Anda di halaman 1dari 7

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono dilahirkan di rumah kakeknya dari pihak ayah yang terletak di
kampung Baturono, Solo. Ia merupakan anak sulung dari pasangan Sadyoko dan Sapariah.
Sapardi yang lahir pada tanggal 20 Maret 1940 M ini berdasarkan kalender Jawa bersamaan
dengan bulan Sapar. Mungkin atas dasar itulah orangtuanya memberinya nama Sapardi.
Ibunya juga lahir di bulan yang sama sehingga tak heran jika ibunya kemudian bernama
Sapariah. Menurut kepercayaan orang Jawa, orang yang lahir di bulan Sapar kelak akan
menjadi sosok yang pemberani dan teguh dalam keyakinan.

Sapardi menjalani masa kecilnya bersamaan dengan tengah berkecamuknya perang


kemerdekaan. Sebagai anak yang tumbuh dalam situasi sulit seperti itu, pemandangan
pesawat yang menjatuhkan bom dan membakar rumah-rumah besar merupakan hal yang
biasa bagi Sapardi kecil.

Dalam bukunya, Sapardi mengisahkan bahwa awalnya kehidupan keluarga dari pihak ibunya
terbilang berkecukupan, namun nasib manusia memang bak roda pedati yang terus berputar,
kadang di atas kadang di bawah, demikian halnya dengan keluarga Sapardi, saat Sapardi kecil
hadir keadaan pun berubah, mereka harus menjalani hidup yang sulit. Masih segar dalam
ingatan Sapardi, saking susahnya ia hanya makan bubur setiap pagi dan sore. Untuk
menafkahi keluarganya, ibunda Sapardi, Sapariah, berjualan buku. Sementara ayahnya,
Sadyoko, memilih hidup mengembara dari satu desa ke desa lain untuk menghindari kejaran
tentara Belanda yang kala itu kerap menangkapi kaum laki-laki. Sang ayah memang bukan
seorang pejuang, tapi tentara Belanda kala itu berpikir tentara itu kebanyakan laki-laki.

Pak Sadyoko pada awalnya bekerja sebagai abdi dalem di Kraton Kasunanan, mengikuti jejak
kakeknya. Setelah menikah, ia menjadi pegawai negeri sipil di Jawatan Pekerjaan Umum.
Sementara sang kakek, selain bekerja sebagai abdi dalem Kasunanan Raja Kasunanan
Surakarta, 1893-1939 Surakarta, ia juga punya keahlian menatah wayang kulit. Sapardi dan
adiknya, Soetipto Djoko Sasono, mendapatkan seperangkat wayang kulit karya kakeknya
sendiri. Tidaklah heran jika Sapardi bisa sedikit-sedikit memainkan wayang. Sayangnya,
akibat zaman yang kacau, wayang itu tidak bisa terawat dengan baik.

Tahun 1943, keluarga Sadyoko memutuskan untuk memisahkan diri dari keluarga kakeknya.
Saat itu kekuasaan atas Indonesia telah berpindah dari tangan Belanda ke Jepang. Mereka
kemudian menyewa sebuah rumah di kampung Dhawung. Ketika itu, sang ibu hampir saja
direkrut pasukan Jepang untuk menjadi prajurit. Beruntung ia bisa selamat dari perekrutan itu
karena tengah mengandung adik Sapardi, Soetjipto.

Setelah Jepang menyerah pada sekutu pada tahun 1945, keluarga Sadyoko pindah ke
Ngadijayan. Di desa itu Sapardi dan keluarganya tinggal di rumah orangtua dari pihak ibu.
Rumah itu sangat luas. Tapi sayangnya sang kakek tak bisa menata hidup dengan baik hingga
akhirnya rumah itu digadaikan tanpa bisa ditebus hingga akhir hayatnya. Tindakan sang
kakek tidak diberitahukan kepada putra putrinya apalagi cucu-cucunya. Setelah kakeknya
meninggal, rumah itu dilelang dengan harga rendah. Uang hasil penjualan dibagi pada tiga
orang anaknya, yakni ibu Sapardi dan dua orang pamannya.

Pada tahun 1957, sang ayah memutuskan untuk meninggalkan Ngadijayan dan pindah ke
sebuah kampung bernama Komplang. Sapardi menafsirkan, pilihan ayahnya untuk pindah itu
merupakan usaha untuk bisa mendapatkan tanah yang luas dan suasana yang lebih tenang.
Di tempat tinggalnya yang baru, saat itu belum ada listrik. Keadaan desa pun waktu itu masih
sangat sepi, sehingga sempat menimbulkan perasaan aneh di hati Sapardi. Sebab, di kampung
tempatnya tinggal sebelumnya, Ngadijayan, Sapardi kerap keluyuran untuk menonton
pagelaran wayang kulit. Namun lambat laun, Sapardi mulai terbiasa dengan keadaan yang
jauh berbeda itu. Meski demikian, ia memutuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah.
“Mungkin karena suasana yang ‘aneh’ itu menyebabkan saya memiliki waktu luang yang
banyak dan ‘kesendirian’ yang tidak bisa saya dapatkan di tengah kota,” kata Sapardi.

Walaupun memutuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah dan menikmati ‘kesendirian’,
hobi keluyurannya tak lantas berhenti begitu saja. Namun, ‘keluyuran’-nya bukan dalam arti
fisik di dunia nyata melainkan dunia batinnya sendiri.

Sambil menikmati masa ‘kesendirian’-nya itu, Sapardi mulai menulis puisi. “Saya belajar
menulis pada bulan November 1957,” katanya. Sebulan setelah belajar menulis, karyanya
berupa sajak dimuat di majalah kebudayaan yang terbit di Semarang. Tahun berikutnya,
sajak-sajaknya mulai bermunculan di berbagai halaman penerbitan yang antara lain diasuh
oleh HB. Jassin.

Kegairahan menulis didapat Sapardi dari hobinya membaca. Sejak kecil Sapardi memang
sangat menyukai buku-buku petualangan. Ia pun sangat menyukai karangan Karl May,
William Saroyan, WS Rendra, dan TS Eliot. Menurut Sapardi, buku-buku itu sangat populer
di kalangan remaja yang suka membaca. Pada waktu itu Sapardi duduk di kelas 2 SMA.

Untuk ukuran seorang pelajar SMA, buku drama puisi karya Eliot sebenarnya tidak terlalu
gampang dicerna. Oleh karena itu Sapardi mengakui bahwa ia hanya bisa memahami sekitar
25% saja. Atau mungkin kurang dari itu. Sapardi memang orang yang memiliki rasa ingin
tahu cukup besar. Uuntuk memuaskan rasa ingin tahunya, ia tak hanya membaca buku tapi
juga membaca gejala-gejala alam.

Salah satu karya terjemahan Sapardi, Murder in Cathedral karangan TS Eliot yang bernuansa
“Kristiani” sempat memunculkan dugaan bahwa Sapardi yang muslim menempuh pendidikan
di Sekolah Dasar Katolik. Tapi dugaan itu ternyata tidak benar.Pada kenyataannya, Sapardi
masuk Sekolah Dasar Kasatrian, yakni sekolah dasar yang khusus diperuntukan bagi kaum
laki-laki para kerabat Kraton. Meski berdarah ningrat, jejak-jejak keningratan tidak tampak
pada perilaku dan karya-karyanya. Ini menunjukkan sekolah itu hanya memberikan
pendidikan formal saja. Bedanya, di sekolah itu Sapardi mendapatkan kesempatan untuk
mengikuti pelatihan menabuh gamelan dan menari tari Jawa. Meski demikian, yang tampak
sejak SMA, Sapardi lebih suka main gitar daripada alat musik tradisional Jawa.

Setamat SD, ia melanjutkan ke SMP II di wilayah Mangkunagaran. Kemudian melanjutkan


ke SMA II di Margoyudan. Sewaktu SMA, Sapardi menjalin pertemanan dengan Jeihan
Sukmantoro yang kini dikenal sebagai pelukis ekspresionistik Indonesia terkemuka. Jeihan
adalah salah seorang pengelola majalah dinding dimana Sapardi sering mengisi majalah
dinding itu. Persahabatan itu masih terjalin hingga kini. Bahkan beberapa kegiatan puisinya
didanai oleh Jeihan. Pada pameran lukisan Jeihan di Jakarta, 29 Juli 2005 lalu, Jeihan
mempersembahkan sebuah patung Sapardi telanjang yang khusus diciptakannya.

Tak hanya bersahabat dengan sang pelukis, Sapardi juga memiliki bakat melukis. Lukisannya
bahkan pernah dilelang untuk amal bersama dengan beberapa pelukis lain, di antaranya
Danarto. Selain bakat melukis, ia juga berbakat menjadi seorang sutradara. Pentas drama
yang pernah ditanganinya antara lain Petang di Taman karya Iwan Simatupang. Di samping
menjadi tokoh di balik layar, ia juga pernah beberapa kali tampil sebagai pemain saat
tergabung dalam Lihat Daftar Tokoh Teater teater Rendra pimpinan WS Rendra.

Setamat SMA ia melanjutkan studi di Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan Kebudayaan
Universitas Gajah Mada (UGM). Catatan itu menunjukan Sapardi tidak pernah sama sekali
masuk sekolah Katolik. Istilah-istilah yang lekat dengan umat Nasrani seperti Yesus,
Golgota, Qain, dan Abil dalam karyanya diduga didapatnya dari buku-buku bacaan.

Sapardi menyelesaikan studi di Jurusan Sastra Barat (-sekarang Jurusan Sastra Inggris) pada
tahun 1964. Sementara duka-Mu abadi ditulis pada 1967 dan 1968. Ini artinya, Sapardi sudah
melewati pergulatan lebih intens dengan Murder in the Cathedral yang menjadi objek materi
skripsinya. Seperti judulnya, lakon itu mengisahkan pembunuhan seorang uskup yang
namanya Becket. Dari hal itu bisa dibayangkan cerita tersebut sarat dengan nuansa Kristiani.
Untuk kepentingan penulisan sikripsinya itu, sudah pasti dibutuhkan pengetahuan yang
cukup. Itu sebabnya Sapardi dipaksa tidak hanya membaca tapi mempelajari kitab suci, yang
mungkin tidak hanya Injil tapi juga kitab-kitab dari agama lain.

Sebagai mahasiswa yang giat berkesenian, Sapardi sering pula mengisi acara semacam puisi.
Ia sering ditemani sahabat-sahabatnya yang memiliki kecintaan seni yang sama di Fakultas
Sastra dan Kebudayaan UGM. Mereka antara lain Ramli Leman Soemowidagdo, Rachmat
Djoko Pradopo, Niniek Koesoemowardhani, Widiati Saebani, Lastri Fardani, dan Ninies C.M
Tri Sudarsi Widagdo.

Dari berbagai kemampuannya di bidang seni, mulai dari menari, bermain gitar, bermain
drama, dan sastrawan, tampaknya bidang sastralah yang paling menonjol dimilikinya. Ia
dikenal sebagai Penyair Legendaris Indonesia penyair papan atas, tak hanya di dalam negeri
tapi juga di dunia internasional. Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di
dunia, termasuk bahasa Jawa.

Beberapa di antaranya menjadi lirik lagu-lagu cinta yang sering dinyanyikan paduan suara
kelompok terkemuka pada pesta penikahan bahkan hingga ke Amerika. Salah satu sajaknya
yang berjudul “Pilgrimage” (Suddenly the Night, 1988: 13) yang merupakan terjemahan dari
“Ziarah” (duka-Mu abadi, 1975:30-31) pernah dikutip dalam suatu konferensi internasional
oleh Narasima Rao, Perdana Menteri India. Beberapa sajaknya yang lain sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dimasukkan ke dalam antologi puisi dunia.

Di dunia akademisi, pria berkacamata ini adalah seorang guru besar ilmu sastra yang
beberapa periode menjabat Pembantu Dekan I, Dekan, serta Ketua Program Pascasarjana
yang semuanya dalam lingkup Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Sapardi sering memberikan pengarahan kepada mahasiswanya bagaimana cara membacakan
puisi yang baik.

Dalam kegiatannya sebagai akademisi, Sapardi juga merupakan seorang penjelajah. Setelah
awalnya ia mengambil kuliah di Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM,
tapi perhatiannya pada Sastrawan, Pendiri PDS H.B. Jassin sastra Indonesia juga sangat
besar. Kepada dunia sastra akademik, Sapardi memang menunjukkan minat yang tinggi.
Minat itu semakin tampak dengan didirikannya sebuah organisasi para sarjana sastra yang
diberi nama Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) yang kegiatannya antara lain
menyelenggarakan seminar di berbagai kota di seluruh Indonesia. Dalam perjalanannya,
Hiski ini telah berhasil memberdayakan para sarjana kesusastraan Indonesia.
Sapardi juga banyak berbicara tentang sastrawan dan khususnya Penyair Legendaris
Indonesia penyair Indonesia. Dan pada akhirnya memusatkan perhatiannya pada Sastrawan,
Pendiri PDS H.B. Jassin sastra Indonesia. Akan tetapi, ia menulis disertasi tentang sastra
Jawa. Beberapa novelnya juga berbahasa Jawa.

Dalam proses menulis, Sapardi termasuk pengarang yang memulai tulisannya tanpa diawali
ide atau dorongan hati, tapi karena begitu saja. Biasanya, entah bagaimana ia tiba-tiba
menggoreskan penanya atau mengetik beberapa kata pada kertas atau pada layar monitor,
baru kemudian ia mengembangkannya. Tetapi yang jelas, dari mana pun dan bagaimanapun
ia memulai tulisannya, daya cipta Sapardi akan muncul apabila ia berada dalam suatu suasana
tertentu.

Dalam tulisan “Permainan Makna” (Sihir Rendra, 1999:255-273) dikatakan oleh Sapardi,
“Ternyata, kemudian, masa kecil yang sama sekali tidak istimewa itu menjadi sumber bagi
sebagian puisi saya; setidaknya bisa dikatakan bahwa beberapa sajak yang saya sukai
mengingatkan saya pada masa kecil tersebut”. Dari kalimat yang diucapkannya itu terlihat
bahwa Sapardi ternyata sangat tertarik dengan kehidupan batinnya sendiri. Masa kecil
rupanya menjadi sumber kreativitasnya.

Mungkin sebagian orang menduga, sangat sulit diterima akal sehat jika ada seorang ibu yang
melepaskan anak-anaknya untuk menginap di rumah ibu tiri. Karena pada umumnya istri
pertama sangat benci pada istri kedua, demikian juga sebaliknya. Suami mereka jadi rebutan.
Akan tetapi tidak demikian dengan ibu Sapardi, Sapariah. Sang bundanya itu bahkan berkata
pada Sapardi yang merupakan anak sulung, “Biarkan saja ayahmu. Nanti kalau sudah ‘waras’
akan kembali pulang.” Di sini letak kesabaran dan keagungan ibu Sapariah.

Bagi perempuan masa kini, apalagi mereka yang disebut Dosen studi feminisme dan filsafat
kontemporer di Universitas Indonesia feminisme, sikap ibu Sapariah itu akan sangat
disayangkan oleh sesama kaumnya. Akan tetapi segi positifnya, Ibu Sapariah telah mendidik
Sapardi untuk memahami makna kesabaran dan makna menahan diri. Kesabaran untuk selalu
menahan diri itulah yang akhirnya menjadi kekuatan luar biasa yang mengantarkan Sapardi
menjadi salah seorang Penyair Legendaris Indonesia penyair kaliber dunia.

Menanggapi penolakan itu, ia hanya menulis “Bagi saya, cerita tersebut pernah benar-benar
terjadi -tidak peduli apakah cerita itu masuk akal atau tidak.” Tampaknya, penolakan cerita
karyanya tidak membuat Sapardi bergeming. Tapi, itu menumbuhkan suatu sikap baginya
yang kemudian tampaknya menjadi semacam pandangan dunianya. Ini yang kemudian
menjadi salah satu motor penggerak penulisan karyanya, terutama puisi.

“Kemudian saya berpikir, barangkali dunia nyata boleh tidak masuk akal, tetapi dunia rekaan
harus masuk akal. Dunia nyata lebih tidak masuk akal dibandingkan dunia rekaan. Segala
peristiwa dalam dunia nyata terjadi begitu saja tanpa rancangan pasti sebelumnya, tetapi
rangkaian peristiwa dalam dunia rekaan harus diatur sedemikian rupa agar jelas. Sebab,
akibatnya agar masuk akal. Dengan demikian, dunia nyata harus diedit agar menjadi dunia
rekaan. Hidup ini harus melalui proses pengguntingan, pemolesan, penghapusan, pemilihan
dan penyusunan kembali agar bisa diterima sebagai cerita. Meskipun saya belum berpikir
sejauh itu, sudah sepantasnya kalau waktu itu saya sama sekali tidak berusaha lagi menulis
cerita. Saya merasa lebih tenteram menjalani yang tak masuk akal, setiap hari bermain-main
dengan teman sebaya…” (Sihir Rendra, 1999:258
Dengan mempersoalkan yang masuk akal dan yang tak masuk akal, Sapardi memisahkan
antara puisi dan cerita. Jika orang menulis narasi yang tak masuk akal, segera muncul kritik;
tetapi dalam puisi, hal-hal yang tidak masuk akal tidaklah mendapat gubrisan. Demikian
kesan Sapardi terhadap kritik sastra kita selama ini. Itulah sebabnya, pada awal kariernya,
sejak kasus Taman Putra, Sapardi tidak menulis cerita.

Karena ingin tentram di dunianya yang tak masuk akal, maka ia memilih puisi. Dunia atau
jagat dan suasana masa kecilnya menjadi bagian penting dalam sajak-sajak yang disukainya.
Di sana, dalam jagat dan suasana anak-anak itu, bermunculanlah peristiwa-peristiwa murni
yang kebanyakan tidak masuk akal seperti yang pernah ditulis sewaktu kecil.

Ini menunjukkan bahwa kemerdekaan dan kebebasan kreativitas sangat penting bagi Sapardi.
Walaupun ia berkali-kali menegaskan bahwa dalam penulisan puisi, cerita maupun yang lain
senantiasa dibacanya kembali berulang-ulang sebelum dinyatakan “jadi”, ia juga mengakui
bahwa dalam proses penciptaan ada sesuatu yang tak sepenuhnya bisa dikendalikannya
sendiri.

Dalam perjalanan hidup dan karier Sapardi, ia menikah dengan perempuan dari Salatiga
setelah tamat dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Istrinya adalah teman satu
jurusannya di UGM. Selanjutnya, ia pun menjadi dosen di Madiun, Solo dan Semarang. Di
sela-sela itu, ia juga sempat belajar di Amerika Serikat. Sesudah itu, pada tahun 1973, ia
menetap di Jakarta. Pada tahun itu juga, ia diminta membantu Australian Film, membuat film
semi dokumenter mengenai dampak modernisasi bagi kehidupan keluarga di Bali dan di
Solo, masing-masing selama dua bulan.

Ia pernah mondar-mandir Jakarta-Semarang selama hampir dua tahun karena mengajar di


Universitas Diponegoro dan menjadi Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia. Sambil bekerja
di majalah Horison, ia kemudian menjadi pengajar tetap di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia.
Sapardi juga pernah tercatat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta dan pelaksana harian
Pusat Dokumentasi Sastrawan, Pendiri PDS H.B. Jassin HB Jassin. Pria yang rajin
melakukan medical check-up ini bahkan pernah menjadi pengurus RT. Di samping pernah
menjadi anggota redaksi majalah kebudayaan Basis yang terbit di Jogja, ia pernah pula
menjadi country editor untuk majalah Tenggara, yakni sebuah jurnal sastra Asia Tenggara
yang terbit di Kuala Lumpur.
Tugas lain yang pernah diembannya adalah menjadi koresponden untuk Indonesian Circle,
sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh School of Oriental and African Studies (SOAS),
University of London. Lepas dari Horison, ia membantu Kalam, sebuah jurnal kebudayaan.
bersama Budayawan, Novelis, Cerpenis, Dosen Umar Kayam, Subagio Sastrowardoyo,
Goenawan Mohamad, dan John McGlynn, Sapardi mendirikan Yayasan Lontar yang lebih
banyak menerbitkan karya Sastrawan, Pendiri PDS H.B. Jassin sastra Indonesia ke dalam
bahasa Inggris. Ia pun memprakarsai berdirinya Yayasan Puisi dan menerbitkan Jurnal Puisi.

Sapardi menyadari bahwa sajak dan ceritanya tidak bisa menopang hidupnya secara ekonomi.
Namun, dengan karya kreatifnya, Sapardi bisa melanglang buana. Di samping itu, beberapa
puisinya sering dinyanyikan pada pesta pernikahan, muncul di kartupos, kalender, poster, T-
shirt, bloknot, topi pet dan kue. Ini yang membuatnya bahagia. Karya-karyanya dikenal tidak
hanya di dalam negeri, tapi sudah mendunia. Salah satu buktinya, Perdana Lihat Daftar
Menteri Menteri India, Narashima Rao pernah mengutip sajaknya yang berjudul
“Pilgrimage” (terjemahan puisi “Ziarah”) dalam suatu pidato pada KTT Non-Blok. Hal itu
jelas menjadi hal yang membahagiakan bagi Sapardi.
Sapardi tak hanya sastrawan, ia juga seorang pemikir dan kritikus sastra. Bukunya tentang
sastra antara lain adalah: Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983)
sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas (1978); Novel Indonesia Sebelum Perang (1979);
Sastra Indonesia Modern, Beberapa Catatan (1983); Bilang Begini, Maksudnya Begitu
(1990); Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999); dan Sihir Rendra: Permainan Makna
(1999). Buku-buku ini banyak dikutip mahasiswa untuk mendukung pendapat dalam skripsi,
tesis dan disertasi mereka.

Sapardi juga dikenal luas sebagai seorang penerjemah sastra yang piawai. Walaupun
mungkin pada mulanya itu sekadar sebagai kegemaran, kemudian berkembang menjadi
semacam profesi. Tapi mengenai hal yang satu ini, ia mengatakan imbalan penerjemahan di
Indonesia terlalu kecil. Hasil terjemahannya antara lain adalah: Puisi Klasik Cina, Puisi Parsi
Klasik, Puisi Brazilia Modern, Serpihan Sajak George Seferis, Mendorong Jack Kunti-kunti,
Sepilihan Sajak Australia, Afrika yang Resah, Lelaki tua dan Laut (karya Hemingway), Daisy
Manis (karya Henry James), kumpulan cerita pendek karya Albert Wendt dari Samoa, Tiga
Sandiwara Ibsen, Duka Cita bagi Electra (lakon karya Eugene O’Neill), Shakuntala, dan
Amarah (The Grapes of Wrath karya John Steinbeck).

Beberapa karya terjemahannya ada yang belum sempat dibukukan. Tetapi sudah diterbitkan
di majalah atau sudah dimainkan di beberapa tempat antara lain: Pembunuhan di Katedral
(karya T.S Eliot); Singa dan Permata (karya Wole Soyinka); Brown sang Dewa Agung
(sebuah lakon karya O’Neil); Asap Musim Panas (karya Tenesee Williams); dan Di Bawah
Langit Afrika (kumpulan cerpen).

Satu hal lagi yang membuat jasanya besar untuk sastra adalah berkat jasanya merintis dan
memprakarsai Himpunan Sarjana Kesustraan Indonesia (Hiski), setiap tahun dewasa ini ada
penyelenggaraan seminar dan pertemuan para sarjana sastra yang terhimpun di dalam
organisasi tersebut

Para pengamat menilai sajak-sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. “Pada Sapardi,
maut atau kematian dipandang sebagai bagian dari kehidupan; bersama kehidupan itu pulalah
maut tumbuh,” tulis Jakob Sumardjo dalam harian Pikiran Rakyat, 19 Juli 1984. Sebuah
karya besar yang pernah ia buat adalah kumpulan sajak yang berjudul Perahu Kertas dan
memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan kumpulan sajak Sihir Hujan –
yang ditulisnya ketika ia sedang sakit – memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia.
Kabarnya, hadiah sastra berupa uang sejumlah Rp 6,3 juta saat memperoleh Anugerah Puisi
Poetra Malaysia langsung dibelanjakannya memborong buku. Selain itu ia pernah
memperoleh penghargaan SEA Write pada 1986 di Bangkok, Thailand.

Bekas anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga menulis esei dan kritik. Sapardi, yang
pernah menjadi redaktur Basis dan kini bekerja di redaksi Horison, berpendapat, di dalam
karya sastra ada dua segi: tematik dan stilistik (gaya penulisan). Secara gaya, katanya, sudah
ada pembaruan di Indonesia. Tetapi di dalam tema, belum banyak. Selain melahirkan puisi-
puisi, Sapardi juga aktif menulis esai, kritik sastra, artikel serta menerjemahkan berbagai
karya sastra asing. Dengan terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting
terhadap pengembangan sastra di Tanah Air. Selain dia menjembatani karya asing kepada
pembaca sastra, ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru.
Sumbangsih Sapardi juga cukup besar kepada budaya dan sastra, dengan melakukan
penelitian, menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan aktif sebagai administrator dan
pengajar, serta menjadi dekan Fakultas Sastra UI periode 1995-1999. Dia menjadi penggagas
pengajaran mata kuliah Ilmu Budaya Dasar di fakultas sastra.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin
(sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada
Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari.

Anda mungkin juga menyukai