Anda di halaman 1dari 39

B.

KAJIAN KONSEPTUAL

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu menjadi salah satu sumber pendukung yang dapat

dijadikan acuan ataupun perbandingan oleh peneliti yang berkaitan dengan

fokus penelitian yang relatif sama. Penulis mengkaji beberapa penelitian

terdahulu yang dijadikan referensi dalam penulisan skripsi ini yakni

sebagai berikut:

1. Penyesuaian Diri Remaja Korban Penyalahguna Narkotika, Psikotropika,

dan Zat Adiktif (NAPZA) dalam Mengikuti Rehabilitasi di Pondok Remaja

Inabah XVII Puteri Pesantren Suryalaya Kabupaten Ciamis

Penelitian ini dilakukan oleh Tamara Senada Islami Masasiswa

Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung Tahun 2018.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode

deskriptif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

secara empiris tentang: 1) karakteristik responden, 2) penyesuaian diri

responden terhadap lingkunag alamiah, 3) penyesuaian diri responden

terhadap lingkungan sosial, 4) penyesuaian diri responden terhadap diri

sendiri, dan 5) harapan responden terhadap Pondok Remaja Inabah

XVII Puteri Pesantren Suryalaya Kabupaten Ciamis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyesuaian diri remaja

korban penyalahguna NAPZA terhadap lingkungan alamiah

menunjukan kategor tinggi, penyesuaian diri terhadap lingkungan

sosial dalam kategori rendah karena masih banyak responden yang


tidak memiliki hubungan baik dengan anak binaan lain, pembina dan

pegawai, penyesuaian diri terhadap diri sendiri menunjukan kategori

rendah karena responden sulit untuk mengontrol emosi dan tidak dapat

fokus dalam mengikuti rehabilitasi di Pondok Remaja Inabah XVII

Puteri Pesantren Suryalaya Kabupaten Ciamis.

2. Penyesuaian Diri Anak Asuh di Panti Asuhan Yayasan

Muhammadiyah Makki Banten (YAMMBA) Kecamatan

Jatibarang Kidul Kabupaten Brebes Jawa Tengah

Penelitian ini dilakukan oleh Riki Kapabila Tahun 2014. Hasil

penelitian ini menunjukan hasil yang cukup baik namun oada aspek

penyesuaian diri pribadi anak asuh belum sepenuhnya mencermikan

perilaku yang diharapkan oleh pihak panti. Oleh karena itu dibutuhkan

upaya peningkatan kapasitas anak asuh melalui kelompok bantu diri

(self help group) di Panti Asuhan Yammba Sebagai langkah untuk

meminimalisir masalah-masalah yang dihadapi oleh anak asuh.

2.2 Teori yang Relevan dengan Penelitian

2.2.1 Kajian tentang Anak

A. Definisi Anak

Secara umum apa yang dimaksud dengan anak adalah

keturunan atau generasi sebagai suatu hasil dari hubungan kelamin

atau persetubuhan (sexual intercoss) antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar

perkawinan. Kemudian di dalam hukum adat sebagaimana yang


dinyatakan oleh Soerojo Wignjodipoero yang dikutip oleh Tholib

Setiadi, dinyatakan bahwa:

” kecuali dilihat oleh orang tuanya sebagai penerus generasi


juga anak itu dipandang pula sebagai wadah di mana semua
harapan orang tuanya kelak kemudian hari wajib
ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang
tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak mampu lagi
secara fisik untuk mencari nafkah (Tholib Setiady, 2010:
173).

Berikut ini merupakan pengertian anak menurut beberapa

peraturan perundang-undangan yang berlaku Di Indonesia antara

lain:

1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah

mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur

18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

2. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di

bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk

anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah

demi kepentingannya.

3. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (1) tentang

Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa “Anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan”.


4. Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi

pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990

disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun

kebawah.

5. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0

sampai dengan 18 tahun.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat

dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18

tahun (0-18 tahun) dan termasuk yang masih di dalam kandungan.

B. Hak-hak Anak

Hak-hak anak yang telah disesuaikan dalam Konvensi Hak Anak

(KHA) PBB dalam Ikawati dkk (2007: 11), yaitu:

1. Hak kelangsungan hidup, yaitu hak untuk memperoleh

pelayanan kesehatan terbaik sehingga terhindar dari beberapa

penyakit infeksi yang mematikan.

2. Hak berkembang, yaitu pemberian gizi dan Pendidikan yang

baik serta lingkungan budaya yang memungkinkan anak

berkembang sebagai manusia dewasa yang beridentitas dan

bermartabat.

3. Hak memeperoleh perlindungan, yaitu memperoleh

perlindungan dari berbagai diskriminasi dan tindak kekerasan

baik oleh warna kulit, ideologi, politik, agama, maupun kondisi

fisik.
4. Hak untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan yang

menyangkut kepentingan hidupnya.

Berikut ini merupakan hak-hak anak menurut Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam

Undang-Undang Perlindungan Anak ini, hak-hak anak diatur dalam

Pasal 4 - Pasal 18, yang meliputi:

1. Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, serta


mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
3. Hak untuk beribadah menurut agamanya.
4. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
5. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
6. Bagi anak yang menyandang cacat juga hak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga hak mendapatkan pendidikan khusus.
7. Hak menyatakan dan didengar pendapatnya.
8. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang.
9. Bagi anak penyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
10. Bagi anak yang berada dalam pengasuhan orang tua/ wali, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
11. Hak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
dan
e. pelibatan dalam peperangan.
12. Hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
13. Setiap anak yang dirampas kebebasannya hak untuk:
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan
penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;
dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan
pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam
sidang tertutup untuk umum.
14. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan
seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak
dirahasiakan.
15. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

C. Kebutuhan Anak

Menurut Katz yang dalam Huraerah (2012) bahwa

kebutuhan dasar yang sangat penting bagi anak yaitu adanya

hubungan orangtua dan anak yang sehat. Hubungan ini berkaitan

dengan kebutuhan anak, seperti: perhatian dan kasih sayang yang

kontinyu, perlindungan, dorongan, dan pemeliharaan dapat dipenuhi

oleh orangtua. Sedangkan Brown dan Swanson dalam Huraerah

(2012) menjelaskan bahwa kebutuhan umum anak adalah

perlindungan (keamanan), kasih sayang, pendekatan atau perhatian

dan kesempatan untuk terlibat dalam pengalaman positif yang dapat

menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan mental yang sehat.

Sementara itu, Huttman dalam Huraerah (2012:38) merinci

kebutuhan anak adalah:

1. Kasih sayang orangtua.


2. Stabilitas emosional.
3. Pengertian dan perhatian.
4. Pertumbuhan kepribadian.
5. Dorongan kreatif.
6. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar.
7. Pemeliharaan kesehatan.
8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang
sehat dan memadai.
9. Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif.
10. Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan.

Menurut definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan

dasar anak adalah pemenuhan kebutuhan akan kasing sayang,

perlindungan dan kebutuhan dasar dalam menunjuang pertumbuhan

dan perkembangan seorang anak. Kebutuhan ini sangat penting

untuk dipenuhi oleh orang tua. Hal ini disebabkan karena masa

kanak-kanak adalah proses awal dalam menyerap nilai-nilai

kehidupan yang dapat berpengaruh untuk kehidupan anak di masa

yang akan datang.

D. Masa Perkembangan Anak

Erikson dalam Nuryanti (2008) mengungkapkan

pendapatnya mengenai perkembangan manusia dalam beberapa

tahap perkembangan, diantaranya yaitu:

1. Tahap 1: Trust vs Mistrust (kepercayaan vs ketidakpercayaan)

Tahap ini adalah periode bayi lahir dari usia 0 sampai 18

bulan. Bayi yang mendapatkan perawatan dengan penuh kasih

sayang dan cinta dari orang-orang disekitarnya akan

mengembangkan rasa percaya dan rasa aman serta muncul


harapan dasar dalam kehidupannya. Sementara itu, bayi yang

kurang mendapatkan kasih sayang maka akan kurang terpenuhi

kebutuhannya, kurang dicintai akan mengembangkan perasaan

tidak aman dan kurang dapat mempercayai lingkungannya.

2. Tahap 2: Autonomy vs Shame and Doubt (otonomi vs rasa malu

dan keraguan)

Tahap kedua ini terjadi selama masa kanak-kanak awal

sekitar usia 18 bulan sampai 3 tahun. Anak yang mendapatkan

pengasuhan yang baik akan mengembangkan rasa yakin akan

kemampuannya, mampu mengendalikan dirinya dan bangga akan

dirinya. Sedangkan anak yang tidak mendapat pengasuhan

dengan baik, akan merasa malu dan sulit untuk mengembangkan

kemampuannya di depan khalayak umum. Anak yang memiliki

kesulitan seperti ini akan lebih banyak menarik diri dari

lingkungannya.

3. Tahap 3 initiative vs guilt (prakarsa vs rasa bersalah)

Tahap ini dilalui selama usia bermain atau tahun terakhir masa

pra-sekolah (sekitar usia 3-6 tahun). Selama tahap ini

berlangsung, anak yang berkembang secara sehat akan belajar:

a. Berimajinasi: untuk memperluas keterampilannya termasuk

dalam bermain

b. Bekerjasama dengan oranglain

c. Memimpin dan dipimpin


Selanjutnya anak yang kurang dapat berkembang secara sehat

akan mengalami:

a. Ketakutan

b. Kurang dapat bergabung dengan kelompok

c. Lebih bergantung pada orang dewasa

d. Terhambat perkembangan imajinasi dan perilaku bermainnya

4. Tahap industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)

Tahap ini dilalui anak pada saat usia sekolah atau sekitar usia 6

sampai 12 tahun. Pada tahap ini, anak mempelajari keterampilan

yang formal, seperti:

a. Berhubungan dengan teman sebaya berdasar pada aturan-

aturan tertentu

b. Berkembang dari pola bermain yang bebas menuju permainan

yang menggunakan aturan dalam memerlukan kerjasama

kelompok

c. Menguasai materi pelajaran sosial, mambaca dan matematika

Anak yang berhasil melalui tahap sebelumnya akan

tumbuh rasa percaya, aman, dan memiliki inisiatif yang tinggi.

Anak akan mudah untuk mengembangkan perasaannya.

Sedangkan, anak yang pemalu akan mengembangkan perasaan

inferior atau kurang berharga dibanding oranglain.

5. Tahap 5: Identity and Repudiaton vs Identity Diffusion (identitas

vs kekaburan identitas)
Selama krisis psikosisal tahap ini, remaja (sekitar usia 13 sampai

dengan 17 tahun) berusaha mencari jawaban atas pertanyaan

tentang “siapakah aku”. Individu yang melalui masa remaja

mencari model dan scara bertahap mengembangkan nilai-nilai

ideal bagi kehidupannya.

6. Tahap 6: Intimacy and Solidarity vs Isolation (keintiman dan

solidaritas vs isolasi)

Pada tahap dewasa awal, individu mulai mengembangkan

hubungan sosial yang mengarah pada ikatan perkawinan atau

hubungan persahabatan yang erat dan bertahan dalam waktu yang

panjang

7. Tahap 7: Generativity vs Self-Absorption (kebangkitan vs

kemandegan)

Pada tahap dewasa, individu dituntut mampu mendapatkan peran

dirinya secara tepat, baik dalam kerangka perkawinan dan

pengasuhan anak maupun dalam dunia kerja agar lebih kreatif dan

produktif dan juga dalam peran di lingkungan sosial sebagai

bagian dari lingkungan kemasyarkatan.

8. Tahap 8: Intergrity vs Despair (integritas vs kekecewaan)

Apabila tujuh tahap perkembangan sebelumnya dapat dilalui

dengan berhasil oleh individu maka individu akan mencapai

penilaian tertinggi atau integritas. Namun, jika ada krisis pada

tahap-tahap sebelumnya yang individu belum dapat


menyelesaikannya maka akan memunculkan rasa bersalah,

penyesalan dan rasa putus asa.

Berdasarkan ulasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

masa perkembangan anak terbagi menjadi 8 tahap. Setiap tahap

dalam perkembangan memiliki keterkaitan satu sama lain yang

harus dilalui dengan baik oleh anak. Selain melewati tahap

perkembangan, seorang anak memiliki hak-hak yang harus

dipenuhi.

2.2.2 Kajian tentang Penyesuaian Diri

A. Definisi Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri merupakan faktor penting dalam kehidupan

manusia. Begitu pentingnya hal ini sampai-sampai dalam berbagai

literatur, sering menjumpai ungkapan-ungkapan, seperti “Hidup

manusia sejak lahir sampai mati tidak lain adalah penyesuaian diri.

Dalam lapangan psikologi klinis pun, sering ditemukan berbagai

pernyataan ahli yang menyebutkan bahwa “kelainan-kelainan

kepribadian tidak lain adalah kelainan-kelainan penyesuaian diri”.

Oleh karena itu, tidak heran apabila menunjukan kelainan-kelainan

kepribadian seseorang, sering dikemukakan istilah maladjusment,

yang artinya “tidak ada penyesuaian” atau “tidak memiliki


kemampuan menyesuaikan diri”. Jadi, misalnya seorang anak yang

mengalami hambatan-hambatan emosional sehingga ia menjadi nakal

dan disebut maladjusted child Gunarsa dalam Alex Sobur (2011: 523).

Penyesuaian diri menurut Fahmi dalam Alex Sobur (2011:

526) mengemukakan definisi penyesuaian diri adalah “Suatu proses

dinamik terus menerus yang bertujuan untuk mengubah kelakuan

guna mendapatkan hubungan yang lebih serasi antara diri dan

lingkungannya”. Menurut Kartini Kartono (2001: 56) penyesuaian

diri adalah “Usaha manusia untuk menacapai harmoni pada diri

sendiri dan pada lingkungannya. Sehingga rasa permusuhan, dengki,

iri hati, prasangka, depresi, kemarahan dan emosi negatif sebagai

respon yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis habis”.

W.A Gerungan dalam Alex Sobur (2011: 526) juga

menjelaskan tentang penyesuaian diri:

Menyesuaikan diri itu dalam artinya yang luas, dan dapat


berarti mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan,
tetapi juga: mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan
(keinginan) diri. Penyesuaian diri dalam artinya yang pertama
disebut juga penyesuaian diri yang autoplastis (auto = sendiri,
plastis = dibentuk), sedangkan penyesuaian diri yang kedua
juga disebut penyesuaian diri yang aloplastis (alo = yang lain).
Jadi, penyesuaian diri ada artinya yang “pasif”, dimana
kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan, dan ada artinya yang
“aktif”, dimana kita mempengaruhi lingkungan Gerungan
(1986: 55).

James F. Calhoun dan Joan Rose Acocella dalam Alex Sobur

(2011: 526) memberikan definisi tentang penyesuaian diri yaitu,


“penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi yang kontinu

dengan diri anda sendiri, dengan orang lain, dengan dunia anda:

Berdasarkan definisi-definisi tentang penyesuaian diri tersebut

dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses

terus menerus yang timbal balik antara individu dengan lingkungan,

lingkungan dapat mempengaruhi individu, sedangkan dalam kasus

tertentu, individulah yang mempengaruhi lingkungan. Penyesuaian

diri adalah kegiatan yang kontinu yang bertujuan untuk mengubah

perilaku maladjustment sehingga masyarakat atau lingkungan soisal

dapat menerima seorang individu yang maladaptif dan mendapatkan

interaksi yang serasi antara individu dengan lingkungan.

Perilaku yang maladapatif ini adalah inti penyesuaian diri.

Individu menyesuaikan diri karena perilaku maladaptif yang

dicerminkan mempengaruhi lingkungan sosial. Menurut Alex Sobur

(2011: 524) mengungkapkan bahwa:

Ada sebagian orang menyesuaikan diri terhadap lingkungan


sosial tempat ia bisa hidup dengan sukses; sebagian lainnya
tidak sanggup melakukannya; boleh jadi, mereka mempunyai
kebiasaan yang tidak serasi untuk berperilaku sedemikian
rupa, sehingga menghambat peneysuaian diri sosial baginya
dan kurang menolongnya.

Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa

kebiasaan atau perilaku individu tidak mempengaruhi lingkungan

sosialnya, tetapi lingkungan sosialnya yang mempengaruhi individu

tersebut. Individu yang terpengaruh dan tidak dapat menyesuaiakan

diri akan terhambat dalam pemenuhan kebutuhannya. Seseorang


yang membawa kebutuhan individunya kepada lingkungan sosial

baru akan menemukan masalah jika lingkungan tersebut memiliki

kebudayaan yang berbeda-berbeda. Orang yang gagal dalam

menyesuaikan diri akan dianggap maladaptif dan teralienasi oleh

lingkungan sosial yang ditempatinya.

Kesimpulannya penyesuaian diri dapat dilakukan terhadap

lingkungan tempat seorang individu tinggal. Manusia

menyesuaiakan diri untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dahulu,

seperti yang diajarkan dari lingkungan terdekat yaitu keluarga,

manusia berusaha memenuhi kebutuhan mencontoh lingkungan

terdekatnya. Keluarga yang dipandang maladaptif oleh masyarakat

umum akan menghasilkan anak yang berperilaku maladjustment

terhadap lingkungan sosialnya. Anak yang maladaptif dapat menjadi

adaptif ketika ia menyesuaikan diri dan tumbuh dengan pengaruh

lingkungan sosial yang besar.

B. Aspek-aspek Penyesuaian Diri

Manusia menyesuaikan diri dituntut oleh berbagai faktor

dari lingkungannya, tidak menutup kemungkinan bahwa pengaruh

tersebut berasal dari sifat bawaan. Interaksi pertama yang dilakukan

manusia saat lahir adalah keluarga intinya. Keluarga mengajarkan

bagaimana manusia berperilaku mulai dari anakanak. Pengasuh

yang diberikan dapat berpengaruh terhadap apa yang akan menjadi

tuntutan dimasa dewasa nanti. Aspek-aspek yang mempengaruhi


penyesuaian diri menurut Alex Sobur (2011), menyatakan bahwa

penyesuaian diri pada pokoknya adalah “kemampuan untuk

membuat hubungan yang memuaskan antara orang dan lingkungan”.

Lingkungan disini mencakup tiga segi yaitu lingkungan alam,

lingkungan sosial, dan diri sendiri.

1. Lingkungan alamiah adalah alam luar dan semua yang

melingkupi individu yang vital dan alami, seperti pakaian, tempat

tinggal, makanan dan sebagainya.

2. Lingkungan sosial dan kebudayaan adalah lingkungan di mana

individu itu hidup, termasuk anggota-anggotanya, adat kebiasaan,

dan peraturanperaturan yang mengatur hubungan masing-masing

individu antar satu sama lain agar terciptanya hubungan individu

dengan individu lainnya serta menjalani kehidupan bersama

dengan baik.

3. Diri sendiri, tempat manusia menguasai dirinya. Mengatur

bagaimana dia bergerak dan melakukan aktivitas, bagaimana

manusia berinteraksi dengan lingkungan, bagaimana manusia

mengendalikan keinginan mereka dalam memilih keputusan.

Berdasarkan pemahaman tersebut dapat disimpulkan apabila

individu mampu menyelaraskan hal tersebut, maka dikatakan

bahwa individu tersebut mampu menyesuaikan dirinya. jadi,

penyesuaian diri dapat dikatakan sebagai cara tertentu yang

dilakukan oleh individu untuk bereaksi terhadap tuntutan situasi


internal maupun situasi eksternal yang dihadapinya. Dan dapat

disimpulkan dari beberapa aspek-aspek penyesuaian diri dapat

digolongkan kedalam tiga jenis, yaitu penyesuaian alamiah

adalah kemampuan seseorang untuk dapat menerima keadaan dan

situasinya sekarang selain dirinya seperti sandang, pangan dan

papan. Penyesuaian sosial adalah kemampuan seseorang untuk

dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain di sekitarnya.

dan penyesuaian diri sendiri adalah kemampuan seseorang untuk

menerima diri demi tercapai hubungan yang harmonis antara

dirinya dengan lingkungan sekitarnya.

Menurut Enung Fatimah (2008: 207) menjelaskan bahwa

pada dasarnya, penyesuaian diri mencakup dua aspek yaitu

penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial.

Aspek yang pertama yaitu penyesuaian pribadi adalah

kemampuan individu untuk menerima diri demi terciptanya

hubungan yang harmonis antara dirinya dan lingkungan

sekitarnya. Individu harus memahami siapa dirinya sebenarnya,

apa kelebihan dan kekurangannya serta mampu bertindak objektif

sesuai dengan kondisi dan potensi dirinya. Adapun indikator-

indikator secara rinci dari penyesuaian pribadi diantaranya

penerimaan individu terhadap diri sendiri, mampu menerima

kenyataan, mampu mengontrol diri sendiri, mampu mengarahkan

diri sendiri.
Keberhasilan penyesuaian diri pribadi ditandai oleh tidak

adanya rasa benci, tidak ada keinginan untuk lari dari kenyataan,

atau tidak percaya pada potensi dirinya. Sebaliknya, kegagalan

penyesuaian pribadi ditandai oleh adanya kegoncangan dan

emosi, kecemasan, ketidakpuasan, dan keluhan terhadap nasib

yang dialaminya, sebagai akibat adanya jarak pemisah antara

kemampuan individu dan tuntutan yang diharapkan oleh

lingkungannya.

Aspek yang kedua yaitu penyesuaian sosial dalam kehidupan

dimasyarakat terjadi proses saling mempengaruhi satu sama lain

secara terus menerus dan silih berganti, dari proses tersebut

timbul satu pola kebudayaan dan pola tingkah laku yang sesuai

dengan aturan, hukum, adat istiadat, nilai dan norma sosial yang

berlaku di masyarakat. Proses ini dikenal dengan istilah proses

penyesuaian sosial.

Proses penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan

sosial di tempat individu itu hidup dan berinteraksi dengan orang

lain. Hubungan-hubungan sosial tersebut mencakup hubungan

dengan anggota keluarga, masyarakat sekolah, teman sebaya,

atau anggota masyarakat luas secara umum. Sedangkan

indikatorindikator untuk penyesuaian sosial diantaranya memiliki

hubungan interpersonal yang baik, memiliki simpati pada orang

lain, mampu menghargai orang lain, ikut berpartisipasi dalam


kelompok, mampu bersosialisasi dengan baik sesuai dengan

norma yang ada.

Berdasarkan pemaparan tersebut mengenai aspek-aspek

penyesuaian diri menurut Enung Fatmimah (2008: 207), bahwa

terdapat dua aspek yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian

sosial. Dapat disimpulkan bahwa penyesuaian pribadi merupakan

penyesuaian diri terkait kemampuan individu dalam memahami

dirinya sendiri baik dari kelebihan maupun kekurangannya.

Penyesuaian pribadi juga erat kaitannya dengan kondisi

emosional. Apabila kondisi emosional individu tersebut stabil

dan tidak mengalami goncangan, maka dapat dikatakan potensi

pencapaian penyesuaian pribadi akan berhasil. Sebaliknya, jika

kondisi emosional tidak stabil dan mengalami goncangan, hal

inilah yang dapat menghambat penyesuaian pribadi.

Penyesuaian sosial adalah kemampuan individu dalam

berinteraksi dengan lingkungan masyarakat tempat individu

tersebut hidup. Dalam hal ini individu diharapkan dapat

menciptakan hubungan-hubungan sosial yang baik dengan orang-

orang yang berada di lingkungan sekitarnya. Hal terpenting yang

harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah

kemauan dan niat untuk mematuhi segala aturan, nilai dan norma

sosial yang ada di lingkungan masyarakatnya.


Menurut Schneider (2010: 47) terdapat beberapa aspek

penyesuaian diri yaitu adaptation, conformity, mastery,

individual variation.

Pertama, penyesuaian diri secara fisik atau kemampuan

adaptasi. Unsur ini dipandang sebagai salah satu unsur yang

menentukan seorang individu mampu menyesuaikan diri dengan

baik atau tidak terhadap lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini

didalamnya diartikan pada konotasi fisik, seperti sandang, pangan

dan papan seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal

contohnya seperti bagaimana dia dapat menyesuaiakan diri

dengan makanan, pakaian dan cuaca.

Kedua, aspek kenyamanan. Seseorang dapat dikatakan

memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik jika

mempunyai kriteria sosial dan hati nuraninya akan merasakan

kenyamanan dalam berhubungan dengan individu lain di

lingkungan sosialnya karena adanya keserasian antara tuntutan

dari luar dan kemampuan dari dalam diri individu tersebut. Selain

itu, terhadap individu lain kenyamanan juga terkait dengan

lingkungan dimana dia berada.

Ketiga, aspek penguasaan, maksud dari aspek ini adalah

ketika seorang individu mampu membuat sebuah rencana dan

mengorganisasikan respon diri, sehingga dapat menguasai dan


menanggapi segala masalah dengan efisien, maka itu merupakan

keberhasilan individu tersebut dalam menyesuaikan diri.

Keempat, aspek perbedaan individu. Setiap individu

tentunya berbeda antara satu dengan yang lain begitupun

perbedaan yang terjadi pada perilakunya dan cara mereka

menyelesaikan masalah. Ketika individu dihadapkan hidup

bersama dengan individu lain di lingkungannya, maka tentunya

ia akan dihadapkan pada perbedaan-perbedaan satu sama lain.

Sejauh mana individu, tersebut mampu memahami setiap

perbedaan yang ada, apakah ia bisa menerima perbedaan tersebut

atau tidak, maka itulah yang menjadi salah satu cerminan

kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Berdasarkan kesimpulan aspek penyesuaian diri tersebut

yaitu seseorang akan dikatakan berhasil menyesuaikan diri bila

mampu beradaptasi, nyaman dengan lingkungan sosial tempat

tinggalnya, mampu menghadapi masalah dan mampu

menjalankan tugas-tugasnya seperti mampu menyesuaiakan diri

terhadap makanan, pakaian, cuaca, lingkungan sosial dan

kenyamanan.

Menurut Formm dan Gilmore dalam Desmita (2009: 195)

ada empat aspek kepribadian dalam penyesuaian diri antara lain

kematangan emosional, kematangan intelektual, kematangan

sosial dan tanggung jawab.


Aspek yang pertama yaitu kematangan emosional, yang

mencakup aspek-aspek kemantapan suasana kehidupan

emosional, kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan

orang lain, kemampuan untuk santai, gembira dan menyatakan

kejengkelan, sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan

kenyataan diri sendiri.

Aspek yang kedua yaitu kematangan intelektual, yang

mencakup aspekaspek diantaranya kemampuan mencapai

wawasan diri sendiri, kemampuan memahami orang lain dan

keragamannya, kemampuan mengambil keputusan, keterbukaan

dalam mengenal lingkungan.

Aspek ketiga yaitu kematangan sosial, yang mencakup

aspek-aspek diantaranya keterlibatan dalam partisipasi sosial,

kesediaan kerjasama, kemampuan kepemimpinan dan sikap

toleransi.

Aspek yang keempat yaitu Tanggung jawab, yang mencakup

aspek-aspek diantaranya sikap produktif dalam mengembangkan

diri, melakukan Perencanaan, sikap empati, bersahabat dalam

hubungan interpersonal, kesadaran akan etika dan hidup jujur.

Berdasarkan kesimpulan dari aspek penyesuaian diri tersebut

bahwa kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan

maupun diri sendiri salah satu prasyarat yang penting bagi


terciptanya kenyamanan tersendiri sehingga individu dapat

menyesuaikan diri pada lingkungan yang baru

C. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri memiliki bentuk-bentuk yang bisa

diklasifikasikan. Seperti yang disebutkan Gunarsa dalam Alex

Sobur (2011: 529) bahwa penyesuaian diri diklasifikasikan diantara

lain adaptive dan Adjustive.

Bentuk penyesuaian diri yang pertama yaitu adaptive adalah

Bentuk penyesuaian diri yang bersifat fisik atau biologis. Artinya

perubahan yang menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar.

Contohnya seperti katak yang menyelimuti diri dengan lendir saat

berada di permukaan tanah, manusia yang berkeringat saat di udara

panas untuk menjaga suhu tubuhnya tetap normal.

Bentuk penyesuaian diri yang kedua yaitu Adjustive adalah

Bentuk penyesuaian diri yang bersifat psikis. Artinya perubahan

yang menyesuaikan dengan keadaan psikis seseorang saat tertentu

dan mempengaruhi perilaku diri. Contohnya saat pesta tengah

malam dan teman-teman disekitar sedang merayakan sesuatu

dengan bergembira, serta ikut merasa senang walau sebenarnya

ingin cepat-cepat pulang karena sudah larut malam.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa

terdapat dua bentuk-bentuk penyesuaian diri yaitu adaptive dan

addjustive. Adaptive adalah bentuk penyesuaian diri yang erat


kaitannya dengan penyesuaian diri individu dengan kondisi fisik

terhadap lingkungan tempat ia berada seperti bagaimana individu

dapat beradaptasi dengan kebutuhan sandang, pangan dan papan.

Sedangkan adjustive adalah bentuk penyesuaian diri yang erat

kaitannya dengan tingkah laku individu yang dipengaruhi oleh

kondisi psikis seperti bagaimana individu dapat menyesuaikan diri

dengan perasaan aman dan nyaman.

D. Reaksi-reaksi Penyesuaian Diri

Psikolog telah membuat beberapa istilah dalam melukiskan

reaksi penyesuaian pada kekecewaan. Manusia mengalihkan diri

dari kekecewaan tidak dapat diterima di lingkungan sosial dengan

reaksi-reaksi penyesuaian diri. Kossem dalam Alex Sobur (2011:

531) menjelaskan bahwa reaksi-reaksi yang mungkin ditimbulkan

manusia akibat mengalami kekecewaan. Terdapat 10 jenis reaksi

penyesuaian diri yaitu diantaranya rasionalisasi, konpensasi,

negativism, kepasrahan, pelarian, represi, kebodohan semu, pemikir

obsesif, pengalihan dan perubahan.

Reaksi penyesuaian diri yang pertama yaitu rasionalisasi

adalah salah satu bentuk reaksi yang disebutkan Kossem, reaksi ini

berpengaruh pada upaya individu dalam membenarkan perilakunya

secara rasional atau menyenangkan khusus dirinya.

Reaksi penyesuaian diri yang kedua yaitu konpensasi

merupakan reaksi seseorang terhadap kurang menerima keadaan


yang terjadi atau ketidakcukupan perasaan dalam menerima suatu

kondisi. Konpensasi muncul saat individu dihadapkan pada masalah

yang tidak dapat diterima secara keseluruhan oleh individu tersebut.

Konpensasi dapat bermanfaat positif terhadap orang lain.

Reaksi penyesuaian diri yang ketiga yaitu negativisme

adalah suatu reaksi yang dinyatakan sebagai perlawanan bawah

sadar pada orang-orang atau objekobjek lain. Reaksi ini merupakan

cerminan dari sikap pesimis yang ditujukan individu terhadap

penyesuaian dengan lingkungan sehingga individu tidak dapat

menyesuaikan diri dengan baik karena sulit untuk berinteraksi

dengan lingkungan.

Reaksi penyesuaian diri yang keempat yaitu kepasrahan

adalah istilah psikologi yang umunya merujuk pada suatu tipe

kekecewaan mendalam yang sangat kuat, yang ada kalanya dialami

oleh individu-individu. Kondisinya mungkin berlangsung lama atau

sementara.

Reaksi penyesuaian diri yang kelima yaitu pelarian adalah

reaksi penyesuaian pada kekecewaan disebut pelarian, jadi

dikacaukan dengan kepasrahan. Namun, pelarian mencakup sesuatu

yang lebih jauh, yakni melarikan diri dari situasi khusus yang

menyebabkan kekecewaan atau kegelisahan.

Reaksi penyesuaian diri yang keenam yaitu represi adalah

jika tanpa diketahui, seseorang mengeluarkan pengalaman atau


perasaan tertentu dari kesadarannya, berarti ia melakukan suatu

reaksi penyesuaian yang disebut depresi.

Reaksi penyesuaian diri yang ketujuh yaitu kebodohan semu

adalah dalam beberapa hal tindakan lupa, sebaliknya dari repreasi

peristiwa-peristiwa secara tak sadar adalah disengaja dan digunakan

sebagai alat untuk menghindarkan tipe-tipe kegiatan tertentu.

Reaksi penyesuaian diri yang kedelapan yaitu pemikiran

obsesif adalah reaksi penyesuain tersebut disebut pemikiran obsesif.

Istilah ini menunjuk pada perilaku seseorang yang memperbesar

semua ukuran realistis dari masalah atau situasi yang dia alami.

Reaksi penyesuaian diri yang kesembilan yaitu pengalihan

adalah pengalihan dapat didefiniskan sebagai proses psikologis dari

perasaan-perasaan terpendam yang kemudian dialihkan ke arah

objek-objek lain dari pada ke arah sumber pokok kekecewaan.

Reaksi penyesuaian diri yang kesepuluh yaitu perubahan

adalah jiwa dan tubuh adalah sesuatu yang tak terpisahkan, dan

saling memengaruhi satu sama lain. Dalam tubuh yang sehat, seperti

kata ungkapan, cenderung memungkinkan adanya jiwa yang sehat

dan sikap-sikap mental yang sehat membuat tubuh lebih sehat.

Berdasarkan kesimpulan tersebut merupakan reaksi-reaksi

yang dapat dari manusia yang berusaha menyesuaikan diri dengan

lingkungan mereka tetapi belum dapat secara utuh menjadi satu

dengan lingkungan. Teori reaksi ini merupakan hasil dari


penyesuaian yang gagal, sebagaimana dijelaskan bahwa

kekecewaan dalam menyesuaikan diri menimbulkan berbagai efek

negatif maupun positif.

2.2.3 Kajian Tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

A. Definisi Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

Panti asuhan atau lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA)

menurut Depsos RI (2004: 4), yaitu suatu lembaga usaha kesejahteraan

sosial anak yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan

pelayanan kesejahteraan sosial pada anak terlantar dengan melaksanakan

penyantunan dan pengentasan anak terlantar, memberikan pelayanan

pengganti orang tua/wali anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental

dan sosial kepada anak asuh sehingga memperoleh kesempatan yang

luas, tepat dan memadai bagi pengembangan kepribadianya sesuai

dengan yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita

bangsa dan sebagai insan yang akan turut serta aktif dalam bidang

pembangunan nasional.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, panti asuhan atau lembaga

kesejahteraan sosial anak diartikan sebagi rumah, tempat, atau kediaman

yang digunakan untuk memelihara (mengasuh) anak yatim, piatu, yatim

piatu, dan juga termasuk anak terlantar. Santoso memberikan pengertian

sebuah panti asuhan sebagai suatu lembaga yang sangat terkenal untuk

membentuk perkembangan anak-anak yang tidak memiliki keluarga

ataupun yang tidak tinggal bersama dengan keluarga.


Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa panti

asuhan merupakan salah satu lembaga perlindungan anak yang berfungsi

memberikan perlindungan terhadap hak anak-anak sebagai wakil orang

tua dalam memenuhi kebutuhan mental dan sosial pada anak asuh agar

mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri sampai

mencapai tingkat kedewasaan yang matang serta mampu melaksanakan

perannya sebagai individu dan warga negara didalam kehidupan

bermasyarakat.

B. Fungsi Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1997), panti

asuhan atau lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) memiliki

fungsi sebagai berikut:

1. Pusat pelayanan kesejahteraan sosial anak. Panti asuhan

berfungsi sebagai pemulihan, perlindungan, pengembangan dan

pencegahan.

2. Pusat data dan informasi serta konsultasi kesejahteraan sosial

anak.

3. Pusat pengembangan keterampilan (yang merupakan fungsi

penunjang). Panti asuhan sebagai lembaga yang melaksanakan

fungsi keluarga dan masyarakat dalam perkembangan dan

kepribadian anak-anak remaja.


C. Tujuan Lembaga Kesejahtreaan Sosial Anak

Tujuan panti asuhan menurut Departemen Sosial Republik

Indonesia (1997) yaitu:

1. Memberikan pelayanan yang berdasarkan pada profesi pekerja

sosial kepada anak terlantar dengan cara membantu dan

membimbing mereka kearah perkembangan pribadi yang wajar

serta mempunyai keterampilan kerja, sehingga mereka menjadi

anggota masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh tanggung

jawab, baik terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat.

2. Penyelenggara pelayanan kesejahteraan sosial anak di panti

asuhan sehingga terbentuk manusia-manusia yang

berkepribadian matang dan berdedikasi, mempunyai

keterampilan kerja yang mampu menopang hidupnya dan hidup

keluarganya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan

panti asuhan adalah memberikan pelayanan, bimbingan dan

keterampilan kepada anak asuh agar menjadi manusia yang

berkualitas.

Standar Nasional Pengasuhan untuk Lembaga Kesejahteraan

Nasional menyatakan standar pelayanan panti asuhan adalah seperti

orang tua bagi anak-anak yang ditempatkan di panti asuhan, dan

selayaknya orang tua maka panti asuhan bertanggung jawab untuk

memenuhi pemenuhan hak-hak anak yang meliputi hak terhadap

perlindungan, (terkait dengan martabat anak dan melindungi anak


dari kekerasan); hak terhadap tumbuh kembang (mendukung

perkembangan kepribadian anak, memfasilitasi relasi anak dengan

keluarga dan pihak lainnya secara positif dan menyekolahkan anak);

hak terhadap partisipasi (mendengar, mempertimbangkan serta

mengimplementasikan suara dan pilihan anak); serta memenuhi hak

anak terhadap kelangsungan hidup (memenuhi kebutuhan dasar anak

terhadap makanan, minuman dan fasilitas yang aman).

Panti asuhan sebagai Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

juga memfasilitasi pemeriksaan kesehatan oleh tenaga profesional

seperti memastikan setiap anak menerima vaksinasi, imunisasi,

vitamin, obat cacing, dan berbagai kebutuhan lain sesuai dengan usia

dan kebutuhan tumbuh kembang mereka. Pertolongan Pertama pada

Kecelakan (P3K) juga disediakan untuk kebutuhan darurat.

2.2.4 Kajian tentang Pekerjaan Sosial dengan Anak dan Keluarga

A. Pengertian Pekerjaan Sosial

Definisi pekerjaan sosial menurut Max Siporin dalam

Fahrudin (2012: 61) mengemukakan bahwa: “Pekerjaan Sosial

adalah suatu metode kelembagaan sosial untuk membantu orang

mencegah dan memecahkan masalah mereka serta untuk

memperbaiki dan meningkatkan keberfungsian sosial mereka”.

Sedangkan menurut Siporin dalam Fahrudin (2012: 61),

mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai berikut:


“Social Work is defined as a social institutional method of
helping people to prevent and resolve their social problems,
to restore and enhance their social functioning”.
“Pekerjaan sosial didefinisikan sebagai suatu metoda
institusi sosial untuk membantu orang mencegah dan
memecahkan masalah mereka serta untuk memperbaiki dan
meningkatkan keberfungsian sosial mereka”.
Berdasarkan beberapa definisi pekerjaan sosial menurut para ahli,

maka dapat disimpulkan bahwa pekerjaan sosial merupakan suatu

profesi profesional yang diperoleh dari pendidikan formal yang

bertujuan untuk membantu individu, kelompok dan masyarakat

dalam penyelesaian masalah dan memberfungsikan kembali

keberfungsian sosial mereka.

B. Fungsi Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial dalam usaha untuk mencapai tujuannya,

yaitu memecahkan permasalahan sosial dan meningkatkan

kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain

maupun dengan sistem sumber perlu melaksanakan fungsi-fungsi

sebagaimana yang dikemukakan oleh Sukoco (1991:46-52), yaitu:

1. Membantu orang meningkatkan dan menggunakan


kemampuannya secara efektif untuk melaksanakan tugas-
tugas kehidupan dan memecahkan masalah-masalah
sosial yang mereka alami.
2. Mengkaitkan orang dengan sistem sumber.
3. Memberikan fasilitas interaksi dengan sistem-sistem
sumber.
4. Mempengaruhi kebijakan sosial.
5. Memeratakan atau menyalurkan sumber-sumber material.
6. Memberikan pelayanan sebagai pelaksana kontrol.
Berdasarkan penjelasan tersebut disimpulkan bahwa fungsi

dari pekerjaan sosial pada dasaranya yakni membantu orang

meningkatkan dan menggunakan kemampuannya secara efektif agar

dapat melaksanakan tugas-tugas kehidupan, mengaitkan orang

dengan sistem sumber, memberikan fasilitas interaksi dengan sistem

sumber, mempengaruhi kebijakan sosial, memeratakan atau

menyalurkan sumber material serta memberikan pelayanan sebagai

pelaksana kontrol. Sehingga masyarakat dapat berdaya dan mampu

memanfaatkan sumber-sumber yang ada disekitarnya.

C. Pekerjaan Sosial dengan Anak dan Keluarga

Dalam bekerja dengan anak, seorang pekerja sosial harus

mendasarkan intervensinya kepada kepentingan terbaik untuk anak.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Konvensi Hak Anak PBB pada

tahun 1989 dikutip oleh Butler & Roberts (2004:41) bahwa:

“In all actions concerning children, whether undertaken by


public or private social welfare institutions, courts of law,
administrative authorities or legislative bodies, the best
interest of the child shall be a primary consideration”.
“Dalam setiap tindakan yang menyangkut anak, baik yang
dilakukan oleh lembaga kesejahteraan sosial publik ataupun
swasta, pengadilan, badan legislatif, kepentingan terbaik
anak harus menjadi pertimbangan yang utama”.

Pekerja sosial yang bekerja dengan anak, tidak melakukan

intervensi hanya kepada anak saja, tetapi juga berhubungan dengan

keluarga. Keluarga merupakan tempat anak diasuh yang memiliki

kompleksitas, keragaman dan perubahan yang selalu ada setiap saat.

Oleh karena itu, pekerja sosial anak dalam menangani kasus anak
melihat kepentingan terbaik anak dan juga bekerjasama dengan

keluarga anak.

D. Perspektif Pragmatis Pekerjaan Sosial dengan Anak dan Keluarga

Pekerjaan sosial dengan anak dan keluarga menurut Petr

dalam Susilowati (2015) perlu memperhatikan perspektif pragmatis

pekerjaan sosial yaitu 1) combating adultcentrism, yaitu bahwa

dalam praktik dengan anak perlu menentang perspektif orang

dewasa sehingga tidak terjadi bias dalam memahami dan bekerja

dengan anak; 2) Family center practice (praktik berpusat pada

keluarga), yaitu Peksos juga melibatkan keluarga dalam proses

pertolongan dan keluarga menjadi pusat perhatian dalam proses

pertolongan dengan anak; 3) Strengths perspectice (perspektif pada

kekuatan), yaitu dalam praktik dengan anak dan keluarga perlu

melmperhatikan kekuatan (potensi): 4) Respect for differsity and

difference (menghargai keragaman dan perbedaan), yaitu bahwa

dalam praktik pekerjaan sosial anak menghargai keragaman baik

usia, ras, budaya, gender, orientasi seks, dan/atau kecacatan; 5)

Least restrictive alternative/LRA (Alternatif pembatasan sekecil

mungkin), yaitu prinsip yang mengupayakan anak keluar dari

keluarga serta pengasuhan alternatif untuk anak-anak yang memiliki

masalah pengasuhan: 6) Ecological perspective (Ekologikal), yaitu

perspektif yang anak dan keluarga berada dalam lingkungan

sosialnya, mereka berinteraksi dan dipengaruhi oleh lingkungan


sosial tersebut. Perspektif ekologi diterapkan antara lain dalam

penggunaan ecomaps, manajemen kasus, pelibatan masyarakat dan

pemilik kehidupan dan masalahnya, dan advokasi perubahan sistem;

7); Organization and financing (Organisasi dan pembiayaan), yaitu

Sistem pelayanan bagi anak dan keluarga harus dapat diakses,

efisien, serta memberi hasil dan manfaat yang maksimum; dan 8)

Achieving outcome (pencapaian hasil), yaitu pemberian pelayanan

fokus pada hasil-hasil yang ingin dicapai. Pengukuran hasil penting

dalam menjaga akuntabilitas program terhadap penerima pelayanan

dan masyarakat pada umumnya.

E. Peran Pekerja Sosial dalam Meningkatkan Partisipasi Perlindungan

Anak

Peranan pekerja sosial makro menurut Ife dalam Rukminto

(2008) dalam meningkatkan partisipasi perlindungan anak yaitu:

1. Facilitative Roles:

Peran fasilitatif adalah peranan yang berkaitan dengan

menstimulasi atau mendukung pengembangan masyarakat yaitu:

a. Social Animation (Animasi Sosial)

Animasi sosial menggambarkan suatu peranan yang penting

dalam praktek pekerjaan sosial masyarakat, yaitu kemampuan

untuk mengilhami, menyemangati, mengaktifkan dan

menggerakan orang lain untuk bertindak.


b. Mediation and Negotiation (Mediasi dan Negosiasi)

Pekerja sosial masyarakat akan sering berhadapan dengan

konflik-konflik, seorang pekerja sosial masyarakat kadang-

kadang berperan sebagai mediator.

c. Support (Dukungan)

Satu dari peranan pekerja sosial masyarakat yang sangat

penting adalah untuk memberikan dukungan kepada orang-

orang yang dilibatkan dalam struktur dan aktivitas masyarakat.

d. Building Consensus (Membangun Konsensus)

Membangun kesepakatan merupakan perluasan dari peranan

mediasi yang dibahas sebelumnya. Peranan ini menekankan

pada tujuan umum/bersama, mengidentifikasi alasan-alasan

umum, dan menolong masyarakat untuk mengarah pada

kesepakatan yang dapat diterima oleh orang lain.

e. Group facilitation (Fasilitasi kelompok)

Seorang pekerja sosial masyarakat dalam berbagai hal akan

memainkan peranan fasilitas dengan suatu kelompok, apakah

secara formal sebagai seorang pemimpin, atau secara informal

sebagai anggota kelompok yang mampu membantu kelompok

untuk mencapai tujuannya dengan cara efektif.

f. Utilisation of skills and Resources (Pemanfaatan Keterampilan

dan Sumber)
Peran penting dari pekerja sosial masyarakat adalah untuk

mengidentifikasi dan menempatkan sumber-sumber, dan

membantu masyarakat untuk melihat bagaimana sumber-

sumber itu dapat digunakan.

g. Organising (Mengorganisir)

Organisasi digambarkan sebagai seseorang yang “membuat

sesuatu terjadi”. Peranan ini memerlukan upaya seorang

pekerja sosial dalam mengambil peran untuk berfikir apa yang

perlu dilakukan, dan meyakinkan bahwa hal itu

terjadi/terwujud.

2. Educational Roles

Kategori kedua dari peranan pekerja sosial masyarakat

adalah peranan edukasional. Jika pada peranan fasilitatif, pekerja

terlibat dalam menstimulasi dan mendukung proses-proses

masyarakat, maka peranan edukasional menuntut pekerja lebih

aktif dalam setting agenda. Peranan seorang pekerja sosial

masyarakat terdiri atas:

a. Consciousness raising (Menumbuhkan kesadaran)

Menumbuhkan kesadaran dimulai dengan menghubungkan

pribadi dengan politik, atau individu dengan struktural.

b. Informing (Menginformasikan)
Secara sederhana memberikan informasi yang relevan kepada

orang/masyarakat dapat menjadi peranan yang sangat

bermanfaat bagi seorang pekerja sosial masyarakat.

c. Confronting (Mengkonfrontasikan)

Jika terdapat beberapa situasi masalah, yang mungkin

merupakan hal yang besar dan kelompok atau masyarakat

tidak mampu menghadapinya, maka pekerja sosial masyarakat

perlu mengkonfrontasikan kelompok dengan konsekuensi-

konsekuensi tindakannya.

d. Training (Pelatihan)

Pelatihan merupakan peranan edukatif yang sangat khusus.

Peranan ini secara sederhana berkaitan dengan kegiatan untuk

mengajarkan orang-orang ataupun masyarakat dalam

menghadapi suatu situasi, maupun bagaimana melakukan

sesuatu hal.

3. Representational Roles

Istilah peranan ini yaitu representasi digunakan untuk

menunjukan peranan pekerja sosial masyarakat dalam

berinteraksi dengan badan-badan eksternal/luar. Upaya ini

dilaksanakan demi kepentingan atau keuntungan masyarakat.

Peranan-peranan ini antara lain:

a. Obtaining resources (Memperoleh Sistem Sumber)


Prinsip kepercayaan diri dalam upaya memanfaatkan sumber,

mungkin dapat diperoleh dari dalam masyarakat, namun ada

waktunya seorang pekerja sosial masyarakat perlu mencari

sumber-sumber dari luar masyarakat (eksternal).

b. Advocacy (Advokasi)

Pekerja sosial masyarakat dalam hal ini mewakili kepentingan

individu, kelompok dan masyarakat yang memiliki

permasalahan. Peranan advokasi merupakan peranan yang sangat

berkuasa, dan dengan peranan ini pekerja sosial masyarakat

mudah berada/masuk dalam posisi yang berwenang.

c. Using the media (Menggunakan media)

Pekerja sosial masyarakat dalam beberapa hal perlu

menggunakan media secara efektif. Peranan ini menyangkut

kemampuan pekerja sosial masyarakat dalam penerbitan,

melakukan interview di radio, televisi atau media cetak atau

partisipasi dalam suatu debat atau forum.

d. Public relation (Hubungan Masyarakat)

Pekerja sosial masyarakat perlu menyadari tentang image yang

perlu diproyeksikan oleh proyek masyarakat, dan untuk

mempromosikan image/gagasan yang tepat dalam konteks yang

lebih luas.

e. Networking (Jaringan Kerja)


Jaringan kerja berarti membangun hubungan dengan banyak

orang, dan mampu memanfaatkan mereka untuk mempengaruhi

perubahan.

f. Sharing knowledge and Experience (Berbagi Pengetahuan dan

Pengalaman)

Pekerja sosial perlu saling membagi pengalaman dengan orang

lain, baik dengan sesama pekerja sosial maupun dengan anggota

masyarakat.

4. Technical Roles

a. Data collection and Analysis (Pengumpulan dan analisa data)

Peranan ini berkaitan dengan penelitian sosial menggunakan

berbagai metode penelitian ilmu sosial untuk mengumpulkan data

yang relevan.

b. Using computers (Penggunaan komputer)

Pekerja sosial harus mampu menggunakan komputer, selain itu

penggunaan komputer dapat menjadi strategi pengembangan

masyarakat untuk membantu anggota masyarakat lainnya dalam

memperoleh keterampilan komputer.

c. Verbal and written presentation (Persentasi lisan dan tulisan)

Pekerja sosial pasti membuat tulisan-tulisan yang mencakup

laporan tertulis, pengeluaran dana, laporan-laporan pertemuan,

kertas diskusi dan surat-surat.

d. Management (Manajemen)
Peranan ini menjadi penting pada saat pertanggung jawaban

pengelolaan proyek. Pada level masyarakat, konsep ini tidak

diterapkan secara normal.

e. Financial control (Kontrol finansial)

Biasanya pekerja sosial memiliki pengalaman dalam hal ini, dan

akan lebih baik bila ia mencari asisten yang memiliki keahlian

akunting.

Anda mungkin juga menyukai