URGENSI
PENDIDIKAN MORAL
SUATU UPAYA
MEMBANGUN KOMITMEN DIRI
2 Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 3
URGENSI
PENDIDIKAN MORAL
SUATU UPAYA
MEMBANGUN KOMITMEN DIRI
Disusun Oleh:
MD Susilawati, M.Hum.,
Ch. Suryanti, M.Hum.,
Dhanu Koesbyanto. JA
DAFTAR ISI
PENGANTAR ................................................................ 11
BAB: I
PENDAHULUAN ......................................................... 15
1. Penjernihan Istilah.............................................. 15
2. Moral ..................................................................... 17
3. Etika ...................................................................... 18
3. Agama.................................................................... 19
5. Hukum................................................................... 19
BAB: II
KEBEBASAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN
MORAL .......................................................................... 23
1. Determinisme ...................................................... 24
2 Kebebasan............................................................. 28
3. Tingkat Kebebasan dan Tanggung jawab ......... 31
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pikiran... 32
5. Faktor-Fator Yang Mempengaruhi kehendak. 33
6. Kebebasan dan Tanggung jawab ........................ 36
7. Hubungan antara Kebebasan
Eksistensial dan Sosial ....................................... 42
6 Urgensi Pendidikan Moral
8. Mempertanggungjawabkan Kebebasan............. 44
9. Otonomi Moral dan Heteronomi
Moral ..................................................................... 47
10.Otonomi Moral dan Tiga Lembaga
Normatif .............................................................. 49
BAB III:
BAB IV:
NORMA DAN NILAI ................................................... 65
1. Pengertian norma ............................................... 65
2. Pengertian Nilai .................................................. 68
3. Mengenal Etika Nilai Max Scheler.................... 69
BAB V:
TAHAP-TAHAP PENALARAN
MORALMENURUT LAWRANCE KOHLBERG ...... 73
1. Tingkat Pra-Adat (Pra-konvensional) ............... 76
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 7
BAB VI:
TEORI-TEORI TENTANG KEBAIKAN .................... 89
1. Teori Hedonisme ................................................. 89
2. Dua macam Hedonisme ...................................... 90
3. Eudaimonisme Aristoteles ................................. 97
4. Teori Utilitarisme ............................................... 100
5. Teori Deontologi .................................................. 104
BAB VIII:
SEKS DAN SEKSUALITAS .................................. 125
1. Data Fisiologis...................................................... 126
2. Data Biologis ........................................................ 128
3 Data Psikologis .................................................... 129
4. Data Antropologis................................................ 133
5. Manusia adalah Makhluk Seksual..................... 138
6. Masalah-masalah Moral Seksual ....................... 141
8 Urgensi Pendidikan Moral
BAB IX:
MORAL PERKAWINAN ............................................. 147
1. Perkawinan sebagai Lembaga Sosial ................ 149
2. Perkawinan sebagai Persekutuan
Hidup dan Cinta .................................................. 150
3. Nilai-nilai Dasar Perkawinan ............................ 150
BAB X:
MORAL SOSIAL EKONOMI....................................... 157
1. Ekonomi Mengabdi Manusia.............................. 157
2. Sistem Ekonomi ................................................... 158
3. Prinsip-prinsip Ekonomi .................................... 159
BAB XI:
MORAL HIDUP............................................................. 163
1. Empat Alasan Membahas Moral
Hidup..................................................................... 164
2. Dasar Etik Menghormati Hidup Manusia........ 165
3. Pandangan Tentang Awal Hidup Manusia....... 168
4. Penilaian Moral Mengenai Awal
Hidup Manusia..................................................... 173
5. Pengguguran Kandungan ................................... 175
6. Tinjauan Hukum Kanonik .................................. 179
7. Penilaian Etik Dan
Pemecahannya terhadap Abortus ..................... 180
8. Pengadaan Anak Secara Buatan ....................... 185
9. Prinsip-Prinsip Moral Bayi Tabung .................. 186
10. Pencegahan Kehamilan .................................... 190
11. Tema-tema Sekitar Tahap Akhir Hidup ........ 198
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 9
BAB XII:
PERANAN ETIKA BAGI PEMBANGUNAN YANG
BERWAWASAN LINGKUNGAN
HIDUP ............................................................................ 203
1. Manusia dan Lingkungan Hidup ....................... 205
2. Pembangunan Yang Berkelanjutan................... 209
BAB XIII:
MENUJU ETIKA GLOBAL ........................................ 219
1. Dua Wajah Agama ............................................... 220
2 Etika Global.......................................................... 221
3. Antara Etika dan Agama .................................... 222
4. Garis Besar Deklarasi Etika-Global.................. 224
5. Empat Kewajiban................................................. 227
6. Sebuah Transformasi Kesadaran ...................... 231
10 Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 11
PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
1. Penjernihan Istilah
Konsep “moral” sering digunakan sinonim dengan
“etika”. “Moral” selalu dikaitkan dengan kewajiban
khusus, dihubungkan dengan norma sebagai cara ber-
tindak yang berupa tuntutan relatif atau mutlak. “Moral”
merupakan wacana normatif dan imperatif dalam ke-
rangka yang baik dan yang buruk, yaitu keseluruhan dari
kewajiban-kewajiban kita. Jadi kata “moral” mengacu
pada baik-buruknya manusia terkait dengan tindakan-
nya, sikapnya dan cara mengung-kapkannya. “Moral”
mencoba menjawab pertanyaan: “Apa yang harus saya
lakukan?”
Konsep “moral” ini mengandung dua makna: 1)
16 Urgensi Pendidikan Moral
2. Moral
Hubungan moral dan etika amat erat. Moral me-
nunjukkan tentang kondisi mental yang membuat orang
tetap berani, bersemanagat, bergairah, berdisiplin, dsb;
tentang isi hati atau perasaan sebagaimana terungkap
dalam perbuatan (Kamus bahasa Indonesia, Jakarta ).
Dengan demikian moral selalu menunjukkan baik-
buruknya perbuatan atau tingkah laku manusia sebagai
manusia. Tolok ukur untuk menilai baik-buruknya ting-
kah laku manusia disebut norma. Prinsip moral yang amat
penting adalah melakukan yang baik dan menolak yang
buruk. Apabila prinsip ini tidak dimiliki maka tidak ada
18 Urgensi Pendidikan Moral
3. Etika
Etika sering diartikan sama dengan moral. Namun
demikian etika tidak dapat menggantikan moral. Etika
merupakan salah satu cabang dari filsafat yang mem-
bahas moralitas manusia. Etika memberikan pemikiran
kritis tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral, apakah ajaran dan pandangan moral tertentu da-
pat dipertanggungjawabkan, dan bagaimana kita meng-
ambil sikap terhadapnya. Magnis Suseno mengibaratkan
ajaran moral sebagai buku petunjuk bagaimana kita me-
ngendarai dan memperlakukan sepeda motor dengan
baik, sedangkan etika memberikan pengetahuan tentang
struktur dan teknologi sepeda motor itu. (Etika Dasar,
hal 14). Untuk bisa mengendarai motor dengan baik
seseorang tidak perlu belajar tentang mesin. Demikian
juga untuk menjadi orang baik, seseorang tidak perlu
belajar etika atau menjadi seorang filsuf.
Etika bisa membantu seseorang untuk mencari orien-
tasi, agar mampu mempertanggungjawabkan hidupnya
dan tidak memiliki gaya hidup masa (ikut arus). Tanpa
orientasi manusia tidak tahu arah ke mana ia pergi dan
bagaimana ia berbuat. Etika menggunakan akal budi dan
pemikiran kritis bagaimana manusia harus hidup kalau
ia mau menjadi baik. Maka etika sering disebut sebagai
filsafat moral. Etika menjadi salah satu pegangan hidup.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 19
4. Agama
Moral dan agama bukan merupakan dua hal yang
terpisah. Setiap agama menawarkan ajaran moral. Dalam
agama iman diungkapkan. Dalam moral iman diwujud-
nyatakan. Agama tanpa perbuatan adalah mati, tidak ber-
guna bagi manusia. Kehidupan moral membuat agama
semakin dihayati secara mendalam dan menjadi berarti,
maka dibutuhkan orang beragama. Bagi orang beragama,
kehidupan yang bernilai bukan berdasarkan kebaikan,
melainkan berdasarkan iman.
Moral adalah jawaban manusia terhadap panggilan
Tuhan untuk berbuat baik dalam kaitannya dengan apa
yang menjadi kewajibannya melalui praksis hidup (Har-
jana, 94). Dengan kehidupan moral manusia memper-
satukan diri dengan Tuhan dan ikut serta dalam karya
perbuatan baik Tuhan. Hal ini tentu membutuhkan usaha.
Bentuk usaha manusia adalah membuat nilai-nilai moral
menjadi pegangan hidup. Itulah sebabnya orang ber-
agama juga diharapkan menggunakan akal budi dan
metode-metode etika. Tetapi karena manusia makhluk
terbatas maka agama dapat memberi jawaban terhadap
persoalan-persoalan fundamental manusia yang tidak
bisa dijawab dengan akal budi dan usahanya. Bagi orang
beragama, berbuat baik saja belum cukup, karena per-
buatan baik butuh landasan iman.
5. Hukum
Kehidupan moral membutuhkan hukum. Hukum
tidak dipakai untuk menilai baik-buruknya manusia,
melainkan untuk menjamin ketertiban dan kebaikan
umum, sehingga menciptakan kondisi-kondisi sosial yang
memungkinkan setiap orang atau kelompok bisa hidup
20 Urgensi Pendidikan Moral
Pertanyaan Reflektif:
1. Apa yang anda pahami tentang hubungan antara
moral dan etika, dan dimana letak persamaan dan
perbedaannya?
2. Moral dan Agama saling berhubungan, namun demi-
kian diantara keduanya ada perbedaan. Bagaimana
hal ini bisa dijelaskan!
3. Bagaimana moral dan hukum saling berhubungan?
Apa yang membedakan keduanya, berilah argumen-
tasi yang mendukung jawaban anda!
4. Apa yang anda pahami tentang perbuatan yang “baik?”
Apa tolok ukur bahwa suatu perbuatan dinyatakan
“baik?”
5. Apakah norma hukum tidak melanggar kebebasan
manusia? Jelaskan.
6. Untuk apa kita bermoral?
7. Jelaskan apa ciri khas moral?
8. Apakah ada perbuatan yang tidak bernilai moral?
Berilah contoh konkrit.
22 Urgensi Pendidikan Moral
Bahan Bacaan:
Bertens, K,
1993 Etika, Jakarta: Gramedia.
Harjana, AM,
1993 Penghayatan Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Janssens, L,
Tth Saint Thomas Aquinas and the Question of
Proportionality, dalam majalah Louvain Studies,
Vol.IX. pp 26-46.
Joseph de Torre,
1977 The Roots of Sociaty, Manila: Sinag-Tala
Publishing,
Magnis Suseno, Frans,
1987 Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 23
BAB II
KEBEBASAN
SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL
1. Determinisme
Paham atau aliran pemikiran yang menolak ada-
nya kebebasan dalam diri manusia adalah determinisme.
Menurut paham ini hanya nampaknya saja manusia itu
bebas, karena sesungguhnya manusia dalam bertindak
selalu ditentukan oleh berbagai macam faktor baik da-
lam kondisi fisik dan psikis dirinya sendiri maupun da-
lam dunia sekitarnya. Manusia dalam dirinya sendiri
tidak bisa melepaskan diri dari penentuan tersebut. Dari
segi jenis faktor atau faktor mana yang dianggap sebagai
penentu arah tindakan manusia, bisa dibedakan empat
macam aliran determinisme (Hook, 56), yakni 1) deter-
minisme biologis; 2) determinisme psikologis; 3) deter-
minisme teologis. 4) determinisme sosiologis.
• Determinisme Biologis
Aliran ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia
ditentukan oleh faktor-faktor biologis keturunan; macam
tubuh yang kita miliki, seluruh interaksi fisiologis dan
hukum-hukum biologis, semuanya ini menentukan apa
yang kita lakukan. Watak, kebiasaan, dan tingkah laku
manusia menurut paham atau aliran pemikiran ini, bisa
diterangkan berdasarkan struktur biologis orang itu.
Orang yang suka mencuri, atau memperkosa, misalnya
perlu diselidiki struktur biologisnya yang menyebabkan
ia bertingkah demikian dan diobati. Hukuman dan sangsi
massa rakyat lainnya tidak akan memecahkan persoalan.
Kalau secara biologis memang cacat orang itu sebenar-
nya tidak bisa dihukum atau dimin-tai pertanggungan-
jawab atas tindakannya, melainkan pantas dikasihani dan
dicarikan pengobatan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 25
• Determinisme Psikologis
Aliran ini yang dipelopori oleh Sigmund Freud.
Determinisme psikologis beranggapan bahwa manusia
dalam tingkah lakunya sangat ditentukan oleh unsur-
unsur bawah sadar. Hanya nampaknya saja manusia itu
seakan-akan bisa bebas memilih tindakan mana yang
diinginkan. Psikoanalisis telah menunjukkan, demikian
anggapan para penganut paham determinisme psi-
kologis, bahwa tekanan bawah sadarlah yang sebenarnya
menjadi penyebab atau pendorong utama tindakan-tin-
dakan manusia. Tingkah laku manusia ditentukan oleh
dorongan yang terkuat di dalam dirinya (dalam pan-
dangan Freud dorongan dasar pada manusia adalah
26 Urgensi Pendidikan Moral
• Determinisme Teologis
Aliran pemikiran ini beranggapan bahwa manusia
hidup di dunia ini bagaikan wayang-wayang ditangan
sang dalang dalam suatu pagelaran lakon yang sudah
dengan cermat ditentukan sebelumnya. Nasib manusia
sudah tersurat dalam rencana kebijaksanaan yang Illahi.
Ajaran predestinasi (penetapan terlebih dahulu oleh
Allah mengenai apa saja yang akan terjadi/dilakukan oleh
setiap ciptaan) atau ajaran tentang suratan nasib, me-
nganggap bahwa segala tingkah laku manusia sudah
ditentukan sebelumnya oleh Allah sehingga manusia
hanyalah tinggal menjalankan saja apa yang sudah
digariskan. Dalam pandangan ini manusia yang tampak-
nya bisa memilih ini dan itu dalam keillahian sebenarnya
hanya tinggal menjalankan apa yang sudah digariskan
sebelumnya.
Sebagai contoh paham diteminisme teologis adalah
ajaran predistinasi Calvin. Kadang-kadang Agustinus
juga digolongkan sebagai orang yang mengajarkan pre-
dentinasi dan mengingkari adanya kebebasan. Namun,
bacaan yang lebih teliti atas bukunya De libero Arbitrio
(Reichmann, 1967) akan menunjukkan bahwa kendati ia
mengajarkan paham tentang predestinasi Allah, ia ber-
usaha untuk memberi tempat dan kebebasan manusia.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 27
• Determinisme Sosiologis
Lingkungan ikut mempengaruhi tingkah laku se-
seorang dimana ia hidup dan dibesarkan. Tidak diten-
tukan sehingga ia tidak bisa bertindak sendiri.
Selain menurut jenis faktor penentu determinisme
juga biasa dibedakan menurut derajat penentuannya.
Dalam pembedaan ini ada yang disebut aliran determi-
nisme keras dan ada aliran determinisme lunak. Deter-
minisme keras adalah paham yang tidak ragu-ragu ada-
nya nasib suratan tangan manusia, adanya perbudakan
kehendak oleh nafsu-nafsu sehingga orang tak bisa be-
bas lagi untuk memilih adanya keniscayaan tindakan.
Paham ini menolak dengan tegas adanya kebebasan
manusia dan bersama itu adanya tanggung jawab moral.
Sebagai contoh paham detrminisme keras adalah Omar
Khayam, Holbach, Robert Owen, Schopenhauer dan
Freud.
Determinisme lunak adalah paham determinisme
yang menegaskan bahwa tak ada pertentangan antara
determinisme dan kebebasan manusia. Determinisme
dalam paham ini dimengerti sebagai aliran pemikiran
yang berpendapat bahwa semua kejadian, termasuk tin-
dakan manusia, pasti ada penyebabnya. Tak ada kejadian
tanpa sebab. Bila manusia dikatakan sebagai pelaku be-
bas tindakannya, maka ini tidak dimaksudkan bahwa
tindakannya tidak bisa diterangkan berdasarkan hukum
penyebaban, melainkan bahwa ia tidak dipaksa dari luar;
bahwa ia memang menginginkan apa yang dia buat.
Sebagai contoh paham determinisme lunak adalah David
Hume, John S. Mill, Moritz Schlick.
28 Urgensi Pendidikan Moral
2. Kebebasan
• Argumen untuk mendukung adanya
kebebasan
Para pembela adanya kebebasan biasanya tidak
menolak pandangan bahwa lingkungan, faktor ke-
turunan seperti cacat badani yang menyangkut cacat su-
sunan saraf, faktor-faktor kelainan psikologis seperti
Kleptomonia (secara kompulsif cenderung untuk men-
curi) Padophilia (Secara kompulsif ada rasa tertarik jas-
maniah pada anak-anak kecil) dapat menjadi sangat
kuat, sehingga orang yang bersangkutan sepertinya ti-
dak bisa tidak melakukan apa yang dia lakukan. Mes-
kipun demikian mereka tetap beranggapan bahwa ma-
nusia biasanya bebas dalam tindakan-tindakannya dan
bahwa manusia bertanggungjawab atas perbuatnnya yang
dengan sengaja dan tahu dilakukannya. Berikut ini
adalah argumen-argumen yang biasanya diajukan sebagai
pendukung.
• Ketidaktahuan
Ketidaktahuan merupakan faktor yang juga bisa
mempengaruhi tingkat kebebasan kita dilihat dari
faktor yang mempengaruhi pikiran. Ada dua macam
ketidaktahuan; yang pertama ketidaktahuan yang tak
dapat di atasi (invincibli ignorance) dan yang kedua
adalah ketidaktahuan yang dapat diatasi (vincibli
ignorance). Hanya ketidaktahuan yang tidak dapat
diatasi merupakan faktor yang bisa membebaskan
seseorang dari ikatan tanggungjawab moralnya. Seorang
tukang pos yang setiap harinya mengantarkan surat dan
bingkisan tidak bisa dipersalahkan kalau, karena
ketidak-tahuannya, suatu hari menyampaikan suatu
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 33
• Ketakutan
Ketakutan dapat berarti suatu kekhawatiran atau
antisipasi akan bahaya yang mengancam bila sesuatu
tidak dilaku-kan bisa pula berarti suatu perasaan yang
terjadi berkat paksaan atau ancaman yang dialami pada
saat itu terjadi. Jenis ketakutan pertama, misalnya
ketakutan seseorang mahasiswa untuk tidak lulus ujian
membuat dia rajin bela-jar, adalah jenis ketakutan yang
mempengaruhi pikiran. Jenis ketakutan ini tidak mem-
pengaruhi kebebasan dan tanggungjawab seseorang.
Jenis ketakutan kedua, misalnya orang yang diancam
dengan senjata api tertodong pada kepala untuk mem-
bukakan brangkas sebuah bank dalam suatu perampokan,
adalah ketakutan yang mempengaruhi kehendak. Jenis
ketakutan ini bisa mempengaruhi kebebasan dan
tanggungjawab seseorang.
• Siksaan
Siksaan, baik fisik maupun psikis bisa begitu keras
hingga orang yang disiksa, untuk mengurangi dan meng-
hindarkan rasa sakit yang bukan kepalang, terpaksa
melakukan suatu perbuatan yang di luar kehendaknya.
Perbuatan macam ini tidak sepenuhnya bebas dan me-
ngurangi tanggungjawab seseorang atas perbuatannya.
Memang terpujilah sikap para martir dan pahlawan yang
rela menanggung segala siksaan dan paksaan demi nilai
yang mau diperjuangkan; mereka tetap teguh tidak mau
melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
suara hatinya.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 35
• Kebiasaan
Kebiasaan adalah pola tingkah laku tertentu yang
senantiasa kembali karena perbuatan tertentu sudah
sering dilakukan. Kebiasaan bisa buruk bisa baik.
Kebiasaan yang diperoleh karena disengaja tidak me-
ngurangi kebebasan dan tanggungjawab orang melaku-
kan. Misalnya orang yang membiarkan diri ‘tergigit’
(addicted) oleh kebiasaan buruk mengisap ganja,
menuman keras, main perempuan dan berjudi tidak bisa
dikatakan bahwa ia tidak bertanggungjawab atas
perbuatan yang keluar dari kebiasaan buruknya. Hanya
kebiasaan yang tidak disengaja dan diluar kontrol
pelakunya, misalnya sejak kecil (karena kurang pen-
didikan dalam keluarga). Biasa mengumpat dengan kata-
kata kotor bisa mengurangi tingkat kebebasan dan
tanggungjawab pelakunya. Memang dalam hal terakhir
inipun kalau orang menjadi dewasa dan menyadari
kebiasaan buruknya mesti ada usaha pula untuk meng-
atasi kebiasaan yang buruk tersebut. Kalau orang dengan
sengaja karena kelalain dan kemalasan tidak mau mem-
perbaiki diri, maka dia bertanggungjawab atas kebiasa-
an buruk itu.
Demikianlah kita lihat beberapa faktor yang bisa
mempengaruhi tingkat kebebasan dan tanggung jawab
seseorang atas perbuatannya. Ilmu psikologi dan psikiatri
telah menyelidiki beberapa faktor lain yang dapat me-
ngurangi kebebasan kehendak. Neorosis dan psychosis
dapat menghalangi kebebasan seseorang untuk bisa
menentukan diri. Sulit untuk menentukan dengan pasti
kapan orang bisa dikatakan bahwa sudah tidak normal
dan perbuatannya keluar dari ketidak-normalan tersebut,
sehingga ia dapat dikatakan tidak lagi bebas dan ber-
tanggungjawab atas perbuatannya. Namun kiranya jelas
36 Urgensi Pendidikan Moral
Kebebasan eksistensial
Kebebasan ini sifatnya positif, letaknya ada pada
kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.
Tekanannya adalah bebas untuk, bukan bebas dari.
Kebebasan mendapat wujudnya yang positif dalam
tindakan yang disengaja. Tidak setiap kegiatan manusia
merupakan tindakan (pernafasan, denyut jantung,
nglindur/mengigau). Binatang tidak dapat bertindak.
Kalaupun dapat berbuat, selalu didorong oleh desakan
naluri, perangsang atau kebiasaan-kebiasaannya. Seekor
kucing melihat ikan goreng di meja, tidak akan berfikir:
ini milik siapa, boleh dimakan atau tidak, sebaiknya
langsung dimakan atau disimpan dulu.
38 Urgensi Pendidikan Moral
• Kebebasan sosial
Kebebasan ini sifatnya negatif, tekanannya bebas
dari. Tidak dapat disangkal bahwa banyak orang mem-
punyai kecenderungan untuk mengurangi kebebasan
kita, artiya berkuasa atas kita. Berhadapan dengan an-
caman itu, kita menjadi sadar akan nilai kemampuan kita
untuk menentukan diri sendiri. Kebebasan sosial adalah
keadaan dimana kemungkinan kita untuk bertindak
tidak dibatasi oleh orang lain.
Ada tiga macam kebebasan sosial: Pertama, Ke-
bebasan Jasmani, merupakan kemampuan yang berakar
dalam kehendak kita untuk dapat menentukan apa yang
mau dilakukan secara fisik. Kebebasan ini bersumber
pada kebebasan rohani dan sekaligus mengungkapkan-
nya.
Kebebasan Jasmani: dibatasi dengan paksaan fisik,
artinya orang lain dapat memakai kekuatan fisik untuk
membuat kita tidak berdaya. Yang dimaksud bebas
dalam arti jasmani apabila tidak berada di bawah paksaan
orang lain yang membuat kita tidak berdaya. Kebebasan
jasmani merupakan kemampuan yang berakar dalam
kehendak kita untuk dapat menentukan apa yang mau
dilakukan secara fisik. Kebebasan ini bersumber pada
kebebasan rohani dan sekaligus mengungkapkannya.
Ada hubungan yang erat antara kebebasan jasmani
dan rohani. Kebebasan jasmani bersumber pada ke-
bebasan rohani dan sekaligus kebebasan jasmani
mengungkapkan secara nyata kebebasan rohani (apa yang
terwujud di dalam tindakan fisik merupakan pelahiran
dari apa yang kita bayangkan/pikirkan). Keduanya me-
rupakan nisbah/matra/dimensi dari kebebasan eksis-
tensial. Bebas dalam arti ini ialah bahwa kita dapat dan
sanggup untuk melakukan sesuatu.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 41
• Tanggung jawab
Tanggungjawab menyangkut dua hal, pertama,
kitalah yang bertanggungjawab mempergunakan ruang
yang disediakan masyarakat agar sungguh bernilai.
Kedua, putusan itu sendiri harus dapat dipertanggung-
jawabkan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, terhadap
tugas yang menjadi kewajiban kita dan terhadap harapan
orang lain. Kebebasan dari paksaan, tekanan dan
larangan itu merupakan ruang yang harus kita isi dengan
kebebasan eksistensial kita. Masyarakat telah menye-
diakan ruang itu. Maka: melaksanakan kebebasan
eksistensial kita berarti melaksanakan tanggungjawab
yang dipercayakan masyarakat kepada kita. Kebebasan
eksistensial berarti bahwa kita mengambil sikap
tertentu, dan itu berarti pula kita harus mempertang-
gungjawabkan sikap yang kita ambil itu.
Kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial adalah
dua hal yang berbeda, tetapi tidak terpisah karena
merupakan satu kenyataan, yaitu kebebasan manusia.
Kebebasan sosial merupakan ruang gerak bagi kebebasan
eksistensial. Kita hanya dapat menentukan sikap dan
tindakan kita sendiri, sejauh orang lain membiarkan kita.
Maka, sejauh mana dan dengan cara mana, kebebasan
kita boleh dibatasi? Kebebasan sosial kita terbatas sudah
jelas dengan sendirinya. Dan memang kebebasan kita
harus dibatasi, tetapi tidak berarti segala macam
pembatasan dapat dibenarkan. Oleh sebab itu, yang perlu
adalah agar pembatasan itu masuk akal dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Ada dua alasan membatasi kebebasan manusia:
Petama, hak setiap manusia atas kebebasan yang sama.
Apa yang kita perlukan bagi diri sendiri pada prinsipnya
juga menjadi hak orang lain. Jadi kebebasan saya tidak
44 Urgensi Pendidikan Moral
8. Mempertanggungjawabkan Kebebasan
Orang yang bertanggungjawab,berarti orang yang
mampu menguasai diri, yang sanggup menuju tujuan yang
disadarinya sebagai penting, meski berat. Maka orang
tersebut semakin mampu menentukan dirinya, makin
tangguh, bebas dan luas wawasannya.
Agar pertanggungjawaban selalu dapat dituntut,
pembatasan kebebasan sosial harus dilakukan secara ter-
buka dan terus terang. Tak perlu ditutup-tutupi. Per-
aturan atau larangan hendaknya dikemukakan secara
jelas dan terbuka, sehingga masyarakat yang bersang-
kutan dapat menuntut pertanggug-jawaban seperlunya.
Kalau tidak dapat dipertanggung-jawabkan, peraturan
itu bersifat sewenang-wenang dan harus dicabut. Kita
sering mendengar istilah kebebasan yang bertanggung
jawab, apa artinya? Itulah ruang gerak yang disediakan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 45
tahu, ada urusan lain yang lebih menarik, tak mau susah),
karena takut bahaya, ada yang tidak setuju, atau sedang
tersinggung dan tidak dapat mengatasi emosinya.
Sebenarnya ia tahu perbuatan apa yang paling bernilai
baginya, yang pantas dan wajar, tetapi karena situasi
tersebut, ia tidak kuat untuk melakukannya. Ia terlalu
lemah untuk melakukan apa yang dilihatnya sendiri
sebagai paling luhur dan penting. Jadi, menolak untuk
bertanggungjawab tidak membuat kita semakin bebas,
malah sebaliknya. Orang yang tidak bertanggungjawab
adalah orang yang tidak kuat untuk melakukan apa yang
dinilainya sendiri sebagai paling baik (loyo, tidak jantan,
terkekang oleh emosi, atau kesenangan sendiri). Ia
menjadi kurang bebas untuk menentukan dirinya sendiri,
karena menjadi budak dan dikuasai oleh emosi, perasaan,
rasa malas, kesenangan, dsb.
Jadi, Menolak untuk bertanggungjawab berarti: 1)
Tahu dan sadar akan apa yang seharusnya dilakukan,
tetapi tidak melaksanakannya. Itu berarti bahwa orang
tersebut tidak kuat untuk melakukan apa yang dinilainya
sendiri terbaik. Sehingga kurang bebas untuk menen-
tukan dirinya sendiri. 2) Akibat penolakan tanggung
jawab: wawasannya makin sempit, tertutup dan hanya
berputar di sekeliling diri sendiri, mudah menghindari
tantangan. Orang menjadi semakin lemah, tidak bebas
menentukan diri sendiri dan menjadi terbelengu, tak
kuat menahan arus dan akhirnya kebebasan eksisten-
sialnya justru memudar.
Orang yang tidak mau bertanggungjawab menjadi
semakin lemah, semakin tidak bebas lagi untuk menen-
tukan dirinya sendiri. Ia semakin dikuasai oleh dorongan
irasional. Ia menjadi terkekang dan menjadi budak, tidak
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 47
• Masyarakat
Semua orang dan lembaga yang berpengaruh pada
hidup kita; Keluarga (terutama bapak-ibu), tempat kita
untuk pertama kalinya belajar mengenai apa yang boleh
dan tidak, apa yang harus dianggap baik dan buruk, dsb.
Sekolah, tempat memperoleh pengetahuan, belajar ber-
disiplin waktu, jujur dalam ujian, dsb. Agama, menuntut
kepercayaan, tindakan-tindakan tertentu dan sikap-
sikap yang amat dasariah.
Tempat kerja, melatih ketaatan pada peraturan dan
juga kepada bos kocak. Negara dan juga lembaga-lembaga
informal, yang dari padanya, kita belajar bagaimana harus
bersikap dan bertindak.
• Superego
Perasaan moral spontan yang muncul karena pem-
batinan nilai-nilai moral sejak kita masih kecil. Superego
itu menyatakan diri dalam perasaan bersalah atau malu
apabila kita melanggar norma-norma moral yang telah
kita batinkan itu.
Superego tidak mempunyai norma asli, tetapi hanya
menyuarakan norma-norma dari lingkungan sosial kita,
atau dari ideologi (lembaga normatif ketiga).
50 Urgensi Pendidikan Moral
• Ideologi
Segala macam ajaran tentang makna kehidupan,
nilai-nilai dasar dan tentang bagaimana manusia harus
hidup dan bertindak.
Arti pentingnya terletak pada tuntutan dan tun-
tunannya, bagaimana manusia harus hidup dan ber-
tindak. Kekuatan ideologi terletak dalam hati dan akal
kita.
Ideologi tidal lepas dari masyarakat, tetapi harus
dibedakan darinya karena bekerja secara abstrak,
sebagai keyakinan dan kepercayaan seseorang yang
dipegang teguh.
Bahan Bacaan:
Fisher,Martin,
1986Moral Resposibility, Ithaca and London: Cornell
University Press.
Hook, Sidney (ed.),
1979Determinism and freedom in the age of modern
Science,New York: collier macmillan publishers.
Knoft .,
1971 Beyond freedom and dignity, New York.
52 Urgensi Pendidikan Moral
BAB III
SUARA HATI
PEDOMAN DAN TOLOK UKUR
MORAL
6. Ketekadan Moral
Yang perlu bagi kita sekarang adalah bagaimana
bertindak sesuai dengan suara hati. Mengembangkan
tekad untuk berpegang teguh pada suara hati dalam
situasi apapun, berhadapan dengan situasi konkret:
tekanan, bujukan, tawaran menggiurkan. Kemampuan
mendengarkan suara hati dan bertindak sesuai dengan-
nya, tergantung apakah kita mampu membebaskan diri
dari penguasaan emosi, perasaan, dan dorongan
irrasionil yang terus menerus merongrong kesatuan
tekad kita. Dikuasai oleh perasaan irrasionil berarti
orang panik, tidak dapat melihat atau mendengarkan
apapun. Yang ada hanya kebingungan.
Salah satu usaha terpenting bagi kekuatan batin kita
ialah membebaskan diri dari cengkeraman kekuatan
irrasionil (Jw: Pamrih). Manusia tidak dapat menjadi
dirinya sendiri, menguasai diri, kecuali ia menjadi sepi
ing pamrih, bebas dari pamrih. Ia akan bebas dari rasa
gelisah, nafsu ingin memiliki, sehingga mampu mengon-
trol nafsu dan emosinya. Ia semakin dapat rame ing gawe,
sanggup untuk memenuhi kewajiban dan tanggungjawab
yang menantangnya. Dalam tradisi kerohanian sikap sepi
ing pamrih dikenal dengan tiga upaya: Maksud lurus
(recta intentio), pengaturan emosi-emosi (ordinatio affec-
tuum), pemurnian hati (purificatio cordis). Melatih sikap-
sikap itu berarti meningkatkan kemampuan kita untuk
menentukan diri, sehingga tidak mudah terombang-
64 Urgensi Pendidikan Moral
Bahan Bacaan:
Sociological Aspects of an Education in Values in
School Life: dim. OIEC Bulletin, no. 62, Sept-Oct 1981.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 65
BAB IV
1. Pengertian Norma
Norma adalah aturan-aturan dan kaidah-kaidah yang
dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai tindakan
manusia. Tindakan yang sesuai dengan norma dinilai
baik, benar; sebaliknya tindakan yang tidak sesuai
norma-norma dinilai buruk atau salah.
• Fungsi norma
Norma mengatur tindakan manusia, mengarahkan
tindakan manusia ke arah yang baik serta membatasi tin-
dakan manusia dan memberitahukan yang baik dan yang
buruk.
• Macam-macam Norma
Norma-norma dibedakan dalam dua jenis, pertama
norma khusus yang berlaku spesifik dalam bidang ter-
tentu misalnya olah raga (norma teknis), kedua, adalah
bahasa/komunikasi (kaidah). Norma-norma khusus tidak
dibicarakan di sini. Dalam rangka etika dibahas norma-
norma umum, yakni norma sopan santun, norma hukum
dan norma moral.
66 Urgensi Pendidikan Moral
• Norma hukum.
Norma-norma yang dituntut dengan jelas oleh masya-
rakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan
kesejahteraan umum. Norma ini diundangkan oleh pihak
yang berwenang dan tidak dibiarkan untuk dilanggar.
Pelanggaran akan mendatangkan hukuman sebagai
sangsinya.
Norma ini terbatas pada wilayah hukum tertentu.
Seharusnya, norma ini mengacu pada norma moral dan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 67
• Norma moral
Norma Moral merupakan tolok ukur yang diper-
gunakan untuk mengukur kebaikan seseorang atau un-
tuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan
manusia, dilihat dari baik buruknya sebagai manusia dan
bukan sebagai pelaku peran tertentu yang terbatas. Nor-
ma ini bersifat universal (mengingat bagi semua orang),
memandang dan menghargai manusia sebagai manusia,
untuk menentukan kualitas manusia. Maka, penilaian
baik buruknya seseorang itu dilihat dari keseluruhan tin-
dakannya sebagai manusia.
Norma moral dibuat karena tuntutan martabat luhur
manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan ber-
kehendak bebas. Dengan akal budinya manusia mengerti
baik-buruk suatu tindakan untuk menuju kesempurnaan.
Sanksi yang akan diterima apabila norma ini dilang-
gar adalah berkaitan penilaian buruk sebagai manusia,
baik dari diri sendiri atau orang lain. Apabila diketahui
orang lain, akan dibenci, dijauhi, dicela, dikucilkan, dsb.
68 Urgensi Pendidikan Moral
Bahan Diskusi :
Berikan contoh kasus:
• Norma moral mengalahkan norma hukum
• Norma moral mengalahkan norma sopan santun
• Norma moral mengalahkan norma hukum sekaligus
norma sopan-santun
2. Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berarti dan patut dikejar,
dimiliki dan dihayati dalam hidup manusia. Nilai dikejar
dan diperjuangkan karena bermakna baik, menarik,
menyenangkan, berguna bagi manusia sebagai individu
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 69
• Ciri-ciri nilai
Nilai berkaitan dengan subyek. Jika tidak ada subyek
yang menilai tidak ada nilai. Nilai tampil dan dihayati
dalam suatu konteks praktis. Nilai menyangkut sifat-sifat
yang “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat yang di-
miliki obyek. Nilai tidak diimiliki obyek pada dirinya,
karena obyek yang sama bagi berbagai subyek dapat
menimbulkan nilai yang berbeda-beda.
• Macam-macam nilai
Ada bermacam-macam nilai dan klasifikasinya
tergantung dari aspek apa subyek menafsirkan fakta atau
obyek. Misalnya: Nilai biologis, nilai ekonomis, nilai
psikis, nilai estetis, nilai religius, nilai kesehatan, nilai
etis.dsb
Bahan Diskusi
Berikan contoh kasus :
• nilai estetika dikalahkan dan nilai ekonomi di-
menangkan.
• Nilai moral dimenangkan dan nilai religius dikalah-
kan.
• Nilai psikis dimenangkan dan nilai ekonomi di-
kalahkan.
• Nilai ekonomi dimenangkan dan nilai moral di-
kalahkan.
Bahan Bacaan:
Bertens,K
1993 Etika,Jakarta,Gramedia.
Magnis Suseno,
1987 Etika Dasar, YogYakarta,Kanisius.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 73
BAB V
TAHAP-TAHAP
PERKEMBANGAN PENALARAN
MORAL MENURUT L. KOHLBERG
• Sebuah Catatan:
Tentang tahap 3, 4, dan 5 sebagai tahap-tahap etika
masyarakat kiranya sudah merupakan suatu pengamatan
antropologis dan terletak diluar jangkauan penelitian
Kohlberg. Untuk pembenaran pernyataan tersebut perlu
diadakan penelitian tersendiri tentang typoplogi sikap
moral suatu masyarakat. Perlu diselidiki misalnya apa-
kah memang ada kaitan kausal antara suatu tata sosial
ekonomi suatu masyarakat dengan sikap moral para
anggotanya.
Penyimpulan para Antropolog dan etnolog itu ter-
gesa-gesa, karena kenyataan yang mereka hadapi me-
nyangkut perwujudan kongkret norma yang memang su-
dah sepantasnya ada perbedaan dari bangsa yang satu
ke bangsa yang lain. Tetapi kalau diselidiki lebih dalam,
maka akan menjadi nyata bahwa dibalik perbedaan
terdapat kesamaan nilai-nilai dasar yang mau
diwujudkan.
Bahan Bacaan:
Bertens, K,
1993 Etika, Jakarta: Gramedia.
Frankena, William,
1963 Recent Conception of Morality, dalam Mora-
lity and the Language of Conduct, edited by H.N.
Castaneda and Geoge Nakhnikian, Detroit: Wayne
State University Press.
Gilligan, Carol,
1982 In A Different Voice, Cambrige, Mass Harvard
University Press.
Kohlberg, L.
1981 Essays Moral Development, Vol. I. The
Philosophy of Moral Development,San Francisco:
Harper and Row.
----------------,
1984 Essays Moral Development, Vol. II. The
Psychology of Moral Devolepment, San Francis-co:
Harper and Row.
Magnis-Suseno, Franz,
1985 Etika Jawa: Sebuah Analisa Filosofi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia, 1985.
Munsey, Brenda,
1980 Cognitive-Developmental Theory of Moral
Development: Metaethical Issue dalam Moral
Development, Moral Education, and Kohlberg,
Birmingham Alabana: Religious Education Press.
Rosen, Bernard,
1981 Moral Dilimmans and Their Treatmen,
Cambrige, Mass: Harvard University Press
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 89
BAB VI
1. Teori Hedonisme
Kata hedonisme berasal dari bahasa Yunani “he-
done” artinya nikmat, kesenangan. Hedonisme adalah
suatu paham yang mengajarkan bahwa manusia
hendaknya hidup sedemikian rupa agar mencapai kenik-
matan atau kesenangan. Kekhasan hedonisme adalah
pahamnya yang menekankan pencarian dan pencapaian
nikmat dan menghindari kesakitan-kesakitan. Menurut
paham ini, manusia bagaimanapun akan menghindari
penderitaan dan hanya mencari kenikmatan-kenikmatan
dalam hidupnya. Paham Hedonisme sudah muncul sejak
abad 4 sebelum masehi oleh Aristippos (433-355 SM).
90 Urgensi Pendidikan Moral
• Hedonisme Etis
Adalah etika yang membuat pencaharian keba-
hagiaan menjadi prinsip yang paling dasariah. Manusia
hendaknya hidup sedemikian rupa sehingga dia dapat
semakin bahagia. Pandangan ini berasal dari Yunani 2000
tahun yang lalu. Pertimbangan yang mendasarinya ada-
lah bahwa kebahagiaan merupakan tujuan pada dirinya
sendiri. Tidak ada yang mengatasinya. Orang yang sudah
bahagia tidak memerlukan apa-apa lagi. Maka ia harus
mencari perasaan-perasaan yang menyenangkan seba-
nyak mungkin dan menghindari perasaan-perasaan yang
tidak enak. Nampaknya masuk akal kalau kehidupan kita,
kita arahkan pada usaha untuk mencapai kebahagiaan.
Kita tidak boleh mengikuti berbagai dorongan nafsu be-
gitu saja, melainkan agar kita dalam memenuhi keinginan
yang menghasilkan kenikmatan bersikap bijaksana dan
selalu seimbang serta dapat menguasai diri.
• Tanggapan Kritis
Kiranya tidak seratus persen benar kalau hedonis-
me psikologis mengatakan bahwa manusia dalam segala
usaha nya hanya mencari nikmat saja. Pada dasarnya
manusia bertindak karena dua dorongan yaitu dorongan
spontan irasional dan karena merasa tertarik oleh segala
macam nilai. Maka sudah kelihatan bahwa dorongan
spontan untuk mencari nikmat hanyalah salah satu
dorongan diantara sekian dorongan yang ada. Ada
dorongan agresi, pertahankan nyawa, dan lain-lain. Dari
situ telihat bahwa dorongan-dorongan spontan irasional
manusia ada bermacam-macam tidak hanya untuk
mencari nikmat saja.
92 Urgensi Pendidikan Moral
• Kesimpulan
Tidak bisa dipungkiri bahwa keinginan akan ke-
senangan atau kenikmatan merupakan dorongan yang
sangat mendasar dalam hidup manusia. Namun paham
hedonisme perlu dilihat secara komprehensif dan harus
disikapi secara kritis.
Paham hedonisme banyak dianut oleh manusia jaman
ini, lebih-lebih kaum muda. Banyak kemudahan di-
tawarkan pada manusia untuk mencapai kesenangan dan
kenikmatan, hal- hal yang serba instan menjadi gaya hi-
dup masa kini yang banyak dipilih orang, sehingga banyak
orang cenderung mengambil jalan pintas dan tidak
menghargai proses. Dalam dunia pendidikan banyak ma-
hasiswa yang menempuh jalan pintas dalam menger-
jakan tugas, mereka tidak melalui dan tidak menghargai
proses yang seharusnya ditempuh, akhirnya dapat mem-
pengaruhi penurunan kualitas lulusan yang dihasilkan,
sehingga mereka akan mengalami kesulitan dalam ber-
kompetisi dalam meraih dunia kerja.
Mengingat hal tersebut maka paham hedonisme
harus disikapi secara kritis, agar manusia tidak terjebak
pada kesenangan dan kenikmatan yang bersifat
sementara.
Pertama, apakah benar banwa manusia hanya
mengejar kesenangan dan kenikmatan dalam tujuan
hidupnya? apakah benar motivasi terakhir tindakan
manusia hanya kesenangan dan kenikmatan? tentu tidak.
Bukankah ada manusia yang membaktikan seluruh
hidupnya demi kebaikan orang lain seperti halnya yang
dilakukan oleh ibu Theresa dan banyak tenaga sukarela-
wan dalam berbagai bidang? Begitu banyak orang yang
melakukan tindakan bukan hanya untuk mengejar
94 Urgensi Pendidikan Moral
3. Eudaimonisme Aristoteles
Prinsip: setiap hal mempunyai esensi atau forma yang
menjadi prinsip bagi hidup pengada itu sendiri. Etika
eudaimonisme ini merupakan etika yang bersifat teleo-
logis karena mengarah kepada suatu tujuan yaitu ke-
bahagiaan. Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan.
Kebahagiaan itu mengandung keutamaan yaitu keu-
tamaan untuk mengembangkan diri, dengan segala ma-
cam potensi yang dimiliki. Aspek penentuan diri hanya
ada dalam manusia. Orang harus melepaskan diri dari diri-
nya tak mungkin tercapai dengan sebaik-baiknya. Orang
harus menerima diri adanya namun tidak menjadi pesimis
kalau ternyata kedapatan suatu kelemahan dalam dirinya.
98 Urgensi Pendidikan Moral
• Mengembangkan Diri
Menurut Aristoteles manusia tidak akan mencapai
kebahagiaan kalau ia pasif dan hanya mau menikmati
segala-galanya, melainkan kita harus aktif merealisasi-
kan bakat-bakat dan potensi kita. Orang kaya yang hanya
menikmati saja tanpa ada perjuangan yang nyata akan
sangat mudah bosan menikmati hidupnya.
Jadi yang membahagiakan adalah kalau kita
mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga bakat-
bakat yang kita punyai akan menjadi kenyataan. Manusia
adalah makhluk yang mempunyai banyak potensi, namun
potensi itu baru menjadi nyata kalau manusia berusaha
untuk merealisasikannya. Kebahagiaan tercapai dalam
mengaktifkan dan mempergunakan bakat-bakat yang
ada.
Manusia adalah aufgabe dirinya sendiri. Maka salah
satu kewajiban dasar manusia adalah mengembangkan
diri. Ia akan semakin bahagia, apabila ia semakin
mengembangkan diri. Pengembangan diri merupakan
panggilan yang penting bagi manusia.
• Melepaskan diri
Bagaimana caranya manusia berkembang? Kita
justru akan berkembang kalau kita tidak memikirkan diri
kita sendiri dan segala perkembangannya. Selama kita
masih prihatin dengan perkembangan diri kita sendiri,
ita masih berputar dan mengintari diri sendiri. Ini ibarat
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 99
• Menerima diri
Manusia tidak mungkin berkembang dengan utuh,
kalau perspektifnya terbatas pada kebahagiaan di dunia
ini. Kebahagiaan kita adalah pemberian rahmat Tuhan.
Maka justru demi pengembangan diri yang sebenarnya,
kurang tepat kalau kita selalu kuatir tentang diri kita
sendiri. Apabila perspektif kita tidak pada pengem-
bangan diri, melainkan kepada tugas dan tanggungjawab
kita obyektif, fakta bahwa kemampuan kita terbatas,
samasekali tidak merupakan halangan.
100 Urgensi Pendidikan Moral
4. Teori Utilitarisme
Kata Utilitarisme berasal dari bahasa Latin “utilis”
artinya berguna. Paham utilitarisme mengajarkan bahwa
manusia hendaknya hidup dan bertindak sedemikian
rupa sehingga berguna bagi sebanyak mungkin orang.
Menurut tokohnya, Jeremy Bentham (1748-1832)
utilitarisme dimaksudkan sebagai sebagai dasar etis
untuk membaharui hukum Inggris. Menurutnya tujuan
hukum adalah memajukan kepentingan para warga
negara dan bukan memaksakan perintah- perintah Illahi
atau melindungi yang diklasifikasi kejahatan. Maka
kesejahteraan manusia harus diutamakan. Bentham
menekankan bahwa suatu perbuatan dapat dinilai baik-
buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi ke-
bahagiaan semua orang. Secara tegas prinsip utilitarisme
mengatakan bahwa manusia wajib berusaha untuk selalu
menghasilkan kelebihan akibat-akibat baik yang sebesar-
besarnya terhadap akibat-akibat buruk apabila bertin-
dak. Tindakan kejahatanan kalau ternyata tidak men-
datangkan akibat buruk dan tidak mengganggu kesejah-
teraan manusia tidak perlu dinyatakan salah dan tidak
perlu dijatuhi hukuman.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 101
• Jasa Utilitarisme
Pertama, berkaitan dengan universalitas: besarnya
jumah akibat baik yang dipertimbangkan tidak hanya
demi pelakunya sendiri, namun demi banyak orang. Di
sini tampak segi sosialismenya. Tanggungjawab terhadap
sesama dan diri sendiri harus selalu mengambil sikap
yang baik. Kedua, yang berkaitan dengan rasionalitas :
dalam memilih tindakan kita tetap menggunakan pertim-
bangan. Kita bertanggungjawab atas akibat-akibat tin-
dakan yang kita lakukan. Kita mempertimbangkan akibat
yang paling sesuai dengan kepentingan, hak dan harapan
sebanyak mungkin orang. Pada umumnya tidak hedonis
dan tidak egois – arahnya tidak hanya pada si pelaku
tindakan juga kepada orang lain.
5. Teori Deontologi
Berasal dari kata “deon” artinya apa yang harus
dilakukan, kewajiban. Tokohnya Immanuel Kant (1724-
1808) mengajarkan bahwa yang bisa disebut baik dalam
arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik.
Kehendak menjadi baik, bila manusia bertindak karena
kewajibannya.
Kant membedakan imperatif kategoris(mewajibkan
begitu saja) dan imperatif hipotetis (mewajibkan dengan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 105
Pertanyaan Reflektif:
1. Benarkah manusia hidup hanya mementingkan aspek
kenikmatan jasmaniah saja? Bagaimana tanggapan
anda tentang hedonisme? Anda setuju atau tidak?
Berikan argumentasi anda. Berikan pula contoh kon-
kret pelaksanaan hedonisme di kalangan masyarakat
saat ini.
2. Jelaskan pandangan anda tentang teori eudaimonis-
me menurut Aristoteles,anda setuju atau tidak, beri-
kan pula alasannya. Berikan contoh konkrit dalam
kehidupan nyata saat ini.
3. Bagaimana tanggapan anda tentang teori etika
utilitarianisme? Anda setuju atau tidak, berikan argu-
mentasinya. Berikan pula contoh konkrit utiliaris-
me dalam kehidupan nyata saat ini
Bahan Bacaan:
Bertens, Kiss
1993 Etika. Jakarta: Gramedia.
Magnis Suseno, Frans.
1987 Etika Dasar. Yogjakarta; Kanisius.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 109
BAB VII
KEUTAMAAN MORAL
• Catatan Penting:
1) Orang dapat bersikap jujur terhadap orang lain,
kalau dia dapat jujur pada dirinya sendiri. Berani tidak
membohongi diri, berani melihat diri apa adanya. Tidak
perlu minder dengan konpensasi macam-macam.
Keontentikan diri penting. 2) Orang yang tidak jujur
senantiasa ada dalam pelarian; ia lari dari orang lain yang
diketahuinya sebagai ancaman dan dari diri sendiri
karena tidak berani menghadapi kenyataan diri yang
sebenarnya. Orang yang tidak jujur sulit menerima diri
dan tidak berani melihat diri sendiri.
• Kemandirian Moral
Kemandirian moral, berarti kita tidak pernah ikut-
ikutan saja dengan perbagai pandangan moral di
lingkungan kita, tetapi membentuk penilaian dan
pendirian sendiri, lalu bertindak sesuai dengannya.
Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk meng-
ambil sikap moral sendiri dan bertindak sesuai dengan-
112 Urgensi Pendidikan Moral
• Keberanian Moral
Keberanian moral, menunjukkan diri dalam tekad
untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini
sebagai kewajiban, juga kalau tidak disetujui atau dilawan
oleh lingkungan. Keberanian moral adalah kesetiaan
terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam ke-
sediaan untuk mengambil resiko konflik (tidak sama
dengan bentrok fisik). Ia berpihak pada orang yang lebih
lemah melawan yang kuat yang tidak adil. Berani secara
moral tidak akan kompromi dalam hal kebenaran dan
keadilan. Setiap kali orang berani mempertahankan
sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat, berani dalam
hatinya, dan semakin dapat mengatasi rasa takut dan
malu yang sering mencekamnya.
• Kerendahan Hati
Kerendahan hati, kata itu sering kita bayangkan
dengan sikap kerdil, tak mau debat, mengalah, tidak mau
membela pendirian, merendahkan diri, dsb. Sikap-sikap
itu sebenarnya tak ada sangkut pautnya dengan keren-
dahan hati. Kerendahan hati berarti melihat diri apa
adanya. Kerendahan hati (bukan berarti merendahkan
diri) adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai de-
ngan kenyataannya. Orang rendah hati tidak hanya
melihat diri kelemahannya, tetapi juga kekuatannya.
Maka, ia menerima diri dan tahu diri dalam arti yang
sebenarnya. Dalam kaitannya dengan moral berarti
mampu memberikan penilaian moral terbatas, dan juga
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 113
• Nilai-Nilai Otentik
Kita seharusnya otentik, artinya menjadi diri sendiri,
bukan jiplakan, bukan tiruan, orang-orangan yang hanya
membeo saja, yang tidak punya sikap dan pendirian sen-
diri karena ia dalam segala-segalanya mengikuti mode/
pendapat umum dan arah angin. Otentik berarti asli.
Manusia otentik: manusia yang menghayati dan menun-
jukkan diri sendiri dengan keasliannya, dengan pribadi
yang sebenarnya. Sedangkan manusia yang tidak otentik
adalah yang hanya tiruan/jiplakan. Ketidak otentikan
seseorang biasanya diakibatkan oleh rasa takut tak dia-
kui kelompok, hanya ikut mode tanpa kreativitas sendiri.
Ini berlaku juga dibidang religius (masuk biara), bidang
estetik, dan lain-lain. Menjadi otentik berarti berani
muncul engan diri sendiri, bukan perkiraan kita
terhadap harapan orang.
114 Urgensi Pendidikan Moral
2. Egoisme Psikologis
Paham yang menyatakan bahwa manusia itu dari
dirinya sendiri terdorong untuk melakukan sesuatu yang
menguntungkan dirinya sendiri. Argumentasi paham
egoisme psikologis dalam menolak kemungkinan adanya
sikap altruis yang sungguh-sungguh adalah sbb: Manusia
dalam tindakannya, sekalipun tindakan itu baik dan
membawa untung bagi orang lain, tidak mungkin dia
didasari oleh pengorbanan. Semua itu dijalankan hanya
untuk kepentingan diri sendiri saja. Sikap altruis (sikap
yang memperhatikan kepentingan orang lain) adalah
tidak mungkin.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 115
Contoh:
a) Seorang ibu yang menunggu anaknya semalam
suntuk, pantas diragukan bahwa itu didasari sikap
perhatian dan kasih sayang sejati itu hanya untuk
cari kepuasan diri.
b) Seorang pemadam kebakaran masuk dalam ruang
yang terbakar.
c) Seorang yang menyelam untuk menolong seorang
anak kecil yang tenggelam.
3. Egoisme Etis
Pendapat pokok paham egoisme etis adalah apa yang
wajib dilakukan orang, itulah yang dapat mengembang-
kan orang itu sendiri. Semua yang dilakukan selalu dicari
mana yang paling menguntungkan bagi diri sendiri.
Tokoh yang menganut ini adalah Hobbes. Pendapatnya,
yang utama adalah mengembangkan diri sendiri. Ke-
lihatannya semua itu dilakukan demi orang lain, namun
sebenarnya hanya demi diri sendiri. Kaitannya dengan
egoisme psikologis: bila egoisme psikologis benar, maka...
Setiap orang akan menimbang kepentingan bersama, jika
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 117
• Tanggapan kritis
Sosialitas manusia (sebagaimana ditolak oleh egois-
me etis) bukan sesuatu yang aksidental saja, namun se-
cara esensial merupakan bagian dari hidup manusia itu
sendiri. Adaku selalu bersama dengan adanya orang lain.
Mengembangkan prinsip keluar tidak berarti mengabai-
kan perkembangan diri. Namun mengembangkan prinsip
keluar dari diri juga semakin mengembangkan diri
sendiri.
• Kritik:
Pandangan ini sifatnya reduksionistis, sebab mau
mereduksikan keberlakuan moral sebagai realisasi
kehidupan sosial yang ada. Hanya kebutuhan sosial saja
dijadikan penentu keberlakuan moral, pada hal ada
kebutuhan lain.
Pandangan ini tidak cukup; sebab orang masih bisa
bertanya terhadap apa yang dianggap baik oleh masya-
rakat, “mengapa ini baik?” – dengan kata lain orang masih
bisa bersikap kritis (cat: kalau ini benar maka kita akan
setuju dengan praktek A. partheid di Afrika Selatan).
• Pandangan immanentist
Keberlakuan norma moral ditentukan oleh manusia
sendiri, berdasarkan kesadaran moral imanent (yang ada
dalam dirinya). Apabila manusia mengikuti penentuan
akal budinya, maka manusia akan menyadari norma-
norma yang mengikat dirinya untuk bertindak. Sehingga
keberlaukan moral terbatas dalam dirinya (akal budi) di
dunia ini. Tak ada dasar yang lebih dalam dari kehendak
rasio manusia. Manusia akhirnya menjadi otoritas
terakhir (tolok ukur) — Homo memura
• Segi positifnya.
Kenyataan bahwa yang baik adalah yang disadari
oleh pemahaman akal budi kita. Itu benar. Apa yang baik
itu bukan sesuatu yang langsung jelas dengan sendirinya
dari luar diri kita, melainkan ditentukan oleh akal budi
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 119
• Kritik
Kendati menunjuk satu aspek yang terdalam (yaitu
akal budi) dari penentuan dasar aspek moral, tapi masih
bisa dipertanyakan; “dari mana bisa bahwa akal budi
menjadi penentu mutlak keberlakuan moral, padahal
akal budi itu kontingen atau tidak mutlak?” pandangan
ini masih mengandaikan adanya suatu penentu yang
mengatasi akal budi.
• Pandangan transendentalist
Dasar moral yang paling dalam adalah Tuhan.
KehendakNya menjadi norma yang secara kodrat
mengikat manusia.
Kehendak Tuhan menjadi sesuatu norma yang
mutlak mengikat manusia. Di sini manusia sungguh
dilihat sebagai pribadi, karena menjadi citra Allah
sendiri. Meskipun akal budi penting, namun ada sesuatu
yang terbuka yaitu terhadap yang transenden.
Kodrat manusia (terluka) membuka diri bagi
kenyataan yang mengatasi dirinya.
• Prinsip Keadilan
Prinsip sikap baik belumlah cukup, perlu juga mem-
pertimbangkan prinsip keadilan dan hormat terhadap
hak milik orang lain. Contoh: mencuri susu di swalayan
untuk memberi seorang ibu gelandangan yang terlantar.
Itu tidak benar karena melanggar hak orang lain.
Prinsip keadilan menjadi syarat operasionalitas
prinsip sikap baik supaya dapat dilaksanakan secara
benar. Adil berarti memberikan kepada siapa saja apa
yang menjadi haknya. Dalam usaha mencapai keadilan
perlu diperhatikan kebutuhan dan kemampuan se-
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 121
Bahan Bacaan:
Piet Go, O.Carm.,dkk.
2004 Etos dan Moralitas Politik. Yogyakarta:
Kanisius.
James Rachels
2004 Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
William Chang, Dr. OFM.Cap.
2002 Menggali Butir Butir Keutamaan. Yogyakarta:
Kanisius.
———————
2001 Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Franz Magnis-Suseno.
1987 Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisius.
124 Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 125
BAB VIII
1. Data Fisiologis
Secara faali dalam tubuh manusia terdapat be-
berapa sistem alat tubuh, dan di antaranya adalah sis-
tem seks, yang terdiri dari beberapa komponen: 1) Sistem
genetik atau kromoson, yaitu sistem yang berhubungan
dengan tata susunan kromosom yang menentukan jenis
kelamin, misalnya : XX = wanita dan XY = pria. 2) Sistem
gonad, yaitu sistem yang behubungan dengan type gonad
yang de fakto terjadi yaitu ovarium dan testes. 3) Sistem
fenotipik, yaitu sistem yang berkenaan dengan perkem-
bangan selanjutnya, baik secara intern maupun ekstern
berupa vagina dan penis dan scrotum. Dalam perkem-
bangan normal selanjutnya sistem fenotipik inilah yang
dengan jelas memberikan petunjuk keluar mengenai jenis
seks yaitu wanita dan pria.
Maka perkembangan yang normal terjadi sbb :
dengan terjadinya fekundasi terbentuklah seks genetik
atau seks kromoson, yang jenisnya mulai ditentukan
dengan adanya kromoson Y, yang menentukan terjadinya
seks gonad akan berupa ovarium bila tidak terdapat
kromoson Y atau testes bila terdapat kromoson Y. Ova-
rium atau testes memproduksi hormon yang akan me-
nentukan perkembangan seks fenotipik baik intern
maupun ekstern, sehingga terciptalah organ seksual yang
nampak, yaitu vagina atau penis dan scrotum. Begitu
lahir biasanya sudah dapat dengan mudah ditentukan
dan selanjutnya orang tua memberikan nama dan pakaian
yang sesuai dengan jenis kelamin yang nampak dari luar
tersebut. Setelah berkembang menjadi individu ia sendiri
mengindentifikasi diri seperti ibu dan ayah.
Kemungkinan terjadinya kelainan dalam perkem-
bangan disebabkan beberapa hal, misalnya: Enviroental
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 127
2. Data Biologis
• Lambatnya mencapai kemasakan seksual
Bila dibandingkan dengan binatang-binatang lain,
manusia termasuk yang paling lambat dalam mencapai
kemasakan seksual. sehingga memiliki “masa kanak-
kanak” relatif cukup panjang. Maka kemungkinan ter-
jadinya gangguan yang menyebabkan adanya kelainan
cukup banyak juga kalau masa kanak-kankan tersebut
tidak terisi dengan baik demi perkembangan hidup sek-
sual yang normal. Hal ini akan semakin jelas dalam
pembahasan dimensi psikologis.
3. Data Psikologis
Pada bagian ini banyak dimanfaatkan hasil studi
Freud, terutama mengenai hal-hal yang berhubungan de-
ngan masa kanak-kanak, yang akan mempunyai penga-
ruh dalam kehidupan seksual selanjutnya. Menurut
Freud: Libido menjadi pendorong, pengarah, sumber ke-
kuatan hidup. Libido mendorong individu mengejar yang
nikmat dan menghindari yang tidak nikmat. Libido
mendorong individu terus berkembang menuju kede-
wasaan hetero-seksual.
Lingkungan, terutama dari orang tua sendiri, besar
pengaruhnya terhadap proses perkembangan. Ling-
130 Urgensi Pendidikan Moral
4. Data Antropologis
Yang dimaksud dengan data anthropologis adalah
sikap manusia sebagai manusia terhadap seksualitas.
Masalah seksualitas adalah sangat pribadi, sehingga
tidak berlebihan dikatakan bahwa setiap orang dapat
mempunyai sikap pribadi yang berbeda-beda. Namun
demikian secara garis besar sikap pribadi yang berbeda-
beda tersebut dapat dikelompokkan kedalam dua go-
longan yaitu (1) sikap yang lebih tertutup dan menilai
seks cenderung negatif, (2) sikap lebih terbuka dan me-
nilai seks cenderung positif.
• Sikap tabu
Tabu adalah penilaian irrasional mengenai dosa.
Berbicara seks adalah tabu artinya menjadi pantangan,
larangan yang tak boleh disentuh dan dibicarakan. Maka
sikap gegabah dan irrasional apabila berpendapat bahwa
dosa paling utama adalah dosa yang berhubungan dengan
seks. Memang ada dosa berhubungan dengan seks, ya
bahkan dosa berat, tetapi jelas kurang tepat berpendapat
bahwa hukum yang terpenting adalah yang menyangkut
seks sehingga disimpulkan bahwa dosa berhubungan
dengan seks selalu “ex genere suo grave” sedangkan dosa
yang langsung melawan cinta kasih dan keadilan
dipandang enteng.
• Sikap farisiis
Bila diajak bicara serius terbuka menolak dengan
alasan tidak pantas membicarakan masalah seks, tetapi
dalam pembicaraan secara tersembunyi, tidak resmi dan
porno dengan senang hati ambil bagian. Sikap parisiis
juga terdapat dalam diri orang yang secara sembunyi-
sembunyi melanggar aturan sendiri. Farisiis adalah sikap
“sok suci”.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 135
Sikap panseksualis
Panseksualis merupakan bentuk lain obsesi seksual
yang mau menerangkan semua nilai pribadi dari seks.
Sifatnya bukan komersial seperti pornografi melainkan
136 Urgensi Pendidikan Moral
• Sikap higienis
Sikap menilai seks melulu dari segi kesehatan. Maka
penilaian didasarkan hanya atas fenomin biologis, belum
memperhitungkan fenomin manusiawi, apalagi fenomin
religius. Gejala semacam iti nampak dalam propaganda
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 137
• Sikap human-sosial
Seksualitas merupakan unsur konstitutif untuk men-
ciptakan hubungan cintakasih antar manusia. Manusia
hanya mungkin memperkembangkan diri dalam masya-
rakat yang bernafaskan cintakasih. Sikap human-sosial
menggejala dengan adanya usaha menciptakan masyara-
kat di mana masing-masing anggota saling mengenal
secara pribadi, sehingga memungkinkan adanya dialog
untuk menciptakan suasana hidup bersama di mana
masing-masing anggota saling mendukung, saling men-
cinta secara manusiawi sepenuhnya.
• Sikap religius
Sikap religius merupakan perkembangan sikap hu-
mansosial. Perkembangan tersebut didasarkan atas kesa-
daran bahwa usaha untuk menciptakan masyarakat cinta
kasih itu suatu ketika akan kandas apabila tidak diba-
138 Urgensi Pendidikan Moral
• Seks bebas
Seks itu adalah anugerah Allah yang bersifat suci,
indah dan sungguh amat baik untuk kemanusiaan. Seks
menjadi buruk, jorok, memperbudak dan menghancurkan
hidup manusia kalau disalahgunakan. Karena itu dalam
semua tradiri masyarakat seks dihormati dan dilindungi
oleh perkawinan. Menghormati seks berarti menghormati
martabatnya sendiri. Menghormati martabatnya sendiri
berarti menghormati sesama dan menghormati Allah.
Seks bebas adalah hubungan atau tindakan seksual
di luar perkawinan. Di depan telah diuraikan bahwa
hubungan seksual menjadi ungkapan cinta kasih sejati
dan penuh kalau keduanya “saling berjanji” setia seumur
hidup dan dilindungi oleh perkawinan yang sah. Dalam
perkawinan hubungan seks menjadi ungkapan cinta
kasih yang khas dan eksklusif. Maka cinta dalam per-
kawinan memiliki beberapa kualitas moral, yaitu ke-
sehatan, kejujuran, totalitas dan kesetiaan seumur hidup.
Dengan demikian seks bebas secara moral bernilai buruk,
karena seks bebas dapat dipandang sebagai penyalah-
gunaan seks, perendahan martabat manusia dan tidak
menjamin kualitas moral. Dalam seks bebas tidak ada
penalaran akal budi yang sehat, tidak menunjukkan cinta
sejati, mengabaikan nilai kesehatan, dan lebih mengung-
gulkan kepentingan-kepentingan pribadi, maka harus
dihindari dan ditolak.
144 Urgensi Pendidikan Moral
Pertanyaan Reflektif:
1. Jelaskan hubungan dan perbedaan antara seks dan
seksualitas.
2. Sebutkan nilai-nilai seks yang seharusnya dihormati
dan dikembangkan untuk pembangunan masyarakat
yang lebih adil dan manusiawi.
3. Sebutkan beberapa perilaku seksual yang dianggap
menyimpang dari nilai-nilai seks. Jelaskan mengapa
menyimpang?
4. Dalam perkawinan hubungan seks menjadi ungkapan
cinta kasih yang khas dan eksklusif. Jelaskan apa
maksudnya?
5. Jelaskan, apakah seks itu bersifat sosial?
6. Berilah tanggapan kritis, bagaimana penilaian moral
terhadap masalah-masalah moral berikut:
a. Masturbasi/ Onani
b. Homofilia dan Homoseksual
c. Seks bebas
d. Operasi ganti kelamin
146 Urgensi Pendidikan Moral
Bahan Bacaan:
BAB IX
MORAL PERKAWINAN
• Monogami
Perkawinan monogami adalah perkawinan antara
satu suami dan satu istri. Perkawinan macam ini bersifat
utuh, total dan tak terbagi, maka dapat menjamin ke-
sehatan, kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Dalam
perkawinan monogami suami-istri memiliki ruang dan
kemampuan untuk memberikan diri mereka secara total
dan sempurna sebagai suami-istri dan sebagai ayah-ibu
bagi anak-anak mereka. Dalam perkawinan monogami
martabat dan tanggung jawab suami-istri tampak sama
saja, tidak ada yang merendahkan atau direndahkan.
Perkawinan poligami menunjukkan relasi yang tidak
adil dan tidak manusiawi. Cinta dalam perkawinan
poligami tidak utuh, tidak total dan terbagi, maka suami-
istri tidak memiliki ruang dan kemampuan untuk
memberikan diri mereka secara total pada pasangannya
dan anak-anak mereka. Perkawinan poligami secara
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 151
• Tak Terceraikan
Perceraian menunjukkan bahwa suami-istri gagal
mengembangkan cinta sejati. Ini terjadi karena suami-
istri sibuk dengan kepentingan-kepentingan pribadi.
Cinta mereka bersifat egosentris. Akibatnya cinta kasih
mereka menjadi lemah, karena kurang mendapat per-
hatian. Secara moral perceraian dinilai buruk dan layak
ditolak oleh mereka yang menjunjung tinggi kesucian
perkawinan dan kesetiaan suami-istri. Tetapi kalau da-
lam perkawinan itu terjadi kekerasan yang melanggar
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, mengancam
ketenangan dan keselamatan suami atau istri, perceraian
tidak bisa dinilai buruk, maka layak diterima.
Cinta seperti tanaman bunga yang membutuhkan
perhatian dan kelembutan, maka harus dikembangkan
dan tumbuh menjadi kuat melalui perjalanan kehidupan
perkawinan mereka. Cinta itu suatu pemberian, bukan
permintaan, maka harus dinamis, kreatif, proaktif, kon-
tekstual dan tahan uji. Setiap hari cinta harus membuat
suami-istri menjadi sepasang pribadi, menjadi dirinya
sendiri dan semakin diperkaya oleh partnernya. Saling
marah, gerakan tutup mulut (neng-nengan), sikap acuh
tak acuh adalah lonceng kematian bagi cinta.
Supaya perkawinan dapat bertahan dan bersifat
kekal, suami-istri harus saling berkomunikasi. Ada empat
152 Urgensi Pendidikan Moral
• Subur
Perkawinan bersifat subur, artinya hubungan seksual
suami-istri bersifat prokreatif, yaitu memunculkan suatu
kehidupan baru atau anak. Hubungan seksual adalah
tindakan dan ungkapan cinta yang khas antara suami-
istri. Tindakan ini harus dipandang luhur dan terhormat.
Anak adalah buah-buah cinta suami-istri, maka harus
diterima dengan penuh keterbukaan dan kasih sayang
yang tulus. Mereka tidak bisa menolak anak dari hasil
hubungan seksual mereka. Mereka yang telah melakukan
hubungan seksual tetapi menolak kehadiran anak, secara
moral dinilai buruk, karena melanggar martabat per-
kawinan. Namun demikian nilai kesuburan perkawinan
tidak terbatas pada keturunan, tetapi harus diperluas
dan diperkaya dengan buah-buah cinta yang lainnya.
• Heteroseksual
Hubungan seks adalah ungkapan cinta sejati yang
khas dan penuh antara suami-istri. Setiap orang baik
laki-laki atau perempuan harus menjaga kesehatan dan
menjaga dorongan seksualnya, sebab seks tidak hanya
untuk kenikmatan. Salah satu fungsi hubungan seksual
adalah reproduksi. Hubungan seks akan memiliki
kualitas moral dan bernilai baik, adil dan manusiawi
kalau dilakukan antara laki-laki dan perempuan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 153
1. Peranan Keluarga
Perkawinan memberi hak dan kewajiban tertentu
kepada suami-istri. Dalam hal ini Paus Paulus Yohanes
II merumuskan peranan keluarga sebagai berikut: (Bdk.
Familiaris Consortio art. 18 – 54)
• Melayani kehidupan
Untuk berkembang dengan baik anak-anak mem-
butuhkan pelayanan dan pendidikan. Orang tua diharap-
kan mau dan mampu melayani dan mendidik anak-anak.
Peran orang tua bersifat khas dan tak tergantikan oleh
siapapun. Orang Tua adalah guru yang otentik, pertama
dan utama. Guru yang baik bukan yang banyak bicara,
melainkan yang banyak memberi “teladan” dalam hidup
baik. Semangat berbagi suka dan duka yang dikem-
bangkan dalam keluarga adalah pedagogi yang paling
konkrit dan efektif. Singkatnya keluarga harus dihayati
sebagai sekolah kemanusiaan. Prinsip dasar pendidikan
orang tua adalah cinta. Kebenaran, keadilan dan ke-
manusiaan adalah wujud cinta yang konkret.
154 Urgensi Pendidikan Moral
• Pertanyaan Reflektif
1. Apa yang dimaksud dengan “perkawinan adalah
persekutuan hidup dan cinta?”
2. Apakah perkawinan itu bersifat pribadi dan sosial?
Jelaskan!
3. Apakah perkawinan itu bersifat eksklusif? Jelaskan.
4. Apakah agama dapat menjamin kebahagiaan dan
kesejahteraan keluarga? Mengapa?
5. Sebutkan nilai-nilai perkawinan yang seharusnya
dihormati dan dikembangkan untuk membangun
masyarakat yang adil dan manusiawi.
6. Apakah perkawinan itu merupakan lembaga agama?
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 155
Jelaskan.
7. Apakah perkawinan itu bersifat kodrat? Jelaskan
8. Bagaimana perkawinan yang “baik” menurut anda?
Jelaskan!
9. Kiranya apa yang akan menjadi penghalang dalam
membangun keluarga yang baik itu. Jelaskan!
Bahan Bacaan:
Gilarso, T;
1996 Membangun Keluarga Kristiani, Yogyakarta:
Kanisius.
John Paul II,
1981 Familiaris Consortio: Apostolic Exhortation, 22
Nov. Vatican, Polyglot Press,.
Purwa hadiwardaya, Al,
1990 Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius.
Konsili Vatikan II,
1993 Gaudium et Spes, Dokpen KWI, Jakarta: Obor.
156 Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 157
BAB X
2. Sistem Ekonomi
Ada beberapa sistem ekonomi, yaitu sistem ekonomi
pasar bebas (kapitalis), sistem ekonomi komando (kolek-
tif) dan sistem ekonomi campuran dari kedua sistem ter-
sebut. (Bdk. Purwa Hadiwardoyo, 1990: 80-84) Secara
moral sistem ekonomi kapitalis dapat dinilai buruk,
karena sistem ini mengunggulkan kebebasan individu
yang menimbulkan ketidakadilan sosial dan kesenjangan
antara mereka yang miskin dan kaya semakin lebar. Da-
lam sistem ini nilai kebersamaan sebagai makhluk sosial
diabaikan, tidak dihargai.
Dalam sistem ekonomi kolektif nilai kebersamaan
dijunjung tinggi, tetapi nilai kebebasan individu tidak
mendapat ruang dan diabaikan. Milik pribadi menjadi
milik bersama. Pasar tidak bebas. Penggunaan harta
miliki diatur oleh komando atau pemimpin pemerin-
tahan. Akibatnya masyarakat menjadi malas dan tidak
memiliki etos kerja, karena bekerja atau tidak bekerja
dapat imbalan sama. Secara moral sistem ekonomi
macam ini bernilai buruk karena tidak menghargai nilai
kebebasan pribadi.
Sistem ekonomi yang secara moral dinilai baik adalah
sistem ekonomi campuran dari kedua sistem ekonomi
diatas. Dengan sistem ekonomi campuran nilai pribadi
dan sosial manusia sebagai makhluk bermartabat
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 159
3. Prinsip-prinsip Ekonomi
Supaya kehidupan ekonomi sehat dan dapat
mengembangkan kehidupan manusia seutuhnya, maka
perlu memperhatikan prinsip-prinsip dasar berikut ini,
yaitu: (bdk. GS 67 – 72)
• Kerja
Kerja bersumber pada manusia, maka kerja menjadi
unsur terpenting dalam kehidupan ekonomi. Kerja untuk
manusia bukan manusia untuk pekerjaan. Kerja memiliki
nilai pribadi, sosial dan keagamaan. Pekerjaan menjadi
alat dan sarana untuk mewujudkan kemanusiaannya.
Dasar untuk menilai pekerjaan bukan terutama pada
hasil pekerjaan dan jenis pekerjaan yang sedang dilaku-
kan manusia, tetapi bahwa yang melakukan pekerjaan
itu adalah manusia. Setiap pekerja harus diberi upah
layak dan kesempatan untuk tetap bebas, kreatif dan
bertanggung jawab dalam pekerjaannya. Jika ketiga
unsur ini tidak ada, maka secara moral dinilai buruk,
karena pekerja diperlakukan sebagai alat pekerjaan dan
martabatnya direndahkan. Nilai sosial dari pekerjaan
adalah bahwa dengan bekerja manusia saling beker-
jasama untuk memenuhi kebutuhan bersama dan men-
ciptakan kesejahteraan umum. Sedang nilai agama dari
pekerjaan adalah bahwa dengan bekerja manusia ikut
terlibat dalam pekerjaan Allah. Dengan bekerja manusia
160 Urgensi Pendidikan Moral
• Partisipasi
Kehidupan ekonomi menjadi tanggungjawab ber-
sama. Maka perlu dikembangkan peran serta aktif dari
semua anggota masyarakat dalam kebijakan-kebijakan
ekonomi. Hak-hak dasar kaum buruh perlu disebutkan,
agar mereka dapat membentuk serikat-serikat buruh
yang dapat mewakili mereka dan ikut membantu dalam
mengatur kehidupan ekonomi. Dengan demikian mereka
merasa dilibatkan dalam tatanan sosial ekonomi dan
ketika terjadi konflik sosial ekonomi dengan mudah
dapat diselesaikan secara damai,
• Pemerataan kekayaan
Beriman atau tidak kita percaya bahwa dunia dengan
segala isinya ini oleh Allah disediakan untuk
keselamatan semua manusia, bukan hanya untuk
segelintir orang saja. Oleh karena itu pemerintah dan
pemilik modal perlu menciptakan lapangan pekerjaan
dan memberikan upah yang mencukupi hidup para
pekerja sehingga mereka bisa hidup layak sebagai
manusia.
• Harta milik
Sebagai makhluk pribadi dan sosial, harta milik
manusia sekaligus bernilai pribadi dan sosial. Ini tidak
hanya menyangkut harta milik yang bersifat jasmani,
tetapi juga yang bersifat rohani, misalnya kemampuan
intelektual, profesional, iman, dsb. Jika sifat sosial
diabaikan maka harta milik manusia dapat menimbulkan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 161
Pertanyaan Reflektif
1. Berilah tanggapan kritis terhadap masalah?
a. Kemiskinan
b. Pengangguran
c. Ketidakadilan sosial
d. Korupsi
2. Bagaimana caranya menciptakan tatanan sosial
ekonomi yang baik secara moral
3. Kerja memiliki nilai pribadi, sosial dan keagamaan.
Sebutkan dan jelaskan.
4. Saat ini kesenjangan kelompok kaya dan miskin
semakin lebar. Jelaskan apa sebabnya.
5. Berilah tanggapan kritis terhadap kehidupan sosial
eknomi di tanah air Indonesia saat ini. Jelaskan.
162 Urgensi Pendidikan Moral
Bahan Bacaan:
Eduard R. Dopo,
1992 Keprihatinan Sosial Gereja, Yogyakarta:
Kanisius.
Purwa hadiwardaya, Al,
1990 Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius.
Konsili Vatikan II,
1993 Gaudium et Spes, Jakarta:? Obor, 1993.
BAB XI
MORAL HIDUP
• Iman Kepercayaan
Pertimbangan rasional adanya kewajiban untuk
menghormati hidup manusia tersebut semakin diperkuat
oleh pertimbangan iman, khususnya iman kristiani.
Manusia diciptakan oleh Allah menurut gambar dan rupa
Allah sendiri. Sebagai puncak ciptaan Allah dan sebagai
gambar Allah manusia mendapat tugas perutusan untuk
memperkembangkan adanya dengan mengolah alam
semesta.
Meskipun karena bujukan setan manusia berbuat
dosa dan karena dengki setan maut memasuki dunia,
tetapi Allah tetap menyayangi kehidupan yang ada,
khususnya hidup manusia yang diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah, dan melarang membunuh sesama
manusia, bahkan mengajak untuk saling menga-sihi.
Manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa
Allah tersebut, kendati rusak karena dosa, diangkat
menjadi “anak Allah, dipanggil ikut ambil bagian dalam
kehidupan Allah”. Makna panggilan pribadi untuk hidup
dalam persekutuan dengan Allah itu mengatasi segala
nilai duniawi, martabat manusia juga transenden sifatnya
atau mengatasi segala nilai duniawi, tidak ter-gantung
dari suku bangsa, jenis kelamin, umur, bakat, keturunan,
kedudukan ataupun kualitas apapun. Dengan demikian
168 Urgensi Pendidikan Moral
5. Pengguguran Kandungan
Persoalan mengenai pengguguran kandungan
merupakan persoalan yang terdapat dalam sepanjang
sejarah manusia. Pada akhir-akhir ini, di mana kemajuan
dalam bidang IPTEK berkembang dengan pesat,
persoalan mengenai pengguguran juga meningkat dengan
hebat. Di mana-mana pengguguran menjadi bahan
pembicaraan, baik secara resmi dan serius maupun
secara demonstratif dan emosional.
Meningkatnya jumlah pengguguran kandungan
bukan hanya disebabkan karena secara teknis cara
mengadakan pengguguran semakin disempurnakan,
sehingga resiko semakin dikurangi dan hasil baik semakin
terjamin, melainkan kemajuan dalam bidang IPTEK
khususnya dalam bidang BIOTEK, dapat dikatakan
menyadi penyebab meningkatnya jumlah pengguguran
kandungan. Berkat kemajuan IPTEK yang semakin
mengagumkan manusia semakin menyadari peranan dan
kemampuan dirinya untuk memperkembangkan dan
mengusai alam semesta.
Manusia tidak mau lagi ditentukan oleh kodrat, se-
baliknya mau menguasai dan mengatur kodrat. Semangat
dan sikap hidup yang demikian itu juga nampak jelas
gejalanya dalam masalah kehidupan pada umumnya dan
pengguguran khususnya. Manusia mau sepenuhnya
mengusai dan mengatur kehidupan sejak awal proses
terjadinya. Bila kodrat biologik bekerja tidak sesuai
dengan rencana hidup yang ditentukan, misalnya terjadi
kelamin yang tidak diinginkan, manusia akan meng-
gagalkan proses perkembangan tersebut.
176 Urgensi Pendidikan Moral
• Pengertian Abortus
Kata “abortus” berasal dari bahasa Latin yang berarti
keguguran sebelum waktunya; kata kerja “aborior” yaitu
“aku gugur”. Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan
keguguran atau pengguguran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan. Gugurnya atau
pengguguran janin yang belum berbobot 1000 gram atau
usianya kurang dari 28 minggu disebut abortus (P. GO.
Carm, 1984, 279). Lebih lanjut Piet Go memerinci
pengertian abortus baik spontaneous maupun provocatus.
• Indikasi sosial-ekonomi
Pengguguran dilakukan karena adanya pertimbangan
jika kandungan dibiarkan terus berkembang akan me-
nimbulkan banyak kesulitan baik secara sosial, misalnya
wanita yang mengandung berasal dari keluarga ter-
hormat, orang tuanya mempunyai kedudukan dalam
masyarakat dan pria yang menyebabkan kehamilan gadis
tersebut tidak mau bertanggung jawab. Hal ini akan
menjadikan aib bagi keluarga. Secara ekonomi kehamilan
yang tidak dikehendaki tersebut juga menimbulkan per-
soalan atau kesulitan yaitu beaya-beaya yang dibutuhkan
selama ibu mengandung, melahirkan, perumahan, pen-
didikan, dan sebagainya. Melakukan pengguguran de-
ngan pertimbangan tersebut secara moral tidak dapat
dibenarkan, karena hidup merupakan nilai yang sangat
mendasar untuk dikorbankan sebagai sarana mengatasi
keadaan sosial ekonomi. Masalah kesulitan sosial eko-
nomi harus dipecahkan sesuai dengan sarana sosial
ekonomi, bukan dengan membunuh janin yang tidak ber-
dosa dan tak berdaya. Upaya mengatasi aib keluarga da-
pat dilakukan wanita tersebut dengan cara menyingkir
sementara waktu ke tempat famili yang jauh di mana ia
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 181
• Indikasi eugenis
Adanya kekhawatiran bahwa anak yang dikandung
akan lahir cacad baik secara fisik maupun mental. Per-
kembangan teknologi kedokteran dewasa ini dapat men-
deteksi secara dini perkembangan janin. Pertimbangan
dari orang tuanya: daripada hidup di masyarakat menjadi
beban keluarga maupun masyarakat sehingga hidupnya
tidak bahagia, maka lebih baik janin itu digugurkan.
Keberatan moral terhadap tindakan tersebut adalah
bahwa ramalan dokter tidak bisa dipastikan seratus
persen benar. Selain itu fakta menunjukkan bahwa orang
cacad belum tentu tidak bahagia. Orang cacad bahkan
dapat berkarya secara mengagumkan, misalnya ilmuwan
Stephan Hawkin.
Upaya untuk mencegah dan mengatasi kemungkinan
janin lahir cacad dapat dilakukan, misalnya dilakukan
cek up kesehatan secara seksama sebelum hamil. Ini
perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya virus rubella,
toxoplasma, CMV yang dapat menyebabkan janin cacad.
Selain itu, ditingkatkan pelayanan konsultasi genetis dan
diagnostik prenatal agar cacad mental dan fisik bisa
dicegah; juga ditingkatkan keamanan dan pengawasan
produksi dan pemakaian obat-obatan terutama bagi
wanita hamil.
182 Urgensi Pendidikan Moral
• Indikasi Medis
Indikasi medis dibedakan menjadi dua, yakni
indikasi medis yang fatal dan indikasi medis yang tidak
fatal. Indikasi medis fatal adalah segala macam penyakit
yang diderita oleh seorang wanita hamil yang berdampak
timbal balik pada diri dan janinnya, sehingga penyakit
tersebut tidak dapat disembuhkan. Jika penyakit tak
dapat disembuhkan maka baik wanita hamil maupun
janinnya akan mati. Dalam hal ini dokter melakukan
intervensi medis berupa tindakan pengguguran janin.
Indikasi medis fatal berhubungan dengan pasal 15 UU
Kesehatan nomor 23 tahun 1992 dan penjelasannya.
Indikasi medis yang tidak fatal ialah apabila penyakit
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 183
• Inseminasi buatan
Inseminasi buatan adalah usaha untuk mengadakan
pembuahan yang dilakukan bukan melalui hubungan seks
suami–istri secara alamiah melainkan , peranan suami
istri digantikan oleh alat yang dimasukkan ke rahim si
ibu.
• Ectogenesis
Ectogenesis adalah cara pengadaan anak yang se-
penuhnya dilakukan di dalam tabung yang telah dileng-
kapi dengan segala hal yang dibutuhkan oleh si janin.
Dalam teknik ini peranan suami istri hanya sebagai pen-
donor bibit saja, karena pembuahan dan pertumbuhan
embrio sampai menjadi bayi sempurna dilakukan oleh
alat-alat canggih. Masalah moral muncul karena seolah-
olah fungsi ayah dan ibu digantikan alat-alat canggih
tersebut, sehingga bisa disebut sebagai “pabrik manusia”.
Cara ini juga mengesampinkan peranan seorang ibu dalam
mengandung anaknya, padahal selama seorang ibu
mengandung banyak terjadi interaksi antara si ibu dan
janinnya yang amat mempengaruhi perkembangan si
anak.
• Cloning
Cloning adalah cara pengadaan anak hanya meng-
gunakan sel telur yang dirangsang secara terus menerus
lalu dipertemukan dengan sel inti dari orang yang mau
diclon. Saat ini cloning manusia sudah terjadi walaupun
banyak pihak menentang keras cloning manusia.
Cloning manusia secara moral ditentang karena
dengan beberapa alasan antara lain : (1) melecehkan
keluhuran martabat manusia. (2) Cloning manusia
melanggar hak mutlak Allah dalam penciptaan manusia.
(3) Hasil cloning akan identik dengan orang yang
dicloning, padahal Allah menciptakan manusia secara
unik. (4) Cloning tidak melibatkan sperma dan peranan
suami ditiadakan, padahal anak adalah hasil cinta kasih
antara suami –istri.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 189
• Pembatasan Anak
Anak adalah hasil cinta kasih antara suami- istri yang
merupakan anugerah dari Allah, maka suami- istri harus
siap untuk bertanggung jawab merawat anak dengan
sebaik- baiknya. Agar suami-istri bisa mencapai keba-
hagiaan dan kesejahteraan keluarga , maka perlu adanya
persiapan dan perencanaan yang matang. Suami- istri
sadar akan perlunya keseimbangan antara jumlah anak
dan kemampuan dalam mendidik, menghidupi dan
memperhatikan anak-anaknya. Untuk mengupayakan
kesejahteraan dan kebahagiaan tersebut suami- istri
perlu melakukan pembatasan anak.
Setiap pasangan suami- isteri dapat menemukan
pilihannya dalam merencanakan dan mengatur jumlah
anak dan jarak antara kelahiran anak, yang berlandaskan
pada kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap
generasi sekarang maupun generasi mendatang. Dalam
upaya pembatasan anak yang harus diperhatikan per-
tama-tama adalah motivasi atau tujuan harus benar,
kemudian caranya atau metodenya juga harus benar.
Motovasi yang benar hendaknya tidak diwarnai oleh
egoisme atau materialisme, melainkan oleh rasa tang-
gung jawab sosial yang tinggi, misalnya demi kesejah-
teraan anak-anak yang sudah ada, demi pengembangan
cinta kasih di dalam keluarga. Di samping itu caranya
juga harus benar, yaitu yang tidak bertentangan dengan
moral. Cara atau metode yang sangat dianjurkan adalah
yang yang bersifat alamiah yaitu dengan cara pantang
berkala. Apabila tidak bisa pantang berkala karena kon-
disi tubuh yang tidak stabil maka bisa menggunakan
kontrasepsi buatan. Penggunaan kontrasepsi buatan
secara moral bisa diterima sejauh tidak mengandung
190 Urgensi Pendidikan Moral
10.Pencegahan Kehamilan
a. Cara alamiah (KBA)
Pantang dari hubungan seksual secara total:
Dalam jangka waktu tertentu; misalnya selama belum
menghendaki lahirnya anak: tidak mengadakan perse-
tubuhan. Untuk selamanya; misalnya karena alasan
tertentu tidak menghendaki lahirnya anak lagi, lalu tidak
mengadakan persetubuhan sama sekali.
Catatan:
Untuk mengadakan pantang total harus ada
persetujuan dari keduabelah pihak. Aksi sepihak dalam
hal ini tidak dapat dibenarkan dan pasti akan mendatang-
kan masalah bagi keutuhan hubungan suami-istri.
Kiranya pantang total tidak mungkin dilakukan oleh
pasutri yang masih “muda”.
Pantang berkala: hanya mengadakan persetu-
buhan pada saat isteri dalam keadaan tidak subur,
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 191
Catatan:
Dari segi medis cara untuk menentukan saat
subur dan tidak subur semakin disempurnakan dan ham-
pir selalu mendapatkan kepastian. Akan tetapi apa yang
mungkin secara theoritis bagaimanapun mudah dan
sederhanya, belum tentu selalu mungkin dilaksankan
secara praktis oleh setiap orang. Terutama untuk orang-
orang yang tidak berpendidikan cara tersebut terasa
sulit, karena membutuhkan ketelitian dan ketekunan
tertentu.
192 Urgensi Pendidikan Moral
Catatan:
Setiap obat mempunyai kontraindikasi, maka se-
belumnya perlu pemeriksaan teliti, yang biasanya kurang
diperhatikan karena mengejar target.
Semakin aman dan terjamin hasilnya dari segi medis,
pada umumnya juga semakin baik dari segi etis.
Kemampuan orang yang mau mempergunakan perlu
diperhitungkan: kemampuan jasmani (hygiene dan
ekonomi), intelektual (untuk memahami), psikis (untuk
menerima).
Perlu diperhitungkan kemungkinan akibat sam-
pingan yang mungkin timbul dari “alat artifisial” ter-
sebut, baik dari segi medis maupun dari segi mental.
Pada umumnya semakin dekat dengan kodrat biologi
persetubuhan juga semakin kecil akibat sampingan yang
mungkin timbul.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 193
Catatan:
Prinsip umum: setiap operasi untuk menyembuhkan
penyakit orang yang bersangkutan selalu dapat diper-
tanggung-jawabkan secara etis, bahkan mungkin diwajib-
kan, apabila operasi tersebut merupakan satu-satuinya
jalan untuk menyembuhkan, meskipun operasi tersebut
akan menyebabkan orang tersebut menjadi mandul.
Maka sterilisasi yang bertujuan untuk menyembuhkan
suatu penyakit yang sebanding selalu dapat dipertang-
gung-jawabkan.
Penolakan suami-isteri menjadi bapa-ibu, hanya
karena tidak mau bertanggung-jawab, merupakan
pengingkaran terhadap panggilan hidup nyata, maka
merupakan perbuatan jahat. Dari sebab itu sterilisasi
yang diadakan melulu karena tidak mau bertang-
196 Urgensi Pendidikan Moral
Bahan Bacaan
Adi Massana,
2001 Moral Dasar, Reader, USD, Yogyakarta
Bertens, K,
1993 Etika, Gramedia, Jakarta
Gilarso, T, SJ.,
1993, Moral Keluarga (bahan week-end moral), USD,
Yogyakarta
Go Piet, O. carm,
1985 Hidup dan Kesehatan, Widya Sasana Malang
Go Piet, O. carm,
1989 Pengguguran Tinjauan moral Katolik, Hukum
Kanonik dan Hukum Pidana, STFT Widya Sasana,
Malang.
Hadiwardoyo Purwa, AL, MSF.,
1990 Moral dan masalahnya, Kanisius, Yogyakarta
Magnis Suseno, Franz.,
1987 Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta
Magnis Suseno,
1991 Berfilsafat dari konteks, Gramedia, Jakarta.
Purwawidyana, J.Chr, Pr,
1983 Capita Selecta, Ift Kentungan, Yogyakarta
Poedjawiyatna,
1982 Etika Filsafat Tingkah Laku, Rineka, Jakarta
Westlet, Dick,
1992 Morality and it’s beyond, Mystic, Twenty-third
Publication
Teichman Jenny,
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 201
BAB XII
• Peranan Etika
Etika sebagai cabang ilmu pengetahuan merefleksi
diri secara kritis tentang moral dan dasar-dasar moral,
sehingga tidak menuntut individu atau sekelompok
masyarakat bertindak sesuai dengan moralitas begitu
saja, namun etika menuntut manusia bertindak yang
seharusnya sesuai dengan harkat martabat dan eksisten-
sinya (Sri Suprapto, 1992, 15).
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral
secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran melainkan
memeriksa kebiasaan-kebiasaan, norma-norma dan
pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menun-
tut tanggungjawab dan tidak mengharapkan kerancuan.
Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral
begitu saja, melainkan menuntut agar pendapat-pan-
dapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan.
Etika berusaha menjernihkan permasalahan moral
(Frans Magnis Suseno, 1975; 18).
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 209
• Penutup
Etika adalah cabang filsafat yang membicarakan
tingkah laku manusia yang dilakukan dengan sadar
dilihat dari sudut baik buruk. Etika berkaitan erat
dengan masalah-masalah nilai benar dan salah dalam arti
susila dan tindak susila, baik dan tidak baik (Kattsoff,
1986).
Etika sebagai pengetahuan tidak akan berguna tanpa
dilandasi sikap tanggungjawab, sebab etika itu sendiri
suatu perencanaan menyeluruh yang mengkaitkan daya
kekuatan alam dan masyarakat dengan bidang tanggung
jawab manusiawi (Van Peursen, 1976). Tanggungjawab
dalam etika itu tidak sekedar ingin mengetahui apa yang
baik dan apa yang buruk dalam perbuatan, melainkan
juga mempersoalkan bagaimana seharusnya meninggal-
kan yang buruk.
Ketentuan UU No.4 tahun 1982, pembangunan ber-
wawasan lingkungan adalah upaya dasar dalam meng-
gunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana
216 Urgensi Pendidikan Moral
Bahan Bacaan:
Bakker Anton.,
1987 Kosmos dan Oikosm Fak. Filsafat UGM,
Yogyakarta.
Bintarto, R.,
1983 Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Emil Salim.,
1983 Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara,
Jakarta.
Emil Salim.,
1989 Menuju Tinggal Landas Tahun 2000, Kantor
Menteri KLH, Jakarta.
Kaelan,
1989 Peranan Etika Lingkungan Hidup Berdasarkan
Pancasila Dalam Proses Pembangunan Dewasa ini,
Laporan Penelitian, Fakultas Filsafat, Yogyakarta.
Katsoff, Louis O,
1986 Pengantar Filsafat, Alih Bahasa : Soejono
Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.
218 Urgensi Pendidikan Moral
BAB XIII
2. Etika Global
Hans Kung, seorang pemikir dari Jerman yang sangat
berperan aktif dalam Sidang Chicago, berkeyakinan
bahwa dunia yang kita diami, supaya tetap survive,
membutuhkan semacam konsensus berkenaan dengan
nilai-nilai etis dasar di antara umat manusia, baik yang
beragama maupun yang tidak. Dewasa ini, katanya, tak
seorangpun masih bisa memiliki keraguan yang serius
bahwa dunia kita yang sampai sekarang sudah dan masih
dibentuk oleh politik, teknologi, ekonomi, dan peradaban,
juga memerlukan etika yang bersifat global. Sebuah etika-
global.
Apakah etika-global itu? Parlemen Agama-agama
Dunia dalam Deklarasi Chicago menyatukan bahwa yang
dimaksud sebagai etika-global ialah konsensus fun-
damental atas apa yang dimaksud dengan nilai-nilai yang
bersifat mengikat (bersama), norma-norma yang bersifat
wajib dan mendasar, dan sikap-sikap yang bersifat pri-
badi. Apakah kemudian Parlemen memaksudkannya
sebagai sebuah ideologi global? Tidak. Etika-global
bukanlah sebuah ideologi global.
Apakah etika-global kemudian menjadi (semacam)
agama baru? Parlemen menegaskan bahwa etika-global
juga bukan merupakan agama baru, atau sebuah- agama-
yang-disatukan (a single unified religion) yang mengatasi
agama-agama yang sudah dan masih ada. Dan pasti,
etika-global bukanlah suatu bentuk dominasi sebuah
agama atas agama-agama yang lain. Agama-agama di
dunia. ini begitu beraneka ragam. Satu sama lain memiliki
perbedaan persepsi dalam mengartikan apa dan bagai-
222 Urgensi Pendidikan Moral
Bahan Bacaan:
Catatan:
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 235
Catatan:
236 Urgensi Pendidikan Moral
Catatan: