Anda di halaman 1dari 442
¢ ig \\ 16-1 -1m a CeO} SYAHID MUHAMMAD (ELEFTHERIAWORDS) AMOR FATI KITA ADALAH SEPASANG SALAH YANG MENOLAK PASRAH Tentang KALA. Tentang proses, romansa. Ya hidup. Dengan penyampaian yang.. ah, baca saja. Semoga tenggelam. ~ @ghumaydha Novel yang sungguh puitis, bahkan untuk orang-orang yang menyukai puisi dan terlalu manis untuk dilewatkan mereka yang tidak menyukai puisi. Novel ini untuk semua orang yang sempat kehilangan sesuatu dalam dirinya, dan tetap percaya bahwa kelak nanti akan menemukannya kembali. ~ Tia Setiawati (Penulis Buku Perempuan Penggenggam Rindu) Kisah cinta yang lahir dari kolaborasi 2 penulis muda berbakat. Diksi yang indah dari 2 sudut pandang yang berbeda dikemas dengan alur yang menarik membuat pembaca tidak sulit untuk memahami karakter Saka dan Lara. Bacalah, maka kau akan tau bagaimana indahnya menginterpretasikan gambar ke dalam aksara. ~ Hani (bookstagrammer) Satu kisah romansa dari dua penulis muda berbakat yang bisa dikategorikan unik, dengan pemilihan diksi yang tidak umum digunakan oleh penulis-penulis muda zaman sekarang. Alur kisah yang manis, diceritakan dalam sudut pandang masing-masing (Saka dan Lara). ~ F. Annisa (bookstagramer, guru) Sebuah kisah sederhana yang mencerminkan kehidupan sehari- hari, tetapi dengan pemilihan kata yang luar biasa indah. Kisah yang ingin terkubur, namun dia akan selalu menemukan celah untuk muncul dalam memorimu. Sebab Saka dan Lara adalah kau dan dia. ~ Elmaria (Master Student in Acturial Science, Kent University) Novel ini recomended banget bagi kalian yang suka bacaan berbau- bau sastra puisi dan yang gagal move on dalam percintaan. ~ Amberr Untuk para penikmat sastra, buku ini bisa menjadi salah satu pilihan untuk dibaca untuk mengisi waktu senggang, dan untuk awam yang baru atau ingin belajar memahami sastra, buku ini merupakan pilihan yang tepat. ~ alineafajr Untuk pecinta genre romance buku ini sangat romantis. Saya membaca buku ini layaknya orang gila, senyum-senyum sendiri. Diksi dalam cerita ini amat sangat pas bikin baper. Covernya lucu hitam manis gimana gitu. ~ Syabillaptr Aku masih begitu terpukau dengan deretan kalimatnya. Menambah perbendaharaan kataku juga seperti: entitas, enigma, nisbi, dsb. Banyak kata-kata baru yang berseliweran, senang aku mendapatkan pengetahuan lebih. Sekali lagi, tidak picisan. ~ @ra.juwita Cocok buat yang suka novel yang agak puisi-puisi gitu, setelah kamu baca halaman pertama, aku yakin kamu gakan bisa berhenti sampai halaman terakhir. ~ @putridinaryr Kisah cinta dengan akhir yang lucu. Aku pun mau punya ending kaya dibuku ini. Semesta yang tidak mau meninggalkan sepasang manusia yang terluka. ~ irhammaladi (http://www.penar.org) AMOR FATI KITA ADALAH SEPASANG SALAH YANG MENOLAK PASRAH STEFANI BELLA {HUJANMIMPI) SYAHID MUHAMMAD ({ELEFTHERIAWORDS) € GRADIEN MEDIATAMA AMOR FATI Penulis: Stefani Bella & Syahid Muhammad ISBN: 978-602-208-161-6 Penyunting: flo Penyelaras Aksara: Tri Prasetyo Desain Sampul dan Tata Letak: eleftheriawords, Techno Penerbit: Gradien Mediatama Redak: Jl. Wora-Wari A-74 Baciro, Yogyakarta 55225 Telp/Faks: (0274) 583 421 E-mail: redaksi@gradienmediatama.com Web: www.gradienmediatama.com Distributor Tunggal: TransMedia Pustaka Jin, Moh, Kahfi 2 No.13-14 Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640 : (021) 7888 1000 Fax: (021) 7888 2000 emasaran@distributortransmedia.com Cetakan Pertama, November 2017 Cetakan Kedua, Januari 2018 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin dari penerbit Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Stefani Bella & Syahid Muhammad AMOR FATI /Penulis, Stefani Bella & Syahid Muhammad — Yogyakarta: Gradien Mediatama, 2017. 440 him. ; 13 x 19. cm ISBN 978-602-208-161-6 1. AMOR FATI 1, Judul I. flo 895 “Dalam sebuah KALA tempat kita bermula, pada sebuah percaya kita ingin bermuara.” Thanks To \\ AMOR FATI tak pernah direncanakan sebelumnya. Setelah kelahiran KALA, Tuhan dengan rencana-rencananya membawa kami pada kesempatan yang tidak pernah kami semogakan. Dengan Keromantisan Tuhan, hinggaplah kami pada masa yang siap untuk akhirnya AMOR FATI dapat terlahir dari dua pasang jari-jari kami. Oleh karena itu, kembali kami ingin memanjatkan syukur yang tiada henti tercurah. Izinkan kami mengucapkan terima kasih untuk setiap hal yang sempat bersinggungan di hidup kami. Terima kasih kepada Allah SWT, atas segala kesempatan lainnya, kekuatan, dan seluruh hal yang diberikan kepada kami hingga detik ini. Sebab, jika bukan karena izin-Nya karya ini tidak akan bisa lahir. Kepada keluarga kami, terima kasih atas doa, kasih sayang, dan support yang tidak pernah ada habisnya. Kepada editor kami, Mbak Aning, terima kasih sudah menemukan dan memberikan kesempatan kepada kami untuk menjadikan kolaborasi ini nyata. Dan, tentunya kepada seluruh tim Penerbit Gradien Mediatama yang terlibat—Mas Tepe, Mas Tikno, dan mereka-mereka yang belum kami kenal namanya—terima kasih. Sebab, tanpa kerja keras mereka buku ini tidak akan hadir. Kepada semua pembaca KALA dan tulisan kami lainnya, kalianlah yang sesungguhnya membuat AMOR FATI punya kesempatan untuk hidup di hati kalian. Kepada Fadil dan rekan-rekan di The Point Coffee & Drama di Jogja, terima kasih telah memberikan kami izin untuk menggunakan nama tempat coffee shop-nya. Juga, kepada Kyotown Coffee di Bandung yang menjadi tempat penulis untuk bisa meramu AMOR FATI. Dan, kepada Andry Bem Mandariana terima kasih untuk dukungannya yang tiada henti terhadap kami, juga terhadap KALA. Terima kasih atas kreativitas dan karyanya karena telah dengan luar biasa membuatkan sebuah lagu tentang SAKA dan LARA. Last but not least, kepada seluruh sahabat, teman, dan orang-orang yang mengenal kami—baik yang hanya singgah dan masih bertahan hingga sekarang—terima kasih sudah hadir dan memberikan banyak pelajaran akan kehidupan. Darl Kami with Camu \\ Hai, selamat berjumpa lagi! Bagaimana, sudah bosan dengan kisahku? Atau, justru semakin penasaran dengan ceritaku dengannya? Sebab, menurut kabar yang kudengar, kamu bahkan teman- temanmu cukup gemas dengan akhir yang katanya menggantung. Padahal siapa bilang itu menggantung? Menurutku, yang kemarin itu adalah akhir terbaik yang bisa aku ceritakan. Kamu tahu kan, meminta lebih terkadang justru tak akan berakhir baik? Bagaimana jika nanti pada apa yang kuceritakan ini, malah akan kamu temui hal-hal yang mengecewakan? Jangan protes! Ingat, ini juga maumu kan? Maka, saat ini aku putuskan untuk kembali, menyelesaikan apa-apa yang belum selesai. Ya, aku kembali, pada rangkaian kisah yang belum jua usai. Aku kembali, pada potongan-potongan kejadian yang membawaku untuk mengurai kembali segalanya agar lebih jelas. Bila pada kisah Jalu katamu aku terlalu egois dan menuntut, maka kali ini mungkin saja masih akan atau malah berubah. Entah aku tak tahu juga. Sudahlah, aku tahu kamu tak ingin berlama-lama membaca ini. Justru kamu mungkin lebih tertarik untuk membalik halamannya. Maka, segeralah balik halamannya Jalu lanjutkan cerita yang kemarin sempat tertunda. Tapi ingat, tak usah gemas sendiri. Ajak saja temanmu untuk ikut serta merasakannya. Sebab, kisahku ini bukan hanya tentang perjalanan melainkan juga tentang pelajaran. Sebab, kisahku ini bukan hanya perihal kisah cinta yang manis atau penuh kemelut, tapi juga tentang sebuah penerimaan akan hidup. Tenggelamlah bersama barisan aksaranya, tapi jangan sampai hanyut, karena pagi masih menantimu untuk kembali. Oh ya, jangan selalu berharap akhir dari kisahku ini akan penuh kebahagiaan. Sebab mungkin, definisi bahagiaku denganmu memang tak pernah sama. Salam rindu, Lara 10 \\ =, Kudengar banyak yang sebal denganku pada kisah = Bd sebelumnya? Ayolah, jangan egois. Aku ini lelaki. Aku yang harusnya egois, bukan? Sebetulnya kisah yang lalu sudah selesai, bahkan menurutku tidak menggantung. Karena di sini, perjalananku berbeda. Tidak akan seperti yang kalian harapkan. Oh tentu, kini aku sudah berteman baik dengan semesta untuk mengacaukan harapan kalian. Hanya untuk kalian yang mau untuk menerjemahkan makna di balik semua yang akan aku persembahkan, yang dapat memahaminya. Aku tidak berpikir aku akan berhenti menyebalkan pada kisah ini. Karena, jika beberapa orang terlihat baik, mungkin mereka cukup pandai menyembunyikan keburukannya. Jadi, jika aku terlihat menyebalkan di mata kalian, sempurnakan pandangan kalian. Mubazir rasanya memiliki sepasang mata sempurna nan indah tapi hanya digunakan memandang dengan sebelah mata. Semesta, masih akan mengajak kalian berjelajah. Cerita kami hanya sebuah portal pengingat perihal takdir a yang menuju diri kalian masing-masing. Apakah semua yang terjadi memang sepatutnya demi kebaikan kalian? Atau, justru adalah sebuah tantangan? Bahwa, kalian perlu melakukan hal yang lebih. Karena, hanya kalian yang dapat memahami, kapan kiranya sebuah cukup akhirnya bisa disepakati. Salam syahdu, Saka 12 DAFTAR ISI Thanks to Dari Kami untuk Kamu Semesta CHAPTER | “Kelak Setiap Kenangan Hanya Akan Berakhir Pada Ingatan" CHAPTER Il “Dekat yang Tak Melekat, Tetapi Hanya Memberi Sekat" CHAPTER III “Pergi, dari Satu Titik Ragu Menuju Satu Titik Percaya” CHAPTER IV “Hingga Kemudian Kembali Meragu, Pada Satu Titik yang Berujung Temu" 15 21 87 143 217 13 CHAPTER V 265 “Masing-Masing Kita Membawa Rahasia, yang Menanti untuk Diungkap" CHAPTER VI 319 “Pada Jarak yang Sempat Tercipta, Sebuah Renung Seharusnya Berkuasa” CHAPTER VII 375 “Pada Sebuah Kembali yang Seutuhnya, Ada Sebuah Penerimaan yang Sepenuhnya" Tentang Penulis 437 14 SEMESTA “Mas, iced chocolate satu, ya.” pesan seorang wanita yang baru datang. Ia duduk di kursi bar sambil tersenyum. “Siap, Mbak. Gulanya mau manis aja apa manis banget?” tanya seorang barista sedikit menggoda untuk mencairkan dan mengakrabkan suasana. Terlebih, perempuan itu sepertinya bukan salah satu tamu reguler yang sering datang ke coffee shop tersebut. “Manisnya yang cukup aja, asal nyaman.” Si perempuan balik menggoda. Sambil tersenyum, barista tadi dengan sigap menyiapkan gelas untuk membuat pesanan perempuan itu. Tidak butuh waktu lama, segelas iced chocolate pun ready. “Silakan Mbak, iced chocolate-nya. Gulanya sengaja saya pisahin aja. Saya enggak punya hak untuk nentuin seberapa manisnya Mbak. Eh, seberapa manis minumannya buat Mbak.” 15 Perempuan itu kemudian tertawa mendengar kelakar si barista. “Eh, Kev. Gue cabut ya.” Barista itu mendadak pamit seraya melepaskan vest berwarna biru tuanya. “Lah, tumben balik cepet lu.” Lelaki yang bernama Kevin itu menjawab keheranan. “Yoi, ada janji gue,” ucap barista itu sambil memamerkan senyuman yang menyiratkan tanda tanya bagi yang melihat. “Mas Saka pasti mau ketemu cewek sih ini. Enggak pernah kayaknya Mas Saka pamit pulang on time,” timpal seorang perempuan bernama Narni dari salah satu kursi yang tidak jauh dari bar. Di mejanya tampak segelas Americano dingin di samping buku dan tumpukan diktat. “Serius lu? Ajegilee... akhirnya, pergi sama cewek lagi doi,” goda Kevin. “Ah, kalian enggak bisa apa liat temennya seneng? Udah ya, gue cabut dulu.” Saka meninggalkan teman-temannya setelah sebelumnya sempat kembali menyapa barista yang lain. “Eh, Gil, cabut duluan ya!” Yang disapa kemudian ikut tersenyum sambil menggoda Saka, “Mas Saka, sukses ya! Lain kali diajak ke sini toh temen perempuannya.” “lya, diajak Mas. Jangan disembunyiin lagi, terus tiba- tiba cerita udah putus aja.” Narni masih menggoda. Saka tersenyum namun tak mengindahkan godaan 16 teman-temannya. Ia hanya melambaikan satu tangannya sebagai tanda pamit. YO. “Siaaal...! Kok, ilustrasinya enggak kayak yang diharepin sih,” gerutu seorang perempuan dari balik mejanya. Mata perempuan itu terus menatap kertas-kertas yang menampilkan sederet gambar. Ia acuh saja meski jam di dinding sudah menunjukkan hari semakin malam. “Kenapa, Ra? Enggak sesuai lagi? Udah dibilang kalau buat ilustrasi buku romance tuh mending sama yang freelancer satunya lagi aja.” Temannya kemudian menasihati. “Ya, masalahnya kemarin tuh udah ditanya sanggup apa enggak? Doi jawab sanggup. Ya, udah aja kasih ke dia. Lagian juga, gue pikir enggak ada salahnya ngasih kesempatan buat orang lain biar bisa berkembang. Eh, enggak tahunya, hasilnya bikin naik darah gini. Mampus, deh!” Perempuan itu terlihat kesal. Ia membanting kertas- kertas yang ada di mejanya, “Kalau dia belum paham konsep- nya tuh harusnya bilang, elah. Mana deadline besok lagi. Minggu depan harus udah up buat cetak. Sekarang, kalau begini jadinya, kan kacau semua.” Si perempuan lalu menghempaskan diri ke kursi sambil memijat pelipisnya. 17 “Coba lu tanyain sama ilustrator satu lagi, keburu enggak kira-kira kalau dia yang handle?” “Raniiii... ini bukan masalah keburu enggaknya. Tapi, gue telanjur deal sama yang ini. Kalau harus gue tolak padahal udah bolak-balik revisi, kan kasian juga. Lagian, kalau sekarang gue hubungin ilustrator yang itu, bisa kena mahal kali bayarannya. Ya, lu pikir aja, semalem harus selesain sekian ilustrasi, dikira lagi bikin candi?” “Lara, gini deh mending nolak karena enggak sesuai sama konsep. Atau, diterima tapi setengah hati? Ngejalanin yang setengah hati tuh enggak enak loh.” Perempuan bernama Rani itu kembali mengomentari kemarahan si perempuan, Lara, dengan menggodanya. “Lah, kenapa malah curhat? Haha,” Lara kemudian tertawa sambil melirik ke jam tangannya. “Sial, udah hampir telat. Gue cabut duluan deh ya. Ntar malem di rumah aja baru gue pikirin lagi enaknya gimana. Atau, kalau enggak besok lagi baru gue kerjain.” Lara berpamitan seraya membereskan meja kerjanya. “Lah, mau ke mana lu? Tumben amat. Ntaran lagi, Ra. Gue masih nanggung nih. Masa lu tega, gue lembur sendirian sekarang.” “Gue ada janji makan malem. Lupa gue,” ucap Lara sambil meringis memamerkan deretan giginya. Rani sontak menghentikan kegiatannya sambil mem- belalakkan mata menatap Lara. 18 “DEMI APA? Been centuries, akhirnya lu punya janjimakan malem sama cowok?” “Enggak usah lebay dih. Lagian siapa yang bilang, gue janjiannya sama cowok?” “Alah, udah santai kali. Muka lu enggak usah merah kalau emang bukan sama cowok. Lagian, kalau emang iya sama cowok juga enggak apa-apa. Gue malah seneng dengernya.” “Hmm... Ya, udah ah, gue cabut ya. Sampe ketemu besok, Sayang.” Lara kemudian mencium pipi teman kerjanya lalu bergegas pergi. ~” 19 20 Semoga separuh aku yang kamu bawa dapat menemanimu. Karena kamu pergi membawa doa-doa yang aku titipkan. Semoga, doa-doa itu akan selalu bisa menemanimu, bukan hanya saat kamu kesepian. Namun, juga saat kamu bersama seseorang meski tetap merasa sepi. Kupastikan, aku tak kehilangan apa pun kecuali kehadiranmu. Percayalah, kini aku telah menerima kehilanganmu, menerima luka yang tersisa dari kepergianmu. Tak ada yang lebih menenangkan dari sebuah penerimaan. Karena tak ada yang lebih menyiksa dari mempertahankan kebencian. Melangkahlah dengan tegap, tak perlu lagi kamu pikirkan bagaimana aku tanpamu. Nikmatilah kamu yang kini tanpaku. se CHAPTER I. “KELAK SETIAP KENANGAN HANYA AAU laa a CA ;° “Thad it all figured out. So I cut out a little early, who cares? Its probably a good thing. Life sucks, anyway. But I met you and it got weird. And, you were so... Amazing. And I?” “What? What?” “I just wanted a little more time. So all in all, I'd say you’re the worst thing that’s ever happened to me. Goodbye partner.” “I’m staying with you until you leave. I don’t care how much time we have! Give up you stupid jerk.” “th, Mas Saka nangis yaaaa...?” celetuk Narni. “Anjriiiiit... sialan, Narniiii...!” Aku yang tengah “ menikmati scene goodbye dari film Keith harus terganggu oleh celetukan Narni yang tiba-tiba. “Hahahahahahahahahahahahahaha.... terbahak-bahak. “Anjrit, mata lu kok juga basah gitu, Nyet? Hahahaha.” Kevin tertawa Giliran aku menggoda Kevin. “ya, apa? Masa sih?” Kevin segera mengelap genangan di kedua matanya. “Duh, kalian nih ya, cowok-cowok lembut. Bisa banget nangis nonton film drama gini.” Narni masih saja menggoda. “Kita enggak nangis, Narni! Enggak sempet nangis karena udah keburu kamu ganggu duluan!” Aku protes sembari diam-diam menyeka mataku. 23 “Lagian kamu bisa-bisanya lagi nonton malah merhatiin orang sih?” Kevin protes dan berdiri dari tempatnya duduk. Ja menuju dapur, mungkin mau mengambil minum. “Ya, gimana mau merhatiin, Mas? Udah kalian berdua nonton paling depan, berisik bener sama idung. Kukira ingusan, ternyata lagi siap-siap mau nangis. Gimana aku mau konsen coba?” canda Narni. Film yang seharusnya membuatku tergugah, puas akan aksi kedua tokoh dari Natalie dan Keith, harus berakhir mengesalkan karena Narni. Kami masih saja_berisik menyalahkan Narni. Namun, gadis itu sama sekali tidak merasa berdosa. Dia malah asyik menggoda kami terus. Dia yang perempuan seharusnya lebih terharu menonton film drama bukan? Ini malam terakhirku di Jogja. Sebelum pulang, kami ngumpul di rumah Narni. Dia yang memaksaku, karena setelah sekian lama saling kenal tak pernah sempat mengunjungi rumahnya. “Rame juga tapi ya filmnya. Narni nanti nonton sendiri aja ah, biar enggak ada yang ledekin kalau nangis. Hehehe.” Narni berdiri dari ranjang tempatnya duduk. “Ah, sialan Narni. Harusnya aku pulang ke Bandung dalam keadaan bahagia nih. Udah bisa terharu nonton film. Lah, malah jadi mentah gini deh.” Aku kembali protes, lalu segera berdiri menyiapkan barang-barangku. “Lu bawa laptop bukan? Lu nonton aja di kereta 24 ntar. Download dulu aja, bentaran juga kelar pasti.” Kevin menyarankan. “Yakali Sob, terus gimana ntar kalau gue di kereta terenyuh mau nangis gara-gara filmnya? Bayangin penumpang lain harus nahan ketawa ngeliat gue yang gondrong gini, tapi matanya berair nonton drama. Enggak keren lagi gue.” Aku menjawab. “Mas Saka, lakik yang berani nangis tuh keren! Yang enggak keren tuh lakik yang bikin nangis.” Narni membalasku. “Hahaaaaaaaaaa.... Kenaa lu, Nyet. Kena lu! Skak mat! Hahahahaha....” Kevin tak bisa menahan tawa mendengar ucapan Narni. “Eh, Narni salah ngomong ya?” Narni belagak polos. “Enggak, Narni. Kamu... bener.. banget....” Aku menjawab pelan dengan wajah yang tak keruan. Aku teringat Lara. Teringat apa yang pernah membuatnya menangis. Sebuah penyesalan yang tidak bisa aku bayar. Namun, kini setidaknya keadaan kami sudah cukup untuk membuatku sedikit tenang dari rasa bersalah yang bisa saja masih menghantuiku. “Udah tenang, Sob. Lu sama Lara kan udah baikan. Udah saling merelakan dan saling nerima lagi.” Kevin coba menenangkan. Dia sepertinya bisa membaca pikiranku. “Saling nerima lagi sebagai teman ya, Mas Saka.” Narni masih saja menggodaku dengan ucapannya. 25 “Duh, kok gue dengernya nyelekit gitu ya.” “Man, gue baik-baik aja. Kata-kata lu yang bikin seolah itu nyelekit. Jangan gitu dong. Stop saying like I’m not okay. You guys who make me not okay!” Aku mengeluh sebal sembari mengecek perlengkapanku. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal. “Eh, sori-sori, Sob. Gue enggak maksud, sumpah! Keceplosan gue. Sori!” Kevin meminta maaf. “Mas Kevin tuh, dijaga coba omongannya sama sahabat sendiri.” Narni menyalahkan Kevin. Aku hanya diam dan mengacuhkan permintaan maaf Kevin. “Heh! Kamu juga tuh, Narni. Mentang-mentang cewek bisanya nyalahin doang. Hih,” jawab Kevin ketus. Sementara mereka berseteru, aku masih sibuk dengan barang-barangku untuk menyembunyikan wajahku, dan mencoba memastikan apa aku benar baik-baik saja, atau sebetulnya tidak. Meski sebenarnya tidak apa jika memang aku masih menyimpan sisa-sisa luka. Tidak apa jika aku memang tidak baik-baik saja. Tapi, jika aku harus berpura- pura saat ini, aku memilih untuk berpura-pura baik-baik saja. Ya, dari pada berpura-pura tidak baik-baik saja. “Udah napa, pada berisik mulu. Just please stop making fun of it. Gue tuh enggak kenapa-napa. Lu pada boleh becandain hal itu, tapi please jangan ngomong apa pun yang menyudutkan gue, atau seolah gue nyesek dan enggak baik- 26 baik aja. Becandanya enggak usah nyampah, please.” Aku memberi nada tegas, meski sedikit tidak enak. Tapi, mereka perlu tahu bahwa tidak semua orang bisa menerima gurauan. “Siap, Pak Bos! Maafkan kami!” seru Narni dan Kevin bersamaan. Meski kadang menyebalkan atau kadang ada perkataan dan gurauan mereka yang menyinggung, yang membuatku senang adalah mereka begitu bisa menerima teguran dariku. Bukan teman yang hanya akan lebih menyudutkanku jika aku marah, atau tidak terima atas gurauan mereka. Setelah selesai bersiap, kami melaju menuju Stasiun Tugu untuk mengantarkanku pulang. Jalanan Jogja di tengah malam selalu melambaikan kerinduan. Mengejekku dengan riang, seolah aku akan pulang dengan berat. Aku terhibur saat memandang lampu-lampu jalan yang seolah tersenyum mengantarkan kepulanganku. “Gue balik dulu ya!” Aku pamit setelah menukarkan boarding pass di stasiun Tugu. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kereta yang akan membawaku pulang ke Bandung akan berangkat 30 menit lagi. “Mas Saka, ini Narni tadi dibawain nasi kucing sama Mama. Buat Mas Saka kalau laper di jalan. Kucingnya udah Narni pisahin kok. Sama ini juga semangka buat makanan penutupnya. Atau, kalau enggak mau repot, makan semangkanya pake nasi aja biar sekalian telan.” Narni 27 tersenyum polos. “Kapan kamu bawa semangka? Kok, enggak ketahuan? Anyway, terima kasih Narni.” Aku berkata dengan gemas, sedang Narni hanya tersenyum. “Tiati, Sob. Jangan lupa bentar lagi gue lulus. Terus, yang gue omongin kemarin dipikirin. Siapa tahu ya, siapa tahu lu masih pengen perjuangin Lara. Kan, biar sekalian. Haha.” Kevin memelukku. “Hahaha... kampret! Ya, gampang lah...” “th! Kalian ngobrolin apaan kemarin. Kok, Narni enggak tahu sih?” Belum selesai aku menjawab, Narni langsung memotong. Mukanya cemberut. “Sstt.... Itu urusan lelaki, kamu jangan dulu ikut-ikutan!” tukas Kevin. “Lah, itu ngomongin Mbak Lara juga, berarti ada urusan perempuannya juga dong,” balas Narni. “th, nih anak enggak bisa dikit aja enggak bawel. Udah, ntar juga kamu tahu. Ini masih rencana, belum bisa dikasih tahu siapa-siapa. Nanti kalau enggak jadi kan malah malu,” jelas Kevin berharap Narni bisa diam. “Yo Mas, mumpung masih rencana siapa tahu aku bisa bantu. Aku nih lagi dilanda tekanan proposal skripsi, sedang teraniaya. Amin dariku tuh bakal didenger ribuan malaikat Joh. Bisa bikin rencana yang kalian obrolin jadi diijabah sama Tuhan.” Narni bersikeras ingin tahu. Aku hanya bisa tertawa terbahak mendengar debat 28 mereka. “Heh, Narni. Itu enggak ada apa-apanya dibanding aku yang bentar lagi mau sidang tesis. Deg-deganku lebih kenceng daripada kamu. Aku nih lebih teraniaya. Amin dariku bisa bikin isi surga ikut ngaminin! Sstt, udah diem!” Kevin kali ini benar-benar gemas. “Emm, penghuni surga sama malaikat banyakan mana ya, Mas?” Narni bertanya polos. Kevin mengelap wajah dengan kedua tangan, tanda tak lagi bisa menahan gemas. Aku masih tertawa melihat mereka berdua. Pulang memang selalu menjadi hal terberat. Harus membawa rindu yang tak bisa aku bawa sendirian. Aku yakin rindu yang aku bawa akan cukup membuatku sendu dalam beberapa hari ke depan. Sejak nanti aku kembali tiba di Bandung. Tidak lama, kami benar-benar berpisah. Aku melangkah masuk ke ruang tunggu penumpang. Terlihat para penumpang yang sedang beristirahat. Entah untuk pulang atau melanjutkan perjalanan. “Bu, air mineralnya satu,” pintaku kepada ibu-ibu di kantin stasiun. Aku lalu melongok isi bungkusan yang diberikan Narni kepadaku. Nasi kucing dan potongan buah semangka. Aku tertawa kecil. Sungguh ada-ada saja kelakuan gadis itu. Langkahku gontai mencari tempat duduk yang menurutku nyaman. Lalu, tak bisa kutolak pikiranku menyapa ingatan 29 tentang Lara. Bahagia dan rindu sedang berpesta dalam diriku. Perutku dibuat geli karena kupu-kupu baru saja keluar dari kepompong. Saat seperti ini, sulit sekali menahan bibirku untuk tidak keras kepala tersenyum. Orang-orang di stasiun bisa menganggapku sedang jatuh cinta. Memang iya. Tapi, mereka tidak tahu bahwa aku tidak jatuh cinta kepada seseorang. Sial, aku merasa kikuk sendiri di antara ratusan orang, padahal mereka tidak sedang memerhatikanku. Aku memutuskan membuka aplikasi notes di smartphone milikku. Rasa ini harus tumpah pada tempat yang tepat. Kepada nurani, Inikah tujuan dari semua langkah? Mengantarkan aku pada rasa yang megah? Membukakan aku sebuah pintu yang penuh berkah? Apa kamu sedang mengejekku dengan senyummu yang merekah? Sial kamu nurani, berani-beraninya mempermainkanku. Tapi, apa daya. Aku pun dibuatnya malu dan terpaku. Dan, akhirnya yang hanya bisa aku lakukan hanya mengaku. Bahwa kamu telah memberiku pemahaman yang sangat membahagiakan aku. 30 Biar saja semua orang melirikku dengan curiga. Tentang senyum yang sedari tadi sombong ingin terus bersinar. Tentang degup yang tak ingin berhenti menggelar perayaan dalam dada. Kukatakan dengan lantang dalam diam. Aku memang sedang jatuh cinta. Tapi, bukan pada seseorang. Biar saja mereka mereka-reka. Rasa ini milikku, takkan kubagi kepada siapa pun yang tak pantas. Kedatangan kereta yang akan membawaku pulang telah meneriakkan semangatnya dari jauh. Aku bergegas berdiri dan bergerak menuju titik tunggu. Bersama para penumpang yang ingin segera pulang, atau ingin segera sampai, atau hanya ingin segera pergi. Kereta api Malabar tujuan Bandung akhirnya tiba di depan kami. Semua penumpang dengan teratur memasuki pintu masuk. Jogja, terima kasih untuk kejutannya, rindu ini akan aku tanggung sendirian. “Lara, sampai tiba-tiba bertemu lagi ya,” ucapku dalam hati. 31 Bandung masih selalu cerah sejak kepulanganku. Mungkin karena seirama dengan suasana hatiku. Meski begitu, sudah beberapa hari aku bermalas-malasan dulu. Menghabiskan rasa bahagia yang masih bersisa. Rasa yang mengganggu mood untuk mulai kembali bekerja. Maksudku, untuk membuka email. Karena aku bisa tahu ada pekerjaan design dari notifikasi email yang ada di smartphone milikku. Sengaja aku biarkan, sekali aja aku ingin bermalas- malasan. Ya, sesekali setelah liburanku selesai. Badanku lesu karena terlalu banyak tertidur dan menonton TV kabel. Sesuatu tiba-tiba muncul dalam kepalaku. Aku ingin berolahraga. Hal yang cukup aneh memang bagiku, tapi entah dari mana datangnya keinginan itu. Apakah Lara mengirim doa agar aku mulai mau hidup sehat? Entah, tapi sepertinya aku ingin. Entah hanya ingin atau memang ingatan tentang Lara yang dulu sering mencerewetiku perihal kesehatan, membuatku ingin memiliki pola hidup yang lebih baik. Aku teringat ada tempat fitness dekat rumahku. Seketika aku bersiap dan setelah menikmati sarapan seadanya di dapur, lalu pergi untuk mendaftarkan diri sebagai anggota. Mulailah aku berolahraga. Ternyata, olahraga cukup membuatku, bahagia. Badanku terasa segar dan lelah di saat yang sama. Sesampainya di rumah aku berniat untuk membuka email yang sejak beberapa hari kemarin aku abaikan. Namun sayang, lelah ini 32 membawa kantuk yang sangat menggoda hingga tak terasa aku terlelap. Drrrtt...dddrrttt... Kepalaku masih pusing. Sepertinya, aku baru terlelap beberapa detik saja. Getar pesan di ponsel membangunkanku. “Man, cek email bisa kali. Sekalian jangan lupa gue tunggu di kantor buat brief desainnya.” Salah satu temanku mengirimi pesan. Ah ya, aku lupa akan membuka email yang sudah menungguku, berserta janji untuk bertemu rekanku di kantornya. Pesan temanku itu belum sempat aku balas. Aku terbangun dan mulai membuka email. Setelah membuka inbox email di layar laptop, aku tiba-tiba merasa lapar. Entah karena olahraga yang ternyata menguras tenaga, atau isi email yang ternyata cukup banyak. Badanku mulai terasa pegal-pegal. Aku seketika mengutuki diri sendiri kenapa bisa-bisanya ingin berolahraga. “Badan segar ternyata hanya ilusi!” Aku merutuk dalam hati. Tak lama aku segera mandi dan bersiap untuk pergi ke kantor temanku. “Udah enak males-malesannya, Kasep? Ganteng?” Suara dari ruang tengah tiba-tiba menyapaku saat aku baru 33 menuruni tangga. “Lah, Mamah, kirain kerja.” “lya, Mamah ngambil libur dulu lagi enggak enak badan,” jawab ibuku santai. Meski begitu, ibuku masih saja sibuk dengan laptop untuk mengerjakan pekerjaannya. Aku menangguhkan kepergianku, berjalan ke arah dapur dan membuatkannya teh panas. Bisa-bisanya aku tidak mengetahui jika ibuku sedang sakit. “Nih, santai dulu atuh Mah, kerja mulu. Udah makan?” Aku bertanya seraya duduk di sebelahnya. “Eh, nuhun bageur. Udah udah makan kok tadi. Istirahat teh bikin makin lemes, Mamah mah enggak suka. Mending sambil ngerjain sesuatu biar istirahatnya produktif,” jawab ibuku sembari meneguk teh panas dariku. “Eh, Saka, kamu teh udah umur segini, enggak kepikiran apa pengen nikah?” Ibuku tiba-tiba saja berhenti melakukan pekerjaannya dan bertanya. Seolah pertanyaannya adalah pertanyaan, biasa. Seolah apa yang aku dengar, biasa saja. “Emm... Mamah kepikiran pengen punya mantu?” Aku berbalik bertanya karena belum mendapatkan jawaban yang baik untuk didengar ibuku. Aku masih sibuk terkejut dengan pertanyaannya. “Lah, dari dulu atuh kepikiran pengen punya mantu mah. Mamah teh suka penasaran, Mamah bakal punya mantu kaya gimana. Ya, habis anak Mamah kerjaannya sering pergi- pergian. Sering di rumah cuma buat istirahat atau ngerjain 34 kerjaan.” Ibuku terdengar sedang mengerjaiku. “Emm... Saka juga penasaran Mamah teh kepengen punya mantu kayak gimana?” Aku masih saja menjawab dengan pertanyaan. “Mamah mah, yang penting kamu sayang dan enggak bikin kepaksa. Enggak kepaksa karena Mamah nanyain kamu kapan nikah. Enggak kepaksa karena kamu enggak tahu lagi mau sama siapa. Enggak kepaksa kalau, amit-amit, kamu udah ngebet banget pengen nikah. Pokoknya, jangan kalau bikin kamu kepaksa.” Ibuku meneguk lagi teh panasnya. Kali ini lalu menyimpan laptop di pangkuan dan meletakkannya di meja. Arah duduk ibuku kini menghadapku, seolah perbincangan semakin seru. Aku semakin gemetar. “Terus, Saka tahu kalau itu enggak kepaksa itu gimana?” Lagi-lagi tanyaku pelan. “Yang enggak kepaksa itu, yang bikin kamu sehat. Bikin ibadah kamu sehat. Bikin diri kamu sehat. Bukan hanya badan kamu sehat, tapi yang bikin pikiran kamu juga sehat.” Ibuku menjelaskan. Aku diam. Mataku menatap layar televisi yang menampilkan seseorang berbaju seksi tengah membicarakan kehidupan orang lain. Isi kepala ini bertengkar, ingin mengeluh kenapa ibuku menonton acara seperti ini, atau membahas apa yang sedang ibuku coba bicarakan. “Mamah enggak kepikiran nikah lagi?” Tiba-tiba per- 35 tanyaan itu melayang dari bibirku. Aku hanya berharap, per- tanyaan itu akan mengalihkan pembicaraan tentang diriku. Ingin sekali aku menariknya kembali, namun kata-kata itu kini sudah hinggap di kepala ibuku. Giliran ibuku yang kini diam. Cukup untuk membuatku mengerti bahwa ada yang sedang dipikirkan olehnya. “Mamah tuh takut, Saka...” Ibuku menarik napas, “Takut kalau anak-anak Mamah ada yang enggak setuju. Kalian pasti enggak rela kalau posisi almarhum Bapak ada yang gantikan di hidup kalian.” Ibuku menyelesaikan kalimatnya. Kalimat itu menghujam dadaku, mengobrak-abrik perasaanku, membuat degup kebingungan berdetak. Aku tak tahu pernyataan itu akan keluar dari bibir ibuku. Ada hal yang sedang membuat sesak dan menyeruak dalam dadaku. Ibuku harus takut terhadap anak-anaknya. Harus mengekang keinginannya menemukan orang yang baru untuk menemaninya. Dan, seolah aku dan adik- adikku mengekang dirinya. Hal lainnya, kalimat ibuku jelas menyampaikan kesepiannya. Air mata merajuk ingin tumpah. Semua sel darah dalam diri aku paksa untuk menahannya agar tak sedikit pun berani untuk menggenang di kelopak mataku. Tak aku sangka, ternyata aku memang masih tak rela jika ibuku harus bersama seseorang yang tidak aku kenali. Aku tidak menginginkan ada orang asing berada dalam rumahku. Kini aku hanya ingin menjadi egois, dengan menyesali pertanyaanku yang tidak 36 bisa aku terima jawabannya. “Mamah emang pengen nikah lagi?” Aku beranikan untuk bertanya. Lebih bersiap untuk mendengar apa kata beliau daripada menjawab pertanyaan ibuku perihal keinginanku untuk menikah. “Mamah enggak ingin mengeluh kesepian karena kamu dan adik-adik kamu sibuk sama kegiatannya masing-masing. Adik kamu paling gede, Sinar, udah kerja. Permata, lagi giat-giatnya kuliah dan cari beasiswa sana-sini. Si bungsu, Putri, seneng sama ekskul debat di SMP-nya. Mamah seneng, kalian tuh sibuk buat ngejar cita-cita kalian. Seneng enggak ada dari kalian yang sering di rumah cuma males-malesan. Meskipun Mamah enggak bisa perhatiin kalian semua, tapi dengan tahu kalian sibuk untuk hal positif, Mamah lega. Mamah rela kesepian.” Ibuku meneguk teh yang sepertinya kian menghangat, bersiap melanjutkan perkataannya. “Tapi, Mamah juga pengen ada temen ngobrol. Mamah enggak pengen minta waktu kalian terus-terusan kalau lagi pengen ngobrol. Mamah cuma pengen minta izin kalian kalau Mamah ingin punya ayah baru untuk kalian. Mamah berani ngomongin ini sama kamu, karena kamu anak paling gede. Kamu yang gantiin Bapak untuk bertanggung jawab sama Mamah. Untuk ngasih izin sama Mamah.” Ibuku menyelesaikan kalimat yang selama ini sepertinya menunggu untuk diutarakan. Hal yang kukira akan tentangku, ternyata sebenarnya 37 menyoal ibuku. Kini aku merasakan sebuah beban yang selama ini dipendam oleh ibuku. Sebuah rindu yang lama ibuku sembunyikan. Rindu akan seseorang yang dapat mengayomi selayaknya saat Bapak masih hidup. Aku dan adik-adikku bukan hanya sibuk untuk cita-cita kami. Kami sibuk membiarkan ibuku menelan kesepiannya sendirian. Ddrrttt...ddrrrttt.... Notifikasi pesan baru sampai di ponselku. "Udah di mana lu? Jangan telat yak! Bos gue lagi rewel.” Temanku bertanya lagi. Aku hampir lupa bahwa aku harus pergi. Tapi, aku tak mungkin meninggalkan obrolan dengan ibuku menggantung. “Sok, kalau kamu harus ngerjain kerjaan. Pergi aja dulu ya. Mamah juga mau ngerjain kerjaan lagi. Eh, nanti pulangnya Mamah minta tolong nitip beliin madu hitam ya. Punya Mamah udah habis.” Ibuku mengerti bahwa aku harus pergi. Sungguh tidak adil bagaimana ibuku yang harus selalu mengerti akan kesibukan anak-anaknya. “Nanti, kita ngobrol lagi ya, Mah. Nanti Saka coba ngobrol juga sama yang lain. Saka pergi, dulu. Assalamualaikum.” Aku pamit dan mencium punggung tangan ibuku. Meninggalkan pernyataan yang setidaknya bisa menenangkan ibuku. Tidak menggantung dengan perasaan yang mungkin membuatnya 38 tak keruan karena telah mengatakan hal-hal yang membuatku tidak nyaman. “Walaikumsalam,” ibuku menjawab. Betapa ironis dan egois, pekerjaan yang menunggu harus mengorbankan ibuku sendiri. Seketika aku merasa menjadi anak yang durhaka. Perasaan tak nyaman ini menaungi diriku. Namun, aku yakin ibuku tidak marah dan tidak merasa ditinggalkan. “Ya elah, gue kira lu lagi ngapain. Itu kursor kedip-kedip mulu, capek kali dianggurin.” Ucapan dan tepukan halus Rani sukses mem- buatku terperanjat. Aku yang sedari tadi hanya menatap kosong ke layar monitor sambil bertopang dagu, kemudian menoleh sambil tersenyum menatap wanita berkacamata itu. “Kenapa lu bengong aja? Biasanya jam segini kalau enggak lagi nulis atau ngedit, lu blogwalking. Ini kenapa kayak orang kesambet gitu?” Rani kembali mengajukan pertanyaannya kepadaku usai meneguk air dari gelas yang tadi dibawanya. Rani adalah editor di tempatku bekerja saat ini. Kiranya aku bisa menyebut dia sebagai Kanaya kedua. Sifatnya mirip sekali dengan Kanaya. Hanya saja Rani belum sedekat itu denganku. Percakapan kami pun tidak pernah menyinggung masalah pribadi. Hanya berkutat soal pekerjaan dan 39 gosip-gosip yang memang sedang marak dibicarakan oleh kebanyakan orang. “Enggak tahu nih, enggak ada ide. Males juga ngerjain yang lain. Kalau belum deadline kayaknya kurang berasa dikejar.” “Dikejar banget, Ra? Lagian tumben amat enggak ada ide tulisan. Hidup lu lagi kurang sedih sama kurang patah hati tuh kayaknya,” ucap Rani seraya terkekeh sambil kembali mengamati kertas-kertas di hadapannya. Aku tak menimpali ucapannya sama sekali, justru sibuk memikirkan ucapan Rani tadi. Aku kembali diam dan mengingat-ingat kapan terakhir kali menulis dengan lancar bahkan bekerja dengan teramat sibuk sampai lupa waktu untuk sejenak menjeda. “Mungkin karena ini di Jogja,” pikirku. Hawa santainya membuatku jauh lebih rileks dalam melakukan kegiatan. Tak seperti sedang dikejar waktu, pun tidak seperti sedang mengejar sesuatu. Atmosfernya memang teramat berbeda ketika aku berada di Jakarta. Hingga akhirnya aku tak sempat lagi merasakan kesedihan, karena cukup sibuk menjadi bahagia dengan kehidupanku sekarang. Atau, mungkin juga benar seperti kata Rani tadi. Aku kurang patah hati. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku merasakannya, sampai akhirnya mataku menemukan sebuah tulisan di arsip blogku. Seketika aku terpaku pada akhir 40 kalimat dalam tulisan itu. Tulisan yang sudah cukup lama aku unggah. - Kamu, awal tanpa akhir dan akhir yang tak membutuhkan awalan: = Seketika itu juga pikiranku kembali saat aku dan Saka akhirnya kembali bertemu, tidak dalam kondisi yang salah apalagi bertengkar. Malah pertemuan itu terjadi dalam kondisi yang teramat tepat untuk kemudian membuatku dengannya bisa menyelesaikan apa yang masih mengganjal. Seulas senyum tiba-tiba saja tersungging di bibirku hanya dengan mengingat momen itu. Bahkan aku juga teringat momen saat aku dan Saka lagi-lagi tidak sengaja bertemu di coffee shop, sehari sesudah camping itu berlalu. Mungkin memang benar apa yang tadi Rani katakan, hidupku saat ini kurang mengalami kesedihan pun patah hati tak sedang kurasakan. Hubunganku dengan Saka yang sudah kandas, kukira akan menyisakan namanya dalam barisan tulisanku hingga bertahun-tahun lamanya. Tapi ternyata, sesudah percakapan di pantai itu, aku bisa selega ini melepasnya. Tak merasakan sesak, justru perasaan bahagia tengah menguasaiku dengan terang-terangan. Saka, dia saat ini memanglah bukan siapa-siapa lagi di hidupku. Bukan seseorang yang memiliki status khusus bahkan istimewa untuk membuatku dan dia terikat. Tapi, 41 tanpa status itu sekalipun, kehadirannya di hidupku ternyata membuat segalanya lebih dari sekadar cukup. Hubungan kami bahkan sudah lebih dari sekadar kata baik. “Ra, beneran kesambet lu lama-lama! Tadi bengong, sekarang mesem-mesem. Gih, kerjain itu naskah yang barusan gue email. Dimarahin sama Rio baru tahu rasa lu!” Rani kembali menyadarkanku. “Serba salah mulu gue kayak Raisa hahaha,” aku kemudian tertawa menanggapi ucapan Rani, seraya mulai mengecek inbox. Aku sendiri tak habis pikir dengan apa yang ada di hati dan pikiranku saat ini. Sebuah perasaan yang baru kali ini aku miliki ternyata mampu membuatku kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya. Mungkin memang benar kata orang-orang, lebih mudah menuliskan kesedihan daripada kebahagiaan. “Saka, apa kabar?” tanyaku lirih di dalam hati. a “Loh Lara, kamu enggak makan siang?” Aku yang sedang asyik membaca naskah dari Rani mendadak dikagetkan oleh suara lelaki yang kini tengah memandangiku dengan lekat. Rio, dia adalah pemimpin redaksi di kantor. Saat pertama kali datang ke sini aku jarang 42 bersinggungan dengannya, karena dia baru cuti. Tapi, lain halnya untuk saat ini. Aku bahkan bisa melihatnya berada di kantor setiap hari, pun ketika ada rapat redaksi di tiap Minggu. “Eh iya Pak, ini nanggung, hehe.” Aku menjawab pertanyaannya sembari menggaruk leher yang tidak gatal untuk menutupi kecanggungan yang tiba-tiba saja merebak di sekitarku. “Deadline?” tanyanya sembari menautkan kedua alis. “Belum sih Pak, emang lagi asyik aja.” “Kerjaannya kan bisa ditunda dan enggak ngaruh apa- apa juga. Tapi, kalau makan siang ditunda bisa kena maag kamu.” Aku sedikit tersentil mendengar kalimat itu. Aku ingat sering menasihati Saka seperti ini saat aku masih berpacaran dengannya. Jika dulu aku terbiasa mengingatkan, sekarang justru aku yang perlu diingatkan oleh hal-hal yang sudah aku tahu betul konsekuensinya. “Eh, iya sih. Bentar lagi deh Pak, 5 menit lagi.” “Berapa kali dibilangin sih kalau enggak usah manggil Pak? Panggil nama aja kayak yang lain. Atau, kalau alesanmu biar sopan, ya udah panggil Mas aja.” Umurku dengan Rio memang tak jauh berbeda, hanya terpaut 2 tahun lebih dewasa dia daripada aku. Sejak pertama bertemu dengannya, Rio memang menyuruhku untuk memanggilnya dengan nama saja. Atau, bisa juga dengan 43 embel-embel mas, seperti karyawan lain memanggilnya. Tapi, entah kenapa ketika berpapasan dengannya aku selalu lekat dengan sapaan pak. Mungkin karena pembawaan Rio yang sangat dewasa dan penampilannya yang karismatik, sehingga membuatku segan kepadanya. Padahal cara berpakaiannya tidak menyiratkan kedewasaan umurnya sama sekali. Bahkan cenderung jauh dari umurnya. Mirip dengan Saka, hanya saja ini dalam versi yang lebih rapi. Sepatu new balance cokelat tua dan sweter abu-abu yang sering dikenakannya membuat Rio seperti Jelaki yang baru saja lulus bangku perkuliahan. “Ya, udah buruan beresin kerjaannya, kita makan siang bareng abis itu.” Ucapannya tidak terdengar seperti pertanyaan, justru seperti sebuah perintah. Sejak kapan pula dia menawariku untuk makan siang bersama, dan aku menyetujui ajakannya. Seusai mengatakan hal itu Rio justru segera melangkah ke luar, membuat aku hanya terdiam sambil menatap punggungnya dengan keheranan. Belum usai menelaah apa yang tadi Rio ucapkan, suaranya kembali terdengar. Namun, kali ini setengah berteriak, “Buruan Ra, aku tunggu di mobil ya!” Aku segera menyimpan naskah yang tadi kubaca kemudian mematikan komputer. Buru-buru mengambil gawaiku setelah sebelumnya memasukkan dua lembar uang pecahan lima puluh ribu pada case belakangnya. 44 Jika hanya ke luar untuk makan siang seperti ini, aku memang tak suka membawa banyak barang apalagi tas. Karena, bagiku waktu makan siang bukanlah saat yang tepat untuk disibukkan dengan kegiatan lain yang justru membuatku tidak bisa menikmati hidangan yang tersaji. “Loh Ra, kamu enggak bawa tas?” Rio memandangku yang baru saja masuk ke dalam mobilnya dengan tatapan penuh keheranan. “Enggak,” aku menoleh sembari menggeleng, lalu memasang seatbelt, “cuma mau makan siang, kan?” “Tya sih, tapi biasanya cewek tuh mau ke mana aja selalu bawa tas,” ucapnya sambil mulai melajukan mobil. “Ya, itu kan cewek biasanya, Pak. Eh, Mas. Nah, aku kan cewek yang enggak seperti biasanya.” Aku kemudian tersenyum memamerkan sederet gigiku kepada Rio. Rasanya baru kali ini aku berbicara sepercaya diri itu kepada seseorang yang masih dibilang cukup baru di hidupku. Rio tertawa mendengar gurauanku, “Haha, ya, ya, ya. Aku tahu itu sejak pertama kali liat kamu.” “Ha? Gimana, gimana?” Aku tersedak mendengar jawabannya. “Enggak, itu tadi ada kucing lewat. Eh, ini mau makan di mana?” Aku menyatukan alis sembari menatapnya heran. Gurauan lelaki itu justru tak lucu sama sekali. Aku tahu ucapannya hanyalah untuk mengalihkan topik saja. 45 Sebetulnya ingin mencari tahu maksud dari perkataan Rio, tapi sudahlah aku terlalu malas untuk sekadar bertanya. “Dih lucu dia mah, segala bawa-bawa kucing. Makan di mana aja, terserah.” “Kalau aku kasih kamu pilihan buat turun sekarang di tengah jalan atau turun di tempat sepi enggak ada angkutan umum, jawabanmu juga terserah?” “Eh, ya itu mah kalau Masnya tega.” Rio melirikku sekilas kemudian menggelengkan kepala. “Ra, Ra, hidup itu selalu ngasih pilihan ke kita. Terserah itu bukan jawaban. Terserah itu milik mereka yang enggak tahu mau dibawa ke mana hidupnya.” Aku tersenyum melihat Rio. Menarik juga pikirku. “Salah, Mas. Terserah itu lebih luas tahu artinya. Gini, ketika kita ngasih jawaban terserah berarti ada hal yang melatarbelakangi itu. Pertama, karena emang seikhlas itu nerima mau diajak ke mana aja dan emang udah sepercaya itu dengan pilihan si pemberi pertanyaan. Kedua, karena emang sedang enggak ada rencana mau milih apa. Ketiga, karena enggak mau sampe melukai keinginan dari si pemberi pertanyaan untuk mendapatkan sesuatu yang dia mau.” “Gimana, gimana, Ra? Coba jelasin, coba.” Rio bertanya, tampak tertarik dengan jawabanku. “lya, gini. Tadi kan yang ngajak makan tuh Mas Rio. Ya, manalah aku tahu kalau sebenernya Mas Rio tuh mau makan miayam misalnya. Terus, ketika aku jawab mau sop ayam kan 46 jadi enggak cocok. Mematahkan keinginan Mas sebelumnya. Padahal siapa tahu tadi Mas udah ngebayangin enaknya mi ayam pake ceker dengan kecap dan sambel yang pedes. lya, enggak?” Rio terlihat sejenak berpikir sebelum kemudian mengangguk dan bersuara. “Oh, I see. Menarik dan cukup masuk akal sih. Tapi, tetep aja sih, Ra. Kalau kita udah dikasih pertanyaan gitu dan bebas nentuin pilihan, berarti si penanya emang udah seikhlas itu untuk ngasih pilihan dan keputusan ke yang dia tanya. Kedewasaan seseorang bisa juga diukur dari dia yang bisa menentukan pilihan loh.” Kini giliran aku yang memikirkan perkataan Rio. “Iya sih, tapi itu juga enggak bisa dijadikan tolok ukur kedewasaan, Mas. Itu malah...” Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Rio sudah memotongnya, “Ya, udah ya, bahasannya udah dulu. Tuh, di depan ada tongseng, makan itu aja mau?” Rio mengarahkan jari telunjuk pada sebuah warung makan di pinggir jalan. “Mm... “Jawab iya atau enggak, jangan terserah lagi.” “Tya mau,” ucapku sambil memberikan senyuman tipis kepadanya. “Good girl!” Rio tersenyum seraya mulai menepikan a” mobil. 47 48 Memiliki Kita pada akhirnya kembali semesta pertemukan, dengan rencananya yang selalu mencengangkan. Kita pada akhirnya mampu menerima segala hal, dengan lebih terbuka tanpa menyimpan sedikit pun sesal serta amarah. Kita pada akhirnya bisa tersenyum dan saling mendamaikan, usai seluruh perdebatan yang dulu begitu kita kutuk sebagai kesalahan. Kita pada akhirnya sampai pada sebuah pemahaman, yang terbentuk dari sebuah perenungan ketika jarak berkuasa. Kita telah sampai pada titik itu. Kita sampai meski dengan tertatih bahkan sesekali merintih. Untuk kamu yang kembali hadir membawa serta seluruh kenyamanan dan menyingkirkan ketakutan, terima kasih telah memberi banyak pelajaran. Untuk kamu yang kembali datang membawa ribuan pemahaman dengan penerimaan yang tidak pernah aku sangka sebelumnya, terima kasih karena sudah berani untuk menyelesaikan. Dan terima kasih, untuk kamu yang akhirnya membiarkanku kembali memilikimu, sebagai apa pun kamu di hidupku. -L- Aku baru saja mem-posting sebuah tulisan baru di Blog ketika teleponku berdering. Mama calling. “Assalamualaikum. lya Ma, ada apa?” “Waalaikumsalam. Yeee, kamu mah, Mamanya baru nelepon udah ditanya ada apa.” “Hehe, Lara lagi engga konsen tadi, Ma. Jadinya langsung to the point deh.” “Kamu tuh ya, enggak kangen emang sama Mama?” Sebuah pertanyaan terdengar dari seberang telepon dan aku hanya tersipu mendengarnya. Entah, rasanya selalu seperti ini ketika beliau menanyakan kerinduanku kepadanya. “Bilang aja Mama yang kangen, haha. Mau dibawain apa? Minggu ini Lara balik kok, Ma.” Aku tersenyum di ujung telepon sambil menutup laptop. “Bakpia telo ungu ya, tiga. Kejunya dua,” pinta ibuku. “th, banyak banget! Emang Mama sanggup ngabisinnya?” tanyaku lagi. 49 “Ya, kan buat disimpen-simpen. Nanti kalau Mama mau lagi, tinggal makan aja. Enggak usah nungguin kamu balik. Kalau nungguin kamu balik tuh bisa keburu udahan kepinginnya.” Sebuah sindiran halus kini terdengar dan membuatku keki. Tapi, aku tak kehabisan akal, justru sekarang balik menggoda dengan sebuah permintaan yang terselubung. “Makanya, kalau Mama mau bisa makan itu kapan aja, ikut pindah ke Jogja, yuk! Temenin Lara di sini, biar kita engga LDR-an lagi. Hehehe.” “LDR-an banget, Nak? Dulu sama yang kemarin aja betah buat LDR, nyamperin mulu lagi. Ini LDR-an sama Mamanya, malah jarang nyamperin.” Aku dibuat mematung oleh ucapan ibuku barusan. Tiba- tiba saja kembali teringat kebiasaanku untuk berkunjung ke Bandung bila akhir pekan datang. Sudah lama rasanya tidak bertemu Saka. Terakhir kali, itu pun pertemuan tidak sengaja di coffee shop di Jogja. Setelah itu perjanjianku dengannya sebelumnya tetap berlaku. Kami tidak akan saling menghubungi jika aku tidak lebih dulu berkunjung ke kotanya, atau kami kembali dipertemukan secara tidak sengaja. Aku tersenyum mengingat-ingat hal itu hingga suara ibuku di ujung telepon kembali terdengar. 50 “udahan ngelamunnya? Ini Mamamu masih nelepon loh.” “Hahaha, enggak ada yang ngelamun, Ma. Ya, udah nanti Lara beliin pesenan Mama. Ada yang mau dititip lagi?” “Titip bawain calon mantu ya, Nak. Assalamualaikum.” Belum sempat aku protes mengenai omongan ibuku, beliau sudah mematikan sambungan telepon. Meninggalkan aku yang hanya bisa tersenyum menggeleng sambil berucap lirih. “Waalaikumsalam.” Sebetulnya topik itu menjadi salah satu hal yang membuat aku malas bolak-balik ke Jakarta dan berlama-lama ada di rumah. Meski aku senang dengan sifat jahil ibuku dan sering merasakan rindu akan sifatnya itu, tapi tetap saja, aku merasa malas jika beliau sudah mulai merambah ke ranah jodoh dan semacamnya. Ya, aku memang hidup di tengah keluarga yang bisa dibilang cukup kuno. Bila seorang wanita belum menikah di umur twenty something, maka akan banyak pertanyaan ‘kapan’ yang akan hadir. Tak hanya berhenti sampai di situ, pertanyaan kapan adalah momok terbesar di setiap acara keluarga yang kuhadiri. Bila belum juga membawa pasangan maka pertanyaan yang mampir adalah, kapan menikah? Bila sudah menikah dan belum jua dikarunia anak, pertanyaannya 51 akan berganti dengan, kapan punya momongan? Bila sudah menikah dan punya anak, pertanyaannya akan semakin bervariatif dengan, kapan nih dikasih adik? Kasihan masa sendirian aja anaknya? Menarik sebetulnya. Banyak sekali yang lebih peduli dengan kekurangan hidup orang lain dibandingkan dengan kekurangan hidupnya. Sibuk menambal sulam kekurangan dirinya dan memamerkan kesempurnaan semata di depan khalayak umum. Masih dirasa belum cukup, mereka juga menerapkan standar definisi bahagianya kepada orang lain. Dengan kata lain, bila seseorang yang dia kenal itu belum seperti apa yang ada di bayangan mereka, maka orang itu memang tidak bahagia. Aku memijat kedua pelipis dengan ujung jari telunjuk dan ibu jari. Menyandarkan kepalaku di kursi sambil memejamkan mata. Berusaha menghentikan isi kepalaku yang terasa semakin melelahkan jika terus-menerus kuberi- kan pemikiran seperti tadi. Mendadak aku dihadiahi semesta sebuah perasaan rindu. Rindu untuk berkisah dan berbagi, setidaknya kepada sahabatku, Kanaya. a 52 Aku mulai kembali pada rutinitas pekerjaan freelance-ku. Karena hampir setiap hari pulang malam, belum sempat lagi aku dan ibuku melanjut- kan perbincangan kami. Belum sempat juga aku mengajak ngobrol adik-adikku perihal apa yang disampaikan ibuku. Meski kadang aku mengerjakan pekerjaan di rumah, ibu dan adik-adikku pasti sudah berangkat untuk bekerja dan sekolah saat aku terbangun. Lalu, tak lama bosan akan datang dan membuatku ingin mendatangi beberapa coffee shop untuk mencari inspirasi dan melanjutkan pekerjaanku. Tidak hanya bergelut dengan rutinitas, aku mulai membeli beberapa buku untuk aku baca. Aku juga semakin aktif untuk menulis di Blog pribadiku. Hal lain yang membuatku tetap merasa hidup dan tidak kesepian. Hal lain juga yang menggantikan hobiku berkutat dengan kamera, karena sudah jarang mengikuti kegiatan komunitas fotografi. Di suatu weekend, aku memutuskan berkumpul dengan beberapa rekan komunitas menulis di salah satu coffee shop di Bandung. Ajakan dari salah satu teman. “Mas Saka kemarin abis dari Jogja katanya ya? Ketemu sama anak-anak nulis di sana?” tanya Nina, salah seorang anggota di komunitas menulis. “Tya. Hehe. Sebenernya enggak sengaja ketemu. Ternyata temenku ada yang ikutan komunitas nulis juga. Hehe.” Aku menjawab sambil asyik menatap layar laptop karena sedang memikirkan tulisan yang akan aku buat. 53 “Ketemu Mbak Lara lagi dong ya? Gimana rasanya, Mas? CLBK enggak? Hahaha,” goda Asri, salah satu anggota lainnya. “Hah? Hehe.” Aku kikuk dan terperangah setengah mati. Bagaimana mereka bisa tahu perihal aku dan Lara? Seketika diriku merasa tak nyaman ada di sekitar mereka. “Hehe, aja nih. Ciyeee...” goda yang lain. Aku hanya bisa tertawa menutupi ketidaknyamananku. Aku tidak pernah suka urusanku dicampuri. Entah sejak kapan, entah bagaimana. Aku hanya tidak suka. Aku yang terbiasa tertutup, membuat hal seperti ini menjadi seperti serangan. Padahal sepatutnya aku bisa biasa saja. Namanya juga komunitas, kabar bisa beredar di antara para anggota. Tapi, aku tidak pernah suka hal itu. Tidak pernah. Ingin sekali aku bercerita kepada Lara. Keadaanku dengannya sudah baik dalam hal apa pun. Ya, kami baik. Perasaanku kepada Lara masih ada, tapi tidak lagi ada ambisi untuk memenangkannya kembali. Entah karena memang benar aku sudah rela, atau aku yang memaksa diri ini untuk rela. Tapi, aku lebih suka seperti ini. Memiliki perasaan kepadanya yang tidak membuatku kelimpungan, tidak membuatku khawatir akan apa pun. Aku bebas. Kami merasa bebas. Tapi, di saat yang sama seolah aku memiliki dirinya, sebagai apa pun dia untukku. “Eh, katanya Mbak Ratih lagi siapin buku yang kedua 54 ya?” Anto, seorang perbankan yang juga anggota komunitas bertanya. “Hehe. lya nih, doakan ya.” Ratih mengangguk sungkan. Ratih adalah salah satu anggota yang diseniorkan. Jam terbang menulisnya sudah tinggi. Dia sudah menulis sejak 2010. Butuh waktu enam tahun hingga bisa dilirik oleh salah satu penerbit yang tak sengaja blogwalking di laman miliknya. Ia kemudian ditawari membuat buku, dan ternyata memiliki pembaca yang cukup banyak. “Gilak, gilak, belum juga ada lima bulan udah bikin buku lagi aja, Mbak. Kapan ya aku juga bisa bikin buku? Hehe,” ucap Rudi, anggota komunitas juga. “Eh, kalian juga bisa tahu. Cuma ya yang konsisten aja kalau nulis. Aku aja enggak pernah kepikiran pengen bikin buku. Aku nulis karena suka. Cuma pengen curahin isi kepala sama hati aja. Tapi, rezeki siapa yang tahu. Setelah bertahun nulis ada yang nawarin buat dibikin buku. Eh, sekarang malah ketagihan. Hahaha. ” Ratih tertawa. Fyi, Ratih adalah seorang guru honorer di salah satu SD di Bandung. Di antara padatnya jadwal untuk mengurusi pelajaran dan nilai-nilai anak didiknya, ia masih bisa menyisakan waktu untuk menulis. “Enam tahun ya, Mbak? Aku masih harus nunggu lima tahun lagi dong biar bisa nerbitin buku. Haha,” canda Rudi. “Waktu akan rezeki orang kan beda-beda. Siapa tahu kalau kamu konsisten bisa lebih cepet. Yang penting, kamu 55 coba pelajarin pembaca. Kamu mungkin awalnya nulis cuma nyampah, cuma curhat. Tapi di stase berikutnya, saat sadar ternyata tulisan kamu banyak yang baca, kamu akan mulai memperhatikan pembaca. Kamu mulai peduli apa yang ingin pembaca dapatkan dari tulisan kamu.” Ratih coba menjelaskan. “Kalau gitu, kita harus ngikutin mau pembaca dong?” Nina bertanya. “Kalau itu menurut aku tergantung pemahaman masing- masing. Tergantung tujuan menulis masing-masing orang. Gimana pun itu, kalau kamu nyaman ya kerjain. Tapi yang harus diperhatikan, gimana pun pembaca adalah salah satu jalan rezeki kita juga. Mereka yang setia baca tulisan kita, yang ngebantu kita untuk bisa terus berkarya.” Ratih menjawab. “Tumben-tumbenan obrolan kita ada faedah nih,” celetuk Anto, dan membuat kami tertawa mendengarnya. “Bikin apa nih sekarang, Mbak? Masih prosa?” tanya Asri. “lya, masih buku prosa atau senandika aja.” Ratih menjawab. “Apa itu senandika, Mbak,” tanya seseorang di sudut meja. “Bentar, gue buka KBBI. Eng... senandika itu wacana seorang tokoh dalam karya sastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, 56 firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut,” papar Asri dengan baik hatinya menjelaskan. “Eh, enggak coba bikin novel non fiksi, Mbak?” Anto ikut bertanya. “Hmm, nah ini aku tuh pengen bahas. Kalau kalian sendiri tuh lebih seneng baca prosa-prosa gitu atau baca novel sih?” Ratih balik bertanya. Pertanyaan Ratih itu bisa jadi terpicu dengan sebuah keanehan yang terjadi dalam komunitasnya. Semua teman dari Blog menerbitkan buku yang serupa. Kalau enggak prosa ya novel. Aku yang belum tahu banyak tentang tulis-menulis hanya bisa menikmati obrolan mereka. Sebuah pengalihan yang baik daripada membahas hubungan seseorang. “Emmm, aku sih lebih seneng prosa. Enggak panjang- panjang, dan langsung ke inti. Jadi, lebih kaya makna tapi tanpa harus baca keseluruhan cerita. Sama kayak quote-quote gitu,” Nina berpendapat. “Aku lebih suka novel. Kalau baca novel itu bisa ngebawa kita sama ceritanya. Jadi, kayak kita cuma perlu duduk, tapi diajak jalan-jalan.” Asri berpendapat. “Tapi, aku juga suka prosa kalau bagus mah. Hehe,” Asri menambahkan. Aku menikmati obrolan ini. Tak pernah terpikirkan juga jika tulisanku akhirnya dibuat buku. Mimpi yang tak pernah berani aku semogakan. Bukan perihal kepandaian dalam menulis, ini tentang diriku yang memang tak pernah berani bermimpi. 57 Aku baru menyadari bahwa aku hidup tanpa mimpi. Aku hanya menjalani hari sesuai inginku saja. Sesuai caraku. Saat ada hal yang harus aku kejar, seolah itu hanya membuatku lemah karena seringkali aku hanya merasa tak akan mampu menggapainya. Selesai ngumpul dengan teman-teman komunitas menulis, aku beranjak pulang, Pembahasan tentang menulis terus terngiang di kepalaku selama aku mengemudikan motor matic milikku. Betapa kesuksesan seseorang bisa terdengar begitu menggoda, seolah kita bisa melakukan hal yang sama. Saat seperti ini, nurani dan nalar seolah akur. Cerita tadi seperti sihir yang dapat membuat keduanya tunduk. Aku tersadar tengah berada di satu kemacetan dalam perjalanan pulang. Suara musik terdengar dari sebuah bangunan yang di lahan parkirnya terlihat penuh oleh kendaraan. Aktivitas yang akhirnya mengakibatkan sedikit kemacetan. Pada suatu hari nanti Suaraku tak terdengar lagi Terdengar sayup sebuah nyanyian dari bangunan itu, menyanyikan sebuah puisi yang sepertinya aku kenali. Tapi di antara larik-larik sajak ini Kamu akan tetap kusiasati 58 Sapardi! Ya, itu puisi Sapardi! Seketika aku mem- berhentikan motor di pelataran parkir. Terlihat orang begitu penuh di dalamnya tengah menikmati alunan musikalisasi puisi yang tengah dimainkan. RUANG PUTIH, tertulis di tembok bagian depan, dekat tangga kecil yang dijadikan tempat masuk. Sepertinya nama dari tempat ini. Pada suatu hari nanti Impianku pun tak dikenal lagi Namun di sela-sela huruf sajak ini Kamu takkan letih-letihnya kucari Alunan musik ditutup oleh tepuk tangan yang meriah. Tak terasa aku pun dibuat merinding mendengarkan alunannya. Mendengarkan tepuk tangan yang berteriak atas jiwa-jiwa yang dibuat puas. Terlalu lama diam di rumah dan mengungkung diri dari kehidupan sosial membuatku kehilangan pengetahuan untuk hal-hal seperti ini. Musikalisasi puisi yang dibawakan Ari Reda itu sanggup menghidupkan sesuatu yang sepertinya telah lama mati dalam diriku. Mimpi. Setelah Ari Reda, giliran pengisi acara lain yang menampilkan musiknya. Aku berkeliling sebentar dan memutuskan untuk memesan kopi sambil mengamati sekitar. Tempat ini seperti sebuah portal khusus yang mem- bawa penikmat musik mana pun bisa berada pada satu titik 59 nyaman. Titik yang tidak bisa didapat dalam keadaan biasa. Cukup menarik bagiku. Sebuah area terbuka di bagian tengah yang dikelilingi oleh satu bar coffee shop, satu buah galeri, satu barber shop, dan dua kedai makanan. Bahkan setelah aku mengecek sosial media Ruang Putih, aku mendapati sebuah hal menarik. Ternyata di tempat ini memang sering diadakan acara musik. Hampir setiap bulan bahkan. Jazz, folk, blues, dan musik lainnya. Aku yang berniat untuk pulang cepat mau tak mau mengurungkan niatku. Ada hal yang lebih menggoda untuk aku nikmati di sini. “Cappuccino panas satu?” Baru saja aku akan memesan kopi, barista di depanku mendahului. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. “Cappuccino panas terus pesennya, Mas? Mau coba yang seger-seger enggak? Ini ada kopi campur susu juga kok,” tawar sang barista. “Oh ya, apa tuh yang nyegerin?” aku bertanya penasaran. “Es Kopi Susu Kioton,” ucapnya sambil tersenyum. Setelah itu sang barista segera membuatkan pesananku setelah aku mengiyakan tawarannya. Sejak acara musik di Ruang putih waktu itu, hampir setiap hari saat aku sedang bosan mengerjakan pekerjaan desain di rumah, aku selalu 60 datang kemari. Tempat ini ternyata sangat cocok untukku. Tempat yang terbuka membuat angin siang bisa dengan bebas menghibur pengunjung yang ada di sini. Dengan sentuhan tumbuhan- tumbuhan morning vibes; tumbuhan berdaun lebar, seperti monstera, kuping gajah, talas; kaktus-kaktus lucu; dan tumbuhan lainnya membuat Ruang Putih terasa sangat hijau dan sejuk. Tambahan lain, satu buah kedai kopi bernama Kyotown Coffee selalu bisa memenuhi kebutuhan kafeinku dengan kopinya yang nikmat. “Es kopi susu Kiotonnya Mas, silakan.” Aku menggumamkan ucapan terima kasih. Sofa yang aku duduki membuatku sedikit malas. Terlalu nyaman hingga aku hanya ingin melamun lalu menuliskannya. Aku sering begitu lelah. Mendengar suara yang terdengar merusak. Semua percakapan terasa egois, dan ingin benar sendiri. Di antara sering itu, aku lebih banyak mendengar. Sepi. Menurutku, sepi adalah sebuah percakapan paling jujur. Aku dapat mendengar lebih banyak kebenaran, ketimbang di keramaian. 61 Bahkan, saat di antara ramai aku seperti kehilangan diriku. Dalam sepi aku dapat menemukan sebenar-benarnya diriku. Dalam sepi, aku bercakap dengan Tuhan, saat ramai tak memberiku ruang bagiku untuk hal itu. Dalam sepi, Tuhan memintaku untuk mendengar, apa yang tak tersampaikan. Mengerti, apa yang tak terdengar. Hingga akhirnya, giliranku yang ingin berbicara. Aku ingin menangkap sebuah gambar. Cerita yang sepi, namun dapat memberi banyak makna dan mengundang banyak paradigma. Untuk menyampaikan pesan tanpa paksaan. Untuk bercerita tanpa harus meminta orang untuk mendengar. Dari sebuah gambar yang ditangkap oleh mata lensa. Semoga mereka, dapat menangkap banyak makna dengan mata hati. Dari sebuah gambar, kuberi mereka sebuah ruang sepi. Agar lebih banyak mendengar, yang hati mereka ceritakan pada dirinya. ‘Klik. Aku memposting tulisan di laman pribadiku, lalu mengeluarkan kamera mirrorless milikku untuk mengambil 62 beberapa gambar dari tempat ini. Aku menemukan beberapa foto diriku sendiri di kamera. Tiba-tiba pikiranku teringat pada kali terakhir aku menghabiskan waktu dengan Lara di salah satu coffee shop di Jogja. Aku tersenyum rindu. Apa yang sedang dilakukan Lara sekarang? Ah, ingin sekali aku menghubunginya. Tapi, kami telah berjanji untuk tidak bertukar kabar hingga bertemu lagi secara tak sengaja, atau setidaknya jika Lara datang ke kota ini. Aku kembali membuka Blog lalu menjelajahi tulisan- tulisan orang lain. Membaca tulisan semua orang seolah tengah mendengar keluh kesah mereka. Mendengar rahasia- rahasia yang tak sempat didengar oleh siapa pun, atau bahkan tak punya tempat di telinga orang-orang. Seandainya semua tulisan yang ada di media sosial seperti ini. Tidak hanya berisi hak-hak yang tengah diperjuangkan namun di saat yang sama menyakiti hak orang lain. Tidak melulu berisi cacian yang hanya tentang kebencian. Seolah berramai-ramai mengajak pembaca untuk ikut membenci. Namun aku sadar, mungkin mereka juga telah lama diam. Telah lama menyuarakan keresahan mereka, tapi tak ada satu pun yang mendengar dan mengerti. Seolah aku pun tak ada bedanya dengan mereka. Tengah memperjuangkan sesuatu. Tiba-tiba sebuah pesan masuk di Blog milikku. Tertulis nama akun, Eleftheriana. 63 “Aku suka semua tulisanmu. Rasanya, semua kata seperti sedang menari di kepalaku :)" Aku tersenyum dan sedikit penasaran. Aku mengunjungi laman Blog miliknya. Ketika kembali membuka tulisan- tulisanku, setelah aku perhatikan ternyata dia selalu meninggalkan sebuah pesan pada kolom komentar. Ia membuat pesan berupa prosa yang seolah-olah tengah membalas tulisanku. Perasaan lucu hadir dalam diriku. Aku tak pernah memerhatikan kolom komentar. Aku pikir, tulisanku tidak ada yang membaca, pun kalau ada ya sudah. Tapi, saat ada sebuah apresiasi yang disampaikan, sampai saat aku mengetahuinya, ada rasa senang yang tak terduga mendatangiku. “Terima kasih. Mungkin suatu saat kita bisa menari bersama :)” Balasan aku kirimkan. Beberapa detik kemudian aku ingin sekali menjitak kepalaku sendiri. Untuk apa aku membalas segombal itu. Sial! Namun, pesan sudah terlanjur terkirim. Aku hanya bisa menertawakan dan memarahi diriku sendiri dalam waktu yang bersamaan. Aku mulai melihat satu demi satu tulisan yang dia tinggalkan di kolom komentar dari setiap tulisanku. 64 Membawaku pada sebuah imajinasi tentang dirinya. Meski avatar miliknya hanya sebuah gambar siluet seorang gadis, tetapi pikiranku membentuk sendiri setiap lekukan wajahnya. Bagaimana mata dan bibir, hidung dan telinganya. Seperti ada kesenangan sendiri dalam salah satu aspek harapan ketika terjadi kontak dengan seseorang yang tidak kita ketahui. Di Sepertiga Malam Pernah ada seseorang berkata, teruslah menulis sebab karenamu aku tahu bagaimana mengungkap rasa. Pernah ada seseorang berkata, teruslah berani mengutarakan rasa melalui tulisanmu, sebab karenanya aku menjadi mampu memikirkan apa yang sebelumnya tak pernah kurenungkan. Aku tersenyum sekaligus tertawa dalam hati. Selama ini, tidak pernah ada yang menganggap apa yang kuukir berarti. Selama ini, tidak pernah ada yang berkata aku berhak atas suara yang kuingin perdengarkan. Lucunya, kata-kata itu hanya mampir di beranda dunia mayaku saja. 65 Aku tak mengenalnya dengan terlalu. Aku bahkan sama sekali tidak dekat dengannya. Namun, sedikit kata-katanya membuatku merasa pantas untuk kemudian berjuang. Setidaknya, perjuangan untuk merasa hidup. Perjuangan untuk merasa bahagia. Perjuangan yang aku tahu adalah jawaban dari doa-doa yang kerap kupanjatkan di sepertiga malam. Perjuangan dari mereka yang juga pernah mendoakanku dan membiarkan aku tetap menumbuhkan mimpi. Ada rasa yang lucu menggerayangi diriku, hingga ke pipi yang sepertinya kini tengah mengembang. “Gimana Mas, es kopi susunya?” Seorang barista tiba-tiba mendatangiku. “Enak, kok.” Aku refleks menjawab, diikuti tanganku yang mengambil gelas es kopi susu dan meneguknya untuk semakin memastikan. Aku baru menyadari bahwa minuman di tanganku ini benar-benar enak. “Masnya tahu Kyotown Coffee dari mana nih kalau boleh tahu? Belakangan seneng banget ke sini kayaknya ya. Hehe.” Barista itu sudah duduk di sofa depanku. “Kebetulan waktu itu ada acara musik gitu kan di sini, terus saya lagi kejebak macet di depan. Penasaran ada rame- rame kayaknya dari sini, terus mampir deh. Eh, ketagihan 66 nongkrong di sini, haha.” Aku menjelaskan. Kami alu kami berbincang lebih jauh tentang kegiatanku, tentang Kyotown Coffee, tentang Ruang Putih yang sering mengadakan acara musik, hingga tentang kopi. “Es kopi susu emang lagi tren banget ya sekarang, Mas?” aku bertanya. Meski aku tidak terlalu tahu bagaimana perkembangan dunia kopi dan meski hanya sebentar belajar menjadi seorang barista, tetapi aku cukup aware bahwa es kopi susu menjadi sebuah fenomena menarik. Fenomena yang sedang terjadi hampir di setiap kedai kopi. “Yah, kayaknya gitu, Mas. Emang lucu sama pasar tuh, bisa-bisanya sesuatu yang baru mengubah budaya.” Timpal sang barista. “Lucunya gimana emang, Mas?” Aku penasaran. “Kayak, katakanlah setiap kedai kopi berusaha menjaga kualitas kopi yang baik demi rasa yang enak di lidah pasar. Rasa kopi juga jadi hal yang idealis bagi setiap orang yang berkecimpung di dunia kopi. Tapi, mereka akhirnya harus mengakui bahwa kopi enggak melulu tentang rasa. Mereka harus berhenti untuk merasa seperti Tuhan yang selalu tahu tentang kopi yang enak dan baik bagi pasar. Karena akhirnya, pasar yang menentukan. Ada hal lain yang akhirnya membuat pasar beralih. Es kopi susu misalnya, jadi fenomena yang luar biasa di dunia kopi, karena sekarang menu yang satu itu udah kaya lifestyle.” Barista di depanku terlihat bersemangat 67 menjelaskan. “Menurut Mas sendiri, dengan mengikuti tren yang lagi happening kayak sekarang ini, merasa mati di tangan idealisme sendiri enggak sih?” Aku bertanya. Agak riskan memang jika harus membahas idealisme. “Untuk beberapa orang, saya rasa sih iya, Mas. Cuma gimana, kita hidup dari pasar. Kita hanya pelayan yang mau enggak mau harus manut sama tren yang lagi berlangsung. Meski untuk beberapa kedai kopi atau coffee shop besar, es kopi susu atau kopi bukan pemasukan terbesar, tetapi dilihat dari demand yang tinggi terhadap es kopi susu, kedai- kedai kopi kayak kita harus mau ikut hanyut.” Barista itu menjelaskan. Kami beranjak dari perbincangan mengenai kopi yang sedang tren hingga persiapan dan apa yang dibutuhkan bagi orang-orang yang ingin membuat kedai kopi. Ada sesuatu dalam diriku yang sepertinya sangat tertarik perihal kopi. Bukan hanya untuk sekadar ikut-ikutan tren di dunia kopi yang membuat semakin banyaknya kedai kopi. Lebih besar dari sekadar itu. Dunia kopi seperti hidup itu sendiri. Banyak hal yang selalu diperbincangkan tapi tak pernah menemukan titik temu untuk dijadikan jalan keluar. Terlebih, aku selalu suka bagaimana seorang barista selalu memperhitungkan rasa. Sama seperti apa yang pernah aku alami. 68 Bagaimana Jika Bagaimana jika sebuah perkenalan pada akhirnya memang akan berakhir dengan perpisahan? Apakah kamu masih akan semangat untuk menunggu sebuah pertemuan? Bagaimana jika sebuah perjumpaan hanyalah awal untuk kemudian saling meninggalkan? Apakah kamu lantas akan percaya kepada mereka yang mendekat? Menariknya aku masih saja tetap menunggu. Menariknya aku masih saja tetap percaya. Pada siapa katamu? Pada duka setelah kehilangan, aku masih menunggu suka. Pada luka setelah kepergian, aku masih percaya selalu akan ada yang menetap. --L-- 69 “Besok ikut liat sunrise di Mangunan bareng kan, Ra?” A Aku yang sedang asyik mendengarkan lagu sambil membuat tulisan di Blog terperanjat akan kehadiran Rio di sampingku. Senyumnya merekah ketika bertanya kepadaku. Siang ini dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna abu-abu dengan vest rajut tak berlengan warna hitam. Heran, lelaki ini sepertinya memang selalu senang mengenakan baju berlapis-lapis. “Hmmm... enggak, Mas. Aku enggak bisa ikut hehe.” “Loh, kenapa?” ucapnya sambil mengambil kursi di sampingku, lalu membuka toples berisi keripik yang ada di meja. “Harus pulang ke Jakarta. Soalnya, udah dua minggu belum pulang.” Aku mengambil segelas air putih, sembari menutup Blog, dan kembali fokus dengan naskah yang baru saja di-print dan sudah siap untuk aku baca ulang. “Homesick terus ya? Sampe bolak-balik mulu,” tanyanya lagi. “Haha, enggak juga sih. Cuma kan Mama di sana sendirian, jadi enggak enak aja kalau enggak pulang.” “Oh, Mamamu tinggal sendiri? Lalu, Ayahmu?” Aku meliriknya sekilas. Menatap manik mata itu lalu mempertimbangkan apakah harus memberitahu tentang keluargaku. Mungkin sudah bukan saatnya aku terus- menerus mengelak untuk menjawab pertanyaan seperti ini. 70 Pun sudah bukan waktunya aku menjawab pertanyaan itu dengan kebohongan. Lagipula aku semestinya sudah harus mulai terbuka kepada orang lain. Bukankah untuk menjadi diterima, aku harus lebih dulu menerima diriku sendiri? “Divorce, udah lama,” ucapku tenang sambil memberikan senyuman kepadanya. Rio menatapku kikuk. Sebuah perasaan bersalah hadir di wajahnya. Aku yang tidak terkejut akan hal itujustru kembali bersuara sebelum dia mengucapkan kata maaf. “Santai, Mas. Toh, perceraian itu pilihan terbaik jika udah enggak ada kenyamanan lagi di suatu hubungan rumah tangga, kan? Dan, enggak semua anak-anak dari keluarga broken home akan salah kaprah kok. You can see me, right? I’m a good girl, I guess.” “Percaya Ra, percaya. Cuma aku enggak enak aja jadinya pake nyinggung tentang orang tuamu. Lagian, orang kayak kamu mah weekend aja kerjaannya pasti cuma diem baca buku, dengerin musik, kalau enggak ya nyari foto. lya, kan?” “th, sok tahu!” Aku kemudian tertawa mendengar ucapan Rio yang memang benar adanya. Selama di Jogja, jika tidak sedang bertolak ke Jakarta, aku hanya menghabiskan waktu di kamar. Tak jarang, sesekali aku ke luar hanya untuk memotret sudut-sudut indah di Jogja, menghabiskan senja di pelataran parkir Abu Bakar Ali, atau menyusuri jalanan Jogja di malam hari. 71 “Ye, bukan sok tahu. Tapi, itu berbicara fakta. Kalau enggak kayak gitu ngapain tiap hari isi tasmu kalau bukan buku ya kamera. Well, isi tas itu mencerminkan kebiasaan orang yang memilikinya, Ra.” “Ya, ya, ya, analisa yang menarik. Hehe.” Aku meng- anggukkan kepala sambil menjawabnya. Sekilas aku melihat Rio kini sedang sibuk menggerakkan jemarinya pada gawai yang dipegang. Melihatnya yang sudah kembali sibuk, mau tak mau aku kembali menatap naskah di tanganku sambil membubuhkan beberapa catatan di sampingnya. “Kalau gitu kita flight Jumat malem ya, Ra?” Aku mengernyitkan kening ketika mendengarnya kembali berbicara. “Flight? Jumat? Kita? Apaan sih, Mas? Kok, aku gagal paham.” “Iya, kita. Aku sama kamu berangkat ke Jakarta hari Jumat malem, penerbangan terakhir. Cek email deh, aku udah kirim ke kamu bukti booking-nya.” Aku yang masih kesulitan menelaah ucapan barusan hanya mengedikkan bahu sambil menggelengkan kepala menatapnya. Rio yang tahu aku masih membutuhkan pen- jelasan cuma tersenyum, kemudian mengambil napas dan melanjutkan perkataannya. “Gini ya Lara, hari Jumat malem, aku bakal temenin kamu untuk balik ke Jakarta. Enggak usah ge-er aku mau anterin kamu doang. Kebetulan sepupuku juga ada yang tinggal di 72 Jakarta. Udah lama dia minta aku dateng buat dikenalin ke calonnya. Nah, karena aku enggak tahu jalanan Jakarta terus kebetulan kamu asli sana, lumayan kan aku bisa minta dianterin sama kamu kalau suntuk di tempat saudaraku. Hehe.” “Ha? Kan, ada ojek online kali, Mas. Maps juga ada. Mau ke mana aja kamu engga akan ilang, ih. Lagian ya, aku biasanya ke Jakarta naik kereta tahu.” “Kalau ojek online mana bisa diajak ke tempat-tempat menarik, terus dijelasin kenapa tempat itu bagus. Kalau pake maps juga ribet. Jalanan Jakarta kan enggak pernah sepi. Nanti yang ada aku cuma buang-buang waktu di jalan aja untuk muter kalau ternyata salah arah. Ayolah, sekali-sekali jadi tour guide masa enggak mau? Perkara pesawat, tenang aku enggak akan minta ganti kok.” Rio membujukku dengan memberikan tatapan memelas. Aku yang melihat kelakuannya itu hanya tertawa sambil menggelengkan kepala tak percaya. “Alesannya ih, ada aja. Aku enggak janji, ya. Karena, biasanya kalau balik Jakarta akan sibuk nganterin Mama. Lagian ya Mas, siapa juga yang mau gantiin tiket pesawatnya? Kan, aku enggak minta dibeliin. Kalau pun aku akhirnya nolak dan tiket itu hangus, itu salah Mas Rio sendiri. Kenapa pula beli enggak bilang-bilang?” Rio tertawa sambil mengusap tengkuk. “Kalau aku bilang-bilang juga emangnya kamu udah pasti mau? Lagian 73 ya Ra, banyak hal di dunia ini yang kalau berkaitan dengan kebaikan tuh enggak usah diumbar-umbar. Aku beliin kamu tiket pesawat kan artinya aku sedang berbuat kebaikan, jadi enggak usah disebarluaskan toh?” “Pantes jadi Pemred, ngelesnya pinter. Alesanmu itu loh Mas, maksa banget. Terserah wes, terserahhhhhh....” Aku dan Rio kemudian tertawa. Sesaat setelahnya kami kembali pada kesibukan masing-masing. Aku kembali menekuni naskah yang harus kuselesaikan hari ini, sedang Rio sibuk menanda tangani beberapa kertas yang baru saja dibawakan ke hadapannya. Aku diam dan mencoba fokus. Namun, pikiranku masih sibuk menelaah kedekatan yang baru tercipta antara diriku dengan Rio. Semoga saja selalu akan semenyenangkan ini untuk mengenal orang-orang a baru. “Tara!” Aku menoleh ke arah sumber suara. Mataku masih sibuk mencari-cari hingga kemudian aku melihatnya melambaikan tangan. Aku segera berjalan menuju ke arahnya sambil memasukkan handphone yang sedari tadi kugenggam ke dalam tas. “Langsung check in aja ya, Ra.” 74 Aku mengangguk menyetujui perkataannya, yang kemudian disambut dengan dia yang melangkah lebih dulu di depan. Aku mengekori sambil memerhatikan punggungnya. Terasa aneh sebetulnya. Baru kali ini aku melakukan perjalanan dengan orang yang belum lama kukenal. Biasanya, aku hanya bersedia bepergian dengan orang-orang yang sudah lama kukenal, atau bahkan cukup orang-orang asing yang kutemui selama perjalanan. Tapi, kali ini, aku bersama dengannya. Atasanku yang sebetulnya baru saja dekat denganku selama beberapa pekan terakhir. Tak banyak percakapan yang terjadi di antara kami. Tapi, ketika ada momen yang membuat kami bisa mengobrol, maka arah percakapan itu tidak pernah tidak menyenangkan. Aku menyukainya sejauh ini. Setidaknya aku merasa memiliki teman saat ini. Anggap saja dia Kanaya versi lelaki, yang bisa untuk kubagikan cerita tanpa harus memusingkan tentang rasa. Selesai melakukan check in, aku dan Rio sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku yang baru saja mengabadikan pesawat dengan kamera HP kemudian berbalik. Hendak memotret suasana ruang tunggu di bandara yang cukup ramai kali ini. Namun, ketika kamera ponselku mengarah kepada sosoknya, aku malah tertarik untuk memotret Rio. Ia sedang fokus berbicara dengan seseorang di telepon. Aku baru menyadari bahwa Rio selalu terlihat rapi. Tidak ada sedikit pun yang membuat penampilannya tak sempurna. 75 Yang menarik, dia selalu saja mengenakan outfit luar sejenis waistcoat, puffer vest, atau sleeveless sweater yang dipasangkan dengan kaos maupun kemejanya. Berbeda sekali dengan Saka yang kerap berantakan di setiap waktu. Saka seolah tak pernah peduli dengan penampilannya. Bukan berantakan urakan. Berantakan versi Saka itu menunjukkan kalau ia tak peduli dengan penilaian orang lain. Bagi Saka, asalkan dirinya nyaman dengan apa yang dia kenakan, maka pendapat orang lain tak akan berarti apa-apa. Tapi jangan salah, meski berantakan, penampilan Saka selalu enak untuk dipandang. Tidak hanya olehku, tapi juga orang lain. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku bahkan kebanyakan orang tak bisa mengalihkan pandangan dari dia. Meski tak menampik kalau hal-hal berantakan itulah yang kadang membuatku gemas dengan Saka. Ingin sekali rasanya merapikan dirinya dari ujung rambut hingga kaki. Setidaknya agar penampilannya bisa lebih apik dilihat oleh ibuku. Aku tersenyum sekilas. Membayangkan andai saja Saka berpenampilan seperti Rio saat ini ketika nanti bertemu dengan ibuku, mungkin beliau akan melihat Saka dengan cara yang berbeda. Mungkin ibuku juga tidak akan mempertanyakan perihal pekerjaan Saka, serta tak akan khawatir dengan hubunganku dan Saka. 76 Aku buru-buru mengenyahkan pikiranku yang kembali membuat pengandaian akan hubunganku dengan Saka. Aku dengan Saka mungkin memang lebih baik seperti ini. Sebagai apa pun kami bagi satu sama lain. Ya, setidaknya agar tak saling melukai, lagi. “Ngambil foto orang secara diem-diem tuh termasuk perbuatan enggak baik loh, Ra. Apalagi terus-terusan diliatin kayak gitu.” “Ngeliatin isi HP orang lain secara diem-diem juga termasuk menguntit dan perbuatan enggak baik, Mas.” Aku langsung menoleh ke arahnya yang kini sudah berdiri di belakangku. Cepat aku mematikan layar serta menarik ponsel itu ke dadaku. Berusaha menyembunyikan apa yang tidak sepatutnya untuk dia lihat. Rio terkekeh. “Udah keliatan, enggak usah ditutupin juga ih. Kalau mau foto tuh bilang-bilang, Ra. Biar bisa gaya dan benerin penampilan dulu. Jadi, hasilnya keren.” Ia kemudian kembali memasang senyumnya. Aku mendengus pelan, “Kalau bilang-bilang itu namanya bukan candid. Kalau mau yang kayak gitu mah dateng aja ke studio foto.” Rio kemudian mengacak-acak rambutku dan menyam- pirkan lengannya di bahu. Aku sedikit berjengit akan sikapnya tersebut. Tak nyaman dengan perlakuannya itu aku kemudian buru-buru berlari. “Mumpung belum take off, cari foto yang lain dulu ya!” 77 Tampaknya tak butuh waktu lama untuk membuat Rio mengerti, sebab ia tak mengatakan apa-apa, pun ia tidak berteriak memanggil namaku. Dia hanya mengangguk perlahan sambil tersenyum seolah memahami perkataanku. a Aku terus memandangi gelapnya malam. Alunan lagu Shiver yang dinyanyikan Lucy Rose mengalun indah melalui Ipod. Secara tiba-tiba sebuah perasaan menghinggapiku. Membuatku sedikit gusar karena beragam kata seolah berebut keluar dari kepalaku dan memaksa dituangkan menjadi sebuah tulisan. Aku lekas mengambil buku catatan dan pulpen yang selalu kubawa dari dalam sling bag. Penerimaan Pernah ada yang berkata, bahwa sedikit memberi jarak pada dua hati yang sempat bersitegang itu diperlukan. Semula aku tak setuju, tapi sekarang aku dibuatnya percaya. Sebab bila tak ada jarak, tentu tak ada hal yang kemudian bisa kumaknai. Bila tak ada jarak, 78 mungkin aku masih terus menuduhmu sebagai tersangka atas seluruh luka. Sebab bila tak ciptakan jarak, mungkin kita tidak akan saling terbuka untuk memaafkan segala luka. Bila tak ciptakan jarak, tentu rasa yang kini hadir tidak akan lebih damai lagi. Aku belajar pada saat kita saling berjarak, bahwa rasa sayang semestinya tidak lantas membuat kita merasa paling berhak memiliki. Aku belajar pada saat kita tengah berjarak, bahwa perasaan sayang tak selayaknya membuat kita saling menyalahkan, hingga masing-masing harus berkemas pergi. Aku menyadarinya kini, tepat setelah melihatmu kembali baik-baik saja, setelah banyak hal yang kita lewati dan sempat membuat kita berselisih. Kini aku mengerti, arti cinta tidak hanya sesempit perasaan kita yang saling berbalas. Bukan juga tentang kita yang tidak pernah sekalipun bertengkar apalagi menggores luka. 79 Arti cinta juga bukan hanya perihal aku suka kamu dan kamu menyukai aku, lalu kita akan menua bersama. Cinta lebih luas daripada itu. Cinta juga termasuk menerima segala luka yang pernah disebabkan. Dan bagiku, cinta adalah saat di mana aku kembali berani bersitatap denganmu. Seperti saat ini, saat semua damai dari maaf yang tercipta di antara kita, mampu membuat semesta cemburu. —L-- Aku tenggelam ketika kembali membaca barisan aksara yang kubuat. Seulas senyum seketika hadir begitu saja, kali ini bukan dengan paksaan atau bahkan dibuat-buat. Tapi, senyum itu datang dari kelegaan akan rasa yang sebelumnya kukira akan bercokol lebih lama dari luka yang pernah bersemayam. Nyatanya, sebuah penerimaan mampu membuatku merasa jauh lebih hidup. Nyatanya, sebuah maaf tidak selamanya harus diucapkan, melainkan memang cukup dengan dikomunikasikan saja alasan yang melatar- belakanginya. Aku masih menatap lekat ke arah jendela, menyaksikan 80 pendar lampu yang berkilauan di pekatnya malam. Jakarta. Kota ini tak pernah tidur barang sedetik. Hingga tengah malam pun masih saja ada yang bergulat dengan pekerjaan pun dengan kemacetan lalu lintas. Satu-satunya hiburan yang paling diminati hanyalah pusat perbelanjaan. Perhatikan saja bioskop dan tempat makan yang akan semakin ramai ketika weekend menjelang. “Pernah ngerasa capek enggak pas tinggal di Jakarta?” Rio yang sedari tadi asyik dengan buku bacaannya kini mulai mengajakku berbicara. Aku kemudian mengalihkan pandanganku menatapnya. Tersenyum sambil memutar bola mataku mengingat-ingat memoriku selama tinggal di Jakarta, sembari kembali memasukkan buku catatan ke dalam sling bag. “Capek itu manusiawi, Mas. Mau tinggal di mana aja, kalau kita terus aktivitas pasti capek, kan?” Aku menjawab sekaligus melemparkan pertanyaan kepadanya. “ya, sih. Tapi, kalau di Jakarta akan berkali lipat rasa capeknya, kan?” Rio kembali bertanya. “Bisa iya, bisa enggak. Balik lagi kita mau mensyukuri apa yang sedang dijalani atau enggak. Kalau enggak bersyukur mah, capek dan keluhan bakal dateng terus. Namanya hidup, ya kan?” Rio mengangguk mendengar ucapanku, kemudian kembali menambahkan. “Aku takjub sama orang-orang yang bertahan hidup di Jakarta, Ra. Salut sama mereka, keren gitu. 81 Kemampuan adaptasi orang-orang itu ngebuat mereka bisa bertahan di mana aja kaki melangkah. Ya, kayak kamu. Keren bisa struggling di kota sekejam ini.” “Wow, baru kali ini aku ketemu sama orang kayak kamu. Yang muji kita yang tinggal di Jakarta itu keren. Kenapa gitu?” Aku bertanya sembari mengencangkan seatbelt. “Kenapa takjub maksudmu?” Rio menatapku lekat. Aku mengangguk untuk memberikannya jawaban. Rio kemudian berdeham halus, seolah sedang menyiapkan jawaban terbaik atas pernyataannya tadi. Aku hanya diam sambil terus menatap, memberikannya ruang untuk kembali melanjutkan kalimat. “Aku takjub karena enggak semua orang tahan untuk hidup dan terus ditekan, berhari-hari, bahkan bertahun- tahun. Kejenuhan pasti udah bersarang gitu.” Aku kemudian mengernyit mendengarnya. Menyadari kebingunganku, Rio mengulasi sebuah senyuman yang menenangkan, setidaknya untukku demikian. “Gini Ra, kalau Jogja ngajarin kamu tentang gimana caranya ngadepin masalah dengan kepala dingin. Nah, menurutku Jakarta ngajarin kamu untuk berpikir cepat dan berani ngadepin masalah meski di bawah tekanan. Semua hal dan masalah tumpah ruah di jalanan, dan penyelesaiannya juga kadang dipikirin di jalanan. Bener enggak?” Aku menyandarkan kepala pada sisi jendela, meletakkan tangan kananku di dagu, tapi pandanganku masih menatap- 82 nya lekat. Jika dipikir-pikir apa yang Rio katakan memang benar. Selama tinggal di Jakarta, semua hal rasanya memang terkuras di jalanan. Aku terus menelaah setiap ucapan lelaki itu kemudian mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban atas pertanyaannya tadi. “Jakarta tuh... enggak tahu kenapa putaran waktunya terasa lebih cepet. Karena, mungkin ya itu tadi waktunya hanya dihabiskan di jalanan. Bahkan di hari Minggu aja kalian jarang banget kan punya waktu untuk bernapas dengan tenang di rumah atau di tempat berlibur? Mau ke mal aja harus bermacet-macet ria atau bahkan berdesak-desakan sama orang di halte dan stasiun.” Rio berhenti sebentar, meneguk air mineral lalu melanjutkan perkataannya lagi. “Ttu baru menuju aja tuh, belum lagi pas udah sampe tempat tujuan, enggak jarang harus antri. Itu hari libur, gimana pas hari kerja coba? Mau berangkat kerja, kalau enggak macet ya, desak-desakan. Terus, sampe kantor tiba- tiba kerjaan udah segunung. Mau pergi makan siang, ketemu macet lagi. Belum lagi masih kepikiran sama kerjaan di kantor. Mau marah, cemberut, nangis, tapi inget kalau abis itu mau ketemu klien. See? Sekeren itu loh, bisa banget untuk menghadapi semuanya dengan cepat.” Mata Rio begitu berbinar ketika memberikan penjelasan. Ia begitu bersemangat untuk mengeluarkan seluruh hal yang kutebak selama ini hanya bercokol di kepalanya saja. Mengendap dan seringnya dibiarkan menguap, karena tak 83 menemukan lawan bicara yang pas untuk menceritakan segalanya. Seulas senyum masih tergambar di raut muka Rio. Hening selama beberapa detik sebelum ia akhirnya kembali bersuara. “Kalian yang tinggal di Jakarta tuh terus-menerus dapet tekanan kayak gitu. Tapi, kalian enggak sadar telah terbiasa untuk ngejalaninnya. Itu yang bikin aku selalu percaya, orang-orang yang pernah ngerasain bertahan hidup di Jakarta, bisa banget untuk kerja dan beradaptasi di mana aja. Kamu sendiri Ra, apa yang bikin kamu betah tinggal di Jakarta sebelum akhirnya dipindahin ke Jogja? Aku berani taruhan, kamu enggak pernah sedikit pun punya pikiran mau pindah kerja di Jogja, kan?” Aku terdiam sebentar, menatap ke arah luar jendela, kemudian mengulaskan sebuah senyum ketika melihat deretan gedung pencakar langit yang begitu berlimpah di kota kelahiranku ini. “Hmmm... lya sih, aku enggak pernah ada niatan untuk pindah kerja atau pindah tempat tinggal. Maksudku gini, untuk liburan dan jalan-jalan aku sih selalu mau jauh dari Jakarta. Kayak Jogja, buatku ya cocoknya hanya jadi pelepas penat. Enggak pernah kepikiran buat jadi tempat tinggal apalagi tempat kerja. Karena kalau sampe kerja dan tinggal di Jogja, sewaktu-waktu aku bosen, nanti ngilangin suntuk di mana lagi dong? Kan kalau udah ribet-ribet di Jakarta, enak 84 gitu tiba-tiba ke Jogja dan nikmatin hidup sepelan mungkin. Enggak berasa lagi dikejar-kejar waktu.” Aku kemudian memberikan sedikit jeda untuk sekadar menarik napas lalu kembali berucap. “Kalau kenapa betah? Ya, mungkin karena udah terbiasa kali. Jadinya, terbentuk semacem zona nyaman dengan rutinitas selama di Jakarta. Bener kata Mas Rio, kayaknya aku enggak pernah sadar akan tekanan yang selalu dateng itu karena aku terbiasa dengan semuanya. Bahkan tanpa sadar pola kehidupan yang seperti itulah yang membuatku akhirnya jadi suka kalau semua halnya well-prepared, terencana, udah disusun dari jauh-jauh hari, dan terbiasa untuk on time. Karena, semua hal di Jakarta enggak bisa untuk diprediksi apalagi dikira-kira.” Aku kembali berhenti berbicara, menatap sekilas ke arah Rio yang sedari tadi tampaknya tak mengalihkan pandangan dariku. Dia begitu antusias untuk mendengarkan semua ucapanku yang jika Saka sering bilang terlalu bijaksana dan terus-menerus berpikiran positif. Padahal bisalah untuk sesekali menciptakan hal yang berbeda agar tak selalu terjerat aturan yang mengikat. “Kasarnya gini Mas, sedetik aja enggak merhatiin lampu APILL’ kita harus nunggu lagi sampe satu menit untuk kemudian bisa nyeberang atau lewat. Atau misalnya, jalanan yang tadinya di maps lengang, bisa mendadak macet hanya 1 Lampu APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas) atau biasa disebut lampu merah. 85 karena ada kereta lewat atau orang-orang yang belok di sembarang tempat. Seenggak teratur itu, tapi bisa ngebuat kita jadi manusia paling teratur untuk menyiapkan A sampe Z. Hehe.” Aku terkekeh untuk mengakhiri ucapanku yang tampaknya sudah terlalu panjang. Anehnya, Rio tak bosan mendengar aku bicara. Ia justru berkali-kali mengangguk mengiyakan setiap ucapanku. Mengobrol dengan Rio membuatku seperti menemukan diriku dalam wujud seorang lelaki. Bukan menemukan sebagian diri, melainkan sepenuhnya aku. Sial, tampaknya aku mulai nyaman untuk bertukar cerita dengannya. Setidaknya, bersama dengan Rio aku bisa bercerita, bukan hanya sebagai pendengar. Perjalanan memang tidak pernah salah memerangkap dua orang asing untuk kemudian menjadi lebih dekat dan melabuhkan nyaman. Ada banyak hal yang tak perlu dipaksakan untuk bisa dimengerti, tapi memang ternyata semudah itu untuk diterima. Tak lain hanya karena cara berpikirku dengannya yang ternyata begitu sama. a 86 Se CHAPTER Il “DEKAT YANG TAK MELEKAT, Uap aR) a ;° Di sela-sela pekerjaanku yang telah rampung, =<=)¥ aku mendatangi beberapa kedai kopi di Bandung setiap hari. Belajar memerhatikan bagaimana mereka menyuguhkan kopi, bagaimana mereka menyambut tamu dan mengajak mengobrol. Atau, bagaimana mereka berbagi mengenai kopi yang dibuat, serta mengenai apa yang mereka perhitungkan. Benar saja, beberapa tempat kopi di Bandung memiliki menu es kopi susu. Beberapa yang tidak ada, saat aku sekadar bertanya, ternyata mereka sedang dalam tahap persiapan untuk menyajikan menu es kopi susu. Begitulah, begitu besar pengaruh tren yang terjadi pada beberapa kedai kopi. Gimana, Man? Udah lu pikirin? Pesan masuk muncul di layar ponselku. Kevin menanya- kan lagi perihal tawarannya. Nanti kita ngobrol lagi ya, gue beresin kerjaan dulu. Aku menjawab sekenanya. Saat ini aku memang tengah membereskan pekerjaan desain yang harus aku selesaikan dahulu. 89 “Es kopi susunya, Mas.” Barista yang mengajakku ber- bincang saat itu datang membawakan pesananku. Kini, setiap aku datang ke mari, es kopi susu menjadi pesanan wajib untukku. Tidak ada lagi cappuccino yang aku pesan, kecuali jika Bandung sedang dingin-dinginnya. Selesai mengerjakan pesanan desain, aku bersandar di sofa. Melamunkan semua hal yang ingin dikembarakan. Imajinasi mulai membentuk harap. Bagaimana jika aku menerima tawaran Kevin? Bagaimana jika aku akan bisa sering bertemu dengan Lara? Bagaimana aku akan bertemu orang-orang baru? Namun, tiba-tiba aku teringat ibu dan adik-adikku. Aku belum berani membahas lebih lanjut perihal tawaran Kevin. Bukan tidak ingin, tapi aku tidak ingin menjanjikan sesuatu yang belum pasti dapat aku penuhi. Harap akan tumbuh subur dalam diri Kevin. Jika suatu saat ternyata aku tidak bisa meninggalkan Bandung, mungkin Kevin akan dapat memaklumi keadaanku. Tapi, tidak tentangku. Aku akan dihantui perasaan tidak enak. Aku tidak mungkin meninggalkan mereka, ibu dan adik- adikku. Ada rasa ingin untuk selalu ada dengan mereka. Ada rasa tanggung jawab yang harus aku penuhi. Sebagai anak lelaki paling tua dan satu-satunya, serah-terima jabatan sebagai orang yang harus menjaga dan mengayomi jatuh kepadaku. Sebuah tanggung jawab tanpa persetujuan yang harus aku terima. 90 Beberapa saat, aku merasa sangat ingin untuk egois lagi. Kini, saat aku akhirnya memiliki mimpi, semua tanggung jawab yang aku miliki seolah mengekangku, dan tidak mengizinkanku untuk memiliki mimpi. Seandainya setiap orang dapat memahami bahwa kita tidak bisa dengan mudah bermimpi. Setiap orang akan tidak mudah membangun begitu saja mimpinya di satu tempat. MENJATUHKAN SAUH Aku terbangun dari hujan semalam, yang rintikknya kelelahan saat matahari berencana hadir. Bagaimana kiranya aku bisa sampai di sini? Aku yang memilih, atau tempat ini yang terpilih untukku? Bagaimana aku bisa percaya, pada semua yang dihadirkan untukku? Padahal aku punya kuasa untuk memilih, pada apa dan siapa sauhku akan kujatuhkan. pada apa dan siapa aku akan menetap. Pernahkah ada yang bertanya, bagaimana bisa dirinya bisa ada pada suatu tempat? Hingga pada akhirnya percaya bahwa yang ditempati adalah yang teruntuk dirinya, selain karena tidak ada tempat lain gi yang bisa ditemukan, atau yang bisa ditempati. Kiranya, kita semua begitu terbiasa pada semua hal yang tersaji. Rasa percaya yang hadir, tumbuh bukan berdasarkan pilihan, melainkan karena penerimaan. Hingga akhirnya menyerah, saat percaya mulai melahirkan kekecewaan dan memaksa kita kembali memilih. Setia pada apa yang dihadapkan, atau melangkah mencari yang lain, untuk kembali menancapkan sauh. Aku mem-posting tulisan di laman Blog pribadiku. Menumpahkan sesuatu yang tersirat. Bagaimana pun menulis masih menjadi hal asing yang sedang aku biasakan. Masih sedikit malu-malu untuk sepenuhnya jujur. Seolah mencoba berteman dengan orang baru yang tidak aku ketahui, tapi begitu membuatku tergoda untuk aku selami. Menulis, seperti sebuah pendekatan yang menyenangkan. Namun, yang kudekati adalah diriku sendiri. Lucu bukan? Ada bagian dari diriku yang memaksa untuk jujur. Meraung untuk menyerah pada kebohongan atau pada topeng yang selama ini aku kenakan. Hingga akhirnya, seolah diriku yang asli adalah diriku yang lain. Sedang, aku yang ini adalah 92 diriku yang palsu. Diriku yang telah terkontaminasi oleh pemahaman-pemahaman yang dibentuk oleh kebutuhan sosial. Kepergian Lara saat itu berhasil mempertemukan aku dengan diriku yang lain. Hal itu sepertinya yang dapat membuatku begitu merelakan kepergian Lara. Menerima salahku atasnya, karena membuatku akhirnya memahami bahwa kepergiannya membawaku kepada diriku seutuhnya. Hanya dengan kehilanganlah, aku dapat menemukan diriku yang utuh. Aku menyeruput es kopi susu. Manis dari gula aren terasa menyempurnakan rasa kopi dan susu di dalamnya. Berbeda dengan cappuccino yang biasa aku minum. Manis buatan ini, bukan rasa yang dibuat-buat. Seperti, aku yang kini terkejut melihat notifikasi pesan masuk di laman Blog milikku. Muncul nama Eleftheriana, lagi. “Menarik bukan, kita sama-sama mengirim puisi dan prosa sebagai utusan untuk menyampaikan sapa. Hingga sapa itu bisa jauh lebih puitis dan memiliki irama daripada dua raga yang menulisnya, yang mengirimnya.” Isi pesan itu pun dibuat oleh seseorang yang masih belum aku ketahui. Namun, rasa manis saat membacanya tidak terasa seolah dibuat-buat olehku. Aku benar-benar 93 merasakan manis saat membacanya. Ada rasa manis di balik ketidaktahuanku tentang seorang Eleftheriana. Dirinya benar-benar semenyenangkan es kopi susu yang ternyata sedari tadi masih ada di tangan kiriku. Aku meletakkan es kopi susu di meja dan bersiap membalas pesannya. Jariku tak mau bergerak. Sial! Apa yang sedang terjadi kepadaku? “Oke, Saka kamu harus tenang. Ini adalah perasaan yang bodoh. Kamu sangat, menyedihkan.” Aku berbicara pada diri sendiri. Apa benar aku semenyedihkan ini? Mudah untuk begitu tergoda pada hadir yang begitu samar. Namun, bukankah semua orang sangat tertarik pada hal yang membuat mereka penasaran? “Apakah prosa dan puisi akan tiba di titik lelah untuk saling menyapa? Semoga saja kita tidak lelah untuk tetap menulis rasa.” Jariku menari seinginnya di atas keyboard. Mengetik pesan yang ingin disampaikan oleh nurani. Nalar kali ini tak sempat untuk mencegah atau berkomentar. Aku bingung, apakah ini pertanda baik atau buruk? Diri ini tak semestinya mudah untuk membuka sapa, terlebih pada nama yang tak memiliki rupa. 94 Pesan akhirnya terkirim. Anehnya, kali ini degup sedang kewalahan menunggu balasan. Sial, untuk apa aku menunggu balasan? Rasa seperti ini kembali menjahiliku. Membuatku ragu dan takut, tapi juga penasaran. Aku menyeruput lagi es kopi susu di depanku. Rasanya benar-benar persis seperti ini, seperti es kopi susu! Sial! Isi kepalaku mulai kacau. Aku harus mengalihkan perhatianku, kembali mengerjakan pekerjaan desainku. “Aku rasa kita harus mencari tahu sendiri :)” Pesan balasan masuk. Aku membaca perlahan, percepat, berkali-kali, hingga tak ada arti pasti dari kalimat yang aku baca. Hingga aku tersadar sesuatu, aku tidak merasa ragu atau bahkan takut. Tak seperti kali terakhir dengan Lara yang membuatku harus bertindak sangat hati-hati. Ingatan itu membangunkan nalar yang kini mulai mengerjaiku dengan akal-akalannya. Kali ini aku membiar- kan nalar beraksi, membiarkan diriku dikuasainya. Aku merasa perlu untuk benar hati-hati. Pesan darinya tak kuindahkan, kubiarkan tanpa balasan dariku. Aku kembali mengerjakan pekerjaanku. Hari semakin sore, matahari terlihat mulai menghangatkan kedai kopi ini. Beberapa orang yang sedang menongkrong memetik gitarnya dan mulai memainkan nada serta lagu. 95 Sementara... teduhlah hatiku. Tidak lagi jauh. Belum saatnya kamu jatuh. Lirik lagu Sementara milik Float berhasil menenangkan sekaligus mengacaukan pikiranku. Rindu akan Lara masih saja sering menghampiri. Kurasa, aku cukup paham mengapa banyak sekali orang yang susah untuk move on. Bagaimana tidak, rindu akan kehadiran seseorang di masa lalu memang begitu menyesakkan. Tapi, di saat yang sama harapan seolah sama besar dengan kemungkinan. Rindu juga berbanding lurus dengan luka saat harap semakin ditancapkan. Sebuah euphoria yang kontradiksi. Sebuah rasa yang bertabrakan namun membuat ketagihan. Tenggelam dalam ingatan masa lalu dan hanyut dalam keadaan sekarang merupakan rasa yang memang membuat ketagihan. Kita memang begitu senang menyiksa diri sendiri. Keadaan seperti itu membuatku mengerti, lebih baik terluka dalam ingatan daripada tidak merasa apa pun sama sekali. Ini bukan perkara ingin baik-baik saja namun perkara ingin merasakan sesuatu. Percayalah, hati. Lebih dari ini, pernah kita lalui. Jangan henti di sini. 96 “Jadi, kamu nginep di mana, Mas?” tanyaku begitu kami sampai di depan pintu kedatangan Bandara Soekarno Hatta. “Di Kalibata City, saudaraku tinggal di sana. Kamu sendiri langsung balik ke rumah?” Aku mengangguk sambil membalas pesan yang masuk ke telepon genggamku. Salah satunya pesan dari ibuku yang menanyakan aku sudah berada di mana. “Yap, langsung balik aja, udah malem juga. Kasian Mama kelamaan nungguin aku balik.” “Bareng aja yuk, Ra. Kebetulan aku kan dijemput saudaraku. Masa iya kamu malem-malem gini nunggu ojek online,” ajak Rio sambil menunjuk arah di mana saudaranya memarkirkan kendaraan. Aku menolak ajakannya dengan gelengan kepala ringan. “Enggak usah, Mas. Santai aja, kalau udah balik ke kota sendiri mau pulang semalem apa pun enggak ngerasa was- was. Lagian aku kebetulan dijemput temen kok. Dia udah nunggu di parkiran, jadi enggak perlu order, hehe.” “Wuih, temen apa temen, Ra?” Kali ini pertanyaan Rio menyiratkan keingintahuan yang cukup jelas. “Enggak boleh kepo, nanti suka!” o7 Aku langsung mencari menu kontak untuk menelepon Kanaya dan menanyakan di mana keberadaannya. Sambil menempelkan ponsel di telinga, aku segera berjalan menjauh dan melambaikan tangan kepada Rio. “Udah ya duluan, Mas. See you!” “Hati-hati, Ra! Besok kabarin ya kalau bisa nemenin keliling-keliling.” Samar aku mendengar kalimat Rio itu, dan menjawabnya dengan sebuah senyum simpul dan anggukan kecil. Telepon yang dari tadi hanya terdengar nada sambung kini sudah diangkat. “Lu di parkiran sebelah mana?” Aku kemudian mengedarkan pandangan mencari-cari sosok perempuan yang sedang berbicara di telepon juga saat ini. “Parkiran keluar motor, Ra.” Mataku terbelalak mendengar ucapannya, kemudian mengalihkan pandangan ke arah yang dimaksud Kanaya. “Gilaaaa... jauh juga gue jalannya. Lagian kenapa enggak masuk sih, bantuin gue bawa barang. Capek tahu. Kalau enggak ikhlas jemput mah mending enggak usah, Nay.” “Manja banget, baru juga pindah Jogja bentaran udah lembek. Lu enggak jalan kaki sampe lima kilo kali. Udah buruan, gue ngantuk.” 98 Kali ini Kanaya yang menggerutu di ujung telepon. Belum sempat aku membalas perkataannya, Kanaya sudah lebih dulu mematikan sambungan telepon. Memang sih jarakku dengan parkiran motor tidak terlalu jauh. Tapi, dengan sisa tenaga yang sudah habis dikuras sejak pagi tadi, ditambah harus membawa tentengan oleh-oleh untuk ibuku dan Kanaya, membuat langkahku terasa semakin berat. Sebetulnya aku tidak meminta Kanaya menjemputku. Tapi, begitu dia tahu aku akan balik ke Jakarta hari ini, ia segera menawarkan diri untuk menjemputku. “Sekalian nginep di rumah lu,” katanya kemarin saat aku a “Dari Mas Rio. Katanya, ‘Siang ini sibuk enggak? Bisa kali jadi pemandu perjalanan. Saudaraku sibuk nganter calonnya mengabarinya. belanja tuh, masa tamu dianggurin. Bosen nih, Ra. Aku yang baru keluar dari kamar mandi dibuat malas ketika Kanaya dengan kencang membaca pesan masuk itu. Bukan hal yang mengherankan jika Kanaya bisa membuka passcode di ponselku. Di antara kami memang tak pernah ada rahasia apa-apa yang disembunyikan. Kecuali... mungkin tentang rasaku kepada Saka. Aku hanya menghela napas pelan, tak mengindahkan 99 ucapan Kanaya barusan. Memilih untuk terus melangkahkan kaki lalu duduk di atas tempat tidur sambil mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk. “Jadi, Rio tuh siapa, Ra? Kok, gue enggak pernah denger lu nyebut namanya,” tanya Kanaya sembari melemparkan ponsel ke pangkuanku. “Pemred gue, di atas gue lah pokoknya. Sebut aja doi, bos gue,” jawabku singkat sambil mulai mengetik balasan untuk Rio. “Bos? Terus, lu udah sedeket apa sama doi sampe dia minta ditemenin gitu. Lagian ya, emangnya doi di Jakarta apa di Jogja sih?” Usai membalas pesan Rio, aku kemudian mengambil guling yang berada di samping Kanaya dan memeluknya erat sembari merebahkan badan di tempat tidur. “Lagi di Jakarta, semalem ke sini bareng gue.” “Bareng lu? Sepesawat maksud lu? Pantes lu belagu naik pesawat, tumben banget. Ternyata sama bos yang merangkap calon, nih?” Kanaya mulai menggodaku kini. “lya, dia mau ke tempat saudaranya. Terus, pas tahu gue juga mau balik ke Jakarta ngajakin bareng deh. Siapa juga yang nolak kalau dikasih tiket gratis?” Sedetik kemudian Kanaya melemparkan bantal ke wajahku. “Gaji udah gede, mental masih gratisan. Hari gini mana ada yang gratis sih, Lara? Tiati lu sama sikap baiknya si Rio itu. Siapa tahu doi lagi usaha deketin lu. Kalau lu nya 100 enggak mau mending ngejauh deh. Nanti anak orang keburu ngarep. Lu dikira PHP, Ra.” “Gini ya, kalau semua orang mikirnya kayak lu, enggak akan ada namanya orang bisa berbuat baik deh gue rasa. Berbuat baik dibilang ada maksud terselubung. Sekalinya tuh orang niat beneran tulus eh, karena takut ini-itu kita malah nolak kebaikan itu. Lu tahu enggak? Ke...” “Enggak, gue enggak tahu, Ra.” Belum selesai aku berbicara, Kanaya dengan iseng langsung memotong omonganku, “Yeee sialan, dengerin gue ngomong dulu makanya.” Aku kemudian duduk bersandar di kepala tempat tidur. “Kemurahan hati dan kebaikan seseorang ke kita tuh enggak sepantesnya kita curigain dan dipikirin macem-macem. Yang perlu kita lakuin tuh, ya udah menerima dengan ikhlas apa yang mereka tawarkan kalau sekiranya itu enggak memberatkan. Karena, sama aja kita udah bantuin orang itu buat dapet pahala. Balik deh situasinya, kalau lu yang niat baik sama orang tapi ditolak karena mikir niatnya macem- macem, lu bakal kesel enggak?” “Omongan lu bener juga sih, Ra. Tapi, gue berasa lagi denger Mamah Dedeh ceramah.” Kanaya terkekeh kemudian. “Eh, tapi ya, Ra, lu yakin itu bos lu enggak ada rasa sama lu?” tanyanya sambil mendekatkan wajahnya ke arahku. Mencoba melihat apakah aku berbohong atau tidak. Melihat tingkahnya yang seperti itu aku langsung 101 mendorongnya menjauh. “Ya, kalau soal itu mah bukan urusan gue, Nay. Biar aja itu urusan dia sama hatinya sendiri. Lagian orang kayak dia mah mau dapet cewek model apa juga bisa. Mukanya enggak jelek kok, manis malah. Tipikal mas- mas Jawa yang kalau senyum manisnya kayak gula merah. Enggak bikin sakit, tapi nagih.” “Anjir! Lara, Lara, semenjak di Jogja kenapa bisa jadi tukang gombal gini dah? Receh banget, sumpah.” Aku dan Kanaya kemudian tertawa bersama. Aku sendiri heran dengan gurauan yang baru saja kulontarkan. Sebelumnya aku bahkan tak bisa sebebas ini. Rasanya aku seperti sudah mulai menerima segala hal yang pernah terjadi hingga akhirnya bisa lebih menikmati hidup, lengkap dengan lelucon yang bisa diciptakan untuk sekadar melepas penat. Mungkin, Saka lah yang turut ikut andil dalam semua penerimaan yang tengah kureguk. Mungkin, Saka jugalah yang tanpa sadar telah mengubahku untuk bisa terbuka dan mulai lepas mengungkapkan segala rasa dan pendapat. “Lagian elo mancing, Nay. Btw ya, mana bisa gue ngontrol perasaan orang lain. Kalau lu tanya gue ada rasa apa enggak, gue sih bakal dengan yakin bilang enggak ada. Eh, belum ada deng, mana tahu besok jadi ada. Gue nanti ketulah lagi kalau sekarang sok ngomong enggak ada.” “Ya, iyalah mana bisa lu ada rasa ke si Rio-Rio itu, sementara hati lu masih nyangkut di Saka. Geblek, dasar. Eh, ngomong-ngomong ya, apa kabar tuh Saka? Masih tuh kalian 102 enggak komunikasi? Perjanjian macem apa pula sih kalian tuh? Zaman sekarang masih aja sok-sok mengandalkan semesta yang berkonspirasi buat mempertemukan kalian. Lu hidup di Zaman apa sih, Ra? Lu lagi bikin kisah kayak di novel-novel?” Aku mendengus kesal, tidak suka jika segala hal tentang perasaanku masih saja disangkutpautkan dengan Saka yang saat ini bahkan sudah lebih dari kata selesai itu sendiri. Entahlah, rasanya tidak nyaman saja jika harus kembali mengungkit apa yang sudah terjadi. Sebab, mungkin sebagian dari diriku juga masih berusaha untuk menerima apa yang sebaiknya diterima, terutama ketika aku mengingat kesalahan-kesalahanku kepada Saka. “Berisik ah, Nay. Gue sama Saka udah enggak ada rasa apa-apa kali, enggak usah digituin terus. Yang awalnya udah enggak ada, malah bisa jadi ada kalau dicengin mulu.” “Yang enggak ada bisa jadi ada sih emang. Tapi, yang udah ada terus disangkal malah jadi makin berkembang loh, Ra.” Kanaya masih saja mencoba menggodaku dengan ucapannya yang selalu saja bisa untuk membuatku tak bisa berkata apa-apa lagi. Karena, terkadang apa yang dia katakan adalah benar adanya. “Serah lu, serah! Lagian ya, lu mau pulang jam berapa? Entar abis zuhur gue mau nemenin si Rio jalan-jalan,” tanyaku berusaha mengalihkan topik. “Gue diusir? Ih, enggak berperikemanusiaan banget sih 103 lu jadi sahabat.” Aku menggeleng malas sambil menatap Kanaya. “Apa deh? Siapa yang ngusir? Maksud gue nanya tuh biar nanti keluarnya bisa bareng kalau gue tahu lu mau balik jam berapa. Hhhh.... Heran jadi orang suudzon amat.” “Hehe, ya maaf, Ra. Gue tidur dulu deh ya, nanti pas zuhur bangunin. Mata gue masih sepet nih abis jemput ibunda ratu tadi malem.” Tanpa menunggu jawabanku, Kanaya langsung meng- ambil selimut dan kembali melanjutkan tidurnya di sebelah- ku. Melihat kelakuannya itu aku hanya bisa terkekeh sambil a “Jadi, mau ke mana kita hari ini, Bu?” menggelengkan kepala. Rio yang sedang sibuk memasang seatbelt di sebelahku bertanya tentang tujuan perjalanan hari ini. Berhubung dia tak mengerti seluk-beluk jalan di Jakarta dan enggan menggunakan Maps, maka kemudi aku yang ambil alih. Sepuluh menit lalu aku sudah tiba di depan apartemen saudaranya. Menunggunya keluar sembari memikirkan akan mengajaknya jalan-jalan ke mana hari ini. “Mas, enggak usah ngejayus manggil ibu, ih. Enggak usah banyak nanya juga ya, percaya aja sama aku. Insya 104 Allah enggak nyasar, tapi kalau macet mah maklumin aja ya. Namanya juga ibukota.” “Macet di jalanan mah biasa, Ra. Asal jalan ke hatimu enggak usah ikutan macet aja.” Aku yang sedari tadi fokus menatap jalanan, kini menautkan kedua alis sambil memandang ke arahnya sekilas. Menariknya, Rio mengucapkan hal itu dengan intonasi paling datar yang pernah kudengar. Tidak ada nada menggoda bahkan senyuman jahil yang biasa ditunjukkan oleh laki-laki yang sedang berusaha menarik perhatian seorang wanita. Bukannya mencari tahu reaksiku setelah mengatakan hal itu, Rio justru sibuk memilih lagu yang akan dia putar. Aku hanya tertawa lirih lalu kembali menatap lurus ke depan, sama sekali tak mengerti dengan gurauannya. Biarlah, mungkin lebih baik memang seperti ini. Tak usah dilanjutkan sesuatu yang sebetulnya tak perlu terlalu dipikirkan. Lagipula mengapa aku harus memikirkan maksud dari perkataan Rio tadi. Atau, jangan-jangan aku penasaran. “Ah pasti karena ucapan Kanaya nih,” ucapku lirih dalam hati. Aku langsung mengarahkan mobil ke arah Gambir dengan kecepatan standar. Hari Sabtu siang di Jakarta kali ini ternyata cukup lengang. Ya, setidaknya tak terlalu membuat kaki pegal untuk sekadar berpindah pedal. Maklum, mobil yang kupakai hari ini adalah mobil ibuku, bukan matic, maka akan sedikit pegal jika aku harus berjam-jam menghadapi 105 kemacetan. “Tahu enggak Ra, apa yang bikin Jogja tuh selalu ngebuat kita bisa enggak merasa besar? Besar pake tanda kutip ya. Besar karena merasa jabatan kita penting, dan besar yang membuat kita jadi jemawa.” Lagi-lagi Rio membuka obrolan. Bisa dipastikan sepanjang perjalanan ini seluruh percakapan akan didominasi olehnya. Aku hanya menggeleng lemah dan menatapnya meminta penjelasan lebih lanjut. “Karena di Jogja tuh lebih banyak manusianya yang bersyukur. Mungkin karena atmosfernya juga sih ya, budaya juga. Setiap orang di Jogja tuh menghargai pekerjaannya dengan terlalu. Sesepele apa pun pekerjaan itu bagi orang lain yang ngeliat, tapi yang bekerja itu ngejalaninnya sepenuh hati. Itu yang bikin manusianya satu sama lain enggak ngerasa iri dan enggak ngerasa paling besar. Mereka bisa sesadar itu dan nerimo dengan porsi rezeki masing-masing.” Rio melirikku yang sedari tadi masih diam mendengar- kannya berpendapat. “Eh, enggak bermaksud diskriminasi ya, ini hanya pendapatku yang memang asli dan besar di Jogja tapi beberapa kali sering plesiran ke kota lain. Mayoritas penduduknya kayak gitu, selebihnya mah balik lagi ke manusianya masing-masing kok.” Aku yang sedari tadi sibuk memecah isi kepala untuk fokus mendengarkannya dan fokus terhadap jalanan, kini memilih untuk tak lagi diam namun menimpali. “Contohnya kayak gimana tuh?” 106 “Nih Ra, kamu liat di depan, itu tukang parkir.” Aku mengikuti ke mana arah telunjuk Rio bermuara. “Dia mah asal banyak yang markir di lahannya pasti seneng banget karena pemasukannya banyak. Enggak peduli mau orang itu bilang makasih atau enggak. Karena, yang penting buatnya ya, hanya uang parkirannya aja. Beda kalau di Jogja, meski juga butuh uang tapi ada satu hal lain yang lebih penting, yaitu ucapan terima kasih. “Aku pernah sampe diketok kaca mobilku hanya karena lupa bilang makasih. Padahal itu enggak sengaja, aku lagi keasyikan ngobrol sama temenku. Terus, si bapak parkirnya ngetok aja sambil bilang, ‘Jogja Mas, matur nuwun.’ Di situ rasanya aku malu banget, Ra. Malu banget. Aku sampe kepikiran kalau ucapan makasih tuh dari hari ke hari makin terasa susah terucap. Sama kayak susah ngucapin maaf, padahal tahu kalau dirinya salah.” Aku dibuatnya terperangah. Sedikit terkejut dengan cara Rio bercerita dan mengambil hikmah dari sebuah kejadian. Aku jarang bertemu lelaki seperti Rio ini, yang mau melihat sesuatu dengan cara dan penerimaan yang begitu berbeda. Aku jadi penasaran dengan masa lalunya. Setidaknya pasti ada sebuah kejadian yang membuat dirinya menjadi Rio yang seperti ini. Sepanjang satu jam perjalanan, percakapan didominasi oleh Rio yang membahas tentang hal-hal yang cenderung biasa. Namun, ketika dibicarakan olehnya justru menjadi 107 luar biasa, ya seperti percakapan tadi. Jujur saja aku menikmatinya. Rasanya sudah cukup lama aku tidak mengobrol sesuatu yang ringan tapi sarat makna seperti hari ini. Jika dulu Saka yang selalu menyuguhiku ceritanya yang luar biasa, kehadiran Rio seolah menjadi pengobat rindu akan kehadiran Saka. Aku buru-buru mengenyahkan kerinduanku kepada Saka yang sepertinya masih saja sering mampir. Usai memarkirkan mobil di Gambir, aku kemudian mengajak Rio berjalan menuju Galeri Nasional yang letaknya tidak jauh. Hanya perlu menyeberang dan berjalan ke sisi kiri. “Nah, sampe deh!” ucapku sambil merentangkan kedua tangan bak seseorang yang sedang mempersilakan tamu datang ke kediamannya. Rio kemudian mengedarkan pandangannya dari ujung ke ujung. Menatap sekeliling yang cenderung sepi. Aku kemudian kembali bersuara sebelum ia berkomentar apa- apa tentang mengapa aku membawanya ke sini. “Jangan salah ya, Mas. Ini bukan sembarang galeri. Di sini banyak hal bisa kamu dapet. Mau menikmati seni, ya di sini tempatnya. Mau merenung? Di sini juga bisa banget. Main- mainlah ke museum, karena banyak hal yang bisa dibawa pulang. Ini salah satu tempat favorit aku untuk melarikan diri, hehe. Kebetulan aku lagi pengen hunting foto, terus kepikiran sama tempat ini. Enggak keberatan, kan kalau kita 108 ke sini? Nanti pulangnya makan es krim Ragusa deh. Oke, oke?” rayuku sambil menangkupkan kedua tangan di depan mukaku, seakan memohon kepadanya agar tak menolak ajakanku kali ini. “Selama tempat-tempat yang aku datengin beda sama di Jogja, aku mah mau-mau aja, Ra. Enggak ada masalah. Lagian yang penting tuh sama siapa dateng ke sininya, bukan seperti apa indah tempatnya.” Usai mengatakan itu dia kemudian berjalan men- dahuluiku. Meninggalkan aku yang masih terperangah akan ucapannya. Lagi-lagi, Rio berhasil membuatku ingin menggaruk kepala yang tidak gatal saking dibuat bingung oleh ucapan dan tindakannya. Belum usai aku melamun, Rio kemudian berbalik dan menyapaku dengan gurauannya lagi, “Mau sampe kapan berdiri di situ? Panas loh, nanti kamu item. Yuk ah, masuk. Jelasin ke aku mana aja tempat yang menarik di sini.” Aku yang tersadar dari isi kepalaku, lalu setengah berlari menyusulnya sambil mengikat satu rambutku. Membuat angin bisa mengenai tengkuk leher dan membuatku tidak lagi merasakan panas yang menyengat. a” 109 CE “Sinar, sini bentar,” panggilku kepada adikku y yang paling besar. Sinar tengah libur kerja saat \/ itu. “Kak Saka mau tanya. Hmm... Kamu suka mikirin enggak sih kalau Mamah kesepian?” Aku hati-hati bertanya kepadanya. “Hah? Tumben nanyanya begitu? Kenapa emang?” Sinar duduk di sebelahku di kursi ruang tamu. Sudah lama tidak berbincang, aku hampir lupa wajah polosnya kini semakin terlihat dewasa. “Yah, kamu kan tahu Bapak meninggal udah belasan tahun. Belasan tahun juga Mamah sendiri. Yang biasa dulu ada yang rawat, ada temen ngobrol, ada yang perhatiin, ada yang mengayomi, sekarang enggak ada. Selama sebelas tahun kamu emang enggak pernah mikirin kebutuhan Mamah yang kayak gitu?” Aku coba mengarahkan pernyataan untuk membangun pemahaman Sinar dahulu. Tak ingin segera menembaknya dengan pertanyaan inti. “Hmm, iya, ya. Udah sebelas tahun, enggak kerasa. Tapi, emang kita enggak cukup buat nemenin Mamah ya?” Sinar balik bertanya. “Yah, itu menurut kamu. Kita sama adik-adik pada sibuk sama kegiatannya. Ramenya paling cuma malem, itu juga masih sibuk di kamar masing-masing. Yang nongkrong di ruang tengah paling cuma Mamah. Rame juga kalau kebetulan kalian makan malem barengan aja kan? Waktu 110 itu, waktu Mamah lagi cuti karena enggak enak badan, Kakak merhatiin Mamah yang lagi ngerjain kerjaannya di ruang tengah, sendirian. Kakak tiba-tiba ngerasa khawatir sama Mamah.” Aku masih bercerita dengan hati-hati. “Kalau Kakak mau nanya apa Mamah boleh nikah lagi, Insya Allah Sinar mah enggak pernah keberatan, Kak.” Sinar menembakkan maksud yang kuajukkan. Aku hanya tersenyum. Jawaban darinya cukup untuk aku sedikit merasa lebih tenang tapi khawatir juga. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ibuku akan bersama seorang lelaki yang tidak kami kenali, tidak aku kenali. Sebuah pikiran muncul di kepalaku mengenai ini. Apakah ibuku pernah khawatir perihal wanita yang aku pilih untuk aku jadikan istri kelak? Apakah kami memiliki kekhawatiran yang serupa satu sama lain? Atau, mungkin hanya aku saja yang masih tidak rela untuk hormat pada seseorang yang tiba-tiba menjabat sebagai ayah. Berhari-hari aku memikirkan ini sejak perbincanganku dengan Sinar. Ingin sekali membicarakan hal ini lagi dengan kedua adikku yang lain, Permata dan Putri, tetapi ada sesuatu yang masih menahanku. Meski sedikit tenang bahwa Sinar sudah menyetujui tapi bagiku jabatan seorang ayah bukan hanya perihal sosok. Ini lebih kepada sejarah dan cerita, yang membentuk sosok itu sendiri. Hormat dan cinta yang kemudian hadir dibentuk oleh cerita dan sejarah itu. a1 Sob, doain gue besok sidaang...! Setelah itu gue tunggu kabar dari lu. You know what | mean. Aku sedang menikmati es kopi susu di Kyotown Coffee Siang ini saat sebuah pesan masuk dari Kevin muncul di layar ponsel. Aku menarik napas panjang. Belum selesai perihal ibuku, kini masih tersimpan satu hal lain yang belum berani aku sampaikan kepada ibuku. Tentang keinginanku untuk tinggal di Jogja beberapa waktu yang lama. Ya, beberapa lama sudah bukan dalam hitungan hari. Bisa beberapa minggu, bulan, atau bahkan tahun tanpa satuan waktu yang pasti. Yoi, mangat, Sob! Make a great shot! Aku membalas pesan singkat Kevin lalu kembali menikmati es kopi susu di siang yang agak terik ini. Desain yang sedang aku kerjakan tinggal finishing. Namun, enggan sekali aku selesaikan. Kepalaku berkecamuk. Seolah banyak hal yang harus aku selesaikan padahal aku hanya terlalu senang membuat perandaian dalam kepalaku. Lagi-lagi andai, andai semua masalah bisa bekerja dan berbanding lurus dengan perandaianku dalam kepala. Saat aku membayangkan semua jalan keluar dari apa yang tengah 12 aku hadapi dan bisa aku selesaikan, apakah akhirnya aku bisa untuk tenang? Kembali pada sebuah pemahaman perihal merasa, bahwasanya manusia adalah mahluk dinamis yang tidak pernah rela untuk diam. Seolah diam berkebalikan dengan makna hidup itu sendiri. Perasaan, pemikiran, kesenangan, kesedihan, adalah sebuah ledakan supernova di angkasa yang akan membentuk kehidupan. Namun, laiknya ledakan, semua ledakan bermula dari ketiadaan. Dan, setiap ledakan hanya bersifat sementara. Maka, jika ledakan berangsur- angsur menyusut dan kembali pada sepi, setiap orang akan mencari dan membuat gesekan apa pun yang bisa menciptakan macam-macam ledakan. Menciptakan macam- macam keadaan agar bisa kembali merasakan sesuatu. Ya, setiap orang memang senang membuat-buat masalah sendiri dalam kepala dan hidupnya. Seperti aku yang senang membesar-besarkan semua hal dalam kepalaku. Aku membuka browser dan blogwalking untuk mencari- cari inspirasi. Mencari tulisan-tulisan yang bisa menstimulus pemahamanku. Meski tak tahu pasti tulisan dan pemahaman apa yang aku butuhkan, setidaknya, aku mencari. Diam dengan isi kepalaku yang hanya selalu berputar di situ-situ saja kadang hanya memperkusut pikiran saja. 113 Kadang kita tidak tahu untuk percaya pada apa dan siapa, semua hal terlihat samar dan membuat kita nanar. Tetapi, itu bukan perihal apa atau siapa. Mungkin doa kita yang tidak cukup baik, untuk membuat kita bisa percaya. Sehingga, ragu masih menjadi teman baik yang selalu kita jaga. Kita saja yang terlalu nyaman dengan ragu. Karena untuk percaya, ternyata dibutuhkan usaha yang lebih. Tulisan itu aku temukan di salah satu Blog milik perempuan dengan rupa yang rahasia, Eleftheriana. Sayangnya, aku tidak bisa untuk tidak setuju. lya kan, betapa kita sebegitu rela untuk diperbudak ragu. Aku ragu jika aku dapat dengan rela memberi izin ibuku untuk menikah lagi dengan seseorang. Aku ragu jika ibuku dapat memilih orang yang tepat, yang tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk aku dan adik-adikku. Aku ragu jika harus pergi mengejar mimpiku membuka kedai kopi di Jogja, dan meninggalkan ibu dan adik-adikku. Ragu, terlalu membuatku nyaman untuk tidak percaya pada sesuatu. Hanya membuatku terlihat egois. Seolah aku tidak membiarkan kesalahan yang mungkin saja terjadi. Seolah semua harus sesuai dengan inginku, dengan caraku, 114 tanpa mau memedulikan orang lain. Lalu, aku teringat pada pesan dari pemilik akun Eleftheriana yang belum aku balas. Aku ragu jika harus membalas pesannya. Entah karena aku masih takut melukai seseorang, atau karena takut aku terlalu mudah untuk mau membalas sapa seseorang. Bisa saja dia hanya wanita kesepian yang melakukan hal itu ke setiap orang yang tulisannya dia sukai. Namun, memang apa salahnya jika begitu? Aku bertanya dalam hati. Pikiranku sejenak melayang saat pertemuanku dengan Lara. Tentang keraguan dan ketakutan. Tentang kesempatan dan kemungkinan. Semua yang terjadi mengarahkan aku pada hal besar. Aku mengerti, pertemuan akan membawaku pada banyak kemungkinan yang akan semakin mendewasakanku, dengan semua kejutan-Nya. Saat ini, aku tidak bisa menghitung apa yang membuatku tertarik dengan nama samaran Eleftheriana. Hanya ada sebuah foto siluet gadis di profilnya. Ketertarikanku tidak memiliki asal muasal selain, tertarik. Entah pada kata- kata yang dia tulis, entah dari sapanya, entah dari caranya mengirim pesan kepadaku. Aku hanya, tertarik. Kemudian... “Ya, kita harus mencari tahunya. Aku ada ide, kamu bisa menebak?” Kalimat itu terkirim menuju kotak masuknya. 115 I’m done doubting! ujarku dalam hati. Aku menyeruput es kopi susu milikku. Manis dan pahitnya menyatu menjadi pengisi daya semangatku untuk menyelesaikan yang selama ini berkecamuk dalam hati. Perjhal ibuku, perihal izin untuk aku pergi, dan memberi izin kepada ibuku untuk mempersilakan dirinya menikah lagi. Kak, lagi di mana? Pesan masuk dari adikku, Sinar. Di tempat ngopi, ngerjain kerjaan. Kenapa? Balasku kemudian. Tak lama Sinar sudah mendatangiku dari kantornya setelah mengajakku untuk bertemu. Sekalian dia tengah beristirahat untuk makan siang. “Di sini cuma kopi doang, kak?” Sinar bertanya. “Tuh, itu ada salad. Belum pernah nyobain sih, tapi kayaknya enak.” Aku menunjuk kedai salad di ujung ruangan. “wah, salad. Pas banget Sinar lagi diet. Hehehe.” Sinar terkekeh dan segera memesan makanan. “Jadi, kenapa tumbenan ngajak ketemu?” Aku langsung menembak dengan pertanyaan. 116 Bukan kebiasaan atau bahkan hal yang normal Sinar mengajakku bertemu di suatu tempat. Kami tidak pernah, sekali pun menikmati waktu berdua, atau berbincang laiknya kakak-adik. “sinar udah ngobrol sama Mama.” Sinar menjawab pasti. Aku sedikit terperanjat. “Hah? Kok bisa?” Aku penasaran. “Hah? Apanya yang kok bisa? Kok, kayak yang aneh gitu?” Sinar tidak terima dengan pertanyaanku. “Ya itu, kok udah ngobrol aja.” Aku masih terkejut. “Ya, bisa, lah. Tinggal ngobrol. Kok, Kak Saka aneh sih, pake kaget segala?” Belum sempat aku menjawab Sinar melanjutkan ucapannya. “Ahhh... Sinar ngerti. Emangnya Kak Saka yang sok-sokan nyari waktu yang tepat buat ngobrol kayak gitu sama Mama. Sibuk terus sih.” Sinar menggodaku. Memang begitu, aku selalu memperhitungkan suasana. Obrolan seserius itu harus aku perhitungkan suasananya. Ini perihal hati ibuku. Meski urusan hati tidak bisa diperhitungkan, setidaknya aku mengkhawatirkan dirinya. Semua diksi yang keluar dari bibirku, harus bisa diterima olehnya secara nyaman. “sinar juga udah ngobrol sama Permata, sama Putri.” Belum selesai aku memikirkan ibuku, Sinar membuatku lebih terkejut lagi. “Hahhhh...?” Aku tak bisa menahan keterkejutanku. Saking lepas kendali, sepertinya tamu lain yang sedang menongkrong ikut terkejut mendengarku yang 7 setengah berteriak. “Heh, pelan aja kali kagetnya. Lebay, ah.” Sinar menegurku. “Ya, lagian kamu kok bisa udah ngobrol sama mereka.” Seolah aku tak terima karena itu adalah tugasku. “Udah Kak, Sinar tahu Kak Saka sibuk. Kak Saka enggak gampang buat ngobrol sama mereka ngomongin hal ini. Itu urusan Sinar, urusan perempuan ke perempuan. Biar lebih bisa diterima sama mereka.” Sinar coba menenangkan. Namun, yang aku terima hanya ketidakmampuanku untuk berbicara dengan adik-adikku. “Eh, jangan marah. Bukan berarti Sinar enggak percaya Kak Saka bisa ngobrol baik-baik sama mereka. Maksud Sinar... Ngerti kan, perasaan perempuan?” Aku mengangguk tersenyum. Setelah pesanan Sinar datang, kami melanjutkan obrolan perihal ibuku. Semua ternyata menyutujui untuk memberi izin ibuku menikah lagi. Putri, hanya sempat bertemu Bapak beberapa tahun. Permata, adalah yag paling dekat dengan ibuku sejauh ini. Dialah yang ingin mewujudkan keinginan ibuku agar salah satu anaknya yang menjadi seorang guru. Permata akan menyetujui apa pun perihal menyenangkan ibu. Sinar, sudah jelas. Dari cara ibuku memberinya restu dan izin untuk dekat dengan seorang lelaki di kantornya yang beberapa kali diajak ke rumah. Dari situ Sinar sudah berada di titik paham. Setiap orang tak terkecuali ibuku, 118 membutuhkan seseorang yang dapat menemaninya, dapat membimbing, di luar mata rantai keluarga inti. Semua persetujuan dari adik-adikku seolah sedang menghakimi dan memperkosa diriku di saat yang sama. Tinggal aku sendiri yang masih menyimpan ketidakrelaan untuk ibuku menikah lagi. Untuk dekat dengan seseorang yang tidak aku kenali. Yang dalam waktu sangat singkat bisa menjadi seorang ayah bagiku. “Kalau boleh jujur, alasan lain kenapa Kakak nanyain persetujuan ini ke kamu adalah untuk mencari alasan yang kuat. Biar Kakak juga bisa ngizinin Mamah untuk nikah lagi, Sinar.” Aku mengakuinya sedikit malu. Sinar tersenyum. Bola mata hitamnya seakan ingin memeluk aku. Ada lega dan khawatir akan perkataanku. “Kalau boleh jujur juga,“ Sinar menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sebenernya, Sinarlah yang minta Mamah untuk ngobrol sama Kak Saka, untuk minta ijin.” Kini bola mata tadi berubah sepenuhnya khawatir. Aku tidak bisa lebih terkejut dari yang sudah-sudah dikatakan Sinar. Selama ini mereka menyembunyikan sesuatu dari aku. Seolah aku adalah musuh utama mereka, hambatan terbesar mereka. Dada ini mendegupkan sebuah rasa tidak terima akan apa yang didengarnya. “Kok, gitu sih?” Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Aku tak sedikit pun memiliki hak untuk marah terhadap Sinar. 119 Ada sesuatu yang aku yakini yang membuat Sinar dan ibuku melakukan hal itu kepadaku. “Kak... Kami enggak bermaksud nyembunyiin apa pun dari Kak Saka meski memang terkesan seperti itu.” Sinar membuat jeda pada ucapannya. “Sinar sama Mamah paham banget. Dari kami semua, selain Mamah, Kak Saka yang paling deket sama almarhum Bapak. Kak Saka yang paling lama diasuh, dirawat sama Bapak. Kak Saka tahu itu. Semua kebebasan yang ada di diri Kak Saka. Semua sifat, karakter Bapak, ada di Kak Saka. Kita semua sadar itu. Mungkin Kak Saka yang enggak menyadarinya. Liat adik-adik Kakak. Aku, Permata, Putri, kita semua punya kecenderungan yang sama kayak Mamah.” Sinar terdengar masih belum selesai bercerita. Namun, memang ada benarnya. Aku yang selama ini tidak menyadarinya. Aku, adalah kloningan dari almarhum bapak. “Kerinduan Kak Saka sama Bapak, mengakar di diri Kak Saka. Sampe Kak Saka sendiri terasa seperti Bapak. Seorang yang independen, seorang yang tertutup, tetapi menyembunyikan kasih sayang luar biasa. Seseorang yang tegas sama pilihannya, tapi juga rapuh dan butuh untuk disentuh. Yang kadang pengen manja, tapi malu karena harus tetap kuat di sekitar orang yang disayang. Kak Saka udah bisa ngerasain itu sekarang, bahwa almarhum Bapak ada di diri kak Saka?” ucapan Sinar memeluk nurani. 120 Seketika, diri ini jadi sangat rapuh. Semua sel dalam raga bergegas memojokkan air mata untuk muncul ke kelopak mata. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menangis. Aku tak memberinya izin untuk tumpah di atas pipiku. Biarpun aku menangis, biar aku menangis dalam pikiranku sendiri. “Kak, Bapak emang enggak bakal pernah bisa digantikan posisinya sebagai orang yang luar biasa di hidup kita, di hidup Mamah. Mamah juga enggak berniat sama sekali melupakan atau menggantikan posisi Bapak sama orang lain. Tapi, bagi Sinar, ada sesuatu yang lebih besar dari itu. Sebuah ibadah. Bayangin, calon Bapak kita yang baru juga kehilangan istrinya, punya anak-anak yang merindukan sosok ibu. Dua keluarga yang memiliki luka-luka yang sama, bergabung untuk saling menyembuhkan. Apakah enggak indah, Kak?” Sinar mengakhiri ucapannya dengan senyum. Namun, ada hal yang lagi-lagi mengejutkanku. “Kehilangan istri? Maksud kamu? Mamah?” Aku ber- tanya penasaran. Gelagapan. “lya, Sinar udah sempet ketemu sama orangnya. Insya Allah, kalau Mamah aja bisa nyaman sama orang tersebut, Sinar juga. Pasti Kakak juga bisa nyaman dan nerima beliau.” Sinar tersenyum. Meskibegituterkejut, semua penjelasandariadikku Sinar, berhasil meluluhkan perasaanku. Membuat pemahaman yang mengindahkan tanpa sama sekali menggurui atau membuatku terpojokkan. Terasa seperti sebuah kasih sayang 121 yang selama ini tidak aku ketahui. “Bapak juga di sana pasti pengen ada yang bisa jagain Mama. Kita kasih restu atau izin bukan perihal hasil perhitungan kelayakan atas seseorang yang dipilih, melainkan titik percaya pada kelayakan seseorang yang memilih orang tersebut. Kita tahu bagaimana Mamah kan?” ucap Sinar pelan. Aku tersenyum. Kami sama-sama menyetujuinya tanpa perdebatan. Kami sepakat. Ibuku pantas mendapatkannya. Pantas mendapatkan kebahagiaan bahkan tanpa harus meminta izin. Aku tengah tertegun memandangi sebuah lukisan karya Dede Eri Supria yang diberi judul ‘Yang Berusaha Tumbuh’, ketika sebuah tepukan halus mampir di pundakku. “Lara!” Aku menoleh dan mendapatinya sudah berdiri di belakang dengan senyuman yang masih sama seperti sebelumnya. Aku masih terpaku menatap sosok itu hingga kemudian ia kembali bertanya. “Menurutmu arti lukisan ini apa?” Aku memandangnya lekat tapi sekilas, kemudian 122 memejamkan mata sebentar. Sebuah tarikan napas yang cukup dalam begitu kuperlukan untuk memberi oksigen pada kepalaku. Berharap sekelebat kejadian yang terus berputar silih berganti di kepalaku segera enyah. Beberapa tahun lalu, hal seperti ini pernah sekali terjadi di hidupku. Sebuah pameran yang membuatku bertemu dengan seseorang. Bukan hanya bertemu, melainkan memutuskan untuk terbuka agar bisa berbagi cerita, bahkan setelahnya malah menjalin cerita bersama. Pertemuan di pameran itu membuatku menutup sebuah luka yang telah lama menganga. Menambalnya dengan sebuah suka cita baru akan sebuah rasa cinta yang ternyata malah memberi luka kembali. Iya, sayangnya menambal luka_ bukan __berarti menyembuhkan. Itu hanyalah upaya untuk melupakan sejenak. Luka yang ada itu kemudian kembali karena memang tak pernah aku terima sebagai sebuah pelajaran. Luka itu kembali karena tak pernah aku pahami dan maknai untuk kemudian diikhlaskan. “Lara, are you okay?” Suara Rio kembali menarikku pada keadaan utuh dan sadar saat ini. “Ya, ya, aku baik-baik aja.” Aku memaksakan sebuah senyum hadir di wajah. Berusaha membuatnyatidak bertanya- tanya lebih lanjut. “Cuma lagi mikir mau nerjemahin maksud tulisan ini kayak gimana ke kamu. Karena, di kepalaku banyak banget kosakata yang berebutan mau keluar. Berisik, 123 Mas. Sampe aku bingung mau ngomong apa aja. Hehe” Rio terkekeh mendengar ucapanku. “Hahaha. Kalem Ra, keluarin aja satu-satu. Aku siap jadi pendengarmu kok. Kalau kamu biasanya nulis di Blog karena enggak ada yang bersedia menjadi telingamu bercerita, now, here I am. Aku dengan senang hati dengerin kamu ngomong, biar kamu enggak capek nuanginnya di tulisan. Ya, itung-itung biar kamu enggak pusing sendiri sama isi kepalamu yang penuh diksi dan kata-kata itu.” Aku tidak tahu apakah ucapan Rio tersebut memang terlontar begitu saja karena dia mengetahui hobiku menulis di Blog, atau dia mengatakannya karena memang semudah itu untuknya membaca dan mengenali diriku. “Menurut Mas ini berat enggak? Hmm, I mean ketika liat lukisan ini, Mas Rio kebayang hal-hal rumit atau bisa nikmatin karya ini begitu aja tanpa berusaha mikir keras maknanya apa?” Menanggapi pertanyanku itu, Rio terlihat berpikir sejenak sambil memerhatikan lukisan yang dimaksud dengan saksama. Matanya menyapu lukisan itu dari keseluruhan sisi, menelitinya sebelum akhirnya bicara. “Aku bisa nikmatin gitu aja sih Ra, enggak ada yang buat jadi mikir. Tapi, ada hal aneh gitu yang bikin aku pengen ngungkapin sesuatu. But, I don’t know how to describe it,” tegasnya sambil menoleh menatapku. Aku yang sedari tadi memerhatikannya kini kembali 124 memandang lukisan di depan kami. Mencoba mulai merangkai kata dan berusaha menyampaikannya kepada Rio. “Mas, liat itu ada persemaian yang tumbuh subur?” tanyaku sambil menunjuk ke arah lukisan yang berwarna hijau persis seperti padi ataupun tanaman teh di daerah Puncak. Rio mengangguk sebagai jawaban atas tanyaku itu. Membuatku kemudian melanjutkan ucapanku. “Buatku itu artinya kekuatan dan harapan. Tanaman atau tumbuhan adalah salah satu kehidupan. Petani-petani yang menanamnya menggantungkan harapan di sana, harapan untuk menyambung hidup. Sedang, pedagang di pasar dan kita sebagai pembeli menjadikan tumbuhan itu sebagai harapan untuk memberi kekuatan bagi tubuh, dengan mengonsumsinya tentu aja.” Aku menjeda sebentar, melirik ke arah Rio yang bergantian menatapku serta lukisan itu. Seolah sedang menelaah semua yang sedang aku tuturkan. Aku kembali mengarahkan pandangan pada lukisan tersebut, tersenyum sekilas sebelum akhirnya kembali bersuara. “Sementara gedung yang runtuh dan hancur ini,” ucapku sambil membingkai lukisan itu dengan jemariku. “Layaknya simbolis dari kelemahan dan keputusasaan. Dua hal yang bertolak belakang sekali kan? Kekuatan dan kelemahan, harapan dengan keputusasaan. Seolah mengisyaratkan bahwa di balik harapan petani-petani itu tersimpan sebuah keputusasaan ketika tanaman mereka 125 diserang hama dan tak ada bantuan dari Pemerintah, misalnya. Atau, bisa juga mengisyaratkan bahwa ada pihak- pihak yang bisa membeli tanaman itu dalam jumlah banyak tapi membandrolnya dengan harga murah hanya agar mendapatkan untung banyak. Si pihak pembeli itu punya kekuatan, tapi mereka melupakan kelemahan yang juga dimiliki si petani.” Aku kemudian mengulas sedikit senyum, lega karena sebagian isi kepalaku berhasil kukeluarkan dengan baik melalui ucapan. Bukan lagi hanya lewat sederet aksara yang terkadang menimbulkan tafsir yang berbeda-beda. Aku mengalihkan pandangan untuk menatap Rio. “Entah maksud sang pelukis yang sebenarnya apa, tapi aku menangkapnya sebagai sebuah kehidupan yang haruslah berjalan seimbang. Jika ada pihak yang kuat, maka mereka tak boleh lalai dengan si lemah. Jika ada harapan yang merekah, maka orang lain tak boleh lupa sewaktu-waktu putus asa itu bisa aja dateng. Jadi, gitu deh, menurutku tentang arti lukisan ini. Hehe.” Aku menutup penuturanku dengan sedikit tawa ringan agar suasana menjadi sedikit lebih rileks. “Wow, aku enggak ngerti sama isi kepalamu, Ra. But to be honest, I adore you.” Matanya menunjukkan binar kejujuran akan setiap kata yang diucapkan. Aku menunduk karena tersipu malu dibuatnya. “Dan setelah diliat-liat, apa yang kamu bilang tadi tentang 126 lukisan ini tuh masuk akal sih. Menarik, Ra. Aku jadi enggak hanya nikmatin lukisannya aja, tapi bisa menggabungkannya jadi sebuah pemahaman baru setelah denger ceritamu.” Sembari kembali berjalan meninggalkan lukisan tadi menuju lukisan lain, aku menanggapi ucapannya barusan, “Ya, asal enggak semua lukisan di sini harus aku jelasin aja, Mas. Banyak banget loh ini, aku bisa berbusa-busa. Nanti yang ada pemandu tur di tempat ini harus pindah lapak karena aku bisa gantiin mereka,” selorohku yang disambutnya dengan sebuah tawa renyah. Aku menatapnya yang sedang tertawa. Caranya tertawa membuat sebuah perasaan bahagia menyeruak di dadaku. Aku tidak mengerti mengapa bisa, tapi ternyata bahagia memang bisa menular hanya dengan sebuah tawa yang dibagi. Aku masih memerhatikannya hingga kemudian mendapati sebuah kejutan manis yang dia miliki. “Mas, itu... kamu punya, dimple?” tanyaku sambil menaruh telunjuk pada pipiku sendiri. “Oh, ini?” timpalnya sambil menaruh jemarinya pada lekukan kecil di pipi sebelah kanannya. “Iya, punya, tapi cuma satu, yang kanan aja. Itu juga harus ketawa atau senyum yang lebar baru keliatan. Kamu aja baru liat sekarang, kan?” “Hehe, iya sih, baru liat. Itu juga karena kebetulan kamu ketawa dan aku baru merhatiin, Mas.” “Jadi, dari tadi kamu merhatiin aku nih?” Rio kemudian menghentikan langkahnya dan berdiri tepat di hadapanku 127 dengan menatapku lekat. Aku yang sedari tadi melangkah dibuat terkesiap oleh perkatannya. “Apa sih, Mas? Kebetulan tadi posisiku kan di sebelah kananmu, jadi ya keliatan,” elakku berusaha menyangkal pernyataannya. Malu sebetulnya mengakui bahwa sedari tadi aku memang memerhatikannya. “lya, deh iya. Sekarang ke mana nih? Laper nih, Ra. Tadi belum sempet makan siang udah keburu kamu jemput,” keluhnya sambil memegangi perut. “Lagian dandannya lama sih!” ucapku menggodanya, “Hm, cari makan di Gambir aja deh kalau gitu. Baru abis itu kita beli es krim Ragusa. Soalnya, kalau makan di Ragusa nanti enggak dapet tempat duduk hari libur begini.” a Aku dan Rio kini tengah duduk di trotoar pinggir jalan di depan toko-toko yang sedang tutup, sambil menikmati es krim yang tadi sudah kami beli. Kebetulan tempat duduk di kedai Ragusa sedang penuh. Itu sebabnya aku memilih duduk di sini seperti beberapa pengunjung lain yang tidak kebagian tempat. Aku sendiri memang sengaja tak membawa mobil ke tempat ini. Sudah lama rasanya tidak berjalan kaki di Jakarta, menikmati sudut-sudut keramaian yang sebetulnya 128 menyimpan begitu banyak cerita jika saja kita mau untuk sedikit saja mendengar. Sayang, kebanyakan penduduknya lebih suka mengeluh dan mengaduh tentang rumitnya lalu lintas dan segala pelik kehidupan lain. “Sering ke sini, Ra?” Rio bertanya. Aku menoleh memerhatikannya yang sedang lahap menikmati spaghetti ice cream yang tadi dipilihnya. “Enggak juga, kalau lagi ke Galnas aja mampir ke sini. Sekalian jalan, nanggung kalau enggak mampir.” Rio mengangguk kemudian menatap lurus ke depan, menerawang selama beberapa detik. “Kenapa kamu enggak coba nulis buku aja, Ra?” “Buku harian maksud Mas?” Aku mencoba bercanda menanggapi pertanyannya, yang kemudian dibalasnya dengan mengacak rambutku. “Ya, bukan buku harian juga, Ra. Kamu nih lama-lama ngeselin juga yah, haha.” Rio tertawa sejenak baru melanjutkan lagi omongannya. “Maksudku, kamu kan udah biasa nih edit naskah. Suka nulis juga kan kamunya, dan sejauh yang kuperhatiin tulisanmu enak untuk dibaca. Kenapa enggak coba membukukan tulisan-tulisanmu itu? Mencoba hal baru, Ra. Masa enggak ada sih keinginan untuk membuat karya sendiri. Melahirkan karya orang udah jago, melahirkan karya sendiri masa enggak mau?” “Bukan enggak mau Mas, tapi emang belum ngerasa 129 pantes aja untuk membuat buku sendiri. Belum sepede itu, hehe.” Kilahku singkat. “Yang nilai pantes enggaknya tulisanmu untuk jadi buku emangnya hanya kamu aja? Kan enggak, Ra. Sayang aja sih, menurutku. Kamu punya bakat untuk mengolah kata dan menelaah sebuah peristiwa jadi satu kisah yang menarik.” Rio menjeda dengan kembali menyuap es krim ke mulutnya. “Atau, kamu kan suka fotografi tuh. Kenapa enggak bikin buku yang ada fotonya aja? Kamu yang menangkap gambarnya, dan kamu juga yang menginterpretasikan makna dan perasaanmu ketika mengambil gambar itu. Caramu menceritakan lukisan-lukisan tadi tuh enggak semua orang bisa loh. Maksudku, enggak semua orang mampu menyatukannya dengan pas. Secara foto dan tulisan memiliki dua roh yang berbeda.” Aku yang tengah asyik memakan es krim dibuat tersedak oleh ucapannya barusan. “Mas, bukain botolnya dong,” pintaku sambil menyodorinya sebotol air mineral. “Kamu enggak bisa buka tutup botol ya?” tanyanya sambil membuka botol tersebut lalu memberikannya kembali padaku. Aku hanya menggeleng lemah dan buru-buru meneguk air mineral itu untuk melegakan kerongkongan. Jujur saja, mendengar kata gambar dan tulisan yang disatukan, membuatku kembali teringat pameran foto di Bandung yang akhirnya mempertemukan aku dengan Saka. 130 Aku ingat betul setiap orang yang melihat kolaborasi yang kami ciptakan selalu berdecak dan berkata ada semacam roh yang membuat foto Saka dan tulisanku menjadi sangat terkoneksi. Bahkan, sampai ada beberapa orang yang menawar untuk membelinya. Sepertinya, menarik untuk menciptakan buku seperti yang Rio maksud. Sayang, aku belum merasa semahir itu mengabadikan foto. Aku merasa masih butuh orang semacam Saka yang lebih lihai menempatkan rasa pada sebuah gambar yang diabadikan. “Menarik sih, Mas. Tapi, nanti deh, tunggu aku jago ngambil fotonya dulu. Aku belum ngerasa mampu menyampaikan rasa melalui gambar, hehe.” Aku menjawabnya dengan tertawa sambil berdiri hendak membuang bungkus tempat es krim dan botol air mineral yang sudah kosong. “Nanti sampe kapan? Sampe azan magrib yang bentar lagi mau berkumandang?” Rio mengikuti berdiri lalu membuang sampah bekas makanannya juga. Aku kemudian melihat jam tangan dan mengarahkan pandanganku. Melihat langit yang sudah memperlihatkan semburat oranye. “Eh, iya udah mau magrib. Salat di Istiqlal aja yuk sekalian, Mas. Baru abis itu aku anter kamu balik.” a” 131 So let me know the truth Before I dive right into you You’re a mystery Thave travelled the world And there’s no other girl like you, no one What’s your history? Do you have a tendency to lead some people on? Cause I heard you do Suara Ed Sheeran mengalun memenuhi mobil. Mengisi kekosongan yang hadir antara aku dengan Rio. Aku yang sedari tadi fokus menyetir tak jua membuka obrolan karena sibuk dengan pikiranku sendiri tentang percakapan yang tadi disinggung Rio. Sedangkan, lelaki itu sibuk melihat-lihat foto yang kuambil dengan kameraku. “Ra, ngeliat foto-foto kamu aku kayak diajak dengerin cerita. Semuanya sarat makna, gimana sih caranya? Dari dulu aku juga pengen bisa foto sesuatu kayak gini dan enggak pernah bisa. Emang enggak bakat kali ya,” keluh Rio. “Bukan enggak bisa, hanya belum bisa. Kalau mau belajar mah semua orang juga bisa, Mas. Aku juga awalnya enggak bisa foto dengan fokus, tapi sekarang udah mulai bisa tuh. Semuanya ya karena aku membiasakan diri dan terus belajar. Gimana mau bisa foto kalau jarang-jarang hunting?” 132 Rio mengangguk menyetujui perkataanku. “Iya, juga sih ya. Kalau jarang-jarang pegang kamera, sampe kapan juga tetep enggak akan bisa. Tapi Ra, feel-nya tuh beda gitu kalau liat fotomu. Ada hal lain yang bisa diliat. Beda dari kalau liatnya cuma pake mata aja.” Aku kemudian teringat kembali perkataan Saka saat ia mengajariku. “Itu sih hanya karena sudut pandang aja, Mas. Apa yang mau aku sampein lewat foto itu akan beda dengan jepretan tangan orang lain. Karena rasa yang dibawa memang beda. Hmm...dulu pernah ada yang ngomong sama aku. Dalam ngambil gambar kita hanya perlu fokus sama apa yang ingin diliat. Cari sudut pandang yang membuat mata kita nyaman untuk menikmati hal yang ada di depan kita itu. Jika deket, ya seberapa deket kita nyaman. Tapi kalau jauh, ya seberapa nyaman hal itu bisa untuk kemudian kita nikmati.” “Menarik, Ra!” Rio kemudian mengarahkan kamera ke jalanan melalui jendela yang tertutup dan sudah dibasahi oleh tetesan air hujan. Aku mengira ia akan mengabadikan hujan yang mengalir di kaca jendela, tapi ternyata malah mengarahkan kamera itu kepadaku. Sebelum aku sempat menolak, ia sudah membidikku. “Kenapa jadi aku yang difoto sih, Mas? Padahal tuh ya, kaca jendela lebih romantis buat difoto,” selorohku. “Kalau kaca jendela yang diguyur hujan mah kapan aja bisa diabadiin. Di Jogja juga bisa. Tapi, kalau kamu yang lagi nyetirin aku, kapan lagi bisa diabadiin kalau bukan sekarang? 133 Lagian sekalian mau coba, seberapa deket dan nyaman yang aku rasa kalau lagi liat kamu.” Aku kemudian menoleh sambil tertawa lirih mendengar ucapannya. Tak ada tatapan yang ia lontarkan kepadaku. Ia malah sudah asyik kembali fokus pada kamera, melihat hasil gambarnya dan berkali-kali mencoba mengambil gambar lainnya. Tak ada sikap lanjutan dari ucapannya barusan. Entah sudah kali keberapa di hari ini aku dibuatnya tak mengerti atas semua perkataannya. Ingin menganggapnya hanya sekadar lelucon, tapi dari intonasinya saat berbicara, hal itu tidak terdengar sebagai lelucon. Ingin menganggapnya serius, tapi ia tak menjelaskan apa-apa juga kepadaku. Aku kembali mengedikkan bahu dan melajukan kendaraan lebih cepat dari sebelumnya. Berharap lekas sampai di apartemen saudaranya agar kecanggungan yang tiba-tiba hadir bisa segera berakhir. a Hari Minggu kali ini kuhabiskan dengan menemani ibuku berbelanja kebutuhan rumah serta membeli beberapa bahan untuk membuat kue nastar serta kastengel. Dua camilan kesukaanku yang akan kubawa pulang ke Jogja nanti malam. Ya, malam ini aku akan kembali bertolak ke Jogja, bersama 134 dengan Rio juga tentunya. “Ma, yang waktu itu Lara pernah bilang udah Mama coba pikirin belum?” Aku mengetuk-ngetukkan tanganku pada kemudi sambil sesekali melihat angka penghitung mundur yang menunjukkan detik lampu berwarna hijau akan segera hadir. “Yang mana ya? Oh, Mama tahu nih, yang pindah ke Jogja itu ya?” “Yap!” Aku mengangguk dan kemudian segera melajukan kendaraan karena pusing dengan bunyi klakson di belakang. “Gimana ya Ra, masalahnya tuh pindah bukan cuma perkara beralih ke tempat baru dan memulai segalanya di lingkungan baru aja. Tapi, banyak hal yang harus diselesaiin dulu sebelum akhirnya memutuskan pindah. Mama udah terlalu kerasan di sini. Mama enggak tahu di Jogja nanti bisa betah atau enggak. Lagian kamunya kan juga sibuk kerja. Apa bedanya coba sama Mama yang tinggal di Jakarta?” “Ttu teh kode mah? Kode biar Lara di rumah aja nemenin Mama? lyah, gitu?” Ibuku kemudian menepuk lenganku pelan, sementara aku hanya terkekeh karena berhasil menggodanya. “Hemmm... gini deh. Gimana kalau Mama nyoba dulu tinggal di Jogja sama Lara selama sebulan dua bulan. Kalau emang enggak betah, Mama mau balik lagi juga enggak apa-apa. Sekalian nanti Lara cari kerja baru aja di Jakarta, biar enggak jauh-jauh lagi sama Mama. Biar Mama enggak 135 kebanyakan kangennya sama Lara,” lanjutku. “th, kamu mah! Mama enggak kangen kok, cuma kesepian aja sendirian mulu di rumah. Kalau pagi sih enak, ada karyawan di toko kue yang nemenin. Lah, kalau malem? Sama Bibi aja di rumah. Kamu sih, makanya buruan nikah, terus kasih Mama cucu biar ada temennya di rumah.” Aku menelan ludah mendengar ucapan ibuku. Nalarku sedang bersiteru. Ada sedikit rasa mencelos karena ibuku berkata bahwa beliau kesepian. Namun, di satu sisi aku resah jika sudah mulai disenggol perihal pasangan. Ah, lagi-lagi ajakan untuk pindah malah menjadi bumerang untuk diriku sendiri. Sebetulnya aku malas untuk menanggapi ucapan itu, tapi di benakku justru terlintas ide untuk kembali menggoda. “Tuh, di kamar Lara ada boneka yang Mama pernah beliin. Peluk aja Ma biar enggak kesepian. Lumayan loh bisa bikin Mama ada temen tidur.” “Th, kamu ya. Bener-bener deh. Mama sendiri malah diisengin.” Ibuku kemudian menjewer telingaku pelan sambill tetap mengomel, sedang aku hanya terbahak melihatnya. Tak lama tangannya kemudian mengelus rambutku. Bila sudah seperti ini, aku tahu ada sesuatu yang ingin beliau sampaikan. “Ra, Mama udah pernah pesen ke kamu kan ya, kalau Mama enggak mau kamu berhenti kerja kalau nanti udah nikah? Bukan apa ya Nak, Mama cuma enggak mau kamu 136 sepenuhnya bergantung sama suamimu aja. Seenggaknya kamu tetep punya uang tabunganmu sendiri. Atau, ya kamu bisa usaha apa gitu di rumah. Pokoknya, jangan sampe kamu enggak ada pemasukan sendiri. Belajar dari pengalaman Mama ya, Ra.” Aku tersenyum sambil menggenggam tangannya yang sedari tadi mengelus rambutku. Menyalurkan kekuatan yang kupunya dan memberinya sedikit ketenangan. Rasanya di mataku saat ini sudah ada air mata yang ingin tumpah. Aku mencegahnya sekuat yang aku mampu. Aku menghela napas pelan. “Tya Ma, tenang aja. Lara inget kok pesen Mama. Doain aja semoga Lara dapet suami yang bertanggung jawab dan sayang sama kita.” Ibuku kemudian mengambil tangannya yang tadi sempat aku cium dan mulai menoyor pipiku pelan. Kebiasaan yang sering dilakukan oleh ibuku bila mulai tak suka dengan perlakuanku yang terlalu manis. Mungkin benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Hal itu juga yang membuatku akan mudah jengah dengan lelaki yang baru berkenalan tapi sudah berusaha menarik perhatian dengan seribu jurus gombalan dan rayuan. Bukan berarti aku tak suka diperlakukan romantis, hanya saja aku tak suka diperlakukan terlalu manis secara kontinyu. Roman picisan bagi perempuan seumurku rasanya sudah tak lagi diperlukan. Aku justru lebih tertarik dengan cara 137 Saka mendekatiku. Pun, dengan cara Rio yang membuatku merasa nyaman berada di dekatnya. Sial, ada apa lagi dengan kepalaku yang sudah mulai menilai dan membandingkan Saka dengan Rio. Tanpa sadar seulas senyum terbentuk ketika aku memikirkan hal tersebut. “Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Eh, kamu beneran udahan sama Saka? Terus, di Jogja nemu mas-mas Jawa yang manis enggak?” “Apa, Ma? Nemu? Manusia loh Ma, masa bahasanya nemu sih. Emangnya barang yang ilang apa?” Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala tanpa sedikit pun menjawab pertanyaan beliau tentang Saka. Ibuku kali ini hanya tertawa mendengar perkataanku. Lupa dengan pertanyaannya yang tak sempat aku jawab. Mungkin aku sudah menerima hubunganku dengan Saka yang tak lagi bersama kini. Mungkin aku bisa menerima dengan ikhlas seluruh luka yang sempat dia torehkan, bahkan aku juga torehkan kepadanya. Namun, ketika membahasnya dengan ibuku, rasanya masih selalu ada kesempatan untuk aku merasa bersalah dan bersedih dengan kandasnya hubungan itu. Hubungan yang kupikir akan berakhir dengan indah meski beberapa kali tak diyakini oleh ibuku. Mengenai kandasnya hubunganku dengan Saka juga sebetulnya tak pernah secara gamblang kuceritakan kepada ibuku. Jangankan bercerita tentang alasannya, berkata kapan 138 semua berakhir saja aku tak pernah. Tapi, mungkin begitulah kepekaan orang tua terhadap anaknya. Beliau justru yang bertanya kepadaku. Kenapa kok udah enggak sama Saka lagi? Pertanyaan itu terlontar sehari sesudah aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya dengan Saka. Aku sempat menanyakan kepadanya bagaimana ibuku bisa mengetahui hal itu. Aku sendiri tak menunjukkan gelagat aneh dan tak berbicara apa pun terkait putusnya hubunganku dengan Saka. Namun, jawaban yang diberikan hanya, “Mama cuma liat kamu gelisah aja. Enggak kayak biasanya yang seneng terus dan senyum mulu. Dari situ Mama tahu kamu udah enggak sama Saka lagi.” Semua rentetan kejadian menari-nari di benakku, seolah sedang terpasang proyektor besar di depan wajahku. Membiarkanakuterusterpekur dan terjebak dalam kenangan. Beruntungnya, ibuku kembali memecah lamunanku dengan sebuah pertanyaan yang menyalakan semangat di hatiku. “Bulan depan deh ya Mama ke Jogja. Sebulan aja tapi, kalau betah ya pindah. Tapi, kalau enggak kamu yang harus pindah lagi ke Jakarta.” “Nah, gitu kek daritadi, Ma. Yey! Bulan depan Lara bisa makan enak lagi di rumah.” Aku kemudian tersenyum lebar sambil mengepalkan tangan. “Ye, dasar maunya tuh biar enggak capek.” “Lah, kan emang gitu niatnya, Ma. Hehehe.” 139 Gelak tawa kemudian menghiasi suasana pagi kami kali ini. Ya, ini yang membuatku selalu senang berkendara dengan ibuku. Selalu ada hal yang bisa dibicarakan dengan lebih personal, dan membuatku selalu bisa merasa dekat dengan ibuku. “Mama masakin. Tenang aja. Asal kamu bawa aja calonmu ke rumah.” Kali ini ucapan ibuku itu membuat keningku kembali berkerut. “Calon apaan sih, ma? Masih aja bahas gituan, heran deh. Mendadak Lara jadi pusing,” jelasku sambil memijat pelipis, seolah-olah aku memang sedang pening karenanya. “th, kamu ya, udah berani main rahasia-rahasiaan. Mama enggak akan ngomong gitu kalau Mama enggak lewat kamarmu kemarin siang, pas ada Kanaya. Kamu pikir Mama enggak denger waktu Kanaya sebut-sebut nama cowok? Kamu juga sempet kan teleponan pas udah sampe rumah kemarin malem.” Aku kemudian mengingat-ingat semuanya, dan menepuk jidatku setelah menyadari bahwa Kanaya memang sempat berteriak ketika menyebut nama Rio waktu itu. Bahkan waktu menerima telepon dari Rio, aku memang baru sampai di rumah dan akan naik ke dalam kamar. Sementara, ibuku saat itu ada di ruang tengah. “Apa? Mau ngelak lagi kamunya?” “Enggak, Ma. Lagian kalau yang itu tuh bukan siapa-siapa, ih. Dia atasan aku di Jogja. Kebetulan dia juga lagi ke Jakarta. 140 Nanti malem berangkat ke Jogja sama aku juga. Bukan siapa- siapa, serius deh,” ucapku dengan nada meyakinkan. “Loh, jadi kamu pulangnya bareng dia? Kalau gitu nanti Mama yang anter kamu. Mama mau tahu orangnya kayak gimana.” “Tapi Ma, nanti tuh....” “Enggak ada penolakan. Sekali Mama bilang Mama mau anter, ya pokoknya Mama.” Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, beliau sudah memotong dengan memberi pernyataan yang tak bisa untuk dibantah. Aku akhirnya mengangguk pasrah. Tampaknya salah- ku untuk berkata jujur mengenai keberadaan Rio dan kepulanganku dengannya. “Iya, iya. Ya, udah nanti Lara bilang Kanaya biar enggak usah jemput sama anter Lara.” a” 141 Se CHAPTER III lt. 1C] OY ey VOM EEG TA\CLOn MENUJU SATU TITIK PERCAYA" ;° Kevin telah berhasil membuat dosen penguji bangga atas tesisnya. Kini mimpi lainnya bisa terpenuhi hanya dari sebuah kata iya dariku. Selain itu, proposal Narni juga sudah berhasil diterima dosen, tinggal meneruskan penelitian untuk skripsinya. Sebuah kabar yang membawa pesan kebahagiaan. Saat seseorang yang kita pedulikan berhasil melalui salah satu chapter menantang dalam hidupnya. “Lu mulai siapin semua aja. Bisa atau enggaknya, pokoknya I’m in!” Aku berbicara di telepon. Kevin di ujung telepon sana langsung terdengar kegirangan dan bersemangat. Bahkan suara yang bersemangat itu berhasil membuatku bergelora juga. Rumah tengah sepi. Semua orang di tengah bekerja dan sekolah. Hari ini aku memutuskan untuk mulai mengerjakan semua to do list untuk beberapa minggu ke depan. Pekerjaan dari beberapa klien dan teman harus aku selesaikan. Lalu memberikan kabar kepada mereka bahwa aku tidak bisa menerima pekerjaan desain untuk beberapa bulan ke depan. Mengerjakan semua hal yang harus aku selesaikan di Bandung ini agar dapat dengan mudah pergi ke Jogja untuk beberapa lama. Beberapa lama yang kumaksud kali ini kujanjikan dari satu hingga tiga bulan. Ibuku sedikit terkejut awalnya. Tapi, setelah menceritakan rencanaku, ibuku akhirnya paham dan mengizinkan aku untuk pergi. Untuk sementara waktu tidak di rumah. 145 “Meni lama gening sampe tiga bulan?” tanya ibuku untuk memastikan. “Ttu tergantung, Mah. Kalau emang kafe yang dibuka di sana mengharuskan Saka untuk tinggal beberapa bulan. Atau, kalau Saka juga betah di sana. Hehe.” Aku mencoba menenangkan. Masih ada raut kekhawatiran meski akhirnya ibuku mengizinkan aku untuk bekerja dan membuka kedai kopi di Jogja. Ada ragu yang menyeruak dalam diriku. Tapi, bagaimana pun aku sekarang merasa tenang. Setelah perbincangan dalam dengan derasnya air mata dari ibuku saat aku menyampaikan kunci yang dirinya tunggu-tunggu. Sebuah pernyataan bahwa dirinya sangat dipersilakan untuk menikah. Untuk mendapat perhatian lebih dari orang lain. Untuk mendapat seseorang yang bisa diajak berbincang dan berkeluh kesah kapan pun ibuku membutuhkan. Tangis itu akhirnya tumpah sebagai jelmaan rasa syukur yang selama ini dipendamnya. Sebuah kelegaan yang tak bisa dibayar dengan hal lain kecuali tangis. Setiap rintik airmatanya, memuja Tuhan, memuji aku dan adik-adikku. Menjadi sebuah jatuh yang paling dinanti oleh ibuku. Aku dihadiahi peluk yang akhirnya hanya membuatku kikuk. Membuat air mataku pun ingin ikut-ikutan jatuh. Meski akhirnya hanya jatuh dalam pikiranku sendiri. Senyum dariku, dan tangan yang mengusap punggung ibuku kurasa cukup untuk membuatnya bahagia saat 146 itu. Sejak kejadian itu juga kelegaan terpapar jelas dari senyumku. Ibuku pun berani untuk memperkenalkan aku dengan seseorang yang memang telah layak untuk dikenalkan kepadaku. Seseorang yang tidak lagi bisa membuatku ragu atas pilihan ibuku. Satu titik percaya tentang ibuku, cukup untuk mengerti bahwa ibuku tidak akan memilih seseorang yang tidak pantas bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk anak-anaknya. Bahkan, titik pantas baginya, adalah paham betul bahwal lelaki itu baik untuk anak-anaknya. Hingga kemudian aku berani untuk mengutarakan mimpiku kepadanya. Mengutarakan ingin dan maksudku atas kepergianku ke Jogja kelak. Meminta izinnya untuk sebuah mimpi yang ingin aku kejar. Tapi, ternyata sebuah izin tetap saja membuatku tak kuasa untuk benar-benar pergi dari rumah selama beberapa lama. Lebih lama dari waktu yang biasanya aku pakai untuk berlibur. Ada tanggung jawab atas ibuku dan adik-adikku. Meski kini aku yakin ada yang mulai bisa menjaga mereka. Ada yang bisa membuat mereka merasa aman meski tanpa aku di sekitar. Adalah sebuah rasa tidak rela akan diriku sendiri yang harus tidak ada di sekitar mereka. “Bener, Mamah mah Insya Allah lega. Lega karena kamu akhirnya tahu apa yang ingin kamu kejar buat hidup kamu. Mamah akhirnya tahu kamu punya mimpi. Kamu juga tahu bagaimana caranya merealisasikannya. Kamu udah dikasih 147 jalan. Jangan sampe Mamah dan adik-adik kamu malah jadi penghalang buat kamu.” Ibuku meyakinkanku, dengan suaranya yang selalu ramah dan merdu, sambil memegang pundakku. “Berkah yang besar memang ada di keluarga. Banyak orang yang justru susah untuk bisa terus-terusan berkumpul sama keluarga. Tapi, bukan di situ aja intinya. Berkah itu hadir dari keikhlasan dan kerelaan keluarga. Kepergian kamu untuk menggapai hal yang bisa membanggakan bukan diri kamu aja, tapi juga keluarga. Tentunya dengan seizin Mama, adik-adik kamu. Semoga jadi berkah buat kamu, Saka.” Ibuku masih melanjutkan. Perbincangan seperti inilah yang selalu aku tunggu dengan ibuku. Perbincangan sepi tanpa adik-adikku di rumah. Tanpa satu pun yang mendengar. Sebegitu masih malunya aku untuk hal seperti ini. Seolah masih tak rela sisi-sisi sentimental diriku diketahui orang lain bahkan adik- adikku sendiri. Aku yang terbiasa terlihat cuek dan misterius, padahal menutup diri agar tak terlihat lemah. Yah, egois memang saat aku berada dirumah. Hanya mampu menyayangi mereka sembunyi-sembunyi. Sejak perbincangan dengan ibuku, mimpi seolah hanya selangkah dari tempatku berdiri. Namun untuk membuat langkah, perlu keyakinan luar biasa agar aku bisa bergerak dan menapak hingga pasti di titik itu. 148 Di suatu pelayaran tanpa angin, aku menengadah ke langit. Tempat beribu tanya menguap, menjadi kebingungan-kebingungan yang mendung. Aku sering mengutuk kehilangan. Bukan perkara ditinggalkan, namun sekedar merasa, kehilangan. Aku bahkan bertanya lebih dalam, kapan aku merasa memiliki, hingga harus merasa kehilangan. Apakah aku juga tak bisa memlih, perihal apa saja yang dapat membuatku merasa memiliki dan kehilangan? Sebuah pesan masuk di inbox laman blog pribadiku. Eleftheriana, mengirimkan sebuah tulisan yang meminta untuk aku sambung atau aku balas. Ya, sejak mengirimkan pesan terakhir kali kepadanya, aku akhirnya mengajukkan sebuah ide perihal apa yang bisa kita lakukan selain saling memuji tulisan. Aku mengajaknya untuk menulis bersama, dan dia menyetujuinya. Meski kami hanya sepasang orang asing yang bertemu melalui laman maya, tapi aku merasa ada yang berbeda. Bukan sekadar pesan yang memuji, atau pesan yang mencari 149 perhatian belaka. Bahwa, setiap pesan memiliki roh sendiri yang dikirim oleh penulisnya. Perihal sampai, diterima atau dibalas, itu urusan kecocokan jiwa. Karena aku meyakini, masing-masing manusia saling mengirim gelombang, saling mengundang dan menarik. Entah dalam cara apa pun, entah dalam singgungan ke berapa. Semua hal, semua orang yang memiliki kedekatan atau kesamaan gelombang, akan saling mengarahkan pada satu titik jumpa. Dan, perjumpaanku dengan seorang yang memiliki nama akun Eleftheriana adalah hasil dari tarik-menarik kami melalui lempengan kosmos yang tak kasat mata. Menembus lembaran-lembaran gelombang lain yang berdesakan dan saling bersinggungan. Karena tak ada batas jelas, kapan dan bagaimana tepatnya, rasa tersebut hadir dalam diriku. Hingga jawaban tak kunjung jatuh dari langit, cemas membawaku pada gerah yang membuat pikiranku berpeluh. Terik di lautan bimbang, dengan semilir resah, membawaku pada daratan penuh pertanyaan lainnya. 150 Salah satunya, haruskah aku berhenti bertanya? Atau haruskah aku berhenti mencari jawaban? Selesai aku menuliskan prosa balasan, segera aku kirim. Tulisan miliknya kemudian aku padukan dengan tulisanku, dan aku post di laman Blog pribadiku beserta namaku dan Eleftheriana di catatan kakinya. Tak lama, pesan balasan muncul. ay Sebuah senyum. Apa artinya itu? Dia senang? Ya, tentu saja. Tapi, apa? Hanya senang? Aku kelimpungan menebak dan mencari arti senyum agar lebih banyak penjelasan yang lebih memuaskan. Tapi, akhirnya aku berhenti menebak apa artinya itu. Karena, seharusnya emoticon senyum itu sudah cukup menjelaskan arti pesan balasan itu sendiri. Cukup, setelah aku mengunjungi laman Blog miliknya dan sudah ter-posting hasil tulisan kami berdua. Aku melanjutkan pekerjaanku. Mengecek semua to do list apakah sudah sesuai. Aku kemudian mencatat beberapa ‘keinginan’ dalam sebuah notebook yang baru aku beli beberapa waktu lalu. Ya, aku mulai mencatat keinginan- keinginanku. Memiliki mimpi yang semakin melebar dari 151 hasil kalkulasi harap dalam kepalaku, hanya membuatku kewalahan saat memikirkannya. Sepertinya, sudah banyak orang menceritakan perihal mimpi-mimpi yang mereka catat dalam sebuah buku, atau melalui apa pun. Hingga suatu saat mimpi itu bisa terjadi. Bagiku hal itu lebih besar dari sekadar tabungan mimpi yang disimpan dalam sebuah catatan. Melainkan sebuah daftar untuk dilakukan, untuk mengingatkan, serta untuk memindahkan data mimpi itu agar tidak memberatkan kepalaku. Laiknya sebuah komputer, kepalaku akan terasa berat dan bekerja lamban jika semua data disimpan di dalamnya. Aku perlu menyimpannya di hardisk external dalam bentuk buku catatan. Membuka coffee shop, menjadi seorang barista, menjelajahi beberapa kepulauan di Indonesia lalu beberapa negara dunia karena aku senang berpetualang, hingga menjadi orang yang berguna entah sebagai apa. Semua aku tuliskan dalam bentuk mind mapping. Membuat sebuah urutan kejadian dari satu mimpi ke mimpi selanjutnya. Namun, aku merasa mimpiku terasa terlalu sedikit. Meski aku tak tahu aku akan mati pada umur berapa, tetapi sepatutnya hal yang telah kutuliskan tadi bisa saja terjadi dalam beberapa tahun jika aku memang_benar-benar mengejarnya. Aku perlu mimpi yang lain, entah mimpi yang lebih besar, atau mimpi yang lebih, mimpi. Lebih tidak logis, 152 lebih tidak dapat diperhitungkan oleh kemungkinan yang dapat aku bayangkan. Lalu pada saat aku ingin menulis mimpi yang lain, tanganku menolak untuk bergerak. Meski isi kepalaku punya mimpi lain yang lebih liar, tanganku tidak menyetujuinya. Karena ternyata, sebagian dari otakku tidak bisa mencari perhitungan logis dari mimpi itu. Tidak menemukan titik- titik, urutan kejadian untuk bisa sampai pada mimpi itu. Pada cerita Alice in wonderland, tokohnya pernah berkata bahwa kita semua begitu menginginkan sesuatu terjadi secara magis, secara ajaib, yang bisa memukau kita. Tapi di saat yang sama, kita tidak percaya pada keajaiban. Sialnya, aku sedang merasa seperti itu. Aku sandarkan kursi, sedikit melamun perihal mimpi. “Kehilangan apa yang paling menakutkan bagimu?” Pesan masuk datang lagi, Eleftheriana. Sebuah per- tanyaan random dilayangkan kepadaku. Menarik. Aku tegakkan badan di kursi. Mencoba memikirkan segala jenis kehilangan yang pernah terjadi kepadaku. Kehilangan bapak, adalah hal paling menyedihkan bagiku saat itu. Namun, manusia memang sudah sepatutnya akan selalu kehilangan manusia lainnya. Sebuah ketakutan yang pasti dan tidak terelakkan. Begitupun kita, akan menjadi kehilangan bagi orang lainnya. 153 Aku memikirkan hal lain, sebuah kehilangan yang paling tidak pasti. Sesuatu yang selalu kita perjuangkan, tetapi tak terasa tengah kita perjuangkan. Hingga pada satu titik, hal itu hilang, hancur, melebur, dan menguap entah menjadi apa. “Keyakinan.” Ya, keyakinan. Menjadi sebuah kehilangan yang tak pernah dihiraukan banyak orang. Seolah bukan sesuatu hal yang sangat berharga. Satu-satunya hal yang tak pernah semua orang bayangkan akan bisa, hilang. Eleftheriana membalas pesanku, melanjutkan per- bincangan. Seolah kami memang sedang berbincang berhadapan. Dia ada di depanku secara pararel bukan virtual dan hanya dipisahkan oleh dimensi jarak. Eleftheriana: Menarik, aku tak menduga jawaban seperti itu yang akan sampai di kotak pesanku. Aku: Menarik, saat kamu justru harus bersiap pada jawaban yang sudah kamu duga. Eleftheriana: Menarik, bukan? Bahwa jawaban yang datang, harus membuatku semakin bersiap pada hal mengejutkan lainnya. Aku: Jadi, sekarang kamu akan berhenti menduga? 154 Eleftheriana: Kita tidak akan pernah berhenti men- duga-duga. Seperti kamu, yang kini tengah membuat dugaan perihal apa yang akan aku tanyakan selanjutnya :). Aku: Aku ingin membiarkan dugaanmu_benar, tapi sayang pertanyaan selanjutnya akan datang dariku. Apa yang paling membuatmu lebih sedih? Meninggalkan? Atau, ditinggalkan? Pesan terakhir yang aku kirim berakhir dengan jeda. Dugaanku, dia sedang mencoba memberikan jawaban yang akan membuatku terpukau. Oh, aku yakin ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Lebih lama dari dirinya saat menunggu jawabanku. Eleftheriana: Tentu saja_ ditinggalkan. Aku_ ini perempuan! Ya, tak bisa kupungkiri, aku cukup terpukau karena ternyata dirinya tidak membutuhkan waktu lama untuk menjawab. Aku: Waw! Kau hebat! Eleftheriana: Satu, kamu satu-satunya orang yang tidak menertawakan, mengejek, atau mengasihani aku karena ditinggalkan. Kedua, apanya yang hebat? 155 perlombaan siapa yang lebih terluka. Dirinya benar, aku tidak perlu mengajaknya membuktikan bahwa ditinggalkan Karena jumlah luka yang aku simpan? Aku: Bukan, kamu hebat karena kamu tidak pernah meninggalkan seseorang. Eleftheriana: Memang untuk apa meninggalkan seseorang yang kamu cintai? Aku: Kalau begitu tunggu sampai kamu _ingin meninggalkan seseorang. Eleftheriana: Untuk apa? Untuk =membuktikan bahwa meninggalkan lebih menyakitkan daripada ditinggalkan? Apa tidak ada hal lain yang lebih bodoh yang bisa aku dengar? Kamu memang benar-benar, mengejutkan :). Sial, langkahku terbaca. Meski begitu, ini bukan perihal tidak ada apa-apa dibanding meninggalkan seseorang. 156 Aku: Tidak, lupakan. Hehe. Eleftheriana: Apa semua lelaki seperti itu? Aku: Seperti apa? Eleftheriana: Meminta | perempuan melupakan semudah itu?! Aku kelimpungan, kewalahan, dan tertawa terbahak di saat yang sama. Wanita ini, sungguh, gila. Aku berkali-kali tersenyum. Aku: Hahahahahahhahahaha. Eleftheriana: Lucu bukan? Tapi, pertanyaanku serius. Apa kamu memang seperti itu? Hahaha. Aku: Hmm. Entahlah, tapi buatku meninggalkan lebih menyedihkan daripada ditinggalkan. Kamu paham jawabannya? Eleftheriana: Sebuah kata “tidak” yang panjang dan rumit ya. Hehe. Aku: Agar kamu tidak hanya mendengar jawabanya dariku, tapi juga dari hasil olah pikiranmu :). Eleftheriana: Menarik. Anw, aku harus pergi. Jangan lupa tulisan selanjutnya, giliranmu memulai. Kirimkan kapan pun kamu selesai menulisnya. See you!” Aku: K! Eleftheriana: Wanita tidak pernah suka balasan seperti itu. Sekali lagi kamu membalas pesan seperti itu, kamu akan tahu bahwa ditinggalkan lebih menyakitkan daripada meninggalkan! Aku: Hahahahaha. /'l/ see you soonest! 157 Aku tersenyum, lama sekali. “Oh Eleftheriana. Mari kita bertemu. Kamu terasa seperti aku yang lain,” ucapku dalam hati. Perkenalan dengan Eleftheriana, membuatku selalu menunggu percakapan selanjutnya. Caranya berbicara kepadaku seolah kami sudah mengenal lama. Seolah dia adalah sisi lain aku yang tidak ingin menjadi rahasia, yang hanya aku sembunyikan dari siapa pun. Mendapat teman berbincang seperti ini seperti kado rahasia yang dikirim malaikat, seperti keajaiban yang tidak pernah aku percayai. Sama seperti mimpi yang tidak berani aku buat dalam kepalaku. Hingga keajaiban itu datang, hingga membuatku ingin mengejek diriku sendiri karena tidak mempercayainya. Hampir setiap hari kami berbincang, membahas tulisan yang aku dan dia buat. Pernahkah ada yang berencana menyakiti? Seingatku, aku hanya pernah berencana tinggal, hingga menetap jadi salah satu harapanku. Namun, perihal dikecewakan, entah siapa yang pertama mengaku. Atau bahkan, berebut menjadi yang pertama. 158 Saat harus ada yang mengaku, siapa yang mengecewakan, tak satu pun berani, mengangkat keberanian dan menurunkan ego. masing-masing bersembunyi, di balik keangkuhan dan rasa yang benar. Haruskah selalu aku, yang mengalah untuk dihakimi? Haruskah selalu aku, yang rela menjadi penyebab luka? Aku mengirimkan tulisan yang aku buat. Tak berapa lama Eleftheriana membalas pesanku dengan tulisan darinya untuk melengkapi. Tidak ada keadilan dalam perpisahan, pergi dengan duka, atau menetap penuh luka. Biar aku saja yang menyembunyikan kelelahan, aku saja yang menyisakan keraguan. karena aku mungkin memang pantas, untuk disalahkan. Atau, untuk terluka Harapku, pada perjalanan selanjutnya. agar semesta menutup semua pintu kesempatan, untuk aku dilukai Tolong, pertemukan aku dengan apa pun, kecuali penyesalan. 159 Aku gabungkan tulisannya dengan milikku, dan segera aku unggah di laman Blog pribadiku. Eleftheriana: Sungguh, apa kamu_benar-benar semenyedihkan itu karena telah meninggalkan seseorang? Aku: Hei, aku tidak bisa menjelaskan seberapa hancurnya aku saat pergi. Itu bukan hal yang ingin didengar banyak orang. Kamu pun tidak memercayainya sejak awal. Eleftheriana: Aku bukan tidak memercayainya, aku tidak tahu bagaimana rasanya karena aku tidak pernah meninggalkan. Jika kamu ingin aku mengerti, kerahkan hati dan pikiranmu. Cobalah membuat aku mengerti. Setidaknya, agar aku tahu apa yang dipikirkan mereka saat meninggalkanku selain rasa yang menyerah akan aku. Juga, agar aku tidak perlu mengutuk mereka diam-diam yang memutuskan pergi. Aku menyandarkan badan ke sofa kedai kopi yang menjadi tepatku mengerjakan sebagian pekerjaanku hari ini. Kali ini dengan cappuccino panas. Bandung hari ini tengah dingin. Sedingin kepalaku yang sedikit sulit untuk memikirkan jawaban untuk Eleftheriana. 160 Eleftheriana: Dan juga, agar ada yang bisa mengerti akan kepergian-kepergian yang kamu lakukan :). Saat ini, benteng yang aku pertahankan seolah tengah diobrak-abrik dengan pertanyaan yang menggelitik. Sebuah serangan yang lembut, mampu melemahkanku seketika. Aku: Biarkan aku tahu namamu, baru akan aku jawab. Eleftheriana: Akan ada saatnya kamu tahu namaku, sekarang cepat jawab pertanyaanku. Aku: Oh tidak akan :). Eleftheriana: Dengar Anak Muda, kamu mungkin tengah merasa akan memenangkan negosisasi ini. Tapi, sebetulnya tidak. Tidak sama sekali. Wow, mengejutkan. Dia sama sekali tidak terlihat terdesak, memohon, atau bahkan melakukan negosisasi ulang. Aku: Well, itu harga yang harus kamu bayar demi mengetahui sedikit tentang, diriku. Eleftheriana: Sekarang kamu tampak semakin rapuh. Aku: Apa maksudmu? 161 Eleftheriana: Dengar, kebutuhan kamu untuk men- jelaskan sesuatu yang tengah kamu pendam lama agar ada orang yang dapat mengerti lebih besar daripada kebutuhan kamu mengetahui namaku. Semakin kamu mencoba jual mahal, semakin terlihat bahwa apa yang kamu coba jaga itu adalah sesuatu yang sangat rapuh. Aku terbelalak membaca pesan itu. Sebuah bumerang yang aku lemparkan baru saja menghantam kepalaku sendiri. Dia benar, saat ini kebutuhan akan pengertian itu muncul. Kehadiran dirinya ke permukaan hidupku, membuat kebutuhanku untuk dimengerti dan didengar mulai naik. Aku menghela napas dalam. Coba memahami dan memikirkan bagaimana aku akan membalas pertanyaannya. Tapi, pikiranku masih semrawut. Masih kalang-kabut karena pernyataan darinya. Apa aku harus menjawab pertanyaan utamanya atau bersikeras melakukan negosisasi? Tapi, akhirnya pikiranku mengalami kebuntuan. Ada sebuah keyakinan yang hebat bahwa jika aku tetap bersikeras akan negosiasi, aku hanya akan kehilangan keadaan ini. Sebuah keadaan dengan yang tepat aku bisa men- ceritakan sesuatu yang aku pendam. Karena, jika aku menolak keadaan ini, suatu saat akan meledak juga. Usahaku akan lebih besar. Ya, aku akan melawan egoku sendiri karena bagaimanapun suatu saat nanti aku yang membutuhkannya untuk mendengarkan ceritaku. Baiklah... 162 Aku: Apa kamu pernah merasa bahwa kamulah yang membuat semua orang dalam hidupmu pergi? Aku melayangkan satu pertanyaan pembuka. Eleftheriana: Hah? Apa? Aku: Ya, selama kamu mengutuk kepergian orang- orang yang katanya kamu cintai itu, apa pernah kamu mengutuk dirimu sendiri karena membuat mereka pergi? Eleftheriana: Hmm.... Tidak pernah rasanya. Aku: Waw, kamu benar-benar hebat. Eleftheriana: Benarkah? Aku: Kamu tahu, semua yang pergi menyimpan rahasia yang sengaja tidak pernah mereka ungkap kepadamu. Bahwa kamulah yang membuat mereka semua pergi. Namun, hal itu tidak akan mudah dikeluarkan dalam kalimat yang bisa didengar langsung. Pengakuan seperti itu, hanya akan berakhir di atas sebuah kertas atau di dalam sebuah prosa dan puisi, dalam draf pesan, atau notes, atau Blog mereka. Lalu, mereka menyembunyikan rapat-rapat. Karena, rahasia itu tidak ingin didengar oleh siapa pun, tidak ingin didengar olehmu, hingga akhirnya rahasia itu sendiri malu untuk diketahui orang lain. Semua 163 164 rahasia itu hanya berakhir menjadi barisan kata yang bahkan tak ingin tertuliskan. Selain itu, ada satu hal lainnya yang akan melukai dirinya yang memutuskan pergi. Rasa bersalah dan rasa dihakimi. Rasa bersalah yang menyebabkan seseorang yang ditinggalkan terluka atas keputusannya. Dan, rasa dihakimi karena meninggalkan seseorang yang mencintainya. Kamu pernah ada di sana? Menjadi yang rela mengambil keputusan untuk dihakimi? Tanpa ada satu pun pohon yang bahkan mau memberinya teduh? Bersyukurlah jika mereka tak pernah mengungkap- kannya kepadamu, luka yang membuat mereka pergi. Karena artinya, mereka sangat menyayangimu. Dan kamu, terlalu menyayangi dirimu sendiri. Don't be late! Enggak apa-apa, aku check in bareng kamu aja. Aku tunggu di pintu kedatangan ya, Ra. Sebuah notifikasi muncul dari ponselku saat baru saja mematikan kendaraan di area parkir bandara. Padahal aku sudah sengaja datang hampir telat dan menyuruh Rio check in lebih dulu agar ia tak bertemu dengan ibuku. Tapi, semesta sedang tak ingin berkonspirasi denganku untuk tak mempertemukan mereka. Justru saat ini dengan terang-terangan kenyataan meneriakiku bahwa ibuku akan segera bertemu dengan atasanku itu. Dapat dipastikan beliau akan terus-menerus membahas tentang Rio setelah hari ini. “Ayo Ra, udah mau telat kamu tuh. Kenapa masih santai sih ini anak? Ini Mama malah yang panik. Kalau kamu ketinggalan pesawat gimana? Sini barangnya Mama aja yang bawain.” “Enggak usah Ma, Lara bisa kok bawanya. Lagian kalau ketinggalan pesawat mah tinggal beli tiket lagi atuh,” jawabku asal, sambil mulai mengunci mobil dan berjalan mendekatinya. “Ini anak kalau ngomong suka asal deh.” Ibuku kemudian memukul lenganku pelan. Yang sedetik setelahnya aku sambut dengan sebuah tawa untuk menenangkan perasaanku sendiri yang sedari tadi dirundung gelisah. “Ra, bos kamu itu yang mana?” Pertanyaan yang enggan untuk kudengar itu akhirnya meluncur dari mulut ibuku. Baru saja aku ingin menjawab bahwa Rio sudah menanti di ruang tunggu, tiba-tiba saja sebuah suara menyerukan namaku dengan lantang. “Lara!” Sontak aku dan ibuku segera mengalihkan pandangan 165 menuju sumber suara itu. Tak ada omongan apa-apa yang keluar dari mulutku pun dari ibuku. Kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing sambil tetap melangkah menuju laki-laki yang mengenakan kaus lengan panjang berwarna abu-abu lengkap dengan puffer vest warna biru dongkernya. Lelaki yang sedari tadi ingin aku lenyapkan tapi justru memanggilku. Saat kami sudah saling berhadapan, aku mengalah untuk membuka suara lebih dulu. “Hmm, kenalin Mas ini ibuku.” Rio kemudian segera mencium tangan ibuku seraya memperkenalkan namanya. “Rio, Bu.” Seulas senyum merekah dari bibir ibuku, entah pertanda baik atau justru akan menjadi bumerang untukku nantinya. “Oh ini toh yang namanya Rio. Lara kerjanya gimana? Bagus enggak? Kalau enggak bagus mah marahin aja. Anaknya suka ngeyel kalau dibilangin.” Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan ibuku, sementara Rio justru terang-terangan senang dengan respon hangat yang diberikan oleh ibuku itu. “Ah, enggak kok, Bu. Lara anaknya workaholic banget. Bahkan sering lembur kalau udah keasyikan kerja.” Selama dua menit keduanya terlibat percakapan basa- basi yang cukup membuatku kesulitan bernapas. Bukan kenapa, hanya saja bosan melihat hal-hal semacam ini. Ya, ibuku memang selalu seperti itu. Cepat akrab dengan siapa pun teman yang kuperkenalkan kepadanya. Tapi, 166 tidak dengan Saka, karena memang aku belum sempat mempertemukan mereka berdua. Tidak hanya lekas akrab pada siapa saja, beliau bisa menganggap mereka seperti anak sendiri. Tak jarang teman- temanku yang pada akhirnya bisa bercerita tentang apa saja dengan beliau. Meski aku sedang tak berada di antara keduanya. Sebut saja Kanaya yang bahkan bisa menginap di rumahku, meski aku sedang berada di Jogja. “Hemm... langsung masuk aja yuk, Mas. Udah hampir telat kan ya, hehe.” Aku buru-buru menghentikan perkenalan dan percakapan yang tampaknya sudah mulai asyik itu. Rio kemudian menatap arlojinya, mengangguk dan segera berpamitan dengan ibuku. “Rio pamit dulu ya, Bu. Nanti Ibu hati-hati pulangnya.” Ibuku balas menepuk punggungnya seraya tersenyum. “Oh iya Nak, hati-hati juga kamunya. Titip Lara ya. Marahin aja kalau bandel.” “Cmon Mom, Lara udah gede ih. Udah ya, Lara pamit, Ma. Jaga kesehatan Mama. Bulan depan Lara dateng sekalian jemput ya.” Aku mencium tangan kemudian memeluknyaerat. Sedikit berat hati sebetulnya bila lagi-lagi harus meninggalkan ibuku sendirian di Jakarta. Namun apa mau dikata, beliau masih tak ingin pindah, pun aku tak bisa begitu saja mengundurkan diri dan berganti profesi. Aku masih tak jua melepaskan pelukan itu hingga sebuah 167 pernyataan terdengar di telingaku. Meski hanya sebuah bisikan tapi mampu membuatku sedikit terkejut. “Ra, kalau kamu sama yang ini Mama kayaknya langsung setuju deh.” Akhirnya, aku melepaskan pelukan itu sambil meng- geleng. Berusaha membuat ibuku mengerti bahwa aku masih belum ingin menjalin hubungan apa pun dengan lawan jenis apalagi itu urusan asmara. a Aku dan Rio tidak terlalu banyak berbicara selama berada di dalam pesawat. Mungkin terlalu lelah dengan aktivitas seharian, atau mungkin juga sibuk dengan isi kepala yang terlalu berisik. Ah sial, itu sih isi kepalaku sendiri tampaknya. Aku kembali sibuk dengan buku catatanku setelah sempat melirik Rio yang sudah fokus dengan buku yang sedang dibacanya. Satu hal yang kembali mengejutkanku, ternyata Rio mengenakan kacamata. Tapi, kenapa tak pernah dipakai jika sedang bekerja? Bukankah dengan tidak mengenakan kacamata justru akan membuatnya bertambah parah? Aku masih sibuk menerka-nerka alasannya hingga sebuah pertanyaan terlontar begitu saja dari mulutku, padahal sedari tadi coba kusimpan sendirian. “Kamu pake kacamata, Mas?” 168 “Tya, Ra. Cuma jarang aku pake aja kalau lagi enggak baca buku. Males, bikin sakit di hidung.” “Padahal bagusan pake loh.” Sial, aku lagi-lagi kelepasan. “Eh, maksudku bukannya bagusan kalau dipake ya? Soalnya, kalau enggak dipake katanya malah bikin minusnya nambah.” Imbuhku coba membuatnya tak berpikiran macam-macam tentang pendapatku tadi. “Iya, sih Ra, tapi so far kalau aku rajin makan yang sehat dan rajin nambah asupan vitamin A, terus enggak terlalu sering baca di gelap atau sambil tidur, enggak ada masalah sih.” “Ohhh... gitu,” Aku menanggapi seadanya. Seolah kehabisan kata-kata untuk melanjutkan obrolan. “Tapi Ra, kalau menurutmu bagusan aku pake kacamata, ya udah mulai besok aku pake terus.” Damn, jadi tadi dia ngeh? Aku hanya menunduk malu tak membalas perkataannya sama sekali. Kemudian, beralih melihat ke jendela sampai dia kembali membuka obrolan dan menutup bukunya. “Mamamu emang kayak gitu ke semua orang ya, Ra?” tanya Rio yang kemudian hanya aku balas dengan sebuah tatapan penuh tanda tanya. “Nggg, I mean selalu bisa akrab ke siapa aja. Asyik gitu soalnya.” Rio menjelaskan. “Oh iya, hampir semua temen yang aku kenalin selalu kayak gitu sambutan Mama. Kenapa? Kaget ya, Mas? Maafin ya, hehe,” ucapku sambil memasang senyum. 169 “No, aku justru seneng banget bisa disambut segitu baiknya, Ra. Enggak nyangka aja.” Aku mengernyit, “Enggak nyangkanya kenapa?” “Karena, ternyata enggak sesusah ngedapetin hati anaknya.” Deg. Aku tak dapat berkata apa-apa, sebab isi kepalaku terlalu sibuk menelaah ucapannya yang tidak ada kelanjutan sama sekali. Alih-alih akan ada penjelasan lagi, Rio justru kembali larut dalam buku yang dibacanya, tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa. Hal itu sukses membuat keheningan kembali tercipta di antara kami. Sebetulnya aku masih ingin bertanya tentang semua ucapannya yang kerap menggantung. Tapi, melihatnya yang seolah tak lagi peduli dengan apa yang dia katakan, aku kemudian memilih untuk kembali sibuk pada buku catatanku dan menuliskan keresahan di sana. Aku tidak tahu seperti apa aku untukmu. Namun yang aku mengerti, ada hal-hal pada dirimu yang membuatku merasa nyaman berada di dekat. Aku tidak mengerti sebagai apa aku di hidupmu. 170 Namun yang aku pahami, selalu ada tanya pada setiap pernyataan yang kamu lontarkan. Dan aku, masih tidak mengerti akan semuanya itu. a Kita yang Sudah Berakhir :untuk kita yang sudah berakhir Berhentilah mencari alasan, berhentilah menyalahkan, berhentilah melihat ke belakang, dan berhentilah untuk membawa serta luka dan duka. Karena sekarang, segalanya telah berhenti. Di tengah ribuan pilihan, di antara ratusan pemikiran, pada puluhan pengharapan, serta pada banyaknya kenangan. Kita pada akhirnya memutuskan untuk menyudahi segalanya. Untuk beberapa alasan, kita mungkin akan terus menerus merasa bersalah. Hingga kita lupa bahwa setiap langkah yang kita pilih adalah bagian dari perjalanan. Kita lupa bahwa setiap hal yang terjadi pada akhirnya akan berlalu dan memberikan banyak pesan. Untuk membuat kita 171 semakin kuat, untuk memberitahukan siapa kita sebenarnya, dan untuk membuat kita selalu mampu bertahan. Oleh karenanya, berhentilah menyalahkan diri masing- masing bahkan menyalahkan orang lain. Kita terbentuk dari masa lalu yang mungkin menyakitkan, tapi kita dibentuk untuk menjadi lebih berarti kemudian. -L- Aku sedang asyik berselancar, dan memperbarui laman Blog dengan sebuah tulisan baru hingga tak menyadari kehadirannya dibelakangku. Akubahkan baru tahudia sedang memandangiku ketika Rani hendak keluar untuk makan siang, dan memberikan isyarat kepadaku untuk menoleh dengan gerakan dagunya. Sedetik dua detik aku masih tak paham dengan maksud Rani tersebut, hingga kemudian aku mendengar suara ketukan sepatu dari belakang. “Eh Mas, udah lama di situ?” Aku dibuat terperanjat akan kehadirannya yang selalu saja tiba-tiba. Dia hanya membalasnya dengan senyuman. Meneguk minuman dari gelas yang dipegangnya. “Enggak selama nungguin kamu mau untuk buka hati sih, Ra,” imbuhnya datar lalu berlalu begitu saja. “Jangan lupa makan siang, Rara!” teriaknya sesaat sebelum kemudian menghilang dari pandanganku. 172 Menyisakan aku yang kemudian bertanya-tanya tentang kenapa dia mengubah namaku. Tentang apa yang sedang terjadi di antara kami. Tentang kegamangan hatiku akan seluruh sikapnya yang sangat mampu membuatku kembali terjebak oleh perasaan. Sekembalinya dari Jakarta memang segalanya terlihat berbeda. Aku dengan Rio menjadi semakin akrab. Katakan- lah, sekarang aku sudah terbiasa untuk bertukar cerita dengannya. Perihal urusan pekerjaan atau bahkan hal-hal remeh-temeh yang bisa memicu tawa pun sebuah sudut pandang baru yang terbentuk. Aku menghela napas dengan berat. Ada sesuatu yang mengganjal dan membuatku merasa jengah dengan hal-hal yang aku tahu apa, tapi aku tak ingin untuk menjadi tahu akan hal itu. Aku akhirnya memutuskan membeli makanan dari sebuah restoran cepat saji dan memakannya di kantor. Di saat seperti ini, enggan rasanya harus berhadapan dengan orang lain. Memasang mimik muka penuh bahagia serta senyum yang bisa saja hanya sebuah kepalsuan, mengingat isi kepalaku memang sedang tidak baik. a 173 Lara pun pergi menjauh, sepiku bagaikan debu Hati pun tenang dekatmu Di setiap langkahku kan selalu percaya Kau bersamaku, kau bersamaku selalu Saat Teduh yang dinyanyikan oleh Monita mengalun lembut di telingaku. Membawaku kembali pada masa aku bisa bercerita dengan bebas, tentang apa-apa yang mengganggu, tentang apa-apa yang sedang dirasa, pada saat awal dekat dengan Saka. Pun, sudut di otakku kembali memutar seluruh kenangan di pantai waktu itu. Saat aku dan Saka akhirnya bisa sebaik itu untuk kembali bertukar cerita. Andai saja, semesta sudah kembali mempertemukan kami secara tak sengaja. Atau, andai saja waktu mengizinkanku untuk sejenak bertandang ke kotanya. Mungkin saat ini aku sudah berani menghubunginya. Mengajaknya bertukar isi kepala, atau mungkin menumpahkan segala resah dan tanya yang menggangguku beberapa pekan. Seingatku, terakhir bertemu kala itu, kami sudah baik- baik saja. Pun, semesta sudah menunjukkan pada kami bahwa ia tak ingin berlama-lama membuat kami saling tak berkomunikasi, hingga akhirnya membiarkan pertemuan tak sengaja di coffee shop itu terjadi. “Ra, Ra, Rara!” Sebuah tepukan halus di bahu, membuatku akhirnya membuka mata yang sedari tadi terpejam. Alam bawah 174 sadarku kembali bekerja dan memperingatkan bahwa saat ini aku masih berada di kantor. Aku buru-buru melepas earphone yang menempel di telinga ketika melihat wajah Rio sudah berada di depanku sambil mengatakan sesuatu. “Eh, iya Mas, kenapa?” Rio kemudian tersenyum dan mengulangi perkataannya. “Kamu udah makan, Rara?” “Tya, udah kok.” Anggukku mantap. “Ih, apa sih itu, namaku diganti-ganti gitu?” “Ya, enggak apa-apa, mau aja. Emang setiap hal harus ada alasannya?” jawabnya dengan pertanyaan. Aku mendengus pelan mendengar balasannya. “Ya, udah. Terserah deh ya.” Kekehannya membuatku semakin malas untuk menanggapi, hingga akhirnya aku kembali fokus pada laptop yang menyala. “Jangan ngambek, Ra. Ya, aku cuma pengen aja manggil kamu Rara. Boleh, toh? Anyway, skip dulu tentang namamu itu. Aku lagi kepikiran sesuatu nih. Kenapa sih Ra yang nulis di Blog itu kebanyakan enggak pake nama aslinya?” Aku melihat ke arahnya yang kini sudah duduk tepat di hadapanku. “Banyak sebabnya sih, Mas. Bisa karena mereka emang mau melarikan diri dari dunia nyatanya. Bisa karena memang sengaja menyembunyikan identitas aslinya, hanya agar bisa menjadi sebebas-bebasnya manusia yang bisa berkeluh kesah. Ya, hanya supaya tidak ada judgmental dari 175 lingkungan karena mereka terlalu mudah jujur dengan apa yang dialami. Dan, sederet alasan lainnya. Who knows,” jawabku antusias. “Kamu kan suka nulis di Blog tuh, ada enggak Blog yang menurutmu banyak pembacanya? Setidaknya, tulisannya diminatilah oleh orang lain. Dan ya, penulisannya enggak jelek-jelek banget. I mean, dia tahu penggunaan tanda titik- koma. Tahu gimana caranya berkisah yang mudah dipahami orang lain, dan yang pasti tulisannya enggak alay sih ya.” “wah, kalau itu banyak lah, Mas. Sebatas tahu tapi aku enggak kenal. Kenapa gitu?” tanyaku sambil kemudian meletakkan tangan sebelah kiriku di dagu. “Gini, sosok si penulis itu kan tersembunyi. Pembaca tidak tahu sama sekali siapa sih si A, si B, si C. Yang mereka tahu hanya sebatas karya di Blognya. Menurutmu, menarik enggak sih ketika karya-karya yang sudah diminati itu kemudian dijadikan sebuah buku? Karena, kalau diliat dari beberapa hal, itu tampaknya akan membuat si pembaca Blog tertarik untuk membeli dan memiliki buku itu. lya enggak sih?” tuturnya bersemangat. Aku menaikkan sebelah alis mendengar hal itu, “Okay, then?” “Gimana kalau kita membuat suatu projek untuk mengajak penulis yang konsisten ngeblog dan memang punya pembaca untuk membukukan tulisannya? Ya, dengan kita membuat mereka percaya untuk mau menerbitkan sebuah buku.” 176 Aku menguncir rambutku kemudian memutar-mutar kursi seraya berpikir. “Menarik sih, Mas.” “Oke, kalau gitu,” tukasnya cepat. “Ha? Oke apanya?” “Liat aja nanti,” jawabnya dengan menyunggingkan senyuman penuh rahasia lalu melangkah pergi menuju ruangannya. Aku masih memandanginya menjauh sambil terus memikirkan apa lagi yang akan dia lakukan setelah ini. Rani lalu masuk ke dalam ruangan sambil melancarkan aksinya meledekku. “Ciyeh, ada yang makin akrab nih sama Pak Bos.” “Apaan sih, Ran? Udah sana buruan kerja lagi, bikin gosip aja lu.” Aku menjawabnya dengan sedikit ketus. “Lah, kenapa situ yang jawab. Emang gue nyebut nama lu?” Rani kemudian terkekeh karena berhasil membuatku bersuara. Aku mendadak kikuk karena baru menyadari bahwa Rani sama sekali tak menyebutkan namaku. “Ya, enggak sih, tapi lu ngomongnya sambil ngeliatin gue. Dan, tadi Mas Rio papasan sama lu pas baru keluar dari ruangan ini, yang mana cuma ada gue di dalem,” kilahku cepat. “Haha, santai Ra. Kalau emang deket juga enggak apa- apa kok. Gue setuju banget malah!” Rani tertawa sambil kembali duduk di kursinya, sedang aku hanya memutar bola mataku kemudian kembali menatap 177 laptop. Mengerjakan beberapa hal yang sudah mencapai a” Seminggu setelah kejadian itu, Rio sudah berdiri di mejaku sambil membawa satu bundel kertas yang aku tak tahu isinya deadline. apa. “Nih, Ra. Kamu baca dulu,” ucapnya sambil menyodorkan kertas itu kepadaku. “Apaan nih, Mas?” tanyaku sambil mulai mencermati setiap tulisan di kertas-kertas itu dan membukanya perlahan- lahan. “Masih inget yang aku bilang ke kamu tentang ajakan kepada penulis blog untuk membukukan tulisannya?” Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Rio itu, kemudian otakku mulai memproses segalanya menjadi sebuah kesimpulan. “Jangan bilang ini adalah hasil kamu blogwalking, mengamati beberapa penulis yang sekiranya mampu untuk hal itu. Iya?” Dia hanya tersenyum sambil menautkan kedua jarinya di depan hidung. “You know me right, perfectly right. Itu emang hasilnya. Dari semua nama yang ada di situ, aku minta kamu buat review juga. Tapi, dari semuanya itu aku nemu 178 satu Blog yang sangat menarik, lumayan misterius, punya pembaca pastinya, dan juga bagus.” Ia kemudian kembali menyodorkan beberapa lembar halaman hasil print tulisan akun Blog tersebut. “Nih, baca-baca aja dulu. Aku kasih waktu kamu seminggu untuk kemudian kasih feedback ke aku.” “Oke, minggu depan aku kasih hasilnya ke Mas Rio!” Aku berseru untuk menjawabnya. “Good. Kalau gitu selamat kerja lagi, Rara. Jangan lupa minum air putih yang banyak!” Aku hanya tersenyum melihatnya berjalan pergi. Semakin lama aku semakin terbiasa dengan sikapnya yang seringkali mengejutkanku dengan ucapan-ucapannya yang menyiratkan makna lebih dalam dari sekadar kata- kata. Caranya mengingatkanku untuk menjaga makan, minum, serta kesehatan hampir sama seperti dulu saat aku memperlakukan Saka. Sebetulnya aku seringkali merasa terganggu akan hal itu. Maksudku, aku seringnya mengatur, entah diri sendiri maupun orang lain, hingga tak terbiasa untuk diatur. Tapi, kemudian segala perhatian dan sikapnya yang seperti itu membuatku merasa seperti diatur, dan bisa merasakan apa yang selama ini Saka rasakan ketika aku selalu mengingatkan ~*~ ini-itu. 179 Alasan Selalu ada alasan di balik semua perbuatan. Selalu ada alasan di balik setiap ucapan. Selalu ada alasan pada semua hal yang kuyakini, bisa membuatku tetap aman dan nyaman. Dan satu-satunya alasan aku tidak pernah memberitahumu, tentang segala penyebab perangaiku, adalah aku hanya ingin kamu percaya bahwa aku baik-baik saja. Tapi ternyata aku salah... Tidak memberikan penjelasan, sama halnya dengan menyimpan bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Tidak berkata rinci tentang penyebab sebuah luka, sama saja dengan menabur cuka di atas luka yang belum sepenuhnya mengering. Hingga kemudian aku menyadari sesuatu... Untuk kemudian melangkah meninggalkanmu, mungkin aku seharusnya memberi alasan yang bisa diterima, oleh diriku dan juga dirimu. --L- 180 Hari demi hari bergulir, dan aku masih terus membaca halaman demi halaman dari bundel yang Rio berikan. Berulang-ulang kemudian melihat Blog mereka untuk memastikan segalanya dengan baik. Hingga akhirnya aku sampai pada satu akun yang begitu disukai Rio. Menarik memang, cara si penulis menuangkan segala resahnya begitu terasa nyata. Maksudku, ada nyawa yang dia berikan di setiap aksaranya. Aku saja yang baru membaca beberapa judul tulisannya seolah bisa ikut merasakan semua hal yang coba ia suarakan. Sesekali merasa sendu, sesekali merasa rindu, bahkan sesekali bisa tersipu malu. Aku mulai mencermati karyanya dengan beberapa tulisan dari Blog lain. Hingga kemudian aku baru menyadari bahwa tulisannya memiliki suaranya sendiri. Seakan-akan siapa pun yang membacanya akan langsung tahu, tulisan itu kepemilikan siapa. Aku tersenyum mendapati kenyataan itu. Pantas saja Rio tertarik dengan akun ini. Aku segera beranjak ke ruangan Rio sambil membawa seluruh hasil review selama lima hari ini. Memang belum seminggu, tapi aku sudah lebih dari sekadar yakin untuk setuju dengan pilihannya waktu itu. Baru saja aku hendak duduk, Rio sudah menodongku dengan pertanyaannya yang membuatku tercengang. “Jadi, gimana, Ra?” Aku yang tak mengira dia tahu maksud dan tujuanku ke sini hanya dibuatnya terpaku selama beberapa detik sebelum 181 bisa kembali bersuara. “Kok, kamu tahu sih Mas, kalau aku ke sini mau bahas tentang hasil review Blog itu?” Rio hanya terkekeh mendengar pertanyaanku. “Aku enggak tahu, tapi barusan kamu yang kasih tahu. Kan, aku cuma nanya jadi gimana. Maksudnya, ya jadi gimana, ada apa kamu ke sini. Gitu.” “Dih, rese! Ya, udah gini, ada beberapa yang cukup menarik memang. Tapi, aku setuju dan sangat tertarik dengan akun ini.” Aku menyodorkan beberapa lembar draf kepadanya. “Mungkin kita bisa mulai dengan dia dulu. Aku udah tandain plus dan minus akun itu. Ya, biasalah untuk sedikit ngelakuin perombakan untuk hasil yang terbaik. Itu kalau seandainya dia bersedia.” Rio tersenyum sambil melihat coretan tambahan yang sudah kububuhkan di samping tulisan-tulisan itu. “Aku tahu kamu bakal setuju sama pilihanku. Oke, jadi deal ya, kita coba dia. Hmmm... kamu ya Ra, yang ngehubungin dia. Biasalah perkenalan, melakukan penawaran, dan ngeyakinin dia untuk mengiyakan kita. Selebihnya, mengenai editing naskah dan lainnya bisa kamu serahin ke Rani aja, karena aku tahu kerjaan kamu udah banyak. Tapi, kalau urusan yakinin orang aku percaya kamu yang lebih bisa diandelin.” “Oke, kalau gitu, abis ini aku langsung coba hubungin dia.” Aku kemudian segera merapikan kembali kertas-kertas 182 yang tadi sempat berserakan di atas meja Rio. “Aku langsung balik ke ruangan berarti ya, Mas.” “Sip, thanks, Ra!” Aku segera melangkahkan kaki hendak ke luar, tetapi Rio kembali memanggil dan menahanku. “Oh, ya, Ra.” Rio tampak berpikir sejenak. Mempertimbangkan setiap perkataan yang akan dia ucapkan. “Hmmm... enggak ada niatan supaya Mamamu pindah tinggal di Jogja?” Aku mengernyit. Lagi-lagi dibuat heran dengan pertanyaan maupun pernyataannya yang kadang bisa begitu tak bisa ditebak. “Sedang diusahakan sih Mas, hehe. Kenapa? Takut aku sering cuti karena homesick? Atau, takut aku enggak bisa kerja di saat weekend hanya karena aku harus balik Jakarta?” selidikku penuh tanya. “Santai aja, Mas. Itu enggak ganggu kok. Aku kerja profesional aja.” “Enggak, bukan gitu Ra. Cuma ngerasa kasian aja kalau Mamamu sendirian di Jakarta. Kamu tinggal-tinggal gitu terus pasti Mamamu ngerasa kesepian deh.” Aku kemudian teringat akan obrolan dengan ibuku saat kemarin pulang ke Jakarta. Tentang beliau yang seringkali merasa kesepian. Tentang keinginannya untukku segera menikah dan kemudian memberikannya cucu agar ada yang menemaninya di rumah. Wow, bahkan di benakku sekarang masih tak terbersit sedikitpun keinginan untuk menikah. Lagipula aku masih sedikit trauma dengan kisah-kisah 183 percintaanku di masa lalu. Bahkan rasanya, dengan Saka aku masih merasa ada yang belum jua usai. Aku kemudian tersenyum kepada Rio. Berusaha membuatnya paham bahwa aku lebih dari sekadar mengerti akan hal itu. Namun, kadang apa yang kita mengerti bahkan kita inginkan tak bisa serta merta langsung didapatkan begitu saja. “Ya I know, gimana pun aku tinggal punya Mama. Jadi, enggak mungkin aku enggak mikirin itu. Anyway, terima kasih sudah peduli.” Usai kembali dari ruangan Rio aku segera login ke dalam akun Blog dan mengirimkan pesan kepada seseorang yang akan kutawari untuk membukukan tulisannya. Halo, perkenalkan saya Lara Alana, editor dari penerbit DreamMedia. Kebetulan penerbit saya sudah memerhatikan Blog kamu cukup lama dan tertarik untuk mengajakmu membukukan tulisan- tulisanmu. Sebelumnya, apakah ada kontak yang bisa saya dapat untuk mempermudah komunikasi? Salam :) Sambil menunggu balasan darinya aku memutar lagu dari Amigdala yang berjudul Kukira Kau Rumah, seraya kembali ke 184 naskah yang sedari tadi sudah menunggu untuk diedit. Kau yang singgah tapi tak sungguh. Kukira kau rumah, nyatanya kau cuma aku sewa. Dari tubuh seorang perempuan yang memintamu untuk pulang. Kau bukan rumah Aku berhenti ketika lirik kau bukan rumah kembali mengulang dan seketika memenuhi isi kepalaku. Rumah itu apa? Sebuah tanya kemudian menyeruak, dan segera aku pikirkan untuk menemukan jawabannya. Yang aku tahu, rumah adalah tempat di mana aku bisa merebahkan lelah. Tempat di mana aku menyusun segala cita- cita dan harapan. Rumah adalah awal untuk aku melakukan perjalanan, serta akhir untuk kemudian dijadikan tempat menuai segala pelajaran. Tapi, sebenarnya apakah rumah hanya berupa tempat di atas tanah? Atau, pada seseorang yang mengaku-aku sebagai tempat untuk pulang? Tak sampai sepuluh menit, sebuah pesan masuk ke inbox Blogku. Ternyata sebuah balasan dari dia yang tadi kukirimi pesan. Hai, Mbak Lara, perkenalkan juga nama saya Riana. Ini nomer saya 08xxx 185 Aku segera mencatat dan menambahkan nomornya pada kontakku, lalu mulai menghubunginya via salah satu aplikasi chatting. Halo, Riana, saya Lara. Jadi begini, seperti yang tadi sudah saya bilang tentang membuat buku. Apakah kamu berminat dan bersedia untuk itu? Halo juga Mbak. Waw? Ini enggak bercanda kan, Mbak? Apakah saya terlihat seperti sedang bercanda? Oh well, enggak mungkin keliatan karena kita hanya sebatas chat. Tapi, bisa saya pastikan bahwa saya tidak sedang bercanda :). Tapi, saya enggak yakin Mbak, untuk nulis buku. Tanggung jawabnya besar, sedangkan kemampuan saya untuk menulis kayaknya masih enggak ada. 186 Mengenai kemampuan menulis bisa dilatih kok, asal mau belajar. Sekarang mah intinya bersedia atau enggak untuk menulis bukumu sendiri? Mbak percaya sama saya? Kalau saya enggak percaya sama kamu, enggak mungkin saya menyapa kamu lebih dulu. Jadi, iya atau enggak nih? :)))) Nggg... lya deh Mbak, saya coba. Oke, kalau gitu kamu bisa langsung mulai bikin outline dan gambaran singkat mengenai isi buku dan apa yang mau kamu sampaikan. Kalau udah langsung email aja ke ranianggia@dreamedia.com. 187 Ada deadline enggak ya, Mbak? Oh, santai aja. Saya menyesuaikan kamu aja. Tapi, lebih cepat lebih baik sih. Oke deh kalau gitu, Mbak. Paitnya, seminggu dari sekarang ya Mbak, makasih sebelumnya. Oke, siap. lya kembali kasih ~ Aku tersenyum puas karena akhirnya berhasil membuat Riana percaya untuk membuat buku. Aku kemudian mengetuk-ngetuk meja sambil memandangi chat yang baru saja usai itu. Aku merasa ada yang terlupakan tapi teramat penting untuk ditanyakan, hingga kemudian aku menepuk jidat karena baru saja berhasil mengingatnya. “Rani! Email lu masih ranianggia itu kan?” “Yoi! Kenapa? Projekan itu deal?” Rani melongok ke arahku dari balik laptopnya. 188 “Tyalah, Lara. Masak gitu aja enggak deal.” “Sadis, pantes Bos sayang banget sama lu.” “Yaelahhhh... Ranii hebat amat deh. Biasa aja, dan gue yakin lu juga bisa ini tuh hal yang enggak hebat- kalau ginian doang mah. Dan satu lagi, ini tuh enggak ada hubungannya kali sama sayang-sayangan!” jawabku kesal. Rani hanya tertawa menanggapi ucapanku. Ia mengerti bahwa aku memang tidak suka jika diledek mengenai hubungan asmara. “Kapan outline dikirim Ra?” “Maksimal minggu depan, katanya. Nanti gue bantu tagih kalau dia belum ngirim juga.” a Bandung sedang diguyur hujan, sejak semalam “Sip, santai Ra.” tak mau reda. Mungkin Jibril sedang tak rela, aku \/ pergi malam ini ke Jogja. Dan terbangun hari ini, terasa berbeda. Ada senang yang menunggu namun resah sedikit menganggu. Ibu dan adik-adikku akan aku tinggalkan lebih lama dari biasanya kepergianku. Meski begitu, tak tampak dari mereka terlihat sedih atau berat aku akan pergi. Mungkin mereka sudah terbiasa tanpa aku. Menganggapku hanya hiasan di rumah yang tak pernah memerhatikan mereka. Resah seperti itu senang sekali mengejekku saat seperti ini. 189 “Kak, katanya besok mau ke Jogja lama?” Saat aku tengah membuat teh panas kemarin malam di dapur, Putri, adik terkecilku bertanya. “lya, kamu jangan nakal ya!” Hanya itu yang bisa aku katakan kepada Putri. “Ye, Putri mah enggak pernah nakal. Bersyukurlah, Kak,” ucapnya seraya meninggalkanku di dapur. Perbincangan singkat yang malu-malu, tapi sama-sama menyembunyikan senyum, “Ngapain aja tuh di Jogja, Kak? Bikin kafe, katanya?” Giliran Permata bertanya kepadaku sekembalinya aku dari dapur. “lya, bikin tempat nongkrong gitu.” Aku menjawab. “Kalau Permata ke Jogja mau main ke tempat Kak Saka ya!” Permata berseru. “Boleh dong, kamu bebas mau pesen apa aja di sana.” Mendengar ucapan itu, ibuku tersenyum dari ruang tengah. “Udah disiapin barang-barang yang mau dibawa?” Tbuku memastikan. “Belum, hehe. Besok aja. Tapi, udah tahu apa aja yang mau dibawa.” Aku menjawab seraya duduk di sebelahnya. “Disiapin dari sekarang atuh. Jangan kebiasaan nanti- nanti. Ntar malah ada yang kelupaan kalau keburu-buru.” Ibuku mengingatkan lagi. “Mah, Mamah pernah kepikiran enggak sih kalau Saka bakal jadi apa?” Aku tiba-tiba bertanya. 190 Ibuku jelas terkejut dengan pertanyaan seperti itu. “Hah? Hemm...” Ibuku terlihat tengah berpikir. Mencoba menemukan harapan tentang aku pada isi kepalanya yang mungkin sudah lama beliau lupakan. “Hmm... Iya, yah, Mamah enggak pernah kepikiran pengen kamu jadi apa. Hahaha. Mamah cuma selalu pengen kamu teh jadi anak yang bageur secara kamu anak paling gede. Udah itu aja. Tapi dulu, almarhum Bapak pengen banget kamu jadi ustad. Hahahaha. Pengen kamu bisa jadi role model buat banyak orang dan mengajak orang-orang ke arah yang benar, katanya.” Ibuku bercerita dan tertawa. Aku ikut tertawa. Diam-diam ada rindu yang ikut duduk di antara kami. Seolah Bapak juga sedang ikut tertawa. Tapi, entah tertawa miris atau manis melihat aku sekarang. Melihat aku yang hanya bisa menyakiti perempuan-perempuan. Melihat aku yang tidak bisa mengayomi dan memperhatikan adik-adikku. “Tapi, buat Mamah mah, ibadah kamu dijaga enggak bolong-bolong aja udah cukup. Sisanya, kamu enggak menjadi penyebab luka buat orang lain. Itu aja, kok.” Ibuku menasihati. Namun, kalimatnya yang lembut mampu menusuk nuraniku berkali-kali. Melukai, tidak bisa bisa terhindarkan olehku sebagaimana pun aku mencoba untuk tidak. Tuhan, nurani, dan semesta bersekongkol membuatku melakukan hal itu. Siapa yang sangka ternyata aku hanya menjadi tempat 191 perjudian rasa? Tuhan dengan indah membolak-balik hati manusia. Kita hanya mampu membolak-balik keadaan agar tak terus terjerumus pada kesedihan. “Inget, nanti di sana jaga diri. Temenan sama siapa aja, jangan terlalu tertutup sama orang lain. Siapa tahu mereka bisa membuka jalan rezeki kamu. Tapi, juga jangan terbuka sama hal-hal yang buruk. Kamu harus cukup bijak untuk menutup diri dari keadaan yang bikin kamu enggak baik.” Seperti itu nasihat ibuku sebelum kepergianku ke Jogja. Nasihat kepergian tidak pernah membuatku tenang, meski senang ada yang mengkhawatirkan aku. Tapi, aku selalu lebih tenang jika harus pergi dengan ucapan kepergian sederhana, “Hati-hati.” Ucapan kepergian tak seharusnya panjang bak puisi. Karena setiap kata, hanya mampu memporak-porandakan dada dan membuat degup hanya semakin bergemuruh tak keruan. Aku tersandar di kursi kamarku, menatap layar kosong Setiap kata dalam kepala sedang berebut untuk diurai menjadi sebuah prosa. Jariku bersiap untuk tunduk pada nurani, perihal apa yang ingin disampaikan. Entah kali ke berapa, entah malam ke berapa, renung menjadi pelarianku dari semua kecewa. Renung selalu menjadi tempat rahasia terbaik, 1g2 untuk aku berbincang dengan sepenuhnya diriku. Karena tak ada siapa pun selain diriku. Dalam renung, aku menemukan banyak jawaban yang pernah hilang. Jawaban yang kucari di luar, malah aku temukan dalam diriku sendiri. Mungkin, jawaban tak pernah hilang. Hanya aku saja mencarinya di tempat yang tidak tepat. Hanya, aku saja yang terlalu memaksa, terlalu menginginkan jawaban itu ada di luar. Hanya agar aku mempunyai alasan, untuk mencari ke luar. Bukan ke dalam diriku. Dalam renung, aku menemukan diriku yang salah, yang mau mengakui, meski berbisik. Dalam renung, aku menemukan syukur, yang malu-malu ingin aku ucapkan. Dalam renung aku meyakini, bahwa untuk mengerti, aku butuh sepi. 193 Ya, memang begitu bukan? Sepi dan renung sepatutnya bisa menjadi kolaborasi indah untuk membuat perhelatan syukur. Tentang semua hal yang sudah terjadi. Tentang kejadian-kejadian yang membawaku sampai hingga titik ini, Kemudian, berserah pada apa yang akan disuguhkan esok menjadi sebuah kunci agar langkah dapat melenggang dengan penuh yakin. Eleftheriana: Kali ini apa yang sedang kamu syukuri? Itu pesan masuk dari Eleftheriana. Aku tersenyum. Sudah kuduga dia akan mengirim pesan. Seolah aku sudah tahu, ataupun kalau aku jadi dia, mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Aku: Banyak :). Eleftheriana: Tentu saja banyak yang kamu syukuri, tidak mungkin sedikit. Kasih tahu. Aku mungkin bisa ikut bersyukur. Ayo, kita lihat apa saja yang bisa kamu syukuri. Bibir ini tak tahan untuk mengembangkan senyum. Teringat percakapan perihal kepergian saat itu. Saat aku kira dia akan tersinggung lalu menghilang dan tak akan pernah menyapaku lagi. Oh ya, permikiran sentimental. Tapi betapa tidak, ceritaku saat itu sedikit menyudutkannya bahwa dia 1904 harus bersyukur karena orang-orang yang meninggalkannya tidak mengatakan yang sebenarnya. Lalu kukira, meski dia tidak akan menghilang, setidaknya butuh waktu lama untuk dia membaca pesanku, memikirkan dan merenungkannya. Kala itu ternyata tidak lebih dari satu menit pesanku dibalas olehnya. Eleftheriana: :) Kamu benar. Aku tidak pernah memikirkan sejauh itu. Mungkin aku terlalu egois untuk terus merasa benar, seolah hanya aku yang hanya berjuang. Padahal aku, yang terlalu merasa berjuang sendirian hingga tak menghargai perjuangan mereka yang akhirnya pergi. Oh, terima kasih! Kamu menyelamatkanku! Yah, seperti itu. Sejak saat itu kami semakin akrab dan semakin banyak bercerita. Semakin sering menulis bersama. Dia bahkan selalu menagih jika aku sedikit lama mengiriminya saat giliranku untuk menulis pertama. Eleftheriana: Hey, kamu sedang menulis puisi? Lama sekali memikirkan apa yang kamu syukuri. Pesan masuk lagi. Aku terbahak membacanya karena melamun mengingat pesan darinya kali terakhir. 195 196 Aku: Tentu saja, karena tidak sedikit bukan :)) Hemm, aku bersyukur atas keluargaku yang baik-baik saja. Aku bersyukur bisa mengejar mimpiku. Aku bersyukur mendapat pemahaman baru. Aku bersyukur mendapat teman baru sepertimu. Aku bersyukur masih bisa bernapas. Aku bersyukur baru saja makan malam dengan sate padang. Aku bersyukur masih hidup. Aku bersyukur akan rezekiku hari ini. Aku bersyukur karena semua indraku masih normal. Aku bersyukur. Sial, banyak sekali. Aku kebingungan. Hahaha. Eleftheriana: Sate padang? Ah, kamu bikin aku lapar. Aku senang mendengarnya. Lucu bukan, ketika kita benar-benar ingin menyebutkan apa saja yang bisa kita syukuri, hingga ke titik-titik terkecil pun kita bahkan merasa harus disyukuri. Akhirnya, kita sadar bahwa kita sangat jarang untuk benar-benar bersyukur. Hehe. Aku: Ya, kamu benar. Anw, kapan kamu akan kasih tahu nama kamu? Atau, mungkin kita harus ketemu? Ada sedikit jeda hingga pesanku dibalas. Eleftheriana: Kamu percaya, kalau pertemuan kita di laman maya adalah hasil tarik-menarik gelombang atau getaran yang ada di diri kita? Aku: Hmm... ya! Aku suka teori itu. Eleftheriana: Jadi, kamu percaya, bahwa entah kamu atau aku yang akan ditarik pada satu pertemuan yang lebih hebat dari sekadar pertemuan kita sekarang? Aku: Bagaimana jika semakin kuat tarikan semakin jauh kita? Gelombang saat ini tidak membuat kita saling menjauh bukan? Eleftheriana: Hm, tapi dari tempat aku dan kamu sekarang. Siapa yang tahu? Aku: Ayolah, sejak awal kita tidak pernah mengajak jarak untuk ikut campur bukan? Jangan libatkan itu. Nanti malam aku akan pergi, untuk beberapa bulan. Eleftheriana: Waw. Apa itu kepergian yang baik atau buruk? Aku: Baik untuk aku, tidak baik untuk ibu dan adik- adikku. Eleftheriana: :) Aku yakin. Jika itu baik untukmu, maka akan baik juga untuk mereka. Ayolah, bersemangat. Aku yakin kepergianmu ini untuk hal yang besar bukan, hingga keluargamu harus kamu tinggalkan untuk beberapa bulan itu. Aku: Terima kasih :) 197 Selesai berbincang, aku mulai memasukkan pakaian dan barang yang sudah aku siapkan sejak malam ke dalam tas keril milikku. Melipatnya perlahan, menatapnya satu-demi satu karena saat ini, barang yang aku bawa lebih banyak dari kepergian biasanya. Setelah mengepak semua barang, aku menyelesaikan beberapa pekerjaan final sebelum mengirimnya ke klien. Hingga sore tiba, aku berpamitan kepada ibu dan adik- adikku. Sengaja aku tidak memicu seolah ini akan menjadi kepergian yang lama. Pamit yang seperlunya seperti kepergian biasanya. Aku menuju stasiun. Teringat pada kepergianku terakhir kalinya yang membawa pulang setumpuk kebahagiaan. Semoga kepergiaan kali ini akan membawaku pada kebahagiaan yang lebih. Pada makna-makna lain yang harus aku ungkap. Pada pemahaman-pemahaman baru yang semakin mendewasakan. Amin! Sudah beberapa minggu aku jarang berada di kantor untuk duduk mengedit naskah, melakukan pekerjaanku yang bisa dikerjakan dari balik meja, atau sesekali menuliskan postingan terbaru di laman Blogku. Hari demi hari kulalui dengan kesibukan yang 198 tampaknya semakin menjadi-jadi. Menyenangkan memang bila bekerja di luar ruangan. Tapi, entah mengapa aku rindu saja dengan suasana kantor. Untuk sejenak duduk santai sambil menikmati teh atau kopi. Bahkan rasanya aku sudah ketinggalan banyak sekali info atau gosip dengan Rani. Rani sendiri tampaknya sudah sibuk dengan tugas baru yang Rio berikan, terkait dengan Riana, si Blogger itu. Tidak sampai seminggu, outline sudah resmi dikirimkan. Bahkan Riana membawa ide baru untuk melakukan kolaborasi tulisan dari dua sudut pandang. Sesuatu hal yang sudah teramat jelas langsung disetujui oleh Rio. Lelaki itu selalu suka dengan ide-ide segar dan baru memang. Mengingat Rio rasanyaaku sudah mulaimerindukan waktu-waktu saat bisa bertukar cerita dengannya tentang pekerjaan, Sebuah hal yang tak pernah bisa aku lakukan dengan Saka. Selama dengan Saka, aku memang hanya sebagai pendengar, bukan pencerita. Saka seolah tak peduli dengan keseluruhan pekerjaanku. Bahkan aku berani bertaruh, seingatku dia tak pernah tahu di mana aku bekerja. Dia bahkan memang tak pernah menanyakannya. Yang Saka tahu hanya aku seorang editor, dan bekerja di penerbitan. Sudah sampai di situ saja, tidak lebih tidak kurang. Aku sedang makan siang seorang diri dengan salah satu menu kesukaan Saka, sop ayam Pak Min. Sebuah keisengan muncul di kepalaku. Segera kuambil ponsel dan mulai 199 mengambil gambar sop ayam ini. Memotretnya dengan angle sebaik mungkin untuk membuat Saka kesal karena tak bisa menikmati. Usai memfoto, aku tersenyum-senyum sendiri mem- bayangkan ekspresi Saka. Segera aku beralih ke salah satu aplikasi chatting dan mencari nama Saka untuk langsung mengirimkan foto yang tadi kuambil. Saat aku tengah memilih foto dan hendak mengirimkannya, aku baru sadar bahwa aku tak seharusnya menyapa Saka. Tapi, kenapa? Sebagian diriku mempertanyakan hal itu. Aku langsung meletakkan kembali ponselku di dalam tas. Buru-buru menyantap sop ayam ini, dan berpikir untuk bergegas balik ke kantor. Kembali menduduki kursi kesayanganku yang sudah lama kurindukan. a “Kenapa lu, Ran? Muka kusut banget gitu, baru juga kemarin gajian,” selorohku saat baru kembali dari istirahat makan siang dan hendak menuju meja kerjaku. Langkahku terhenti saat melihat Rani yang sedang menatap kertas sambil mengacak-acak rambutnya. Rani kemudian menengadah sambil menatapku kesal. “Pusing nih gue sama projek yang itu. Oh, ya ntar setengah jam lagi rapat redaksi, Ra.” 200 “Ha? Rapat? Siang-siang gini? Baru juga Selasa, kok udah rapat aja. Emang ada apaan sih?” “Genting pokoknya deh. Ntar lu tahu juga. Gue ke ruangan Rio dulu ya.” Rani kemudian bangkit sambil membawa setumpuk kertas yang kutebak adalah naskah yang baru saja dia print, dan mungkin menjadi permasalahan yang akan dibahas pada rapat nanti. Aku segera meletakkan barangku di meja lalu beranjak menuju tempat rapat. Aku memandang sekeliling karena belum menemukan siapa-siapa di meja rapat. Ah ya, perlu kuberitahukan kepadamu bahwa kantorku bukan seperti perkantoran yang penuh kaca dan lantai bertingkat. Kantorku hanyalah sebuah rumah tak bertingkat yang ruangan kerjanya hanyalah kamar-kamar yang telah disulap menjadi sedemikian rupa. Tempat rapat yang dimaksud sendiri hanyalah sebuah meja di ruangan terbuka. Letaknya di bagian belakang yang dekat dengan taman, serta tepat di depan ruangan Rio. Bisa dibilang ini adalah tempat favoritku dan beberapa orang lainnya. Ya, redaksiku di Jogja ini hanya berjumlah tujuh orang. Kami memang hanyalah tim kecil, dan kepindahanku di sini memanglah untuk membantu menghidupkan kembali sendi-sendi di anak group penerbitku. Aku dan beberapa orang lainnya sering menghabiskan waktu bekerja kami di sini. Sibuk dengan pekerjaan masing- masing, sesekali menghilangkan jenuh dengan saling 201 melempar canda. Nanti jika penat benar-benar melanda, kami hanya perlu memandang ke taman sambil sesekali melihat langit yang terkadang cerah namun tak jarang menitikkan berkah air hujannya. Aku melirik sekilas ke dalam ruangan Rio, dengan Rani yang sedang duduk di hadapannya. Keduanya sama- sama diam, terlihat sedang berpikir keras sekali untuk menyelesaikan masalah yang entah apa itu. Aku sebetulnya begitu penasaran, tetapi biar sajalah toh nanti semuanya akan dibicarakan dalam rapat kali ini. Melihat mereka berdua yang hanya terdiam tetapi keningnya berkerut-kerut membuatku ingat kejadian antara aku dan Saka sesaat sebelum dia mengantarkanku ke stasiun. Aku berusaha mengenyahkan bayangan itu jauh-jauh, sebab seharusnya tak perlu lagi hal itu memerangkapku. Toh, hubunganku dengan Saka sudah lebih dari sekadar baik. Baik tapi tetap tak bisa saling bertukar kabar. Aneh memang. Aku juga tak mengerti kenapa tak berani untuk menyapanya lebih dulu. Sebuah ide tulisan kemudian melintas di kepalaku setelah tadi terbayang kejadian antara aku dan Saka. Beruntunglah aku membawa buku catatanku, maka di sanalah aku menuangkan segalanya. Lumayan daripada aku tak mengerti harus melakukan apa sembari menunggu waktu rapat tiba. 202 Kita yang Tak Tahu Apa Kita ini apa? Sedang sama-sama menyembuhkan luka atau diam-diam menabur duka? Kita ini apa? Sedang sama-sama berjuang atau hanya aku yang mencoba bertahan? Kita ini apa? Sedang mencari kesempurnaan atau belajar menerima kekurangan? Kita ini apa? Sedang menyamakan langkah atau justru memaksakan langkah agar beriringan? Kita ini apa? Sedang mencari pemakluman atau saling menyalahkan? Ketahuilah, aku sudah lelah mencari-cari kejelasan dari kita yang sekarang tak lagi aku tahu sebagai apa. Dan kepada kamu yang baru saja mematahkan harap, haruskah segalanya berakhir tanpa ada lagi tatap, hingga tak lagi perlu ada pertanyaan, kita ini apa? --L-- 203 “Ra, mau kopi enggak?” Aku yang baru saja menyelesaikan tulisanku tiba-tiba ditawari kopi oleh Ardi, sang desainer cover dan ilustrasi- ilustrasi. Aku selalu suka dengan desain Ardi yang ciamik. Ia terlihat tengah mengaduk cangkirnya sambil berjalan menuju meja rapat. “Makasih Mas Ardi, tapi aku masih kenyang. Baru abis makan tadi, hehe,” kataku sambil mengusap-usap perut. “Biar melek, Ra. Bentar lagi rapat soalnya, lumayan buat fokus mikir juga. Si Rani masih di dalem ya?” tanyanya sambil mengarahkan cangkir yang dia pegang ke arah ruangan Rio. Aku mengiyakan pertanyaannya dengan sebuah anggukan. “Kasian juga tuh anak,” lanjut Ardi. Aku menaikkan sebelah alisku tak mengerti mengapa harus kasihan dengan Rani. “Kasian kenapa, Mas? Emang ini mau rapat apaan sih?” “Lah, emang kamu enggak tahu?” Ardi justru balik bertanya kepadaku. Aku hanya menggeleng karena memang tak mengerti apa maksud dari rapat ini. Sepertinya, memang hanya aku satu-satunya yang tak mengerti apa yang sedang terjadi. “th, kasih tahu, Mas. Aku kok kayaknya kudet banget ya.” “Wajarlah Ra, beberapa minggu ini kan emang kamu yang paling sibuk dan jarang ada di kantor. Aku juga baru tahu kabarnya tadi pagi. Itu juga kebetulan pas aku lagi ngasih liat 204 Rani desain cover. Eh, dia malah curhat.” Ardi bercerita. “Dih, tuh anak ya. Padahal mejanya sama aku hadep- hadepan tapi enggak cerita apa-apa. Terus, masalahnya apa sih?” Aku kembali bertanya. “Ttuloh yang si Riana, Riana itu. Katanya, sih naskahnya enggak sesuai outline yang udah disetujuin sama Rio.” “Ha? Maksudnya, Mas?” Belum sempat Ardi menjawab pertanyaanku, Rio dan Rani sudah bergabung bersama kami. Seperti biasa, Rani duduk di sampingku sambil tangannya langsung mengambil keripik yang tersedia di meja. Aku hanya memandanginya dan Rio bergantian, berharap segala ketidaktahuanku segera terjawab. “Oke, jadi gini temen-temen, seperti yang kita tahu tentang naskah si Riana itu, gimana...” “Apaan seperti yang kita tahu? Aku enggak ngerti apa- apa, dih. Jelasin dulu, jangan langsung ke intinya. Aku cengo yang ada ntar.” Belum selesai Rio berkata, aku sudah lebih dulu menyelanya karena tak rela menjadi pihak yang tak mengerti apa-apa. Rio melirikku kemudian mengalihkan pandangan ke Rani. Yang ditatap hanya balik melihat Rio kemudian menggeleng. “Tya, Lara belum tahu. Aku belum sempet cerita,” Rani menambahkan. “Oalah.” Rio kemudian memejamkan matanya sebentar 205 sambil memijat pangkal hidungnya. “Jadi, gini Ra, kamu inget si Riana? Yang dari Blog itu.” Aku hanya mengangguk dan menatap ke manik matanya lekat, memintanya terus melanjutkan ucapannya. Satu- satunya penulis yang bernama Riana yang sedang kami kerjakan naskahnya setahuku memang hanya satu orang. “Nah, kemarin dia baru aja ngirimin naskah bab pertamanya ke aku sama Rani. Dan... naskahnya itu enggak sesuai dengan apa yang dikatakan di awal ke Rani, pun pas lagi ketemu sama aku waktu itu. Ya, intinya enggak sesuai dengan outline yang waktu itu dia ajukan.” Rio menjelaskan “Bentar, bentar, enggak sesuainya tuh karena apa? Alurnya berubah? Kalau hanya tentang alur mah enggak apa kali. Coba minta dia mengoreksi outline-nya lagi aja,” saranku. “Bukan itu, Ra,” kini Rani mulai berbicara, “tapi, perjanjian di awal kan dia bilang tulisannya akan berupa prosa atau senandika. Nah, ini naskah yang dia kirim malah novel.” Rani kemudian menyodorkanku naskahnya di hadapanku. Aku segera mengambil naskah itu dan membacanya sekilas, membalik halaman per halamannya. “Menarik,” pikirku. Setiap kalimat tersusun dengan apik. Caramembahasakan perasaan dan gaya bahasanya tidak sama seperti kebanyakan orang. Tidak terlalu berat seperti sastra klasik, tapi tak bisa disebut ringan untuk bacaan anak remaja. 206 “Coba deh gue liat outline-nya, Ran.” Rani kemudian memberikan draf outline Riana kepadaku. Tak ada satu pun yang berbicara, seolah menghargaiku untuk membaca dan memahami duduk permasalahannya. Aku kemudian beralih membaca outline, dan menilai kesesuaiannya dengan naskah yang tadi sedang kubaca. “Tak ada yang berbeda,” pikirku. Tak ada yang bisa menimbulkan masalah seharusnya. Karena, sejujurnya naskah ini memang baik-baik saja. Aku kemudian meletakkan naskah dan outline itu berdampingan di hadapanku. “Secara garis besar, outline dan naskahnya sama. Alurnya sesuai, hanya beda pada jenis tulisannya aja. Ini bukan masalah, guys. Bahkan aku enggak ngerti kenapa kalian membuat ini seolah-olah jadi sebuah masalah yang genting dan superbesar.” Rio menghela napas dan menyandarkan tubuhnya pada kursi, berusaha setenang mungkin untuk kemudian menjawabku. “Salah satu alasan aku menawarkan dia adalah karena dia fasih nulis prosa atau senandika gitu, Ra. Yang mana selera pasar juga lagi rame di situ. Kalau dia malah ngasih kita novel, ya buat apa. Gini, maksudku tanpa maksud merendahkan atau mengucilkan kemampuan menulis dan naskah itu ya. Tapi, yang aku liat pembacanya adalah orang- orang yang menyukai tulisan-tulisan prosanya.” Aku masih diam memikirkan kata-kata Rio, entah kenapa 207 aku justru yakin karya ini akan jadi sesuatu yang menarik. “Gimana ya, Mas? Gini loh, kalau diliat dari tulisannya aku pribadi sih suka ya. Maksudku, ini menarik, sesuatu yang keluar dari zona nyaman penulis sendiri. Kalau kamu khawatir dengan pembaca mereka, justru aku malah ngerasa pembaca mereka akan tertarik dengan karya ini. Apa ya, kasarnya sih kalau mau baca prosa mereka mah gampang, di Blog juga ada. Enggak perlu bayar, bisa langsung copy- paste juga kalau mau dijadiin caption atau status di medsos. Tapi ketika novel, mereka pasti bertanya-tanya dong, wah kayak apa ya jadinya. Itu justru akan membuat pembacanya penasaran.” Ardi yang sedari tadi diam pun kemudian berbicara. “Yang Lara bilang bener juga sih. Akan ada ketertarikan ketika kita menyuguhkan yang berbeda dari sosok yang biasanya mereka liat karyanya sebatas prosa, senandika gitu- gitu.” Aku tersenyum karena akhirnya ada yang sependapat denganku. “Dan menurutku, kenapa enggak kita coba aja? Which is apa yang sedang mereka usung ini juga bukan hal yang terbilang bener-bener baru gitu. Mereka masih berkutat di genre romance. Yang mana itu selalu awet sepanjang masa, kan? Masuk toko buku aja. Kita bisa banget nemuin teenlit dan bacaan fiksi lainnya yang masih mendominasi pasar, then why not?” Aku menambahkan. Dari raut wajahnya, Rio terlihat sedang menimbang- nimbang seluruh pernyataanku. “Tapi, Ra...” 208 Aku sudah mulai jengah dengan kata tapi yang selalu Rio ucapkan. Yang selama ini aku tahu Rio adalah orang yang selalu optimis. Namun, mengapa di saat seperti ini justru keraguan yang selalu dia coba tampilkan. Aku dibuatnya menjadi gemas oleh sikap itu. “Well, mereka ini masih baru loh untuk menulis buku. Tugas kita adalah bikin mereka nyaman dulu dalam menulis. Nah, kalau dalam proses kepenulisannya mereka nyamannya kayak gini, ya udah tinggal dilanjutin aja. Sekali lagi aku ingetin, alurnya masih sesuai dengan outline. Masih sama semuanya dengan outline. Yang beda hanya gaya tulisannya aja. Udah itu aja.” Rani kemudian angkat bicara. “Gue sebenernya enggak masalah sih, Ra, mau mereka prosa apa novel.” “Nah, tuh kan, lu enggak masalah,” selaku di tengah ucapannya. “Bentar dulu, gue belum selesai ngomong, ih.” Rani kemudian menepuk bahuku pelan. “Tapi, gue nyerah deh buat nanganin mereka. Karena, apa ya? Dari awal sebenernya gue kayak enggak ada chemistry gitu ke mereka juga ke naskahnya yang dikerjakan pake dua sudut pandang gini. Gue harus nanganin dua isi kepala sama dua ego dalam satu waktu secara bersamaan. Belum lagi gue juga harus nanganin ego dan isi kepala gue pribadi gitu. Gue ngerasa enggak sanggup aja, Ra. Novel aja udah nguras otak, ditambah gue harus berada di tengah, di antara mereka. Kayak apa ya? Gue 209 ngerasa enggak mampu, serius deh.” Aku memicingkan mataku ke arah Rani. “Ya, elah Ran, ini tantangan malah buat lu. Kalau lu berhasil ngelewatinnya, besok langsung jadi direktur deh lu.” Sengaja aku meledeknya untuk membuat suasana menjadi sedikit lebih cair. Rani yang sedang meminum air mineralnya justru tersedak dengan ucapanku. “Sori Ra, tantangan kata lu? Sebelah mananya tantangan? Ra, ini dua sudut pandang, loh. Gue baru pertama kali ngerjain yang kayak gini. Berisiko juga, njir. Kalau pembaca malah bingung gimana? Enggak usah sampe pembaca deh, kalau guenya sendiri aja bingung gimana?” “Lah, di situlah tugas lu bekerja, Rani.” Sejujurnya aku sudah gemas dengan Rani yang selalu saja bisa berkilah dan memberikan alasan ini dan itu. “Itu tugas lu sebagai editor sekaligus pembaca pertama mereka. Gimana cara lu bikin pembaca jadi paham dengan tulisan yang mereka buat. Rani, serius deh ini asyik. Kalau lu menikmati prosesnya, pas udah selesai lu malah bakal ketagihan untuk ngerjain yang kayak gini lagi.” “Tbu Lara Alana yang paling cantik, mengertilah bahwa kerjaan gue bukan ini doang. Ini tuh hal baru dan otomatis gue harus fokus dong ke situ. Gue takutnya sebagian waktu gue akan tersita secara penuh ke situ, sedangkan gue enggak cuma ngurus ini aja, kan?” Rani masih berusaha meyakinkanku dengan alasannya. 210 “Gimana ya, gini loh yang ada di pikiranku tuh....” “Gini Ra, bener apa kata Rani. Pengerjaan naskah ini emang akan memakan proses dan waktu yang lama, editing- nya apalagi. Dan, kita enggak tahu, bahkan enggak bisa menjamin apakah pasar akan menerima atau enggak.” Aku masih berusaha untuk meyakinkan Rani tapi Rio kemudian menyela omonganku. Aku menghela napas berat. Heran dengan kekhawatiran yang muncul di antara Rio dan Rani. Kekhawatiran yang sebetulnya tak perlu dirisaukan, karena siapa pun itu tidak pernah tahu jawaban pastinya jika sudah berbicara tentang selera pasar. “Masalah peminat, dan karya ini akan laku atau enggak, kita enggak bisa memprediksi dengan tepat kan, Mas? Maksudku, ketika sebuah karya dilempar ke pasaran, itu udah menjadi milik masyarakat. Penilaian akan berjalan dengan seiring waktu. Tugas kita yang harus memperkenalkan karya itu dengan sebaik mungkin agar masyarakat tahu dan tertarik. Something usual but different, kalau kata orang bijak sih gitu. Selama ini pasar sudah dijejelin sama prosa dan senandika yang emang lagi hype dan marak. Kita harusnya berani untuk mendobrak dan menghasilkan sesuatu yang bisa bikin orang bilang, ‘Wow, it is something,” ujarku bersemangat. Rio menautkan kesepuluh jemari tangannya di depan wajah. Tatapannya menerawang lurus ke depan, sebelum akhirnya kembali menatapku. “Hmmm... masalah selanjutnya adalah Rani enggak sanggup, Ra. Then, how to 211 solve it? Ya, menurutku mereka hanya harus balik ke prosa. Masalah selesai.” Aku tersenyum sinis menanggapinya. “Kok, balik lagi ke situ? Ini sih namanya Mas Rio belum paham dengan omonganku tadi. Kita juga enggak bisa gitu dong, Mas. Hanya karena Rani bilang enggak nyaman, enggak ada chemistry, terus kita harus ngorbanin kenyamanan penulis? Be a professional, right?” Aku memandangi Rio, Ardi, serta Rani yang masih tetap diam. “Apa ya? Buatku gini loh, Mas. Masalah awal adalah tidak ada kesesuaian genre tulisan dengan outline, kan? I know, outline tuh wajib memang sebagai rambu agar penulis enggak melenceng, dan buku bisa selesai karena sudah ada panduan. Yang dijadikan masalah di sini hanya karena jenis tulisannya yang kemudian berubah dari prosa ke novel. Udah beda di situ aja Yang aku pikirkan saat ini adalah kalau memang penulis nyaman di sini, mereka akan do the best saat menulis. Ya, udah kita juga seharusnya kasih yang terbaik ke mereka.” Hujan mendadak turun. Hawa dingin dan wangi tanah tersiram hujan seolah menjadi penenang di saat hati dan pikiran kami berempat sudah semakin panas. Rio kemudian berkali-kali menggerakan jemarinya di dagu, membenahi kacamatanya, hingga kemudian satu hela napas panjang dia lepaskan. “Kalau gitu Ra, proyek ini aku serahin ke kamu. Bukan 212 dipegang sama Rani lagi.” Aku kemudian terbelalak dengan keputusan yang tiba- tiba itu. “Lah? Malah jadi ke aku? Mas, jujur ya aku bukan enggak mau. Tapi, aku masih ada tanggungan beberapa naskah, kerjaanku masih banyak, dan semuan deadline-nya deketan. Beberapa minggu ini aja aku jarang stay di kantor. Kenapa malah jadi aku yang handle deh?” protesku dengan keputusan Rio. Sebuah senyuman kemudian diberikan Rio. Oh ayolah, tidakkah dia mengerti senyumannya saat ini tak berpengaruh apa-apa. “Aku yakin kalau kamu cinta pekerjaan ini, dan kamu mau hasil yang terbaik yang bisa kita berikan. Kamu juga yakin mereka udah do the best. Kalau gitu yang tim kita bisa kasih, dan yang terbaik juga adalah memilihkan mereka seorang editor yang memang yakin dengan proyek ini. Aku yakin kamu yang terbaik untuk nanganin ini. Kamu percaya mereka bisa, ya kita semua lebih percaya lagi bahwa kamu bisa.” Aku menggeleng sambil memijat pelipis. Mendadak kepalaku pening. Entah kenapa semua upaya yang tadi aku lakukan untuk membuat Rani yakin justru menjadi bumerang untuk diriku sendiri. Aku menatap Ardi yang diam-diam hanya tertawa melihat kesialanku. Belum usai aku menelaah dan menenangkan isi kepala, Rani ikut menambahi ucapan Rio dengan pernyataan yang 213 lagi-lagi menyudutkanku. “Gue pribadi sih ya Ra, ikhlas banget kalau lu yang akhirnya nanganin ini. Well, lu yang lebih paham konsep mereka. Nah, dari pada gue nantinya ngerjain itu semua setengah-setengah, mending lu aja yang ngerjain. Secara dari tadi gue liat juga lu sangat excited dan yakin dengan semua ini. Oh, dan masalah kerjaan lu yang lain? Itu gampanglah, nanti gue bantuin.” “Ye, sial. Seneng banget kayaknya lu,” ucapku sambil menatap Rani kesal. Melihat itu Rio justru semakin menambah gerah suasana yang seharusnya dingin karena hujan dengan kalimat- kalimatnya yang memprovokasi. “Yakin, Lara enggak bisa? Seorang Lara enggak bisa nanganin hal kayak gini?” Aku mendengus kesal karena Rio seolah mengerti kelemahanku untuk kemudian menyerah, dan mengiyakan mengambil alih tugas Rani. “Hhhh... Aku tuh enggak suka ditantang. Ya, udah iya. I will take all the risk.” “Nah, gitu dong Ra, kelar ya masalah kelar. Masih ada desain yang belum rampung nih soalnya. Rapat usai kan? Gue duluan ya, kalau gitu. Haha.” Ardi kemudian tertawa sambil berlalu pergi meninggalkan kami. Aku memandangi Rio serta Rani bergantian. Wajah mereka yang semula muram justru berganti cerah saat ini. Berkebalikan dengan hujan yang turun semakin deras. 214 “Oke, selesai ya. Rani kamu langsung forward outline dan naskahnya ke Lara. Dan kamu, Ra, langsung ke ruanganku aja. Ada beberapa hal yang masih harus kita bahas.” Aku hanya melirik ke Rio sekilas, mengangguk kemudian memilih meluruskan kakiku ke bawah meja sambil memandangi tetesan hujan yang jatuh satu demi satu. a” 215 Se CHAPTER IV “HINGGA KEMUDIAN KEMBALI MERAGU, PADA SATU TITIK YANG BERUJUNG TEMU" ;° “Semua kebutuhan operasional udah lu siapin?” Aku bertanya seraya mulai mengigit satu burger utuh yang menunggu untuk aku habiskan. “Udahhh.... Gue ama si Yuda udah ngurus semua. Mulai di drop ke sini ntar sore sampe besok, seterusnya sampe beres. Yuda ntar sorean ke sini,” balas Kevin. “Owwuwke... nawnti bewwrawrti twinggwal bwkin mwenuw awja yw,” ucapku sambil mengunyah burger. “Telen dulu kampret, baru ngomong. Kayak ngomong sama kecoak gue.” Kevin protes, sembari mulai menata ruangan yang sedang kita duduki saat ini. Sejak kedatanganku di Jogja, aku menghabiskan waktu bersama Kevin hampir setiap hari. Mengurus kebutuhan untuk membuka coffee shop, mulai dari alat-alat seduh, grinder, dan peralatan lainnya. “Udah nemu belum lu nama buat tempat kita?” Kevin bertanya. “Bewluwm,” jawabku singkat. “Ya, udah. Ya, udah, abisin dulu itu burger baru kita ngobrol lagi.” Tempat Aku dan Kevin sedang berada ini adalah sebuah ruang kosong di jajaran ruko di daerah Demangan Baru, Jogja. Sebuah tempat yang akan dijadikan coffee shop olehku bersama Kevin dan rekannya, Yuda. Kevin mendapat tempat ini dari kenalan Yuda, yang saat itu melihat peluang jika tempat ini bisa dijadikan coffee shop kecil-kecilan. 219 Tempat yang dikelilingi oleh macam-macam tempat makan, stand burger kesukaanku, dan minimarket tepat di sebelahnya menjadi perhitungan yang baik untuk membuka coffee shop di sini. Yuda adalah rekan Kevin di kampusnya bertahun-tahun yang sejak masuk kuliah merantau ke sini dari Jakarta. Bahasa Jawa kini menjadi bahasa wajib juga bagi dirinya. Yuda sudah lama pula terjun di dunia kopi sebagai barista dan roaster. Dia juga yang mengajak Kevin untuk membuka kedai kopi, hingga akhirnya Kevin mengajakku bergabung. Yuda adalah investor terbesar, pembuat konsep desain untuk coffee shop ini, sekaligus mengurus semua kebutuhan biji kopi dan semua bahan minuman yang akan dijual. Sementara, Kevin akan mengurus keuangan dan pendataan semua barang, serta membantu operasinal di bar. Aku sendiri bertugas sebagai head bar dan marketing di media sosial. “Yuda kan udah bikin desain yang sesuai bujet kita. Tinggal nama yang belum nemu nih. Yuda percayain ke lu buat bikin logo sama namanya sekalian.” Kevin mulai mengajak berdiskusi. “Terus, tujuan lu sama Yuda apaan buat bikin coffee shop ini?” Aku coba mencari bahan pembicaraan yang akan mempermudahku menemukan nama yang pas untuk coffee shop kami. “Yah, kita enggak filosofis-filosofis amat untuk masalah 220 itu. Cuma seneng sama kopi dan pengen buka kedai kopi. Udah. Makanya, kita minta lu yang coba bikinin nama. At least, setau gue kan lu deep banget nih orangnya. Hahaha. Bisalah lu mikirin konsep dan ke mana arah coffee shop kita biar lebih punya meaning,” ucap Kevin. Jujur, saat ini aku masih sangat gamang perihal nama. Entah apa yang cocok untuk coffee shop kami dengan hasil desain interior yang sudah dibuat Yuda. Aku tidak bisa terlalu banyak mengeksplorasi keterkaitan karakter interior dengan nama yang akan dipilih. “Kalau lu nih, dateng ke kedai kopi, dan ngopi, biar apa? Apa yang lu cari?” Aku kembali coba bertanya. “Biar keren, biar kaya anak-anak zaman now. Biar gampang cari jodoh gue. Hahaha. Enggak deng. Yah, karena doyan aja gue mah. Buat refreshing aja lah. Buat bantuin mikirin hidup? Biar ngobrol sama orang? Buat lepasin penat?” “Hmm.... Gue kepikiran sama bar diskotik kaya di film. Gue enggak tahu kalau di Indonesia sama apa kagak, gue belum pernah juga. Terus, beberapa bar kopi yang ada beberapa kursi di depannya. Ini cuma menurut gue. Orang- orang yang doyan duduk di kursi bar adalah mereka yang bener-bener dateng untuk ngopi dan ngobrol sama barista atau bartendernya. Atau, ngobrol sama orang-orang asing yang duduk di kursi bar juga. Mirip sama konsep warkop. Orang-orang yang ke situ pasti bisa ngobrol satu sama lain. 221 Ngomongin politik, curhat keluarganya, atau keresahan apa pun. Warkop atau bar itu sendiri sebenarnya adalah area pertumpahan keresahan, cerita, drama.” Aku bercerita. “Jadi, lu coba pengen masukin konsep yang jadul buat dijadiin modern?” Kevin memastikan. “Man, itu bukan konsep jadul! Itu konsep inti yang udah mendarah daging di setiap warkop. Di mana ada kopi di situ pasti ada diskusi keresahan. Sedangkan, modernitas justru menghilangkan nilai-nilai itu. Menurut gue sih.” Aku membalas. “Tapi Man, kalau mau ngangkat itu gue yakin setiap kedai kopi juga tujuannya enggak jauh beda. Setiap orang yang dateng, ya punya urusan masing-masing dan beda- beda. Ada yang sibuk sama gadget, game-, tugas-tugasnya.” Kevin berpendapat. “Iya, gue paham. Tapi, maksud gue bukan ke sana. Ini perihal gimmick, konsep marketing yang juga akan diaplikasikan pada nama coffee shop kita. Gimana pun customer juga doyan sama hal-hal yang punya cerita dan punya meaning. Maksud gue ke arah situ.” Aku coba membeberkan maksudku. “Ah... ya, gue paham. Jadi, apa yang ada di otak lu soal konsep kedai kopi dan keresahan itu?” Kevin menembak. “Hmm... Kita enggak cuma nyediain kopi, dan bener kata lu setiap kedai kopi pasti pengen nyediain ruang diskusi untuk keresahan, kan?” Aku berpikir. 222 “Yak, terus?” Kevin menunggu kesimpulan dariku. “Coffee and Share? Karena, kita berbagi cerita?” Aku bertanya. “Mmm... kurang ear-catchy. Terlalu dipaksain, terlalu, charity.” Kevin tidak setuju. Aku kembali melamun. Memperdalam pikiran perihal apa yang orang-orang bawa dan tumpahkan di sebuah kedai kopi. Apa yang orang-orang cari secara subjektif di sebuah ruang diskusi? “Coffee and Story?” Aku bertanya lagi. “Mmm, oke, tapi kurang. Apa ya, bagus tapi ada yang kurang aja rasanya. Cari yang lain selain story. Yang lebih menggoda dan kontroversial.” Saran Kevin. Aku coba berpikir lebih dalam dan lebih luas. Perihal cerita dan keresahan pada sebuah nama yang akan mengundang banyak tanya dan ketertarikan di saat yang sama. Sebuah kata yang dapat merayu dan membuat orang penasaran sekaligus tidak menyetujui, tapi juga setuju saat membacanya, mendengarnya, dan tanpa sadar diolah dalam otak sebagai hal menarik untuk diketahui. Aku teringat pada pertemuanku dengan Lara, pada sebuah persinggungan di atas dua kursi bar. Pada gelas-gelas kopi yang membangun sebuah cerita. Sebuah drama yang terjadi dari persinggungan macam-macam orbit manusia. “Coffee and Drama!” Aku setengah berteriak. Menunggu reaksi Kevin dengan menatap wajahnya. Dengan mulut 223 setengah terbuka seperti seorang bayi yang menunggu sesendok nasi yang sedang diterbangkan ke langit oleh orang tuanya, untuk akhirnya mendarat di dalam mulutnya. “Hahahahaha. Anjir itu lucu sih! Drama, Man? Drama banget?” Kevin terdengar bertanya-tanya dengan nada yang terdengar setuju. “Orang-orang benci drama, but still they’re doing it anyway. Orang-orang bawa drama ke coffee shop, orang-orang juga numpahin drama, dan bikin drama baru di coffee shop. Semua yang kita lakuin adalah drama itu sendiri. Hahahaha.” Aku tertawa kegirangan. Mendapatkan nama yang akhirnya membuatku menginvestasikan harapan pada sebuah identitas itu. “Setuju, sih. Orang dateng ke sini buat ngopi sama nikmatin dramanya. Drama apa pun yang disuguhin atau yang mereka cari. Atau bahkan yang mereka bawa terus dibagi-bagiin buat siapa pun yang mau ikutan sharing dramanya. Hahaha” Kami melanjutkan perbincangan mengenai harapan- harapan lain perihal tempat ini. Mengenai masa lalu yang membawa Kevin, membawa aku ke titik ini, ke tempat ini. Bagaimana pun semua luka saling mengarahkan tidak hanya pada sebuah penyesalan pun pada sebuah dendam. Jika kita cukup bisa menerima dan menertawakan luka kita, saat ini kita akan bisa bersyukur dengan jenaka. Semua hal itu adalah cara Tuhan membawa kita pada keadaan yang semakin baik. 224 Yuda akhirnya tiba dengan mobilnya, membawa perlengkapan. Kami membantu menurunkan barang-barang dari mobil. “Man, Saka udah nemu nama yang oke!” Kevin tak sabar memberitahukannya kepada Yuda. “Apaan emang?” tanya Yuda sambil membawa barang- barang di tangannya, berjalan ke ruangan yang saat ini masih berantakan. “Coffee and Drama!” Kevin berseru, lalu meletakkan barang yang dibawanya ke lantai. “Hemm...” Yuda menarik napas setelah menurunkan barang bawaannya. Meletakkan kedua tangan di pinggang, seolah bersiap menghakimi. Badannya yang besar dan gempal membuatnya terlihat semakin seram. Aku yang ada di depannya dengan barang bawaan di tangan yang disandarkan di perutku, berhenti sejenak. Melihat Yuda seperti itu, ada ketidaksetujuan yang terpancar dari wajahnya. “Seberapa yakin kalian sama nama itu?” Yuda bertanya tegas. Pertanyaan kepada kami tetapi matanya ditujukkan kepadaku. Seperti dosen penguji yang mempertanyakan apakah data yang baru saja aku presentasikan cukup valid. “Yud, itu jenius! Siapa yang bakal kepikiran tentang drama coba?” Kevin berusaha meyakinkan. Aku belum bersuara. 225 “Ya justru itu, siapa yang mau pake nama itu?” Matanya masih ditujukkan kepadaku. Mengerti bahwa akulah rahim yang melahirkan nama itu. “Justru itu, kita yang bakal pake nama itu. Saat semua orang enggak mau peduli dan enggak ngerti, kita jadi satu- satunya. Gue pikir, drama udah jadi bagian hidup kita yang coba orang-orang hindari, tapi badan dan pikiran mereka craving for it.” Aku menjelaskan sambil tersenyum, dan menaruh barang yang kubawa di depan mereka. Yuda masih menatapku nanar. Pembawaannya yang memang serius dan tegas. Cukup bisa untuk mengintimidasi orang di depannya dengan tatapannya itu. “Coffee and Drama, this is it!” Yuda mengangkat kedua tangannya. Giginya yang tak rata bersinar. Lelaki dengan rambut klimis ini sepertinya senang membuat orang tegang. “Yeaaaaah...! Bangke! Bikin tegang aja lu!” Kevin menampar pundak Yuda. “Lah, gue enggak minta lu tegang. Hahaha.” Yuda berjalan ke arah mobil, mengambil beberapa barang yang belum dikeluarkan. “Muka lu nyet kayak yang kagak setuju gitu!” Kevin mengikuti Yuda. Aku hanya tertawa melihat mereka. “Bukan gitu, gue juga perlu jawaban yang ngeyakinin, dan juga harus liat seberapa yakin lu berdua sama nama itu. So far, untuk urusan nama gue bebas-bebas aja.” Yuda 226 menjelaskan. Ada benarnya apa yang Yuda katakan. Bagaimana pun aku memang perlu meyakinkan. Eng, tidak, sebelum itu aku perlu bisa merasa teguh sebelum akhirnya bisa meyakinkan seseorang. Energi keyakinan itu bisa menular setahuku. Kami membereskan semua barang di ruangan yang masih berantakan, sebelum akhirnya esok beberapa furnitur untuk kursi, meja, dan bar akan datang. Kevin akan bertugas untuk memastikan semuanya. Sementara, aku akan membantunya dan coba mulai membuat logo tulisan dan gambar untuk Coffee and Drama. Yuda sendiri akan sering pergi mengurus kebutuhan pasokan kopi dan bahan-bahan lain untuk calon menu yang ada di sini. Setelah beberapa hari aku menumpang dan menginap di kos milik Kevin, hari ini secara sah aku mendapat tempat tinggalku. Sebuah rumah kos yang tidak terlalu jauh dari daerah Demangan, tempat Coffee and Drama. Ruang 3x3m yang hanya disediakan kasur lipat lusuh akan menjadi tempat tinggalku selama beberapa lama. Beruntung pemilik kos di sini mengizinkan untuk aku membayar per bulan. Beruntung juga kemarin aku dan Kevin sempat berbelanja seprai dan sarung bantal serta beberapa 227 peralatan lain di Mirota Kampus. Sebuah pusat perbelanjaan tempat semua orang mencari kebutuhan sehari-hari yang terkenal seantero Jogja. “Lara sedang apa ya?” Pertanyaan tiba-tiba mengetuk pikiranku. Nurani sedikit tergoda untuk menghubunginya, nalar apalagi. Apa yang sedang dilakukannya sekarang? Satu per satu pertanyaan membawa teman-temannya untuk meramaikan isi kepalaku. Kami seharusnya bertemu kembali jika Lara menghubungiku saat dirinya mengunjungi Bandung entah kapan. Kenyataan selalu memberi kejutan yang membuat manusia hanya berusaha memaklumi dan memaknai kejadiannya. Aku yang ternyata kini juga harus tinggal di Jogja, harusnya janji itu bisa kandas atau bisa aku ingkari. Menurutku ingkar janji saat ini, tidak akan melukai siapa pun. Sebagaimana pun Lara sepertinya akan baik-baik saja mendapat pesan dariku. Tapi, aku tak yakin hal itu akan membuat kami baik. Meski pertemuan terakhir dengan Lara sangat menyenangkan tapi itu semua adalah pertemuan yang kebetulan. Sekarang aku malah tidak siap jika harus merencanakan pertemuan, bahkan hanya sekadar pertemuan kalimat yang aku kirim. Aku menidurkan badan di atas sebuah seprei biru tua polos yang baru kubeli kemarin. Memandangi langit-langit yang kini mulai terlihat seperti kanvas kosong. Satu sudut 228 setengahnya aku isi dengan bayangan tentang sebuah foto yang ada aku dan Lara tengah berbincang. Setengahnya lagi aku isi dengan sebuah prosa yang menceritakan foto di sebelahnya. PELATARAN LANGIT Saat ini, kita adalah pelataran langit yang sedang tersenyum. Cahaya bintang yang berjarak ratusan juta tahun cahaya, akhirnya sampai. Mengerlipkan napasnya yang kelelahan. Setiap degupan dalam dada kita, membentuk satu per satu titik-titik konstelasi berbentuk rindu. Tak pernah kulihat langit secerah ini, bulan saja malu bersinar. Namun, bulan selalu bijak, meski tak bercahaya, bulan selalu mendoakan bintang-bintang. Lalu kita tersadar, taukah kamu bahwa akhirnya kita bisa berdampingan dan menjadi bagian dari langit, karena doa- doa dari bulan? Tapi tak perlu kamu pikirkan terlalu keras, bulan sedang tertidur sambil memimpikan kita yang tengah asyik memecah rindu hingga begitu terang. Malam ini, kita adalah langit yang tengah dinikmati jutaan malaikat. Mereka asyik menggoda kita dengan sunyinya 229 malam. Hanya agar kita bisa terdengar lebih syahdu. Tapi tak perlu khawatir, kita juga bisa menggoda malaikat. Kan, kubisikkan caranya.... Kita bersinar saja, agar malaikat penasaran apa yang kita bicarakan melalui gemerlap yang berdetak. Prosa itu meluncur saja dalam benakku, sayang aku tak memiliki foto Lara. Aku baru menyadari aku tak pernah mengabadikan satu pun gambar selama aku bersama Lara. Tiba-tiba mempertanyakan penyebabnya. Setiap hari, ke mana pun, dimana pun, kamera mirrorless milikku selalu ada dalam tas. Selalu aku keluarkan saat aku menemukan hal- hal menarik di sekitarku. Jika tidak aku yang akan membuat keadaan sekitarku menjadi menarik dengan jepretanku. Nanti, jika kami akhirnya bertemu lagi. Akan aku pastikan untuk mengambil gambarnya. Aku membangunkan diri, segera mengetikkan prosa yang sempat tadi melayang di pikiranku agar tidak terserak pada area pembuangan dalam otak. Ya, semua hal yang tiba-tiba ada dalam kepala, bisa tiba-tiba hilang sedetik kemudian. Eleftheriana: Hei, mana tulisanmu untuk kita? Sepertinya kamu sibuk dengan kepergianmu? Sebuah pesan masuk dari Eleftheriana. 230 Aku: Sepertinya begitu. Kesibukan ini agaknya menyenangkan bagiku. Eleftheriana: Aku selalu yakin ketika seseorang sibuk dengan kesenangannya, orang itu menjalaninya dengan keutuhan dirinya. Hingga lupa pada sekitar atau hingga tak menyediakan ruang untuk hal lain dalam dirinya selain kesenangan itu. Aku: Kamu benar-benar harus melihatku tersenyum. Aku suka kesal karena emoticon hanya membatasi keindahan makna yang diwakilkan itu. Eleftheriana: Sebegitu inginnya senyummu aku lihat? Aku akan melihat senyummu, tenang saja! Aku: Yah, karena... kamu perlu melihat keindahan yang nyata daripada hanya melihat, simbol dari sebuah keindahan. Eleftheriana: Hahaha. Menarik. Siapa tahu nanti aku tiba-tiba mendatangimu? Aku: Memangnya kamu tahu aku di mana? Eleftheriana: Tidak, kamu yang akan memberi tahuku. :) Aku: Sebuah “kamu di mana” yang pintar. Hahaha. Kamu harus datang ke kedai kopi milikku kalau begitu! 231 Eleftheriana: Waw, sebuah kejutan menyenangkan. Kamu memiliki kedai kopi? Aku: Yah, tidak milikku sendiri. Kepergianku ini adalah tentang kedai kopi itu. Dalam beberapa hari ke depan semoga kami sudah siap untuk membukanya. Eleftheriana: Hebat! Aku kenapa bangga ya. Katakan saja di mana kedai kopimu, mungkin aku akan mendatanginya. Aku: Coffee and Drama, daerah Demangan Baru. Jogjakarta. Kamu harus datang ke mari. Eleftheriana: :) Aku: Sial, senyum itu lagi. Aku selalu sebal melihatmu membalas hanya menggunakan emoticon itu. Eleftherian: Tenang saja, kamu akan melihatnya juga secara langsung. Kini, aku tunggu tulisanmu. Entah dari belahan bumi bagian mana dirinya sekarang tetapi sepertinya aku begitu percaya jika dia akan benar- benar datang ke kedai kopi milikku. Hingga kini aku masih tak paham, siapa dia untuk aku? Kehadirannya selalu mampu membuatku merasa baik-baik saja. Apa semua pertemuan dari dunia maya selalu seperti ini? Apa pertemuan biasa 232 tidak dapat menciptakan obrolan-obrolan seperti yang aku lakukan dengannya? Kehadirannya bahkan selalu membuatku sangat lancar untuk menulis, entah magis apa yang dimiliki dirinya. Tapi, aku akui itu sangat baik untukku, membawa gelombang yang sangat positif bagiku. Maukah kita untuk sekiranya melupa perihal duka yang pernah membawa luka? Maukah kita untuk sekiranya membuka pada rasa yang kini sama-sama ingin diungkap dan berhenti saling menerka? Tak perlu menuding siapa pertama yang mengundang atau mempersilakan, karena kita sebetulnya telah saling membuka untuk tidak lagi terbelenggu oleh ragu. Kita ada di kapal yang sama. Kita tahu arah angin. Kita punya layar yang mantap berkembang. Lalu, kita kini ada di depan kemudi, untuk kemudian berlayar. Seperti kini, tulisan begitu lancar mengalir begitu saja dari tanganku. Bahkan tanganku bertanya-tanya siapa yang menggerakannya. Tulisan projek kami berdua sudah aku berikan, tinggal menunggu balasan darinya untuk menyempurnakannya. Pernah terpikir olehku sejak kapan dirinya menulis, 233 perihal apa yang membuatnya terus terusan menulis, perihal apa yang ingin dia sampaikan ketika menulis. Namun, aku ingin sekali bertanya kepadanya saat akhirnya nanti kami benar benar berjumpa, yang entah kapan. Bagusnya, bukan aku tidak berharap, tapi aku tidak terasa tergila-gila untuk segera bertemu dengannya. Seolah perasaan ini sangat lembut dan tenang. Perasaan yang begitu mendamaikan. Bukankah kita mengerti, kita telah sama-sama lelah menanti. Rasa yang hadir pun telah kita pahami. Lantas, masih perlukah kita mencari, arah mana yang akan kita tuju untuk dijalani? Taruh tanganmu di atas kemudi, kupastikan tanganku akan selalu memeluk punggung tanganmu. Mari berlayar, menuju kejadian-kejadian yang tengah menunggu untuk dimaknai. Menuju hari-hari yang akan membuat kita saling mendewasakan. Aku, denganmu. Apa yang dimakannya? Kamus? Buku-buku puisi? Cepat sekali dirinya membalas tulisanku. Seolah dalam kepalanya terdapat mesin pengatur diksi untuk dengan mudah mencetak kalimat-kalimat yang kini tengah aku baca. 234 Di kos? Gue jemput yak. Sore mendadak telah tiba. Kevin mengirim chat untuk menjemputku kemudian menuju kedai. Jadwal kedatangan furnitur akan tiba hari ini. Aku sungguh bersemangat. Tak lama setelah aku mengunggah tulisan aku dan Eleftheriana, Kevin datang. Kami segera menuju kedai kopi kami. Kami mulai mengatur ruangan sesuai denah dan desain yang diberikan oleh Yuda. Anak itu baru datang saat malam untuk membantu kami. Bekerja bertiga membuat kami cepat menyelesaikan hampir semuanya. Tinggal area bar yang perlu dirakit keesokan harinya karena kami sudah lelah. Yuda pun pamit terlebih dahulu karena masih ada urusan yang perlu dikerjakan. Aku dan Kevin menyempatkan membeli burger kesukaan kami yang terletak hanya beberapa langkah dari kedai. Sebuah surga yang aku idam-idamkan. Aku bisa makan burger kesukaanku setiap hari. “Lu udah ngabarin Lara kalau lu di sini?” Kevin bertanya saat kami menunggu pesanan burger. “Belom, kabarin jangan ya?” Aku balik bertanya. “Lah, serah. Gue cuma nanya. Haha.” Kevin tertawa. “Ye, kampret.” Aku mencela. “Lu emang masih kepengen balikan ama dia?” Kevin bertanya lagi. 235 “Kagaklah...” Aku merespon cepat. “sombong bener. Udah bisa move on lu?” Kevin meledek. “Bukan masalah udah move on, gue lebih seneng gini aja.” Aku menjawab sedikit ragu. “Gini gimana? Diem-diem kangen? Diem-diem pengen ngabarin tapi malu disangka mau ngedeketin lagi? Hahaha.” Kevin semakin meledekku. “Bukan, Nyet! Ya.... Gini aja, masing-masing, sama-sama baik-baik aja.” Aku coba menjelaskan meski ragu. Sebetulnya aku pun tidak begitu paham. Jika memang kami memang baik, tapi kenapa mengabarinya saja aku tak berani. Apa yang sebenarnya aku takutkan? Apa sebetulnya aku memang benar-benar bisa baik-baik saja jika nanti bertemu? Apa semua perasaan baik-baik saja kemarin hanya sebuah aksi menghibur diri semata? Aku bertanya-tanya dalam kepalaku. “Lu enggak mikirin apa kalau sebenernya Lara juga mendem buat enggak ngontak lu? Atau, dia juga sebenernya pengen balikan ama lu? Lu berdua waktu di pantai oke banget loh. Bisa sebaik-baik itu padahal belum lama putus. Gue malah gemes sendiri. Kalau kalian bisa baikan gitu, kenapa kagak balikan?” Kevin memberondongku dengan pertanyaan. Aku hampir kewalahan. “Ya terus kalau bisa baikan emang mesti balikan? Lu pasti enggak pernah temenan baik lagi ya sama mantan- mantan lu? Pasti abis putus udah aja gitu jadi kagak pernah 236 ngobrol lagi? Payah, anjir.” Giliranku meledeknya. Burger yang kami pesan akhirnya datang. Kami melanjutkan obrolan sambil makan. Kali ini kami memastikan menelannya dahulu sebelum berbicara. “Bukan gitu, Sob. Tapi, kalau emang lu pengen balikan, coba usahain aja. Karena mungkin lu merasa baik-baik aja karena engak pernah ngobrol lagi ama dia. Mungkin perasaan kalian baik-baik aja itu karena terakhir kali ngobrol lu bisa baik-baik aja. Dan, sebenernya dari perasaan itu terdapat kemungkinan bagus kalau hubungan kalian bisa diperjuangin lagi.” Kevin memainkan logikanya. Kata-katanya mulai membuatku harus benar-benar memikirkan hal itu. Seolah itu adalah pernyataan yang sudah aku tunggu- tunggu untuk kembali menanyakan apa yang sebenarnya aku rasakan terhadap Lara. Seolah aku butuh dukungan bahwa sebenarnya aku memang masih menginginkan kembali berhubungan dengan Lara. “Tuh kan, diem lu. Berarti bener. Ya elah, enggak usah malu kali. Mending lu malu tapi jujur ama diri lu sendiri. Malu enggak bikin lu bahagia, Coy. Halah, lu juga pasti paham itu lah.” Kalimat kevin seolah meledekku. Seolah kini nalar sedang mengejekku dan menjulurkan lidahnya kemudian membuat muka konyol yang sangat meledek. Aku membiarkan Kevin tanpa penjelasan lebih lanjut dariku. Burger di tanganku lebih menarik untukku daripada pertanyaan Kevin meski isi kepala masih saja memikirkannya. 237 Seolah kenikmatan burger ini masih belum bisa mengalahkan kegaduhan isi kepalaku. Seolah semua hal yang sudah aku pastikan sedemikian rupa, berubah menjadi pertanyaan untuk menggugat kebenarannya. Sial, ini tidak baik. Segera setelah menghabiskan burger, kami segera pulang. Tidur adalah satu-satunya cara meredam pikiran yang tak bisa diam. Membuatnya lelap secara paksa, daripada aku yang dibelenggu untuk terlarut, dan hanya akan menyeretku pada sebuah keresahan. “Mas, Flores satu ya,” pesan salah satu customer. “Boleh, Mbak. Senengnya bold apa mau gimana?” tanya Agil. “Minta dibikin light sama sweet aja kalau bisa ya, saya enggak terlalu suka yang tebel. Hehe.” Wanita yang memesan kopi itu tertawa. “Siap, diseduh pake vo0 aja kalau gitu ya. Atas nama siapa, Mbak?” tanya Agil. “Lara. Duduk di... sebelah sana ya, Mas.” Seraya wanita itu menuju ke arah kursi di pojokan. Agil mencatat pesanan wanita itu dan menaruhnya di kertas antrian untuk dibuat berdasarkan urutan. Semua barista sibuk menyiapkan macam-macam pesanan. Coffee 238 and Drama akhirnya resmi buka beberapa hari lalu. Untuk ukuran kedai kopi baru, Coffee and Drama sudah bisa menarik cukup banyak tamu yang datang. Kami meng-hire dua barista untuk membantu operasional. Agil dan Bram, rekan kampus dan kos Kevin. Agil adalah orang Jakarta. Sedang, Bram yang namanya tidak terlalu Jawa, tapi dia asli berasal dari tanah ini. “Atas nama Sabar?” Kevin mencari orang yang bernama sabar. Seseorang dengan perawakan kurus yang duduk bersama rekannya mengangkat tangan. “Silakan, Mas. Makasih sudah sabar menunggu, Mas Sabar.” Kevin memberikan kopi pesanannya. Sudah lama aku tidak menyibukkan diri dengan banyak bergerak. Terbiasa bekerja di atas kursi, membuatku mudah berkeringat dengan badan yang tak berhenti bergerak untuk bekerja. Membersihkan gelas yang sudah terpakai, mengelap meja, menyediakan alat seduh. Badanku terkejut saat hari pertama kedai buka, hingga malamnya aku merasa pegal- pegal. Menariknya, aku merindukan rasanya berkeringat. Kegiatan seperti ini lebih membuat diriku sibuk dibanding pikiranku yang sibuk melayang ke mana-mana. Untuk mengatasi kepadatan para tamu yang datang, beberapa hari ini aku dan Kevin harus melakukan double shift. Dan, di kemudian hari kami bisa menyesuaikan jadwal 239 berapa barista yang perlu in charge per-shift-nya. “Gil, Flores nih. Atas nama siapa tadi?” tanyaku. “Emm... atas nama Lara, Mas. Yang duduk di ujung itu,” balas Agil sambil mengecek kertas pesanan. Aku dan Kevin sontak terkejut, saling berpandangan. Muka Kevin menahan tawa. Aku, menahan tangan yang kini mulai gemetar. “Sumpah?” tanya Kevin sambil berbisik tapi menahan teriak. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Kopi yang sudah siap kuantarkan tak mungkin aku harus menyuruh Agil atau Kevin menggantikan. Aku berjalan perlahan menuju tempat duduk, Lara. Terlihat seorang wanita yang membelakangi arah bar, hanya terlihat rambutnya yang terkuncir dari belakang. Kakiku gemetar tak keruan. Keringat dingin mulai tak sabar ingin keluar dari pori-poriku. “Atas nama Lara?” Aku bertanya. “lya.” Wanita itu membalas dengan senyum. “Hhhbhhhhhhhhhhbhh....” Pikiranku seolah mengeluar- kan napas yang sangat panjang. “Silakan Mbak, Floresnya.” Aku memberinya senyum. “Kampreeeeet... kaki gue lemes.” Aku duduk di atas lantai dalam bar. “Gimana, Man? Ngobrol enggak lu?” tanya Kevin histeris. “Namanya doang yang sama.” Aku menyandarkan badan 240 di salah satu lemari bar. “Ahahahahahahahhaa. Santai-santai. Ini latihan kalau Lara yang asli beneran dateng. Hahahaha.” Kevin sontak menahan tawa dan melanjutkan menyeduh kopi pesanan. Bertemu dengan Lara saat seperti ini bukan benar-benar hal yang bisa aku bayangkan atau mungkin harapkan. Seolah ada ketidaksiapan dariku untuk bertemu lagi. Semua pikiran dan pertanyaan beberapa hari kemarin datang lagi. Seolah benar ucapan Kevin, bahwa aku masih sangat menginginkan Lara. Hal itulah yang selama ini menyebabkan aku belum berani menghubungi atau memberitahu dirinya bahwa kini aku di Jogja. “Bangun lu, kerjain ini pesenan. Dikasih ketemu cewek nama Lara dikit aja, lemes lu langsung. Payah ni lakik!” Kevin mengejek lagi. Aku bangun dan mulai menyeimbangkan diri. Hal yang baru saja terjadi benar-benar membuat degup ini kewalahan menentukan irama. Seraya detaknya meracaukan keadaan genting. Jam makan siang mulai menjadi salah satu jam sibuk kami. Beberapa tamu yang datang di antaranya adalah karyawan yang sekadar mengopi selepas makan siang. Atau, mahasiswa yang sedang menunggu kelas berikutnya, atau beberapa sedang mengerjakan tugas. Beberapa pengunjung yang duduk di kursi bar tampak sedang bercakap dengan Kevin dan Agil. Aku sibuk 241 membereskan peralatan. Perbincangan mengenai dunia perkuliahan, atau isu-isu panas, sebuah drama mengenai pengalaman masing-masing, selalu malu-malu terdengar tumpah di meja bar. Kopi-kopi yang mereka teguk, mempermanis tawa. Perdebatan di sini tidak pernah berakhir tragis dengan saling membenci atau memojokkan. Seolah mereka memiliki kearifan untuk memeluk perbedaan. Hari demi hari semakin terbiasa. Kami mulai bisa mengatur jadwal untuk barista yang kami hire. “Man, lu ama Yuda enggak akan beli rok presso sama froater gitu buat sediain menu cappuccino atau caffe latte? Banyak yang nanyain tahu.” Aku bertanya suatu hari saat tengah closing. “Enggak usahlah. Kita di sini jual manual aja sama minuman lucu lainnya. Cokelat kita juga enak,” timpal kevin. “Lah kok gitu, kan lumayan kalau kita nambah milk based. Bisa naikin penjualan.” Aku membalas. “Bro, menurut gue kalau kita cuma ngikutin pasar, pada akhirnya kopi manual akan mati. Meskipun akan tetep ada, tapi akhirnya semakin sedikit peminatnya. Di zaman sekarang, apresiasi seduhan kopi harus dipertahankan dan 242 dikembangin.” Kevin berpendapat. Aku sedikit tak terima dengan idealisme yang dimiliki kevin. Karena menurutku, pengadaan menu milk based benar- benar tidak melukai selera pasar terhadap kopi manual brewing. “Emang apa ruginya kalau kita jual cappuccino sama caffe latte? Selera pasar juga enggak akan mencederai kopi manual kali.” Aku mulai mendesakkan pendapat. “Alah, cappuccino sama caffe latte itu cuma cari aman. Dan, ribet. Kalau enggak pake mesin, gue ogah. Karena, kalau rok presso sama froater, kita mesti ngeluarin duit yang nanggung. Belum lagi grinder bakal pendek umurnya kalau dipake ngegrind yang halus. Belum lagi kita harus stok susu, ditambah beli cangkir khusus.” “Ya elah Ssob, ngeluarin duit segitu buat naikin penjualan juga kan enggak apa-apa. Lu idealis boleh tapi jangan sampe kita malah mati sama pasar nantinya.” Kami mulai berselisih pendapat, perihal apa yang menurut kami baik. “Enggak, justru itu. Kita enggak pengen jadi kedai kopi yang mentingin perkembangan zaman. Dan, mungkin yang belum lu paham, gue cukup percaya sama pasar di Jogja. Mereka cukup apresiatif sama kopi manual. Enggak kayak kota-kota lain yang sedikit banyak mulai berkurang apresiasinya karena cappuccino sama caffe latte sedikit lebih modern. Lu bisa liat sendiri, meskipun lu enggak ngedatengin setiap tempat ngopi, tapi lu ngerti dan bisa liat keadaan 243 sekitar bahwa peminat kopi manual di luar Jojga itu lebih rendah.” Kevin tetap pada keputusannya. Selama mengenal Kevin, baru kali ini kami berdebat. Hal yang bahkan sepertinya membuatku sadar, bahwa aku memang tidak begitu mengenal Kevin sepenuhnya. Akumasih tak habis pikir perihal idealisme yang dipertahankannya. Lebih tak habis pikir bahwa Kevin memiliki prinsip yang tinggi untuk dipegangnya. Namun bagaimana pun keadaan sekarang mungkin belum menjadi waktu yang tepat untuk mengutarakan ide itu. Masih terlalu awal untuk sebuah penambahan, untuk sebuah langkah lain agar lebih memajukan Coffee and Drama. Hingga kami pulang pun Kevin masih seperti biasa. Ia mengantarku ke kos karena satu arah menuju tempatnya. Perdebatan tadi seolah hanya hal biasa. Setidaknya itu membuatku tenang. Tak perlu ada yang aku atau kami cemaskan perihal hubungan bisnis dan pertemanan ini. Hari- hari selanjutnya pun kami kembali seperti biasa, seolah tidak pernah ada yang terjadi. “Siang semuaaaaa,” aku menyapa Bram dan Kevin yang tengah in charge . Hari ini aku kebagian shift sore hingga closing. 244 “Pesenan kita mana, Coy?” Kevin menanyakan nasi bungkus yang ia pesan untuk makan siang dirinya dan Bram. Aku memberikan pesanan itu, lalu menyuruh Bram dan Kevin untuk menikmati makan siangnya dahulu. Membiarkan aku yang menggantikan mereka membuat beberapa pesanan. Sore ini belum terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung yang sedang mengerjakan tugas, menongkrong, dan seorang di kursi bar sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Aku membuat pesanan sesuai kertas pesanan yang berjejer di meja bar. Satu demi satu kopi kuseduh, lalu memberikan kepada pemesannya. Hingga satu pesanan terakhir, segelas iced chocolate. Pesanan selesai kubuat, lalu mengangkat kertas untuk melihat nama pemesan. Mataku terbelalak melihat namanya. Bram yang datang ke bar untuk meminjam sendok, aku hentikan untuk bertanya kepadanya. “Bram, ini... Eleftheriana yang mana orangnya?” Aku berbisik pelan, berharap tak ada yang mendengar selain Bram. “wah, enggak tahu, Mas. Itu Mas Kevin yang nerima ordernya.” Bram menjawab. “Di sini, Mas.” Tiba-tiba sebuah suara datang dari belakangku, seorang yang sedari tadi duduk di kursi bar. Aku membalikkan badan sambil memegang segelas iced chocolate. Yang kuperhatikan pertama kali adalah senyumnya yang setengah merekah. 245 Seolah mengatakan, “Akhirnya, kamu bisa melihat senyumku.” Rambut pendek yang kemilau, kaos polos sedikit kebesaran, sambil memegang Ipod di tangan membuatnya terlihat menarik. “Eleftheriana?” Aku bertanya memastikan. Entah bagai- mana rupa wajahku? Mencoba membentuk senyum tapi rasa terkejut sepertinya membuat rupa wajahku tak keruan. “Yap.” Gadis itu mengangguk, barisan giginya yang gingsul ikut berbinar. “Ya, Tuhan. Akhirnya, aku bisa liat langsung senyum itu!” Aku setengah berteriak. “Hah? Hahahahahha.” Kukira senyum tadi adalah yang paling terang tetapi kini Eleftheriana menunjukan senyumnya yang lebih terang, berpendar dan menyilaukan perhatianku. “Akhirnya, aku juga liat senyum itu Mr. Catastrophic Paradigm.” Eleftheriana menyebut nama akun Blogku, Catastrophic Paradigm. Aku membalas senyumnya seraya menaruh iced chocolate di depannya. “Gosh! Kamu beneran dateng ke sini! Parah, I don’t even prepare my self for this! Hahaha.” Aku masih merasa canggung. Tak tahu harus mengatakan apa. “Why should you prepare? Pertemuan kita di Blog aja enggak butuh persiapan apa pun, kan?” Eleftheriana tertawa 246 mendengar ucapanku. Kami akhirnya secara resmi berkenalan. Adalah Ana, nama di belakang Eleftheria sebagai panggilan dirinya. Seorang mahasiswi Psikologi yang ternyata berasal dari Bandung. Tempat yang sama denganku. Sebuah kejutan yang menyenangkan. Kami akhirnya berbagi cerita, saling menyuguhkan senyum. Senyum- senyum yang biasanya kami lihat hanya sebagai emoticon, kini berbentuk nyata dan kami saling menikmati. “Bener kan, emoticon itucumamembatasikeindahannya?” Aku menggoda. Ana tertawa puas tanda setuju. Entah apa yang mem- buatku langsung begitu merasa akrab dengannya. Keakraban di perbincangan kami melalui pesan-pesan yang saling kirim, ternyata membangun sebuah chemistry yang dapat membuat kami merasa seolah telah lama akrab. Gadis di depanku ini adalah orang asing yang terasa seperti teman lama, yang sudah lama tak kujumpai. “Apa yang bikin kamu dateng ke Jogja, selain kedai kopi ini, Saka?” Ana bertanya. Pertanyaannya seperti introgasi yang lembut. Dilakukan oleh seorang yang sepertinya sangat ingin tahu dan peduli. Tidak terdengar ingin menghakimi. “Entahlah. Aku selalu suka akan perasaan pulang dari Jogja setelah beberapa hari liburan di sini. Jadi, selain kedai kopi ini, aku pengen ngerasain untuk tinggal di sini. Apakah perasaannya akan sama.” Aku menjawab, berharap Ana bisa 247 puas mendengar jawabanku. “Terus, apa yang bikin kamu menulis?” Ana kembali bertanya hal lainnya tentang diriku. Aku meneguk cokelat panas yang baru saja aku buat, berdiri di hadapan Ana dan siap menjawab. “Setiap orang butuh mengeluarkan keresahan dalam bentuk apa pun. Seni salah satunya. Baik bisa didengar, dilihat, maupun dibaca. Aku seneng fotografi. Dan dari situ aku numpahin keresahan aku, dari gambar-gambar yang aku ambil. Dari dulu aku selalu pengen bisa nulis, tapi enggak pernah berani. Lalu ada satu kejadian, sebuah kehilangan, yang justru melahirkan keberanian aku buat nulis.... Then, here I am.... Coba untuk terus nulis dan malah semakin nyaman.” Aku mengakhiri jawaban dengan senyuman. “Ahhh, ya! Emoticon itu sekarang keliatan hidup. Hahaha.” Giliran Ana menggoda. “T know!” Aku berseru. “Anyway, aku harus balik lagi ke kampus. Kita ketemu lagi nanti, oke? Ah, lemme know your number. I'll text you.” Ana memberikan HP-nya agar aku mencatat nomorku. Kemudian, dirinya pamit pergi. Aku masih tak percaya akhirnya bertemu dengannya. Masih merasa takjub akan ulah semesta. Kuyakin kini semesta sedang menahan tawa melihat tingkahku yang masih salah tingkah di dalam bar. “Mas Sakaaaaaaaaaaaaa!” Tiba-tiba suara cempreng 248 datang dari pintu masuk, tepat di depan bar. Aku terperangah dan akan kedatangan mahluk kecil i! Ke mana yang sudah lama aku rindukan. “Narrrrrrniii aja gilak. Udah buka berapa lama kamu baru dateng ke sini? Parah, parah!” Aku memeluk kedatangannya. Narni memang agak sibuk belakangan berkutat dengan penelitian yang dilakukan untuk skripsinya. “Tyaaa... maafin Narni. Nih, Narni bawain pepaya buat nyogoknya ya, karena baru dateng sekarang.” Narni mengeluarkan bungkusan dari tasnya. Menaruh di atas meja tempatku duduk. “Falah, kecoa terbang baru dateng.” Kevin menyambar dari arah belakang, dan duduk di sebelah Narni. “Enak aja cempreng imut gini dibilang kecoa, undur- undur!” Narni cemberut. Kami sontak tertawa. “Pesen dulu gih sana. Sekalian pinjemin piring,” saranku kepada Narni. “Eh, itu siapa yang klimis-klimis mengkilat gitu kaya aspal baru?” Seketika Narni berbisik sehabis memesan minuman. Aku dan Kevin seketika melihat ke arah Bram. “Hahahahahahaha.” Hanya itu yang bisa kami perlihat- kan. Sebuah tawa yang meledak. “Siniin lima puluh rebu! Hahahahaha,” ucap Kevin kepadaku. “Kampreeet. Wkwkwk,” ucapku sebal. 249 “Heh, kalian lagi judi?” Narni keheranan. Aku bercerita kepada Narni bahwa beberapa hari lalu kami membuat taruhan tentangnya. Bram yang memang memiliki wajah bersih klimis bak pemain drama Korea pasti akan menjadi sorotan bagi perempuan-perempuan yang datang ke sini. Narni, yang tidak pernah kami tahu selera lelakinya seperti apa, akhirnya kita jadikan taruhan. Apakah ia juga akan tertarik pada Bram. Meski begitu, Narni tidak merasa sebal atau marah. Rindunya kepada kami lebih jadi hal yang penting bagi dirinya kini. “Udah, makanya kamu ngerjain skripsinya di sini ajaa. Biar bisa sering-sering ngobrol ama si Bram. Dia seangkatan kok sama kamu,” ucap Kevin sambil menikmati pepaya pemberian Narni. Kedatangan Narni menjadi seperti reuni kecil bagi kami. Seperti kedatangan adik kecil yang sudah terpisah lama dengan kakak-kakaknya. Namun di antara Kevin dan Narni, aku tengah menyembunyikan kebahagiaan lain yang tak dapat aku bagi selain senyum ini. Belum saatnya mereka tahu. Aku tengah memutar-mutar pulpen dengan jemariku kananku sambil menopang dagu. 250 Mengisi kekosongan selama menunggu Rio masuk ke ruangannya. Ya, aku lebih dulu berada di ruangannya sehabis rapat redaksi membahas naskah Riana tadi. Dia ingin membuat teh terlebih dulu katanya. “Nih, diminum dulu tehnya. Biar enggak kesel lagi,” perintah Rio sambil menyodorkan secangkir chamomile tea kesukaanku. “Terpaksa banget ya nerima kerjaan ini? Marah sama aku, Ra?” tanya Rio lagi. “Makasih.” Aku mengambil teh yang dia berikan dan membawanya ke depan mulutku. “Enggak, ngapain juga marah sama kamu. Kan, aku cinta sama pekerjaan ini, masa gini aja kesel,” sindirku kepada Rio sambil meminum teh hangat yang ia berikan. “Ra, aku percayain ke kamu karena sepanjang diskusi tadi hanya kamu yang keliatan yakin dengan semua ini. Kalau tetep Rani yang ngerjain sedangkan dia aja udah ogah- ogahan, hasilnya enggak akan bagus toh?” “Ya, tapi enggak gitu juga. Kamu tadi kan liat Mas, aku setengah mati ngeyakinin kalau dia mampu. Tapi, kamu malah nyodorin ini ke aku. Rani tuh hanya butuh dikasih kepercayaan penuh aja kok. Dia tuh bisa. Dia cuma enggak mau repot aja sebenernya.” Aku menyudahi ucapanku setelah menyadari nada suaraku yang mulai meninggi karena masih kesal dengan keputusan Rio. “Marah lagi aja kalau masih mau marah. Biar lega, aku enggak apa-apa kok kalau dimarahin kamu.” Rio berkata 251 sambil memamerkan senyum manisnya. “Enggak perlu, marah tuh buang-buang energi aja. Dunia masih berputar kok biarpun aku mau marah atau enggak marah. Gini, langsung aja deh, Mas. Tadi aku dipanggil ke sini mau ngomongin apaan lagi?” tanyaku tanpa ada basa- basi lagi. “Oke, kalau gitu. Aku anggep kamu enggak marah lagi. Hm, aku mau minta kamu untuk mulai lagi semuanya dari awal. Maksudku gini, Ra. Kamu hubungin lagi si Riana itu. Ajak ketemuan sama kita, sama aku dan kamu tentunya. Sekaligus minta partnernya ntuk ikut. Nanti biar dibicarain kalau editornya ganti kamu. Kita buat kesepakatan baru supaya enggak ada masalah apa-apa lagi ke depan. Gimana, bisa?” Rio bertanya kepadaku dengan hati-hati. Tampaknya dia tahu bahwa aku masih berusaha mensetabilkan emosiku. “Oke, ntar aku hubungin si Riana. Mau ketemuan kapan?” tanyaku datar. “Yang pasti di Minggu ini. Kamu tanya aja, mereka bisanya kapan. Dan, sesuaiin sama jadwal kamu. Kalau aku sih selama satu minggu ini free.” “Oke. Masih ada lagi? Kalau enggak ada, aku langsung balik ke ruanganku.” Aku baru akan berdiri tapi Rio menahanku dengan ucapannya, “Tahu enggak kenapa aku enggak mau panggil kamu Lara?” Aku hanya memandangnya tanpa mengucapkan sepatah 252 kata pun. “Karena, di kepalaku Lara itu lekat sama kesedihan. Aku enggak mau kamu selalu deket-deket sama kesedihan atau hal-hal yang buat kamu marah sekaligus kesel. Dan, aku rela ngelakuin hal apa pun itu untuk bikin kamu bahagia. Jadi, kamu enggak boleh keluar dari ruangan ini kalau masih dilingkupi perasaan kesel dan marah.” Lara lekat dengan kesedihan? Hahaha, rasanya ingin aku tertawa sekencang-kencangnya. Arti namaku bukanlah kesedihan memang, tapi apa yang dikatakannya nyaris sempurna. Aku memang selalu dekat dengan kesedihan. Ditinggalkan? Jangan ditanya, sudah berkali-kali. Dikecewa- kan? Tak perlu diceritakan, itu juga sudah jelas terlalu sering terjadi. Masih dengan emosi akhirnya aku menimpali per- nyataannya. “Satu hal yang harus kamu inget, Mas. Di bahasa Yunani, Rusia, Latin, atau bahkan Spanyol, Lara itu artinya keceriaan dan perlindungan. So, aku enggak akan lekat dengan namanya kesedihan. Mengenai marah, kesel, dan seluruh emosi lainnya itu naluriah kepemilikan manusia. Mengenai musibah, duka, dan segala kejadian sedih itu mutlak pemberiannya. Enggak ada hubungannya sama namaku.” “Oh, kamu manusia? Kukira bidadari, cantik sih. Tapi, Ra, kalau manusia tuh biasanya peka sama sekitar. Kamu peka enggak sama aku?” Bukannya merasa keki atau kesal 253 dengan jawabanku, Rio justru menggombaliku. “Gombalannya receh. Aku udah bukan ABG yang akan senyum-senyum karena digombalin kayak gitu, Mas. Semua manusia tuh pada dasarnya peka, tapi beberapa memilih enggak karena emang enggak mau untuk jadi peduli dan enggak mau untuk merasa ge-er. Udah ah aku mau balik dulu, permisi.” Aku segera beranjak dari kursi dan melangkah meninggalkan ruangan itu. Namun ketika baru sampai di pintu, Rio kembali membuat keningku berkerut dengan ucapannya. “Ra, kamu tuh selalu bisa bikin aku makin tertarik ya. Ya, udah sana balik kerja. Abis itu langsung kabarin aku buat jadwal ketemunya.” a” Jogja di sabtu siang ini sedang diselimuti langit kelabu. Aku sedang berada di mobil Rio. Ya, kantor sedang libur memang tapi hari ini aku serta Rio akan menemui Riana juga partner menulisnya untuk membahas kelanjutan naskah mereka. Serta, memastikan agar tak ada lagi yang berubah di kemudian hari, pun dengan resmi memperkenalkan aku sebagai editor mereka. Aku dan Rio sudah sampai lebih dulu di tempat yang kami janjikan. The House of Raminten, salah satu rumah makan favoritku di kawasan Kotabaru ini memang sengaja aku 254 jadikan tempat untuk kami bertemu hari ini. Aku selalu suka berkunjung ke tempat ini. Tak ada alasan spesifik sebenarnya. Hanya saja bau kemenyan yang menyengat serta waiter yang selalu mengenakan pakaian tradisional Jogja itu selalu membuatku semakin jatuh cinta dengan kota ini. Tiba di sini selalu membuatku ingat bahwa aku sedang berada di Jogja. Tempat di mana aku seharusnya mendewasakan rindu pada hal-hal yang seringkali mem- buatku terkenang. “Kamu udah tanya mereka di mana, Ra?” “Eh aku belum periksa HP. Bentar.” Aku kemudian mendapati sebuah pesan masuk dari Riana yang mengatakan bahwa dia agak terlambat karena sengaja langsung datang bersama partnernya. “Ini sih lima belas menit lalu dia bilang udah sama temen nulisnya. Mungkin bentar lagi sampe.” “Oh, ya udah kalau gitu pesennya barengan aja kali ya?” Rio bertanya kepadaku. “Iya, Mas. Biar enggak bolak-balik juga,” jawabku. Rio kemudian mengangguk dan mulai membaca ulang print out naskah yang sudah dikirimkan oleh Riana. Sementara, aku sedang menggeledah isi tasku mencari outline mereka. “Aduh aku lupa lagi bawa print out outline-nya. Aku nyalain laptop aja enggak apa-apa kan ya?” Rio menoleh ke arahku. Tersenyum berusaha menenang- kan aku yang sudah mulai panik akibat lupa dengan hal yang 255 begitu penting. “Santai aja Ra, toh kita ngobrol-ngobrol biasa aja kan ini. Senyamannya kamu aja, Ra. Kalau buatmu nyalain laptop akan mempermudah, ya enggak apa-apa.” Aku sedang menghubungkan pengisi daya laptop ketika sebuah suara wanita terdengar. “Halo Mas Rio, maafin telat.” “Santai Ri, kita juga baru sampe. Ini kenalin editor kamu, Lara. Eh, kalian sudah sempat kontak-kontak kan?” Aku langsung menoleh ketika mendengar namaku dipanggil. Di depankukiniberdiri seorang wanita yang tengah tersenyum manis dengan gigi gingsulnya. Dari wajahnya aku tahu dia adalah pribadi yang menarik serta menyenangkan. “ya, akhirnya bisa ketemu. Halo, aku Lara.” Aku mengulurkan tangan sebagai perkenalan. “Riana, Mbak.” Ia kemudian menjabat tanganku. “Loh, temenmu mana? Tadi katanya dateng bareng.” Aku mencoba membuka obrolan ketika melihatnya datang seorang diri. Riana mengambil tempat duduk di hadapan Rio. Kami memang sengaja memilih tempat duduk lesehan di sebelah kanan pintu masuk. Sengaja, agar pertemuan ini tidak terkesan terlalu resmi. “Oh, itu lagi parkir, Mbak,” jawab Riana yang kemudian mengambil posisi tempat di duduk di samping Rio. “Nah itu orangnya. Hei, di sini.” Riana lalu menunjuk ke arah temannya sambil melambaikan tangan. 256 Aku tak ikut menyambut partner menulis Riana. Tak juga menoleh karena masih sibuk menyalakan laptop sembari mencari folder tempat aku menyimpan outline mereka. “Sorry tadi Bapak parkirnya ngajak ngobrol jadi keterusan deh.” Deg! Sebuah suara terdengar dari seorang lelaki yang kini sedang berada di belakangku. Posisiku memang tak menghadap arah pintu masuk. Tak sempat memperhatikan pengunjung yang baru datang. Aku seolah tak lagi bisa bernapas. Aku kenal suara itu. Suaranya hampir mirip dengan.... “Kenalin, ini partner nulisku.” Riana kemudian mem- perkenalkan lelaki yang kini sedang berdiri di sampingku dan kemudian segera duduk tepat di sebelahku. “Saka.” Ia tampak mengulurkan tangannya kepada Rio dan kemudian disambut cepat oleh pemimpin redaksiku itu. “Rio.” Riana kemudian memperkenalkanku kepada lelaki yang sudah lebih dari sekadar aku kenal itu. “Saka, ini editor kita, Mbak Lara.” Aku yang sedari tadi tengah sibuk menenangkan jantung yang tak berhenti berdentum-dentum, mau tak mau harus mengangkat daguku dan menatap matanya. Sebetulnya aku bingung. Pada saat seperti ini apakah harus bersikap sewajarnya orang yang telah saling mengenal lama, atau justru bersikap seperti orang yang memang baru pertama 257 kali bertemu. Aku tersenyum kikuk sembari mengulurkan tanganku, “Lara.” Keterkejutan tampak di matanya. Mungkin dia heran kenapa aku malah bersikap seolah tak mengenalnya. Tolong, jangan bertanya, Saka, sebab aku sendiri tidak tahu mengapa harus seolah baru bertemu denganmu. Mungkin aku hanya sedang tidak siap untuk bertemu, secara tiba-tiba lagi. Kembali dipertemukan semesta tapi kali ini dengan orang lain yang kelihatannya cukup dekat dengan masing-masing kita. Aku tahu Saka sama kaget dan canggungnya denganku. Namun, bukan Saka namanya jika tak bisa menangani apa yang sekarang mungkin sedang mengganggu benak dan hatinya. Ia kemudian menjabat tanganku sambil menyebut- kan namanya lirih. “Saka.” Aku kemudian kembali sibuk menatap layar laptop dengan segudang pertanyaan di kepala. Mengapa bisa Saka yang menjadi teman menulis Riana? Sejak kapan Saka benar- benar menulis? Sejak kapan Saka mengenal Riana? Apakah Saka dengan Riana ada hubungan spesial hingga memutuskan membuat buku bersama? Dan, kenapa Saka bisa berada di Jogja? Sungguh, begitu banyak tanya di benakku akan pertemuan ini. Hal yang sama sekali tak pernah ada dalam 258 rencana bahkan bayanganku jika suatu saat kembali bertemu dengan Saka. Setidaknya, bukan seperti ini. Bukan dengan aku yang melibatkan Rio di dalamnya. Tidak juga yang membawa Saka malah terlibat dalam pekerjaanku secara langsung. Jika boleh mengutuk semesta, mungkin saat ini aku sudah memakinya habis-habisan. Namun pasti semesta justru mencemoohku karena terlihat kikuk di depan Saka. Ingin rasanya bersyukur karena kembali bertemu Saka. Tapi di lain sisi, aku masih merasa belum siap. Karena apa? Entah, aku hanya merasa tidak siap saja untuk menjadi baik-baik. Aku masih berusaha menenangkan perasaanku sambil berusaha fokus membaca outline yang saat ini sudah terpampang di layar. Setelah beberapa menit dikurung dalam keheningan, Rio yang kemudian memulai pembicaraan. “Ra, langsung pesen makanan aja kali ya? Kamu udah laper juga kan? Udah lewat jam makan siang nih.” Aku hampir tersedak ketika Rio memberiku perhatian. Entah, rasanya risih saja jika itu harus di depan Saka. Meski sebetulnya apa pun yang kemudian hadir di benak Saka sudah bukan lagi menjadi sesuatu hal yang perlu aku risaukan. Pun mungkin saja, Saka bahkan tak peduli dengan seperti apa hubunganku dengan Rio maupun orang lain. Aku hanya sekadar tak ingin jika Saka sampai berpikir macam-macam tentang hubunganku dengan Rio. Tapi, apa mau dikata, Rio memang selalu seperti itu kepadaku, maka 259 aku hanya bisa menggangguk mengiyakan pertanyaannya. “Hm, iya, Mas.” “Mbak!” Rio kemudian memanggil waiter untuk mem- bawakan daftar menu pada kami. “Ana, kayaknya aku ada yang ketinggalan deh. Bentar ya, aku ambil dulu.” Saka kemudian segera menghilang selesai mengatakan hal itu kepada Riana. Jantungku baru bisa berhenti berdetak kencang saat dia tak berada di sampingku. Tanpa sadar aku menghela napas lega. Beruntungnya tak ada satu orang pun yang menyadarinya. “Pesanannya diulang ya. Bakmi jawa satu, ayam geprek kremes satu, es teh manis tiga, air mineral satu, dan nasi gudeg ayamnya ditambah krecek dua. Ada lagi yang mau ditambah?” Waiter itu tengah mengulang pesanan kami. Namun, kemudian Rio justru mengajukan pertanyaan yang membuatku sadar tengah melakukan kesalahan lagi. “Eh, bentar itu kok nasi gudegnya dua. Kamu nulis dua, Ra? Satunya buat siapa?” “Bodoh!” ucapku dalam hati merutuki kebodohanku sendiri. Aku tak seharusnya berinisiatif menuliskan pesanan kesukaan Saka hanya karena ia sedang tak berada di sini. Justru akan menimbulkan kecurigaan Rio juga Riana. Baru saja aku hendak berkilah, Saka tiba-tiba sudah kembali dan menyelamatkanku. 260 “Buat saya aja enggak apa-apa, kebetulan saya suka gudeg kok.” Saka kemudian sudah duduk kembali di sebelahku. Aku masih berusaha mencoba untuk bersikap biasa saja dan tak menjadi canggung oleh keberadaannya. Saka sendiri sepertinya memang terlalu pandai untuk menutupi segala kekikukannya dengan tetap bercengkerama dengan Rio membahas hal-hal terkait dunia penerbitan. Aku berdeham untuk menyudahi basa-basi yang terjadi di antara Saka dan Rio. “Riana, jadi berapa lama nih waktu kalian bisa selesaiin naskah ini?” Riana dan Saka kemudian saling melempar tatap. Kedua- nya seolah sedang berdialog tanpa suara tapi bisa dimengerti satu sama lain. Aku melihat keduanya bergantian. Sebuah perasaan mengganggu hatiku. Cara keduanya saling bersitatap dan terlihat saling mengerti pernah juga aku rasakan. Ya, aku pernah seperti itu dengan Saka. Tapi, itu dulu. Dulu saat semuanya tidak serumit saat ini. “Satu bulan gimana, Mbak?” Riana kemudian menatapku sambil bertanya. “Gimana Pak Pemred, setuju?” Aku sengaja menggoda Rio yang sedari tadi hanya sibuk membaca naskah mereka. Padahal aku sendiri belum sempat membaca naskah itu secara menyeluruh. Rio kemudian menatapku lekat seraya membenarkan posisi kacamatanya, lalu memberikan senyuman yang 261 seperti biasa kepadaku. “Harusnya aku yang tanya ke kamu, Ra. Kamu kan tahu deadline aku buat naskah ini terbit kapan. Kamu sanggup enggak aku kejar editing biar bisa naik cetak dan sesuai deadline?” Aku menimbang-nimbang waktu yang diajukan oleh Riana sebelum memberikan jawaban kepadanya. “Oke, kalau gitu. Minggu pertama bulan depan kalian udah harus selesai ya. Dan Riana, email untuk kirim naskah ganti ya. Bukan ke Rani, tapi ke lara.alana@dreamedia.com. Nanti aku chat kamu biar enggak lupa. Karena, resmi per hari ini, naskah kalian yang handle aku. Jadi, kalau ada pertanyaan atau kesulitan bisa share ke aku.” “Nah, gitu dong, Ra. Semangat. Jangan kayak kemarin,” celetukan Rio menyadarkan aku yang sedari tadi terus berceloteh dan mengatur segalanya sedemikian rupa. Sekilas aku melirik ke arah Saka yang ternyata sedang menatap Rio dengan tatapan yang tak bisa kumengerti apa. Mungkinkah Saka sedang bertanya-tanya tentang hubunganku dengan Rio? Ah, tapi buat apa juga? Toh, dengan siapa pun aku dekat saat ini sudah tak lagi menjadi urusannya. Aku masih berkutat dengan isi kepalaku sendiri hingga kemudian waiter datang mengantarkan pesanan. Keheningan kemudian tercipta di antara kami berempat. Masing-masing sudah mulai mengunyah makanannya. Hingga kemudian Riana mengajukan sebuah pertanyaan yang sedari tadi sudah kuhindari. 262 “Ngg... Mas Rio sama Mbak Lara pacaran ya? Sweet gitu ngeliat kalian berdua.” “Maunya sih pacaran, tapi enggak tahu nih kayaknya Laranya enggak mau,” tambah Rio menegaskan sambil terkekeh menatapku. Aku yang sedari tadi berusaha bersikap tenang, kini justru tersedak atas pertanyaan Riana dan pernyataan Rio itu. Aku kemudian terbatuk-batuk dan buru-buru ingin minum. Namun, baru ingat tadi memesan air mineral botol. Baru saja ingin meminta tolong Rio untuk membukakannya, Saka sudah lebih dulu mengambil botol air mineralku dan membukanya. Aku sedikit dibuat terkejut karena ia masih ingat hal-hal kecil tentang diriku. Ya, setidaknya ini merupakan hal kecil menurutku. “Makanya, enggak usah gegayaan beli air mineral botol kalau enggak bisa bukanya,” ucap Saka pelan sambil menyodorkan botol yang sudah terbuka ke depan mejaku. Aku segera meminumnya tanpa menghiraukan ucapan Saka itu. Namun, mataku segera beralih menatap Rio yang sudah mengernyitkan dahinya keheranan dengan perkataan Saka tadi. 263 Se CHAPTER V. “MASING-MASING KITA MEMBAWA RAHASIA, YANG MENANTI UNTUK DIUNGKAP* ;° “Heh, ngelamun aja lu. Kesambet mantan, susah move on, lu!” Kevin menegurku. Aku baru saja menghabiskan makan siang di salah satu meja kedai. Aku tak menggubrisnya. Mataku nanar melihat layar laptop yang kosong. “Si anjir masih ngelamun aja.” Kevin menegurku lagi. “Man... Gue abis ketemu Lara,” sahutku pelan. Aku tidak tahu mau menjawab apa, tapi kalimat itu begitu saja keluar dari bibirku. “SUMPAH, NYET? LU HUBUNGIN DIA AKHIRNYA? TERUS GIMANA?” Aku tak terkejut akan respon Kevin. Aku mengerti mengapa Kevin begitu heboh gara-gara ucapanku barusan. Meski aku belum siap menceritakan ini, tapi sepertinya Kevin perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku mulai bercerita. dan pikiranku kembali melayang ke peristiwa beberapa hari yang lalu. “Gini, Saka.. it’s kinda weird manggil kamu pake nama. Hahahaha. Oke, skip. Aku sekarang lagi enggak bisa nahan senyum-senyum sendiri. Tapi, untungnya kamu ada di sini jadi bisa senyum-senyum bareng. Aku pengen cerita sesuatu, kamu mau denger?” Ana memastikan aku siap untuk mendengar. “T've got plenty of times.” Aku menjawab, memberikan posisi siap untuk mendengar ceritanya. 267 268 “Kamu pernah kepikiran untuk... nulis buku? Atau, mungkin pengen?” Ana bertanya. “Tyalah, kayaknya semua orang yang nulis pasti pernah kepikiran untuk bikin buku. Yah, aku pernah denger cerita temen komunitasku yang akhirnya bikin buku. It takes six years sampe saatnya dia punya kesempatan untuk membukukan tulisan-tulisannya. Kamu tahu, saat orang menceritakan mimpinya, kamu bisa rasain energinya itu nular. Seolah semua yang denger bisa kepengen dan ngejar mimpi yang sama? Dan saat itu, aku seketika juga pengen jadi penulis. Sayangnya, semangat itu cuma bertahan beberapa hari, dan sekarang aku udah lupa. Dan... entahlah, keinginan itu enggak terlalu besar untuk saat ini. Aku? Nulis buku it’s like, a dream that I don’t even dare to dream about. Hahaha.” Aku menjawab sekaligus bercerita. “Hahaha, I know. Aku enggak tahu kejutan apa yang lagi disiapin Tuhan, tapi semuaseolah saling mengarahkan. Ketemu kamu di Blog, lalu ngobrol. Kamu tahu, aku sampe sekarang enggak tahu apa yang aku suka sebenernya dari tulisan kamu. Tapi, kayak ada sesuatu yang ngundang aku untuk suka sama tulisan kamu. Tulisan kamu itu kayak punya roh. Lalu, ternyata kamu datang ke Jogja. Can’t you see? Getaran kita ternyata saling menarik, enggak cuma masalah chemistry, tapi bahkan saling menarik jarak? Hahaha. Daaaaan... kamu harus tahu. Dua hari lalu ada yang hubungi aku di message Blog, salah satu penerbit yang enggak tahu dari mana tiba-tiba nawarin aku bikin buku! Kamu bisa lihat enggak sih kelakuan semesta? Sangat... gemesin, hahahaha.” Wajah Ana berbinar, lebih terang daripada sekadar menyilaukan. Energi yang dia keluarkan sangat bisa menyenangkan siapa pun yang ada di sekitarnya. “Demi apa? Wah, selamat!” Hanya itu yang bisa aku serukan, sambil melebarkan senyum. Bahkan senyumku seperti bulan yang memantulkan cahaya matahari yang ada di depanku kini. Aku belum bisa berkata-kata, hanya ikut tertawa dan menyetujui teori apa pun yang dikemukakan Ana. Menyetujui kesenangan dan kehisterisan Ana akan apa yang terjadi padanya. “Dan... aku punya ide! Karena aku pun percaya, kalau kamu ke sini bukan hanya untuk kedai kopi ini aja...” Ana membuat jeda pada kalimatnya. “Maksudnya?” Aku bertanya. Seolah jeda itu sengaja untuk membiarkan aku untuk bertanya. “Gimana, kalau aku ngajak kamu untuk, bikin buku bareng? Projek yang kita bikin itu, kita jadiiin buku! Beberapa hari ke depan Penerbit minta aku udah bisa ngasih outline isi bukunya. Kalau kamu oke, kita bisa segera bikin konsepnya. Gimana, gimana?” Sebuah puncak cerita dengan pemandangan yang mengejutkan pikiranku sekarang. Wajah Ana tak sanggup menunggu lama atas jawabanku. Kini, mimpi yang tak pernah berani aku semogakan 269 270 mendadak memiliki kesempatan yang sangat nyata . Yang memiliki kemungkinan sangat besar. Saat beberapa orang perlu bertahun-tahun untuk akhirnya bisa menulis sebuah buku, untuk akhirnya buku yang ditulisnya diterbitkan; aku hanya tinggal menerima penawaran ini. Aku tidak punya kuasa apa pun untuk menolak. Bahkan ketidakyakinanku akan tulisanku berhasil mati kepayahan karena kesempatan ini jauh lebih memiliki kekuatan daripada ketakutan. Ana tampak senang sekali ketika aku menerima penawaran Ana. Setelah kami saling sepakat, dirinya pulang untuk kembali ke kampus. Hal yang baru saja terjadi menyisakan degup yang sedang berpesta. Merayakan suatu hal yang entah apa tapi menyenangkan buatku. Sejak saat itu kami semakin sering berhubungan, membicarakan perihal konsep buku yang akan kami buat. Konsep yang diajukan oleh Ana kepada penerbit untuk mengajakku berpartisipasi pada penulisan buku telah disetujui. Sejak saat itu, kepalaku tak bisa berhenti untuk terus menulis dan menyambut ide-ide yang datang. “Gimana kalau kita bikin cerita tentang penerimaan? Cerita dari dua sudut pandang yang menjalani hubungan.” Aku mengajukkan ide. “Gimana tuh?” tanya Ana. “Jadi, kita bikin alur dari sebuah proses saat dua orang yang sama-sama punya luka. Satu tentang orang yang selalu ditinggalkan, dan yang satu selalu meninggalkan. Mereka ketemu, saling membantu menyembuhkan luka, saling membuat masing-masing memaafkan diri mereka. Dari pertemuan itu mereka kemudian saling mulai membuka diri, saling memberi diri mereka kesempatan lagi. Terus, keduanya mulai berhubungan, mulai saling nyaman, lalu mulai muncul konflik-konflik yang bikin satu sama lain saling melukai. Pada akhirnya, dia yang selalu meninggalkan harus ditinggalkan oleh dia yang selalu ditinggalkan.” Aku bercerita mantap. “Wow, kamu semangat banget kayaknya. Pengalaman pribadi, Pak? Hehehe.” Ana menggodaku. “Belum selesai! Hahaha. Kamu si cewek, aku si cowok. Jadi, kita ceritain dari sudut pandang masing-masing gitu. Tujuannya dua sudut pandang ini biar pembaca bisa belajar untuk memahami kedalaman perasaan masing-masing tokoh. Gimana?” tanyaku sambil meminum air putih yang kubawa. Ana yang masih asyik menikmati iced chocolate miliknya, hanya tersenyum dengan mata yang dilayangkan ke atas seolah menimbang-nimbang ideku. “Boleh juga. Terus nanti ending-nya mereka saling maafin dan saling nerima. Mereka akhirnya ngerasain bagaimana jadi orang yang dulu digugat. Yang ditinggalin akhirnya tahu gimana rasanya ninggalin, begitupun sebaliknya?” Ana memastikan. “Yap! Setelah putus mereka sama-sama tenggelam dengan luka yang dahulu. Sama-sama marah dan kesel satu sama lain. Tapi pada akhirnya, dalam sebuah perenungan yang baik, 271 272 keduanya bisa saling nerima. Bukan hanya menerima bahwa apa yang mereka lakukan telah mengakibatkan masing- masing pihak terluka, karena sama-sama ngerasa bener. Laluu... ya itu, akhirnya mereka bisa saling nerima lagi satu- sama lain. Enggak menyimpan dendam.” Aku mulai meneguk gelas cappucinno yang aku pesan sebelumnya. “Akhirnya, mereka saling nerima dan balikan?” Ana bertanya lagi. Aku memicingkan mataku kepadanya. “Hmm... kita liat nanti. Sejauh ini begitu konsepnya. Kita tulis dulu aja, jenis ceritanya prosa yang bercerita aja, kayak senandika.” Aku memegangi cangkir cappuccino. Tumben sekali Jogja hari itu turun hujan. Kami saat itu berada di salah satu kedai kopi kecil dekat kampus Ana. Sebuah kedai yang memiliki menu sandwich kesukaannya. Kebetulan hari itu jadwal aku untuk libur, sehingga aku bisa menghabiskan waktu berbincang dengan Ana untuk mematangkan konsep tulisan. Hingga akhirnya aku pun bertemu Lara pada pertemuan selanjutnya bersama Ana. Kenapa aku tidak curiga sama sekali bahwa Lara yang akan menjadi editor Ana? Aku baru ingat bahwa Lara adalah seorang editor di salah satu penerbitan di Jogja. Kenapa aku tidak curiga bahwa Lara-lah yang menawari Ana untuk menulis? Sejak itu pikiranku carut-marut. Ingin mengutuk tapi ingin juga bersyukur, karena akhirnya aku bertemu Lara. Namun sesuatu mengganjal diriku. Lelaki yang bersamanya saat itu, mempunyai pandangan yang menggangguku. Pandangannya kepada Lara, cara bicara, seolah aku pernah ada di posisi seperti dirinya. Entahlah, mungkin itu perasaanku yang berlebihan saja. Mungkin karena sedikit... cemburu? Pada suatu pertemuan selanjutnya bersama Ana, setelah pertemuan dengan Lara, ingin sekali sebetulnya aku ceritakan pada Ana tentang Lara. Tapi aku merasa serba salah. Hingga aku putuskan untuk mengenyampingkan dulu perihal Lara, meski nalar sedari tadi menggodaku untuk membicarakannya. “Kamu suka nulis dari kapan?” Aku bertanya. “Kamu enggak akan percaya,” ucap ana. “Tenang aja, aku cuma enggak percaya sama tukang parkir di Bandung.” Aku berkelakar. “Hahaha. Hmm.. dari kelas 6 SD,” jawab Ana. “Demi apa? It’s such a long journey!” aku berseru. “Hmm, enggak juga. Aku enggak pernah punya keinginan buat jadi penulis atau nerbitin buku. So it’s not a long journey. Hehe. Life is the journey itself.” Jawaban Ana mengejutkanku. “Aku cuma menulis karena itu bikin aku ngerasa lebih tenang.” Ana melanjutkan. Tenang? Bagaimana caranya menulis bisa membuat seseorang merasa tenang. Aku dibuat bingung oleh per- nyataannya. “Hah, tenang gimana?” tanyaku keheranan. “Kamu mungkin nulis untuk mengeluarkan keresahanmu. 273 274 Bagaimana pun di dada kamu itu menggumpalkan sesuatu yang enggak nyenengin kamu kan? Kalau emang menulis itu adalah salah satu cara mengeluarkan keresahan kamu, harusnya itu bisa bikin kamu tenang. Karena itu yang aku rasain. Sejauh ini, aku nulis karena aku enggak pengen kata- kataku nyakitin orang. Makanya aku nulis, dan bersembunyi dalam tulisan itu. Hehe. Aku bisa ngeluh, tapi aku coba dengan cara yang lembut. Karena, kita enggak mungkin bisa ngeluh dan kesel dengan lembut kalau lewat omongan” Ana bercerita. Rasa takjub baru saja menghampiri diriku. Pembawaan- nya yang cuek membuatku memujanya. Seolah dirinya adalah gadis tangguh yang tak peduli bahwa dunia sedang mengerjainya. “Aku juga punya banyak kekecewaan. Jangan kira aku enggak pernah sakit hati. Hahaha.” Ana memastikan. Takut bahwa dirinya seolah adalah orang yang benar-benar kuat. “Enggak, bukan masalah itu sih. Tapi, alasan kamu bahwa kamu nulis karena enggak pengen kata-kata kamu nyakitin orang itu bikin aku, takjub!” Aku mengatakan yang sebenarnya. Tak peduli jika Ana akan merasa dipuji atau besar kepala. Namun dirinya memang layak untuk mendapat sebuah anugerah atas niatnya yang baik itu. “Apanya yang bikin takjub sih? Orang biasa aja.” Ana menolak pujianku, seolah itu hal yang biasa baginya. “Enggak lah. It’s a good concept of kindness. Sekarang, kebanyakan orang nulis untuk mengeluarkan keresahan. Tapi, enggak cuma itu. Dalam keresahan itu juga menyudutkan orang lain, saling nyepet dan akhirnya saling menebar kebencian. Kamu bisa mengolah tulisan berupa keluhan, tapi kamu ramu tulisan kamu sehalus mungkin biar enggak terkesan membenci sesuatu. Dan, itu keren menurutku!” Aku berseru. “Hmmm... aku juga paham itu. Aku ngerti gimana perasaan ingin memojokkan sesuatu atau seseorang.Pengen nyepet dan ngebenci sesuatu, dan ngasih tahu orang-orang untuk ikut membenci. Aku pernah kayak gitu. Tapi, dari situ aku belajar ternyata ngebenci sesuatu malah semakin nyakitin diri sendiri. Dan, aku enggak suka perasaan itu. Jadi, buatku prosa, puisi, sajak atau senandika adalah tulisan-tulisan yang selayaknya mengutarakan kelembutan. Dan, aku suka itu.” Ana mengakhiri ceritanya. Meneguk cokelat panas yang ada di tangannya. Aku semakin nyaman dengannya, semakin takjub, dan bahkan semakin bersyukur bisa mengenalnya. Ada rasa tenang setiap kali mendengarnya bercerita, mengeluarkan teori-teorinya tentang banyak hal. Meski begitu, aku yakin Ana masih menyimpan sesuatu yang membuatnya seperti ini. Sebuah luka yang mengundang kedewasaan untuk dapat membentuk dirinya semakin baik. “Jadi, akhirnya ditawarin penerbit untuk bikin buku ini, bukan salah satu mimpi kamu setelah kamu nulis belasan tahun itu?” Aku bertanya pelan. Penasaran akan apa 275 276 sebenarnya yang dia inginkan. “Aku pengen bantu orang dalam hal apa pun tapi aku tahu tanganku cuma dua. Makanya, aku maksimalkan dua tangan yang aku punya, hati yang aku punya, dan isi kepala yang aku punya. Sebisa mungkin aku selalu nyisipin pesan atau nasihat dalam setiap tulisan. Jadi, enggak cuma tentang resah dan luka terus. Nah, kalau perihal bikin buku ini jadi mimpi aku atau bukan, sepertinya iya. Tuhan ngasih jalan aku untuk bisa bantu orang mungkin lewat buku ini. Dan, kenapa aku setuju aja sama konsep kamu, aku bisa lihat tujuan dari konsep cerita dari dua sudut pandang, tentu agar siapa pun yang baca bisa mengerti suatu kejadian enggak cuma dari satu sudut pandang sempit aja. Itu yang bikin cerita itu enggak egois dan bisa mengedukasi,” ujar Ana. Aku sudah merasa sedari awal berbincang dengan Ana di fitur message Blog, Ana bukan orang yang biasa saja. Ya, meskipun tidak ada orang yang biasa saja tapi dalam konteks sebuah kesesuaian frekuensi, dalam hubungan antar jiwa yang tidak hanya melibatkan ketertarikan fisik, Ana memiliki getaran yang mengundang nurani untuk nyaman. Seperti ada sebuah kesesuaian rasa yang aku bersamai. Sebuah rasa yang jarang dimiliki banyak orang, untuk mengenal titik terdalam seseorang tanpa harus berusaha mencari tahu. “Lu abis ketemu Lara, tapi yang banyak diceritain kok malah si Ana-Ana itu sih? Hmmm...” Kevin mengusap dagunya. Ia seolah sedang menyiapkan teorema untuk membuat kesimpulan, atau menghakimiku secara jenaka. “Bentar. Iya, apa?” Aku tak menyadari hal itu. Tujuanku bercerita adalah agar Kevin dapat melihat keseluruhan kejadian. Tapi, ternyata yang ditangkap oleh Kevin adalah sosok Ana yang sepertinya mendominasi isi ceritaku. “Kalau gue boleh nge-judge Man, lu suka ama si Ana sampe lu enggak nyadarin itu deh?” Kevin berasumsi. Sialnya, aku tidak terasa ingin mengelak dan membantah. “Oh, come on! Lu tahu sendiri konsep suka kaya gitu terlalu subjektif.” Aku coba meluruskan. “Ya, karena itu subjektif, pada dasarnya berarti lu suka, tertarik sama doi. Kalau mau objektif, lu punya ketertarikan di atas batas standar sama si Ana itu.” Kevin membuat pernyataan lainnya. Secara konsep, asumsi yang dibuat Kevin tidak memiliki celah untuk aku sanggah, hingga aku tidak tahu harus menjawab apa selain mengiyakan perkataannya. “Masalah selanjutnya, perasaan lu gimana? Denger cerita lu ketemu Lara pas bareng Ana, gue harus bilang you look like an asshole. Kek playboy yang lagi ngegebet cewek tapi ketemu cewek lain yang lu sayang. Hahahaha.” Kevin menghakimiku. “FAK! lya gue ngerasa yang sama nyet. I felt like a jerk! Tapi, enggak kayak gitu... lebih kayak...” Aku mencari kalimat 277 yang tepat untuk menjelaskan. “Haha, iya, iya, gue paham. Perasaan itu cuma timbul karena kecanggungan yang enggak lu siapin. Gue paham, Man. Santai, santai. Hahaha. Kita ambil kesimpulan. Karena, Ana dan Lara pada saat itu adalah dua orang yang sangat lu pedulikan, tapi dalam konteks yang beda. Lu peduli sama Lara dalam konteks entah masih sayang atau entah karena dia mantan lu. Sedangkan, Ana adalah orang yang bikin lu tertarik sama, yah apa pun yang ada dirinya. Lu yang tahu.” Kevin coba meluruskan pandangannya. “Naaah... naaah...! lya! Gila, gila, keren lu bisa paham.”” Aku menunjuk-nunjuk Kevin sambil tertawa. “Selanjutnya, tinggal lu pahami aja. Lu sama Ana emang cuma tertarik sebagai apa pun dia buat lu. Entah temen yang nyenengin, atau emang tanpa sadar lu sebenernya.... Yah, lu tahu maksud gue. Dan, dengan Lara, kita udah bahas ini dan gue enggak tahu lu lagi bikin denial, atau emang beneran udah... biasa aja,” ujar Kevin. Kalimat itu menjadi sesuatu yang akhirnya bersarang dalam kepalaku. Mencari pembenaran atas apa yang aku rasa. Berhari-hari rasa takut mengiringi setiap langkah, seperti bayangan yang tak ingin pernah lepas. “Terus, sampe sekarang lu belum ngehubungin Lara? Apa kek? Ngajak ketemu atau ngasih tahu udah sejak kapan lu di Jogja. Siapa tahu doi sebenernya marah atau juga nungguin lu ngabarin?” tanya Kevin. 278 Aku tersentak dengan pertanyaan Kevin. Sama-sama mempertanyakan apa yang sebenarnya membuatku belum mengabarinya. “Hmm... kayaknya ntar aja. Gue pikir kami pasti sama- sama paham kalau nanti bakal ketemu lagi, enggak sengaja lagi. Lara juga paham gue harus fokus beresin naskah dulu kayaknya.” Aku menjawab sebisaku. “Ye, jangan lah. Gimana pun juga dia cewek. Kabarin kek, meskipun mantan lu. Seenggaknya lu bersikap lakik. Kalau kayak lu gitu malah bikin dia tambah sebel. Doi bakal ngerasa enggak penting lagi buat lu, karena lu enggak ngasih tahu kalau lu di jogja. Apalagi kalau doi tahu lu udah beberapa Minggu di sini.” Kevin menasihatiku. “Hah? Buat apa doi ngerasa enggak penting lagi? Kan, gue enggak maksud begitu.” Aku membela diriku. “Eh, gilak. Meskipun iya, enggak maksud gitu lu tetep enggak bisa seenaknya, tahu. Gue paham sih lu enggak suka sama hal yang begituan. Ngehubungin buat ngasih tahu di Jogja karena lu juga pasti ngerasa buat apa lu ngabarin doi. Atau, lu juga enggak pengen bikin kejutan. Tapi, cewek enggak bisa sesimpel pikiran lu, Sakaaa... Ganteeeeng.... Gue aja lakik gemes ama lu!” Kevin menggerutu sambil mengepalkan kedua tangannya di sebelah telinga kiri kananku. “Lu udah di sini, jarak lu udah tinggal ngesot doang sama Lara, masih aja belum ngehubungin. Eh, malah ketemu sama cewek lain. Lu mikirin perasaan Lara enggak sih?” Kevin 279 mulai menceramahiku sekarang. “Kok, jadi lu yang marah sih? Lagian Ana bukan cewek lain, Nyeeet....” Aku membantah Kevin. “Lah, Ana cewek kan? Apa lakik?” Kevin bertanya heran. “Iya lah, doi cewek.” Aku menjawab. “Ya, udah, berarti Ana itu cewek lain.” Kevin tetap pada pendapatnya. “Kampret lu nyebelin. Iya, Ana cewek, tapi bukan cewek lain.” Aku tetap pada pendapatku. “Di mata gue, di mata lu, Ana emang temen cewek lu. Di mata Lara, Ana itu cewek lain. Ngerti kagak sih lu? Euuuh... gemes gue nih ama gagang pintu kagak ngerti-ngerti.” Kevin terdengar semakin gemas. Tingkahnya semakin lucu tapi aku tetap saja bingung, untuk apa Lara memandang Ana adalah perempuan lain. Yang aku pahami kecanggungan kemarin karena Ana dan Lara adalah dua orang asing yang saling mengenal, yang kebetulan menjadi partnerku menulis. Kecanggungan saat itu hanya karena Lara harus bertemu denganku bersama orang lain. Sesuatu yang kemudian membuat kami bersikap tidak normal. Aku belum bisa menceritakan ini kepada Ana karena menurutku belum saatnya ia tahu. Ada yang harus aku pastikan terlebih dahulu. 280 Weekend berlalu dengan cepat namun tidak dengan perasaanku yang baru saja bertemu dengan Saka di hari Sabtu beberapa minggu lalu. Ada sedikit perasaan yang membuatku gelisah selama berhari-hari tapi berusaha keras aku enyahkan. Aku tak ingin menciptakan harapan-harapan baru yang nantinya akan aku patahkan sendiri. Apa tadi yang baru saja aku bilang? Harapan? Aku ingin tertawa sendiri mendengar nuraniku berkata demikian. Harapan apalagi yang sebetulnya aku simpan untuk Saka? Saka memperjuangkanku, Saka memintaku kembali? Atau, Saka yang ternyata diam-diam masih mengharapkanku? Kali ini pertarungan antara nurani dan amygdala-ku kembali lagi. Astaga, aku rasanya butuh Kanaya untuk menumpahkan segala keresahanku. Sampai detik ini aku belum sempat memberitahu Kanaya bahwa aku telah bertemu Saka kembali. Jangankan memberitahunya perihal itu, menghubungi Kanaya saja rasanya aku tak bisa. Waktuku seolah habis oleh hal-hal yang aku sendiri tak tahu apa. Waktu juga yang kembali membawaku ke rutinitas pekerjaan. Aku memulai Senin pagi ini dengan proofread naskah milik Riana dan Saka. Ah, kenapa sekarang aku harus berada di satu lingkungan yang sama lagi dengan Saka? Jika sudah seperti ini rasanya percuma saja untuk tak berusaha memikirkan atau menghubunginya. Karena, suka tidak suka, aku dengannya memang akan 281 selalu berhubungan, meski pada akhirnya selalu ada Riana di antara kami. Jujur saja, aku memang masih menghindari Saka terus-menerus. Aku hanya selalu memberikan informasi dan menanyakan perkembangan naskah kepada Riana, bukan Saka. Entah aku harus bahagia atau sedih mengetahui Saka saat ini berada di Jogja. Aku masih terus bertanya-tanya apalagi yang dia lakukan di kota ini. Mungkinkah dia sedang ada pekerjaan di sini? Tapi, pekerjaan apa? Masihkah freelance? Atau, justru ia hanya sedang lari lagi dari masalahnya di Bandung? Kekesalanku sedikit bertambah karena sampai detik ini Saka tidak juga menghubungiku. Padahal, takdir sudah kembali mempertemukan kami dengan caranya yang mengejutkan. Padahal ia memiliki alasan untuk menghubungiku lebih dulu terkait dengan naskah yang sedang ia kerjakan. Aku kemudian membaca kalimat demi kalimat dari tulisan Saka dan Riana. Membalik halaman per halamannya dan dibuat berkali-kali tercengang dengan isi naskah. Aku seolah sedang diajak kembali di saat-saat aku dan Saka baru pertama bertemu. Bagaimana masing-masing kami membawa luka, hingga akhirnya terbuka dan saling menerima satu sama lain. Si tokoh lelaki adalah pihak yang sering meninggalkan, persis seperti Saka. Dan si tokoh perempuan adalah yang sering 282 ditinggalkan. Mungkin hanya mirip saja. Aku coba berpikir positif dan menghilangkan pikiran macam-macam yang menggangguku. Tapi, nuraniku semakin resah ketika kembali membaca ulang outline yang alurnya benar-benar mirip dengan kisahku dan Saka. Heran, Saka tampaknya tak pernah bosan dan selalu saja tak pernah berhenti memberikanku sebuah kejutan yang menyakitkan. Apa-apaan lagi kali ini? Ingin menjual kisah kami dan menjadikannya sebuah buku? Lalu, orang- orang yang kenal dan mengerti hubungan kami akan mulai membuat penilaian siapa yang benar dan siapa yang salah? Sungguh, seberani ini Saka menggunakan kisah kami sebagai bahan tulisan? Pun, tanpa permintaan izin dan persetujuan dariku. Sebuah kejutan termenyakitkan yang pernah kudapat sepertinya. Kukira, setelah pertemuan di pantai itu semuanya sudah usai. Ya, setidaknya tak ada dendam atau bahkan hal-hal lainnya yang mengganjal di antara kami. Tapi ini, Saka seolah sedang menabuh genderang perang lagi denganku. Aku masih tak habis pikir dengan maksudnya dengan semua ini. Apakah ia masih ingin mencari pembenaran dan membuatku terus-terusan menjadi pihak yang paling bersalah? Aku masih terus-menerus menghubungkan satu demi satu kejadian untuk membentuk kesimpulan yang sekiranya mendekati kebenaran. Pikiranku buyar ketika 283 terdengar suara memanggil namaku. “Ra, lu ditunggu Rio di ruangannya tuh,” ucap Rani. Aku hanya mengangguk dan segera menuju ruangan Rio. Entah apalagi yang akan dibahas lelaki itu di hari ini. Rasanya tak ada sedikit pun masalah yang terjadi perihal urusan pekerjaan. Aku memasuki ruangan ketika dia baru saja meletakkan kacamatanya di atas meja. Ternyata, ucapanku sewaktu di pesawat benar-benar dia pedulikan. Jangan bilang, dugaanku benar bahwa Rio memang menaruh harapan kepadaku. Jangan-jangan Rio memang salah mengartikan segala sikapku yang begitu terbuka kepadanya. Ya, setidaknya aku menerima dia sebaik yang aku bisa. Oh, jangan sampai, karena masalah dengan Saka saja sudah membuat hidupku rumit. Jangan lagi ditambah dengan masalah ini. “Duduk, Ra.” Rio kemudian menungguku hingga aku duduk di depannya. “Kamu lagi sibuk ya?” Rio bertanya. Aku yakin sebuah pertanyaan basa-basi. “Enggak juga, ini udah agak longgar daripada kemarin sih. Ada apa emang?” Aku bertanya. Rio menatap lekat tepat di manik mataku, seolah berusaha mencari tahu apakah ada kebohongan dari setiap ucapanku. “Gini, Ra. Kamu yakin enggak kenapa-kenapa?” “Kenapa-kenapa gimana? Emang aku kenapa?” Aku keheranan dengan kenapa-kenapa yang ia maksud. “Naskah Riana sama Saka udah sejauh mana? Aku liat 284 progress-nya lama banget. Padahal aku inget loh kamu yang paling semangat waktu rapat redaksi itu. Pas mau ketemuan juga semangat kayaknya. Tapi, setelah ketemuan sama mereka beberapa minggu lalu, aku ngerasa semangat kamu jadi menurun. Aku tahu kamu sibuk dan enggak hanya urusin naskah mereka. Tapi, aku ngerasa kesibukan kamu itu hanya usaha kamu untuk menghindari menyelesaikan naskah itu. Ada yang aku lewatin ya, sampe kamu mendadak berubah?” Rio bertanya sambil menatapku tajam. Hening berkepanjangan terjadi kepada diriku sendiri. Rio ini cenayang atau apa sih? Kenapa dia selalu bisa menebak hal-hal yang coba aku sembunyikan? Mengapa dia selalu bisa tahu aku berubah? Padahal aku berusaha meminimalisir perubahanku sekecil mungkin agar tak ada yang menyadari. Nuraniku ingin berontak rasanya, karena mengetahui seseorang bisa dengan mudah menebak diriku. Aku masih berusaha mengelak dan memberikan alasan terbaik kepadanya. “I’m fine, bener-bener enggak ada apa- apa. Aku sibuk saja. Pegang HP aja aku tuh enggak bisa, Mas. Aku malahan kangen ada di kantor. Duduk ngedit, nge-proofread naskah, ngeliatin progress naskah-naskah lain, ikut ribet dan bantuin kerjaannya Mas Ardi. Aku kangen di kantor. Tapi, ya gimana lagi, beberapa minggu ini aku emang enggak bisa kerja di kantor. Bukan kemauanku, tapi keadaan yang memaksaku untuk jadi sibuk.” “No Ra, it wasn’t you. Dari awal kamu pindah di sini, 285 aku merhatiin kamu dan liat kinerja kamu. Aku tahu kamu orangnya bisa banget untuk bagi waktu. Meski jadwal padet, kamu selalu bisa untuk merhatiin sekitar kamu dan aku selalu dapet perkembangan kerjaan kamu. Tapi, ini enggak. Aku bahkan enggak pernah denger kamu ada laporan apa-apa.” Rio masih tetap pada pendiriannya dan terus mendesakku untuk mengaku. Sial, kenapa Rio harus sedetail ini memerhatikanku. Sebetulnya, aku tak mengada-ada dengan alasanku. Pada kenyataannya aku memang sesibuk itu dan seluruh waktuku habis. Ya. walau entah habis untuk apa. Aku saja seringkali mengeluh kepada diri sendiri sebab tak ada waktu untuk sekadar me-time. Jangankan me-time, menulis di Blog atau buku catatan saja rasanya aku tak pernah bisa lagi. Sejak pertemuanku dengan Saka waktu itu memang segalanya berubah. Aku tahu ada yang berubah pada diriku, pada perasaanku, pada pikiranku. Entah mengapa aku seolah tak lagi bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku seperti sedang melarikan diri dari pikiran-pikiranku yang kerap mempertanyakan Saka. Aku tampaknya terlalu berlebihan menggunakan waktuku, hingga tak bisa bernapas barang sejenak, “Hmm... aku tahu ada yang salah sama diriku,” ungkapku jujur kepada Rio. “Maksudku aku tahu aku enggak sebijak biasanya ngegunain waktuku. Tapi serius, I’m okay. Kalau pun aku kenapa-kenapa, itu hanya antara aku dengan diriku 286 sendiri yang lagi kesulitan untuk ngatur waktu. Setelah ini, aku pastiin semuanya akan kembali seperti semula. Semua kerjaanku bakal aku beresin. Ah, ya untuk naskah Riana dan Saka itu, aku udah mulai baca kok dari tadi pagi.” Aku berusaha meyakinkan Rio. “Ra, kalau kamu butuh istirahat enggak apa-apa. Kamu boleh cuti beberapa hari. Tapi, janji sama aku ketika nanti masuk lagi, kamu udah kayak Lara yang pertama kali bergabung dengan tim di sini.” Mendengar ucapan Rio itu aku justru malah tak enak hati. Tak biasanya aku tidak profesional seperti ini. Saat ini aku malah semakin merasa ingin bertemu dan marah kepada Saka, karena kehadirannya ternyata hanya mengganggu laju kehidupanku. Kehadirannya dan kejutan yang dia bawa kali ini justru membuatku tak lagi bisa menapak dan menjalani rutinitasku seperti sedia kala. “Enggak, enggak perlu sampe cuti. Ini bukan masalah besar kok. Aku kayaknya cuma butuh tidur lebih banyak aja. Jangan dibesar-besarin Mas, aku malah jadi enggak enak sendiri nih.” Aku menegaskannya kepada Rio. “Oke, kalau menurutmu semuanya baik-baik aja dan kamu tetep enggak mau cuti. Kamu sekarang boleh balik ke ruanganmu dan lanjut kerja lagi. Tapi Ra, kalau kamu cerita aku selalu siap dengerin kamu. Just remember it.” “Tya, aku inget. Makasih udah diingetin karena aku kerjanya enggak bener, hehe. Aku langsung kerja lagi ya,” 287 Aku memberikan senyum simpul kepadanya lalu segera beranjak kembali ke meja kerjaku. Naskah Riana dan Saka adalah hal pertama yang aku lihat di atas mejaku. Aku menghela napas berat sambil memandangnya. Mau tak mau, suka tidak suka, aku tetap harus bisa profesional sekarang. Aku harus bisa mengesampingkan segala keresahan dan pertanyaanku tentang Saka. Terutama tentang perasaanku kepadanya yang sampai sekarang aku yakini belum juga usai. Aku mulai kembali membaca lembar per lembarnya. Bukannya menjadi tenang, aku justru tak lagi kuasa menahan amarahku. Terlalu banyak rasa kecewa dan pertanyaan atas isi naskah yang harus Saka jelaskan kepadaku. Rasa gengsi yang sedari kemarin membuatku enggan menyapa Saka lebih dulu kini hilang sudah. Tenggelam bersama kekecewaan yang sedang aku rasakan. Aku lalu membuka aplikasi chatting dan mulai mencari nama Saka lalu mengiriminya sebuah pesan. Besok kita bisa ketemu? Tak sampai lima menit aku mengirim pesan, Saka sudah membalasnya. Haha, ingin rasanya aku tertawa melihatnya. Menertawai diriku sendiri tentunya. Sebuah kesimpulan mendadak muncul di kepalaku. Jadi, selama ini Saka 288 memang hanya tak ingin menghubungiku lebih dulu. Bahkan sejak dia berada di Jogja, dia memang memilih untuk tidak memberitahuku. Mungkin untuk Saka saat ini aku tak lagi berarti, apalagi sejak kehadiran dan kedekatannya dengan Riana. Bisa. Jam 5 sore, gimana? Oke, nanti aku kasih tahu lagi tempatnya di mana. Aku menatap percakapan itu sambil menahan amarah yang sudah membuncah. Aku benar-benar harus bertemu Saka untuk ini. Setidaknya untuk meminta penjelasan atas semua sikapnya. Sekaligus menumpahkan semua kemarahan yang aku pendam untuknya. a Aku mulai sibuk menulis dan kadang mencuri waktu di sela-sela pekerjaanku di kedai kopi. Tidak jarang juga aku pulang tepat waktu dan mencari kedai kopi lain yang lebih sepi. Menulis butuh 289 keadaan yang tidak banyak distraksi bagiku. Ingatanku melayang pada hari-hari aku dengan Lara bertemu. Seolah memasuki portal untuk kembali pada saat itu. Untuk merasa apa yang tengah aku rasakan waktu itu. Tentang luka yang aku sembunyikan. Aku kemudian kembali pada masa sekarang untuk meramunya dalam bentuk cerita. Menari dengan diksi dan menggabungkannya dalam bentuk alunan prosa dan senandika yang merdu. Jari ini tidak ingin berhenti seperti penari yang selaras dengan irama musik yang membawanya bergerak ke sana kemari. Hentakan jariku seperti loncatan kaki penari balet. Melenggang dengan pasti dan merasa yakin atas pijakan- pijakannya meski tetap lembut. Perasaan kepada Lara sedang menguasaiku. Aku kira laiknya bernostalgia hanya untuk mengenang kejadian, rasa, dan memiliki sifat yang kompleks. Aku adalah air bening yang polos. Namun saat menuju pada masa itu, seolah aku dibubuhi macam-macam rasa. Laiknya air, aku tak punya kuasa untuk membatasi semua rasa itu dalam diriku dan membuat batas. Semua rasa kini larut dalam diriku. Aku tak bisa menyangkal bahwa aku adalah sebuah unsur yang terbentuk dari senyawa rasa tentang Lara. Perihal rasa, nurani yang lebih paham daripada diriku sendiri. Nurani lebih paham akan makna yang sedang menunggu untuk dipeluk. Hinga aku menyadari bahwa penerimaan yang aku rasakan saat bertemu dengan Lara kali terakhir adalah 290 sebuah konsep renung yang membuatku sadar bahwa aku telah mengakui kesalahanku. Bahwa Lara benar, bahwa aku tidak bisa memaksakan prinsipku pada hidupnya. Karena setelah aku renungkan, tujuanku ke Jogja bukan hanya demi mimpiku membuka kedai kopi. Justru Lara yang membuatku membangun mimpi itu. Karena yang tengah aku pertanyakan, apakah aku akan tetap datang ke mari jika Lara tidak tinggal di sini sekarang. Aku menghentikan tulisanku, sampai pada titik aku dan Lara akhirnya bersama. Seolah sulit sekali menuliskan cerita yang eksplisit agar tak terkesan bahwa itu adalah aku. Bahwa sudut pandang yang sedang bercerita bukanlah aku yang saat itu merasa bahagia menjalin hubungan bersama Lara. Namun, nalar tetap memaksa jariku agar tak ada satu pun rasa yang perlu dibungkam. Seolah nalar memohon kepada nurani, agar semua rasa bisa tersampaikan dan akhirnya hinggap di mata Lara. Untuk kemudian bisa direngkuh olehnya. Sebuah kejujuran yang selama ini hanya dapat berteriak dari kedalaman rasa, yang tak mampu terbang ke permukaan. Tersembunyi di dalam rongga-rongga diksi yang disembunyikan pada setiap prosa yang aku tulis. Hingga jariku akhirnya tunduk pada nalar, ditunggangi rasa yang sedang membabi-buta. Semuanya berebut ingin tumpah lewat diksi yang berdesak-desakkan dalam setiap paragraf yang aku tulis. 291 Aku tak pernah tahu bahwa menulis ini, akan membawa Lara terasa lebih dekat dari hari-hari sebelumnya. Membuatku merasa memiliki kemungkinan yang tidak pernah berani aku inginkan, Kembali pada Lara. Tidak jarang aku dan Ana beradu argumen perihal kesesuaian cerita, kesesuaian tokoh masing-masing. Bagaimana baiknya membuat konflik dan menyatukannya. Kami sama-sama seolah belajar untuk menjadi orang lain dalam menulis ini. Namun perihal merasa, sepertinya penulis dan tokoh yang kami buat adalah orang yang sama. Seperti beberapa konflik yang dibuat oleh tokoh Ana, berhasil menyita diriku untuk bersikap seperti apa. Aku diingatkan kembali oleh nurani untuk tidak terlalu tenggelam dalam tokoh yang aku buat sendiri. Tokoh yang aku buat bukanlah aku. Tokoh itu hanya sebagian kecil dari konsep tentang diriku. Aku harus bisa membatasinya agar terjadi sebuah kesesuaian cerita yang saling mengundang respon dan saling membangun. “Aku belum tahu kamu sepenuhnya, Saka. Tapi, kalau aku liat ceritamu, aku kayak lagi denger kamu cerita beneran. Hehehe.” Suatu hari Ana menggodaku saat kami sedang bertemu. “Emang, iya? Hmm... Berarti aku berhasil bikin karakter tokoh itu dong. Hehe.” Aku menjawab santai. “Eh, pantes aja tim Penerbit ngajak ketemu. Gara-gara kita keluar jalur dari outline yang kita bikin ya. Yang asalnya 292 mau prosa malah jadi novel, Hahaha,” ujar Ana. “Hahahahhaa. lya, tapi enggak apa-apa kan kata mereka juga. Yang penting ceritanya masih sesuai sama outline yang kita bikin?” Aku bertanya balik. “Hmm, aku sih oke-oke aja. Aku bebas. Kita saling ngisi aja. Cuma saranku jangan terlalu luas, takutnya malah jadi berantakan. Aku paham pasti kamu pengen ngeluarin dan ceritain banyak hal, tapi jangan dikeluarin sekaligus. Misalnya, bikin paragraf pembangun untuk menceritakan satu inti saja. Tujuannya, biar pembaca bisa memahami kenapa sesuatu bisa terjadi. Bisa ngebaca sebab-akibat dari sebuah makna yang terjadi,” tutur Ana. “Tya, iya, aku setuju. Hehe. Eh, deadline kapan sih?” Aku bertanya. “Pokoknya, kita dikasih jatah satu bulan buat selesain naskah,” ucap Ana. Fokusku sebenarnya tidak pada deadline, tapi pada Lara. Kapan akhirnya aku akan kembali bertemu lagi dengannya? Berharap beberapa chapter tulisan yang sudah kami kirim ke Lara melalui email Ana, akan membuatnya tersenyum dengan isi cerita yang kami suguhkan. Senyum sesekali ingin aku bentuk di wajahku. Mem- bayangkan bagaimana respon Lara ketika tahu bahwa aku terinspirasi dari cerita aku dengannya dulu. Berharap buku ini bisa menjadi kejutan baginya yang benar-benar tidak pernah dia sangka. Atau, bahkan kejutan yang tidak penah 293 berani dia harapkan. “Heh, kok ngelamun!” Ana menjentikkan jari di depan wajahku. “Ngapain kamu senyam-senyum gitu? Hayoo... hahaha.” Aku tertangkap basah. “Hah? Enggak, lagi bayangin aja siapa tahu tulisan ini diangkat jadi film. Ngayal aja dulu kan, enak soalnya ngayal. Hehe.” Aku beralasan sebisa mungkin. Sial. Wajahku pasti terlihat bodoh tadi. “Bener juga. Eh, ngomong-ngomong, jadi penasaran apa yang bikin kamu lancar gitu nulisnya? Aku aja yang seneng nulis kayaknya enggak selancar kamu.” Ana bertanya. Wajahnya yang innocent itu membuatku tak merasa tertekan sedikit pun atas pertanyaan yang sebetulnya membuatku bingung. “Hmm... ya, keresahan,” jawabku pelan. Menebak Ana akan puas atau tidak akan jawaban itu. Ana memiringkan kepala, tersenyum menggoda. Seperti sedang bertanya, itu bukan cuma keresahan sepertinya. “Hahahaha. Muka kamu lucu kalau kikuk gitu. Santai, Saka. I got it.” Ana kembali memfokuskan dirinya ke depan laptop dan melanjutkan menulis. Ada perasaan tak keruan menghinggapi dadaku. Sebagian merasa sangat nyaman bersama Ana. Kapan pun itu, Ana selalu mempunyai energi yang menyenangkan untukku. Seolah aku tak perlu merasa berjuang untuk menjadi seseorang yang sebaik mungkin. 204 Aku lalu melanjutkan menulis, meski pikiranku kembali kepada Lara. Kini aku merasakan ada hal yang berubah. Perihal Lara, ada kesungguhan rasa yang tidak pernah bisa aku artikan maknanya. Seolah kesimpulan tak pernah berada di dekatku untuk mengetahui kebenaran perasaanku kepadanya. Pikiran ini bercabang pada pertanyaan tentang siapa sesungguhnya Lara bagiku. Kadang aku berpikir, aku ini lelaki. Bisa saja aku jatuh hati kepada Ana, tapi tidak bisa. Ana tidak membuatku jatuh hati sebagaimana dia sangat menyenangkan dan membuatku merasa sangat bebas kapan pun aku bersamanya. Ya, meski aku tak pernah bisa memilih dan merencanakan akan jatuh hati kepada siapa. “Kamu pernah enggak sih sayang sama laki-laki, tapi enggak pengen kamu miliki?” Aku tiba-tiba bertanya. Kali ini aku menyadari betul pertanyaanku. “Bisa enggak sih kamu enggak senyum terus. Ganggu tahu! Hahahaha.” Aku tiba-tiba menegur Ana yang selalu saja tersenyum. Lihat saja, bahkan sebelum menjawab sempat- sempatnya dia tersenyum. “Hahahaha. Kenapa ganggu? Aku baru denger ada yang keganggu sama senyum.” Ana menjawab polos. “Ya, karena it’s paralyzing. Ahhhh, I can’t believe I could be that honest! Oke, oke, skip. Jawab pertanyaan aku.” Aku mengepalkan kedua tangan karena gemas. “Hahaha. Oke, oke. Akhirnya, ada yang nanya hal kayak 295 gitu. Aku pikir itu hal yang aneh tahu. Karena aku cukup sering kayak gitu. Aku enggak tahu kenapa aku punya banyak temen deket laki-laki. Dan ya, aku sayang mereka semua. Kenapa kamu nanya gitu?” Ana bertanya balik. “Ng... Enggak apa-apa. Hehe. Itu sayang ke temen like... bukannya biasa aja ya?” Aku memastikan. “Kayaknya enggak biasa aja. Aku enggak tahu apa orang lain kalau berkawan sama temen deketnya ngerasa sayang biasa aja apa gimana. Bahkan aku juga enggak tahu sayang biasa aja tuh kayak gimana, hahaha. Tapi, gimana ya kamu tahu kan perasaan sayang? Kamu bisa bedain saat rasa itu ada dalam hati kan? Ya, kayak gitu. Tapi, ya memang enggak ada sama sekali kepengen buat miliki orang itu. Perasaan itu menurutku nyenengin.” Ana kembali tersenyum. Kali ini barisan giginya yang putih terlihat. Membuatnya lebih manis dari Jogja yang cerah seperti hari ini. Ada sebuah ketenangan mendengar jawabannya. Ada juga rasa percaya yang tiba-tiba memuncak dan membuatku ingin bercerita perihal Lara. Agar suatu saat kami bertemu lagi, tidak perlu ada kecanggungan di antara kami. Agar Lara juga paham bahwa tidak ada hubungan yang aneh-aneh antara aku dan Ana. Sial, pikiranku kacau. Baiknya aku kembali fokus menulis, kembali pada rasa saat itu bersama Lara. Itu lebih menyenangkan. 296 “Saka, tolong anterin ke meja di ujung.” Yuda memberikan secangkir manual brew flores untuk diantarkan. Besok kita bisa ketemu? Sekembalinya aku ke bar, sebuah pesan masuk tiba-tiba membuat tanganku gemetar. Tak percaya pada apa yang aku baca. Lara mengajakku untuk bertemu. Tak tahan aku ingin tersenyum. Pesan yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang. “Napa lu senyam-senyum?” Yuda bertanya. “Lara ngajak ketemu, Man!” Aku berseru tak tahan. Tak sadar aku berteriak. Di depan bar tengah duduk tiga orang yang tengah mengobrol, dan Kevin di antaranya. “Hah? Siapa Lara?” Yuda bertanya keheranan. Aku lupa, tak ada yang tahu tentang Lara selain Kevin di sini. “Ajak sini kali!” Kevin berseru. Yuda masih bertanya-tanya perihal Lara, tapi Kevin menolak memberitahu. Ia malah meminta Yuda untuk bertanya kepadaku. “Ada laah...” Aku cekikikan sendiri. Tak dapat menahan senyum yang sedari tadi mekar. 297 Aku melanjutkan pekerjaan, mempersiapkan pesanan, membereskan bar dan mengecek media sosial Coffee and Drama. Sebetulnya aku ingin sekali mengajak Lara ke Coffee and Drama, sembari memberikan kejutan lainnya tentang kedai kopi itu. Tapi, aku memilih bertemu dengannya di kedai kopi Jain. Aku perlu waktuku sendiri untuk bersamanya. Seharian aku memikirkan apa saja yang ingin aku bicarakan dengannya. Tentang ibuku, tentang kedai kopi, tentang pertemuanku dengan Ana yang membawaku kepadanya. Lara harus tahu bagaimana semesta merencanakan ini untuk aku dengannya. Sudah kubayangkan bagaimana reaksi Lara nanti. Bagaimana antusiasnya mendengar ceritaku. Seperti bagaimana dulu dia selalu memintaku untuk terus berbicara, dan terus membuatnya senang dengan cerita-ceritaku. Aku udah sampe ya. 298 Aku mengirimi Lara pesan, setibanya aku di tempat kami janjian. Aku duduk di salah satu sofa yang bersebelahan dengan taman. Kafe ini memiliki area outdoor di bagian dalamnya. Ok. Hanya itu pesan balasan darinya. Aku menyimpan gawaiku di atas meja dan menikmati cappuccino pesananku. Setelah lama tak menikmati ini, aku cukup merindukannya. Rasanya seperti nostalgia, sama seperti pertemuanku sekarang dengan Lara. Aku masih tak habis pikir kenapa Kevin menolak untuk membuat menyediakan cappuccino dan latte. Lara tiba-tiba muncul saat aku tengah meneguk cappuccino panasku. “Hei.” Aku sedikit terkejut sewaktu menyapanya. Bukan karena kedatangan Lara, tapi ternyata cappuccino di tanganku over heat. Hampir saja tumpah. “Hei,” sapanya pelan. Rambutnya yang masih sedikit berantakan tengah dia ikat. Mata yang kemarin sempat canggung, kini bisa aku lihat lebih tenang. Tatapannya mendekapku ke dalam perasaannya. “Kamu udah pesen?” Aku bertanya. 299 “Udah,” jawabnya pelan. Nadanya dingin, mungkin karena masih canggung. “Kamu dari kapan di Jogja?” Lara mulai bicara. “Hehehe. Udah beberapa minggu. Tadinya aku mau kasih kamu kejutan, atau pengennya kita bisa enggak sengaja ketemu lagi kayak waktu itu. Eh, beneran enggak sengaja ketemu lagi.” Aku tersenyum. Menunggu respon Lara yang mungkin akan merasa takjub lagi dengan cara semesta mempertemukan kami. “Beberapa minggu? Ngapain? Wow, kamu emang bisa bikin kejutan. Dan, kejutan lainnya sekarang kamu nulis? Bener-bener nulis?” tanya Lara sinis. “Yap, and that’s another surprise! Hehe. Kamu Lara, yang akhirnya bisa bikin aku rajin buat nulis. Kamu harus tahu gimana aku ketemu Ana, gimana Kevin ngajak aku kesini, gimana secara random penerbit tempat kamu kerja nawarin Ana untuk bikin tulisan, dan akhirnya ngebawa kita ke pertemuan ini. Gosh, Lara. Kamu bisa liat gimana Tuhan nyiapin semua ini untuk pertemuan yang enggak disengaja lagi.” Aku berseru dengan semangat. “Wow. Ya, aku juga pasti takjub sama semesta. Takjub juga sama kamu. Apa kamu selalu sehebat ini, Saka?’ Lara bertanya tapi nadanya sedikit sinis. “Hmmm... sehebat ini? Maksud kamu?” Kali ini aku tak paham maksud Lara. “Kalau aku boleh tahu siapa yang bikin konsep cerita 300 itu?” Lara tidak menjawab pertanyaanku. Menggantinya dengan pertanyaan bernada semakin sinis. “Aku sama Ana yang bikin konsep ini,” tuturku. “Ah, menarik. Kalau aku tebak, tulisan kamu itu kayaknya aku familiar. Terinspirasi dari cerita kita?” Lara memicingkan tatapannya, dibubuhi senyuman sinis. “Tya...” Aku berkata pelan. “Sekarang kamu paham kalau kamu selalu hebat? Kamu selalu hebat nyakitin aku Saka. Saka, mungkin kamu emang orang yang bebas tapi kamu mungkin enggak pernah mikirin kebebasan kamu itu bisa ngelukain orang lain. Kamu pikir cerita kita buat dijual?” Lara terdengar semakin marah. Suaranya meninggi. Meski dengan nada yang tetap lembut tapi tegas. Mata hitamnya yang bersinar, memancarkan amarah yang siap untuk tumpah. Seorang waiter yang baru saja menyajikan pesanan minuman Lara, memberikan kami jeda untuk terdiam. “Eh hati-hati, masih panas!” ingatku. Lara yang masih dilanda murka, tak sadar akan langsung akan meminumnya. Aku tahu cappuccino di tangannya masih panas. Wajah Lara menyembunyikan sedikit malu karena ia tahu ucapanku benar. Cappuccino itu memang masih panas. “Lara, aku paham kamu kesel. Aku, aku enggak jual cerita kita. Enggak, Lara. Kamu editor, kamu paham bahasa Indonesia, kan? Terinspirasi. lya, aku terinspirasi dari cerita kita. Tapi, aku enggak ceritain kamu. Yang kamu baca cuma 301 dari sudut pandang aku kan? Kamu udah baca tulisan Ana? Apa itu tentang kamu? Enggak kan? Aku ceritain diri aku, dari sudut pandang aku, dari pemahaman yang kamu ajarin ke aku.” Aku menghela napas sebelum melanjutkan. “Kamu udah liat outline-nya bukan? Kamu paham tujuan konsep buku ini kan? Lara, aku lagi coba buktiin sesuatu, bukan buat diri aku, tapi buat orang yang baca. Aku enggak pernah bisa jadi orang yang bisa bantu banyak orang. Aku bahkan kadang ngerasa enggak berguna buat orang-orang sekitar aku yang aku sayang. Cuma dari bikin buku ini, dari tujuan konsep buku ini, aku jadi paham sesuatu. Aku selalu pengen bisa bantu orang lain tapi enggak pernah paham gimana caranya. Meskipun dengan cara yang menurut kamu salah, tapi inti tulisan ini adalah biar orang-orang yang baca bisa sampai pada satu titik penerimaan saat mereka terluka. Inget, gimana kita baik-baik aja waktu kita ketemu di pantai? Kamu pikir orang-orang bisa sebaik kamu? Sebaik aku? Sebaik kita yang akhirnya bisa berdamai sama luka kita sendiri. Bisa maafin diri kita sendiri? Di luar sana banyak, banyak banget yang cuma bisa mengutuk kepergian tanpa mau menyadari dirinya salah. Tanpa mau menerima bahwa kepergian seseorang adalah salah mereka sendiri. Mereka terlalu egois karena merasa telah terluka.” Aku menghela napas dalam. Lara masih memegangi cangkir cappuccino-nya, seperti biasa. “Dan iya, salah aku karena apa yang aku tulis memang 302 tentang perasaan aku saat itu bareng kamu, sampai akhirnya tanpa kamu. Itu yang bikin aku jadi salah. Dan, salah aku karena aku enggak minta izin dulu sama kamu. Aku minta maaf, aku sama sekali enggak berniat untuk menjual cerita kita. Enggak, Lara.” Aku meneguk cappuccino panasku. Lebih hangat dan menenangkan kali ini. “Diminum dulu atuh itu kopinya, jangan dipegangin aja ntar keburu dingin lagi.” Aku mengingatkan Lara. Perlahan Lara meneguknya. Aku tersenyum dalam hati. Wajahnya kuperhatikan, hingga tenang mulai meng- hampiriku. Semoga tenang menghampiri Lara juga. “Riana tahu kamu kenal aku? Dia tahu tulisan kamu ceritain tentang apa?” Lara mulai bertanya. “Enggak, dia enggak tahu sama sekali. Seenggaknya belum saatnya.” Aku menjawab. “Belum saatnya? Jadi, dia bakal tahu?” Lara mulai terdengar ketus lagi. “Look, Lara! Enggak mungkin kita harus terus-terusan enggak kenal di depan Ana. Emang Rio tahu kita kenal? Kamu emang pengen terus nyembunyiin kenyataan kalau kita saling kenal? Sejalan akhirnya mereka tahu, gimana pun mereka akan tahu kisah kita. Mereka pasti bertanya- tanya apa yang kita simpen atau sembunyiin? Kenapa juga dalam pertemuan kita kemaren kita bersikap pura-pura baru kenal?” Aku berkata pelan dan hati-hati. Lara kembali diam. Aku mengerti perasaannya. Per- 303 temuan beberapa hari lalu adalah kesalahan saat kami berlagak baru kenal. Hal itu hanya akan menyulut masalah baru. “Gimana pun mereka pantes untuk tahu. Kamu paham kenapa mereka pantas buat tahu? Kamu tahu itu, kan?” Berharap Lara paham maksudku. Dari tatapan lelaki yang kemarin bersama Lara, aku cukup paham apa yang sedang terjadi di antara mereka. Lewat pernyataanku barusan aku memberikan sebuah tuntutan untuk Lara. Seolah sebuah pertandingan. Apa yang akan terjadi saat akhirnya lelaki itu tahu bahwa aku dan Lara memiliki masa lalu? Memiliki rasa yang aku yakin masih saling terpaut hingga kini. “Kamu belum jawab, kamu ngapain di Jogja?” Lara bertanya. Kini nadanya semakin lembut. “Aku bikin kedai kopi di sini, sama Kevin, sama temen- nya,” jawabku pelan. Tak ada lagi yang aku harapkan untuk memberinya kejutan. “Kok, bisa?” tanya Lara terdengar antusias meski masih malu-malu. Aku kemudian bercerita tentang ajakan Kevin sejak kepulanganku dari Jogja. Tentang ibu dan adik-adikku yang harus aku tinggalkan sementara. Tentang keresahanku. Mata hitam itu kini kembali bercahaya nyaman. Tak semurka sebelumnya. Ada ketenangan yang akhirnya hinggap pada dirinya. Ada nyaman yang kukenali kembali 304 mengetuk diriku. Rindu sedang berpesta di antara kami yang kini saling tatap. Seandainya dia paham bahwa kedatanganku ke Jogja adalah untuk dirinya. Namun, aku belum bisa mengatakan hal itu. Keadaan seperti ini masih berbahaya untuk kejujuran. Dinding yang sekarang sedang mengelilingi Lara tak bisa aku hancurkan begitu saja. Aku mungkin bisa melewatinya, tapi Laraakan hancur bersama reruntuhan bentengnya. Akuyakin ada jalan yang lebih terhormat untuk bisa menembusnya lagi. Mengetuk pintu nuraninya. Aku segera menghempaskan tubuh di atas ranjang usai mematikan lampu utama dan membiarkan gelap mendekapku erat-erat. Aku baru saja pulang dari pertemuanku dengan Saka. Mendengarkannya menjelaskan tentang cerita yang dia buat untuk buku itu. Mendapati diriku yang terkejut berkali-kali bahwa dia telah lama berada di Jogja, sedang membuat usaha kedai kopi. Bahkan terkejut dengan keputusannya untuk menulis, terlebih dengan wanita lain tetapi menggunakan cerita kami untuk landasan ceritanya. Wow, aku tertawa sendiri sambil mengingat-ingat semua perkataan Saka. “Kamu bisa liat gimana Tuhan nyiapin semua ini 305 untuk, pertemuan yang enggak disengaja lagi?” Aku ingat binar matanya ketika mengucapkan kalimat itu. Seolah semua kebahagiaan tumpah ruah melingkupinya. Andai dia tahu, pertemuan ini justru entah kenapa malah membuatku menyesal. Menyesal berada di Jogja, menyesal bekerja pada penerbitan, menyesal harus kembali bertemu lagi. “Inget gimana kita baik-baik aja waktu kita ketemu di pantai? Kamu pikir orang-orang bisa sebaik kamu?” Kata-kata itu terus menggema di kepalaku, berdengung di telingaku, dan membuatku duduk di pojok ranjang sambil memeluk diriku sendiri. “Enggak ada yang baik-baik aja Saka, enggak ada. Enggak aku, enggak juga kamu.” Aku mengucapkannya lirih sambil mulai membiarkan air mata jatuh satu per satu. Setelah kejadian di pantai itu, setelahnya kembali mengalami pertemuan tak sengaja di coffee shop, semuanya tak lagi bisa baik-baik saja. Sebuah harapan menyeruak di hatiku setelah pertemuan-pertemuan itu. Harapan untuk bisa kembali merajut mimpi bersamanya. Harapan yang aku tahu hanya asa diriku seorang. Aku menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya aku masih tak bisa menerima semua penjelasan Saka. Masih ada yang mengganjal di hatiku. Aku ingin sekali marah, menumpahkan seluruh emosi dan kekesalanku kepadanya. Tapi aku takut, lagi-lagi terlalu takut bila aku akan kembali melukainya. 306 Melukai Saka dan tentunya melukai diriku sendiri karena sudah membuatnya terluka. Aku menangis kali ini, dalam malam yang terlalu pekat. Tanpa suara, tanpa isakan, hanya air mata saja yang meleleh di pipiku. Aku bahkan tak pernah merasa seperti ini sebelumnya, menyayangi seseorang dengan sebegitunya. Bahkan rela mengorbankan perasaanku sendiri hanya agar ia tak terluka. Dengan mentah-mentah menerima semua penjelasannya yang pada nyatanya justru menimbulkan banyak pertanyaan baru. Jujur aku marah dengan Saka. Dengan semua hal yang kembali dia hadirkan tanpa sengaja. Aku marah pada semesta. Mengapa harus membuatku kembali bertemu Saka? Namun sejujurnya aku lebih marah kepada diriku sendiri. Aku marah kenapa masih saja menuntut hal lebih terhadap perasaan Saka untukku. Aku masih terus menangis tersedu. Menghabiskan sisa malam ini hanya dengan diriku sendiri dan hening yang membawaku semakin terasing. Sebab, esok hari, aku harus mulai menjalani segalanya dengan normal kembali. Tak lagi bisa jika harus terus-menerus seperti ini. a” 307 Aku terbangun dengan mata yang terlalu bengkak untuk sekadar beralasan akibat bergadang. Aku segera mengompresnya dengan air es dan kantung teh. Aku sudah bilang kepada Rani bahwa hari ini akan telat datang ke kantor karena ada urusan pribadi yang sangat mendadak. Jaga-jaga jika Rio menanyaiku, aku harus memiliki alasan. Jika tidak maka teguran akan kembali menghampiriku. Usai mandi, aku mulai memoleskan concealer dan bedak di wajahku. Dulu aku tak pernah mengenal peralatan semacam ini. dulu, aku tak pernah tahu gunanya untuk apa. Sekarang, di saat seperti ini aku bersyukur pernah meminta Kanaya untuk membelikanku seperangkat alat make up lengkap. Pada kondisi sekarang, make up memang sangat berguna telah ditemukan dan dirancang untuk wanita. Aku terkekeh sendiri dengan pemikiranku. Semalam adalah kali terakhir aku menangisi Saka. Setelah ini aku sudah harus mulai menerima Saka yang kembali hadir di hidupku sebagai apa pun dia saat ini. Teman dengan teman. Sebatas penulis dengan editor pun aku tak akan mempermasalahkannya lagi. Aku sudah seharusnya mengerti dan memahami seperti apa hubunganku dengan Saka saat ini. Hubungan yang memang tak lagi memiliki masalah. Justru masalahku saat ini adalah Rio. Kemarin malam saat aku menangis karena Saka, bayangan sosok Rio selalu terlintas di pikiranku. Terlebih ketika kata-kata Saka kembali terngiang di telingaku, “Emang Rio tahu kita kenal? Kamu emang 308 pengen nyembunyiin terus kenyataan kalau kita saling kenal? Gimana pun, mereka pantes untuk tahu. Kamu paham kenapa mereka pantas buat tahu. Kamu tahu itu, kan?” Sial, aku tertawa sendiri mengingat kata-kata itu lagi. Saka seolah menyudutkanku, tapi ada nada cemburu pada penekanannya ketika mengatakan itu. Tapi sudahlah, mungkin itu bukan cemburu. Hanya sebatas keterkejutan Saka karenaakusepertinya seolah sudah kembali menemukan penggantinya. Padahal Saka seharusnya mengerti, Rio tak pernah bisa masuk di hatiku. Semanis apa pun senyum dan sikapnya, tetap saja ada orang lain yang tak pernah pergi dari relung hatiku bahkan memoriku. Dan ya, mau tidak mau seiring berjalannya waktu aku harus memberitahu Rio tentang Saka. Tentang apa yang pernah terjadi di antara kami, tidak secara lengkap tentu saja. Tentang kenapa aku dan Saka seolah tak saling kenal pada awal perjumpaan kami waktu itu. a Sudah mendekati satu Minggu terakhir deadline naskah Riana dan Saka. Sejauh ini aku sudah melewati minggu- minggu penuh dilema ketika membaca setiap tulisan Riana dan Saka. Rasanya ingin jungkir-balik, sesekali tersipu karena 309 adegan-adegan manis yang Saka tuliskan. Namun, sesekali dibuat nyeri oleh konflik-konflik yang diciptakan oleh Riana. Tapi bisa dipungkiri, aku pada akhirnya menyukai mengerjakan naskah ini. Mungkin Saka benar, sudah seharusnya kami membagikan apa yang pernah kami alami untuk orang lain. Memberikan pemahaman pada orang lain tentang meninggalkan dan ditinggalkan. Mengenai kepergian seseorang yang selalu punya alasan dan selalu memberikan luka pada diri setiap orang. Tentang penerimaan yang akan selalu hadir selama kita sebagai manusia masih hidup dan bernapas. Sebuah pesan masuk saat aku hendak mengecek jadwalku hari ini. Nanti makan siang bareng ya, Ra. Gue jemput di kantor lu aja. Kunci mobil lu taro di mana, btw? Aku segera mengetikkan balasan untuk Kanaya. Menjelaskan di mana aku menyimpan kunci mobil. Hari ini memang Kanaya sedang berada di Jogja, pun tadi pagi dia yang mengantarku ke kantor dengan motor. Sudah sejak kemarin pagi sebetulnya dia berada di Jogja. Kali ini alasannya bukan lagi karena patah hati, tetapi memang ingin berlibur dari penatnya Jakarta. Baru hendak meletakkan kembali ponselku di meja kerja, 310 sebuah pesan kembali muncul di layar ponselku. Kukira dari Kanaya, ternyata salah. Kali ini dari Saka. Aku otw ya, bisa tolong share location? Aku sendiri soalnya, Ana enggak bisa ikut. Dia bisanya sore. Aku menepuk jidat karena lupa hari ini adalah jadwal Saka dan Riana untuk menandatangani kontrak. Segera aku membalas pesannya dengan memberikan lokasi di mana kantorku berada. Sebaik apa pun pembicaraan kami saat kemarin bertemu, dan sebaik apa pun penerimaanku saat ini dengan keadaan, tetap saja aku dan Saka masih tidak berkomunikasi bahkan bertemu lagi. Kami memang berada di satu kota saat ini, tapi bukan berarti kami harus kembali menjadi dekat, kan? Lagi-lagi logikaku mencoba mengalahkan nurani yang sedang kembali ingin berharap akan sesuatu hal yang tidak mungkin. Sembari menunggu kedatangan Saka, aku segera menyiapkan kontrak juga naskahnya. Ada beberapa hal yang ingin kubahas terkait kesesuaian alur dan miss tulisan Riana dengannya. Setidaknya hari ini aku harus bisa bersikap senormal mungkin. Ya, berusaha saja dulu. Aku segera beranjak ke belakang, ke meja tempat biasanya redaksi berdikusi. Aku melirik ke ruangan Rio sekilas. Tampaknya dia belum datang. Mungkin sedang ada 311 keperluan pikirku. Bagus, setidaknya aku tidak akan terlalu canggung jika nanti Saka datang. Setidaknya aku tidak harus menceritakan kepada Rio tentang Saka saat ini. “Hai!” Aku menoleh ke arah suara yang begitu aku kenal. Saka sudah berdiri di sana dengan rambut yang masih saja terlihat berantakan dan membuatku gemas ingin merapikan. Tubuhnya masih dibalut parka serta menggendong ransel yang tak pernah alpa untuk dia bawa. “Eh, hai. Sini, sini. Duduk di sini aja.” Aku menunjuk bangku di hadapanku dan mempersilakannya untuk duduk. “Asyik ya, tempatnya. Pantes kamu betah.” Saka melepaskan parka dan menyampirkannya di kursi sambil memandang ke sekeliling. “Ya, atuh kalau enggak asyik mah bisa stres sendiri. Duduk seharian terus berkutat sama tulisan-tulisan. Agak bikin lelah juga ya, hehe. Kamu mau minum apa? Kopi, teh, atau air putih? Kopi mah bosen kali ya, kan udah jadi saudagar kopi sekarang,” selorohku berusaha mencairkan suasana. “Enggak usah repot-repot, Ra. Nanti aja deh.” “Oh, ya udah kalau gitu. Nanti kalau mau minum langsung bikin sendiri aja ya, di situ tuh.” Aku kemudian menunjuk dapur tempat aku dan teman-teman lain sering membuat minuman dan terkadang masak makanan instan sendiri. “Santai aja, Ra. Masih kenyang, soalnya aku tadi baru abis makan gudeg juga,” ucapnya sambil mengusap-usap perut. 312 Aku tersenyum melihat kelakuannya itu. “Masih aja gudeg mulu, belum bosen juga emang?” tanyaku berbasa- basi, menghilangkan kecanggungan serta rasa berdebar di diriku sendiri. “Buat hal-hal yang menyenangkan dan bisa bikin bahagia emang bisa ada kata bosen?” Aku menelan ludah mendengar perkataan Saka. Sorot matanya ketika mengatakan itu membuatku tak lagi bisa menjadi fokus. Aku kemudian mencari topik pembicaraan lain dengannya. Setidaknya agar tak harus terjebak dengan kesalahan ucap yang malah akan membuatnya mengerti perasaanku. Tidak sekarang. “Riana ke mana emang? Kok, enggak bareng?” Lagi-lagi sebuah pertanyaan basa-basi terlontar dari bibirku. “Doi ada jadwal kuliah, katanya. Urusan penelitian skripsi. Bisa ke sini sore. Nah, aku in charge kalau sore,” ucap Saka sambil menyalakan laptopnya. Aku hanya mengulas sebuah senyum melihat tingkahnya. Benar-benar sudah seperti penulis sekali, tak bisa jauh dari laptop. “Wuih, pemilik sekaligus barista juga nih? Keren, keren.” Aku memujinya terang-terangan. “Kapan emangnya aku enggak keren, Ra?” Senyum jahilnya kemudian merekah dan membuatku ingin sekali mengutuk diriku sendiri yang sepertinya bahagia bisa kembali melihat senyum itu. Aku rindu, ya rindu dengan 313 senyum itu. Rindu dengan pemiliknya, dengan Saka. “Pas nyakitin aku enggak keren, Saka”, ucapku dalam hati seraya menyiapkan kontrak yang tadi sudah aku bawa. “Ini sambil diparaf di setiap halamannya ya. Terus, tanda tangan di lembar yang ada nama kamunya. Beberapa data diri yang belum lengkap nanti langsung kamu tulis aja.” Aku menyodorkan surat kontrak dan pulpen kepada Saka. “Asli ini teh aku tanda tangan kontrak nerbitin buku? Hahaha, enggak nyangka.” Saka tertawa sambil memandangi kontrak yang tadi kuberikan. Jujur saja aku sebenarnya malas jika harus membahas tentang buku kepadanya. Sebab, mau tak mau amygdala-ku akan memroses semuanya lagi, dan membuatku kembali teringat dengan seluruh kenangan bersama dengan Saka. Tidak sekarang, tidak jika hanya berdua dengan Saka. “Coffee shop kamu di mana sih?” tanyaku mencoba mengalihkan pernyataannya. “Demangan baru, Ra. Coffee and Drama, namanya. Aku mau ajak kamu ke sana. Tapi, nanti pas aku enggak in charge ya. Mau kan? Tapi, enggak ada cappuccino sama gula merah kalau di tempatku.” Lagi-lagi dia menyunggingkan senyum jahil itu Mungkin untuk Saka, ini adalah hal yang mudah. Baginya mungkin aku sudah terlalu cukup dewasa untuk memproses semua ini agar tetap bisa menjadi baik-baik saja. Aku masih bergeming. Mencoba untuk menenangkan hati 314 serta pikiranku yang kembali carut-marut. “Aku masih enggak nyangka aja lagi-lagi semesta bikin kita ketemu dengan caranya yang... mengejutkan. Lagian kamu ngapain pake bikin kedai kopinya di Jogja? Kenapa enggak di Bandung aja? Kan jadi lebih deket juga sama rumah, sama adek-adekmu dan tentunya sama mamamu.” Aku bertanya lebih lanjut. “Aku sempet mau tanya itu juga sama Tuhan, kenapa harus di Jogja. Tapi enggak jadi, karena aku kayaknya udah tahu kenapa. Tuhan ketawa doang kali ya, pas aku enggak jadi nanya. Hehe.” Saka menjawabnya dengan sebuah candaan. Aku hendak kembali membuka percakapan, yasetidaknya entah kenapa jawaban Saka tadi justru membuatku kembali merasa nyaman untuk mengobrol dengannya. Namun, Rio sudah lebih dulu hadir dan duduk di sebelah Saka. “Halo Bro, gimana naskah? Beres?” tanya Rio sambil menepuk pundak Saka. “Tinggal ending nih. Lusa fixed beres,” jawab Saka tenang meski sempat terkejut dengan kehadiran Rio yang tiba-tiba. “Mantep deh kalau gitu. Ditangani dengan baik kan sama si ibu editor sibuk ini?” Kini Rio ganti menatapku dengan pertanyaannya yang membuatku lagi-lagi mengutuk diri sendiri karena harus berada di situasi seperti ini. Saka menatapku sekilas tapi lekas menjawab pertanyaan Rio dengan santai. “lyalah pastinya, editor terkece banget Lara mah.” 315 “Eh ya Ra, promosi gimana? Kamu udah pikirin? Atau, kalian udah ngobrol-ngobrol tentang ini?” Rio kembali mengajukan pertanyaan yang kali ini ditujukannya padaku. “Aku belum ngobrol sama Saka maupun Riana sih. Tapi, sejauh ini di bayanganku sih paling enggak jauh dari promo di media sosial yang udah wajib hukumnya, ngadain beberapa acara talkshow, sama paling bikin video kali ya. Video durasi satu menit yang isinya sosok si cewek dan cowok di novel ini. Enggak usah keliatan muka, cukup sosoknya aja. Biar pembaca penasaran, gimana?” Kali ini aku bertanya kepada Saka dan Rio sekaligus. “wah, ide bagus tuh, Ra. Tapi, nanti siapa yang shoot video-nya ya? Si Ardi kayaknya lagi enggak bisa keluar-keluar tuh, deadline cover dia banyak kayaknya,” Rio tampak berpikir sesudah mengucapkan itu. “Saya aja.” “Saka aja.” Aku tersenyum kikuk mendapati diriku dan Saka memberikan jawaban yang sama dan bersamaan. “Wah, editor sama penulisnya udah sehati banget kayaknya nih, bisa jawab barengan gitu. Saka punya basic fotografi?” Rio kembali bertanya. “Ya, sedikit-sedikit bisalah, Mas. Tapi, enggak jago-jago banget.” Rio mengangguk yakin. “Multitalented ya. Oke deh, kalau gitu masalah video beres nih ya?” 316 Kami bertiga akhirnya terlarut dalam perbincangan- perbincangan ringan seputar kepenulisan, termasuk strategi untuk melakukan promosi dan mengenai jadwal penjualan online serta tanggal estimasi terbitnya buku Riana dan Saka. Begitu beragam pembicaraan lumayan membuatku lupa akan kecanggungan yang sempat terjadi dan bergejolak di hatiku. Aku sampai lupa sudah berapa lama kami mengobrol, jika saja Saka tidak pamit untuk kembali ke kedai kopinya. Selepas kepulangan Saka, aku masih tetap duduk dan bercengkerama dengan Rio. Membahas tentang isu-isu terbaru seputar pekerjaan kami. Sesekali Rio juga bertanya tentang ibuku yang hanya bisa aku jawab sekenanya. Enggan untuk membuatnya tersinggung, tapi tak ingin membuatnya kembali berharap terlampau jauh bahwa aku membukakan pintu untuknya. Aku sedang meneguk air putih di hadapanku ketika sebuah ucapan dari seorang wanita membuatku tersedak. “Anjir Ra, lu balikan sama Saka? Tadi gue ketemu.... Eh maap, maap, enggak tahu kalau lu belum istirahat. Soalnya tadi kata yang di depan langsung masuk aja.” Kanaya! Hatiku mencelos mendengar ucapannya. Dengan serta merta aku membelalakan mata ke arahnya. Kesal dengan apa yang baru saja dia ucapkan. Sesuatu yang seharusnya tak diketahui oleh Rio. Aku hanya bisa berdoa dalam hati sekarang, semoga Rio tak mendengar dengan jelas ucapan Kanaya tadi. Duh, kenapa Kanaya harus bertemu 317 dengan Saka? “Enggak apa-apa kok, ini emang udah waktunya istirahat. Kalian makan dulu aja. Udah Ra, makan dulu sana. Nanti maagmu malah kambuh.” Rio kemudian menanggapi Kanaya Ituberarti dia mendengar apa yang tadi Kanaya katakana. Tamatlah sudah hal yang selama ini coba aku sembunyikan. Apa yang seharusnya bisa aku sampaikan sendiri kini justru sudah lebih dulu didengarnya dari kecerobohan Kanaya. Aku berusaha bersikap setenang mungkin dan tidak menunjukkan raut wajah apa pun. “Hmmmm... kalau gitu aku istirahat dulu ya, Mas.” Rio hanya mengangguk dan membiarkanku serta Kanaya menghilang dari pandangannya. a 318 Se CHAPTER VI “PADA JARAK YANG SEMPAT TERCIPTA, SEBUAH RENUNG SEHARUSNYA BERKUASA* ;° “Man, gue cabut dulu ya. Ntar ke sini lagi.” Aku bersiap untuk pergi. “Eh, kok lu jadi sering cabut gitu sih?” Kevin berseru dari arah bar. “Gue ada perlu dulu Man, ngurusin naskah bentar. Kan, ntar ke sini lagi,” aku menjawab polos. “Man, jangan suka seenaknya gitulah, ninggal-ninggalin kerjaan.” Kevin terdengar protes. Masalah pekerjaan, Kevin memang terkenal cukup strict. Namun, bagaimana pun ada hal yang lebih penting untuk kubereskan saat ini. “Bentaran lagi naskah gue kelar. Gue janji enggak akan izin-izin lagi. Lagian gue udah titipin bar ke Bram. Gue juga liat-liat kali kapan bisa izin dulu. Sekiranya kedai lagi agak sepi. Santai lah.” Aku membela diri. “Gue cuma enggak enak sama yang lain. Lu ngasih contoh yang enggak bener. Kalau yang lain ngikutin lu, izin-izin di tengah kerjaan seenaknya gimana? Ngertilah, Sob. Gue bukan mau marahin lu tanpa alesan.” Kevin berkata pelan di depan kedai, berharap tak ada yang mendengar. “Gue paham. Lu tenang aja, oke. Doain gue lancar, mimpi gue dikit lagi kelar! Lu enggak pengen liat sobat lu jadi penulis apa?” Aku berseru, menenangkan Kevin. “Kejar mimpi boleh, tapi jangan sampe ngelukain mimpi orang lain juga. Dah, sana pergi lu. Bawain gue makanan pas baliknya.” Kevin menyuruhku pergi seraya kembali ke dalam 321 kedai. “Eh, Mas Sakaaa... tunggu, tunggu.” Tiba-tiba narni yang tengah mengerjakan skripsi memanggilku. “Nitip beliin pepaya ya, hehe. Ini uangnya. Kalau lebih kasihin tukang buahnya aja, jangan kasih kendor, eh jangan kasih kucing,” canda Narni. “Kok, tumben enggak semangka?” Aku bertanya. “Karena udah ada Mas Bram yang bisa semangka-in akuuu... hehehe.” Narni tertawa. “BODO!” Aku berteriak seraya pergi meninggalkan Narni. Naskah mendekati akhir, tinggal beberapa hari menuju deadline. Aku dan Ana berusaha menyelesaikannya lebih cepat. Ana yang tengah sibuk mengurusi skripsi tidak punya terlalu banyak waktu untuk pergi selain di daerah dekat kampusnya. Mau tidak mau aku yang harus pergi ke tempatnya. Obrolan via chat tidak bisa kami lakukan demi kelancaran kesempurnaan naskah. Lara sudah mengingatkan Ana perihal deadline. Aku penasaran kenapa dia tak langsung mengingatkan aku saja. Padahal kan bisa saja. Atau, mungkin masih perlu waktu bagi dirinya setelah pertemuan kemarin. Terlihat dari matanya saat dia pamit waktu itu. Masih ada hal yang tersisa dalam dadanya yang belum semua tersampaikan. Meski aku tahu, aku tak berani untuk memintanya. Memintanya mengatakan secara jujur apa yang masih mengganjal dalam dirinya. Aku tak punya 322 kuasa akan permintaan itu. Tapi, setidaknya aku berhasil untuk satu hal. Aku berhasil mengambil foto Lara secara tiba-tiba saat dirinya sedang meneguk cappuccino. Ya, meski akhirnya dia menghadiahiku tatapan sebal. Namun tahu bahwa Lara kini baik-baik saja sudah lebih dari cukup bagiku. Aku perlu lebih hati-hati dalam bertindak di hadapan perempuan. Benar kata Kevin, kita tidak bisa memandang hal yang sama dari dua raga yang berbeda. Apakah itu? Apakah Ana yang ternyata mengganjal untuk Lara. Aku tidak yakin, Lara seharusnya cukup pintar dan mengerti mengenai hubunganku dan Ana. Dari caraku memperlakukan Lara saat pertama kali bertemu bersama atasannya juga Ana, Lara seharusnya tahu tidak ada yang sedang terjadi antara aku dan Ana. “Aku cuma punya waktu satu jam untuk kita diskusiin ending ceritanya nih. Soalnya, aku masih harus lanjutin penelitian, terus ketemu dosen. Huhu,” keluh Ana saat aku temui di salah satu kedai kopi kecil di dekat kampusnya. Terlihat beberapa kertas penelitian, tumpukan hasil print skripsi milik Ana yang tergeletak di meja, dan beberapa surat lainnya yang tidak aku ketahui. “Eh, IELTS? Itu hasil tes IELTS? Buat apa?” Terlihat salah satu amplop putih besar di atas meja yang menarik perhatianku. “Oh ini, buat perlengkapan beasiswa. Baru keluar beberapa hari lalu, terus harus segera kukirim buat data-data 323 pengajuannya.” Ana menjelaskan sembari membuka laptop. “Wah, kamu mau langsung $2? Di mana?” aku bertanya antusias. “Di London, hehe,” jawab Ana singkat. Aku lalu menyemangatinya untuk semangat melanjutkan sekolah. Bagi Ana, psikologi hal yang cukup penting bagi kehidupan manusia. Keinginan untuk membantu banyak orang terlihat dari caranya belajar, meski aku belum pernah berbincang mengenai alasan dia mengambil jurusan itu. Atau, tentang apa saja yang sudah dia pelajari perihal psikologi. Kembali ke laptop masing-masing, lihatlah kami berdua. Waktu yang harusnya dapat kita genggam sekarang tengah menguasai kita. Kita yang dikejar waktu. Menuntut kami untuk segera menyelesaikan naskah. “Ini jadi mereka setelah baikan, enggak balikan nih? Eh, wow, it’s rhyme! Hahaha.” Ana berseru. “Hahaha ya, it is! Emm.... Tapi, menurut kamu gimana?” Aku bertanya balik. “Kalau abis balikan common banget enggak sih? Semua seneng aja gitu?” Ana bertanya memastikan. “Hmm, kalau kita bikin sebel pembaca aja gimana? Kita bikin scene seolah-olah mereka balikan padahal... ya, enggak tahu. Hahaha. Bikin pembaca bertanya-tanya aja mereka balikan atau enggak. Bikin gantung! Pasti pembaca sebel. Hahaha.” Aku berseru. “Dih, jail banget jadi penulis. Disebelin pembaca baru 324 tahu rasa deh. Tapi iya juga deng, siapa tahu dengan akhir yang gantung malah jadi bisa bikin lanjutannya. Rezeki siapa yang tahu kan?” Ana berpendapat. Akhirnya kami setuju, membuat cerita menggantung dan menyisakan tanya himgga akan membuat pembaca merasa gemas. Ah, hidup memang selalu seperti itu bukan? Tujuan kami membuat cerita ini bukan hanya untuk memberikan perasaan bahagia dan kepuasan dari hubungan yang akhir- nya kembali. Karena jika seperti itu, aku takut pembaca akan fokus hanya pada akhir. Bukan proses itu sendiri, yang dilalui oleh kedua tokoh dalam cerita kami. Sedikit banyak aku belajar dari Ana, tentang beberapa karakter pembaca yang cukup mementingkan teknis. Pesan yang seharusnya sampai hanya akan membias dalam cara pandang pembaca seperti itu. Namun bagaimana pun kita tidak bisa menuntut apa-apa dari pembaca. Bagaimana pun pembaca adalah malaikat bagi para penulis. Aku dan Ana hanya berharap substansi tulisan kami dapat sampai dengan semestinya. Dengan menulis buku, aku bisa belajar untuk bisa menjadi pembaca yang bijak. Dari beberapa buku yang akhirnya aku baca, aku mengetahui kekurangan, kejanggalan, atau ketidaksempurnaan dalam setiap tulisan. Tapi jika itu dikesampingkan, aku bisa fokus pada keutuhan cerita, pada rentetan kejadian yang coba disuguhkan oleh penulis. Seperti benang jaring laba-laba yang membentuk 325 pemahaman dan memberi pengetahuan perihal sesuatu. Fokus aku sebagai pembaca, bukan pada cerita yang aku harapkan terjadi. Aku justru mencari apa yang sedang disembunyikan penulis agar dapat aku temui di titik-titik kosong ceritanya. Satu jam bersama Ana cepat selesai, aku segera kembali ke kedai kopi. Terlihat Kevin sedang sibuk di bar. Narni sendiri masih duduk di mejanya, mencuri-curi kesempatan menatap punggung Bram. “Heh, punggung kok diliatin, kerjain itu skripsi!” Aku mengagetkan Narni dari belakang, sembari memberikan bungkusan yang berisi pepaya kepadanya. “Mas, itu punggung Mas Bram kok kayaknya dingin ya.” Narni berbisik. “Hah? Emangnya kenapa?” Aku bertanya heran. “Enak kali ya guling-guling di situ,” jawab Narni lugu, seraya membuka pepaya dalam bungkusan di depannya. Harusnya aku tahu Narni akan berkata seperti itu. Ingin sekali rasanya aku meminta lima detikku kembali. “Sak, makanan gue mana?” tanya Kevin dari balik bar. Aku melangkah dan duduk di depannya sambil memberikan bungkusan makan siangnya. Kami berbincang mengenai naskahku yang sebentar lagi akan rampung, lalu tentang pekerjaan di Coffee and Drama. “Gue, engak maksud buat halangin mimpi lu yang lain, Sak. Gue akuin kerjaan lu selalu beres kok. Tapi, ini pesen 326 dari Yuda. Lu udah sering banget izin kalau lagi in charge . Gue enggak bisa terus-terusan belain lu. Yuda mungkin sibuk sama urusan lainnya, tapi dia bener buat ngingetin kerjaan- kerjaan kita. Ngingetin kelancaran operasional. Gue bisa aja santai karena gue udah paham perangai lu, tapi di sini ada orang lain juga.” Kevin mulai menegurku dengan lembut. Tidak ingin mengacaukan pertemanan kami. “Tya, gue akuin gue agak seenaknya sih. Cuma, gimana Sob kalau emang bisa gue kerjain di sini, gue kerjain deh. Tapi, gue mesti cabut buat nyamperin Ana di deket kampusnya. Doi lagi sibuk banget. Gini, gue cukup paham akan peraturan di sini. Gue enggak maksud banding-bandingin, tapi untuk prioritas mau enggak mau harus gue bikin perbandingan. Urusan naskah ini cuma sebulan, udah itu beres. Sedangkan, operasional di sini kan enggak lagi dalam keadaan urgen dan mendesak.” Aku berpendapat. “lya, gue paham. Ini gue ngingetin lu aja lagi. Karena gimana pun, Bram sama si Agil juga pasti merhatiin lu. Belum lagi itu si Joni, barista yang baru perlu juga diajarin dan disupervisi. Gitulah pokoknya. Anyway, Lara gimana?” Kevin bertanya sambil mengunyah makanannya. “Iya, iya, gue paham. Bentar lagi kelar. Hmm, she’s good. Kemaren pas ngajak ketemu itu doi marah parah sama gue. Gue kira bakal baik-baik aja ato seneng gue kasih kejutan. Tapi so far, udah gue jelasin.” Aku bercerita. “Geblek emang lu, ya iyalah marah. Lu udah di sini 327 beberapa lama baru ngabarin. Sekalinya ketemu sama cewek lain.” Kevin memarahiku. “Tapi, dia enggak marah soal itu. Doi marah soal buku yang gue tulis.” Aku berkata pelan. “Emang kenapa buku yang lu tulis? Iya, gue juga belum tahu buku lu tentang apaan,” ucap Kevin. “Dia ngira gue ceritain tentang dia. Well, iya, tapi juga enggak. Maksud gue, tokoh yang gue tulis emang terinspirasi dari cerita gue ama dia. Tapi itu perasaan gue, dan gue enggak nyeritain dia. Karena....” Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, semburan nasi dari mulut Kevin hampir meledak di mukaku. “GUOBLOKKK!” seru Kevin. “Anjritt!” seruku seraya mengusap remahan nasi yang terlempar di wajahku. “Kok, begok sih lu?!” Kevin masih kesal. “Lu yang begok itu nasi pake nyembur di muka gue segala!” keluhku. “Ya, lu pantes disembur nasi, daripada disembur air mata Lara, mau lu? Biar tahu perihnya doi?” Suara Kevin sedikit berteriak. “Sama aja coy, asin pasti rasanya,” jawabku pelan. “Otak lu isinya apaan sih? Makan aja burger, tapi yang nyangkut di kepala malah rempeyek teri,” ujar Kevin semakin kesal. “Gue udah minta maaf. Gue tahu salah gue, dan doi udah 328 maafin gue. Udah baik-baik aja, udah gue jelasin maksudnya apaan.” Aku menenangkan. “Saka, doi masih marah! Doi cuma enggak pengen lu enggak tenang karena doi masih marah. Itu pertama. Kedua, dia masih marah karena lu bikin cerita terinspirasi sama kisah lu ama Lara, tapi nulisnya bareng cewek lain! Ketiga, dan kalau bener doi udah maafin lu, satu-satunya alasan doi maafin cowok gondrong depan gue ini, karena doi sayang sama lu! Paham enggak sih lu, rengginang lebaran?” Lagi, Kevin mengepalkan dua tangannya di kiri-kanan kepalaku. “Udah gue bilang, Ana bukan cewek laiiiin....” “Tapi, itu cewek laiiiin... buat Laraaaa....” “Lah, mereka juga baik-baik aja.” “Keliatannya doaaaang.... Lu tahu kalau perempuan adalah master of mendem? Ah elu, master of gendeng! Lu nyakitin dua perempuan sekaligus, gilak.” “Hhhh. Gue enggak perlu lagi jelasin tujuan gue ngangkat tulisan ini ke lu. Lara udah paham. Nanti kalau bukunya udah terbit juga lu paham. Sekarang gue cuma keliatan jahat banget karena apa yang lu bilang tadi. lya, gue ngerti semua orang yang gue ceritain pasti mandang gue jahat. Dan, gendeng. Karena mereka enggak suka cara gue, karena....” “Karena emang lu nyebelin!” “Karena hal yang baik dan buruk sekarang cuma masalah suara. Cuma masalah mana yang lebih banyak disetujui perihal yang bener dan salah itu gimana. Orang 329 cuma mandang apa yang terjadi. Mana mau orang capek- capek mikir maknanya. Lara yang bakal buktiin. Karena satu-satunya yang ada di kepala gue kenapa Lara maafin gue adalah karena Lara paham apa yang gue lakuin. Dia sakit hati atau terluka, itu karena dunia, karena elu, dan orang-orang yang kalau emang seandainya mereka tahu, merekalah yang nentuin kalau Lara udah gue sakitin. Yang mau enggak mau itu yang bikin Lara ngerasa disakitin. “ Aku menjelaskan dengan serius. Aku paham Kevin menasihatiku karena peduli kepadaku. Karena tak ingin aku hanya menjadi lelaki brengsek yang bertindak sesuka hati. Tapi, nurani tetap keras kepala pada makna yang ingin ditujukkannya kepada semua orang. Aku pun yakin Lara merasakan hal yang sama. Aku yakin mungkin Lara juga cemburu pada Ana. Tapi, aku hanya yakin pada nilai-nilai hikmah yang tak pernah bisa langsung mekar laiknya bunga. “Terus Ana, dia udah tahu kalau lu nulis terinspirasi dari kisah lu?” Kevin kini bertanya pelan. “Hmm, dia akan tahu dan dia baik-baik aja.” Aku coba menenangkan keadaan lagi. “Lu tahu dari mana dia bakal baik-baik aja? Doi sebegitu- nya sama lu, bahkan ngajakin lu bikin buku bareng. Sebuah kesempatan yang jarang dan besar, sekalinya ada dia malah ngajakin elu? Lu emang enggak ngerasa kalau dia juga mungkin punya perasaan yang lebih ke elu?” Kevin memastikan lagi. 330 “Gue paham, tapi... Hah. Plis, enggak akan ada yang sakit hati, Coy. Ana bakal paham, bahkan gue mikir dia malah udah paham. She’s smart as hell.” “Saka, lu cuma berharap mereka bakal baik-baik aja, biar lu enggak ngerasa terlalu bersalah sama mereka. Lu memaksa mereka buat baik-baik aja sesuai kepengenan elu.” “Hah, ya udahlah Bro enggak ada gunanya gue jelasin ke elu. Lu pengen gue salah, well here I am.” Aku beranjak dari kursi. Perdebatanku dengan Kevin membuatku mem- butuhkan minuman yang menyegarkan. “Bram, pengen milky berry dong.” Minuman menyegarkan di Coffee and Drama ini salah satu favoritku, juga beberapa tamu yang datang ke mari. Perpaduan rasa stroberi dan jeruk akan sangat berhasil untuk membawa mood-ku kembali. Aku duduk di sebelah Narni yang tengah mengerjakan skripsinya, seraya mengambil satu potongan buah pepaya yang tersisa. “Mas Sakaaaaa.... Itu pepaya terakhir Narniiii...! Kok, jahat sih?” Narni mengeluh. “lya, aku jahat.” Aku tak menatap Narni, sibuk mengunyah pepaya hingga habis. “Wah, ini pasti ada apa-apa nih sampe bikin Mas Saka jahat gini. Abis ngobrol sama Mas Kevin, sampe jadi jahat gini?” tanya Narni. “Abis aku ceramahin, Nar.” Kevin tiba-tiba duduk di sebelahku. “Hah, diceramahin apa? Ceramah kok siang-siang gini. Biasanya malem abis Isya,” celetuk Narni. “Dude, gue paham maksud lu. Gue bukannya pengen lu mengakui bahwa lu jahat atau lu salah. Sorry, gue cuma pengen lu paham aja. Ada hal yang sering disembunyiin sama perempuan untuk ngelindungi lelaki yang mereka sayang. Memendam kemarahan atau kekecewaan mereka. Yang lelaki perlu lakuin adalah membiarkan kemarahan itu keluar. Pastiin aja itu keluar dan tersampaikan. Itu aja pesen gue. Gue yakin, Lara sama Ana emang perempuan hebat dan dewasa.” Kevin memegang pundak sebelah kananku sambil tersenyum. Bram terlihat menghampiriku dan memberikan milky berry kepadaku. Aku langsung meminumnya hingga setengah gelas habis. Andai saja ada kata yang pas untuk rasa ini, aku ingin mengatakan milky berry itu sangat menggemaskan. Mampu membuat senyumku kembali. Atau, entah perkataan Kevin yang membuat mood-ku akhirnya kembali. “Gue ngerti Man, tenang aja.” Aku tersenyum kepada Kevin setelah meneguk milky berry. “iiiih... kalian kok mesra banget? Jangan-jangan habis ini mau ciuman lagi. Plis, plis, Narni masih kecil enggak boleh liat yang kayak gitu,” seru Narni polos. “Kenapa, kamu udah lama ya enggak ada yang megangin pundaknya?” Aku menjahili. “th, enak aja. Pundak Narni tuh mahal. Cuma tangan- 332 tangan terpilih yang boleh megang. Hih!” seru Narni. “Bram, pengen pesen lagi dong,” pintaku kepada Bram. “Milky berry lagi, Mas?” Bram memastikan. “Bukan, pesen satu tangan lembut buat Narni. Hahahahahaha.” Aku terbahak. Kami semua terbahak di depan bar. Narni sendiri hanya menggerutu jengkel. Kadang, bahkan seringnya, hal seperti ini yang sulit untukku meninggalkan Jogja. Mereka memang bukan keluargaku. Mereka hanya seseorang yang sangat peduli dan menunjukannya dengan cara sendiri. Terkadang memang cara orang peduli kepada kita terasa seperti menjatuhkan dan memojokkan. Ya, bahkan apa yang aku katakan tentang orang-orang yang hanya melihat apa yang terjadi dan tampak di mata mereka, benar-benar kembali dan menampar wajahku saat ini juga. Karena apa yang berusaha Kevin sampaikan kepadaku, bukan perihal menyudutkanku untuk menjadi orang yang salah. Hanya memang itu caranya untuk memperlihatkan bahwa dirinya peduli kepadaku. Hidup kadang memang sebegitu menggemaskan, bukan? Seperti milky berry yang baru saja aku habiskan. 333 “Ttu tadi siapa Ra? Cakep juga, rapih, asyik ngeliatnya.” Kanaya membuka obrolan ketika kami sudah berada di dalam mobil. Aku memejamkan mata sambil memijat pelipis, dan menyelonjorkan kaki dengan menarik ke belakang kursiku. “Rio,” jawabku singkat. “SUMPAH? DEMI APA? NJIR, GUE SALAH NGOMONG KAYAK TADI DONG?” Kanaya berteriak kaget karena jawaban yang kuberikan. “Enggak usah teriak-teriak Nay, udah telanjur. Lagian lu pinter banget, dateng-dateng main nyerocos aja enggak liat sikon dulu,” ocehku kepadanya. “Gue enggak tahu kalau di depan lu ada dia. Sumpah, dari arah pintu tuh cuma keliatan lu sendirian. Lagian gue tadi tuh syok, papasan sama Saka di depan. Lagian dia ngapain ke sini sih? Saka bukannya di Bandung, kok malah di Jogja? Lu beneran balikan sama Saka? Terus, itu Rio tadi ketemu Saka juga?” Kanaya menghujaniku dengan pertanyaannya yang justru membuatku bingung harus menjawab yang mana lebih dulu. “Laraaaaa... lu kok diem aja sih? Jawab, kek.” “Gue kira lu masih mau nyerocos nanya borongan lagi. Jadi, udah nih nanyanya?” Aku bertanya memastikan. Kanaya menggaruk tengkuk sambil terkekeh, “Iya, juga ya. Sori, Ra. Gue kaget doang. Gimana gimana? Jawab dulu sekarang.” 334 Aku menghela napas sebelum akhirnya menjawab berondongan pertanyaan Kanaya. “Pertama, Saka ke kantor gue karena doi mau tanda tangan kontrak. Jangan nanya dulu, biarin gue jawab semuanya dulu. Gue ceritain. Kedua, gue enggak balikan sama Saka. Ketiga, iya Rio ketemu Saka, secara Rio juga kerja di situ. Keempat, Saka tinggal di Jogja sekarang, sementara sih. Udah lengkap belum tuh jawaban gue?” aku menjelaskan. “Kita makan di sini aja deh ya, Ra. Gue lebih antusias denger lu cerita sampe laper gue ilang.” Kanaya kemudian menepikan mobil setelah menemukan warung soto lenthok yang menjadi makanan favorit kami berdua. “Dasar tukang gosip. Serah lu aja deh, Nay.” Aku melepaskan sabuk pengaman, kemudian segera turun mendahuluinya. Usai memesan makanan Kanaya langsung menodongku bercerita. “Saka tanda tangan kontrak apa sih, Ra?” “Penerbitan buku, doi nulis buku, Nay. Di Penerbit gue. Semesta becandanya suka kelewat iseng. Gue yang jadi editornya dia. Gue yang secara enggak langsung nawarin dia untuk bisa nulis. Ya, enggak literally ke dia sih. Tapi, ke temennya, eh apa pacarnya ya. Gue enggak tahu dan enggak mau tahu juga. Intinya ngajak dia buat kolaborasi bikin buku. Hahaha, bego banget enggak sih?” Aku tersenyum kecut, menertawakan diriku sendiri. “Gileeeeee... asli? Lu berdua tuh enggak bisa banget 335 kayaknya dipisahin ya. Ada aja hal-hal yang menjadi alesan lu bisa ketemu Saka lagi. Bentar-bentar, tadi lu bilang pacar? Emang doi udah punya pacar?” Kanaya kembali bertanya padaku. “Gue males sebenernya cerita ini, karena ini udah jauhhhhh... banget kejadiannya. Dan gue capek, capek harus inget-inget lagi.” “Ah elah Ra, kita enggak bakal ke mana-mana sampe lu ceritain semuanya ke gue. Se-mu-a-nya.” Kanaya menegaskan kalimat ‘semuanya’, Menuntutku untuk menceritakan segalanya tanpa ada yang terlewati. Pesanan kami datang. Memberikan aku jeda untuk mempersiapkan diri kembali bercerita kepada Kanaya. Aku semakin tak ada nafsu makan saja rasanya sekarang. Sudah terlalu penuh akan cerita serta rasa yang tiba-tiba memeluk. “Jadi tuh, hampir sebulan lalu, Rio, Pemred gue yang kata lu cakep itu, minta gue untuk review beberapa akun Blog. Singkat cerita, gue ngehubunginlah orang ini buat minta kesediaan dia untuk nulis buku. Cewek, namanya Riana. Gue sempet enggak megang proyek ini karena kerjaan gue as always selalu segambreng. Tapi, mungkin emang udah takdir, gue kejeblos lagi di proyek ini. Rani, editor satunya lagi, nyerah buat nanganin projek kolaborasi mereka. Si Riana ini menawarkan karya kolaborasi berupa penceritaan dari dua sudut pandang gitu deh.” Aku memberikan jeda dengan mulai melahap soto yang 336 sedari tadi hanya kuaduk saja. “Gue enggak tahu kalau partner kolaborasi Riana adalah Saka. Sampe akhirnya gue ketemuan dengan dia bareng Riana dan Rio juga. Sumpah, itu momen paling awkward yang pernah gue alamin. Gue ketemu lagi sama Saka dengan kebetulan yang terlalu kebetulan. Damn! Gue yang tadinya antusias mau ngerjain proyekan itu jadi lemes setelah tahu Saka itu salah satu penulisnya.” “Lemes karena Saka yang mendadak ketemu sama lu lagi, atau lemes karena Saka deket sama si Riana?” Kanaya menaikkan sebelah alis dan mengeluarkan pertanyaan untuk menggodaku. “Enggak usah mulai deh, Nay. Saka mau sama siapa juga itu terserah dia. Toh, gue enggak ada apa-apa sama dia lagi. We’re friend.” Aku berusaha meyakinkan Kanaya, meski aku sendiri ragu oleh pernyataanku itu. “Temen masih demen maksud lu? Lanjut lagi, terus gimana ceritanya?” “Gue agak kesel juga sih, soalnya setelah ketemu itu tuh Saka enggak ada ngehubungin gue atau apa gitu kek. Diem- diem aja gitu, kayak enggak terjadi apa-apa. Terusssss... ini terngeselin lagi sih, sumpah gedek banget gue. Gue ditegur Rio karena gue jadi sok sibuk dan enggak ada progress apa- apa sama naskah Saka sama Riana. Gue waktu itu baru menemukan sebuah hal yang bikin gue setengah mampus mau bejek-bejek Saka. Yaitu... isi buku yang dia kerjain itu ceritanya kayak gue sama Saka. Mulai dari awal ketemu, 337 putus, sampe ya udah nerima dengan keadaan. Kan, sial banget.” Kanaya yang sedang minum es jeruk pesanannya kemudian tersedak dan tertawa mendengar ceritaku. “Huanjirr... hahahahaha... Kok, gue malah mau ngakak daripada turut berduka atas cerita lu ya, Ra. Terus, terus?” “Lu dari tadi cuma terus terus aja. Emang lu kira lagi parkir? Komen kek, apa kek,” sahutku ketus. “Nanti gue komentar, lu cerita dulu lah, Neng.” “Ya udah, abis disemprot sama si Rio gue langsung ngajak Saka ketemu besoknya. Dia cerita kalau emang sekarang tinggal di Jogja karena lagi buka kedai kopi. Dan, lu tahu? Saka tuh resenya ya, Tuhan, mau gue jambak. Sumpah! Gue kan udah sinis dan emosi tuh, eh dia ngejelasin tentang tulisannya itu dibilang hanya sekadar terinspirasi. Sampe dia tuh ngomong gini ke gue, ‘Kamu tahu bahasa Indonesia kan, Ra? Tahu arti terinspirasi kan, Ra? Aku cuma jelasin dari sudut pandangku aja, bukan sepenuhnya tentang kamu. Jir... gue di situ rasanya mau banget jedotin kepalanya ke tembok. Heran kenapa dia bisa sesongong itu.” Aku bercerita kepada Kanaya dengan antusias. “Kalem, kalem. Api kayaknya berkobar banget pas lu cerita. Hahaha. Terus, lu jedotin enggak kepalanya? Pasti enggak, ya kan?” Kanaya masih saja menggodaku. Aku hanya diam dan beralih menghabiskan makananku. Memakannya dengan lahap karena entah kenapa setelah 338 menumpahkan segalanya kepada Kanaya, segala hal yang sedari kemarin mengganjal di kerongkongan dan dadaku mendadak lenyap. “Lu akhirnya nerima penjelasan dia, tapi kan?” Kanaya kembali bertanya. “Di depan dia iya, tapi udahannya masih enggak terima. Kalau sekarang mah udah nerima. Kayak apa ya, masuk akal aja semua yang dia bilang,” ucapku kemudian menyeruput es teh manis yang begitu menggoda di tengah terik Jogja siang ini. “Sampe kapan sih, Ra?” “Apanya sampe kapan?” Aku mengernyit mendengar pertanyaan Kanaya. “Sampe kapan lu terus-terusan denial kalau lu masih sayang sama Saka? Sampe kapan lu sama Saka sama-sama egois buat ngakuin kalau kalian tuh masing pengen nyoba untuk bareng-bareng lagi? Sampe kapan kalian gedein gengsi kalian itu?” Pertanyaan Kanaya barusan membuatku tersentil. Ada yang mengusik nuraniku setelahnya. “Nay, udah selesai. Semuanya udah selesai. Antara gue sama Saka semuanya udah berakhir. Apaan sih lu malah ngomong gitu?” “Ra, sekarang lu pikir deh. Saka tuh mungkin banget buka kedai kopi di Bandung. Ya elah, temen doi lebih banyak di sana. Tapi, kenapa dia milih di Jogja? Karena lu, Ra. Karena, dia mau ngejar lu. Jangan bego kenapa, peka 339 dikit. Itu yang pertama. Yang kedua, kenapa doi nulis buku sampe terinspirasi dari cerita lu sama dia? Karena, dia masih sayang sama lu. Karena, lu penting, Ra. Dia pengen jelasin apa yang selama ini dia rasa. Tapi, karena komunikasi di antara kalian enggak baik terus ada kesempatan yang sangat mungkin membuat lu nyadar, maka dia pakelah kesempatan itu. Inspirasi banyak di mana-mana, pengalaman doi juga banyak, tapi doi milih tentang kalian. Ka-li-an, itu artinya emang ada yang belum bener-bener selesai di antara lu sama dia. Ngerti, Ra?” Kanaya coba menjelaskan. Aku hanya diam mencerna semua ucapan Kanaya tanpa hendak menyangkalnya sama sekali. Kali ini semua argumen Kanaya entah kenapa memang terasa begitu benar. Aku kemudian hanya menatap mangkuk sotoku yang telah tandas, dan hanya tersisa kuahnya yang sekarang sedang aku aduk-aduk. “Lu itu kenapa sih Ra, terus nyangkal perasaan lu ke Saka? Takut apa? Takut bertepuk sebelah tangan? Saka enggak akan ada di Jogja, saat ini, detik ini, dan bikin usaha kedai kopi itu kalau bukan karena perasaan dia ke lu. Taruhan sama gue! Apa yang lu takutin lagi sih Ra? Takut ngelukain Saka karena lu nantinya akan melakukan hal kayak kemarin? Itu pe-er lu, Ra. Lu, harus bisa nerima dia sepenuhnya dan seutuhnya. Seinget gue, lu adalah orang yang paling bisa nerima semuanya yang telah terjadi. Lu selalu bisa bikin hal- hal yang negatif jadi positif dengan isi kepala lu itu. Tapi, 340 kenapa kali ini enggak? Apa yang lu cemasin lagi Ra?” Aku tak jua menjawab pertanyaan Kanaya. Rasanya terlalu penuh saja untuk mengungkapkan semua. Kanaya memang seperti menyudutkanku, tapi aku tahu semua yang dia ucapkan adalah benar. Tentang ketakutan-ketakukanku, tentang semua kekhawatiranku, bahkan tentang perasaanku kepada Saka. Melihatku yang masih saja diam tak bergeming, Kanaya kembali mengajukan pertanyaan yang akhirnya mampu membuatku menitikkan air mata. “Buat lu, Saka itu apa? Seberapa besar pengaruh Saka buat lu, Ra?” “Saka tuh, Saka tuh satu-satunya yang gue mau, Nay. Gue ngerasa cukup dengan kehadiran dia. Gue ngerasa enggak harus nyari apa-apa lagi buat apalah itu namanya ngelengkapin. Tapi, gue... gue takut Saka berubah jadi enggak baik lagi, Nay. Gue capek, capek berjuang sendirian buat bikin hubungan ini jadi serius. Sedangkan Saka, dia enggak keliatan berjuang. Dia malah balik ke awal lagi. Gue capek untuk itu Nay, wasting time.” Aku menghela napas setelah berhasil menjelaskan isi hatiku kepada Kanaya. “Hei, hei, Ra, kalau berurusan dengan berjuang, enggak ada namanya buang-buang waktu. Belajar dari kesalahan, Lara Sayang. Cara setiap orang berjuang itu beda-beda. Kalau lu ngerasa cukup dengan hadirnya Saka di hidup lu, ya udah terima dia sepenuhnya dan seutuhnya sebagai apa pun dia. 341 Kalau lu berjuang dengan nerima dia tanpa ada lagi tuntutan, gue percaya Saka akan berjuang untuk bisa ngikutin mau lu tanpa ngerasa dituntut. Sebab dia tahu, dia memang harus berubah buat dirinya, dan buat selalu bisa jagain lu.” Kanaya meyakinkanku dengan pernyataannya. Aku kemudian menangkupkan kedua tanganku ke wajah. Berusaha meredam suara tangisanku dan berusaha menyeka air mata yang mengalir karena aku masih harus kembali ke kantor. “Gue bayar dulu, lu langsung ke mobil. Tenangin diri lu dulu baru abis itu gue anter ke kantor lagi.” Kanaya memberikanku kunci mobil lalu segera berdiri untuk membayar makanan kami. a Semenjak bukuku dan Ana rampung, kami juga sudah tanda tangan kontrak, aku dengan Lara semakin sering berhubungan. Namun, hubungan kami masih sebatas urusan pemilihan cover buku dan promosi untuk persiapan penjualan online. Masih ada benteng samar yang membatasi kami. Pertemuan dengan Lara saat tanda tangan kontrak kemarin, aku rasa telah membawa kami pada keadaan yang semakin baik. Pada perasaan yang semakin melaju meski 342 perlahan. Seperti dayung yang santai di atas arus tenang dengan ombak-ombak kecilnya yang menjahili. Aku cukup tenang bagaimana aku akhirnya bisa berbincang dengannya lagi. Seketika saat itu kami seperti kembali pada kami yang memang seharusnya, tetapi masih pada batas yang menyekat nurani. Masih merasa kami belum bisa sepenuhnya, kembali. Itu yang kini aku pikirkan. Kembali ke mana sebenarnya yang aku inginkan. Karena kembali baik dengan Lara sebetulnya sudah terjadi, tapi anehnya tidak membuatku merasa cukup. Ada sebuah kembali yang sepertinya masih sangat aku inginkan. Karena sudah kuduga, atasan Lara tidak mungkin biasa saja kepadanya. Satu hal yang aku pahami, kita tidak seharusnya merasa canggung jika memang tidak ada apa-apa. Meski Lara tidak begitu pandai mengatasi kecanggungan, aku paham keresahannya. Oh, ingin sekali aku berbisik ke telinganya bahwa dirinya tidak perlu secanggung itu. Karena, tidak ada kecemburuan sedikit pun dalam diriku. Aku cukup mengerti mereka setiap hari menghabiskan waktu bersama lebih lama. Berbincang lebih sering. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari Lara. Tapi, itu tidak pernah menjadi perhitungan bagiku. Jumlah temu dan intensitas percakapan, bukan hal yang pantas untuk diperhitungkan dalam sebuah perasaan. Aku hanya cemburu, jika aku tahu bahwa ada hal yang lebih menarik hatinya. Bukan hal yang 343 menarik perhatiannya saja. Namun bagaimana pun, lelaki itu adalah salah satu orang yang membantuku untuk bisa membuat buku ini bersama Riana. Aku tetap harus menghormatinya sebagai hubungan penulis dan penerbit. Juga sebagai lelaki yang diam-diam berusaha mendapatkan Lara. Aku hanya perlu paham, dia juga lelaki, sama sepertiku yang mempunyai hak untuk jatuh hati kepada seorang wanita. “Gimana perasaan kamu setelah bikin buku?” Aku bertanya kepada Ana. “Mmm... enggak tahu. Aku masih enggak percaya aja akhirnya aku nulis buku, hahaha. Kamu sendiri gimana?” Ana balik bertanya. “Aku enggak tahu perasaan ini. Aku jadi penasaran, kenapa dulu aku enggak menganggap nulis buku adalah hal yang memungkinkan untuk terjadi di hidup aku ya?” Aku meninggalkan Ana dengan pertayanyaan lain. Suatu saat saat aku tengah libur, aku dan Ana bertemu di Coffee and Drama untuk berbincang. Ini adalah kali kedua Ana yang kebetulan sedang bisa santai, kembali mengunjungi Coffee and Drama. Kami bicara mengenai bagaimana respon pembaca terhadap buku kami nanti. Apa yang kami harapkan dan apa saja kemungkinan yang terjadi setelah buku kami terbit. Akankah kita menjadi orang yang berbeda atau masih terasa sama. Masa depan yang sebentar lagi akan terjadi masih saja kami tebak-tebak. 344 “Yah, semua hal emang terlihat enggak mungkin sebelum hal itu terjadi. Eh, malah saat udah terjadi jadi kerasa aneh. Kenapa? Karena kita enggak pernah menganggap hal itu mungkin. Diri kita aja yang enggak siap menerima kejadian itu, makanya jadi aneh. Tapi, menurutku itu aneh yang baik. Hahaha,” jawab Ana sambil bergurau. Aku menyetujuinya. Semua hal yang tidak pernah kita sangka selalu membuat kita hanya tertawa geli, takjub, dan konyol di saat yang sama, seperti sekarang. “Apa yang bikin kamu ambil Jurusan Psikologi sih?” Aku mulai bertanya tentang hal-hal yang belum kuketahui tentang dirinya. Ana meneguk Milky berry di tangannya sebelum menjawab. “Banyak banget sih kalau ditanya alesannya, tapi aku ingin mengerti manusia sampai di titik paham. Sampai pada titik itu, aku merasa aku udah bisa mampu untuk bisa bantu orang lain yang membutuhkan,” jawab Ana bijak. “Emang harus psikologi? Enggak jadi psikolog juga kamu bisa bantu banyak orang dengan cara lain kan?” Aku berpendapat. “Ya, aku tahu. Tapi, kamu sadar enggak kalau dua orang yang lagi curhat masalah masing-masing, hal yang tumbuh dalam dua orang itu adalah rasa empati terhadap masalah temannya satu sama lain. Keluhan itu adalah sebuah akibat dari sesuatu yang terjadi. Saat kita sebagai teman baik bisa ngasih solusi pada akibat itu, aku justru ingin mengerti apa 345 akar dari penyebabnya.” Ana menjawab. “Dulu banget aku pernah ke rumah sakit karena punya maag yang sering ganggu. Selesai diperiksa aku dapet respon lucu dari dokternya saat aku ceritain apa aja yang jadi penyebab maag aku. Dokter itu enggak mau nanganin aku, dan malah ngasih aku surat rujukan ke psikiater. Hahaha. Saat itu aku kaget dan sedikit kesel sama dokternya. Sebelum aku nanya, dia langsung bilang kalau dokter itu hanya mengobati sebuah akibat. Kalau akarnya enggak diobatin, si akibat itu akan terus-terusan terulang dan enggak akan sembuh-sembuh. Dari situ aku sadar dan paham, dokter itu sudah ada di titik mengerti bahwa penyebab maag aku bukan hanya makan yang enggak teratur, tapi dari beban pikiran aku. Sampai akhirnya aku setuju, dan ketemu psikiater, lalu kami ngobrol banyak. Itu waktu aku masih SMA. Sejak saat itulah, aku pengen masuk psikologi.” Ana selesai bercerita. Aku hanya lagi-lagi tersenyum takjub pada cerita tentang dirinya. “Wow! Aku enggak pernah mikirin itu. Aku juga sering sakit maag sih, tapi ya aku pikir itu cuma gara- gara aku sering minum kopi atau gara-gara dulu aku pernah ngerokok,” ceritaku. “Enggak, pengaruh maag lainnya itu pikiran kamu. Aku pengen ngasih tahu kamu sesuatu, Saka. Aku enggak tahu kamu akan percaya atau enggak, tapi coba denger dulu. Dulu saat aku memutuskan untuk nyapa kamu di message Blog, hal yang aku rasakan selain aku suka tulisan kamu adalah karena 346 tulisan kamu punya getaran yang sama pada di diri aku. Selanjutnya setelah kita ketemu, di sini, aku bisa ngerasain hal yang lain di kamu. Seolah aku ngerti sesuatu yang aku juga enggak ngerti itu apa. Aku cuma ngerasa ngerti kamu, cara berpikir dan cara merasa. Punya getaran yang menarik aku. Enggak usah mikir yang macem-macem tapi ya, hehe. But I do really love having friend like you. Dan yah, mungkin kalau orang-orang denger apa yang aku omongin ke kamu ini mereka cuma bisa nyinyir atau enggak percaya, atau apa pun itu. But, aku yakin aku dan kamu jauh lebih ngerti dari mereka.” Ana tersenyum. Aku masih menatap mata cokelat Ana yang seolah menarik getaran di diriku untuk menyetujui semua perkataannya. Perasaan ini sedang bergejolak, tapi anehnya tidak membabi-buta, seolah tenang dan menenangkan. Ya, aku sangat menyetujuinya. Perihal aksi-reaksi, orang akan menarik kesimpulan pendek bahwa rasa seperti ini adalah rasa saat seseorang jatuh hati kepada lawan jenisnya. Aku setuju dengan Ana meski tidak pernah bisa berpikir sedalam itu, atau memiliki kemampuan seperti yang dimiliki Ana. Tetapi, kesimpulan yang aku pahami dari ceritanya adalah bahwa rasa itu luas, sedang manusia senang mengambil kesimpulan yang cepat dengan pikiran sempit. Karena mereka hanya tidak bisa mengontrol perasaannya yang meminta penjelasan. Manusia selalu mempertanyakan itu, hingga merasa harus mengartikan sesuatu yang bisa 347 diterima logikanya, sesuai keinginannya. “Aku paham. Aku selalu paham hal yang kayak gitu meskipun aku juga enggak begitu ngerti. Hehe. Tapi, iya aku setuju sama kamu. Mungkin itu juga yang aku rasain dan enggak pernah aku ceritain ke siapa pun karena aku juga enggak terlalu ngerti apa yang harus aku ceritain. Orang lain yang denger juga paling ya, cuma bisa menarik kesimpulan sesuai keinginan mereka. Tapi dari cerita kamu, aku jadi pengen ngasih tahu sesuatu juga,” ucapku seraya bersiap untuk memulai cerita yang selama ini aku simpan dari Ana. Aku merasa sudah ada di titik aman untuk bercerita kepadanya. Bukan perihal kami sedang baik-baik saja, tapi dari cerita Ana sebelumnya membuatku paham bagaimana dia. Bagaimana pola pikirnya seolah memintaku untuk tidak usah khawatir perihal apa yang belum diketahuinya tentang tulisan yang aku buat dalam buku kami. “Hhhh... Maafin aku Saka, tapi kayaknya aku udah tahu, hehe.” Ana menjawab pelan. “Hah? Maksudnya?” aku bertanya keheranan. “Sayangnya aku di sana, waktu kamu ketemu Lara. lya, kamu enggak akan liat aku. Aku ngebelakangin kamu duduknya. Aku baru nyadar pas kalian ngobrol, dan aku kenal suara itu. Sejujurnya, aku mau pergi dari situ tapi enggak bisa. Kalau aku pergi akan ketemu kalian dan bikin kita pasti makin awkward. Mau enggak mau aku harus dengerin obrolan yang engggak seharusnya aku tahu. Aku coba cari 348 earphone biar enggak denger, eh lupa lagi enggak aku bawa. Padahal biasanya aku bawa. Aku jadi ngerasa berdosa karena tahu sesuatu.” Ana menjelaskan. Dari ceritanya aku mengerti bahwa Ana, benar-benar merasa tidak enak kepadaku. Padahal aku yang seharusnya merasa tidak enak padanya. “Hmm... tapi itu bikin aku sangat jelas terhadap kamu. Itulah salah satu alesan kenapa aku ngomong kayak gitu ke kamu tadi. Aku tahu kamu pasti juga agak berat untuk menyimpan sesuatu dan enggak tahu kapan harus mengutarakannya. Pahamlah aku lagi ngundang kamu untuk ngomong itu. Tapi maaf aku aja yang ngomong, takutnya kamu juga ngerasa berat ngomongnya. Jangan khawatir tentang aku, percaya deh. Even aku tahu sejak awal pun, aku tetep akan ngerti kok. Aku ngerti kenapa kamu nyembunyiin itu karena... Yah, pokoknya aku ngertilah. Hubungan laki-laki sama perempuan selalu menyisakan kesalahpahaman yang menyebalkan, iya kan? Hahahhaa.” Ana tertawa, kembali meneguk milky berry-nya yang kini tersisa sedikit. “Hahhh, Ana. Aku enggak tahu harus ngomong apa. Bahkan temen aku aja, aku jelasin enggak bisa ngerti maksud aku.” “Enggak Saka, kamu enggak bisa ceritain hal kayak gini bahkan sama temen deket kamu. Enggak usah cerita juga untuk dapet dukungan bahwa apa yang kamu lakuin itu bener. Aku ngerti jadi kamu. Aku ngerti karena aku dan kamu ngelakuin hal yang sama. Aku pernah di posisi kamu meski 349 dalam keadaan yang berbeda. Kita ngelawan stigma dunia. Kita akan selalu dilihat salah dengan cara-cara kita yang enggak sesuai aturan yang dibikin sama zona nyaman setiap orang. Lama-lama kamu akan paham, mana orang yang tahu kamu, dan mana yang ngerti kamu.” Ana membuat jeda di kalimatnya. “Karena, saat kamu enggak tahu harus percaya sama siapa, percaya aja sama diri kamu sendiri. Enggak usah berusaha menjelaskan agar orang percaya sama kamu. Karena pada akhirnya nanti, saat sebuah makna akhirnya terungkap, mereka enggak punya pilihan lain, selain percaya sama kamu.” Ana menyelesaikan kalimatnya. Dengan senyumannya yang bisa membuat siapa saja yang ada di depannya merasa nyaman. “Haaaah... gemes! Kamu emang penuh kejutan. Seandai- nya semua orang sepinter dan sehebat kamu. Eh, tapi jangan deng, dikit aja yang kayak kamu. Orang-orang beruntung aja yang boleh temenan sama kamu, kayak aku. Hahaha.” Aku coba bergurau, sekaligus sebagai ungkapan kepadanya bahwa aku telah merasa lega. “Hahaha. Kamu aneh, aku yang harusnya beruntung temenan sama kamu. Temen-temen kamu yang beruntung karena kenal kamu. Oh enggak deng, Mbak Lara yang lebih beruntung. Dia dapetin hal yang enggak bisa didapetin orang lain, perjuangan kamu. Ya, kan?” Ana menggodaku. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain tersipu. Sial, aku tak 350 pernah salah tingkah sebelumnya. Ana telah melakukan itu kepadaku secara sengaja. Seperti setan yang tengah membuat manusia mengikuti maunya. “Jangan bilang gitu! Aku salting nih! Hahahahaha.” Aku tertawa. Ana ikut tertawa. “It’s an honor, bisa bantu kamu untuk dapetin hal yang kamu cita-citakan. Go get her, Saka. She deserves you. Dia itu perempuan yang baik dan hebat. I can smell it.” Ana berkata pelan. “What? Smell? You sniff her? Hahahha,” ujarku sambil tertawa. Ana tersenyum, menyelesaikan tegukan terakhirnya, kemudian pamit. Aku mengantarnya hingga pintu keluar. Mengangkat satu tangan mengantarkan kepulangan Ana, hingga kami akan bertemu lagi nanti saat tanda tangan buku untuk penjualan online. “Ttu si Ana-Ana yang lu ceritain? Cakep juga.” Kevin tiba- tiba bertanya saat aku akan mengambil minumanku yang belum habis di meja tempat aku dan Ana duduk. “Yoi!” aku menjawab singkat. “Kok, enggak dikenalin ke gue sih?” Kevin menggerutu. “Lah, ngapain gue kenalin ke elu?” jawabku saat duduk di kursi bar. “Yaelah. Harus banget gue jelasin? Jodoh kan sekarang udah bukan di tangan Tuhan aja, tapi di tangan temen, Sob.” Kevin coba memancingku. 351 “Nah, di tangan gue sekarang ada gelas iced chocolate sama gelas bekas customer yang belom diberesin. Mau yang mana yang gue lemparin ke elu nih?” Aku mengangkat kedua tanganku. Kevin hanya bisa merengut. ES “Kamu di mana? Mau ke sini dulu atau ketemu ’ di sana aja?” ucapku saat tengah menelepon Ana. “Oke, temu sana ya! Daaah.” Aku memutuskan hubungan telepon. Buku kami akhirnya telah beres cetak. Lara meminta aku dan Ana datang ke kantornya untuk membubuhkan tanda tangan ke sejumlah buku yang akan dijual online sebelum didistribusikan ke toko-toko buku di Indonesia. Sesampainya di kantor Lara, Ana ternyata sudah sampai lebih dulu dan menunggu di ruangan tempat kami sebelumnya menandatangani kontrak buku. Aku diantar oleh seorang resepsionis karena Lara dan atasannya masih ada rapat yang harus diselesaikan. “Saka! Liaaaat! It’s our name! Hahahaha.” Terlihat Ana sangat sumeringah saat aku baru saja masuk ke ruangan tempatnya berada. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang tak ingin ada batasnya. Ana baru saja menyelesaikan sidang skripsi- 352 nya beberapa hari yang lalu. Tak heran saat ini menjadi kebahagiaan tambahan untuk dirinya, juga untukku tentunya. “I know! Is it weird? Ada nama kita di buku itu, hahah. Ya, Tuhan. Aku gemes sendiri enggak tahu perasaannya kayak gimana. Haha.” Aku duduk di sebelah Ana. Beberapa ratus buku yang masih terbungkus boks berwarna cokelat ada di depan kami, siap untuk kami tanda tangani. Seolah kami adalah penulis terkenal yang ditunggu-tunggu karyanya oleh pembaca. Kami berbincang sambil mulai menandatangani buku- buku itu. Perbincangan-perbincangan mengenai bagaimana akhirnya semua bisa terjadi. Bagaimana kami sama-sama ingin tertawa tak berhenti karena masih tak percaya pada apa yang sedang terjadi saat ini. Tentang jaring-jaring kejadian yang mengantarkan kami ke titik-titik pemahaman, lalu berpusat pada sebuah makna. Bahkan kami berdebat, siapa sebenarnya yang membawa kami ke sini. Apakah Ana karena dirinyalah yang mengajakku untuk menulis buku bersama? Karena dirinyalah yang membuat aku akhirnya bisa menulis sebuah buku. Namun Ana bersikeras bahwa akulah yang membawanya ke titik ini. Bahwa aku selalu dikelilingi keajaiban yang bisa membuat orang menyadari bahwa rencana Tuhan selalu menyimpan makna yang sempurna. “Hai!” Tiba-tiba suara yang kukenali sudah ada dalam ruangan. 353 “Lara!” sahutku. “Mbak Lara!” timpal Ana berbarengan. “Maaf ya, aku barusan rapat dulu. Wih, udah mulai tanda tangan. Gimana perasaan kalian?” Lara bertanya kepada kami tapi matanya hanya mengarah kepada Ana. Seolah sedikit enggan untuk melihatku. Aku hanya tersenyum dalam hati. Mungkin benar, Lara sepertinya masih canggung melihatku bersama Ana, bersama perempuan lain. Namun aku lebih yakin, bahwa dirinya paham perihal hubungan kami sebenarnya. “Aduhhh.... Aku enggak tahu harus bilang apa selain makasihhh....” Ana menjawab semangat. Aku hanya tersenyum melihat Ana bisa bersikap sebaik itu kepada Lara. “Saka malah enggak tahu harus ngerasa apa katanya, Mbak,” ujar Ana. “Loh, kenapa enggak tahu harus ngerasa apa? Grogi ya, bukunya terbit. Hehe.” Lara coba menggodaku. “Enggak, bukan gitu, haha. Kamu tahu ini bukan hal yang berani aku semogakan, nulis buku? Gosh... lucu aja rasanya. Ini di dalem dada rasanya bergemuruh tahu. Hahaha.” Aku coba mencairkan suasana. Namun, masih terlihat sebuah batas yang Lara coba atur. Senyumnya masih terlihat agak terbatas. Keterpaksaan untuk bersikap senormal mungkin masih jelas terlihat pada wajahnya. 354 “Ciye, bergemuruh, bahasanya penulis mah beda ya.” Lara kembali menggodaku, kali ini sedikit menyebalkan. “Karena, akhirnya Saka bisa mengutarakan perasaannya kayaknya, Mbak,” celetuk Ana. Aku dan Lara sontak menatap Ana, tapi dia berlagak polos dan melanjutkan tanda tangan ke buku-buku yang ada di depannya. Aku menendang kaki Ana yang berada tepat di sebelah kakiku. Kukira Ana akan paham. “aku tuh selalu curiga tahu Mbak, tulisan-tulisan Saka di Blog itu kayaknya tulus banget. Kayaknya ingin sampai ke seseoramg, tapi enggak punya sayap buat akhirnya hinggap ke orang yang dimaksud. Jadi waktu ketemu Saka dan dengan lucunya semesta bikin aku ditawarin bikin buku sama Penerbit ini, ya udah aku ajak dia buat nulis bareng. Tapi selain itu, aku akuin tulisan Saka emang bagus kok. Dunia harus banget baca tulisannya. Kayak punya roh gitu!” Ana malah makin sengaja. Entah apa tujuannya, kini aku hanya bisa ikut rencana yang diam-diam tengah Ana lancarkan. “Wah, beruntung banget dong orangnya itu.” Lara menanggapi. Lagi-lagi aku tak dapat berbuat apa-apa selain tertawa dan melanjutkan menandatangani buku. “Ya, pasti beruntung banget Mbak, perempuannya. Biar semua perasaannya bisa sampai dibela-belain dibikinin buku coba. Kalau sampe perempuan itu masih enggak bersyukur, kebangetan pasti. Pengen kucubitin pipinya. Terus aku bilang, ‘Helloooo... kamu apa enggak nyadar juga lagi diperjuangin?’ 355 Gitu, hehehe.” Sembari Ana memeragakan dengan kedua tangannya seolah tengah mencubit pipi seseorang di depannya. “Eh, siapa tahu loh, namanya juga perempuan kan. Perlu diperjuangin lebih. Apalagi kalau perempuannya tahu Saka nulisnya sama perempuan lain, pasti cemburu,” ucap Lara. Aku terkejut mendengar ucapannya. Entah hanya untuk menyambung cerita Ana atau dia sedang mengutarakan apa maksud yang sebenarnya. Namun, aku paham sesuatu. Ternyata benar kata Kevin. “Hah, akubeneran gemes kalau gitu sama perempuannya. Aku bakal nyubit pipi dia lagi sambil ngomong, ‘Hellooooww... dia nulis sama aku tapi tulisannya buat kamuuu...! Aku cuma bantu biar semua perasaannya sampe ke kamu. Hei, kurang apalagi dia perjuangin kamuuu...?’” Hahaha. Lagian aku juga nulis buat seseorang kok. Emangnya Saka doang yang bisa diem-diem curhat di tulisannya,” Ana menggerutu. Kali ini wajahnya benar-benar terlihat jahil. Tak pernah kubayangkan Ana akan bisa bertindak sejahil ini. Aku tak kuasa menahan senyum. “Heh, kok kamu enggak pernah bilang? Siapa lelaki enggak tahu diri itu, yang udah ninggalin kamu? Biar kujewer-jewer juga itu lakik!” Aku berujar, mengikuti aksi Ana. Lara hanya tersenyum melihat kami. Kini senyumnya terlihat memancarkan kelegaan yang entah berasal dari mana. Aku hanya berharap Lara bisa paham. 356 “Dih, siapa yang ditinggalin. Orang itu cinta yang enggak sampai. Dulu, dulu sekali. Aduh, kok ya malah aku yang jadi curhat, padahal kita lagi cengin Saka.” Ana melanjutkan fokus dengan tanda tangannya. “lya, napa ngomongin aku terus sih? Too much information. Ini kata Lara, penulisnya ternyata malah pada curhat di buku.” Aku berujar. Lara masih tertawa mendengar ucapanku. “Eh, enggak apa-apa kali. Dari semua tulisan yang aku handle, emang para penulis tuh pada curhat di tulisannya. Lucu deh bacanya,” ujar Lara. “Kalau liat tulisan kita, lucu juga enggak? Hehe.” Aku menggoda Lara. “Well...” Lara sedikit terlihat agak canggung. Belum sempat Lara melanjutkan kalimatnya, Ana memotong. “Tapi, iya bener tahu, the world deserves the information about you,” ujar Ana. “Eh, masih aja lanjut,” protesku. “Sstt... diem, ini aku lagi jual kamu. Siapa tahu Mbak Lara nawarin kamu bikin buku sendiri,” celetuk ana polos. Lara tertawa mendengarnya. “Kamu itu beneran dikelilingi keajaiban. Bisa bikin orang yang ada di sekeliling kamu percaya sama kamu dan sama dirinya sendiri. Aku sebagai temen yang udah bisa liat itu di kamu. Aku harus bilang bahwa sejak awal ditawarin aku enggak pernah bisa percaya sama diri aku sendiri bahwa 357 aku bisa nulis buku. Ya, meskipun aku seneng nulis. Coba liat yang ditawarin buku siapa, yang semangat bikin konsep tulisan siapa? Kamu, kan? Kamu yang akhirnya bisa bikin aku percaya diri buat nulis novel ini,” seru Ana. Entah bagaimana reaksi Lara mendengarnya, tapi aku sangat tidak suka perasaan ini. “Jadiiii... kalau perempuan itu masih aja enggak liat perjuangan kamu ini suruh temui aku. Tak uwel-uwel pipinya. lya, enggak, Mbak Lara?” ujar Ana sebal, sambil melanjutkan tanda tangan. “Mmm... aku izin keluar sebentar.” Aku berdiri dan pamit kepada Ana dan Lara. “Engg... aku salting. Dan, aku enggak suka kalau salting. Aku ke toilet dulu,” ujarku buru- buru keluar ruangan. Entah akhirnya Lara dan Ana tertawa mendengar alasanku atau tidak. Namun, aku benar-benar tak tahu harus bersikap apa. Aku tak pernah suka jika harus salah tingkah. Kalimat Ana terlalu jujur untuk bisa aku dengar. Entah apa yang dirasakan Lara setelah mendengarnya. Entah apa juga yang mereka bicarakan sekarang. Yang pasti aku akan menjitak Ana sepulang kami dari sini. “Udahan saltingnya, Saka?” tanya Lara sekembalinya aku ke ruangan. “Hehe. Udah lega. Aku kalau kebelet pipis emang suka salting,” aku kembali melanjutkan tanda tangan. “Saka, enggak apa-apa kok kamu salting aku puji. Sorry 358 for not being sorry. Hehe.” Ana mengejekku. Setelah puas menjadikan aku bulan-bulanan, (akhirnya) kami melanjutkan perbincangan perihal penjualan online dan promosi yang harus kami lakukan di media sosial juga Blog kami. Hingga tak terasa semua buku selesai kami tanda tangani. “Pokoknya, jangan lupa ya, pada bantu up promosi,” ujar Lara. “Tenang, ada seleb di sini. lya, enggak?” Aku menyenggol Ana. “Apaan dah seleb-seleb? Yuk ah, kita pamit ya, Mbak Lara. Makasih banget sekali lagi udah ngizinin kita untuk nulis buku. Oh iya, salam buat Mas Rio,” ucap Ana. “ya, sama-sama Cantik. Rio masih ada rapat soal kerjaan jadi enggak bisa nemenin kalian,” balas Lara. “Alhamdulillaaaah...” celetukku pelan. “Hah? Alhamdulillah kenapa?” Lara bertanya kepadaku. “Tauk nih apaan?” seru Ana. “Alhamdulillah banyak kerjaan, rezeki kan, ya? Hehe. Pamit, ya!” Aku memberikan senyum jahilku. Kuharap Lara bisa memahami senyuman itu. Karena perasaan lega ini, sedang mengalir deras ke seluruh diriku. merangkul pundak Ana dan memainkan rambutnya. “Eh... eh... jangan rangkul-rangkul. Kalau aku baper gimana hayo, mau tanggung jawab?” seru Ana sambil tertawa. 359 Tak pernah aku melihat Ana seceria ini. Bagaimana lagi aku tak kuasa ingin memeluknya. Betapa dirinya telah menjadi teman yang sangat baik bagiku. Oh, aku ingin sekali dunia tahu aku memiliki teman lagi yang baik. “Ehhehe.... Oke, enggak tadi omonganku?” Ana bertanya menggoda. “Oke, oke, dari Hongkong! Malu tahu!” Aku masih gemas kepadanya. “Alaah, seneng juga pake bilang malu. Kamu harus traktir aku! Aku lagi pengen... Apa ya? Burger! Yang ada di deket Coffee and Drama. Terus, traktir milky berry ya!” Ana berseru. Bagaimana pun dirinya baru saja bersikap sangat menyebalkan, aku tahu Ana baru saja membantuku. Meski sedikit merasa bersalah kepada Lara, tapi tidak apa. Sesekali aku mengerjainya. “Udah nyebelin minta traktir lagi. Hhhh,” aku mengeluh. “Aku baru lulus loh, belum officially, tapi kan beres sidang. Kamu enggak mau ngasih apa kek gitu? Hih,” keluh Ana. “Oh, iya. Haha. Yuk, aku traktir, deh. Kamu bebas pesen berapa aja burgernya. Bebas pesen apa aja di Coffee and Drama. Tapi, ada satu syarat,” aku berujar. “Hih, kayak mau nikah aja pake syarat. Apaan emang?” tanya Ana. “Kamu harus cerita di tulisan itu kamu curhat tentang 360 siapa, hahaha.” Aku tertawa licik. “Udah aku duga! Udah aku dugaaaa...! Dasaaar liciiik...!” gerutu Ana. Kami kemudian menuju Coffee and Drama, meninggalkan sebuah kelegaan selepas bertemu Lara. Aku hanya berharap komunikasiku selanjutnya dengan Lara, bukan lagi perihal urusan buku dan promosi. Aku sudah cukup merindu, untuk membicarakan kita. om “Lu yakin mau kerja lagi sekarang?” tanya Kanaya kepadaku dengan hati-hati, setelah sampai di depan kantorku lagi. “Iya, udah telat juga baliknya. Gue udah lega dan lumayan tenang kok, Nay. Tenang aja, I can handle it.” Aku tersenyum sembari mengatakan itu kepada Kanaya. “Ra, maaf ya kalau gue ada salah kata. Gue cuma enggak mau lu nyia-nyiain kesempatan untuk bisa dicintai sama mencintai. Di luar sana, enggak semua perasaan bisa berbalas, Ra. Saka itu lagi perjuangin lu. Gue harap lu bisa bijak untuk nunjukkin ke dia, kalau lu juga berjuang buat dia. Takdir enggak pernah main-main, Ra. Lu berkali-kali dikasih ketemu sama dia dengan perjumpaan-perjumpaan yang enggak terencana. Enggak mungkin kalau tanpa maksud.” 361 Aku segera memeluk Kanaya. Membiarkan seluruh perasaanku luruh di dalam pelukan itu. Setetes air mataku kembali mengalir dan mengenai pundaknya. Kanaya yang menyadari itu langsung mendorong tubuhku dan mengusirku dari mobil. “Sana kerja lagi!” Baru hendak melangkah masuk ke dalam kantor, Kanaya memanggil dan mengajakku berbicara melalui kaca jendela yang terbuka. “Nanti sore gue jemput, temenin makan gelato. Oke, oke? Kan, gue lagi liburan. Hehe.” Aku hanya mengangguk lalu segera melangkah kembali ke dalam kantor. Bergegas membuka laptop untuk kemudian mengunjungi laman Blogku dan mengunggah sebuah tulisan yang sedari tadi bercokol di kepala. Sebuah Pesan Mungkin aku penuh kebohongan, sedang kamu penuh kejujuran. Tapi sebetulnya bukan seperti itu inginku. Kamu tidak pernah tahu penyebab lukaku, karena kamu tak pernah menanyakannya. Kamu tidak pernah tahu aku terluka, sebab aku selalu menutupi serta mengabaikannya. 362 Lihat? Selama kita masih bersama, aku hanya inginkan kamu merasa baik. Bahkan hingga kini tak lagi bersama, aku ingin agar kamu selalu baik, Itu sebabnya kubiarkan kamu berpikir, aku yang akhirnya memberi luka serta penuh dusta. Aku mungkin pernah terluka karenamu, namun aku tak ingin kamu mengetahuinya. Sebab aku memang tak ingin bila kamu merasa bersalah, karena telah menjadi penyebab dari segala luka. Sebab mungkin kehadiran masing-masing kita di kehidupan orang lain—aku di kehidupanmu, kamu di kehidupanku— adalah sebagai pengantar pesan dari semesta. Usai mem-posting-nya aku menghembuskan napas lega. Seolah baru saja ada beban yang terangkat. Sepertinya, dengan bercerita kepada Kanaya tentang perasaanku terhadap Saka yang masih saja tersisa membuatku semakin merasa ringan untuk kemudian menatap hari esok. Bukan maksud berlebihan. Hanya saja, aku rasa setiap kita memang harus mengeluarkan perasaan yang kerap tersimpan. Entah dengan bercerita dengan orang lain, entah dengan menulis, entah dengan menumpahkan air mata, atau 363 mungkin hanya dengan duduk bersimpuh di hadapan-Nya. Setiap kita membutuhkan pelepasan untuk kemudian bisa menerima. Untuk selanjutnya bisa memahami apa yang sedang terjadi dengan lebih bijak, pun kemudian tahu seperti apa harus berbuat dan ke mana lagi kaki akan berpijak. Setelah dipikir-pikir tampaknya aku boleh sedikit menaruh harap kepada Saka lagi. Maksudku, akan kedatangannya kembali di sini. Sebab yang aku tahu, Saka bukanlah seseorang yang mudah untuk meninggalkan ibu dan adik-adiknya. Meski ia berada di rumah hanya selama beberapa jam saja dan sekadar untuk beristirahat, dia tetap akan memastikan ibu dan adik-adiknya merasa aman karena bisa menemukannya di sekitar. Mungkin, ada sesuatu di Jogja yang membuat Saka merasa perlu berjuang. Entah itu mimpinya, atau mungkin seseorang. Pikiranku kemudian melayang teringat dengan Riana, teman Saka dalam menulis. Perasaan itu hinggap lagi. Ya, aku akui sekarang tampaknya sudah mulai mencemburui Riana. Bagaimana tidak, dengan terlibat dalam satu proyek bersama, bukan tidak mungkin akan menimbulkan kebiasaan. Terbiasa untuk saling bertukar cerita, terbiasa untuk kemudian selalu berkomunikasi, hingga terbiasa untuk kemudian saling mengisi. Ah sial, kenapa pula isi kepalaku kali ini? Baru saja tenang kurasakan mengapa sekarang harus kembali khawatir terhadap sesuatu yang belum pasti. Saka selalu tahu apa yang dia butuh, bukan hanya dia mau. Dan 364 jika begitu, aku tahu, pilihannya tentu bukan kepada Riana. Sesekali menjadi lebih dari sekadar percaya diri, boleh kan? Aku segera melanjutkan pekerjaanku karena tak terasa hari sudah menuju petang. Setelah ini, jika semesta kembali memberi kesempatan untuk aku bisa membuktikan sesuatu yang memang sepantasnya diperjuangkan, semoga tak ada lagi alasan yang membuatku menyerah. -~ Semenjak kepulangan Kanaya beberapa minggu lalu, hari demi hariku berjalan dengan teramat cepat. Mulai dari proofreading naskah, lalu bertemu dengan penulis yang kebetulan sedang mampir ke Jogja sekaligus menanyakan kapan buku selanjutnya akan terbit. Hadir dan terlibat pula dalam beberapa talkshow yang diadakan kantorku sebagai salah satu upaya promosi. Bahkan akhirnya aku harus menunda_kembali kedatangan ibuku untuk mencoba tinggal di Jogja. Aku merasa bersalah sekali untuk itu. Entahlah aku merasa berdosa lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan orang tuaku. Tapi apa mau dikata, sudah lebih dari sebulan aku belum sempat untuk pulang. Aku selalu merasa tidak enak dengan ibuku dan berupaya menyempatkan waktu setiap malam untuk meneleponnya 365 sebagai pengganti kehadiranku. Meski sebetulnya ibuku tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Karena baginya yang terpenting adalah aku bisa sangat produktif di usiaku, pun bisa banyak mendapat pelajaran dari segala yang aku jalani. Bagi beliau, masa-masa sibukku kali ini adalah saat yang harus selalu disyukuri. Sebab, tak semua orang memiliki kesempatan serupa denganku. Walau selalu ada hal yang perlu dikorbankan, seperti aku yang saat ini mengorbankan waktu untuk bisa berada dekat dengannya. Ibuku selalu berkata, “Keluarga adalah hal yang utama, tapi bukan berarti hal itu mengungkungmu untuk beraktivitas.” Jarang berada di rumah bukan berarti tak peduli, jarang bersitatap bukan berarti tak memiliki rasa sayang. Justru hal-hal yang jarang itulah yang menjadi bukti bahwa ada kepeduliaan dan rasa sayang yang membuncah. Jarang bertemu sebetulnya mendekatkan serta menguat- kan hati. Pada akhirnya aku selalu percaya jarak bukan menjadi penghalang bahkan rintangan. Jarak adalah pem- belajaraan. Jarak adalah pendewasaan. Jarak adalah satu- satunya hal yang bisa mendekatkan. Seluruh waktuku seolah benar-benar tersita untuk pekerjaan. Pun, yang lebih parah adalah waktuku yang tersita dengan naskah buku Riana dan Saka. Meski di awal aku merasa tak sanggup untuk menjadi editor dari buku 366 tersebut karena rasanya terlalu berat saja melihat Saka menulis dengan wanita lain. Pun, membaca kisahnya yang seringkali membuatku mau tak mau merasakan beragam emosi karena pernah mengalami. Hari ini menjadi terasa sedikit istimewa. Akhirnya, buku mereka sudah selesai cetak. Ada beberapa eksemplar yang perlu ditandatangani oleh penulis untuk memenuhi kebutuhan penjualan online. Sejujurnya aku bersyukur, setidaknya Saka berhasil melakukan sebuah pencapaian dalam hidupnya. Selain mem- buat kedai kopi, kali ini ia bahkan berhasil menulis sebuah buku. Sebuah pencapaian yang tidak main-main mengingat hal ini memerlukan sebuah konsistensi. Terlebih melongok di masa lalu, Saka teramat susah untuk konsisten dalam melakukan sesuatu. Ya, tak lain hanya karena ia memang tipikal orang yang mudah jenuh dan tak ingin ditekan. Tapi lain halnya dengan buku ini, Saka seolah selalu bersemangat dalam mengerjakan segalanya. Aku bahkan kerap memberikan deadline yang ternyata bisa ditepati lebih awal oleh Saka. Berkat Kanaya pula aku akhirnya kembali bisa berkomunikasi dengan Saka seperti seharusnya. Meski hanya sebatas penulis dengan penerbit, penulis dengan editor. Hanya sampai di situ, tidak lebih pun tidak kurang. Menjelang terbitnya buku Saka dan Riana, aku lebihsering berdiskusi dengan Saka. Seputar pemilihan cover, materi promosi, serta segala tetek-bengek lain demi kebutuhan buku 367 tersebut. Masih tersisa sedikit kecanggungan sebenarnya untuk bisa menjadi biasa-biasa saja dengan Saka. Ya, meski kami sudah lebih dari sekadar kata baik sebenarnya. Tapi mau tidak mau, aku tetap harus mengatasi segala kecanggungan itu karena Riana sedang sibuk dengan studinya. “Oke kalau gitu pembahasan untuk buku Saka dan Riana selesai ya. Lara, mereka jadi dateng hari ini, kan?” Rio kemudian melemparkan pertanyaan kepadaku. Pertanyaan itu membuatku langsung menegakkan posisi duduk yang sedari tadi menunduk sambil melamunkan banyak hal tentang rentetan kejadian belakangan ini. Lupa bahwa tengah berada dalam rapat redaksi Mingguan. “lya jadi, Mas. Tadi sih Riana ngabarin udah sampe,” jawabku. “Ya, udah kalau gitu kamu temenin mereka aja sekalian sampein bahasan yang tadi udah kita rapatin. Sendirian enggak apa-apa kan? Soalnya, aku sama yang lain akan lanjut bahas hal lainnya lagi. Nanti hasilnya aku share ke kamu setelah selesai temenin mereka tanda tangan. Gimana?” Rio kembali mengajukan pertanyaan yang sebetulnya adalah perintah. Aku mengangguk setuju kemudian lekas membereskan barangku dan meninggalkan ruangan rapat. Jujur saja, sejak Kanaya yang sempat keceplosan berbicara tentang aku dan Saka waktu itu, Rio seolah menarik diri. Dia tak lagi sering mengajakku bercengkerama 368 seperti biasa. Aku merasakan kehilangan sebenarnya. Sebuah kebiasaan mendadak tak lagi dilakukan. Meski aku tak tahu pasti alasan mengapa Rio berubah. Entah karena pekerjaan yang belakangan menumpuk atau benar memang ingin menghindariku, tetap saja aku cemas karenanya. Aku rindu. Terang-terangan mengaku rindu kepada diri sendiri bahwa aku kangen Rio. Pada setiap gurauannya di saat aku tengah suntuk mengerjakan pekerjaanku di kursi dekat taman. Pada setiap ocehannya yang tak lain adalah pengingat untukku agar sejenak rehat dan menikmati makan siang dengannya. Pada setiap obrolan-obrolan yang ringan tapi sarat makna. Aku masih memikirkan perubahan sikap Rio hingga kemudian melihat mereka. Riana dan Saka yang tengah asyik tertawa sambil sibuk membubuhkan tanda tangan. Melihat Saka yang bisa tertawa selepas itu dengan Riana membuatku kembali memikirkan perkataan Kanaya. Tentang Saka yang sedang berusaha memperjuangkanku. Mungkinkah Saka memang sedang berjuang untukku? Mungkinkah Saka memang sedang berusaha meyakinkanku? Tapi, melihat kedekatan yang saat ini berada di hadapanku, justru membuatku ragu atas hal itu. Bukan lagi perasaan cemburu yang hinggap, melainkan kini berganti dengan per- tanyaan-pertanyaan ‘mungkin’ yang terselubung harapan. Karena dari sorot mata yang kulihat, Saka tidak memandang Riana seperti caranya dulu melihatku. Aku lalu 369 memberanikan diri untuk berada di antara mereka. Menyapa keduanya dengan tetap memusatkan fokusku kepada Riana. Sebab melihat Saka, aku tak pernah seberani itu jika harus melibatkan orang lain. Pun, aku tak tahu apakah Saka sudah memberitahukan Riana perihal apa yang pernah terjadi di antara kami. Karena aku sendiri, masih belum sempat mengatakan apa-apa kepada Rio karena tak kunjung menemukan waktu yang tepat untuk itu. Lagipula rasanya terlaluaneh membahas Saka dengan Rio tanpa Pimredku itu yang bertanya lebih dulu. Aku mulai memberanikan diri berbasa-basi menanyakan perasaan mereka dengan terbitnya buku ini, dan bersikap seolah segalanya tak terjadi apa-apa. Ya, karena memang tak terjadi apa-apa selain perasaanku sendiri yang merasa masih ada yang mengganjal antaraku dengan Saka. Aku mencoba menenangkan kecanggunganku dengan ikut berbincang bersama mereka, hingga kemudian perkataan Riana justru mengusik nuraniku untuk kembali percaya pada perkataan Kanaya. “Coba lihat, yang ditawarin buku siapa, yang semangat bikin konsep tulisan siapa? Kamu kan?” Aku sempat mengernyit mendengar ucapan Riana tersebut tapi buru-buru mengubah mimik mukaku agar tak terlihat oleh Saka. Terakhir kali aku bertemu dengan Saka dan meminta penjelasannya akan isi buku ini, aku ingat betul 370 bahwa Saka bilang konsep buku ini adalah milik mereka berdua. Namun, ketika Riana mengatakan hal ini, aku jadi semakin merasa harus kembali membaca ulang buku mereka. Bukan lagi sebagai editor melainkan sebagai seseorang yang kisahnya menjadi inspirasi terciptanya buku ini. Melihat dari dekat cara Saka dan Riana berkomunikasi, membuatku justru semakin yakin di antara mereka memang ada sesuatu hal yang menjadikan keduanya nyaman satu sama lain. Bukan seperti aku kepada Saka, pun Saka kepadaku dulu. Melainkan seperti melihat kedekatanku dengan Rio. Sebuah rasa nyaman yang timbul karena memang merasa cocok untuk menjadi dekat. Setidaknya untukku demikian. Nyaman dengan Rio adalah perasaan nyaman di batas teman. Sesinergi itu untuk kemudian menciptakan keseruan dan hal-hal yang menyenangkan lain. Meski memang hanya sebatas teman, tidak lebih. Semoga Rio bisa paham akan hal itu juga, harapku. Aku akhirnya bisa larut dan menghilangkan kecanggungan yang ada ketika mulai membicarakan tentang progress dan proses lanjutan setelah buku mereka terbit. Tak kusangka, bahwa kembali bertemu dengan Saka justru membawaku pada sebuah proses pemahaman baru mengenai penerimaan. Mendekati jam makan siang keduanya sudah selesai menandatangani semua buku yang akan dijual secara online. 371 Saka dan Riana lantas berpamitan kepadaku. Aku terus memerhatikan mereka yang melenggang meninggalkan kantorku dengan perasaan bahagia yang tak lagi bisa dijelaskan. Sebelum kembali ke ruangan, aku menyempatkan diri mengambil satu eksemplar nomor lepas buku Riana dan Saka untuk membacanya nanti sepulang kerja. Nurani serta nalar masih terusik dengan ucapan-ucapan Riana yang sedari tadi berkata bahwa seluruh tulisan Saka adalah caranya menyampaikan perasaan kepada seseorang yang selama ini hanya tersimpan rapi sendirian. Tulisan-tulisan itu adalah bentuk Saka untuk memperjuangkan seseorang itu. Sebetulnya, sewaktu Saka berpamitan ke toilet saat kami sedang menggodanya tadi, Riana sempat mengobrol denganku. Membicarakan sesuatu hal yang Saka tak perlu tahu. “Mbak Lara, udah baca buku ini pasti kan ya?” tanya Riana setelah melihat Saka sudah berlalu ke kamar kecil. “Tya udah, kan aku editor kalian. Masa iya aku enggak baca. Memang kenapa gitu?” Aku menjawabnya sambil terkekeh. Belum mengerti ke mana maksud pertanyaan Riana tadi. “Selama ini bacanya sebagai editor kan, ya?” Aku mengangguk untuk menjawab tanyanya. 372 Riana kemudian tersenyum dan melanjutkan ucapannya, “Bacanya jangan sebagai editor coba, tapi sebagai diri Mbak Lara sendiri.”Riana menegaskan ucapannya. Deg! Jantungku seolah berhenti berdetak. Aku tak mengerti harus menimpalinya seperti apa. Lidahku tiba-tiba menjadi kelu karenanya. Selama ini aku memang berusaha membaca buku itu sebagai seorang editor yang seolah tak tahu menahu datangnya inspirasi dari mana. Atau, bahkan berpura tak mengerti bahwa ada beberapa hal dalam buku itu yang pernah aku alami. Meskiyamemangsulit, tapi aku dituntut untuk profesional ketika menjalankannya. Maka, mau tak mau aku membacanya hanya untuk mengetahui jalan cerita dan mencari hal yang memang harus dibenahi. Tidak berusaha tenggelam dalam kisahnya apalagi membaca sambil membayangkan atau mengharapkan tulisan-tulisan itu diperuntukkan buatku. “Dengan begitu, Mbak Lara pasti tahu untuk siapa buku ini ditujuin. Ngg... maksudku buat siapa Saka mengarahkan semua tulisan-tulisannya. Mbak pasti tahu kan buat siapanya?” Riana kembali melanjutkan ucapannya sekaligus bertanya lagi. Aku yang sedang membolak-balik halaman demi halaman novel mereka akhirnya dipaksa untuk berhenti melakukam aktivatas itu. Baru saja aku berkata bahwa enggan berharap untuk meyakini kepada siapa tulisan ini ditujukan, Riana justru memancing aku untuk mengetahuinya. 373 374 Mendengar pertanyaan Riana itu aku hanya bisa diam. Tak tahu harus menjawab apa. Ingin berkata iya tahu, tapi aku masih ragu bila ternyata dugaanku salah. Ingin berkata tidak tahu, tapi dari cara Riana mengucapkan kalimat-kalimatnya tadi, serta melihat reaksi Saka atas semua ucapan Riana, rasanya mustahil bila aku sama sekali tak tahu menahu. “Well, enggak usah dijawab karena aku anggep Mbak Lara tahu. Dan, ya aku tahu Mbak Lara emang tahu. Aduh, aku ngomong apa sih? Intinya, mbak Lara enggak usah cemburu atau enggak enak, atau gimana-gimana ke aku ya. Aku pastiin, aku hanya jalan untuk Saka akhirnya bisa menyampaikan perasaannya ke orang tersebut. Orang yang sangat Mbak Lara tahu siapanya.” Riana tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata. “th, apa itu teh maksudnya pake kedip-kedip gitu?” Aku berpura-pura polos. “Enggak, ini tuh kelilipan sama serat-serat yang muncul dari buku yang baru selesai dicetak.” Riana mencoba mengembalikan suasana menjadi cair. “uh, penulis mah beda ya, kelilipannya sama serat buku coba. Haha.” Aku dan Riana kemudian tertawa bersama. a CHAPTER VII. “PADA SEBUAH KEMBALI YANG SEUTUHNYA, ADA SEBUAH PENERIMAAN YANG SEPENUHNYA" ;° “Udah gue bilaaang... dia cuma pura-puraaaaa... baik-baik ajaaaa....” Kevin mengepalkan kedua tangannya di sebelah kedua telingaku. “Kok, lu enggak percaya ada cewek sekeren itu sih? Dan, lu napa pengen banget gue salah, Nyeeet...?” Aku mengacuhkan Kevin. Meneruskan membereskan bar yang agak berantakan. “Hahaha. Bercanda. It’s good to hear that. Jadi, kalau doi biasaajasamalu, bisa dong...” Kevin sengaja menggantungkan ucapannya. “Bisa Sob, bisa gue atur lah.” Aku menjawab karena paham maksudnya. “Hah? Seriusann?” Kevin terperangah atas jawabanku. Seolah baru saja mendapat kejutan uang kaget. “Bisa gue atur, mau gelas mana yang bakal dilemparin ke muka lu!” jawabku sinis sambil mulai menyiapkan pesanan yang belum dikerjakan. Kevin heboh menggerutu. Baginya, Ana punya pesona yang sesuai dengan tipe gadis yang dia sukai. Tapi tidak, aku tidak bisa mengizinkan Ana untuk bisa luluh kepada Kevin. Ana terlalu berharga untuk Kevin. Meski aku tahu Kevin akan menjadi lelaki yang cukup menyenangkan bagi Ana, aku tetap tidak rela. “Maaf Kevin, tanganku tidak bisa memberimu jodoh.” Aku berujar dalam hati. “Hei,” suara seorang perempuan tiba-tiba menyapa kami. 377 “Lah, Lara?” Kevin terkejut sembari melihat ke arahnya. “Heh, kok lu yang kaget sih?” Aku menepuk pundak Kevin dengan lap meja. “Santai dulu ya, Ra. Aku beresin pesenan dulu,” ucapku kepada Lara. Lara mengangguk dan duduk di kursi bar. Ya, tak heran Kevin terkejut. Aku belum sempat cerita kepadanya. Sengaja biar Kevin mengetahuinya langsung dengan kedatangan Lara. Hubuganku dengan Lara membaik. Hubungan baik yang kemarin sempat tidak baik. Lara yang baru saja pulang kerja sengaja mendatangiku di kedai kopi sambil menungguku pulang. Selain itu kami punya janji untuk menikmati makan malam bersama. Untuk pertama kalinya setelah Coffee and Drama sudah buka lebih dari satu bulan dan setelah kejadian yang cukup panjang, untuk akhirnya Lara bisa datang kemari dengan keadaan yang baik-baik saja. “Enak juga tempatnya,” ucap Lara. “Iya dong, ini yang bikin interiornya.” sembari memegang pundak Yuda yang kebetulan saat itu tengah datang untuk mencatat beberapa kebutuhan kafe. Yuda dan Lara lalu berkenalan. “Ini Lara. Emm, Laranya Saka.” Kevin kebingungan memperkenalkan Lara. Kami hanya tertawa, paham apa yang dilakukan Kevin. “Kamu harus tebak dong Lara siapa yang bikin nama Coffee and Drama!” ucap Kevin. Aku yang masih membuat pesanan hanya tertawa. 378 “Yah, kalau disuruh tebak udah jelas siapa yang bikin nama itu dong,” ucap Lara sambil tersenyum. Hah, senyum itu! Ingin sekali aku bisikkan kepadanya sekarang juga bahwa aku merindukannya. Sangat. “Well, you can’t live properly without coffee and drama.” Aku berucap sambil mengangkat kedua bahu. “Diiiih... anjir, depan Lara aja sok keren lu. Kemaren- kemaren ada yang nanya ogah-ogahan lu jawab. Hahahaha.” Kevin menggodaku. “Eh, mau cappuccino dong!” pesan Lara. Aku tak berani menjawab. Sengaja membiarkan Kevin yang menjawab. “Aduh, maaf Lara. Di sini enggak ada cappuccino. Adanya manual brew sama minuman lucu lain. Ada iced chocolate, ada milky berry, dan yang ada di menu itu aja,” jawab Kevin sambil menunjuk buku menu yang ada di hadapan Lara. Ingin sekali aku membahas itu sekarang juga dengan Kevin, tapi aku mengurungkan niat itu. Aku tidak ingin mendebatnya di depan banyak orang. “Tuh, ada yang nanyain cappuccino lagi kan!” ucap Yuda pelan sambil berlari ke luar bar. Aku yakin Kevin sedang menahan wajah kesal. Saat ini, aku malah merasa kasihan kepadanya. Aku hanya tak membayangkan apa yang memang menahannya untuk sama sekali tidak menyediakan menu cappuccino dan cafe latte, selain idealisme yang dia pertahankan. 379 “Es kopi susu enggak ada juga yah?” tanya Lara iseng. “Enggak ada, Lara. Iced chocolate aja mau?” Kevin menawari minuman lain. Lara menyetujuinya dan segera Kevin mulai mem- buatkannya. Aku baru tahu bahwa Lara juga suka menikmati es kopi susu. Yah, menurut berita dan beberapa artikel yang kubaca. Demam es kopi susu pun sudah mulai menyebar di beberapa coffee shop di Jogja. Aku penasaran apakah Kevin juga tidak ingin membuat menu es kopi susu. Menu yang sedang menjadi trending, dan sepertinya dicari banyak orang. “Yuk, udah beres nih!” Aku membereskan vest barista dan menaruhnya di salah satu loker di bawah bar. Aku dan Lara siap untuk pergi, dan pamit kepada Kevin, Yuda, juga Agil. “Ke mana nih?” tanya Lara. “Aku lagi pengen sop Pak Min nih. Gimana?” Aku menjawab. Lara hanya mengangguk tersenyum menyetujuinya. Selain burger dan gudeg, sop Pak Min menjadi salah satu makanan favoritku di Jogja. “Dulu perasaan ada temenmu cewek yang kecil-kecil lucu itu? Di mana dia sekarang?” Jelas yang dimaksud Lara adalah Narni. “Narni? Dia lagi sibuk ngurusin skripsinya. Hih, lucu apanya. Kamu harus tahu kelakuan dia yang enggak lucu,” ujarku sambil memberikan wajah sebal. 380 “Oyah? Apaan emang? Hahaha.” tanya Lara antusias. “Dulu, waktu mau pulang ke Jogja, yang kemarinnya kita abis ketemu enggak sengaja itu, kita pada ngumpul di rumah Narni. Sambil nunggu jadwal keretaku pulang, kita nonton film drama gitu. Keith apa ya judulnya. Lagi adegan haru biru, eh si Narni ngegodain aku. Masa katanya aku nangis, sebel gilak!” Aku bercerita. “Hahaha. Terus, kamu beneran nangis emang?” tanya Lara penasaran. “Baru juga mau. Eh, enggak jadi gara-gara dicengin si Narni. Kan, kesel! Eh, tapi ternyata, si Kevin sama aja. Air mata udah di pelupuk. Eh, balik lagi itu nangisnya ke dalem matanya gara-gara malu dicengin si Narni. Hahaha.” Kami tertawa puas dan lepas. Mungkin tamu yang lain sedang menyinyir dalam hati melihat tingkah kami yang sedang tertawa bak anak ABG yang tengah di mabuk asmara. Padahal, kami tidak mabuk. Kami benar-benar sedang sadar. Mungkin hanya sedang merasa kasmaran. Asmara yang membuatku lapar sekali. Saat pesanan datang, aku tak sabar untuk segera melahapnya. “Fits... itu sambelnya enggak usah pedes-pedes juga, Pak. Udah tahu punya maag.” Lara mencegah tanganku yang mau mengambil sambal. “Ehehehe.” Aku hanya terkekeh. Pipi ini sedang menyembunyikan rona yang sedang tersipu. Bibir ini apalagi, bergejolak ingin sekali senyum. 381 Namun, aku harus menahannya. Terlihat Lara begitu lahap menikmati makanannya. Aku lekas membuka botor air mineral untuk diberikan kepadanya. Dahinya yang putih sedang berkeringat karena pedas. Iri sekali aku dengan orang-orang yang bisa makan pedas. Satu hal yang tidak bisa Lara turuti dariku adalah makan pedas. Sebagaimana pun aku melarang dan memintanya menguranginya. Ya, sejak dulu. “Kok, di kedai kopi kamu enggak jual cappuccino, Saka?” Selesai makan, Lara bertanya. Aku kemudian bercerita mengenai perdebatanku dengan Kevin dahulu. Bagaimana selera pasar terhadap cappuccino dan latte, juga tentang prinsip yang dipegang oleh Kevin perihal kopi manual brew. Meski Lara tak begitu paham mengenai itu, tapi dirinya terus bertanya ini dan itu tentang kopi, seolah dirinya antusias dan ingin tahu lebih dalam. “Kopi juga sedalem itu ya ternyata. Cara nyeduhnya cukup rumit. Aku baru tahu, hehe,” ucap Lara. “Kopi itu enggak dalem, yang dalem itu kamu. Yang rumit mah, aku. Hehehe.” Aku menggodanya. Kami tertawa. Tetapi, karena kekenyangan kami tidak bisa tertawa terlalu lepas. Isi perut mengganjal otot-otot untuk tertawa. “Anyway, gimana perasaan kamu pas udah bikin buku? Kejual 75% lewat penjualan online. It’s a good start, Saka.” Lara mulai membahas buku yang aku tulis bersama Ana. 382 “Aku seneng, tapi aku enggak bisa lebih seneng karena aku takut tahu. Entahlah, ini baru awal, Lara. Dan, dunia penulisan gini bikin aku jiper banget. Mungkin 75% bisa abis itu karena pengaruh Ana yang udah banyak banget pembacanya. Siapa sih yang tahu aku? Aku juga baru nulis belum setahun kayaknya.” Aku menjawab sedikit hati-hati. Soal penjualan buku memang membuatku takut. “Hei, tulisan kalian berdua itu bagus. Jangan lupa, awalan itu emang selalu jadi hal berat buat siapa pun. Tapi masih ada yang lebih berat, mempertahankannya. Banyak penulis yang enggak lanjut bikin buku tahu. Entah karena persaingan dunia penulis, atau entah apa. Aku enggak rela kalau kamu sampe kayak gitu juga.” Lara menasihatiku. Raut wajahnya ikut serius. Hal itu hanya membuatku semakin terharu. Karena, untuk waktu yang lama, aku melihat ada seseorang yang bisa percaya kepadaku, lebih dari diriku sendiri. “Masalahnya, aku enggak pernah bener-bener pengen ini. Aku suka nulis. Suka banget. Tapi aku enggak pernah bener-bener percaya diri. Kalau Ana pernah bilang aku yang bikin dia percaya, aku enggak begitu setuju. Satu hal yang sebenernya bikin aku percaya. Kalau Ana yang ditawarin bikin buku itu udah ada kepastian bahwa buku kita bakal terbit. Kalau enggak, mana mungkin aku bisa percaya kalau aku bisa bikin buku, Lara?” Aku semakin berkecil hati. Tidak bermaksud agar Lara terus bisa menyemangatiku, tapi kali 383 ini aku benar-benar jujur. Aku memang tidak sepercaya diri itu. “Nope, nope. Itu bukan Saka yang aku kenal. Kamu lama enggak ketemu aku kok, jadi menciut gini? Enggak ada yang rawat ya, Mas?” Lara mulai menggodaku. “Sial Lara! Berhenti membuatku tersipu. Aku lemah!” teriakku dalam hati. “Saka, aku juga enggak nyangka banget akhirnya harus ketemu kamu dengan perantara Riana. Siapa yang pernah dan bisa nyangka semua hal ini sih? Kalau kata Riana, kamu tuh dikelilingin sama keajaiban. Mungkin ini yang bisa bikin kamu percaya. Keajaiban itu adalah rezeki kamu. Itu adalah manifestasi dari semua yang udah terjadi, yang pernah kamu lakuin. Aku enggak tahu kamu pernah ngapain aja, tapi aku yakin keajaiban ini, rezeki ini, adalah milik kamu yang emang sudah sepatutnya sampai di kamu. Hal selanjutnya adalah apa yang bakal kamu lakuin sama rezeki itu?” Lara menatapku. Mata hitamnya memancarkan pertanyaan yang dalam. Seolah dirinya memaksaku mencari makna dalam nurani yang selama ini aku abaikan. Nalar sedang berusaha memohon pada nurani kali ini, untuk bisa bekerja sama mencari makna itu. “Apa yang akan aku lakukan pada rezeki ini?” Pertanyaan itu berputar-putar mengelilingi nalar hingga membuatnya pusing. Terjun bebas ke dalam nurani, dan ikut menggodanya. 384 “Aku enggak tahu...” jawabku pasrah. “Saka, inget sama makna yang orang tua kamu tanam di nama kamu...” ucap Lara pelan tapi menampar hebat diriku. Perlahan semua sel dalam diriku sedang mengalir deras menuju nurani. Menyalakan sebuah gelombang yang lama mati dalam diriku. Semua atom saling bergesekkan membuat pijar untuk membuat nurani yang tidak aku ketahui telah lama sekarat. Sebuah rahasia sedang gemetar dan ketakutan dalam ruang paling rahasia dalam dadaku. Ingin segera keluar dan terkuak hingga akhirnya hinggap di telinga Lara. “Lara, aku nulis sebenernya udah lama. Dulu, aku selalu pengen jadi penulis. Dulu banget.... Sebelum ada orang-orang yang jahil ngebaca tulisan aku di salah satu buku catatan kecil yang selalu aku bawa waktu SMP. Aku akhirnya diejekin karena jadi satu-satunya laki-laki yang nulis romantis dengan puisi-puisi yang aku buat. Sejak saat itu, aku enggak pernah ngerasa ingin nulis. Enggak pernah berani lagi untuk punya mimpi itu. Itu yang selama belasan tahun mengubur mimpi aku untuk jadi penulis. Karena emang bener, semua orang selalu menertawakan tulisan-tulisan galau, tulisan lembut yang terkesan melankolis. Lara, aku laki-laki. Itulah yang selalu bikin aku ngerasa lemah dan cuma berani nyembunyiin kelembutan itu, hingga akhirnya aku sebisa mungkin menghilangkan itu dari diri aku.” Aku bercerita lirih. Rahasia yang aku pendam sangat lama, akhirnya bisa 385 lepas. Seolah hidup bebas karena tak lagi terkungkung dalam batinku yang paling gelap. Dalam masa lalu yang selalu menghantuiku. “Aku ngerti, Saka. Maaf kamu harus ceritain itu, dan maaf aku harus ngerasa seneng juga karena kamu akhirnya bisa ceritain hal yang selama ini kamu pendem. Asal kamu tahu, hal itu yang selama ini kamu rawat dan akhirnya tumbuh melebihi diri kamu sendiri. Ketakutan itu yang selama ini justru harus kamu hancurin malah ngehancurin kamu.” Lara menghela napas. “Aku yakin kamu juga pasti punya dendam sama orang- orang yang nertawain kamu. Tapi tanpa kamu berusaha balas dendam, karya kamu justru yang akan menertawakan mereka. Semua hal yang mereka tertawakan, justru akan bisa berguna buat mereka saat ini. Maafin mereka, Saka. Saat itu mereka enggak tahu apa yang mereka lakuin. Sekarang kamu pasti tahu, mereka butuh baca tulisan-tulisan itu. Kata- kata lembut yang dulu kamu sembunyiin itu ternyata bakal bisa ngasih pemahaman yang baik buat mereka. Aku pengen kamu terus nulis, bukan untuk balas dendam dan buktiin bahwa mereka salah. Enggak usah.” Aku masih menatap wajah Lara saat dirinya berbicara. Seolah dirinya sedang menasihati seorang bocah ingusan yang sedang menangis karena kehilangan mainan kesayangannya. Bedanya, aku kehilangan keyakinanku pada diri sendiri. “Kamu selalu pengen bisa berguna buat orang kan? 386 Kamu pengen punya mimpi. Kamu enggak liat keterkaitan itu dengan buku yang kamu tulis? Kamu sendiri yang bilang bahwa banyak banget orang di luar sana yang mungkin butuh pemahaman yang kamu punya, makanya kamu nulis buku ini kan? Just, don’t stop now. Setelah buku ini, orang- orang di luar sana selalu butuh cerita dan pemahaman yang baik. Dan, mereka enggak tahu harus cari di mana. Bayangin gimana perasaan Mama dan adik-adik kamu saat tahu tulisan kamu bisa bantu banyak orang? Pikirin itu, Saka.” Suara lara mengalahkan kendaraan-kendaraan yang hilir-mudik. Kata-kata itu begitu jelas dan langsung menancap nurani. Bak getaran petir yang merambat cepat, memompa nyawa pada nurani untuk hidup. Semua hening kecuali suaranya yang menggema di setiap rongga dalam diriku. Satu persatu bayangan adik dan ibuku mulai muncul dalam kepala. Mengingat bagaimana senyum mereka yang sudah jarang aku ingat. Lara benar. Aku harus kembali mengingat perihal doa yang ditancapkan dalam namaku. Aku, harus menjadi saka tidak hanya untuk orang-orang yang aku kasihi. Aku harus menjadi sang saka, bagi mereka yang sedang bersembunyi membutuhkan pemahaman baik. Setidaknya sebuah pemahaman perihal kepercayaan akan diri masing-masing. Semua orang selalu membutuhkan cerita yang menggugah. Saat semua orang kini hanya berteriak saling meneriakkan kesalahan satu sama lain. Aku ingin sekali 387 berbisik pelan melalui kata-kata yang tak ingin diteriakkan. Semua barisan kata akan aku sampaikan dengan lembut langsung merambat pada hati setiap pembaca. Ya, aku ingin menjadi seorang yang bisa berbisik pelan. Seolah mengajak pembaca untuk berbincang dalam sebuah sepi yang paling khidmat dan syahdu. Sebuah sepi yang sering dihindari banyak orang, tapi juga diam-diam dibutuhkan setiap jiwa. “Makasih ya,” ucapku pelan. Wajah Lara kembali santai. Bibirnya yang basah terlihat menyegarkan dengan senyuman kelegaan itu. Saat inilah, saat aku tidak merasa puas pada keadaan kami yang kembali baik. Namun, aku masih tidak bisa melangkah pada kembali itu sekarang. Pada titik kembali yang membuat kami bisa lebih dekat dari sekadar berdampingan, dari sekadar bersama, dari sekadar berbincang, dari sekadar saling mengirim pesan dan saling bertanya perihal apa saja yang kami lakukan hari ini. Belum, nurani yang baru saja terbangun oleh ucapan- ucapan Lara, memintaku untuk menunggu. Masih belum waktunya. Aku menuruti. Nalar pun entah mengapa sedang menyetujuinya. Padahal kemungkinan sudah jelas bisa dikalkulasikan oleh nalar saat ini. Mungkin nalar sudah menemukan jati dirinya, atau sudah berdamai dan malah tertarik pada keindahan nurani yang selalu menyembunyikan makna di balik setiap kejadian-kejadian yang mengacaukan 388 nalar. Kami akhirnya beranjak, dengan detak-detak yang saling melegakan, pada detik-detik yang baru saja menenangkan. Setelah makan malam, aku dan Lara pergi menuju jalanan Malioboro. Menikmati keramaian dan pelataran kota bak sepasang turis. Sudah lama kami tidak berjalan tak tentu arah demi obrolan panjang yang terbang ke mana pun isi kepala menuju. Aku menceritakan semua, seperti biasa. Menjadi pendongeng bagi gadis kecil sebelum pergi terlelap. Menjadi nyanyian yang paling ditunggu untuk mengantarkan kesadarannya menuju alam mimpinya. Ceritaku, dirindukan Lara untuk memanjakan tidak hanya telinga tapi juga batinnya. Kehadiran Lara menenangkan semesta yang ada dalam diriku. Sepatutnya keadaan ini sudah bisa menjadi sebuah titik cukup untuk aku. Namun, entah untuk Lara. Apakah titik kembali aku bisa sama dengan Lara? Bagaimana jika titik cukup aku dengan Lara berbeda? Hingga akhirnya kami tidak pernah bisa saling mencukupi. Terkadang, dari semua yang telah terjadi dan mem- bawaku ke sini, ada sebuah keegoisan yang masih bersarang 389 dalam diriku. Merasa memilki Lara, meski sebagai apa pun itu untukku. Namun, harusnya saat aku sadar bahwa aku tidak ingin memilikinya secara egois, di situ pula letak keegoisanku yang lain muncul. Merasa kehilangan. Pikiranku pun meracaukan pertanyaan perihal mana yang lebih egois, merasa memiliki atau merasa kehilangan? Aku harusnya sudah cukup untuk merasa memiliki Lara sebagai apa pun itu, dan buatku itu sudah cukup egois. Aku jatuh cinta kepadanya pada detak yang entah kesekian kalinya mendebarkan kehilangan. Aku selalu merasa jatuh cinta, pada saat aku merasa kehilangannya. Di sini, entah siapa yang paling hebat berdusta, entah siapa yang paling hebat terluka. Jika pada akhirnya kami bisa saling mengisi, semoga kami tidak mengisinya dengan dusta yang seolah-olah membaikkan. Karena, pada akhirnya kita hanya akan penuh oleh luka, alih-alih berusaha bersuka cita. Lara selalu pandai menyembunyikan perasaannya, aku selalu pandai meyembunyikan perjuanganku. Lalu di mana garis temu untuk kami jika akhirnya kami hanya saling bersembunyi pada keadaan yang seolah baik, padahal tidak cukup baik untuk bisa merasa cukup. Aku hanya tahu bahwa aku dan Lara, mungkin sama-sama lelah untuk saling melukai. Lelah untuk akhirnya menjadi orang yang sama- sama menjadi penyebab luka. Tapi bukankah di situ letak juang yang seharusnya menjadi peluang? 390 Semua yang bersama, tak pernah benar-benar dengan sengaja meluka, tak pernah berniat berdusta. Justru dengan selalu merasa lelah untuk meluka dan terluka, kita hanya akan berakhir memendam dusta, berharap saling melupa, tapi hanya bisa saling berduka. Di ujung pelataran malam, kami akhirnya melangkah ke tempat kembali masing-masing hari ini. Kami saling merelakan pulang. Lampu-lampu kota, jalanan yang basah sehabis hujan, dan keramaian orang-orang di sekitar, melambaikan perpisahan. Mengantarkan kami pada hari esok yang menjadi harapan semua umat. Lara kembali pulang, aku kembali menuju Coffee and Drama. Segelas kafein sepertinya sedang dibutuhkan oleh kepalaku. Sekembalinya, tamu sudah sepi. Kevin dan Agil sedang membereskan bar. Aku hanya menyapa seperlunya dan menyeduh segelas kopi manual brew. Kemudian, duduk di kursi bar dan membuka laptop untuk mengunjungi laman Blog. Isi kepala ini sudah ingin liar dan tumpah pada tempat yang tepat. Kita adalah manifstasi dari masa lalu, yang terbentuk dari kesalahan-kesalahan yang penuh resah, dari kebenaran- kebenaran yang benderang. 391 Membentuk kita menjadi sebuah keteraturan yang membosankan, terkungkung dalam stabilitas yang terlalu aman. Padahal yang kita cari adalah sebuah kenyamanan. Kita akhirnya menjadi sebuah makna yang terbalik, kau ingin semua tetap aman, aku ingin kita dapat tetap nyaman. Karena bagiku, kau tak bisa aman jika tak nyaman. Bagimu, kau butuh aman agar tetap hidup nyaman. Kau yang begitu memperhitungkan setiap langkah, aku yang begitu menikmati setiap langkah. Bukankah, tidak ada perhitungan pasti dalam sebuah rasa? Hubungan kita bukanlah ilmu pasti, yang selalu dapat kau atur agar mendapatkan persamaan yang selalu kau inginkan. Kita bukanlah barisan angka yang hanya menuntut untuk menjadi sebuah persamaan dalam pembagian-pembagian yang kita perankan. Kita adalah barisan kekacauan yang indah, yang justru dapat membentuk sajak-sajak penuh makna yang bersembunyi. Aku mem-posting tulisan pada laman Blog pribadiku yang sepertinya telah lama kuabaikan. Semua pertanyaan akhirnya hidup dengan nyaman dalam sebuah prosa. 392 “Mas Kevin, Mas Saka. Agil pamit ya, sampe ketemu besok,” kata Agil seraya menuju pintu keluar. Tinggal aku dan Kevin. Kevin masih melakukan closing dengan mencatat pemasukan hari ini. “vin, lu masih belum juga pengen ngadain menu cappuccino?” Aku bertanya pelan. Cukup mengerti bahwa pertanyaan ini bisa saja mengundang emosi Kevin. “Gue enggak mau ngomongin itu daripada kita harus berantem,” jawab Kevin ketus. “Lah, ngapain mesti berantem kalau bisa diskusi doang.” Aku berpendapat. “Kita udah selesai diskusi. Lu udah tahu jawabannya.” Kevin bersikeras. “Gue enggak paham, tujuan lu untuk tetap sama prinsip luselain membangun budaya manual brew itu sendiri. Mau ada atau enggaknya cappuccino itu, enggak bikin mati budaya atau prinsip yang lu bangun kan?” Aku mulai mempertanyakan pemikirannya. “Ini enggak sesempit idealisme yang lu pikirin, Saka. Ini juga menyangkut dana, menyangkut operasional dan keteraturan kerja di bar. Meskipun iya, prinsip juga. Lu kebayang enggak sih ntar gimana barista nyiapin pesenan dan bikin lama? Kecuali kita punya mesin. Dan, lu tahu harga mesin berapaan kan?” ujar Kevin. Kali ini aku tidak sedang ingin berdebat panjang dengan Kevin. Mungkin dia memang punya tujuan lain. Mimpi lain 393 dalam dunia kopi yang cuma ada pada kepalanya. Tugasku adalah tidak mengacaukan mimpinya. “Kalau es kopi susu, lu enggak kepengen bikin juga?” Aku bertanya pelan. “Anjrit. Gue lama-lama kesel. Pada akhirnya semua kedai kopi akan bikin es kopi susu juga pada waktunya. Kampret, kampret, kampret,” ujar kevin. Nadanya kini lebih ringan dan terdengar bersahabat meski masih ada sedikit amarah pada dirinya. Prinsip yang dimiliki dan dibangun dalam diri Kevin, bagaimana pun akan tunduk pada permintaan pasar. Karena kami tahu, demand es kopi susu tanpa data pasti pun sudah kami setujui lebih tinggi dari pada cappuccino dan iced coffee latte. “Haha. Lu tahu gimana bikinnya kan? Bikin espresso-nya bisa diakalin dan enggak harus dibikin saat ada pesenan aja. Bisa di stok. Dude, gue paham lu punya prinsip, dan mungkin gue enggak tahu pasti gimana rasanya punya prinsip kayak lu. Tapi lu enggak rugi-rugi banget kalau akhirnya ngikutin pasar kok.” Aku berpendapat lagi. Berharap kalimatku tidak terlalu menyulut emosinya. “Lu juga punya prinsip, Saka. Inget obrolan kita tentang Ana, tentang Lara, tentang buku lu yang terinspirasi dari kisah lu? Lu punya prinsip kalau itu akan punya makna. Prinsip sama halnya dengan nilai kepercayaan yang lu taruh pada sesuatu yang lu pegang. Meskipun enggak semua orang 394 bisa lihat itu, tapi karena lu yang punya prinsip jadi cuma lu yang tahu. Sama halnya kayak gue. Lu enggak bisa lihat nilai itu, karena cuma gue yang percaya sama hal itu. Gue enggak bisa bikin lu percaya, selain gue yang harus keras kepala sampe akhirnya nanti lu bisa percaya sendiri sama hasilnya. Setiap makna, setiap nilai, butuh waktu untuk akhirnya berbuah. Lu juga paham itu kan?” ujar Kevin serius. Dirinya benar, setiap orang memiliki prinsip yang tidak bisa diterima oleh khalayak. Oleh mata yang hanya memandang dari titik benar masing-masing pribadi yang melihatnya. Ada sejarah, ada cerita, ada keperluan, dan ada hati yang terkait bagaimana sebuah prinsip bisa terbentuk. Prinsip sama halnya dengan makna, laiknya saka, sebuah entitas tak kasat mata. Samar, tapi begitu jelas terasa. Laiknya iman, yang menjadi roh pada setiap maksud yang dilakukan setiap manusia. “Iya, gue paham kok. Tapi please ya, mau dong bikin es kopi susu.” Aku menggoda Kevin, agar suasana di antara kami tidak terlalu berat. Kevin menghentikan pekerjaannya dan memandangku lekat-lekat, seakan aku akan dihabisi oleh kalimat selanjutnya. Namun, perlahan yang kukira itu adalah amarah, ternyata semakin sayup dan sedikit lirih. Seolah Kevin tengah menyerah pada salah satu tonggak prinsip dalam dirinya. “Hhhhh. Nanti gue coba akalin. Mending lu bantuin gue 395 beresin ini biar bisa cepet pulang kita,” ujar Kevin sedikit marah. Aku tersenyum lebar dan membantu Kevin untuk closing. Mengecek semua sudah beres, pembukuan, bar, sampah, dan lainnya. Hingga akhirnya kami pulang. Aku sudah berusaha sebisaku, Kevin sudah berusaha semampunya. Setidaknya, aku selalu berharap apa yang masing-masing kami perjuangkan tidak melukai ikhtiar satu sama lain. Sudah dua hari berlalu sejak penjualan online Saka dan Riana resmi ditutup. Hasil yang cukup menakjubkan menurutku. Buku yang disediakan untuk dijual secara online ternyata terjual sebanyak 75%. Sebuah awalan yang bagus, setidaknya untuk penyemangat kedua penulis untuk kembali menelurkan karya lagi. Namun, tugasku belum selesai. Tidak sampai mereka sudah melakukan talkshow, dan buku-buku itu didistribusikan ke seluruh toko buku di Indonesia. Aku baru saja kembali setelah makan siang dan ingin melanjutkan pekerjaanku, tapi Rani menahanku. “Ra, tadi Rio nitip pesen. Balik istirahat lu langsung disuruh ke ruangan dia, katanya.” “Oh, oke. Thanks, Ran.” 396 Aku membatalkan niat untuk kembali duduk di meja dan langsung pergi menuju ruangan Rio. “Ada apalagi sekarang?” Aku berucap lirih dalam hati. Rio sebetulnya jarang memanggilku ke ruangannya jika tidak ada hal yang cukup genting untuk dibahas. Dia bahkan lebih sering datang ke ruanganku jika sedang butuh bantuan atau ada pekerjaan yang ingin diselesaikan olehku. Aku mengetuk pintu ruangannya dan mendapati dia yang sedang bersandar pada kursi sambil menatap langit- langit dengan tatapan kosong seperti memiliki beban. “Permisi, Mas Rio manggil aku?” Rio terlonjak melihat kedatanganku. Ia kemudian mengenakan kacamatanya, segera menegakkan duduk, dan menyuruhku masuk. “Eh iya, Ra. Sini, duduk dulu.” “Ada apa ya, Mas? Tumben siang-siang gini manggil aku. Ada masalahkah?” tanyaku memastikan. Rio terlihat berpikir sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan kepadaku. “Belakangan sering enggak ada di kantor ya Ra? Sesibuk itu ngurusin buku Riana sama Saka? Masih inget harus profesional kan? Tugas kamu enggak hanya buku mereka aja loh,” ucapnya dengan nada yang sedikit sinis. “Loh, loh, bentar.” Aku berdeham untuk meredakan emosi yang tiba-tiba saja hadir. “Aku enggak profesional gitu maksud, Mas? Emangnya letak salahku di sebelah mana 397 ya? Sejauh ini semua hal berjalan tepat sesuai rencana. Bahkan beberapa deadline selesai sebelum waktunya. Aku di luar kantor karena memang itu tugas dari Mas Rio, kan? Kenapa harus sampe ke buku Riana dan Saka? Mengenai buku mereka, kan dari awal Mas Rio juga tahu proyek ini akan menyita waktu lebih banyak daripada biasanya. So, maksudnya tugasku enggak hanya buku mereka itu apa ya?” Aku membalikkan pertanyaannya dengan sebuah tanya kembali. Rio mengetuk-ngetukkan jari pada meja. Mungkin berusaha mencari jawaban yang pas untuk membuatku mengerti akan maksudnya. “Aku hanya enggak mau kamu nge-treat Saka dan Riana secara lebih spesial dari yang lainnya. Jadi, biarpun Saka adalah seseorang yang pernah spesial buatmu atau mungkin masih sampe sekarang, intinya jangan sampe perlakuan kamu ke mereka dan ke yang lainnya berbeda. Penulis yang kamu tangani enggak hanya mereka berdua soalnya.” Aku kemudian menggelengkan kepala tak percaya atas ucapannya. Apa tadi dia bilang? Memperlakukan Riana dan Saka secara lebih spesial? Wow, sudah dibilang tidak profesional sekarang aku secara tidak langsung dibilang pilih kasih? Ingin sekali tertawa mendengar ucapannya. Namun, aku masih berusaha menghormatinya sebagai atasanku. “Hmmm... maaf sebelumnya, ini yang enggak profesional aku atau Mas Rio ya? Kok, sampe ngebahas tentang seseorang 398 yang spesial segala? Aneh deh, aku enggak ngerti, serius. Kalau emang ada yang mau Mas Rio sampein, langsung to the point aja. Biar enggak usah melenceng ke mana-mana,” ucapku tegas sambil memberinya tatapan yang menyatakan aku siap dengan apa pun yang akan dia bahas. Mungkin memang sudah saatnya membahas ini dengan Rio. Aku meyakinkan diriku sendiri akan hal itu. “Hmm... okay. Maybe... maybe I’m jealous. Jealous of him, with your past.” Rio kemudian menarik napas panjang sambil mengusap wajahnya dan bersandar pada kursi. Sepertinya, hal yang selama ini berusaha dia pendam baru saja berhasil dia utarakan. Aku yang sedari tadi menahan napas untuk mendengar jawabannya, kini menghembuskan udara sepelan mungkin. Berusaha menenangkan ritme jantungku dan membuat oksigen bisa masuk ke otakku dengan lebih banyak agar aku bisa tahu seperti apa seharusnya bersikap saat ini. “Kalau boleh jujur, aku nyesel Ra. Nyesel karena bikin proyek ini. Nyesel karena mengiyakan kolaborasi yang digagas oleh Riana. Baru kali ini aku ngerasa aku salah banget dalam melakukan sesuatu. Aku, Ra, aku yang ngundang masa lalu kamu untuk kembali. Aku yang dari kemarin berusaha menarik hati kamu untuk bisa terbuka, tapi aku sendiri yang justru bikin kamu akhirnya membuka hati itu hanya untuk Saka lagi.” Rio mencoba menjelaskan semua yang ada di hatinya dengan hati-hati. 399 Aku hanya mampu menatap Rio tanpa sedikitpun menyela perkataannya. “But its okay, Ra. Masalah perasaan enggak ada yang bisa duga. Enggak ada yang tahu sama siapa kita akan jatuh hati, patah hati, dan kapan waktunya itu tiba. No one. Aku sadar itu tapi sisi egoisku enggak terima. Enggak terima dengan kehadiran masa lalu kamu yang tiba-tiba aja dateng lagi di saat aku berhasil bikin kamu seenggaknya nyaman dan terbiasa dengan kehadiranku.” “Mas, aku...” “Kamu jangan ngerasa enggak enak, Ra. Aku sebenernya pengen simpen ini sendiri aja. Karena dengan begitu aku bisa dapet pemahaman yang lebih banyak. Tapi, karena kita selalu punya kesempatan untuk ketemu tiap hari. Aku ngerasa perlu untuk sampein ini ke kamu, semata buat bikin aku jadi lega. At least aku enggak perlu ngehindarin kamu. Aku hanya perlu menerima perasaan ini dan hubungan di antara kita. Aku bilang gini langsung, karena aku tahu, kamu se-wise itu untuk menyikapi sesuatu.” Rio menjeda dan berdeham, “mengenai perasaanku, itu pure urusanku pribadi dan tanggung jawabku sendiri. Enggak ada hubungannya sama kamu, dan kamu enggak harus jaga jarak, jaga sikap dan menghilangkan hal-hal yang udah biasa di antara kita. Maksudku, aku akan semaksimal mungkin bikin kamu enggak terganggu dengan perasaanku.” Aku baru ingin berbicara tapi Rio sudah memotongnya. 400 Sebetulnya aku sangat menghargai kejujurannya, yang justru membuatku jadi tidak enak hati bila tak mengucapkan apa-apa. Seolah aku tidak bersalah, padahal aku juga punya kesempatan menjadi salah karena selama ini tak berusaha menjelaskan apa pun kepadanya. Aku menarik napas dengan dalam sebelum akhirnya mengeluarkan suara. “Well, Mas. Aku amat menghargai kejujuran kamu. Kalau mau nyari siapa yang salah, sebetulnya aku bisa banget jadi salah, pun kamu bisa jadi salah. Tapi, intinya bukan siapa yang salah dan siapa yang bener kan? Toh, kita udah sama-sama dewasa ini. Intinya adalah mengakui perasaan bisa sangat melegakan untuk kita. Aku enggak tahu ke depannya aku dengan Saka seperti apa. Tapi, aku juga enggak bisa bohong kalau aku enggak ngarepin apa- apa dari pertemuanku dengan Saka lagi.” Rio tersenyum meski aku melihatnya menyunggingkan itu dengan agak terpaksa. Tapi, diamencoba menampilkannya setulus mungkin. “Go get him, Ra! He still loves you. He’s still into you. Aku mungkin enggak tahu kenapa kalian pisah, kenapa kalian malah milih seolah saling enggak kenal pas awal ketemu. Ya, intinya aku enggak tahu masalah kalian apa. Tapi, aku tahu dari cara Saka ngeliat kamu. Cara dia ngomong sama kamu. Cara dia merhatiin aku saat interaksi sama kamu. Aku tahu kalau dia juga masih ada rasa sama kamu. Ya, gimana pun juga aku cowok. Aku ngertilah dengan sikap-sikap yang dia 401 tunjukin.” “Rasa tuh luas, Mas. Enggak bisa diartiin hanya dengan satu-dua kali kejadian. Enggak bisa dijelasin hanya berdasarkan hal itu masuk akal apa enggak, bisa diterima hati apa enggak. Kalau dunia luas, buatku rasa juga bisa seluas itu. Apalagi konsep jodoh, luas banget. Aku mungkin jodoh sama kamu, jodoh sebagai teman dekat. Jodoh sebagai partner kerja. Ya, karena kita cocok dalam hal-hal itu ya, kenapa enggak buat dibilang jodoh? Ya, enggak?” Aku tersenyum kepadanya. Mencoba memberitahunya bagaimana perasaanku kepadanya selama ini meski tersirat. “Kamu tahu Ra, hal apa yang paling aku syukuri sekarang?” Rio bertanya. Aku hanya menggeleng, memintanya melanjutkan kalimat. “Aku bisa punya perasaan ke kamu itu adalah hal yang saat ini aku syukuri. Perasaan ini adalah anugerah yang enggak bisa buat aku pungkiri. Aku jadi belajar kalau emang bener, enggak semua perasaan harus terbalaskan. Enggak semua cinta harus memiliki. Liat kamu bahagia aja, aku ternyata udah seneng. Meski mungkin di beberapa kesempatan aku sedikit nyeri liat kenyataan bahwa aku enggak bisa seperti Saka di mata kamu. Tapi ya, jatuh cinta sama kamu ternyata bikin aku jadi paham bahwa rasa enggak sesempit suka dan sayang aja. Kayak kata kamu tadi, rasa itu luas.” Rio mengulaskan sebuah senyuman. Kali ini tidak 402 terkesan terpaksa. Kami kemudian saling bersitatap dalam keheningan untuk beberapa hitungan menit sebelum akhirnya sama- sama tertawa. Menertawakan bagaimana cara semesta membuat kejutan-kejutan yang kadang membuat nalar serta nurani bersitegang. Menertawakan penerimaan-penerimaan yang mau tidak mau memang harus dilalui sepanjang kita masih bernapas. Menertawakan bagaimana akhirnya aku dan Rio bisa kembali menjadi baik bahkan lebih baik dari sebelumnya. “Tahu enggak sih, Ra? Sebenernya ya, aku tuh udah tahu kamu sama Saka ada apa-apa semenjak ketemu pertama kali di Raminten itu. Jauh sebelum temenmu keceplosan ngomong. Haha.” Rio kali ini sudah bisa tertawa lepas, dan aku menyukai suara tawanya itu. Setidaknya ada kelegaan dalam hatiku. Akhirnya Rio bisa mendapat pemahaman baru secara tidak langsung dari kejadiaan yang dia alami dan perasaan yang dia miliki. “Hah? Kok bisa?” kali ini aku yang dibuatnya terkejut. Rio kembali terkekeh melihat keterkejutanku. “Logika- nya ya Ra, kamu sama Saka tuh baru kenal gitu. Tapi kamu tiba-tiba udah pesenin dia gudeg, dan pas dia dateng tiba- tiba bilang suka makanan itu. Pas aku tanya kamu kenapa pesen dua, mukamu itu loh Ra, langsung pias. Kayak abis ngeliat hantu. Kedua, waktu kamu lagi keselek dan butuh minum tiba-tiba aja udah dia bukain botol. Yang kenal kamu 403 aja belum tentu tahu kamu enggak bisa buka botol. Lah ini Saka, yang ceritanya baru aja kenal kamu, eh malah langsung bukain botol. Terus bilang ke kamu, enggak usah sok pesen air mineral botol kalau masih enggak bisa bukanya. Aneh Ra, terlalu enggak masuk akal aja sih kalau cuma kebetulan.” “Yah, enggak pinter drama berarti aku sama Saka. Haha.” Aku berkelakar untuk mencairkan suasana kembali. Kami kemudian larut dalam percakapan-percakapan yang tak hanya seputar rasa saja. Melainkan juga tentang pekerjaan dan hal-hal lainnya seperti yang biasa kami obrolkan. Ya, kami akhirnya sampai pada tahap itu. Tahap di mana aku dan Rio akhirnya bisa saling menerima kedekatan dan kenyamanan kami memang hanya sampai di batas ini. Tidak perlu lebih karena ini sudah lebih dari cukup. Bahkan tak perlu dikurangi, karena memang sedari awal tak ada yang merasa diganggu atau mengganggu. a “Assalamualaikum.” Aku membuka pintu depan rumahku, perlahan masuk sambil membawa bungkusan oleh-oleh untuk ibu dan adik-adikku. Sudah kuduga, rumah tengah kosong. Untung aku masih membawa kunci cadangan. Aku menyesap bau ruangan yang telah dua bulan lebih 404 aku tinggalkan. Aroma kerinduan mengisi semua penjuru ruangan. Aku sengaja meminta cuti beberapa hari untuk pulang saat weekend. Kevin dan Yuda dapat mengerti itu. Aku terduduk di ruang tengah sambil menengadahkan kepala. Betapa aku merindukan rumah. Bedanya, aku tidak membawa rindu pada Jogja. Ada, namun hanya sedikit. Tidak seperti kepulanganku biasanya. Seolah rumahku yang sebenarnya adalah Jogja. Tempat di mana teman-temanku, beberapa bagian hidupku yang dapat membuatku utuh ada di sana. Namun kali ini berbeda, kepulanganku benar-benar membawaku pada sebuah pulang. Pada keluargaku. Jogja memang tempat rindu itu tumbuh, dan Bandung tempat mendewasakan rindu. Benar adanya bahwa setiap orang perlu pergi, agar tahu bagaimana rasanya pulang kepada pelukan yang jarang sekali kita anggap. Rumah, tempat keluarga berkumpul meski kami benar- benar jarang berkumpul. Namun, mengetahui mereka ada, ibu dan adik-adikku, di rumah ini, adalah sebuah pelukan paling hangat. Hanya terasa saat aku tengah berada jauh. Jemari yang biasa mendekapku, baru terasa saat aku tidak di rumah, Hal yang akhirnya menyadarkanku bahwa rumahlah pelukanku paling hangat. Karena sebenar-benarnya pulang adalah merasa bebas saat aku baru saja bepergian. Tanpa mempertanyakan 405 langkah kaki ini yang selama ini meninggalkannya. Tanpa mempertanyakan tubuh ini yang telah bersandar pada apa dan siapa saja. Aku membereskan perlengkapanku, baju-baju kotor, oleh-oleh, dan sebuah buku yang bertuliskan namaku dan nama Ana di depannya. Kemudian, memandangi dan menertawakannya berkali-kali pada keheningan ini. Mungkin makhluk-makhluk yang ada di rumahku juga ikut tertawa melihat tingkahku yang aneh. Aku menarik napas panjang, menyandarkan bahu lagi pada sofa lalu membaca bukuku dan Ana beberapa halaman. Agak merasa lucu karena aku bisa tidak ingat pernah menuliskan beberapa kata yang kubaca sekarang. Aku membaca hingga akhirnya terlena di kursi sofa ruang tengah. “Saka... Saka... bangun kasep. Udah sore,” suara ibuku membangunkanku. Tangannya mengusap-usap kepalaku dengan lembut. Seolah di hadapannya adalah bocah kecil yang kelelahan bermain seharian. Namun memang begitu, sedewasa dan setua apa pun seorang anak, tetap saja seorang anak kecil di hadapan ibunya. Aku memeluk tangan kanannya dan mencium penuh rindu. Barang-barang yang tadi belum sempat aku bereskan semua sudah tidak ada, sepertinya ibuku membereskannya. Kami kemudian berbincang, membuka oleh-oleh yang aku bawa. Selalu, ibuku membuatkan teh hangat untuk aku teguk 406 setiap kali aku pulang. Padahal yang kelelahan adalah dirinya. Bertanya kabar perihal usahaku di Jogja. Aku bercerita hanya yang semestinya saja. Belum berani menceritakan secara detail apa saja yang terjadi di sana. Aku hanya merasa ibuku tidak perlu tahu semuanya. Bahkan perihal buku, masih ada sangsi dalam diriku untuk memberitahukannya. Bukan tidak ingin. Tapi, aku tidak siap untuk salah tingkah di depannya saat ibuku tahu aku menulis sebuah buku bersama. Tersenyum? Tersipu? Di depan ibuku sendiri? Perasaan geli menelisik di sekujur tubuhku. Aku tidak bisa dan tidak boleh membiarkan diriku salah tingkah di depan ibuku sendiri. Aku tidak terbiasa seperti itu. Memperlihatkan perasaan yang begitu murni, sentimental, dan rapuh di depannya. Kami berbincang mengenai adik-adikku seperti biasa. Mereka belum pulang sore hari seperti ini. Semua akan baru pulang saat malam. Adikku, Sinar, sang kekasih katanya baru saja menemui ibu untuk meminta izin melamarnya. Kini aku bisa melihat mata ibuku bersinar, memantulkan bayangan adikku yang hidup bahagia. Sebuah harapan dari doa-doa yang selalu beliau panjatkannya akhirnya terkabul. “Kamu nulis buku?” Tiba-tiba ibuku menjulurkan sebuah buku yang sedari tadi aku cari. “Hah?” Aku merepon kikuk. Entah harus berkata apa. “lya... hehe.” Hanya itu yang bisa aku jawab kepada ibuku. Kukira dia akan berkata sesuatu yang manis, atau 407 sebuah kalimat yang mungkin menunjukkan kebanggaannya kepadaku. Aku yang masih terduduk di kursi terkejut saat kedua tangannya perlahan menghinggapi tubuh hingga punggungku, hingga kusadari aku sudah ada dalam pelukannya. Bahuku perlahan terasa basah. Air mata menetes dengan mesra di pipinya. Setelah kejadian itu, aku mencoba bersikap biasa. Saat ibuku yang tahu aku menulis buku, hanya memelukku lalu berdiri dan menuju kamarnya. Meninggalkanku penuh pertanyaan. Entah bagaimana perasaanku, tapi aku yakin kegelisahan yang aku rasakan adalah sebuah kebahagiaan yang terlalu meledak dengan seketika. Sebuah kebahagiaan yang jarang bisa aku ungkapkan. Seolah aku tidak bersiap akan bahagia sehebat ini di depan ibuku. Akhirnya, aku hanya merasa gelisah karena kikuk akan kebahagiaan yang saat itu terjadi. Satu per satu adikku akhirnya pulang. Mereka tetap saja sibuk di luar meski weekend. Aku memberikan oleh-oleh yang sempat aku belikan kepada Sinar, Permata, dan Putri. Bertanya basa-basi mengenai kegiatan mereka, dan dijawab sekenanya serta malu-malu seperti biasa. Hanya dengan Sinar, aku bisa bercakap-cakap. Weekend 408 adalah saatnya dia tinggal di rumah untuk bersantai, atau kadang-kadang pergi dengan kekasihnya. “Waaah... punya kakak penulis sekarang. Enggak nyangka Sinar. Kok, Kak Saka enggak pernah bilang-bilang sih kalau suka nulis? Mana tulisannya keren gini lagi. Temen- temen Sinar mesti pada tahu nih,” goda Sinar saat aku tengah berada di ruang tengah. “Ah, biasa aja doong. Malu nih! Baru juga satu buku doang. Kak Saka juga enggak percaya bisa bikin buku.” Aku menjawab. “Namanya juga rezeki. Mungkin itu doa almarhum Bapak dulu, akhirnya kamu bisa bikin buku.” Ibuku tiba- tiba berkata saat baru saja keluar dari kamarnya, lalu duduk bersama aku dan Sinar. “Hah, emang Bapak dulu pernah punya keinginan gitu?” Aku sedikit terkejut. “Saka, masih inget waktu itu Mama bilang kalau Bapak dulu pengen kamu jadi ustad? Haha. Ya ini, mungkin ini jalannya Tuhan. Caranya Tuhan mah ada-ada aja kan? Dakwah enggak selalu harus di masjid. Tulisan kamu juga bisa jadi dakwah untuk memberikan pemahaman dan ilmu- ilmu positif untuk orang-orang yang baca. Itu kenapa Mama tadi malem terharu. Langsung inget sama almarhum Bapak,” ucap mama bahagia. Bulu kudukku seketika bersiap berdiri. Sebuah getaran yang entah apa tiba-tiba hinggap di sekujur tubuhku. Aku 409 hanya bisa menyimpulkan, mungkin aku rindu bapak. Perbincangan kami semua hanya membahas aku, membahas sebuah mimpi yang tak pernah aku semogakan, ternyata pernah di-aminkan sejak dulu oleh ibuku dan bapak. Merekalah yang sudah menyematkan rencana kepada Tuhan tentang buku yang akhirnya aku tulis ini. Seruan kebahagiaan mereka, masih saja menjadi tanda tanya besar bagiku. Perihal kepercayaan yang ada dalam diri mereka, ibuku, adik-adikku, Lara, Ana, Kevin. Mereka semua memiliki kepercayaan atas aku, tumbuh subur dalam diri mereka. Herannya aku sendiri tidak menemukan itu dalam diriku. Aku justru bisa percaya pada diriku, saat melihat bagaimana orang-orang begitu percaya kepada dirinya. Kepercayaan diri merekalah yang membuat aku percaya. “Kepercayaan yang ada di orang lain adalah pantulan dari kepercayaan diri yang ada di diri kita, Saka. Kamu mungkin enggak percaya kamu akhirnya bisa bikin buku, atau sebelum itu kamu sendiri enggak percaya kamu bisa nulis buku. Tapi lihat hasilnya, orang punya kepercayaan lebih sama kamu. Kamu cuma enggak sadar, kamu punya itu. Kita selalu butuh cermin untuk lihat keseluruhan diri kita kan? Nah itu, orang-orang yang percaya sama kamu adalah pantulan dari apa yang kamu punya. Jadi, kalau kamu punya orang-orang kayak mereka, dijaga. Merekalah pantulan dari diri kamu. Merekalah yang akan membantu kamu. Begitu pun kamu ke mereka,” seru ibuku menasihati. 410 Betapa indah rasanya pulang. Sayang, aku harus segera pergi lagi esok hari untuk kembali ke Jogja. Coffee shop belum bisa aku tinggal agak lama. Aku berjanji kepada ibuku untuk tidak lebih dari satu atau dua bulan lagi aku tinggal di Jogja. Semoga kedai kopiku sudah bisa aku tinggal. Juga, Lara. Sebelum balik ke Jogja, aku ingin mengunjungi makam bapak. Aku mengajak ibu dan Sinar sekalian karena adikku yang lain akan bertemu kami langsung di makam. “Bapak, terima kasih telah berdoa tentang aku. Maaf, kalau aku tidak bisa sesuai keinginan Bapak. Tapi, setidaknya rencana Tuhan bisa menyenangkan semua orang dengan menjadikan aku seorang penulis. Meski baru saja dimulai, saat ini aku akan siap dengan segala kemungkinan yang akan menggoyahkan saka dalam diriku. Ibu dan adik-adikku, meski tak bisa selalu aku jaga dan berada di sekitar mereka, akan aku lindungi mereka dengan seluruh doaku. Tak ada raga yang bisa lebih kuat dari doa yang paling tulus bukan? Bapak, terima kasih.” “Lah, mau ke mana Narni?” Aku bertanya saat Narni sedang bersiap untuk pergi. “Eh, Mas Saka udah pulang dari Bandung. Narni mau 411 ke kampus Mas, dosenku ngajak nge-date. Mau nontonin skripsiku, katanya. Ya Tuhan, kapan revisian akan berakhir. Hiks, hiks.” Narni menirukan adegan menangis. “Namanya juga perjuangan, Narni. Berevisi-revisi dahulu, tapi enggak tahu lulusnya kapan. Yuk, semangat, yuk. Jangan lupa bawain semangka buat dosennya. Satu semangka ngurangin satu revisi.” Aku menggoda Narni. Narni tidak menggubrisku, malah sibuk menggoda Bram saat pamit, hingga akhirnya berlalu dari Coffee and Drama. Kevin sedang libur. Hanya aku, Bram, dan Joni sang barista baru yang tengah in charge hari ini. Di manaaaa? Sebuah pesan aku kirimkan kepada Ana. Tak berapa lama Ana membalas pesanku dan berjanji akan menemuiku di Coffee and Drama. Kebetulan hari ini dia tengah santai dan ingin menyampaikan sesuatu kepadaku. Kami semakin jarang bertemu karena dirinya harus mengurusi program beasiswanya. Komunikasi di antara kami hanya sebatas bertukar kabar perihal penjualan buku dan respon-respon pembaca yang diberi tahu oleh Lara kepadaku. Aku masih tidak percaya bahwa buku kami bisa menuai banyak sekali pujian dari pembaca. Lara selalu mengabari aku 412 dan Ana akan perkembangan penjualan kami. Cetakan kedua setelah beberapa Minggu terbit. Siapa yang bisa menyangka itu, aku dan Ana pun sama-sama tak pernah berani berharap sejauh itu. Teringat sesampainya aku di Jogja saat subuh, Lara yang tahu aku baru tiba langsung menelepon. Awalnya kukira hanya sekadar menanyakan kabarku atau bagaimana di Bandung. Atau, sekadar mengingatkan salat subuh dan sarapan. Ternyata tidak, ada hal lain yang justru lebih mengejutkanku. Hal yang lebih mengejutkan dari sekadar akhirnya aku menulis buku. Belum ada sebulan Amor Fati—buku Saka dan Riana—beredar di pasaran, distributor sudah menyarankan untuk cetak ulang yang kedua kali. Jumlah tarikan pertama pun berkisar di angka 1.100 eksemplar. Sebuah hasil yang cukup membuat aku dan redaksi berdecak tak percaya. Bagaimana tidak, mereka berdua masih terbilang baru di industri ini. Tapi ternyata, pasar sudah memberikan respon yang baik, bahkan sangat baik. Aku sendiri bahagia melihat laporan penjualan yang baru saja diberikan oleh Rio. Ada rasa bangga yang diam- 413 diam menyelimutiku atas keberhasilan Saka. Sebab aku tahu, hal ini bisa jadi pemicu semangat untuk Saka tak berhenti menulis. Setidaknya, dia bisa percaya bahwa di luar sana ada orang-orang yang bersedia menerimanya, karyanya, serta tulisannya yang dulu sempat mendapat ejekan dari teman- temannya. “Mas, masih mau nyebut ini kesalahan enggak?” Aku bertanya kepada Rio seraya menggodanya. Kami baru saja melakukan rapat mingguan. Rani, Ardi, dan teman-teman lainnya sudah kembali pada pekerjaan masing-masing dan menyisakan aku serta Rio yang masih betah duduk memandangi laporan penjualan. “Ini? Kesalahan? Kesalahan termanis, kesalahan terbaik, kesalahan terkeren yang ada, Ra. Aku masih enggak habis pikir aja sih, Ra. Projek yang enggak biasa ini, ya walau sebelumnya juga udah pernah ada, ternyata bisa diterima pasar dengan sangat baik. Padahal kukira pembaca masih tertarik dengan puisi, prosa gitu-gitu. Asli, masih enggak nyangka. Aku enggak ada prediksi sampe ke sini soalnya, haha.” Rio tertawa. “Aku pun kaget ini sih. Kayak yang... gilak sampe enggak bisa ngomong apa-apa, haha,” ujarku menimpali Danu: Lara! Amor Fati itu yang nerbitin tempat kerja lu, kan? 414 Layar ponselku menyala dan menampilkan sebuah pesan dari kawan lamaku, Danu. Sudah lama aku tak mendengar kabarnya. Tapi, kali ini begitu muncul justru menanyakan tentang Amor Fati. Lara: Lu ye, dateng-dateng PM gue bukannya nanya kabar dulu kek, atau apa kek. Ini langsung aja nanyain judul buku. Enggak sopan! lya, Amor Fati yang nerbitin tempat gue. Gue pula editornya, hehe. Kenapa? Danu: Haha, udah gue duga pasti lu bakal komen kayak gitu. Kalau lu bisa bales PM gue, it means lu sehat, Ra. Udah ah, gue lagi dikejar-kejar Bos nih. Asli lu editornya? Kebeneran berarti, gue bagi kontak penulisnya dong. Lara: Mau buat apaan? Enggak boleh sembarangan ngasih tahu, enak aja. Bayar lu kalau minta gitu. Danu: Mau gue ajak bikin film. Lara: Jangan bercanda, Dan. Gue nanya serius dih. Danu: Yang bercanda siape? Seriusan ini, sumpah deh, Lara. Bos gue nanyain Amor Fati tuh. Katanya, menarik buat dijadiin film. Penjualannya lagi ngehits kan? Di Socmed juga banyak bener yang ngomongin. Lara: Ah, asli? Lu beneran nih? 415 Danu: Gila ya nih cewek atu, gue dari tadi ngomong serius Ra. Ato, kalau enggak gini deh. Dua hari lagi kebetulan gue ke Jogja. Lu ajak deh tuh penulis lu ketemuan sama gue. Kita bahas tentang ini. Gimana? Ponselku kuletakkan di meja begitu saja. Jujur saja aku gemetar sendiri mendengar berita tersebut. Bukan gemetar ketakutan. Tapi, adalah gemetar karena tak pernah menyangka akan mendapatkan kejutan bertubi-tubi seperti ini. Aku bahkan belum sempat memberitahukan Saka dan Riana kabar mengenai cetak ulang buku mereka. Kini justru sebuah kabar bahagia kembali datang menghampiri. Mungkin benar kata Riana, Saka dikelilingi oleh keajaiban-keajaiban. Aku masih menangkupkan kedua tanganku di wajah hingga Rio tiba-tiba saja menyadarkanku dari keterkejutan ini. “Ra? Kamu kenapa? Itu HP digeletakkin gitu aja trus sekarang malah kayak orang gemeteran.” “Aduh Mas, sumpah ya, sumpah. Aku enggak ngerti harus ngomong apalagi. Saking bahagianya, saking kagetnya, saking serba mendadaknya ini semua tuh,” jawabku penuh antusias. “Ada apa sih Ra? Lemme know it. Bahagia tuh dibagi-bagi lebih asyik loh.” Rio sekarang mulai serius memandangku. Penasaran dengan hal yang menyebabkanku bisa sebahagia ini. 416 Danu: Lu kira gue koran? Dibaca doang enggak dibales. Gimana, Ra? Gue butuh kepastian nih, eh Bos gue deng yang butuh. Sebuah pesan dari Danu kembali muncul di layar ponsel. Aku buru-buru membalasnya dan membiarkan Rio semakin penasaran dengan ceritaku. “Dih, si Lara bener-bener ya. Orang nungguin dia cerita ini malah sibuk main HP. Kenapa sih? Saka udah ngajak balikan? Apa jangan-jangan langsung ngajak nikah? Kamu dilamar?” Rio memberondongku dengan pertanyaannya. “Yeeee... jayus! Bukan ituuuu.... Bentar dulu...” Aku kemudian melanjutkan mengetik balasan untuk Danu. Lara: Oke, siap. Gue atur buat kalian nanti ketemuan! Terima kasih banyak untuk info bahagianya. Terbaik emang temen gue satu ini! Danu: Oke, sip kalau gitu :D Aku kembali meletakkan ponsel di atas meja kemudian memandang Rio sambil bertopang dagu. Menggerak- gerakkan alisku serta memberikannya senyum jahil yang sarat makna. Rio kemudian menutup laptop dan mengacak rambutku gemas. “Cepetan cerita dih. Kalau enggak kutinggal ya, bodo amat deh enggak tahu juga enggak apa-apa.” 417 “Ciye, penasaran ciye, hahaha,” ucapku sambil mem- benarkan rambutku yang berantakan sebab ulahnya. “Jadiiii... selain kabar bahagia Amor Fati cetak ulang, ada kabar bahagia lagi buat Amor Fati. Tahu enggak apa?” “Oke, apa?” tanya Rio kemudian. “Mau tahu banget, apa mau tahu aja?” Aku kembali menggodanya yang sudah gemas dengan ulahku. Rio tak menjawab tanyaku tapi segera berdiri dari tempat duduknya hendak meninggalkanku. Aku yang terkejut karena sikapnya langsung memegang Jengannya dan menyuruhnya untuk duduk kembali. “Oke oke jangan ngambek, nih serius mau kukasih tahu. Jadi... Amor Fati ditawarin... untuk... jadi FILM!” Aku mengucapkannya dengan setengah berteriak kemudian buru-buru menutup mulut karena lupa ini masih jam kerja. “Asli, Ra? Gilaaaaa, ini tuh... speechless sih aku. Kamu enggak lagi bercanda kan?” Aku menggeleng. “Enggak, sama sekali enggak bercanda. Dua hari lagi pihak production house-nya mau ke Jogja. Ngajak kita, penerbitnya, dan ngajak si Saka sama Riana buat ketemuan bahas penawaran ini.” Rio kemudian tertawa sambil menyandarkan tubuh di kursi. “Aku enggak ngerti lagi sih sama kejutan dan berita bahagia yang bertubi-tubi ini. Kamu kabarin mereka gih cepet. Manfaatin momentum yang ada. Kalau bisa langsung ajak ketemu aja hari ini areng kita.” 418 “Oke siap, Bos!” Aku meletakkan tanganku di pelipis membentuk hormat kepadanya lalu segera berencana untuk mengabari Saka dan Riana akan berita bahagia ini. -~ “DEMI APA ENGGAKKK?” Ana berseru tak percaya. Seisi Coffee and Drama tiba-tiba melirik ke arah kami. Aku tak peduli dan malah ikut berteriak di depan Ana. “Demi Amor Fati! Hahaha.” Aku ikut berteriak tapi tak sekencang Ana. Aku tahu, berita ini tidak bisa kami terima begitu saja dengan keadaan baik-baik saja. Kami malah dibuat baik tapi di luar kendali. Bahkan beberapa detik setelah aku diberitahu Lara bahwa buku yang kami tulis berhasil mencuri perhatian salah satu Productioun House dan menawari mengadaptasikannya menjadi sebuah film, Ana hanya bisa menatapku dengan pelupuk mata yang seketika basah. Ada bahagia yang jelas tak bisa dia bendung sendirian. Kami berdua bahkan sama-sama tidak bisa membendung hal itu. “Well, aku bangga sama kamu Saka,” ujar Ana. Kali ini suaranya mulai tenang tak seheboh sebelumnya. “Lah, kok aku sih? Kita lah. Kita yang bikin buku itu.” 419 Aku membantah. “Ssttt... it’s always about you from the very first. Getaran kamu kuat banget untuk mengundang semua keajaiban ini. Aku cuma ya salah seorang yang terseret sama getaran yang ada di diri kamu, yang akhirnya membuat ledakan keajaiban. Dan, voila, kamu membuat sebuah ledakan kosmik dari semua kebetulan yang ada.” Ana berujar penuh semangat. “Lah? Apaan sih, kok aku doang. Kalau enggak ada kamu, enggak mungkin ada ledakan ini. Kamu bagian dari ini juga. Kamu ledakan itu juga tahu,” ujarku masih membantah. “lya, aku bagian dari ini, tapi tetep kamu inti ledakan itu. Kamu nyawa dari keajaiban ini,” ujar Ana. “Aahhh... udah napa jadi ngomongin siapa inti ledakan, siapa asep ledakan sih, haha. So? Hanya tinggal butuh iya dari kamu nanti kita bakal ketemu sama Lara dan Rio untuk obrolin ini lebih lanjut. Pihak Production House juga ngundang kita untuk bantuin bikin script writing biar lebih memaksimalkan feel film yang akan dibuat.” Aku menunggu jawaban Ana. “Saka, aku bilang ke sini juga mau ngasih tahu kamu sesuatu kan?” ucap Ana pelan. “Ya? And what is it?” tanyaku tanpa curiga. “Beberapa minggu lagi aku bakal terbang ke London buat $2. Semua urusan administrasi udah beres,” ucapnya pelan, diakhiri senyum yang terlihat seperti sebuah lirih. “Hah? Kok, secepet itu?” Aku bertanya seolah tak terima. 420 Ana kemudian bercerita bahwa kedua orang tuanya telah mengurus kepergiannya sejak sebelum kelulusannya. Mereka yang bekerja di Kedutaan Indonesia di London sejak beberapa tahun lalu memang sudah merencanakan hal ini. “Aku seneng banget dapet kabar itu dari kamu. Aku pikir tugasku selesai sampe akhirnya bisa bantu kamu untuk bikin buku. Itu udah cukup banget buat aku. Ternyata masih ada kado tambahan dari Tuhan, hahaha. Jadi, aku serahkan semuanya sama kamu dan Mbak Lara untuk ngurus film ini,” ucap Ana. “Yah, duh. Kok, aku malah enggak terima ya, kamu mau ngejar mimpi kamu di London? Emang enggak bisa diundur?” Aku masih berusaha memohon. “Hahaha, ya enggak lah. Udah ketentuan dari universitasnya. Ya, masa aku yang ngatur. Haha. Udah, aku percayain filmnya sama kamu dan Mbak Lara ya.” Ana tersenyum, mencoba menghiburku. Seolah aku tengah dirundung kesedihan. “Ana, ini kan yang nulis kamu, masa dilemparin ke orang lain?” Pikiranku melayang entah ke mana. Aku masih tidak terima jika Ana harus pergi secepat ini. Aku bahkan tidak pernah mempersiapkan hal ini akan terjadi. “Aku tahu. Tapi, Mbak Lara juga perempuan. Dia akan ngerti dan paham banget gimana punya feel yang sama di cerita dalam buku itu. Apalagi kamu ngangkat cerita tentang perasaan kamu ke dia juga. Jadi, pas dong kalau kalian jadi 421 partner untuk bikin script writing-nya. lya, kaaan...?” Ana masih berusaha menggodaku. Aku tak bisa untuk tidak setuju. Sebagian dari diriku malah merasa senang jika harus mengurus film itu bersama Lara. Tapi, Ana juga berhak untuk bisa menikmati kebahagiaan itu. Tak bisakah semesta mengaturnya lebih sempurna agar perasaanku lebih lega? Agar semua keadaan bisa lebih adil bagi semua orang. Mungkin jika aku benar- benar meminta itu, semesta hanya akan mengutukku karena tidak bersyukur atas semua rencana yang sudah diberikan kepadaku. “Mungkin tugasku udah selesai di sini. Siapa tahu loh ternyata aku tuh utusan semesta buat bikin kamu sama Lara akhirnya ketemu lagi, hehehe,” ucap Ana sambil menyeruput milky berry di tangannya. “Lah, kalau gitu andil aku buat kamu apaan dong? Kok, aku ngerasa enggak punya andil apa-apa buat kebaikan kamu ya, hahaha.” Aku tertawa sedikit miris. Menyeruput iced chocolate di tanganku. “Heh, jangan gitu. Banyak tahu! Kamu udah jadi temen yang luar biasa hebat buat aku. Kamu ngajarin aku banyak hal. Kamu yang bisa bikin buku ini diterima banyak pembaca dan akhirnya malah diangkat jadi film. Kamu ngajarin aku gimana perjuangin sesuatu yang kamu yakinin banget. Ngejar Mbak Lara misalnya, hehe. Kamu bikin aku percaya bahwa masih ada temen yang bener-bener baik di dunia 422 ini. Yang saling bisa saling menghebatkan. Yang pedulinya enggak cuma nyinyirin tapi ngasih tahu mana baik mana buruk. Kamu harus tahu, aku bersyukur banget bisa ketemu dan punya temen kayak kamu. Come on! Cheer up, Pal!” Ana menepuk pundak kananku. Entah aku harus bersyukur sebanyak apa. Namun, memiliki teman seperti Ana membuat aku tak bisa meminta apa-apa lagi selain untuk tetap bisa mengenalnya sebaik ini. Mungkin kini saatnya untuk aku memeluk nurani. Atas semua perih yang dilalui, semua luka dan duka yang menghampiri dan bersarang dalam diriku, akhirnya bisa tumbuh menjadi sebuah kesatuan makna yang indah, mekar tanpa ragu, dan menjadi sebuah keindahan yang dapat dinikmati banyak jiwa. Keadaan seperti ini membuatku ingin sekali memberikan banyak hal yang patut dimiliki oleh Ana. Meski entah apa, tapi apa pun. Demi dirinya yang telah sangat baik dan percaya sepenuhnya kepada diriku saat aku sendiri tidak mempercayai diri sendiri. Ana, bagiku lebih dari teman yang sekadar aku kenal dari laman maya. Ana adalah jiwa dari sebagian diriku. She is more like my significant other. Dua raga yang lahir dari satu jiwa. “Heh, udah balik lu?” tiba-tiba suara Kevin terdengar dari arah kursi bar. “Oi, iya tadi pagi gue sampe, Coy. Lu libur kok ke sini?” tanyaku sedikit berteriak ke arah Kevin. 423 “Gue punya sesuatu buat lu, Nyet. Sini, sini!” ujar Kevin semangat. “Eh, santai. Gue dulu yang punya sesuatu buat lu, hahaha.” Seraya aku berdiri dan mengajak Ana untuk duduk di kursi bar. Aku dan Kevin berebut perihal siapa yang lebih dulu boleh memberikan ‘sesuatu’ kepada satu sama lain. “Hah! Ya, udah lu dulu.” Kevin menyerah. Aku menghela napas. “Buku gue sama Ana mau diangkat jadi film, Nyeeeeet...! Hahahahha.” Aku berteriak di depan Kevin. “DEMI APAA LU! Anjir, enggak ngerti lagi gue. Keren parah lu!” Kevin memelukku. “Kalau gitu pas banget, gue punya hadiah atas berita baik ini,” ujar Kevin sambil menuju ke dalam bar, membuat sesuatu yang sepertinya bisa langsung aku tebak. “ES KOPI SUSU?! Anjir!” Giliran aku yang memeluk Kevin. Ana dan Agil serta Bram yang kebetulan saat itu tengah in charge hanya tertawa melihat kelakuan kami. “Eh, enak, Nyet! Parahh! Siapa dan gimana bikinnya nih?” tanyaku sambil menawarkannya kepada Ana. “Gue! Ntar lah, rahasia perusahaan,” sombong Kevin. “Narni udah tahu belum kabar dari lu?” lanjut Kevin. “Lah, tadi doi buru-buru cabut ke kampus. Mau ngasih semangka ke dosennya biar enggak revisi, hahahha.” Kami tertawa terbahak. 424 Coffee and Drama menjadi sebuah saksi bahwa setiap detiknya adalah sebuah rentetan drama yang tak pernah berhenti. Setiap drama itu terjadi, kopi menjadi salah satu penyempurna yang dapat menghangatkan hati dan mendinginkan kepala dari semua hal yang mungkin akan membawa kita pada ingatan-ingatan lalu tentang luka, tentang perih, dan tentang semua yang ingin dikeluhkan. Namun Tuhan, jika saat ini kau memberikanku izin untuk memberikanku lebih, bolehkah aku minta untuk merasa cukup? Sejak aku yang akhirnya bisa berkata jujur kepada Rio tentang hubunganku dulu dengan Saka, semua berjalan lebih baik. Komunikasiku pun dengan Saka saat ini tidak hanya seputar bahasan buku saja. Meski memang masih sangat terbatas. Seolah ada dinding kaca yang membuat kami hanya sanggup melihat segalanya samar tanpa pernah bisa untuk meyentuh. Aku sudah usai menamatkan membaca Amor Fati dengan memposisikan diriku sebagai Lara dan seorang pembaca, persis seperti kata Riana. Entah mengapa aku semakin yakin bahwa rasaku dan Saka masih saling terpaut. Namun kami, tampaknya masih sama-sama meragu untuk kemudian 425 melangkah dan membuat yakin satu sama lain. Aku tak tahu ketakutan apa yang membentengiku untuk tidak mampu sepenuhnya percaya kepada Saka. Maksudku, jika benar dan jika boleh ge-er bahwa buku itu memang ditujukan oleh Saka untukku sebagai salah satu bukti perjuangannya, tetap saja aku tak bisa serta merta percaya. Saka tak pernah mengatakannya langsung. Menarik sebenarnya, masing-masing kami terlalu lihai dalam hal menyembunyikan sesuatu. Saka lihai menyembunyikan perjuangannya, bahkan tak bersedia meneriakkannya secara lantang. Sedang, aku terlalu lihat menyembunyikan rasaku kepadanya dengan berdalih selalu menerima dia sebagai apa pun dia untukku. Padahal ‘apa pun’ tidak pernah membuatku merasa cukup akannya. Sempat beberapa kali aku bertemu dan menghabiskan waktu bersama Saka, bukan dalam kepentingan pekerjaan, melainkan sebagai Saka dan Lara yang sudah saling mengenal. Sebagai Saka dan Lara yang dulu pernah menjadi teramat baik dan sekarang juga sudah mampu untuk kembali baik. Setelah apa-apa yang tidak baik terjadi di antara kami. Bertukar cerita, tertawa bersama, menjadi pendengar bagi Saka, adalah kebiasaan-kebiaasan yang kini berulang. Aku sadar, pernah menyakiti dan melukai Saka dengan masa lalu yang kumiliki. Terlalu ingin menjadikan Saka sempurna, hanya agar aku tak lagi kehilangan seperti yang sudah- sudah. Terlalu ingin Saka berubah, dengan dalih agar dia 426 bertumbuh menjadi lebih baik, justru malah membuatnya menjalani semua dengan keterpaksaan. Aku pernah melukai Saka. Aku pernah dilukai oleh Saka. Semua itu hanya perihal ego yang tak bisa diredakan dan dijunjung terlalu tinggi oleh diri masing-masing. Sejak berpisah dengan Saka hingga kemudian dipertemukan kembali dengannya, aku menyadari sesuatu. Saka telah menerimaku sepenuhnya, tetapi aku tak jua menerima dia seutuhnya. Saka sudah begitu baik dengan tak memberikan banyak permintaan untukku. Sedang aku, selama dulu berhubungan dengannya justru selalu menuntut dan menuntut. Padahal sepatutnya dan semestinya, Saka akan tunduk jika memang dia bersedia untuk itu. Bukan dengan paksaan, bukan dengan tuntutan. Kini aku percaya, jarak memang sekiranya diperlukan untuk mereka-mereka yang terlalu dekat. Agar setidaknya menjadi sekat, memberi jeda, untuk memahami arti masing- masing dari mereka yang hadir sebagai apa di hidup kita. Saka bagiku bukanlah pelengkap apalagi penyempurna. Saka bagiku adalah cukup. Sepenuhnya dirinya, seutuhnya dirinya. Tak ada yang ingin aku ubah darinya. Eentah itu sikap, perangai, atau juga kebiasaannya. Aku pada akhirnya menerima Saka sebagai apa adanya Saka. Tak berniat mengubah jika bukan dia sendiri yang mau berubah. Membaca Amor Fati, buku yang katanya adalah ter- 427 inspirasi dari kisahku dengan Saka, membawaku pada sebuah pemahaman baru. Hidup itu memang berisi penerimaan, tak hanya sekali, tapi berkali-kali di sepanjang detiknya. Percakapan di warung sop Pak Min, tentang masa lalu yang lagi-lagi Saka percayakan untuk kudengar. Tentang mimpi yang sempat dikubur, tentang luka hati yang justru menghancurkan mimpi; menjadi suatu awal yang membuatku percaya dan mengerti bahwa Saka masih memiliki mimpi itu. Dan aku, Lara, secara diam-diam atau bahkan terang- terangan telah bersedia untuk menjadi pelindung untuk mimpi-mimpi itu. Menjaganya agar tetap hidup. Merawatnya agar tetap menyala semangat, dan membantunya agar bisa untuk diraih. Kali ini, lagi-lagi Saka mengantarku hingga ke stasiun. Bukan lagi di Bandung, tapi di Jogja. Tempat sebagian hidup dan mimpiku kemudian bertumbuh. Tempat aku pada akhirnya mendapat banyak pelajaran tentang hidup dan penerimaan. Tempat di mana pada akhirnya aku berkata jujur kepada Saka sekali seumur hidup. Mengesampingkan ego serta rasa gengsiku. Aku memandangnya lekat. Memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku kepada Saka. Sesaat sebelum aku masuk ke ruang tunggu, karena kereta yang akan membawaku ke Jakarta sudah tiba. “Saka, kalau aku punya satu kesempatan lagi untuk bisa kembali. Aku enggak akan pernah sia-siain kesempatan 428 itu. Aku enggak menolak untuk akhirnya memperjuangkan hubungan aku sama kamu lagi. Aku ngomong gini bukan berarti aku minta dikasih kesempatan lagi sama kamu atau bahkan sama semesta. Aku ngomong gini, karena aku enggak mau lagi bohong sama perasaanku sendiri. Kalau sebenernya aku masih berharap untuk sesuatu yang entah aku kepedean atau enggak, tapi menurutku juga masih kamu harapin.” Aku tersenyum untuk sekadar menjeda, “Aku pulang ke Jakarta jemput Mama dulu ya,” ucapku sambil menyelipkan rambut- rambut halus yang keluar dari ikatan rambutku ke belakang telinga, lalu mencium tangannya, dan berpamitan. a Aku sama mama udah sampe di Tugu ya :) “Sugeng rawuh! Selamat datang di Jogja, Ma,” ucapku sambil memeluk ibuku sekilas saat baru turun dari kereta api Taksaka yang membawaku serta ibuku bertolak dari Jakarta. Akhirnya, setelah menunda-nunda menjemput ibuku karena pekerjaan yang tak kunjung usai. Hari ini resmi sudah ibuku akan mencicipi tinggal di Jogja selama satu bulan. Menjejakkan kaki kembali di kota ini bersama ibuku 429 sebetulnya membawa sensasi bahagia yang jauh berbeda jika aku datang sendirian. Entah sejak kapan aku justru berkali- kali jatuh cinta dengan kota ini. Bahkan aku seperti sudah menjadikannya rumah. Lebih daripada Jakarta yang dulu selalu kupuja meski berulang-ulang kucerca. Semburat oranye di langit Jogja menambah syahdu perasaanku yang kini tengah diselimuti haru. Sungguh, dengan segala keramahan dan ketenangannya, kota ini berhasil membuatku percaya pada mimpi yang perlu diperjuangkan. Bila Jakarta menjadi tempat aku bertumbuh dan membentuk pribadiku seperti sekarang ini, lalu Jogja? Mungkin, Jogja akan menjadi tempat aku melabuhkan seluruh harapan serta mimpi yang akan membentuk banyak pemahaman akan hidup dan menyoal penerimaan. Jogja, menjadi pilihan terbaik menurutku untuk memanjakan ibuku di saat senjanya. Kota ini setidaknya mampu membuat beliau merasa lebih tenang menjalani kehidupan. Tidak seperti sedang dikejar waktu, pun tidak seperti diburu oleh aktivitas yang tak kunjung berakhir. Semoga saja ibuku pada akhirnya bersedia untuk tinggal di sini. Diam-diam aku selalu mendoakan hal itu di setiap sujud. “Ra, ini kita nunggu ojek online atau gimana?” Ibuku bertanya dan membuyarkan lamunanku. “Oh enggak Ma, nanti ada yang mau jemput kok. Bentar ya, tadi sih aku udah kabarin kalau kita udah sampe. Mungkin bentar lagi dia dateng. Kita langsung keluar aja yuk,” jawabku 430 sambil mengecek kembali pesan yang tadi kukirimkan dan menggandeng tangan beliau. “Emang siapa sih yang mau jemput?” Ibuku kembali bertanya karena penasaran. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, teleponku berbunyi menandakan sebuah panggilan masuk. “Bentar ya Ma, Lara angkat telepon dulu.” Aku pamit kepada ibuku untuk mengangkat telepon. “Aku lagi parkir dulu bentar. Kamu sama Mama langsung ke pintu keluar aja ya. Nanti aku tunggu di depan pintu.” Suara lelaki di seberang telepon menambah kebahagia- anku di hari ini. “Ya, udah aku langsung keluar kalau gitu.” Aku mematikan telepon dan mengalihkan pandangan ke arah ibuku. “Mau tahu banget ma? Emang Mama maunya kita dijemput siapa?” Aku kembali menggoda beliau dengan sebuah pertanyaan. “Maunya sama mantu, tapi kalau enggak ada sama calon mantu dulu Mama mah ikhlas,” jawab ibuku malah balik menggoda. Aku hanya tertawa lepas mendengarnya. Ssebuah perasaan senang entah kenapa melingkupiku begitu saja. “Ya, udah kalau gitu dijemputnya sama calon mantu dulu aja ya.” Aku mengerlingkan mata menatap ibuku. Kali ini justru ibuku yang kaget mendengar ucapanku. “Eh, beneran calon mantu? Kalau Mama enggak setuju gimana?” 431 “Tuh, orangnya udah dateng.” Aku menunjuk ke arah pintu keluar yang menampilkan sileutnya dari kejauhan. Sosok yang begitu mudah kutemukan. “Kenalan dulu atuh, nanti baru diomongin setuju apa enggaknya. Enggak kenal kan enggak sayang katanya, Ma.” Ibuku lalu menggamit tanganku sambil mengatakan sesuatu yang membuat perasaanku tak lagi bisa hanya disebut bahagia. “Siapa pun yang akhirnya kamu kenalin ke Mama sebagai orang yang spesial, insyaa Allah Mama pasti setuju dan doain yang terbaik. Mama tahu, kamu enggak mungkin asal pilih.” Aku hanya memandang ibuku dengan perasaan haru yang tak bisa lagi dibendung. Air mataku hampir saja menetes jika tak segera kuhapus. Seseorang lelaki dengan celana jeans hitam, kaus cokelat serta jaket berwarna biru tampak menunggu aku dan ibuku tepat di pintu keluar Stasiun Tugu. “Hai! Enggak lama nunggu kan?” Aku langsung bertanya saat sudah berada di hadapannya. “Enggakatuh, kan baru sampe juga.” Diahanyatersenyum. Sedikit kikuk karena hari ini akan bertemu dengan ibuku. Lucu sebetulnya, aku baru sempat memperkenalkannya kepada ibuku sekarang. Padahal sedari dulu aku harusnya sangat bisa mengajaknya bertemu dengan ibuku. “Oh ya Ma, kenalin ini Saka.” Aku memperkenalkan Saka kepada ibuku. Yang diperkenalkan justru langsung meraih tangan ibuku dan menciumnya. 432 Meski terlihat sedikit terkejut, ibuku memberikan senyum tulus kepada Saka dan mengusap punggungnya saat Saka mencium punggung tangannya. “Ini Saka yang itu? Yang mantan kamu itu, Ra?” tanya ibuku penasaran. “Hahaha, iya Ma.” Aku hanya terkekeh mendengar pertanyaan itu seraya mengajak ibuku serta Saka untuk menuju parkiran. “Ra, sini tas sama kopernya aku yang bawa. Itu kamu yang bawa tas Mamamu.” Saka kemudian mengambil alih tas pakaian serta koper yang sedari tadi aku bawa. Baru aku ingin mengambil tas jinjing yang dibawa ibuku, beliau sudah lebih dulu mendahuluiku untuk berkata, “Enggak usah, ini mah ringan. Kamu bawa koper itu aja, kasian Nak Saka bawa sendiri.” “Enggak apa-apa Bu, ini mah enggak berat kok. Lagian parkirannya lumayan jauh, nanti Ibu capek harus nenteng tas. Biar yang ini Saka aja yang bawa, jadi tas yang ibu pegang bisa Lara yang bawa.” Saka kemudian memberanikan diri berbicara kepada ibuku. “Kok, manggilnya Ibu sih? Enggak sekalian Mama aja? Kata Lara, kamu calon mantu.” Aku yang mendengar ucapan ibuku hanya menutup wajahku malu sambil berteriak. “Mama!” Saka kemudian tertawa dan lanjut menggodaku, “Oh bilangnya calon mantu? Serius, Ra? Enggak apa-apa sih kalau dikenalinnya jadi calon mantu, aku mah ikhlas.” 433 Aku hanya menepuk lengan kanan Saka pelan, tersipu dan masih tak habis pikir dengan ucapan ibuku yang begitu gamblang. Kami bertiga lalu tertawa sambil berjalan menuju parkiran. Perasaan haru dan bahagia serta merta menyelimutiku begitu saja. Tuhan, aku tidak pernah tahu seperti apa rencanamu lagi untuk esok hari. Tapi, jika aku boleh meminta, dapatkah kedua orang yang sedang bersamaku saat ini menemani senjaku untuk seterusnya? Sebab aku telah merasa cukup, untuk menjadi utuh, karena telah sepenuhnya diisi oleh a” Aku dan Lara belakangan sibuk mengurus script mereka. writing untuk kebutuhan film yang akan diangkat VY dari novelku dan Ana. Aku akan bertemu dengan sang sutradara untuk brief perihal naskah di Jakarta besok. Sudah beberapa minggu sejak kepergian Ana ke London dirinya belum juga mengabariku. Terakhir saat aku mengantarnya ke bandara untuk pulang ke Bandung, Ana berjanji akan mengabariku via Skype ketika dirinya sudah sampai di sana. Namun hingga kini, belum juga aku mendapat kabar darinya. Mungkin Ana sedang sibuk mengurusi persiapan kuliahnya. 434 Aku putuskan untuk menghubunginya lebih dulu via message di laman Blog. Sudah lama juga aku tidak membuka laman blog miliknya. Saat hendak mengirim pesan, mataku berhenti pada sebuah postingan terakhir tulisan Ana. Untuk pria bermata hitam, yang tidak pernah ada aku di dalamnya. Kita pernah menjadi sepasang rahasia. Pada sebuah puisi, yang paling sepi. Kita saling berbincang, pada sunyi yang saling mengisi. Kau pernah menjadi ramai, yang selalu membuatku terbuai. Kau pernah aku usahakan, dalam juang yang selalu aku sembunyikan. Kau pernah aku rindukan, dalam pesan yang memohon untuk sampai. Aku pernah meninggalkan jejak, pada puisi yang menjelma menjadi utusan sapa. Pada makna-makna yang bersembunyi di balik diksi. Pada senyum-senyum, yang jelas-jelas untukmu. 435 Pada seduhan kopi, yang aku pesan kepadamu. Tetapi, kau tidak pernah melihatku. Sebagaimana kau yang ada di kelopak mataku. Sebagaimana kau yang hidup dalam dadaku. Terima kasih telah mengajarkan aku. Untuk bisa merelakanmu bahagia, yang bukan karena aku. Untuk mencintaimu, tanpa harus egois. Kau adalah sebaik-baiknya rahasia. Yang selalu berhasil aku sembunyikan, dalam sajak-sajak doa. Genggamlah ia dengan pasti. Bersamalah dengannya, dan menjadi sepasang arti. Biarkan semua harap dalam aku perlahan mati. Kepada pria yang berseragam keajaiban. Terima kasih, telah menjadi kebetulan yang mendewasakan. - Eleftheriana Terlang Fenulis Lw@—“we7r syahid Muhammad Lagi-lagi diberi kesempatan untuk tetap berkolaborasi bersama Stefani Bella untuk melanjutkan amanah yang sepertinya belum rampung. AMOR FATI menjadi buku ke-2 sekaligus sekuel setelah KALA. Lelaki Scorpius yang lahir di Bandung 1 November ini adalah seorang full time friend yang masih bisa diajak berbincang tentang apa saja. Apa saja yang tidak membosankan. Masih bisa diajak ngopi dan ditemui di, Instagram: @iidmhd Wattpad: iidmhd Tumblr: eleftheriawords.tumblr.com now officially move to iidmhd.tumblr.com 437 Stefani Bella AMOR FATI adalah sekuel KALA yang lagi-lagi membawa wanita berdarah Betawi Makassar ini untuk kembali berkolaborasi. Stefani Bella atau biasa dipanggil Bella lahir di Jakarta tanggal 19 Mei. Kecintaannya pada dunia menulis dimulai ketika dia sedang melanjutkan pendidikan menengah pertamanya di Yogyakarta. Berawal dari Blogspot, lalu Wordpress, dan kemudian di tahun 2014 dia memilih menetap di Tumblr hingga saat ini untuk mengabadikan seluruh asa dan rasanya. Penyuka hujan, es krim, dan fajar ini bisa kamu sapa bahkan kamu ajak berkenalan dan mengobrol di, Instagram: @hujan_mimpi Twitter: @hujanmimpi Wattpad: stefanibella19 Tumblr: hujanmimpi.tumblr.com 438 Ukuran =: 13x 19cm Tebal : 348 him Harga : Rp70.000 ISBN : 978-602-208-155-5 iY Kita pernah menjadi sebuah ketentuan pada pertemuan yang saling. mengisi ” hingga saling meniadakan. Namun pada langkah yang saling menjauhi, kétentuan terasa ciel sebuah perjudian antara yn dengan detaknya sendiri. Karena __ Pada-detik ke sekian kita sadar bahwa penerimaan akan membuat kita merasa ; utuh jika sudah sepenuhnya. el as fe NT MSA 208-2b3-b ene es Sea eLere) eer ed Ree orice tae aeea ener are end ee on eo 86 | | 2 | 8161 ort . eee eae ed ed

Anda mungkin juga menyukai