.” Aku
tersenyum untuk sekadar menjeda, “Aku pulang ke Jakarta
jemput Mama dulu ya,” ucapku sambil menyelipkan rambut-
rambut halus yang keluar dari ikatan rambutku ke belakang
telinga, lalu mencium tangannya, dan berpamitan.
a
Aku sama mama udah sampe di Tugu ya :)
“Sugeng rawuh! Selamat datang di Jogja, Ma,” ucapku
sambil memeluk ibuku sekilas saat baru turun dari kereta api
Taksaka yang membawaku serta ibuku bertolak dari Jakarta.
Akhirnya, setelah menunda-nunda menjemput ibuku
karena pekerjaan yang tak kunjung usai. Hari ini resmi sudah
ibuku akan mencicipi tinggal di Jogja selama satu bulan.
Menjejakkan kaki kembali di kota ini bersama ibuku
429sebetulnya membawa sensasi bahagia yang jauh berbeda jika
aku datang sendirian. Entah sejak kapan aku justru berkali-
kali jatuh cinta dengan kota ini. Bahkan aku seperti sudah
menjadikannya rumah. Lebih daripada Jakarta yang dulu
selalu kupuja meski berulang-ulang kucerca.
Semburat oranye di langit Jogja menambah syahdu
perasaanku yang kini tengah diselimuti haru. Sungguh,
dengan segala keramahan dan ketenangannya, kota ini
berhasil membuatku percaya pada mimpi yang perlu
diperjuangkan. Bila Jakarta menjadi tempat aku bertumbuh
dan membentuk pribadiku seperti sekarang ini, lalu Jogja?
Mungkin, Jogja akan menjadi tempat aku melabuhkan
seluruh harapan serta mimpi yang akan membentuk banyak
pemahaman akan hidup dan menyoal penerimaan. Jogja,
menjadi pilihan terbaik menurutku untuk memanjakan
ibuku di saat senjanya. Kota ini setidaknya mampu membuat
beliau merasa lebih tenang menjalani kehidupan. Tidak
seperti sedang dikejar waktu, pun tidak seperti diburu oleh
aktivitas yang tak kunjung berakhir. Semoga saja ibuku pada
akhirnya bersedia untuk tinggal di sini. Diam-diam aku selalu
mendoakan hal itu di setiap sujud.
“Ra, ini kita nunggu ojek online atau gimana?” Ibuku
bertanya dan membuyarkan lamunanku.
“Oh enggak Ma, nanti ada yang mau jemput kok. Bentar
ya, tadi sih aku udah kabarin kalau kita udah sampe. Mungkin
bentar lagi dia dateng. Kita langsung keluar aja yuk,” jawabku
430sambil mengecek kembali pesan yang tadi kukirimkan dan
menggandeng tangan beliau.
“Emang siapa sih yang mau jemput?” Ibuku kembali
bertanya karena penasaran.
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, teleponku
berbunyi menandakan sebuah panggilan masuk.
“Bentar ya Ma, Lara angkat telepon dulu.” Aku pamit
kepada ibuku untuk mengangkat telepon.
“Aku lagi parkir dulu bentar. Kamu sama Mama langsung ke
pintu keluar aja ya. Nanti aku tunggu di depan pintu.”
Suara lelaki di seberang telepon menambah kebahagia-
anku di hari ini. “Ya, udah aku langsung keluar kalau gitu.”
Aku mematikan telepon dan mengalihkan pandangan
ke arah ibuku. “Mau tahu banget ma? Emang Mama maunya
kita dijemput siapa?” Aku kembali menggoda beliau dengan
sebuah pertanyaan.
“Maunya sama mantu, tapi kalau enggak ada sama calon
mantu dulu Mama mah ikhlas,” jawab ibuku malah balik
menggoda.
Aku hanya tertawa lepas mendengarnya. Ssebuah
perasaan senang entah kenapa melingkupiku begitu saja.
“Ya, udah kalau gitu dijemputnya sama calon mantu
dulu aja ya.” Aku mengerlingkan mata menatap ibuku.
Kali ini justru ibuku yang kaget mendengar ucapanku.
“Eh, beneran calon mantu? Kalau Mama enggak setuju
gimana?”
431“Tuh, orangnya udah dateng.” Aku menunjuk ke arah
pintu keluar yang menampilkan sileutnya dari kejauhan.
Sosok yang begitu mudah kutemukan. “Kenalan dulu atuh,
nanti baru diomongin setuju apa enggaknya. Enggak kenal
kan enggak sayang katanya, Ma.”
Ibuku lalu menggamit tanganku sambil mengatakan
sesuatu yang membuat perasaanku tak lagi bisa hanya
disebut bahagia. “Siapa pun yang akhirnya kamu kenalin ke
Mama sebagai orang yang spesial, insyaa Allah Mama pasti
setuju dan doain yang terbaik. Mama tahu, kamu enggak
mungkin asal pilih.”
Aku hanya memandang ibuku dengan perasaan haru
yang tak bisa lagi dibendung. Air mataku hampir saja menetes
jika tak segera kuhapus. Seseorang lelaki dengan celana
jeans hitam, kaus cokelat serta jaket berwarna biru tampak
menunggu aku dan ibuku tepat di pintu keluar Stasiun Tugu.
“Hai! Enggak lama nunggu kan?” Aku langsung bertanya
saat sudah berada di hadapannya.
“Enggakatuh, kan baru sampe juga.” Diahanyatersenyum.
Sedikit kikuk karena hari ini akan bertemu dengan ibuku.
Lucu sebetulnya, aku baru sempat memperkenalkannya
kepada ibuku sekarang. Padahal sedari dulu aku harusnya
sangat bisa mengajaknya bertemu dengan ibuku.
“Oh ya Ma, kenalin ini Saka.” Aku memperkenalkan Saka
kepada ibuku. Yang diperkenalkan justru langsung meraih
tangan ibuku dan menciumnya.
432Meski terlihat sedikit terkejut, ibuku memberikan
senyum tulus kepada Saka dan mengusap punggungnya saat
Saka mencium punggung tangannya. “Ini Saka yang itu?
Yang mantan kamu itu, Ra?” tanya ibuku penasaran.
“Hahaha, iya Ma.” Aku hanya terkekeh mendengar
pertanyaan itu seraya mengajak ibuku serta Saka untuk
menuju parkiran.
“Ra, sini tas sama kopernya aku yang bawa. Itu kamu
yang bawa tas Mamamu.” Saka kemudian mengambil alih tas
pakaian serta koper yang sedari tadi aku bawa.
Baru aku ingin mengambil tas jinjing yang dibawa
ibuku, beliau sudah lebih dulu mendahuluiku untuk berkata,
“Enggak usah, ini mah ringan. Kamu bawa koper itu aja,
kasian Nak Saka bawa sendiri.”
“Enggak apa-apa Bu, ini mah enggak berat kok. Lagian
parkirannya lumayan jauh, nanti Ibu capek harus nenteng
tas. Biar yang ini Saka aja yang bawa, jadi tas yang ibu pegang
bisa Lara yang bawa.” Saka kemudian memberanikan diri
berbicara kepada ibuku.
“Kok, manggilnya Ibu sih? Enggak sekalian Mama aja?
Kata Lara, kamu calon mantu.”
Aku yang mendengar ucapan ibuku hanya menutup
wajahku malu sambil berteriak. “Mama!”
Saka kemudian tertawa dan lanjut menggodaku, “Oh
bilangnya calon mantu? Serius, Ra? Enggak apa-apa sih kalau
dikenalinnya jadi calon mantu, aku mah ikhlas.”
433Aku hanya menepuk lengan kanan Saka pelan, tersipu
dan masih tak habis pikir dengan ucapan ibuku yang
begitu gamblang. Kami bertiga lalu tertawa sambil berjalan
menuju parkiran. Perasaan haru dan bahagia serta merta
menyelimutiku begitu saja.
Tuhan, aku tidak pernah tahu seperti apa rencanamu
lagi untuk esok hari. Tapi, jika aku boleh meminta, dapatkah
kedua orang yang sedang bersamaku saat ini menemani
senjaku untuk seterusnya? Sebab aku telah merasa cukup,
untuk menjadi utuh, karena telah sepenuhnya diisi oleh
a”
Aku dan Lara belakangan sibuk mengurus script
mereka.
writing untuk kebutuhan film yang akan diangkat
VY dari novelku dan Ana. Aku akan bertemu dengan
sang sutradara untuk brief perihal naskah di Jakarta besok.
Sudah beberapa minggu sejak kepergian Ana ke
London dirinya belum juga mengabariku. Terakhir saat aku
mengantarnya ke bandara untuk pulang ke Bandung, Ana
berjanji akan mengabariku via Skype ketika dirinya sudah
sampai di sana. Namun hingga kini, belum juga aku mendapat
kabar darinya. Mungkin Ana sedang sibuk mengurusi
persiapan kuliahnya.
434Aku putuskan untuk menghubunginya lebih dulu via
message di laman Blog. Sudah lama juga aku tidak membuka
laman blog miliknya. Saat hendak mengirim pesan, mataku
berhenti pada sebuah postingan terakhir tulisan Ana.
Untuk pria bermata hitam,
yang tidak pernah ada aku di dalamnya.
Kita pernah menjadi sepasang rahasia.
Pada sebuah puisi, yang paling sepi.
Kita saling berbincang,
pada sunyi yang saling mengisi.
Kau pernah menjadi ramai,
yang selalu membuatku terbuai.
Kau pernah aku usahakan,
dalam juang yang selalu aku sembunyikan.
Kau pernah aku rindukan,
dalam pesan yang memohon untuk sampai.
Aku pernah meninggalkan jejak,
pada puisi yang menjelma menjadi utusan sapa.
Pada makna-makna yang bersembunyi di balik diksi.
Pada senyum-senyum, yang jelas-jelas untukmu.
435Pada seduhan kopi, yang aku pesan kepadamu.
Tetapi, kau tidak pernah melihatku.
Sebagaimana kau yang ada di kelopak mataku.
Sebagaimana kau yang hidup dalam dadaku.
Terima kasih telah mengajarkan aku.
Untuk bisa merelakanmu bahagia,
yang bukan karena aku.
Untuk mencintaimu, tanpa harus egois.
Kau adalah sebaik-baiknya rahasia.
Yang selalu berhasil aku sembunyikan,
dalam sajak-sajak doa.
Genggamlah ia dengan pasti.
Bersamalah dengannya, dan menjadi sepasang arti.
Biarkan semua harap dalam aku perlahan mati.
Kepada pria yang berseragam keajaiban.
Terima kasih, telah menjadi kebetulan yang mendewasakan.
- EleftherianaTerlang Fenulis
Lw@—“we7r syahid Muhammad
Lagi-lagi diberi kesempatan untuk
tetap berkolaborasi bersama Stefani
Bella untuk melanjutkan amanah yang
sepertinya belum rampung. AMOR
FATI menjadi buku ke-2 sekaligus
sekuel setelah KALA.
Lelaki Scorpius yang lahir di Bandung
1 November ini adalah seorang full
time friend yang masih bisa diajak
berbincang tentang apa saja. Apa saja
yang tidak membosankan.
Masih bisa diajak ngopi dan ditemui di,
Instagram: @iidmhd
Wattpad: iidmhd
Tumblr: eleftheriawords.tumblr.com now
officially move to iidmhd.tumblr.com
437Stefani Bella
AMOR FATI adalah sekuel KALA yang lagi-lagi membawa
wanita berdarah Betawi Makassar ini untuk kembali
berkolaborasi. Stefani Bella atau biasa dipanggil Bella lahir di
Jakarta tanggal 19 Mei.
Kecintaannya pada dunia menulis dimulai ketika dia
sedang melanjutkan pendidikan menengah pertamanya
di Yogyakarta. Berawal dari Blogspot, lalu Wordpress, dan
kemudian di tahun 2014 dia memilih menetap di Tumblr
hingga saat ini untuk mengabadikan seluruh asa dan rasanya.
Penyuka hujan, es krim, dan fajar ini bisa kamu sapa bahkan
kamu ajak berkenalan dan mengobrol di,
Instagram: @hujan_mimpi
Twitter: @hujanmimpi
Wattpad: stefanibella19
Tumblr: hujanmimpi.tumblr.com
438Ukuran =: 13x 19cm
Tebal : 348 him
Harga : Rp70.000
ISBN : 978-602-208-155-5iY
Kita pernah menjadi sebuah ketentuan
pada pertemuan yang saling. mengisi
” hingga saling meniadakan. Namun pada
langkah yang saling menjauhi, kétentuan
terasa ciel sebuah perjudian antara
yn dengan detaknya sendiri. Karena __
Pada-detik ke sekian kita sadar bahwa
penerimaan akan membuat kita merasa
; utuh jika sudah sepenuhnya.
el as
fe NT MSA 208-2b3-b
ene es
Sea eLere)
eer ed
Ree orice tae aeea
ener are end
ee on eo 86 | | 2 | 8161
ort .
eee eae ed ed