Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Oleh :

ABDUL PATAH ROHAYANDI


NIM. 5201416018

Pengampu :

Lutfia Nur Hadiynti, S.Pd., M.Pd

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
BAB I
I. LATAR BELAKANG

Pendidikan sebagai sebuah proses pengembangan sumberdaya manusia agar


memperoleh kemampuan sosial dan perkembangan individu yang optimal memberikan relasi
yang kuat antara individu dengan masyarakat dan lingkungan budaya sekitarnya1. Lebih dari
itu pendidikan merupakan proses “memanusiakan manusia” dimana manusia diharapkan
mampu memahami dirinya, orang lain, alam dan lingkungan budayanya2. Atas dasar inilah
pendidikan tidak terlepas dari budaya yang melingkupinya sebagai konsekwensi dari tujuan
pendidikan yaitu mengasah rasa, karsa dan karya. Pencapaian tujuan pendidikan tersebut
menuai tantangan sepanjang masa karena salah satunya adalah perbedaan budaya. Olehnya,
kebutuhan terhadap pendidikan yang mampu mengakomodasi dan memberikan pembelajaran
untuk mampu menciptakan budaya baru dan bersikap toleran terhadap budaya lain sangatlah
penting atau dengan kata lain pendidikan yang memiliki basis multikultural akan menjadi
salah satu solusi dalam pengembangan sumberdaya manusia yang mempunyai karakter yang
kuat dan toleran terhadap budaya lain. Pertautan antara Pendidikan dan Multikultural
merupakan solusi atas realitas budaya yang beragam sebagai sebuah proses pengembangan
seluruh potensi yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekwensi
keragaman budaya, etnis, suku dan aliran atau agama.3 Pluralitas budaya, -sebagaimana
terdapat di Indonesia,- menempatkan pendidikan Multikultural menjadi sangat urgen.4
Keberagaman budaya di Indonesia merupakan kenyataan historis dan sosial yang tidak dapat
disangkal oleh siapapun. Keunikan budaya yang beragam tersebut memberikan implikasi
pola pikir, tingkah laku dan karakter pribadi masing– masing sebagai sebuah tradisi yang
hidup dalam masyarakat dan daerah. Tradisi yang terbentuk akan berlainan dari satu suku/
daerah dengan suku/daerah yang lain. Pergumulan antar budaya memberikan peluang konflik
manakala tidak terjadi saling memahami dan menghormati satu sama lain. Proses untuk
meminimalisir konflik inilah memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan Multikultural
dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang majemuk dan heterogen agar saling
memahami dan menghormati serta membentuk karakter yang terbuka terhadap perbedaan.
II. PEMBAHASAAN
1) Pelaksanaan Pendidikan Multikultural
2) Manfaat Pendidikan Multikultural
3) Wawancara salah satu teman yang berbeda daerah
4) Pendidikan Multikultural akan memberikan dampak pada permasalahan atau
fenomena kebangsaan yang saat ini terjadi
5) Saran untuk pelaksanan Pendidikan saat ini

III. TUJUAN
1) Dapat memahami pendidikan multicultural?
2) Dapat memahami pelaksanaan pendidikan multicultural?
3) Dapat mengetahui manfaat pendidikan multicultural?

BAB II
ISI

I. Pelaksanaan Pendidikan Multikultural


Indonesia adalah bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, ras,
bahasa, adat istiadat, agama dan budaya. Masyarakat Indonesia juga dikenal sebagai
masyarakat multikultural karena anggotanya terdiri dari berbagai latar belakang
agama dan budaya yang beragam. Indonesia merupakan bangsa multikultural dan
majemuk, oleh karena itu bangsa Indonesia dapat disebut bangsa yang bersifat
multikulturalisme. Secara konseptual sebenarnya multikulturalisme tidak sama
dengan konsep keberagaman atau keanekaragaman. Konsep multikuluralisme selain
mengandung unsur keberagaman agama dan budaya juga mengandung unsur
kesedarajatan. Multikulturalisme merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai
harganya, sebagai potensi yang harus dikembangkan dan dibina. Sebaliknya apabila
keberagaman ini tidak dimanfaatkan, dan dibina secara benar akan berkembang
menjadi sesuatu yang menakutkan. Oleh karena itu, pendidikan yang berbasis
multikulturalisme merupakan suatu keharusan dan apabila tidak dilakukan saat ini
akan berubah menjadi malapetaka, pendidikan multikultural adalah “conditio cine
quanon”. Dulu keberagaman merupakan kekayaan bangsa yang paling dibanggakan,
dibangun atas dasar tujuan dan kepentingan bersama yaitu kemerdekaan Indonesia.
Pendidikan multicultural di Indonesia dapat dilaksanakan secara fleksibel, tidak
harus dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah atau monolitik. Pelaksanaan
pendidikan multicultural didasari atas lima dimensi yaitu
1) Integrasi konten
Pemanduan konten menangani sejauh mana guru menggunakan
contoh dan konten dari beragam buadaya dan kelompok untuk
menggambarkan konsep, prinsip, generalisasi, serta teori utama dalam
bidang mata pelajaran atau kedisiplinan.
2) Proses menyusun pengetahuan
Sesuatu yang berhubungan dengan sejauh mana guru membantu
siswa paham, menyelidiki, dan untuk menentukan bagaimana asumsi
budaya yang tersirat, kerangka acuan, perspektif dan prasangka didalam
disiplin mempengaruhi cara pengetahuan yang disusun didalamnya.

3) Mengurangi prasangka
Dimensi ini focus pada karakteristik dari sikap rasial siswa dan
bagaimana sikap tersebut dapat diubah dengan metode materi pengajaran.
4) Pedagogi kesetaraan
Pedagogi kesetaraan ada ketika guru mengubah pengajaran meraka ke
cara yang akan memfasilitasi prestasi akademis dari siswa, dari berbagi
kelompok ras, budaya, dan kelas social. Termasuk pedagogi ini adalah
penggunaan gaya mengajar yang konsisten dengan banyak gaya belajar
didalam beragai kelompok budaya dan ras.
5) Budaya sekolah dan struktur sekolah yang memberdayakan
Praktik pengelompokan dan penamaan partisipasi olahraga, prestasi
yang tidak proporsional, dan interaksi staff, dan siswa antara etnis dan ras
adalah bebrapa dari komponen budaya sekolah yang memberdayakan
siswa dari beragam kelompok, ras, etnis, dan budaya.
II. Manfaat Pendidikan Multikultural
1. Dapat dijadikan pengetahuan oleh kalangan pendidikan tentang cara
pengembangan ide dan konsep yang sesuai dengan kebutuhan pebelajar
menjadi sebuah silabus pembelajaran.
2. Dapat membina siswa agar tidak tercabut dari akar budayanya, sebab
pertemuan antara budaya di era globalisasi ini bisa jadi acaman serius bagi
anak didik kita. Dalam kaitannya siswa perlu diberikan penyadaran akan
pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas
akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan.
3. Untuk menumbuhkan prinsip-prinsip multicultural seperti teloransi,
demokrasi, saling menghargai dan mau memahami serta mengakui perbedaan
yang ada ditengah-tengah masyarakat.
4. Menambahkan rasa bangga terhadap kebudayaan Indonesia.
5. Tidak adanya dominasi dan diskriminasi diantara kelompok.
6. Tidak adanya yang saling konflik antar kelompok
Pendidikan multicultural akan memberikan kelenturan mental bangsa menghadapi
benturan konflik social, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Maka disni sangat jelas pentingnya pendidikan multicultural bagi bangsa Indonesia
guna untuk menjaga keutuhan bangsa persatuan dan kesatuan tetap terjaga dan yang
pasti integrasi bangsa semakin kuat.
III. Wawancara salah satu teman yang berbeda daerah
Ketika memwawancarai salah satu teman saya.
Nama : Ahmad Widiyanto
NIM : 520141607
Jurusan : Pendidikan Teknik Mesin
TTL : Batang, 04 April 1998
Saya bertanya kepada teman saya, tentang masalah pendidikan yang ada di daerahnya
ternyata masih banyak PR kita untuk membangun pendidikan ini menjadi lebih baik
lagi, masalah pendidikan Di kabupaten Batang, pembangunan Unit Gedung Baru
(UGB)/Unit Sekolah Baru menurut pengamatan peneliti pemerintah belum
memperhatikan tata guna lahan yang tepat. Ada beberapa sekolah yang dibangun di
lokasi yang karena harga tanahnya murah. Padahal selain tingkat kemiringannya
melebihi 15 %, juga sulit dijangkau oleh masyarakat. Atau bahkan berdekatan dengan
sekolah lain. Dengan demikian, pemerintah kurang memperhatikan rasio penduduk
usia sekolah dengan kebutuhan sekolah. Sementara ada sekolah yang belum
beroperasi ternyata sudah ada ruang kelas yang longsor akibat kondisi tanah yang
labil. Hal ini menunjukkan perlunya pengkajian lebih lanjut tentang dimana
seharusnya pembangunan UGB/USB dilaksanakan. Secara umum pola jaringan jalan
yang terbentuk di kabupaten Batang adalah pola terpencar. Karena sistem transportasi
jalan regional yang ada berorientasi ke pusat kecamatan. Jalur regional tersebut
merupakan jalur yang melewati kawasan agrowisata Surban Wali, perdagangan dan
terminal serta pasar. Karakteristik lalu lintas di kabupaten Batang terutama
didominasi oleh kegiatan perdagangan, jasa, pendidikan dan komuter pegawai dengan
pola pergerakan utama ke tempat bekerja, pabrik, sekolah,perkebunan, pertanian dan
pasar dari pagi sampai sore. Di kabupaten Batang, peningkatan jaringan kinerja jalan
dan lokasi pendidikan dapat dikatakan masih ada yang kurang mendukung. Masih
terdapat beberapa daerah terpencil yan kurang terjangkau oleh keberadaan lokasi
sekolah karena jarak rumah yang jauh dari lokasi sekolah. Seperti desa Gerlang
(Blado), Desa Tombo(Bandar), Desa Duren Ombo(Subah), Desa Dlisen (limpung),
Desa Pranten), Desa Kebaturan(Bawang), dan Gumawang (Pecalungan). Sementara
ada di daerah lain terutama di pusat kecamatan atau pusat kota yang lokasi sekolah
satu dengan yang lainnya saling berdekatan bahkan berdekatan dengan jalan sehingga
menyebabkan siwa terganggu oleh kebisingan.
IV. Pendidikan Multikultural akan memberikan dampak pada permasalahan atau
fenomena kebangsaan yang saat ini terjadi
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau
pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu :
Horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis,
bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan dan budaya. Vertikal, kemajemukan
bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman,
pekerjaan, dan tingkat sosial budaya. Pendidikan Multikultural dalam tatanan
masyarakat yang penuh permasalahan antara kelompok, budaya, suku, dan lain
sebagainya seperti Indonesia mengandung tantangan yang tidak ringan.
Pendidikan Multikultural berarti mengembangkan kesadaran atas kebanggaan
seseorang terhadap bangsanya. Dengan demikian pendidikan global tidak mengurangi
pengembangan kesadaran akan kebanggaan terhadap suatu bangsa
Jika melihat fenomena yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia
saat ini, bangsa dan negara Indonesia sedang mengalami berbagai tantangan atau
bahkan ancaman, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri,
gerakan reformasi yang telah digulirkan saat ini justru menyisakan dampaknya yang
berkepanjangan. Semangat demokratisasi yang menjelma dalam reformasi hanya
melahirkan nilai-nilai kebebasan yang kering dari spiritualitas nilai moral dan etika,
kemudian menjalar menjadi krisis sosio kultural bangsa Indonesia. Krisis budaya
yang meluas di kalangan masyarakat itu dapat disaksikan dalam berbagai bentuknya,
seperti terjadinya disorientasi dan distorsi.
Disorientasi artinya masyarakat kehilangan arah dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, akibat semakin lepas dari nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman,
pengangan, dan pandangan hidup. Distorsi nilai, yaitu pemutarbalikan cara pandang,
nilai-nilai lama yang dahulu dijadikan pedoman, dan pandangan hidup sekarang
difahami sebagai sesuatu yang kuno dan ketinggalan jaman. Sementara masyarakat
lebih memilih dan mempercayai nilai-nilai modern yang serba praktis dan pragmatis,
kesemuanya belum tentu sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Masyarakat mengalami kegoyahan dalam pandangan hidupnya, mudah terombang–
ambing dan mudah termakan provokasi yang menjerumuskan. Modus distorsi ditandai
semakin memudar ikatan kohesivitas sosial, seperti menurunnya rasa solidaritas atau
kesetiakawanan sosial sebagai sesama anak bangsa. Kehidupan sosial menjadi hambar
dan gersang.
Di sisi lain muncul pada sebagian kaum elit suatu pemikiran yang dilandasi
semangat federalisme dan demokrasi liberal, misalnya dalam bentuk ide – ide
pemekaran wilayah untuk memperluas daerah-daerah otonomi khusus tanpa alasan
rasional yang memihak kepentingan masyarakat. Padahal, ide awal pengembangan
otonomi daerah adalah menjadikan daerah sebagai filter bagi gerakan separatisme,
mendekatkan rakyat pada pengambil keputusan dan menyebarkan serta meratakan
pusatpusat pertumbuhan potensi daerah untuk kesejahteraan masyarakatnya, namun
ternyata perkembangannya hanya membuahkan hasil sampingan berupa raja-raja kecil
di dalam negara. Kemudian lagi muncul berbagai gerakan anarkhis dan separatis yang
bernuansa sara masih terjadi di mana-mana. Seperti gerakan pembelaan kebenaran
dan keadilan dengan mengatasnamakan agama hanya melegalisasi tindak kekerasan
dan pemaksaan kehendak kepada kelompok agama, budaya, etnis masyarakat lain.
Ancaman dari luar negeri berupa dampak multi dimensi dari globalisasi,
misalnya tekanan kapitalisme di bidang ekonomi dan demokrasi liberal di segala
bidang kehidupan, dapat menggoyahkan bahkan mengancam eksistensi negara
kebangsaan. Seperti misalnya semangat liberalisme yang melahirkan anak-anak
kandungnya yaitu kapitalisme dan demokrasi liberal saat ini telah mengembangkan
sayapnya ke seluruh penjuru dunia. Nilai-nilai liberalisme barat yang dikemas ke
dalam sistem ekonomi kapitalis dan sistem demokrasi liberal mampu menciptakan
tatanan dunia baru yang bersifat mondial. Ada ketegangan kekuatan tarik ulur antara
nilai-nilai kearifan lokal dan nilai-nilai global. Gerakan reformasi yang telah
digulirkan saat ini justru menimbulkan dampak sampingan.
Semangat demokratisasi yang menjelma dalam gerakan reformasi hanya
melahirkan nilai-nilai kebebasan yang kering dari spiritualitas nilai moral dan etika,
pada akhirnya menjalar menjadi krisis sosio kultural bangsa Indonesia. Krisis budaya
yang meluas di kalangan masyarakat itu dapat disaksikan dalam berbagai bentuknya,
seperti terjadinya distorsi dan disorientasi nilai. Disorientasi artinya masyarakat
kehilangan arah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, akibat semakin lepas dari
nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman, pengangan, dan pandangan hidup.
Distorsi nilai, yaitu pemutarbalikan cara pandang, nilai-nilai lama yang dahulu
dijadikan pedoman, dan pandangan hidup sekarang difahami sebagai sesuatu yang
kuno dan ketinggalan jaman. Sementara masyarakat lebih memilih dan mempercayai
nilai-nilai modern yang serba praktis dan pragmatis, kesemuanya belum tentu sesuai
dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Masyarakat mengalami kegoyahan
dalam pandangan hidupnya, mudah terombang– ambing dan mudah termakan
provokasi yang menjerumuskan.
Modus distorsi ditandai oleh semakin menurun rasa solidaritas sosial atau
kesetiakawanan sebagai sesama anak bangsa. Hidup menjadi hambar, gersang, dan
mudah melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarkhi (Iriyanto, 2006)
Merosotnya penghargaan nilai moral, kesantunan sosial, kepatuhan terhadap hukum,
nilai etik berlanjut konflik yang bernuansa politik, etnis dan agama seperti yang
terjadi di Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah. Meluasnya
penyakit sosial yang terjadi pada saat ini di berbagai wilayah Indonesia menandakan
betapa rapuhnya rasa kebersamaan yang dibangun dalam negara kebangsaan, betapa
kentalnya primordialisme antar kelompok dan betapa rendahnya solidaritas nasional
dalam negara kebangsaan yang multikultural.
Kata”Bhineka Tunggal Ika” yang dicetuskan para pendiri Negara Kesatuan
Republik Indonesia memanifestasikan sebuah realita wajah masyarakat bangsa
Indonesia yang multikultural. Di atas realitas masyarakat yang multikultural inilah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat dibangun dan berdiri tegak
hingga sekarang ini. Istilah ”kesatuan” dalam NKRI sebagai penjelmaan Bhineka
Tunggal Ika tidak sekedar mengandung arti fisik, melainkan psikis dan kultural yaitu
kesatuan yang memiliki derajat tertinggi yaitu integrasi kultural yang mengandung
didalamnya solidaritas nasional.
Ideologi Pancasila memainkan peran sebagai perekat pluralitas budaya.
Berbagai tantangan tersebut di atas jika tidak segera diatasi dalam kumulasinya akan
merongrong ketahanan nasional bangsa dan negara Indonesia. Ketahanan nasional
harus dibangun di atas akar kebudayaan bangsa Indonesia sendiri. Masalah ketahanan
nasional harus diselesaikan melalui pendekatan kebudayaan. Strategi kebudayaan
dalam ketahanan nasional yaitu multikulturalisme Pancasila. Berbicara tentang
Pancasila seharusnya kita mendudukkan diri sebagai sesama warga bangsa, sesama
saudara, putera Ibu Pertiwi kita Indonesia.
Kita dilahirkan sebagai anak keturunan satu nenek moyang, kita mempunyai
kesatuan darah, kita dilahirkan di atas bumi Indonesia, kita mempunyai kesatuan
tempat kelahiran dan tempat tinggal. Kita mempunyai kesatuan sumber kehidupan,
dimana kita bersama-sama hidup, dimana kita bersama-sama mendapatkan segala
sesuatu yang kita perlukan buat kehidupan kita, dimana ia saling bergaul dan
kerjasama, dimana kita telah mempunyai nasib dan sejarah bersama, dimana setelah
proklamasi kemerdekaan kita mempunyai suatu tekad untuk menyusun suatu hidup
bersama dalam negara, yang bersatu, merdeka, adil dan makmur buat kita sendiri dan
anak keturunan kita sampai akhir jaman (Muladi, 2006).
Multikulturalisme dimaksudkan untuk mengatasi masalah ketahanan nasional
dengan merespon dampak perkembangan globalisasi, dan fenomena konflik etnis,
sosial budaya, yang muncul di kalangan masyarakat Indonesia yang berwajah
multikultural. Kerawanan konflik sebagai bagian permasalahan ketahanan nasional ini
sewaktu – waktu bisa timbul akibat suhu politik, agama, sosio budaya yang memanas.
Penyebab konflik sangat kompleks namun sering disebabkan karena perbedaan etnis,
agama, ras. Kasus perbedaan SARA yang pernah terjadi di tanah air belum lama ini
misalnya konflik Ambon, Poso, dan konflik etnis Dayak dengan suku Madura di
Sampit. Banyak lagi kasus semacam yang belum kita ketahui atau belum terpublikasi
media masa.
Praktik pendekatan multikulturalisme, melalui peran pendidikan disini
setidaknya memberikan penyadaran (consciousness) kepada masyarakat bahwa
pemecahan masalah melalui konflik bukan suatu cara yang baik dan tidak perlu
dibudayakan. Untuk itu pendidikan formal harus mampu memberikan tawaran-
tawaran pembelajaran yang mencerdaskan, misalnya mendisain materi, metode,
kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat atau peserta didik akan pentingnya
sikap toleran, menghormati perbedaan suku, ras, agama dan budaya. Pendidikan yang
kini dibutuhkan bangsa Indonesia yang multikultural adalah pendidikan yang
memberikan peran sebagai media transformasi budaya di samping transformasi
pengetahuan.
Selama ini pendidikan di Indonesia lebih berorientasi pada perannya sebagai
media transformasi pengetahuan. Paradigma baru yang harus dikembangkan di dunia
pendidikan saat ini adalah paradigma pendidikan yang mampu menempatkan
pendidikan sebagai media transformasi budaya disampaing sebagai media
transformasi pengetahuan (Hamdan Mansur, 2004). Alternatif yang ditawarkan adalah
pendidikan berwawasan multikulturalisme. Paradigma pendidikan berwawasan
multikulturalisme tersebut bermuara pada terciptanya sikap peserta didik yang mau
menghargai , menghormati perbedaan etnis, agama dan budaya dalam masyarakat.
Kemudian juga, pendidikan multikultural memberi penyadaran pada peserta didik
bahwa perbedaan suku, agama dan budaya serta lainnya tidak menjadi penghalang
bagi peserta didik untuk bersatu dan bekerjasama. Dengan perbedaan yang bermuatan
solidaritas nasional justru menjadi pendorong untuk berlomba dalam kebaikan bagi
kehidupan bersama.
Peran Guru dalam Pendidikan Multikultural. Guru sebagai seorang pendidik
nantinya harus mengajari siswa dan membibingnya agar memiliki karakter yang baik
dan ber-ideologi Pancasila. Guru adalah orang yang betangung jawab atas moral
muridnya, karena tu sejakbangku SD gur harus menanamkan pentingnya nila-nilai
luhur Pancasila yang mana saling menghargai perbedaan dalam satu naungan Bangsa
Indonesia dengan semboyannya “Bhinneka Tunggal Ika”.
Guru nanti harus mengajarkan bahwa perbeaan bukanlah sesuatu yang
dianggap menakutkan dan bukan digunakansebagai ajang untuk menunjukkan mana
yang lebih baik dan alhasil akan menciptakan jurang perbedan yang dalam dan curam
sehingga sult untuk dilewati, apalagi hingga menyulut peperangan yang tentnya akan
merugikan dan mengganggu ketahanan nasional. Tapi, perbedaan dianggap sebagai
sesuatu yang indah dan membuat negara indonesia kita ini menjadi semakin kaya
karena perbedaan itu.
V. Saran untuk pelaksanan Pendidikan saat ini
a) Hapus Diskriminasi Pendidikan

Pemerintah pernah melakukan ini sebelumnya, ketika menghapus sekolah


yang memasang label SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) atau RSBI (Rintisan
Sekolag Bertaraf Internasional). Akan tetapi pemerintah lupa masih ada yang
namanya sekolah unggulan atau bukan sekolah unggulan. Buat saya ini hanya
mengedepankan sekolahnya saja, tapi bukan pada pelaku pendidikan di
dalamnya. Saya berani jamin, sekolah unggulan pasti memiliki banyak guru dan
murid yang berkualitas. Tapi pasti ada juga guru atau murid yang tidak
berkualitas, walaupun hanya sebagian kecil. Dalam tanda kutip tidak berkualitas
di sekolah unggulan tersebut. Tapi bisa jadi berkualitas di sekolah non unggulan.
Mohon maaf bukan artinya saya mendiskriminasi bahwa ada manusia yang tidak
berkualitas, tapi tak mungkin semua manusia di dunia ini punya kualitas yang
sama. Nah, sekarang jika sekolah unggulan tersebut semua elemen di dalamnya
berkualitas, apa jadinya sekolah yang non unggulan? Semuanya tidak berkualitas?
Bisa jadi. Maka dari itu, ini harus dirubah. Tidak ada yang namanya sekolah
unggulan atau non unggulan. Semua sekolah sama. PAUD, TK, SK, SD, SMP,
SMA. Toh yang penting kita mencetak pribadi dan akhlak siswa yang baik.
Bukan mencetak sekolah terbaik. Merekalah yang akan meneruskan perjuangan
kita untuk kembali mencetak siswa berkualitas.

b) Menentukan sekolah untuk siswa


Jika sudah dihapus itu yang namanya sekolah unggulan dan non unggulan,
maka semua taraf sekolah sama rata. Langkah pemerintah selanjutnya adalah
menentukan sekolah untuk siswa. Dengan cara apa? Dengan cara bantuan dari
disdukcapil setempat. Mendata alamat calon siswa baru. Tentukan sekolah anak
dengan jarak terdekat dari rumahnya. Jadi tidak ada anak yang sekolahnya
jaraknya jauh. Ambil contoh di Jakarta. Anak yang rumahnya di Jakarta timur,
bisa saja sekolah di Jakarta Selatan. Atau anak yang rumahnya di Jakarta Pusat,
bisa saja sekolah di Kota Bekasi, lintas provinsi bahkan. Lihatlah, betapa jauh
mereka sekolah. Artinya mereka harus bangun lebih pagi dan pulang lebih lama
dari yang sekolahnya jarak dekat. Waktu mereka pasti habis di jalan. Belum les
ini itu. Sampai dirumah mereka harus belajar lagi. Saya sendiri melihat itu,
kasihan. Kenapa mereka seperti itu? Ya itu tadi karena mereka memilih sekolah
unggulan. Jika tidak ada, pasti mereka mau sekolah yang dekat saja. Banyak
untungnya jika sekolah mereka dekat dari rumah. Yang pertama, bisa lebih
dipantau oleh orang tua. Mereka pasti ada rasa takut sedikit jika berada jarak
dekat dengan orang tua, akan mikir beribu kali jika berulah di sekolah. Yang
kedua, orang tua tidak perlu menghantar jauh-jauh yang bisa macet di jalan raya
yang akhirnya telat. Anak cukup jalan kaki dari rumah. Itung-itung sekalian
olahraga pagi. Hehe. Tapi juga ada kendalanya. Apakah satu sekolah mampu
menampung seluruh anak satu kecamatan? Tentu tidak. Solusinya adalah
perbanyak sekolah di satu kecamatan. Kalau itu terlalu boros, bisa dengan
memperbanyak ruang kelas. Poin utamanya yang penting adalah anak sekolah di
jarak terdekat rumah mereka.

c) Penempatan guru yang merata


Ini juga merupakan salah satu elemen penting. Tenaga pendidik atau guru. Di
Indonesia, saya yakin penempatannya belum merata. Beruntung ada program
swasta seperti Indonesia Mengajar yang membantu pemerintah mengisi
kekosongan tenaga pengajar di pelosok. Pemerintah sepertinya juga memiliki
program tersebut, kalau tidak salah namanya SM3TRI. Ini merupakan solusi.
Tapi ada 1 solusi lagi. Indonesia punya organisasi guru yaitu PGRI. Jadikanlah
PGRI sebagai badan penempatan guru di Indonesia. Jadi gambaran sistemnya
seperti ini. PGRI harus mendata terlebih dahulu seluruh sekolah di Indonesia
tentang tenaga pendidiknya. Bisa diwakilkan ke setiap PGRI tingkat provinsi atau
kota. Pasti setelah itu akan ketahuan sekolah mana yang kekurangan tenaga
pendidik. Setiap sarjana pendidikan yang ingin melanjutkan profesinya sebagai
guru, mengirimkan berkas lamarannya ke PGRI pusat. Lalu PGRI pusat lah yang
akan menentukan kemana mereka akan mengajar. Satu demi satu dipenuhi
kekurangan guru di daerah terpencil, yang akhirnya akan menjadikan meratanya
suatu pendidikan.

d) Diskriminasi seragam antar siswa


Ini seringkali terjadi. Seragam harusnya bukan hanya baju, celana, dasi, sabuk
dan topi. Tetapi tas dan sepatu juga perlu. Siswa seringkali meledek temannya
jika tasnya jelek. Ada juga siswa yang selalu pamer sepatu barunya yang mahal.
Yang pasti tidak mau diinjak teman temannya. Ini akan memunculkan sikap tidak
baik pada siswa tersebut. Jika semua diseragamkan, pasti tidak akan timbul yang
namanya iri, olok-olokan, keangkuhan pada siswa. Seragam semua harus dijamin
oleh pemerintah. Mulai dari baju, celana, sabuk, topi, dasi, tas, sepatu bahkan
buku tulis dan perlengkapan belajar lainnya. Semuanya standar dari pemerintah.
Tidak ada yang berbeda. Semunya sama di seluruh Indonesia. Saya pernah
melihat di suatu sekolah. Ada anak yang masih memakai tas dari bahan karung
beras. Teman yang lainnya pakai tas yang bermerk internasional. Jelas timpang
sekali. Apa yang terjadi dengan anak itu? Saya yakin pasti ada sebagian kecil
yang meledeknya. Jika semua seragam pasti tidak akan terjadi saling meledek.
Karena tidak ada yang dibandingkan. Semuanya sama.

e) Penambahan materi tertib dan buang sampah pada tempatnya pada kurikulum
Materi ini sangat penting. Karena ini sudah menjadi masalah besar buat negara
kita. Indonesia itu terkenal dengan masyarakatnya yang tidak mau antri dan
buang sampah sembarangan. Tanyalah kepada orang luar negri yang mampir ke
Indonesia. Ini harus dirubah. Bandung sudah memberlakukan denda kepada
warganya yang buang sampah sembarangan. Ini pun perlu diberlakukan kepada
siswa sejak dini. Selipkan materi buang sampah pada tempatnya di jam pertama
dan jam terakhir sekolah. Tidak usah lama-lama, cukup 5 menit per jam. Materi
antri atau tertib bisa diselipkan saat pertama masuk kelas dan di dalam kelas. Ini
penting untuk mencetak karakter yang bagus. Jika ini dibiasakan sejak kecil, pasti
akan terbawa sampai dewasa. Dan pastinya perlu dukungan dari orang tua untuk
tetap memberikan pengarahan tentang perlunya materi ini.

IV. KESIMPULAN
Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan
utama dari pendidikan. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan hal penting,
sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi
kekacauan di mana-mana. Kerana itulah pendidikan menjadi salah satu factor dimana
kemajuan suatu bangsa terlihat dari pendidikannya. Dari itu pendidikan harus bisa
menjadi lebih baik lagi. Memang tak mudah udah pendidikan di Indonesia ini untuk
bisa lebih baik, banyak factor yang harus diperbaiki dalam pendidikan di Indonesia
saat ini.
V. PENUTUP
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki keragaman etnik tetapi
memiliki tujuan yang sama, yakni sama-sama menuju masyarakat adil makmur dan
sejahtera. Mengingat kenyataan seperti ini, menjadi penting untuk mengembangkan
pendidikan multikultural, yakni sebuah proses pendidikan yang memberi peluang
sama pada seluruh anak bangsa tanpa membedakan perlakuan karena perbedaan etnik,
budaya dan agama, yang memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang
memberikan hak-hak sama bagi etnik minoritas, dalam upaya memperkuat persatuan
dan kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia internasional. Dalam
hal pendidikan multikultural, sekolah harus mendesain proses pembelajaran,
mempersiapkan kurikulum dan desain evaluasi, serta mempersiapkan guru yang
memiliki persepsi, sikap dan perilaku multikultur, sehingga menjadi bagian yang
memberikan kontribusi positif terhadap pembinaan sikap multikultur para siswanya.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Aldridge, Jerry and Renitta Goldman, Current Issues and Trends in Education, Allyn
and Bacon, Boston, USA, 2002.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Multikultural; Membangun Kembali Indonesia Bhineka
Tunggal Ika, dalam Tsaqafah, Vol. I, No. 2, 2003. Banks,
James A, Educating Citizens in a Multicultural Society, Teacher College Press,
Columbia University, New York, 1997.
Budianta, Melani, Multikultura;lisme dan Pendidikan Multikultural, Sebuah
Gambaran Umum, dalam Tsaqafah, Vol. I, No. 2, 2003.
Sunarto, Kamanto, Multicultural Education in Schools, Challenges in its
Implementation, dalam Jurnal Multicultural Education in Indonesia and South East
Asia, Edisi I, 2004.
Mulyana, D. & Rakhmat, J. (Eds.). (2000). Komunikasi antarbudaya. Bandung:
Remaja Rosdakarya Rosyada, D. et al. (TIM UIN), (2003). Pendidikan kewargaan
(Civica education): Demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani. Jakarta:
ICCE UIN.
Glover, D. & Sue L. (2002). Improving learning (terjemahan Willie Koen). Jakarta:
Grasindo. Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan global masa
depan dalam transformasi pendidikan nasional. Jakarta: Lembaga Manajemen
Universitas Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai