Anda di halaman 1dari 72

Arena Tertutup

(coverfieldland)

Marilah kita melangkah pelan-pelan, untuk mereka yang


masih sanggup membaca sampai sejauh ini maka saya
ucapkan selamat datang.

Vidi Vici Lavida

SAN’S PUBLISHING
(Social and Network’s Bogor)
Daftar Isi

Preambul ................................................................................. 1

Conundrum (teka-teki) ...................................................... 2

Melamun tapi berarti ....................................................... 4

Estetika Rasional .............................................................. 6

Keronoskopik Kapital ..................................................... 10

Techne ( keterampilan ) ................................................... 14

Dead cheat ...................................................................... 18

Berdagang ...................................................................... 23

Ranah .............................................................................. 26

Kausalitas ....................................................................... 29

Perang ............................................................................. 32

Intermezzo ...................................................................... 37

(Converfieldland) Arena Penutup .................................... 38

Terasingkan................................................................... 41

(Countercultur) Budaya Tanding .................................... 47


Tabula ............................................................................. 51

Common sense ................................................................ 56

Noch Nicht (Belum) ......................................................... 60

Penutupan untukmu ....................................................... 67


Preambule

Ini adalah tulisan tentang perspektif saya, suatu ringkasan


opini (self opinion), dan diakhir saya berpuisi sastra. Saya tidak
berkompeten untuk mengatakan ini suatu artikel mudah
dimengerti untuk dibaca. Mungkin banyak orang yang tidak
mengerti dengan bahasa tulisan ini. bila ada istilah-istilah baru
dalam tulisan ini yang membuat para pembaca ingin tahu.
Dimohon kebijakannya untuk mencari tahu. karena saya tahu
internet menyediakan seperti halnya, etimologi, verbal, istilah-
istilah ataupun referensi, dan misalnya bertanya benar ga sih?
akarnya darimana pemikiran siapakah hal itu? Ada semacam
intruksi argumentasi yang mengganggu pemikiran para
pembaca, ya mungkin ini tulisan sampah diary saya. Katakan
saja seperti itu, saya adalah mahasiswa Teknik geologi unpak
bogor yang ingin berbagi arena tertutup ini (coverfieldland).
Tulisan ini seperti labirin dan paradox, karena saya menulis
lepas seperti mengawan diatas awan luas, penafsiran untuk
para pembaca dan tidak berkelanjutan yang dikemas dalam
bentuk artikel, ringkasan. tentunya tulisan ini ada, karena rasa
ingin tahu saya yang tinggi sehingga bermuculan energi baru
kedalam arena perspektif dan pemikiran saya. Kemudian saya
tuliskan disini karena seperti Bahasa ucapan akan mudah
dilupakan tetapi tulisan akan abadi (verba volant
scriptamanent). Semoga energi yang saya tulis disini bisa
sedikit dinikmati, saya tidak berharap lebih dari hal itu
terimakasih salam saya maulana yusuf yuliansyah.

Verba Volant Scriptamanent

1
Aforisme PART 1 (Vidi Vici Lavida)

Conundrum (teka-teki)

Manusia dilahirkan dengan kebingungan diparu-paru


sebelah kanannya dan paradox disebelah kirinya. Setiap kali
mereka bernafas, kebingungan dan paradox itu akan menyebar
keseluruh tubuhnya, pikirannya, jiwanya, dan menuntun
mereka kelabirin yang tak berujung. Didalam labirin yang
memang tidak memiliki pintu keluar itu manusia terjebak
selamanya lantas mati dan membusuk. ditengah proses tersebut
itu lah saya kemudian menyadari soal keterbatasan yang saya,
para pembaca, dan 7 milyar kepala lainnya. Rasa ingin tahu
dan wawasan manusia tidak terbatas, namun kapasitasnya jelas
terbatas. Jika manusia dihukum karena memakan buah
terlarang di firdaus, saya pikir ini adalah salah satu hukuman
yang paling menyiksa. Anda terus-menerus bertanya,
menggugat, tidak puas, namun tubuh dan pikiran anda sengaja
didesain untuk hanya dapat menyimpan sedikit sekali
informasi. Pada suatu titik di dalam petualangan anda dalam
bertanya anda akan terbentur batasan yang begitu tegas dan
nyata di luar batas itu, kegelapan dan kehampaan yang hanya
ada Putus asa, itu sudah yang akan anda rasakan. Dan pada titik
ini lah, kualitas manusia akan dibedakan.

Antara mereka yang kemudian berhenti untuk berjalan


tertunduk kembali atau memaksa diri melewati batasan yang
ada. Saya diajarkan dan dibesarkan di lingkungan yang
melecehkan batasan dan terus menggoda diri sendiri untuk
melaju walau tertatih walau terseok-seok. Namun jika anda
berpikir saya menjadi pribadi yang ngoyo dan keras kepala
untuk melewati batasan dan terus-menerus mengalahkan diri
sendiri dan pencapaian orang lain, anda salah besar. Saya

2
sudah belajar untuk mencukupi diri sendiri dengan segala yang
saya punya. Tentu lah ini terdengar klise, namun menjalaninya
tidak semudah itu. Saya harus terus mengipasi diri dengan
pseudo-motivasi dan terus-menerus menutup mata dan telinga
untuk tidak peduli dengan pencapaian-pencapaian yang orang
lain lakukan di sekitar saya. Pada suatu waktu, saya tentu saja
sedikit khawatir dengan cara ini karena sewaktu-waktu saya
bisa kehilangan empati dan menjadi nihilis garis keras. Hingga
saya mencoba berkelit dan bersahabat dengan segala batasan
yang ada. Bahwa batasan ada bukan lah untuk dilewati
melainkan dilampaui. Pelampauan, ah, saya suka dengan kata
itu karena ia nirmana.

Ia tidak memiliki nuansa fisik yang ajeg melainkan gagasan


abstrak dan setiap nodes darinya adalah gagasan dan berada
dalam alam pikiran atau pemikiran. Dengan melampaui, maka
batasan yang ada berubah dimensi dan makna sama sekali, ia
tidak lagi hadir untuk berbenturan dengan kemampuan,
melainkan menjadi pijakan. Ia tidak lagi mengatur dan
mengarahkan pergerakan melainkan terlibat didalamnya.
Dalam kondisi itu tentu saja tidak ada lagi saling mengalahkan
dan tidak ada yang lebih baik dari yang lainnya. Sebab saya
mulai merasa lelah dengan semua upaya untuk membangun
pemikiran bahwa saya lebih baik dari yang lain. Entah, saya
hingga kini belum mendapat logika dan apa yang mendasari
pemikiran bahwa “saya lebih baik dari orang lain”. Beberapa,
mendaku agama, yang lain ilmu, sementara ada yang
mendasarkannya pada kemampuan praktis. Namun bagi
mereka yang pergi melampauinya, segalanya hanyalah
kefanaan belaka. Ah, beruntungnya saya tumbuh dan dipupuki
semangat ke-Gonzaga-an dan kekolesean, bahwa nilai-nilai
kesederhanaan, kejujuran, dan kebebasan yang
bertanggungjawab sangat kontekstual dengan segala keruwetan
yang tengah saya hadapi ini. nilai-nilai tersebut membawa

3
penghayatan akan kebersamaan, bukan keinginan kompetisi
dan saling mengalahkan dan membawa kepada ketenangan,
sesuatu yang dimiliki oleh setiap manusia di dalam dirinya
namun tak henti manusia itu mencarinya hingga lupa kalo ia
sebenarnya sudah memilikinya. Ah manusia memang aneh.

Melamun tapi berarti.

Melamun tapi berarti seperti lagu geologi yang saya sering


nyanyikan ketika Pendidikan dasar pada masa itu. Tapi yang
akan saya lamunkan itu Jika diam adalah emas, maka
mencintai dalam diam adalah kesempurnaan jiwa. Bukan hanya
sekedar kausalitas yang koheren didalam kajian terhadap
premis diatas. Tentu makna yang sesungguhnya tak mungkin
ditangkap dengan teknik hermeneutik biasa. Terlalu terbiasa
sehingga tidak biasa tapi tahukan Anda bahwa intro lagu
YYZnya Rush dibuat menggunakan ritme morse yang bererti
Y, Y, dan Z Atau kode yang muncul di album X & Y Coldplay
adalah sandi yang dipakai militer inggris yang terbaca X & Y
.Lihat begitu banyak ‘penanda’ yang tak koheren dengan ‘yang
ditandainya’. Saya tidak bermaksud membahas semiotika ala
de Saussure disini, hanya mau menampilkan bahwa tak semua
simbol itu reprsentatif. Dunia kita tak analog, nilai-nilainya
tidak linier. Maka, dunia tidak pernah bicara lewat simbol.

Namun karenanya, ia dianggap diam. Dalam teori


komunikasi terjadi keributan antara mana yang lebih baik,
tulisan atau lisan? Alam kita tak mau pusing akan keduanya,
Jika keduanya masih menggonakan simbol, maka jelas ia tidak
akan menggunakan keduanya, ia tidak perlu kata atau simbol
dalam memberi tahu makna atau maksudnya. Maka ia hanya
diam. Mencintailah dalam diam. Anda pernah mendengar lirik
lagu Aura Kasih? “bila kau benar-benar sayang padaku, kalau

4
benar-benar cinta sudah tutup saja mulutmu, jangan bilang
siapa-siapa” Seperti itulah kira-kira. Dalam diam kita akan
terlepas dari kerangkeng simbol. Simbol menguras banyak
sekali energi dalam interpretasinya. Menurut Anda seberapa
mudah coding? Dalam proses interpretasipun, sang
interpretator tak mungkin luput dari kesalahan. Sekali lagi,
degradasi makna dan nilai. Jika diam adalah emas, maka
mencintai dalam diam adalah perak dan kesempurnaan jiwa
Emas (ougon) merupakan jiwa dunia, sementara perak
melambangkan kemurnian jiwa. Esensi dunia dilambangkan
dengan emas, sehingga ia dianggap logam paling berharga.
Kilaunya merupakan pertanda keberhargaan, kemakmuran, dan
supremasi Sementara perak? Kilau tanpa warnanya
melambangkan kemurnian jiwa.

Kemilaunya akan memantulkan bayangan bagi siapapun


yang memandangnya dengan apa adanya, tanpa warna
tambahan, hanya refleksi. Seperti cinta.Maka mencintailah
dalam diam. Pernahkah Anda mendengar tentang partikel
Higgs Boson? Partikel yang kemudian dianggap menjadi salah
satu kunci untuk melengkapi standart model dalam fisika
kuantum dan karenanya dapat menjawab salah satu pertanyaan
paling fundamental dalam fisika, apa yang memberi masa pada
suatu materi? Tak jauh berbeda dengan tekanan? Konsep masa
menjadi sebuah common sense yang overdogmatic. Tak pernah
ada yang berpikir bagaimana suatu benda dapat memiliki masa
dan darimana masa itu berasal. Fisika SMA mengajarkan kita
tentang massa namun selayaknya ilmu fisika, ia tidak
menjelaskan apa itu masa, ia hanya menjelaskan bagaimana
masa bertingkah laku. Pertanyaan lantas muncul ketika ada
suatu fenomena menarik. Tahukah Anda bahwa foton itu
dianggap tak bermasa? Lantas ia mendapat momentum dan
energinya semata-mata karena efek relativistik. Dari sana,
orang-orang lalu mulai mempertanyakan konsep masa.

5
Bagaimana model dan persamaan matematisnya akan membuat
mata Anda terpuntir ke belakang. Cabang ilmu fisika partikel
dapat saya anggap sebagai avant-garde dalam ilmu fisika teori,
saking jelimetnya. Lalu apa pentingnya tahu hal ini? Hidup itu
seperti foton. Tak bermasa dan hanya eksis ketika ia bergerak.
Semakin ia cepat bergerak, maka energinya akan semakin
besar dan nyata. Tidak hanya itu, Tuhan pun hanya eksis dalam
proses menjadinya (becoming bukan being). Itulah pentingnya
membuat pergerakan dalam hidup. Seperti pula kata Einstein,
bahwa menjalani hidup seperti naik sepeda, Anda akan jatuh
kalau berhenti. cukup melamunnya, saatnya review kuliah.

Estetika Rasional

Salah satu hambatan terbesar yang dihadapi dalam


mempelajari hal baru dan merupakan tantangan terbesar yang
harus dihadapi adalah masalah kemampuan bahasa dan
komunikasi atau kemampuan mengabstraksi sesuatu. Detilnya
lagi, adalah kemampuan memahami dan menginternalisasi
istilah-istilah baru. Seringkali, dalam banyak kasus, untuk
memahami konsep secara utuh karena terpentok pada suatu
istilah. Misalnya Dalam kajian geomorfologi, setiap
pengamatan dituntut harus dapat mengidentifikasi dan
membedakan sesuatu berdasarkan bentukannya. Bentuk
cembung, lingkaran, cekung, datar, miring, kotak dan
sebagainya menjadi dasar utama untuk membedakan dan
mengklasifikasikan berbagai fenomena berupa bentukan di
permukaan bumi. Sebab itu, pengamat harus mengenali dan
memberi nama serta istilah berbagai macam bentukan tersebut
dan mereka bisa beranak pinak sedemikian banyaknya. Suatu
bentuk cekungan bisa menjadi doline, uvala, polje, gorge.
Suatu doline, berdasarkan bentuknya lagi bisa berupa cockpit
atau poligonal.

6
Padahal, selain an sich dari bentukannya, suatu fenomena
geomorfologi juga diklasifikasikan berdasarkan proses
terbentuknya. Doline tadi, jika dilihat dari prosesnya bisa
beranak pinak menjadi subsidence doline, collapsed doline,
atau solution doline. Sampai pada titik ini, kita bisa
membayangkan berapa banyak istilah yang harus dijejalkan ke
dalam satu kepala hanya lewat geomorfologi saja. Tak jauh
berbeda, dalam ilmu sosial, kita juga harus berhadapan dengan
berbagai macam istilah yang kadangkala bikin macet. Wabil
khusus dalam rumpun keilmuan sosial, kita berhadapan dengan
sesuatu yang nyaris tidak empiris. Maka sebagai tantangan
baru, selain kemampuan identifikasi, kita perlu kecerdasan
abstrak yang membuat kita mampu merasakan suatu fenomena
dan membedakannya dari fenomena lain.

Terma-terma khusus dalam keilmuan sosial seperti, sebagai


contoh dalam konteks marxis sepeti struktur, basis, komoditas,
atau nilai menjadi contoh sebab, dalam konteks atau paradigma
lain, istilah tersebut akan merujuk kepada sesuatu yang lain.
Memusingkan? Jelas. Mengapa ini semua penting? Sebab salah
satu syarat yang menjadi tulang punggung dalam keilmuan
adalah obyektifitasnya. Setiap subjek atau manusia di dalam
arena ilmiah diharapkan (atau diharuskan) dapat melakukan
pemahaman dan penyangkalan terhadap suatu konsep.
Demikian sehingga, diperlukan kesepakatan bersama dalam
suatu fenomena agar kemudian fenomena tersebut dapat
dikonstruksi atau didekonstruksi oleh berbagai individu. Dalam
hal ini kita menyerahkannya ke dalam bahasa. Apa contohnya?
Untuk dapat melakukan kritik terhadap suatu sistem
pemerintahan kita harus tahu terlebih dahulu bagaimana
pemerintahan sebagai suatu fenomena ber’ada’. Ada berbagai
macam atribut dan ciri-ciri yang menempel dalam sistem
pemerintahan tersebut. Gabungan dari berbagai atribut tersebut
yang kemudian dikelompokan dan melahirkan entitas

7
tersendiri. Ketika entitas tersebut lahir, kita akan dapat
mengkajinya. Sebagai gambaran, atribut demokrasi seperti
rakyat, pemilihan umum, dan dewan akan bertentangan dengan
atribut-atribut di teokrasi seperti tuhan, keturunan, dan petinggi
agama. Bilamana kemudian kita sampai pada kajian ilmiah
seperti pertanyaan: mana yang lebih cocok diterapkan di dalam
iklim sosial-budaya Indonesia? Kita sudah separo jalan sebab
sudah memahami atribut ciri dan karenanya akan dapat
dikontekstualisasi ke dalam dunia riil. Selain tentu saja muatan
kepraktisan. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam menciptakan
suatu terma atau entitas baru, diperlukan dasar-dasar.

Dalam konteks geomorfologi dan geologi, suatu istilah baru


dapat diciptakan berdasarkan pertimbangan: bentuk, proses,
material/bahan dan ukuran/skala. Bentuk dan proses yang sama
namun memiliki perbedaan ukuran yang “mencolok” dapat
diklasifikasikan secara berbeda. Contoh teranyar adalah
masuknya istilah Tiankeng untuk merujuk pada doline yang
sangat besar. Bentuk cembung di permukaan, dengan ukuran
dan bentuk yang sama namun berbeda proses juga dapat
diklasifikasikan berbeda. Ini akan memudahkan Anda apabila
pada suatu kelas filsafat ada yang mempermasalahkan “kenapa
ini meja dan kenapa itu bukan meja?”. Tak perlu mundur
terlalu jauh untuk masuk ke diferensiasi forma, idea, dan
substansi ala Plato dan Aristoteles, cukup lah dijelaskan
berdasarkan pertimbangan di atas atau sergah dia mengenai apa
pentingnya mempertanyakan hal tersebut karena pada akhirnya
ia hanya membuat proses berpikir filsafati menjadi tidak
relevan. Begitulah bahwa bahasa adalah jembatan utama antara
apa yang ada di dalam idea kita dengan fenomena yang ada di
dunia. Masih ada banyak sekali entitas-entitas yang tidak
terjembatani baik fenomena yang ada dengan istilah maupun
apa yang ada di pemikiran kita dengan fenomena yang ada di
dunia ini.

8
Tak perlu risau, pelan-pelan saja melangkah Itu satu hal, ini
hal yang lainnya. Selain pemahaman abstrak atau kesulitan
memhami istilah baru, yang menjadi kelemahan berikutnya
adalah kurangnya apresiasi. Ini kita sudah mafhum, sedari kecil
secara sadar atau tidak kemampuan apresiasi kita terhadap
dunia sudah dibelenggu dan dihimpit. Kita tidak pernah
diajarkan betapa indah dan menyenangkannya dunia ilmu
pengetahuan yang sebenarnya. Salah satu faktornya jumlah
mata pelajaran kesenian yang sangat terbatas dan itu pun diisi
oleh materi dan kegiatan kreasi, bukan apresasi. Saya
membayangkan bahwa mestinya dalam setiap pelajaran
kesenian kita diberikan satu karya untuk kemudian diapresiasi
bersama bukan Cuma diisi kegiatan melukis dan membuat
prakarya. Hal tersebut saya pikir berujung pada impotensi
teman-teman kita menangkap keindahan dari suatu fenomena.

Contoh lainnya adalah pelajaran matematika dan fisika. Kita


dijejali betapa mengerikannya dan terkenal sekali bahwa kedua
hal tersebut menjadi momok yang menakutkan. Padahal,
apabila kita melihat dan merasakannya, keduanya menawarkan
keindahan yang tersembunyi. Dalam suatu esainya, Karlina
Supelli menyatakan bahwa suatu rasionalitas dan logika akan
selalu dibangun di atas dan menginternalisasi keindahan di
dalamnya. Beliau mencontohkan bagaimana Paul Dirac
membuat model berdasarkan keindahannya dulu untuk
kemudian baru ditemukan verifikasinya. Demikian bagaimana
bahasa dalam keilmuan juga memegang peranan penting.
Dalam ilmu-ilmu kualitatif penggunaan keindahan bahasa
menjadi salah satu faktor utama untuk juga dapat
mencintainya. Salah satu contohnya adalah judul penelitian
Harry J. Benda yang berjudul The Crescent and the Rising Sun.
Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942–
1945 dimana Benda menggunakan metafora untuk menjelaskan
islam (crescent) dan jepang (rising sun) atau yang lebih populer

9
tentu saja buku-buku karangan Soe Hok Gie: Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan dan Dibawah Lentera Merah. Mereka
adalah orang-orang yang sanggup menggunakan sastra dalam
karya ilmiahnya. Sayangnya, lagi-lagi sayangnya, segala
macam keindahan itu dianggap sebagai musuh bagi sistem
pendidikan kita. Barangkali memang kita manusia tak perlu
lagi keindahan. Semoga tidak.

Kronoskopik kapital

Setelah tahu kemampuan manusia untuk memanipulasi dan


mempermainkannya sedemikian rupa untuk berbagai hal dan
kepentingan, kita bisa mengajukan pertanyaan sederhana ini:
apakah permainan waktu itu ada by meaning ataukah ia
hanya konsekuensi perkembangan manusia? Pertanyaan
tersebut saya pikir punya relevansi untuk menegaskan
kedaulatan manusia sebagai kreator dimana logika tanya yang
sama dapat dikaitkan dengan statuta penciptaan manusia oleh
Tuhan. Sedikit modifikasi, pertanyaan tersebut memiiki tempat
dalam teologi sebagai: apakah manusia diciptakan by meaning
atau mereka hadir sebagai konsekuensi sifat Tuhan? Namun
demikian pertanyaan terakhir bisa kita simpan terlebih dahulu,
hehe. Mari mengeksaminasi berbagai kemungkinan jawaban
muncul dari pilihan yang saya sediakan. Manusia, kita tahu,
adalah makhluk yang memiliki akal budi. Lewat akal budinya,
mereka mendapatkan kemampuan yang tidak makhluk lain
miliki: kemampuan perencanaan dan logika perekayasaan.
manusia merupakan makhluk yang mampu menggunakan
pemikirannya untuk menggunakan berbagai objek fisik di
sekitarnya menjadi perpanjangan tubuhnya.

Dalam konteks eksistensialisme Heidegger, manusia


sebagai Dassein berhubungan dengan objek fisik sebagai

10
Zuhanendes (Hardiman, 2016). Hubungan Dassein dengan
zuhanendes tersebut adalah hubungan yang menangani
(Besorgen) dimana zuhanendes tersebut digunakan
Dassein untuk melakukan sesuatu. Pemahaman mengenai relasi
manusia dengan perkakasnya menjadi penting karena lewat
relasi tersebut manusia membentuk horizon kesadarannya
mulai dari horizon masa lampau juga horizon pengharapan.
Selain membentuk horizon kesadaran, manusia juga, lewat
penggunaan perkakas tersebut mengintervensi realitas dan
menjadikannya sesuai keinginan. Keinginan atau hasrat
manusia merupakan elemen yang tidak bisa dilepaskan dalam
kasus ini. lewat keinginan tersebut, manusia menciptakan
sebuah idealitas, proyeksi, juga harapan. Bahan-bahan tersebut
dikomposisi sedemikian rupa hingga membentuk utopia atau
bahkan mengkreasi Tuhannya. Penguasaan manusia dan
hasratnya itu yang menuntun manusia pada kemampuannya
yang paling termahsyur ini: rekayasa dimensi. Dari seluruh
cabang perekayasaan yang pernah saya temui selama berkuliah
di Fakultas Teknik, saya pikir perekayasaan dimensi adalah
cabang perekayasaan yang paling menakjubkan. Dari
perekaysaan tersebut manusia mampu menekuk ruang dan
memotong waktu. Dimensi, ruang-waktu kini berada dalam
genggaman manusia. Rekayasa ruang sebagai dunia, rex
extensa telah begitu sering dilakukan. Dunia fisik ditempa,
diubah, dilumerkan sesuai yang dikehendaki manusia. Gunung-
gemunung diratakan, perairan dikeringkan, hutan belantara
merupakan masterpiece juga milestone penaklukan dan logika
dominasi manusia yang paling kentara. Namun kita tentu lah
tidak pernah puas sebab setelah puas mengintervensi dimensi
ruang kita dihadapkan pada realitas ruang yang paling
menakutkan: ruang hidup kita, semesta dan alam ini boleh jadi
tidak terbatas. Infinitas adalah salah satu ketakutan manusia.
Ruang infinit bagaimanapun menimbulkan kegentaran dan
sensasi yang menggetarkan acapkali kita membayangkannya.

11
Dan segala yang bisa dibayangkan manusia berarti bisa dan
sebaiknya ditaklukan sekalian. Dalam kasus ruang ini, syarat
untuk bisa menaklukannya adalah dengan manipulasi waktu.
Manipulasi waktu memiliki skala dan modus yang beraneka
rupa mulai dari modus real time lewat piranti elektronik hingga
imajinasi perjalanan lintas dimensi menggunakan worm hole.
Segalanya ditujukan untuk satu tujuan semata: downsizing.
Mari menjejak kembali ke sekitar kita untuk mendapatkan
kesadaran setelah gambaran abstrak mengenai realitas dan
yang tak terbatas sebab segala ini hanya ditujukan untuk satu
proyek semata: globalisasi.

Rekayasa waktu dan ruang di planet kita ditujukan untuk


mendukung proyek-proyek narasi besar seperti globalisasi dan
kapitalisme. Mengapa demikian? logika abstrak yang saya
paparkan pada bagian awal di atas merupakan logika dominasi
dan opresi yang, menurut Weber, begitu kental aroma dan
nuansanya dalam semangat pencerahan dan modernitas. Kita
boleh terpukau dengan romantika infinitas alam semesta juga
terpaku dalam misteri labirin waktu, namun pada akhirnya
sikap kita dalam menghadapi kedua hal tersebut, jika dikupas
tumpas hingga intinya akan terantuk pada paradigma
kapitalistik. Kecewa? Hehe, lanjut. Dominasi ruang dan waktu
diperlukan manusia, seperti tujuan dalam paradigma
kapitalistik digunakan semata-mata untuk penguasaan faktor
produksi dan akumulasi kapital. Perihal ruang sebagai faktor
produksi dan moda penguasaan, Lefebvre membahasnya dan
membaginya dalam representasi ruang dan ruang
representasional (Lefebvre, 1984; Ritzer & Goodman, 2004).
Dalam ruang-ruang inilah pihak yang mendominasi menggilas
seluruh elemen untuk mendapatkan akumulasi kapital.

Selain itu, ruang juga merupakan sarana pendisiplinan (lih.


Harvey, 1990: 5 yang mengambil contoh perkotaan sebagai
suatu ruang) yang tujuannya adalah berikbarnya panji-panji

12
narasi-narasi besar tersebut. Sementara bagaimana dengan
waktu? Menurut Pialang (2017), dimensi waktu perlu
di downsizing dan diringkas semakin kecil dan pendek sebab
dunia ini perlu dijadikan suatu sistem yang homogen.
Perbedaan, pluralitas, dan narasi-narasi kecil akan
teramalgamasi dan terapropriasi pada struktur yang lebih ajeg.
Apropriasi sendiri merupakan suatu proses dan yang namanya
proses membutuhkan waktu. Tujuan utama kapitalisme adalah
menyatukan seluruh dunia dalam satu mekanisme pasar yang
sama dan mengakuinya sebagai sistem tunggal. Begitulah sifat
utama narasi besar, dimana-mana mereka butuh diakui sebagai
sistem yang paling benar. Upaya penyatuan dunia ini disebut
sebagai globalisasi dan apa yang menghambat proses itu?
Yeps, waktu.

Untuk itu waktu perlu dihabisi bagaimanapun caranya.


Teknologi informasi dibentangkan untuk kemudian
menyeragamkan dunia ini semakin cepat dan cepat saja.
dengan adanya paradigma yang sama dimana-mana maka
sirkulasi komoditas dalam sirkuit kapital jelas saja semakin
lancar. Sistem ini juga akan membesar seiring dengan ruang-
ruang yang ia jelajahi. Semakin banyak ruang-ruang yang
dicaplok, semakin besar pula sistem ini dan semakin pula ia
kuat. Semakin cepat? Ya. Kecepatan merupakan syarat utama
dalam proyek besar globalisasi dan kapitalisme. Sebab kini
rasa-rasanya tidak ada yang bisa menahannya dan hanya
soal waktu yang menjadi penghalangnya, mengapa tidak
menyasar waktu sekalian dan membumihanguskannya? Lalu
bagaimana menghabisinya? Tentu dengan menggunakan
piranti kecepatan. Maka jangan heran bahwa kini seluruh
rasionalitas dan efisiensi kita ditujukan semata-mata untuk dan
ditumpukan semata-mata pada tujuan menambah kecepatan
hidup kita. Pada akhirnya, kawan lama kita, waktu yang
kronologis akan tumpas tandas di tangan saudara kembarnya

13
waktu yang kronoskopis. Sedikit penghiburan bagi mereka
yang masih punya semangat melawan. Jangan khawatir, kita
masih bisa menundanya. Dan dalam konteks waktu, penundaan
adalah kemenangan. Mari melambat bersama.

Techne (keterampilan)

Saya kembali bergelut dengan salah satu pertanyaan paling


menyebalkan yang acapkali saya temui: ‘apa dorongan utama
manusia untuk melakukan segala sesuatunya?’. Barangkali,
dalam Bahasa Inggris pertanyaan ini terdengar lebih elok:
‘what does make human does?’. Sedikit modifikasi dari
pertanyaan menyebalkan what does make human as it is?.
Pertanyaan tersebut menyebalkan karena saya menjumpai
berbagai ringkasan jawaban yang berbeda-beda. Psikologi,
ekonomi, antropologi, filsafat, hingga biologi tertarik terhadap
pertanyaan tersebut kemudian merumuskan berbagai pendapat
yang berbeda-beda. Lagi-lagi, seperti banyak yang sudah-
sudah, saya tidak mencoba mengelaborasi jawaban pertanyaan
tersebut namun saya coba menjadikannya sebagai salah satu
pijakan terhadap pembahasan pada tulisan ini. Salah. Saya akan
membahas satu perspektif terhadap rasionalitas saja. Mohon
maaf. Perspektif yang saya gunakan dalam tulisan ini adalah
premis bahwa manusia menggunakan rasionya sebagai dasar
dalam menuntun tindakannya. Premis tersebut secara langsung
membawa kita langsung kepada rasio sebagai dasar dari segala
sesuatunya.

Manusia, dalam berbagai teks klasik disebut sebagai animal


rationale. Salah satu hal mendasar yang membedakan manusia
dengan binatang adalah bahwa manusia adalah makhluk yang
berpikir (thinking) dan memiliki alasan (reasoning). Dalam
konsep ini, Marx menekankan bahwa dalam membedakan

14
manusia dengan hewan, manusia dapat merancang,
memperkirakan, dan mendesain sesuatu dengan berbagai
macam pertimbangan sebelum mengeksukisnya. Manusia tidak
bergerak hanya semata-mata dorongan insting dan reflex
belaka. Konsep tersebut yang perlu didekonstruksi untuk
menjawab permasalahan apa yang menjadi dasar pertimbangan
pemikiran manusia dalam mengeksekusi tindakannya? Pada
rentetan logika premis ini, saya pikir meletakan rasio sebagai
dasar segala sesuatu adalah sesuatu yang kontekstual. Maaf
sekali saya perlu memotong rantai premis tersebut dan
mendudukannya sebagai suatu perkara dogmatic karena jika
harus terus dielaborasi, energi saya habis, bapak dan ibu.

Pada masa modern atau selama babakan pencerahan,


rasionalitas manusia, menurut Weber, didasarkan pada satu
terma kunci: efisiensi. Saya suka terma ini karena acapkali
bergelut dengannya selama kuliah-kuliah. Efisiensi, merupakan
tujuan utama dalam ilmu perekayasaan dan telah menjadi
sebuah common sense. Terma tersebut muncul bukan dari
ruang kosong. Efisiensi, dalam hemat saya muncul dari
pemahaman bahwa apa yang dimiliki manusia pada dasarnya
terbatas namun harus digunakan untuk melayani keinginan
manusia yang pada dasarnya tidak terbatas. Efisiensi adalah
konsep lanjutan dari Homo Oeconomicus yang menyatakan
bahwa manusia sebagai makhluk berusaha memenuhi segala
keinginannya dengan upaya yang terbatas. Untuk menjalankan
tujuan tersebut, manusia perlu sekali mengkalkulasi,
memperkirakan, dan mendesain bagaimana segala yang mereka
miliki dapat memenuhi segala yang mereka inginkan. Efisiensi
tersebut menjadi dasar dari segal rasionalitas modern. Dalam
praksisnya, efisiensi harus diperlebar untuk mencakup seluruh
kegiatan manusia. Terma tersebut tidak hanya terbatas hanya
kepada rasio daya input yang masuk pada suatu mesin dan daya
keluarnya sesuai dengan batasan. Efisiensi berarti birokrasi,

15
efisiensi adalah rekayasa pengelolaan, efisiensi adalah politik.
kita tahu bahwa upaya masyarakat ditujukan semata-mata
untuk mempertahankan kelangsungan hidup individunya
dengan mengekstrak energi dari sumber daya yang ada di
sekitar mereka. Masyarakat yang memiliki berbagai macam
individu yang unik kemudian harus dapat mengatur strategi
sesuai dengan keunikan komponen individu mereka. Mereka
yang berbadan besar, mereka yang pintar menghitung, mereka
yang pintar menembak, mereka yang berbadan kecil masing-
masing memiliki keuntungan dan posisi yang spesifik untuk
mengekstrak energi tersebut dari sumber daya secara optimal.

Maka dilakukan lah pembagian kerja agar setiap anggota


masyarakat mampu mengekstrak sesuai dengan
kemampuannya. Tujuannya akhirnya kembali kepada efisiensi.
Irasionalitas Efisiensi kini begitu merasuk ke dalam segala
sendi kehidupan manusia. Ia menjadi begitu penting seiring
dengan semakin menipisnya daya dukung sumber daya yang
terus dieksploitasi untuk melayani nafsu keinginan manusia.
Perkara tersebut menjadi permasalahan mendasar dalam nyaris
seluruh cabang konservasi masa kini. Apa yang harus
dilakukan? Apakah terus mengekspansi sumber daya dengan
meningkatkan efisiensi? Atau mengerem nafsu keinginan
manusia untuk menahan laju eksploitasi? Terlepas dari
permasalahan tersebut, keduanya berujung kepada satu hal
yang pasti: irasionalitas.

Kini kita bisa menjejak lebih tinggi dan lebih jauh dari
semangat rasional yang didasarkan pada efisiensi seperti yang
dikampanyekan oleh modernitas kepada semangat pasca
modern yang bertumpu pada irasionalitas. Herbert Marcuse
menyatakan bahwa dalam memenuhi rasionalitas yang berbasis
efisiensi tersebut, manusia pada akhirnya berubah menjadi
makhluk irasional. Seluruh upaya rasional manusia akhirnya
justru berujung pada hasil-hasil irasional. Fenomena tersebut

16
umum sekali terjadi seperti bilamana kita mendedah suatu
fenomena, yang kita temui bukan lah penjelasan melainkan
kebingungan yang semakin menjadi-jadi. Mulailah dari
pertanyaan soal mengapa benda yang dilepas jatuh ke bawah
dan kita akan berakhir pada teori-teori maha aneh. Mulailah
dengan upaya rasional dengan mengikuti rasa keingintahuan
kita dan kita akan berakhir dalam kegelapan dan kebuta arahan.

Perjalanan mendekonstruksi ulang konsep ‘rasionalitas


akan berakhir pada irasionalitas’ membutuhkan energi yang
tidak sedikit. Semisal kita mengganti konsep rasional itu
dengan efisiensi maka bisa katakan bahwa upaya mendorong
efisiensi akan berujung kepada irasionalitas. Konsep tersebut
belum dapat saya temukan contohnya di dunia nyata. Sebab itu,
saya mencoba memahami rasionalitas sebagai upaya-upaya
mendasar dan pertimbangan mendasar manusia adalah
subsistensi. Dalam bentuk simplistiknya, rasionalitas manusia
untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan fisiologinya akan
menuntunnya kepada hal-hal abstrak. Persis seperti Piramida
Maslow, persis seperti kaitan antara infrastruktur dengan
suprastruktur. Untuk yang kedua, infrastruktur merupakan
domain material yang sifatnya rasional karena ia mampu
direkayasa untuk mendapatkan efisiensi. Sementara itu,
suprastruktur merupakan domain irasional karena terlepas dari
hal-hal diluar efisiensi. Sampai pada titik ini, saya masih
mencoba menemukan data-data untuk memfalsifikasi analogi
yang saya bangun. Saya masih mencoba membangun konsep
bagaimana mitos dan agama dapat membantu efisiensi atau
bagaimana menonton film dan bioskop berkait dengan
efisiensi. Selama hal-hal suprastruktur tersebut dapat ditarik
menjadi domain efisiensi maka selama itu pula manusia akan
menjadi animal rationale. Secara pribadi saya menolak konsep
tersebut karena menjadikan manusia menjadi entitas kering
yang terorientasi hanya kepada rasionalitas dan efisiensi

17
belaka. Permasalahan yang sama dapat dikaitkan juga dengan
bagaimana, katakan lah, aksi 212 yang seringkali dikatakan
irasional itu sebenarnya rasional juga karena berhubungan
dengan efisiensi? Mungkin saja konsep efisiensi bergeser
seiring dengan perkembangan teknologi dan meliarnya wacana
seiring dengan semakin gencarnya informasi dan semakin
murahnya pengetahuan. Bila memang demikian, maka efisiensi
apa yang tengah kita jalankan? Gila. Irasional. Saya sebal.

Dead cheat

Syahdan, tiga penyihir bersaudara hendak menyebrang


sebuah sungai. Sungai itu merupakan sungai yang berbahaya
dan telah menelan banyak nyawa mereka yang mencoba
menyebranginya. Karena itu, sungai itu dianggap berhantu.
Akan tetapi, dengan kekuatan yang tiga penyihir itu miliki,
mereka membangun sebuah jembatan untuk dapat menyebrang
ke sebelahnya. Tiba-tiba di tengah jembatan yang mereka
bangun, muncul sosok besar dan mengenakan tudung serta
jubbah berwarna hitam. Tak lain tak bukan, sosok tersebut
adalah kematian. Ia merasa marah karena tiga enyihir itu,
dengan kekuatan mereka, sanggup membuat jembatan dan
dapat menyebrang ke sisi sungai tanpa perlu menyerahkan
nyawa mereka. Kematian licik. Dalam kelicikan yang ia miliki,
ia mengubah amarahnya menjadi rasa takjub dan kagum
kepada tiga penyihir itu. Sebagai rasa kagumnya, ia berjanji
akan memberikan benda apapun yang mereka minta. Penyihir
pertama, sang kakak pertama, meminta tongkat sihir terkuat
yang pernah ada. Kematian membuatkannya dan
memberikannya kepadanya.

Kemudian berjalanlah penyihir pertama tersebut dengan


pongah dengan membawa tongkat sihir mahakuat tersebut.

18
Penyihir kedua meminta sebuah benda yang dapat
memberikannya kehidupan abadi. Kematian kemudian
membuatkannya batu bertuah yang menghasilkan cairan yang
mampu membuat seseorang muda kembali. Dengan menenteng
pemberian kematian itu, penyihir kedua melangkah menuju ke
seberang sungai. Tiba lah akhirnya penyihir ketiga, saudara
paling kecil untuk meminta benda apa yang paling dia
inginkan. Konon, saudara paling muda ini adalah orang yang
rendah hati. Dia meminta sebuah benda yang dapat
menyembunyikannya dari apapun di dunia ini, termasuk
kematian. Maka kemudian, kematian menyobek bagian
jubahnya dan memberikannya kepada penyihir ketiga.
Potongan narasi tersebut merupakan potongan cerita dari saga
Harry Potter yang sangat termahsyur itu. Narasi tersebut
muncul di bagian 7, Harry Potter and the Deadly Hallows,
yang sekaligus merupakan bagian penutup. Saya lupa
kelanjutan narasi tersebut, namun biar lah sedikit saya
bocorkan bahwa kemudian kedua penyihir pertama akhirnya
kembali didatangi kembali oleh kematian yang marah karena
gagal mengambil mereka di sungai tersebut. Hanya saudara
penyihir yang paling kecil, penyihir ketiga yang memiliki
kemampuan untuk bersembunyi dari kematian sehingga
kematian tidak dapat menemukannya untuk mengambilnya. Itu
lah inti dari postingan ini: menipu kematian. Untuk kesekian
kalinya saya tuliskan bahwa salah satu komponen utama, jika
ia bukan yang utama dan satu-satunya dalam kehidupan
manusia adalah kematian. Apapun yang Anda lakukan di
dalam hidup ini, entah itu latar belakangnya, cara Anda
menikmatinya, atau tujuannya, semata-mata, disadari atau
tidak, berhubungan dengan kematian. Kematian hadir dengan
kekuatan penggerak (driving forces) yang menyamai bahkan
melebihi insting seksualitas meskipun keduanya pada dasarnya
memiliki basis yang sama. Kematian berurusan dengan
keberadaan individu sedang seksualitas berurusan dengan

19
keberadaan kelompok atau komunitasnya. Manusia pasti, dan
ini merupakan salah satu sedikit dari preposisi yang
mengadung unsur kepastian didalamnya, menemui ajalnya,
cepat atau lambat. Premis tersebut yang harusnya menjadi
salah satu batang tubuh realitas yang ajeg (steady) dan tidak
berubah. Dalam menghadapi kematian, manusia menghadapi
ketakutan. Metafora tersebut diangkat sebagai upaya dalam
menyadari manusia bahwa kematian merupakan sesuatu yang
menakutkan namun dibaliknya, terdapat kemuliaan dan
keagungan yang hanya bisa dicapai melalui perbuatan-
perbuatan yang manusia lakukan selama hidupnya.

Metafora kehidupan setelah kematian merupakan gambaran


sastra terindah dimana digambarkan surga dan neraka sebagai
suatu lokasi geografis yang berisi berbagai ketakutan dan
kebahagiaan material manusia. Dan hanya melaui kematian,
manusia dapat memasukinya. Kekuatan kematian adalah
bahwa ia menyadarkan kita akan kesementaraan, bahwa tidak
ada yang abadi. Di dalam periode kesementaraan itu, selama
manusia hidup dan kembang kempis menarik nafas, manusia
diberi kesempatan sebesar-besarnya untuk melakukan apa yang
harus ia lakukan: mencari makna terhadap keberadaannya. Ada
yang melakukannya dengan berbuat baik dan membahagiakan
sesamanya, ada yang melakukannya dengan melibas dan
menyembelih manusia lainnya, ada yang menolak dunia ini dan
memilih berpaling kepada Sang Haqq, ada yang tidak peduli.
Apapun cara mereka menjalani kehidupan ini mereka dalam
petualangan untuk mencari makna.

Bahkan para absurdis dan nihilis yang konon menolak


adanya makna, mereka pun pernah terlibat dalam kegiatan
pencarian makna yang begitu mengasyikan itu hingga dalam
proses pencarian mereka, mereka menolaknya. Pendapat
tersebut dijabarkan oleh seorang eksistensialis nan melankolis
cum antropologis Ernst Becker dalam The Birth and Death of

20
Meaning (1971). Becker mengatakan bahwa ketakutan manusia
terhadap kematian adalah ketakutan yang maknawi, bukan
ketakutan yang badaniah. Berpijak dari pendapat tersebut,
maka kematian yang menakutkan, dalam kacamata Becker
adalah kematian simbolis. Dalam memanifestasikan kematian
simbolis tersebut, manusia menyusun bebagai perangkat yang
juga simbolis untuk merayakan kematian (Palgi &
Abramovitch, 1984). Selebrasi kematian tersebut termanifestasi
dalam berbagai ritual dan perayaan serta pernak-pernik
badaniah kebudayaan. Dalam berurusan dengan kematian yang
simbolis tersebut, manusia mengembangkan seperangkat alat
untuk menghadapi atau bahkan melawannya.

Manusia ingin hidup abadi sebab mereka tidak dapat


menerima konsep bahwa mereka, pada akhirnya akan
kehilangan makna dan simbol terhadap seluruh kehidupan ini.
Salah satu upaya menghadapinya adalah dengan
mengembangkan dunia kesehatan yang kemudian dikritik
dengan begitu elegan oleh Ivan Ilich lewat ‘Medical
Nemesis’nya (1975) yang menunjukan bagaimana dunia
kesehatan tidak menunjukan hasil yang setara dengan modal
dan upaya yang telah dilakukan. Dunia medis tidak dapat
memberikan manusia keabadian karena ia memiliki
keterbatasan inheren, begitu kira-kira premisnya. Baik, secara
badaniah kita tidak dapat mempertahankan jasad kita
katakanlah melebihi 150 tahun. Dalam 150 tahun kita akan
menghilang tak berbekas, masuk liang lahat dan berubah
menjadi pupuk lezat. Namun dunia terus ada dan berkembang
tanpa perlu ada kesadaran dan apparatus yang memaknainya.
Tidak terdengar buruk juga bagi saya pribadi, namun bagi
sebagian (besar) orang, hal tersebut tentu saja menimbulkan
persoalan tersendiri. Kalau tidak, kita tidak akan mendengar
harapan ‘panjang umur’ setiap kali seseorang berulang tahun.
Maka demikian, perlu ada cara lain untuk mengalahkan

21
kematian. Sheldon Solomon dan kawan-kawannya yang baik
hati mengkompilasinya dan dituangkan dalam buku mereka:
‘The Worm at The Core’ (2015) dan mengelompokannya
menjadi keabadian literal (literal immortality) dan keabadian
simbolis (symbolic immortality) entah karena mereka seorang
psikolog atau mereka memang tidak menemukan ada solusi
untuk menuju keabadian badaniah (physical immortality)
sehingga mereka tidak mengkategorikannya. Keabadian literal
adalah kepercayaan bahwa pada dasarnya ada bagian dri
seseorang yang tidak akan mati. Kita begitu akrab dengan
konsep ini bahwa setelah kematian, jiwa kita akan melayang
entah dan keudian memasuki sebuah alam lain yang tidak
pernah dapat dibuktikan secara rasional namun memiliki
kekuatan keyakinan yang sangat besar: alam baka. Jiwa kita
diyakini tidak akan menghilang setelah kematian dan akan
menemukan ganjaran atau balasan sesuai dengan apa yang kita
lakukan semasa hidup, meskipun dengan gambaran yang
sangat badaniah. Beberapa orang menganggapnya serius. Para
firaun harus mengerahkan ribuan orang untuk membuatkan
makam dan mempersiapkan kematiannya agar di kehidupan
setelah kematian nanti ia tidak kerepotan. Cerita lain berasal
dari Kaisar Shi Huang Ti yang harus membuat pasukan
terracotta supaya dia merasa aman setelah kematian. Semua itu
merupakan manifestasi keabadian literal yang meyakini bahwa
setelah kematian badaniah, jiwa kita masih ada di suatu tempat
sana. Keabadian simbolis berkaitan dengan kuasa dan pengaruh
kita di dunia. Barangkali ungkapan Pram bahwa ‘menulis
adalah bekerja untuk keabadian’ adalah manifestasi dari
keabadian simbolis. Dengan meninggalkan pengaruh (legacy)
ita dapat memastikan bahwa kita tetap ‘ada’ dan hadir di dunia
yang harus dimaknai ini. Pada akhirnya, kita hanya bisa
menipu kematian lewat upaya-upaya simbolis. Meskipun
demikian, bagi Anda yang pernah menonton film Jhonny Depp
yang berjudul ‘Transendence’ Anda dapat memiliki gambaran

22
bagaimana manusia di masa depan akan sanggup mengalahkan
kematian dengan hanya mengupload nyawa kita. Bukankah
nyawa kita hanya sebatas impuls-impuls listrik dalam jaringan
korteks saraf-saraf kita? Sama seperti konsep data di ilmu
computer. Ah, saya jadi bodoh begini.

Berdagang.

Tampaknya memang hidup memang tengah begitu datarnya.


Banyak, terlalu banyak kebencian, keresahan, kekhawatiran,
dan kekecewaan yang beredar di sekeliling. Segala hal
menyebalkan itu yang memburamkan indera saya, memutus
hubungan saya dengan dia yang maha asik di sana.
Menyebalkan karena kini saya sadar bahwa saya sudah tidak
selucu kemarin dan semakin tidak lucu saja nampaknya. Sebab
itu, ada gairah yang perlu kembali saya perah, ada vitalitas
yang perlu saya kembali munculkan. Kembali ke titik di masa
lalu jelas bukan solusi atau jawaban, namun mengulanginya
terus menerus merupakan suatu yang saya pikir perlu kembali
diperlukan. Dan itu lah, saya putuskan untuk mengisi ini.
Sudah sejauh mana saya melangkah semenjak tulisan terakhir?
Tidak jauh saya rasa. ada beberapa bacaan mengenai wacana
postmodernitas yang tengah kembali saya geluti dan tambahan
beberapa suplemen wacana ekofeminisme yang semakin saya
gali semakin tidak saya pahami itu. Namun, yang paling
menyenangkan adalah membaca salah satu karya Jared
Diamond: “The World until Yesterday”. Buku yang sangat
menggembirakan karena bisa mematahkan kesombongan
peradaban dan angkuhnya modernitas. Bahwa manusia-
manusia manufaktur modern masa kini yang berjejal-jejal di
perkotaan begitu terputus dengan alam semesta dan lingkungan
sekitarnya hingga saya pun kurang meyakini mereka dapat
bertahan apabila disandingkan dengan kekuatan alam. Saya

23
pernah mengalaminya ketika di tepi hutan sungai dan harus
membuat pondokan dari material kayu yang ada di sekitaran.
Memalukan, sungguh memalukan. Fenomena ini apa yang
disebut sebagai alienasi. Tapi bukan alienasi an sich yang mau
saya bahas.

Well, in fact, tidak ada yang sebegitu inginnya saya bahas,


kali ini saya hanya mau menulis sesuka-suka saya setelah
begitu lama tidak bergelut dengan kata-kata. Keterputusan
dengan alam itu yang tengah begitu kuat saya rasakan. Dasar
kesadarannya adalah bahwa apabila ketika saya dilepaskan ke
tengah-tengah kekuatan alam, saya tidak begitu yakin dapat
bertahan hidup. Ini juga yang menjadi fenomena bahwa nyaris
setiap orang yang hilang atau tersesat di belantara rimba tidak
dapat bertahan hidup dalam waktu lama. Keterputusankah itu?
Atau saya yang hanya berpikir terlalu jauh? Entah lah. Hal
tersebut begitu mengganggu dalam beberapa waktu dalam
bentuk ketidakmampuan saya dalam mengolah material dengan
menggunakan teknologi yang ada. Baik lah latar belakang saya
adalah generasi milenial kelas menengah ngehek yang ditanam
di dalam lingkungan dengan sekuritas level tinggi yang
menghasilkan keluaran berupa manusia manja. Manja dalam
artian, saya tidak dapat memenuhi kebutuhan atau basis-basis
material saya sendiri. Beberapa kesempatan saya dituntut
menampilkan performa untuk bertahan hidup dan yang bisa
saya lakukan hanya terpelongo menunggu maut datang
menjemput.

Sementara rekan-rekan saya yang lain mampu belajar


begitu cepatnya untuk mengenali materi, berkawan dengan
teknologi hingga menjadikannya sebagai perpanjangan
tubuhnya dan menghasilkan artefak baru yang pastinya dapat
memperpanjang usia mereka, jauh melebihi usia saya di
keadaan yang sama. Hah, getir. Basis material tersebut berarti
makanan, pakaian, dan bangunan. Mencari dan mengolah

24
bahan makanan (memasak), membuat produk pakaian
(menjahit), hingga mengolah material alam (nukang) adalah
hal-hal dimana saya berubah menjadi pecundang. Tapi apakah
itu salah? Ya tentu saja ketika kamu harus berhadapan kepada
pemenuhan-pemenuhan kebutuhan. Namun kita toh bisa
meminta orang lain untuk menyediakan bahan tersebut untuk
kita bukan? Tidak semua hal harus dipenuhi sendiri? Hoho,
berangkat dari situ dan berakhir di kapitalisme.

Kapitalisme, neoliberalisme, dan seluruh ideologi yang


bertumpu pada semangat membeli itu, dalam lingkaran
pergaulan saya, adalah produk titisan dajjal yang harus
diluluhlantakkan dengan segala cara yang ada. Bila perlu
menggunakan kekuatan koersi atau kontak fisik, karena para
borjuis-kapitalis tidak berkeringat dan melakukan aktivitas
fisik sebanyak proletar itu. Di atas kertas, adu jotos antara
proletar dan borjuis jelas dimenangkan oleh proletar maka
proletar mencoba untuk merumuskan perlawanan mereka
dengan jalan revolusi! Dan dimana bila itu terjadi, saya pasti
terkapar di jalanan aspal ketika mencoba melarikan diri dengan
motor saya, bisa kena batu atau jotos kamera perjuangan. Maka
demikian, para kapitalis ini mencoba membuat jalan yang lebih
cantik karena tahu adu jotos dan jogging dengan proletar hanya
menjadi ladang pembantaian semata, no chance to win, no way
to run. Solusinya: ciptakan lah perdagangan. Perdagangan,
saya pikir menjadi salah satu terobosan terbaik manusia dalam
membangun perdamaian. Kekuatan ekonomi kini menjadi
penentu kekuasaan setelah sebelumnya kekuasaan
dimanifestasikan dari kucuran darah atau jumlah mayat yang
rebah di tanah. Kini kekuasaan ditentukan dengan banyaknya
uang yang bisa kita berikan ketika bantingan buat beli
gorengan atau hidangan berbuka puasa. Kekuasaan, termasuk
didalamnya kebanggaan (pride) dan identitas dimasukan ke
dalam domain-domain investasi dan kekuatan kepemilikan

25
pribadi yang berkembang hingga tahap paling absurdnya:
finansial. Begitu lah perdagangan kemudian membuat dunia
menjadi sangat rumit.

Apabila sebelumnya segala masalah bisa diselesaikan


dengan saling meghunus senjata, kini manusia lebih suka
bernegosiasi atau adu licik dan tusuk dari belakang. Bukan kah
itu sangat menyulitkan persoalan? Mungkin karena kesadarn
manusia yang membedakannya dari binatang sehingga dalam
melakukan apapun mereka harus tampil berbeda dan lebih baik
dari hewan. Padahal toh, yang menganggap tindakan manusia
lebih terhormat dari binatang hanya manusia saja. Apa seekor
ayam peduli apabila ada manusia yang memperkosa anak
kambing? Dari tiga aktor di atas hanya manusia yang
terganggu. Di sini saya separo merasa bersyukur, separonya
lagi bingung. Sudah lah, mari kembali menikmati keterputusan
ini.

Ranah

kali ini ada satu pertanyaan atau perumusan masalah


yang tetiba menyeruak. Pertanyaan tersebut adalah ‘siapa yang
paling punya kepentingan atas diri saya?’. Mengesankan
bukan? Bahwa saya meyakini tidak ada yang berasal dari ruang
hampa, maka permasalahan tersebut barang tentu ada
pemicunya. Ya, salah satu pemicunya adalah upaya saya dalam
memahami pendekatan Bourdieu. Pemikirannya, untuk saat ini,
saya anggap yang paling mengesankan karena ia dapat
mempertemukan dan menegosiasikan dua pendekatan yang
penuh kemelut: voluntarisme-eksistensialisme dan
strukturalisme. Kedua paham tersebut berada pada kutub yang
antagonis dan saling memberikan keberatan satu sama lain.

26
Di satu sisi, makhluk manusia dianggap sebagai produk
kebebasannya, segala motivasi, preferensi, dan perilaku
manusia adalah hasil pemikirannya sendiri. Di sisi lain,
makhluk makhluk manusia dianggap sebagai produk-produk
struktur masyarakat dan makhluk manusia lain di
sekelilingnya. Perdebatan ini begitu fundametal dan mengakar.
Dan, puf! datanglah Bourdieu dengan konsep mahaeloknya:
habitus. Namun, sama seperti konsep eksistensiaisme
Heidegger, konsep ini sulit dipahami. Untuk itu, daripada saya
menceritakan konsep yang tidak-tidak, maka saya ambil
pemikiran Bourdieu yang relatif lebih sederhana: konsep arena.
Terminologinya berbeda-beda, bisa arena atau ranah atau field,
tergantung buku mana dan siapa yang menterjemahkannya.

Namun dalam tulisan saya, saya lebih suka menggunakan


kata arena karena terkesan lebih jantan. Arena adalah konsep
yang cukup penting karena dalam arena, seperti arena yang
sebenarya, terjadi kontestasi. Siapa yang berkontestasi? Para
aktor dan pemangku kepentingan. Apa yang dikontestasikan?
Kapital. Di dalam suatu arena, terdapat aktor-aktor yang
menginvestasikan kapitalnya untuk memperebutkan kapital
lainnya. Oh, sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu
memahami bahwa konsep kapital Bourdieu berbeda dengan
kapital dalam pemahaman Marx. Dalam terminologi Bourdieu,
kapital terdiri atas beberapa jenis: sosial, kultural, ekonomik,
dan simbolik. Para aktor di dalam arena tertentu kemudian
saling berlomba menginvestigasikan kapital tersebut untuk
mendapatkan kapital yang lebih besar atau mengubah satu jenis
kapital dengan kapital lainnya. Katakan lah, dalam arena
pendidikan, kita menukarkan kapital ekonomik kita berupa
uang untuk menjadi gelar sarjana yang menjadi kapital sosial
atau kapital kultural kita. Atau katakan lah dalam arena
jalanan, seorang preman menggunakan kapital sosialnya untuk
memalak dan menjadi kapital ekonomik berupa uang. Begitu

27
lah kira-kira. Menjadi menarik ketika kita memandang diri kita
atau setiap makhluk manusia adalah masing-masing arena.
Saya, Anda, dan 7 milyar manusia lain merupakan arena
tempat aktor-aktor meletakan investasi dan memanen investasi.
Sebagai arena kita menjadi tempat pertarungan berbagai pihak.
Sebagai contoh: orang tua, pemuka agama, dosen, pacar, istri,
hingga peer group.

Masing-masing punya kepentingan di dalam diri kita. Apa


itu kepentingannya? Setiap kapital yang ditanamkan dan
kapital yang akan mereka tuai. Dalam kondisi riil, yang paling
banyak berinvestasi dalam diri kita adalah orang tua kita.
Beberapa mungkin merasakan Tuhan yang berinvestasi paling
banyak. Well, intinya, mereka yang menyediakan basis atau
infrastruktur bagi hidup kita adalah mereka yang paling punya
kepentingan disini. Saya sebut punya kepentingan karena selain
mereka harus menuai investasi kapital mereka, mereka juga
penting dalam artian krusial dan esensial. Hasil dari
kepentingan tersebut adalah relasi kuasa yang tarik ulur dan
saling bernegosiasi dalam kehidupan kita sebagai arena. Maka
sebenarnya mudah saja memahami arah kehidupan kita bagi
Anda yang tengah limbung diterpa quarter life crisis misalnya.
Petakan lah aktor-aktor apa saja yang ada di hidup kita, lalu
inventarisasi persepsi dan fantasi mereka terhadap diri kita, itu
penggunaan struktur. Tapi jangan lupakan, inventarisasi juga
persepsi dan fantasi kita terhadap para pemangku kepentingan
itu. Cari irisannya, lalu melenggang lah dengan anggun.
Tambahkan sedikit bumbu pragmatisme dan voila! Udah ah,
saya mengantuk.

28
Kausalitas

Saya mulai mengamalkan adagium soal kembali kepada


sesuatu yang ada sehari-hari, banalitas sebagai titik tolak dari
tulisan saya ini. Lebih baik melihat sesuatu yang memang
secara ada dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai
realitas yang lebih tinggi dibanding sebaliknya. Gerakan
memulai dari bawah ini saya pikir akan menjadi warna yang
terus saya coba pertahankan. Maka, dalam kesempatan ini,
saya hendak membicarakan soal kausalitas. Kausalitas
merupakan fenomena asasi yang mendasari seluruh proses
yang ada di semesta. Dalam kehidupan sehari-hari kita
mengalami milyaran rentetan kausalitas dalam berbagai
dimensi dan satuan waktu. Begitu terbiasanya kita dengan
kausalitas ini sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang
taken for granted. Sama taken for grantednya seperti
pertanyaan-pertanyaan eksistensial ataupun struktur-sturktur
sosial yang kita alami. Dalam semesta bahasa (sphere of
language), gejala kausalitas dapat dilihat dalam penggunaan
frase “na na na na soalnya na na na na” atau “blab la bla karena
bla blab la” atau “uvuvwevweve onyetenyevwe
ugwembubwem ossas makanya uvuvwevweve onyetenyevwe
ugwembubwem ossas”. Tak ada fenomena dan peristiwa di
kolong langit ini yang tidak disebabkan oleh rentetan
kausalitas, sekali lagi, tidak ada. Sungguh? Tidak semuanya.

Dalam filsafat teologi terdapat bentrokan besar antara


golongan kreasionis dan golongan emanasi untuk menjawab
darimana semua rentetan kausalitas ini dimulai. Kita bisa
mensimplifikasinya lewat sang Prima Causa atau sang
penyebab pertama yang tak lain adalah yang teman-teman
sebut sebagai Tuhan. Lantas, dilemanya menjadi seru ketika
pertanyaan berikutnya lahir: darimana Tuhan berasal? Ada
yang menatakan sebagai creatio ex nihilio, penciptaan dari
ketiadaan dan ada yang mengatakan bahwa bukan creatio ex

29
nihilio melainkan emanasi yang berlaku. Pusying pala Barbie,
baik kita simpan dulu perdebatan maha abadi ini ke dalam
kotak bersama dengan kucing Schroedinger dan kita buka nanti
setelah benar-benar memahami prinsip-prinsip fisika kuantum.
Deal. Lewat paragraph diatas, saya mau menyatakan bahwa
prinsip kausalitas dapat diterima dengan baik sesuai dengan
disiplin positivism logis yang ketat dan sok disiplin itu lewat
proses falsifikasi walau serampangan.

Bagaimanapun, saya bisa berpendapat gejala ini diterima,


cihuy, mari kita lanjut. Kausalitas merupakan interaksi dan
interrelasi antara dua perisitiwa atau dua fenomena. Sang
penyebab dan efek dari penyebab tersebut. Interaksi tersebut
berlangsung dalam mata rantai maha berkepanjangan dan ada
sejauh pikiran manusia bisa mengkonstruksi bila Anda seorang
konstruktivis atau sejauh alam semesta ini ada bila Anda
seorang realis. Kausalitas berada dalam seluruh jagat dan
semesta, mulai dari jagat sehari-hari hingga jagat idea dan ilmu
pengetahuan. Dalam melakukan pengamatan terhadap
kausalitas kita dapat melihat dua fenomena yakni fenomena
interaksi antar dua peristiwa dan efek yang ditimbulkan
olehnya. Keduanya, yang terikat dalam suatu ikatan kausalitas
kerenanya interdependen. Sang efek terikat pada sang
penyebab. Apa itu efeknya tergantung pada berbagai kualitas
inheren yang bebas nilai dan pada maksud yang penuh intensi
dari objek yang berkesadaran. Kita terpecah lagi disini bagi
Anda yang seorang voluntaris dan yang determinis.

Ini bagian menariknya: eksistensi interdependental.


Pernahkah Anda merasa bahwa kehadiran Anda atau segala
yang bisa Anda cerna dalam kesadaran Anda merupakan
sesuatu yang sangat mencurigakan? Dalam bentuk perumusan
masalahnya, Anda akan dihadapkan pada “where the hell all of
these came from?!” dan ya, hal tersebut membuat frustasi dan
termasuk ke dalam kegalauan eksistensial Anda yang

30
sebenarnya tak seberapa itu. Dalam merasionalisasi sesuatu
untuk membuat Anda tetap berada dalam posisi berkuasa,
genealogi atau asal muasal sesuatu merupakan variabel yang
hakiki. Ini yang berbuah pertanyaan yang menurut saya sangat
mendasar: apa ini dan darimana ini. Keduanya terangkum
dalam semesta yang berbeda namun berkelindan membentuk
pemahaman akan realitas dan rasionalisasi di dalamnya, ya
termasuk kegalauan eksistensial Anda yang tak seberapa itu.
Kita bisa merunutnya. Salah satu pendekatan yang dapat Anda
lakukan adalah progressive contextualization yang dicetuskan
dengan jenius oleh Andrew Vayda (1983). Saya mendapatkan
metode ini dalam diskusi Lingkungan Sosial Budaya dan jujur
saja, metode ini mengerikan.

Dalam memandang fenomena lingkungan budaya,


pengamat diwaibkan untuk bertanya ‘mengapa’ hingga hayat
tak lagi dikandung badan, sak modar e. Simple yet deadly.
Dengan melakukan pendekatan ini, Anda akan terombang-
ambing dan sampai kepada hal-hal yang tidak akan duga
sebelumnya. Selamat mencoba. Kegagalan metode ini adalah
ketika para pengamat tidak tahan dan tidak kuat dalam merunut
pertanyaan-pertanyaan mengapa hingga ribuan kali itu. Mereka
bisa berhenti sejenak dan beribadah, mengingat Tuhannya atau
mereka bisa tidak berhenti sama sekali dan membunuh
Tuhannya. Dengan bahasa lain, ada yang membuat pertanyaan
dan upaya progresif tersebut berhenti di satu titik. Titik itu
yang disebut sebagai ultima causa atau prima causa. Perhentian
manusia dalam rantai kausalitas ini yang menjadi titik penting.
Manusia sebagai proses yang terus menjadi berarti manusia
terus terseret dalam arus kausalitas. Manusia juga, sebagai
makhluk yang memiliki kesadaran dan kehendak secara
simultan menjadi penyebab dan efek dari yang ditimbulkan
olehnya. Dan di dalam pemberhentian tersebut manusia
menemukan kebenaran sejatinya. Bilamana itu? Ketika

31
manusia mati. Manusia yang merasa mendapatkan jawaban dan
penyebab dari rantai kausalitas termasuk segala-gala penyebab
dari kemahakompleksitas tersebut adalah manusia yang mati.
Dan sebagai manusia yang mati, ga usah ditemenin yuk.

Perang.

Sejenak, saya ingin melarikan diri dari dunia nyata ke


dunia literasi. Entah bagaimana, menulis suatu hal lalu
membacanya lagi menenangkan saya akhir-akhir ini. Saya
pernah bilang kalau blog ini menjadi sarana berdialog dengan
diri saya dan itu yang tengah saya manfaatkan kini. Satu topic
yang ingin saya tuliskan adalah: perang. Si vis pacem para
bellum –if you want peace, prepare for war. Saya ingat betul
pernah menuliskan itu di blog ini. Sembari mengangkat konsep
masyarakat ‘bellum omnium contra omnes’nya Thomas
Hobbes. Saya mendedah bagaimana perang, konflik menyertai
kita sebagai manusia. Well, di postingan ini saya ingin
mengelaborasinya lebih lanjut bahwa perang secara material
benar-benar menyertai kita secara fisik. Menurut saya bahkan,
peradaban manusia dan segala yang menyertainya, baik
sinkronik maupun diakronik menyelipkan peperangan
dibaliknya.

Secara garis besar, perang berevolusi seiring dengan


kebudayaan dan peradaban manusia. kita bisa melihat
bagaimana bentuk-bentuk peperangan, tujuan, dan tekniknya
berubah seiring perubahan yang dialami manusia baik dalam
kerangka tempat dan waktu. Cara dan tujuan manusia
berperang berbeda di era pemburu-pengumpul dengan era post-
industrial. Begitu pun berbeda antara timur tengah dengan
suku aborigin di Australia. Perbedaan itu menarik. Selain
menunjukan kepada kita perbedaan karakteristik manusia di

32
suatu tempat, perang juga menjadi penyebab terjadinya
berbagai macam peristiwa besar. Dari segi romantika, perang
merupakan aspek yang bersinggungan sangat dekat dengan
tragedy, kehancuran, dan kematian. Ia berdiri dia batas
kegamangan antara dunia faktual yang berisi statistik,
peristiwa, dan kenyataan yang hambar serta tidak berasa dan
dunia tragedy yang penuh jerit pilu, rasa sakit, duka, dan
trauma. Sifat dualitas ini menjadikan perang dan bencana
memiliki sindrom bipolar. Oleh sebab itu, secara realitas,
perang, bencana dan tragedi sesungguhnya topic yang hangat
untuk dibedah. Namun, dibanding bencana, perang lebih
menarik untuk dikaji.

Perang merupakan bentuk aktif manusia. Ia adalah interaksi


dan relasi yang berlangsung antara manusia. Oleh sebab itu,
perang memiliki latar belakang dan dampak yang lebih besar
dan mengubah peradaban lebih banyak dan lebih radikal
dibanding peristiwa lainnya. Perang menggeser peta politik,
mengubah komposisi penduduk dunia, menyebabkan diaspora,
dan melahirkan relasi kekuatan baru secara ekonomi politik.
Sepanjang pengetahuan saya belum ada proses yang memiliki
kapasitas sebesar itu dalam hal mengubah dunia. Perang juga
menjadi sarana dan fondasi untuk beberapa penemuan besar
yang ada di dunia. Dalam dunia idealis, perang hadir dalam
berbagai macam symbol di berbagai mitologi. Dua yang paling
besar tentu saja Ragnarok dan Baratayudha. Ragnarok berasal
dari mitologi Nordik yang menggambarkan akhir dari dunia,
sedangkan baratayudha lahir dari mahabarata.

Keduanya dijadikan oleh masyarakat di tempatnya tinggal


sebagai mitos yang berperan penting dalam kehidupan mereka.
Dalam dunia islam kita mengenal beberapa perang seperti
perang badar, perang uhud, hingga perang salib. Peperangan
juga memiliki peran yang sangat penting dalam dunia islam,
katakanlah dengan dikenalnya konsep jihad atau mati syahid.

33
Cina mempunyai legenda tiga kerajaan Sam Kok salah satu
buku filsafat sangat dahsyat, ditulis Sun Tzu dengan judul “The
Art of War”. Dalam masyarakat dengan cakupan yang lebih
tipis, berbagai macam unsur kebudayaan tercipta sebagai
representasi peperangan. Masyarakat tempatan pra-modern
memiliki berbagai macam symbol yang berhubungan dengan
peperangan. Tarian, nyanyian, teater, hingga berbagai totem
mempunyai kaitan dengan peperangan. Selain itu, perang juga
menentukan struktur masyarakat dalam masyarakat tempatan
pra-modern tersebut. Pemimpin, sang chief umum ditentukan
dri sang pemimpin perang.

Itu juga sebabnya, dalam beberapa kasus, perang menjadi


alah satu proses inisiasi yang menentukan jabatan dan psosisi
seseorang salam suatus truktur masyarakat. Secara singkat,
saya hendak menguraikan bagaimana perang berjalan dari
masa ke masa dan berbagai latar belakang yang menyertainya.
Marvin Harris, secara singkat menyederhanakan perang ke
dalam 4 konteks. Konteks tersebut adalah: (tulisan saya kaku
banget, kayak bikin tugas kuliah, ahaha, taek) perang sebagai
solidaritas, perang sebagai permainan, perang sebagai sifat
alamiah manusia (human nature, terjemahan bebasnya jelek
banget –ed.), dan perang sebagai politik. Saya suka pembagian
ini. dengan melihat konteks-konteks tersebut, dapat dilihat juga
latar belakang politik ekonomi, ekonomi moral, dan historis
yang ada di baliknya. Peran untuk (atau sebagai) solidaritas
merupakan tipe perang yang berguna untuk membangun
identitas. Sesuai kerangka kerja utama Durkheim, dari
solidaritas kita dapat melihat struktur yang membentuk
masyarakat dan dari struktur yang membentuk masyarakat kita
dapat melihat apa yang membentuk identitas individu. Intinya,
solidaritas membentuk identitas.

Perang untuk permainan. Permainan..? Kalau Anda


pembaca adalah pria maka Anda akan tahu bahwa separo isi

34
otak Anda adalah soal bersenang-senang. Well, ketika tidak
ada hiburan atau pekerjaan yang menghibur, mungkin Anda
bisa iseng-iseng ke desa tetangga lalu mulai memanahnya
dengan api hingga berhamburan lah orang-orang di desa
tersebut dan mulai lah Anda beradu pedang. Nonsense? Pada
awalnya iya. Namun ketahuilah bahwa banyak sekali perang
yang berawal dari alasan yang sama tidak rasionalnya seperti
mencari permainan. Manusia, untuk beberapa kasus bersifat
fetis dan senang sekali mendapatkan unexplained pleasure.
Biarpun, pada dasarnya pleasure adalah tidak terjelaskan.
(konteks apa ini? ga ada penjelasannya sama sekali). Perang
sebagai sifat alamiah manusia. Manusia, seperti makhluk
lainnya memiliki insting pembunuh. Separo berasal dari
semangat seleksi alam separo lagi berasal dari fetisisme dan
unexplained pleasure. Saya punya banyak teman yang punya
bakat destruktif. Umumnya, secara psikologis, sifat destruktif
manusia berasal dari kebosanan dan dorongan dari dalam diri
yang tidak tersalurkan.

Sampai pada titik ini, kita mesti menyadari bahwa


penjelasan konteks diatas sangat irasional. Bagaimana alasan
yang kedengarannya sangat sepele seperti bosan atau ada emosi
yang tidak tersalurkan memicu perang? Jawabannya adalah,
realitas tidak semudah saat ini. Dengan berbagai instrumen,
manusia modern bisa menciptakan berbagai macam realitas.
Anda tidak perlu mengambil pistol sungguhan dan merampok
mobil di lampu merah; cukuplah Anda bermain Grand Theft
Auto. Anda tidak perlu bergabung dengan US Navy untuk
merasakan latihannya, cukup lah menonton atau browsing di
internet untuk mengetahuinya. Kawan, saudara-saudara kita
dulu tidak punya hidup semanis itu. Dorongan kecil insting
membunuh masa kini yang bisa diselesaikan dengan bermain
video game atau konseling dengan psikolog Anda tidak lah
menjadi fasilitas yang bisa dinikmati leluhur kita. Semangat

35
yang mereka anut ketika bosa atau mati gaya adalah benar-
benar melakukan daya perusakan. Hal tersebut yang memicu
begitu mudahnya skala suatu kejadian terekskalasi.
Rasionalisasi kita menuntut kalkulasi untung-rugi, itu
primordial.

Maka, saya pikir konteks keempat menjadi penjelasan


yang manusia modern rasa paling rasional karena sesuai
dengan konteks ekonomi-politiknya: perang sebagai alat
politik. Semboyan pencerahan macam cogito ergo sum atau
sapere aude jelas saja sudah using dan tenggelam oleh status-
status manis Mario Teguh atau Tere Liye, tapi ketahuilah untuk
mengkonstruksi semboyan tersebut, dibutuhkan kerangak
filosofis yang bukan ain njelimetnya. Hal tersebut sebenarnya
bisa dirangkum dalam satu terminology kecil saja: identitas.
Identitas menjadi titik tolak dari seluruh praktis sosial yang kita
lakukan. Dalam konteks perang sebagai politik, konflik yang
terjadi selain untuk memperebutkan mode of subsistence adalah
sebagai penegasan identitas. Begitulah yang terjadi, perang dari
masa ke masa berevolusi dari perang untuk memperebutkan
mode of subsistence menjadi perang untuk menegakkan
identitasnya. Mengapa? Saya pikir, sebagai ulasan
sederhananya, mode of subsistence sudah bisa diatasi dengan
kemajuan teknologi.

Hal tersebut menjadi dasar utama ekologi promotean yang


meyakini bahwa bencana demografi maltusian tidak akan
terjadi karena manusia akan mengembangkan teknologi untuk
melampaui batas subsisten. Perdebatan ini berlangsung selama
2 abad terakhir dan menghasilkan analisis paling tajam
mengenai kondisi global mulai dari analisis Paul Ehlrich,
Gareth Hardin, hingga Club of Rome. Itu lah yang menjadi inti
utamanya politik identitas dan identitas politik. Tak salah kalau
Abraham Maslow menyusun skema kebutuhan manusia 5
tingkat dan menjadikan self actualization sebagai kebutuhan

36
yang paling tinggi. Identitas menjadi kebutuhan yang harus
dipenuhi sebagai mode of self-actualization. Itu sebabnya,
Hitler dan Mussolini bernafsu sekali menegakan Third Reich
dan kejayaan romawi kuno. Dua perang besar terakhir
merupakan perang yang lebih didasarkan kepada identitas dan
semangat chauvinistic. Berbeda dengan perang ketika abad 18
yang isinya adalah perebutan Negara jajahan. Berbeda dengan
perang 18 abad sebelumnya yang isinya adalah perebutan mode
of subsistence.

Intermezzo

saya mau bercerita sedikit saja soal apa yang menjadi


pemikiran saya barusan. Saya mau berdialog dengan diri saya,
itulah fungsi tulisan, saya berdialog dengan diri saya hari ini
dan hari saya esok juga dapat berdialog kembali dengan diri
saya di hari ini. Tulisan ini adalah jembatan yang
menghubungkan diri saya hari ini dan besok. Ini adalah tentang
krisis kebebasan, sekali lagi, anathema setelah kelulusan ketika
dihadapkan kepada pilihan-pilihan dan karenanya saya tahu
saya bebas. Ada kompleksitas yang seharusnya dipecah-pecah
dan diurai satu persatu, itu akan, dan itu pasti. Namun
gabungan dari parsialitas tersebut satu persatu meletup dan
salah satunya terangkum lewat pertanyaan berikut: kepada
siapa ilmu pengetahuan yang saya punya saya berikan? Kepada
agama? Negara? diri saya sendiri? masyarakat? kaum kapital?
Teman-teman saya mudah menjawab hal tersebut, perhatikan
saya lembar persembahan setiap skripsi yang ada di pakuan,
semisal, semua akan mempersembahkan skripsi tersebut untuk
orang tua mereka yang pertama. Yah, skripsi, monumen
penelitian dan pendayagunaan ilmu pengetahuan bagi suatu
insan akademis, mereka persembahkan untuk orang tua
mereka.

37
Apa sebab? saya tidak tahu, mungkin upaya mengucapkan
terima kasih, ungkapan syukur, atau rasa hormat mereka.
Apapun alasannya, hal tersebut adalah hal yang mutlak untuk
dihormati, tidak bisa tidak. Lantas saya dengan sangat kurang
ajar bertanya, tepatkah demikian? Krisis persembahan ilmu
pengetahuan dapat berakibat dengan eksploitasi atau
penyalahdunaan ilmu pengetahuan itu sendiri. Masih segar di
ingatan ketika kasus Rembang banyak sekali pihak menuduh
seorang doktor Geografi, tidak memihakkan ilmu
pengetahuannya kepada rakyat kecil alih-alih ke kapital. Bagi
saya, itulah salah satu contoh krisis pembakitan ilmu
pengetahuan. Tantangan tak berhent sampai disitu. Salah satu
gawean yang tengah saya jalani kini menjadi ring tinju, ajang
baku hantam ilmu pengetahuan dengan fenomena yang nyata.
Simpel, ini masalah pengangkatan air saja, tapi di tataran
konseptual, ini merupakan Ragnarok antara kepentingan dan
posisi ilmu pengetahuan yang dalam konteks saya, adalah
seorang sarjana. Dan dalam konteks dunia nyata, sarjana adalah
pelayan kapital yang paling setia. Kepada siapa ilmu itu
dibaktikan memang akhirnya menjadi pilihan dan dalam kasus
ini, saya harus memilih benar-benar kepada siapa. But, this is
all joke, isn’t it?.

Coverfieldland (arena penutup)

Ketika kemarin saya naik grab dari kostan untuk menuju ke


Pakuan, ada perbincangan dengan supirnya secara
kebetulannya, kami saling mengenal. Pembicaraan bergulir
seperti biasa, soal daily or slice of life, you know, stuffs like
that. Sampai kemudian, ia bertanya secara mendadak. “Kamu
kan kuliah di pakuan tuh, banyak orang pinter disana kan? Itu
abis pada lulus pada kemana ya? Kok negara gini-gini aja?”
Ehehehehe Saya hanya terkekeh dan membalas, “iya bang,

38
saya juga bingung padahal setahun aja ada ribuan wisudawan”
Lalu saya turun dari grabcar itu. Suara grassroot memang
mempunyai intensi lebih. Saya membayangkan pertanyaan
semacam itu disampaikan di seminar oleh seorang kritikus
pendidikan atau aktivis gerakan misalnya, saya hanya akan
menganggap ucapan tersebut basa-basi semata. Saya mungkin
terjebak dalam, menurut istilah Windu W. Jusuf di artikelnya
yang berjudul “Belajar, belajar, belajar”, fetisisme terhadap
akar rumput sehingga buat fetisisme semacam itu, semua
‘orang kecil’ atau kelas menengah rendah adalah selalu benar
adanya. Bisa jadi demikian, di tengah nuansa solidaritas dan
empati sosial yang begitu merosot kini, semua yang berada di
luar kelas kapitalis adalah kaum hopeless dan kemudian apa
yang terjadi? Komodifikasi pahala.

Adalah tokoh Hasan di novel “Atheis” karangan Achdiat K.


Mihardja yang melakukan tindakan sebaliknya. Jangan beri
uang kepada pengemis ataupun kaum tertindas! Biar mereka
begitu tersiksa oleh penderitaan ini sehingga nantinya akan
mengarah kepada revolusi. Boleh saja Hasan berpendapat
demikian ketika bangsa ini masih mengalami gegar
matrealistisme, kini, ketika matrealistisme begitu akrab di
telinga dan segalanya dikomodifikasi dan diukur dengan nilai
ekonomi, apa lah arti penindasan? Maaf, lebih tepatnya apa lah
artinya merasa tertindas? Kemudian apa lah arti dari merasakan
yang dirasakan kaum tertindas? Jadi ketika sabda kaum
terdidik hanyalah formalitas dan pekik kaum tertindas hanya
basa-basi empati, kemana kita arahkan hasrat berbuat baik
kita? Bagaimana, tepatnya buat Anda, mengamalkan ajaran
agama Anda untuk berbuat baik kepada sesama? Tapi baik
saya lupakan perkara fetisisme terhadap akar rumput tersebut
untuk coba menjawab pertanyaan awalnya.

Kemana para lulusan universitas kita? Universitas-


universitas dalam sekali periode wisuda bisa membanjiri

39
negara ini dengan ratusan hingga ribuan, apa sebaiknya kita
sebut? wisudawan saja ya, wisudawan yang kemudian seperti
kemunculannya, hilang begitu saja. Begini bang, saya
sejujurnya juga pesimis abang dapat merasakan pengaruh para
wisudawan yang dahsyat tersebut. Abang setiap hari melihat
dunia sejauh satu rit dari jalan, tidak kenal libur dan sekali-kali
meninggalkan trayek buat pulang kampung atau mengantar
carteran. Sementara para wisudawan kami bersembunyi di digit
ke 14 di belakang koma angka pertumbuhan ekonomi negara
abang. Ada pula yang berada di pasal ke sekian ratus di
Rancangan Undang-Undang atau di sekian persen komposisi
kimia di minuman energi yang abang konsumsi setiap hari. Bak
menggarami lautan, memang menumpahkan sekian ribu
sarjana ke blantika negara ini tak mengubah apa-apa secara
signifikan ya bang? Tapi ada satu wisudawan yang kemudian
menaikan harga BBM kok bang, mungkin itu yang abang
rasain ya, tapi kalo perubahan negara ini, sebenarnya di tangan
abang lah ia berada. Mereka berkuliah dari sebagian pajak yang
abang bayarkan setiap beli bensin atau ganti spare part angkot.
Mereka berpeluh-peluh mengerjakan skripsi, bergadang
mengerjakan tugas, mengkaji dan mengaji. Mereka turun ke
masyarakat, menjelajah ke daerah, menyelesaikan persamaan
kalkulus tensor atau setengah mati memahami Hegel.

Sebagian dari mereka ada yang bekerja paruh waktu untuk


memastikan ada yang tetap bisa dimakan atau kuliah mereka
tetap berjalan. Abang belum paham ya? Mereka melakukan itu
semua demi kestabilan dan jaminan hidup mereka bang, bukan
untuk melakukan perubahan. Perubahan melelahkan bang,
butuh dana yang besar buat mengadakan rapat-rapat itu, butuh
dana lagi untuk membayar tim ahli menganalisis, belum dana
implementasinya. Mahasiswa berpikir demikian, mendapat
jabatan maka sudah lah, mari cari aman. Pesimis bahwa sistem
kita sudah mencapai final, ada istilah dead of history, dead of

40
philosophy, dead of economy, dan semua di zaman ini sudah
mati.

Inilah finalitas dari manusia yang kemudian akan


membawa kita ke lubang kubur sendiri. Nanti abang dan
teman-teman abang yang akan paham bahwa perubahan justru
terletak di tangan abang dan teman-teman. Tapi tolong jangan
tanyakan teman-teman saya, mereka sibuk berpikir jauh hingga
ke afterlife sementara mengamankan diri dengan mencukupkan
keluarga dengan nasi yang tersaji setiap hari dengan ikan,
kadang ayam atau daging sapi sesekali. Jangan harapkan
mereka yang membisiki abang dengan semangat perubahan
namun tenggelam sendiri dalam retorika perjuangan. Mereka
lah yang akan nanti menjadi musuh abang. Sementara saya
disini menyiapkan satu peti mati. Pada suatu hari saya
berkhianat, yang pasti akan saya lakukan, masukan saya
kedalamnya dan jangan biarkan saya menikmati kemenangan
abang. Teman-teman saya sudah pergi dan tak akan kembali.
Begitulah jawaban saya seharusnya.

Terasingkan.

Inilah nikmat era informasi. Informasi menjadi dasar


terhadap eksistensi manusia. Baudrillard membagi era-era
perkembangan manusia modern menjadi 3 blok besar, yakni :
Counterfeit (era renaissance/aufklarung), produksi (revolusi
industri), dan simulasi (era informasi). Dengan semboyan
masing-masing, counterfeit : I think therefore I am; produksi : I
work therefore I am; simulasi : I interprate therefore I am.
Ketiga distingsi tersebut menunjukan fondasi eksistensi utama
bagi manusia. Saya perlu mengkoreksi, untuk saat ini,
pemikiran Herbert Marcuse (1964 dalam Franz Magnus-
Suseno, 2005) mengenai ciri masyarakat kapitalisme tua dan

41
teknologinya. Ia mengatakan bahwa teknologi merupakan
pemenuhan kebutuhan semu semata. Sementara kebutuhan
yang lebih hakiki yakni komunikasi tidak tercipta. teknologi
dan informasi pada masa kini telah berjalan beriringan bukan
hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan (baik nyata
maupun semu) namun, melihat Baudrillard, sampai pada
fondasi eksistensial manusia. Informasi yang kemudian
menjadi pembentukan eksistensi dan karenanya menjadi kertas
tempat identitas mereka digoreskan paling mudah dilihat dari
timeline media sosial.

Media sosial manapun selalu memberi ruang; kertas untuk


menyatakan eksistensi dan membentuk identitas kita dalam
ruang simulasinya. Kertas tersebut diisi dengan kata-kata
“what’s on your mind?” atau “compose new tweets” sebagai
tagline provokatif untuk mengejawantahkan identitas kita
semata-mata sebagai : simulasi. Saya tertarik dengan tagline
pertama sebab, tagline tersebut kembali ke pada domain ‘mind’
sebagai awal pembentukan identitas kita. Mengapa tidak ditulis
“what’s your morality stance?” atau “how it is empirically
tasted?” atau “how’s your perception toward the world?”
namun ia berbunyi “what’s on your mid?” ya, ‘mind’. Plato
boleh membagi manusia menjadi mind, body, and soul. Ketika
identitas simulatif kita dibentuk lewat apa yang terlintas di
mind, maka jelas kita terjebak dalam permainan rasionalitas
yang counterfeit dimana kebebasan berpikir yang menjadi titik
sentrasi kita.

Semacam permainan ala Descartes. namun yang menjadi


catatan adalah ketika pembentukan identitas diserahkan kepada
‘mind’, dunia masuk ke dalam pusaran kolonialisme yang
dikutuk hingga detik ini. Oh, buat para penggemar teori
konspirasi sayang sekali, saya tidak menuding media sosial
yang saya singgung sebagai media zionis, tidak. Kita tidak
perlu berkonspirasi atau mengandalkan analisis cocoklogi

42
murahan sebagai perangkat semiotikanya. Setidaknya, secara
stilistika, tulisan saya lebih berbobot relatif terhadap analisis
semiotika Anda. Yang terjadi kemudian adalah imperialisme
simulatif dalam timeline. Terjadi kontestasi identitas yang
sungguh dahsyat dalam timeline-timeline media sosial. Kita
harus memahami bagaimana kolonialisme gaya baru ini
merenggut identitas kita alih-alih kekayaan produktif seperti
sumber daya alam pada masa Pitung masih ngebadik Kumpeni.
Imperialisme tersebut berujung pada konflik identitas yang
akibatnya saya rasakan saat ini. (saya berada di muntok dan
hanya mengandalkan laporan netizen journalism dalam
mengetahui kondisi di luar batas penginderaan ragawi saya).
Menjadi menarik ketika kita melihat suatu peristiwa. Pada
kondisi seperti ini, saya dapat bergelut lebih intens terhadap
suatu peristiwa.

Sebab dari laporan netizen journalist di sosial media saya


setidaknya ada 3 isu besar yang sedang menjadi headlinenya :
pemilu, piala dunia, dan palestina-israel. (oh buat para
konspirator, tiga-tiganya diawali huruf P! pasti ada
hubungannya sama Provoke! Magazine atau sama capres kita
yang berawalan huruf P. Ini harus ditulis jadi sebuah buku
tentang kedatangan Dajjal.) Begitu mengehbatnya peristiwa
tersebut hingga media sosial saya bekerja seperti sebuah
channel TV. saya sendiri tidak bisa mengontrol apa yang saya
mau ketahui padahal hal tersebut terjadi di ruang pembentukan
identitas saya. Demikian sehingga, apabila saya tidak punya
refleksi kritis dan pergulatan terhadapnya seperti yang
ditampilkan dalam tulisan ini, identitas saya terbentuk dengan
sendirinya. Dimana hal itu sungguh-sungguh terjadi. Ada
konflik antara idealisme refleksi kritis yang terejawantahkan
dalam gugatan dan pembentukan identitas yang dibawa oleh
timeline saya.

43
Ini yang menjadi refleksi saya : moral stance saya terhadap
insiden Palestina-Israel. Sebab piala dunia menjadi tidak
menarik semenjak Belanda gagal ke final dan Pemilu cuma
hura-hura pencitraan, bukan cuma pesertanya tapi juga
pendukungnya yang mendadak jadi analis politis berbasis
konspirasi (lagi?!) kelas wahid. Selain itu pula, fenomena
Israel-Palestina menjadi menarik untuk dikaji sebab meski
secara statistik isu ini muncul dengan intensitas hampir sama
dengan dua isu lainnya, netizen journalist saya selalu
mengumumkan adanya marjinalisasi isu tersebut. (saya jujur,
dalam konteks suara hati, saya marah dan miris melihat semua
pemberitaan yang muncul selama ini) Namun idealisme
refleksi kritis saya juga lantas tak dapat saya bungkam. (saya
sebenarnya tidak sampai hati menulis ini, makanya saya
nyatakan di sini, bukan di media sosial) Ada apa sebetulnya
dengan konflik tersebut sehingga harus ditampilkan dalam citra
yang demikian (baca : dimarjinalkan)? Ada berbagai seruan
bahwa kita melupakan yang terjadi di Gaza karena isu Pemilu
dan Piala Dunia. Saya dapat saja mendevaluasi simpati para
netizen journalist tersebut dalam hal konflik tersebut sebagai,
kembali,

Upaya pencitraan dalam pembentukan identitas di media


sosial. Pasang status, menyerukan upaya, berdoa di medsos
yang dimana konteksnya adalah ruang simulasi. Namun,
sungguh saya tidak mau melakukannya. Saya sadar bahwa ada
kesadaran bersama, archtype dalam bentuk altruistik bahwa
tingkat survival pada masa kini berjalan di level spesies, bukan
individu. Saya paham bahwa isu ini harus menjadi prioritas
karena menyentuh nilai-nilai fundamental yang universal
berupa nilai-nilai humanistis. Namun, gugatan saya kembali
menyerang bahwa kita perlu mencari tahu apa dan mengapa
nilai-nilai tersebut perlu kita perjuangkan? Kita jelas tidak bisa
mengatakan bahwa hal tersebut ‘sudah jelas! kenapa harus

44
dipertanyakan lagi?!’. Perkara yang jelas-jelas adalah klaim
milik sains sementara kita berjalan di sisi mistis dari romantika
solidaritas dan indahnya simpati untuk memberi dukungan,
dorongan, dan rasa memiliki bersama.

Ketika perkara ini dihadapkan pada pseudo-retorika


‘kenapa harus dipertanyakan lagi?!’ Ada banyak retorika lain
yang mampu menjawabnya, bahwa, menurut Adam Muller,
ikatan terkuat yang menyatukan sebuah negara adalah tangisan
dan penderitaan dalam perang dan bukannya kebahagiaan.
Jelas Adam Muller tidak berada di Gaza saat ini. Sehingga kita
perlu mengkaji darimana solidaritas itu muncul agar tidak
terjadi kebutaan dan emosi semata. Namun percayalah, semua
metode kesangsian tidak akan berkutik ketika ada kekerasan
dan penindasan terhadap kaum marjinal. Untuk itu diperlukan
refleksi kritis tersebut.Sudah saya katakan bahwa tingkat
survival berada pada level spesies, bukan pada level individu.
Hal tersebut berlaku pada manusia sebagai makhluk sosial
yang berkembang bersama.

Ada semangat altruistik yang anomali terhadap postulat


‘survival of the fittest’ milik kaum Darwinia. Paling mudah
dilihat pada para relawan. Bagaimana Darwin menjelaskan
niatan siap mati individu terhadap individu lainnya dengan
‘survival of the fittest’ atau seleksi alamnya? Mengapa tidak
kita biarkan saja individu tersebut dihapus keberadaanya,
bukankan itu mekanisme yang terjadi di alam? Disitulah
semangat ltruistic masuk dan memberi hawa segar lewat
harapan bahwa seleksi berjalan di tingkat spesies, dalam hal ini
: manusia. Saya agak memberikan pandangan sedikit bloon,
dengan konsepsi demikian, maka manusia sesungguhnya
menegaskan spesiesnya sebagai penakluk di ltruist. Namun
dalam konteks konflik horizontal antar spesies seperti yang
terjadi di Gaza, semangat ltruistic tersebut kemudian membawa

45
kita pada romantika indahnya solidaritas dan nilai-nilai
kemanusiaan yang dihayati secara universal.

Kembali ke masalah identitas. Jika memang terdengar


sangat fundamentalis, maka izinkan saya menurunkan sedikit
tensinya dari identitas ke perkara preferensi. Saya
sesungguhnya tidak pernah menaruh minat terhadap konflik
Israel-Palestina secara khusus. Dalam arti untuk memberi
solidaitas. Pada beberapa konteks, saya malah sering
berpendapat adanya pemaparan yang overrated secara
frekuensi ltruist terhadap isu lain. Saya dapat paham karena
adanya solidaritas dalam suatu institusi ltrui tertentu, dalam hal
ini agama, yang menjadikan isu konflik ini begitu santer
terdengar, dan pada beberapa konteks, saya kagum terhadap hal
ini. Namun hal tersebut membawa saya kepada hal yang begitu
paradoksial. Sebagai pengamat yang tidak terikat dalam
institusi agama tersebut saya berpendapat bahwa isu ini begitu
overrated oleh para netizen journalist saya, namun apabila saya
mengikut sertakan dalam semangat overrated tersebut, ltruis
dorongan solidaritas institusional kecuali semangat ltruistic
yang buat saya masih berada pada tataran konsep dan teori. Ini
yang akhirnya keluar sebagai curhatan hati saya yang terlibat
dalam konflik ‘stance of morality crisis’ Sebagai penutup saya
perlu menegaskan posisi saya. Saya mengutuk segala bentuk
opresi dan penghilangan hak-hak asasi.

Buat saya, aksi ‘provokatif’ tidak pantas dibalas dengan


aksi ‘agresi militer’. Meski demikian, saya juga perlu
menegaskan bahwa kini proses analisis suatu peristiwa menjadi
begitu sederhanya dalam simulasi ini. Menjelaskan tautan antar
peristiwa cukup dengan copy paste suatu tautan URL dan
diberi seruan emosional atau pseudo-retorika. Hal tersebut pada
akhirnya mambawa pembentukan identitas dalam pusaran
banalitas. Kini referensi hanya terbatas pada artikel yang
sangat kurang muatan diakronis terhadap peristiwanya akibat

46
sangat terkontekstualisasi pada masa kini. Sebagai pengamat,
menggantungkan ideologi pada teks yang sarat dengan
kontekstualisasi kekinian akan membawa kita pada hipokritas
di masa mendatang. Ingatlah bahwa sebagai titik sentrasi
segalanya mengalir dan tidak ada yang tetap, panta rhei
(Heraklitos).

Countercultur (budaya tanding).

Ah, betapa saya terpukau dengan Sartre. Sayang saya


belum menemukan karya monumentalnya yang berjudul Huis-
clos (No Exit in English). Ada satu line yang menjadi intisari
dari karya ini yaitu “L’enfer, c’est le aunfer” (hell is other
people). Atas dasar apa line itu dikeluarkan? Sartre
mengatakan bahwa segala tindakan kita ditujukan sesuai
dengan pandangan orang lain. Terlepas dari psikologi
behaviorisme, ia mengatakan bahwa motivasi kita bertindak
semata-mata karena ada orang lain. Pada tataran lebih tinggi,
“orang lain” yang dimaksud disini adalah sistem ataupun
kelas-kelas sosial. Digugatlah olehnya soal makna kebebasan.
Cukup tentang Sartre, saya hanya ingin menarik kesimpulan
bahwa kita tidak pernah menjadi diri sendiri selama ini. Ada
semacam anekdot yang pernah saya baca bahwa : “we buy
things we don’t need, with money we don’t have, just to
impress people we actually don’t like” Soal be-yourself adalah
perkara yang amat-sangat-luar biasa-BASI-sekali buat dibahas.
Hampir semua orang yang saya temui mengatakan bahwa ia
lelah berpura-pura dan memakai topeng, hampir setiap hari
saya dengan gimmick “ya-lo-jadi-diri-sendiri-aja-lagi”, dan ada
puluhan lirik lagu yang mencoba mengangkat tema bahwa
lebih baik apa adanya. Kejujuran, otentitas, genuinitas.

47
Jadi buat orang-orang disana yang merasa kritis soal
menjadi diri sendiri, saya ucapkan selamat terbelenggu dengan
konsep itu ya. Later, kampanye buat be-yourself lantas juga
dimanifestasikan sebagai kampanye be-different. Myself is me,
and me is different, beimg equal is a jerk. Berbeda berarti
menjadi diri sendiri. Menolak orang lain dan tidak menjadi
orang lain, tidakah itu berbeda? Semangat menjadi berbeda
itulah yang sempat menjadi perhatian. Sosiologi pop mencapai
era signifikansinya ketika dekade 60-an, saat terjadi revolusi
kebudayaan di Prancis, di sisi lain, pecahnya perang vietnam
yang mendorong terjadinya gerakan masa anti-war. Selain itu
juga muncul musik rock ‘n roll, progresi bidang fashion,
penemuan obat-obatan terlarang, dan kampanye seks bebas.
Dari semua elemen itu, seluruh anak muda di dunia bersatu
melawan hegemoni orang tua mereka, nasionalsime,
tradisionalisme, patriotisme bernegara yang susah payah
terbangun saat generasi sebelumnya angkat senjata di perang
dunia ke-II. Akhirnya, pada masa itu muncullah apa yang
disebut counter culture satau budaya tanding. silahkan cari
referensi lebih lanjut soal dekade 60-an ini. Sebagai suatu
produk baru, semangat counter culture ini begitu merasuk di
kepala kaum muda.

Semangat kebebasan, anti-kapitalisme, dan semi-


hedonisme begitu cepat terlaraskan dengan kepribadian
generasi puber yang sedang mencari jati diri. Produk ini
diproduksi secara sangat masal dan didistribusikan secara
cuma-cuma, alhasil counter culture menjadi sebuah stigma
baru untuk kaum muda yang menolak kemapanan dan norma-
norma orang tua. namun dekade 60-an hanyalah suatu contoh,
semangat counter culture kini telah jauh bergeser dari waktu
itu. Terminologi budaya tanding masuk ke oxford english
dictionary tahun 1970. Sebagai akibat dari dekade 60-an
tersebut, kini counter-culture identik dengan semangat kaum

48
muda dan dilahirkan kembali dengan nama anti-mainstream,
semangat menjadi arus bawah. Anti-mainstream itu “berbeda”.
Untuk keluar dari “neraka” Sartre, maka yang kita perlukan
adalah menjadi bukan orang lain, simpelnya berbeda. Berbeda
itu anti-mainstream maka anti-mainstream adalah keluar dari
“neraka” Sartre. Itu “keren”. Biar saya perjelas, come on
dude! siapa sih yang tidak merasa keren kalau mereka tidak
sama dengan orang kebanyakan? Maksud saya kita akan
merasa keren kalau mendengarkan musik-musik cutting-edge
yang ga pernah disetel di radio dan muncul video klipnya di
TV. Kiat merasa keren kalau membaca novel-novel sci-fi yang
emboh dibanding kalau ketahuan membaca teenlit yang penuh
romantika. Pun kita akan merasa keren kalau bicara filsafat saat
istirahat makan siang dikantin atau sambil nunggu angkot
dibanding kalau bicara artis mana yang tidur sama anggota
DPR yang mana. Akuilah, tapi dalam hati saja, sayang citra
Anda kalau harus turun derajat ke”keren”annya kalau ketahuan
mengakuinya. Keren kan? Iya lah jelas!

Anda membaca tulisan saya dan saya percaya belom ada


10 pasang mata yang membaca sampai sejauh ini, maka
Anda berbeda, Anda orang keren!

Terlepas Anda mengerti atas apa yang telah membuat Anda


keren tadi, orang-orang keren seperti Anda kemudian
menspesialisasi diri masing-masing supaya terpecah-pecah.
Secara tendensius, Anda akan menjaga agar orang-orang keren
seperti Anda tetap bergerak di bawah tanah. Itu pun naluri jika
Anda tidak mencoba menyebarkan apa yang Anda anggap
keren tadi ke orang lain. Sekalipun Anda mencoba, Anda tidak
akan dimengerti, ah, mainstream bergerak lebih cepat dan lebih
mudah ditangkap, medium mereka sungguh besar seperti radio
dan televise toh? Maka pemegang broadcast juga brengsek
karena mereka tidak ikut meng”keren”kan orang-orang lain.
Lagipula, budaya diam dan acuh tampaknya lebih keren. Maka

49
orang-orang keren seperti Anda akan mengasingkan diri
mereka. Terus menerus bicara tentang bagaimana sulitnya
mereka memahami dunia, tentang pusingnya mereka
memaknai kehidupan dan berkoar-koar tentang cinta dan
perasaan, tidakkah itu terlihat keren? Tentu! Orang-orang keren
seperti Anda kemudian sedapat mungkin mengekspansi konsep
mereka hanya dalam satu-dua kalimat dengan kosa kata yang
terdidik dan sarat akademik.

Kalau yang diajak bicara mengernyitkan dahi dan


menggerutu “apaan sih?” orang-orang keren seperti Anda
hanya menatapnya prihatin sambil berkata “lo emang ga bisa
menyamai pikiran gue, makanya jangan dipengaruhin orang
lain dan masuklah ke perspektif gue!” tapi dalam hati saja
bilangnya, sayang kesan keren Anda. Mengesampingkan
bahwa memang orang-orang yang tidak keren tidak bicara
filsafat karena memang tidak sampai logikanya dan tidak
mendengarkan cutting edge karena memang tidak mengerti.
Mereka kemudian tidak ambil pusing soal itu, lantas ambil
yang mudah-mudahnya saja. Lahirlah generasi pragmatis. Yah,
pada dasarnya, apa yang kita anggap anti-mainstream saat ini
adalah mainstream di masa lalu. Tapi buat apa dianggap keren
di masa lalu? Toh kita hidup di masa sekarang, pengkhianatan
terhadap sejarah? Saya rasa tidak. Maka buat saya,
berbahagialah mereka yang merasa dirinya “common”.
Ketahuilah bahwa populasi orang biasa sangat jauh berkurang.

Naluri manusia akhirnya akan membuat mereka keren


dengan caranya masing-masing, ya! mereka memang keren,
sungguh! Namun tidak berbeda. Saat semuanya menjadi
berbeda tidakah itu menuju keseragaman? Lihat baik-baik hai
para orang biasa, kini tidakkah Anda yang merasa menjadi
keren? Masalah perspektif? Bukan ah, kini kata perspektif
sudah tidak “keren” lagi terlalu banayk dipakai, jangan
khawatirkan perspektif Anda, ia baik-baik saja dan biasa saja.

50
sebagai konsekuensi filosofis, budaya tanding tidak
diterjemahkan sebagai anti-culture (Mainstream is one of the
culture but not the culture itself). Sebab budaya tidak perlu
berdialektika. Ia tidak butuh antitesis untuk mendialektika
dirinya. Cultural studies sees culture as everything. Antitesis
dari budaya hanya akan memunculkan sesat pikir. Setiap
sintesis dari budaya akan menjadi sintesis dari tesis itu sendiri.
Budaya tidak bisa disandingkan dengan bukan-budaya.
Memang apa itu bukan-budaya? Adakah bukan-budaya jika
budaya itu sendiri adalah segalanya? (Negative Dialecthic)
Tapi apa postingan ini keren? sandarkan kritik Anda bahwa
simplifikasi dari “berbeda” menjadi “keren” adalah sesat pikir.

Tabula.

Saya rasa manusia telah melewati sejarah yang berdarah-


darah untuk sampai kepada momen dimana mereka akhirnya
menjadi penguasa. Pada penggal masa awal abad ke 19,
manusia menyaksikan diri mereka sendiri melesat jauh
meninggalkan segala sesuatu, struktur-struktur, ideologi,
fungsi, dan paradigma yang mereka bina dan jalani selama
bermilenium-milenium lamanya. Salah satu puncaknya dimulai
dari revolusi industri dan sains yang pada akhirnya, secara
singkat, yah keluar lah pernyataan bahwa Tuhan telah mati,
kita manusia yang membunuhnya. Nietzsche yang
mengatakannya. Saya tidak mau membahas penggal waktu kala
itu, Apa yang mau saya tulis disini adalah mengapa dan
bagaimana konsekuensi kematian Tuhan itu. Kenapa saya
menulisnya? di tulisan ini saya coba memposisikan Tuhan
dalam fungsi kehidupan manusia berikutnya: pemberi makna.

Yuval Noah Harari, salah seorang penulis aduhai bagi saya


mempunyai dua tesis yang menurut saya cukup

51
merepresentasikan kondisi manusia masa kini. Tesis pertama
adalah: “human agree to give up meaning in exchange of
power” sedangkan tesis keduanya adalah “Homo deus:
manusia kini menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri”. Pemaknaan,
refleksi, dan mengartikan hidup sudah, sedang, dan akan terus
menjadi berkah serta kutukan manusia. Manusia berpikir dan
memiliki akal untuk mempertanyakan segala sesuatunya, like
literally, everything. Hal tersebut tentu saja sungguh ampuh
karena darinya kita akhirnya bisa merasakan kenyamanan dan
dapat mengontrol serta mengatur alam semesta untuk
memenuhi kebutuhan dan memuaskan keinginan kita namun
juga seringkali dan lebih seringnya, kemampuan itu
menyusahkan belaka. Ke’kepo’an manusia terkadang sebegitu
besarnya hingga mereka menciptakan pertanyaan dan
mendesain permasalahan di luar kapasitas mereka untuk
menjawabnya.

Pertanyaan dan permasalahan seperti: apa guna hidup?”,


“kenapa manusia diciptakan?”, “apa ada kehidupan di luar
sana?”, “siapa Tuhan sebenarnya?”, “apa itu kebenaran?”
begitu mengganggu. Toh mereka hidup dan tumbuh
berkembang bersama manusia. Pertanyaan dan keresahan kita
menjadi sahabat sejati (kedua setelah sahabat anjing kita saya
pikir. damn, we don’t deserve dogs) manusia selama berabad-
abad. Seperti layaknya makhluk, pertanyaan dan keresahan
manusia juga lahir, tumbuh, saling kawin mawin, dan
melahirkan keturunan berupa pertanyaan yang kontekstual
pada zamannya. Dalam menghadapi dan berjalan bersamanya,
manusia juga mengembangkan berbagai alat dan media untuk
sekurang-kurangnya, kalau tidak dapat menjawab dan
menyelesaikannya, menunda dan mengurangi keresahan
sebagai akibat darinya. Itu normal belaka. Maka mereka
menciptakan mitologi. Tuhan salah satunya. Ketika Bangsa
Viking melihat ada petir menggelegar, mereka bertanya di

52
dalam ketakutan dan keresahannya: “apa gerangan itu?
Bagaimana ia bisa tercipta”. Sejauh apa yang mereka lihat dan
amati, satu hal yang dapat mereka gunakan untuk
menjawabnya adalah ada sosok berbentuk manusia lain namun
berada di angkasa dan mengontrolnya. Maka lahir lah Thor.
Suatu warisan sangat berharga karena kini saya dapat melihat
aksinya dalam salah satu adegan paling keren di semesta
marvel. Contoh ini merupakan upaya manusia untuk pada
awalnya merasionalisasi segala apa yang mereka lihat. Setelah
itu, mereka akan masuk ke dalam level super atau supra:
menjadikan rasionalisasi itu sebagai suatu bentuk ideal.
Idealitas, bisa kita runut kembali ke konsep Plato adalah Das
Sollen. Bentuk yang seharusnya. Manusia dimanapun pasti
memiliki kehendak, nilai, dan bentuk yang seharusnya.

Aku seharusnya kaya, aku seharusnya bahagia, aku


seharusnya bersama dia. Bentuk-bentuk seharusnya itu yang
menjadikan, setidaknya, manusia memiliki tujuan hidup, ada
sesuatu yang ingin dituju. Sebab itu, kebudayaan Jawa
menyebutkan adanya konsep Manunggaling Kawula Gusti.
Manusia, diciptakan untuk bersama dengan Gusti pada
akhirnya di dalam kerangka sangkan-paran nya. Gusti atau
Tuhan merupakan konsep ideal dan manusia pada akhirnya
akan berlabuh dan menuju kepadanya. Dari sini kita tahu,
bahwa Tuhan hadir atau setidaknya dihadirkan untuk
menentukan hidup manusia, menjadi arahan dan sebab
musabab kehadiran serta segala kersahan kita. Sayangnya atau
untungnya, manusia kemudian terhenyak dan dengan segala
pengetahuannya menciptakan kesadaran bahwa ia berdaulat. Ia,
pada dasarnya tidak membutuhkan Tuhan untuk menciptakan
makna bagi mereka sendiri.

Manusia bisa secara mandiri menciptakan, mengubah, dan


merusak makna-makna dan nilai yang tadinya dibuat oleh
Tuhannya. Oleh sebab itu, mereka memberontak dan

53
melepaskan diri dari belenggu Tuhan yang mendikte dan
mengatur nilai-nilai sebab manusia pada dasarnya bisa
melakukannya. Tidak perlu lagi ada Tuhan. Namun demikian,
semangat tersebut perlu dimaknai secara lebih dalam. Dalam
kesehariannya, manusia dijejali oleh konsep agama dan
ketuhanan semenjak dini. Bahkan sebelum mereka keluar dari
rahim ibunya, mereka sudah disuntik konsep-konsep
ketuhanan. Tak jarang saya menjumpai ada orang tua yang
menempelkan speaker ke perut istrunya yang tengah
mengandung dan memperdengarkan ayat-ayat atau audio
keagamaan dan keTuhanan. Ketika lahir, bahkan sebelum
mendapatkan kesadaran dan jati diri yang ajeg, manusia-
manusia awal itu sudah diberikan Tuhan dan berbagai
manifestasinya. Hal tersebut tentu saja baik kalau menurut
orang tuanya baik, siapa saya yang menghakimi? Maka
demikian, semenjak kecil, dalam keseharian kita,

Kita sudah dimanja betul dengan konsep-konsep


keTuhanan. Tak perlu berfikir tentang makna penciptaan, kita
sudah punya Tuhan sebagai jawabannya. Tak perlu berpikir
soal bagaimana pelangi tercipta, kita sudah tahu siapa yang
melukisnya. Tak perlu berpikir soal apa tujuan hidup, kita
sudah tahu kemana kita menujua. Bahkan, kalau mau sesuatu,
yeps, kita tahu kepada siapa kita harus meminta: berdoa lah
sekeras-kerasnya. Hal tersebut sudah mendarah daging
semenjak kejatuhan (verfallen) kita. Dalam konteks Heidegger,
pada suatu ketika kita akan mendapatkan kejutan eksistensial
berupa angst. Di titik itu, kita akan mulai mengakses sang Ada
dan terkejut karenanya. Dalam momen itu, segala keseharian
yang biasa kita terima sebelumnya akan dipreteli seluruhnya
termasuk konsep-konsep dan Tuhan yang menyertai kita. Kita
mulai membunuhi Tuhan kita. Kaum beragama punya istilah
yang ampuh: krisis iman. Solusinya pun sangat sederhana dan
mudah: pergiat ibadahnya sampai kamu lupa. Namun seperti

54
kita tahu, teman-teman yang baik, bilamana Anda memiliih
untuk tidak lagi menjadikan Tuhan sebagai sandaran Anda,
segalanya menjadi berkali-kali lipat lebih sulit.

Tanpa Tuhan, kita akan berhadap-hadapan dengan


fenomena berikutnya: absurditas hidup. Segalanya tampak tak
terjawab dan sungguh tidak masuk akal. Adanya kejahatan,
debu kosmik, evolusi, kelahiran, ovulasi, ikan di laut, politisi
korup, bencana, mitos menjadi tidak masuk akal dan karena
tidak masuk akal, ia menjadi sesuatu yang menakutkan.
Mereka menelan diri kita masuk ke dalamnya dan kita
dihadapkan pada kegelapan den kelimbungan bahwa segala
sesuatu di hidup ini tidak lebih dari kebingungan jahanam.
Begitu parahnya, sampai-sampai kemudian kita berpikir
mengapa tidak kita akhiri saja kebingungan ini sekalian dengan
hidup-hidupnya sekalian.

Disini kita perlu lagi berpikir. Ketika Tuhan kita bunuh,


kita perlu lari kepada kedaulatan kita sebagai manusia yang
merdeka dan mampu berpikir sendiri. Seringkali, manusia
dengan begitu mudahnya berhenti pada suatu titik dimana
mereka kehilangan makna dan menyerah. Ya, menyerah.
Mereka berpendapat bahwa di tengah lautan absurditas hidup
ini tidak ada lagi yang dapat dipegang. Mereka lupa untuk
segera berenang, sendiri. Nietzsche memang memvonis bahwa
makna dunia ini pada dasarnya nihil. Namun karena nihil
tersebut maka menjadi tugas dan berkah manusia untuk
mengisinya sesuai dengan apa yang mereka mau. Begitulah
namun demikian, ada manusia yang malah memilih untuk
mengisiya dengan kekosongan belaka atau meninggalkannya
tidak terisi.

Entah karena malas atau manja atau memang tidak mampu.


Ada juga manusia yang karena perkara kesehariannya: ribut
dengan kelurarga, gagal dalam pekerjaan, diputusi pacar

55
kemudian mem by pass permasalahan keseharian tersebut
dengan kesadaran eksistensial. Sesuatu yang barang tentu
sangat berbahaya karena, selain mereka akan mendekadensi
makna eksistensial, permasalahan kesharian menjadi
kehilangan relevansinya dan teramplifikasi menjadi tingkatan
yang tidak seharusnya. Jalan apa pun yang nantinya Anda pilih,
apakah Anda masih mau menggunakan Tuhan atau tidak dalam
keseharian dan pengalaman eksistensial Anda baik adanya.
Saya mendukung penuh Anda untuk itu. Bagaimanapun,
pergulatan manusia dengan makna hidupnya adalah
keniscayaan dan tidak perlu sombong serta berbangga diri
karenanya.

Common sense.

Apa yang tengah kini saya minati adalah adalah kajian


bagaimana kondisi masyarakat atau orang-orang kini semakin
menuju polah-polah ketidakilmiahan. Kebenaran semakin
digandrungi dan ilmu pengetahuan menjadi selubung dari
segala klaim-klaim kebenaran tersebut. Dalam masa ini,
kebenaran semakin signifikan dan semakin berarti serta
diminati karena darinya, para aktor, manusia-manusia akan
mendapatkan kekuasaan untuk melakukan pengaturan terhadap
orang lain. Sesuatu yang tentu saja sangat vital karena kita
tengah dihadapkan pada kultur masa, kultur populis dimana
mereka yang memiliki masa terbesar adalah mereka yang akan
mendapatkan kebebasan untuk melakukan kepengaturan sesuai
apa yang mereka inginkan. Demokrasi melindunginya dan kita
melindungi demokrasi karenanya. Sayangnya, kebenaran yang
semakin digandrungi itu tidak diiringi oleh kibjaksanaan dan
yang paling parah adalah tidak dicapai melalui keilimahan.
Keilmiahan dan kebenaran adalah sesuatu yang terkait dengan
sangat erat. Lewat metode ilmiah kita akan mencapai

56
kebenaran terhadap sesuatu. Begitu lah kira-kira adagium
warisan pencerahan yang hingga kini masih teguh dipegang
oleh manusia dimanapun jua. Meskipun demikian, adagium
tersebut pernah pada kesempatan-kesempatan tertentu
dicurigai. Keilmiahan ternyata terkadang tidak membawa kita
kepada kebenaran. Alih-alih membawa kita kepada kebenaran,
ia membawa kita kepada keterasingan, keterputusan, dan
kekecewaan terhadap alam kita.

Maka kemudian, disepakati lah bahwa ada sumber-sumber


pengetahuan non ilmiah yang tetap mampu membawa kita
kepada kebenaran. Beberapa sumber-sumber tersebut antara
lain, intuisi, pendapat ahli, dan yang akan menjadi bahasan
tulisan kali ini adalah common sense. Intuisi dianggap
Nietzsche sebagai sumber kebenaran primer. Common Sense.
Menjelaskan common sense mudah-mudah sulit. Padanan
katanya di Bahasa Indonesia, sejauh yang saya baca, adalah
akal sehat. Untuk mudahnya, padanan kata tersebut bisa kita
terima terlebih dahulu namun saya rasa perlu mengelaborasi
sedikit lebih lanjut. Hemat saya, common sense, sebagai
sumber pengetahuan ilmiah adalah suatu fakta yang
mengandung kebenaran tanpa perlu diverifikasi atau dilakukan
pengujian ilmiah terhadapnya. Dengan kata lain, kebenaran
yang terkandung di dalam common sense dapat diterima dan
dipergunakan tanpa metode ilmiah.

Dari mana hal tersebut berasal? Hal tersebut berasal dari


ke’umum’an (commonality) yang terkandung dalam suatu fakta
common sense. Ia begitu umum sehingga semua orang sebagai
pengamat tanpa mempertimbangkan madzhab, keyakinan, dan
cara berpikir dapat menerimanya atau merasakannya (sense).
Common sense kini berada dalam posisi yang unik. Sebagai
suatu sumber non-ilmiah ia seharusnya tidak diletakkan di
dalam kajian ilmiah. Common sense, misalnya dapat lebih
banyak bersumber dari bahan-bahan jurnalistik dibanding

57
tulisan-tulisan ilmiah. Apa yang terjadi kemudian adalah
banyak orang yang menyebrangkan common sense ini dari
ranah non-ilmiah menjadi ranah ilmiah. Akibatnya adalah
absurditas fenomena dan berdampak pada kekuatan common
sense dan orang yang menyalahgunakannya. Kita tahu bahwa
ketika suatu fakta disertifikasi sebagai kebenaran oleh metode
ilmiah ia akan memiliki kekuatan yang sangat luar biasa dalam
melakukan rekayasa.

Ini lah yang kini tengah terjadi bagaimana pengetahuan


yang didapat oleh metode ilmiah dijadikan sebagai common
sense dan common sense yang tidak didapkan dari metode
ilmiah dianggap sebagai kebenaran yang berasal dari metode
ilmiah. Pernahkah Anda berpikir bahwa kebenaran dalam
premis ‘semua benda terdiri dari bagian-bagian yang lebih
kecil’ diperoleh melalui perjalanan pemikiran ribuan tahun dan
tak sedikit pengorbanan ada di dalam upaya untuk memperoleh
kebenaran dalam pernyataan tersebut. Contoh yang lain,
pernahkah Anda merenung bahwa kebenaran ‘bumi
mengelilingi matahari’ membawa konsekuensi pemberangusan
dan penyiksaan pada beberapa orang hanya untuk
mempertahankan kebenarannya. Bagi Anda yang paham
sejarah sudah tentu Anda akan mafhum namun bagi yang tidak
tentu perlu diberitahu bahwa hal-hal sepele yang Anda ambil
tanpa perlu Anda pikirkan karena sudah begitu jelas (taken for
granted) pernah menjadi pergunjingan dan harus bolak balik
dibongkar pasang dan dicurigai keabsahannya.

Contoh-contoh tersebut adalah fenomena bagaimana hal-


hal yang dulunya merupakan pengetahuan yang masih bisa
dihajar dan dibongkar pasang merembes masuk ke jagat awam
dan berubah bentuk menjadi common sense. Fakta-fakta yang
dulu diperoleh melalui metode ilmiah yang begitu ketat kini
dapat dinikmati oleh semua orang tanpa perlu memusingkan
epistemenya, bagaimana cara mendapatkan fakta dan

58
kebenaran di dalam fakta tersebut. Bagi saya, tentu lah itu
suatu kemewahan tersendiri untuk mendapatkan common
sense. Saya sudah cukup banyak menuliskannya, sehingga
izinkan saya menegaskannya dalam satu kalimat ini: segala
macam revolusi pemikiran disebabkan oleh revolusi transmisi
informasi. Teknologi informasi dan perkembangan internet
sekali lagi, mohon maaf, harus saya letakkan sebagai faktor
utama dalam mengkontekstualisasikan common sense.
Informasi sebagai kemasan fakta dan fenomena kini
menjangkau seluruh insan cendikia tanpa pandang bulu.
Siapapun, benar-benar siapapun dan dimana pun kini
terkoneksi dan perlahan terkalibrasi dalam suatu muatan fakta
yang sama dimana-mana dan dalam tempo yang sesingkat-
singkatnya.

Saking mudahnya terakses, kini segala sesuatu dianggap


sebagai suatu informasi. Orang-orang keblinger. Tak Cuma
hoax, terkadang fakta ilmiah juga digeser hanya menjadi
informasi yang tidak punya nilai keilmiahan. Ia hanya didapuk
sebagai desas-desus dan tidak dianggap memiliki muatan
penting. Hal tersebut membuat penghargaan terhadap fakta
ilmiah menjadi menghilang. Hingga masa kini, ketika
informasi menjadi begitu murahnya seluruh fakta ilmiah yang
didapatkan dengan perjuangan dan kerja yang tidak sedikit
dengan entengnya dibuat menjadi common sense juga
sebaliknya. Common sense yang bersifat umum ekstrem
(extremely common) kentara betul memiliki elemen
overgeneralisasi. Hal tersebut pada dasarnya akan
memunculkan banyak sekali bias yang berujung kepada error
atau kesalahan.

Sesuatu yang tentu saja harus dan pasti ada dalam suatu
kegiatan ilmiah apapun itu bentuknya. Mengerikan melihat
bagaimana suatu pengetahuan ilmiah yang masih dalam tahap
postulat, hukum, atau bahkan hipotesis diangkat dengan sangat

59
mudahnya melewati tahapan ‘teori’ untuk meloncat masuk ke
dimensi common sense. Kita bisa melihat hasilnya: stereotype,
stigma yang berujung kepada kegilaan masal (mass hysteria).
Itu lah yang kini tengah terjadi di era penuh kegilaan ini. silang
sengkarut kebenaran menjadi, bagi saya, begitu memuakannya
hingga melahirkan kekonyolan-kekonyolan yang sudah tidak
lagi lucu dan menghibur. Common sense yang sebenarnya
bebas nilai dan baik-baik saja itu berbuah fitnah dan saling
benci ketika fakta-fakta manusia dianggap sebagai common
sense. Suatu fenomena dapat dikemas menjadi kebohongan
masal ketika ia dianggap sebagai common sense. Pada
beberapa kesempatan ia tidak lagi menjadi sekedar idea
melainkan menjadi praksis yang digunakan untuk saling bunuh.
Memuakkan, melelahkan.

Noch Nicht (belum).

Entah lah, saya anggap ini hanya permasalahan hormon saja


tidak lebih. Sama seperti melakukan dialog, ada sensasi yang
berbeda dari suatu relasi ketika dilakukan siang atau malam
hari. Dalam beberapa kesempatan, saya menggeser beberapa
topik kontemplasi malam dan dialog-dialog tentangnya ke
siang hari dan menyenangkan sebetulnya. Ada beberapa fakta
yang bias oleh pekatnya jiwa ketika malam hari berhasil saya
rumuskan dengan gembira saat siang hari. Well, meski harus
diakui bahwa melankolia tengah malam memang begitu
membuat terpana. Dan itu yang tengah terjadi selama minggu
ini. Hampir setiap hari selama seminggu ini saya isi dengan
dialog, kontemplasi atau pembacaan. Baik pada siang maupun
malam hari. Entahlah, tidak terlalu berlebihan bahwa
pemikiran saya diakselerasi beberapa level hanya dalam satu
minggu ini. begitu banyak hal yang saya sadari atau ketahui
baik teori, postulat, dan yang paling menggembirakan adalah

60
beberapa nilai, paradigma, dan pemikiran yang ternyata luput
dari kacamata saya selama ini. Untuk yang terakhir itu, saya
perlu berterimakasih kepada dua orang yang tidak sebaiknya
saya sebut di tulisan ini. dua orang itu saya yakin tidak pernah
membaca tulisan ini, sehingga karenanya, akan butuh berbulan-
bulan atau bertahun-tahun mereka baru mengetahui catatan dan
rasa apresiasi saya terhadap mereka.

Ada begitu banyak yang mereka dekonstruksi dan


rekonstruksi. Saya masih mencoba untuk menyusunnya secara
sistematis untuk itu, tulisan saya ini hanya akan menjadi
catatan-catatan terserak. Topiknya sangat sederhana: pacaran.
What? Biasa bangeeeet. Ya, memang. Namun, saya ingat
prinsip pemahaman eksistensi Heidegger seperti apa yang
dikatakan F. Budi Hardiman: dalam menyingkap Ada, kita
tidak perlu melayang jauh ke angkasa atau menyelam terlalu
dalam ke jalinan makna. Mulailah dari keseharian; mistisme
keseharian. Inilah yang akan saya coba terapkan, bahwa filsafat
permenungan tidak perlu dimulai dari penelusuran teks-teks
filsafat primer atau kontemplasi berlebihan tapi mulailah dari
pengamatan keseharian, banalitas manusia. Apa yang dapat
saya tangkap? Oke, pertama begini. Pertanyaan pertama yang
diajukan orang-orang itu kepada saya adalah: mengapa saya
tidak berpacaran? Lol, saya tidak bisa menahan tawa.
Jawabannya simply because pacaran tidak seru karena saya
lebih tertarik untuk membicarakan masalah perkawinan. Apa
sebab? Ini alasannya:

• Pacaran semata-mata sebuah relasi, sebuah kosensi


antara dua insan bisa pria-wanita atau pria-pria atau
wanita-wanita, terserah. Sebagai suatu relasi ia
dibakukan lewat upaya ‘nembak’ sebuah pengakuan
dan pertanyaan maha agung: ‘mau ga jadi pacar
guweh?’. Ini pun bias gender karena lelaki yang

61
diharap menyatakan, lol. Sebagai suatu relasi, ini
hanya terjadi antar dua pihak dan hanya folklore,
mitos yang berkembang di relasi ini. sanksi sosial
yang berlaku sangat kecil, represi masyarakat nyaris
tidak ada. Dari sini, kita melihat bahwa sebagai suatu
relasi, tidak ada mekanisme sosial yang begitu berlaku
didalamnya. buat saya ini sangat tidak seru.

• Kedua, pacaran belum membuka dimensi seksualitas


dan hubungan seks secara legal. Ini berhubungan
dengan beberapa teori Foucault yang tengah saya baca
belakangan. Untuk itu, saya harus menggeser
seksualitas sebagai sentral dari pendekatan-
pendekatan ini. saya masih sepekat bahwa institusi
pernikahan, pada dasarnya hanyalah selubung bagi
institusi seksualitas yang menjadi inti dari relasi
badaniah antara suami-istri. Seksualitas, sebagai suatu
instsitusi baru berkembang setelah abad 18 setelah
sebelumnya hanya dianggap sebagai daging (flesh)
(Sarup, 2008). Mengapa institusi? Sebab ada gaming
rule didalamnya. mengedepankan seksualitas adalah
cara baru dalam memandang konstruksi-konstruksi
sosial, struktur, mode of governmentality, hingga
relasi-relasi (sosial, produksi, kuasa) di dalam
masyarakat. Ini sungguh menantang. Saya sempat
berpikir untuk segera menikah untuk bisa
mendapatkan legalitas seksual dan memahami konsep
ini lebih jauh. Tentu saja, karena ketika Anda
mengenal seks, saya yakin seluruh konsep, nilai,
pegangan, acuan, paradigma Anda akan terjungkir
balik.

Saya perlu membuat tulisan ini menjadi sistematika catatan,


sungguh. Waktu saya ternyata sempit. Oke, aspek kedua yang

62
mereka tanyakan adalah: mengapa orang berselingkuh? Saya
mencoba mengembangkan pertanyaan tersebut menjadi:
bilamana cinta itu ada dan hilang? Saya masuk dari adagium
yang begitu agung ini love is irrational dan saya begitu sepakat
karenannya. Kita kembali kepada konsep rasionalitas. Tidak
perlu terlalu tinggi untuk membedah Kant atau Hegel, cukup
satu mahaadagium Hegel ini: ‘semua yang real itu rasional,
semua yang rasional itu real’. Maka, singkatnya, cinta lahir dari
irasionalitas. Dari mana irasionalitas itu? Dari aspek-aspek
yang berada di luar batas-batas real. Saya mencoba
memperkuat konsep soal batas-batas pengetahuan ini. batas-
batas pengetahuan atau limit kognisi adalah konsep yang
sangat bagus dalam membuat garis demarkasi antara logika dan
rasa. Semua yang berada dalam batas-batas pengetahuan,
batas-batas rasionalitas adalah domain logika.

Cinta, rasa suka sebagai elemen irasional mengampu


domain diluar batas-batas pengetahuan tadi. Itu bisa sedikit
menjelaskan pertanyaan mengapa cowok cuek dan misterius
begitu menggoda. Mereka yang berada di luar batas-batas
rasional, batas-batas pengetahuan tadi jelas membuat kita
tertarik terhadapnya. Lalu mengapa tidak membuat pacar
khayalan? Jawabannya adalah kebutuhan badan. Suatu relasi
tidak murni hanya fantasi. Kita butuh relasi-relasi (sosial,
produksi, dan kuasa) didalam suatu relasi. Dalam domain ini,
kita bisa menggunakan motif-motif dasar manusia dan buat
saya relatif mudah untuk memahaminya. Katakanlah: ekonomi
moral, motif kapital, struktur, konstruksi tubuh, nafsu birahi,
you name it. Dari sini pula lahir relasi-relasi baru. Suatu
hubungan pria-wanita akan menuju tahap-tahap penyingkapan
diri yang semakin terekskalasi. Dari mulanya berteman,
pacaran, kemudian menikah. Masing-masing tahapan tersebut
memberikan ruang utuk mendekat lebih banyak.

63
Adanya ruang tersebut membuat eksplorasi terhadap
pasangan lain semakin mudah saja. Setiap penyingkapan baru
atau munculnya elemen-elemen yang tidak terduga dari
pasangan kita sebelumnya membuat irasionalitas cinta, elemen
mistisnya tetap hidup dan bernafas. Tidak lama sesudah
penyingkapan itu, setelah mistisnya hilang, maka mekanisme
sosial dengan motif-motif badaniah seperti yang sebutkan di
atas tadi yang berlaku. Maka jangan heran bahwa saya berani
mengatakan bahwa cinta orang yang menikah paling lama akan
bertahan selama satu tahun saja. Cinta irasional tersebut akan
hilang ketika elemen-elemen mistis yag tidak dapat
dirasionalisasi sebelumnya itu karena ada jarak sosial dsb.
Sudah tereskplorasi. Akibatnya? Mekanisme sosial lah yang
berlaku. Pernikahan Anda tidak akan ubahnya menjadi sebuah
sistem selubung. Super ego yang bermain didalamnya. Oke,
aspek ketiga: mengapa saya bertahan walau saya tahu saya
disakiti? Disini saya bisa mengajukan beberapa hipotesis. Ini
antaranya:

• Utopia; ketakmewaktuan Dassein. Anda perlu


membaca ‘Principles of Hope’ dari Ernst Bloch untuk
ini. suatu analisa yang begitu menggoda karena Bloch
mendedah konsep utopia dan harapan. Awalnya tentu
saja untuk memahami bagaimana proletar yang begitu
pahitnya ditindas oleh kelas borjuis tidak malah
megambil jalan bunuh diri atau menghilangkan
eksistensinya dalam bentuk apapun. Jawabannya
adalah: utopia, fantasi. Dalam konteks
eksistensialisme Heidegger, utopia menafikan
kewaktuan Dassein, karena Dassein kemudian
menginternalisasi masa depan mereka ke waktu ini.
proyeksi masa depan itu yang menjadi jalur bagi
Dassein untuk tetap berada di relnya. Ini berbahaya
memang karena dapat berujung pada schizophrenia

64
dan dimulai dari mimpi-mimpi yang Nampak begitu
nyata. Saya beberapa waktu pernah mengalaminya
dan pernah berdialog langsung dengan seorang
schizofren. Ini tidak baik memang.

• Pola patron-klien, khusus bagi Anda yang sering tidak


dianggap. Anggap lah bahwa memang sudah tidak ada
rasa lagi antara Anda berdua, namun relasi Anda
memberikan fasilitas-fasilitas yang menyenangkan. Ini
terjadi antara selir-selir priyayi zaman dulu dan relasi
antara buruh tanah dengan tuan tanah. Bahwa dalam
relasi Anda, Anda menemukan keamanan, security.
Ketika orang tahu Anda dalam relasi berpacaran maka
orang akan enggan menggoda Anda orang akan
enggan mendekati Anda. Terlebih apabila dalam
hubungan itu Anda mendapat kebutuhan primer
makan dibayarin, dibeliin baju dan rumah. Ini bukan
soal tidak tahu diri atau oportunis, ini soal strategi dan
motof sosial.

• Self-abusement. Ini yang paling menarik: pola


masochism. Masochism adalah sifat dimana Anda
tidak dapat mencapai orgasme seksual apabila tidak
diberikan rasa sakit. Begitulah, beberapa orang
bekerja dan berelasi dalam jagat sosial. Anda merasa
perlu disakiti, Anda merasa bahagia justru ketika
disakiti. Jangan khawatir, pengalaman masa lalu Anda
yang bermain disini. Anda mungkin pernah
melakukan suatu kesalahan atau dosa yang belum bisa
Anda tebus. Selain itu, Anda mungkin butuh perhatian
lebih karena simply, Anda kesepian dan nyaris seluruh
manusia modern mengidap patologi kesepian ini.

Oke, tiga aspek dan saya rasa cukup dulu, I have given the
point. Sedikit curhat, yah, kesulitan saya mendapatkan pacar

65
adalah karena saya rasa saya punya kecenderungan untuk
merasionalisasi segala hal ini. Saya sudah tidak begitu percaya
pada mekanisme rasa. Adanya mistis kecantikan hanya
bertahan sebentar saja setelah saya tahu bahwa kecantikan
perempuan itu adalah konstruksi media dan manipulasi pola
konsumsi. Ada perempuan baik hati dan sangat etis, namun
cinta irasional saya akan hilang setelah tahu rasa baik hatinya
dipengaruhi oleh suatu nilai-nilai atau set etika tertentu yang
akan mudah saya bongkar setelah mengetahui latar
belakangnya. Ada cewek pintar, namun cinta irasional saya
akan hilang begitu tahu darimana ia mengambil kepintarannya:
kuliah jurusan apa, buku apa saja yang dia baca, dan batas-
batas etis pengetahuannya. Demikian lah, kualitas baik, cantik,
dan pintar tidak cukup mistis untuk menumbuhkan irasionalitas
cinta pada diri saya.

Otentitas? Lol, apa yang otentik di zaman ini? Sebagai


catatan akhir, tentu tulisan ini tidak hadir sebagai pembatas dari
kemungkinan-kemungkinan lain yang terjadi. saya akan
maklum, bahwa anda akan melancarkan barikade self-defense
mechanism dengan satu anathema pamungkas ini: sotoy! Tidak
apa tentu saja, sains dan filsafat berkembang bukan sebagai
dogma. Prinsip utama yang mau saya tegaskan adalah, belum
ada cukup mistis atau irasionalitas yang membuat saya
mencintai secara irasional. Segala macam keanehan rasa,
invaliditas fenomena dapat ditarik ke dalam bingkai-bingkai
logika yang memenuhi kaidah ilmiah. Saya memang berada di
tepi saintisme dan bersyukur sekali saya sadar akan hal itu.
Namun, saya belum (dan semoga tidak) menjadi maniak yang
begitu mengagungkan kemajuan ilmu pengetahuan positif.
Saya tahu dan menyadari konsekuensi modernitas ini dan
menolak untuk mendogmakannya. Kenapa saya seperti ini?
hehe, saya pun mulai bisa menyadari alasannya. Marilah
berdialog di dunia nyata.

66
Penutup untuk mu.

Tahukah kamu aku selalu menyandarkan kepalaku pada


pundakmu dalam imajinasiku

Berbincang tentang kesepianku tanpamu pada bayangmu

yang terjamah namun jauh tak terkira

sebab kini aku lebih mencinta bayang dibanding bentukmu

Dengarkah kamu ketika aku mendesahkan namamu ketika aku


terasing

Sampaikah pesan dekapanku yang kularung saat aku terlarut


di laut

laut tak bertepi yang tak asin pun tak manis

Sadarkah kau atas yang tak kunjung kupahami

bagaimana caraku merindumu bila aku tak menemukan


bentukmu

bagaimana caraku membentukmu bila aku tak menemukan


bayangmu

(*)

Ini semua kupersembahkan dengan sederhana

Sesederhana aku mencintaimu atas keresahan-keresahanku

Sesederhana aku mencumbumu untuk keheningan yang


kudengar dalam keramaian

Sesederhana aku merindumu karena sesak yang tak kunjung


terlegakan

67
Sesederhana aku mengorbankan segala yang menjadi miliku
untukmu

Sesederhana pertanyaan

Sesederhana gugatan

Sesederhana kegalauan

Reguk dan puaskanlah dahagamu atas nikmat hidup sayang,


biar aku yang carikan maknanya untukmu.

Pernahkah, ketika suatu hari kamu memandangnya, laut


menyampaikan pesanku padamu?

Aku menitipkan resahku pada gelombangnya dan membisikan


rindu pada anginnya.

Agar kau tahu lembutnya belaian angin laut adalah usapan


rasa rinduku.

Dan agar kau tahu kuatnya gelombang yang menerpamu


adalah ungkapan keresahanku.

(*)

Aku bercerita banyak padanya.

Tentang rindu yang tak teratap dan perasaan yang tak terucap.

Dan dalam sunyi masih kucari kamu di bawah endapan larik


ini.

68
Vidi Vici Lavida
(Saya datang dan melihat hidup yang sangat Panjang)

mccoverfield

69

Anda mungkin juga menyukai