Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Hiperosmolar hiperglikemik state adalah komplikasi akut dari diabetes


melitus tanpa disertai adanya ketosis yang ditandai dengan gejala dehidrasi berat,
hiperglikemia berat dan seringkali dengan gangguan neurologis. Perjalanan klinis dari
HHS dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu dengan memiliki
gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat
badan. Insiden HHS di amerika terdapat 17,5 per 100.000 penduduk dan insiden ini
sedikit lebih tinggi dibandingkan Ketoasidosis diabetik. HHS lebih sering ditemukan
pada perempuan dibandingkan laki laki, pada orang usia lanjut terjadi pada dekade
ketujuh. Angka mortalitas pada kasus HHS sekitar 10-20%. HHS sebelumnya disebut
HHNC (Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik) namun dirubah karena
koma ditemukan kurang dari 20% pasien dengan HHS1,2

HHS biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit
penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makannya. Factor penyebab HHS
dibagi menjadi 6 kategori: Infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tidak
terdiagnosis, penyalahgunaan obat, penyakit penyerta. Infeksi merupakan menyebab
tersering terjadinya HHS (57,1%). HHS biasanya sering terjadi pada pasien yang
terkena DM tipe 22.

Prognosa HHS biasanya buruk, tetapi sebenarnya penyebab kematian pasien


bukan disebabkan HHSnya sendiri melainkan disebab oleh penyakit yang mendasari
atau menyertainya. Angka kematian berkisar sekitar antara 30-50%, angka kematian
HHS lebih tinggi dibandingkan angka kematian ketoasidos 1etabolic. Di Negara maju
penyebab utama kematian adalah infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang
sangat tinggi1,2.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hiperosmolar Hiperglikemik State


2.1.1 Definisi
Hiperosmolar hiperglikemik state adalah komplikasi akut dari diabetes
melitus tanpa disertai adanya ketosis yang ditandai dengan gejala dehidrasi
berat, hiperglikemia berat dan seringkali dengan gangguan neurologis. HHS
biasanya sering terjadi pada pasien DM tipe 2. Perjalanan klinis dari HHS
dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu dengan memiliki
gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan
berat badan2.
2.1.2 Epidemiologi
Data di Amerika menunjukkan bahwa insiden HHS sebesar 17,5 per 100.000
penduduk. Insiden ini sedikit lebih tinggi dibandingkan insiden Ketoasidosis
diabetic. HHS lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan
laki-laki. HHS lebih sering ditemukan pada orang lansia, dengan rata-rata usia
onset pada dekade ketujuh. Angka mortalitas pada kasus HHS cuku tinggi,
sekitar 10-20%2.
2.1.3 Etiologi
Koma hiperosmolar hipoglikemik nonketotik dapat disebabkan oleh
hal-hal sebagai berikut2:
1. Infeksi, misalnya adanya selulitis, infeksi gigi, pneumonia, sepsis, dan
ISK
2. Pengobatan, misalnya pada penggunaan obat kemoterapi, glukokortikoid,
fenitoin, diuretic tiazid, dan propanolol.
3. Noncompliance, maksudnya adalah ketidakpatuhan penderita Diabetes
Melitus terhadap penatalaksanaan yang dianjurkan, misalnya dalam hal

2
mengkonsumsi makanan, tidak patuh meminum obat, melewatkan jadwal
penyuntikan, dan lain-lain.
4. Diabetes Melitus tidak terdiagnosis.
5. Penyalahgunaan obat, seperti alkohol dan kokain.
Penyakit penyerta, missal adanya infark miokard akut, tumor yang
menghasilkan hormone adrenokortikotropin, kejadian serebrovaskular,
sindrom cushing, hipertemia, hipotermia, thrombosis mesenterika,
pancreatitis, emboli paru, gagal ginjal, luka bakar berat, tirotoksitosis, dll.

2.1.4 Patofisiologi
Factor yang memulai timbulnya HHS adalah diuresis glukosuria.
Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam
mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan
air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa di atas
ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravascular
atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi
glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang
lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hyperosmolar. Insulin
yang ada tidak cukup untuk menurunan konsentrasi glukosa darah, terutama
jika terdapat resistensi insulin2.
Tidak seperti pasien dengan KAD, pasien HHS tidak mengalami
ketoasidosis, namun tidak diketahui dengan jelas alasannya. Factor yang
diduga ikut berpengaruh adalah keterbatasan ketogenesis karena keadaan
hyperosmolar, konsentrasi asam lemak bebas yang rendak untuk ketogenesis,
ketersediaan insulin yang cukup untuk mengahambat ketogenesis namun tidak
untuk mencegah hiperglikemia, dan resistensi hati terhadap glukagon2.
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya
hiperglikemia. Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk

3
oleh sel otot dan sel lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai
glikogen pada otot dan hati, dan stimulasi glucagon pada sel hati untuk
gluconeogenesis mengakibatkan semakin naiknya konsentrasi glukosa darah.
Pada keadaan dimana insulin tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan
konsentrasi glukosa darah juga tergantung dari status hidrasi dan masukan
karbohidrat oral2.
Hiperglikemia menyebabkan timbulnya diuresis osmotik, dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vascular, dimana
glukonegenesis dan masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan
cairan akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan hilangnya volume
sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma yang
mengikuti hilangnya cairan intravascular menyebabkan keadaan
hyperosmolar. Keadaan hyperosmolar ini memicu sekresi hormone
antidiuretic. Keadaan hyperosmolar ini juga akan memicu timbulnya rasa
haus2.
Adanya keadaan hiperglikemia dan hyperosmolar ini jika kehilangan
cairan tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maa akan timbul
dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan
hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan.
Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari proses hiperglikemik
ini, dimana telah timbul gangguan elektrlit berat dalam kaitannya dengan
hipotensi2.

4
Perbandingan KAD dengan HHS
KAD
Variabel HHS
Ringan Sedang Berat
Kagar Glukosa Plasma (mg/dL) >250 >250 >250 >600
Kadar pH arteri 7,25-7,30 7,00-7,24 <7,00 >7,30
Kadar Bikarbonat Serum (mEq/L) 15-18 10-<15 <10 >15

Keton pada Urine atau Serum Positif Positif Positif Sedikit/negative


Osmolaritas serum efektif (mOsm/kg) Bervariasi Bervariasi Bervariasi >320
Anion gap >10 >12 >12 Bervariasi
Kesadaran Sadar Safar, drowsy Stupor, koma Stupor, koma

5
Faktor Pencetus HHS
1. Penyakit penyerta 3. Pengobatan
 Infark miokard akut  Antagonis kalsium
 Tumor yag mengahasilkan hormone  Obat kemoterapi
adrenokortiko tropin  Klorpromazin (thorazine)
 Kejadian serebrovaskular  Diazoxid (hyperstat)
 Sindrom cushing  Gljkokortidorid
 hipertermia  Loop diuretics
 Hipotermia  Olanzapine (zyprexa)
 Thrombosis mesenterika  Fenitoin (dilantin)
 Pankreatitis  Proponalolo (ideral)
 Emboli paru  Diuretik tiazid
 Gagal ginjal  nutrisi parenteral total
 Luka bakar berat 4. noncompliance
 Tirotoksikosis 5. Penyalahgunaan obat
2. Infeksi  Alkohol
 Selulitis  kokain
 Infeksi gigi 6. DM tidak terdiagnosis
 Pneumonia
 Sepsis
 Infeksi saluran kemih

6
2.1.5 Gejala Klinis
Pasien dengan HHS, Umumnya berusia lanjut, belum diketahui
mempunyai DM, dan pasien DM tipe-2 yang mendapat pengaturan diet dan
atau obat hipoglikemik oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang
semakin memperberat masalah misalnya diuretic2.
Keluhan pasien HHS ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau
kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih
jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai
keluhan saraf seperti letargi disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma2.
Pada pemeriksaan fsik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti
turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan
ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula
ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi.akibat gastroparesis
dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi
adekuat2.
Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai
koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung
dengan osmolritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum
mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350mmol per kg). kejang ditemukan
pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, local, maupun mioklonik.
Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat rversibel dengan koreksi deficit
cairan2.
Secara klinis HHS akan sulit dibedakan dengan KAD terutama hasil
laboratorium seperti konsentrasi glukosa darah, keton dan analisis gas darah
belum ada hasilnya. Berikut dibawah ini adalah beberapa hejala dan tanda
sebagai pegangan2:

7
 Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun,
semakin muda semakin berkurang dan pada anak belum pernah
ditemukan.
 Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa
insulin
 Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap
penyakit ginjal atau kardiovaskular, pernah ditemukan penyakit
akromegali, tirotoksikosis, dan penyakit cushing.
 Sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain tiazid, furosemide,
manitol, digitalis, reserpine, steroid, klorpromazin, hidralazin, dlantin,
simetidin, dan haloperidol (neuroleptic).
 Mempunya factor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardiovasklar,
aritma, perdarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma
hepatic dan operasi
2.1.6 Diagnosis

Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui


mempunyai DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan
atau obat hipoglikemi oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang
semakin memperberat masalah, misalnya diuretic2.
Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan, atau
kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih
jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien dating dengan
disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau
koma2.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tamda dehidrasi berat seperti
turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan
ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula
ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat

8
gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah
rehidrasi adekuat2.
Perubahan pada status mental dapat bekisar dari disorientasi sampai
koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung
dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum
mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan
pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, local, maupun, mioklonik.
Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversible dengan koreksi deficit
cairan2.
Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK adalah
konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL) dan
osmolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal = 290 ± 5]),
dengan pH lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak.
Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion gap yang
ringan (10 – 12). Jika anion gap nya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis
diferensial asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan penggunaan
diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang dapat menutupi
tingkat keparahan asidosis. Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal.
Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN), dan hematokrit hampir
selalu meningkat. HHNK menyebabkan tubuh banyak kehilangan berbagai
macam elektrolit2.

Kehilangan Elektrolit pada HHNK


Elektrolit Hilang
Natrium 7 – 13 mEq per kg
Florida 3 – 7 mEq per kg
Kalium 5 – 15 mEq per kg
Fosfat 70 – 140 mEq per kg

9
Kalsium 50 – 100 mEq per kg
Magnesium 50 – 100 mEq per kg
Air 100– 200 mEq per kg

Dalam penemuan laboratorium awal pada koma hiperosmolar dengan


seri Brookiyn dan Washington, didapatkan data sebagai berikut4:

Penemuan Laboratorium Awal pada Koma Hiperosmolar

Seri : Brookiyn Washington


Umur, tahun 60 57
Glukosa, mmol/L (mg/dl) 65(1166) 54(976)
Natrium, mmol/L 144 142
Kalium, mmol/L 5 5
Klorida, mmol/L 99 98
Bikarbonat, mmol/L 17 22
BUN, mmol/L (mg/dl) 31(87) 23(65)
Kreatinin, mmol/L (mg/dl) 490(5,5) -
Asam lemak bebas, mmol/L 0,73 0,96
Osmolaritas, mosmol/Liter 384 374
Data rata-rata dari 33 kejadian koma hiperosmoler (AA Arieff, HJ Carrol, Medicine
51:73, 1972)
Data rata-rata dari 20 kejadian koma hiperosmoler (JE Gerich et al, Diabetes 20:28,
1971)

10
2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik


(HHNK) meliputi lima pendekatan2 :
a. Rehidrasi intravena agresif
b. Penggantian elektrolit
c. Pemberian insulin intravena
d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
e. Pencegahan
1. Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK
adalah penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL
per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan isotonik akan dapat
menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat
mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan
kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya
diberikan 1L normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok
hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam
keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik2.
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan
sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik
akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa
darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini
biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan
ginjal2.

11
b. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti,
karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi.
Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin,
karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel.
Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung
pasien juga harus dimonitor2.
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L),
pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan
1/3 kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq
per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol
per L), konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per
L, namun sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam.
Jika konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30 mEq
kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan
(2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan
konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq
per L2.
c. Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya
pamberian cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan
sebelum pemberian cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan
berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau
kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB
secara intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai
konsentrasi glukosa darah turun antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L)
sampai 300 mg per dL. Jika konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun
50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika
konsentrasi glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya

12
diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara
sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar2.
2.Penatalaksanaan Non Medikamentosa
Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK)
biasanya datang dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam keadaan
gawat darurat, oleh karena itu pemberian obat secara non farmakologi
akan kurang tepat karena memberikan efek yang cukup lama.
Penatalaksaan yang tepat bagi pasien (KHHNK) yaitu secara
medikamentosa. Selain itu dapat juga dengan dilakukan pencegahan
penyakit Diabetes Melitus yang biasanya merupakan penyebab awal
KHHNK, meliputi5 :
a. Terapi gizi
Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan
pada status gizi diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan
kebutuhan individual.
b. Latihan jasmani
Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan perubahan
metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan tingkat
kebugaran, juga oleh kada insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar
benda keton dan imbangan cairan tubuh
3.Identifikasi dan Mengatasi Faktor Penyebab
Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik
kepada semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi
antibiotik dianjurkan sambil menunggu kultur pada pasien usia lanjut dan
pada pasien hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini, peningkatan
konsentrasi C-reactive protein dan interleukin-6 merupakan indikator
awal sepsis pada pasien dengan HHNK2.

13
4. Pencegahan
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya
penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah
dan compliance yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain
yang juga perlu diperhatikan adalah adanya akses terhadap persediaan air.
Jika pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga terdekat
sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya
perubahan status mental dan kemudian menghubungi dokter jika hal
tersebut ditemui2.
Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus
diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK dan
juga edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yang memadai dan
pemantauan yang ketat2.
Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari
HHNK. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut :
a. Karbohidrat : 60-70%
b. Protein : 10-15%
c. Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah
dibuktikan dapat mengurangi resistensim insulin dan memperbaiki
respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian
dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar
HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM),
dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan
tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan

14
makanan juga sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap
diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak
diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih
banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai
sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging
dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan
serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g
per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak,
makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat
membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa
risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat
seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan
mineral6.
Selain diet, dengan berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan
menjaga kadar gula darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang
dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga
yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga
berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus
pengaruhnya bagi kesehatan6.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-
umur),disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa
contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang,dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling
tidak dilakukan selama total30-40 menit per hari didahului dengan
pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah
raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor
insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa6.

15
2.1.8 Komplikasi

Komplikasi dari terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi vascular,


infark miocard, low-flow syndrome, disseminated intravascular coagulopathy
dan rabdomiolisis. Overdehidrasi dapat menyebabkan adult respiratory distress
syndrome dan edema serebri, yang jarang ditemukan namun fatal pada anak-
anak dan dewasa muda. Edem serebri ditatalaksana dengan infus manito dengan
dosis 1-2/kgBB selama 30 menit dan pemberian deksametason intravena.
Memperlambat koreksi hyperosmolar pada anak-anak dapat mencegah edem
serebri2.

2.1.9 Prognosis

Biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pasien bukan disebabkan


oleh sindrom hyperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasari atau
menyertainya. Angka kematian berkisar antara 30-50%. Dinegara maju dapat
diatakan penyebab utama kematian adalah infeksi usia lanjut dan osmolaritas darah
yang sangat tinggi. Di negara maju, angka kematiaun dapat ditekan menjadi sekitar
12%2.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Avichal D. dan Blocher C. N. 2017. Hyperosmolar hyperglycemic state.


Department of internal medicine.
https://emedicine.medscape.com/article/1914705.

2. Soewondo, Pradana. 2014. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik.


Dalam : Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing.

3. Yu Y., Vetere P., Goobie G. dan Bassyouni H. 2016. Hyperosmolar


Hyperglicemic State (HHS). MD at time of publication.
Hhtp://calgaryguide.ucalgary.ca/hyperosmolar-hiperglycemic-state-hhs/
Published [3 maret 2016]

4. Foster, Daniel W. 2000. Diabetes Mellitus. Dalam : Harrison prinsip-prinsip


ilmu penyakit dalam edisi 13/ editor edisi bahasa inggris, Kurt J. Isselbacher
et al; editor bahasa Indonesia, Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC.
5. Yunir, Em, Soebardi, dan Suharko. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 3. Jakarta : Interna Publishing.
6. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes.
Diabetes Care. 2004;27(Suppl 1):S15-S35.

17

Anda mungkin juga menyukai