Buku Arena Tertutup
Buku Arena Tertutup
(coverfieldland)
SAN’S PUBLISHING
(Social and Network’s Bogor)
Daftar Isi
Preambul ................................................................................. 1
Berdagang ...................................................................... 23
Ranah .............................................................................. 26
Kausalitas ....................................................................... 29
Perang ............................................................................. 32
Intermezzo ...................................................................... 37
Terasingkan................................................................... 41
1
Aforisme PART 1 (Vidi Vici Lavida)
Conundrum (teka-teki)
2
sudah belajar untuk mencukupi diri sendiri dengan segala yang
saya punya. Tentu lah ini terdengar klise, namun menjalaninya
tidak semudah itu. Saya harus terus mengipasi diri dengan
pseudo-motivasi dan terus-menerus menutup mata dan telinga
untuk tidak peduli dengan pencapaian-pencapaian yang orang
lain lakukan di sekitar saya. Pada suatu waktu, saya tentu saja
sedikit khawatir dengan cara ini karena sewaktu-waktu saya
bisa kehilangan empati dan menjadi nihilis garis keras. Hingga
saya mencoba berkelit dan bersahabat dengan segala batasan
yang ada. Bahwa batasan ada bukan lah untuk dilewati
melainkan dilampaui. Pelampauan, ah, saya suka dengan kata
itu karena ia nirmana.
3
penghayatan akan kebersamaan, bukan keinginan kompetisi
dan saling mengalahkan dan membawa kepada ketenangan,
sesuatu yang dimiliki oleh setiap manusia di dalam dirinya
namun tak henti manusia itu mencarinya hingga lupa kalo ia
sebenarnya sudah memilikinya. Ah manusia memang aneh.
4
benar-benar cinta sudah tutup saja mulutmu, jangan bilang
siapa-siapa” Seperti itulah kira-kira. Dalam diam kita akan
terlepas dari kerangkeng simbol. Simbol menguras banyak
sekali energi dalam interpretasinya. Menurut Anda seberapa
mudah coding? Dalam proses interpretasipun, sang
interpretator tak mungkin luput dari kesalahan. Sekali lagi,
degradasi makna dan nilai. Jika diam adalah emas, maka
mencintai dalam diam adalah perak dan kesempurnaan jiwa
Emas (ougon) merupakan jiwa dunia, sementara perak
melambangkan kemurnian jiwa. Esensi dunia dilambangkan
dengan emas, sehingga ia dianggap logam paling berharga.
Kilaunya merupakan pertanda keberhargaan, kemakmuran, dan
supremasi Sementara perak? Kilau tanpa warnanya
melambangkan kemurnian jiwa.
5
Bagaimana model dan persamaan matematisnya akan membuat
mata Anda terpuntir ke belakang. Cabang ilmu fisika partikel
dapat saya anggap sebagai avant-garde dalam ilmu fisika teori,
saking jelimetnya. Lalu apa pentingnya tahu hal ini? Hidup itu
seperti foton. Tak bermasa dan hanya eksis ketika ia bergerak.
Semakin ia cepat bergerak, maka energinya akan semakin
besar dan nyata. Tidak hanya itu, Tuhan pun hanya eksis dalam
proses menjadinya (becoming bukan being). Itulah pentingnya
membuat pergerakan dalam hidup. Seperti pula kata Einstein,
bahwa menjalani hidup seperti naik sepeda, Anda akan jatuh
kalau berhenti. cukup melamunnya, saatnya review kuliah.
Estetika Rasional
6
Padahal, selain an sich dari bentukannya, suatu fenomena
geomorfologi juga diklasifikasikan berdasarkan proses
terbentuknya. Doline tadi, jika dilihat dari prosesnya bisa
beranak pinak menjadi subsidence doline, collapsed doline,
atau solution doline. Sampai pada titik ini, kita bisa
membayangkan berapa banyak istilah yang harus dijejalkan ke
dalam satu kepala hanya lewat geomorfologi saja. Tak jauh
berbeda, dalam ilmu sosial, kita juga harus berhadapan dengan
berbagai macam istilah yang kadangkala bikin macet. Wabil
khusus dalam rumpun keilmuan sosial, kita berhadapan dengan
sesuatu yang nyaris tidak empiris. Maka sebagai tantangan
baru, selain kemampuan identifikasi, kita perlu kecerdasan
abstrak yang membuat kita mampu merasakan suatu fenomena
dan membedakannya dari fenomena lain.
7
tersendiri. Ketika entitas tersebut lahir, kita akan dapat
mengkajinya. Sebagai gambaran, atribut demokrasi seperti
rakyat, pemilihan umum, dan dewan akan bertentangan dengan
atribut-atribut di teokrasi seperti tuhan, keturunan, dan petinggi
agama. Bilamana kemudian kita sampai pada kajian ilmiah
seperti pertanyaan: mana yang lebih cocok diterapkan di dalam
iklim sosial-budaya Indonesia? Kita sudah separo jalan sebab
sudah memahami atribut ciri dan karenanya akan dapat
dikontekstualisasi ke dalam dunia riil. Selain tentu saja muatan
kepraktisan. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam menciptakan
suatu terma atau entitas baru, diperlukan dasar-dasar.
8
Tak perlu risau, pelan-pelan saja melangkah Itu satu hal, ini
hal yang lainnya. Selain pemahaman abstrak atau kesulitan
memhami istilah baru, yang menjadi kelemahan berikutnya
adalah kurangnya apresiasi. Ini kita sudah mafhum, sedari kecil
secara sadar atau tidak kemampuan apresiasi kita terhadap
dunia sudah dibelenggu dan dihimpit. Kita tidak pernah
diajarkan betapa indah dan menyenangkannya dunia ilmu
pengetahuan yang sebenarnya. Salah satu faktornya jumlah
mata pelajaran kesenian yang sangat terbatas dan itu pun diisi
oleh materi dan kegiatan kreasi, bukan apresasi. Saya
membayangkan bahwa mestinya dalam setiap pelajaran
kesenian kita diberikan satu karya untuk kemudian diapresiasi
bersama bukan Cuma diisi kegiatan melukis dan membuat
prakarya. Hal tersebut saya pikir berujung pada impotensi
teman-teman kita menangkap keindahan dari suatu fenomena.
9
tentu saja buku-buku karangan Soe Hok Gie: Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan dan Dibawah Lentera Merah. Mereka
adalah orang-orang yang sanggup menggunakan sastra dalam
karya ilmiahnya. Sayangnya, lagi-lagi sayangnya, segala
macam keindahan itu dianggap sebagai musuh bagi sistem
pendidikan kita. Barangkali memang kita manusia tak perlu
lagi keindahan. Semoga tidak.
Kronoskopik kapital
10
Zuhanendes (Hardiman, 2016). Hubungan Dassein dengan
zuhanendes tersebut adalah hubungan yang menangani
(Besorgen) dimana zuhanendes tersebut digunakan
Dassein untuk melakukan sesuatu. Pemahaman mengenai relasi
manusia dengan perkakasnya menjadi penting karena lewat
relasi tersebut manusia membentuk horizon kesadarannya
mulai dari horizon masa lampau juga horizon pengharapan.
Selain membentuk horizon kesadaran, manusia juga, lewat
penggunaan perkakas tersebut mengintervensi realitas dan
menjadikannya sesuai keinginan. Keinginan atau hasrat
manusia merupakan elemen yang tidak bisa dilepaskan dalam
kasus ini. lewat keinginan tersebut, manusia menciptakan
sebuah idealitas, proyeksi, juga harapan. Bahan-bahan tersebut
dikomposisi sedemikian rupa hingga membentuk utopia atau
bahkan mengkreasi Tuhannya. Penguasaan manusia dan
hasratnya itu yang menuntun manusia pada kemampuannya
yang paling termahsyur ini: rekayasa dimensi. Dari seluruh
cabang perekayasaan yang pernah saya temui selama berkuliah
di Fakultas Teknik, saya pikir perekayasaan dimensi adalah
cabang perekayasaan yang paling menakjubkan. Dari
perekaysaan tersebut manusia mampu menekuk ruang dan
memotong waktu. Dimensi, ruang-waktu kini berada dalam
genggaman manusia. Rekayasa ruang sebagai dunia, rex
extensa telah begitu sering dilakukan. Dunia fisik ditempa,
diubah, dilumerkan sesuai yang dikehendaki manusia. Gunung-
gemunung diratakan, perairan dikeringkan, hutan belantara
merupakan masterpiece juga milestone penaklukan dan logika
dominasi manusia yang paling kentara. Namun kita tentu lah
tidak pernah puas sebab setelah puas mengintervensi dimensi
ruang kita dihadapkan pada realitas ruang yang paling
menakutkan: ruang hidup kita, semesta dan alam ini boleh jadi
tidak terbatas. Infinitas adalah salah satu ketakutan manusia.
Ruang infinit bagaimanapun menimbulkan kegentaran dan
sensasi yang menggetarkan acapkali kita membayangkannya.
11
Dan segala yang bisa dibayangkan manusia berarti bisa dan
sebaiknya ditaklukan sekalian. Dalam kasus ruang ini, syarat
untuk bisa menaklukannya adalah dengan manipulasi waktu.
Manipulasi waktu memiliki skala dan modus yang beraneka
rupa mulai dari modus real time lewat piranti elektronik hingga
imajinasi perjalanan lintas dimensi menggunakan worm hole.
Segalanya ditujukan untuk satu tujuan semata: downsizing.
Mari menjejak kembali ke sekitar kita untuk mendapatkan
kesadaran setelah gambaran abstrak mengenai realitas dan
yang tak terbatas sebab segala ini hanya ditujukan untuk satu
proyek semata: globalisasi.
12
narasi-narasi besar tersebut. Sementara bagaimana dengan
waktu? Menurut Pialang (2017), dimensi waktu perlu
di downsizing dan diringkas semakin kecil dan pendek sebab
dunia ini perlu dijadikan suatu sistem yang homogen.
Perbedaan, pluralitas, dan narasi-narasi kecil akan
teramalgamasi dan terapropriasi pada struktur yang lebih ajeg.
Apropriasi sendiri merupakan suatu proses dan yang namanya
proses membutuhkan waktu. Tujuan utama kapitalisme adalah
menyatukan seluruh dunia dalam satu mekanisme pasar yang
sama dan mengakuinya sebagai sistem tunggal. Begitulah sifat
utama narasi besar, dimana-mana mereka butuh diakui sebagai
sistem yang paling benar. Upaya penyatuan dunia ini disebut
sebagai globalisasi dan apa yang menghambat proses itu?
Yeps, waktu.
13
waktu yang kronoskopis. Sedikit penghiburan bagi mereka
yang masih punya semangat melawan. Jangan khawatir, kita
masih bisa menundanya. Dan dalam konteks waktu, penundaan
adalah kemenangan. Mari melambat bersama.
Techne (keterampilan)
14
manusia dengan hewan, manusia dapat merancang,
memperkirakan, dan mendesain sesuatu dengan berbagai
macam pertimbangan sebelum mengeksukisnya. Manusia tidak
bergerak hanya semata-mata dorongan insting dan reflex
belaka. Konsep tersebut yang perlu didekonstruksi untuk
menjawab permasalahan apa yang menjadi dasar pertimbangan
pemikiran manusia dalam mengeksekusi tindakannya? Pada
rentetan logika premis ini, saya pikir meletakan rasio sebagai
dasar segala sesuatu adalah sesuatu yang kontekstual. Maaf
sekali saya perlu memotong rantai premis tersebut dan
mendudukannya sebagai suatu perkara dogmatic karena jika
harus terus dielaborasi, energi saya habis, bapak dan ibu.
15
efisiensi adalah rekayasa pengelolaan, efisiensi adalah politik.
kita tahu bahwa upaya masyarakat ditujukan semata-mata
untuk mempertahankan kelangsungan hidup individunya
dengan mengekstrak energi dari sumber daya yang ada di
sekitar mereka. Masyarakat yang memiliki berbagai macam
individu yang unik kemudian harus dapat mengatur strategi
sesuai dengan keunikan komponen individu mereka. Mereka
yang berbadan besar, mereka yang pintar menghitung, mereka
yang pintar menembak, mereka yang berbadan kecil masing-
masing memiliki keuntungan dan posisi yang spesifik untuk
mengekstrak energi tersebut dari sumber daya secara optimal.
Kini kita bisa menjejak lebih tinggi dan lebih jauh dari
semangat rasional yang didasarkan pada efisiensi seperti yang
dikampanyekan oleh modernitas kepada semangat pasca
modern yang bertumpu pada irasionalitas. Herbert Marcuse
menyatakan bahwa dalam memenuhi rasionalitas yang berbasis
efisiensi tersebut, manusia pada akhirnya berubah menjadi
makhluk irasional. Seluruh upaya rasional manusia akhirnya
justru berujung pada hasil-hasil irasional. Fenomena tersebut
16
umum sekali terjadi seperti bilamana kita mendedah suatu
fenomena, yang kita temui bukan lah penjelasan melainkan
kebingungan yang semakin menjadi-jadi. Mulailah dari
pertanyaan soal mengapa benda yang dilepas jatuh ke bawah
dan kita akan berakhir pada teori-teori maha aneh. Mulailah
dengan upaya rasional dengan mengikuti rasa keingintahuan
kita dan kita akan berakhir dalam kegelapan dan kebuta arahan.
17
belaka. Permasalahan yang sama dapat dikaitkan juga dengan
bagaimana, katakan lah, aksi 212 yang seringkali dikatakan
irasional itu sebenarnya rasional juga karena berhubungan
dengan efisiensi? Mungkin saja konsep efisiensi bergeser
seiring dengan perkembangan teknologi dan meliarnya wacana
seiring dengan semakin gencarnya informasi dan semakin
murahnya pengetahuan. Bila memang demikian, maka efisiensi
apa yang tengah kita jalankan? Gila. Irasional. Saya sebal.
Dead cheat
18
Penyihir kedua meminta sebuah benda yang dapat
memberikannya kehidupan abadi. Kematian kemudian
membuatkannya batu bertuah yang menghasilkan cairan yang
mampu membuat seseorang muda kembali. Dengan menenteng
pemberian kematian itu, penyihir kedua melangkah menuju ke
seberang sungai. Tiba lah akhirnya penyihir ketiga, saudara
paling kecil untuk meminta benda apa yang paling dia
inginkan. Konon, saudara paling muda ini adalah orang yang
rendah hati. Dia meminta sebuah benda yang dapat
menyembunyikannya dari apapun di dunia ini, termasuk
kematian. Maka kemudian, kematian menyobek bagian
jubahnya dan memberikannya kepada penyihir ketiga.
Potongan narasi tersebut merupakan potongan cerita dari saga
Harry Potter yang sangat termahsyur itu. Narasi tersebut
muncul di bagian 7, Harry Potter and the Deadly Hallows,
yang sekaligus merupakan bagian penutup. Saya lupa
kelanjutan narasi tersebut, namun biar lah sedikit saya
bocorkan bahwa kemudian kedua penyihir pertama akhirnya
kembali didatangi kembali oleh kematian yang marah karena
gagal mengambil mereka di sungai tersebut. Hanya saudara
penyihir yang paling kecil, penyihir ketiga yang memiliki
kemampuan untuk bersembunyi dari kematian sehingga
kematian tidak dapat menemukannya untuk mengambilnya. Itu
lah inti dari postingan ini: menipu kematian. Untuk kesekian
kalinya saya tuliskan bahwa salah satu komponen utama, jika
ia bukan yang utama dan satu-satunya dalam kehidupan
manusia adalah kematian. Apapun yang Anda lakukan di
dalam hidup ini, entah itu latar belakangnya, cara Anda
menikmatinya, atau tujuannya, semata-mata, disadari atau
tidak, berhubungan dengan kematian. Kematian hadir dengan
kekuatan penggerak (driving forces) yang menyamai bahkan
melebihi insting seksualitas meskipun keduanya pada dasarnya
memiliki basis yang sama. Kematian berurusan dengan
keberadaan individu sedang seksualitas berurusan dengan
19
keberadaan kelompok atau komunitasnya. Manusia pasti, dan
ini merupakan salah satu sedikit dari preposisi yang
mengadung unsur kepastian didalamnya, menemui ajalnya,
cepat atau lambat. Premis tersebut yang harusnya menjadi
salah satu batang tubuh realitas yang ajeg (steady) dan tidak
berubah. Dalam menghadapi kematian, manusia menghadapi
ketakutan. Metafora tersebut diangkat sebagai upaya dalam
menyadari manusia bahwa kematian merupakan sesuatu yang
menakutkan namun dibaliknya, terdapat kemuliaan dan
keagungan yang hanya bisa dicapai melalui perbuatan-
perbuatan yang manusia lakukan selama hidupnya.
20
Meaning (1971). Becker mengatakan bahwa ketakutan manusia
terhadap kematian adalah ketakutan yang maknawi, bukan
ketakutan yang badaniah. Berpijak dari pendapat tersebut,
maka kematian yang menakutkan, dalam kacamata Becker
adalah kematian simbolis. Dalam memanifestasikan kematian
simbolis tersebut, manusia menyusun bebagai perangkat yang
juga simbolis untuk merayakan kematian (Palgi &
Abramovitch, 1984). Selebrasi kematian tersebut termanifestasi
dalam berbagai ritual dan perayaan serta pernak-pernik
badaniah kebudayaan. Dalam berurusan dengan kematian yang
simbolis tersebut, manusia mengembangkan seperangkat alat
untuk menghadapi atau bahkan melawannya.
21
kematian. Sheldon Solomon dan kawan-kawannya yang baik
hati mengkompilasinya dan dituangkan dalam buku mereka:
‘The Worm at The Core’ (2015) dan mengelompokannya
menjadi keabadian literal (literal immortality) dan keabadian
simbolis (symbolic immortality) entah karena mereka seorang
psikolog atau mereka memang tidak menemukan ada solusi
untuk menuju keabadian badaniah (physical immortality)
sehingga mereka tidak mengkategorikannya. Keabadian literal
adalah kepercayaan bahwa pada dasarnya ada bagian dri
seseorang yang tidak akan mati. Kita begitu akrab dengan
konsep ini bahwa setelah kematian, jiwa kita akan melayang
entah dan keudian memasuki sebuah alam lain yang tidak
pernah dapat dibuktikan secara rasional namun memiliki
kekuatan keyakinan yang sangat besar: alam baka. Jiwa kita
diyakini tidak akan menghilang setelah kematian dan akan
menemukan ganjaran atau balasan sesuai dengan apa yang kita
lakukan semasa hidup, meskipun dengan gambaran yang
sangat badaniah. Beberapa orang menganggapnya serius. Para
firaun harus mengerahkan ribuan orang untuk membuatkan
makam dan mempersiapkan kematiannya agar di kehidupan
setelah kematian nanti ia tidak kerepotan. Cerita lain berasal
dari Kaisar Shi Huang Ti yang harus membuat pasukan
terracotta supaya dia merasa aman setelah kematian. Semua itu
merupakan manifestasi keabadian literal yang meyakini bahwa
setelah kematian badaniah, jiwa kita masih ada di suatu tempat
sana. Keabadian simbolis berkaitan dengan kuasa dan pengaruh
kita di dunia. Barangkali ungkapan Pram bahwa ‘menulis
adalah bekerja untuk keabadian’ adalah manifestasi dari
keabadian simbolis. Dengan meninggalkan pengaruh (legacy)
ita dapat memastikan bahwa kita tetap ‘ada’ dan hadir di dunia
yang harus dimaknai ini. Pada akhirnya, kita hanya bisa
menipu kematian lewat upaya-upaya simbolis. Meskipun
demikian, bagi Anda yang pernah menonton film Jhonny Depp
yang berjudul ‘Transendence’ Anda dapat memiliki gambaran
22
bagaimana manusia di masa depan akan sanggup mengalahkan
kematian dengan hanya mengupload nyawa kita. Bukankah
nyawa kita hanya sebatas impuls-impuls listrik dalam jaringan
korteks saraf-saraf kita? Sama seperti konsep data di ilmu
computer. Ah, saya jadi bodoh begini.
Berdagang.
23
pernah mengalaminya ketika di tepi hutan sungai dan harus
membuat pondokan dari material kayu yang ada di sekitaran.
Memalukan, sungguh memalukan. Fenomena ini apa yang
disebut sebagai alienasi. Tapi bukan alienasi an sich yang mau
saya bahas.
24
bahan makanan (memasak), membuat produk pakaian
(menjahit), hingga mengolah material alam (nukang) adalah
hal-hal dimana saya berubah menjadi pecundang. Tapi apakah
itu salah? Ya tentu saja ketika kamu harus berhadapan kepada
pemenuhan-pemenuhan kebutuhan. Namun kita toh bisa
meminta orang lain untuk menyediakan bahan tersebut untuk
kita bukan? Tidak semua hal harus dipenuhi sendiri? Hoho,
berangkat dari situ dan berakhir di kapitalisme.
25
pribadi yang berkembang hingga tahap paling absurdnya:
finansial. Begitu lah perdagangan kemudian membuat dunia
menjadi sangat rumit.
Ranah
26
Di satu sisi, makhluk manusia dianggap sebagai produk
kebebasannya, segala motivasi, preferensi, dan perilaku
manusia adalah hasil pemikirannya sendiri. Di sisi lain,
makhluk makhluk manusia dianggap sebagai produk-produk
struktur masyarakat dan makhluk manusia lain di
sekelilingnya. Perdebatan ini begitu fundametal dan mengakar.
Dan, puf! datanglah Bourdieu dengan konsep mahaeloknya:
habitus. Namun, sama seperti konsep eksistensiaisme
Heidegger, konsep ini sulit dipahami. Untuk itu, daripada saya
menceritakan konsep yang tidak-tidak, maka saya ambil
pemikiran Bourdieu yang relatif lebih sederhana: konsep arena.
Terminologinya berbeda-beda, bisa arena atau ranah atau field,
tergantung buku mana dan siapa yang menterjemahkannya.
27
lah kira-kira. Menjadi menarik ketika kita memandang diri kita
atau setiap makhluk manusia adalah masing-masing arena.
Saya, Anda, dan 7 milyar manusia lain merupakan arena
tempat aktor-aktor meletakan investasi dan memanen investasi.
Sebagai arena kita menjadi tempat pertarungan berbagai pihak.
Sebagai contoh: orang tua, pemuka agama, dosen, pacar, istri,
hingga peer group.
28
Kausalitas
29
nihilio melainkan emanasi yang berlaku. Pusying pala Barbie,
baik kita simpan dulu perdebatan maha abadi ini ke dalam
kotak bersama dengan kucing Schroedinger dan kita buka nanti
setelah benar-benar memahami prinsip-prinsip fisika kuantum.
Deal. Lewat paragraph diatas, saya mau menyatakan bahwa
prinsip kausalitas dapat diterima dengan baik sesuai dengan
disiplin positivism logis yang ketat dan sok disiplin itu lewat
proses falsifikasi walau serampangan.
30
sebenarnya tak seberapa itu. Dalam merasionalisasi sesuatu
untuk membuat Anda tetap berada dalam posisi berkuasa,
genealogi atau asal muasal sesuatu merupakan variabel yang
hakiki. Ini yang berbuah pertanyaan yang menurut saya sangat
mendasar: apa ini dan darimana ini. Keduanya terangkum
dalam semesta yang berbeda namun berkelindan membentuk
pemahaman akan realitas dan rasionalisasi di dalamnya, ya
termasuk kegalauan eksistensial Anda yang tak seberapa itu.
Kita bisa merunutnya. Salah satu pendekatan yang dapat Anda
lakukan adalah progressive contextualization yang dicetuskan
dengan jenius oleh Andrew Vayda (1983). Saya mendapatkan
metode ini dalam diskusi Lingkungan Sosial Budaya dan jujur
saja, metode ini mengerikan.
31
manusia mati. Manusia yang merasa mendapatkan jawaban dan
penyebab dari rantai kausalitas termasuk segala-gala penyebab
dari kemahakompleksitas tersebut adalah manusia yang mati.
Dan sebagai manusia yang mati, ga usah ditemenin yuk.
Perang.
32
suatu tempat, perang juga menjadi penyebab terjadinya
berbagai macam peristiwa besar. Dari segi romantika, perang
merupakan aspek yang bersinggungan sangat dekat dengan
tragedy, kehancuran, dan kematian. Ia berdiri dia batas
kegamangan antara dunia faktual yang berisi statistik,
peristiwa, dan kenyataan yang hambar serta tidak berasa dan
dunia tragedy yang penuh jerit pilu, rasa sakit, duka, dan
trauma. Sifat dualitas ini menjadikan perang dan bencana
memiliki sindrom bipolar. Oleh sebab itu, secara realitas,
perang, bencana dan tragedi sesungguhnya topic yang hangat
untuk dibedah. Namun, dibanding bencana, perang lebih
menarik untuk dikaji.
33
Cina mempunyai legenda tiga kerajaan Sam Kok salah satu
buku filsafat sangat dahsyat, ditulis Sun Tzu dengan judul “The
Art of War”. Dalam masyarakat dengan cakupan yang lebih
tipis, berbagai macam unsur kebudayaan tercipta sebagai
representasi peperangan. Masyarakat tempatan pra-modern
memiliki berbagai macam symbol yang berhubungan dengan
peperangan. Tarian, nyanyian, teater, hingga berbagai totem
mempunyai kaitan dengan peperangan. Selain itu, perang juga
menentukan struktur masyarakat dalam masyarakat tempatan
pra-modern tersebut. Pemimpin, sang chief umum ditentukan
dri sang pemimpin perang.
34
otak Anda adalah soal bersenang-senang. Well, ketika tidak
ada hiburan atau pekerjaan yang menghibur, mungkin Anda
bisa iseng-iseng ke desa tetangga lalu mulai memanahnya
dengan api hingga berhamburan lah orang-orang di desa
tersebut dan mulai lah Anda beradu pedang. Nonsense? Pada
awalnya iya. Namun ketahuilah bahwa banyak sekali perang
yang berawal dari alasan yang sama tidak rasionalnya seperti
mencari permainan. Manusia, untuk beberapa kasus bersifat
fetis dan senang sekali mendapatkan unexplained pleasure.
Biarpun, pada dasarnya pleasure adalah tidak terjelaskan.
(konteks apa ini? ga ada penjelasannya sama sekali). Perang
sebagai sifat alamiah manusia. Manusia, seperti makhluk
lainnya memiliki insting pembunuh. Separo berasal dari
semangat seleksi alam separo lagi berasal dari fetisisme dan
unexplained pleasure. Saya punya banyak teman yang punya
bakat destruktif. Umumnya, secara psikologis, sifat destruktif
manusia berasal dari kebosanan dan dorongan dari dalam diri
yang tidak tersalurkan.
35
yang mereka anut ketika bosa atau mati gaya adalah benar-
benar melakukan daya perusakan. Hal tersebut yang memicu
begitu mudahnya skala suatu kejadian terekskalasi.
Rasionalisasi kita menuntut kalkulasi untung-rugi, itu
primordial.
36
yang paling tinggi. Identitas menjadi kebutuhan yang harus
dipenuhi sebagai mode of self-actualization. Itu sebabnya,
Hitler dan Mussolini bernafsu sekali menegakan Third Reich
dan kejayaan romawi kuno. Dua perang besar terakhir
merupakan perang yang lebih didasarkan kepada identitas dan
semangat chauvinistic. Berbeda dengan perang ketika abad 18
yang isinya adalah perebutan Negara jajahan. Berbeda dengan
perang 18 abad sebelumnya yang isinya adalah perebutan mode
of subsistence.
Intermezzo
37
Apa sebab? saya tidak tahu, mungkin upaya mengucapkan
terima kasih, ungkapan syukur, atau rasa hormat mereka.
Apapun alasannya, hal tersebut adalah hal yang mutlak untuk
dihormati, tidak bisa tidak. Lantas saya dengan sangat kurang
ajar bertanya, tepatkah demikian? Krisis persembahan ilmu
pengetahuan dapat berakibat dengan eksploitasi atau
penyalahdunaan ilmu pengetahuan itu sendiri. Masih segar di
ingatan ketika kasus Rembang banyak sekali pihak menuduh
seorang doktor Geografi, tidak memihakkan ilmu
pengetahuannya kepada rakyat kecil alih-alih ke kapital. Bagi
saya, itulah salah satu contoh krisis pembakitan ilmu
pengetahuan. Tantangan tak berhent sampai disitu. Salah satu
gawean yang tengah saya jalani kini menjadi ring tinju, ajang
baku hantam ilmu pengetahuan dengan fenomena yang nyata.
Simpel, ini masalah pengangkatan air saja, tapi di tataran
konseptual, ini merupakan Ragnarok antara kepentingan dan
posisi ilmu pengetahuan yang dalam konteks saya, adalah
seorang sarjana. Dan dalam konteks dunia nyata, sarjana adalah
pelayan kapital yang paling setia. Kepada siapa ilmu itu
dibaktikan memang akhirnya menjadi pilihan dan dalam kasus
ini, saya harus memilih benar-benar kepada siapa. But, this is
all joke, isn’t it?.
38
saya juga bingung padahal setahun aja ada ribuan wisudawan”
Lalu saya turun dari grabcar itu. Suara grassroot memang
mempunyai intensi lebih. Saya membayangkan pertanyaan
semacam itu disampaikan di seminar oleh seorang kritikus
pendidikan atau aktivis gerakan misalnya, saya hanya akan
menganggap ucapan tersebut basa-basi semata. Saya mungkin
terjebak dalam, menurut istilah Windu W. Jusuf di artikelnya
yang berjudul “Belajar, belajar, belajar”, fetisisme terhadap
akar rumput sehingga buat fetisisme semacam itu, semua
‘orang kecil’ atau kelas menengah rendah adalah selalu benar
adanya. Bisa jadi demikian, di tengah nuansa solidaritas dan
empati sosial yang begitu merosot kini, semua yang berada di
luar kelas kapitalis adalah kaum hopeless dan kemudian apa
yang terjadi? Komodifikasi pahala.
39
negara ini dengan ratusan hingga ribuan, apa sebaiknya kita
sebut? wisudawan saja ya, wisudawan yang kemudian seperti
kemunculannya, hilang begitu saja. Begini bang, saya
sejujurnya juga pesimis abang dapat merasakan pengaruh para
wisudawan yang dahsyat tersebut. Abang setiap hari melihat
dunia sejauh satu rit dari jalan, tidak kenal libur dan sekali-kali
meninggalkan trayek buat pulang kampung atau mengantar
carteran. Sementara para wisudawan kami bersembunyi di digit
ke 14 di belakang koma angka pertumbuhan ekonomi negara
abang. Ada pula yang berada di pasal ke sekian ratus di
Rancangan Undang-Undang atau di sekian persen komposisi
kimia di minuman energi yang abang konsumsi setiap hari. Bak
menggarami lautan, memang menumpahkan sekian ribu
sarjana ke blantika negara ini tak mengubah apa-apa secara
signifikan ya bang? Tapi ada satu wisudawan yang kemudian
menaikan harga BBM kok bang, mungkin itu yang abang
rasain ya, tapi kalo perubahan negara ini, sebenarnya di tangan
abang lah ia berada. Mereka berkuliah dari sebagian pajak yang
abang bayarkan setiap beli bensin atau ganti spare part angkot.
Mereka berpeluh-peluh mengerjakan skripsi, bergadang
mengerjakan tugas, mengkaji dan mengaji. Mereka turun ke
masyarakat, menjelajah ke daerah, menyelesaikan persamaan
kalkulus tensor atau setengah mati memahami Hegel.
40
philosophy, dead of economy, dan semua di zaman ini sudah
mati.
Terasingkan.
41
teknologinya. Ia mengatakan bahwa teknologi merupakan
pemenuhan kebutuhan semu semata. Sementara kebutuhan
yang lebih hakiki yakni komunikasi tidak tercipta. teknologi
dan informasi pada masa kini telah berjalan beriringan bukan
hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan (baik nyata
maupun semu) namun, melihat Baudrillard, sampai pada
fondasi eksistensial manusia. Informasi yang kemudian
menjadi pembentukan eksistensi dan karenanya menjadi kertas
tempat identitas mereka digoreskan paling mudah dilihat dari
timeline media sosial.
42
murahan sebagai perangkat semiotikanya. Setidaknya, secara
stilistika, tulisan saya lebih berbobot relatif terhadap analisis
semiotika Anda. Yang terjadi kemudian adalah imperialisme
simulatif dalam timeline. Terjadi kontestasi identitas yang
sungguh dahsyat dalam timeline-timeline media sosial. Kita
harus memahami bagaimana kolonialisme gaya baru ini
merenggut identitas kita alih-alih kekayaan produktif seperti
sumber daya alam pada masa Pitung masih ngebadik Kumpeni.
Imperialisme tersebut berujung pada konflik identitas yang
akibatnya saya rasakan saat ini. (saya berada di muntok dan
hanya mengandalkan laporan netizen journalism dalam
mengetahui kondisi di luar batas penginderaan ragawi saya).
Menjadi menarik ketika kita melihat suatu peristiwa. Pada
kondisi seperti ini, saya dapat bergelut lebih intens terhadap
suatu peristiwa.
43
Ini yang menjadi refleksi saya : moral stance saya terhadap
insiden Palestina-Israel. Sebab piala dunia menjadi tidak
menarik semenjak Belanda gagal ke final dan Pemilu cuma
hura-hura pencitraan, bukan cuma pesertanya tapi juga
pendukungnya yang mendadak jadi analis politis berbasis
konspirasi (lagi?!) kelas wahid. Selain itu pula, fenomena
Israel-Palestina menjadi menarik untuk dikaji sebab meski
secara statistik isu ini muncul dengan intensitas hampir sama
dengan dua isu lainnya, netizen journalist saya selalu
mengumumkan adanya marjinalisasi isu tersebut. (saya jujur,
dalam konteks suara hati, saya marah dan miris melihat semua
pemberitaan yang muncul selama ini) Namun idealisme
refleksi kritis saya juga lantas tak dapat saya bungkam. (saya
sebenarnya tidak sampai hati menulis ini, makanya saya
nyatakan di sini, bukan di media sosial) Ada apa sebetulnya
dengan konflik tersebut sehingga harus ditampilkan dalam citra
yang demikian (baca : dimarjinalkan)? Ada berbagai seruan
bahwa kita melupakan yang terjadi di Gaza karena isu Pemilu
dan Piala Dunia. Saya dapat saja mendevaluasi simpati para
netizen journalist tersebut dalam hal konflik tersebut sebagai,
kembali,
44
dipertanyakan lagi?!’. Perkara yang jelas-jelas adalah klaim
milik sains sementara kita berjalan di sisi mistis dari romantika
solidaritas dan indahnya simpati untuk memberi dukungan,
dorongan, dan rasa memiliki bersama.
45
kita pada romantika indahnya solidaritas dan nilai-nilai
kemanusiaan yang dihayati secara universal.
46
sangat terkontekstualisasi pada masa kini. Sebagai pengamat,
menggantungkan ideologi pada teks yang sarat dengan
kontekstualisasi kekinian akan membawa kita pada hipokritas
di masa mendatang. Ingatlah bahwa sebagai titik sentrasi
segalanya mengalir dan tidak ada yang tetap, panta rhei
(Heraklitos).
47
Jadi buat orang-orang disana yang merasa kritis soal
menjadi diri sendiri, saya ucapkan selamat terbelenggu dengan
konsep itu ya. Later, kampanye buat be-yourself lantas juga
dimanifestasikan sebagai kampanye be-different. Myself is me,
and me is different, beimg equal is a jerk. Berbeda berarti
menjadi diri sendiri. Menolak orang lain dan tidak menjadi
orang lain, tidakah itu berbeda? Semangat menjadi berbeda
itulah yang sempat menjadi perhatian. Sosiologi pop mencapai
era signifikansinya ketika dekade 60-an, saat terjadi revolusi
kebudayaan di Prancis, di sisi lain, pecahnya perang vietnam
yang mendorong terjadinya gerakan masa anti-war. Selain itu
juga muncul musik rock ‘n roll, progresi bidang fashion,
penemuan obat-obatan terlarang, dan kampanye seks bebas.
Dari semua elemen itu, seluruh anak muda di dunia bersatu
melawan hegemoni orang tua mereka, nasionalsime,
tradisionalisme, patriotisme bernegara yang susah payah
terbangun saat generasi sebelumnya angkat senjata di perang
dunia ke-II. Akhirnya, pada masa itu muncullah apa yang
disebut counter culture satau budaya tanding. silahkan cari
referensi lebih lanjut soal dekade 60-an ini. Sebagai suatu
produk baru, semangat counter culture ini begitu merasuk di
kepala kaum muda.
48
muda dan dilahirkan kembali dengan nama anti-mainstream,
semangat menjadi arus bawah. Anti-mainstream itu “berbeda”.
Untuk keluar dari “neraka” Sartre, maka yang kita perlukan
adalah menjadi bukan orang lain, simpelnya berbeda. Berbeda
itu anti-mainstream maka anti-mainstream adalah keluar dari
“neraka” Sartre. Itu “keren”. Biar saya perjelas, come on
dude! siapa sih yang tidak merasa keren kalau mereka tidak
sama dengan orang kebanyakan? Maksud saya kita akan
merasa keren kalau mendengarkan musik-musik cutting-edge
yang ga pernah disetel di radio dan muncul video klipnya di
TV. Kiat merasa keren kalau membaca novel-novel sci-fi yang
emboh dibanding kalau ketahuan membaca teenlit yang penuh
romantika. Pun kita akan merasa keren kalau bicara filsafat saat
istirahat makan siang dikantin atau sambil nunggu angkot
dibanding kalau bicara artis mana yang tidur sama anggota
DPR yang mana. Akuilah, tapi dalam hati saja, sayang citra
Anda kalau harus turun derajat ke”keren”annya kalau ketahuan
mengakuinya. Keren kan? Iya lah jelas!
49
orang-orang keren seperti Anda akan mengasingkan diri
mereka. Terus menerus bicara tentang bagaimana sulitnya
mereka memahami dunia, tentang pusingnya mereka
memaknai kehidupan dan berkoar-koar tentang cinta dan
perasaan, tidakkah itu terlihat keren? Tentu! Orang-orang keren
seperti Anda kemudian sedapat mungkin mengekspansi konsep
mereka hanya dalam satu-dua kalimat dengan kosa kata yang
terdidik dan sarat akademik.
50
sebagai konsekuensi filosofis, budaya tanding tidak
diterjemahkan sebagai anti-culture (Mainstream is one of the
culture but not the culture itself). Sebab budaya tidak perlu
berdialektika. Ia tidak butuh antitesis untuk mendialektika
dirinya. Cultural studies sees culture as everything. Antitesis
dari budaya hanya akan memunculkan sesat pikir. Setiap
sintesis dari budaya akan menjadi sintesis dari tesis itu sendiri.
Budaya tidak bisa disandingkan dengan bukan-budaya.
Memang apa itu bukan-budaya? Adakah bukan-budaya jika
budaya itu sendiri adalah segalanya? (Negative Dialecthic)
Tapi apa postingan ini keren? sandarkan kritik Anda bahwa
simplifikasi dari “berbeda” menjadi “keren” adalah sesat pikir.
Tabula.
51
merepresentasikan kondisi manusia masa kini. Tesis pertama
adalah: “human agree to give up meaning in exchange of
power” sedangkan tesis keduanya adalah “Homo deus:
manusia kini menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri”. Pemaknaan,
refleksi, dan mengartikan hidup sudah, sedang, dan akan terus
menjadi berkah serta kutukan manusia. Manusia berpikir dan
memiliki akal untuk mempertanyakan segala sesuatunya, like
literally, everything. Hal tersebut tentu saja sungguh ampuh
karena darinya kita akhirnya bisa merasakan kenyamanan dan
dapat mengontrol serta mengatur alam semesta untuk
memenuhi kebutuhan dan memuaskan keinginan kita namun
juga seringkali dan lebih seringnya, kemampuan itu
menyusahkan belaka. Ke’kepo’an manusia terkadang sebegitu
besarnya hingga mereka menciptakan pertanyaan dan
mendesain permasalahan di luar kapasitas mereka untuk
menjawabnya.
52
dalam ketakutan dan keresahannya: “apa gerangan itu?
Bagaimana ia bisa tercipta”. Sejauh apa yang mereka lihat dan
amati, satu hal yang dapat mereka gunakan untuk
menjawabnya adalah ada sosok berbentuk manusia lain namun
berada di angkasa dan mengontrolnya. Maka lahir lah Thor.
Suatu warisan sangat berharga karena kini saya dapat melihat
aksinya dalam salah satu adegan paling keren di semesta
marvel. Contoh ini merupakan upaya manusia untuk pada
awalnya merasionalisasi segala apa yang mereka lihat. Setelah
itu, mereka akan masuk ke dalam level super atau supra:
menjadikan rasionalisasi itu sebagai suatu bentuk ideal.
Idealitas, bisa kita runut kembali ke konsep Plato adalah Das
Sollen. Bentuk yang seharusnya. Manusia dimanapun pasti
memiliki kehendak, nilai, dan bentuk yang seharusnya.
53
melepaskan diri dari belenggu Tuhan yang mendikte dan
mengatur nilai-nilai sebab manusia pada dasarnya bisa
melakukannya. Tidak perlu lagi ada Tuhan. Namun demikian,
semangat tersebut perlu dimaknai secara lebih dalam. Dalam
kesehariannya, manusia dijejali oleh konsep agama dan
ketuhanan semenjak dini. Bahkan sebelum mereka keluar dari
rahim ibunya, mereka sudah disuntik konsep-konsep
ketuhanan. Tak jarang saya menjumpai ada orang tua yang
menempelkan speaker ke perut istrunya yang tengah
mengandung dan memperdengarkan ayat-ayat atau audio
keagamaan dan keTuhanan. Ketika lahir, bahkan sebelum
mendapatkan kesadaran dan jati diri yang ajeg, manusia-
manusia awal itu sudah diberikan Tuhan dan berbagai
manifestasinya. Hal tersebut tentu saja baik kalau menurut
orang tuanya baik, siapa saya yang menghakimi? Maka
demikian, semenjak kecil, dalam keseharian kita,
54
kita tahu, teman-teman yang baik, bilamana Anda memiliih
untuk tidak lagi menjadikan Tuhan sebagai sandaran Anda,
segalanya menjadi berkali-kali lipat lebih sulit.
55
kemudian mem by pass permasalahan keseharian tersebut
dengan kesadaran eksistensial. Sesuatu yang barang tentu
sangat berbahaya karena, selain mereka akan mendekadensi
makna eksistensial, permasalahan kesharian menjadi
kehilangan relevansinya dan teramplifikasi menjadi tingkatan
yang tidak seharusnya. Jalan apa pun yang nantinya Anda pilih,
apakah Anda masih mau menggunakan Tuhan atau tidak dalam
keseharian dan pengalaman eksistensial Anda baik adanya.
Saya mendukung penuh Anda untuk itu. Bagaimanapun,
pergulatan manusia dengan makna hidupnya adalah
keniscayaan dan tidak perlu sombong serta berbangga diri
karenanya.
Common sense.
56
kebenaran terhadap sesuatu. Begitu lah kira-kira adagium
warisan pencerahan yang hingga kini masih teguh dipegang
oleh manusia dimanapun jua. Meskipun demikian, adagium
tersebut pernah pada kesempatan-kesempatan tertentu
dicurigai. Keilmiahan ternyata terkadang tidak membawa kita
kepada kebenaran. Alih-alih membawa kita kepada kebenaran,
ia membawa kita kepada keterasingan, keterputusan, dan
kekecewaan terhadap alam kita.
57
tulisan-tulisan ilmiah. Apa yang terjadi kemudian adalah
banyak orang yang menyebrangkan common sense ini dari
ranah non-ilmiah menjadi ranah ilmiah. Akibatnya adalah
absurditas fenomena dan berdampak pada kekuatan common
sense dan orang yang menyalahgunakannya. Kita tahu bahwa
ketika suatu fakta disertifikasi sebagai kebenaran oleh metode
ilmiah ia akan memiliki kekuatan yang sangat luar biasa dalam
melakukan rekayasa.
58
kebenaran di dalam fakta tersebut. Bagi saya, tentu lah itu
suatu kemewahan tersendiri untuk mendapatkan common
sense. Saya sudah cukup banyak menuliskannya, sehingga
izinkan saya menegaskannya dalam satu kalimat ini: segala
macam revolusi pemikiran disebabkan oleh revolusi transmisi
informasi. Teknologi informasi dan perkembangan internet
sekali lagi, mohon maaf, harus saya letakkan sebagai faktor
utama dalam mengkontekstualisasikan common sense.
Informasi sebagai kemasan fakta dan fenomena kini
menjangkau seluruh insan cendikia tanpa pandang bulu.
Siapapun, benar-benar siapapun dan dimana pun kini
terkoneksi dan perlahan terkalibrasi dalam suatu muatan fakta
yang sama dimana-mana dan dalam tempo yang sesingkat-
singkatnya.
Sesuatu yang tentu saja harus dan pasti ada dalam suatu
kegiatan ilmiah apapun itu bentuknya. Mengerikan melihat
bagaimana suatu pengetahuan ilmiah yang masih dalam tahap
postulat, hukum, atau bahkan hipotesis diangkat dengan sangat
59
mudahnya melewati tahapan ‘teori’ untuk meloncat masuk ke
dimensi common sense. Kita bisa melihat hasilnya: stereotype,
stigma yang berujung kepada kegilaan masal (mass hysteria).
Itu lah yang kini tengah terjadi di era penuh kegilaan ini. silang
sengkarut kebenaran menjadi, bagi saya, begitu memuakannya
hingga melahirkan kekonyolan-kekonyolan yang sudah tidak
lagi lucu dan menghibur. Common sense yang sebenarnya
bebas nilai dan baik-baik saja itu berbuah fitnah dan saling
benci ketika fakta-fakta manusia dianggap sebagai common
sense. Suatu fenomena dapat dikemas menjadi kebohongan
masal ketika ia dianggap sebagai common sense. Pada
beberapa kesempatan ia tidak lagi menjadi sekedar idea
melainkan menjadi praksis yang digunakan untuk saling bunuh.
Memuakkan, melelahkan.
60
beberapa nilai, paradigma, dan pemikiran yang ternyata luput
dari kacamata saya selama ini. Untuk yang terakhir itu, saya
perlu berterimakasih kepada dua orang yang tidak sebaiknya
saya sebut di tulisan ini. dua orang itu saya yakin tidak pernah
membaca tulisan ini, sehingga karenanya, akan butuh berbulan-
bulan atau bertahun-tahun mereka baru mengetahui catatan dan
rasa apresiasi saya terhadap mereka.
61
diharap menyatakan, lol. Sebagai suatu relasi, ini
hanya terjadi antar dua pihak dan hanya folklore,
mitos yang berkembang di relasi ini. sanksi sosial
yang berlaku sangat kecil, represi masyarakat nyaris
tidak ada. Dari sini, kita melihat bahwa sebagai suatu
relasi, tidak ada mekanisme sosial yang begitu berlaku
didalamnya. buat saya ini sangat tidak seru.
62
mereka tanyakan adalah: mengapa orang berselingkuh? Saya
mencoba mengembangkan pertanyaan tersebut menjadi:
bilamana cinta itu ada dan hilang? Saya masuk dari adagium
yang begitu agung ini love is irrational dan saya begitu sepakat
karenannya. Kita kembali kepada konsep rasionalitas. Tidak
perlu terlalu tinggi untuk membedah Kant atau Hegel, cukup
satu mahaadagium Hegel ini: ‘semua yang real itu rasional,
semua yang rasional itu real’. Maka, singkatnya, cinta lahir dari
irasionalitas. Dari mana irasionalitas itu? Dari aspek-aspek
yang berada di luar batas-batas real. Saya mencoba
memperkuat konsep soal batas-batas pengetahuan ini. batas-
batas pengetahuan atau limit kognisi adalah konsep yang
sangat bagus dalam membuat garis demarkasi antara logika dan
rasa. Semua yang berada dalam batas-batas pengetahuan,
batas-batas rasionalitas adalah domain logika.
63
Adanya ruang tersebut membuat eksplorasi terhadap
pasangan lain semakin mudah saja. Setiap penyingkapan baru
atau munculnya elemen-elemen yang tidak terduga dari
pasangan kita sebelumnya membuat irasionalitas cinta, elemen
mistisnya tetap hidup dan bernafas. Tidak lama sesudah
penyingkapan itu, setelah mistisnya hilang, maka mekanisme
sosial dengan motif-motif badaniah seperti yang sebutkan di
atas tadi yang berlaku. Maka jangan heran bahwa saya berani
mengatakan bahwa cinta orang yang menikah paling lama akan
bertahan selama satu tahun saja. Cinta irasional tersebut akan
hilang ketika elemen-elemen mistis yag tidak dapat
dirasionalisasi sebelumnya itu karena ada jarak sosial dsb.
Sudah tereskplorasi. Akibatnya? Mekanisme sosial lah yang
berlaku. Pernikahan Anda tidak akan ubahnya menjadi sebuah
sistem selubung. Super ego yang bermain didalamnya. Oke,
aspek ketiga: mengapa saya bertahan walau saya tahu saya
disakiti? Disini saya bisa mengajukan beberapa hipotesis. Ini
antaranya:
64
dan dimulai dari mimpi-mimpi yang Nampak begitu
nyata. Saya beberapa waktu pernah mengalaminya
dan pernah berdialog langsung dengan seorang
schizofren. Ini tidak baik memang.
Oke, tiga aspek dan saya rasa cukup dulu, I have given the
point. Sedikit curhat, yah, kesulitan saya mendapatkan pacar
65
adalah karena saya rasa saya punya kecenderungan untuk
merasionalisasi segala hal ini. Saya sudah tidak begitu percaya
pada mekanisme rasa. Adanya mistis kecantikan hanya
bertahan sebentar saja setelah saya tahu bahwa kecantikan
perempuan itu adalah konstruksi media dan manipulasi pola
konsumsi. Ada perempuan baik hati dan sangat etis, namun
cinta irasional saya akan hilang setelah tahu rasa baik hatinya
dipengaruhi oleh suatu nilai-nilai atau set etika tertentu yang
akan mudah saya bongkar setelah mengetahui latar
belakangnya. Ada cewek pintar, namun cinta irasional saya
akan hilang begitu tahu darimana ia mengambil kepintarannya:
kuliah jurusan apa, buku apa saja yang dia baca, dan batas-
batas etis pengetahuannya. Demikian lah, kualitas baik, cantik,
dan pintar tidak cukup mistis untuk menumbuhkan irasionalitas
cinta pada diri saya.
66
Penutup untuk mu.
(*)
67
Sesederhana aku mengorbankan segala yang menjadi miliku
untukmu
Sesederhana pertanyaan
Sesederhana gugatan
Sesederhana kegalauan
(*)
Tentang rindu yang tak teratap dan perasaan yang tak terucap.
68
Vidi Vici Lavida
(Saya datang dan melihat hidup yang sangat Panjang)
mccoverfield
69