Anda di halaman 1dari 236

Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 1

URGENSI
PENDIDIKAN MORAL
SUATU UPAYA
MEMBANGUN KOMITMEN DIRI
2 Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 3

URGENSI
PENDIDIKAN MORAL
SUATU UPAYA
MEMBANGUN KOMITMEN DIRI

Disusun Oleh:

MD Susilawati, M.Hum.,
Ch. Suryanti, M.Hum.,
Dhanu Koesbyanto. JA

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA


2010
4 Urgensi Pendidikan Moral

URGENSI PENDIDIKAN MORAL,


Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri

© 2010 MD Susilawati, M.Hum., Ch. Suryanti, M.Hum.,


Dhanu Koesbyanto. JA

Penerbit SURYA PERKASA


Jl. Jambon III No. 10 Yogjakarta 55242
Telp. +62-274-552288
Bekerjasama dengan MPK UNIVERSITAS ATMA JAYA
Jl. Babarsari No. 43 Telp. +62-274-487711 Yogjakarta

Cetakan Pertama, Agustus 2009


Cetakan Kedua, Februari 2010

Editor: Dhanu Koesbyanto, JA


Layuot: Bert Tallulembang

Hak Cipta dilindungi undang-undang


All rights reserved
Dilarang memperbanyak isi buku ini sebagian atau se-
luruhnyadalam bentuk dan dengan cara apapun, termasuk
fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penulis.

Dicetak oleh Percetakan PD Selamat, Yogyakarta


Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 5

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................. 5

PENGANTAR ................................................................ 11

BAB: I

PENDAHULUAN ......................................................... 15
1. Penjernihan Istilah.............................................. 15
2. Moral ..................................................................... 17
3. Etika ...................................................................... 18
3. Agama.................................................................... 19
5. Hukum................................................................... 19

BAB: II
KEBEBASAN SEBAGAI DASAR TINDAKAN
MORAL .......................................................................... 23
1. Determinisme ...................................................... 24
2 Kebebasan............................................................. 28
3. Tingkat Kebebasan dan Tanggung jawab ......... 31
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pikiran... 32
5. Faktor-Fator Yang Mempengaruhi kehendak. 33
6. Kebebasan dan Tanggung jawab ........................ 36
7. Hubungan antara Kebebasan
Eksistensial dan Sosial ....................................... 42
6 Urgensi Pendidikan Moral

8. Mempertanggungjawabkan Kebebasan............. 44
9. Otonomi Moral dan Heteronomi
Moral ..................................................................... 47
10.Otonomi Moral dan Tiga Lembaga
Normatif .............................................................. 49

BAB III:

SUARA HATI PEDOMAN DAN TOLOK UKUR


MORAL .......................................................................... 53
1. Arti Suara Hati .................................................... 54
2. Fungsi Suara Hati ............................................... 59
3. Mempertanggungjawabkan
Suara Hati ............................................................ 60
4. Mengembangkan Suara Hati.............................. 61
5. Suara Hati Menyatakan Diri
Berhadapan dengan Tiga Lembaga
Normatif ............................................................... 62
6. Ketekadan Moral ................................................. 63

BAB IV:
NORMA DAN NILAI ................................................... 65
1. Pengertian norma ............................................... 65
2. Pengertian Nilai .................................................. 68
3. Mengenal Etika Nilai Max Scheler.................... 69

BAB V:
TAHAP-TAHAP PENALARAN
MORALMENURUT LAWRANCE KOHLBERG ...... 73
1. Tingkat Pra-Adat (Pra-konvensional) ............... 76
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 7

2. Tingkat Adat (Konvensional) ............................. 77


3. Tingkat Pasca-Adat (Pasca-Konvensional) ...... 78
4. Kritik Pater Magnis Suseno atas
Teori Kohlberg ..................................................... 84

BAB VI:
TEORI-TEORI TENTANG KEBAIKAN .................... 89
1. Teori Hedonisme ................................................. 89
2. Dua macam Hedonisme ...................................... 90
3. Eudaimonisme Aristoteles ................................. 97
4. Teori Utilitarisme ............................................... 100
5. Teori Deontologi .................................................. 104

BAB VII : KEUTAMAAN MORAL ............................. 109


1. Macam-Macam Keutamaan Moral..................... 109
2. Egoisme Psikologis dan ...................................... 114
3. Egoisme Etis......................................................... 116
4. Dasar Moral Yang Paling Dalam ....................... 117
5. Tiga Prinsip Dasar Etika Normatif................... 119

BAB VIII:
SEKS DAN SEKSUALITAS .................................. 125
1. Data Fisiologis...................................................... 126
2. Data Biologis ........................................................ 128
3 Data Psikologis .................................................... 129
4. Data Antropologis................................................ 133
5. Manusia adalah Makhluk Seksual..................... 138
6. Masalah-masalah Moral Seksual ....................... 141
8 Urgensi Pendidikan Moral

BAB IX:
MORAL PERKAWINAN ............................................. 147
1. Perkawinan sebagai Lembaga Sosial ................ 149
2. Perkawinan sebagai Persekutuan
Hidup dan Cinta .................................................. 150
3. Nilai-nilai Dasar Perkawinan ............................ 150
BAB X:
MORAL SOSIAL EKONOMI....................................... 157
1. Ekonomi Mengabdi Manusia.............................. 157
2. Sistem Ekonomi ................................................... 158
3. Prinsip-prinsip Ekonomi .................................... 159
BAB XI:
MORAL HIDUP............................................................. 163
1. Empat Alasan Membahas Moral
Hidup..................................................................... 164
2. Dasar Etik Menghormati Hidup Manusia........ 165
3. Pandangan Tentang Awal Hidup Manusia....... 168
4. Penilaian Moral Mengenai Awal
Hidup Manusia..................................................... 173
5. Pengguguran Kandungan ................................... 175
6. Tinjauan Hukum Kanonik .................................. 179
7. Penilaian Etik Dan
Pemecahannya terhadap Abortus ..................... 180
8. Pengadaan Anak Secara Buatan ....................... 185
9. Prinsip-Prinsip Moral Bayi Tabung .................. 186
10. Pencegahan Kehamilan .................................... 190
11. Tema-tema Sekitar Tahap Akhir Hidup ........ 198
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 9

BAB XII:
PERANAN ETIKA BAGI PEMBANGUNAN YANG
BERWAWASAN LINGKUNGAN
HIDUP ............................................................................ 203
1. Manusia dan Lingkungan Hidup ....................... 205
2. Pembangunan Yang Berkelanjutan................... 209
BAB XIII:
MENUJU ETIKA GLOBAL ........................................ 219
1. Dua Wajah Agama ............................................... 220
2 Etika Global.......................................................... 221
3. Antara Etika dan Agama .................................... 222
4. Garis Besar Deklarasi Etika-Global.................. 224
5. Empat Kewajiban................................................. 227
6. Sebuah Transformasi Kesadaran ...................... 231
10 Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 11

PENGANTAR

P ada era globalisasi ini ditandai oleh perubahan


pesat di berbagai bidang kehidupan dalam ma-
syarakat. Perubahan itu membawa kemajuan maupun ke-
gelisahan pada banyak orang termasuk para mahasiswa.
Proses transformasi tersebut tentu saja menimbulkan
ketegangan dalam masyarakat. Kondisi seperti itu mem-
buat masyarakat mengalami kebingungan. Salah satu hal
yang menggelisahkan adalah masalah moral. Perubahan
pesat di banyak bidang menimbulkan banyak pertanyaan
sekitar moral. Banyak orang merasa tidak mempunyai
pegangan lagi tentang norma kebaikan.
Dalam situasi semacam ini dibutuhkan sikap dan ko-
mitmen yang jelas arahnya. Bagaimana kita harus me-
rumuskan kembali norma-norma tradisional di bidang
moral? Bagaimana hati nurani melihat norma-norma lama
maupun perkembangan-perkembangan baru untuk
menemukan kebenaran yang dapat dipertanggungjawab-
kan dengan baik?
Ciri khas pendidikan di Universitas Atma Jaya Yog-
yakarta adalah mencetak atau menghasilkan sarjana yang
unggul dalam bidangnya dan baik budinya, sehingga
mampu memancarkan cahaya kebenaran di dalam profesi
dan hidupnya sehari-hari dalam masyarakat.
12 Urgensi Pendidikan Moral

Buku ini dimaksudkan untuk membantu mahasiswa


agar mendapatkan informasi yang memadai tentang
moralitas yang seimbang dan berkualitas. Lebih dari itu
buku ini dapat menjadi acuan bagi mahasiswa dalam per-
gulatan hidup sehari-hari, dan akhirnya mampu membuat
komitmen diri dan dalam setiap tindakan yang selalu ber-
hadapan dengan suatu pilihan. Dengan demikian ma-
hasiswa diharapkan secara sadar mampu untuk mem-
berikan penilaian mana yang baik untuk dilakukan dan
yang tidak baik tidak dilakukan. Semua pemikiran dalam
buku ini didasarkan pada asumsi bahwa moralitas itu
merupakan aspek yang paling menentukan kualitas dari
martabat kemanusiaan sekaligus kualitas hidup
seseorang.
Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan
yang berperan membangun lingkungan masyarakat
ilmiah. Di samping terlibat dalam berbagai bidang penge-
tahuan ilmiah, Perguruan tinggi perlu memiliki sikap
ilmiah dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatannya,
sehingga dalam rangka pendidikan perkuliahan yang
merupakan kegiatan pembelajaran pada mahasiswa juga
perlu diselenggarakan dan dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Filsafat ilmu pengetahuan membimbing mahasiswa
untuk merefleksikan kegiatan ilmu pengetahuan yang
dilakukan, sehingga diharapkan mahasiswa tidak hanya
melakukan kegiatan ilmu pengetahuan atas dasar ke-
biasaan-kebiasaan yang sering tidak disadari orientasi-
nya.
Dengan pemikiran yang rasional (kritis, logis, dan
sistematis) diharapkan mahasiswa dapat menemukan
kejelasan pemahaman tentang ilmu pengetahuan serta
arah tujuan kegiatan ilmu pengetahuan yang dilakukan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 13

Sebagai gambaran yang utuh dan menyeluruh


tentang ilmu pengetahuan, kita perlu memahami ilmu
pengetahuan tidak hanya sekadar suatu hasil (produk)
kegiatan yang tinggal diinformasikan, melainkan perlu
dipahami sebagai proses, prosedur, dan produk. Ilmu pe-
ngetahuan merupakan kegiatan kognitif dan rasional
manusia yang berlangsung dalam suatu proses kegiatan
ilmu pengetahuan terutama diketahui sebagai kegiatan
akal budi manusia dengan melakukan pengamatan,
observasi, dan penelitian untuk memeperoleh kebenaran
pengetahuan dan penjelasan tentang lingkungan alam
dan lingkungan kehidupan sosial agar manusia mampu
membuat perhitungan, perkiraan dan mampu secara
teknis mengendalikan, menguasai, serta memanfaatkan-
nya bagi kesejahteraan hidup umat manusia. Semoga
buku ini mampu membawa mahasiswa untuk berpikir
secara kritis, rasional, logis, dan sistematis, sehingga me-
lalui pendidikan tinggi, mahasiswa mampu menjadi ujung
tombak peradaban dalam menghadapi perkembangan
zaman.
14 Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 15

BAB I

PENDAHULUAN

A pa itu moral atau etika? Bidang moral dewasa


ini menjadi subyek yang sedang menjadi pusat
perdebatan dalam filsafat. Pengertian moral atau etika
itu sendiri sering dicampuradukkan. Sebelum masuk ke
masalah etika terapan akan membantu mengawalinya
dengan pembedaan kedua istilah itu.

1. Penjernihan Istilah
Konsep “moral” sering digunakan sinonim dengan
“etika”. “Moral” selalu dikaitkan dengan kewajiban
khusus, dihubungkan dengan norma sebagai cara ber-
tindak yang berupa tuntutan relatif atau mutlak. “Moral”
merupakan wacana normatif dan imperatif dalam ke-
rangka yang baik dan yang buruk, yaitu keseluruhan dari
kewajiban-kewajiban kita. Jadi kata “moral” mengacu
pada baik-buruknya manusia terkait dengan tindakan-
nya, sikapnya dan cara mengung-kapkannya. “Moral”
mencoba menjawab pertanyaan: “Apa yang harus saya
lakukan?”
Konsep “moral” ini mengandung dua makna: 1)
16 Urgensi Pendidikan Moral

keseluruhan aturan dan norma yang berlaku, yang


diterima oleh suatu masyarakat tertentu sebagai arah
atau pegangan dalam bertindak, dan diungkapkan dalam
kerangka yang baik dan yang buruk; 2) disiplin filsafat
yang merefleksikan tentang aturan-aturan tersebut da-
lam rangka mencari pendasaran dan tujuan atau finalitas-
nya. Pengertian yang kedua ini lebih dekat dengan
penggunaan konsep “etika”.
“Etika” biasanya dimengerti sebagai refleksi filosofis
tentang moral. Jadi etika lebih merupakan wacana nor-
matif, tetapi tidak selalu harus imperatif, karena bisa
juga hipotetis, yang membicarakan pertentangan antara
yang baik dan yang buruk, yang dianggap sebagai nilai
relatif. “Etika” ingin menjawab pertanyaan “Bagaimana
hidup yang baik?” Jadi etika lebih dipandang sebagai seni
hidup yang mengarah kepada kebahagian dan memuncak
pada kebijaksanaan.
Pendekatan Paul Ricoeur terhadap penggunaan
istilah “moral” dan “etika” memberi nuansa baru. Dia
mengaitkan kedua istilah tersebut pada dua tradisi
pemikiran filsafat yang berbeda. istilah “moral” dikaitkan
dengan tradisi pemikiran filosofis Emmanuel Kant (segi
pandang deontologis). Moral mengacu pada kewajiban,
norma, prinsip bentindak, suatu imperatif (“kategoris”
= aturan atau norma yang berasal dari akal budi yang
mengacu padi dirinya sendiri sebagai keharusan).
Sedangkan “etika” dikaitkan dengan tradisi pemikiran
filosofis Aristoteles yang lebih bersifat “teleologis”
(dikaitkan dengan finalitas atau tujuan). Maka Paul
Ricoeur mendefinisikan “etika” sebagai tujuan hidup
yang baik bersama dan untuk orang lain di dalam
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 17

institusi yang adil.


Tidak bisa disangkal bahwa moral mempunyai hu-
bungan erat dengan etika, agama dan hukum. Dalam
kehidupan sehari-hari baik di kalangan intelektual,
masyarakat biasa maupun media massa kerancuan itu
sering kita jumpai. Perdebatan mengenai istilah moral
dan etika selalu terjadi sampai saat ini, karena kita sering
menjumpai peristiwa-peristiwa paradoksal bahkan kon-
tradiktif. Misalnya, agama tidak mengajarkan kekerasan
tetapi kita sering menjumpai kekerasan atas nama agama;
seseorang mengaku tidak beragama tetapi ia murah hati
dan memiliki kepedulian terhadap orang-orang miskin
dan tertindas; seorang ahli hukum tahu tentang keadilan
dan hak asasi manusia tetapi ia melakukan korupsi, dsb.
Maka muncul beberapa pertanyaan: apakah agama
menjamin moralitas manusia? Apakah orang beragama
pasti bermoral? Apakah moralitas bergantung pada
hukum? Oleh karena itu, perlu ada penjernihan istilah-
istilah di atas.

2. Moral
Hubungan moral dan etika amat erat. Moral me-
nunjukkan tentang kondisi mental yang membuat orang
tetap berani, bersemanagat, bergairah, berdisiplin, dsb;
tentang isi hati atau perasaan sebagaimana terungkap
dalam perbuatan (Kamus bahasa Indonesia, Jakarta ).
Dengan demikian moral selalu menunjukkan baik-
buruknya perbuatan atau tingkah laku manusia sebagai
manusia. Tolok ukur untuk menilai baik-buruknya ting-
kah laku manusia disebut norma. Prinsip moral yang amat
penting adalah melakukan yang baik dan menolak yang
buruk. Apabila prinsip ini tidak dimiliki maka tidak ada
18 Urgensi Pendidikan Moral

moralitas. Inilah kekhasan norma moral. Jika seseorang


berkata: “pembantu rumah tangga itu amat jujur”, maka
“jujur” merupakan kualitas moral, artinya kualitas ma-
nusia sebagai manusia. Bisa saja pembantu rumah tangga
itu bodoh. “Jujur” merupakan penilaian moral, sedangkan
bodoh merupakan penilaian kemampuan atau ke-
trampilan berpikir.

3. Etika
Etika sering diartikan sama dengan moral. Namun
demikian etika tidak dapat menggantikan moral. Etika
merupakan salah satu cabang dari filsafat yang mem-
bahas moralitas manusia. Etika memberikan pemikiran
kritis tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral, apakah ajaran dan pandangan moral tertentu da-
pat dipertanggungjawabkan, dan bagaimana kita meng-
ambil sikap terhadapnya. Magnis Suseno mengibaratkan
ajaran moral sebagai buku petunjuk bagaimana kita me-
ngendarai dan memperlakukan sepeda motor dengan
baik, sedangkan etika memberikan pengetahuan tentang
struktur dan teknologi sepeda motor itu. (Etika Dasar,
hal 14). Untuk bisa mengendarai motor dengan baik
seseorang tidak perlu belajar tentang mesin. Demikian
juga untuk menjadi orang baik, seseorang tidak perlu
belajar etika atau menjadi seorang filsuf.
Etika bisa membantu seseorang untuk mencari orien-
tasi, agar mampu mempertanggungjawabkan hidupnya
dan tidak memiliki gaya hidup masa (ikut arus). Tanpa
orientasi manusia tidak tahu arah ke mana ia pergi dan
bagaimana ia berbuat. Etika menggunakan akal budi dan
pemikiran kritis bagaimana manusia harus hidup kalau
ia mau menjadi baik. Maka etika sering disebut sebagai
filsafat moral. Etika menjadi salah satu pegangan hidup.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 19

4. Agama
Moral dan agama bukan merupakan dua hal yang
terpisah. Setiap agama menawarkan ajaran moral. Dalam
agama iman diungkapkan. Dalam moral iman diwujud-
nyatakan. Agama tanpa perbuatan adalah mati, tidak ber-
guna bagi manusia. Kehidupan moral membuat agama
semakin dihayati secara mendalam dan menjadi berarti,
maka dibutuhkan orang beragama. Bagi orang beragama,
kehidupan yang bernilai bukan berdasarkan kebaikan,
melainkan berdasarkan iman.
Moral adalah jawaban manusia terhadap panggilan
Tuhan untuk berbuat baik dalam kaitannya dengan apa
yang menjadi kewajibannya melalui praksis hidup (Har-
jana, 94). Dengan kehidupan moral manusia memper-
satukan diri dengan Tuhan dan ikut serta dalam karya
perbuatan baik Tuhan. Hal ini tentu membutuhkan usaha.
Bentuk usaha manusia adalah membuat nilai-nilai moral
menjadi pegangan hidup. Itulah sebabnya orang ber-
agama juga diharapkan menggunakan akal budi dan
metode-metode etika. Tetapi karena manusia makhluk
terbatas maka agama dapat memberi jawaban terhadap
persoalan-persoalan fundamental manusia yang tidak
bisa dijawab dengan akal budi dan usahanya. Bagi orang
beragama, berbuat baik saja belum cukup, karena per-
buatan baik butuh landasan iman.

5. Hukum
Kehidupan moral membutuhkan hukum. Hukum
tidak dipakai untuk menilai baik-buruknya manusia,
melainkan untuk menjamin ketertiban dan kebaikan
umum, sehingga menciptakan kondisi-kondisi sosial yang
memungkinkan setiap orang atau kelompok bisa hidup
20 Urgensi Pendidikan Moral

layak sebagai manusia dan berbuat baik. Dalam konteks


ini hukum kodrat menjadi sangat penting. Thomas
Aquinas memberikan definisi “hukum kodrat” sebagai
partisipasi makhluk rasional di dalam hukum abadi.
(Joseph de Torre, 35-36). Maka karakteristik hukum
kodrat sebagai norma mutlak dan sumber ketaatan
moral.
Hukum kodrat adalah hukum yang mengikat ke-
wajiban manusia untuk mencintai kebaikan dan menolak
kejahatan. Hukum tidak bertentangan dengan kebebasan
dan cinta, sebab cinta merupakan kodrat menuju ke-
baikan. Karena kodrat rasionalnya, manusia memiliki
kebebasan untuk menentukan sikapnya sendiri dalam
melakukan tindakan. Konsekuensinya jika semua hukum
positif yang ada dalam masyarakat menuntut ketaatan
moral, maka kekuatan tuntutan tersebut harus ber-
sumber pada hukum kodrat. Singkatnya hukum kodrat
menjadi norma tertinggi, menjadi asas segala hukum po-
sitif yang berhubungan langsung baik dengan manusia
maupun dengan seluruh isi alam semesta.
Kehidupan moral dan ketaatan terhadap hukum bu-
kan terutama untuk mendapatkan pahala, melainkan un-
tuk membuat hidup manusia semakin manusiawi (me-
miliki kualitas moral). Kehidupan moral yang melulu
berdasarkan ketaatan pada hukum akan membuat hidup
seseorang menjadi minimalis (legalis) karena kehidupan
moral menjadi terbatas pada melaksanakan hukum. Yang
penting hukum dilakukan dan tidak dilanggar. Kaum
legalis ini akan cenderung menjadi egoistis, karena
hukum sering dimanfaatkan sebagai dukungan untuk
pemikiran, gagasan dan perbuatan mereka sendiri,
Mereka memandang hukum berdasrkan untung rugi,
bukan berdasarkan nilai-nilai moral. Jadi supaya hidup
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 21

manusia memiliki kualitas moral, dalam melaksanakan


hukum juga dibutuhkan refleksi dan pertimbangan-
pertimbangan yang mempertegas kekhususan moralitas.
Kita perlu mencari dasar pemikiran yang ada di balik
norma-norma hukum, yang tersembunyi di dalam hukum.

Pertanyaan Reflektif:
1. Apa yang anda pahami tentang hubungan antara
moral dan etika, dan dimana letak persamaan dan
perbedaannya?
2. Moral dan Agama saling berhubungan, namun demi-
kian diantara keduanya ada perbedaan. Bagaimana
hal ini bisa dijelaskan!
3. Bagaimana moral dan hukum saling berhubungan?
Apa yang membedakan keduanya, berilah argumen-
tasi yang mendukung jawaban anda!
4. Apa yang anda pahami tentang perbuatan yang “baik?”
Apa tolok ukur bahwa suatu perbuatan dinyatakan
“baik?”
5. Apakah norma hukum tidak melanggar kebebasan
manusia? Jelaskan.
6. Untuk apa kita bermoral?
7. Jelaskan apa ciri khas moral?
8. Apakah ada perbuatan yang tidak bernilai moral?
Berilah contoh konkrit.
22 Urgensi Pendidikan Moral

Bahan Bacaan:
Bertens, K,
1993 Etika, Jakarta: Gramedia.
Harjana, AM,
1993 Penghayatan Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Janssens, L,
Tth Saint Thomas Aquinas and the Question of
Proportionality, dalam majalah Louvain Studies,
Vol.IX. pp 26-46.
Joseph de Torre,
1977 The Roots of Sociaty, Manila: Sinag-Tala
Publishing,
Magnis Suseno, Frans,
1987 Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 23

BAB II

KEBEBASAN
SEBAGAI DASAR TINDAKAN MORAL

A da tidaknya kebebasan pada manusia merupakan


suatu masalah yang penting dalam dunia moral,
karena apakah seseorang secara moral dapat dikatakan
bertanggungjawab atas perbuatannya (Hook, 17).
Misalnya, orang tidak dianggap bertang-gungjawab, atau
secara moral tidak bisa dipersalahkan apabila (a)
tindakan yang dia lakukan karena suatu paksaan, entah
itu bersifat fisik atau psikologis; (b) ia sama sekali tidak
tahu mengenai apa yang dilakukan (misalnya pada anak
kecil dan orang yang mempunyai kelainan jiwa/gila).
Sebelum kita membicarakan apa itu kebebasan yang
diandaikan oleh tanggungja-wab moral perlulah kita
perlu merefleksikan diri dan bertanya pada diri kita,
apakah manusia memang bebas? Apabila kita mau
menegaskan bahwa menuntut pertanggungan jawab
moral itu perlu dan mungkin, maka kita terlebih dahulu
mesti bisa menunjukkan bahwa manusia memang mem-
punyai kebebasan untuk memilih dan menentukan diri
(Varga,45).
24 Urgensi Pendidikan Moral

1. Determinisme
Paham atau aliran pemikiran yang menolak ada-
nya kebebasan dalam diri manusia adalah determinisme.
Menurut paham ini hanya nampaknya saja manusia itu
bebas, karena sesungguhnya manusia dalam bertindak
selalu ditentukan oleh berbagai macam faktor baik da-
lam kondisi fisik dan psikis dirinya sendiri maupun da-
lam dunia sekitarnya. Manusia dalam dirinya sendiri
tidak bisa melepaskan diri dari penentuan tersebut. Dari
segi jenis faktor atau faktor mana yang dianggap sebagai
penentu arah tindakan manusia, bisa dibedakan empat
macam aliran determinisme (Hook, 56), yakni 1) deter-
minisme biologis; 2) determinisme psikologis; 3) deter-
minisme teologis. 4) determinisme sosiologis.

• Determinisme Biologis
Aliran ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia
ditentukan oleh faktor-faktor biologis keturunan; macam
tubuh yang kita miliki, seluruh interaksi fisiologis dan
hukum-hukum biologis, semuanya ini menentukan apa
yang kita lakukan. Watak, kebiasaan, dan tingkah laku
manusia menurut paham atau aliran pemikiran ini, bisa
diterangkan berdasarkan struktur biologis orang itu.
Orang yang suka mencuri, atau memperkosa, misalnya
perlu diselidiki struktur biologisnya yang menyebabkan
ia bertingkah demikian dan diobati. Hukuman dan sangsi
massa rakyat lainnya tidak akan memecahkan persoalan.
Kalau secara biologis memang cacat orang itu sebenar-
nya tidak bisa dihukum atau dimin-tai pertanggungan-
jawab atas tindakannya, melainkan pantas dikasihani dan
dicarikan pengobatan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 25

Sebagai contoh mereka yang menganut paham


determin-isme biologis adalah para ‘behaviorists’ seperti
B.F. Skiner misalnya ada yang menyatakan bahwa
tingkah laku kita sebagai manusia ditetukan oleh
lingkungan di mana kita berada. Watak dan tingkah laku
setiap orang menurut Skiner adalah tidak lain hanyalah
hasil penentuan dari lingkungan fisik dan sosial orang
tersebut. Menurut teori ini tanggung jawab moral tidak
ada artinya sama sekali. Tidak seorangpun boleh
dihukum atau dipersalahkan, karena perbu-atannya yang
di pandang tidak baik oleh masyarakat hanya-lah
cerminan dari lingkungan tempat dia berada. Untuk
mengubah tingkah laku atau pebuatannya agar menjadi
baik, orang itu hanya harus dipindahkan ke lingkungan
yang lebih baik. “It in the natural of an experi-mental
analysis of human behavior that it should strip away
the function presionsly assigned to autonomous man and
transfer them one by one to the controlling envimo-
rent...”(Knoft, 189).

• Determinisme Psikologis
Aliran ini yang dipelopori oleh Sigmund Freud.
Determinisme psikologis beranggapan bahwa manusia
dalam tingkah lakunya sangat ditentukan oleh unsur-
unsur bawah sadar. Hanya nampaknya saja manusia itu
seakan-akan bisa bebas memilih tindakan mana yang
diinginkan. Psikoanalisis telah menunjukkan, demikian
anggapan para penganut paham determinisme psi-
kologis, bahwa tekanan bawah sadarlah yang sebenarnya
menjadi penyebab atau pendorong utama tindakan-tin-
dakan manusia. Tingkah laku manusia ditentukan oleh
dorongan yang terkuat di dalam dirinya (dalam pan-
dangan Freud dorongan dasar pada manusia adalah
26 Urgensi Pendidikan Moral

libido (dorongan untuk mencari nikmat). Kalau kita bisa


tahu manakah motif pendo-rong yang terkuat dalam diri
seseorang, maka kita akan tahu tindakan mana yang
akan diambil seseorang. Bagi penganut aliran deter-
minisme psikologis tanggung jawab moral juga tidak ada
artinya. Apa yang dilakukan seseorang seringkali ber-
sifat kompulsif dan tak terkontrol lagi.

• Determinisme Teologis
Aliran pemikiran ini beranggapan bahwa manusia
hidup di dunia ini bagaikan wayang-wayang ditangan
sang dalang dalam suatu pagelaran lakon yang sudah
dengan cermat ditentukan sebelumnya. Nasib manusia
sudah tersurat dalam rencana kebijaksanaan yang Illahi.
Ajaran predestinasi (penetapan terlebih dahulu oleh
Allah mengenai apa saja yang akan terjadi/dilakukan oleh
setiap ciptaan) atau ajaran tentang suratan nasib, me-
nganggap bahwa segala tingkah laku manusia sudah
ditentukan sebelumnya oleh Allah sehingga manusia
hanyalah tinggal menjalankan saja apa yang sudah
digariskan. Dalam pandangan ini manusia yang tampak-
nya bisa memilih ini dan itu dalam keillahian sebenarnya
hanya tinggal menjalankan apa yang sudah digariskan
sebelumnya.
Sebagai contoh paham diteminisme teologis adalah
ajaran predistinasi Calvin. Kadang-kadang Agustinus
juga digolongkan sebagai orang yang mengajarkan pre-
dentinasi dan mengingkari adanya kebebasan. Namun,
bacaan yang lebih teliti atas bukunya De libero Arbitrio
(Reichmann, 1967) akan menunjukkan bahwa kendati ia
mengajarkan paham tentang predestinasi Allah, ia ber-
usaha untuk memberi tempat dan kebebasan manusia.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 27

• Determinisme Sosiologis
Lingkungan ikut mempengaruhi tingkah laku se-
seorang dimana ia hidup dan dibesarkan. Tidak diten-
tukan sehingga ia tidak bisa bertindak sendiri.
Selain menurut jenis faktor penentu determinisme
juga biasa dibedakan menurut derajat penentuannya.
Dalam pembedaan ini ada yang disebut aliran determi-
nisme keras dan ada aliran determinisme lunak. Deter-
minisme keras adalah paham yang tidak ragu-ragu ada-
nya nasib suratan tangan manusia, adanya perbudakan
kehendak oleh nafsu-nafsu sehingga orang tak bisa be-
bas lagi untuk memilih adanya keniscayaan tindakan.
Paham ini menolak dengan tegas adanya kebebasan
manusia dan bersama itu adanya tanggung jawab moral.
Sebagai contoh paham detrminisme keras adalah Omar
Khayam, Holbach, Robert Owen, Schopenhauer dan
Freud.
Determinisme lunak adalah paham determinisme
yang menegaskan bahwa tak ada pertentangan antara
determinisme dan kebebasan manusia. Determinisme
dalam paham ini dimengerti sebagai aliran pemikiran
yang berpendapat bahwa semua kejadian, termasuk tin-
dakan manusia, pasti ada penyebabnya. Tak ada kejadian
tanpa sebab. Bila manusia dikatakan sebagai pelaku be-
bas tindakannya, maka ini tidak dimaksudkan bahwa
tindakannya tidak bisa diterangkan berdasarkan hukum
penyebaban, melainkan bahwa ia tidak dipaksa dari luar;
bahwa ia memang menginginkan apa yang dia buat.
Sebagai contoh paham determinisme lunak adalah David
Hume, John S. Mill, Moritz Schlick.
28 Urgensi Pendidikan Moral

2. Kebebasan
• Argumen untuk mendukung adanya
kebebasan
Para pembela adanya kebebasan biasanya tidak
menolak pandangan bahwa lingkungan, faktor ke-
turunan seperti cacat badani yang menyangkut cacat su-
sunan saraf, faktor-faktor kelainan psikologis seperti
Kleptomonia (secara kompulsif cenderung untuk men-
curi) Padophilia (Secara kompulsif ada rasa tertarik jas-
maniah pada anak-anak kecil) dapat menjadi sangat
kuat, sehingga orang yang bersangkutan sepertinya ti-
dak bisa tidak melakukan apa yang dia lakukan. Mes-
kipun demikian mereka tetap beranggapan bahwa ma-
nusia biasanya bebas dalam tindakan-tindakannya dan
bahwa manusia bertanggungjawab atas perbuatnnya yang
dengan sengaja dan tahu dilakukannya. Berikut ini
adalah argumen-argumen yang biasanya diajukan sebagai
pendukung.

Kesadaran langsung akan adanya kebebasan


Libertarian seperti C.A. Campbell misalnya menya-
takan bahwa dalam pengalaman ‘godaan moral’ kita tidak
bisa memungkiri adanya suatu fakta psikologis bahwa
orang yang digoda itu secara langsung menyadari akan
adanya kebebasan, karena ia menyadari akan adanya
kekuatan, kehendaknya untuk tidak begitu saja menu-
ruti dorongan-dorongan yang menyelewengkan tang-
gungjawabnya (Fisher, 1986). Manusia sebagai seorang
pribadi (person) dalam keputusan-keputusannya yang
penting sadar bahwa dia menentukan dirinya. Dalam
situasi godaan moral, tergantung pada pribadi manusia
yang digoda itu apakah ia akan mempergunakan daya
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 29

kemauannya untuk melawan godaan atau membiarkan


diri dikuasai oleh dorongan-dorongan nafsunya. Alter-
natif tindakan terbuka bagi pribadi manusia tersebut
sebagai pelaku tindakannya.

• Kesadaran secara tidak langsung akan adanya


kebebasan.
Fakta bahwa sebelum melakukan tindakan tertentu
orang membuat suatu pertimbangan pro dan kontra,
bahwa dia bisa memilih yang satu dan meninggalkan
yang lain, membawa ke kesadaran secara tidak lang-
sung akan adanya kebebasan. Pertimbangan pro dan
kontra dilakukan, karena sungguh tergantung dari kita
(subyek pelaku) mana pilihan yang mau kita ambil.

• Keyakinan akan adanya tanggungjawab


pribadi
Setiap pribadi yang dewasa menerima tanggung
jawab atas tindakan-tindakan yang dengan sengaja dan
tahu mereka lakukan. Dengan bertumbuhnya pribadi se-
seorang bertumbuh pula derajat tanggung jawab orang
itu akan tindakan-tindakannya. Sebagaimana kita ma-
sing-masing menerima tanggungjawab menerima tin-
dakan-tindakan kita, demikian pula kita mengharapkan
orang lain berlaku demikian. Kehidupan dalam masya-
rakat baru bisa berjalan teratur kalau rasa tanggung
jawab yang mengandaikan kebebasan ini ada dan
terjamin.

• Adanya kebebasan adalah persyaratan akan


adanya pelayanan keadilan.
Keteraturan dan kelangsungan kehidupan dalam
masyarakat kita di dasarkan atas suatu keyakinan bahwa
30 Urgensi Pendidikan Moral

manusia itu bisa dituntut pertanggunganjawab atas tin-


dakan-tindakannya, karena ia bebas. Bangsa yang berbu-
daya punya sistem peradilan yang memeriksa derajat
pertanggunganjawaban seseorang atas tindakannya
yang menyangkut nasib orang lain. Orang yang dituduh
berbuat jahat biasanya diperiksa pula alasan-alasan
mengapa perbuatan itu ia lakukan. Dalam pemeriksaan
alasan ini terkandung suatu maksud untuk mengerti
bebas/tidaknya orang tersebut dalam melakukan
perbuatannya. Bila terbukti bahwa si pelaku ternyata ti-
dak waras atau tidak dapat dikatakan sebagai sadar dan
bebas, maka hal ini mempengarui putusan peradilan atas
dirinya, karena hal itu erat berkaitan dengan derajat
pertanggungjawaban orang tersebut.

• Pembedaan antara ‘dintentukan’ dan


‘dipengaruhi’
Lingkungan sosial dan budaya seseorang dengan
sendirinya mempengaruhi cara berpikir, cara bertindak
dan tata pernilaian seseorang. Kendati begitu pengaruh
lingkungan tidaklah sedemikian rupa sampai merupakan
paksaan bagi orang tersebut, sehingga ia sama sekali ke-
hilangan kemam-puannya untuk menentukan diri. Para
penganut paham determinisme tidak menyadari
pembedaan antara ‘ditentukan’ dan ‘dipengaruhi’. Pe-
ngaruh lingkungan kenyataan yang tidak bisa kita hin-
darkan dan menjadi kondisi untuk penentuan diri kita.
Namun kenyataan bahwa dengan menjadi dewasa banyak
orang bisa mengubah pandangan-pandangan mereka,
termasuk prasangka-prasangka yang sudah membatin
sejak kecil merupakan bukti bahwa orang bisa mengambil
jarak terhadap pengaruh lingkungan yang membentuk
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 31

dirinya. Pengaruh lingkungan tidak menghilangkan


kemampuan kita untuk bisa menentukan diri. Prinsip
yang sama berlaku terhadap dorongan-dorongan yang
ada dalam diri kita. Kehendak kita tidak dipaksa oleh
dorongan-dorongan tersebut, karena kita masih bisa
mengambil sikap dorongan mana yang kita ikuti dan
mana yang mau kita tolak.

3. Tingkat Kebebasan dan Tanggungjawab


Bidang penyelidikan etika adalah tindakan manusia
yang bebas dan dengan demikian juga yang bisa dimintai
pertanggungan jawab. Di atas kita sudah melihat be-
berapa alasan yang mendukung adanya kebebasan untuk
memilih. Namun masih bisa dipertanyakan apakah semua
tindakan yang bebas itu memang semuanya sama-sama
bebas ataukah ada tingkat-tingkat kebebasan, dan
dengan sendirinya juga tingkat-tingkat tanggungjawab.
Jawaban atas pertanyaan ini punya relevansi dengan
moralitas pribadi dan pelayanan keadilan.
Setiap tindakan bebas haruslah merupakan tin-
dakan yang diketahui dan dimaui. Baik pikiran maupun
kehendak manusia main peranan dalan penentuan tin-
dakan bebas. Kedua unsur budi manusia ini bisa di-
pengaruhi oleh beberapa faktor yang mengakibatkan per-
bedaan tingkat kebebasan dan tanggung jawab seseorang.
Berikut ini kita lihat beberapa faktor tersebut dan
implikasi etisnya.
32 Urgensi Pendidikan Moral

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Pikiran
• Penyimpangan pikiran atau hilang konsentrasi
Apabila kita merefleksikan pengalaman kita
masing-masing kita menyadari bahwa pikiran kita
kadang-kadang menyimpang dari arah yang menjadi
pusat perhatian kita pada saat tertentu. Karena salah
satu sebab kita bisa kehilangan konsentrasi. Kalau
kehilangan konsentrasi ini bukan akibat kelalaian dan
kesengajaan, maka faktor ini bisa mempengaruhi ting-
kat kebebasan seseorang dan dengan sendirinya juga
tingkat tanggungjawab moralnya. Tidak semuanya pe-
nyimpangan pikiran atau kehilangan konsentrasi
mengurangi tingkat kebebasan manusia. Seorang sopir
yang nekad mengemudikan mobilnya kendati ia tahu
bahwa dirinya lelah, ngantuk atau bahkan mabuk, kalau
dia menabrak sesuatu karena hilang konsentrasinya,
maka tetap bisa dipersalahkan.

• Ketidaktahuan
Ketidaktahuan merupakan faktor yang juga bisa
mempengaruhi tingkat kebebasan kita dilihat dari
faktor yang mempengaruhi pikiran. Ada dua macam
ketidaktahuan; yang pertama ketidaktahuan yang tak
dapat di atasi (invincibli ignorance) dan yang kedua
adalah ketidaktahuan yang dapat diatasi (vincibli
ignorance). Hanya ketidaktahuan yang tidak dapat
diatasi merupakan faktor yang bisa membebaskan
seseorang dari ikatan tanggungjawab moralnya. Seorang
tukang pos yang setiap harinya mengantarkan surat dan
bingkisan tidak bisa dipersalahkan kalau, karena
ketidak-tahuannya, suatu hari menyampaikan suatu
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 33

bingkisan yang berisi bom dan membunuh orang yang


menerima bingkisan tersebut. Ketidaktahuan yang tim-
bul karena kelalaian tidak membebaskan pelakunya dari
tanggungjawab. Seorang sopir truck yang tak pernah me-
ngontrol kendaraannya dan suatu hari menabrak orang
karena remnya blong tetap bertanggung-jawab atas
perbuatannya.

• Ketakutan
Ketakutan dapat berarti suatu kekhawatiran atau
antisipasi akan bahaya yang mengancam bila sesuatu
tidak dilaku-kan bisa pula berarti suatu perasaan yang
terjadi berkat paksaan atau ancaman yang dialami pada
saat itu terjadi. Jenis ketakutan pertama, misalnya
ketakutan seseorang mahasiswa untuk tidak lulus ujian
membuat dia rajin bela-jar, adalah jenis ketakutan yang
mempengaruhi pikiran. Jenis ketakutan ini tidak mem-
pengaruhi kebebasan dan tanggungjawab seseorang.
Jenis ketakutan kedua, misalnya orang yang diancam
dengan senjata api tertodong pada kepala untuk mem-
bukakan brangkas sebuah bank dalam suatu perampokan,
adalah ketakutan yang mempengaruhi kehendak. Jenis
ketakutan ini bisa mempengaruhi kebebasan dan
tanggungjawab seseorang.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Kehendak
• Nafsu
Nafsu adalah luapan emosi dan dorongan-dorongan
untuk mengejar nikmat jasmaniah dan menghindarkan
diri dari segala sesuatu yang tidak enak. Orang yang
34 Urgensi Pendidikan Moral

tidak pernah bersabar sedikitpun dan selalu marah-


marah, orang yang tak mempedulikan orang lain dan se-
wenang-wenang, orang yang selalu mencari kenikmatan
seks, makan, minum, sampai lupa diri dan sesama ada-
lah orang-orang yang dikuasai oleh nafsu. Nafsu yang
secara sengaja dirangsang dan ditimbul-kan (consequent
passion) tidak mempengaruhi dan tidak menghilangkan
tanggungjawab orang yang membuat kesalahan sebagai
akibatnya. Nafsu yang secara sponta muncul dan tidak
dibiarkan menguasai (antecedent passion), misalnya
orang yang baru pembawaannya cepat marah bisa me-
ngurangi derajat kebebasan dan tanggungjawab atas per-
buatan yang di akibatkan oleh nafsu tersebut. Memang
berkembang menjadi dewasa antara lain juga mesti
nampak dalam usaha mengontrol diri dari kungkungan
nafsu-nafsunya.

• Siksaan
Siksaan, baik fisik maupun psikis bisa begitu keras
hingga orang yang disiksa, untuk mengurangi dan meng-
hindarkan rasa sakit yang bukan kepalang, terpaksa
melakukan suatu perbuatan yang di luar kehendaknya.
Perbuatan macam ini tidak sepenuhnya bebas dan me-
ngurangi tanggungjawab seseorang atas perbuatannya.
Memang terpujilah sikap para martir dan pahlawan yang
rela menanggung segala siksaan dan paksaan demi nilai
yang mau diperjuangkan; mereka tetap teguh tidak mau
melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
suara hatinya.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 35

• Kebiasaan
Kebiasaan adalah pola tingkah laku tertentu yang
senantiasa kembali karena perbuatan tertentu sudah
sering dilakukan. Kebiasaan bisa buruk bisa baik.
Kebiasaan yang diperoleh karena disengaja tidak me-
ngurangi kebebasan dan tanggungjawab orang melaku-
kan. Misalnya orang yang membiarkan diri ‘tergigit’
(addicted) oleh kebiasaan buruk mengisap ganja,
menuman keras, main perempuan dan berjudi tidak bisa
dikatakan bahwa ia tidak bertanggungjawab atas
perbuatan yang keluar dari kebiasaan buruknya. Hanya
kebiasaan yang tidak disengaja dan diluar kontrol
pelakunya, misalnya sejak kecil (karena kurang pen-
didikan dalam keluarga). Biasa mengumpat dengan kata-
kata kotor bisa mengurangi tingkat kebebasan dan
tanggungjawab pelakunya. Memang dalam hal terakhir
inipun kalau orang menjadi dewasa dan menyadari
kebiasaan buruknya mesti ada usaha pula untuk meng-
atasi kebiasaan yang buruk tersebut. Kalau orang dengan
sengaja karena kelalain dan kemalasan tidak mau mem-
perbaiki diri, maka dia bertanggungjawab atas kebiasa-
an buruk itu.
Demikianlah kita lihat beberapa faktor yang bisa
mempengaruhi tingkat kebebasan dan tanggung jawab
seseorang atas perbuatannya. Ilmu psikologi dan psikiatri
telah menyelidiki beberapa faktor lain yang dapat me-
ngurangi kebebasan kehendak. Neorosis dan psychosis
dapat menghalangi kebebasan seseorang untuk bisa
menentukan diri. Sulit untuk menentukan dengan pasti
kapan orang bisa dikatakan bahwa sudah tidak normal
dan perbuatannya keluar dari ketidak-normalan tersebut,
sehingga ia dapat dikatakan tidak lagi bebas dan ber-
tanggungjawab atas perbuatannya. Namun kiranya jelas
36 Urgensi Pendidikan Moral

bahwa kalau bisa ditunjukkan ketidaknormalan


seseorang, maka perbuatannya tidaklah bebas dan dia
tak dapat dituntut pertanggungan jawab atas per-
buatannya. Kenyataan ini tidaklah merupakan sang-
kalan adanya kebe-basan manusia untuk memilih dan
menentukan dirinya. Kata ‘tidak normal’ mengungkap-
kan bahwa orang-orang yang menderita neorosis dan
psychosis nerupakan pengecualian, atau orang-orang sa-
kit yang perlu disembuhkan kalau bisa dan bukan
merupakan ukuran untuk kejadian-kejadian yang biasa.

6. Kebebasan dan Tanggungjawab


• Kebebasan
Etika dan moralitas berkaitan dengan peraturan.
Adanya peraturan hanya masuk akal kalau manusia
mempunyai kebebasan. Dalam kebebasan itu saya me-
nyadari bahwa hanya sayalah yang harus bertanggung
jawab atas perbuatan saya sendiri. Hanya karena saya
memiliki kebebasan, saya dapat dibebani keharusan/
kewajiban itu. Binatang tidak dapat mengenal faham
kewajiban dan tidak dapat dianggap bertanggungjawab,
karena tidak mempunyai kebebasan. Tindakan dan reak-
siya hanya ditentukan oleh insting atau dorongan na-
luriah lainnya. Sedangkan perangkat instingtual manusia
umumnya lemah, terbuka dan tidak dapat membim-
bingnya.
Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mem-
punyai pengertian. Pengertian itulah yang memung-
kinkan manusia memahami adanya alternatif-alternatif
untuk bertindak. Maka, manusia dapat memilih berbuat
ini atau itu secara bebas. Dan justru karena bebas itulah
manusia dapat dibebani kewajiban.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 37

Apabila mendengar kata kebebasan, yang langsung


biasanya dipikirkan adalah bahwa orang lain tidak dapat
memaksa kita untuk melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kehendak kita. Dibebaskan dari
tahanan, bebas dari aturan, bebas pajak, bebas pulang
dari kuliah. Atau bebas bila masyarakat tidak meng-
halang-halangi kita untuk berbuat apa saja yang ingin
kita lakukan. Kata bebas sebenarnya mempunyai arti
yang lebih mendasar ialah bahwa kita mampu untuk
menentukan apa yang mau kita lakukan, berbeda dengan
binatang yang tidak punya kemampuan untuk menen-
tukan tindakannya sendiri (hanya berdasarkan insting).
Jadi, kita dapat menentukan tindakan kita sendiri
karena mempunyai kemampuan untuk itu. Maka, perlu
dibedakan dua arti kebebasan yaitu: kebebasan
eksistensial, kebebasan karena kita sendiri mampu untuk
menentukan tindakan kita sendiri. Kebebasan sosial,
kebebasan yang kita terima dari orang lain.

Kebebasan eksistensial
Kebebasan ini sifatnya positif, letaknya ada pada
kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.
Tekanannya adalah bebas untuk, bukan bebas dari.
Kebebasan mendapat wujudnya yang positif dalam
tindakan yang disengaja. Tidak setiap kegiatan manusia
merupakan tindakan (pernafasan, denyut jantung,
nglindur/mengigau). Binatang tidak dapat bertindak.
Kalaupun dapat berbuat, selalu didorong oleh desakan
naluri, perangsang atau kebiasaan-kebiasaannya. Seekor
kucing melihat ikan goreng di meja, tidak akan berfikir:
ini milik siapa, boleh dimakan atau tidak, sebaiknya
langsung dimakan atau disimpan dulu.
38 Urgensi Pendidikan Moral

Kebebasan bagi manusia pertama-tama berarti dapat


menentukan apa yang mau dilakukan secara fisik:
menggerakkan tubuhnya menurut kehendaknya sendiri
sesuai dengan batas-batas kodratnya (ia tak akan dapat
terbang kendati tangannya digerakkan cepat seperti
sayap). Keterbatasan fisik manusia bukan sebagai penge-
kangan kebebasan, melainkan wujud khas kebebasan kita
sebagai manusia. Yang mengekang kebebasan adalah
paksaan. Paksaan berarti bahwa orang lain memakai
kekuatan fisik yang lebih besar untuk menaklukkan kita
(diborgol, dipenjara, dipasung). Paksaan fisik ternyata
juga mempengaruhi kebebasan kehendak dan pikiran
kita. Hal itu menunjukkan bahwa kebebasan jasmani
sumbernya adalah kebebasan rohani. Kebebasan rohani
sumbernya adalah akal budi kita. Kebebasan rohani ada-
lah kemampuan untuk menentukan sendiri apa yang kita
pikirkan, apa yang kita kehendaki, untuk bertindak se-
cara terencana. Kebebasan rohani manusia seluas jang-
kauan pikiran dan emajinasi manusia.
Secara langsung kebebasan rohani tidak dapat
dilanggar oleh orang lain. Orang tidak dapat dipaksa
memikirkan atau menghendaki sesuatu. Batin kita
adalah kerajaan kita. Barangkali orang dapat ditekan,
dibujuk, atau diancam untuk melakukan sesuatu, tetapi
apa yang dipikirkan sesungguhnya tidak dapat diketahui.
Kita juga tidak mungkin dipaksa untuk mencintai
seseorang atau mempercayai sesuatu. Itulah sebabnya
paksaan dalam hal agama tidak masuk akal dan tidak
dibenarkan (juga kalau masuk biara atau menikah karena
orang tua, menyebabkan tidak sah). Tekanan psikis atau
siksaan fisik dapat membuat kita tak berdaya. Orang
yang ditahan dalam isolasi dan tidak diizinkan tidur, lama
kelamaan bisa kehilangan orientasi, bahkan bisa
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 39

meragukan apakah satu tambah satu benar-benar dua


atau tidak, sampai akhirnya bisa meragukan adanya
Tuhan (brainwashing, indoktrinasi).
Antara kebebasan jasmani dan rohani terdapat
hubungan yang sangat erat. Tindakan adalah kehendak
yang menjelma menjadi nyata. Kehendak/kemauan
adalah awal dari tindakan. Berbeda dengan keinginan.
Keinginan termasuk dalam kotak yang sama dengan
lamunan dan khayalan. Maka, “keinginan” tidak
mempunyai bobot yang harus dipenuhi, sehingga tidak
mewajibkan saya untuk melaksanakannya. Lain halnya
dengan kemauan/ kehendak, kalau saya mau bekerja
keras, maka tidak ada jalan lain kecuali memang saya
harus bekerja keras. Banyak orang ingin menjadi rajin,
pandai, saleh, terlibat, tetapi hanya sedikit saja yang
betul-betul menghendakinya. Dalam arti itu, dosa dalam
pikiran jauh lebih lemah daripada dosa dalam tindakan:
dalam tindakan itulah kehendak jahat benar-benar
terwujud.
Jadi, kebebasan adalah tanda dan ungkapan martabat
manusia. Karena kebebasannya, manusia adalah makh-
luk yang otonom, menentukan diri sendiri, dan dapat
mengambil sikapnya sendiri. Pemaksaan pada orang lain
tidak hanya buruk, menyakitkan atau menghina, tetapi
juga mengabaikan martabatnya sebagai manusia. Kita
merasa tersinggung bila dipaksa, dibujuk, atau diancam.
Dan kita merasa dihormati ketika diminta atau dimohon
kesediaannya. Kebebasan adalah mahkota martabat
manusia. Itulah kebebasan yang menyatu dengan manusia
dan biasanya sering tidak disadari. Baru disadari ketika
ada orang lain yang membatasinya.
40 Urgensi Pendidikan Moral

• Kebebasan sosial
Kebebasan ini sifatnya negatif, tekanannya bebas
dari. Tidak dapat disangkal bahwa banyak orang mem-
punyai kecenderungan untuk mengurangi kebebasan
kita, artiya berkuasa atas kita. Berhadapan dengan an-
caman itu, kita menjadi sadar akan nilai kemampuan kita
untuk menentukan diri sendiri. Kebebasan sosial adalah
keadaan dimana kemungkinan kita untuk bertindak
tidak dibatasi oleh orang lain.
Ada tiga macam kebebasan sosial: Pertama, Ke-
bebasan Jasmani, merupakan kemampuan yang berakar
dalam kehendak kita untuk dapat menentukan apa yang
mau dilakukan secara fisik. Kebebasan ini bersumber
pada kebebasan rohani dan sekaligus mengungkapkan-
nya.
Kebebasan Jasmani: dibatasi dengan paksaan fisik,
artinya orang lain dapat memakai kekuatan fisik untuk
membuat kita tidak berdaya. Yang dimaksud bebas
dalam arti jasmani apabila tidak berada di bawah paksaan
orang lain yang membuat kita tidak berdaya. Kebebasan
jasmani merupakan kemampuan yang berakar dalam
kehendak kita untuk dapat menentukan apa yang mau
dilakukan secara fisik. Kebebasan ini bersumber pada
kebebasan rohani dan sekaligus mengungkapkannya.
Ada hubungan yang erat antara kebebasan jasmani
dan rohani. Kebebasan jasmani bersumber pada ke-
bebasan rohani dan sekaligus kebebasan jasmani
mengungkapkan secara nyata kebebasan rohani (apa yang
terwujud di dalam tindakan fisik merupakan pelahiran
dari apa yang kita bayangkan/pikirkan). Keduanya me-
rupakan nisbah/matra/dimensi dari kebebasan eksis-
tensial. Bebas dalam arti ini ialah bahwa kita dapat dan
sanggup untuk melakukan sesuatu.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 41

Kedua, Kebebasan Rohani, adalah kemampuan kita


untuk menentukan sendiri apa yang kita pikirkan; untuk
menghendaki sesuatu, untuk bertindak secara terencana.
Kebebasan ini bersumber pada akal budi, karena akal
budi melampaui keterbatasan fisik kita. Luasnya sama
dengan jangkauan pikiran dan bayangan manusia.
Kebebasan rohani yang dimaksud adalah bila kita
bebas dari tekanan psikis, sehingga kemampuan kita
untuk menentukan diri sendiri tidak dikurangi/ dibatasi.
Campur tangan melalui tekanan psikis jauh lebih jahat.
Misalnya saya dibuat kurang dapat berfikir dan tidak
bebas mengarahkan kehendak saya. Ketiga, Kebebasan
Normatif, yaitu kemampuan untuk menentukan sendiri
apa yang hendak dilakukan dalam kaitannya dengan
norma-norma moral yang berlaku di dalam masyarakat.
Jadi kaitannya adalah dengan kewajiban dan larangan.
Kebebasan normatif yang dimaksud apabila kita bebas
dari kewajiban dan larangan. Kalau saya dipaksa secara
psikis, kemampuan saya dikurangi. Tetapi kalau saya
terkena larangan, kemampuan saya masih utuh, yang
hilang hanya hak saya untuk berbuat lain. Jadi, kewaji-
ban tidak menghapus, melainkan menantang kebebasan
eksistensial saya (otonomi saya tetap utuh): meskipun
dilarang pergi, saya tetap pergi. Apakah saya pergi atau
tidak, tergantung keputusan saya. Kebebasan normatif
hanya mau mengatakan kita boleh melakukan sesuatu
atau tidak (entah ditaati entah tidak, lain perkara,
misalnya dalam kaul para biarawan ada unsur normatif
dan keputusan subyektif). Jadi, Kebebasan Sosial terjadi
apabila seseorang tidak berada dibawah paksaan,
tekanan, kewajiban dan larangan dari pihak lain.
Pada hakekatnya ada dua alasan yang membenarkan
pembatasan kebebasan manusia oleh masyarakat: 1) Hak
42 Urgensi Pendidikan Moral

semua manusia akan kebebasan yang sama menuntut agar


apa yang kita tuntut bagi kita, juga kita akui sebagai hak
orang lain.
Jadi: hak saya atas kebebasanku menemukan batas-
nya pada hak sesamaku akan kebebasannya yang sama
luasnya. Kebebasanku tidak boleh mengurangi kebebasan
sesamaku yang sama luasnya. 2) Saya bersama semua
anggota lain merupakan anggota masyarakat. Saya hidup
berkat orang lain (masyarakat), demikian pula, masya-
rakat memerlukan sumbangan saya. Sehingga: masya-
rakat berhak untuk mem-batasi kebebasan kita, sejauh
itu perlu untuk menjamin hak-hak semua anggota masya-
rakat dan demi kepentingan dan kemajuan masyarakat
sebagai keseluruhan, menurut batas wewenang masing-
masing.

7. Hubungan antara Kebebasan


Eksistensial dan Sosial
Kebebasan sosial merupakan ruang gerak bagi
kebebasan eksistensial. Kita hanya dapat menentukan
sikap dan tindakan kita sendiri, sejauh orang lain mem-
biarkan kita mewujudkan tindakan kita tersebut.
Kebebasan sosial (kebebasan yang diberikan ling-
kungan sosial kepada kita) merupakan batas kemung-
kinan kita untuk menentukan diri. Jadi: kebebasan
eksistenial kita ada dalam batas-batas kebebasan sosial.
Adanya kebebasan sosial berarti masyarakat menye-
diakan ruang bagi kebebasan eksistensial kita. Sehingga:
kini kita bertanggungjawab untuk mengisinya, apakah
ruang yang disediakan itu sungguh akan bermakna.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 43

• Tanggung jawab
Tanggungjawab menyangkut dua hal, pertama,
kitalah yang bertanggungjawab mempergunakan ruang
yang disediakan masyarakat agar sungguh bernilai.
Kedua, putusan itu sendiri harus dapat dipertanggung-
jawabkan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, terhadap
tugas yang menjadi kewajiban kita dan terhadap harapan
orang lain. Kebebasan dari paksaan, tekanan dan
larangan itu merupakan ruang yang harus kita isi dengan
kebebasan eksistensial kita. Masyarakat telah menye-
diakan ruang itu. Maka: melaksanakan kebebasan
eksistensial kita berarti melaksanakan tanggungjawab
yang dipercayakan masyarakat kepada kita. Kebebasan
eksistensial berarti bahwa kita mengambil sikap
tertentu, dan itu berarti pula kita harus mempertang-
gungjawabkan sikap yang kita ambil itu.
Kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial adalah
dua hal yang berbeda, tetapi tidak terpisah karena
merupakan satu kenyataan, yaitu kebebasan manusia.
Kebebasan sosial merupakan ruang gerak bagi kebebasan
eksistensial. Kita hanya dapat menentukan sikap dan
tindakan kita sendiri, sejauh orang lain membiarkan kita.
Maka, sejauh mana dan dengan cara mana, kebebasan
kita boleh dibatasi? Kebebasan sosial kita terbatas sudah
jelas dengan sendirinya. Dan memang kebebasan kita
harus dibatasi, tetapi tidak berarti segala macam
pembatasan dapat dibenarkan. Oleh sebab itu, yang perlu
adalah agar pembatasan itu masuk akal dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Ada dua alasan membatasi kebebasan manusia:
Petama, hak setiap manusia atas kebebasan yang sama.
Apa yang kita perlukan bagi diri sendiri pada prinsipnya
juga menjadi hak orang lain. Jadi kebebasan saya tidak
44 Urgensi Pendidikan Moral

boleh sampai mengurangi kebebasan orang lain yang


sama luasnya. Kedua, pembatasan kebebasan saya ialah
bahwa saya bersama semua orang lain merupakan
anggota masyarakat. Masyarakat berhak membatasi
kesewenangan saya demi kepentingan bersama, baik
dengan larangan maupun dengan kewajiban yang harus
kita penuhi. Masyarakat berhak membatasi kebebasan
kita sejauh itu perlu untuk menjamin hak-hak anggota
masyarakat demi kepentingan dan kemajuan masyarakat
secara keseluruhan, menurut batas wewenang masing-
masing. Pembatasan itu tidak boleh melebihi apa yang
perlu untuk mencapai tujuan itu. Masyarakat tidak boleh
memberikan pembatasan yang sewenang-wenang.
Pembatasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,
tidak dapat dibenarkan.

8. Mempertanggungjawabkan Kebebasan
Orang yang bertanggungjawab,berarti orang yang
mampu menguasai diri, yang sanggup menuju tujuan yang
disadarinya sebagai penting, meski berat. Maka orang
tersebut semakin mampu menentukan dirinya, makin
tangguh, bebas dan luas wawasannya.
Agar pertanggungjawaban selalu dapat dituntut,
pembatasan kebebasan sosial harus dilakukan secara ter-
buka dan terus terang. Tak perlu ditutup-tutupi. Per-
aturan atau larangan hendaknya dikemukakan secara
jelas dan terbuka, sehingga masyarakat yang bersang-
kutan dapat menuntut pertanggug-jawaban seperlunya.
Kalau tidak dapat dipertanggung-jawabkan, peraturan
itu bersifat sewenang-wenang dan harus dicabut. Kita
sering mendengar istilah kebebasan yang bertanggung
jawab, apa artinya? Itulah ruang gerak yang disediakan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 45

oleh masyarakat bagi kebebasan kita. Itupun perlu diper-


tanggungjawabkan.
Sekarang ruang gerak itu menjadi tanggungjawab
kita dalam mempergunakannya. Apakah ruang ke-
bebasan itu bernilai atau tidak tergantung dari diri kita.
Kita harus mengambil sikap. Kita sendirilah yang meng-
ambil sikap. Kita sendirilah yang bertanggugjawab atas
sikap dan tindakan yang kita ambil, dan bukan masya-
rakat. Kita tidak dapat lari dari tanggungjawab itu.
Meskipun hanya ikut-ikutan dan tak berani ambil sikap,
hal itupun menjadi tanggungjawab kita sendiri.
Kebebasan eksistensial bukan hanya menjadi tang-
gungjawab kita, apa yang kita putuskan tidak bisa kita
lemparkan begitu saja, melainkan keputusan itu sendiri
harus dipertanggungjawabkan. Tidak sembarang
keputusan dapat disebut bertanggungjawab. Adanya
kebebasan eksistensial tidak berarti bahwa kita boleh
memutuskan apa saja dengan seenaknya. Kebebasan
sosial yang diberikan oleh masyarakat mempunyai arti
bahwa kita dibebani tanggungjawab untuk mengisi ruang
kebebasan secara bermakna. Tetapi kitapun dapat
memutuskan untuk tidak bertanggungjawab. Secara
eksistensial kita tetap bebas memilih. Dkl, kita punya
kewajiban berat untuk mempergunakan kebebasan
secara bertanggungjawab.
Kadang-kadang orang menolak untuk bertanggung
jawab dengan alasan tidak bebas lagi. Hal itu berarti
bahwa tahu dan sadar tentang apa yang seharusnya
dilakukan, tetapi tidak melakukannya juga. Mengapa
tidak mau, padahal ia menyadari tanggungjawabnya? Ada
banyak kemungkinan: karena malas (tidak bertanggung
jawab lebih ringan dan enak), acuh tak acuh (tak mau
46 Urgensi Pendidikan Moral

tahu, ada urusan lain yang lebih menarik, tak mau susah),
karena takut bahaya, ada yang tidak setuju, atau sedang
tersinggung dan tidak dapat mengatasi emosinya.
Sebenarnya ia tahu perbuatan apa yang paling bernilai
baginya, yang pantas dan wajar, tetapi karena situasi
tersebut, ia tidak kuat untuk melakukannya. Ia terlalu
lemah untuk melakukan apa yang dilihatnya sendiri
sebagai paling luhur dan penting. Jadi, menolak untuk
bertanggungjawab tidak membuat kita semakin bebas,
malah sebaliknya. Orang yang tidak bertanggungjawab
adalah orang yang tidak kuat untuk melakukan apa yang
dinilainya sendiri sebagai paling baik (loyo, tidak jantan,
terkekang oleh emosi, atau kesenangan sendiri). Ia
menjadi kurang bebas untuk menentukan dirinya sendiri,
karena menjadi budak dan dikuasai oleh emosi, perasaan,
rasa malas, kesenangan, dsb.
Jadi, Menolak untuk bertanggungjawab berarti: 1)
Tahu dan sadar akan apa yang seharusnya dilakukan,
tetapi tidak melaksanakannya. Itu berarti bahwa orang
tersebut tidak kuat untuk melakukan apa yang dinilainya
sendiri terbaik. Sehingga kurang bebas untuk menen-
tukan dirinya sendiri. 2) Akibat penolakan tanggung
jawab: wawasannya makin sempit, tertutup dan hanya
berputar di sekeliling diri sendiri, mudah menghindari
tantangan. Orang menjadi semakin lemah, tidak bebas
menentukan diri sendiri dan menjadi terbelengu, tak
kuat menahan arus dan akhirnya kebebasan eksisten-
sialnya justru memudar.
Orang yang tidak mau bertanggungjawab menjadi
semakin lemah, semakin tidak bebas lagi untuk menen-
tukan dirinya sendiri. Ia semakin dikuasai oleh dorongan
irasional. Ia menjadi terkekang dan menjadi budak, tidak
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 47

kuat lagi untuk melawan arus itu, karena tidak mau


bertanggungjawab atas kebebasannya sendiri.
Sebaliknya, orang yang bertanggungjawab semakin
kuat dan bebas, karena semakin luas wawasannya. Ia
kuat dan terlatih untuk mengatasi segala macam ke-
lemahan dan halangan. Orang yang bertanggungjawab
adalah orang yang menguasai dirinya, tidak ditaklukkan
oleh perasaan ataupun emosi. Sanggup untuk mencapai
tujuan yang disadarinya sebagai nilai luhur, meskipun
berat. Jadi, semakin bertanggungjawab kita justru
semakin bebas. Orang tidak menjadi dirinya sendiri
dengan mengelak dari tanggungjawabnya, melainkan
dengan mengakuinya dan berusaha melaksanakannya.
Itulah kebebasan yang bertanggungjawab.

9. Otonomi Moral dan Heteronomi Moral


Otonomi Moral (autos = sendiri; nomos = hukum)
Sikap moral manusia yang mentaati kewajiban karena
ia sadar akan kewajiban itu, bahwa dengan demikian ia
taat pada dirinya sendiri. Bukan berarti bahwa kita
menolak hukum yang dipasang orang lain, tetapi kita
mngakui dengan rendah hati bahwa kita adalah anggota
masyarakat, yang bersedia untuk hidup sesuai dengan
aturan-aturannya.
Jadi: sikap ini merupakan tanda kepribadian yang
dewasa bahwa kewajiban bukan dipandang sebagai beban
tetapi kita sadari sebagai sesuatu yang bernilai dan
sebagai undangan untuk melaksanakan tanggungjawab
kita dan menolak yang tidak baik sebagai yang tak dapat
dipertanggungjawabkan. Sikap ini memberikan kekuatan
untuk mengambil sikap sendiri.
48 Urgensi Pendidikan Moral

Heteronomi Moral (heteros = lain; nomos = hukum)


Sikap di mana orang memenuhi kewajibannya bukan
karena insaf bahwa kewajiban itu pantas dipenuhi, tetapi
karena tertekan, takut berdosa, takut dipersalahkan.
Heteronomi merupakan penyimpangan dari sikap
moral yang sebenarnya; di mana orang menaati peraturan
tanpa melihat nilai dari maknanya. Heteronomi
merendahkan manusia, membuat orang menjadi tidak
bebas, tertekan, takut dan buta terhadap nilai-nilai dan
tanggungjawab yang sebenarnya.

• Ciri-ciri Pribadi yang Otonom


a) Taat akan kewajiban karena ia sendiri sadar, bukan
karena dibebankan dari luar/terpaksa. Ia menyadari
ketaatannya itu sebagai ketaatan pada dirinya
sendiri, sebagai sesuatu yang bernilai dan sebagai
bentuk tanggungjawabnya.
b) Tidak tunduk secara buta terhadap suatu hukum
yang ditimpakan kepadanya, tetapi karena ia sendiri
menyetujui dan ia menghendakinya (karena melihat
nilai di baliknya). Sehingga: dalam menjalankan
tugasnya, ia tidak merasa direndahkan, meski
mungkin terasa berat.
c) Menolak untuk mengakui sebagai kewajiban, sesuatu
yang disadarinya sebagai sesuatu yang buruk, tidak
jujur atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
d) Mampu bersikap rendah hati untuk menerima bahwa
dirinya menjadi bagian dari masyarakat dan bersedia
untuk hidup sesuai dengan aturan-aturan yang ada.
Sadar bahwa hidup bersama itu memerlukan tatanan
yang harus ditaati bersama.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 49

10.Otonomi Moral dan Tiga Lembaga


Normatif
Yang dimaksud tiga lembaga normatif adalah tiga
fihak yang mengajukan norma-norma kepada kita:

• Masyarakat
Semua orang dan lembaga yang berpengaruh pada
hidup kita; Keluarga (terutama bapak-ibu), tempat kita
untuk pertama kalinya belajar mengenai apa yang boleh
dan tidak, apa yang harus dianggap baik dan buruk, dsb.
Sekolah, tempat memperoleh pengetahuan, belajar ber-
disiplin waktu, jujur dalam ujian, dsb. Agama, menuntut
kepercayaan, tindakan-tindakan tertentu dan sikap-
sikap yang amat dasariah.
Tempat kerja, melatih ketaatan pada peraturan dan
juga kepada bos kocak. Negara dan juga lembaga-lembaga
informal, yang dari padanya, kita belajar bagaimana harus
bersikap dan bertindak.

• Superego
Perasaan moral spontan yang muncul karena pem-
batinan nilai-nilai moral sejak kita masih kecil. Superego
itu menyatakan diri dalam perasaan bersalah atau malu
apabila kita melanggar norma-norma moral yang telah
kita batinkan itu.
Superego tidak mempunyai norma asli, tetapi hanya
menyuarakan norma-norma dari lingkungan sosial kita,
atau dari ideologi (lembaga normatif ketiga).
50 Urgensi Pendidikan Moral

• Ideologi
Segala macam ajaran tentang makna kehidupan,
nilai-nilai dasar dan tentang bagaimana manusia harus
hidup dan bertindak.
Arti pentingnya terletak pada tuntutan dan tun-
tunannya, bagaimana manusia harus hidup dan ber-
tindak. Kekuatan ideologi terletak dalam hati dan akal
kita.
Ideologi tidal lepas dari masyarakat, tetapi harus
dibedakan darinya karena bekerja secara abstrak,
sebagai keyakinan dan kepercayaan seseorang yang
dipegang teguh.

• Batas dan Wewenang Ketiga Lembaga


Normatif
Dalam situasi normal, kita terpengaruh oleh ketiga
lembaga normatif tersebut, dengan sendirinya kita akan
bertindak sesuai dengan norma-norma moral dan nilai-
nilai yang berlaku di dalam masyarakat dan sekaligus
dibimbing oleh superego. Ideologi sering sudah tercam-
pur dalam masyarakat.
Dalam keadaan khusus; dimana norma-norma itu
terasa bertentangan, nampaknya sesuatu yang penting:
moralitas tidak senantiasa dapat dibatasi pada
penyesuaian dengan tuntutan ketiga lembaga normatif
tersebut.
Kesimpulan, 1) Dalam keadaan normal, kita tidak
banyak berefleksi tentang norma-norma mana yang
harus kita akui, tetapi tentang apakah kita mau taat pada
norma itu. Maka: pembatasan wewenang ketiga lembaga
normatif diakui di dalam situasi ini. 2) Bila keadaan tidak
normal, wewenang ketiga lembaga normatif itu perlu
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 51

ditinjau kembali pengaruhnya; apakah sesuasi dengan


norma-norma moral.

• Otonomi Moral Berhadapan Dengan Ketiga


Lembaga Normatif
Moral merupakan segi dari pribadi manusia yang
sungguh otonom karena sikap itu diambil secara bebas
dalam situasi konkret. Berhadapan dengan ketiga
lembaga normatif tersebut, moral tetap menunjukkan
otonominya. Ia tidak harus mengikuti arus yang men-
jerumuskan pada penyelewengan yang sering terjadi
pada ketiga lembaga normatif tersebut; moral bebas
menentukan sikap. Manusia harus membentuk peni-
laiannya sendiri; menyesuaikan diri dengan lembaga-
lembaga tersebut atau menentangnya demi sesuatu yang
lebih tinggi. Otonomi moral tetap terjamin di hadapan
tiga lembaga normatif tersebut dan sama sekali tidak
kehilangan identitasnya.’ Secara moral, manusia hanya
berkewajiban untuk menaati ketiga lembaga tersebut,
sejauh sesuai dengan suara hati.

Bahan Bacaan:
Fisher,Martin,
1986Moral Resposibility, Ithaca and London: Cornell
University Press.
Hook, Sidney (ed.),
1979Determinism and freedom in the age of modern
Science,New York: collier macmillan publishers.
Knoft .,
1971 Beyond freedom and dignity, New York.
52 Urgensi Pendidikan Moral

Magnis Suseno, Frans,


1987 Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius.
Reichmann,S.J.,James B.
1967 Willing and choosing, bab 9 dalam bukunya
Philosophy of the human person, Chicago: Lo-yola
University Press, 1985.Taylor, Paul W. (ed.) Moral
Responsibility and free will,dalam Problems of Moral
phisolophy: An introduc-tion to Ethics,Belmont,
California Dickenson Publishing Company, Inc.,
p.294-352
Varga,Andrew C.
1979Free Will and Determinism, bab V bukunya
Human: Principlec of Ethics, New York: Paulist
Press, p.3-27.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 53

BAB III

SUARA HATI
PEDOMAN DAN TOLOK UKUR
MORAL

P enilaian moral adalah penilaian baik-buruknya


tingkah laku manusia sebagai manusia. Kebaikan
manusia dinilai dari segi lahiriah maupun batiniah.
Untuk penilaian tersebut dibutuhkan alat atau tolok
ukur, yakni ukuran moral.
Ada dua ukuran yang berbeda, yakni suara hati
sebagai ukuran dalam diri kita, dan norma sebagai
ukuran yang dipakai oleh orang lain untuk menilai diri
kita. Suara hati atau hati nurani menyediakan ukuran
subyektif, sedangkan norma-norma menunjuk pada
ukuran yang bersifat obyektif. Baik yang subyektif mau-
pun obyektif mengandung ukuran yang benar atas
moralitas manusia.
Dalam menjalani hidupnya, manusia dipandu oleh
dua macam pedoman moral. Pertama, pedoman objektif,
yaitu dari luar dirinya yang disebut norma yang me-
nggariskan mana yang baik atau buruk menurut persepsi
kelompok atau masyarakat.
Kedua, pedoman subjektif, yang datang dari dalam
dirinya yaitu suara hati/hati nurani, yaitu yang
54 Urgensi Pendidikan Moral

menggariskan mana yang baik atau buruk menurut


persepsi masing-masing subjek baik norma maupun hati
nurani mempunyai arah sama, yaitu memberi pedoman
atau petunjuk ke arah perilaku yang baik, yaitu sesuai
dengan keluhuran martabat manusia dan mengarah pada
summum Bonum (kebaikan tertinggi).

1. Arti Suara Hati


Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan berkaitan
dengan tiga lembaga normatif yang memberikan norma-
norma pada kita: Masyarakat, yang dimaksud adalah
keluarga, lingkungan, sekolah, komunitas, tempat kerja,
negara, dan sebagainya. Superego, adalah perasaan moral
spontan. Perasaan malu, bersalah yang muncul secara
otomatis dalam diri kita apabila kita melanggar norma-
norma yang telah kita batinkan. Perasaan itu juga muncul
apabila tidak ada orang lain yang menyaksikan pelang-
garan kita. Ideologi, yang dimaksud adalah segala macam
ajaran tentang makna kehidupan, nilai-nilai dasar, dan
tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.
Kekuatan ideologi terletak pada hati dan akal kita.
Agama bisa masuk dalam kelompok ini. Tiga lembaga
normatif itu memperngaruhi bagaimana suara hati
membuat suatu keputusan.
Suara hati adalah kesadaran moral kita dalam situasi
konkret. Dalam pusat kepribadiannya yang disebut hati,
kita sadar apa yang sebenarnya dituntut dari kita.
Mungkin ada banyak pihak yang mengatakan apa yang
wajib kita lakukan, tetapi dalam hati sadar bahwa hanya
kitalah yang mengetahuinya. Secara moral kitalah yang
akhirnya harus memutuskan sendiri apa yang akan
dilakukan. Kita tidak dapat melempar tanggungjawab itu
pada orang lain, tidak boleh mengikuti begitu saja
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 55

pendapat orang, juga tidak secara buta menaati tuntutan


ideologi tertentu, melainkan secara mandiri harus men-
cari kejelasan tentang kewajiban kita. Setiap orang dalam
hatinya memiliki suatu kesadaran mengenai apa yang
menjadi tanggungjawab dan kewajibannya. Kesadaran itu
sering dilalaikan (perlu diasah, dikembangkan, diper-
tajam supaya tidak salah). Suara hati adalah kesadaran
dalam batin saya mengenai kewajiban dan tanggungjawab
saya sebagai manusia dalam situasi konkret. Suara hati
harus selalu ditaati. Nilai kita sebagai manusia tergan-
tung pada ketaatan terhadap suara hati.
Kita merasa bersalah bila mengelak dari suara hati.
Suara hati dapat keliru, tetapi kita harus selalu taat ke-
padanya, karena suara hati adalah kesadaran langsung
mengenai kewajiban kita. Apa yang kita sadari sebagai
kewajiban, dengan sendirinya harus kita lakukan, apapun
pendapat orang lain. Suara hati adalah pusat keman-
dirian manusia. Tuntutan lembaga-lembaga normatif
(masyarakat, ideologi, superego) tidak berhak mengikat
hati kita begitu saja, meskipun apa yang mereka kemu-
kakan tetap diperhatikan. Suara mereka wajib ditaati
sejauh sesuai dengan suara hati. Tuntutan suara hati
bersifat mutlak.
Bagaimana menilai orang lain? Biasanya bertolak
dari kelakuan yang dapat dilihat atau hasil perbuatannya.
Penilaian bahwa orang itu berbudi luhur tidak hanya me-
ngenai kelakuannya, tetapi juga orangnya, karakternya,
sikap moralnya, dan motivasinya. Karena tindakan la-
hiriah dapat juga dilakukan dengan perhitungan dan
pamrih. Atau sebaliknya maksudnya baik, tetapi ke-
lakuannya salah. Maka, kita tidak mungkin menilai orang
lain secara moral melulu dari tindakan-tindakan la-
hiriah. Untuk menilai watak, sikap dasar, dan mutu
56 Urgensi Pendidikan Moral

kepribadian, harus mengetahui motivasinya. Yang dapat


kita nilai adalah sikap lahiriah, tetapi kita tidak berhak
langsung menarik kesimpulan bahwa orang itu sendiri
buruk atau baik.
Kita juga tidak berhak memvonis orang lain berdosa,
yang dapat kita katakan hanyalah bahwa kelakuan orang
itu menurut hemat kita tidak sesuai dengan kehendak
Tuhan. Dari sudut pandang agama kelakuannya salah,
tetapi kita tidak bisa melihat dalam hatinya apakah hati-
nya berdosa. Hanya Tuhanlah yang dapat menilai. Namun
demikian juga tidak dibenarkan bahwa yang penting
adalah maksud baik dari tindakannya, bukan pelaksanaan
konkret. Maksud baik tidak disertai usaha sekuat tenaga
untuk melaksanakannya, maksud baik itu sendiri tidak
pernah nyata, hanya angan-angan saja. Maksud baik
tanpa usaha sepenuh kemampuan untuk merealisasikan,
tidak bermutu, bahkan tidak ada maksud baik.
Suara hati adalah kesadaran dalam diri manusia
untuk mengetahui apakah perbuatannya baik atau buruk.
Kesadaran moral kita dalam situasi konkret yakni me-
ngenai apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban
kita sebagai manusia. Kesadaran itu merupakan
kesadaran dalam batin bahwa kita berkewajiban mutlak
untuk selalu menghendaki bagi apa yang menjadi ke-
wajiban dan tanggungjawab kita:
Jadi, dari kehendak itulah tergantung kebijakan saya
sebagai manusia dan bahwa diri sendirilah yang
mengetahui apa yang menjadi tanggungjawab dan
kewajiban. Suara hati bersifat mutlak, dalam arti, entah
kita menuruti atau tidak, tuntutan tersebut tetap ada.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 57

• Pengenalan dan kesadaran


Pengenalan adalah kemampuan yang diperoleh
melalui panca indera. Pengenalan bukan monopoli ma-
nusia; binatang juga mampu mengenal. Misalnya anjing
mampu mengenali bau lebih baik dari manusia. Ke-
sadaran adalah kemampuan yang diperoleh melalui akal
budi untuk mengenali diri. Contohnya saya menyadari
bahwa saya sedang berada di kampus saat ini.
Suara hati = kesadaran moral dalam situasi konkret
dan aktual.
Dikatakan “konkret”maksudnya keputusan suara
hati terjadi dalam situasi nyata dan tertentu , bukan
dalam situasi umum.
Dikatakan “aktual”maksudnya keputusan suara hati
hanya terjadi pada saat itu saja atau tak bisa diulangi.

• Suara hati bersifat personal


Dikatakan “personal” maksudnya suara hati selalu
berkaitan erat dengan pribadi yang bersangkutan, di-
warnai oleh kepribadian orang tersebut dan akan ber-
kembang juga bersama dengan perkembangan kepri-
badiannya.
Hati nurani hanya berbicara atas nama saya dan
hanya memberi penilaian tentang perbuatan saya. Hati
nurani tidak memberi penilaian tentang perbuatan orang
lain.

• Suara hati bersifat adipersonal


Selain bersifat pribadi, suara hati juga seolah-olah
melebihi pribadi kita atau seakan-akan merupakan
instansi di atas kita. Dalam hati nurani seolah-olah ada
58 Urgensi Pendidikan Moral

cahaya dari luar yang menerangi hati dan budi kita.


Terhadap hati nurani kita seolah-olah sebagai pendengar
yang sedang membuka diri terhadapnya. Suara hati
mempunyai aspek transenden yakni melebihi diri kita.
Karena aspek adipersonal itulah, maka orang-orang
beragama kerap kali menyatakan bahwa suara hati
adalah suara Tuhan.

• Suara hati bersifat subyektif


Kesadaran tiap pribadi tidak terwakili oleh orang
lain, melainkan melekat pada dirinya masing-masing dan
diwarnai oleh perkembangan atau kekayaan akal budi-
nya. Keputusan akal budi hanya berlaku atau mendesak
diriku.

• Suara hati sebagai norma moral


subyektif
Mengikuti suara hati merupakan hak dasar bagi
setiap manusia. Tak ada orang lain yang berwenang cam-
pur tangan dalam putusan hati nurani seseorang.
Dipandang dari sudut subyek hati nurani adalah norma
terakhir untuk perbuatan-perbuatan kita. Putusan hati
nurani adalah norma moral yang subyetif bagi tingkah
laku subyektif.

• Suara hati dan Norma-norma.


Norma memberitahukan padaku mana yang benar-
salah, mana yang baik dan buruk. Suara hati: dengan
tegas memberitrahukan kepadaku kebaikan yang harus
kukejar, kulakukan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 59

2. Fungsi Suara hati


• Suara hati berfungsi prospektif
Suara hati melihat ke masa depan dan menilai per-
buatan kita yang akan datang, menunjuk apa yang harus
dipilih atau dilakukan. Suara hati mengingatkan kita
tentang akibat-akibat baik atau buruk kalau kita me-
lakukan tindakan tersebut.

• Suara hati berfungsi introspektif


Suara hati berfungsi mawas diri, menilai suatu
tindakan yang telah dilakukan sebagai baik atau buruk
atau berfungsi mengadili diri.

• Suara hati berfungsi retrospektif.


Suara hati memberikan penilaian tentang perbuatan-
perbuatan yang telah terjadi di masa lalu. Suara hati
menilai perbuatan-perbuatan yang telah lewat dan
menyatakannya sebagai baik atau buruk. Hati nurani
memberi hukuman bila tindakan kita buruk/salah berupa
rasa salah, malu, gelisah, resah, bahkan muak dengan
diri sendiri. Sebaliknya suara hati memberikan ganjaran
bila tindakan kita baik/benar berupa rasa damai, puas,
tenang.

• Fungsi suara hati terhadap norma.


Pertama, Suara hati merekam, membatinkan (inter-
nalisasi) norma-norma dan menyuarakannya kembali
dalam situasi konkret. Kedua, suara hati menangkap
nilai-nilai yang ada dibalik norma-norma lalu memper-
timbangkannya, serta membuat urutan menurut
60 Urgensi Pendidikan Moral

bobotnya. Ketiga, Suara hati mendorong tindakan-tin-


dakan yang mewujudkan nilai-nilai secara benar.
Keempat, Membina otonomi atau kemandirian moral,
yakni orang pada akhirnya memilih sesuatu, memutus-
kan sesuatu dan bertindak berdasarkan norma-norma
yang diyakininya. Dengan suara hati tiap orang menen-
tukan dirinya sendiri.

3. Mempertanggungjawabkan Suara Hati


Suara hati tidak mempunyai jaminan bahwa tidak
pernah keliru. Padahal mutlak harus ditaati. Maka, kita
harus betul-betul berusaha agar suara hati kita tepat.
Oleh karena itu keputusan suara hati harus diper-
tanggungjawabkan. Suara hati adalah kesadaran akan
kewajiban kita dalam situasi konkret. Yang dilakukan
oleh suara hati adalah memberikan penilaian moral.
Suara hati dengan penilaian moralnya bukan sekedar
perasaan, karena ada unsur rasionalitas dan obyektivitas,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara rasional
dan obyektif. Hal itu tidak berarti bahwa setiap pan-
dangan moral harus dibuktikan dulu, tetapi harus ter-
buka bagi setiap argumen, sangkalan, pertanyaan, mau-
pun keragu-raguan dari orang lain atau dari dalam hati
kita sendiri. Kemudian kita bisa memberikan argumen-
tasi yang masuk akal. Namun bila penilaian moral suara
hati kelihatan sungguh-sungguh tak dapat dipertang-
gungjawabkan, kita harus bersedia mencari orientasi
baru.
Jadi yang diperlukan adalah sikap terbuka. Artinya,
bersedia membiarkan pendapat sendiri dipersoalkan,
bersedia memikirkan kembali pendirian kita, mencari
segala informasi yang relevan, sehingga dapat menemu-
kan keputusan mana yang paling tepat.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 61

4. Mengembangkan Suara Hati


Untuk mencapai kematangan pribadi, kita harus
mempertajam dimensi kognitif dan afektif agar suara hati
dapat memberikan penilaian berdasarkan pengertian
yang tepat. Dengan kata lain kita harus mendidik suara
hati. Mengapa? Suara hati kita sangat dipengaruhi oleh
perasaan moral yang terbentuk selama dalam pen-
didikan, pengaruh pandangan moral lingkungan yang
sudah dibatinkan. Dengan mendidik suara hati kita
berusaha membebaskan dari prasangka-prasangka, agar
kita dapat mengambil jarak, dan menilainya dengan
kritis. Mendidik suara hati berarti terus menerus ber-
sikap terbuka, mau belajar, mau mengerti seluk beluk
masalah yang kita hadapi, mau memahami pertim-
bangan-pertimbangan etis yang tepat, dan seperlunya
membaharui pandangan kita, sehingga suara hati
semakin sesuai dengan norma-norma moral obyektif dan
struktur-struktur nyata persoalan yang kita hadapi.
Usaha mendidik suara hati menuntut keterbukaan dan
keinginan kita untuk belajar, juga demi perkembangan
kepribadian kita.
Apakah suara hati sama dengan suara Tuhan?
Pertama, suara hati dapat keliru, sedangkan suara Tuhan
tidak dapat keliru. Maka, sudah jelas bahwa suara hati
tidak begitu saja boleh disamakan dengan suara Tuhan.
Suara hati dengan amat jelas mencerminkan pengertian
dan prasangka kita sendiri, sehingga jelas merupakan
suara kita sendiri. Kedua, dalam suara hati memang ada
unsur yang tidak dapat diterangkan dari realitas manusia
saja, yaitu kemutlakannya. Suara hati memuat kewajiban
yang mutlak harus kita lakukan tanpa syarat. Dari mana
unsur mutlak itu, padahal manusia tidak mutlak, yang
mutlak hanya satu, Allah. Jadi kemutlakan suara hati
62 Urgensi Pendidikan Moral

menunjuk pada Allah. Fenomen itu menjelaskan bahwa


kita benar-benar memiliki pengalaman transendensi,
tentang Dia yang mengatasi segala ciptaan. Suara hati
paling tepat untuk memahami bahwa Allah itu ada (JH.
Newman, 1997).
Oleh karena suara hati bersifat subjektif, maka suara
hati tidak selalu benar. Suara hati bisa salah, sesat,
bahkan bisa buta dan tumpul. Suara hati perlu dibina
terus menerus dengan cara, 1) Mawas diri, yaitu dapat
membedakan yang baik dan yang buruk. Orang perlu
mencari tahu alasan-alasan mengapa baik, mengapa
buruk. Mawas diri berarti orang dapat mempertimbang-
kan bobot nilai. 2) Mampu mempertimbangkan mana yang
harus diutamakan (skala prioritas) pada saat kita meng-
hadapi masalah-masalah moral. 3) Membiasakan diri
untuk selalu peka dan mentaati suara hati, memperkaya
diri dengan wawasan yang baik, dan mau belajar hidup
dari siapa saja.

5. Suara Hati Menyatakan Diri Berhadapan


dengan Tiga Lembaga Normatif
Suara hati menyatakan diri lewat sikap yang kita
ambil dalam menghadapi keadaan konkret di dalam
hidup ini. Situasi konkret memaksa kita untuk bersikap;
mengikuti atau sebaliknya (menolak) tuntutan ketiga
lembaga normatif tersebut. Manusia secara moral, hanya
berkewajiban menaatinya sejauh tuntutan itu sesuai
dengan suara hatinya maka suara hati menjadi nyata
dalam kebijaksanaan diri yang diambilnya di hadapan
suatu peristiwa hidup yang konkret. Ketiga lembaga
normatif itu menyediakan pengetahuan bagi putusan-
putusan suara hati, namun demikian, toh mereka tidak
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 63

berhak mengikat suara hati begitu saja, mereka tidak


dapat menghapus tanggung jawab kita untuk akhirnya
sendiri memutuskan apa yang menjadi kewajiban kita
dalam situasi-situasi konkret yang kita hadapi.

6. Ketekadan Moral
Yang perlu bagi kita sekarang adalah bagaimana
bertindak sesuai dengan suara hati. Mengembangkan
tekad untuk berpegang teguh pada suara hati dalam
situasi apapun, berhadapan dengan situasi konkret:
tekanan, bujukan, tawaran menggiurkan. Kemampuan
mendengarkan suara hati dan bertindak sesuai dengan-
nya, tergantung apakah kita mampu membebaskan diri
dari penguasaan emosi, perasaan, dan dorongan
irrasionil yang terus menerus merongrong kesatuan
tekad kita. Dikuasai oleh perasaan irrasionil berarti
orang panik, tidak dapat melihat atau mendengarkan
apapun. Yang ada hanya kebingungan.
Salah satu usaha terpenting bagi kekuatan batin kita
ialah membebaskan diri dari cengkeraman kekuatan
irrasionil (Jw: Pamrih). Manusia tidak dapat menjadi
dirinya sendiri, menguasai diri, kecuali ia menjadi sepi
ing pamrih, bebas dari pamrih. Ia akan bebas dari rasa
gelisah, nafsu ingin memiliki, sehingga mampu mengon-
trol nafsu dan emosinya. Ia semakin dapat rame ing gawe,
sanggup untuk memenuhi kewajiban dan tanggungjawab
yang menantangnya. Dalam tradisi kerohanian sikap sepi
ing pamrih dikenal dengan tiga upaya: Maksud lurus
(recta intentio), pengaturan emosi-emosi (ordinatio affec-
tuum), pemurnian hati (purificatio cordis). Melatih sikap-
sikap itu berarti meningkatkan kemampuan kita untuk
menentukan diri, sehingga tidak mudah terombang-
64 Urgensi Pendidikan Moral

ambing oleh emosi, nafsu, dan perasaan dangkal lainnya.


Sikap itu membuat kepribadian kita menjadi kuat,
otonom, dan mampu menjalankan tanggungjawab dengan
tekad kuat.
Istilah lain untuk mendengarkan suara hati adalah
rasa atau perasaan. Yaitu kemampuan untuk merasakan
segala dimensi hidup dari perasaan inderawi sampai
pada hubungan batin interpersonal. Rasa tidak lain
adalah sikap moral dasar seseorang yang masih asli.
Dalam tradisi rohani adalah melatih kepekaan. Mencapai
rasa yang mendalam berarti sudah mantap dalam tekad
untuk selalu memilih yang baik dan benar, dengan hati
dan budi yang jernih.

Bahan Bacaan:
Sociological Aspects of an Education in Values in
School Life: dim. OIEC Bulletin, no. 62, Sept-Oct 1981.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 65

BAB IV

NORMA DAN NILAI

1. Pengertian Norma
Norma adalah aturan-aturan dan kaidah-kaidah yang
dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai tindakan
manusia. Tindakan yang sesuai dengan norma dinilai
baik, benar; sebaliknya tindakan yang tidak sesuai
norma-norma dinilai buruk atau salah.

• Fungsi norma
Norma mengatur tindakan manusia, mengarahkan
tindakan manusia ke arah yang baik serta membatasi tin-
dakan manusia dan memberitahukan yang baik dan yang
buruk.

• Macam-macam Norma
Norma-norma dibedakan dalam dua jenis, pertama
norma khusus yang berlaku spesifik dalam bidang ter-
tentu misalnya olah raga (norma teknis), kedua, adalah
bahasa/komunikasi (kaidah). Norma-norma khusus tidak
dibicarakan di sini. Dalam rangka etika dibahas norma-
norma umum, yakni norma sopan santun, norma hukum
dan norma moral.
66 Urgensi Pendidikan Moral

• Norma sopan santun atau etiket.


Norma sopan-santun adalah tatanan yang me-
nyangkut sikap lahiriah manusia. Meskipun sikap la-
hiriah dapat mengungkapkan sikap hati dan karenanya
berkualitas moral, tetapi norma ini tidak bersifat moral.
Maka, orang yang melanggar norma ini karena tidak
mengetahuinya atau karena dituntut oleh situasi, tidak
melanggar norma moral dan ia tidak dapat ditindak.
Norma ini terbatas pada lingkungan masyarakat se-
tempat, dan lebih bersifat lisan. Tujuannya adalah me-
ngatur hubungan dan suasana hidup yang nyaman, damai.
Etiket banyak mengatur soal kesopanan, misalnya:
cara berbicara, berpakaian, cara duduk, cara makan, cara
berjalan, cara bertamu, cara bergaul dengan lawan jenis
dan sebagainya.
Yang menjadi dasar adalah nilai hormat dan peng-
hargaan terhadap orang lain, maka hanya diindahkan
pada saat berhadapan dengan orang lain.
Sanksi yang akan diterima apabila tidak mengindah-
kan norma ini berupa tindakan langsung, misalnya dite-
gur, dicela, diperingatkan, dibentak, dimaki.

• Norma hukum.
Norma-norma yang dituntut dengan jelas oleh masya-
rakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan
kesejahteraan umum. Norma ini diundangkan oleh pihak
yang berwenang dan tidak dibiarkan untuk dilanggar.
Pelanggaran akan mendatangkan hukuman sebagai
sangsinya.
Norma ini terbatas pada wilayah hukum tertentu.
Seharusnya, norma ini mengacu pada norma moral dan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 67

malahan sebagai penjamin pelaksanaan norma moral.


Aturan yang dibuat oleh penguasa masyarakat atau
negara.
Pelanggaran terhadap norma hukum akan ditindak
secara pasti sesuai dengan ketentuan hukum yang ber-
laku. Namun hukum itu buatan manusia, maka pelak-
sanaanya banyak tergantung pula pada manusianya.
Maka tidak heran jika di suatu negara hukum yang
memiliki sistem hukum yang bagus namun banyak terjadi
pelanggaran dan pelecehan hukum. Norma ini mem-
punyai bobot yang relatif tinggi karena menyangkut ke-
pentingan umum yang cukup luas.

• Norma moral
Norma Moral merupakan tolok ukur yang diper-
gunakan untuk mengukur kebaikan seseorang atau un-
tuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan
manusia, dilihat dari baik buruknya sebagai manusia dan
bukan sebagai pelaku peran tertentu yang terbatas. Nor-
ma ini bersifat universal (mengingat bagi semua orang),
memandang dan menghargai manusia sebagai manusia,
untuk menentukan kualitas manusia. Maka, penilaian
baik buruknya seseorang itu dilihat dari keseluruhan tin-
dakannya sebagai manusia.
Norma moral dibuat karena tuntutan martabat luhur
manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan ber-
kehendak bebas. Dengan akal budinya manusia mengerti
baik-buruk suatu tindakan untuk menuju kesempurnaan.
Sanksi yang akan diterima apabila norma ini dilang-
gar adalah berkaitan penilaian buruk sebagai manusia,
baik dari diri sendiri atau orang lain. Apabila diketahui
orang lain, akan dibenci, dijauhi, dicela, dikucilkan, dsb.
68 Urgensi Pendidikan Moral

Kalau tidak diketahui orang lain, akan cemas, gelisah,


resah, tidak tenang, dan sebagainya.
Sebagai manusia, norma moral bersifat mutlak arti-
nya berhadapan dengan norma moral, norma-norma lain
mengalah atau patut dipertimbangkan kembali. Dalam
hidup sehari-hari sering terjadi benturan norma. Apa-
bila terjadi benturan norma maka norma moral harus se-
lalu diutamakan karena kedudukannya paling tinggi dan
menyangkut martabat manusia. Contoh norma moral me-
ngalahkan norma sopan-santun; seseorang bisa mem-
berikan pernafasan buatan kepada orang lain walaupun
mereka belum saling kenal. Contoh lain misalnya orang
bisa masuk mendobrak orang tanpa permisi pada saat
terjadi kebakaran sedangkan pemilik rumah tidak ber-
ada ditempat. Contoh norma moral mengalahkan norma
hukum; Seseorang bisa melanggar lampu merah ketika
sedang mengantar teman yang sedang dalam keadaan
darurat karena serangan jantung.

Bahan Diskusi :
Berikan contoh kasus:
• Norma moral mengalahkan norma hukum
• Norma moral mengalahkan norma sopan santun
• Norma moral mengalahkan norma hukum sekaligus
norma sopan-santun

2. Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berarti dan patut dikejar,
dimiliki dan dihayati dalam hidup manusia. Nilai dikejar
dan diperjuangkan karena bermakna baik, menarik,
menyenangkan, berguna bagi manusia sebagai individu
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 69

dan kelompok sosial atau komunitas. Nilai selalu


berkonotasi positif dan tersembunyi di balik fakta atau
obyek tertentu. Nilai baru muncul setelah fakta atau
obyek ditafsirkan oleh subyek. Maka nilai bersifat
subyektif.

• Ciri-ciri nilai
Nilai berkaitan dengan subyek. Jika tidak ada subyek
yang menilai tidak ada nilai. Nilai tampil dan dihayati
dalam suatu konteks praktis. Nilai menyangkut sifat-sifat
yang “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat yang di-
miliki obyek. Nilai tidak diimiliki obyek pada dirinya,
karena obyek yang sama bagi berbagai subyek dapat
menimbulkan nilai yang berbeda-beda.

• Macam-macam nilai
Ada bermacam-macam nilai dan klasifikasinya
tergantung dari aspek apa subyek menafsirkan fakta atau
obyek. Misalnya: Nilai biologis, nilai ekonomis, nilai
psikis, nilai estetis, nilai religius, nilai kesehatan, nilai
etis.dsb

3. Mengenal Etika Nilai Max Scheler


Max menekankan obyektivitas. Biarlah obyek sendiri
menyatakan dirinya. Etikanya tak bisa dipahami lepas
dari formalisme dan regorisme Kant. Ia mau mengem-
bangkan dan mengertik formalisme dalam etika material-
nya. Ia mengakui unsur-unsur positif dalam Kant. Kant
berusaha mengembalikan moral pada satu kaidah dasar
saja, namun mereka berdua setuju pada pandangan bah-
wa moral harus didasarkan pada nilai.
70 Urgensi Pendidikan Moral

• Kritik Scheler terhadap Formalisme dan


Regorisme Kant
Imperatif kategoris Kant terlalu formal atau u-
mum, karena tidak memberikan petunjuk konkret ‘apa
yang harus dilakukan oleh pelaku’. Tidak mengatakan
apa … Itu berarti tidak ada isi materi di dalamnya. Kant
tidak berhasil memberikan hukum konkret. Semua hanya
dilakukan secara universal. Prinsip universalitas Kant
merupakan syarat agar tindakan dapat dikatakan sebagai
tindakan moral. Pemecahan Kant: harus dilakukan
refleksi apakah tindakan itu memang dilakukan umum
atau tidak.
Rigorisme (orang bertindak moral kalau tindakan-
nya melulu atas dasar ketaatan pada hukum). Tindakan
ini menurut Max kurang rasional. Yang menghilangkan
nilai moral adalah bila pelaksanaannya itu hanya karena
demi keuntungan diri sendiri. Menurut Max, sebenarnya
ada nilai di balik kewajiban itu. Melakukan bukan demi
kewajiban, melainkan demi nilai di belakang kewajiban
itu.

• Garis Besar Etika Nilai Material Max Scheler


Setiap tindakan itu mengandung nilai, yaitu apa yang
membuat sesuatu yang baik itu menjadi lebih baik. Ada
tiga unsur tentang pemahaman nilai; Pertama, bersifat
material memiliki isi tertentu. Misalnya: jika saya makan
tahu bacem dengan lombok rawit – maka enak. Nilai
kekuatan – misalnya mengangkat beras kuat 50 kg.
Kedua, bersifat obyektif ; tidak tergantung dari selera
kita. Nilai suatu obyek tidak pertama-tama ditentukan
oleh hubungannya dengan subyek, melainkan memang
sudah punya nilai dalam dirinya sendiri.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 71

Misal: kapur tulis bernilai untuk menulis – namun


untuk pak Amat yang penjual dawet akan lain nilainya.
Ketiga, bersifat apriori; tidak tergantung dari wa-
hana yang membawa nilai tersebut. Misalnya: kapur–
kegunaan tidak tergantung pada satu-satunya yang
mempersyaratkan adanya nilai. Nilai kecantikan dibawa
oleh yang cantik, nilai enak dibawa oleh kue yang enak.

• Max Scheler membedakan empat jenjang nilai/


hierarki nilai :
1) Nilai kenikmatan inderawi (enak – tidak enak).
Ini menyebabkan orang senang atau tidak senang.
Misalnya: tidur itu menyenangkan. 2) Nilai kehidupan/
vital (kesehatan, keberanian, kekuatan, dan lain-lain).
3) Nilai rohani atau kejiwaan (kebenaran, pengetahuan,
dan lain-lain); nilai estetis (keindahan); benar-salah;
adil-tidak adil; pengetahuan murni (filsafat). 4) Nilai
kerohanian atau religius (kesucian, keutamaan, nilai-
nilai personal).
Nilai moral tidak termasuk dalam empat hal itu, tapi
tergantung dari orangnya apakah dia bisa memilih secara
tepat satu di antara keempat macam nilai itu atau tidak.
Kewajiban moral adalah kewajiban untuk memilih nilai
yang lebih tinggi. Nilai kehidupan didahulukan dari nilai
kenikmatan, nilai kerohanian didahulukan dari nilai
kehidupan, dan lain-lain.

• Tanggapan Kritis atas teori Nilai Material Max


Masalah Etika Nilai Max
Jasa atau segi positifnya: Berjasa dalam menunjuk
kekurangan pokok nilai formal Kant. Menunjukkan
bahwa pusat kewajiban moral bukan pada kewajiban itu
72 Urgensi Pendidikan Moral

sendiri, melainkan pada nilai yang mau diwujudkan oleh


adanya kewajiban itu. Analisa terhadap jenjang nilai juga
amat berjasa, karena bisa menunjukkan bahwa nilai moral
hedonisme melupakan nilai-nilai lain yang lebih luhur.
Kekurangan atau negatifnya: nilai dalam etika nilai
material itu digambarkan seakan-akan sudah begitu jelas
dengan dirinya sendiri. Padahal nilai tidak pernah lepas
dari kegiatan manusia dengan tujuannya sendiri yang
tidak lepas dari kegiatan kita. Etika nilai Max Scheler
sulit menerangkan adanya kewajiban lepas dari kriteria
nilai di luar. Jika nilai moral itu tergantung pada tinda-
kan itu sendiri, semestinya nilai yang melekat dalam tin-
dakan itu secara intrinsik lebih baik. (misalnya: nonton
film – ada suster cari dana untuk panti asuhan).

Bahan Diskusi
Berikan contoh kasus :
• nilai estetika dikalahkan dan nilai ekonomi di-
menangkan.
• Nilai moral dimenangkan dan nilai religius dikalah-
kan.
• Nilai psikis dimenangkan dan nilai ekonomi di-
kalahkan.
• Nilai ekonomi dimenangkan dan nilai moral di-
kalahkan.

Bahan Bacaan:
Bertens,K
1993 Etika,Jakarta,Gramedia.
Magnis Suseno,
1987 Etika Dasar, YogYakarta,Kanisius.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 73

BAB V

TAHAP-TAHAP
PERKEMBANGAN PENALARAN
MORAL MENURUT L. KOHLBERG

M enurut Lawrence Kohlberg (1927-1988), seorang


ahli pendidikan dan psikologi perkembangan yang
telah mengadakan penelitian di pelbagai tempat di
Amerika, Eropa dan Asia, mengemukakan bahwa kesa-
daran moral manusia mengalami perkembangan dari
taraf yang sifatnya masih kekanak-kanakan sampai ke
kesadaran moral yang dewasa. Ia membedakan tiga ting-
kat dan enam tahap perkembangan. Menurut Kohlberg
tiga tingkat dan enam tahap ini berlaku universal dalam
semua kebudayaan. Data-data penelitian empirisnya
menunjukan bahwa pendapat relativisme moral yang
menyatakan bahwa tak ada prinsip moral yang berlaku
umum mengatasi batas-batas kebudayaan tertentu itu
tak dapat dipertahankan. Yang berbeda dari satu indivi-
du ke individu yang lain adalah tahap mana yang menjadi
tahap terakhir yang dicapai karena kebanyakan orang
menurut Kohlberg dalam perkembangan kesadaran
moral tidak mencapai tahap yang ke-6. Kenyataan bahwa
seseorang mencapai tahap tertentu bukan berarti bahwa
dia selalu menilai baik buruknya tindakan sesuai dengan
74 Urgensi Pendidikan Moral

kesadaran moral tahap itu, karana kadang-kadang orang


bisa bergeser entah ke 1 tahap atasnya atau 1 tahap
bawahnya.
Dasar epistimologis penelitian Kohlberg adalah
penelitian yang bermaksud untuk menyelidiki perkem-
bangan kognitif sesuai dengan teori ’cognitive develop-
mental psychologi’ (Munsey, 1980). Dasar epistimologis
ini dengan sendirinya menolak paham emotivisme yang
menganggap kesa-daran dan putusan moral hanyalah
perkara perasaan belaka. Dasar-dasar pertimbangan dan
putusan moral menurut Kohlberg mengandung proses
pengertian akal budi atau bersifat rasional.
Penahapan kesadaran moral manusia oleh Kohl-
berg dibagi menjadi enam tahap yang secara implisit
mengandung pengertian bahwa makin tinggi tahap ke-
sadaran moral seseorang, makin ‘dewasa’, ’matang’ dan
‘bertang-gungjawab’ dalam sikap-sikap moralnya. Pe-
nilaian bahwa tahap ke-6 adalah tahap yang tertinggi
didasarkan atas kriteria keluasan persepsi mengenai
norma-norma dan tanggung jawab moral, dari kemur-
nian/kenalaran motivasi untuk bertindak secara moral
dan dari kebulatan identitas ego yang otonom.
Teori Kohlberg terdiri dari 3 tingkat, dan masing-
masing mempunyai 2 langkah. Tingkatan Pre-conven-
tional berlaku untuk orang-orang yang merasa bahwa
aturan masyarakat diluar dari konsep diri mereka
(Kohlberg, 1976). Pada tingkatan ini, individu tidak be-
nar-benar memahami dan menegakkan aturan masya-
rakat, melainkan mereka menahan diri dari perilaku
yang ditentang dan menghindari hukuman atau untuk
menerima hal positif pada diri mereka. Yang termasuk
dalam tingkatan ini biasanya anak-anak dibawah 9 tahun
tapi ada juga beberapa anak remaja dan para tahanan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 75

Tingkatan Conventional merupakan pertimbangan


dan pemikiran orang-orang yang mempunyai bagian
dalam aturan masyarakat terutama bagi mereka yang
mempunyai figur otoritas (Kohlberg, 1976). Orang yang
termasuk dalam tingkatan ini berusaha menahan diri dari
perilaku yang ditentang dan melakukan sesuatu yang
tidak bertentangan dengan aturan untuk menghindari
celaan dari orang lain dan memperoleh pujian dari yang,
terutama orang-orang yang berada dalam kekuasaan.
Kebanyakan anak remaja dan orang dewasa dalam
masyarakat kita termasuk dalam tingkatan ini.
Tingkatan Post-conventional, orang-orang yang
termasuk dalam tingkatan ini relatif lebih sedikit dan
mereka sudah dapat membedakan konsep diri mereka
dari ketentuan-ketentuan masyarakat dan mereka dapat
menggambarkan nilai-nilai dalam kaitan dengan pe-
milihan prinsip untuk diri mereka. Orang dalam tingkat
ini berperilaku menurut prinsip mereka sendiri ketika
aturan masyarakat sejalan dengan ajaran moral. Seba-
gian orang dewasa mencapai tingkatan ini dan mereka
pada umumnya berumur 20 tahun.
Individu pada masing-masing tingkat mempunyai
perspektif sosiomoral berbeda. Perspektif sosiomoral se-
seorang “mengacu pada pandangan terhadap individu
yang menerima penjelasan fakta sosial dan nilai-nilai
sosiomoral atau sebaliknya (Kohlberg, 1976, p.33).
Perspektif individual digunakan oleh orang yang
memiliki tingkatan pre-conventional. Mereka hanya
terkait dengan “Apakah hal ini terbaik bagi saya” ter-
masuk tindakan yang dilakukan untuk menghindari
hukuman. Orang yang termasuk dalam tingkatan conven-
tional menunjukkan sebuah perspektif/pandangan pada
suatu kelompok. Disini, mereka mempertahankan
76 Urgensi Pendidikan Moral

atuaran masyarakat dan hak istimewa figur otoritas


tertinggi. Pandangan “prioritas sosial” dianut oleh orang-
orang pada tingkat post-conventional. Umumnya mereka
secara alami memandang kedepan tentang aturan
masyarakat.
Berikut dipaparkan penjelasan singkat tentang tiga
tingkat dan enam tahap perkembangan kesadaran moral
menurut Kohlberg dan kemudian ditambahkan beberapa
penilaian atas pendapat tersebut.

1. Tingkat Pra-Adat (Pre-conventional)


Pada tahap ini anak menangkap pengertian
aturan-aturan sosial dan sebutan baik-buruk, benar-
salah, namun hanya sejauh itu dimengerti dalam kaitan
dengan akibat fisik yang dirasakan. Sesuatu dianggap
baik/benar kalau secara fisik mengenakkan, dan se-
baliknya buruk/salah kalau itu tidak mengenakkan.
Kepatuhan pada aturan hanya karena itu mendatangkan
ganjaran dan menghindarkan dari hukum.
Terhadap yang lebih kuasa anak bersikap taat ka-
rena takut hukuman dan mengharapkan ganjaran. Pan-
dangan dasar adalah egois dan hedonistik. Identitas diri
bersifat alamiah (bersifat perasaan inderawi spontan).

• Tahap 1: Orientasi hukuman dan ketaatan


Benar/salahnya tindakan ditentukan berdasarkan
akibat fisik tindakan tersebut. Tidak ada perhatian ter-
hadap arti manusiawi dan nilai lebih lanjut dari akibat-
akibat itu. Menghindari hukuman dan tunduk pada ke-
kuasaan dengan sendirinya baik karena mengelakkan
pengalaman tidak enak. kepentingan orang lain tak ma-
suk perhitungan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 77

• Tahap 2: Orientasi perhitungan untung-rugi


Tindakan yang benar adalah tindakan yang secara
instrumental menunjang kebutuhan dirinya dan kadang-
kadang kebutuhan orang lain. Hubungan dengan orang
lain bersifat tawar-menawar seperti di pasar. Dalam ta-
hap ini orang tetap bertolak dari kepentingannya yang
egois untuk memperoleh yang enak dan menghindari
yang tidak enak. Lain dengan tahap sebelumnya, se-
karang ia sudah menyadari bahwa orang lain pun mem-
punyai perasaan dan kepentingan yang sama dan agar
orang lain mau bersikap baik terhadapnya kepentingan
tersebut juga perlu diperhatikan. Disini kepentingan
orang lain diperhatikan sejauh itu menjadi syarat
pemenuhan kepentingan sendiri. Prinsipnya adalah Do
ut des.

2. Tingkat Adat (Conventional)


Pada tingkat ini mempertahankan keselarasan de-
ngan kelompok akrab seperti kesatuan keluarga, pagu-
yuban, bangsa, dianggap sebagai sesuatu yang bernilai
dalam dirinya sendiri dan tak perduli apa akibatnya.
Orang mengidentifikasikan diri dengan kelompok.
Kewajiban dirasakan sebagai segala sesuatu yang me-
menuhi harapan kelompok, yang dipuji, yang mem-
buatnya bersatu dengannya. Orang merasa loyal ter-
hadap kelompoknya, bersedia memperahan-kan, men-
dukung dan membenarkan tatanannya. Kelompok tidak
lagi dipandang sebagai sarana bagi pemenuhan kebu-
tuhan egoisnya, melainkan bernilai pada diri sendiri.
Identitas seseorang ditemukan dalam pengambilan
peranan yang diberikan kepadanya oleh kelompok.
78 Urgensi Pendidikan Moral

• Tahap 3: Orientasi pada kelompok akrab


Dalam tahap ini tingkah laku yang dianggap baik
adalah tingkah laku yang dapat memuaskan dan mem-
bantu serta dipuji oleh orang-orang yang dikenal baik,
oleh kelompok yang akrab. Ia membenarkan apa yang
mereka benarkan. Ia senang apabila dianggap sebagai
“anak yang alim” (good boy, nice girl). Tingkah laku yang
benar adalah tingkah laku yang sama dengan apa yang
dianggap ‘cocok’ atau ‘pantas’/’tepat dalam kelompoknya.
Orang dinilai menurut ‘maksud baik’nya.

• Tahap 4: Orientasi hukum dan tatanan


Dalam tahap ini orientasi diarahkan pada kekuasa-
an, hukum yang mapan dan pelestarian tatanan sosial.
Perspek-tif meluas ke kesatuan sosial yang abstrak dan
tidak lagi terbatas pada kelompok akrab: bangsa, masya-
rakat, negara dengan hukum dan kewajiban nasional,
agama dan lain seba-gainya. Kelakuan yang baik adalah
kelakuan yang sesuai dengan aturan/tuntutan kesatuan
abstrak dan bukan hanya yang selaras dengan kelompok
akrab. Tatanan sosial harus dipertahankan. Peraturan
harus dilaksanakan tanpa diper-tanyakan. Diharapkan
loyalitas tanpa pamrih terhadap kelompok abstrak. Ma-
sing-masing dituntut melaksanakan kewajiban sosialnya.

3. Tingkat Pasca-Adat (Post-conventional):


tingkat individu otonom dan berprinsip
umum
Pada tingkat ini ada usaha jelas untuk memahami
nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip kelakuan yang
punya validity dan pengetrapan lebih luas daripada apa
yang ditetapkan oleh yang berwenang dalam kelompok
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 79

atau kesa-tuan sosialnya sendiri. Nilai-nilai dan prinsip-


prinsip tersebut diterima karena dianggap benar pada
dirinya sendiri. Identitas orang berdasarkan egonya
(penghayatan kelakuannya berhadapan dengan manusia
lain.

• Tahap 5: Orientasi perjanjian sosial dan


keadilan
Pada dasarnya tahap ini bernada utilitarian. Tin-
dakan benar cenderung untuk dirumuskan dalam arti
standart atau patokan yang telah diperiksa secara kritis
dan disetujui bersama oleh masyarakat. Orang sadar
akan relativitas nilai-nilai serta norma-norma masya-
rakat. Ia merasa wajib menghormati hak orang lain dan
memenuhi janji yang diberikan. Kewajiban berdasarkan
kesadaran bahwa ia, seperti semua orang lain, hidup da-
lam dan dari masyarakat dan oleh karena itu harus
mentaati hukum dan peraturan. Hukum tidak berlaku
mutlak/dapat diubah. Orang merasa terikat oleh apa
yang ditentukan bersama secara demokratis.

• Tahap 6: Orientasi pada prinsip-prinsip moral


dan suara hati
Tindakan yang benar ditetapkan oleh putusan sua-
ra hati sesuai dengan prinsip moral yang dipilih sendiri
atas dasar keluasan cakupannya secara logis, keberla-
kuan umumnya, dan konsistensinya. Prinsip-prinsip yang
berlaku umum itu antar lain: prinsip keadilan, prinsip
timbal balik dan kesamaan hak azasi manusia, hormat
terhadap martabat manusia sebagai pribadi.
Beberapa penilaian tentang teori Kohlberg. Untuk
bisa bersikap kritis dan mampu menempatkan di mana
80 Urgensi Pendidikan Moral

titik kekuatan dan di mana titik kelemahan teori per-


kembangan kesadaran moral Kohlberg berikut ini di
sajikan beberapa penilaian terhadap teori tersebut.

• Teori Kohlberg mengacu pada teori etika


peraturan yang bersifat formal:
Karya Kohlberg dilatarbelakangi oleh teori etika
normatif Kant yang bisa digolongkan ke dalam teori etika
peraturan yang bersifat formal. Dalam paham etika
macam ini suatu keputusan atau tindakan bersifat moral
kalau memenuhi suatu kriteria formal tertentu, yakni
bila sela-ras dengan suatu titik pandangan moral (the
moral point of view). Titik pangkal pandangan moral oleh
William Frankena misalnya dinyatakan bahwa bisa
dijabarkan secara formal, yakni readiness to think and
make practical decisions by reference to principles which
one is willing to take as supreme, even in the light of the
best available knowl-edge. A judgment,...., is moral only
if it is made from this point of view, only if it is suported
by reasons involving principles chosen in this spirit,
whatever the content of these reasons may be. (Frankena,
1963:18)
Pusat perhatian dalam teori etika formalis lebih
diarahkan pada pembenaran (justification) atas suatu
keputusan moral berdasarkan suatu peraturan atau
prinsip-prinsip yang secara a priori bisa ditentukan oleh
akal budi dan bukan pada proses pengambilan keputusan
sendiri dalam segala kompleksitas permasalahannya.
Paham ini disebut formal karena peraturan atau prinsip
moral berlaku secara a priori, sehingga isi tindakan atau
situasi dan kondisi empiris yang menjadi lingkup peng-
ambilan keputusan moral tak berpengaruh terhadap
penilaian benar/salahnya tindakan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 81

Untuk menilai suatu tindakan cukuplah menem-


patkan tindakan tersebut dalam hubungan dengan
peraturan atau prinsip moral; apakah tindakan itu se-
suai atau tidak dengan peraturan/prinsip moral ter-
sebut. Peraturan atau prinsip moral sebagai ketetapan
akal budi manusia selalu berlaku di mana-mana dan
menjadi prasyarat untuk menggo-longkan dan menilai
apakah suatu tindakan bisa disebut tindakan moral atau
tidak. Penilaian moral tak mungkin dilakukan lepas dari
peraturan/prinsip moral di bawah mana satu tindakan
tertentu bisa digolongkan.
Teori etika peraturan biasanya dibedakan atau bah-
kan kadang-kadang dilawankan dengan teori etika
tindakan. Dalam teori etika tindakan pusat perhatian
lebih diarahkan pada proses pengambilan keputusan
yang benar. Pertanggungjawaban keputusan moral tidak
hanya menyangkut penilaian apakah suatu tindakan
sesuai atau tidak dengan peraturan atau prinsip moral
tertentu, melainkan juga apakah ada faktor-faktor lain
dalam konteks tindakan yang perlu ikut dipertimbang-
kan. Dengan demikian isi atau situasi dan kondisi tin-
dakan (fakta empiris yang melingkupi) juga ikut main
peranan. Teori etika tindakan tidak bermaksud menya-
takan bahwa perdebatan moral hanyalah berpangkal
pada perbedaan pemahaman faktual sehingga kalau
kedua belah pihak setuju mengenai fakta-faktanya maka
akan sampai kepersetujuan putusan moral. Teori etika
tindakan tetap menyadari bahwa ruang lingkup etika
adalah bidang normatif atau apa yang semestinya
dilakukan (what ought to be done/das Sollen) dan bukan
perkara deskriptip atau apa yang senyatanya ada (what
is/das Sein). Peryataan moral memang tidak sejajar de-
ngan peryataan ilmu. Yang mau ditandaskan oleh teori
82 Urgensi Pendidikan Moral

etika tindakan adalah bahwa peraturan-peraturan/


prinsip-prinsip moral umum hanyalah berfungsi sebagai
pedoman dan bukan penentu a priori benar/salahnya sua-
tu tindakan secara moral. Benar/salahnya suatu tindakan
secara moral perlu dilihat pula dari konteks faktual
tindakan tersebut.
Dengan mengacu pada teori etika peraturan pa-
ham Kohlberg tentang tahap-tahap kesadaran moral
dengan sendirinya lalu juga bersifat formal dan memen-
tingkan masalah pembenaran suatu tindakan moral dari
pada proses pengambilan keputusan. Sebagaimana
dikritik oleh Brenda Munsey, Bernard Rosen, dan Israela
Ettenberg Aron. Teori Kohlberg kalau mau dipakai
sebagai dasar pendidikan moral perlu dilengkapi dengan
pendekatan yang lebih pragmatis dan mengacu pada
teori etika tindakan sebagai terungkap misal-nya dalam
teori etika John Dewey. Dalam pendidikan moral tidak
cukup bahwa anak dididik dilatih untuk semakin mema-
hami prinsip-prinsip moral yang berlaku umum dan
semakin bertindak atas dasar pemahaman tersebut,
melainkan juga perlu dilatih untuk melihat kompleksitas
permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-
hari dan dilatih bagaimana bisa mengambil keputusan
secara bertanggung jawan dalam situasi konkret tersebut.
Karena etika peraturan bersifat formal, seperti nampak
dalam penyajian Kohlberg tentang kasus dilematis
Heinz, kompleksitas permasalahan sebagaimana ada
dalam konteks kehidupan konkret begitu disederhanakan
sehingga jalan keluar dari dilema seakan-akan menjadi
begitu jelas. Masalahnya seakan-akan tinggal bagaimana
pemahaman seseorang akan prinsip-prinsip moral yang
nalar dan berlaku umum bisa diterapkan dalam kasus
tersebut. Padahal dalam kenyataan sehari-hari belum
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 83

tentu bahwa tindakan Heinz untuk mencuri obat (pe-


langgaran prinsip moral atas hak milik) untuk menye-
lamatkan nyawa istrinya (mengikuti prinsip moral hak
azasi manusia untuk menpertahankan hidupnya) begitu
saja jelas bahwa secara moral bisa dibenarkan. Sung-
guhkah dalam kenyataan konkret hanya ada dua pilihan
itu?

• Teori Kohlberg bias pada paham moral


laki-laki
Karena tekanan pemahaman kognitif bersifat sen-
tral dalam teori perkembangan kesadaran moral Kohl-
berg, penilaian mengenai kedewasaan kesadaran moral
orang kurang menganggap penting nilai-nilai affektif.
Menurut pandangan Carol Gilligan tahap-tahap ke-
sadaran moral Kohlberg mengandung bias pada paham
moral laki-laki. Perspektif memperhatikan dan me-
melihara (care perspective) misalnya yang cukup me-
nonjol dan penting untuk pola sikap para wanita dalam
teori perkembangan kesadaran moral Kohlberg masuk
pada tahap ke-3. Menurut Gilligan tema-tema sikap moral
seperti caring, responsibility atau response yang cukup
menonjol pada wanita tidak kalah penting dengan tema-
tema sikap moral yang oleh Kohlberg ditempatkan pada
tahap terakhir (ke-6) yakni justice, fairness dan reproci-ty.
Orang yang memperkembangkan gagasan Gilligan
tentang pentingnya caring sebagai sikap moral adalah
Nel Noddings dalam bukunya: Caring: A Feminine
Approach to Ethics and Moral Education. (Munsey, 1980)
84 Urgensi Pendidikan Moral

4. Kritik Pater Magnis Suseno atas Teori


Kohlberg
Dalam bukunya Etika Jawa (Magnis, 1985) setelah
menunjukkan bagaimana faham etika Jawa senada atau
mengandung kemiripan dengan tahap ke-3 dalam teori
perkembangan kesadaran moral Kohlberg, Pater Magnis
menyatakan keraguan atas kebenaraan pendapat
Kohlberg bahwa tingkat ke-6 mengandaikan dilaluinya
semua tingkat sebelumnya, termasuk tingkat ke-4 dan
ke-6. Menurut Magnis tahap kesadaran moral ke-3, se-
bagaimana terungkap dalam ciri-ciri paham etika Jawa
(seperti sikap sepi ing pamrih lan rame ing gawe; si-
kap-sikap eling, pracaya, tresna, temen, adil, dan budi-
luhur) dapat juga terbuka dan menjadi prasyarat dan
wahana suatu sikap dasar yang sejajar dengan tahap ke-
6, atau tahap kesadaran moral dewasa. Andaikata
Kohlberg benar bahwa tingkat kesadaran moral dewasa
(tahap ke-6) baru tercapai kalau orang sudah melewati
tahap-tahap sebelumnya termasuk 4 dan 5, maka,
demikian kata Magnis, “kita harus menerima kesimpulan
aneh, bahwa baru dalam masyarakat kapitalis atau
sosialis orang dapat mencapai tahap keenam, kesadaran
moral yang sebenarnya. Dalam pandangan Magnis tahap
3,4,dan 5 adalah tahap-tahap etika masyarakat yang
masing-masing sesuai dengan tipe masyarakat tertentu,
dimana tipe pertama terpelihara dalam tipe kedua dan
tipe kedua dalam tipe ketiga. Sedangkan tahap ke-6
adalah tahap kesadaran moral individual yang sudah
matang dan bisa dicapai melalui salah satu dari ketiga
tahap tersebut.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 85

• Komentar atas Tanggapan di atas


Bagi penulis diskusi antara Kohlberg (dan pengikut-
nya) yang menekankan segi formal-kognitif dalam
mengalami moralitas dengan Brenda Munsey (dkk.) yang
menekankan segi material-affektif dalam memahami
moralitas merupa-kan suatu ungkapan baru dari diskusi
kuno tentang apa yang tetap/permanen dengan apa
yang terus berubah/proses. Keduanya merupakan dua
segi dari realita yang satu, sehingga kalau kita mau
memelihara keutu-han realita segi yang satu sesung-
guhnya tidak bisa dikorbankan demi yang lain. Akhir-
nya tinggal soal penekanan; mana yang mau lebih diberi
tekanan sesuai dengan keadaan konkret tempat teori
mau diterapkan. Sudah jelas bahwa teori perkembangan
kesadaran moral Kohlberg dilatarbelakangi oleh faham
etika Kant yang bersifat deontologis. Sebagai teori etika
paham ini mempunyai kekuatan dan kelemahan
tersendiri, suatu kekuatan dan kelemahan yang dengan
sendirinya akan mempengaruhi juga kekuatan dan
kelemahan Kohlberg. Kekuatan teori etika deontologis
terletak dalam kemam-puan untuk menerangkan rasio-
nalita, keberlakuan umum dan kemutlakan kesadaran
moral/suara hati yang dewasa. Kelemahannya terletak
dalam kecenderungannya untuk menjadi formal dan
tidak mengindahkan konteks/situasi konkret dengan
segala kompleksitas masalah yang meling-kupi suatu
pertimbangan dan putusan moral.
Sebagai teori psikologi yang didasari oleh hasil-
hasil penelitian empiris teori perkembangan kesadaran
moral Kohlberg bisa merupakan argumen kontra
terhadap faham emotivisme moral (yang mengajarkan
bahwa kesadaran dan penilaian moral hanya masalah
86 Urgensi Pendidikan Moral

perasaan saja) dan relativisme moral (yang mengajar-


kan bahwa tak ada norma moral yang berlaku mutlak
dan umum di mana saja; yang ada hanyalah keberlakuan
yang relatif terhadap suatu masyarakat/kebudayaan ter-
tentu). Kedua paham terakhir ini seringkali mendasar-
kan argumen mereka pada data-data empiris.
Kalau mau dipakai sebagai dasar kebijakan untuk
pendidikan moral di ekolah teori perkembangan ke-
sadaran moral Kohlberg memang perlu dilengkapi
dengan pendekatan yang lebih memberi tempat pada
latihan pengambilan keputusan dan tidak berhenti pada
pemahaman kognitif tentang prinsip-prinsip. Pengeta-
huan memang penting untuk hidup bermoral, namun
seperti sudah dinyatakan oleh Aristoteles, tahu apa itu
keutamaan keberanian, atau ugahari, atau keadilan,
belum berarti bahwa orang itu orang yang berkeu-
tamaan berani, ugahari dan adil. Pembentukan dan
pelatihan tekad moral tidak kalah penting dari pada
pembinaan pengertian nalar tentang apa yang baik dan
apa yang buruk.
Untuk Indonesia di mana penghayatan moral
cenderung lebih bersifat affektif dan heteronom daripada
kognitif dan otonom, sebagai penyeimbang, pendidikan
moral yang mengacu pada teori perkembangan kesadaran
moral menurut Kohlberg kiranya bisa amat bermanfaat.
Penghayatan ketaatan pada peraturan dan hukum bisa
ditingkatkan pada taraf kesadaran akan nilai-nilai yang
mau dijamin oleh peraturan dan hukum tersebut dan
bukan sekedar suatu ketaatan buta.
Tanggapan Pater Magnis cukup perseptif dan ki-
ranya senada dengan protes Carol Gilligan dkk. yang
menyatakan bahwa sikap-sikap moral seperti sikap
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 87

tanggap, memelihara dan memperhatikan (caring), sikap


kesetiaan (faithfullness), tidaklah kalah pentingnya bagi
kesadaran moral yang dewasa daripada sifat-sifat yang
ditonjolkan oleh Kohlberg.

• Sebuah Catatan:
Tentang tahap 3, 4, dan 5 sebagai tahap-tahap etika
masyarakat kiranya sudah merupakan suatu pengamatan
antropologis dan terletak diluar jangkauan penelitian
Kohlberg. Untuk pembenaran pernyataan tersebut perlu
diadakan penelitian tersendiri tentang typoplogi sikap
moral suatu masyarakat. Perlu diselidiki misalnya apa-
kah memang ada kaitan kausal antara suatu tata sosial
ekonomi suatu masyarakat dengan sikap moral para
anggotanya.
Penyimpulan para Antropolog dan etnolog itu ter-
gesa-gesa, karena kenyataan yang mereka hadapi me-
nyangkut perwujudan kongkret norma yang memang su-
dah sepantasnya ada perbedaan dari bangsa yang satu
ke bangsa yang lain. Tetapi kalau diselidiki lebih dalam,
maka akan menjadi nyata bahwa dibalik perbedaan
terdapat kesamaan nilai-nilai dasar yang mau
diwujudkan.

Bahan Bacaan:

Aron, Israela Ettenberg,


1994 Moral Education: The Formalist Tradition and
the Deweyan Alternative, University of California
Press.
88 Urgensi Pendidikan Moral

Bertens, K,
1993 Etika, Jakarta: Gramedia.
Frankena, William,
1963 Recent Conception of Morality, dalam Mora-
lity and the Language of Conduct, edited by H.N.
Castaneda and Geoge Nakhnikian, Detroit: Wayne
State University Press.
Gilligan, Carol,
1982 In A Different Voice, Cambrige, Mass Harvard
University Press.
Kohlberg, L.
1981 Essays Moral Development, Vol. I. The
Philosophy of Moral Development,San Francisco:
Harper and Row.
----------------,
1984 Essays Moral Development, Vol. II. The
Psychology of Moral Devolepment, San Francis-co:
Harper and Row.
Magnis-Suseno, Franz,
1985 Etika Jawa: Sebuah Analisa Filosofi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia, 1985.
Munsey, Brenda,
1980 Cognitive-Developmental Theory of Moral
Development: Metaethical Issue dalam Moral
Development, Moral Education, and Kohlberg,
Birmingham Alabana: Religious Education Press.
Rosen, Bernard,
1981 Moral Dilimmans and Their Treatmen,
Cambrige, Mass: Harvard University Press
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 89

BAB VI

TEORI-TEORI TENTANG KEBAIKAN

D alam sejarah perkembangan filsafat banyak


dikembangkan teori-teori etika tentang kebaikan.
Dalam membahas teori atau pandangan tentang kebaikan
tersebut manusia dituntut untuk bersikap kritis yaitu
bisa membedakan mana yang baik dan mana mana yang
buruk, supaya manusia dapat mengarah pada kebaikan
dan tidak terjebak pada kesalahan yang mengakibatkan
kerugian baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Beberapa teori tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Teori Hedonisme
Kata hedonisme berasal dari bahasa Yunani “he-
done” artinya nikmat, kesenangan. Hedonisme adalah
suatu paham yang mengajarkan bahwa manusia
hendaknya hidup sedemikian rupa agar mencapai kenik-
matan atau kesenangan. Kekhasan hedonisme adalah
pahamnya yang menekankan pencarian dan pencapaian
nikmat dan menghindari kesakitan-kesakitan. Menurut
paham ini, manusia bagaimanapun akan menghindari
penderitaan dan hanya mencari kenikmatan-kenikmatan
dalam hidupnya. Paham Hedonisme sudah muncul sejak
abad 4 sebelum masehi oleh Aristippos (433-355 SM).
90 Urgensi Pendidikan Moral

Menurutnya tujuan akhir manusia adalah mencapai


kesenangan badaniah belaka. Sedangkan Epikuros (341-
210 SM) menekankan kesenangan badan dan jiwa sebagai
tujuan kehidupan manusia.
Paham hedonisme masih sangat populer sampai saat
ini. Banyak orang mencari kesenangan karena banyak
tawaran kenikmatan yang menggoda. Dimana-mana
semakin banyak orang memilih sesuatu yang bersifat
instan dan mudah, sehingga tidak perlu menempuh se-
suatu yang sulit dan memerlukan proses, karena hal itu
merupakan penderitaan atau kesakitan. Paham hedonis-
me menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia de-
ngan mencari perasaan- perasaan menyenangkan seba-
nyak mungkin karena hal itu akan membawa kenik-
matan, dan sebisa mungkin menghindari perasaan- pe-
rasaan yang tidak enak, karena menimbulkan pen-
deritaan. Jelasnya carilah nikmat dan hindarilah
perasaan- perasaan yang menyakitkan.

2. Dua Macam Hedonisme


• Hedonisme Psikologis
Adalah pandangan yang mendasarkan diri pada teori
yang mengatakan bahwa manusia, bagaimanapun juga,
selalu hanya mencari nikmat dan mau menghindari
perasaan-perasaan yang tidak enak. Teori ini berbicara
tentang motivasi dasar manusia. Di belakang tujuan yang
luhur dan motivasi yang suci tindakan manusia terdapat
motivasi yang hanya mencari nikmat. Manusia sebenar-
nya menipu diri sendiri dan mengira tindakannya itu suci
serta demi yang lain. Aliran ini tak percaya bahwa ma-
nusia dapat tergerak oleh cita-cita luhur.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 91

• Hedonisme Etis
Adalah etika yang membuat pencaharian keba-
hagiaan menjadi prinsip yang paling dasariah. Manusia
hendaknya hidup sedemikian rupa sehingga dia dapat
semakin bahagia. Pandangan ini berasal dari Yunani 2000
tahun yang lalu. Pertimbangan yang mendasarinya ada-
lah bahwa kebahagiaan merupakan tujuan pada dirinya
sendiri. Tidak ada yang mengatasinya. Orang yang sudah
bahagia tidak memerlukan apa-apa lagi. Maka ia harus
mencari perasaan-perasaan yang menyenangkan seba-
nyak mungkin dan menghindari perasaan-perasaan yang
tidak enak. Nampaknya masuk akal kalau kehidupan kita,
kita arahkan pada usaha untuk mencapai kebahagiaan.
Kita tidak boleh mengikuti berbagai dorongan nafsu be-
gitu saja, melainkan agar kita dalam memenuhi keinginan
yang menghasilkan kenikmatan bersikap bijaksana dan
selalu seimbang serta dapat menguasai diri.

• Tanggapan Kritis
Kiranya tidak seratus persen benar kalau hedonis-
me psikologis mengatakan bahwa manusia dalam segala
usaha nya hanya mencari nikmat saja. Pada dasarnya
manusia bertindak karena dua dorongan yaitu dorongan
spontan irasional dan karena merasa tertarik oleh segala
macam nilai. Maka sudah kelihatan bahwa dorongan
spontan untuk mencari nikmat hanyalah salah satu
dorongan diantara sekian dorongan yang ada. Ada
dorongan agresi, pertahankan nyawa, dan lain-lain. Dari
situ telihat bahwa dorongan-dorongan spontan irasional
manusia ada bermacam-macam tidak hanya untuk
mencari nikmat saja.
92 Urgensi Pendidikan Moral

Hedonisme piskologis tidak melihat bahwa manusia


itu makhluk yang mempunyai banyak nilai. Manusia tidak
hanya meminati nikmat, melainkan ada nilai-nilai lain
dengan daya tarik yang barangkali lebih kuat.
Tindakan manusia masing-masing mempunyai tu-
juan sendiri-sendiri yang sangat beraneka warna
diantaranya ada yang baik dan buruk, sedangkan nikmat
jasmani hanyalah perasaan puas yang menyertai sebagian
kecil dari dorongan-dorongan yang tercapai manusia,
yaitu pemuasan kebutuhan fisik.
Manusia dapat bertindak secara rasional; di antara
pelbagai kemungkinan atau alternatif ia dapat memilih
mana yang akan dilaksanakan.
Hedonisme psikologis tampak sebagai teori yang ber-
dasarkan perasaan iri rupanya mereka tidak tahan untuk
melihat orang yang betul-betul berbudi luhur.
Apakah benar manusia hanya mencari nikmat saja?
Manusia bertindak karena beberapa dorongan. Ada
dorongan spontan irasionil misalnya isnting, nafsu-nafsu,
dan ada pula dorongan rasional misalnya ketertarikan
akan nilai-nilai misalnya kebenaran, keadilan, seni-
budaya, spiritualitas, tanggung jawab yang membuat ma-
nusia mau dan mampu menahan rasa sakit serta
penderitaan untuk suatu pencapaian yang berarti dalam
hidup.
Penganjur paham hedonisme tidak melihat bahwa
manusia adalah makhluk yang memiliki banyak nilai
yang hendak diwujudkan dalam hidupnya. Manusia
mampu memilih, bertindak rasional (bukan instinktif),
bermati raga, rela berkorban untuk sesuatu yang diang-
gapnya berarti dan luhur.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 93

• Kesimpulan
Tidak bisa dipungkiri bahwa keinginan akan ke-
senangan atau kenikmatan merupakan dorongan yang
sangat mendasar dalam hidup manusia. Namun paham
hedonisme perlu dilihat secara komprehensif dan harus
disikapi secara kritis.
Paham hedonisme banyak dianut oleh manusia jaman
ini, lebih-lebih kaum muda. Banyak kemudahan di-
tawarkan pada manusia untuk mencapai kesenangan dan
kenikmatan, hal- hal yang serba instan menjadi gaya hi-
dup masa kini yang banyak dipilih orang, sehingga banyak
orang cenderung mengambil jalan pintas dan tidak
menghargai proses. Dalam dunia pendidikan banyak ma-
hasiswa yang menempuh jalan pintas dalam menger-
jakan tugas, mereka tidak melalui dan tidak menghargai
proses yang seharusnya ditempuh, akhirnya dapat mem-
pengaruhi penurunan kualitas lulusan yang dihasilkan,
sehingga mereka akan mengalami kesulitan dalam ber-
kompetisi dalam meraih dunia kerja.
Mengingat hal tersebut maka paham hedonisme
harus disikapi secara kritis, agar manusia tidak terjebak
pada kesenangan dan kenikmatan yang bersifat
sementara.
Pertama, apakah benar banwa manusia hanya
mengejar kesenangan dan kenikmatan dalam tujuan
hidupnya? apakah benar motivasi terakhir tindakan
manusia hanya kesenangan dan kenikmatan? tentu tidak.
Bukankah ada manusia yang membaktikan seluruh
hidupnya demi kebaikan orang lain seperti halnya yang
dilakukan oleh ibu Theresa dan banyak tenaga sukarela-
wan dalam berbagai bidang? Begitu banyak orang yang
melakukan tindakan bukan hanya untuk mengejar
94 Urgensi Pendidikan Moral

kesenangan dan kenikmatan sebagai motivasi akhir


melainkan mereka berjuang keras untuk kehidupan
orang lain yang lebih layak, adil dan manusiawi. Maka
paham hedonisme dalam hal ini tidak bisa sepenuhnya
diterima oleh semua orang.
Kedua, paham hedonisme secara logis tidak dapat
dipertanggungjawabkan, karena menyetarakan dengan
moralitas yang baik. Jika manusia memang cenderung
kepada kesenangan dan kenikmatan, apa yang mem-
buktikan hal itu tentang kualitas etisnya? apabila
manusia cenderung kepada kesenangan dan kenikmatan,
apa yang menjamin bahwa kecenderungan itu baik? ka-
rena ada orang yang dalam mencapai kesenangan hanya
memikirkan dirinya sendiri bahkan dengan cara merugi-
kan dan mengorbankan orang lain sperti yang dilakukan
oleh para teroris. Oleh karena itu kesenangan saja tidak
cukup menjamin sifat etis suatu perbuatan.
Ketiga, perlu dibedakan antara kesenangan atau
kenikmatan dengan kebahagiaan. Kenikmatan merupa-
kan kesenangan atau perasaan enak yang dirasakan apa-
bila sebuah keinginan seseorang terpenuhi. Ada nikmat
jasmani seperti makan enak, konsumsi narkoba, atau
kenikmatan seksual. Banyak orang tergiur dengan ma-
kanan cepat saji yang serba instan dan nikmat rasanya,
namun kenikmatan itu ternyata hanya bersifat semen-
tara, karena makanan tersebut berdampak pada kese-
hatan manusia yaitu dengan munculnya berbagai pe-
nyakit yang berbahaya. Orang bilang konsumsi narkoba
dapat membawa kenikmatan, menghilangkan kecemasan
dan menimbulkan keberanian. Ternyata rasa nikmat itu-
pun juga sifatnya sementara, karena dampak dari kon-
sumsi narkoba membuat syaraf seseorang menjadi rusak,
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 95

sehingga berpengaruh pada phisik maupun psikis .


Berhubungan seks sebelum menikah dan seks bebas
dengan berganti-ganti pasangan merupakan gaya hidup
yang banyak dilakukan oleh manusia jaman ini, dengan
alasan untuk mendapatkan kenikmatan yang sensasio-
nal. Perlu diketahui bahwa kenikmatan tersebut hanya
bersifat sementarfa karena dibalik kenikmatan sesaat itu
ada dampak yang menimbulkan berbagai penyakit
kelamin bahkan bisa terkena HIV yang dapat meng-
gerogoti kekebalan tubuh manusia.
Jadi ciri khas nikmat adalah bahwa ia berkaitan
langsung dengan sebuah pengalaman, yaitu pengalaman
terpenuhinya sebuah keinginan jasmaniah, begitu
pengalaman itu selesai maka rasa nikmatpun habis.
Dengan demikian kenikmatan atau kesenangan tersebut
sifatnya hanya sementara.
Berbeda dengan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah
sebuah kesadaran akan rasa puas dan gembira yang
berdasar pada keadaan tertentu. Manusia dapat merasa
bahagia tanpa adanya pengalaman nikmat tertentu,
melainkan justru sebaliknya yaitu harus melalui proses
pengorbanan dan perjuangan, misalnya mahasiswa harus
belajar semaksimal mungkin untuk mendapatkan
prestasi yang membahagiakan. Nilai dan pengalaman–
pengalaman yang paling mendalam dan dapat mem-
bahagiakan seperti mampu mencintai orang lain, bisa
membantu orang lain serta bisa berguna bagi banak orang
walau harus memerlukan pengorbanan dan perjuangan,
namun hal tersebut dapat memberikan rasa kepuasan
dan kebahagiaan bagi seseorang. Kebahagiaan tersebut
sifatnya tidak sementara seperti halnya kenikmatan,
melainkan bersifat lebih lama dan lebih bernilai bagi
hidup manusia.
96 Urgensi Pendidikan Moral

Karena manusia adalah makhluk yang bersifat


jasmani sekaligus rohani maka kenikmatan atau ke-
senangan jasmaniah saja tidak cukup. Manusia adalah
makhluk yang bermartabat luhur, maka perlu mengejar
hal-hal yang bersifat rohani, dengan demikian paham he-
donisme tidak tepat untuk dikejar karena tidak menun-
jukkan keluhuran martabat manusia.

• Etika pengembangan diri


Etika pengembangan diri mengajarkan bahwa tujuan
akhir manusia adalah kebahagiaan. Menurut tokohnya,
yakni Aristoteles (384-322 SM), manusia menjadi bahagia
kalau ia secara aktif merealisasikan potensi dan bakat-
bakatnya. Jadi yang membuat manusia berbahagia adalah
bila ia mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga
potensi dan bakatnya menjadi kenyataan.
(Jadi yang membahagiakan adalah apabila seseorang
dapat mengembangkan diri sedemikian rupa hingga
bakat-bakat yang dimilikinya menjadi kenyataan).
Manusia adalah makhluk yang mempunyai banyak
potensi, namun potensi-potensi itu baru menjadi nyata
apabila direalisasikannya. Kebahagiaan tercapai dalam
mempergunakan atau mengaktifkan bakat- bakat dan
kemampuan- kemampuannya. Maka salah satu kewajiban
dasar manusia adalah mengembangkan diri. Semakin
seseorang dapat mengembangkan potensinya semakin ia
berbahagia.
Persoalannya: bagaimana manusia berkembang?
Apakah cukup dengan mengembangkan diri saja? Atau
cukup dengan memikirkan diri saja?
Manusia berkembang apabila ia tidak hanya me-
mikirkan perkembangan diri saja, karena bila demikian
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 97

ia justru tidak berkembang. Jika manusia mau ber-


kembang, ia harus membuka diri, dan memberikan diri
sepenuhnya untuk pelayanan terhadap sesamanya.
Manusia justru tidak berkembang apabila pengembangan
dirinya dengan menggali potensi diri menjadi tujuan
utama tanpa memperkembangkan orang lain. Seseorang
dapat berkembang apabila ia berani untuk tidak hanya
menggali potensi diri demi kepentingan pribadinya saja,
melainkan orang-orang yang dapat menomorduakan
kepentingannya sendiri dan memberikan diri sepenuh-
nya kepada perkembangan orang lain. Disinilah penge-
rtian pengembangan diri yang sesungguhnya.
Sebagai orang beriman, kebahagiaan merupakan rah-
mat Tuhan yang dicapai apabila manusia berkembang ber-
sama sesamanya. Manusia tidak mungkin berkembang
secara utuh menyeluruh apabila perspektifnya hanya
terbatas pada diri sendiri dan pada kebahagiaan duniawi
semata.

3. Eudaimonisme Aristoteles
Prinsip: setiap hal mempunyai esensi atau forma yang
menjadi prinsip bagi hidup pengada itu sendiri. Etika
eudaimonisme ini merupakan etika yang bersifat teleo-
logis karena mengarah kepada suatu tujuan yaitu ke-
bahagiaan. Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan.
Kebahagiaan itu mengandung keutamaan yaitu keu-
tamaan untuk mengembangkan diri, dengan segala ma-
cam potensi yang dimiliki. Aspek penentuan diri hanya
ada dalam manusia. Orang harus melepaskan diri dari diri-
nya tak mungkin tercapai dengan sebaik-baiknya. Orang
harus menerima diri adanya namun tidak menjadi pesimis
kalau ternyata kedapatan suatu kelemahan dalam dirinya.
98 Urgensi Pendidikan Moral

Pengembangan diri itu merupakan sesuatu yang


sangat membahagiakan karena dalam dirinya ada suatu
natura (sesuatu yang baik). Yang baik demi kebahagiaan
bagi Aristoteles adalah bersifat duniawi belaka.

• Mengembangkan Diri
Menurut Aristoteles manusia tidak akan mencapai
kebahagiaan kalau ia pasif dan hanya mau menikmati
segala-galanya, melainkan kita harus aktif merealisasi-
kan bakat-bakat dan potensi kita. Orang kaya yang hanya
menikmati saja tanpa ada perjuangan yang nyata akan
sangat mudah bosan menikmati hidupnya.
Jadi yang membahagiakan adalah kalau kita
mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga bakat-
bakat yang kita punyai akan menjadi kenyataan. Manusia
adalah makhluk yang mempunyai banyak potensi, namun
potensi itu baru menjadi nyata kalau manusia berusaha
untuk merealisasikannya. Kebahagiaan tercapai dalam
mengaktifkan dan mempergunakan bakat-bakat yang
ada.
Manusia adalah aufgabe dirinya sendiri. Maka salah
satu kewajiban dasar manusia adalah mengembangkan
diri. Ia akan semakin bahagia, apabila ia semakin
mengembangkan diri. Pengembangan diri merupakan
panggilan yang penting bagi manusia.

• Melepaskan diri
Bagaimana caranya manusia berkembang? Kita
justru akan berkembang kalau kita tidak memikirkan diri
kita sendiri dan segala perkembangannya. Selama kita
masih prihatin dengan perkembangan diri kita sendiri,
ita masih berputar dan mengintari diri sendiri. Ini ibarat
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 99

orang yang ada di puncak gunung mau melihat ke bawah


namun ia hanya berputar terus di sekitar pohon yang
besar yang ada di puncak gunung itu.
Selama segala apa yang dilakukan hanya dihayati
manusia dari segi kekhawatirannya, maka ia tidak akan
berkembang. Jadi apabila ia mau berkembang, ia harus
berani untuk tidak hanya berpegang pada diri sendiri
saja, melainkan harus berani memberikan diri sepenuh-
nya pada berbagai tugas dan tanggungjawab yang me-
nantang. Manusia berkembang tidak dengan terus me-
nerus memandang dan berputar di sekitar pusarnya sen-
diri, melainkan dengan menghadapi tantangan hidupnya
yang konkret. Manusia tidak akan berkembang kalau
pengembangan dirinya dijadikan obsesinya. Perkem-
bangan diri kita akan semakin terjadi kalau kita semakin
merelakan diri, termasuk perkembangan diri, demi tang-
gung jawab kita. Jadi salah kalau pengembangan diri kita
jadikan tujuan kehidupan kita. Kita berkembang dengan
menghadapi segala tantangan hidup.
Dengan demikian kita bisa mengatasi eudaimonisme
Aristoteles yang paling besar yaitu bahwa perspektifnya
masih berpusat pada kebahagiaan kita sendiri.

• Menerima diri
Manusia tidak mungkin berkembang dengan utuh,
kalau perspektifnya terbatas pada kebahagiaan di dunia
ini. Kebahagiaan kita adalah pemberian rahmat Tuhan.
Maka justru demi pengembangan diri yang sebenarnya,
kurang tepat kalau kita selalu kuatir tentang diri kita
sendiri. Apabila perspektif kita tidak pada pengem-
bangan diri, melainkan kepada tugas dan tanggungjawab
kita obyektif, fakta bahwa kemampuan kita terbatas,
samasekali tidak merupakan halangan.
100 Urgensi Pendidikan Moral

• Kekurangan pokok prinsip etika


pengembangan diri
Prinsip ini terlalu menekankan apa yang disebut
kebahagiaan duniawi dan kurang memandang ke-
bahagiaan yang lebih tinggi. Aristoteles terlalu mene-
kankan kebahagiaan diri sendiri tanpa menaruh per-
hatian kepada orang lain. Semua berpusat pada diri
sendiri.

4. Teori Utilitarisme
Kata Utilitarisme berasal dari bahasa Latin “utilis”
artinya berguna. Paham utilitarisme mengajarkan bahwa
manusia hendaknya hidup dan bertindak sedemikian
rupa sehingga berguna bagi sebanyak mungkin orang.
Menurut tokohnya, Jeremy Bentham (1748-1832)
utilitarisme dimaksudkan sebagai sebagai dasar etis
untuk membaharui hukum Inggris. Menurutnya tujuan
hukum adalah memajukan kepentingan para warga
negara dan bukan memaksakan perintah- perintah Illahi
atau melindungi yang diklasifikasi kejahatan. Maka
kesejahteraan manusia harus diutamakan. Bentham
menekankan bahwa suatu perbuatan dapat dinilai baik-
buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi ke-
bahagiaan semua orang. Secara tegas prinsip utilitarisme
mengatakan bahwa manusia wajib berusaha untuk selalu
menghasilkan kelebihan akibat-akibat baik yang sebesar-
besarnya terhadap akibat-akibat buruk apabila bertin-
dak. Tindakan kejahatanan kalau ternyata tidak men-
datangkan akibat buruk dan tidak mengganggu kesejah-
teraan manusia tidak perlu dinyatakan salah dan tidak
perlu dijatuhi hukuman.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 101

Utilitarisme diperhalus oleh John Stuart Mill (1806-


1873). Mill menekankan bahwa suatu perbuatan dinilai
baik, jika kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan,
dimana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung
dengan cara yang sama. Secara lebih tegas prinsip utili-
tarisme mengatakan bahwa manusia wajib berusaha un-
tuk selalu menghasilkan kelebihan akibat-akibat baik
yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang.
Jadi Utilitarisme hampir sama dengan hedonisme yaitu
mencari kebaikan atau kesenangan dan menghindari pen-
deritaan atau kesakitan, hanya bedanya kalau hedonisme
mencari kesenangan hanya untuk diri sendiri, jadi lebih
bersifat egois, sedangkan utilitarisme kesenangan itu un-
tuk sebanyak-banyaknya orang. Walaupun demikian kita
tetap harus bersifat kritis terhadap paham utilitarisme
karena prinsip kegunaan bahwa suatu perbuatan adalah
baik kalau menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk
jumlah orang terbesar tidak selamanya benar. Seperti
contoh ada seorang preman yang sangat merugikan ma-
syarakat kampung setempat. Suatu saat preman tersebut
dihajar oleh seluruh warga masyarakat setempat dan
akhirnya dia mati. Kematian preman tersebut memberi-
kan perasaan lega dan senang bagi seluruh warga kam-
pung tersebut. Apabila kesenangan warga masyarakat
itu melebihi penderitaan korban, maka menurut paham
utilitarisme dianggap baik. Dalam hal inilah maka prin-
sip utilitarisme tidak dapat menjamin hak dan keadilan
sebagai prinsip moral yang tinggi. Dalam contoh kasus
di atas jelas bahwa si preman itu walaupun orang yang
jahat namun dia juga punya hak asasi untuk hidup. Di-
samping itu si preman itupun juga berhak atas keadilan,
yaitu proses pengadilan, bukannya main hakim sendiri
seperti halnya yang dilakukan oleh warga masyarakat
102 Urgensi Pendidikan Moral

tersebut, apalagi negara ini negara hukum, dimana segala


sesuatunya bisa diurus menurut hukum yang berlaku.

• Ciri Umum dan Macam Utilitarisme


Ciri Faham ini adalah: 1) Bersifat teleologis (telos:
tujuan). Berusaha mengarah ke tujuan yakni menghasil-
kan akibat baik yang lebih besar dari pada akibat buruk.
2) Bersifat universal (lain dari hedonis dan egois). Akibat
baik yang lebih besar bukan hanya berlaku untuk subyek
pelaku saja, melainkan untuk semua saja yang secara
langsung maupun tidak langsung terkena oleh akibat
tersebut. 3) Sebagai dasar etika politik (kadang tidak
disadari). Keputusan yang menyangkut orang banyak
biasanya diambil berdasar kegunaan yang paling besar
dibandingkan dengan kerugiannya.

• Utilitarisme Tidakan (the greatest happiness)


Tindakan yang benar ditentukan kasus per kasus.
Mana tindakan yang menghasilkan kebaikan lebih banyak
daripada buruknya. Benar-salahnya tindakan harus di-
tentukan menurut kasus tertentu atau tindakan tertentu.
Bukan pada akibat baik atau buruk yang disebabkan oleh
tindakan. Mereka menolak pandangan bahwa tindakan
baik akan berakibat baik atau sebaliknya.

• Utilitarisme Peraturan (for the greatest num-


ber)
Faham yang lebih menekankan peraturan untuk
mencapai tindakan moral manusia pada umumnya (tidak
selalu) dalam memilih mana yang benar, selalu mengacu
pada peraturan; mana peraturan yang menyebabkan
tindakan yang baik itu yang akan membawa keuntungan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 103

lebih besar bagi orang lain, dari pada akibat buruknya.


Kualitas tindakan itu ada bermacam-macam, maka tidak
bisa ditentukan secara kuantitatif belaka. Misalnya:
orang yang selalu menepati janji akan membawa akibat
baik lebih besar daripada akibat buruknya.

• Kritik Magnis Suseno:


Etika ini tidak memaksudkan asal tindakan itu baik
bagi orang lain kemudian dilakukan, melainkan faham
ini mempunyai juga motivasi yang mendasari orang
berbuat itu.

• Kaidah Dasar Utilitarisme


Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat tin-
dakanmu itu membawa kebahagiaan lebih besar bagi
semua pihak yang tersangkut dengan tindakan tersebut.
Dengan kata lain kalau mau bertindak harus memper-
hitungkan mana akibat yang akan paling memajukan ke-
pentingan semua orang yang dapat kita pengaruhi. Kai-
dah ini mengandaikan teori tentang baik buruk, atau
teori nilai. Teori nilai yang ada di belakangnya adalah
hedonistik.

• Tokoh-tokoh Faham ini


David Hume, dalam teori moralnya dia sudah mulai
memperhitungkan kegunaan. Ia adalah pencetus ide tapi
belum disistematisir. Jeremy Bartham – teori moral
utilirarian mulai dirumuskan dan John Stuart Mill.

• Tanggung jawab Kritis atas Faham ini


Kekurangan prinsipiil faham utilitarisme tidak
dapat menjamin keadilan dan hak-hak manusia (terutama
104 Urgensi Pendidikan Moral

hak azasi) karena hanya memperhatikan jumlah akibat


baik dibandingkan akibat buruk, tanpa adanya aturan
tentang bagaimana akibat baik itu harus tercapai.
Terlalu menghalalkan segala cara untuk mencapai
suau tujuan. Kesenangan bukan tujuan satu-satunya,
maka tidak dapat menghalalkan segala cara. Orang harus
diikat oleh apa yang lebih benar.

• Jasa Utilitarisme
Pertama, berkaitan dengan universalitas: besarnya
jumah akibat baik yang dipertimbangkan tidak hanya
demi pelakunya sendiri, namun demi banyak orang. Di
sini tampak segi sosialismenya. Tanggungjawab terhadap
sesama dan diri sendiri harus selalu mengambil sikap
yang baik. Kedua, yang berkaitan dengan rasionalitas :
dalam memilih tindakan kita tetap menggunakan pertim-
bangan. Kita bertanggungjawab atas akibat-akibat tin-
dakan yang kita lakukan. Kita mempertimbangkan akibat
yang paling sesuai dengan kepentingan, hak dan harapan
sebanyak mungkin orang. Pada umumnya tidak hedonis
dan tidak egois – arahnya tidak hanya pada si pelaku
tindakan juga kepada orang lain.

5. Teori Deontologi
Berasal dari kata “deon” artinya apa yang harus
dilakukan, kewajiban. Tokohnya Immanuel Kant (1724-
1808) mengajarkan bahwa yang bisa disebut baik dalam
arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik.
Kehendak menjadi baik, bila manusia bertindak karena
kewajibannya.
Kant membedakan imperatif kategoris(mewajibkan
begitu saja) dan imperatif hipotetis (mewajibkan dengan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 105

suatu syarat).Imperatif kategoris menjiwai semua


peraturan etis. Perbuatan yang sesuai dengan kewajiban
yuridis disebut legalitas (heteronom). Sedangkan tin-
dakan berdasarkan kesadaran kewajiban dari dalam diri
sendiri disebut autonom.
William David Ross seorang filsuf Inggris menerima
pemikiran Kant, tetapi ia menambahkan bahwa ke-
wajiban itu selalu merupakan kewajiban prima facie. Ini
berarti suatu kewajiban hanya berlaku sampai timbulnya
kewajiban yang lebih penting, mendesak dan bernilai
tinggi yang mengalahkan kewajiban pertama. Dalam
situasi konkret seseorang perlu menggunakan akal bu-
dinya untuk mempertimbangkan manakah kewajiban
yang paling penting.

• Ajaran Pokok Teori Deontologis (Kant).


Ajaran itu mengandung ciri-ciri sbb: Pertama,
moralitas suatu tindakan diukur apakah tindakan itu
selaras atau tidak dengan prinsip kewajiban yang
mengikat tanpa syarat. Ciri ini dilawankan dengan etika
teleologis yang mengajarkan betul salahnya tindakan
atas dasar membawa tidaknya ke tujuan akhir yaitu Allah
sendiri. Kedua, menekankan akibat dari tindakan, sebab
setiap tindakan ada yang dari dirinya sendiri bisa
diklasifikasikan sebagai benar atau salah. Ketiga, akal
budi dijadikan sebagai penentu prinsip moral. Betul
salahnya tindakan, baik buruknya kelakuan tidak
ditentukan oleh prinsip moral melainkan akal budi.
Keempat, cukup kosisten dengan prinsip penalaran
(universalitas) yakni “bertindak sedemikian rupa se-
hingga prinsip tindakanmu dapat kamu kehendaki se-
bagai prinsip yang berlaku umum”. Kelima, motivasi
tindakan dari si pelaku menjadi kunci penentu motivasi
106 Urgensi Pendidikan Moral

tindakan tersebut. Secara lahir mungkin tindakan itu


tampak sama, namun mungkin motivasinya sungguh
berbeda.

• Kekuatan Teori Deontologi


Kekuatan teori deontologi Kant memberi dasar pokok
bagi rasionalitas dan obyektivitas kesadaran moral.
Karena etika ini menilai benar salahnya tindakan dan
baik buruknya kelakuan tidak berdasarkan perasaan saja,
melainkan berdasar rasio. Jadi penilaian itu tidak diten-
tukan oleh obyek tindakan, akibat dan kepentingan sub-
jek pelaku, maka cukup kuat bagi dasar rasionalitas.
Rasionalitas Kant ini melawan emotivisme dan obyek-
tivitas Kant melawan subyektivitasme dan relativisme.
Itu didasarkan pada prinsip kategoris.
Teori deontologi Kant ini juga memberi tolok ukur
yang amat penting bagi penilaian suatu tindakan secara
moral, yakni prinsip universalitas (keberlakuan umum).
Prinsip universalitas memang penting tapi tidak cukup.
Tindakan moral yang baik mengacu kepada pemahaman
bahwa tindakan yang benar bukan hanya berlaku bagi
subyek pelaku, tetapi juga untuk rang lain.
Selanjutnya teori ini juga menjamin otonom dan ke-
luhuran martabat manusia. Etika deontologis yang me-
nekankan akal budi sebagai hukum yang mutlak diterima,
menolak segala heteronomi dari luar. Akal budi praktis
menetapkan hukum bagi dirinya sendiri. Tuhan dalam
filsafat Kant hanya dilihat sebagai postulat saja, tidak
masuk dalam kategori moral.

• Kesulitan pokok Etika Deontologis kant


Terlalu formal atau sangat umum. Dengan mengem-
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 107

balikan norma moral pada satu prinsip yaitu “bertin-


daklah ..” memang menghindarkan konflik moral, tetapi
dia tidak memberi kejelasan mengenai penentuan norma-
norma konkret (apa yang menjadi wajib bagi saya).
Konflik moral karena tabrakan pribadi, (misalnya, dokter
– undangan – pasien). Kemutlakan norma tanpa
mengindahkan akibat adalah tak sesuai dengan kenya-
taan hidup manusia di dunia (misal dirumah bersembunyi
orang yang dikejar akan dibunuh – beritahukan atau
tidak). Mengandaikan praktek moral yang sudah
berlaku di dalam masyarakat.

• Keberlakuan Prima Facie


Menurut WD Ross keberlakuan prima facie berarti
suatu norma umum berlaku mengikat, bila tidak ada
norma lain yang lebih tinggi atau mengikat. Kalau mulai
ada tabrakan antara norma umum dan pribadi pelaku,
maka semua keputusan ditentukan oleh pribadi pelaku
ybs – yakni dengan memilih norma-norma yang lebih
mengikat dirinya. Menurut dia, keberlakuan prima facie
harus disesuaikan dengan situasi konkret yang me-
lingkupi pengambilan keputusan itu. Prinsip moral mana
yang secara konkret dan aktual mengikat. Memang nor-
ma secara prima facie mengikat, tetapi harus tetap dilihat
situasi konkretnya. Ross menyusun sebuah daftar ke-
wajiban prima facie:
a Kewajiban kesetiaan: menepati janji yang diadakan
dengan bebas.
b Kewajiban ganti rugi: melunasi utang materiil dan
moril.
c Kewajiban terima kasih.
d Kewajiban keadilan.
108 Urgensi Pendidikan Moral

e Kewajiban berbuat baik.


f Kewajiban mengembangkan dirinya.
g Kewajiban untuk tidak merugikan orang lain.
Deontologi juga harus disikapi secara kritis, karena
berbuat baik akan lebih bernilai tinggi apabila dilakukan
bukan berdasarkan kewajiban, melainkan berdasarkan
kesadaran yang mengacu pada belas kasih atau cinta?

Pertanyaan Reflektif:
1. Benarkah manusia hidup hanya mementingkan aspek
kenikmatan jasmaniah saja? Bagaimana tanggapan
anda tentang hedonisme? Anda setuju atau tidak?
Berikan argumentasi anda. Berikan pula contoh kon-
kret pelaksanaan hedonisme di kalangan masyarakat
saat ini.
2. Jelaskan pandangan anda tentang teori eudaimonis-
me menurut Aristoteles,anda setuju atau tidak, beri-
kan pula alasannya. Berikan contoh konkrit dalam
kehidupan nyata saat ini.
3. Bagaimana tanggapan anda tentang teori etika
utilitarianisme? Anda setuju atau tidak, berikan argu-
mentasinya. Berikan pula contoh konkrit utiliaris-
me dalam kehidupan nyata saat ini

Bahan Bacaan:
Bertens, Kiss
1993 Etika. Jakarta: Gramedia.
Magnis Suseno, Frans.
1987 Etika Dasar. Yogjakarta; Kanisius.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 109

BAB VII

KEUTAMAAN MORAL

Y ang dimaksud keutamaan moral adalah Kekuatan


kepribadian seseorang yang mantab dalam kesang-
gupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang
diyakininya sebagai benar.

1. Macam-Macam Keutamaan Moral


• Kejujuran
Kujujuran adalah sesuatu yang penting. Kejujuran
merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat
secara moral. Tanpa kejujuran kita tidak pernah maju
selangkahpun, karena belum berani menjadi diri sendiri.
Tidak jujur berarti belum sanggup untuk mengambil si-
kap yang lurus. Tanpa kejujuran, keutamaan moral lain-
nya kehilangan nilainya. Sikap baik terhadap orang lain,
tanpa kejujuran berarti kemunafikan dan sering menjadi
racun. Bersikap jujur berarti terbuka, dan fair. Terbuka
tidak dimaksudkan bahwa orang lain berhak tahu semua
pikiran dan perasaan kita, melainkan bahwa kita selalu
tampil sebagai diri kita sendiri sesuai dengan keyakinan
kita dan tidak menyembunyikan wajah kita yang
sebenarnya (bertopeng). Terbuka berarti orang boleh tahu
siapa kita ini. Sikap wajar atau fair, berarti memperla-
110 Urgensi Pendidikan Moral

kukan orang lain menurut standar yang dipergunakan


orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang
lain dan selalu memenuhi janji, tidak bertindak berten-
tangan dengan suara hati atau keyakinannya. Berkaitan
dengan kejujuran sangat penting diperhatikan bahwa kita
harus menjadi otentik. Otentik berarti asli, menjadi diri
kita sendiri, bukan jiplakan, tiruan, membeo, atau hanya
ikut mode. Manusia otentik adalah manusia yang meng-
hayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keaslian dan
kepribadian yang sebenarnya. Tidak otentik kalau kita
dicetak dari luar, yang dicintai, dicita-citakan, dihargai
atau dibenci dan ditolak bukan dari dirinya sendiri tetapi
karena lingkungannya berbuat demikian. Hal itu bisa
terjadi di segala bidang, bahkan di biara sekalipun. Maka
untuk menguji keotentikan cita-cita, diperlukan per-
cobaan: memasuki lingkungan lain dengan nilai-nilai
lain, tanggungjawab dan inisiatifnya ditantang, diberi
kesempatan untuk menunjukkan dirinya, dengan tidak
terlalu diatur, dsb.

• Catatan Penting:
1) Orang dapat bersikap jujur terhadap orang lain,
kalau dia dapat jujur pada dirinya sendiri. Berani tidak
membohongi diri, berani melihat diri apa adanya. Tidak
perlu minder dengan konpensasi macam-macam.
Keontentikan diri penting. 2) Orang yang tidak jujur
senantiasa ada dalam pelarian; ia lari dari orang lain yang
diketahuinya sebagai ancaman dan dari diri sendiri
karena tidak berani menghadapi kenyataan diri yang
sebenarnya. Orang yang tidak jujur sulit menerima diri
dan tidak berani melihat diri sendiri.

• Kesediaan Untuk Bertanggungjawab


Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 111

Kejujuran menjadi operasional kalau orang bersedia


untuk bertanggungjawab. Artinya: Pertama, kesediaan
untuk melakukan apa yang harus dilakukan sebaik
mungkin. Bertanggungjawab berarti mengambil suatu
sikap terhadap tugas yang membebani kita. Tugas itu
dilaksanakan sebaik mungkin meskipun dituntut
pengorbanan, ditentang maupun tidak menguntungkan.
Bahkan andaikata tidak ada orang yang peduli atau
melihatnya, kita tidak begitu saja puas karena pekerjaan
sudah selesai. Kedua, sikap ini mengatasi segala etika
peraturan. Etika peraturan hanya mempertanyakan
apakah sesuatu boleh atau tidak, sedangkan bertanggung
jawab merasa terikat pada yang memang perlu. Ia terikat
pada nilai yang mau dihasilkan. Ketiga, wawasan orang
yang bertanggungjawab secara prinsipial tidak terbatas.
Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi
urusan dan kewajibannya saja, melainkan merasa
bertanggungjawab di mana saja ia diperlukan. Bersedia
mengerahkan tenaga dan kemampuan di mana ia
ditantang untuk menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap
positif, kreatif, kritis, dan obyektif. Keempat, bertang-
gungjawab berarti juga bersedia untuk diminta memberi-
kan pertanggungjawaban atas tindakannya, atas pelak-
sanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ternyata lalai atau
salah, bersedia dipersalahkan.

• Kemandirian Moral
Kemandirian moral, berarti kita tidak pernah ikut-
ikutan saja dengan perbagai pandangan moral di
lingkungan kita, tetapi membentuk penilaian dan
pendirian sendiri, lalu bertindak sesuai dengannya.
Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk meng-
ambil sikap moral sendiri dan bertindak sesuai dengan-
112 Urgensi Pendidikan Moral

nya. Mandiri secara moral artinya tidak dapat dibeli oleh


mayoritas, dan tidak pernah akan rukun hanya demi
kebersamaan, kalau kerukunan itu melanggar keadilan.

• Keberanian Moral
Keberanian moral, menunjukkan diri dalam tekad
untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini
sebagai kewajiban, juga kalau tidak disetujui atau dilawan
oleh lingkungan. Keberanian moral adalah kesetiaan
terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam ke-
sediaan untuk mengambil resiko konflik (tidak sama
dengan bentrok fisik). Ia berpihak pada orang yang lebih
lemah melawan yang kuat yang tidak adil. Berani secara
moral tidak akan kompromi dalam hal kebenaran dan
keadilan. Setiap kali orang berani mempertahankan
sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat, berani dalam
hatinya, dan semakin dapat mengatasi rasa takut dan
malu yang sering mencekamnya.

• Kerendahan Hati
Kerendahan hati, kata itu sering kita bayangkan
dengan sikap kerdil, tak mau debat, mengalah, tidak mau
membela pendirian, merendahkan diri, dsb. Sikap-sikap
itu sebenarnya tak ada sangkut pautnya dengan keren-
dahan hati. Kerendahan hati berarti melihat diri apa
adanya. Kerendahan hati (bukan berarti merendahkan
diri) adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai de-
ngan kenyataannya. Orang rendah hati tidak hanya
melihat diri kelemahannya, tetapi juga kekuatannya.
Maka, ia menerima diri dan tahu diri dalam arti yang
sebenarnya. Dalam kaitannya dengan moral berarti
mampu memberikan penilaian moral terbatas, dan juga
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 113

sadar akan keterbatasan kebaikan kita. Berani mem-


perhitungkan pendapat orang lain. Ia tahu atau dengan
kata lain empan papan.
Kerendahan hati tidak bertentangan dengan ke-
beranian moral, justru menjadi prasyarat bagi kemur-
niannya. Tanpa kerendahan hati, keberanian moral mu-
dah menjadi kesombongan atau kedok untuk menyem-
bunyikan diri. Kerendahan hati menjamin kebebasan dari
pamrih dalam keberanian. Kita tidak merasa kalah kalau
pendapat kita tidak menang. Justru orang yang rendah
hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar
kalau ada perlawanan. Orang rendah hati tidak merasa
diri penting (bukan karena rendah diri), karena itu berani
mempertaruhkan diri dalam sikap dan tanggung-
jawabnya.

• Nilai-Nilai Otentik
Kita seharusnya otentik, artinya menjadi diri sendiri,
bukan jiplakan, bukan tiruan, orang-orangan yang hanya
membeo saja, yang tidak punya sikap dan pendirian sen-
diri karena ia dalam segala-segalanya mengikuti mode/
pendapat umum dan arah angin. Otentik berarti asli.
Manusia otentik: manusia yang menghayati dan menun-
jukkan diri sendiri dengan keasliannya, dengan pribadi
yang sebenarnya. Sedangkan manusia yang tidak otentik
adalah yang hanya tiruan/jiplakan. Ketidak otentikan
seseorang biasanya diakibatkan oleh rasa takut tak dia-
kui kelompok, hanya ikut mode tanpa kreativitas sendiri.
Ini berlaku juga dibidang religius (masuk biara), bidang
estetik, dan lain-lain. Menjadi otentik berarti berani
muncul engan diri sendiri, bukan perkiraan kita
terhadap harapan orang.
114 Urgensi Pendidikan Moral

• Realistik dan Kritis


Realistik berarti mempelajari/melihat keadaan
dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan
dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar, bukan berarti
menerima begitu saja. Sikap ini tentunya dibarengi oleh
sikap kritis. Kritis berarti tajam dalam menganalisa
sesuatu, tidak mudah percaya dan selalu berusaha me-
nemukan yang baik dan yang buruk. Sikap kritis perlu
juga terhadap segala macam kekuatan, kekerasan dan
wewenang dalam masyarakat, juga terhadap segala
macam aturan moral dalam masyarakat.
Tanggung jawab moral yang nyata, menuntut sikap
realistik dan kritis dengan pedoman untuk menjamin
keadilan dan menciptakan suatu keadaan masyarakat
yang membuka kemungkinan lebih besar bagi warganya
untuk membangun hidup yang lebih bebas dari penderi-
taan dan lebih bahagia. Segala peraturan dinilai secara
kritis. Ada aturan yang mengatur dan perlu dinilai dari
dalam.

2. Egoisme Psikologis
Paham yang menyatakan bahwa manusia itu dari
dirinya sendiri terdorong untuk melakukan sesuatu yang
menguntungkan dirinya sendiri. Argumentasi paham
egoisme psikologis dalam menolak kemungkinan adanya
sikap altruis yang sungguh-sungguh adalah sbb: Manusia
dalam tindakannya, sekalipun tindakan itu baik dan
membawa untung bagi orang lain, tidak mungkin dia
didasari oleh pengorbanan. Semua itu dijalankan hanya
untuk kepentingan diri sendiri saja. Sikap altruis (sikap
yang memperhatikan kepentingan orang lain) adalah
tidak mungkin.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 115

Contoh:
a) Seorang ibu yang menunggu anaknya semalam
suntuk, pantas diragukan bahwa itu didasari sikap
perhatian dan kasih sayang sejati itu hanya untuk
cari kepuasan diri.
b) Seorang pemadam kebakaran masuk dalam ruang
yang terbakar.
c) Seorang yang menyelam untuk menolong seorang
anak kecil yang tenggelam.

• Pendekatan Thomas Hobbes atas “cinta kasih”


dan “belas kasih” (menafsirkan kembali
motivasi)
Ia tidak mengingkari bahwa orang bertindak dengan
berdasar sikap altruis. Namun itu tidak jujur. Ia menge-
mukakan dan interpretasi.
Cinta kasih: Hobbes mengatakan bahwa tindakan
ini tidak jujur sebagai tindakan altruis, … sebenarnya
hanya ingin menonjolkan diri saja, ingin dikenal. Tidak
begitu saja percaya, itulah penilaian yang sebenarnya.
Contoh. Di Yogjakarta ada bencana alam, lalu saya
mencoba membantu dengan memberi dana, saya
mengorbankan uang yang sebenarnya untuk nonton film.
Ini tidak jujur sebenarnya, sebab orang hanya cari muka.
Belas kasih: sebenarnya muncul hanya karena ada
kekuatiran dalam diri saya, kalau saya mengalami hal
seperti itu, jangan-jangan tidak dibantu. Arahnya adalah
diri sendiri.
116 Urgensi Pendidikan Moral

• Kekeliruan pokok pahan egoisme psikologis


(seperti tampak pada Hobbes)
Mengacaukan antara mencari diri (selfish) dengan
menunjang kepentingan diri (self-interest). Self-interest
tidak mesti selfish... Manusia mau tidak mau perlu mem-
perhatikan kepentingan diri. Misal, saya sakit gigi ...
Harus berobat (antara kepentingan diri dan kesehatan).
Selfish, dirinya menjadi tujuan. Self-interest kebahagiaan
sebagai side-effect (ada pencampur adukan antara side-
effect dengan tujuan).
Mengacaukan antara merasa puas karena berbuat
baik dan berbuat baik untuk mencari puas. Rasa puas
muncul sebagai akibat dari tindakan berbuat baik itu –
bukan tujuan dari berbuat baik. Sedangkan rasa puas
memang dicari atau dituju lewat perbuatan baik itu (demi
kepuasan diri). Sinisme, dalam hal ini akan berbahaya,
sebab orang akan mengalami hidupnya tanpa rasa ba-
hagia. Mereka punya tesis yang tak bisa dibantah dan
dibuktikan.

3. Egoisme Etis
Pendapat pokok paham egoisme etis adalah apa yang
wajib dilakukan orang, itulah yang dapat mengembang-
kan orang itu sendiri. Semua yang dilakukan selalu dicari
mana yang paling menguntungkan bagi diri sendiri.
Tokoh yang menganut ini adalah Hobbes. Pendapatnya,
yang utama adalah mengembangkan diri sendiri. Ke-
lihatannya semua itu dilakukan demi orang lain, namun
sebenarnya hanya demi diri sendiri. Kaitannya dengan
egoisme psikologis: bila egoisme psikologis benar, maka...
Setiap orang akan menimbang kepentingan bersama, jika
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 117

dia sendiri bisa mengejar kepentingan sendiri dengan


sebaik-baiknya.
Argumen untuk mendukung pendapat tersebut ada-
lah bahwa perbuatan karitatif membuat orang lain men-
jadi obyek. Egoisme Etis menghormati orang sebagai
individu. Sikap atau tindakan altruistis adalah tidak
manusiawi. Paham ini bisa menerangkan bagaimana dan
mengapa manusia menepati semua janji dan peraturan:
yakni karena semua itu menguntungkan dirinya sendiri.

• Tanggapan kritis
Sosialitas manusia (sebagaimana ditolak oleh egois-
me etis) bukan sesuatu yang aksidental saja, namun se-
cara esensial merupakan bagian dari hidup manusia itu
sendiri. Adaku selalu bersama dengan adanya orang lain.
Mengembangkan prinsip keluar tidak berarti mengabai-
kan perkembangan diri. Namun mengembangkan prinsip
keluar dari diri juga semakin mengembangkan diri
sendiri.

4. Dasar Moral Yang Paling Dalam


• Pandangan Psiko-Sosiologis
Pandangan moral yang terdalam terletak pada pan-
dangan yang ada dalam masyarakat yang munculnya
dapat disesuaikan kebutuhan psikologis manusia (kebu-
tuhan sosial manusia). Dasar keberlakuan moral terletak
dalam kebutuhan individual dan sosial. Tidak ada nilai
yang lebih tinggi dari apa yang akan dicapai oleh masya-
rakat.
Contoh: Hobbes – negara dibentuk hanya untuk
menjamin kebersamaan. Freud – agama ada hanya untuk
118 Urgensi Pendidikan Moral

memenuhi kebutuhanp psikologis saja. Masyarakat


merupakan sumber dan asal kewajiban moral/otonomi
tertinggi dari moralitas adalah masyarakat.

• Kritik:
Pandangan ini sifatnya reduksionistis, sebab mau
mereduksikan keberlakuan moral sebagai realisasi
kehidupan sosial yang ada. Hanya kebutuhan sosial saja
dijadikan penentu keberlakuan moral, pada hal ada
kebutuhan lain.
Pandangan ini tidak cukup; sebab orang masih bisa
bertanya terhadap apa yang dianggap baik oleh masya-
rakat, “mengapa ini baik?” – dengan kata lain orang masih
bisa bersikap kritis (cat: kalau ini benar maka kita akan
setuju dengan praktek A. partheid di Afrika Selatan).

• Pandangan immanentist
Keberlakuan norma moral ditentukan oleh manusia
sendiri, berdasarkan kesadaran moral imanent (yang ada
dalam dirinya). Apabila manusia mengikuti penentuan
akal budinya, maka manusia akan menyadari norma-
norma yang mengikat dirinya untuk bertindak. Sehingga
keberlaukan moral terbatas dalam dirinya (akal budi) di
dunia ini. Tak ada dasar yang lebih dalam dari kehendak
rasio manusia. Manusia akhirnya menjadi otoritas
terakhir (tolok ukur) — Homo memura

• Segi positifnya.
Kenyataan bahwa yang baik adalah yang disadari
oleh pemahaman akal budi kita. Itu benar. Apa yang baik
itu bukan sesuatu yang langsung jelas dengan sendirinya
dari luar diri kita, melainkan ditentukan oleh akal budi
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 119

kita. Konsistensi dan koherensi adalah soal yang di-


pahami oleh akal budi.

• Kritik
Kendati menunjuk satu aspek yang terdalam (yaitu
akal budi) dari penentuan dasar aspek moral, tapi masih
bisa dipertanyakan; “dari mana bisa bahwa akal budi
menjadi penentu mutlak keberlakuan moral, padahal
akal budi itu kontingen atau tidak mutlak?” pandangan
ini masih mengandaikan adanya suatu penentu yang
mengatasi akal budi.

• Pandangan transendentalist
Dasar moral yang paling dalam adalah Tuhan.
KehendakNya menjadi norma yang secara kodrat
mengikat manusia.
Kehendak Tuhan menjadi sesuatu norma yang
mutlak mengikat manusia. Di sini manusia sungguh
dilihat sebagai pribadi, karena menjadi citra Allah
sendiri. Meskipun akal budi penting, namun ada sesuatu
yang terbuka yaitu terhadap yang transenden.
Kodrat manusia (terluka) membuka diri bagi
kenyataan yang mengatasi dirinya.

5. Tiga Prinsip Dasar Etika Normatif


Prinsip Sikap Baik (principle of bonevolena)
Prinsip ini dasariah karena orang tidak akan adil,
hormat pada diri sendiri dan orang lain, jujur, dan lain-
lain; bila tak punya prinsip sikap baik ini. Prinsip ini
mendasari dan mendahului semua prinsip moral yang
120 Urgensi Pendidikan Moral

lain. ( dengan prinsip pertama etika hukum kodrat yakni


“buatlah yang baik dan hindarilah yang jahat”).
Prinsip ini bukan hanya dipahami secara rasional,
namun hendaknya mengungkapkan kecondongan
dasariah yang memang sudah ada dalam watak kita.
(kecenderungan untuk bersikap baik seharusnya dipakai
dengan dasar dan dipupuk supaya mencapai kepenuhan).
Dalam mencapai sikap baik perlulah orang bersikap
sesuai dengan situasi konkret di mana prinsip itu mau
diterapkan. Prinsip ini mendasari semua norma lain,
karena hanya atas dasar prinsip ini menjadi masuk akal
bahwa kita bersikap adil, jujur, hormat pada diri sendiri
dan orang lain
.
• Kritik atas prinsip ini
Prinsip ini tidak cukup karena dalam pengetrapan-
nya harus tetap memperhatikan prinsip lain, misal :
prinsip keadilan. Ada bahaya bahwa pengetrapan atau
pengkonkretan prinsip sikap baik lalu menghalalkan
segala cara.

• Prinsip Keadilan
Prinsip sikap baik belumlah cukup, perlu juga mem-
pertimbangkan prinsip keadilan dan hormat terhadap
hak milik orang lain. Contoh: mencuri susu di swalayan
untuk memberi seorang ibu gelandangan yang terlantar.
Itu tidak benar karena melanggar hak orang lain.
Prinsip keadilan menjadi syarat operasionalitas
prinsip sikap baik supaya dapat dilaksanakan secara
benar. Adil berarti memberikan kepada siapa saja apa
yang menjadi haknya. Dalam usaha mencapai keadilan
perlu diperhatikan kebutuhan dan kemampuan se-
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 121

seorang. Dasar dari sikap adil adalah bahwa pada ha-


kekatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia,
maka tuntutan pertama-tama adalah mem-perlakukan
secara sama semua orang dalam situasi yang sama pula.
Prinsip ini mengungkapkan kewajiban untuk
memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang
yang berada dalam situasi yang sama dan untuk
menghormati hak orang ybs. Perlakuan yang tidak sama
adalah tidak adil, kecuali bila ada alasan-alasan yang
relevan.

• Prinsip hormat terhadap diri sendiri


Manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri se-
bagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip
ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person,
pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki
kebebasan dan suara hati, makhluk berakal budi.
Prinsip ini mempunyai empat arah, yakni: 1) Agar
kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, diperkosa
atau diperbudak – karena kita mempunyai harga diri dan
bermartabat. 2) Menyadarkan kita agar kita jangan
menelantarkan diri. Walapun kita punya kewajiban ter-
hadap orang lain, namun kita juga berkewajiban mengem-
bangkan diri, tidak menyia-nyiakan bakat dan kemam-
puan yang dipercayakan kepada kita. 3) Orang punya
kewajiban terhadap dirinya sendiri berarti kewajibannya
terhadap orang lain harus diimbangi oleh perhatian yang
wajar terhadap diri sendiri. 4) Kemampuan untuk meng-
hargai dan menerima orang lain sama besar/kecilnya
dengan kemampan kita untuk menerima diri. Jadi ada
hubungan timbal-balik. Hanya orang yang kepribadian-
nya sangat kuat dan mantap dapat mengorbankan diri
122 Urgensi Pendidikan Moral

seluruhnya bagi orang lain, tanpa kehilangan harga


dirinya. 5) Kebaikan dan keadilan yang kita tujukan pada
orang lain, perlu dimbangi dengan sikap yang meng-
hormati diri sebagai makhluk yang bernilai pada dirinya
sendiri. Kita mau berbaik hati pada orang lain, tetapi
tidak dengan membuang diri.

• Hubungan antara tiga prinsip dasar


Prinsip keadilan dan hormat pada diri sendiri me-
rupakan syarat pelaksaan sikap baik, sedangkan prinsip
sikap baik, menjadi dasar mengapa seseorang bersedia
untuk bersikap adil. Berbuat baik dengan melanggar
keadilan atau melupakan harga diri tidak dapat dibenar-
kan secara moral. Sikap hati memang harus selalu baik,
tetapi perwujudannya tidak boleh melanggar keadilan.
Maka keadilan dapat saya kalahkan karena belas kasih,
tapi sebaliknya keadilan tanpa sikap baik secara moral
menjadi dingin dan kehilangan mutu. Begitu pula kita
tidak perlu membiarkan diri hancur hanya demi orang
lain dan tuntutan keadilan.
Dalam praktek, kalau ada benturan harus diingat
prinsip etika situasi dan keberlakuan prima facie, artinya
sejauh tidak ada pertimbangan tambahan yang menuntut
perlakuan khusus. Namun perlu juga kita perhatikan
prinsip keseimbangan atau proporsionalitas antara yang
dikorbankan dan yang diutamakan harus ada keseim-
bangan bobot.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 123

Bahan Bacaan:
Piet Go, O.Carm.,dkk.
2004 Etos dan Moralitas Politik. Yogyakarta:
Kanisius.
James Rachels
2004 Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
William Chang, Dr. OFM.Cap.
2002 Menggali Butir Butir Keutamaan. Yogyakarta:
Kanisius.
———————
2001 Pengantar Teologi Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Franz Magnis-Suseno.
1987 Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisius.
124 Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 125

BAB VIII

SEKS DAN SEKSUALITAS

D ewasa ini masyarakat terutama kaum muda


cenderung ingin membebaskan diri dari norma-
norma di bidang seks. Mereka tidak lagi menganggap seks
sebagai sesuatu yang bersifat tabu dan bernilai. Dengan
begitu enaknya mereka yang sedang pacaran menunjuk-
kan kemesraan di muka umum dan bahkan menganggap
hubungan seks sebelum nikah adalah wajar-wajar saja.
Hamil sebelum nikah sebagai masalah yang biasa. Maka
perlulah kiranya pemahaman tentang seks diperdalam
lagi, agar nilai-nilai seks tetap dilestarikan dan dijunjung
tinggi.
Seksualitas manusia adalah keseleruhan kesatuan
dari macam-macam unsur - (biologis, antropologis, psi-
kologis, sosiologis, etis, teologis) – yang saling berhu-
bungan satu sama lain. Pemahaman seksualitas tidak
cukup hanya diperkembangkan dari pemikiran eksak
kodrati, melainkan juga dapat dan harus diperkembang-
kan dari pandangan teologis otentik.
Pada kesempatan ini hanyalah akan diberikan be-
berapa butir pokok pengertian yang diharapkan dapat
digunakan sebagai titik pangkal Bimbingan Pastoral da-
lam bidang seksualitas.
126 Urgensi Pendidikan Moral

1. Data Fisiologis
Secara faali dalam tubuh manusia terdapat be-
berapa sistem alat tubuh, dan di antaranya adalah sis-
tem seks, yang terdiri dari beberapa komponen: 1) Sistem
genetik atau kromoson, yaitu sistem yang berhubungan
dengan tata susunan kromosom yang menentukan jenis
kelamin, misalnya : XX = wanita dan XY = pria. 2) Sistem
gonad, yaitu sistem yang behubungan dengan type gonad
yang de fakto terjadi yaitu ovarium dan testes. 3) Sistem
fenotipik, yaitu sistem yang berkenaan dengan perkem-
bangan selanjutnya, baik secara intern maupun ekstern
berupa vagina dan penis dan scrotum. Dalam perkem-
bangan normal selanjutnya sistem fenotipik inilah yang
dengan jelas memberikan petunjuk keluar mengenai jenis
seks yaitu wanita dan pria.
Maka perkembangan yang normal terjadi sbb :
dengan terjadinya fekundasi terbentuklah seks genetik
atau seks kromoson, yang jenisnya mulai ditentukan
dengan adanya kromoson Y, yang menentukan terjadinya
seks gonad akan berupa ovarium bila tidak terdapat
kromoson Y atau testes bila terdapat kromoson Y. Ova-
rium atau testes memproduksi hormon yang akan me-
nentukan perkembangan seks fenotipik baik intern
maupun ekstern, sehingga terciptalah organ seksual yang
nampak, yaitu vagina atau penis dan scrotum. Begitu
lahir biasanya sudah dapat dengan mudah ditentukan
dan selanjutnya orang tua memberikan nama dan pakaian
yang sesuai dengan jenis kelamin yang nampak dari luar
tersebut. Setelah berkembang menjadi individu ia sendiri
mengindentifikasi diri seperti ibu dan ayah.
Kemungkinan terjadinya kelainan dalam perkem-
bangan disebabkan beberapa hal, misalnya: Enviroental
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 127

insult: penceramaran lingkungan yang terjadi karena


pengaruh dari luar individu sendiri misalnya obat-obatan,
narkotik, nikotin, kafein, racun atau virus. Chromosomal
aberation: kelainan yang mulai terdapat dalam seks
genetik atau susunan kromoson sendiri, seperti
misalnya: Turner syndrome: kehilangan salah satu lengan
dari kromoson X sebagian atau seluruh sel tubuh
sehingga terjadi Y palsu. Klinefeiter syndrome :
mempunyai kromoson Y dan paling sedikit 2 x. Double
fertilization :XX-XY – hermafrodit.
Error of gonadal sex: kelainan terdapat mulai saat
perkembangan gonad, misalnya: Hermafrodit tulen: di
mana seorang individu mempunyai jaringan untuk
ovarium dan untuk testes. Hermafrodit palsu: di mana
seorang individu hanya mempunai satu jaringan gonad,
tetapi mempunyai syndrome kebalikannya. xx male dan
xy female.
Error in Phenotypic Sex:kelianan yang terjadi pada
tingkat fenotipik sehingga terjadi: Hermafrodit palsu
pria: defective testoterone synthesis; defective andro-
gen action; persistent mullerian syndrome. Hermafrodir
palsu wanita: abnormal androgen production .
Errors in gender role identification: terjadi kelainan
berperan dalam bidang seksual, misalnya:
Homosexual/lesbian: di mana orang mempunyai
perasaan tertarik terhadap jenis kelamin yang sama,
tetapi menyenangi sensansi atau rangsangan atas ke-
laminnya sendiri, sehingga tidak mempunyai keinginan
untuk berganti kelamin.
Transsexual : di mana orang merasa dirinya sebagai
orang yang fisiologis terdapat dalam dirinya, dan
mempunyai keinginan keras untuk menyelaraskan
128 Urgensi Pendidikan Moral

dengan alam perasaannya tersebut serta bersedia


menempuh berbagai macam jalan pengobatan termasuk
operasi penyempurnaan kelamin.

2. Data Biologis
• Lambatnya mencapai kemasakan seksual
Bila dibandingkan dengan binatang-binatang lain,
manusia termasuk yang paling lambat dalam mencapai
kemasakan seksual. sehingga memiliki “masa kanak-
kanak” relatif cukup panjang. Maka kemungkinan ter-
jadinya gangguan yang menyebabkan adanya kelainan
cukup banyak juga kalau masa kanak-kankan tersebut
tidak terisi dengan baik demi perkembangan hidup sek-
sual yang normal. Hal ini akan semakin jelas dalam
pembahasan dimensi psikologis.

• Sikap dalam mengadakan hubungan seks.


Pada binatang kegiatan seks terbatas pada saat pihak
betina dalam keadaan subur, sehingga tidak akan terjadi
perkosaan.Batas yang demikian tidak terdapat dalam
diri manusia. Rasa tertarik untuk mengadakan hubungan
seks dalam diri manusia tidak mengenal batas. Tetapi
dalam dunia binatang hubungan seks diatur oleh alam.
pengaturan yang demikian tidak terdapat dalam dunia
manusia, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya
“penyelewengan-penyelewengan”. Maka dibutuhkan nor-
ma-norma untuk mengaturnya demi persatuan dan demi
keturunan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 129

• Variasi dalam mengadakan hubungan seks.


Bila dalam dunia binatang cara/ sikap dalam meng-
adakan hubungan seks sudah ditentukan dengan pasti
oleh “kodrat”, sehingga tidak ada variasi, sebaliknya
dalam dunia manusia terdapat cukup banyak variasi si-
kap/cara dalam mengadakan hubungan seks. Itu berarti
dalam dunia manusia yang mengatur dalam bidang ini
bukan hanya kodrat biologi demi keturunan, melainkan
masih terdapat banyak kepentingan atau nilai lain yang
turut menentukan norma yang mengaturnya. Dari sini
sudah nampak bahwa manusia dalam mengadakan
hubungan seks tidak cukup mengikuti naluri instingtif
seperti yang terjadi dalam dunia binatang, melainkan
banyak hal yang perlu dipelajari dan diperkembangkan
demi nilai-nilai tertentu tanpa memperhitungkan dam-
pak negatif yang dapat menghancurkan nilai/makna
seksualitas keseluruhan. Nilai-nilai seks yang tidak bias
diabaikan antara lain nilai kesehatan, kenikmatan, repro-
duksi dan keintiman [kemesraan dan kebahagiaan].

3. Data Psikologis
Pada bagian ini banyak dimanfaatkan hasil studi
Freud, terutama mengenai hal-hal yang berhubungan de-
ngan masa kanak-kanak, yang akan mempunyai penga-
ruh dalam kehidupan seksual selanjutnya. Menurut
Freud: Libido menjadi pendorong, pengarah, sumber ke-
kuatan hidup. Libido mendorong individu mengejar yang
nikmat dan menghindari yang tidak nikmat. Libido
mendorong individu terus berkembang menuju kede-
wasaan hetero-seksual.
Lingkungan, terutama dari orang tua sendiri, besar
pengaruhnya terhadap proses perkembangan. Ling-
130 Urgensi Pendidikan Moral

kungan yang secara emosional sehat akan membantu


proses perkembangan hidup emosio-seksual anak, se-
baliknya suasana lingkungan yang kurang sehat hidup
emosio-seksualnya juga akan mengganggu perkem-
bangan hidup emoso-seksual anak yang bersangkutan.
Dengan demikian nampak adanya kemungkinan per-
kembangan libido dapat terhambat/terhenti pada tahap
perkembangan tertentu, yang suatu ketika akan meng-
gejala dalam bentuk gangguan emosioseksual dalam usia
dewasa nanti. Freud membagi perkembangan libido
dalam beberapa periode:

• Periode oral (0-1 th)


Dalam periode ini semua kegiatan libido terpusatkan
pada mulut. Unsur seksual dalam periode ini belum
nampak jelas, namun jejaknya dapat dengan jelas
teramati pada kegiatan seksual dalam periode dewasa
nanti, dimana terdapat kegiatan seksual bersifat oral
seperti cium, kecup, sampai ke “hubungan oral”. Ketidak-
beresan dalam melalui periode ini akan terulang dalam
masa dewasa nanti dalam bentuk kelainan.

• Periode anal (1-3 th)


Dalam periode ini anak dapat memperoleh kenik-
matan dari kegiatan “menahan/ mengeluarkan” faeces.
Perkembangan dalam periode ini masih lebih terarah
kepada diri sendiri serta fungsi organ. Maka juga disebut
“periode harcisistis”. Bila anak tidak dapat dengan baik
melewati periode berarti tidak lulus maka ada kemung-
kinan masih harus mengulangi/ “her”. Her tersebut akan
berupa kelainan narcisistis pada usia dewasa nanti.
Kemacetan perkembangan dapat terjadi bila anak hidup
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 131

dalam lingkungan sosial yang hidup emosioseksualnya


kurang sehat.
• Periode phallic (sekitar 3 th)
Kecenderungan libido mulai terpusatkan pada organ
seksual yaitu pada penis/klitoris. Anak mulai men-
dapatkan kenikmatan dalam mempermainkan organ
tersebut. Karena mengalami kenikmatan si anak lalu
ingin mengulangi – sehingga menimbulkan semacam
kebiasaan mempermainkan organ seksual.Hal tersebut
tidak perlu dipermasalahkan selama terjadi masih dalam
periode phallic tersebut. Sebaliknya bila anak tidak
berhasil melewati periode ini dengan baik akan meng-
gejala kembali dalam periode-periode berikutnya
sehingga dapat menimbulkan masalah pada usia dewasa
nanti karena mempunyai kelainan: mencari kenikmatan
seksual sendirian.

• Periode oedipal (4-7 th)


Dalam periode ini anak mulai memasuki “hubungan
efektif seksual antar pribadi”. Anak mulai mengarahkan
affeksi seksualnya ke jenis lain, tetapi belum berani ke-
pada orang lain, maka lalu terarahkan kepada orang tua
sendiri : anak putri kepada ayah dan anak putra kepada
ibu. Maka periode ini merupakan pintu gerbang me-
masuki perkembangan seksual yang bersifat heterosek-
sual. Dari lain pihak periode tersebut juga merupakan
periode konflik, maka apabila tidak mendapatkan udara
segar dalam keluarga perkembangan ke arah hetero-
seksual akan terhambat, sehingga mungkin muncul
kelainan ke arah homoseksual.
132 Urgensi Pendidikan Moral

• Periode latensy (7 th - selesai)


Dalam periode ini mulai tumbuh rasa tertarik
kepada jenis lain sebagai jenis yang lain dari dirinya,
yang sekaligus juga dibarengi adanya rasa malu terhadap
jenis lain. Meskipun mereka dalam bermain masih me-
ngelompok bersama jenis sendiri, tetapi mulai nampak
adanya kegiatan-kegiatan yang berbau seksual dan mulai
tertarik terhadap hal-hal yang bersifat seksual. Perasaan
demikian dibarengi dengan terjadinya perubahan fisik
sehingga dunia kanak-kanak seolah-olah berubah se-
luruhnya menuju dunia dewasa. Libido memasuki per-
kembangan tingkat akhir yang akan mengantar ke tingkat
seksualitas dewasa atau tingkat genetal.

• Beberapa bentuk kelainan


Perkembangan seksual genital yang normal adalah
hete-roseksual dan sebagai titik puncaknya mengarah
hubungan seks dengan jenis lain. Pada bagian sebelumnya
telah dijelaskan bahwa dalam perkembangan fisiologis
terdapat macam-macam gangguan yang dapat menye-
babkan terjadinya kelainan. Demikian juga dalam per-
kembangan seksual genitalpun terdapat macam-macam
gangguan yang menyebabkan terjadinya kelainan, seperti
misalnya :
Narcisismus, terjadi perasaan erotis yang tertujukan
pada diri sendiri atau tubuh sendiri menggejala antara
lain dalam bentuk: onani, polusi, masturbasi.
Voyeurismus, terjadi perasaan erotis hanya dengan
“mengamati” jenis lain. Exhibisionismus, terjadi perasaan
erotis dengan “mempertontonkan” organ seksualnya
kepada jenis lain.
Sadismus, mendapatkan kepuasan erotis dengan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 133

“menyakiti” jenis lain. Pemerkosaan sedikit banyak ter-


kena warna kelainan sadismus. Masochismus, mendapat-
kan kepuasan erotis justru dengan “menderita”.
Transvestitismus, mendapatkan kepuasaan erotis
dengan “memanfaatkan” pakaian jenis lain. Trans-
seksual, mempunyai kecenderungan kuat untuk meng-
ganti organ kelamin lalu berperan sebagai pribadi lain
jenis dari yang de fakto dimiliki.
Homoseks/lesbian, kecenderungan mendapatkan
kepuasan seksual dengan mengadakan “hubungan
seksual” dengan jenis yang sama : laki-laki dengan laki-
laki, wanita dengan wanita.

4. Data Antropologis
Yang dimaksud dengan data anthropologis adalah
sikap manusia sebagai manusia terhadap seksualitas.
Masalah seksualitas adalah sangat pribadi, sehingga
tidak berlebihan dikatakan bahwa setiap orang dapat
mempunyai sikap pribadi yang berbeda-beda. Namun
demikian secara garis besar sikap pribadi yang berbeda-
beda tersebut dapat dikelompokkan kedalam dua go-
longan yaitu (1) sikap yang lebih tertutup dan menilai
seks cenderung negatif, (2) sikap lebih terbuka dan me-
nilai seks cenderung positif.

• Sikap tertutup cenderung negatif:


Kotor penuh dosa
Tidak hanya masa lalu tetapi sekarangpun masih ada
orang yang berpendapat bahwa seks adalah sesuatu yang
kotor, jenes (jawa), yang tidak layak dibicarakan secara
terbuka di hadapan umum. Semua pembicaraan dan
134 Urgensi Pendidikan Moral

perbuatan yang ada hubungan dengan seks dirasakan


sebagai sesuatu yang kotor, tidak pantas, jenes, penuh
dosa. Bahkan sampai ada anggapan bahwa satu-satunya
dosa yang tidak pantas adalah dosa seksual sehingga ada
istilah : “dosa kotor, penyakit kotor, dosa jenes, dosa tidak
pantas”, yang dimaksud adalah dosa atau penyakit yang
ada hubungan dengan seks. Kiranya ini pengaruh dari
budaya puritanis.

• Sikap tabu
Tabu adalah penilaian irrasional mengenai dosa.
Berbicara seks adalah tabu artinya menjadi pantangan,
larangan yang tak boleh disentuh dan dibicarakan. Maka
sikap gegabah dan irrasional apabila berpendapat bahwa
dosa paling utama adalah dosa yang berhubungan dengan
seks. Memang ada dosa berhubungan dengan seks, ya
bahkan dosa berat, tetapi jelas kurang tepat berpendapat
bahwa hukum yang terpenting adalah yang menyangkut
seks sehingga disimpulkan bahwa dosa berhubungan
dengan seks selalu “ex genere suo grave” sedangkan dosa
yang langsung melawan cinta kasih dan keadilan
dipandang enteng.

• Sikap farisiis
Bila diajak bicara serius terbuka menolak dengan
alasan tidak pantas membicarakan masalah seks, tetapi
dalam pembicaraan secara tersembunyi, tidak resmi dan
porno dengan senang hati ambil bagian. Sikap parisiis
juga terdapat dalam diri orang yang secara sembunyi-
sembunyi melanggar aturan sendiri. Farisiis adalah sikap
“sok suci”.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 135

• Sikap main polisi


Sikap main polisi adalah sikap yang mau
menyelesaikan segala masalah dengan memberikan
hukum yang memaksa dari luar. Sehubungan dengan seks
sanksi hukuman dapat berupa dosa. Usaha mengancam
dengan sanksi dosa mungkin dapat berhasil dalam masya-
rakat tertutup, yang statis, tidak mempunyai aspirasi
hidup. Tetapi untuk masyarakat yang sudah terbuka bagi
kebudayaan luar kiranya resep-resep etik dengan acaman
dosa tidak berfungsi lagi. Yang diharapkan adalah nor-
ma-norma yang menunjukkan nilai-nilai yang harus
diperjuangkan.

• Sikap terbuka cenderung positif:


Sikap pornografis
Seperti sikap tabu sikap pornografis juga mempu-
nyai obsesi seksual. Hanya bedanya dalam sikap tabu ter-
dapat obsesi negatif, melarang, sedangkan dalam sikap
porno-grafis terdapat obsesi positif. Sikap pornografis
jelas melihat nilai positif seks, hanya saja nilai positif
tersebut disalahgunakan untuk memperoleh keuntungan
material belaka. Maka mesti menilai positif seks sikap
pornografis merendahkan seks karena tidak diarahkan
ke hubungan personal dalam cinta kasih tetapi disalah-
gunakan untuk mendapatkan keuntungan material.
Prostitusi dalam arti yang sebenarnya yaitu meng-
eksploatasi nilai positif seks.

Sikap panseksualis
Panseksualis merupakan bentuk lain obsesi seksual
yang mau menerangkan semua nilai pribadi dari seks.
Sifatnya bukan komersial seperti pornografi melainkan
136 Urgensi Pendidikan Moral

ilmiah. Sangat terkenal thesis Freud yang mengatakan


dalam diri manusia, sedangkan realitas lain-lainnya se-
perti misalnya: agama. ilmu pengetahuan, kesenian, ke-
budayaan, hanyalah merupakan bentuk sublimasi dari
realitas dasar tersebut. Para psikolog dewasa ini pada
dasarnya sudah meninggalkan thesis Freud tersebut,
akan tetapi masih terdapat sikap hidup kongkrit yang
kurang lebih seperti itu. Sikap hidup yang demikian itu
umumnya terbuka, sehingga mungkin diajak berdialog
untuk bersama semakin mendekati kebenaran
.
• Sikap romantis
Sikap yang terbuka terhadap seksualitas menghen-
daki manusiawi sepenuhnya. Berbeda dengan “amicitia
platoni-ca/persahabatan platonis”, yaitu persahabatan
melulu rohani, yang mengesampingkan apa saja yang
berbau seks, sikap romantis mau menciptakan per-
sahabatan sepenuhnya manusiawi, maka juga mengikut-
sertakan seksualitas. Cinta kasih yang paling murni se-
kalipun akan selalu mengikutsetakan seksualitas, karena
cinta kasih yang sungguh otentik manusiawi pasti me-
libatkan seluruh manusia termasuk seksualitasnya.
Mengikutsertakan seksualitas itu tidaklah sama dengan
mengarah ke hubungan seksual, melainkan berarti
melibatkan manusia yang selalu bercirikan seksual
kongkrit yang adalah pria dan wanita

• Sikap higienis
Sikap menilai seks melulu dari segi kesehatan. Maka
penilaian didasarkan hanya atas fenomin biologis, belum
memperhitungkan fenomin manusiawi, apalagi fenomin
religius. Gejala semacam iti nampak dalam propaganda
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 137

KB yang di sana sini nampak memperhitungkan manusia


hanya dari segi biologis. Manusia dipandang hanya se-
bagai yang melahirkan anak. Asal produksi anak secepat
mungkin dikurangi. Berhasilnya KB hanya diukur
dengan tambahnya ekseptor KB Lestari, lahirnya anak
ke 3 dimengerti sebagai pertanda bahwa KB gagal. Akhir-
akhir ini sikap higienis terhadap seks nampak dalam
pembicaraan-pembicaraan sehubungan dengan AIDS.
Yang menjadi pokok masalah adalah bagaimana me-
nanggulangi ancaman AIDS yang semakin mengganas.
Jelas terdapat unsur sangat positif dalam pandangan ter-
sebut, akan tetapi belum lengkap. Manusia bukan hanya
makhluk biologis. Maka seksualitas manusia juga bukan
hanya masalah biologis melainkan masalah manusiawi.

• Sikap human-sosial
Seksualitas merupakan unsur konstitutif untuk men-
ciptakan hubungan cintakasih antar manusia. Manusia
hanya mungkin memperkembangkan diri dalam masya-
rakat yang bernafaskan cintakasih. Sikap human-sosial
menggejala dengan adanya usaha menciptakan masyara-
kat di mana masing-masing anggota saling mengenal
secara pribadi, sehingga memungkinkan adanya dialog
untuk menciptakan suasana hidup bersama di mana
masing-masing anggota saling mendukung, saling men-
cinta secara manusiawi sepenuhnya.

• Sikap religius
Sikap religius merupakan perkembangan sikap hu-
mansosial. Perkembangan tersebut didasarkan atas kesa-
daran bahwa usaha untuk menciptakan masyarakat cinta
kasih itu suatu ketika akan kandas apabila tidak diba-
138 Urgensi Pendidikan Moral

rengi usaha mensublimasikannya didasarkan atas nilai-


nilai religius. Gagalnya usaha membangun cinta kasih
perkawinan antara lain juga disebabkan karena tiadanya
motivasi religius. Dari satu pihak cinta kasih harus
dihayati secara manusiawi sepenuhnya, bukan hanya
“amicisia platonica”, tetapi dari lain pihak cinta kasih
manusiawi tersebut masih perlu disublimasikan sehingga
dimensi relegius dari cinta kasih manusiawi tersebut
juga terkembangkan.

5. Manusia adalah Makhluk Seksual


Sadar atau tidak manusia adalah makhluk seksual,
artinya berjenis laki-laki atau perempuan. Bicara
tentang seks berarti bicara tentang hidup manusia. Maka
pembicaraan tentang moral seksual tidak bisa dilepaskan
dari “hormat” dalam hubungan laki-laki dan perempuan.
Norma sosial yang dalam tradisi agama dikaitkan dengan
perintah “jangan berzinah” sesungguhnya bukan hanya
bersifat larangan saja, melainkan berbicara tentang
“kehormatan dan kesetiaan”, sebab seks menuntut
tanggung jawab sosial.
Banyaknya aturan atau larangan belum menjamin
terciptanyan hubungan yang mantap dan baik antara
laki-laki dan perempuan, sebab hubungan mereka
merupakan masalah kepercayaan. Mereka membutuh-
kan suatu keyakinan mendalam. Penilaian moral seksual
tidak dapat diatur dengan sejumlah aturan, sebab seks
menyangkut seluruh dimensi hidup manusia dan
penghayatan hidup manusiawi. Maka moral seksual juga
menyangkut iman. Adanya dua jenis kelamin: laki-laki
dan perempuan, adanya hubungan seksual dan keturunan
berasal dari Allah dan dimaksudkan supaya manusia ikut
serta dalam karya penciptaan Allah.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 139

• Seks dan Seksualitas


Sebagai makhluk seksual manusia perlu memahami
seks dan seksualitas. Seks dan seksualitas merupakan
satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Purwa Hadiwardaya menyebutkan bahwa seks adalah
alat kelamin dan hal-hal yang langsung menyangkut alat
kelamin, sedangkan seksualitas adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan kepribadian laki-laki dan
perempuan (Purwa hadi-wardaya,1990). Maka seksua-
litas jauh lebih luas dari seks. Seks atau alat kelamin
mempunyai peranan untuk membuang air seni, menge-
luarkan darah kotor (haid), membuang sperma melalui
mimpi-mimpi basah, mengungkapkan cinta dan ke-
turunan.
Seksualitas merupakan ciri khas pribadi manusia.
Sejak dalam kandungan ciri khas itu sudah ada. Sek-
sualitas ikut menentukan hubungan yang sehat antar
pribadi dan mewarnai seluruh kehidupan laki-laki dan
perempuan. Jika kita melihat seksualitas secara kompre-
hensif, maka nilai-nilai seks yang tetap perlu diperjuang-
kan dan dikembangkan adalah kesehatan, reproduksi,
keintiman dan kenikmatan. (bdk. Cahill, lisa Sowle, Sex,
Gender And Christian Ethics, New York:? Cambridge
University Press, 1996, hal 71-72) Nilai-nilai itu harus
dipandang dan ditempatkan dalam rangka membangun
tata cara kehidupan masyarakat yang semakin adil dan
manusiawi. Nilai-nilai itu akan menyimpang bila dibelok-
kan menjadi hubungan saling menguasai, manipulasi dan
kekerasan. Misalnya reproduksi dilembagakan dalam
perkawinan yang mengutamakan keturunan; kenikmatan
dilembagakan dalam perkawinan yang mengutamakan
kenikmatan seks; keintiman dilembagakan dalam
140 Urgensi Pendidikan Moral

perkawinan homoseksual. Nilai-nilai seksual harus


dikembangkan dalam hubungan pribadi pasangan, dalam
hubungan tanggungjawab sosial, dan kontribusi mereka
terhadap pembangunan masyarakat.

• Hubungan Seksual yang Baik Secara Moral


Memperhatikan nilai-nilai seks diatas, maka hu-
bungan seks bukan suatu naluri alam yang harus selalu
mendapat pelepasan. Seks untuk manusia bukan manusia
untuk seks. Hubungan seksual tidak semata-mata me-
rupakan aktivitas phisik atau individu. Hubungan sek-
sual harus dilihat dalam konteks keseluruhan hidup
pribadi, maka perlu dihayati dan dikembangkan dalam
kesatuan kasih. Hubungan seksual merupakan ungkapan
cinta kasih sejati, dan baru menjadi penuh kalau kedua-
nya “saling berjanji” setia seumur hidup dan dilindungi
oleh perkawinan yang sah. Dalam perkawinan hubungan
seks menjadi ungkapan cinta kasih yang khas dan
eksklusif, ungkapan kejujuran dan penyerahan.
Hubungan seks yang manusiawi dapat mengalahkan
kepentingan pribadi, meningkatkan pertumbuhan
pribadi dan kemampuan laki-laki dan perempuan untuk
saling memberi dan menerima kasih. Hubungan macam
ini dapat menjadi dasar perkawinan yang tunggal
(monogami), eksklusif dan tak terceraikan (kesetiaan).
Tidak dibenarkan jika hubungan seks hanya berdasarkan
“hak” suami atau istri. Dengan demikian menjadi jelas
bahwa dalam hubungan seks tidak dapat mengabaikan
nilai-nilai seks. Keduanya saling membahagiakan
(memberikan kepuasan), open to life (terbuka bagi
keturunan), heteroseksual
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 141

6. Masalah-masalah Moral Seksual


Banyak kaum muda suka bertanya tentang apa yang
boleh dan tidak boleh dalam masalah seksual. Berikut
akan diuraikan masalah-maslah seksual yang sering
dipertanyakan.

• Masturbasi atau Onani


Masturbasi (latin: turbatio/gangguan dan manus:
tangan) adalah suatu tindakan laki-laki atau perempuan
yang menstimulasi dorongan hawa nafsu dengan mem-
permainkan alat kelamin demi kenikmatan. Dalam
pandangan modern masturbasi tidak dapat dinilai sama
rata bahwa semuanya secara moral bernilai buruk.
Menurut ilmu psikologi perkembangan, masturbasi sudah
biasa terjadi pada anak-anak. Misalnya, anak-anak biasa
mempermainkan alat kelamin, mengempit bantal waktu
tidur karena merasa tenang, nyaman dan terhibur.
Mereka melakukan hal itu secara spontan tanpa penge-
tahuan dan dorongan seksual. Maka tindakan mereka
secara moral tidak dapat dinilai baik atau buruk.
Pada kaum remaja, kaum muda atau dewasa pe-
nilaian moral terhadap masturbasi juga tidak dapat di-
samaratakan, sebab penilaian moral terhadap tindakan
masturbasi perlu mempertimbangkan situasi dan moti-
vasi dari tindakan itu. (Purwa Hadiwardoyo, Al, Moral
dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 45)
Kalau masturbasi itu dilakukan secara spontan, dilaku-
kan oleh orang yang sedang tertekan dan suami-istri yang
tinggal berjauhan, tanpa pengetahuan seks yang benar
dan tidak secara terus menerus dilakukan, maka secara
moral tindakan itu belum bisa dinilai buruk. Tetapi me-
reka perlu disadarkan bahwa tindakan mereka bisa
142 Urgensi Pendidikan Moral

berakibat buruk, sebab tindakan semacam itu memupuk


sikap egois. Sedangkan kalau masturbasi itu dilakukan
secara sengaja, tahu (bahwa seks untuk kemanusiaan),
dan dilakukan secara terus menerus maka tindakan itu
secara moral bernilai buruk. Oleh karena itu sejak dini
pendidikan seks amat diperlukan.

• Homofilia dan Homoseksualitas.


Manusia adalah makhluk berjenis laki-laki atau
perempuan. Secara seksual laki-laki atau perempuan
yang normal akan tertarik pada lawan jenisnya. Maka
ketika ada laki-laki atau perempuan yang tertarik dan
menjalin hubungan dengan sesama jenis kelamin akan
menimbulkan masalah moral dan dinilai buruk. Namun
demikian, kita perlu hati-hati dalam memberikan
penilaian moral terhadap tindakan mereka.
Homoseksualitas perlu dibedakan dengan homofilia.
Homofilia adalah pengalaman jatuh cinta kepada sesama
jenis kelamin, tetapi cinta mereka baru diungkapkan
dengan kemesraan ringan seperti saling merangkul,
memeluk dan mencium tanpa permainan seksual (Purwa
Hadiwardoyo, 1990:45) Sedangkan homoseksualitas yang
juga disebut lesbianisme menyangkut ikatan cinta antara
sesama jenis kelamin, yang sudah amat mendalam dan
mencakup permainan seksual setingkat dengan hubungan
suami-istri (Purwa Hadiwardoyo, 1990:45).
Homofilia dan homoseksualitas secara moral sulit
dinilai baik atau buruk. Tindakan macam ini kalau
dilakukan oleh seseorang yang benar-benar bermental
homo (homofilia dan homoseksualitas) secara moral tidak
dapat dinilai buruk sebab pelaku memiliki kelainan
mental seksual. Maka kepada mereka perlu diberikan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 143

pendampingan dan kasih sayang yang tulus daripada


teguran yang sinis dan menghakimi. Tetapi apabila
tindakan itu sengaja dilakukan oleh orang yang normal
dan demi kenikmatan seksual, maka secara moral tin-
dakan itu buruk. Maka kepada mereka perlu ditegur dan
dibantu untuk berani melepaskan diri dari partnernya.

• Seks bebas
Seks itu adalah anugerah Allah yang bersifat suci,
indah dan sungguh amat baik untuk kemanusiaan. Seks
menjadi buruk, jorok, memperbudak dan menghancurkan
hidup manusia kalau disalahgunakan. Karena itu dalam
semua tradiri masyarakat seks dihormati dan dilindungi
oleh perkawinan. Menghormati seks berarti menghormati
martabatnya sendiri. Menghormati martabatnya sendiri
berarti menghormati sesama dan menghormati Allah.
Seks bebas adalah hubungan atau tindakan seksual
di luar perkawinan. Di depan telah diuraikan bahwa
hubungan seksual menjadi ungkapan cinta kasih sejati
dan penuh kalau keduanya “saling berjanji” setia seumur
hidup dan dilindungi oleh perkawinan yang sah. Dalam
perkawinan hubungan seks menjadi ungkapan cinta
kasih yang khas dan eksklusif. Maka cinta dalam per-
kawinan memiliki beberapa kualitas moral, yaitu ke-
sehatan, kejujuran, totalitas dan kesetiaan seumur hidup.
Dengan demikian seks bebas secara moral bernilai buruk,
karena seks bebas dapat dipandang sebagai penyalah-
gunaan seks, perendahan martabat manusia dan tidak
menjamin kualitas moral. Dalam seks bebas tidak ada
penalaran akal budi yang sehat, tidak menunjukkan cinta
sejati, mengabaikan nilai kesehatan, dan lebih mengung-
gulkan kepentingan-kepentingan pribadi, maka harus
dihindari dan ditolak.
144 Urgensi Pendidikan Moral

• Operasi Ganti Alat kelamin


Seks atau alat kelamin merupakan anugerah Allah,
maka bersifat kodrat. Seks merupakan unsur hakiki
manusia, maka tanpa seks manusia tidak bisa hidup
secara wajar. Disamping untuk kesehatan, seks juga
berfungsi untuk reproduksi, kenikmatan dan keintiman.
Namun di jaman modern ini banyak kaum laki-laki yang
melakukan operasi ganti kelamin. Masalahnya adalah
apakah tindakan operasi alat kelamin secara moral dapat
dinilai baik?
Alat kelamin laki-laki sering disebut buah pelir atau
zakar. Zakar adalah kelenjar kelamin laki-laki yang
menghasilkan hormon khas laki-laki. Hormon inilah yang
ikut menentukan ciri khas laki-laki. Zakar mempunyai
kontruksi khusus. Dalam keadaan normal zakar
berbentuk kecil dan lemas. Tetapi bila ada rangsangan
seksual zakar akan berereksi: menjadi besar, tegang,
keras dan tegang. Ereksi berguna untuk melakukan
hubungan seksual.
Alat kelamin perempuan sering disebut vagina.
Vagina adalah saluran yang menghubungkan rahim
dengan alat kelamin bagian luar, tempat melakukan
hubungan seksual. Vagina juga memiliki kontruksi
khusus, sesuai dengan fungsinya untuk mengandung,
melahirkan dan menyusui. Vagina mencakup kedua
indung telur yang menghasilkan hormon-hormon khas
perempuan. Vagina bersifat elastis dan bisa menye-
suaikan diri: kapan melakukan hubungan seksual dan
kapan mengeluarkan cairan, lender, darah haid.
Berdasarkan ciri khas alat kelamin laki-laki dan
perempuan inilah, maka operasi ganti kelamin secara
moral bernilai buruk bahkan dapat dipandang sebagai
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 145

suatu kejahatan, sebab melawan kodrat manusia,


mematikan ciri khas kemanusiaan laki-laki atau
perempuan. Secara DNA laki-laki tetap memiliki kro-
mosom yang berbeda dengan perempuan. Secara kodrat
seorang laki-laki tetaplah seorang laki-laki, seorang
perempuan tetaplah seorang perempuan, karena jumlah
kromoson yang diberikan Allah.

Pertanyaan Reflektif:
1. Jelaskan hubungan dan perbedaan antara seks dan
seksualitas.
2. Sebutkan nilai-nilai seks yang seharusnya dihormati
dan dikembangkan untuk pembangunan masyarakat
yang lebih adil dan manusiawi.
3. Sebutkan beberapa perilaku seksual yang dianggap
menyimpang dari nilai-nilai seks. Jelaskan mengapa
menyimpang?
4. Dalam perkawinan hubungan seks menjadi ungkapan
cinta kasih yang khas dan eksklusif. Jelaskan apa
maksudnya?
5. Jelaskan, apakah seks itu bersifat sosial?
6. Berilah tanggapan kritis, bagaimana penilaian moral
terhadap masalah-masalah moral berikut:
a. Masturbasi/ Onani
b. Homofilia dan Homoseksual
c. Seks bebas
d. Operasi ganti kelamin
146 Urgensi Pendidikan Moral

Bahan Bacaan:

Lisa Sowle Cahill.,


1996 Sex, Gender And Christian Ethics, New York:
Cambridge University Press.
Al. Purwa hadiwardaya,
1990 Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius,
Adimassana,
1998 Moral Dasar,USD,Yogyakarta
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 147

BAB IX

MORAL PERKAWINAN

P esatnya perkembangan IPTEK tidak hanya


mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masya-
rakat masa kini, tetapi juga ikut mempengaruhi pema-
haman kehidupan keluarga masa kini. Tidak jarang ter-
jadi perselingkuhan dalam perkawinan, kawin cerai, po-
ligami, perkawinan siri, perkawinan beda agama dsb.
Oleh karena itu perlu pemaham yang mendalam tentang
perkawinan dan keluarga.

1. Perkawinan sebagai Lembaga Sosial


Semua tradiri masyarakat telah melembagakan
perkawinan dan memberikan pedoman-pedoman moral
perkawinan. Masyarakat mengakui bahwa perkawinan
merupakan ikatan yang memberi hak hidup & moral
suami-istri untuk hidup bersama, hidup serumah, ber-
hubungan seksual, menurunkan dan mendidik anak.
Maka perkawinan amat dijunjung tinggi dan dihormati.
Namun demikian norma perkawinan dalam masyarakat
perlu kita kritisi secara mendalam supaya tetap mening-
katkan kualitas moral manusia.
Semua negara mengakui, mengatur dan melindungi
lembaga perkawinan warganya. Maka setiap lembaga
148 Urgensi Pendidikan Moral

negara baik itu swasta maupun negri memberi tunjangan


keluarga (istri atau suami dan anak-anak). Negara juga
menentukan sifat-sifat atau ciri-ciri perkawinan yang di-
harapkan. Misalnya monogami, tidak terceraikan, poli-
gami, dan sebagainya. Namun demikian ketentuan
negara tentang hukum perkawinan tidak menjadi pe-
doman moral, tetapi sebagai pengaturan dan ketertiban
hidup bersama. Maka setiap warga negara perlu mem-
perhatikan norma-norma yang lainnya.
Sebagai norma hukum, agama juga menjadi pedoman
moral perkawinan. Kebanyakan agama memandang per-
kawinan bersifat suci, karena perkawinan itu dikehen-
daki Allah. Maka perkawinan juga diteguhkan dan di-
rayakan dalam ibadat. Kebanyakan agama juga meman-
dang perkawinan yang baik adalah perkawinan yang
monogami dan tak terceraikan. Tetapi ada agama yang
mengijinkan perceraian atau poligami, asal syarat-syarat
yang ada dipenuhi.
Walaupun perkawinan itu dikehendaki Allah, per-
kawinan bukan merupakan kodrat manusia, melainkan
bersifat pilihan atau panggilan hidup. Hidup perkawinan
memiliki beberapa tuntutan moral, yaitu kemampuan
untuk berhubungan seksual, kemampuan untuk setia,
kemampuan untuk menurunkan dan mendidik anak-
anak. Tuntutan ini perlu direfleksikan secara jujur oleh
mereka yang akan menikah: Apakah mereka memiliki
kemampuan untuk memenuhi tuntutan-tuntan di atas?.
Dalam hal ini pemilihan partner pun sebaiknya direflek-
sikan dengan pertimbangan-pertimbangan moral, bukan
pertimbangan untung rugi atau asal sama-sama suka.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 149

2. Perkawinan sebagai Persekutuan Hidup


dan Cinta
Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes
dijelaskan bahwa perkawinan sebagai persekutuan “hi-
dup” dan “kasih” suami-istri yang mesra, yang diadakan
oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-
hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau per-
setujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali (GS 48).
Ini menunjukkan bahwa perkawinan menyatukan
seluruh hidup pribadi: jiwa dan raga, mental dan spi-
ritual suami-istri seumur hidup. Persekutuan ini akan
lebih mudah dan lancar dicapai kalau suami-istri meme-
luk agama yang sama. Tetapi bukan berarti perkawinan
beda agama secara moral dapat dinilai buruk, sebab dasar
perkawinan yang utama dan pertama adalah cinta, bukan
agama.
Cinta suami-istri adalah bentuk cinta yang total,
sebab cinta mereka memperlihatkan komitmen yang
menyebabkan munculnya suatu komunitas yang disebut
keluarga. Dalam keluarga cinta suami-istri terus me-
nerus diuji: apakah mereka tetap saling memperhatikan
dan menaruh kepedulian dalam hidup sehari-hari?,
apakah mereka tetap bersatu hati dan satu jiwa dalam
mencapai kesempurnaan manusiawinya?
Paus Paulus II dalam Anjuran Apostolik Familiaris
Consortio (FC) menyebutkan seksualitas hanya diwu-
judkan secara sungguh manusiawi bila merupakan suatu
unsur integral dalam cinta kasih, yakni bila pria dan
wanita saling menyerahkan diri seumur hidup. (FC 11).
Cinta semacam ini memadukan segi manusiawi dan ilahi,
mengantar suami-istri untuk saling memberi dan me-
nerima, dan makin sempurna karena adanya kerelaan
150 Urgensi Pendidikan Moral

untuk berjerih payah dan tak kenal lelah dalam menjaga


keutuhan keluarga. Maka cinta yang manusiawi jauh lebih
unggul dari pada cinta erotis yang mengutamakan kepen-
tingan pribadi. Cinta macam ini bersifat murah hati,
jujur, total, sabar, tawakal, rendah hati, rela berkorban,
pemaaf, kreatif, sederhana, tidak mengenal lelah, tekun
dan sebagainya.

3. Nilai-nilai Dasar Perkawinan


Hukum dasar perkawinan adalah cinta. Nilai-nilai
dasar yang dapat menjamin cinta sejati dan kehidupan
perkawinan yang manusiawi adalah monogami, tak
terceraikan, heteroseksual dan keterbukaan terhadap
hadirnya seorang anak.

• Monogami
Perkawinan monogami adalah perkawinan antara
satu suami dan satu istri. Perkawinan macam ini bersifat
utuh, total dan tak terbagi, maka dapat menjamin ke-
sehatan, kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Dalam
perkawinan monogami suami-istri memiliki ruang dan
kemampuan untuk memberikan diri mereka secara total
dan sempurna sebagai suami-istri dan sebagai ayah-ibu
bagi anak-anak mereka. Dalam perkawinan monogami
martabat dan tanggung jawab suami-istri tampak sama
saja, tidak ada yang merendahkan atau direndahkan.
Perkawinan poligami menunjukkan relasi yang tidak
adil dan tidak manusiawi. Cinta dalam perkawinan
poligami tidak utuh, tidak total dan terbagi, maka suami-
istri tidak memiliki ruang dan kemampuan untuk
memberikan diri mereka secara total pada pasangannya
dan anak-anak mereka. Perkawinan poligami secara
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 151

moral dapat dinilai buruk, tidak menunjukkan kualitas


moral. Barangkali secara agama tertentu dan negara per-
kawinan poligami dapat dipandang baik, tetapi pan-
dangan ini tidak ada nuansa moralnya. Pelaku per-
kawinan poligami cenderung bersikap minimalis, legalis
dan kurang manusiawi.

• Tak Terceraikan
Perceraian menunjukkan bahwa suami-istri gagal
mengembangkan cinta sejati. Ini terjadi karena suami-
istri sibuk dengan kepentingan-kepentingan pribadi.
Cinta mereka bersifat egosentris. Akibatnya cinta kasih
mereka menjadi lemah, karena kurang mendapat per-
hatian. Secara moral perceraian dinilai buruk dan layak
ditolak oleh mereka yang menjunjung tinggi kesucian
perkawinan dan kesetiaan suami-istri. Tetapi kalau da-
lam perkawinan itu terjadi kekerasan yang melanggar
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, mengancam
ketenangan dan keselamatan suami atau istri, perceraian
tidak bisa dinilai buruk, maka layak diterima.
Cinta seperti tanaman bunga yang membutuhkan
perhatian dan kelembutan, maka harus dikembangkan
dan tumbuh menjadi kuat melalui perjalanan kehidupan
perkawinan mereka. Cinta itu suatu pemberian, bukan
permintaan, maka harus dinamis, kreatif, proaktif, kon-
tekstual dan tahan uji. Setiap hari cinta harus membuat
suami-istri menjadi sepasang pribadi, menjadi dirinya
sendiri dan semakin diperkaya oleh partnernya. Saling
marah, gerakan tutup mulut (neng-nengan), sikap acuh
tak acuh adalah lonceng kematian bagi cinta.
Supaya perkawinan dapat bertahan dan bersifat
kekal, suami-istri harus saling berkomunikasi. Ada empat
152 Urgensi Pendidikan Moral

bahasa komunikasi, yaitu saling bertukar pikiran atau


pendapat, saling mengungkapkan perasaan, bahasa
badan (pandangan mata, sentuhan, gandengan tangan,
ciuman dsb) dan hubungan seksual. (Gilarso, T;
Membangun Keluarga Kristiani, Yogyakarta: Kanisius,
1996: Hal. 47-52)

• Subur
Perkawinan bersifat subur, artinya hubungan seksual
suami-istri bersifat prokreatif, yaitu memunculkan suatu
kehidupan baru atau anak. Hubungan seksual adalah
tindakan dan ungkapan cinta yang khas antara suami-
istri. Tindakan ini harus dipandang luhur dan terhormat.
Anak adalah buah-buah cinta suami-istri, maka harus
diterima dengan penuh keterbukaan dan kasih sayang
yang tulus. Mereka tidak bisa menolak anak dari hasil
hubungan seksual mereka. Mereka yang telah melakukan
hubungan seksual tetapi menolak kehadiran anak, secara
moral dinilai buruk, karena melanggar martabat per-
kawinan. Namun demikian nilai kesuburan perkawinan
tidak terbatas pada keturunan, tetapi harus diperluas
dan diperkaya dengan buah-buah cinta yang lainnya.

• Heteroseksual
Hubungan seks adalah ungkapan cinta sejati yang
khas dan penuh antara suami-istri. Setiap orang baik
laki-laki atau perempuan harus menjaga kesehatan dan
menjaga dorongan seksualnya, sebab seks tidak hanya
untuk kenikmatan. Salah satu fungsi hubungan seksual
adalah reproduksi. Hubungan seks akan memiliki
kualitas moral dan bernilai baik, adil dan manusiawi
kalau dilakukan antara laki-laki dan perempuan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 153

Perkawinan sejenis kelamin secara moral tidak dapat


dipertanggungjawabkan, maka bernilai buruk.

1. Peranan Keluarga
Perkawinan memberi hak dan kewajiban tertentu
kepada suami-istri. Dalam hal ini Paus Paulus Yohanes
II merumuskan peranan keluarga sebagai berikut: (Bdk.
Familiaris Consortio art. 18 – 54)

• Membangun persekutuan pribadi-pribadi.


Melalui perkawinan suami-istri membangun per-
sekutuan pribadi-pribadi atas dasar cinta. Mereka tidak
bisa hidup tanpa cinta. Hubungan antar anggota keluarga
harus dihayati sebagai sebuah perjalanan hidup dan
persahabatan sejati. Ayah-ibu dan anak harus saling ber-
sahabat, saling memberi dan menerima, saling meneguh-
kan dan menyempurnakan.

• Melayani kehidupan
Untuk berkembang dengan baik anak-anak mem-
butuhkan pelayanan dan pendidikan. Orang tua diharap-
kan mau dan mampu melayani dan mendidik anak-anak.
Peran orang tua bersifat khas dan tak tergantikan oleh
siapapun. Orang Tua adalah guru yang otentik, pertama
dan utama. Guru yang baik bukan yang banyak bicara,
melainkan yang banyak memberi “teladan” dalam hidup
baik. Semangat berbagi suka dan duka yang dikem-
bangkan dalam keluarga adalah pedagogi yang paling
konkrit dan efektif. Singkatnya keluarga harus dihayati
sebagai sekolah kemanusiaan. Prinsip dasar pendidikan
orang tua adalah cinta. Kebenaran, keadilan dan ke-
manusiaan adalah wujud cinta yang konkret.
154 Urgensi Pendidikan Moral

• Ikut membangun masyarakat


Keluarga adalah sel masyarakat. Agar masyarakat
menjadi sehat dan baik, keluarga juga harus hidup sehat
dan baik: bertindak jujur, adil, berperikemanusiaan dan
beriman (beragama). Dengan demikian keluarga dapat
memberi kontribusi yang baik pada pembangunan
masyarakat. Keluarga yang tidak sehat mudah rusak dan
bisa menghancurkan kehidupan masyarakat.

• Ikut membangun iman(spiritual)


Manusia adalah makhluk jasmari yang rohani, dan
makhluk rohani yang jasmani. Maka keluarga juga
dipanggil untuk membangun kehidupan rohani atau
kehidupan iman. Keluarga diharapkan secara aktif saling
meneguhkan iman dengan membina hidup rohani dalam
keluarga (misalnya berdoa bersama), mendidik anak-anak
dalam beriman (beragama) yang benar, dan aktif ikut
terlibat dalam kegiatan keagamaan.

• Pertanyaan Reflektif
1. Apa yang dimaksud dengan “perkawinan adalah
persekutuan hidup dan cinta?”
2. Apakah perkawinan itu bersifat pribadi dan sosial?
Jelaskan!
3. Apakah perkawinan itu bersifat eksklusif? Jelaskan.
4. Apakah agama dapat menjamin kebahagiaan dan
kesejahteraan keluarga? Mengapa?
5. Sebutkan nilai-nilai perkawinan yang seharusnya
dihormati dan dikembangkan untuk membangun
masyarakat yang adil dan manusiawi.
6. Apakah perkawinan itu merupakan lembaga agama?
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 155

Jelaskan.
7. Apakah perkawinan itu bersifat kodrat? Jelaskan
8. Bagaimana perkawinan yang “baik” menurut anda?
Jelaskan!
9. Kiranya apa yang akan menjadi penghalang dalam
membangun keluarga yang baik itu. Jelaskan!

Bahan Bacaan:
Gilarso, T;
1996 Membangun Keluarga Kristiani, Yogyakarta:
Kanisius.
John Paul II,
1981 Familiaris Consortio: Apostolic Exhortation, 22
Nov. Vatican, Polyglot Press,.
Purwa hadiwardaya, Al,
1990 Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius.
Konsili Vatikan II,
1993 Gaudium et Spes, Dokpen KWI, Jakarta: Obor.
156 Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 157

BAB X

MORAL SOSIAL EKONOMI

1. Ekonomi Mengabdi Manusia


Dalam Konstitusi Gaudium et Spes disebutkan
bahwa manusia adalah pencipta, pusat dan tujuan selu-
ruh kehidupan ekonomi (GS art 63). Maka makna dan
tujuan yang paling inti dari proses perkembangan ekono-
mi bukan hasil produksi, bukan pula keuntungan dan
kekuasaan, melainkan pelayanan kepada manusia seu-
tuhnya, melayani kebutuhan jasmani dan rohani manusia.
Kehidupan ekonomi harus mengantar manusia kearah
pengembangan diri sebagai makhluk pribadi dan sosial.
Ini tidak cukup dimengerti dalam arti pengembangan ke-
makmuran masyarakat, tetapi harus mencakup penger-
tian yang lebih luas, yaitu pengembangan hubungan
sosial masyarakat dalam tingkat ekonomi yang semakin
baik. Untuk ini diperlukan kesadaran sosial dan solidari-
tas.
Pembangunan ekonomi tidak ada artinya kalau ma-
nusia-manusianya menjadi miskin dalam segi kehidupan
bermasyarakat. Untuk itu kita dipanggil untuk menawar-
kan nilai-nilai solidaritas. Solidaritas dalam kelaparan,
solidaritas dalam ketelanjangan, solidaritas dalam ke-
sakitan, dan sebagainya. Kemiskinan muncul akibat dari
158 Urgensi Pendidikan Moral

struktur masyarakat yang tidak sosial. Sikap sosial yang


secara moral dapat dinilai buruk yaitu, misalnya sikap
radikal, sikap membenci golongan yang dianggap menin-
das orang kecil, sikap acuh tidak acuh atau masa bodoh,
sikap kasihan. Sikap-sikap macam ini tidak dapat diper-
tanggungjawabkan, maka layak dihindari.

2. Sistem Ekonomi
Ada beberapa sistem ekonomi, yaitu sistem ekonomi
pasar bebas (kapitalis), sistem ekonomi komando (kolek-
tif) dan sistem ekonomi campuran dari kedua sistem ter-
sebut. (Bdk. Purwa Hadiwardoyo, 1990: 80-84) Secara
moral sistem ekonomi kapitalis dapat dinilai buruk,
karena sistem ini mengunggulkan kebebasan individu
yang menimbulkan ketidakadilan sosial dan kesenjangan
antara mereka yang miskin dan kaya semakin lebar. Da-
lam sistem ini nilai kebersamaan sebagai makhluk sosial
diabaikan, tidak dihargai.
Dalam sistem ekonomi kolektif nilai kebersamaan
dijunjung tinggi, tetapi nilai kebebasan individu tidak
mendapat ruang dan diabaikan. Milik pribadi menjadi
milik bersama. Pasar tidak bebas. Penggunaan harta
miliki diatur oleh komando atau pemimpin pemerin-
tahan. Akibatnya masyarakat menjadi malas dan tidak
memiliki etos kerja, karena bekerja atau tidak bekerja
dapat imbalan sama. Secara moral sistem ekonomi
macam ini bernilai buruk karena tidak menghargai nilai
kebebasan pribadi.
Sistem ekonomi yang secara moral dinilai baik adalah
sistem ekonomi campuran dari kedua sistem ekonomi
diatas. Dengan sistem ekonomi campuran nilai pribadi
dan sosial manusia sebagai makhluk bermartabat
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 159

dihargai dan dijunjung tinggi. Dengan sistem ini ke-


hidupan ekonomi menjadi tanggung jawab bersama, dan
tidak tergantung pada pemerintah saja. Sistem ini juga
dapat menumbuhkan etos kerja yang tinggi.

3. Prinsip-prinsip Ekonomi
Supaya kehidupan ekonomi sehat dan dapat
mengembangkan kehidupan manusia seutuhnya, maka
perlu memperhatikan prinsip-prinsip dasar berikut ini,
yaitu: (bdk. GS 67 – 72)

• Kerja
Kerja bersumber pada manusia, maka kerja menjadi
unsur terpenting dalam kehidupan ekonomi. Kerja untuk
manusia bukan manusia untuk pekerjaan. Kerja memiliki
nilai pribadi, sosial dan keagamaan. Pekerjaan menjadi
alat dan sarana untuk mewujudkan kemanusiaannya.
Dasar untuk menilai pekerjaan bukan terutama pada
hasil pekerjaan dan jenis pekerjaan yang sedang dilaku-
kan manusia, tetapi bahwa yang melakukan pekerjaan
itu adalah manusia. Setiap pekerja harus diberi upah
layak dan kesempatan untuk tetap bebas, kreatif dan
bertanggung jawab dalam pekerjaannya. Jika ketiga
unsur ini tidak ada, maka secara moral dinilai buruk,
karena pekerja diperlakukan sebagai alat pekerjaan dan
martabatnya direndahkan. Nilai sosial dari pekerjaan
adalah bahwa dengan bekerja manusia saling beker-
jasama untuk memenuhi kebutuhan bersama dan men-
ciptakan kesejahteraan umum. Sedang nilai agama dari
pekerjaan adalah bahwa dengan bekerja manusia ikut
terlibat dalam pekerjaan Allah. Dengan bekerja manusia
160 Urgensi Pendidikan Moral

mengabdi Allah dan menjadi rekan kerja Allah dalam


membangun dan menyelamatkan ciptaan-Nya.

• Partisipasi
Kehidupan ekonomi menjadi tanggungjawab ber-
sama. Maka perlu dikembangkan peran serta aktif dari
semua anggota masyarakat dalam kebijakan-kebijakan
ekonomi. Hak-hak dasar kaum buruh perlu disebutkan,
agar mereka dapat membentuk serikat-serikat buruh
yang dapat mewakili mereka dan ikut membantu dalam
mengatur kehidupan ekonomi. Dengan demikian mereka
merasa dilibatkan dalam tatanan sosial ekonomi dan
ketika terjadi konflik sosial ekonomi dengan mudah
dapat diselesaikan secara damai,

• Pemerataan kekayaan
Beriman atau tidak kita percaya bahwa dunia dengan
segala isinya ini oleh Allah disediakan untuk
keselamatan semua manusia, bukan hanya untuk
segelintir orang saja. Oleh karena itu pemerintah dan
pemilik modal perlu menciptakan lapangan pekerjaan
dan memberikan upah yang mencukupi hidup para
pekerja sehingga mereka bisa hidup layak sebagai
manusia.

• Harta milik
Sebagai makhluk pribadi dan sosial, harta milik
manusia sekaligus bernilai pribadi dan sosial. Ini tidak
hanya menyangkut harta milik yang bersifat jasmani,
tetapi juga yang bersifat rohani, misalnya kemampuan
intelektual, profesional, iman, dsb. Jika sifat sosial
diabaikan maka harta milik manusia dapat menimbulkan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 161

keserakahan dan kekacauan hidup masyarakat. Secara


moral hal ini bernilai buruk, sehingga bisa menimbulkan
perlawanan hak atas miliki pribadi. Harta milik diharap-
kan menjadi sarana menciptakan kesejahteraan umum.
Tetapi setiap kali kesejahteraan umum mengambil alih
harta milik pribadi perlu ditetapkan ganti rugi. Sing-
katnya, hak milik perlu dihayati dan dikembangan dalam
semangat kemiskinan dan solidaritas.
“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan
dari bangsa manusia masa kini,teristimewa yang miskin
atau yang dalam cara apa pun sengsara,adalah ke-
gembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid
Kristus pula” (GS 1)

Pertanyaan Reflektif
1. Berilah tanggapan kritis terhadap masalah?
a. Kemiskinan
b. Pengangguran
c. Ketidakadilan sosial
d. Korupsi
2. Bagaimana caranya menciptakan tatanan sosial
ekonomi yang baik secara moral
3. Kerja memiliki nilai pribadi, sosial dan keagamaan.
Sebutkan dan jelaskan.
4. Saat ini kesenjangan kelompok kaya dan miskin
semakin lebar. Jelaskan apa sebabnya.
5. Berilah tanggapan kritis terhadap kehidupan sosial
eknomi di tanah air Indonesia saat ini. Jelaskan.
162 Urgensi Pendidikan Moral

Bahan Bacaan:
Eduard R. Dopo,
1992 Keprihatinan Sosial Gereja, Yogyakarta:
Kanisius.
Purwa hadiwardaya, Al,
1990 Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius.
Konsili Vatikan II,
1993 Gaudium et Spes, Jakarta:? Obor, 1993.

Manusia tidak hanya hidup dengan kebaikan dan


ketertiban, tetapi juga butuh ekonomi: sandang, pangan
dan papan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa hal
yang berkaitan dengan kehidupan sosial ekonomi.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 163

BAB XI

MORAL HIDUP

M engapa bicara masalah Moral Hidup? Zaman ini


ditandai oleh kemajuan yang begitu pesat dalam
berbagai bidang kehidupan. Kemajuan yang membawa
perubahan kehidupan masyarakat seolah-olah tidak
terbendung. Perubahan tersebut memberi nilai positif
bagi kehidupan manusia, yaitu manusia semakin terbuka
akan banyak hal, adanya efisiensi dalam kehidupan,
semakin berkembangnya kualitas hidup manusia yang
didukung oleh mudahnya komunikasi antar manusia
(bangsa).
Kemajuan itu juga membawa dampak negatif bagi
kehidupan: pola pikir cenderung praktis-ekonomis yang
mengakibatkan banyak orang mengabaikan pertimbangan
moral. Banyak orang cenderung menekankan kebebasan
pribadi, sehingga kepentingan sesama kurang diperhati-
kan; arogansi kekuasaan, penindasan, penggusuran, bu-
daya “suap”, dan sebagainya. Penyalahgunaan teknologi
untuk menghancurkan sesama yang mengakibatkan
semakin merosotnya penghargaan terhadap matabat ma-
nusia (pengguguran, kejahatan yang semakin canggih,
merosotnya penghargaan terhadap nilai perkawinan,
menyingkirkan orang yang dianggap kurang produktif
secara ekonomis (euthanasia, dan lain-lain.). Dalam
164 Urgensi Pendidikan Moral

situasi demikian, banyak kegelisahan diantara manusia


dan mulai menyadari pentingnya norma moral yang bisa
dipegang dan dipertanggungjawabkan. Norma moral itu
dibutuhkan sebagai tolok ukur untuk menentukan benar
tidaknya sikap dan tindakan manusia dilihat dari baik
buruknya manusia sebagai pribadi. Penilaian moral
adalah penilaian terhadap baik buruknya manusia yang
menyangkut inti kepribadiannya (hati, watak, perangai,
dan tindakannya).

1. Empat alasan mengapa kita membahas


soal moral hidup:

• Amanat seluruh agama


Semua agama mengajarkan bahwa Allah adalah
sumber kehidupan, karenanya Allah sungguh menya-
yangi kehidupan. Allah mengasihi manusia dengan
kerahiman-Nya dan menghendaki agar manusia
mengalami kehidupan yang sejati.

• Nilai dan indahnya kehidupan


Hidup adalah anugerah Allah yang amat berharga.
Oleh karena itu, manusia selalu berusaha memper-
tahankan hidupnya dan memperjuangkannya untuk
hidup bahagia. Kehidupan sungguh amat bernilai, indah,
dan mengagumkan. Kekayaan dan keindahan dunia tidak
sebanding dengan hidup manusia. Orang akan mem-
berikan segala kepunyaannya sebagai ganti nyawanya.
Kehidupan yang amat bernilai dan indah ini terancam
oleh ulah manusia sendiri (senjata, nuklir, berbagai racun
kehidupan, serta keserakahan manusia sendiri).
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 165

• Moralitas kehidupan kerap kali dikacaukan


Moralitas kehidupan seringkali dikacaukan oleh
sikap manusia yang sewenang-wenang terhadap se-
samanya, oleh ketidakpastian hukum (salah-benar men-
jadi tidak jelas). Moralitas sering dikacaukan pula oleh
situasi kehidupan yang teleologis (bahwa hidup selalu
mempunyai tujuan tertentu, demi tujuan yang baik tidak
menghalalkan segala cara). Semua orang ingin mem-
peroleh kebahagiaan. Akan tetapi, pandangan dan penge-
rtian mengenai kebahagiaan kadang keliru. Akibatnya,
banyak orang menghalalkan segala cara untuk men-
dapatkan “kebahagiaan” dan menjadikan orang lain
sebagai tumbal.

• Moralitas merupakan tuntutan hakiki hidup


MANUSIA
Moralitas menyangkut hati, sifat, perangai, dan
tingkah laku manusia. Moralitas berkaitan dengan baik-
buruknya manusia sebagai manusia (inti kepribadiannya).
Moralitas merupakan tuntutan sikap hidup dalam
kehidupan bersama di tengah masyarakat. Norma moral
penting bagi kehidupan manusia, agar kehidupan
bersama dapat berlangsung dengan baik dan masing-
masing individu tetap dihargai martabatnya (tanpa
dirugikan).

2. Dasar Etik Menghormati Hidup Manusia


• Martabat Manusia Sebagai Pribadi.
Sebagai pribadi manusia mempunyai kemampuan
untuk mengadakan pertimbangan-pertimbangan dan
kebebasan mengadakan pilihan berdasarkan pertim-
bangan tersebut serta bertang-gungjawab atas pilihan
166 Urgensi Pendidikan Moral

bebas tersebut. Manusia menjadi subyek atas perbuatan


yang dipilih dengan bebas. Kemampuan tersebut menun-
jukkan adanya keterbukaan dalam diri manusia terhadap
orienta-si ke arah yang tak terbatas, ke arah yang ilahi,
ke arah Allah dan hanya dalam Allah menemukan ke-
penuhan adanya. Manusia sebagai subyek adalah unik,
mempunyai hak atas diri sendiri, atas hidup sendiri, dan
apa saja yang dibutuhkan untuk hidup tersebut dalam
rangka memperkembangkan diri menuju kepenuhan
hidupnya. Dari sini nampak adanya kewajiban untuk
menghormati hidup sesama manusia.

• Martabat Manusia Sebagai Makluk Sosial


Dalam menghayati hidup sebagai pribadi manusia
selalu berada dalam kebersamaan. Dalam kebersamaan
tersebut masing-masing pribadi mempunyai peran unik
tak tergantikan untuk saling membantu, saling mendu-
kung, saling tolong menolong dan saling mencintai dalam
usaha mem-perkembangkan diri. Maka demi nilai-nilai
kebersamaan tersebut muncul kewajiban untuk meng-
hormati hidup sesama manusia. Menghancurkan seorang
manusia pada akhirnya justru menimbulkan kerugian
bagi kesejahteraan bersama.

• Nilai Hidup Jasmani


Hidup jasmani merupakan nilai duniawi paling dasar
dan paling pokok. Paling dasar artinya menjadi dasar dan
prasyarat untuk mempertahankan dan mengembangkan
nilai-nilai duniawi lainnya. Maka nilai-nilai duniawi ha-
nya mungkin masih mempunyai nilai dan dapat diper-
kembangkan selama manusia masih hidup di dunia ini.
Bila manusia sudah meninggal dunia = mati, semua nilai
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 167

duniawi sudah tidak mungkin dikembangkan dan tidak


ada artinya lagi baginya. Paling pokok artinya bila hidup
jasmani itu diakui sebagai nilai duniawi paling dasar
maka tidak pernah boleh dikorbankan demi nilai-nilai
duniawi lainnya. Dengan kata lain bila terjadi konflik
antar nilai-nilai duniawi hidup jasmani selalu mendapat
prioritas.

• Iman Kepercayaan
Pertimbangan rasional adanya kewajiban untuk
menghormati hidup manusia tersebut semakin diperkuat
oleh pertimbangan iman, khususnya iman kristiani.
Manusia diciptakan oleh Allah menurut gambar dan rupa
Allah sendiri. Sebagai puncak ciptaan Allah dan sebagai
gambar Allah manusia mendapat tugas perutusan untuk
memperkembangkan adanya dengan mengolah alam
semesta.
Meskipun karena bujukan setan manusia berbuat
dosa dan karena dengki setan maut memasuki dunia,
tetapi Allah tetap menyayangi kehidupan yang ada,
khususnya hidup manusia yang diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah, dan melarang membunuh sesama
manusia, bahkan mengajak untuk saling menga-sihi.
Manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa
Allah tersebut, kendati rusak karena dosa, diangkat
menjadi “anak Allah, dipanggil ikut ambil bagian dalam
kehidupan Allah”. Makna panggilan pribadi untuk hidup
dalam persekutuan dengan Allah itu mengatasi segala
nilai duniawi, martabat manusia juga transenden sifatnya
atau mengatasi segala nilai duniawi, tidak ter-gantung
dari suku bangsa, jenis kelamin, umur, bakat, keturunan,
kedudukan ataupun kualitas apapun. Dengan demikian
168 Urgensi Pendidikan Moral

kewajiban untuk menghormati hidup manusia men-


dapatkan dasar semakin kokoh dan kewajiban tersebut
oleh Kristus diperkembangkan menjadi hukum cinta
sebagai hukum yang pertama dan utama.
Dari uraian di atas nampaklah bahwa hidup merupa-
kan anugerah Allah yang amat berharga , oleh karena
itu manusia terpanggil untuk memelihara dan melindungi
kehidupan sejauh mungkin. Memelihara hidup juga
merupakan wujud dari rasa syukur atas anugerah Allah
tersebut. Mengapa hidup manusia harus dihormati ?
karena manusia mempunyai martabat lebih tinggi dari
pada makhluk ciptaan lainnya, maka manusia dalam
keadaan apapun harus dihargai sesuai dengan mar-
tabatnya.
Pemeliharaan hidup manusia harus diupayakan sejak
awal kehidupan sampai pada akhir kehidupan. Moral
hidup meliputi bidang yang membahas tentang penting-
nya kita menghormati hidup misalnya : Dapatkah
dibenarkan jika orang melakukan pengguguran kan-
dungan? Dapatkah dibenarkan jika orang mengupayakan
anak dengan cara rekayasa genetic seperti bayi tabung,
cloning? Dapatkah dibenarkan pasangan suami istri
melakukan pembatasan anak dengan motivasi yang tidak
tepat dan menggunakan alat kontrasepsi buatan?
Dapatkah dibenarkan jika orang dengan maksud baik
membiarkan orang lain mati secara sengaja?

3. Pandangan Tentang Awal Hidup


Manusia
Abortus provocatus merupakan tindakan yang
banyak dikecam oleh berbagai pihak, karena jelas
membunuh janin yang tidak berdosa dan tidak berdaya.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 169

Pembahasan tentang abortus provocatus berkaitan erat


dengan kapan dimulainya hidup manusia. Tindakan itu
bisa disebut “abortus provocatus” kalau sudah terjadi
kehidupan, sebaliknya apabila belum terjadi kehidupan,
maka tindakan tersebut tidak bisa dikatakan “abortus
provocatus”. Permasalahan terjadi karena ada banyak
pandangan yang berbeda tentang sejak kapan dimulainya
hidup manusia. Ada beberapa hipotesa pokok mengenai
permulaan adanya hidup manusia menurut beberapa ahli
seperti yang dipaparkan oleh Purwowidyana sebagai
berikut:

• Enam minggu sesudah lahir.


Flamm adalah salah satu pendukung pandangan ini.
Menurut Flamm bayi yang baru saja dilahirkan itu belum
sebagai manusia aktual, melainkan hanyalah “manusia
yang masih dalam potensi”. Alasannya bayi yang baru saja
lahir belum memiliki kesadaran pribadi. Menghancurkan
bayi yang baru saja lahir tidak bisa disamakan dengan
pembunuhan dalam arti yang sebenarnya.

• Pada saat dilahirkan.


Pandangan ini mengatakan bahwa bayi yang baru saja
lahir mendapatkan hak-hak manusia segera sesudah
diserahkan dan diterima oleh ayahnya secara resmi.
Pandangan ini berasal dari kebudayaan primitif.
Theunissen dan Beggen berusaha memberikan argumen-
tasi pandangan tersebut secara theologis dengan
menghubungkan dengan kewajiban mempermandikan
anak segera sesudah dilahirkan.
170 Urgensi Pendidikan Moral

• Sekitar 12 minggu sesudah pembuahan


Pandangan ini bertitik tolak pada pendapat Aristo-
teles. Menurut Aristoteles hidup manusia mempunyai 3
tahap, yaitu: Tahap hidup vegetatif, tahap hidup sensitive
atau hewani, dan tahap hidup rasional atau manusiawi.
Thomas Aquinas menerima pemikiran Aristoteles ter-
sebut. Menurutnya “hidup rasional” janin harus sudah
mempunyai otak kecil yang baru terbentuk ketika janin
sudah berumur sekitar 12 minggu.

• Sekitar 13 hari sesudah pembuahan


Pandangan ini mengatakan bahwa sebelum hari
ketiga belas sesudah pembuahan masih ada kemung-
kinan terjadinya anak kembar dari satu sel telur, maka
zygote jelas belum mempunyai individualitas yang pasti.

• Sekitar hari ke 6 sesudah pembuahan


Pandangan ini mengatakan bahwa baru setelah
terjadi nidasi atau sekitar hari ke 6 atau 7 setelah pem-
buahan. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa
data biologis yaitu: pertama, berdasarkan pengamatan
atas keterlambatan menstruasi diperkirakan sekitar 50-
60% telur yang sudah dibuahi tidak berhasil mengadakan
nidasi atau terjadi keguguran spontan. Kedua, menurut
Hellegers, nidasi merupakan peristiwa yang mutlak
harus terjadi supaya telur yang sudah dibuahi bisa ber-
kembang. Ketiga, sampai pada saat nidasi ini masih mung-
kin terjadi anak kembar dari satu telur, jadi sebelum
nidasi belum ada individu, sebab keunikan individu
adalah justru sifat tak terbagikan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 171

• Sejak saat terjadinya pembuahan


Pandangan ini mengatakan bahwa sejak saat ter-
jadinya pertemuan antara sel telur dengan spermatozoa
sudah terbentuk “Kromosom-Patron” yang sudah dapat
dipastikan perkembangannya.Traffers seorang gynae-
colog kenamaan mendukung pandangan tersebut.
Menurut Traffers hidup yang sudah sejak awal saat pem-
buahan itu adalah hidup manusia, sebab struktur genetis
dari sel-sel tersebut mempunyai sifat manusiawi
(Purwawidyana, 1983, 35-38)
Menurut deklarasi persekutuan tenaga medis
sedunia di Genewa pada tahun 1948 seperti yang dikutip
Purwawidyana, dikatakan bahwa hidup manusia itu
sudah ada sejak saat pembuahan .
Sedangkan menurut Purwa Hadiwardaya (1990, 23)
mengelompokkan 3 pendapat yang mempunyai argumen
kuat tentang mulainya hidup seorang manusia:
Pendapat pertama, hidup seorang manusia sudah
dimulai sejak pembuahan, ketika sperma dan sel telur
bersatu serta membentuk “Zygote” (+12 jam setelah
hubungan seksual).
Alasanya, Zygote itu jelas hidup karena berkembang
dengan melipat gandakan diri sel pertama itu sudah jelas
laki-laki atau perempuan dan sudah memuat semua bakat
pribadi. Sel telur: terdapat 23 kromosom. Terdiri dari
22 kromosom watak ibu dan 1 kromosom seks wanita
(x)Sperma: terdapat 23 kromosom, terdiri dari 22
kromosom watak ayah dan 1 kromosom seks wanita / pria
(y). Zygote : terdapat 46 kromosom. Terdiri 44 kromosom
watak anak-anak dan 2 kromosom seks anak wanita x-x
dan pria x+y.
172 Urgensi Pendidikan Moral

Pendapat kedua, Hidup seorang manusia barulah


mulai sekitar 11 hari setelah pembuahan,tepatnya saat
embrio terjadi dan menempel pada dinding rahim (nidasi)
yakni ketika muncul individualitas (yang jelas) ketika
kumpulan sel-sel itu tidak mungkin lagi terpisah menjadi
beberapa anak kembar. Pendapat ini mengkritik pen-
dapat yang pertama dengan alasan-alasan sebagai
berikut: Pertama, sel pertama itu masih mudah mati se-
cara spontan atau sekitar 50% akan mati secara spontan
sebelum berusia 1 minggu. Apakah masuk akal bahwa
Tuhan menciptakan manusia yang dalam waktu 1 minggu
sudah mati secara spontan seperti itu? Alasan kedua,
manusia berciri individual artinya besifat unik dan tak
terbagikan menjadi dua atau tiga manusia. Padahal sel
pertama itu masih dapat berkembang menjadi beberapa
janin kembar. Jika sel pertama sudah manusia bagaimana
mungkin dalam perkembangan selanjutnya ia dapat
berubah menjadi beberapa manusia kembar? Sel pertama
baru layak disebut manusia setelah mencapai taraf
individualis yang tetap yakni sekitar 11 hari setelah pem-
buahan dan sel tersebut sudah mulai menempel pada
rahim ibunya.
Sedangkan pendapat ketiga, hidup khas manusia
baru muncul ketika embrio berusia sekitar 20 sampai 40
hari, yakni bila embrio itu sudah berhasil membentuk
otak dalam dirinya. Adapun alasanya: Pertama, manusia
berbeda dari makhluk ciptaan lainya karena kemampuan
mental dan spiritual. Kemampuan tersebut ada bila ia
memiliki otak. Jadi sel-sel manusia baru dapat disebut
manusia bila ia sudah memiliki otak. Alasan kedua, janin
yang tidak berhasil membentuk otak dalam dirinya
ternyata akan mati denga sendirinya. Hal itu ditafsirkan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 173

sebagai kehendak Tuhan sendiri. Tuhan tidak meng-


hendaki bahwa ada manusia yang tidak punya otak, maka
janin yang tak berotak akan gugur dengan sendirinya.

4. Penilaian Moral Mengenai Awal Hidup


Manusia
Telah ditunjukkan beberapa hipotesa mengenai awal
kehidupan manusia. Beberapa hipotesa itu perlu dilihat
secara kritis. Pertama, harus disadari bahwa aspek hidup
manusia sangat banyak. Bila masing-masing hanya
menekankan salah satu aspek saja, kesimpulannya juga
berbeda-beda dan kurang seimbang.
Kedua, hidup manusia itu bukan fakta statis
melainkan terus berkembang. Maka, telaah terhadap
hidup manusia juga perlu memperhatikan hukum
perkembangan. Analisis terhadap perkembangan janin
berdasarkan data-data biologis seharusnya tidak
berhenti pada data-data aktual melainkan juga
memperhitungkan segi teleologis atau arah perkem-
bangan kehidupan manusia secara menyeluruh.
Ketiga, untuk dapat menentukan mulai kapan awal
hidup manusia, perlu adanya kriteria yang dapat
menunjukkan adanya hidup manusia sendiri. Perlu
ditentukan kriteria yang dapat menunjukkan di sini
sudah ada hidup manusia. Kesulitannya, kriteria itu
tersembunyi dalam berbagai aspek hidup manusia.
Contohnya, kalau yang digunakan kriteria itu otak kecil,
bagaimana dengan orang idiot, sama-sama punya otak
kecil tetap berbeda, orang gila, orang semaput, dsb.
Keempat, kemungkinan yang dapat diberikan adalah
menentukan ciri-ciri umum yang dapat digunakan untuk
menunjukkan bahwa pada saat tertentu sudah ada hidup
174 Urgensi Pendidikan Moral

manusia. Maka, pertama-tama berupa deskripsi yang


menerangkan adanya hidup manusia dan bukan definisi
mengenai hidup manusia itu sendiri. Deskripsi ini
diharapkan bisa dijadikan landasan untuk menghormati
manusia.
Hidup Manusia itu terus berkembang, mulai saat
pembuahan sampai mati. Perlu ditunjuk Unsur Minimum
(yang menjadi elemen dasar pembangun hidup manusia
yang pasti harus dimiliki oleh setiap manusia.
MAKA, Berdasarkan pertimbangan point di atas
dapat dinyatakan dengan meyakinkan bahwa:
1. SEJAK SAAT PEMBUAHAN sudah ada hidup
manusia, karena dalam telur yang sudah dibuahi
terdapat kromozom-patron yang sudah memiliki
elemen dasar yaitu RNA (Ribonucleic Acid) dan
informasi genetic yaitu DNA (Dioxyribonucleic Acid)
untuk perkembangan hidup manusia selanjutnya.
Kromozom-patron itu tidak memerlukan tambahan
apa-apa dari luar untuk berkembang menjadi
manusia.
2. Sejak saat pembuahan adanya manusia itu masih
POTENSIAL: belum mempunyai sel differensiasi,
masih mungkin terjadi bayi kembar, hanya hidup
karena makanan dari tubuh ibu.
3. Setelah nidasi, potensi itu sungguh menjadi
teraktualisasi (dinyatakan): janin mulai menjadi
dirinya sendiri, ada interaksi dan relasi dengan ibu.
Jadi, HIDUP MANUSIA itu secara POTENSIAL ada
SEJAK SAAT PEMBUAHAN, dan secara AKTUAL
SEJAK SAAT NIDASI.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 175

5. Pengguguran Kandungan
Persoalan mengenai pengguguran kandungan
merupakan persoalan yang terdapat dalam sepanjang
sejarah manusia. Pada akhir-akhir ini, di mana kemajuan
dalam bidang IPTEK berkembang dengan pesat,
persoalan mengenai pengguguran juga meningkat dengan
hebat. Di mana-mana pengguguran menjadi bahan
pembicaraan, baik secara resmi dan serius maupun
secara demonstratif dan emosional.
Meningkatnya jumlah pengguguran kandungan
bukan hanya disebabkan karena secara teknis cara
mengadakan pengguguran semakin disempurnakan,
sehingga resiko semakin dikurangi dan hasil baik semakin
terjamin, melainkan kemajuan dalam bidang IPTEK
khususnya dalam bidang BIOTEK, dapat dikatakan
menyadi penyebab meningkatnya jumlah pengguguran
kandungan. Berkat kemajuan IPTEK yang semakin
mengagumkan manusia semakin menyadari peranan dan
kemampuan dirinya untuk memperkembangkan dan
mengusai alam semesta.
Manusia tidak mau lagi ditentukan oleh kodrat, se-
baliknya mau menguasai dan mengatur kodrat. Semangat
dan sikap hidup yang demikian itu juga nampak jelas
gejalanya dalam masalah kehidupan pada umumnya dan
pengguguran khususnya. Manusia mau sepenuhnya
mengusai dan mengatur kehidupan sejak awal proses
terjadinya. Bila kodrat biologik bekerja tidak sesuai
dengan rencana hidup yang ditentukan, misalnya terjadi
kelamin yang tidak diinginkan, manusia akan meng-
gagalkan proses perkembangan tersebut.
176 Urgensi Pendidikan Moral

• Pengertian Abortus
Kata “abortus” berasal dari bahasa Latin yang berarti
keguguran sebelum waktunya; kata kerja “aborior” yaitu
“aku gugur”. Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan
keguguran atau pengguguran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan. Gugurnya atau
pengguguran janin yang belum berbobot 1000 gram atau
usianya kurang dari 28 minggu disebut abortus (P. GO.
Carm, 1984, 279). Lebih lanjut Piet Go memerinci
pengertian abortus baik spontaneous maupun provocatus.

• Abortus Spontaneus (Keguguran)


Abortus Spontaneus adalah gugurnya janin tanpa
disebabkan oleh tindakan manusia, atau keguguran yang
tidak disengaja. Ada beberapa macam Abortus
Spontaneus:
a. Abortus Habitualis, yaitu abortus spontaneous
yang terjadi tiga kali atau lebih secara berturut-
turut. Penyebabnya sebagian besar belum diketahui,
sehingga harus dilakukan pemeriksaan yang teliti
dan lengkap.
b. Abortus Imminens, yaitu adanya bahaya abortus
yang tampak dari pendarahan pada kehamilan
sebelum 28 minggu, dengan atau tanpa kontraksi
kandungan yang nyata, tanpa adanya dilatasi cervix
uteri, masih bisa diselamatkan.
c. Abortus incipiens, adalah abortus yang sudah mulai
terjadi pendarahan pada kehamilan sebelum 28
minggu, terjadi dilatasi cervix uteri secara
meningkat, pendarahan bertambah, biasanya
kehamilan kurang dari 12 minggu, kandungan harus
dikosongkan.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 177

d. Abortus completus dan incompletes, Abortus


completes artinya isi kandungan sudah keluar
semua. Abortus incompletes artinya masih ada sisa
yang harus dikeluarkan agar pendarahan berhenti.
e. Missed Abortion, adalah kematian janin, tetapi janin
tersebut tetap dalam kandungan selama 8 minggu
atau lebih. Pengeluaranya berbahaya bagi
keselamatan ibu.
f. Abortus cervicalis, adalah keluarnya hasil konsepsi
yang terhalang oleh ostium uteri externum yang
tidak membuka sehingga terkumpul dalam cannalis
cervicalis dan cervix uteri membesar, sedikit
pendarahan. Ostium uteri externum harus diperlebar
dan hasil konsepsi harus dikeluarkan.
g. Abortus infectiosus dan abortus septicus, Abortus
infectiosus adalah keguguran yang disertai infeksi
genital, sedangkan abortus septicus merupakan abor-
tus dengan infeksi yang berat disertai penyebaran
kuman atau toksinya ke dalam peredaran darah atau
peritoneum (Piet Go, 1984.)

• Abortus Provocatus (Pengguguran)


“Provocatus” berarti disengaja. Jadi “Abortus
Provocatus” adalah gugurnya janin karena tindakan
manusia yang disengaja. Ada berbagai macam Abortus
Provocatus:
a. Abortus terapheuticus/Medicinalis, adalah
pengguguran yang dilakukan dengan indikasi medis
demi kesehatan atau kehidupan ibu. Indikasi yang
sering terdapat karena ibu mengalami sakit jantung
berat, hipertensi berat, ginjal kronis, kanker cervix
uteri, dan sebagainya
178 Urgensi Pendidikan Moral

b. Abortus eugenicus, adalah pengguguran yang


dilakukan karena janin menderita cacat berat.
c. Abortus kriminologis, adalah pengguguran yang
dilakukan karena terjadi kehamilan hasil tindak
kejahatan (perkosaan, incest).
d. Abortus psikologis – sosial – ekonomis, adalah
pengguguran yang dilakukan karena terjadi
kehamilan yang dianggap dapat menimbulkan aib
keluarga, belum siap secara ekonomi, pihak laki-laki
tidak mau bertanggung jawab, dsb.
Keguguran atau abortus spontaneous adalah gu-
gurnya janin secara spontan atau tanpa disebabkan oleh
tindakan manusia yaitu bersifat alamiah. Hal ini lepas
dari penilaian moral atau tidak ada penilaian baik atau
buruk atas fakta itu. Sebaliknya, pengguguran atau
abortus provocatus adalah gugurnya janin yang disengaja
atau akibat ulah manusia yang menghendakinya.
Menurut ensiklopedi Indonesia, kata “abortus”
berasal dari bahasa Latin atau “abortion” dari bahasa
Inggris, artinya pengakhiran kehamilan sebelum masa
gestasi 28 minggu atau sebelum mencapai berat 1000
gram. Pengertian abortus dapat dibedakan antara lain:
Abortus spontan, yaitu abortus terjadi tanpa tindakan
apapun; Abortus buatan, yaitu abortus terjadi sebagai
akibat suatu tindakan; Abortus terapeutik, yaitu abortus
buatan yang dilakukan atas alasan medis; Abortus non
terapeutik, yaitu abortus buatan yang dilakukan tidak
atas alasan medis(Ensiklopedi Indonesia).
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 179

6. Tinjauan Hukum Kanonik.


Kitab Hukum Kanonik mengenakan hukuman eks-
komunikasi pada setiap orang yang aktif terlibat dalam
mengusahakan pengguguran kandungan yang berhasil
yaitu pada KHK. kanon 1398.
“Qui abortum procurat, effectu secuto, in excom-
municationnem latae sententiae incurrit”.
“Barang siapa melaksanakan pengguguran dan
berhasil, terkena ekskomunikasi otomatis” (Kan. 1398]
Yang dapat terkena hukuman dalam kanon tersebut
adalah siapa saja yang terlibat dalam tindakan peng-
guguran, baik ibu itu sendiri atau pria yang menghamili
dan mereka yang minta agar kandungannya digugurkan.
Para pelaksana seperti: dokter, bidan atau dukun dan
siapa saja yang terlibat. (Complices. Kanon. 1329, $. 2)
Implikasi ekskomunikasi mengandung penolakan
partisipasi dalam ibadat publik, termasuk misa. Pe-
nolakan segala partisipasi dalam sakramen-sakramen,
baik menerimakan atau menerima. Orang yang terkena
ekskomunikasi tak boleh menikmati jabatan gerejani.
(KHK. kanon. 1331)
Hukuman bukan berarti tanpa kesempatan untuk
bertobat dan menerima pembebasan dari hukuman, maka
ada absolusi dari ekskomunikasi. Pembebasan dari
ekskomunikasi atas pengguguran tidak disebut dalam
daftar reservasi oleh Paus, maka termasuk wewenang
Waligereja. (KHK. kanon 1355).
180 Urgensi Pendidikan Moral

7. Penilaian Etik dan Pemecahannya


Terhadap Abortus Provocatus Dalam
Berbagai Indikasi
Berdasarkan pada prinsip-prinsip yang dinyatakan
oleh Magisterium Gereja, oleh firman Tuhan dalam Kitab
Suci dan oleh Kitab Hukum Kanonik, berikut ini dipapar-
kan beberapa penilaian etik dan pemecahannya terhadap
tindakan pengguguran yang dilakukan berdasarkan
indikasi-indikasi berikut ini:

• Indikasi sosial-ekonomi
Pengguguran dilakukan karena adanya pertimbangan
jika kandungan dibiarkan terus berkembang akan me-
nimbulkan banyak kesulitan baik secara sosial, misalnya
wanita yang mengandung berasal dari keluarga ter-
hormat, orang tuanya mempunyai kedudukan dalam
masyarakat dan pria yang menyebabkan kehamilan gadis
tersebut tidak mau bertanggung jawab. Hal ini akan
menjadikan aib bagi keluarga. Secara ekonomi kehamilan
yang tidak dikehendaki tersebut juga menimbulkan per-
soalan atau kesulitan yaitu beaya-beaya yang dibutuhkan
selama ibu mengandung, melahirkan, perumahan, pen-
didikan, dan sebagainya. Melakukan pengguguran de-
ngan pertimbangan tersebut secara moral tidak dapat
dibenarkan, karena hidup merupakan nilai yang sangat
mendasar untuk dikorbankan sebagai sarana mengatasi
keadaan sosial ekonomi. Masalah kesulitan sosial eko-
nomi harus dipecahkan sesuai dengan sarana sosial
ekonomi, bukan dengan membunuh janin yang tidak ber-
dosa dan tak berdaya. Upaya mengatasi aib keluarga da-
pat dilakukan wanita tersebut dengan cara menyingkir
sementara waktu ke tempat famili yang jauh di mana ia
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 181

tidak dikenal. Upaya memecahkan masalah ekonomi


seperti biaya kelahiran dan perawatan selanjutnya dapat
dilakukan dengan cara menghubungi panti sosial dan
panti asuhan. Setelah keadaan pulih, wanita tersebut
dapat bekerja untuk memperoleh nafkah.

• Indikasi eugenis
Adanya kekhawatiran bahwa anak yang dikandung
akan lahir cacad baik secara fisik maupun mental. Per-
kembangan teknologi kedokteran dewasa ini dapat men-
deteksi secara dini perkembangan janin. Pertimbangan
dari orang tuanya: daripada hidup di masyarakat menjadi
beban keluarga maupun masyarakat sehingga hidupnya
tidak bahagia, maka lebih baik janin itu digugurkan.
Keberatan moral terhadap tindakan tersebut adalah
bahwa ramalan dokter tidak bisa dipastikan seratus
persen benar. Selain itu fakta menunjukkan bahwa orang
cacad belum tentu tidak bahagia. Orang cacad bahkan
dapat berkarya secara mengagumkan, misalnya ilmuwan
Stephan Hawkin.
Upaya untuk mencegah dan mengatasi kemungkinan
janin lahir cacad dapat dilakukan, misalnya dilakukan
cek up kesehatan secara seksama sebelum hamil. Ini
perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya virus rubella,
toxoplasma, CMV yang dapat menyebabkan janin cacad.
Selain itu, ditingkatkan pelayanan konsultasi genetis dan
diagnostik prenatal agar cacad mental dan fisik bisa
dicegah; juga ditingkatkan keamanan dan pengawasan
produksi dan pemakaian obat-obatan terutama bagi
wanita hamil.
182 Urgensi Pendidikan Moral

• Indikasi psikososial dan kriminologi.


Melakukan pengguguran karena ada penyebab-pe-
nyebab yang datang dari luar dirinya. Janin yang ada
dalam kandungan itu merupakan sesuatu yang tidak
dikehendaki karena menjadi korban kejahatan (incest,
perkosaan, penipuan). Untuk menghilangkan trauma
psikis pada peristiwa yang lalu dan agar tidak membekas
maka ditempuh jalan abortus provokatus. Secara moral
alasan ini tidak dibenarkan karena ketidak adilan yang
satu (perkosaan, penipuan) diperbaiki dengan cara
ketidak-adilan baru (pembunuhan janin). Di samping itu,
yang bersalah adalah ayah atau ibunya, bukan anaknya
yang dihukum. Upaya untuk mencegah hal tersebut, perlu
dilakukan peningkatan keamanan, perlindungan dan
kewaspadaan bagi wanita. Anak yang terlahir cacad dapat
diserahkan kepada Panti Asuhan. Ibunya perlu mem-
peroleh pendampingan keluarga dan agama serta men-
jalani psikoterapi.

• Indikasi Medis
Indikasi medis dibedakan menjadi dua, yakni
indikasi medis yang fatal dan indikasi medis yang tidak
fatal. Indikasi medis fatal adalah segala macam penyakit
yang diderita oleh seorang wanita hamil yang berdampak
timbal balik pada diri dan janinnya, sehingga penyakit
tersebut tidak dapat disembuhkan. Jika penyakit tak
dapat disembuhkan maka baik wanita hamil maupun
janinnya akan mati. Dalam hal ini dokter melakukan
intervensi medis berupa tindakan pengguguran janin.
Indikasi medis fatal berhubungan dengan pasal 15 UU
Kesehatan nomor 23 tahun 1992 dan penjelasannya.
Indikasi medis yang tidak fatal ialah apabila penyakit
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 183

tersebut tidak akan menyebabkan akibat yang fatal bagi


wanita hamil sampai ia melahirkan bayinya. Alasan
indikasi medis yang tidak fatal tetap tidak dapat diterima
secara moral sebagai alasan tepat untuk melakukan tin-
dakan provocatus karena kandungannya tidak mem-
bahayakan hidup si ibu. Sedangkan alasan medis yang
fatal oleh para moralis dipandang sebagai satu-satunya
alasan yang dapat membenarkan dilakukannya tindakan
medis tertentu. Dalam hal itu, pengguguran bukanlah
sebagai tujuan melainkan sebagai akibat dari upaya
medis untuk menyelamatkan kedua-duanya.Upaya untuk
mengatasi hal tersebut, adalah meningkatkan penelitian
di bidang kedokteran, perinatal sehingga situasi konflik
makin berkurang. Meningkatkan pelayanan medis
perinatal agar tidak timbul situasi konflik yang sebenar-
nya tidak perlu.

• Usaha-usaha mengurangi tindakan abortus


provocatus
Abortus provocatus merupakan tindakan yang
bertentangan moral dan martabat manusia. Oleh karena
itu perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat mencegah
abortus provocatus. Berikut ini cara-cara untuk
mengurangi sebab-sebab pengguguran:
1. Perlu ada komunikasi dalam keluarga agar tercipta
keterbukaan yang sehat di mana orang tua bisa se-
bagai teman dan sahabat bagi anak-anaknya.Segala
sesuatu yang dialami oleh anak bisa diketahui oleh
orang tuanya.
2. Pendidikan seks perlu diberikan di dalam keluarga,
karena seks bukanlah sesuatu yang tabu. Pendidikan
184 Urgensi Pendidikan Moral

seks yang benar dapat menumbuhkan sikap dan pe-


rilaku penuh tanggung jawab dalam menghayati
kehidupan seksualitasnya.
3. Perlu penjelasan tentang metode-metode Keluarga
Berencana (KB) yang aman dan dapat dipertanggung
jawabkan dari berbagai sudut bagi suami-istri
4. Perlu dikembangkan suasana yang “pro life” dalam
arti yang seluas-luasnya agar setiap orang tidak
terdesak untuk menggugurkan kandungan. Seluruh
struktur dan suasana dalam keluarga, masyarakat
dan Gereja perlu mendukung penghargaan terhadap
hidup dalam arti seluas-luasnya.
5. Perlu upaya perkembangan IPTEK kedokteran yang
dapat mengatasi indikasi vital, medis dan eugenis.
6 Menciptakan kesadaran masyarakat untuk tidak
menghakimi dan memandang rendah wanita yang
telanjur hamil tanpa suami, sehingga masyarakat
bisa memahami dan menerima dengan rasa
kemanusiaannya.
Hidup adalah anugerah Allah yang sangat berharga
dan patut disyukuri oleh manusia. Manusia diciptakan
sesuai dengan citra Allah . Karena akal budinya, manusia
memiliki martabat yang luhur. Maka hidup manusia
harus dihormati.
Awal hidup manusia dimulai sejak terjadi pembuahan
atau ketika sel sperma bertemu dengan sel telur. Sejak
konsepsi itulah manusia yang mempunyai hak hidup perlu
dihormati dan dilindungi. Gereja Katolik menjunjung
tinggi hak hidup manusia sejak terjadinya pembuahan,
maka Gereja Katolik menentang tindakan abortus
provocatus yang dilakukan berdasarkan alasan apapun.
Untuk mencegah terjadinya tindakan abortus provocatus,
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 185

perlu diusahakan cara-cara yang positif agar dapat


mengurangi timbulnya pengguguran, sehingga setiap
orang mampu memiliki kesadaran yang tinggi untuk
selalu menghormati kehidupan sekecil apapun.

8. Pengadaan Anak Secara Buatan


Perkembangan IPTEK membawa dampak positif dan
negatif bagi manusia. Salah satu perkembangan IPTEK
di bidang medis yang menonjol saat ini adalah perkem-
bangan teknologi reproduksi. Cara-cara baru ditemukan
dalam upaya untuk mendapatkan anak secara buatan,
seperti: bayi tabung, inseminasi, ectogenesis, dan cloning.

• Bayi tabung (In Vitro Fertilization)


In vitro fertilization yang lebih familiar di masyara-
kat dengan sebutan bayi tabung merupakan proses
reproduksi buatan yang terjadi karena adanya kemajuan
teknologi dalam bidang reproduksi yang ditujukan ke-
pada pasangan yang sudah sekian lama menikah tetapi
belum memiliki anak. Bayi tabung merupakan salah satu
produk teknologi reproduksi yang dihasilkan melalui
teknik fertilisasi in vitro yaitu proses pembuahan yang
dilakukan di luar tubuh manusia (di dalam cawan petri),
lalu dimasukkan ke dalam tabung hingga menjadi embrio.
Kemudian dari 10 tabung diambil 3 embrio yang terbaik
untuk dimasukkan ke rahim wanita baik yang ada hu-
bungan darah maupun yang tidak. Dalam teknik ini
muncul permasalahan moral ketika sperma berasal dari
pria bukan suami atau dengan sengaja membeli sperma
untuk menjadi single parent karena tidak bersuami.
Masalah moral juga muncul apabila embrio kemudian
dimasukkan ke dalam rahim wanita lain ( bukan pemilik
186 Urgensi Pendidikan Moral

ovum )yang siap untuk disewa rahimnya. Masalah lain


juga muncul dengan dengan embrio yang tidak dipakai
akan dibuang begitu saja, hal ini tidak bisa diterima
secara moral karena mengandung unsur abortif.

9. Prinsip-Prinsip Moral Tentang Bayi


Tabung
• Tidak mengandung unsur abortif
Yaitu tidak ada sisa embrio yang dibuang. Pada
umumnya embrio yang jadi lebih dari satu, lalu dari
embrio yang jadi tersebut dipilih beberapa (maksimal:3)
lalu sisanya biasanya dibuang.

• Sel sperma dan sel telur bersifat homolog


Di Negara maju sudah ada Bank sperma dan Bank
sel telur yang menyediakan bibit unggul. Pada umumnya
salah satu sebab sulitnya mendapatkan anak secara
alamiah karena sel sperma atau sel telurnya lemah,
sehingga untuk mendapatkan anak dibutuhkan sel
sperma atau sel telur donor. Hal ini secara moral tidak
bisa diterima karena anak adalah buah kasih atau hasil
cinta kasih antara suami istri.

• Tidak sewa rahim.


Pada umumnya wanita yang rahimnya lemah juga ke-
sulitan untuk mendapatkan anak secara alamiah. Karena
rahim tidak mampu mengandung sembilan bulan, maka
dalam program bayi tabung pun ia akan membutuhkan
rahim wanita lain. Secara moral juga tidak bisa diterima
karena selama dalam kandungan anak dan ibu yang me-
ngandung ada ikatan yang sangat dekat, dan tentang
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 187

sewa rahim juga sering menimbulkan permasalahan yang


rumit.

• Inseminasi buatan
Inseminasi buatan adalah usaha untuk mengadakan
pembuahan yang dilakukan bukan melalui hubungan seks
suami–istri secara alamiah melainkan , peranan suami
istri digantikan oleh alat yang dimasukkan ke rahim si
ibu.

• Dua macam inseminasi buatan yaitu:


1. Inseminasi buatan yang homolog yaitu yang sper-
manya diambil dari suami sendiri .
2. Inseminasi buatan yang heterolog, yaitu yang sper-
manya diambil dari laki-laki donor.
Teknik semacam ini ada tanggapan pro maupun kon-
tra. Argumen yang pro terhadap inseminasi buatan ka-
rena memandang bahwa cara ini sangat baik bagi pa-
sangan yang tidak mendapatkan anak, asalkan dilakukan
secara homolog. Argumen- argumen yang kontra terha-
dap inseminasi buatan antara lain: walaupun inseminasi
buatan dilakukan secara homolog namun ada persoalan
moral tentang cara pengambilan sperma dari pihak sua-
mi. Apabila dengan cara masturbasi maka tidak bisa
diterima secara moral. Walaupun secara homolog namun
pembuahan tersebut tidak melalui hubungan seks antara
suami-istri karena tanpa melalui persetubuhan. Bila
inseminasi buatan dilakukan dengan menggunakan
sperma donor sangat ditentang secara moral anak me-
rupakan hasil cinta kasih antara suami- istri.
188 Urgensi Pendidikan Moral

• Ectogenesis
Ectogenesis adalah cara pengadaan anak yang se-
penuhnya dilakukan di dalam tabung yang telah dileng-
kapi dengan segala hal yang dibutuhkan oleh si janin.
Dalam teknik ini peranan suami istri hanya sebagai pen-
donor bibit saja, karena pembuahan dan pertumbuhan
embrio sampai menjadi bayi sempurna dilakukan oleh
alat-alat canggih. Masalah moral muncul karena seolah-
olah fungsi ayah dan ibu digantikan alat-alat canggih
tersebut, sehingga bisa disebut sebagai “pabrik manusia”.
Cara ini juga mengesampinkan peranan seorang ibu dalam
mengandung anaknya, padahal selama seorang ibu
mengandung banyak terjadi interaksi antara si ibu dan
janinnya yang amat mempengaruhi perkembangan si
anak.

• Cloning
Cloning adalah cara pengadaan anak hanya meng-
gunakan sel telur yang dirangsang secara terus menerus
lalu dipertemukan dengan sel inti dari orang yang mau
diclon. Saat ini cloning manusia sudah terjadi walaupun
banyak pihak menentang keras cloning manusia.
Cloning manusia secara moral ditentang karena
dengan beberapa alasan antara lain : (1) melecehkan
keluhuran martabat manusia. (2) Cloning manusia
melanggar hak mutlak Allah dalam penciptaan manusia.
(3) Hasil cloning akan identik dengan orang yang
dicloning, padahal Allah menciptakan manusia secara
unik. (4) Cloning tidak melibatkan sperma dan peranan
suami ditiadakan, padahal anak adalah hasil cinta kasih
antara suami –istri.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 189

• Pembatasan Anak
Anak adalah hasil cinta kasih antara suami- istri yang
merupakan anugerah dari Allah, maka suami- istri harus
siap untuk bertanggung jawab merawat anak dengan
sebaik- baiknya. Agar suami-istri bisa mencapai keba-
hagiaan dan kesejahteraan keluarga , maka perlu adanya
persiapan dan perencanaan yang matang. Suami- istri
sadar akan perlunya keseimbangan antara jumlah anak
dan kemampuan dalam mendidik, menghidupi dan
memperhatikan anak-anaknya. Untuk mengupayakan
kesejahteraan dan kebahagiaan tersebut suami- istri
perlu melakukan pembatasan anak.
Setiap pasangan suami- isteri dapat menemukan
pilihannya dalam merencanakan dan mengatur jumlah
anak dan jarak antara kelahiran anak, yang berlandaskan
pada kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap
generasi sekarang maupun generasi mendatang. Dalam
upaya pembatasan anak yang harus diperhatikan per-
tama-tama adalah motivasi atau tujuan harus benar,
kemudian caranya atau metodenya juga harus benar.
Motovasi yang benar hendaknya tidak diwarnai oleh
egoisme atau materialisme, melainkan oleh rasa tang-
gung jawab sosial yang tinggi, misalnya demi kesejah-
teraan anak-anak yang sudah ada, demi pengembangan
cinta kasih di dalam keluarga. Di samping itu caranya
juga harus benar, yaitu yang tidak bertentangan dengan
moral. Cara atau metode yang sangat dianjurkan adalah
yang yang bersifat alamiah yaitu dengan cara pantang
berkala. Apabila tidak bisa pantang berkala karena kon-
disi tubuh yang tidak stabil maka bisa menggunakan
kontrasepsi buatan. Penggunaan kontrasepsi buatan
secara moral bisa diterima sejauh tidak mengandung
190 Urgensi Pendidikan Moral

unsur abortif dan tidak terdapat intervensi medis yang


tidak bersifat menyempurnakan. Cara pencegahan
kehamilan yang masih menimbulkan perbedaan
pendapat yang sangat tajam dalam bidang moral adalah
penggunaan spiral (IUD) dan pemandulan. Penggunaan
spiral (IUD) ditentang secara moral karena alat tersebut
bersifat anti nidasi, tidak membunuh sperma melainkan
membunuh embrio, sehingga mengandung unsur abortif.
Pemandulan ditentang secara moral karena merupakan
intervensi medis yang tidak bersifat menyempurnakan
atau memperbaiki kondisi fisik, melainkan justru
mengubah kondisi fisik yang sebenarnya normal. Pria
atau wanita yang sebenarnya masih subur dibuat tidak
subur secara radikal.

10.Pencegahan Kehamilan
a. Cara alamiah (KBA)
Pantang dari hubungan seksual secara total:
Dalam jangka waktu tertentu; misalnya selama belum
menghendaki lahirnya anak: tidak mengadakan perse-
tubuhan. Untuk selamanya; misalnya karena alasan
tertentu tidak menghendaki lahirnya anak lagi, lalu tidak
mengadakan persetubuhan sama sekali.
Catatan:
Untuk mengadakan pantang total harus ada
persetujuan dari keduabelah pihak. Aksi sepihak dalam
hal ini tidak dapat dibenarkan dan pasti akan mendatang-
kan masalah bagi keutuhan hubungan suami-istri.
Kiranya pantang total tidak mungkin dilakukan oleh
pasutri yang masih “muda”.
Pantang berkala: hanya mengadakan persetu-
buhan pada saat isteri dalam keadaan tidak subur,
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 191

sehingga tidak akan terjadi kehamilan. Untuk menen-


tukan saat-saat tidak subur dapat menggunakan metode:
1) ogino-knaus/kalender. 2) temperatur: memanfaatkan
kenaikan suhu badan yang terjadi sekitar ovulasi. 3) cara
dr. Keefer yaitu dengan meraba atau melihat leher rahim
lewat kaca. Pada saat tidak subur, leher rahim terasa
lebih panjang, lancip, mulut tertutup dan kering; atau
pada penglihatan lewat kaca tampak leher rahim lebih
kecil; mulut tertutup dan kering. Pada masa subur: leher
rahim terasa lebih pendek, melebar, lembut, mulut ter-
buka dan berlendir; atau pada penglihatan lewat kaca
leher rahim nampak tambah lebar, mulut terbuka
mengandung lendir cair jernih berkilau-kilauan. 4) cara
dr Billings: setelah menstruasi berakhir wanita
memeriksa diri sendiri dengan cara merasakan, meraba
dan melihat liang senggama. Pada saat tidak subur liang
senggama terasa kering dan tidak terlihat adanya lendir.
Pada masa subur liang senggama terasa basah, nampak
berlendir putih berkilau-kilauan dan elastis. 5) cara
symto-termik merupakan kombinasi cara temperatur dan
cara dr. Keefer atau dr. Billings, ditambah gejala klinik
pada saat terjadi ovulasi.

Catatan:
Dari segi medis cara untuk menentukan saat
subur dan tidak subur semakin disempurnakan dan ham-
pir selalu mendapatkan kepastian. Akan tetapi apa yang
mungkin secara theoritis bagaimanapun mudah dan
sederhanya, belum tentu selalu mungkin dilaksankan
secara praktis oleh setiap orang. Terutama untuk orang-
orang yang tidak berpendidikan cara tersebut terasa
sulit, karena membutuhkan ketelitian dan ketekunan
tertentu.
192 Urgensi Pendidikan Moral

Keduanya yang perlu dicatat adalah bahwa pihak


wanita justru pada saat subur secara naluriah mempunyai
gairah besar untuk mengadakan persetubuhan. Maka cara
ini memaksa wanita berkorban, yaitu harus berpantang
justru pada saat sedang “in”.
Diperlukan adanya kemauan kuat dan ketekunan
dari suami-istri untuk memperjuangkan agar program
bersama sukses. Tanpa adanya kerjasama rapi dan ke-
mauan kuat dari kedua belah pihak program akan gagal.
Untuk dapat mempelajari situasi secara tepat mereka
dianjurkan berhubungan dengan bidan/tenaga medis.
Metode-metode artifisial yang jelas 100% kontrasep-
tif (tidak absortif) misalnya: kondom, obat pembunuh
sperma, pil kontraseptif, hormon yang disuntikkan (3
bulan 1x), dutch cup, susuk, dan sebagainya

Catatan:
Setiap obat mempunyai kontraindikasi, maka se-
belumnya perlu pemeriksaan teliti, yang biasanya kurang
diperhatikan karena mengejar target.
Semakin aman dan terjamin hasilnya dari segi medis,
pada umumnya juga semakin baik dari segi etis.
Kemampuan orang yang mau mempergunakan perlu
diperhitungkan: kemampuan jasmani (hygiene dan
ekonomi), intelektual (untuk memahami), psikis (untuk
menerima).
Perlu diperhitungkan kemungkinan akibat sam-
pingan yang mungkin timbul dari “alat artifisial” ter-
sebut, baik dari segi medis maupun dari segi mental.
Pada umumnya semakin dekat dengan kodrat biologi
persetubuhan juga semakin kecil akibat sampingan yang
mungkin timbul.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 193

Coitus interruptus atau senggama terputus, kalau


hanya diperhitungkan dari perbuatannya, nilai moralnya
sama dengan yang menggunakan kondom atau dutch cup.
Kemungkinan akibat psikis lebih besar, sebab justru pada
saat menjelang terjadi ejakulasi harus dihentikan se-
hingga terjadi semacam antiklimaks. Bahaya kegagalan
sangat besar. Maka sebaiknya jangan digunakan
.
b. Cara Buatan
• Kontranidatif
IUD, terutama yang dengan lapisan logam, semakin
jelas bahwa kerjanya tidak murni kontranidatif. Artinya
bila terjadi pembuahan karena keadaan rahim yang
dipasangi IUD itu bisa berubah suasananya, telur yang
sudah dibuahi itu tidak berhasil mengadakan nidasi,
sehingga terjadi keguguran pada saat awal terjadi pem-
buahan. Meskipun fakta keguguran semacam itu tidak
selalu terjadi, tetapi orang yang menggunakan IUD yang
sudah diketahui cara kerjanya mungkin kontranidasif,
praktis juga menghendaki terjadinya keguguran bila
sampai terjadi pembuahan, sehingga dapat dikatakan
mempunyai sikap/ mental mau menggugurkan.
Kejahatan menggagalkan nidasi memang tidak dapat
terus disamakan begitu saja dengan kejahatan meng-
gugurkan setelah terjadi nidasi, karena pertama diper-
kirakan berdasar-kan gejala terjadinya terlambat datang
bulan terdapat sekitar 50% telur yang sudah dibuahi itu
tidak berhasil mengadakan nidasi dan kedua karena
adanya macam-macam hypothese mengenai kapan ada
hidup manusia. Meskipun demikian kita tetap mempu-
nyai kewajiban untuk menghormati dan melindungi
potensi yang sungguh nyata, sel telur yang sudah dibuahi
agar dapat terus berkembang menjadi manusia.
194 Urgensi Pendidikan Moral

MAP - Morning After Pill, yaitu pil yang diminum


pada pagi sesudah mengadakan hubungan pada malam
harinya, yang kerjanya menciptakan hormon untuk meng-
gagalkan nidasi. Maka kerja MAP mirip dengan IUD yaitu
antinidasif. Maka untuk dapat dipertanggungjawabkan
secara etik penggunaan IUD dan MAP tersebut menuntut
alasan lebih berat dan serius bila dibandingkan dengan
alasan untuk menggunakan alat-alat artifisial yang murni
kontraseptif kerjanya.

• Sterilisasi atau pemandulan


Yang dimaksud dengan sterilisasi adalah semua
intervensi yang menyebabkan orang yang bersangkutan
menjadi mandul, dapat bersifat sementara maupun tetap
untuk selamanya.

• Terhadap laki-laki dengan:


Vasoligature: pengikatan saluran mani kuat-kuat,
sehingga sperma yang diproduksir oleh testikel tidak
dapat melewatinya.
Vasectomia : pemotongan sebagian dari saluran mani
lalu dikeluarkan; dapat terjadi setelah pemotongan lalu
masing-masing puntat ditutup rapat dengan dijahit atau
disimpulkan dan dipisahkan supaya tidak mungkin
bertemu lagi.
Penyinaran: yaitu dengan sinar X atau sinar ra-
dium pada testikel atau pada saluran mani sampai men-
jadi kering sehingga tidak mungkin berfungsi.

• Terhadap perempuan dengan:


Hysterectomia: pengangkatan seluruh rahim sampai
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 195

akar-akarnya. Kadang-kadang bersama liang senggama


lalu disebut: hysterocolpectomia.
Defundatio uteri: pengangkatan rahim bagian atas
bersama dengan saluran telur.
Ovariotomia=ovariectomia=ophorectomia:
pengangkatan keduabelah indung telur sampai ke
akarnya.
Promeroy = tube ligation: pengikatan saluran telur/
tuba falopi; banyak diusulkan sebagai post partum
program (P3)
Penyinaran: dengan sinar X atau radium pada
indung telur atau tuba falopi sampai mengering sehingga
tidak berfungsi.

Catatan:
Prinsip umum: setiap operasi untuk menyembuhkan
penyakit orang yang bersangkutan selalu dapat diper-
tanggung-jawabkan secara etis, bahkan mungkin diwajib-
kan, apabila operasi tersebut merupakan satu-satuinya
jalan untuk menyembuhkan, meskipun operasi tersebut
akan menyebabkan orang tersebut menjadi mandul.
Maka sterilisasi yang bertujuan untuk menyembuhkan
suatu penyakit yang sebanding selalu dapat dipertang-
gung-jawabkan.
Penolakan suami-isteri menjadi bapa-ibu, hanya
karena tidak mau bertanggung-jawab, merupakan
pengingkaran terhadap panggilan hidup nyata, maka
merupakan perbuatan jahat. Dari sebab itu sterilisasi
yang diadakan melulu karena tidak mau bertang-
196 Urgensi Pendidikan Moral

gungjawab sebagai bapa-ibu, tidak dapat dipertang-


gungjawabkan. Karena integritas manusia sebagai pria
dan wanita mempunyai makna tersendiri, maka orang
tidak boleh berbuat semaunya terhadapnya, melainkan
wajib menjaga dan mempertahankannya.
Akan tetapi karena arti integritas biologis sebagai
pria dan wanita itu relatif, yaitu demi panggilan menjadi
bapa-ibu keluarga, maka demi keselamatan mereka
sebagai bapa-ibu keluarga integritas sebagai pria-wanita
tersebut dapat dikorbankan. Tegasnya bila seorang
dokter yang sungguh kompetens dalam bidangnya
bersama dengan pasien dapat menentukan bahwa dalam
keadaan nyata seperti itu terjadinya kehamilan berdasar-
kan perhitungan medis sama sekali tidak dipertanggung-
jawabkan, dan sterilisasi merupakan pemecahan yang
baik dalam kasus ini, maka sterelisasi dapat dipertang-
gungjawabkan dari segi etik. Tetapi sebelum keputusan
diambil hendaknya diperhitungkan juga kemungkinan
akibat sampingan yang akan timbul dari perbuatan
tersebut.
Secara teoritis memang mungkin diadakan sterilisasi
yang sifatnya sementara, tetapi secara praktis setiap
sterelisasi yang diadakan dalam rangka KB tetap
sifatnya. Kalau hanya dilihat dari segi medis sterelisasi
paling safe, untuk selamanya dan termasuk operasi
ringan bila itu lakukan terhadap pria atau vasectomy.
Tetapi kemungkinan terjadi akibat sampingan cukup
nyata. Godaan untuk menyeleweng tambah besar. Akibat
cukup fatal, sehingga seandainya kelak kemudian hari
suami-isteri tersebut ingin mempunyai anak karena
alasan mendesak tidak mungkin terpenuhi lagi. Maka
untuk memilih cara sterelisasi sebagai jalan mengatur
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 197

kelahiran, meskipun secara teoritis hanya untuk se-


mentara, perlu pertimbangan sungguh masak : alasan
sungguh kuat, niat dari suami-isteri secara murni demi
keutuhan keluarga bukan hanya demi kenikmatan
egoistis, dan tahu benar kemungkinan adanya akibat
sampingan cukup nyata.
Untuk turut mensukseskan program KB pemerintah
tidak bijaksana, maka tidak dapat dipertanggung-
jawabkan, kalau hanya mempropagandakan salah satu
cara secara fanatik. Yang perlu terus ditanamkan adalah
kesadaran akan perlunya tanggungjawab dalam
membangun hidup berkeluarga. Rasa tanggungjawab
tersebut dari dirinya akan menanamkan kesadaran
perlunya mengatur kelahiran. Dengan sendirinya rasa
tanggungjawab tersebut pada akhirnya juga akan sampai
ke masalah memilih cara atau methode yang paling tepat
baginya.
Bagi seorang imam perlu pengertian yang pokok-
pokok sehubungan dengan methode-methode yang
mungkin digunakan dan dipropagandakan di Indonesia.
Sedangkan penjelasan lengkap mendetail dan praktis
serahkan kepada para bidan atau tenaga medis yang
kompetens dalam hal ini. Merekalah yang terpanggil
untuk memberikan penjelasan mengenai methode-
methode yang mungkin dilakukan di Indonesia ini dan
akibat sampingan yang mungkin timbul dari setiap alat
kontrasepsi artifisial. Hal tersebut perlu dijelaskan
dengan jujur, agar aseptor tahu dan dapat dengan bebas
memilih salah satu alat/methode, sehingga kalau de facto
terjadi akibat sampingan yang tidak dikehendaki aseptor
sudah siap menghadapi dan dengan demikian juga tidak
akan membuat keributan dalam masyarakat. Salah faham
dalam ini dapat menimbulkan kerugian besar dalam
198 Urgensi Pendidikan Moral

masyarakat sehubungan dengan program KB karena


kebutan tersebut akan mengurangi kepercayaan
masyarakat pada program KB.
Informasi lengkap dan jujur akan membantu
memberikan pengertian dan menanamkan rasa
tanggungjawab pasutri sehubungan dengan KB, sehingga
dapat diharapkan mereka sendiri akhirnya mampu
memilih mana cara yang paling sesuai dan tetap
menghargai martabat manusia. Dengan demikian
intimitas hubungan suami-isteri juga tetap terhormat
adanya. Penyuluhan mengenai KB tidak lagi dirasakan
sebagai momok yang menghantui dan memaksa tetapi
diterima sebagai uluran tangan dengan jujur menolong
dan membantu membangun keluarga bahagia dan
sejahtera.

11. Tema- tema sekitar tahap akhir hidup


• Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani “Eu” yang
berarti : indah, bahagia, bagus, enak dan “tanatos” yang
berarti “mati”. Secara etimologi euthanasia berarti mati
dengan baik, atau mati secara secara enak, atau mati
dengan tenang.
Menurut Magnis Suseno (1991, 177 ) dibedakan be-
berapa pengertian tentang euthanasia sebagai berikut:
a. Euthanasia pasif : Tidak semua kemungkinan teknik
kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memper-
panjang kehidupan seorang pasien dipergunakan.
b. Euthanasia tidak langsung: usaha untuk mem-
peringan rasa sakit dengan efek samping bahwa
pasien barangkali meninggal lebih cepat.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 199

c. Euthanasia aktif (mercy killing) : Proses kematian


diperingan dengan memperpendek kehidupan secara
terarah dan langsung.

• Tinjauan Moral Tentang Euthanasia


Euthanasia direk terhadap orang yang tidak berada
dalam proses meninggal ( misalnya: mengusahakan ke-
matian orang-orang yang dianggap tidak berguna seperti:
orang-orang cacat, orang gila, gelandangan , orang jompo
dan sebagainya. Menurut moral cara ini tidak bisa
dibenarkan karena:
Nilai hidup tidaklah terletak pada faktor kegunaan /
ekonomis semata, melainkan hidup itu pada dirinya
mempunyai nilai yang tinggi. Euthanasia direk tidak
dapat dibenarkan secara moral karena melanggar hukum
Illahi yaitu sama saja membunuh seseorang yang belum
saatnya dipanggil oleh Tuhan .
Euthanasia indirek aktif (misalnya memberikan jenis
obat tertentu untuk meringankan derita pasien yang
kesakitan, dengan akibat umur menjadi lebih pendek)
Hal ini bisa diterima apabila tidak ada sarana lain yang
dapat digunakan untuk memperingan penderitaannya.
Euthanasia indirek pasif (misalnya menghentikan
pengobatan pada pasien parah yang sudah tak ada
harapan untuk disembuhkan) harus dipertimbangkan
dulu: apakah suara hati si sakit dan keluarganya menya-
takan ikhlas? Apakah hasil pengobatan yang dicapai
masih memberi harapan ataukah keadaannya memang
sudah tak ada harapan lagi? Apakah keluarganya
memang sudah tak sanggup lagi menanggung beaya
perawata? (Adimasana, 2001, 118)
200 Urgensi Pendidikan Moral

Bahan Bacaan
Adi Massana,
2001 Moral Dasar, Reader, USD, Yogyakarta
Bertens, K,
1993 Etika, Gramedia, Jakarta
Gilarso, T, SJ.,
1993, Moral Keluarga (bahan week-end moral), USD,
Yogyakarta
Go Piet, O. carm,
1985 Hidup dan Kesehatan, Widya Sasana Malang
Go Piet, O. carm,
1989 Pengguguran Tinjauan moral Katolik, Hukum
Kanonik dan Hukum Pidana, STFT Widya Sasana,
Malang.
Hadiwardoyo Purwa, AL, MSF.,
1990 Moral dan masalahnya, Kanisius, Yogyakarta
Magnis Suseno, Franz.,
1987 Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta
Magnis Suseno,
1991 Berfilsafat dari konteks, Gramedia, Jakarta.
Purwawidyana, J.Chr, Pr,
1983 Capita Selecta, Ift Kentungan, Yogyakarta
Poedjawiyatna,
1982 Etika Filsafat Tingkah Laku, Rineka, Jakarta
Westlet, Dick,
1992 Morality and it’s beyond, Mystic, Twenty-third
Publication
Teichman Jenny,
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 201

1998 Etika Sosial, Kanisius, Yogyakarta


Tridiatno,
2000 Masalah-masalah moral, Penerbit UAJY,
Yogyakarta.
Gregory C.Higgins,
2006, Dilema moral zaman ini Yogyakarta,Kanisius.
202 Urgensi Pendidikan Moral
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 203

BAB XII

PERANAN ETIKA BAGI


PEMBANGUNAN YANG
BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP

T idak bisa kita pungkiri bahwa kerusakan lingkungan


hidup dewasa ini sebagai akibat dari ulah manusia.
Pembangunan di satu pihak dapat membuat manusia se-
makin mudah dan sejahtera, namun di pihak lain mem-
bawa dampak yang memprihatinkan bagi manusia dan
lingkungan hidupnya.
Ketimpangan sosial dan ekonomi serta eksploitasi
alam sering kita lakukan tanpa kita sadari bahwa hal itu
dapat menghancurkan martabat bangsa yang besar ini.
Etika dapat membantu kita untuk lebih arif dan bijak-
sana dalam melaksanakan pembangunan bangsa dan
negara Indonesia. Ketentuan UU no.4 tahun 1982, pem-
bangunan berwawasan lingkungan adalah sebagai upaya
dalam menggunakan dan mengelola sumber daya secara
benar dan bijaksana dalam pembangunan yang ber-
kesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup manusia.
Masa pembangunan dewasa ini peranan teknologi
bagi keberhasilan pembangunan sudah tidak diragukan
lagi. Masyarakat modern yang teknologis dan industrial,
204 Urgensi Pendidikan Moral

membawa perkembangan hidup manusia berjalan sesuai


dengan kemampuan teknologi. Pada masyarakat modern
ini peran ilmu pengetahuan dan teknologi terasa sangat
menonjol dan berpengaruh besar bagi kehidupan ma-
nusia. Manusia mengandalkan rasio sebagai kekuatan,
sehingga masyarakat modern lebih rasional. Teknologi
yang menguasai segala aktivitas manusia berubah men-
jadi suatu sistem ideologi yang mengarahkan manusia
pada kehidupan dengan ideologi yang satu dimensi, yaitu
teknologis. Akhirnya segala sesuatu dikerjakan sesuai
dengan sistem ideologis teknologis (Sri Suprapto, 1992).
Di satu pihak kemajuan teknologi membawa manusia
pada suatu kemudahan dan kenikmatan. Perekonomian
membaik, sehingga orang modern menjadi lebih kaya dan
makmur. Pembangunan dan kemajuan teknologi mem-
bawa masyarakat pada dunia yang serba kecukupan. Di
lain pihak keadaan tersebut membawa dampak lain bagi
manusia, yaitu lebih konsumtif, miskin kreatifitas dan
melupakan nilai-nilai kemanusiaan, serta merusak
lingkungan hidupnya.
Etika berperanan penting bagi usaha memasukkan
pertimbangan nilai-nilai, terutama nilai moral pada
perencanaan pembangunan, tanpa perencanaan itu maka
pembangunan kehilangan objektivitasnya.
Manusia, baik sebagai pribadi maupun kelompok da-
lam mengelola lingkungan hidupnya, hendaknya menya-
dari bahwa ekosistem lingkungan harus tetap dijaga
kelangsungannya. Campur tangan manusia yang dilaku-
kan atas lingkungan hidupnya perlu dilandasi dengan
norma moral atau etika, sehingga dapat membentuk sikap
positif manusia terhadap lingkungannya.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 205

1. Manusia dan Lingkungan Hidupnya


Dalam Pembangunan
Pelaksanaan pembangunan Indonesia pada hakikat-
nya bertujuan untuk menaikkan taraf hidup dan ke-
sejahteraan rakyat, sehingga tingkat hidup rakyat
semakin bermutu, baik secara material maupun spiritual.
Dalam upaya memperbaiki mutu hidup rakyat harus
dijaga agar kemampuan lingkungan untuk mendukung
kehidupan pada tingkat yang lebih tinggi tidak menjadi
rusak. Sebab kalau kerusakaan terjadi maka bukan lagi
perbaikan mutu hidup yang akan dicapai, melainkan
justru kemorosotan, bahkan mungkin secara ekstrim
dapat berupa bencana yang mengancam umat manusia
khususnya bangsa Indonesia (Kaelan, 1989,4).
Menurut Dr. Anton Bakker manusia pada hakekat-
nya sebagai makhluk alamiah (naturwesen) yang
merupakan bagian dari alam dan oleh karena itu me-
miliki sifat-sifat yang tunduk kepada alam (hukum-
hukum alamiah) pula, dan berstruktur timbal balik yang
bersifat fisiko-kimik (Anton Bakker, 1987). Diantara
manusia dengan alam mempunyai keterikatan kosmo-
logis (Poespawardoyo, 1978). Manusia akan menjadi
manusiawi bilamana ia hidup dalam hubungannya dengan
alam jasmani yaitu alam seluruh lingkungan hidupnya
(Driyarkara, tanpa tahun). Hubungan manusia dengan
lingkungan hidupnya baik yang bersifat biotik maupun a
biotik adalah bersifat interpendency dan saling hidup
menghidupi dalam suatu jaringan “ekosistem”. Dalam
ekosistem ini terdapat pembagian fungsi dan pekerjaan
(Emil Salim, 1986).
Unsur ekologi pembangunan seperti kependudukan
(manusia), lingkungan dan pembangunan merupakan
206 Urgensi Pendidikan Moral

unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan. Sikap pe-


ranan manusia dalam kaitannya dengan lingkungan
adalah sebagai berikut :
“Manusia baik sebagai perorangan maupun sebagai
kelompok, hidup di dalam dan dengan lingkungannya.
Dari hubungan yang erat dan timbal balik sifatnya, ma-
nusia menyesuaikan diri, memelihara serta mengelola
lingkungannya. Dari hubungan yang dinamik antara
manusia dengan lingkungannya itu dapat timbul suatu
bentuk aktivitas atau kegiatan. Bentuk aktivitas ini
menimbulkan beberapa perubahan yaitu perubahan
perkembangan (development change), perubahan lokal
(local change) dan perubahan tata laku (behavior
change)”.(Bintarto, 1983).
Perubahan tata laku pada lingkungan tidak hanya
usaha mengimbangi hak dengan kewajiban terhadap
lingkungan, tetapi juga usaha untuk membatasi tingkah
laku dan usaha untuk mengendalikan berbagai kegiatan
agar tetap berada dalam batas kepentingan lingkungan
hidup. Bagi bangsa Indonesia pendekatan pengembangan
lingkungan hidup sasaran pokoknya adalah manusia
sendiri, maka perlu dikembangkan etika tentang ling-
kungan hidup yang merangsang manusia untuk
memperhatikan dan mempertimbangkan segala dampak
yang ditimbulkan dalam pengelolaan lingkungan hidup
(Emil Salim, 1983).
Manusia hidup di bumi ini tidak sendirian melainkan
bersama dengan makhluk lain, yaitu tumbuh-tumbuhan,
hewan dan jasad renik. Hidup manusia terkait erat
dengan mereka, tanpa mereka manusia tidak akan bisa
hidup. Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad
renik menempati suatu ruang tertentu. Kecuali makhluk
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 207

hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak hidup,


seperti misalnya tanah dan batu, udara yang terdiri atas
bermacam-macam gas air dalam bentuk uap, cair dan
padat. Ruang yang ditempati suatu makhluk hidup
bersama dengan hidup dan benda tak hidup didalamnya
disebut lingkungan hidup.
Interaksi antara manusia dengan lingkungan hidup-
nya tidaklah sederhana, melainkan sangat kompleks,
karena pada umumnya dalam lingkungan hidup terdapat
banyak unsur. Pengaruh terhadap suatu unsur akan
merambat pada unsur lain, sehingga pengaruhnya ter-
hadap manusia sering tidak dapat dengan segera terlihat
dan terasakan.
Kelangsungan hidup manusia amat ditentukan oleh
mutu lingkungan hidupnya. Pengertian mutu lingkungan
adalah sangat penting karena merupakan pedoman dan
dasar untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan.
Tidak mudah untuk menentukan mutu lingkungan yang
baik membuat orang kerasan hidup dalam lingkungan
tersebut.
Inti permasalahan lingkungan hidup adalah
hubungan makhluk hidup denngan lingkungan hidupnya.
Ilmu tentang hubungan timbal balik makhluk hidup
dengan lingkungan hidupnya disebut ekologi. Oleh
karena itu permasalahan lingkungan hidup pada
hakikatnya ada pada permasalahan ekologi.
Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckel,
seorang ahli ilmu hayat dalam pertengahan dasawarsa
1860-an. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yaitu
“Oikos” yang berarti rumah, dan “Logos” yang berarti
ilmu. Karena itu secara harafiah ekologi berarti ilmu
tentang rumah tangga makhluk hidup.
208 Urgensi Pendidikan Moral

Pengelolaan lingkungan hidup pada hakikatnya kita


lihat permasalahannya dari sudut kepentingan manusia.
Kelangsungan hidup tumbuhan atau hewan dikaitkan
dengan peranannya dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia baik material maupun non material. Tumbuhan
dan hewan juga bisa dipergunakan untuk keperluan hari
depan kita dan anak-anak kita. Oleh karena itu dalam
pengelolaan lingkungan, ekologi yang kita butuhkan
adalah ekologi manusia. Hal itu merupakan cabang khu-
sus ekologi disamping ekologi tumbuhan, ekologi hewan,
dan ekologi jasad renik. Ekologi manusia adalah ilmu
yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia
dengan lingkungan hidupnya (Soemarwoto, 1987).

• Peranan Etika
Etika sebagai cabang ilmu pengetahuan merefleksi
diri secara kritis tentang moral dan dasar-dasar moral,
sehingga tidak menuntut individu atau sekelompok
masyarakat bertindak sesuai dengan moralitas begitu
saja, namun etika menuntut manusia bertindak yang
seharusnya sesuai dengan harkat martabat dan eksisten-
sinya (Sri Suprapto, 1992, 15).
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral
secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran melainkan
memeriksa kebiasaan-kebiasaan, norma-norma dan
pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menun-
tut tanggungjawab dan tidak mengharapkan kerancuan.
Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral
begitu saja, melainkan menuntut agar pendapat-pan-
dapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan.
Etika berusaha menjernihkan permasalahan moral
(Frans Magnis Suseno, 1975; 18).
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 209

Etika secara umum diartikan sebagai usaha yang


sistematis dengan menggumakan rasio untuk menafsir-
kan pengalaman moral individual dan sosial agar dapat
menetapkan aturan untuk mengendalikan perilaku ma-
nusia serta nilai-nilai yang berbobot untuk dijadikan
pedoman dalam ketentuan-ketentuan, aturan-aturan dan
nilai-nilai yang harus dipatuhi.
Etika sebagai suatu pengetahuan manusia mengenai
baik dan buruk, diharapkan mampu memupuk kesadaran
lingkungan hidup dan menghindarkan kesewenangan
tindakan manusia terhadap sesama manusia dan
lingkungan hidupnya.

2. Pembangunan Yang Berkelanjutan


Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
lingkungan hidup. Interaksi antara pembangunan dan
lingkungan hidup membentuk sistem ekologi yang di-
sebut ekosistem. Ilmu yang mempelajari interaksi antara
pembangunan dan lingkungan hidup disebut ekologi pem-
bangunan. Manusia, baik sebagai subjek maupun objek
pembangunan, merupakan bagian ekosistem. Pandangan
holistik inilah yang dipakai dalam ekologi pembangunan
(Otto Soemarwoto, 1983; 139).
Pembangunan yang berkelanjutan, mengandung
unsur-unsur ekologi seperti kependudukan (manusia),
lingkungan dan pembangunan sebagai unsur-unsur yang
tidak dapat dipisahkan.
Pengertian tentang pembangunan yang berkelanjutan
menurut World Commissian on Environment and
Development ialah pembangunan yang berusaha me-
masuki kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemam-
210 Urgensi Pendidikan Moral

puan generasi yang akan datang untuk memenuhi


kebutuhan mereka (Otto Soemarwoto, 1983; 7).
Faktor lingkungan yang diperlukan untuk mendu-
kung pembangunan yang berkesinambungan ialah :
1 Terpeliharanya proses ekologi yang essensial
2 Tersedianya sumber daya yang cukup
3 Lingkungan sosial budaya yang sesuai
Ketiga faktor diatas tidak saja mengalami dampak
terhadap pembangunan. Maka untuk kesinambungan
pembangunan tidak cukup hanya melakukan AMDAL
yang hanya berlaku untuk perencanaan proyek pem-
bangunan. Pengelolaan lingkungan untuk pembangunan
harus didasarkan pada konsepsi yang lebih luas. Kon-
sepsi itu harus mencakup dampak lingkungan terhadap
proyek, pengelolaan lingkungan proyek yang sudah
operasional dan perencanaan dini pengelolaan ling-
kungan untuk daerah yang mempunyai potensi besar
untuk pembangunan tetapi belum mempunyai rencana
pembangunan (Otto Soemarwoto, 1983, 143).
Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup
akan dapat konsisten apabila ada tatanan moral yang
mengaturnya, yaitu tatanan moral dalam hubungan
manusia dengan lingkungan hidup. Tatanan moral
hubungan manusia dengan lingkungan ini tidak dapat
terlepas dari kehidupan manusia. Manusia yang merupa-
kan bagian terpenting dari lingkungan memberikan
rumusan dalam perkembangan etika lingkungan yang
sebagai moral lingkungan memberikan prasyarat untuk
meletakkan landasan kebijaksanaan pengelolaan ling-
kungan hidup. Kenyatan perkembangan pembangunan
di segala bidang dihadapkan pada tantangan-tantangan
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 211

baru, maka moral lingkungan secara ilmiah dan rasional


perlu dirumuskan untuk memberi pemecahan, dan
menjawab tantangan-tantangan permasalahan kebijak-
sanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Patokan moral ilmiah dan rasional adalah etika ling-
kungan yang merupakan tatanan baru secara normatif
dalam lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan dalam
pembangunan diharapkan berdasar pada etika ling-
kungan yang melandaskan pada hubungan keserasian
alam dan manusia. Senada dengan itu Mohammad
Soerjani berpendapat sebagai berikut :
Untuk mencari keseimbangan atau keserasiaan
dengan lingkungan ini perlu dikembangkan etika
lingkungan yang merupakan berbagai prinsip moralitas
lingkungan yakni suatu rumusan baru yang sesuai
dengan moral manusia dan moral alam (Mohammad
Soerjani, 1985, 17).
Prinsip pengembangan lingkungan tidak dapat
meninggalkan etika lingkungan, selain faktor-faktor fisik
yang menopangnya. Etika lingkungan harus merupakan
dasar bagi pembangunan dan kebijaksanaan pem-
bangunan. Faktor-faktor kebijaksanaan lingkungan hidup
tidak dapat meninggalkan prinsip-prinsip pengelolaan
lingkungan jangka panjang dan tidak dapat meninggal-
kan kebersamaan unsur-unsur lingkungan hidup.
Sasaran jangka panjang tidak dapat terlepas dari
pembangunan dan unsur-unsur manusia, yaitu untuk
membentuk manusia seutuhnya, baik mental maupun
spiritual. Pelaksanaan pengelolaan kualitas lingkungan
secara teoritis praktis dewasa ini telah mengembangkan
AMDAL sebagai studi mikro lingkungan dan mengen-
dalikan dampak pembangunan dalam lingkungan hidup.
212 Urgensi Pendidikan Moral

Sistem pengelolaan dan pengembangan lingkungan


hidup dan pembangunan berwawasan lingkungan perlu
dipertimbangkan pendekatan secara totalitas, yaitu
pendekatan yang menyeluruh, yang merupakan penya-
tuan, sintetis dari pendekatan ini dikatakan pendekatan
ekosistem, yang pada dasarnya merupakan kesadaran
sistem ekologi manusia pada kehidupan lingkungan
hidup (Mohammad Soerjani, 1985; 22). Kebijaksanaan
pembangunan berwawasan lingkungan dimaksudkan
untuk melaksanakan pembangunan yang berasaskan
keseimbangan antara kebutuhan hidup manusia dan
pelestarian lingkungan hidup.
Pembangunan yang berwawasan lingkungan pada
dasarnya untuk menentukan langkah pembangunan
berikutnya, yaitu pembangunan antara generasi. Me-
ningkatkan kemampuan generasi masa depan dalam
mengelola sumber daya untuk meningkatkan kesejah-
teraannya.
Proses pembangunan merupakan perubahan, yaitu
merupakan perubahan secara langsung atau tidak lang-
sung. Perubahan ini ada kecenderungan Man Made
Enviroment, yaitu merubah ekosistem alami menjadi
ekosistem buatan manusia. Proses perubahan manusia
tidak mempunyai keutuhan sistem seperti halnya dalam
perubahan sistem alami.
Pembangunan yang berkelanjutan memerlukan
pemikiran yang non sektoral, dengan melalui pendekatan
yang multidisipliner serta tidak dapat terlepas dari nilai-
nilai kemanusiaan. Dimensi waktu berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan
tentang hak dan kepentingan generasi yang akan datang.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 213

Masalah-masalah lingkungan hidup bertumpu pada lima


sumber daya ini yang dapat mempengaruhi perubahan
dalam sistem lingkungan hidup. Akibat buruk yang di-
timbulkan oleh adanya lima pokok lingkungan ini misal-
nya kekeringan, banjir, erosi, kerusakan hutan, per-
ubahan suhu, kerusakan keanekaragaman biologi, pen-
cemaran dan keracunan (Emil Salim, 1989, 79).
Ekologi pembangunan merupakan analysis ling-
kungan yang bertujuan mengembangkan pembangunan
berwawasan lingkungan hidup. Pembangunan yang tidak
berorientasi pada pemgelolaan lingkungan hidup akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yaitu
mempengaruhi keseimbangan sistem lingkungan ala-
miah. Pembangunan berwawasan lingkungan ini mene-
kan gangguan sekecil mungkin pengaruh perubahan
sistem lingkungan dan mempertahankan sistem ke-
seimbangan alam.
Pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan
dasar, kerangka tanggungjawab moral yang tinggi dari
semua pihak, baik dari pemerintah atau penguasa dan
masyarakat. Permasalahan lingkungan hidup dalam
meletakkan kebijaksanaan harus berpikir dalam
kerangka moral lingkungan sebagai dasarnya.
Otto Soemarwoto berpendapat sebagai berikut:
Ilmu dan filsafat adalah merupakan disiplin ilmu yang
mampu menaikkan kualitas hidup dengan sedikit mem-
pertimbangkan materi sebagai dasar acuan. Tetapi filsafat
dalam perkembangan dan pembangunan dewasa ini
terdesak oleh teknologi. Ilmu dan filsafat yang tidak da-
pat menciptakan teknologi dianggap steril (Otto
Soemarwoto, 1985, 37).
214 Urgensi Pendidikan Moral

Filsafat dan ilmu secara hakiki yang membedakan


kehidupan manusia dengan kehidupan makhluk yang
lain. Filsafat dalam pengembangan pembangunan dan
pengelolaan lingkungan akan lebih bersikap arif di-
bandingkan dengan teknologi. Filsafat yang pertama-
tama mengembangkan wawasan nilai-nilai kemanusiaan.
Pengembangan filsafat selalu mempertimbangkan nilai-
nilai kemanusiaan dan martabat hidup manusia. Ke-
bijaksanaan pembangunan dan pengembangan ling-
kungan hidup bertujuan untuk kesejahteraan manusia.
Filsafat dikembangkan untuk kesejahteraan manusia dan
keluhuran martabatnya, maka sudah seharusnya
kebijaksanaan pembangunan menempatkan dasar
pemikiran filsafat sebagai landasannya.

• Penutup, Suatu Catatan Akhir


Yang kerap terjadi ialah bahwa agama dipakai
sebagai pembenaran bagi suatu kepentingan yang tidak
agamawi. Hassan Hanafi, misalnya, menunjukkan bahwa
konflik antara Arab dengan Israel bukanlah konflik
antara agama Yahudi dan agama Islam, karena keduanya
berakar pada iman Nabi Ibrahim yang satu. Konflik itu
tetaplah konflik Arab dengan Israel menyangkut Dataran
Tinggi Golan dan Libanon Selatan; sama halnya dengan
perseteruan antara Israel dengan Palestina berkaitan
dengan pendudukan atas Tepi Barat (Sungai Yordan) dan
Yerusalem. Ini masalah politik dengan pembenaran
agama, kata Hanafi, bukan per se perseteruan antar
agama.
Agama sungguh bisa menjadi kekuatan sosial yang
luar biasa. ‘Serigala berbulu domba’ bisa saja me-
manipulasi suatu agama dan para pengikutnya demi
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 215

kepentingan-kepentingan tertentu, yang kerapkali justru


bertentangan dengan semangat ajaran agama. Tetapi,
setiap orang yang berkehendak baik, bersama-sama, bisa
juga memakai agama demi perdamaian dunia.
Tawaran etika global menunjuk pada satu kriteria
yang patut direnungkan oleh semua umat beragama:
agama yang sejati selalu mengarah kepada kebaikan (atau
keselamatan, atau kesejahteraan, atau apapun istilah-
nya) bagi semua. Senada dengan kata-kata Ignatius dari
Loyola, seorang mistikus Spanyol dari abad XVI, ber-
kenaan dengan agama bisa juga dikatakan: semakin
sesuatu itu bersifat universal, semakin ilahilah ia.

• Penutup
Etika adalah cabang filsafat yang membicarakan
tingkah laku manusia yang dilakukan dengan sadar
dilihat dari sudut baik buruk. Etika berkaitan erat
dengan masalah-masalah nilai benar dan salah dalam arti
susila dan tindak susila, baik dan tidak baik (Kattsoff,
1986).
Etika sebagai pengetahuan tidak akan berguna tanpa
dilandasi sikap tanggungjawab, sebab etika itu sendiri
suatu perencanaan menyeluruh yang mengkaitkan daya
kekuatan alam dan masyarakat dengan bidang tanggung
jawab manusiawi (Van Peursen, 1976). Tanggungjawab
dalam etika itu tidak sekedar ingin mengetahui apa yang
baik dan apa yang buruk dalam perbuatan, melainkan
juga mempersoalkan bagaimana seharusnya meninggal-
kan yang buruk.
Ketentuan UU No.4 tahun 1982, pembangunan ber-
wawasan lingkungan adalah upaya dasar dalam meng-
gunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana
216 Urgensi Pendidikan Moral

dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk


meningkatkan mutu hidup. Jadi pembangunan yang
berwawasan lingkungan tidak hanya menyangkut segi
penggunaan sumber daya saja, tetapi sekaligus menyang-
kut pula segi pengelolaan sumber daya tersebut secara
bijaksana.
Tiga prinsip etis dalam pembangunan menurut Franz
Magnis Suseno yaitu sebagai berikut:
Pertama, pembangunan harus menghormati hak-hak
asasi manusia. Hak asasi manusia melindungi manusia
dari eksploitasi yang totalitaristik. Hak-hak tersebut
harus dijunjung tinggi oleh setiap manusia. Segi-segi
kehidupan seseorang tidak boleh dilanggar dan martabat
manusia harus dihormati. Hormat terhadap hak-hak
asasi manusia merupakan upaya agar pembangunan tetap
berperike-manusiaan dan beradab.
Kedua, pembangunan harus demokratis, artinya
bahwa arah pembangunan ditentukan oleh seluruh
masyarakat.
Ketiga, pembangunan harus menciptakan taraf hidup
minimal keadilan sosial (Magnis Suseno, 1984).
Pembangunan dapat diharapkan sebagai sarana bagi
pembangunan eksistensi manusia. Semua keputusan
yang diambil harus melibatkan segenap lapisan masya-
rakat.
Gerak majunya pembangunan menjadi otonom
sifatnya, menjadi berakar pada dinamika masyarakat itu
sendiri dan dapat bergerak atas kekuatannya sendiri.
Pembangunan hanya dapat efektif bila dilaksanakan se-
bagai akibat interaksi demokratik antara perencanaan-
perencanaan, kelompok-kelompok sasaran dan pelak-
sana (Soejatmoko, 1988).
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 217

Manusia berperanan sangat menentukan dalam


usaha pelestarian lingkungan hidup. Usaha ini me-
merlukan wawasan yang luas. Wawasan yang luas bukan
hanya mengenai pengertian tentang pemakaian sumber
daya, tata guna tanah dan kesempatan kerja saja, tetapi
juga meliputi sikap mental manusianya. Untuk itu sangat
penting usaha menumbuhkan sikap mental positif
masyarakat mencintai lingkungan hidupnya.

Bahan Bacaan:
Bakker Anton.,
1987 Kosmos dan Oikosm Fak. Filsafat UGM,
Yogyakarta.
Bintarto, R.,
1983 Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Emil Salim.,
1983 Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara,
Jakarta.
Emil Salim.,
1989 Menuju Tinggal Landas Tahun 2000, Kantor
Menteri KLH, Jakarta.
Kaelan,
1989 Peranan Etika Lingkungan Hidup Berdasarkan
Pancasila Dalam Proses Pembangunan Dewasa ini,
Laporan Penelitian, Fakultas Filsafat, Yogyakarta.
Katsoff, Louis O,
1986 Pengantar Filsafat, Alih Bahasa : Soejono
Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.
218 Urgensi Pendidikan Moral

Magnis Suseno, Franz,


1975 Etika Umum, Kanisius, Yogyakarta.
Magnis Suseno, Franz,
1984 Etika Jawa, PT Gramedia, Jakarta.
Mohamad Soeryani, dkk,
1985 Lingkungan: Sumber Daya Alam dan
Kependudukan dalam Pembangunan, UI, Press,
Jakarta.
Otto Soemarwoto,
1983 Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan,
Jambatan, Jakarta.
Otto Soemarwoto
1985 Dilema Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Hidup, Jambatan, Jakarta.
Poespowardojo, S.,
1978 Sekitar Manusia, Gramedia, Jakarta.
Sri Soeprapto,
1992 Fungsi Etika Bagi Pembangunan Kota Yang
Berwawasan Lingkungan, Laporan Penelitian,
Fakultas Filsafat, Yogyakarta.
Soejatmoko,
1988 Etika Pembangunan, LP.3ES, Jakarta.
William Chang.,
2001 Moral Lingkungan Hidup. Kanisius,
Yogyakarta.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 219

BAB XIII

MENUJU ETIKA GLOBAL

B angsa kita sekarang ini sedang mengalami krisis


fundamental; dalam bidang ekonomi, ekologi, sosial
dan politik secara global. Kekurangan visi menyeluruh,
membuat semakin kusutnya masalah-masalah yang
akhirnya tak terpecahkan, kelumpuhan analisis, ke-
pemimpinan politis yang sedang-sedang saja dengan
insight dan foresight yang kecil, dan secara umum terlalu
sedikit kepekaan bagi kesejahteraan bersama. Terlalu
banyak jawaban klasik bagi tantangan-tantangan baru.
Jutaan manusia bangsa kita menderita karena pengang-
guran, kemiskinan, kelaparan, dan kehancuran keluarga.
Harapan bagi kedamaian abadi jauh dari kita. Ada ke-
tegangan antara sexes dan generasi. Banyak orang mati,
terbunuh dan dibunuh. Bangsa kita diguncang oleh
korupsi dalam politik dan bisnis.
Sebuah etik sudah eksis dalam ajaran-ajaran religius
tentang dunia yang dapat melawan bahaya global. Tentu
saja etik ini tidak memberikan solusi langsung bagi
semua masalah bangsa yang luas, tetapi etik itu mem-
berikan dasar moral bagi tatanan global dan individual
yang lebih baik: suatu visi yang menuntut masyarakat
jauh dari kekacauan. Kita adalah pribadi yang punya
220 Urgensi Pendidikan Moral

komitmen dan menjalankan agama-agama sehingga


sudah ada konsensus diantara agama-agama yang dapat
menjadi dasar bagi suatu etik global, sebuah konsensus
fundamental minimal berkaitan dengan nilai-nilai yang
mengikat, standar-standar yang tak dapat ditarik dan
sikap moral fundamental.

1. Dua Wajah Agama


Di satu pihak agama mengajarkan jalan keselamatan
(atau perdamaian bagi semua orang, atau apa pun
istilahnya), tetapi di lain pihak juga mengajarkan bahwa
cara yang dipakai untuk itu ialah dengan mengangkat
senjata melawan sesama, tentu agama semacam itu
memuat suatu contradictio in terminis. Belum pernah
terjadi dalam sejarah manusia bahwa dengan senjatalah
kedamaian sejati tercipta, ialah perdamaian yang dialami
oleh semua orang tanpa kecuali.
Senada dengan keprihatinan Rajiv Gandhi sebagai-
mana dikutipkan di atas, kiranya bisa dikatakan secara
afirmatif bahwa supaya terwujud apa yang menjadi ha-
kekatnya yang sejati, agama seharusnya menjadi motor
perdamaian. Sebuah keharusankah? Ya, karena masih
saja ketidak-harmonisan antara apa yang diajarkan
agama dengan apa yang de facto dilakukan para pemeluk-
nya. Tak jarang agama dijadikan pembenaran bagi suatu
pertumpahan darah. Agama dipolitisir. Masihkah agama
bisa diharapkan untuk turut menciptakan terjadinya
perdamaian di bumi ini? Inilah yang hendak dicoba-gagas
dalam tulisan ini. Karena permasalahannya sangat luas,
catatan singkat ini mencoba menyempitkannya dalam
wacana etika global. Lebih sempit lagi, sebatas apa yang
ditunjukkan dalam Deklarasi Menuju Etika Global
(Declaration toward a to Global Ethic) pada sidang
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 221

Parlemen Agama-agama Dunia (The Parlement of the


World’s Religions) di Chicago, 4 September 1993.

2. Etika Global
Hans Kung, seorang pemikir dari Jerman yang sangat
berperan aktif dalam Sidang Chicago, berkeyakinan
bahwa dunia yang kita diami, supaya tetap survive,
membutuhkan semacam konsensus berkenaan dengan
nilai-nilai etis dasar di antara umat manusia, baik yang
beragama maupun yang tidak. Dewasa ini, katanya, tak
seorangpun masih bisa memiliki keraguan yang serius
bahwa dunia kita yang sampai sekarang sudah dan masih
dibentuk oleh politik, teknologi, ekonomi, dan peradaban,
juga memerlukan etika yang bersifat global. Sebuah etika-
global.
Apakah etika-global itu? Parlemen Agama-agama
Dunia dalam Deklarasi Chicago menyatukan bahwa yang
dimaksud sebagai etika-global ialah konsensus fun-
damental atas apa yang dimaksud dengan nilai-nilai yang
bersifat mengikat (bersama), norma-norma yang bersifat
wajib dan mendasar, dan sikap-sikap yang bersifat pri-
badi. Apakah kemudian Parlemen memaksudkannya
sebagai sebuah ideologi global? Tidak. Etika-global
bukanlah sebuah ideologi global.
Apakah etika-global kemudian menjadi (semacam)
agama baru? Parlemen menegaskan bahwa etika-global
juga bukan merupakan agama baru, atau sebuah- agama-
yang-disatukan (a single unified religion) yang mengatasi
agama-agama yang sudah dan masih ada. Dan pasti,
etika-global bukanlah suatu bentuk dominasi sebuah
agama atas agama-agama yang lain. Agama-agama di
dunia. ini begitu beraneka ragam. Satu sama lain memiliki
perbedaan persepsi dalam mengartikan apa dan bagai-
222 Urgensi Pendidikan Moral

mana itu iman, dogma, simbol dan ritus. Karenanya,


komentar Kung, pemaksaan untuk menyatukan agama-
agama di dunia tentu akan sama sekali tak ada artinya,
menjadi a distasteful syncretistic cocktail! Maka etika-
global pun tidak bermaksud untuk menggantikan peran
etika dalam agama-agama dengan sebuah minimalisme
etis. Tidak. etika-global tidak mau menggantikan Taurat
Musa, Sabda Bahagia (baca: Injil), Al-Qur’an, atau pun
Bhagavadgita, Sabda Budha, maupun Perkataan-
perkataan Confusius.
Jika etika-global bukanlah ideologi maupun agama
baru, lantas apa yang menjadi tujuan etika-global? Etika-
global, demikian Kung, berusaha mencari dan mene-
mukan apa yang nyata-nyata sudah bersifat umum pada
agama-agama di dunia saat ini, lepas dari perbedaan-
perbedaan ajaran mereka mengenai perilaku, nilai--nilai
moral mapun keyakinan-keyakinan moral dasar. Dengan
kata lain, tanpa bermaksud mereduksikan agama-agama
menjadi sebuah minimalisme etis, etika-global berupaya
mengemukakan kembali apa yang menjadi keyakinan
bersama agama-agama di dunia dalam bidang etis. Maka
etika-global tidak dimaksudkan untuk memusuhi apa dan
siapa pun. Sebaliknya, dengan etika-global semua orang,
baik yang beragama maupun tidak, didorrong untuk
semakin menyadari bahwa prinsip-prinsip etis tersebut
secara inhenren atau intrinsik sudah menjadi milik
mereka dan bertindak sesuai dengannya, syukur lebih
mengembangkannya.

3. Antara Etika dan Agama


Mengapa etika-global mesti dibentuk melalui kon-
sensus antar agama-agama? Ini pertanyaan menarik.
Tapi sebelum menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 223

melihat di mana titik temu antara etika dengan agama.


Kita bisa minta bantuan pemikir lain.
Dalam Etika Dasar Magnis-Suseno menunjukkan
bahwa ada dua masalah dalam bidang moral agama yang
tidak dapat dipecahkan tanpa menggunakan metode-
metode etika. Yang pertama ialah masalah intepretasi
atas perintah atau hukum sebagaimana termuat dalam
wahyu (baca: Kitab Suci), dan yang kedua mengenai bagai-
mana masalah-masalah aktual, yang tidak secara
langsung dibahas dalam wahyu, dapat juga dipecahkan
dengan semangat agama yang bersangkutan.
Masalah pertama bukan terletak pada wahyu atau
Kitab Suci tetapi pada manusia yang menafsirkannya.
Keterbatasan manusia membuat penafsiran yang
dibuamya tidak selalu 100% selaras dengan wahyu. Tak
jarang dijumpai bahwa para ahli agama dari suatu agama
yang satu dan sama memiliki intepretasi yang ber-
beda-beda atas pewahyuan yang satu dan sama. Justru
karena hal inilah perlu dipakai alat bantu di luar agama,
yakni metode-metode etika, untuk menemukan manakah
dan bagaimanakah pesan wahyu yang sebenamya.
Masalah kedua menyangkut bagaimana agama
menanggapi masalah-masalah moral aktual, yang tidak
ada pembahasan khusus dalam wahyu (Kitab Suci). Soal
bayi tabung atau clonning, misalnya. Paling banter wahyu
hanya memuat prinsip umum, dan ini pun kerapkali
dalam bentuk kiasan. Maka agar bisa membuat sikap yang
bisa dipertanggungjawabkan perlulah dipakai etika.
Mengapa? Karena etika merupakan usaha manusia untuk
memakai akal-budinya untuk memecahkan masalah
tentang bagaimana ia mesti hidup kalau ia mau menjadi
baik.
224 Urgensi Pendidikan Moral

Jadi, masih menurut Magnis-Suseno. etika tidak bisa


menggantikan agama, tetapi sekaligus juga tidak
bertentangan dengannya. Titik temu di antara keduanya
ialah pada bidang moral, soal baik-buruknya suatu
tindakan ketika seseorang dihadapkan pada nilai-nilai.
Di sini ada asumsi bahwa manusia adalah makhluk etis,
entah seseorang beragama entah tidak. Justru dalam
bidang etis inilah setiap orang bisa saling “bertemu”.
Orang bisa memakai pertimbangan akal budi sehat untuk
melihat apakah suatu tindakan itu bermoral atau tidak.
Kembali ke pertanyaan semula, mengapa etika-
global mesti dibentuk melalui konsensus antar agama-
agama, kiranya bisa dirunut alasannya. Setidaknya ada
dua alasan. Pertama, di banyak negara di muka bumi ini
agama masih merupakan kekuatan spiritual yang bisa
mengubah wajah dunia menjadi lebih baik. Ini sangat
potensial untuk sebuah gerakan global, juga dalam bidang
etis. Kedua, ada dimensi etis dalam agama-agama, yang
bisa ditinjau dari sudut ajaran agama maupun etika.
Orang tidak perlu beragama untuk bisa menjadi manusia
bermoral. Masalah etis bersifat universal, artinya
menyangkut setiap diri manusia. Kiranya alasan kedua
ini merupakan ruang-dialog antara mereka yang
beragama dengan mereka yang mengklaim diri agnotis
atau bahkan atheis, atau mereka yang tidak melihat
“sistem-kepercayaan” mereka sebagai suatu agama.

4. Garis Besar Deklarasi Etika-Global


Dalam deklarasinya, Parlemen lebih lanjut mengu-
raikan prinsip-prinsip etika-global macam apa yang bisa
menjadi acuan bersama. Berikut ini kita akan melihat
garis besarnya.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 225

• Tiada tatanan global yang baru tanpa adanya


etika-global baru pula
Parlemen sampai pada keyakinan bahwa tiada
tatanan global yang baru tanpa adanya etika-global yang
baru pula. Keyakinan tersebut merupakan akumulasi
keyakinan-keyakinan yang dipegang bersama, ialah bah-
wa semua orang tanpa kecuali bertanggung jawab untuk
mengupayakan tatanan global yang lebih baik.Adalah
mutlak perlu keterlibatan semua orang atas nama hak
azasi manusia, kebebasan, keadilan, perdamaian maupun
pemeliharaan bumi. Segala perbedaan tradisi religius
maupun kultural bukanlah alasan untuk menghentikan
kerjasama menentang segala bentuk dehumanisasi.
Parlemen juga memiliki keyakinan bahwa etika-global
yang tertuang dalam Deklarasi bersifat universal, artinya
bisa diafirmasi oleh setiap orang yang memiliki kesa-
daran etis, entah is itu beragama, entah tidak.
Parlemen yakin akan kesatuan fundamental keluarga
besar umat manusia. Mengingat Deklarasi Hak Azasi
Manusia yang diundangkan oleh PBB pada tahun 1948,
Parlemen berkehendak menegaskan dan memper-
dalamnya dari perspektif etis atas apa yang didekla-
rasikan pada tataran hak tersebut, yakni martabat intrin-
sik pribadi manusia, kemerdekaan dan equalitas, solida-
ritas dan interdependensi satu sama lain. Maka, Par-
lemen berkeyakinan bahwa tatanan global yang lebih balk
tidak bisa diciptakan oleh hukum dan kaidah belaka,
bahwa perwujudan perdamaian dan keadilan tergantung
pada kesediaan setiap orang untuk bertindak adil, bahwa
hak dan kemerdekaan mengandaikan adanya kesadaran
akan tanggungjawab dan kewajiban, dan bahwa hak tanpa
moralitas tidaklah bisa bertahan.
226 Urgensi Pendidikan Moral

• Tuntutan fundamental: setiap manusia mesti


diperlakukan secara manusiawi
Parlemen menyadari bahwa kita semua tidak luput
dari kesalahan. Kita makhluk tidak sempurna dan
terbatas. Parlemen pun menyadari realitas kejahatan
(evil). Tapi persis karena kesadaran akan hal-hal inilah,
dan juga keberanian untuk tidak menutup-mata terhadap
perbedaan yang ada, Parlemen berkehendak memper-
tegas unsur-unsur etika-global sebagaimana diketemu-
kan dalam tradisi religius maupun etis. Sekalipun agama
tidak bisa langsung memecahkan masalah-masalah
praktis berkenaan dengan lingkungan hidup, politik,
sosial, ataupun ekonomi, namun agama bisa menyum-
bangkan apa yang khas. Apakah ini? Menurut Parlemen,
ini ialah perubahan orientasi hidup batin, pertobatan
hati. Umat manusia memang membutuhkan reformasi
sosial dan ekologis. Namun, tak kalah mendesaknya ialah
pembaharuan spiritual.
Banyak.manusia diperlakukan secara tidak manu-
siawi di seluruh dunia. Kebebasan mereka dirampas, hak-
hak mereka diinjak-injak, martabat mereka dihina dan
tak-diakui. Namun, might does not make right! (Kekuatan
tidaklah membuat segala sesuatu halal!) Karenanya
semakin disadari urgensi bahwa setiap manusia mesti
diperlukakan secara manusiawi. Manusia bernilai pada
dirinya. Maka Parlemen mengingatkan prinsip etis yang
berlaku umum. yakni “Jangan lakukan kepada orang lain
apa yang engkau sendiri tak menghendaki diperbuat
atasmu!” Inilah the golden rule. Dari prinsip inilah me-
rekah keempat perintah bagi perilaku kita, sebagaimana
akan diuraikan di bawah ini.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 227

5. Empat kewajiban (four irrevorcable


directives)
• Komitmen terhadap budaya anti-kekerasan
dan hormat terhadap kehidupan
Berangkat dari keprihatinan bahwa kekerasan
merupakan ‘kekuatan dan ke-kuasaan’ destruktif yang
kerapkali dijumpai di muka bumi ini, Parlemen mengajak
semua untuk merenungkan satu perintah ini: Jangan
membunuh! Atau, secara positif dinyatakan: Hormatilah
kehidupan! Sebagaimana tak seorang pun dan/atau tak
satu kelompok pun memiliki hak untuk diasingkan,
dianiaya, didiskriminasikan, dan dimusnahkan; demikian
tak seorang pun dan/atau tak satu kelompok pun berhak
secara fisis maupun psikis melakukan hal-hal tersebut
terhadap sesamanya.
Parlemen pun menyadari bahwa dalam kehidupan
bersama tentu ada perbedaan pendapat maupun konflik
kepentingan. Akan tetapi konflik bukanlah alasan untuk
keluar dari solusi damai dan kerangka keadilan. Jalan
kekerasan bukanlah solusi atas konflik. Tak mungkin
umat manusia akan bertahan bila tiada kedamaian
global. There is no survival for humanity without global
peace!
Sebagai makhluk etis sudah semestinya setiap dari
kita memiliki keprihatinan terhadap sesama dan siap-
sedia untuk menolong, mesti membina toleransi dan
hormat kepada sesama. Minoritas di lingkungan kita
justru berhak untuk dilindungi dan didukung. Demikian
ajakan Parlemen.
228 Urgensi Pendidikan Moral

• Komitmen terhadap budaya solidaritas dan


keteraturan ekonomi
Berangkat dari keprihatinan bahwa kemelaratan
dalam pelbagai bentuk begitu menjerat sebagian besar
umat manusia, sementara sebagian kecil umat manusia
memelihara gaya hidup konsumeristis dalam kelimpahan
mereka, Parlemen mengajak semua menyadari satu
perintah ini: Jangan mencuri! Atau secara positip
dinyatakan: Hidup dan bertindaklah dengan jujur dan
adil! Maka, tak seorang dan/atau kelompok pun berhak
merampok atau pun memeras orang dan/atau lain demi
keuntunganya sendiri atau kelompoknya. Lebih lanjut,
tak seorang pun berhak menggunakan kekuasaan secara
sewenang-wenang. Kebutuhan masyarakat mesti menjadi
yang utama.
Manakala kemelaratan begitu menghimpit, keputus-
asaan akan merajalela. Tindak pencurian demi kelang-
sungan hidup pun akan merambah di mana-mana.
Manakala kekuasaan dan kekayaan ditumpuk secara
tidak halal, akan ada bertumbuh kemarahan dan ke-
bencian yang mematikan dalam diri mereka yang
dimarginalkan. Pemberontakan hampir pasti akan
meledak. Janganlah seorang pun tertipu: Tak mungkin
kedamaian global diciptakan tanpa dibarengi oleh
keadilan global. There is no global peace without global
justice.
Jika kemelaratan hendak dientaskan, tatanan
ekonomi dunia mesti dibangun secara lebih adil. Jelas
bahwa ini tidak hanya ada dalam tataran keadilan
individual saja. Dalam hal ini keterlibatan semua negara
dan otoritas internasional dibutuhkan.
Sebagai makhluk etis semua hendaknya meng-
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 229

gunakan kekuasaan ekonomis dan politis demi pelayanan


kepada umat manusia. Mesti bertumbuh dalam diri kita
compassion dengan siapa pun yang menderita. Kita mesti
mengolah sikap saling hormat dan menghindari kon-
sumerisme.

• Komitmen terhadap budaya toleransi dan


hidup-penuh-kebenaran (truth-fulness)
Berangkat dari keprihatinan bahwa dunia kita
dipenuhi oleh tipu daya dan manipulasi (entah dalam bi-
dang politik, media massa, sains, maupun bahkan agama),
Parlemen mengajak semua untuk merenungkan satu
perintah etis ini: Jangan bersaksi dusta! Atau secara
positif dinyatakan: Berbicara dan bertindaklah dalam
kebenaran! Tak seorang pun, tak satu institusi pun (entah
itu negara, entah agama) berhak untuk berdusta ter-
hadap sesamanya.
Secara khusus Parlemen menyapa mereka yang
terlibat dalam kehidupan media massa, juga para artis,
penulis, ilmuwan, para pemimpin negara dan politisi,
dan tak ketinggalan para pemimpin agama. Parlemen
mengingatkan bahwa tiada akan tercipta keadilan global
jika tidak dibarengi oleh kebenaran dan perikema-
nusiaan. There is no global justice without truthfulness
and humaneness!
Generasi muda mesti belajar untuk berpikir,
berbicara, dan bertindak dalam kebenaran. Mereka ini
berhak untuk mendapat pendidikan etis yang akan
membantu mereka dalam membentuk kehidupan mereka,
yang membekali mereka sarana untuk memilah dan
menyibakkan tipu daya di sekitar mereka.
Sebagai manusia etis janganlah kita mengacaukan
230 Urgensi Pendidikan Moral

kebebasan dengan sikap indiferen terhadap kebenaran.


Ketidakjujuran dan oportunisme mesti diganti dengan
kebenaran. Kita mesti terus-menerus mencari dan
mengusahakan kebenaran dan ketulusan hati. Kita mesti
berkembang semakin hari menjadi orang yang patut
dipercaya (trustworthy).

• Komitmen terhadap equalitas (equal rights)


dan kemitraan (partnership)
Berangkat dari keprihatinan atas masih berkuasanya
patriarkalisme dalam banyak segi kehidupan dan
budaya, masih banyaknya pelecehan dan pemerkosaaan
martabat perempuan dan anak-anak, Parlemen mengajak
semua untuk merenungkan satu perintah ini: Janganlah
berbuat zinah! Atau secara positif dinyatakan: Hormat
dan kasihilah satu sama lain! Tak seorang pun berhak
untuk menjadikan sesamanya objek seksual belaka atau
menyesatkan dan mencengkeram sesamanya dalam
dependensi seksual.
Parlemen mengutuk segala bentuk eksploitasi seks
maupun diskriminasi seksual, yang merupakan salah satu
bentuk degradasi manusia yang paling jahat. Janganlah
ada yang disesatkan: Tidak akan pernah ada kemanusiaan
yang otentik tanpa kemitraan yang sederajat. There is
no authentic humaneness without a living together in
partnership!
Generasi muda mesti belajar bahwa seksualitas pada
dirinya bukanlah kekuatan yang negatif, destruktif mau-
pun eksploitatif, tetapi kreatif dan afirmatif. Seksualitas
sebagai sebuah pembentuk afirmasi-kehidupan bersama
hanya akan menjadi efektif apabila setiap pasangan
bertanggungjawab atas kebahagiaan satu sama lain.
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 231

Kepenuhan hidup tidaklah sama dengan pemuasan nafsu


seksual. Seksualitas mesti membantu orang untuk hidup
dalam equalitas dan kemitraan antar gender. Pan-
tang-sukarela atas hidup seksual juga merupakan eks-
presi dari identitas dan kepenuhan hidup yang ber-
makna. Kehidupan perkawinan semestinya ditandai oleh
kasih, kesetiaan dan permanensi (permanence).. Anak-
anak berhak atas pendidikan dan pemeliharaan. Orang
tua tak berhak mengeksploitasi anak, dan sebaliknya.
Sebagai makhluk etis semestinya kita mengembang-
kan kemitraan penuh hormat mesti selalu dibina dan
diusahkan dalam hubungan antar gender. Sebagai ganti
bentuk-bentuk penyalahgunaan seks dan nafsu posesif,
mestilah kita bina budaya kesalingan dalam keprihatinan
(concern), toleransi, kesiap-sediaan untuk rekonsiliasi,
dan kasih. Dalam hal ini, pengalaman dalam keluarga
menjadi basis utama untuk membangun hubungan antar
bangsa dan antar agama.

6 Sebuah Transfromasi kesadaran


Belajar dari pengalaman sejarah, Parlemen meng-
ingatkan bahwa bumi tidak bisa diubah menjadi lebih baik
jika manusia tidak sampai kepada tranformasi kesa-
daran, baik dalam tataran hidup individual maupun hi-
dup komunal. Dengan tetap melihat secercah transfor-
masi yang cukup fundamental yang mulai bertumbuh
dalam bidang politik, ekonomi, dan ekologi, Parlemen
juga menekankan betapa mendesaknya transformasi
dalam bidang etika dan nilai. Sebagaimana setiap in-
dividu memiliki martabat dan hak azasi, demikian setiap
individu pun memiliki tanggungjawab azasi. Mengapa?
Karena setiap putusan dan tindakan, bahkan setiap
keteledoran dan kegagalan, memiliki konsekuensi.
232 Urgensi Pendidikan Moral

Adalah tugas agama-agama untuk memelihara rasa-


tanggungjawab ini, memperdalamnya, dan mewariskan
dari generasi ke generasi. Dengan tetap realistis ter-
hadap apa yang sudah bisa dicapai, Parlemen mendesak
agar hal-hal berikut lebih diperhatikan:
Pertama, kendati sebuah konsensus universal ber-
kenaan dengan pertanyaan-pertanyaan moral fun-
damental (dalam bidang bioetika, etika seksual, etika
media massa. etika ilmu pengetahuan, etika politik, dan
etika ekonomi) sulit disepakati bersama, namun hen-
daknya tetaplah diusahakan suatu konsensus bersama
berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang telah dicoba
untuk dikembangkan di sini.
Kedua, dalam banyak bidang telah merekah ke-
sadaran akan tanggungjawab etis. Maka perlulah dibuat
semacam kode etik dalam bidang-bidang profesional,
yang bisa menjadi alat bantu (guidelines).
Ketiga, sangat perlulah bagi setiap komunitas iman
untuk merumuskan apa yang menjadi etika-khusus
masing-masing. Umpama, apa yang dikatakan oleh tra-
disi iman-kepercayaan mereka berkenaan dengan makna
hidup dan kematian, tentang penderitaan dan pengam-
punan, tentang pengorbanan, tentang compassion dan
kegembiraan.
Sebagai penutup Deklarasi, Parlemen sungguh-
sungguh mengajak semua penghuni planet bumi untuk
bersama-sama mengadakan tranformasi kesadaran.
Maka masing-masing hendaknya mengusahakannya
dalam tataran individual maupun komunal. Caranya?
Parlemen menyebut refleksi, meditasi, doa, berpikir-
positif (positive thinking), sebagai cara-cara bagi per-
tobatan hati. Bersama-sama kita bisa menggeser gunung-
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 233

gemunung, demikian keyakinan seluruh Parlemen.


Karenanya seluruh peserta Parlemen berkomitmen
usaha untuk mengembangkan etika-global, pada usaha-
usaha untuk saling-memahami, pada upaya memajukan
cara hidup bersama yang berdampak baik bagi semakin
banyak orang, yang menumbuhkan perdamaian dan yang
ramah terhadap ibu buml. We invite all men and women,
whether religious or not, to do the same.

Nothing is more reprehensive than violence in the name


of religion. Violence in the name of religion is the
negation of religion
(Rajiv Gandhi)

Bahan Bacaan:

Hans Kung [Ed],


1996 Yes to a Global Ethic, SCM Press Ltd
Magnis Suseno, Franz,
1987 Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta.
234 Urgensi Pendidikan Moral

Catatan:
Suatu Upaya Membangun Komitmen Diri 235

Catatan:
236 Urgensi Pendidikan Moral

Catatan:

Anda mungkin juga menyukai