Anda di halaman 1dari 6

MENELUSURI HAKIKAT IBADAH

Oleh : Redaksi*

“Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan pemeliharamu
maka beribadahlah kepada-Ku” (QS. Al-Anbiya’: 92).

Muqaddimah
Dalam agama Islam mengenal beberapa ibadah ritual yang selalu dilakukan oleh umat
muslimin. Ada yang sifatnya harian , mingguan , bulanan, atau tahunan. Ibadah yang sifatnya
harian seperti, shalat wajib lima waktu, sedangkan yang bersifat mingguan misalnya shalat
Jum’at. Adapun yang bersifat bulanan ataupun tahunan misalnya puasa di bulan Ramadhan,
shalat Idul Fitri, shalat Idul Adha,dan sebagainya. Selain dari tersebut, masih banyak bentuk-
bentuk ibadah lain yang sifatnya tidak terikat oleh ritual waktu, seperti halnya membaca Al-
Qur’an, beri’tikaf, berdzikir, berbuat baik, beshodaqah, beramal sholeh dan masih banyak yang
lainnya.
Di samping melakukan berbagai ibadah yang telah disebutkan tadi, masih banyak
perbuatan perbuatan lain yang selalu kita lakukan dalam kehidupan ini seperti makan, minum,
belajar, bekerja, tidur, dan masih banyak yang lain. Apakah perbuatan-perbuatan tersebut dapat
tergolong juga sebagai ibadah? Sedangkan di dalam Al –Qur’an terdapat ayat yang artinya: “
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-
Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)
Ayat ini menceritakan bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia semata-mata
agar mereka beribadah kepada-Nya. Lalu apa hakikat ibadah itu? Sementara banyak orang yang
masih beranggapan bahwa yang dinamakan ibadah hanyalah mengerjakan sholat, zakat, puasa,
dan haji. Sedangkan kegiatan yang lain, mereka masih ragu untuk sebagai ibadah.

Pengertian Ibadah
”Ibadah adalah suatu bentuk ke-tundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya
sebagai dampak dari rasa pengagungan yang bersemai dalam lubuk hati seseorang terhadap
siapa yang kepadanya ia tunduk. Rasa itu lahir akibat adanya keyakinan dalam diri yang
beribadah bahwa objek yang kepadanya ditujukan ibadah itu memiliki kekuasaan yang tidak
dapat terjangkau hakikatnya. Maksimal yang dapat diketahui adalah bahwa yang disembah itu
dan yang kepadanya tertuju ibadahnya adalah Dia yang menguasai jiwa raganya, namun Dia
berada di luar jangkauannya.” Itulah kurang lebih Muhammad ‘Abduh menjelaskan arti ibadah
ketika menafsirkan surat Al-Fatihah.
Menurut almarhum mantan pemimpin tertinggi lembaga- lembaga Al-Azhar yaitu
Syaikh Mahmud Syaltut dalam tafsirnya mengemukakan formulasi singkat mengenai arti
ibadah, yaitu “ke-tundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas
(pula).” Hal ini, menunjukkan puncak tertinggi dari kerendahan hati, kecintaan batin, serta
peleburan diri kepada keagungan dan keindahan siapa yang kepadanya seseorang beribadah.
Suatu peleburan yang tidak dicapai oleh peleburan apa pun.
Syaikh Ja’far Subhani mengemukakan tiga definisi yang masing-masing dapat
menggambarkan arti ibadah. Ketiganya dapat disimpulkan dengan menyatakan bahwa “ ibadah
adalah ketundukan dan ketaatan yang berbentuk lisan dan praktik (perbuatan) yang timbul
sebagai dampak keyakinan mengenai ketuhanan siapa yang kepadanya seseorang tunduk.”
Maksud dari “ketuhanan” dalam uraian ini adalah kewenangan dan kekuasaan dalam mengatur
dan menetapkan hal-hal tertentu, misalnya penciptaan, kehidupan, kematian, hukum,
pengampunan, dan sebagainya. Dengan demikian, pemilik sifat ketuhanan itu menguasai
semua aspek kehidupan manusia dan setiap manusia yang beribadah di satu pihak menyadari
keterbatasannya serta kemutlakan zat yang kepadanya ibadah itu ditujukan. Selain itu ia
menyadari pula bahwa ia berada pada posisi dimiliki, dikuasai, dan diatur oleh-Nya. Setiap
sikap, ucapan, dan perbuatan yang mengejawantahkan rasa tersebut itulah yang disebut ibadah.
Ibn Taimiyah dalam bukunya, Al-Ubudiyah, yang berupaya menjelaskan cakupan dan
bentuk-bentuk ibadah, antara lain menulis, “ Ibadah ialah sebutan yang mencakup segala
sesuatau yang disukai dan di ridhoi oleh Allah swt. dalam bentuk ucapan dan perbuatan batin
serta lahir seperti shalat, puasa, haji, kebenaran dalam berucap, penunaian amanah, kebaktian
kepada ibu bapak, silaturrahmi dan lain-lian.”
Sesungguhnya ibadah yang diperintahkan oleh Allah telah mencakup makna
merendahkan diri dan cinta mendalam kepada-Nya. Sebab sesungguhnya akhir dari tingkatan
cinta kepada Allah harus melebihi cinta kepada segala sesuatu. Bahkan tidak dibenarkan
memberikan cinta dan tunduk yang sempurna selain kepada Allah swt. Karena Allah telah
berfirman: “Katakanlah (wahai Muhammad kepada segenap manusia) jika ayah-ayah kamu,
anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, istri-istri kamu, keluarga kamu, harta- harta yang
kamu dapati, perdagangan yang kamu takuti kemundurannya dan tempat tinggal yang kamu
sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah datangkan siksaan-Nya.”( QS. At-Taubah: 24).
Dari uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa ibadah yang di syariatkan Allah
mempunyai dua unsur. Pertama, berpegang teguh kepada apa yang di syriatkan oleh Allah dan
apa yang diserukan oleh Rasul-Nya, baik berupa perintah, larangan atau seruan yang bersifat
menghalalkan atau mengharamkan. Dan inilah yang dilambangkan dengan unsur taat dan
tunduk kepada Allah. Kedua, sikap bepegang teguh yang bersumber dari rasa cinta kepada
Allah.

Hakikat Ibadah
Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Raka’iz Al-Iman Baina Al-‘Aql wa Al-Qalb
mengutip pendapat Ja’far Ash-Shadiq tentang hakikat ibadah yang sesungguhnya baru dapat
mewujud bila seorang memenuhi tiga hal : Pertama, tidak menganggap apa yang berada dalam
genggaman tangannya (kewenangannya) sebagai milik pribadinya. Hal ini dikarenakan
seorang ‘abd tidak memiliki sesuatu pun. Sedang apa yang dimilikinya adalah milik siapa yang
kepada-Nya ia mengabdi. Kedua, menjadikan segala aktivitasnya berkisar kepada apa yang
diperintahkan oleh siapa yang kepada-Nya ia beribadah atau mengabdi serta menjauhi
larangan-Nya. Ketiga, tidak mendahului-Nya dalam mengambil keputusan, serta mengaitkan
segala apa yang hendak dilakukannya dengan izin serta restu siapa yang kepada-Nya ia
beribadah.
Ketiga unsur yang merupakan hakikat ibadah seperti yang dikutip oleh Muhammad Al-
Ghazali tersebut berbeda dengan pendapat Mustofa Zed yang mengemukakan dalam kitabnya,
Falsafah Al-Ibadah fi Al-Islam, bahwa ibadah mempunyai dua unsur pokok yang tanpa
keduanya ibadah tidak diterima, yaitu kesempurnaan ke-tundukan kepada Allah dan
kesempurnaan kecintaan kepada-Nya. Selanjutnya ulama itu menambahkan uraiannya dengan
mengutip Ibn Taimiyah bahwa tingkat pertama dari cinta adalah hubungan, dalm arti
keterpautan kepada yang dicintai.
Dengan menjadikan cinta sebagai salah satu unsur dan syarat diterimanya ibadah
merupakan satu hal yang perlu diteliti dan buktikan dengan argumen-argumen keagamaan. Hal
ini terkecuali bila yang dimaksud dengan ibadah ialah puncak tertinggi dari pengamalan
ibadah. Ini tidak berarti bahwa ke-tundukan kepada Allah dan ibadah kepada-Nya tidak sah
atau tidak diterima apabila tidak dibarengi dengan cinta kepada-Nya, karena – pernyataan Ibnu
Sina dalam kitabnya Al-Isyarat wa Al –Tanbihat- beribadah kepada Allah dapat lahir dari tiga
macam motivasi, yaitu karena dorongan takut, dorongan meraih surga atau dorongan cinta
kepada-Nya.
Rasulullah SAW. pernah menetapkan bahwa amal-amal duniawi yang dilakukan oleh
manusia untuk kepentingan hidupnya, dan usaha-usaha yang dikerjakan untuk keperluan diri
dan keluarganya termasuk aspek-aspek ibadah serta sarana pendekat kepada Allah. Oleh
karena itu semua orang yang berada di tempat kerjanya, dapat menjadikan pekerjaan dan segala
aktivitasnya sebagai ibadah selama mau berpegang teguh pada syarat-syarat berikut. Pertama,
pekerjaan yang dilakukan harus sesuai dengan ajaran Islam. Adapun usaha-usaha yang dilarang
oleh Islam, seperti perdagangan minuman keras, melakukan riba, prostitusi, dan lain
sebagainya tidak dapat dikatakan sebagai ibadah. Kedua, dalam melakukan semua pekerjaan
harus disertai dengan niat suci, yaitu niat yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh
Allah.
Ketiga, pekerjaan yang dilakukan, hendaklah dilaksanakan dengan baik dan tekun. Hal
ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “ Sesungguhnya Allah menyukai seseorang di antara
kamu yang ketika mengerjakan sesuatu perkara, dilakukan dengan tekun dan teliti” (H.R.
Baihaqi dari Aisyah dalam Syu’abul Iman). Keempat, dalam melakukan semua pekerjaan harus
mengikuti ketentuan-ketentuan Allah, tidak berlaku zalim, khianat, menipu atau merampas
hak-hak orang lain. Kelima, pekerjaan yang dilakukan tidak sampai melalaikan kewajiban–
kewajiban kepada Allah yang bersifat ukhrawi. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam
Al-Quran surat Al-Munafiqun ayat 9. Sehingga apabila dalam melaksanakan segala sesuatu
kita telah mampu memelihara syarat-syarat ini, maka apa yang dilakukannya akan bermakna
ibadah. Hal itu berarti kita telah memenuhi panggilan Allah secara sepenuhnya.
Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran ditemukan aneka perintah beribadah baik dengan
tujuan menghindar dari siksa-Nya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan-Nya : “ Wahai
manusia sembahlah Tuhanmu yang menciptakan kamu dan (menciptakan) orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa ( terhindar dari siksa)”.(QS. Al-Baqarah: 21). Selain itu
terdapat juga ayat-ayat yang memerintahkan untuk mengingat nikmat-Nya ( QS. Al-Baqarah
:40) dan mengingat-Nya ( QS.Al-Baqarah : 152). Dan tentu saja melaksanakan perintah
mengingat itu merupakan salah satu bentuk ibadah.
Penutup
Semua manusia, bahkan seluruh makhluk yang berkehendak dan berperasaan, adalah
hamba Allah atau disebut juga ‘Abdullah . Hamba (‘abd) adalah makhluk yang dimiliki dan
dikuasai. Pemilikan Allah atas hamba-Nya adalah pemilikan mutlak dan sempurna. Oleh sebab
itu makhluk tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan aktivitasnya, kecuali dalam hal-
hal yang oleh Allah Swt. telah di anugrahkan untuk dimiliki makhluknya. Hal ini seperti dalam
kebebasan memilih, walaupun kebebasan itu tidak mengurangi kemutlakan kepemilikan Allah.
Berdasarkan kepemilikan mutlak Allah itu, lahir kewajiban menerima semua ketetapan-
Nya, serta menaati seluruh perintah dan larangan-Nya. Dengan dasar itu pula manusia tidal
dibenarkan memilah-milah aktivitasnya, sebagian karena Allah dan sebagian untuk yang lain.
“Katakanlah, “ Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah demi Allah
Pemelihara seluruh Alam.” (QS. Al-An’am : 162).
Dari sini dapat dipahami mengapa perintah beribadah dalam Al-Quran dikaitkan antara
lain dengan sifat rububiyyah (pemeliharaan) Allah, seperti “Wahai seluruh manusia
beribadahlah kepada (Tuhanmu) yang memelihara kamu dan menciptakan kamu” (QS. Al-
Baqarah:21). Selain itu Allah juga berfirman “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu
dan Aku adalah Tuhan pemeliharamu maka beribadahlah kepada-Ku” (QS. Al-Anbiya’: 92).
Perintah beribadah dikaitkan juga dengan perintah berserah diri setelah upaya yang
maksimal (tawakal). Dalam hal ini Allah berfirman “ Milik Allah rahasia langit dan bumi dan
kepeda-Nyalah dikembalikan seluruh persoalan, karena itu beribadahlah kepada-Nya dan
berserah dirilah”. ( QS. Hud:123).
Selain itu di dalam Al-Quran juga ditemukan banyak ayat yang menegaskan bahwa
keagungan dan kekuatan hanya milik Allah (QS. Al-Baqarah:165) dan bahwa tuhan-tuhan yang
disembah manusia dan diduga dapat membantu, tidak lain adalah hamba-hamba Allah swt.
Juga sebagaimana halnya para penyembah mereka (QS. Al–Araf:194).
Benar bahwa Allah membenarkan seseorang tunduk dan taat kepada manusia, tetapi
ke-tundukan dan ketaatan itu tidak boleh bertentangan dengan ketaatan-Nya. Dan atas dasar
inilah la tha’at li makhluq fi ma’ shi yat al-khaliq,” tidak dibenarkan taat kepada makhluk (bila
ketaatan itu) mengantar kepada ke-durhakaan terhadap Al-khaliq”. Selain itu, ke-tundukan
kepada selain Allah tidak boleh mencapai puncak ke-tundukan, atau dengan kata lain tidak
dibenarkan beribadah kecuali kepada Allah.
*Tulisan di ambil dari bapak Misbahul Munir alumnus PP. Miftahul Ulum Kaliwates, Jember
dan pimpinan redaksi majalah CSR

Anda mungkin juga menyukai